32 IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengujian Aktivitas Antibakteri Lactobacillus terhadap E. coli Enteropatogenik (EPEC K1.1) Pada pengujian pertama, yaitu kontak antara isolat Lactobacillus 106 cfu/ml dengan EPEC K1.1 105 cfu/ml, dari 19 isolat Lactobacillus yang diujikan hanya terdapat 5 isolat Lactobacillus yang dapat menurunkan jumlah E. coli > 2 log cfu/ml, yaitu isolat L. rhamnosus B16, L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R21, L. rhamnosus R23, dan isolat R25, sedangkan untuk isolat L. rahmnosus R12, L. rhamnosus R26, dan L. rhamnosus B10 jumlah E. coli meningkat hingga lebih dari 105 cfu/ml yaitu meningkat sekitar 1 log cfu/ml. Jika dibandingkan dengan kontrol EPEC dimana isolat EPEC K1.1 ditumbuhkan dalam susu skim 10% tanpa penambahan isolat Lactobacillus, ketiga isolat Lactobacillus tersebut cukup dapat menghambat pertumbuhan E. coli, karena pada kontrol EPEC peningkatan pertumbuhannya hingga sebesar 3,01 log cfu/ml. Untuk 11 isolat Lactobacillus lainnya dapat menghambat pertumbuhan EPEC K1.1, tetapi tidak lebih dari 2 log cfu/ml. Hasil pengujian pertama aktivitas antibakteri Lactobacillus terhadap EPEC K1.1 dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6 Penurunan jumlah EPEC K1.1 oleh 19 isolat Lactobacillus 106 cfu/ml 33 Kelima isolat Lactobacillus yang dapat menurunkan jumlah E. coli sebesar > 2 log cfu/ml dengan konsentrasi Lactobacillus sebesar 106 cfu/ml, yaitu L. rhamnosus B16, L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R21, L. rhamnosus R23, dan isolat R25 diujikan kembali dengan EPEC 105 cfu/ml tetapi dengan konsentrasi Lactobacillus sebesar 108 cfu/ml. Hal ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Lactobacillus dengan konsentrasi 108 cfu/ml terhadap EPEC K1.1. Konsentrasi Lactobacillus yang tinggi ini digunakan dengan pertimbangan bahwa akan terjadi penurunan sejumlah Lactobacillus di dalam saluran pencernaan karena adanya kondisi keasaman lambung dan garam empedu. Berdasarkan penelitian Nuraida et al. (2007) menyatakan bahwa 19 isolat Lactobacillus yang digunakan dalam pengujian tersebut seluruhnya mengalami total penurunan oleh asam lambung dan garam empedu sebesar < 3 log cfu/ml dengan pengujian secara in vitro. Dengan pertimbangan tersebut, diharapkan kelima isolat Lactobacillus (L. rhamnosus B16, L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R21, L. rhamnosus R23, dan isolat R25) dengan 108 cfu/ml maka akan masih terdapat sisa Lactobacillus yang bertahan kurang lebih 105-106 cfu/ml yang masih dapat menurunkan EPEC K1.1 sebesar > 2 log cfu/ml. Hasil pengujian tahap kedua antara kelima isolat Lactobacillus konsentrasi 108 cfu/ml dengan EPEC K1.1 dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar 7 Penurunan jumlah EPEC K1.1 oleh 5 isolat Lactobacillus 108 cfu/ml Dari hasil pengujian dengan menggunakan jumlah Lactobacillus kontak yang lebih besar (108 cfu/ml) terdapat tiga isolat dengan nilai penghambatan 34 tertinggi terhadap EPEC K1.1, yaitu isolat L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R23, dan L. rhamnosus B16. Ketiga isolat tersebut dapat menghasilkan penghambatan terhadap EPEC K1.1 sekitar 3 log cfu/ml. Berdasarkan hasil tersebut diatas maka dipilih 3 isolat Lactobacillus yang akan digunakan dalam pengkajian aktivitas antidiare secara preventif menggunakan hewan percobaan, yaitu L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R23, dan L. rhamnosus B16. Hasil tersebut juga berkorelasi dengan hasil penelitian Nuraida et al. (2007) yang menyatakan bahwa ketiga isolat BAL tersebut memiliki daya penghambatan yang cukup baik terhadap E. coli dengan menggunakan metode difusi agar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat L. rhamnosus R14 menghasilkan diameter penghambatan sebesar 2,8 mm, L. rhamnosus R23 menghasilkan diameter penghambatan sebesar 3,6 mm, dan L. rhamnosus B16 menghasilkan diameter penghambatan sebesar 4,1 mm. Efektifitas penghambatan terhadap mikroba tertentu dapat bersifat menginaktifkan, merusak, atau menghancurkan sel yang berlanjut ke arah kematian. Menurut Pelczar dan Chan (1986), senyawa antimikroba dapat digunakan untuk menghambat pertumbuhan mikroba atau membunuh mikroba dengan mekanisme berupa perusakan dinding sel dengan cara menghambat proses pembentukannya atau menyebabkan lisis pada dinding sel yang sudah terbentuk, dan perubahan permeabilitas membran sitoplasma sehingga terjadi kebocoran nutrisi dari dalam sel. Dengan rusaknya membran sitoplasma akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan atau matinya sel. Ada beberapa senyawa yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat yang bersifat antimikroba, diantaranya adalah asam-asam organik, hidrogen peroksida, dan senyawa protein atau kompleks spesifik yang disebut bakteriosin (Ouwehand & Vesterland 2004). Dalam penelitian ini tidak diidentifikasi jenis senyawa antimikroba yang dihasilkan oleh galur-galur Lactobacillus yang digunakan, tetapi beberapa penelitian telah membuktikan bahwa BAL menghasilkan beberapa senyawa yang menghambat pertumbuhan mikroba. Asam laktat dan asam asetat adalah salah satu senyawa antimikroba yang dihasilkan oleh BAL. Akan tetapi, BAL yang digunakan dalam penelitian ini seluruhnya merupakan Lactobacillus homofermentatif, dimana BAL homofermentatif ini memecah gula terutama 35 menjadi asam laktat sehingga dapat diprediksikan bahwa asam yang dihasilkan oleh Lactobacillus homofermentatif dan diduga memiliki kemampuan sebagai antimikroba adalah asam laktat. Bakteri asam laktat memproduksi asam organik (asam laktat, asam format, dan asam asetat), diasetil, hidrogen peroksida, karbondioksida, dan bakteriosin yang berpotensi untuk menghambat beberapa mikroorganisme lain (Davidson & Hoover 1993). Sebagian besar bakteri asam laktat telah dilaporkan dapat menginaktivasi bakteri patogen serta menghambat pertumbuhan kapang dan beberapa substansi antibakteri telah berhasil diisolasi (Gourama & Bullerman 1995). Asam akan menyebabkan penurunan pH di bawah kisaran pH pertumbuhan