BERITA atau PROPAGANDA? - Wiki Cipta Media Seluler

advertisement
EDISI 03/DESEMBER 2012
BERITA
atau
PROPAGANDA?
penerbitan ini didukung oleh
Penerbit: Aliansi Jurnalis Independen Banda Aceh. Penanggungjawab: Mukhtaruddin Yakob. Editor: Nurdin
Hasan, Adi Warsidi. Tim Penulis: Maimun Saleh, Daspriani Yuli Zamzami, Muhammad Riza Nasser. Sidang Redaksi:
Alaidin Ikrami, Salman Mardira, Zulkarnaini Muchtar. Manajer Keuangan: Abdul Munar. Manajer Administrasi:
Reza Fahlevi. Supervisi: AJI Indonesia. Dukungan dana: Ford Foundation melalui Cipta Media Bersama.
Alamat Redaksi: Sekretariat AJI Banda Aceh Jl. Angsa No. 23 Batoh, Banda
Aceh. Telp: +62-651-637708
SHARIANEWSWATCH
Faksimile: +62-651-637708 Website: http://mediasehat.ajibanda.org Facebook:
ajibanda Twitter:
03/DESEMBER
2012aji_banda
01
Kabar Seminar
Perlu Pembenahan
Oleh Mukhtaruddin Yakob
Abdul Munar/dok. AJI Banda Aceh
PADA 18 Oktober 2012 silam, sebuah
seminar nasional tentang Etika dan
Profesionalitas Media digelar di Banda
Aceh. Penyelenggaraan seminar ini
sebagai respon atas hasil pemantauan
media yang dilakukan Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) Kota Banda Aceh
melalui program Mendorong Media Sehat
dalam Pemberitaan Syariat Islam di Aceh.
Seminar diawali dengan presentasi
hasil pemantauan pemberitaan tentang
syariat Islam selama Agustus sampai
September 2012. Pantauan dua bulan
terakhir dipilih sebagai pemantauan ter­
baru untuk memberikan gambaran ke­
pada publik kondisi pemberitaan syariat
Islam yang disiarkan media cetak dan
online yang terbit dan beredar di Aceh.
Dalam pemantauan itu, pemberita­
an syariat Islam masih belum meng­
gembirakan. Kecenderungan berita lebih
besar pada penangkapan dan razia.
Sementara sosialisasi syariat Islam
ketinggalan jauh. Demikian juga suara
korban dan perempuan sebagai pihak
yang selama ini menjadi objek razia dan
pemberitaan bagai terabaikan.
Presentasi pantauan yang disam­
paikan Manager Program, Mukhtaruddin
Yakob juga menemukan bahwa kutipan
pernyataan pejabat sangat dominan
dibandingkan suara masyarakat dan
korban. Pemberitaan tak berimbang
masih terlalu besar persentasenya
dibandingkan keberimbangan. Padahal,
cover both side dan verifikasi yang
menjadi aturan penting dalam suatu
pemberitaan. Kondisi sama juga terjadi
02
SHARIANEWSWATCH
03/DESEMBER 2012
pada konfirmasi dan
pencampuran
opini dan fakta.
Seminar yang menghadirkan tiga
pembicara dipandu Maimun Saleh,
Ketua AJI Banda Aceh. Komisaris Besar
(Kombes) Pol. Gustav Leo yang tampil
pada kesempatan pertama mengurai
peran Polda Aceh dalam menindaklanjuti
sengketa pers.
Gustav memaparkan pengalamannya
saat masih berada di Divisi Humas Mabes
Polri dan ketika bertugas di Polda Papua.
Menurutnya, polisi terus mendorong
penyelesaian sengketa pers melalui jalur
UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Upaya ini sudah dilakukan sejak Kapolri
dijabat Bambang Heru Danuri.
Polda Aceh, tambah Gustav, meng­
garisbawahi tiga hal penting dalam
menangani kasus sengketa pers. Salah
satunya, masih banyak pengaduan ma­
sya­rakat akibat pemberitaan. Tahun 2010
menjadi awal upaya Polri menangani
kasus sengketa pers dengan menge­
depankan UU Pers. Ada 7000 penyidik
yang
diberikan
pemahaman
oleh
Divisi Humas Polri tentang bagaimana
mekanisme menerima pengaduan, me­
nyam­paikan hak jawab dan hak koreksi
kepada masyarakat agar tidak langsung
menempuh upaya hukum ke polisi.
Hasil evaluasi polisi, masih banyak
masyarakat yang mengadukan pers
tanpa melalui mekanisme UU Pers akan
berdampak pada upaya kriminalisasi
pers. Kondisi ini tidak perlu terjadi
jika masyarakat dan penyidik memiliki
persepsi yang sama.
Namun, polisi tak akan gegabah
bertindak.
Dalam
kasus
sengketa
pers, tambah Gustav, polisi tetap
berkomunikasi dengan Dewan Pers.
Demikian juga jika ada laporan dari
masyarakat, jurnalis tidak perlu takut
memberi keterangan bila dipanggil
polisi. “Polda Aceh sudah membahani
penyidik dengan UU Pers. Sayangnya,
tidak seluruh penyidik paham dengan
mekanisme ini,” kata Gustav lagi.
Sementara itu Ketua Umum AJI
Indonesia, Eko Maryadi yang tampil
pada kesempatan kedua memaparkan
tanggung jawab AJI untuk mengawasi
Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Era pers bebas
menyebabkan kondisi pers sedikit miris.
Untuk membendungnya dibutuhkan
KEJ. Eko menganalogikan KEJ bagaikan
kitab suci jurnalis di Indonesia, karena
KEJ adalah bagian dari rambu-rambu
terhadap tugas jurnalistik.
