KASUS NOMOR. 2735 LAPORAN DI MANA KOMITE MEMINTA UNTUK TERUS DIINFORMASIKAN PERKEMBANGANNYA Keluhan terhadap Pemerintah Indonesia yang diajukan oleh –Serikat Pekerja PT Angkasa Pura 1 (SP–AP1) dan – Public Services International (PSI) Tuduhan: kedua organisasi yang mengajukan keluhan menuduh telah terjadi pelanggaran berat terhadap kebebasan berserikat yang dilakukan oleh perusahaan milik negara PT (Persero) Angkasa Pura 1, termasuk yang berikut: (1) menolak menjalankan sepenuhnya perjanjian kerja bersama; (2) menyebabkan penundaan yang tak beralasan untuk menyelesaikan persidangan arbitrasi yang ditujukan untuk menyelesaikan perselisihan; (3) melakukan intimidasi dan gangguan terhadap pekerja yang memprotes penolakan pelaksanaan perjanjian kerja bersama; (4) pemecatan dan pemberhentian sementara terhadap pekerja yang ikut serta di dalam aksi pemogokan yang sah; dan (5) mendirikan atau dengan aktif mendukung pendirian serikat pekerja baru yang dikendalikan perusahaan untuk tujuan mengecualikan SP-AP1 sebagai serikat pekerja yang mewakili pekerja A. 559. Keluhan terdapat di dalam komunikasi dari Serikat Pekerja PT Angkasa Pura 1 (SP–AP1) dan Public Services International (PSI) tertanggal 11 September 19 Oktober 2009. 560. Pemerintah Indonesia menyampaikan tanggapan parsial (tidak menyeluruh) terhadap tuduhan di dalam komunikasi tertanggal 29 Oktober 2009. 561. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Tahun 1948 Nomor 87 mengenai Kebebasan Berserikat dan Perlindungan terhadap Hak Berserikat, dan Konvensi Tahun 1949 Nomor 98 tentang Hak Berorganisasi dan Berunding Bersama. Pemerintah Indonesia belum meratifikasi Konvensi Tahun 1978 Nomor 151 tentang Hubungan Ketenagakerjaan (Layanan Publik). Tuduhan Para Pemohon 562. Di dalam komunikasi tertanggal 11 September 2009, organisasi pengaju keluhan SP-AP1 dan PSI mengadukan pelanggaran yang dilakukan Pemerintah Indonesia terhadap Konvensi ILO Nomor 87 dan 98 melalui tindakan-tindakan perusahaan milik negaranya, PT (Persero) Angkasa Pura 1, misalnya menolak melaksanakan secara penuh perjanjian kerja bersama (PKB) yang dinegosiasikan bersama serikat pekerja untuk periode tahun 2005-07 dan berusaha secara sepihak mengubah syarat-syarat di dalam perjanjian tersebut; menyebabkan penundaan yang tak beralasan penyelesaian persidangan arbitari yang ditujukan untuk menyelesaikan perselisihan; mengintimidasi dan mengganggu pekerja yang ikut serta memprotes penolakan pelaksanaan PKB secara utuh; memecat dan memberhentikan sementara waktu pekerja yang ikut serta di dalam aksi mogok kerja yang sah; mendirikan atau dengan aktif mendorong pendirian serikat pekerja “kuning” yang baru atau yang dikendalikan perusahaan dengan tujuan utama mengesampingkan SP-AP1 sebagai serikat pekerja yang mewakili pekerja; dan dengan aktif mendorong pekerja untuk keluar dari keanggotaan mereka di SP-AP1 dan bergabung dengan serikat pekerja yang baru. 563. Para pemohon menunjukkan bahwa SP-AP1 adalah serikat pekerja nasional yang didirikan pada tahun 1999 dan melakukan kegiatan organisasi keserikatpekerjaan di 13 bandar udara di wilayah timur Indonesia, yang anggotanya terlibat di dalam penyediaan manajemen bandar udara dan layanan lalu lintas udara (termasuk pengendali lalu lintas udara, teknisi, keamanan penerbangan, pemadam kebakaran penerbangan, juru parkir pesawat, pekerja yang menangani bagasi, staf konter check-in dan staf administrasi). SP-AP1 adalah serikat pekerja reformasi (atau independen) yang berafiliasi ke PSI di tingkat internasional. Pada saat terjadinya perselisihan, 3.200 dari 3.800 pekerja yang bekerja di 13 bandar udara tersebut adalah anggota SP-AP1. Perjanjian Kerja Bersama 564. Para pemohon menyatakan bahwa SP-AP1 dan manajemen PT (Persero) Angkasa Pura 1 telah menyepakati “perjanjian kerja bersama” atau PKB, yang mencakupkan, di antaranya, fasilitas kerja, gaji, jam kerja, upah lembur, besaran pesangon dan tunjangan pensiun dan kesehatan. Yang terutama, PKB memberikan ketentuan tentang pegawai Angkasa Pura 1 yang dikaitkan dengan besaran/skala gaji pegawai negeri sipil 565. Namun demikian, menurut pemohon, manajemen perusahaan secara konsisten gagal menjalankan PKB sepenuhnya, khususnya pasal 38 (ayat 2) mengenai gaji,65 (2) mengenai pensiun dan 66 (1), (2) dan (4) mengenai asuransi dan tunjangan kesehatan pensiun. Antara tahun 2006 dan 21 April 2008, serikat pekerja AP1 melaksanakan sejumlah rapat dengan manajemen sebagai usaha untuk mencari jalan keluar bagi perselisihan, dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi secara konstruktif ikut membantu di dalam perselisihan dengan membentuk tim perselisihan hubungan industry dan mengundang serikat pekerja AP1 dan manajemen untuk bertemu pada tanggal 9 dan 17 Januari 2008. Menurut para pemohon, tim tersebut memidiasi keprihatinan kedua belah pihak dan merekomendasikan ketaatan sepenuhnya terhadap PKB namun rekomendasi darinya diabaikan oleh perusahaan. 566. Para pemohon juga menunjukkan bahwa pada tanggal 6 Maret 2008, Direktur Jendereal Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dalam usaha lebih lanjut untuk menyelesaikan perselisihan, memediasi pertemuan antara serikat pekerja AP1 dan manajemen AP1, dengan kehadiran perwakilan dari Kementerian Badan Usaha Milik Negara dan Kementerian Transportasi. Hasil dari pertemuan tersebut dituangkan dalam Perjanjian Bersama tertanggal 6 Maret 2008, yang juga memperpanjang periode PKB hingga tahun 2008. Kedua belah pihak menyepakati, antara lain, syarat-syarat yang terkait dengan tunjangan bagi para pensiunan, program dana pensiun bagi pegawai baru dan jam kerja lembur serta besar bayaran untuk staf operasional, agar dilaksanakan dalam 30 hari setelah Perjanjian Bersama tersebut. Disepakati pula bahwa negosiasinegosiasi terpisah akan dilakukan untuk membahas penyesuaian gaji pegawai selaras dengan PKB. 567. Para pemohon melaporkan bahwa pada tanggal 17 April 2008, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyelenggarakan pertemuan antara serikat pekerja AP1 dan manajemen AP1 untuk menilai kemajuan pelaksanaan Perjanjian Bersama tersebut. Karena tak terjadi kemajuan, pertemuan selanjutnya diselenggarakan pada tanggal 21 April 2008, di mana selama pertemuan ini manajemen terus menolak untuk menaati syarat-syarat di dalam Perjanjian Bersama, kedua belah pihak sepakat untuk menyatakan ‘negosiasi gagal’ terkait dengan bagian-bagian di dalam PKB dan Perjanjian Berama. 568. Selanjutnya, para pemohon menyatakan bahwa pada tanggal 13 Oktober 2008, PT (Persero) Angkasa Pura 1 mula menjalani persidangan di Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta Pusat untuk meminta pasal 38 dari PKB, yang menautkan peningkatan gaji pegawai perusahaan ini dengan peningkatan gaji pegawai negeri sipil, dinyatakan batal dan tak berlaku. Sebagai tanggapannya, SP-AP1 pada tanggal 18 November 2008 mengeluarkan pernyataan tandingan yang menjelaskan kerugian yang dialaminya akibat dari PKB yang tak dijalankan. Dalam keputusannya tertanggal 24 Maret 2009, Pengadilan Hubungan Industrial menolak klaim perusahaan dan memenangkan pernyataan tandingan yang diajukan SP-AP1. Hingga saat ini, manajemen PT (Persero) Angkasa Pura 1 menolak menaati keputusan pengadilan tersebut. Aksi Pemogokkan 569. Menurut para pemohon, SP-AP1 mengumumkan pada tanggal 25 April 2008 maksudnya untuk melaksanakan aksi mogok kerja selama 3 hari (7-9 May 2008), sesuai dengan pasal 3(2) PKB dan undang-undang dan peraturan nasional yang berlaku. Surat pemberitahuan untuk melaksanakan aksi mogok kerja disampaikan ke Direktur PT (Persero) Angkasa Pura 1, kepala kepolisian Republik Indonesia dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Para pemohon menuduh bahwa manajemen perusahaan bereaksi terhadap pemberitahuan aksi mogok kerja dengan menerbitkan surat tertanggal 5 May 2008 yang memberitahukan kepada anggota SP-AP1 bahwa aksi mogok kerja yang direncanakan tersebut adalah tidak sah dan bahwa mereka yang berpartisipasi di dalam “pemogokkan kerja yang tak sah” akan dikenakan tindakan yang tegas sesuai dengan peraturan disiplin perusahaan dan perjanjian kerja bersama. 