bakteri, di mana asam-asam ini dalam bentuk tidak terdisosiasi yang dapat berdifusi secara pesat ke dalam sel mikroba. Menurut Ostling dan Lindgren (1990) asam tidak terdisosiasi akan terurai menjadi anion dan proton, di mana proton (H+) akan masuk ke dalam sel, akibatnya fungsi metabolisme akan terganggu seperti terjadinya pengasaman sitoplasma, penghambatan transfer substrat, sintesis makromolekul, yang secara keseluruhan pertumbuhan bakteri akan dihambat. Salah satu senyawa antimikroba yang dihasilkan BAL adalah bakteriosin yang merupakan senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan pada fase stasioner yaitu rata-rata setelah 24 jam inkubasi. Bakteriosin berperan lebih baik apabila bakteri asam laktat terus-menerus dikonsumsi sehingga mampu melekat pada sel epitelial dan mengkoloni di permukaan usus. Perjalanan makanan maupun bakteri hanya membutuhkan waktu kira-kira 12 jam dari mulut ke rektum, sehingga konsumsi bakteri probiotik harus dilakukan secara rutin setiap hari (Surono 2004). Beberapa jenis bakteriosin yang dihasilkan oleh spesies laktobasili, yaitu L.acidophilus menghasilkan lactatin (Barefoot & Klaenhammer 1983; Muriana & Klaenhammer 1991), L.plantarum menghasilkan plantaricin (Franz et al. 1998), dan L.sake menghasilkan sakacin (Schillinger & Lucke 1989). Menurut Dover et al. (2007), menyatakan bahwa bakteriosin yang dihasilkan oleh Lactobacillus rhamnosus adalah lactocin. 36 B. Penentuan Dosis E. coli Patogenik yang Menyebabkan Tikus Diare Pada uji dosis E. coli enteropatogenik yang menyebabkan diare ini dilakukan pemberian inokulum EPEC K1.1 pada beberapa tingkat dosis sehingga tikus menjadi diare. Kriteria diare tikus dibagi menjadi lima golongan, yaitu: N = feses normal (berbentuk bulat atau lonjong, berwarna hitam, menggelinding, dan keras) TD (1) = tanda diare skor 1 (feses berbentuk bulat atau lonjong, berwarna hitam, menggelinding, agak lembek) TD (2) = tanda diare skor 2 (feses berbentuk bulat atau lonjong, berwarna hitam, tidak menggelinding, lembek) TD (3) = tanda diare skor 3 (feses tidak berbentuk bulat maupun lonjong, berwarna agak kecoklatan, sangat lembek, hingga muncul lendir) TD (4) = tanda diare skor 4 (feses cair tidak berbentuk, berwarna coklat, hingga muncul lendir) Kondisi feses yang dinyatakan diare adalah golongan TD (3) dan TD (4), sedangkan TD (1) dan TD (2) masih dinyatakan feses normal. Gambar golongan kondisi feses dapat dilihat sebagai berikut: N TD (1) TD (2) TD (3) TD (4) Gambar 8 Penggolongan feses berdasarkan kondisi fisik Hasil uji dosis EPEC K1.1 yang dapat menimbulkan diare tanpa menimbulkan kematian dapat dilihat pada Tabel 4 dan Lampiran 3. Pada kelompok tikus yang hanya diberikan larutan fisiologis tanpa intervensi EPEC tidak mengalami diare sama sekali. Pada dosis EPEC K1.1 sebesar 108 cfu dapat menimbulkan diare (tanda diare 3) terhadap empat ekor tikus dari lima ekor tikus anggota pada hari pertama setelah intervensi. Sedangkan pada hari kedua setelah 37 intervensi, hanya terdapat dua ekor tikus yang mengalami diare (tanda diare 3). Salah satu tikus yang diare pada H2 merupakan tikus yang mengalami diare pada H1, hal ini menunjukkan bahwa tikus tersebut belum juga pulih dari efek diare EPEC. Sedangkan satu ekor tikus lagi merupakan tikus yang pada H1 tidak mengalami diare. Hal ini menunjukkan bahwa tikus tersebut memiliki sistem imunitas tubuh yang lebih baik dibandingkan dengan tikus lainnya pada kelompok yang sama, sehingga efek timbulnya diare mengalami penundaan sebagai tanda bahwa EPEC K1.1 membutuhkan waktu yang lama untuk menyebabkan lesi pada sel epitel usus. Selain itu juga dapat disebabkan oleh tingginya jumlah bakteri baik dalam usus sehingga menghalangi intervensi dari EPEC. Pada H3, H4, dan H5 kelima tikus pada kelompok tersebut telah pulih dari efek diare. Tabel 4 Hasil uji dosis EPEC K1.1 yang menyebabkan tikus diare Dosis EPEC K1.1 per hari Kontrol 108 cfu 107cfu 106 cfu Jumlah tikus diare/jumlah seluruh tikus setelah pemberian EPEC K1.1 selama: 1 Hari 2 hari 3 Hari 4 Hari 5 hari 0/5 0/5 0/5 0/5 0/5 4/5 2/5 0/5 0/5 0/5 2/5 0/5 1/5 0/5 2/5 0/5 1/5 3/5 2/5 1/5 Pada kelompok tikus yang diintervensi dengan EPEC K1.1 dengan dosis 107 cfu tampak terdapat dua ekor tikus dari lima ekor tikus yang mengalami diare, dimana tikus C2 mengalami tanda diare 3, sedangkan tikus C5 mengalami tanda diare 4. Akan tetapi, pada H2 kedua tikus tersebut telah sembuh dari diare. Sedangkan pada H3 terdapat satu ekor tikus yang mengalami diare, yaitu tikus C4 dengan tanda diare 4 dan pada H4 tikus tersebut juga telah pulih dari diare. Pada H5 terdapat dua ekor tikus yang mengalami diare, yaitu tikus C1 dengan tanda diare 3 dan tikus C3 dengan tanda diare 3 yang dilapisi dengan lendir. Lambatnya efek EPEC K1.1 terhadap munculnya diare pada tikus dapat disebabkan karena jumlah EPEC yang lebih rendah sehingga kemampuan EPEC untuk menyebabkan lesi pada sel epitel usus lebih lambat. Pada kelompok tikus yang diintervensi dengan EPEC K1.1 dosis 106 cfu tidak ada satupun tikus yang mengalami diare pada H1, tetapi pada H2 terdapat 38 satu ekor tikus yang mengalami diare, yaitu tikus D3 yang mengalami tanda diare 3 dan pada H3 tikus tersebut telah pulih dari diare. Akan tetapi, pada H3 tersebut terdapat tiga ekor tikus yang mengalami diare, yaitu tikus D2 dengan tanda diare 4, tikus D4 dengan tanda diare 4, dan tikus D5 dengan tanda diare 3. Pada H4, tikus D2 dan D4 belum pulih dari diare meskipun gejala diare telah berkurang menjadi tanda diare 3, sedangkan tikus D3 telah pulih dari diare. Pada H5, tikus D2 belum juga pulih dari diare, sedangkan tikus D4 dan D5 telah pulih dari diare. Seperti halnya pada kelompok sebelumnya, pada kelompok ini efek timbulnya diare juga lebih lambat dibandingkan dengan kelompok tikus yang diintervensi dengan EPEC K1.1 dengan dosis 108 cfu. Hal ini bertentangan dengan penelitian Bhunia dan Wampler (2005) yang menyatakan bahwa pemberian EPEC dengan dosis 106 cfu/ml menunjukkan difusi adhesi sebagian pada sel epitelial usus dan menunjukkan A/E lession