2 2012). Depresi diprediksi menempati urutan kedua sebagai gangguan kesehatan terbanyak di dunia setelah penyakit jantung di tahun 2020 (Murray & Lopez, 1997), dan akan merangkak menjadi ranking pertama di tahun 2030 (WHO, 2012). Banyak kasus depresi yang tidak tertangani dengan baik (Cuijpers, Straten, Smits, & Smit, 2006; Passer & Smith, 2008; Kessler, Berglund, Demler, Jin, & Walters, 2005; Marks, Matrix-Cols, Kenwright, Camerson, Horsch, & Gege, 2003), karena penderita depresi tidak berusaha mencari pertolongan atau pengobatan akibat kurangnya kesadaran dan inisiatif mereka tentang kesehatan mental (Baker, 2006; Passer & Smith, 2008). Stigma masyarakat saat mengunjungi layanan psikologi, (Baker, 2006; Slade, Johnston, Oakley Browne, Andrews, & Whiteford, 2009; Watkins, Smith, Kerber, Kuebler, & Himle, 2011; Wright, Jorm, & Mackinnon, 2011) misalnya saja mereka akan dianggap gila (Baker, 2006; Browning, Andrews, & & Niemczura, 2002), penggunaan istilah depresi atau gangguan mental bagi mereka seperti gangguan yang sangat berat seperti skizofrenia ataupun gangguan bipolar sehingga mereka lebih memilih untuk menghadapi kondisinya di rumah (Huttlinger, Schaller-Ayers, & & Lawson, 2004). Mereka menganggap bahwa simptom-simptom depresi yang mereka alami merupakan hal biasa yang terjadi dalam hidup hingga akhirnya berlanjut semakin parah (Maj & Sartorius, 2002) dan mengganggu kehidupan sosial, akademik, pekerjaan, tahapan perkembangan orang tersebut (Kessler, Foster, Saunders, & & Stang, 1995; Kovacs, Feinberg, Crouse-Novak, Paulauskas, & Finkelstein, 1984 dalam Cicchetti & Tooth, 1998), bahkan menempatkan seseorang pada resiko pemakaian alkohol, obat-obatan terlarang, ide bunuh diri, percobaan, hingga eksekusi untuk melakukannya (Whisman, 2008). 3 Depresi dapat dialami oleh siapapun tanpa ada batasan usia (Passer & Smith, 2008) termasuk remaja (Harrington, 2002; Baker, 2006). Remaja merupakan salah satu kelompok yang sering ditemukan mengalami depresi (Baker, 2006; Wenar & Kerig, 2006; Birmaher, Ryan, Williamson, Brent, Kaufman, Dahl, Perel, & Nelson, 1996 dalam Cuijpers, Straten, Smits, & Smit, 2006; Wilson, Bushnell, Rickwood, Caputi, & Thomas, 2011), hal ini dikarenakan pada tahap perkembangan ini mereka akan mengalami storm-and-stress sehingga mereka mengalami konflik perubahaan perasaan (Santrock, 2011). Perubahan lainnya terjadi dalam struktur otak remaja membuat perubahan dalam pemrosesan informasi (Gledd, 2008 dalam Santrock, 2011), serta peningkatan dalam executive functioning yang meliputi perencanaan tujuan, mempertahankan perhatian (Groome, Dewart, Esgate, Gurney, Kemp, & Towell, 1999), pemahaman sebab akibat, membuat keputusan, memantau pemikiran kritis, memantau proses kognitif, serta kontrol diri. Perubahan dalam struktur otak yang masih terus berlanjut hingga dewasa ini menyebabkan para remaja mengalami kerentanan kognitif. Kejadian penuh tekanan yang bersumber dari stressor ditambah dengan kerentanan kognitif pada remaja dapat mengarahkan mereka pada gangguan depresi (Manungkarjono, 2012; Monroe & Simons, 1991). Remaja mengalami banyak sekali kejadian dalam hidup yang mempengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku mereka. Hal tersebut secara signifikan mempengaruhi mereka secara positif, negatif, ataupun keduanya (Nasir, Zainah, Khairudin, Wan Shahrazad, Nen, & Subhi, 2011). Simptom-simptom depresi yang ditunjukkan oleh orang dewasa, remaja, dan