570. Para pemohon menunjukkan bahwa SP-AP1 mengirimkan surat kepada anggotanya yang menjelaskan kepada mereka tata tertib selama pemogokkan, termasuk memastikan pemeliharaan layanan yang secara langsung terkait dengan keselamatan manusia; menunjukkan tata tertib dan perilaku yang baik, mencegah tindakan criminal atau sabotase; dan menaati undang-undang nasional. SP-AP1 juga mengarahkan bahwa staf pengendali kontrol lalu lintas udara tak boleh ikut serta di dalam pemogokkan tersebut, karena pasal 139 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menyatakan bahwa pelaksanaan mogok kerja bagi pekerja yang bekerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain dan bahwa perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia adalah rumah sakit, dinas pemadam kebakaran, penjaga pintu perlintasan kereta api, pengontrol pintu air, pengontrol arus lalu lintas udara, dan pengontrol arus lalu lintas laut. 571. Menurut para pemohon, aksi pemogokkan tidak dilaksanakan sepenuhnya, digelar pada dua hari (7-8 May 2008) dan melibatkan enam dari 13 bandar udara. Manajemen membalas aksi pemogokkan pada tanggal 7 May 2008 dengan memecat Bapak Arif Islam, Ketua SP-AP1 cabang Sepinggan, dan memberhentikan sementara waktu tujuh pemimpin SP-AP1 lainnya: (1) Ibu Sulistiyani, Sekretaris Umum; (2) Ibu Sri Rejeki, Ketua Bidang Sumber daya Manusia dan Pengembangan; (3) Ibu Milda, Ketua Bidang Hukum; (4) Ibu Asnawaty, Bendahara Umum; (5) Bapak Trijono, ketua cabang kantor pusat; (6) Bapak Effendy Sulistiono, Sekretaris cabang kantor pusat; dan (7) Bapak Florentinus Subandi, Koordinator Lapangan untuk cabang kantor pusat. 572. Para pemohon selanjutnya menyatakan bahwa manajemen menggunakan taktik tangan besi untuk mengintimidasi pekerja yang ikut serta di dalam aksi pemogokkan., misalnya: menggunakan militer untuk memaksa pekerja di Bandara Udara Frans Kaisepo, Biak, kembali bekerja pada tanggal 7 May 2008; menangkap Bapak Primus H. Rahagjar, Ketua SP-AP1 bandara udara ini; memerintahkan polisi bandara udara untuk mencegah pemimpin serikat pekerja dari berkomunikasi secara langsung dengan pekerja yang melakukan pemogokkan di Bandara Udara Sepinggan, Balikpapan, dan memaksa pekerja untuk menandatangani surat pernyataan bahwa mereka bersalah telah ikut serta di dalam aksi pemogokkan. 573. Para pemohon menunjukkan bahwa SP-AP1 telah memberitahukan Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (Urusan Kependudukan, Kesehatan, Ketenagakerjaan dan Transmigrasi) mengenai penolakan manajemen untuk menghormati PKB dan maksudnya untuk melaksanakan pemogokkan kerja. Setelah rapat para tanggal 8 May 2008 antara perwakilan Komisi IX, manajemen dan SP-AP1, Ketua Komisi IX mengirimkan surat ke manajemen merekomendasikan bahwa pekerja yang melakukan pemogokkan tidak boleh dipecat atau dihukum dan bahwa manajemen harus menghormati undang-undang. Selanjutnya, pada tanggal 21 May 2008, SP-AP1 menghadiri rapat dengar pendapat yang dilaksanakan Komisi IX mengenai pemogokkan tersebut dan reaksi manajemen terhadap perselisihan industrial. Di dalam kesimpulannya, Komisi IX mendesak Direktur Jenderal Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk melukan inspeksi terhadap perilaku manajemen selama dan setelah aksi mogok kerja tersebut, dan mengarahkan agar manajemen menghentikan semua tindakan intimidasi dan balas dendam terhadap SP-AP1 dan anggotanya. Menurut para pemohon, rekomendasi dan kesimpulan yang dbuat Komisi IX diabaikan oleh manajemen. 574. Para pemohon juga melaporkan bahwa, tanggal 16 May 2008, SP-AP1 mengajukan keluhan ke Komnas HAM terkait pelanggaran terhadap hak kebebasan berserikat dan berunding bersama serta perlakuan terhadap anggotanya. Anggota Komnas HAM selanjutnya mengunjungi kantor pusat PT (Persero) Angkasa Pura 1 untuk mendapatkan informasi lebih lanjut dari SP-AP1 dan manajemen. Pada tanggal 12 Agustus 2008, Komnas HAM meminta informasi lebih lanjut dari manajemen mengenai kemajuan pencarian solusi bagi perselisihan tersebut. Para pemohon menekankan bahwa kebuntuan terus terjadi sekalipun ada intervensi semacam ini. 575. Pada tanggal 4 Juni 2009, Kepala Badan Ketenagakerjaan dan Sosial Pemerintah Kota Balikpapan mengeluarkan rekomendasi agar manajemen perusahaan mengembalikan Bapak Arif Islam ke posisinya semula dan membayarkan upahnya selama masa pemecatan terhadap dirinya. Menurut para pemohon, dewan direksi sejauh ini mengabaikan rekomendasi ini. Taktik pemberangusan serikat pekerja dan intimidasi serta gangguan terhadap anggota SP-AP1 576. Para pemohon menuduh bahwa Bapak Arif Islam tetap dipecat, dan bahwa manajemen terus menyangkal pemecatan terhadap dirinya dengan menyatakan bahwa beliau tengah mendapatkan tugas tambahan ke bagian lain dan bahwa penugasannya akan segera berakhir. Tujuh pegawai yang diberhentikan sementara waktu pada akhirnya dikembalikan ke jabatannya pada bulan September 2008, namun demikian tanpa mendapatkan kompensasi penuh untuk periode pemberhentian sementara tersebut. Menurut para pemohon, mereka tak diizinkan untuk kembali menjalankan seluruh tugas-tugasnya, diisolasi oleh manajemen, diberikan sedikit atau tidak diberikan tugas-tugas untuk dikerjakan selama jam kerja dan sering kali ditolak setelah tiba di tempat kerja untuk mengakses computer atau jaringan melalui perubahan passwords. Tindakan intimidasi lainnya mencakup ancaman atau melakukan interograsi terhadap anggota SP-AP1 dan ancaman tuntutan kriminal terhadap mereka. 577. Akhirnya, para pemohon menyatakan bahwa, pada bulan April 2009, sebuah serikat pekerja baru, Asosiasi Karyawan Angkasa Pura 1 (AKA) dibentuk dengan dukungan dari manajemen perusahaan. AKA secara aktif membajak anggota SP-AP1, dibandu dan dipersekongkoli oleh manajemen. Anggota SP-AP1 diancam direlokasi atau dipindahkan bila tak mau bergabung dengan AKA dan “disuap” dengan tawaran promosi agar bergabung dengan serikat pekerja baru tersebut. Manajemen menyerahkan formulir pengunduran diri dari SP-AP1 kepada para pekerja, sementara di saat yang sama memberikan mereka formulir berafiliasi dengan AKA. Dalam pandangan para pemohon, maksud tindakan ini adalah untuk memperlemah kepadatan SP-AP1 untuk menyatakan bahwa serikat pekerja ini tak lagi memiliki otoritas legal untuk melakukan berunding bersama atas nama anggotanya. SP-AP1 memerkirakan bahwa ia kehilangan hampir 50 persen anggotanya akibat taktik pemberangusan serikat pekerja dan intimidasi manajemen PT (Persero) Angkasa Pura 1. 578. Kesimpulannya, para pemohon melaporkan bahwa Kementerian Badan Usaha Milik Negara dan manajemen PT (Persero) Angkasa Pura 1 telah mengabaikan berulang kali seruan dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Komisi IX DPR dan Komnas HAM untuk memecahkan perselisihan dengan menghormati syarat-syarat di dalam PKB, mengakhiri semua tindakan gangguan dan intimidasi terhadap pemimpin dan anggota SP-AP1 dan mengembalikan Bapak Arif Islam ke jabatannya semula. 