dalam 24 jam. Pada penelitian ini efek tercepat yang menimbulkan diare pada tikus adalah dosis EPEC sebesar 108 cfu. Hal ini disebabkan karena tikus yang digunakan pada penelitian ini bukanlah kelompok gnotobiotik, yaitu kelompok hewan percobaan yang tubuhnya tidak mengandung organisme atau mikroorganisme (germ free) dan hewan percobaan yang tubuhnya mengandung satu atau lebih organisme yang diketahui spesiesnya (Malole & Pramono 1989). Akan tetapi, tikus yang digunakan dalam penelitian ini adalah hewan kelompok konvensional yang dipelihara dengan cara aseptis untuk menghindari kontaminasi mikroorganisme lain, sehingga kemungkinan di dalam saluran pencernaan tikus sudah pernah terinfeksi EPEC dan memicu sistem imun spesifik. Sebelumnya diduga akan terjadi penurunan berat badan tikus percobaan selama diare, akan tetapi selama uji coba dosis EPEC K1.1 diketahui bahwa berat badan tikus masih meningkat selama pengujian. Diare yang dialami tikus memang tidak mengakibatkan tikus kekurangan cairan terlalu banyak, feses tikus yang diare tidak sampai menjadi cair, tetapi hanya lembek, berukuran lebih besar, dan berwarna lebih pucat. Grafik pertambahan berat badan tikus selama pengujian dapat dilihat pada Gambar 9. Kebanyakan pasien diare yang disebabkan oleh infeksi EPEC mengalami gejala ringan yang terdiri dari diare cair, mual, dan kejang abdomen. Lamanya 39 penyakit ini rata-rata 5 hari. Demam timbul pada kurang dari 1/3 pasien. Feses berlendir tetapi sangat jarang terdapat sel darah merah atau sel darah putih (Zein et al. 2004). Gambar 9 Pertambahan berat badan tikus selama pengujian dosis EPEC K1.1 yang menyebabkan tikus diare Akan tetapi, efek diare oleh EPEC K1.1 pada pengujian dosis ini sedikit menurunkan tingkat konsumsi ransum tikus meski tidak terlalu signifikan (cenderung stabil) (Gambar 10). Berkurangnya tingkat konsumsi ransum tikus dapat disebabkan oleh timbulnya stress pada tikus ketika dilakukan penyondean isolat EPEC K1.1. Akan tetapi, hal ini tidak berpengaruh terhadap berat badan tikus (berat badan tikus tetap meningkat). Dilihat dari tingkat keparahan diare yang ditimbulkan dan waktu yang diperlukan untuk munculnya gejala diare tersebut maka disimpulkan bahwa dosis EPEC K1.1 yang dapat menimbulkan diare tanpa menimbulkan kematian adalah EPEC K1.1 dengan dosis 108 cfu. Sehingga dosis ini digunakan dalam pengujian aktivitas antidiare dengan menggunakan tikus percobaan. 40 Gambar 10 Jumlah ransum yang dikonsumsi tikus selama pengujian dosis EPEC K1.1 yang menyebabkan diare C. Pengujian Aktivitas Antidiare Isolat Lactobacillus Asal ASI 1. Pengaruh Intervensi Isolat Lactobacillus terhadap Kejadian Diare Akibat Infeksi EPEC K1.1 Pengaruh intervensi isolat Lactobacillus terhadap kejadian diare akibat infeksi EPEC K1.1 dapat dilihat pada Tabel 5 dan Lampiran 4. Dari hasil pengujian pengaruh intervensi isolat Lactobacillus terhadap kejadian diare akibat infeksi EPEC K1.1 diperoleh bahwa pada kelompok tikus yang hanya diberikan larutan fisiologis (kontrol negatif) tidak terdapat satu ekor tikus pun yang mengalami diare, kondisi feses kelompok ini normal selama masa pengujian, sedangkan pada kelompok yang hanya diintervensi dengan EPEC K1.1 pada H8 tanpa diintervensi Lactobacillus (kelompok kontrol EPEC) terdapat tiga ekor tikus dari enam ekor tikus anggota mengalami diare pada H1 setelah intervensi EPEC (tikus B4, B5, dan B7). Gejala diare yang terjadi pada ketiga tikus adalah tanda diare 3, dimana feses tidak berbentuk bulat maupun lonjong, berwarna agak kecoklatan, sangat lembek, hingga muncul lendir. Akan tetapi, pada H2 tikus B4 dan B5 telah pulih dari diare sedangkan tikus B7 masih mengalami diare dengan gejala tanda diare 3. 41 Tabel 5 Pengaruh intervensi isolat Lactobacillus terhadap kejadian diare akibat infeksi EPEC K1.1 Kelompok Tikus Kontrol negatif Kontrol EPEC R14 R23 B16 H0 0/6 0/6 0/6 0/6 0/6 Jumlah tikus diare/jumlah seluruh tikus Perlakuan Lactobacillus H1 H3 H7 H8 H9 H10 H11 0/6 0/6 0/6 0/6 0/6 0/6 0/6 0/6 0/6 0/6 3/6(a) 1/6(a) 0/6 0/6 (b) 0/6 0/6 0/6 0/6 0/6 1/6 2/6(b) 0/6 0/6 0/6 0/6 0/6 0/6 0/6 0/6 0/6 0/6 2/6(b) 0/6 0/6 0/6 Intervensi EPEC K1.1 Keterangan : (a) = menunjukkan tanda diare 3 (b) = menunjukkan tanda diare 2 Tiga ekor tikus lain yang tidak mengalami diare pada kelompok kontrol EPEC kemungkinan telah memiliki sistem imun yang baik untuk menangkal serangan EPEC. Sistem imun merupakan semua mekanisme yang digunakan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup (Baratawidjaja 2002). Sistem imun terbagi menjadi dua, yaitu sistem imun non spesifik dan sistem imun spesifik. Sistem imun non spesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme dan tidak berubah oleh infeksi. Sel yang penting adalah fagosit dan sel NK (natural killer), sedangkan molekul yang penting pada sistem imun non spesifik adalah lisozim, komplemen, protein fase akut, dan interferon. Sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda yang pertama kali muncul dalam tubuh segera dikenal oleh sistem imun spesifik sehingga terjadi sensitasi sel-sel imun tersebut. Bila sel sistem imun yang sudah tersensitasi tersebut terpapar kembali dengan benda asing yang sama maka benda asing yang terakhir akan dikenal lebih cepat kemudian dihancurkan. Sel yang penting pada sistem imun ini adalah limfosit T dan B, sedangkan molekul yang penting adalah antibodi, sitokin, dan mediator. Sistem imun spesifik inilah yang kemungkian terjadi pada tikus lain yang H12 0/6 0/6 0/6 0/6 0/6 42 tidak mengalami diare, kemungkinan tikus-tikus tersebut telah terpapar oleh EPEC sebelumnya dalam jumlah yang cukup tinggi mengingat tikus yang digunakan bukanlah tikus germ free, ditandai dengan rata-rata jumlah awal E. coli pada awal pengujian yang sangat tinggi, dan memungkinkan tikus-tikus tersebut telah memiliki sistem pertahanan yang sangat kuat. Pada kelompok tikus yang diintervensi EPEC K1.1 pada H8 dan telah diintervensi isolat Lactobacillus rhamnosus B16 terdapat dua ekor tikus yang mengalami sedikit gejala diare, yaitu tanda diare 2 (masih tergolong feses normal) pada H1 setelah intervensi EPEC. Hal ini menunjukkan bahwa isolat Lactobacillus rhamnosus B16 cukup dapat mencegah terjadinya diare akibat EPEC K1.1 karena efek diare yang ditimbulkan lebih ringan dibandingkan dengan kelompok tikus yang tidak diintervensi Lactobacillus terlebih dahulu. Hal ini juga terjadi pada kelompok tikus yang diintervensi EPEC K1.1 dan telah diintervensi dengan isolat Lactobacillus rhamnosus R14 terlebih dahulu. Satu ekor tikus mengalami gejala diare 2 pada H3 setelah intervensi EPEC dan dua ekor tikus mengalami gejala diare 2 pada H4 setelah intervensi EPEC. Gejala diare 2 tersebut segera sembuh setelah satu hari. Hal ini juga menunjukkan bahwa isolat Lactobacillus rhamnosus R14 cukup dapat mencegah efek diare menjadi lebih ringan dan memperlambat munculnya gejala diare tersebut. Melalui pengujian tersebut juga diperoleh hasil bahwa kelompok tikus yang diintervensi EPEC K1.1 dan telah diintervensi isolat Lactobacillus rhamnosus R23 sebelum dan sesudahnya tidak ada satu ekor tikus pun yang mengalami diare. Hal ini menunjukkan bahwa isolat Lactobacillus rhamnosus R23 dapat mencegah terjadinya diare secara sempurna. Berdasarkan hasil penelitian Budiarti dan Mubarik (2007), EPEC K1.1 dapat menghasilkan enzim protease ekstraseluler yang dapat mendegradasi mucin sehingga dapat melekat pada sel epitel usus dan menimbulkan diare pada inang. EPEC adalah salah satu dari kelas patogen 43 yang dapat menyebabkan lesi attaching dan effacing (A/E) pada sel usus. Ciri dari patogen A/E adalah terletak pada tumpuannya di permukaan sel epitel inang dan menyebabkan kerusakan pada mikrovili usus. EPEC melekat dan berkolonisasi pada epitel mukosa duodenum dan proximal jejunum, selanjutnya menimbulkan kerusakan pada epitel jejunal melalui pembentukan mikrokoloni yang ditunjukkan dengan pelekatan yang terlokalisasi (Moat et al. 2002). Selain itu, bakteri ini juga melekat dan berkolonisasi pada kolon/usus besar bagian ascending dan transverse (Jay 2000). Jumlah tikus yang diare dan tingkat keparahan pada kelompok perlakuan isolat Lactobacillus lebih sedikit daripada jumlah tikus yang diare pada kelompok kontrol EPEC K1.1, hal tersebut menunjukan bahwa terdapat indikasi manfaat pencegahan diare akibat infeksi EPEC K1.1 oleh konsumsi isolat Lactobacillus. 2. Pengaruh Pemberian Isolat Lactobacillus dan EPEC K1.1 terhadap Berat Badan dan Konsumsi Ransum Tikus Selama masa pengujian aktivitas antidiare berat badan tikus terus meningkat dan tidak terjadi penurunan berat badan walaupun sudah diinfeksi dengan EPEC K1.1. Dilihat dari penampakan feses, diare yang ditimbulkan memang tidak mengakibatkan tikus banyak kekurangan cairan, sehingga berat badan tikus masih relatif stabil bahkan meningkat. Begitu pula dengan tingkat konsumsi ransum yang masih cenderung stabil selama pengujian berlangsung. Grafik pertambahan berat badan tikus dan tingkat konsumsi ransum selama pengujian dapat dilihat pada Gambar 11 dan 12. 44 Gambar 11 Pertambahan berat badan tikus selama pengujian aktivitas antidiare Gambar 12 Jumlah ransum yang dikonsumsi tikus selama pengujian aktivitas antidiare 3. Pengaruh Perlakuan Isolat Lactobacillus dan EPEC K1.1 terhadap Jumlah E. coli pada Feses Tikus Hasil yang diperoleh pada pengujian pengaruh perlakuan isolat Lactobacillus dan EPEC K1.1 terhadap jumlah E. coli dalam feses tikus dapat dilihat pada Gambar 13. Pada kelompok kontrol negatif dimana selama pengujian seluruh tikus hanya diberikan larutan fisiologis, mengalami kenaikan dan penurunan jumlah E. coli secara wajar (cenderung stabil). Pada kelompok kontrol EPEC dimana tikus kelompok 45 tersebut diintervensi dengan EPEC K1.1 tanpa intervensi isolat Lactobacillus menunjukkan kenaikan jumlah E. coli yang sangat drastis terutama sehari setelah intervensi EPEC (pengamatan H8), sedangkan pada hari-hari selanjutnya hingga akhir masa pengujian jumlah E. coli mengalami penurunan sedikit demi sedikit. Hal ini berkorelasi dengan jumlah tikus yang mengalami diare pada pengamatan H8 yang berjumlah 3 ekor tikus yang menunjukkan bahwa EPEC telah dapat menyebabkan lesi attaching dan effacing (A/E) pada sel usus sehingga terjadi diare pada ketiga tikus tersebut. Intervensi EPEC K1.1 Gambar 13 Perubahan jumlah E. coli pada feses tikus pada kelompok kontrol negatif, kontrol EPEC, perlakuan isolat L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R23, dan L. rhamnosus B16. Pada kelompok perlakuan isolat L. rhamnosus R14 tampak menunjukkan sedikit kenaikan jumlah E. coli sehari setelah intervensi EPEC, tetapi kemudian menurun dengan drastis pada pengamatan H10. Hal ini berkorelasi dengan tidak adanya tikus yang mengalami diare pada pengamatan H8 meskipun pada pada H10 dan H11 terdapat beberapa ekor tikus yang mengalami diare, tetapi hal ini telah menunjukkan bahwa L. rhamnosus R14 cukup dapat mencegah diare pada tikus. Pada kelompok perlakuan isolat L. rhamnosus R23 tampak menunjukkan sedikit 46 penurunan jumlah E. coli sehari setelah intervensi EPEC (pengamatan H8) dan terus mengalami penurunan secara perlahan hingga akhir periode perlakuan. Hal ini berkorelasi dengan tidak adanya tikus yang mengalami diare selama periode perlakuan yang menunjukkan bahwa L. rhamnosus R23 sangat baik dalam mencegah diare pada tikus. Pada kelompok perlakuan isolat L. rhamnosus B16 tampak menunjukkan sedikit kenaikan jumlah E. coli sehari setelah intervensi EPEC (pengamatan H8), tetapi kemudian mengalami penurunan pada pengamatan H11 hingga akhir periode perlakuan. Hal ini berkorelasi dengan adanya dua ekor tikus yang mengalami diare pada H8 tetapi diare yang terjadi tidak parah, sehingga dapat dikatakan bahwa L. rhamnosus B16 cukup dapat mencegah diare pada tikus. Bernet et al. (1994) menyatakan bahwa L. acidophilus LA 1 menghambat asosiasi sel dan masuknya sel enteropatogen penyebab diare. Hal ini dapat terjadi melalui (1) non-spesific steric hindrance reseptor enterosit apical dari patogen oleh seluruh sel Lactobacillus, (2) aksi antimikroba dari molekul yang disekresikan Lactobacillus dengan spektrum yang luas (seperti bakteriosin), (3) stimulasi sekresi suatu substansi antimikroba oleh sel usus (seperti defensin), setelah sel Lactobacillus terikat. 