anak-anak yang mengalami depresi secara umum sama, yakni simptom emosi, 4 motivasi, fisik, perilaku, dan kognitif (Baker, 2006; Kovacs & Beck dalam Wenar & Kerig 2006). Simptom emosi misalnya mereka akan mengalami kesedihan, putus asa, merasa sengsara, serta tidak mampu menikmati sesuatu. Simptom motivasi misalnya sulit untuk memulai dan melakukan sesuatu yang menyenangkan atau menghasilkan suatu prestasi. Semuanya seakan butuh usaha dan tenaga yang luar biasa untuk melakukannya, bahkan untuk melakukan aktivitas yang sebelumnya dianggap menyenangkan. Simptom fisik meliputi perubahan pola makan, pola tidur, dan berat badan, serta kemampuan reaksi yang kurang. Simptom perilaku misalnya menarik diri, pengurangan aktivitas, dan tidak mampu merawat dirinya sendiri. Simptom kognitif sendiri merupakan bagian terpenting dalam depresi, karena menurut Beck depresi merupakan hasil dari proses kognitif yang maladaptif. Simptom kognitif merupakan maninfestasi yang sering muncul dalam gangguan depresi (Beck, Rush, Shaw, & Emery, 1979; Burns D., 1980). Distorsi kognitif merupakan prediktor utama depresi (Nasir, Zainah, Khairudin, Wan Shahrazad, Nen, & Subhi, 2011). Pada orang yang mengalami depresi mereka akan mengalami cognitive triad, yakni memandang negatif terhadap diri mereka, dunia mereka, dan masa depan mereka. Karakteristik pemikiran orang yang mengalami depresi menurut Beck (dalam Carlson & Buskist, 1997) diantaranya adalah (1) Menyalahkan diri sendiri (self-blame), artinya ketika ada sesuatu yang salah mereka akan menyalahkan diri mereka sendiri; (2) Terlalu menekankan pada aspek negatif dalam hidup, walaupun hanya masalah kecil menjadi lebih besar dari yang sebenarnya; (3) Tidak mampu menghargai pengalaman positif (pesimis). 5 Distorsi kognitif yang terjadi karena desifit kognitif pada orang yang mengalami depresi menyebabkan munculnya cognitive triad (Gotlib & Hammen, 2009). Defisit pada kognitif mempengaruhi kerja dari memori kerja dan kontrol kognitif. Memori kerja merupakan sistem yang menjaga dan memanipulasi informasi sekaligus mengontrol perhatian. Memori kerja bersifat sementara dalam menyimpan dan mengatur informasi sesuai yang dibutuhkan untuk melakukan tugas kognitif seperti belajar, memahami, dan membuat alasan. Penyimpanan informasi yang tidak bertahan lama menyebabkan informasi yang irelevan harus dihapus untuk memperbaharui isi memori kerja. Memori kerja yang mengalami kerusakan menyebabkan informasi relevan dan irelevan banyak yang tersimpan dalam memori jangka panjang sehingga proses tahapan pengambilan informasi relevan akan melambat dan pengambilan informasi irelevan akan meningkat. Hal ini menyebabkan seseorang mengalami ruminasi (pikiran yang berulang-ulang) sekaligus mempengaruhi pemulihan suasana hati (Hasher & Zacks, 1988 dalam Gotlib & Hammen, 2009). Kontrol kognitif yang terganggu juga menyebabkan seseorang mengalami kecenderungan merespon stimulus secara berlebih (Hertel, 2004 dalam Gotlib & Hammen, 2009), karena orang yang mengalami depresi memiliki skema tersendiri yang meliputi kehilangan, kegagalan, ketidakberhargaan, penolakan, dan perpisahan. Skema ini menyebabkan bias sistematis dalam memproses serta menginterpretasi stimulus netral yang mereka peroleh dari lingkungan. Terganggunya fungsi memori kerja serta kontrol kognitif inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya distorsi kognitif dan hal ini dapat mempertahankan kondisi 