579. Para pemohon karenanya memohon agar: (1) manajemen peruahaan mengembalikan Bapak Arif Islam ke jabatannya semula dan menjamin bahwa ia diberikan kompensasi penuh selama dipecat; (2) pekerja yang diberhentikan sementara waktu dikembalikan ke pekerjaannya sebagaimana mestinya, menjalankan kembali sepenuhnya tugas-tugasnya tanpa halangan dan diberikan kompensasi penuh selama diberhentikan sementara waktu; (3) manajemen kembali bernegosiasi dengan niat baik dan mengambil langkah-langkah untuk menjalankan PKB dan perjanjian bersama tertanggal 6 Maret 2008; (4) manajemen menahan diri dari melakukan semua campur tangan di dalam urusan SPAP1, termasuk tindakan intimidasi dan usaha-usaha melemahkan anggota dan kekuatan tawar serikat pekerja ini; dan (5) manajemen perusahaan dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara mematuhi rekomendasi Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Komisi IX DPR dan Badan Ketenagakerjaan dan Sosial Pemerintah Kota Balikpapan. 580. Di dalam komunikasi tertanggal 19 Oktober 2009, para pemohon menyerahkan rekomendasi Komnas HAM terkait kasus ini yang menegaskan permohonannya. B. Tanggapan Pemerintah 581. Di dalam komunikasi tertanggal 29 Oktober 2009, Pemerintah memberitahukan bahwa Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah melakukan beberapa pertemuan untuk mendapatkan informasi dari perusahaan (PT (Persero) Angkasa Pura 1) terkait Kasus No. 2735. 1. Menolak melaksanakan sepenuhnya perjanjian kerja bersama yang dinegosiasikan dengan serikat pekerja untuk periode 2005-07 dan berusaha secara sepihak mengubah kandungannya 582. Menurut pandangan Pemerintah, PT (Persero) Angkasa Pura 1 telah melaksanakan PKB untuk periode 2005-07, dengan pengecualian tiga pasal: – Pasal 38(2)(a) – Menurut Pemerintah, pasal ini yang merujuk ke skala gaji pegawai negeri sipil, tak dapat dilaksanakan oleh perusahaan karena ia adalah perusahaan milik negara (Badan Usaha Milik Negara – BUMN) dan karenanya terikat untuk menaati semua peraturan perusahaan milik negara, termasuk Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 2005 mengenai pendirian, manajemen, pemeriksaan dan pemberhentian perusahaan milik negara. Pasal 95(2) peraturan itu menjelaskan bahwa aturan-aturan tentang pegawai negeri sipil, termasuk struktur kepangkatan dan eselon, tak dapat diterapkan pada perusahaan milik negara. – Pasal 66(4) – Pasal mengenai tunjangan kesehatan bagi pensiunan ini menjelaskan bahwa besar tunjangan diatur dan ditetapkan oleh pengusaha. Pemerintah menunjukkan bahwa, sekalipun tak ada keputusan pengusaha terkait isu ini selama PKB 2005-07, perusahaan telah mengeluarkan Keputusan Dewan Direksi No. AP.I.164/KU.170/2003/DU-B tertanggal 27 January 2003 mengenai asuransi kesehatan bagi pensiunan dan No. AP.I.2621/KP.170/2005/DU-B tertanggal 6 September 2005 mengenai program tunjangan kesehatan bagi pensiunan. Kedua keputusan tersebut menyatakan bahwa pensiunan yang bernaung di dalam Yayasan Kesehatan Pensiun berhak mendapatkan jaminan kesehatan maksimal 12.500.000 rupiah per orang/per tahun. – Pasal 66(4) – Pasal ini menetapkan bahwa dana bagi Program Tunjangan Kesehatan bagi pensiunan berasal dari kontribusi iuran pekerja dan perusahaan. Pensiunan yang telah membayar iuran selama masa bekerja ditanggung oleh program ini, tapi mereka yang tak membayar iuran tak berhak terhadap manfaat ini. SP-AP1 menyatakan bahwa semua pensiunan, tanpa memerhatikan apakah mereka membayar iuran bagi program ini, berhak mendapatkan manfaat dari program ini. 583. 2. Pemerintah menyatakan bahwa, sesuai dengan Undang-Undang No. 2 tahun 2004 mengenai penyelesaian perselisihan hubungan industrial, bila satu pihak tak mampu memenuhi perjanjian ini, pihak tersebut dapat mengajukan banding ke Pengadilan Hubungan Industrial. Menyebabkan penundaan yang tak beralasan penyelesaian persidangan arbitrase yang ditujukan untuk menyelesaikan perselisihan 584. 585. Pemerintah menunjukkan bahwa perselisihan antara SP-AP1 dan PT (Persero) Angkasa Pura 1 tak terselesaikan melalui persidangan arbitrase, dan bahwa Pemerintah telah mengambil beberapa tindakan untuk memfasilitasi penyelesaian perselisihan tersebut. Misalnya, pada tanggal 17 Januari 2008, Pemerintah membentuk sebuah tim inspektur ketenagakerjaan dan mediator untuk memecahkan perselisihan ketenagakerjaan di perusahaan ini. Tim tersebut mendatangi perusahaan dan memberikan masukan kepada kedua belah pihak untuk menyelesaikan perselisihan melalui dialog konsultatif biparti, sesuai dengan prosedur di dalam UU No. 2 tahun 2004. Selain itu, menindaklanjuti keluhan yang diajukan ke Pemerintah oleh SP-AP1 pada tanggal 29 Februari 2008, Pemerintah mengundang kedua belah pihak pada tanggal 6 Maret 208 untuk memberikan penjelasan atas hasil dialog konsultatif biparti. Di pertemuan itu, dicapai sebuah kesepakatan, yang menyatakan bahwa: – dalam 30 hari, kedua belah pihak harus melaksanakan perjanjian yang terkait dengan penyediaan fasilitas kerja, misalnya rawat inap di rumah sakit dan perjalanan dinas; tunjangan pensiun, tunjangan pensiun bagi pekerja baru; skema pensiun untuk pekerja baru; upah lembur untuk pekerja operasional. – sebuah negosiasi yang terpisah akan dilaksanakan terkait dengan: penyesuaian upah dasar bagi pekerja; program layanan kesehatan bagi pensiunan; tunjangan bagi Sekretarus Komite Tim Penegak Disiplin Pegawai Negeri Sipil; dan – pemindahan kerja terhadap Ibu Sulistyani dan Ibu Asnawat (anggota pengurus harian serikat pekerja ini) akan dibatalkan. Selanjutnya, Pemerintah mengundang kedua belah pihak pada tanggal 17 April 2008 untuk menjelaskan pelaksanaan perjanjian yang ditandatangani pada 6 Maret 2008. Pemerintah menunjukkan bahwa, sampai saat ini, perjanjian tersebut telah dilaksanakan sehubungan dengan: rawat inap di rumah sakit dan perjalanan dinas di dalam Keputusan Dewan Direksi No. KEP.34/KP.30/2008 tanggal 17 April 2008; skema pensiun bagi pegawai baru di dalam Memo Resmi No. DDAP.25/KP.30.6/2008-B tanggal 18 Januari 2008; upah lembur untuk pekerja operasional di dalam Surat Edaran Direktur Utama No. ED.13/KP.10.9/2008-DU tanggal 17 April 2008; dan pembatalan pemindahan Ibu Sulistyani dan Ibu Asnawati 3.Intimidasi dan gangguan terhadap pekerja yang memprotes penolakan pelaksanaan PKB secara penuh 586. Pemerintah menekankan bahwa fungsinya adalah selalu untuk melindungi hak-hak pekerja, artinya, mendesak kedua belah pihak untuk segera menyelesaikan perselisihan mereka melalui negosiasi biparti, sebagaimana dibuktikan oleh surat-surat yang berikut yang dikirim ke kedua belah pihak: 4. – surat No. 560/1045/Disnaker.4/2008 tertanggal 5 May 2008 mengenai negosiasi biparti yang dikirim oleh Kepala Badan Ketenagakerjaan Balikpapan; – surat No. 260/PHIJSKA/IH/2008 tertanggal 25 Agustus 2008 mengenai nasihat terkait penyelesaian perselisihan PT (Persero) Angkasa Pura 1 yang dikirim oleh Direktur Jenderal Pengembangan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja; – surat No. 97/PHIJSK/VIII/2009 tertanggal 5 Maret 2009 mengenai upah Bapak Arif Islam yang dikirim oleh Direktur Jenderal Pengembangan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja; dan – surat No. B.58/PHIJSK/PPHI/III/2009 tertanggal 6 Maret 2009 mengenai “pembayaran upah dan pemenuhan hak-hak lainnya yang secara regular diterima oleh pekerja yang diberhentikan sementara waktu”, dikirim oleh Direktur Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) atas nama Direktur Jenderal Pengembangan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja; Pemecatan dan pemberhentian sementara waktu terhadap pekerja yang ambil bagian dalam aksi mogok kerja yang sah 587. Pemerintah menyatakan bahwa PT (Persero) Angkasa Pura 1 tidak memecat tujuh pekerja yang melanggar PKB tap hanya memberikan mereka hukuman pendisiplinan dalam bentuk pemberhentian sementara selama tiga bulan, sejak 7 May 2008 sampai 6 Agustus 2008. 