4. Pengaruh Perlakuan Isolat Lactobacillus dan EPEC K1.1 terhadap Jumlah Lactobacillus pada Feses Tikus Jumlah Lactobacillus dalam feses tikus kelompok kontrol negatif dan kelompok kontrol EPEC K1.1 bervariasi selama masa pengujian. Grafik jumlah Lactobacillus pada feses tikus selama pengujian manfaat pencegahan diare oleh isolat Lactobacillus dapat dilihat pada Gambar 14. Pada kelompok kontrol negatif jumlah Lactobacillus cenderung stabil pada kisaran 8,16-8,89 log cfu/g. Pada kelompok kontrol EPEC tampak terjadi penurunan jumlah Lactobacillus yang sangat drastis pada pengamatan H8 dan H9 meskipun kemudian mengalami kenaikan kembali hingga akhir periode perngujian. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian EPEC 108 cfu pada tikus dapat menyebabkan terjadinya gangguan 47 keseimbangan mikrobiota usus ditandai dengan penuruan jumlah Lactobacillus karena terjadinya kompetisi dalam kolonisasi sel epitelial usus Intervensi EPEC K1.1 Gambar 14 Perubahan jumlah Lactobacillus pada feses tikus pada kelompok kontrol negatif, kontrol EPEC, perlakuan isolat L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R23, dan L. rhamnosus B16. Pada kelompok tikus perlakuan L.rhamnosus R14 tampak jumlah Lactobacillus yang cenderung stabil selama periode pengujian. Pada kelompok tikus perlakuan L. rhamnosus R23 tampak kenaikan jumlah Lactobacillus pada pengamatan H9 dan selanjutnya cenderung stabil hingga akhir periode pengujian. Pada kelompok tikus perlakuan L. rhamnosus B16 menunjukkan jumlah Lactobacillus yang cenderung stabil selama periode pengujian. Hasil tersebut diatas menunjukan adanya pengaruh perlakuan isolat L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R23, dan L. rhamnosus B16 terhadap jumlah Lactobacillus dalam feses tikus. Hal tersebut mengindikasikan bahwa ketiga isolat Lactobacillus tersebut dapat bertahan dalam kondisi ekstrim saluran pencernaan tikus, sehingga cukup mampu menurunkan jumlah E. coli dalam feses tikus dan mampu mencegah terjadinya diare. De Roos dan Katan (2000) menyebutkan 48 bahwa probiotik dapat mencegah diare karena menghambat pertumbuhan bakteri patogen dengan memproduksi bakteriosin atau dapat berkompetisi dengan patogen untuk berikatan dengan sel epitel, serta pengaruhnya terhadap sistem imun. Hasil tersebut diatas menunjukan adanya pengaruh perlakuan isolat Lactobacillus rhamnosus R14, Lactobacillus rhamnosus R23, dan Lactobacillus rhamnosus B16 terhadap kandungan Lactobacillus dalam feses tikus. Lactobacillus Hal tersebut mengindikasikan bahwa ketiga isolat tersebut dapat bertahan dalam saluran pencernaan tikus sehingga meningkatkan jumlah isolat Lactobacillus dalam feses tikus. Daya tahan hidup setelah melalui saluran pencernaan merupakan syarat mikroorganisme untuk dapat memberikan manfaat kesehatan setelah dikonsumsi. Stres yang pertama terjadi pada sel bakteri yang memasuki saluran pencernaan adalah terpapar pada asam lambung (Drouault et al. 1999; Chou & Weimer 1999). Dengan demikian, bakteri yang berpotensi sebagai probiotik harus tahan terhadap pH rendah pada lambung di samping ketahanannya juga terhadap garam empedu pada usus duabelas jari. 5. Pengaruh Perlakuan Isolat Lactobacillus dan EPEC K1.1 terhadap Jumlah Lactobacillus pada Sekum, Kolon, dan Feses Tikus pada akhir Masa Pengujian Selain pada feses, pengamatan terhadap mikrobiota usus pada penelitian ini juga dilakukan pada bagian sekum dan kolon. Sekum merupakan bagian proksimal usus besar. Pada hewan non-ruminansia seperti tikus, proses fermentasi oleh mikrobiota sebagian besar terjadi di bagian sekum (Blay et al. 1999). Usus besar (kolon) merupakan bagian yang mempunyai fungsi biologis yang penting, yaitu untuk absorpsi dan sekresi air, elektrolit, serta bahan-bahan sisa pencernaan. Saat ini perhatian banyak ditujukan pada fungsi-fungsi usus besar (kolon) yang berkaitan dengan nutrisi dan kesehatan, terutama yang berhubungan dengan kehidupan mikrobiota di dalamnya (Gibson 2000). 49 Pengaruh perlakuan isolat Lactobacillus dan EPEC K1.1 terhadap jumlah Lactobacillus pada sekum dan kolon dapat diketahui melalui penghitungan jumlah Lactobacillus dari isi sekum dan kolon tikus yang diambil pada H13 setelah intervensi EPEC K1.1 (pada akhir masa perlakuan). Hasil pengujian pengaruh perlakuan isolat Lactobacillus dan EPEC K1.1 terhadap jumlah Lactobacillus pada sekum dan kolon dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Hasil pengujian pengaruh perlakuan isolat Lactobacillus dan EPEC K1.1 terhadap jumlah Lactobacillus pada sekum, kolon, dan feses tikus pada H12 Jumlah Lactobacillus (log cfu/g) Kelompok tikus Sekum Kolon Feses Kontrol negatif 8,62 8,56 8,16 Kontrol EPEC 8,65 8,30 8,34 R14 8,43 8,16 8,90 R23 8,40 8,49 8,67 B16 8,64 8,34 8,31 Dari hasil pengujian pengaruh perlakuan isolat Lactobacillus dan EPEC K1.1 terhadap jumlah Lactobacillus pada sekum dan kolon tikus tampak bahwa jumlah Lactobacillus pada sekum tikus hampir sama dengan jumlah Lactobacillus pada kolon tikus (perbedaan tidak signifikan), begitu pula dengan jumlah Lactobacillus dalam feses tikus pada H12 (akhir masa pengujian berlangsung). Hal ini juga dikuatkan dengan hasil analisis ragam yang menunjukkan bahwa jumlah Lactobacillus dalam sekum, kolon, dan feses tikus masing-masing tidak berbeda nyata (P>0.05) (Lampiran 8). Jumlah Lactobacillus dalam sekum, kolon, dan feses baik antara kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan isolat Lactobacillus juga tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, meskipun sebagian besar kelompok memiliki jumlah Lactobacillus yang lebih tinggi di dalam 50 sekum dibandingkan di dalam kolon dan feses. Hal ini juga diperkuat dengan analisis ragam yang menunjukkan bahwa perlakuan L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R23, L. rhamnosus B16 masing-masing tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah Lactobacillus pada sekum (P>0.05) (Lampiran 5). Demikian pula dengan jumlah Lactobacillus pada kolon tikus yang menunjukkan bahwa jumlah Lactobacillus pada kolon hampir sama untuk semua perlakuan. Hal ini juga diperkuat dengan analisis ragam yang menunjukkan bahwa kelompok perlakuan L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R23, L. rhamnosus B16 masing-masing tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah Lactobacillus pada kolon (P>0.05) (Lampiran 6). Jumlah Lactobacillus dalam feses tikus untuk perlakuan L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R23, L. rhamnosus B16 masing-masing juga tidak berpengaruh nyata (P>0.05) (Lampiran 7). Lebih tingginya jumlah Lactobacillus dalam sekum dibandingkan dalam kolon dan feses pada sebagian besar kelompok tikus dapat disebabkan oleh adanya kolonisasi bakteri lain dalam kolon yang cenderung sangat tinggi jumlahnya. Jumlah bakteri di dalam kolon dapat mencapai 106-107 cfu/g dan didominasi oleh Enterococcus dan Bacteroides (Salminen & Wright 1998). Lima kelompok utama bakteri yang terdapat pada saluran pencernaan manusia normal adalah Lactobacillus, Enterococcus, Bacteriodes, Enterobacteriaceae, serta kelompok bakteri Gram positif yang anaerob dan tidak berspora. Pada bagian jejunum kelima kelompok tersebut memiliki jumlah yang relatif sama sekitar 102-103 cfu/g. Jumlah bakteri pada bagian jejunum relatif rendah karena lokasinya paling dekat dengan sekresi garam empedu. Pada bagian ileum mulai terjadi pertumbuhan bakteri. Jumlah bakteri di dalam ileum sekitar 102 cfu/g (kelompok Gram positif) sampai 105 cfu/g (Lactobasillus dan Enterococcus) (Salminen & Wright 1998). Meskipun secara umum perlakuan isolat Lactobacillus tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah Lactobacillus baik pada sekum, kolon, dan feses tetapi jumlah Lactobacillus dalam sekum, kolon, dan feses masih 51 cenderung tinggi. Masih tingginya jumlah Lactobacillus dalam sekum kelompok tikus perlakuan Lactobacillus rhamnosus R14, Lactobacillus rhamnosus R23, dan Lactobacillus rhamnosus B16 pada hari ke-5 setelah intervensi EPEC K1.1 menunjukkan bahwa ketiga isolat masih dapat survive di dalam sekum meskipun telah melewati rintangan kondisi asam lambung dan garam empedu dalam usus. Diantara ketiga isolat Lactobacillus, isolat Lactobacillus rhamnosus B16 memiliki kemampuan paling baik bertahan di dalam sekum dibandingkan ketiga isolat Lactobacillus lainnya. Berdasarkan hasil penelitian Nuraida et al. (2007) isolat probiotik asal ASI yang digunakan dalam penelitian ini tahan terhadap pH 2 selama 5 jam dan tahan terhadap garam empedu 0.5% selama 5 jam. Toleransi bakteri asam laktat yang cukup tinggi terhadap asam biasanya juga disebabkan karena bakteri tersebut mampu mempertahankan pH sitoplasma lebih alkali daripada pH ekstraseluler (Hutkins & Nannen, 1993). Untuk mempertahankan pH sitoplasma supaya lebih basa sel harus mempunyai barier terhadap aliran proton. Barier ini umumnya adalah membran sitoplasma. Perbedaan kerentanan membran sitoplasma terhadap kondisi asam menentukan toleransi bakteri tersebut pada pH rendah. Menurut Siegumfeldt et al. (2000), pada BAL terjadi perubahan dinamis pH intraseluler seiring dengan terjadinya penurunan pH ekstraseluler sehingga tidak terjadi gradien proton yang besar. Bagi BAL gradien proton yang besar tidak menguntungkan sebab translokasi proton menggunakan banyak energi. Selain itu gradien proton yang besar mengakibatkan akumulasi anion, asam organik dalam sitosol yang bersifat toksik bagi sel tersebut. Menurut Smet et al. (1995) beberapa Lactobacillus mempunyai enzim dengan aktivitas untuk menghidrolisa garam empedu (bile salt hydrolase). Enzim ini mampu mengubah kemampuan fisika-kimia yang dimiliki oleh garam empedu, sehingga tidak bersifat racun bagi Lactobacillus. Hal inilah yang dimungkinkan menjadi penyebab beberapa isolat Lactobacillus tahan terhadap keberadaan garam empedu. 52 6. Pengaruh Perlakuan Isolat Lactobacillus dan EPEC K1.1 terhadap Jumlah E.coli pada Sekum, Kolon, dan Feses Tikus pada Akhir Masa Pengujian Pengaruh perlakuan isolat Lactobacillus dan EPEC K1.1 terhadap jumlah E. coli pada sekum dan kolon dapat diketahui melalui penghitungan jumlah Lactobacillus dari isi sekum dan kolon tikus yang diambil pada hari ke-5 setelah intervensi EPEC K1.1 (pada akhir masa perlakuan). Hasil pengujian pengaruh perlakuan isolat Lactobacillus dan EPEC K1.1 terhadap jumlah E. coli pada sekum dan kolon dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Hasil pengujian pengaruh perlakuan isolat Lactobacillus dan EPEC K1.1 terhadap jumlah E. coli pada sekum, kolon, dan feses tikus pada H12 Jumlah E. coli (log cfu/g) Kelompok tikus Sekum Kolon Feses Kontrol negatif 7,94 7,64 7,90 Kontrol EPEC 7,63 7,72 7,78 R14 7,82 7,45 7,35 R23 7,82 7,67 7,12 B16 7,31 7,52 7,07 Dari hasil pengujian pengaruh perlakuan isolat Lactobacillus dan EPEC K1.1 terhadap jumlah E. coli pada sekum dapat terlihat bahwa jumlah E. coli pada kelompok perlakuan isolat Lactobacillus cenderung lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif. Hal ini berarti bahwa ketiga isolat Lactobacillus dapat menurunkan jumlah E. coli dalam sekum. Akan tetapi, pada kelompok kontrol EPEC justru menunjukkan jumlah E. coli yang agak rendah dalam sekum. Hal ini menunjukkan bahwa E. coli tidak cukup survive dalam sekum karena letak sekum yang sangat dekat dengan bagian atas saluran usus dimana empedu diseksresikan ke dalam usus. Cairan empedu merupakan campuran dari 53 asam empedu, kolesterol, asam lemak, fosfolipid, pigmen empedu, dan sejumlah xenobiotik terdetoksifikasi. Sekresi pankreas juga mengandung serangkaian enzim pencernaan, dimana enzim yang bersifat lipolitik diaktifkan oleh empedu. Kombinasi tersebut bersifat bakterisidal bagi mikroorganisme komensal dalam tubuh manusia kecuali bagi beberapa genus penghuni usus yang tahan terhadap empedu (Hill 1995). Kerentanan EPEC terhadap empedu dapat disebabkan karena mengalami kebocoran materi intraseluler yang sangat besar sehingga