6 depresi seseorang (Klein, Leon, Li, D'Zurilla, Black, & Vivian, 2011; Nasir, Zainah, Khairudin, Wan Shahrazad, Nen, & Subhi, 2011). Pentingnya melakukan perencanaan penetapan tujuan untuk mengurangi distorsi kognitif merupakan salah satu cara yang dilakukan dalam pelatihan manajemen diri. Konsep manajemen diri memandang bahwa ada hubungan yang kuat antara pikiran, emosi, dan perilaku. Penelitian menunjukkan bahwa pikiran dan emosi yang memicu hormon atau senyawa kimia dalam tubuh akan mengirimkan pesan melalui tubuh. Pesan ini yang akan mempengaruhi bagaimana tubuh berfungsi; misalnya pikiran dan emosi dapat merubah tekanan darah, cara bernafas, konsentrasi, dan sebagainya. Kekuatan pikiran juga dapat mempengaruhi tubuh, baik pikiran yang menyenangkan ataupun tidak, atau emosi yang menyenangkan atau tidak dapat menyebabkan tubuh bereaksi secara berbeda. Misalnya seseorang akan merasakan sensasi berkeringat dingin atau panas, merona, menangis, dan sebagainya. Untuk itulah pentingnya mengembangkan kemampuan untuk membantu dalam pengaturan berbagai simptom yang dirasakan saat mengalami gangguan, termasuk gangguan depresi (Lorig, Holman, Sobel, Laurent, Gonzalez, & Minor, 2006). Manajemen diri didefinisikan sebagai kemampuan individu untuk mengelola gejala, pengobatan, konsekuensi fisik, psikologis, sosial, serta perubahan gaya hidup dengan kondisinya saat mengalami gangguan melalui monitoring serta pengelolaan simptom, tanda-tanda gangguan, dan juga pengaruhnya (Gruman & Von Korff, 1996; Glasgow, Davis, Funnell, & Beck, 2003; Health Navigator NZ, 2011). Keberhasilan manajemen diri meliputi kemampuan seseorang untuk 7 memonitoring kondisinya serta pengaruhnya terhadap pikiran, emosi, serta perilaku yang penting untuk mempertahankan kualitas hidup yang memuaskan. Pemberian pelatihan manajemen diri harus sesuai dengan fokus serta permasalahan yang dialami oleh seseorang. Pelatihan manajemen diri yang dilakukan Bilsker, Goldner, & Jones (2007) dan Rokke, Tomhave, & Jocic (2000) untuk gangguan depresi berasal dari CBT yang menyediakan pengetahuan mengenai gangguan depresi serta mengajarkan mereka kemampuan terkait penanganannya. Pelatihan manajemen diri juga cocok diaplikasikan pada remaja (Rehm & Rokke, 1988). Untuk menurunkan distorsi kognitif pada remaja yang mengalami depresi, ada lima langkah yang dilakukan dalam pelatihan manajemen diri, antara lain memantau diri, mengerti konsekuensi yang berakibat langsung dan berakibat jangka panjang dari suatu kejadian, mengatasi distorsi penyebab dari suatu kejadian, menetapkan tujuan yang realistis, dan penguatan diri yang positif. Inti dari memantau diri adalah individu memahami bahwa perasaan dan perilaku ditentukan oleh pikiran. Seringkali individu tertukar antara pikiran dan perasaan, misalnya “aku merasa tidak pantas” atau “aku berpikir tidak pantas”, “aku merasa tidak berdaya” atau “aku berpikir tidak berdaya”. Jika mereka mampu membedakannya, mereka juga akan mampu mengamati apa yang terjadi pada diri mereka termasuk mengelompokkan mana yang termasuk pikiran, perasaan, dan perilaku yang ditimbulkan. Hal ini akan membuat mereka lebih peka sekaligus mengembangkan kemampuan mereka untuk merubah distorsi kognitif ke dalam bentuk pemikiran rasional. 