588. Pemerintah menunjukkan bahwa pekerja tersebut telah melanggar pasal-pasal PKB yang berikut: 589. – Pasal 84, bagian Kewajiban, poin 2 merujuk ke memberikan prioritas pada kepentingan Negara/lembaga di atas kepentingan kelompok, dan menghindari segala sesuatu yang bertentangan dengan kepentingan Negara/lembaga dan dapat menguntungkan kepentingan kelompok tertentu. – Pasal 84, bagian Larangan, poin 19 merujuk ke melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengganggu hukum dan ketertiban dan menyebabkan terciptanya lingkungan kerja yang tak kondusif – Pasal 84, bagian Larangan, poin 23 merujuk ke penolakan atau tidak melaksanakan perintah resmi dari atasan. – Pasal 99(3) menjelaskan bahwa pegawai negeri sipil yang sedang membantu perusahaan didapati melanggar undang-undang dan peraturan perusahaan harus diberhentikan dari tugasnya dan dikembalikan ke lembaga asalnya. Pemerintah selanjutnya melaporkan bahwa tujuh pekerja yang diberhentikan sementara waktu telah dikembalikan ke posisinya sejak 7 Agustus 2008. 5. Mendrikan atau secara aktif mendorong pendirian serikat pekerja yang dikendalikan perusahaan atau “kuning” dengan tujuan tunggal mengecualikan serikat pekerja PT (Persero) Angkasa Pura 1 sebagai serikat pekerja yang mewakili pekerja PT (Persero) Angkasa Pura 1 590. 6. Pemerintah menegaskan kembali komitmennya sebagai Anggota ILO melindungi hak-hak universal pekerja, sebagaimana dinyatakan di dalam delapan Konvensi Inti ILO yang diratifikasi oleh Indonesia. Sehubungan dengan Konvensi ILO No. 87, konvensi ini telah diundang-undangkan oleh Pemerintah melalui UU No. 21 tahun 2000 mengenai serikat pekerja. Pemerintah jaga memperbarui komitmennya melindungi kehendak bebas pekerja tanpa tekanan atau intervensi dari pengusaha, Pemerintah, partai politik atau pihak-pihak lainnya. Sesuai UU No. 21 tahun 2000 dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 16/MEN/2001 mengenai prosedur pencatatan serikat pekerja, di mana Pemerintah harus menerima pendaftaran semua pendirian serikat pekerja di Indonesia, Pemerintah menyatakan bahwa ia tak pernah terlibat secara langsung maupun tak langsung di dalam pendirian serikat pekerja. Secara aktif mendorong pekerja untuk mengundurkan diri dari SP-AP1 dan bergabung dengan serikat pekerja yang baru 591. Pemerintah menyatakan kembali bahwa ia menegakkan hak-hak pekerja, sesuai dengan Konvensi ILO No. 87 yang telah diratifikasi, yang diundang-undangkan melalui UU No. 21 tahun 2000 mengenai serikat pekerja. Berdasarkan UU ini, semua pekerja berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja, dan menjadi pengurus serikat pekerja menurut pilihannya tanpa tekanan atau intervensi apapun dari pihak manapun. Pemerintah menyatakan kembali bahwa, sesuai dengan UU No. 21 tahun 2000 dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 16/MEN/2001, ia tak pernah terlibat secara langsung maupun ta langsung di dalam pendirian serikat pekerja. 592. Merujuk ke permohonan pemohon, Pemerintah melakukan pengamatan yang berikut: (a) Permohonan agar manajemen perusahaan mengembalikan Bapak Arif Islam ke posisinya semula dan menjamin agar ia mendapatkan kompensasi penuh selama dipecat 593. Pemerintah menunjukkan bahwa Bapak Arif Islam adalah pegawai negeri sipil Kementerian Transportasi. Menurut Peraturan No. SK991 tanggal 7 Januari 2001 yang dikeluarkan Kementerian ini, ia ditugaskan ke PT (Persero) Angkasa Pura 1 sebagai teknisi yang bertanggung jawab terhadap keselamatan dan keamanan penerbangan, untuk membantu di menara kontrol sebagai pengendali lalu lintas udara di Bandara Udara Sepinggan, Balikpapan, Kalimantan Timur. Menurut Keputusan Menteri Transportasi No. SK. 613 tanggal 8 Oktober 2008, Bapak Arif Islam dipecat dari perusahaan dan dikembalikan ke posisinya semula di Kementerian ini per 1 Juli 2008; hak-haknya sebagai pegawai negeri sipil dipulihkan berdasarkan peraturan Kementerian ini. Pemerintah menyatakan bahwa perusahaan telah menyiapkan tanda terima kasih yang berikut kepada Bapak Arif Islam tapi beliau tak pernah mau menerimanya: pesangon; tunjangan perumahan; tunjangan pensiun berdasarkan jasa-jasanya kepada perusahaan; dan jaminan social pekerja. Menurut Surat Instruksi No. Print/323/XII/2008 tanggal 9 Desember 2008 Sekretaris Direktorat Jenderal Transportasi Udara, Bapak Arif Islam ditugaskan ke Bandara Udara Berau, Kalimantan Timur per 5 September 2009. Menurut Pemerintah, sayangnya beliau tak pernah bekerja di sana. (b) Permohonan agar pekerja yang diberhentikan sementara waktu dikembalikan ke pekerjaannya sebagai mestinya, memulai kembali sepenuhnya tugas-tugas mereka tanpa halangan dan diberikan kompensasi penuh selama diberhentikan sementara waktu 594. Pemerintah menyatakan kembali bahwa pekerja yang bersangkutan (Ibu Asnawati; Ibu Sri Rejeki; Bapak Florentinus Subandi; Ibu Sulistyani, SE; Ibu Milda, SH; Bapak Efendi Sulistiono) tidak diberhentikan tapi diberikan hukuman pendisiplinan dalam bentuk pemberhentian sementara waktu selama tiga bulan dari 7 May hingga 6 Agustus 2008, dikarenakan pelanggaran mereka terhadap pasal 84, bagian Larangan, poin 23; dan pasal 99(3) sebagaimana dijelaskan di atas. Tujuh pekerja yang disebutkan dikembalikan ke jabaannya sejak 7 Agustus 2008. Menurut Pemerintah, selama pemberhentian sementara waktu, upah dasar dan tunjangan tetap para pekerja tersebut tetap dibayarkan, sementara tunjangan tak tetap yang tergantung pada kehadiran mereka tak diberikan. Menurut Pemerintah, ini sesuai dengan Keputusan Dewan Direksi perusahaan No. Kep.43/KP.00.8/2008 mengenai peraturan kerja, yang menyatakan bahwa mereka yang melanggar peraturan tersebut akan dikenai hukuman dengan hanya menerima upah, tanpa insentif atau tunjangan. (c) Permohonan agar manajemen kembali bernegosiasi dengan niat baik dan mengambil langkahlangkah untuk melaksanakan PKB dan Perjanjian Bersama tanggal 6 Maret 2008 595. Pemerintah melaporkan bahwa pada tanggal 17 April 2008, Direktur Jenderal Pengembangan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengambil tindakan berhati-hati dengan mengundang manajemen perusahaan dan SP-AP1 untuk menjelaskan pelaksanaan perjanjian tanggal 6 Maret 2008. Pemerintah menunjukkan bahwa perusahaan belum melaksanakan tiga poin perjanjian bersama tanggal 6 Maret 2008 tersebut, sebagai berikut: penyesuaian peningkatan upah dasar sesuai dengan skala gaji pegawai negeri sipil; skema kesehatan bagi pensiunan; dan skema pensiun bagi pegawai. Seperti disebutkan di atas, penyesuaian upah dasar tak dapat dilaksanakan dikarenakan pasal 95(2) Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 2005 dan status PT (Persero) Angkasa Pura 1 sebagai BUMN. Dalam kaitan ini, Pemerintah memberitahukan bahwa manajemen perusahaan telah melakukan banding melalui