menyebabkan kematian. Empedu bersifat sebagai senyawa aktif permukaan sehingga dapat menembus dan bereaksi dengan sisi membran sitoplasma yang bersifat lipofilik, menyebabkan perubahan dan kerusakan struktur membran. Sifat aktif permukaan dari empedu juga mengakibatkan aktifnya enzim lipolitik yang disekresikan pankreas (Hill 1995). Enzim tersebut juga dapat bereaksi dengan asam lemak pada membran sitoplasma bakteri menyebabkan perbedaan permeabilitas dan karakteristiknya sehingga dapat mempengaruhi katahanannya terhadap garam empedu, mengingat EPEC merupakan Gram negatif yang memiliki kandungan lipid yang cukup tinggi, yaitu 11-22%. Sebaliknya Lactobacillus yang merupakan Gram positif dengan kandungan lipid hanya 1-4% pada dinding selnya menyebabkan Lactobacillus lebih tahan terhadap garam empedu dibandingkan dengan EPEC. Hal ini yang juga menjadi salah satu sebab jumlah Lactobacillus dalam sekum cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah E. coli. Jumlah E. coli pada kolon cenderung tinggi pada kelompok kontrol EPEC. Hal ini dapat disebabkan E. coli cukup mampu mengkolonisasi kolon karena rendahnya jumlah Lactobacillus dalam kolon sehingga EPEC dapat tumbuh dengan lebih baik. Akan tetapi, pada kelompok perlakuan isolat Lactobacillus jumlah E. coli pada kolon cenderung lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal ini dapat disebabkan karena tingginya jumlah Lactobacillus dalam kolon sehingga menghambat pertumbuhan E. coli. Meskipun pada kelompok perlakuan isolat B16 terjadi kenaikan jumlah E. coli pada kolon. Hal ini berarti isolat B16 tidak 54 cukup dapat menurunkan E. coli di dalam kolon meski jumlah E. coli dalam sekum cukup rendah. Berdasarkan analisis ragam tampak jumlah E. coli pada sekum hampir sama untuk semua perlakuan. Analisis ragam menunjukkan bahwa kelompok perlakuan L. rhamnosus R14, L rhamnosus R23, L rhamnosus B16 masing-masing tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah E. coli pada sekum (P>0.05). Berdasarkan analisis ragam untuk jumlah E. coli pada kolon juga menunjukkan bahwa kelompok perlakuan L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R23, L. rhamnosus B16 masing-masing tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah E. coli pada kolon (P>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan isolat Lactobacillus tidak cukup dapat menurunkan E. coli di dalam kolon. Analisis ragam untuk jumlah E. coli dalam sekum, kolon, dan feses juga menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan satu sama lain (P>0.05). Meskipun secara umum perlakuan isolat Lactobacillus tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap jumlah Lactobacillus dan E. coli baik pada sekum maupun kolon, tetapi ketiga isolat Lactobacillus telah menunjukkan kemampuannya dalam mencegah diare, dengan pencegahan terbaik oleh isolat L. rhamnosus R23. Hasil pengujian aktivitas antidiare dengan menggunakan tikus percobaan tidak selalu berkorelasi dengan hasil pengujian aktivitas antibakteri dengan metode kontak. Pada hasil pengujian aktivitas antibakteri dengan metode kontak diperoleh hasil bahwa L. rhamnosus R23 memiliki daya penghambatan paling rendah dibandingkan dengan L. rhamnosus R14 dan L. rhamnosus B16, meskipun sebenarnya tidak terlalu signifikan. Hal ini dapat disebabkan karena dalam pengujian aktivitas antibakteri dengan metode kontak, kondisi selama pengujian tidak sama persis seperti kondisi dalam saluran pencernaan tikus, dimana selama dalam saluran cerna isolat Lactobacillus mengalami berbagai rintangan seperti asam lambung dan garam empedu, serta faktor yang paling penting lagi adalah kemampuan isolat Lactobacillus untuk menempel pada usus. Semua kondisi ini tidak 55 dialami Lactobacillus selama uji kontak, sehingga adanya perbedaan hasil memang dapat terjadi diantara kedua metode. Menurut Qin et al. (2005), probiotik dapat meningkatkan ekspresi dari transmembrane binding protein, menjaga struktur tight junction, meningkatkan kolonisasi bakteri usus oleh infeksi abdominal pada tikus, menurunkan bacterial translocation rate (BTR), dan menjaga fungsi barrier. Pada kelompok kontrol yang tidak diberikan probiotik, tampak terjadinya gangguan bakteri usus dan kerusakan dinding mukosa, tetapi fungsi dinding usus dapat meningkat dengan penggunaan probiotik. Penempelan bakteri patogen pada permukaan usus tergantung dari tahap pertama dalam infeksi usus, yang dapat dihambat oleh bloking reseptor secara fisik oleh penempelan spesifik atau oleh steric hindrance. Beberapa probiotik lactobacilli dengan manfaat kesehatan telah menunjukkan penempelan terhadap mukosa usus (Tuomloa et al. 1999). Penempelan pada mukosa epithelium dapat menghambat pengikatan organism patogen secara kompetitif (Mack et al. 1999). Michail dan Abernathy (2002) menyatakan bahwa Lactobacillus ditemukan dapat menghambat pengikatan EPEC pada monolayer epitelial usus selama Lactobacillus diberikan pada inang sebelum infeksi EPEC (efek pencegahan). Efek proteksi dari Lactobacillus plantarum dalam mengurangi perubahan EPEC-induced secretory dapat disebabkan oleh penghambatan pengikatan EPEC atau mekanisme kompetitif. Lactobacilli dan bifidobacteria asal ASI yang berhasil diisolasi oleh Nuraida et al. (2007) secara in vitro mampu menghambat beberapa bakteri patogen seperti E.coli, Bacillus cereus, Staphilococcus aureus dan Salmonella typhimurium. Ketiga isolat Lactobacilus yang digunakan dalam pengujian memiliki daya penghambatan yang cukup baik terhadap E. coli dengan menggunakan metode difusi agar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat L. rhamnosus R14 menghasilkan diameter penghambatan sebesar 2,8 mm, L. rhamnosus R23 menghasilkan diameter penghambatan sebesar 3,6 mm, dan L. rhamnosus B16 menghasilkan diameter penghambatan sebesar 4,1 mm. 56 7. Pengaruh Perlakuan Isolat Lactobacillus dan EPEC K1.1 terhadap Kondisi Mikrobiota Kolon Tikus Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa kolon (usus besar) merupakan ekosistem yang sarat dengan kolonisasi mikrobiota (mengandung 1012 bakteri/gram isi kolon), sehingga usus besar menjadi bagian tubuh dengan aktivitas metabolik paling tinggi. Diperkirakan 95% dari semua sel hidup dalam tubuh manusia adalah bakteri usus besar (Gibson 2000). Kolon mempunyai ekosistem mikrobiota yang sangat kompleks, didiami sekurang-kurangnya 50 genera bakteri, yang terdiri atas lebih 400 spesies bakteri yang berbeda. Oleh karena itu, pada akhir pengujian aktivitas antidiare ini dilakukan pengamatan terhadap kondisi mikrobiota usus besar (kolon) tikus dengan SEM (Scanning Electron Microscopy). Pengamatan dilakukan terhadap satu ekor tikus pada tiap kelompok, yaitu kelompok kontrol negatif, kontrol EPEC, perlakuan R14, perlakuan R23, dan perlakuan B16. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi mikrobiota kolon tikus dan membandingkan pada tiap kelompok. Hasil foto SEM juga dibandingkan dengan pewarnaan Gram yang juga dilakukan terhadap isolat Lactobacillus rhamnosus R14, Lactobacillus rhamnosus R23, Lactobacillus rhamnosus B16, dan juga isolat EPEC K1.1. Scanning Electron Microscopy (SEM) digunakan untuk memvisualisasikan kondisi habitat mikrobiota pada permukaan epitelial saluran pencernaan tikus. Pada penelitian ini dilakukan pengamatan terhadap kolon tikus. Hal ini dianggap cukup mewakili terhadap kondisi mikrobiota kolon tikus pada akhir masa pengujian. Hasil pengamatan kolon tikus dengan SEM dapat dilihat pada Gambar 15 dan dibandingkan dengan hasil pewarnaan Gram pada EPEC K1.1, Lactobacillus rhamnosus R14, Lactobacillus rhamnosus R23, dan Lactobacillus rhamnosus B16 pada Gambar 16. Pada gambar A yaitu kolon dari tikus kelompok kontrol negatif tampak bakteri yang berbentuk batang dan diduga kuat sebagai Lactobacillus sebagai mikrobiota yang secara alami terdapat dalam usus 57 mengingat bahwa kelompok kontrol tersebut tidak diberi perlakuan apapun dan hanya diberikan larutan fisiologis. Lactobacillus yang tampak pada gambar tersebut sangat sedikit. Pada Gambar B yang merupakan kolon tikus kelompok kontrol EPEC justru tidak tampak adanya bakteri yang berbentuk batang. Hal ini berkorelasi dengan banyaknya jumlah tikus yang diare pada kelompok kontrol EPEC karena rendahnya kolonisasi Lactobacillus pada kolon sehingga tidak dapat menekan pertumbuhan E. coli yang menyebabkan diare. A B D C E Keterangan: bagian gambar yang berada dalam lingkaran putih merupakan bakteri yang diduga sebagai Lactobacillus Gambar 15 Kondisi mikrobiota kolon tikus pada akhir masa pengujian aktivitas antidiare dengan Scanning Electron Microscope Model –JSM 5310 LV menggunakan perbesaran 10000x. (A) kontrol negatif, (B) kontrol EPEC, (C) perlakuan L. rhamnosus R14, (D) perlakuan L.rhamnosus R23, dan (E) perlakuan L.rhamnosus B16. Pada Gambar C yaitu kolon tikus dari kelompok perlakuan isolat Lactobacillus rhamnosus R14 tampak kolonisasi usus oleh beberapa bakteri berbentuk batang yang diduga kuat merupakan Lactobacillus. Pada 58 gambar tersebut tampak bakteri dengan jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan Gambar A dan B. Hal ini membuktikan bahwa tikus dari kelompok tersebut didominasi oleh isolat Lactobacillus mengingat tikus dari kelompok tersebut diintervensi dengan isolat Lactobacillus rhamnosus R14. Guna memperkuat dugaan ini dapat dilakukan pembandingan dengan hasil pewarnaan Gram terhadap isolat Lactobacillus rhamnosus R14. Pada hasil pewarnaan Gram tampak bahwa isolat Lactobacillus rhamnosus R14 merupakan isolat bakteri berbentuk batang pendek menyerupai bakteri yang tampak dalam foto hasil SEM pada Gambar C. EPEC K1.1 Lactobacillus rhamnosus R14 Lactobacillus rhamnosus R23 Lactobacillus rhamnosus B16 Gambar 16 Hasil pengamatan mikroskop dengan perbesaran 1000x dari pewarnaan Gram beberapa isolat yang digunakan dalam pengujian aktivitas antidiare Seperti halnya Gambar C, pada Gambar D yaitu gambar kolon tikus dari kelompok perlakuan isolat Lactobacillus rhamnosus R23 juga tampak kolonisasi permukaan kolon tikus oleh beberapa bakteri berbentuk batang yang diduga kuat sebagai Lactobacillus. Akan tetapi, pada Gambar D 59 Lactobacillus yang tampak lebih banyak dengan membentuk gerombolan pada permukaan usus. Hal ini dapat membuktikan bahwa kolon tikus yang diintervensi isolat Lactobacillus rhamnosus R23 lebih banyak mengandung Lactobacillus. Guna memperkuat dugaan ini dapat dilakukan membandingan dengan hasil pewarnaan Gram terhadap isolat Lactobacillus rhamnosus R23. Pada hasil pewarnaan Gram tampak bahwa isolat Lactobacillus rhamnosus R23 merupakan isolat bakteri berbentuk batang pendek menyerupai bakteri yang tampak dalam foto hasil SEM pada gambar D. Hal ini berkorelasi dengan kemampuan L. rhamnosus R23 yang sangat baik dalam mencegah diare. Pada gambar E yaitu gambar kolon tikus dari kelompok perlakuan isolat Lactobacillus rhamnosus B16 tampak adanya beberapa bakteri yang berbentuk batang cukup panjang dan beberapa lagi bakteri berbentuk batang pendek. Berdasarkan pembandingan dengan hasil pewarnaan Gram, bakteri yang berbentuk batang panjang tersebut menyerupai dengan EPEC K1.1 seperti terlihat pada Gambar 16. Akan tetapi, hasil pewarnaan Gram pada isolat B16 juga menunjukkan bentuk bakteri yang cukup panjang jika dibandingkan dengan kedua isolat Lactobacillus lainnya. Sebagai perbandingan dapat dilihat Gambar 17 yang merupakan hasil pewarnaan Gram campuran antara isolat B16 dengan EPEC K1.1. Gambar 17 Hasil pewarnaan Gram isolat EPEC K1.1 dan Lactobacillus rhamnosus B16 dengan perbesaran 1000x 60 Menurut Buchanan dan Gibbons (1974), E. coli merupakan bakteri yang berbentuk batang, berukuran lebar 1.1-1.5 mikron dan panjang 2.06.0 mikron, terdapat dalam bentuk berpasangan atau tunggal, bersifat motil dengan flagela peritrikat atau non motil dan seringkali flagela ini tampak dalam pengamatan menggunakan Scanning Electron Microscope. Sedangkan pada gambar hasil SEM tidak tampak adanya flagela, sehingga dapat dipastikan bahwa bakteri tersebut merupakan Lactobacillus batang panjang dan tidak menutup kemungkinan bahwa bakteri tersebut adalah Lactobacillus rhamnosus B16.