8 Kedua adalah mengerti konsekuensi yang bersifat langsung dan jangka panjang dari suatu kejadian. Seseorang yang mengalami depresi cenderung lebih terkena pada konsekuensi yang bersifat langsung dibandingkan dengan konsekuensi yang bersifat tidak langsung, misalnya enggan untuk berhubungan sosial dengan temannya. Jika ia memahami efek jangka pendek serta jangka panjang dari konsekuensi positif saat berhubungan sosial dengan teman, ia akan lebih termotivasi untuk melakukannya. Misalnya dengan mengajak teman mengobrol, ia akan menikmati obrolan tersebut sehingga menimbulkan perasaan yang nyaman sebagai konsekuensi positif yang langsung dirasakan, sedangkan untuk efek jangka panjang, ia akan membangun pertemanan yang baik dengan temannya. Ketiga adalah menetapkan tujuan yang realistis. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa salah satu cara mengembalikan fungsi kognitif pada orang yang mengalami depresi adalah dengan menetapkan tujuan, sehingga distorsi kognitif mereka akan teralihkan, mereka mampu melibatkan diri pada kegiatan positif serta bergerak maju. Orang yang mengalami depresi seringkali tidak mampu menetapkan tujuan yang realistis, sehingga yang terjadi mereka tidak akan mencapai hasil yang mereka inginkan dan mereka akan tetap dengan kondisi mereka. Ada 4 karakteristik bagaimana tujuan tersebut bisa dicapai, yang pertama adalah tujuan tersebut bersifat kongkrit dan detail, kedua adalah didefinisikan sebagai kebiasaan yang positif, ketiga adalah tujuan tersebut mampu dicapai, dan keempat adalah dibawah kendali orang tersebut. 9 Terakhir adalah penguatan diri yang positif. Seringkali saat mengalami depresi mereka tidak termotivasi untuk melakukan hal-hal yang positif karena mereka tidak mendapatkan penguatan atas apa yang sudah mereka lakukan sehingga mereka tetap pada kondisi mereka. Pujian atau penguatan yang bersifat positif dapat membawa kebahagiaan sekaligus menumbuhkan efikasi diri seseorang bahwa ia mampu melakukannya, sehingga ia akan termotivasi untuk melakukannya lagi. Karakteristik lain yang membedakan manajemen diri dari program lainnya adalah pembentukan diri (self-tailoring). Haynes, Taylor, dan Sachett (1979, dalam Lorig K., Holman, Sobel, Laurent, Gonzalez, & Minor, 2006) mengatakan bahwa sangat sulit untuk membuat seseorang mampu menaati dan memenuhi apa yang dikatakan pada mereka, dan banyak hasil dari intervensi yang bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan ini berakhir dengan tidak berhasil. Melalui pembentukan diri, orang tersebut akan diberikan intervensi berdasarkan kesiapan mereka dalam belajar, tahapan mereka untuk berubah, serta keyakinan mereka mengenai kesehatan. Orang tersebut harus memiliki prinsip untuk membuat perubahan perilaku sesuai dengan keputusan serta teknik pemecahan masalah yang telah diberikan dan diterapkan berdasarkan prinsip perubahan perilaku serta keahlian dalam manajemen diri. Hasil penelitian Gensichen, Petersen, Karroum, Rauck, König, & Gerlach (2011); Kemppainen, Taylor, Jackson, & Kim-Goodwin, (2009); Rokke, Tomhave, & Jocic (2000); dan Yeung, Feldman, & Fava (2010), dan menunjukkan bahwa manajemen diri secara efektif mampu meningkatkan kesadaran seseorang terhadap 10 kondisinya saat mengalami depresi. Melalui pengetahuan dan keahlian yang diajarkan, mereka mampu menyadari simptom-simptom depresi yang terjadi, apa yang harus mereka lakukan saat simptom tersebut muncul dan kemana mereka harus mencari bantuan saat simptom tersebut tidak dapat tertangani, dan apa yang harus mereka lakukan untuk mencegah kambuhnya depresi mereka. Manajemen diri juga secara efektif mampu