Pengadilan Hubungan Industrial di Jakarta, yang sayangnya ditolak karena perusahaan tak mampu memberikan yang pengadilan prosedur judicial yang dibutuhkan. Akibatnya, perusahaan membuat banding kembali ke Mahkamah Agung untuk penghentian kasus (masih dalam proses). (d) Permohonan agar manajemen menahan diri dari semua tindakan campur tangan di dalam urusan SP-AP1, termasuk tindakan intimidasi dan upaya-upaya melemahkan keanggotaan dan kekuatan tawar serikat pekerja ini 596. Pemerintah menegaskan kembali komitmennya sebagai Anggota ILO melindungi hak-hak universal pekerja, komitmen yang diilustrasikan dengan ratifikasi kesemua delapan Konvensi inti ILO. Konvensi ILO No. 87 diundang-undangkan melalui UU No. 21 tahun 2000 mengenai serikat pekerja. Pemerintah kembali menyatakan bahwa, sesuai dengan perundangundangan nasional, ia tak pernah terlibat secara langsung maupun tak langsung di dalam pendirian serikat pekerja. (e) Permohonan agar manajemen perusahaan dan Kementerian BUMN menaati rekomendasi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Komisi IX DPR dan Badan Ketenagakerjaan dan Sosial Pemerintah Kota Balikpapan. 597. C. Menurut Pemerintah, berbagai entitas Pemerintah Indonesia, misalnya Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Transportasi, Komisi IX DPR, Kantor Dinas Tenaga Kerja Jakarta Pusat dan Badan Ketenagakerjaan dan Sosial Pemerintah Kota Balikpapan, konsisten memfasilitasi penyelesaian perselisihan ketenagakerjaan di PT (Persero) Angkasa Pura 1 sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku. Surat No. /PHIJSK/PPHI/V/2008 tanggal 5 May 2008 dari Direktur Jenderal Pengembangan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja menekankan bahwa perusahaan seharusnya menyelesaikan perselisihan dengan SP-AP1 sesegera mungkin. Kesimpulan Komite 598. Komite mencatat bahwa, dalam kasus yang sekarang, pemohon menuduhkan beberapa pelanggaran terhadap kebebasan berserikat yang dilakukan BUMN PT (Persero) Angkasa Pura 1, termasuk yang berikut: (1) menolak melaksanakan PKB sepenuhnya yang dirundingkan bersama serikat pekerja yang dimaksud untuk periode 2005-07 dan berusaha secara sepihak mengubah ketentuan-ketentuan di dalamnya; (2) menyebabkan penundaan yang tak beralasan penyelesaian sidang-sidang arbitrase yang ditujukan untuk menyelesaikan perselisihan; (3) mengintimidasi dan mengganggu pekerja yang memprotes penolakan pelaksanaan PKB sepenuhnya; (4) memecat dan memberhentikan sementara waktu pekerja yang ambil bagian di dalam aksi mogok kerja yang sah; dan (5) mendirikan atau secara aktif mendorong pendirian serikat pekerja baru yang dikendalikan perusahaan untuk tujuan mengecualikan SP-AP1 sebagai serikat pekerja perwakilan pekerja. 599. Komite mencatat baha indikasi pemerintah bahwa Kementerian Tenaga Kerja dan transmigrasi telah melaksanakan beberapa pertemuan untuk mengumpulkan informasi dari perusahaan terkait kasus ini. Komite mencatat bahwa SP-AP1 dan manajemen menyepakati di tahun 2005 sebuah perjanjian bersama, yang, berdasarkan tuduhan, tidak dilaksanakan sepenuhnya oleh perusahaan. Dalam kaitan ini, pemohon merujuk khususnya ke pasal 38(2)(a) mengenai penautan gaji ke skala gaji pegawai negeri sipil, 65(2) mengenai pensiun dan 66(1), (2) dan (4) mengenai asuransi dan tunjangan kesehatan pensiun, sementara Pemerintah hanya menyebutkan pasal-pasal 38(2)(a) dan 66(4). Komite mencatat bahwa, menurut Pemerintah, pasal 38(2)(a) mengenai skala gaji pegawai negeri sipil tak dapat dilaksanakan oleh perusahaan, karena ia adalah BUMN dan karenanya terikat untuk menaati pasal 95(2) Peraturan PemerintahNo. 45 tahun 2005, yang menjelaskan bahwa peraturan-peraturan mengenai pegawai negeri sipil, termasuk kepangkatan dan struktur eselon, tak dapat diterapkan pada BUMN. 600. Komite mencatat bahwa pernyataan Pemerintah bahwa Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah campur tangan secara konstruktif memfasilitasi penyelesaian perselisihan dengan membentuk tim inspektur ketenagakerjaan dan mediator serta mengundang kedua belah pihak untuk menghadiri beberapa pertemuan. Menurut pemohon, tim tersebut merekomendasikan ketaatan sepenuhnya terhadap PKB tapi rekomendasinya diabaikan oleh perusahaan, Pemerintah menunjukkan bahwa tim tersebut memberikan masukan kepada kedua belah pihak untuk menyelesaikan perselisihan melalui dialog konsultatif biparti. Komite juga mencatat bahwa Pemerintah memediasikan pertemuan lainnya pada tanggal 6 MAret 2008 untuk mengklarifikasi hasil-hasil dari dialog yang direkomendasikan. Hasilnya, perjanjian bersama ditandatangani, di mana kedua belah pihak menyepakati, antara lain, syarat-syarat terkait tunjangan pensiun, program dana pensiun untuk pegawai baru dan jam dan upah lembur untuk staf operasional yang harus dilaksanakan dalam 30 hari; dan negosiasi terpisah yang harus dilaksanakan tentang penyesuaian gaji pegawai selaras dengan PKB dan program-program jaminan kesehatan untuk pensiunan. Selanjutnya, Komite mencatat bahwa Pemerintah telah mengundang kedua belah pihak pada tanggal 17 April 2008 untuk menilai kemajuan yang dibuat terkait pelaksanaan perjanjian yang ditandatangani pada 6 MAret 2008. Kendati pemohon mengindikasikan bahwa, dikarenakan kurangnya kemajuan, pertemuan seanjutnya dilaksanakan pada tanggal 21 April 2008, di mana kedua belah pihak menyatakan negosiasi mengenai bagian-bagian PKB dan perjanjian bersama yang dimaksud gagal, Pemerintah mencatat bahwa perjanjian tersebut dilaksanakan sebagiannya oleh perusahaan, artinya dengan pengecualian terhadap tiga poin yang berikut: penyesuaian peningkatan upah dasar sesuai skala gaji pegawai negeri sipil; skema kesehatan bagi pensiunan dan skema pensiun untuk pegawai. Akhirnya, Komite mencatat bahwa pada tanggal 13 Oktober 2008 perusahaan mengajukan banding ke Pengadlan Hubungan Industrial untuk menuntut agar pasal 38(2)(a) PKB dinyatakan batal dan tidak berlaku karena bertentangan dengan perundang-undangan yang ada, dan bahwa, sebagai tanggapannya, serikat pekerja Angkasa Pura 1 mengajukan tuntutan balik untuk kerugian yang dialami akibat tidak dilaksanakannya PKB oleh perusahaan. Komite mencatat dari keputusannya tertanggal 24 Maret 2009 bahwa Pengadilan Hubungan Industrial menolak tuntutan perusahaan dengan alasan procedural. Pemerintah melaporkan bahwa perusahaan selanjutnya mengajukan banding untuk penghentian kasus kepada Mahkamah Agung, yang masih berlangsung. 601. Komite ingat bahwa dirinya sebelum ini memiliki kesempatan untuk menelaah pertanyaanpertanyaan terkait tidak dilaksanakannya perjanjian kerja bersama. Dalam batasan ini, Komite menegaskan kembali bahwa perjanjian tersebut seharusnya mengikat kedua belah pihak, dan bahwa kegagalan melaksanakan perjanjian kerja bersama, bahkan untuk sementara waktu, melanggar hak berunding bersama, dan juga prinsip berunding dengan iktikad baik [lihat Digest of decisions and principles of the Fredom of Association Committee, edisi kelima, 2006, paragraf 939 dan 943]. Sehubungan dengan pertanyaan tentang pertautan gaji dengan skala gaji pegawai negeri sipil di BUMN yang mempekerjakan pegawai negeri sipil, Komite berpendapat bahwa pasal ini adalah bagian dari PKB yang disepakati secara sukarela dan alasan Pemerintah untuk menolak ketentuan ini tetap tidak jelas. 602. Mengingat bahwa perjanjian-perjanjian yang dimaksud seharusnya mengikat kedua belah pihak, Komite berharap semua perselisihan yang masih ada terkait dengan pelaksanaan PKB yang berlaku akan diselesaikan segera di masa depan dan meminta Pemerintah untuk terus memberikan informasi akan hal ini. Memerhatikan bahwa, berdasarkan perjanjian bersama tertanggal 6 Maret 2008, negosiasi terpisah harus dilaksanakan untuk membahas tiga hal yang telah disebutkan termasuk penyesuaian gaji pegawai selaras dengan PKB, dan menyambut berbagai usaha yang telah dilakukan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk mendamaikan kedua belah pihak, Komite meminta Pemerintah untuk terus mengambil langkah-langkah aktif untuk menengahi kedua belah pihak guna memfasilitasi penyelesaian yang lebih cepat perselisihan di antara BUMN PT (Persero) Angkasa Pura 1 dan SP-AP1. Komite berharap untuk terus diberikan informasi kemajuan yang dicapai terkait hal tersebut. Komite juga meminta Pemerintah untuk terus memberikan informasi hasil akhir prosedur judicial dihadapan Mahkamah Agung terkait pertanyaan tentang gaji dan mengomunikasikan naskah keputusannya setelah diputuskan. 603. Sehubungan dengan tuduhan terkait tindakan diskriminasi anti-serikat pekerja, Komite mencatat bahwa, pada tanggal 7 May 2008, peruahaan menjatuhkan hukuman pendisiplinan setelah aksi pemogokkan kerja dengan (1) memecat Bapak Arif Islam, Ketua SP-AP1 Cabang Sepinggan; dan (2) memberhentikan sementara waktu tujuh pemimpin SPAP1 lainnya: Ibu Sulistiyani, Sekretaris Umum; Ibu Sri Rejeki, Ketua Sumber Daya Manusia dan Pengembangan; Ibu Milda, Ketua Bidang Hukum; Ibu Asnawaty, Bendahara Umum; Bapak Trijono, Ketua cabang kantor pusat; Bapak Effendy Sulistiono, Sekretaris cabang kantor pusat; dan Bapak Florentinus SUbandi, Koordinator Lapangan Cabang Kantor Pusat. 604. Komite mengamati bahwa kedua belah pihak memiliki pandangan yang berbeda sehubungan dengan keabsahan aksi mogok kerja pada tanggal 7 dan 8 May 2008. Menurut Pemohon, pemogokkan tersebuh sah adanya, karena kedua belah pihak telah menyatakan di dalam pertemuan tanggal 21 April 2008 bahwa negosiasi gagal dikarenakan kurang terdapat kemajuan dan penolakan berkelanjutan dari manajemen untuk menaati syaratsyarat di dalam PKB dan perjanjian bersama, dan SP-AP1 telah memberikan pemberitahuan mogok kerja pada tanggal 25 April 2008, mengirimkan surat kepada para anggotanya untuk memberitahukan mereka tata cara melakukan aksi mogok kerja dan mengarahkan agar layanan yang mendasar, termasuk staf control lalu lintas udara, tidak dilibatkan di dalam aksi mogok kerja tersebut. Di sisi lainnya, Komite mencatat bahwa, dalam pandangan Pemerintah, para pekerja yang diberhentikan sementara waktu telah melanggar beberapa pasal PKB, khususnya: 84(a)(2) yang mewajibkan untuk memberikan prioritas bagi kepentingan Negara/lembaga di atas kepentingan kelompok dan menghindari segala sesuatu yang bertentangan dengan kepentingan Negara/lembaga; 84(b)(19) melarang kegiatan yang dapat mengganggu hukum dan ketertiban dan menyebabkan timbulnya lingkungan kerja yang tak kondusif; dan 84(b)(23) melarang menolak atau tidak melaksanakan perintah resmi dari atasan. Komite juga mencatat bahwa perusahaan yang ditegaskan oleh surat tertanggal 5 May 2008, bahwa, di ketiadaan gagal berunding yang dinyatakan secara bilateral, mogok kerja yang direncanakan tersebut adalah tidak sah berdasarkan Surat Keputusan No. KEP.232/MEN/2003 dan pekerja yang mogok kerja akan dikenakan tindakan keras berdasarkan peraturan disiplin perusahaan. Di dalam Surat Keputusan Dewan Direksi No. SKEP.578/KP.80.4/2008, perusahaan telah memberikan alasan untuk memecat Bapak Arif Islam pelanggaran beberapa pasal PKB dan fakta bahwa, berdasarkan Surat Keputusan No. KEP.232/MEN/2003, pemogokkan kerja adalah tiak sah bila dilakukan di dalam perusahaan-perusahaan yang melayani kepentingan public atau di mana bisnis secara langsung berhubungan dengan keselamatan hidup manusia 605. Mencatat bahwa kasus yang sekarang berhubungan dengan aksi mogok kerja di dalam perusahaan milik negara yang melayani kepentingan public dan bahwa pasal-pasal di dalam PKB yang dipandang Pemerintah dan perusahaan dilanggar utamanya berkaitan dengan loyalitas pekerja terhadap Negara/lembaga, Komite secara umum ingin menggarisbawahi bahwa pegawai negeri sipil di dalam perusahaan komersil atau industry milik negara seharusnya memiliki hak untuk melakukan perjanjian kerja bersama, mendapatkan perlindungan yang memadai dari tindakan-tindakan diskriminasi anti-serikat pekerja dan berhak untuk melakukan mogok kerja, asalkan interupsi terhadap layanan tidak membahayakan kehidupan, keselamatan atau kesehatan diri seluruh atau sebagian populasi [lihat Digest, op.cit. paragraf. 577]. Terkait pandangan perusahaan bahwa pemogokkan kerja tersebut adalah tidak sah berdasarkan Surat Keputusan Decree No. KEP.232/MEN/2003, Komite merujuk ke permohonan Komite Pakar untuk mencabut atau mengubah berbagai syarat yang terkandung di dalam prosedur mogok kerja yang ditetapkan di dalam Surat Keputusan tersebut, khususnya mengubah pasal 4 yang menyatakan bahwa temuan terkait apakah negosiasi gagal, yang menjadi syarat untuk melaksanakan mogok kerja yang sah, dapat dilakukan oleh badan independen atau diserahkan pada keputusan unilateral pihak-pihak yang berselisih. Dalam pengertian ini, Komite menganggap keputusan bahwa sebuah mogok kerja adalah tidak sah (dan tindakan disiplin yang timbul setelahnya) seharusnya tidak dasarkan pada ketentuan-ketentuan di dalam perundang-undangan yang di dalam dirinya sendiri tidak sesuai dengan prinsipprinsip kebebasan berserikat. Akhirnya, di kesempatan sebelumnya ketika Komite harus menelaah pertanyaan-pertanyan yang menyentuh keabsahan aksi mogok kerja, Komite berulang kali ingat bahwa tanggung jawab untuk menyatakan sebuah aksi mogok kerja adalah tidak sah seharusnya tak berada di tangan Pemerintah, tapi pada badan independen yang dipercayai oleh kedua belah pihak yang terlibat. Adalah bertentangan dengan kebebasan berserikat bahwa hak menyatakan sebuah mogok kerja di layanan public tidak sah ada pada kepala/ketua lembaga-lembaga public, yang karenanya menjadi hakim dan pihak yang berselisih [lihat Digest, op.cit., paragraf 628 dan 630]. Komite berharap prinsipprinsip di atas dipertimbangkan sepenuhnya oleh pihak-pihak yang terkait di masa depan. 606. Sehubungan dengan pemecatan Bapak Arif Islam setelah aksi mogok kerja, Komite mencatat bahwa tuduhan bahwa Bapak Arif Islam tetap dipecat, dan bahwa perusahaan terus menyangkal pemecatan terhadap dirinya dengan menyatakan bahwa beliau hanya bekerja di sana dikarenakan penugasan tambahan dan penugasan tambahan tersebut segera berakhir. Komite mencatat bahwa Pemerintah tak membantah pemecatan yang dituduhkan tapi menunjukkan bahwa Bapak Arif Islam, yang, dalam kapasitasnya sebagai pegawai negeri sipil Kementerian Transportasi, ditugaskan ke PT (Persero) Angkasa Pura 1 sebagai teknisi yang bertanggung jawab terhadap keselamatan dan keamanan penerbangan untuk membantu di menara kontrol sebagai pengendali lalu lintas udara, dikembalikan ke jabatannya semula sejak 1 Juli 2008 dan hak-haknya sebagai pegawai negeri sipil dipulihkan. Komite selanjutnya mencatat bahwa, berdasarkan Surat Keputusan Dewan Direksi No. SKEP.578/KP.80.4/2008, alasan yang diberikan oleh perusahaan untk memecat Bapak Arif Islam sesunguhnya adalah ketidaksahan mogok kerja yang dituduhkan, dan bahwa direkomendasikan agar beliau kembali ke kementerian tranportasi. Pemerintah juga menyatakan bahwa Bapak Arif Islam tak pernah bersedia menerima ungkapan terima kasih yang ditawarkan perusahaan (tunjangan perumahan; pesangon; tunjangan pensiun berdasarkan jasanya di perusahaan; dan jaminan social tenaga kerja), dan bahwa, berdasarkan surat perintah tertanggal 9 Desember 2008 Sekretaris Direktorat Jenderal Transportasi Udara, Bapak Arif Islam ditugaskan ke Bandara Udara Berau, Kalimantan Timur sejak 5 September 2009, di mana sayangnya beliau tak pernah bekerja ke sana. Dalam kaitan ini, Komite menyerukan bahwa, anggota atau pemimpin serikat pekerja dipecat karena menjalankan hak mogok kerja, ia hanya dapat menyimpulkan bahwa mereka telah dihukum karena kegiatannya berserikat pekerja dan didiskriminasikan [lihat Digest, op.cit., paragraf. 