menyasar distorsi kognitif melalui pembuatan perencanaan dan pemecahan masalah (Primoz, Tavc, Avbelj, & Dernovs, 2012). Nasir, Zainah, Khairudin, Wan Shahrazad, Nen, & Subhi (2011) serta Primoz, Tavc, Avbelj, & Dernovs (2012) mengatakan bahwa penanganan distorsi kognitif merupakan hal terpenting yang harus dilakukan dalam menangani depresi seseorang. Penelitian Wagner, Horn, & Maercker (2013) menunjukkan bahwa manajemen diri sangat efektif untuk menurunkan negative automatic thought karena subjek memiliki kesadaran untuk bertanggung jawab terhadap kondisinya dengan cara merubah distorsi kognitif serta aktivasi perilaku, dan mereka memiliki efikasi diri yang tinggi untuk melakukannya. Yeung, Feldman, & Fava (2010) juga menguatkan bahwa manajemen diri mampu untuk merubah distorsi kognitif menjadi pikiran yang rasional. Pelatihan manajemen diri dalam penelitian ini dilakukan berbasis internet. Keuntungan dari intervensi yang dilakukan berbasis internet diantaranya adalah sebagai salah satu cara yang efektif untuk melibatkan para remaja dalam menjalankan intervensi karena mereka lebih familiar dalam menggunakan teknologi ini (Oh, Jorm, & Wright, 2009; Richardson, Stallard, & Velleman, 2010; Strasburger, 2004), mengurangi hambatan dari pihak terapis maupun pihak pasien untuk 11 melakukan terapi tatap muka (Barrera, Glasgow, McKay, Boles, & Feil, 2002; Pew Internet and American Life Project, 2003) baik dari segi waktu, biaya, waktu perjalanan, maupun kurangnya dukungan sosial yang diterima pasien ketika mengunjungi layanan terapis karena stigma masyarakat (Watkins, Smith, Kerber, Kuebler, & Himle, 2011), dapat diakses dari berbagai macam lokasi (Taylor & Luce, 2003), membantu bagi para pasien yang mengalami keterbatasan dalam hal pendengaran dengan menyajikan materi secara visual (Marks dkk, 2007 dalam Cuijipers, Straten, & Andersson, 2008), Sedangkan beberapa keterbatasan dalam intervensi berbasis internet antara lain tidak mampu diterapkan pada gangguan yang bertaraf berat, misalnya saja depresi berat (Bilsker, Goldner, & Anderson, 2012; Johansson & Andersson, 2012; National Institute for Health and Clinical Excellence, 2009; Maj & Sartorius, 2002), tidak mampu menangkap ekspresi nonverbal, dan informasi pasien yang terekam dalam internet dapat diakses dengan mudah bila tidak dilakukan proteksi (Taylor & Luce, 2003). Proses pelatihan manajemen diri berbasis internet untuk menurunkan distorsi kognitif pada remaja yang mengalami depresi dijelaskan melalui gambar 1. PEMIKIRAN RASIONAL Berpikir bahwa kejadian buruk adalah wajar dialami setiap orang dan bukan dikarenakan faktor diri sendiri Tidak menyalahkan dirinya Memandang positif diri, kondisi sekarang, dan masa depan Fokus pada hal-hal positif dalam hidup Memandang dunia sebagai tempat yang aman DEPRESI KOGNITIF Memandang negatif terhadap diri, kondisi saat ini, dan masa depan Berpikir pantas menerima hal-hal buruk Menyalahkan diri sendiri ketika hal buruk terjadi Memandang dunia sebagai tempat yang tidak aman PERILAKU EMOSI Penurunan aktivitas Merasa sangat sedih pola Self-esteem rendah Perubahan makan dan tidur Tidakberdaya Tenaga berkurang Pelatihan Manajemen Diri Berbasis Internet Self-monitoring Mengerti konsekuensi yang bersifat langsung dan jangka panjang dari suatu kejadian Mengatasi distorsi mengenai penyebab dari suatu kejadian Menetapkan tujuan yang realistis Penguatan diri yang positif (positive selfreinforcement)