662]. Komite juga mencatat bahwa rekomendasi Komnas HAM untuk mengembalikan Bapak Arif Islam ke jabatannya semula dan petunjuk dari para pemohon [yang tak disangkal oleh Pemerintah] bahwa Kepala Badan Ketenagakerjaan dan Sosial Pemerintah Kota Balikpapan merekomendasikan pada tanggal 4 Juni 2009 pengembalian Bapak Arif Islam ke jabatannya semula oleh perusahaan tanpa kehilangan bayaran, dan bahwa Komisi IX DPR, setelah pertemuan dengan kedua belah pihak, merekomendasikan melalui surat kepada manajemen agar pekerja yang mogok kerja tidak dipecat atau diberikan hukuman. 607. Sekalipun memerhatikan pernyataan Pemerintah bahwa Bapak Arif Islam dikembalikan ke posisi yang sebelumnya beliau emban di PT (Persero) Angkasa Pura 1 dan selanjutnya ditugaskan ke Bandara Udara Berau (Kalimantan Timur), Komite menyatakan keprihatinannya bahwa, menurut para pemohon, beliau tetap dipecat dan bahwa Pemerintah mengakui beliau tak hadir di tempat penugasan barunya. Dalam situasi ini, dan berdasarkan fakta bahwa Bapak Islam dipecat karena melakukan kegiatan serikat pekerja yang sah, Komite meminta Pemerintah untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengembalikan beliau ke posisinya semula yang beliau emban di perusahaan (PT) Persero Angkasa Pura 1 pada saat pemecatan, dengan kompensasi bagi upah dan tunjangan yang hilang, sesuai dengan rekomendasi di atas. Bila, dikarenakan waktu yang berlalu sejak pemecatan dari tugas-tugasnya di perusahaan PT (Persero) Angkasa Pura 1, ditetapkan oleh badan independen yang kompeten bahwa tidak dimungkinkan untuk mengembalikan beliau ke posisinya semula, Komite meminta Pemerintah untuk mengambil langkah-langkah tanpa menunda untuk menelaah bersama Bapak Arif Islam posisi yang tersedia bagi dirinya dan menjamin agar beliau dibayar penuh dan diberikan kompensasi yang memadai yang merepresentaikan sanksi disuasif yang memadai terhadap pemecatan anti-serikat pekerja. 608. Sehubungan dengan pemberhentian sementara waktu anggota/pemimpin serikat pekerja yang mengikuti aksi mogok kerja, Komite mencatat tuduhan bahwa tujuh pegawai telah diberhentikan sementara waktu tanpa bayaran dan pada akhirnya dikembalikan ke jabatannya semula pada September 2008, namun demikian tanpa mendapatkan kompensasi penuh untuk periode diberhentikan sementara waktu. Selanjutnya, menurut para pemohon, mereka diisolasi oleh manajemen, tak diizinkan kembali mengerjakan seluruh tugas-tugasnya (hanya beberapa atau tanpa tugas yang diberikan kepada mereka), dan sering kali ditolak untuk mengakses computer dan jaringan melalui perubahan passwords. Komite mencatat dari tanggapan Pemerintah bahwa ketujuh pekerja tersebut telah dikembalikan ke jabatan semula sejak 7 Agustus 2008 dan bahwa upah dasar dan tunjangan tetap bagi periode diberhentikan sementara waktu telah dibayarkan kepada para pekerja tersebut, yang, menurut Pemerintah, selaras dengan Surat Keputusan Dewan Direksi No. Kep.43/KP.00.8/2008, yang menetapkan bahwa pekerja yang melanggar peraturan akan diberikan hukuman dengan hanya menerima upah tanpa insentif atau tunjangan yang didasarkan kehadiran. Merujuk ke prinsip-prinsip yang digarisbawahi di atas sehubungan dengan isu keabsahan aksi mogok kerja, Komite menyerukan bahwa seseorang seharusnya tak dijatuhi hukuman karena melaksanakan atau mencoba melaksanakan mogok kerja yang sah [lihat Digest, op.cit., paragraf. 660]. Memerhatikan rekomendasi Komisi IX DPR agar pekerja yang mogok kerja tidak dipecat atau diberikan hukuman, surat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tanggal 6 Maret 2009 mengenai pembayaran upah dan pemenuhan hak-hak lainnya yang secara berkala diterima oleh pekerja yang diberhentikan sementara waktu, dan juga rekomendasi Komnas HAM untuk membayarkan upah mereka dan memulihkan hak-hak mereka sebagai pekerja, Komite meminta Pemerintah untuk menjamin bahwa para pekerja tersebut dikembalikan ke jabatannya semula dan memulai kembali tugas-tugas yang diberikan kepada mereka pada saat diberhentikan sementara waktu, di dalam syarat dan ketentuan yang berlaku sebelum aksi mogok kerja, dan dengan kompensasi penuh terhadap hilangnya upah dan tunjangan selama periode pemberhentian sementara waktu. 609. Sehubungan dengan tuduhan gangguan anti-serikat pekerja, Komite mencatat pernyataan para pemohon bahwa manajemen menggunakan taktik kasar untuk mengintimidasi pekerja lain yang ambil bagian di dalam aksi mogok kerja, misalnya: menangkap Bapak Primus H Rahagiar, Ketua SP-AP1 Bandar Udara Frans Kaisepo, Biak; menggunakan kekuatan militer untuk memaksa pekerja di bandara udara tersebut untuk kembali bekerja pada tanggal 7 May 2008; memerintahkan polisi Bandar udara untuk mencegah pemimpin serikat pekerja dari berkomunikasi secara langsung dengan pekerja yang melakukan mogok kerja di Bandara Udara Sepinggan-Balikpapan; dan memaksa pekerja untuk menandatangani surat pernyataan bahwa mereka bersalah ikut serta di dalam aksi mogok kerja. Komite mencatat bahwa Pemerintah membatasi dirinya dengan memberikan tanggapan bahwa fungsinya adalah selalu melindungi hak-hak pekerja, artinya mendesak pihak-pihak yang terkait untuk segera menyelesaikan perselisihan mereka melalui negosiasi bipartite, sebagaimana dibuktikan oleh berbagai surat yang dikirim ke kedua belah pihak. Dalam batasan ini, Komite ingin menekankan bahwa hak-hak organisasi pekerja dan pengusaha hanya dapat dijalankan di dalam iklim yang bebas dari kekerasan, tekanan atau ancaman terhadap pemimpin dan anggota organisasi-organisasi ini, dan pemerintah wajib menjamin prinsip ini dihormati [lihat Digest, op.cit., paragraf. 44]. Selanjutnya, Komite berulang kali menyerukan agar tindakan-tindakan yang merampas anggota dan pemimpin serikat pekerja dari kebebasannya dikarenakan kegiatan serikat pekerja mereka, bahkan di mana mereka sekadar dipanggil atau dipertanyakan untuk jangka waktu singkat, adalah sebuah halangan bagi pelaksanaan hak-hak serikat pekerja [lihat Digest, op.cit., paragraf. 631]. Komite juga mencatat petunjuk para pemohon (yang tak disangkal oleh Pemerintah) bahwa, di dalam kesimpulannya, Komisi IX DPR memerintahkan manajemen untuk menghentikan semua tindakan intimidasi dan balas dendam terhadap SP-AP1 dan anggotanya serta mendesak Direktur Jenderal Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk melaksanakan pemeriksaan terhadap perilaku manajemen selama dan setelah aksi mogok kerja. Komite meminta Pemerintah untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjamin dibentuknya penyelidikan independen tanpa penundaan, untuk mendapatkan penjelasan penuh atas situasi tersebut, menetapkan tanggung jawab, dan bilamana perlu, memberikan sanksi kepada pihak-pihak yang bersalah serta mengeluarkan perintah yang tepat kepada polisi dan militer untuk mencegah berulangnya tindakan-tindakan tersebut di masa depan. Komite mendesak Pemerintah untuk terus memberikan informasi kemajuan yang dicapai terkait hal ini. 610. Akhirnya, sehubungan dengan tuduhan yang terkait dengan taktik pemberangusan serikat pekerja dan intimidasi, Komite mencatat bahwa, menurut para pemohon: (i) pada bulan April 2009, sebuah serikat pekerja baru, Asosiasi Karyawan Angkasa Pura 1 (AKA) didirikan dengan dukungan perusahaan; (ii) manajemen memberikan kepada pekerja formulir pengunduran diri dari SP-AP1 bersamaan dengan formulir pendaftaran keanggotaan AKA; dan (iii) dengan bantuan manajemen, anggota SP-AP1 “disuap” dengan tawaran promosi untuk bergabung dengan serikat pekerja yang baru, diancam dengan relokasi atau pemindahan bila tak bergabung dengan AKA dan tindakan intimidasi lainnya termasuk ancaman, interograsi pendisiplinan dan persidangan kriminal terbuka. Menurut para pemohon, maksudnya adalah melemahkan densitas/kepadatan SP-AP1 untuk menyatakan bahwa serikat pekerja ini tak lagi memiliki wewenang legal untuk melakukan perundingan atas nama anggatonya: akibatnya, SP-AP1 kehilangan hampir 50 persen anggotanya. Komite mencatat bahwa, dalam tanggapannya, Pemerintah membatasi dirinya untuk menegaskan kembali komitmennya sebagai Anggota ILO melindungi hak-hak universal pekerja, komitmen yang diilustrasikan dengan ratifikasi kesemua delapan Konvensi inti ILO, khususnya Konvensi No. 87 sebagaimana diundangkan melalui UU No. 21 tahun 2000 mengenai serikat pekerja; mengindikasikan bahwa di dalam UU tersebut semua pekerja berhak mendirikan serikat pekerja dan menjadi anggota serikat pekerja atau pengurus serikat pekerja yang dipilihnya tanpa tekanan atau campur tangan dari pengusaha, Pemerintah, partai politik, dsb.; dan menyatakan bahwa, sejalan dengan hukum nasional, Pemerintah tak pernah terlibat langsung atau tidak langsung di dalam pendirian serikat pekerja. 611. Saat menelaah tindakan campur tangan pengusaha di kesempatan sebelumnya, Komite berulang kali menyerukan bahwa Pasal 2 Konvensi No. 98 memberikan kemerdekaan sepenuhnya dari pengusaha kepada organsisasi pekerja untuk menjalakan kegiatannya. Sehubungan dengan tuduhan takti anti-serikat pekerja dalam bentuk suap yang ditawarkan kepada anggota serikat pekerja untuk mendorong mereka mengundurkan diri dari serikat pekerja dan pemberian surat pernyataan pengunduran diri kepada pekerja, dan juga upayaupaya yang dituduhkan yang dilakukan untuk menciptakan serikat pekerja boneka, Komite selalu menganggap tindakan semacam itu bertentangan dengan Pasal 2 Konvensi No. 98 yang menyatakan bahwa organisasi pekerja dan pengusaha berhak mendapatkan perlindungan yang memadai terhadap segala tindakan campur tangan oleh satu sama lainnya atau agen-agen satu sama lainnya di dalam pendirian, fungsi atau administrasinya [lihat Digest, op.cit., paragraf 855 dan 858]. Dalam hubungan ini, Komite ingin menekankan bahwa keberadaan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang melarang tindakan campur tangan pemerintah, atau organisasi pekerja dan pengusaha ke dalam urusan masing-masing, tidak memadai bila tak diiringi dengan prosedur efisien untuk menjamin pelaksanaannya [lihat Digest, op.cit., paragraf. 861]. Karenanya, Komite meminta Pemerintah untuk membentuk penyelidikan independen tanpa penundaan guna menjamin agar segala tindakan campur tangan pengusaha diidentifikasi dan diperbaiki, dan, bilamana perlu, agar sanksi disuasif yang memadai diberikan agar tindakan semacam itu tak berulang di masa depan. Komite meminta Pemerintah untuk terus memberikan informasi perkembangan hal ini. Rekomendasi Komite 612. Mengingat kesimpulan sebelumnya, Komite mengundang Governing Body (Pengurus Executive) untuk menyetujui rekomendasi yang berikut: (a) Mengingat bahwa perjanjian seharusnya mengikat kedua belah pihak, Komite mengharapkan semua perselisihan yang masih ada terkait dengan pelaksanaan PKB diselesaikan segera di masa depan. Mengingat bahwa, berdasarkan perjanjian bersama tanggal 6 MAret 2008, negosiasi terpisah akan dilakukan untuk membahas tiga hal yang telah dijelaskan termasuk penyesuaian gaji pegawai sesuai PKB, dan mengingat berbagai upaya yang telah dilakukan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk mendamaikan pihak-pihak yang berselisih, Komite meminta Pemerintah untuk melanjutkan mengambil langkah-langkah aktif untuk menengahi kedua belah pihak guna memfasilitasi penyelesaian cepat perselisihan antara BUMN PT (Persero) Angkasa Pura 1 dan SP-AP1. Komite mengharapkan untuk terus diberikan informasi segala kemajuan yang dicapai sehubungan dengan hal tersebut. Komite juga meminta Pemerintah untuk terus memberikan informasi hasil akhir dari prosedur judisial di Mahkamah Agung terkait pertanyan tentang gaji dan mengomunikasikan naskah keputusannya setalah diserahkan (b) Komite meminta Pemerintah menjamin agar Bapak Arif Islam dikembalikan ke posisinya semula di perusahaan PT (Persero) Angkasa Pura 1 pada saat dipecat, dengan diberikan kompensasi untuk gaji dan tunjangan yang hilang selama dipecat, sesuai dengan rekomendasi yang dibuat oleh Komnas HAM, Komisi IX DPR dan Kepala Badan Ketenagakerjaan dan Sosial Pemerintah Kota Balikpapan. Bila, dikarenakan waktu yang telah berlalu sejak pemecatan dari tugas-tugasnya di perusahaan PT (Persero) Angkasa Pura 1, ditentukan oleh badan independen yang kompeten bahwa tidak dimungkinkan lagi mengembalikan beliau ke jabatannya semula, Komite meminta Pemerintah untuk mengambil langkah-langkah tanpa penundaan untuk meninjau bersama Bapak Arif Islam posisi yang tersedia bagi penugasannya dan menjamin agar beliau diberikan bayaran penuh dan kompensasi yang memadai yang merepresentasikan sanksi disuasif yang memadai terhadap pemecatan anti-serikat pekerja. (c) Komite meminta Pemerintah menjamin agar pekerja yang diberhentikan sementara waktu dikembalikan ke jabatannya semula dan memulai kembali sepenuhnya tugastugas yang diberikan kepada mereka pada saat diberhentikan sementara waktu, di dalam syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang berlaku sebelum mogok kerja, dan dengan kompensasi penuh untuk upah dan tunjangan yang hilang selama periode diberhentikan sementara waktu, sesuai dengan rekomendasi yang dibuat oleh Komnas HAM dan Komisi IX DPR, dan juga surat Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi tertanggal 6 Maret 2009. (d) Sehubungan dengan gangguan anti-serikat pekerja, Komite meminta Pemerintah untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjamin agar penyelidikan independ dibentuk tanpa penundaan guna menjelaskan sepenuhnya situasi tersebut, menentukan tanggung jawab, dan, bilamana perlu, memberikan sanksi kepada pihak-pihak yang bersalah dan mengeluarkan perintah yang tepat kepada polisi dan militer untuk mencegah berulangnya tindakan-tindakan semacan itu di masa depan, sesuai dengan kesimpulan Komisi IX DPR. Komite mendesak Pemerintah untuk terus memberikan informasi kemajuan yang dicapai terkait hal ini. (e) Komite meminta Pemerintah membentuk penyelidikan independen tanpa penundaan untuk menjamin agar segala tindakan campur tangan pengusaha diidentifikasi dan diperbaiki, dan, bilamana perlu, agar sanksi disuasif yang memadai diberikan agar tinakan semacam itu tak berulang di masa depan. Komite meminta Pemerintah untuk terus memberikan informasi perkembangan hal ini.