AJI
sebagai
organisasi
profesi
bertanggungjawab terhadap penegakan
etika sesuai yang termaktub dalam KEJ.
Dewan Pers sebagai lembaga independen
yang bertugas mengawasi penegakan KEJ
perlu didukung agar profesionalisme
jurnalis dan media bisa terwujud.
Jurnalis bisa kehilangan haknya jika
terjadi pelanggaran etika. “Saat ini susah
membedakan antara fakta dan gosip.
Antara wartawan amplop dan wartawan
yang sungguhan,” ujar Eko yang kerap
disapa Item.
Menurutnya, selama ini pelanggaran
etika yang seharusnya bisa diselesaikan
melalui mekanisme UU Pers sering di­
abai­kan. Lahirnya kesepahaman atau
MoU antara Dewan Pers dan Kapolri
pada Februari 2012 membawa angin
segar bagi penyelesaian sengketa pers di
Indonesia.
Presentasi anggota Dewan Pers, Bekti
Nugroho pada sesi penutup menjadikan
seminar ini hangat. Bekti menampilkan
siluet foto seorang model yang ditahan
polisi. Sebuah foto setengah bugil beredar
di internet. Yang ingin ditonjolkan Bekti,
bagaimana media arif memberitakan
dengan menghormati kaidah dan etika
yang ada. Saat jurnalis mulai meliput
dan memberitakan, perlu ada prinsip
bahwa berita tersebut mengandung nilai
SALAM.
edukasi, bukan sensasi.
Bekti banyak mencontohkan sejum­
lah media di Indonesia “menjual” aurat
sekaligus mempermalukan objek berita.
Padahal, sejatinya aura dari pemberitaan
sehat,
bukan
sekadar kontrol sosial
tanpa format. “Seorang jurnalis yang cer­
das tau apa pesan yang ingin disam­paikan,
bukan fakta saja, masih banyak berita lain
yang lebih bermanfaat dari sekadar berita
mesum atau kriminal murahan,” ujar Bekti.
Jurnalis senior televisi swasta ini
juga menekankan pentingnya verifikasi.
Tuduhan terhadap mesum atau perzi­nah­
an tidak sembarang, karena butuh cross
check dan saksi. Pemberitaan aib sangat
bertentangan dengan prinsip syariat Islam
yang tengah dijalankan di Aceh, katanya.
Oleh karena itu, dibutuhkan etika dalam
meliput dan menulis berita. “Etika itu adalah
kejujuran, keadilan dan tanggung jawab.
Maka pers Indonesia wajib melaksanakan
standar ini agar tidak ada pihak yang
dirugikan. Wartawan tanpa etika, maka
itu anarki,” tegas pengurus Ikatan Jurnalis
Televisi Indonesia (IJTI) ini.
Seminar
yang
dihadiri
berbagai
stakeholder, ulama, LSM dan ormas ini
berlangsung dinamis. Sejumlah per­tanyaan
dan saran penting menge­muka. Para peserta
nyaris tak kebagian waktu menyampaikan
pendapat dan saran terhadap kondisi
pemberitaan khusus­nya yang terkait isu
syariat Islam. Namun, beberapa penanya,
meng­gugat peran Dewan Pers dan AJI
sebagai lembaga pers terhadap kualitas
pemberitaan syariat Islam selama ini.
Akmal Abzal, peserta dari Rabitah
Thaliban memprotes model pemberitaan
yang menghakimi. Sebagai contoh, saat
seseorang
ditangkap
karena
diduga
melanggar hukum, media menempatkan di
halaman depan. Sayangnya, saat diputuskan
tak bersalah, media sering alpa, bahkan
nyaris tak ada berita.
“Ini kan tidak adil. Bagaimana pun media
harus bertanggungjawab merehabilitasi
nama yang bersangkutan,” kata Akmal.
Begitu pula Cut Putri yang mewakili Hiz­
but Thahir Indonesia menanyakan saluran
pengaduan jika ada wartawan pemeras.
“Apa yang akan dilakukan AJI dan Dewan
Pers terhadap korban peme­rasan?” tanya
Cut Putri bersemangat. []
PEMBACA yang budiman,
Sharia News Watch (SNW) kembali hadir di hadapan Anda. Secara
umum, tidak ada perubahan mendasar antara edisi III ini dengan dua
edisi sebelumnya. Pemantauan dan pendataan pemberitaan syariat Islam
dituangkan dalam analisis. Perubahannya cuma terjadi pada jumlah media
dan berita yang terpantau. Bila pada edisi perdana, jumlah yang dipantau
mencapai 18 media cetak dan online. Pada edisi II menjadi 15 media dan
di edisi III, kembali berkurang jadi 12 media saja.
Kondisi ini karena beberapa media tidak terbit lagi, seperti Harian
Pikiran Merdeka, demikian juga dengan situs acehcorner.com. Sementara
Harian Aceh berubah jadwal terbit dari harian menjadi mingguan, sehingga
tidak dapat dipantau berbanding lurus dengan harian terbit reguler.
Selebihnya, masih tetap berlangsung seperti biasa dengan penekanan
pada kelompok rentan dan terpinggirkan.
Sedangkan isi newsletter, analisis soal narasumber, bahasa dan
peristiwa menjadi sajian utama kami. Analisis diperkuat data dan fakta
dari pemberitaan yang dipublikasikan sejumlah media yang terbit dan
beredar di Aceh.
Pada edisi ini juga dipaparkan hasil Seminar Nasional Etika dan
Profesionalitas Media yang menghadirkan Bekti Nugroho (anggota Dewan
Pers), Eko Maryadi (Ketua Umum AJI Indonesia) dan Kombes Polisi Gustav
Leo (Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Aceh) menggantikan
Kapolda Aceh Irjen Pol Iskandar Hasan, yang berhalangan hadir. Seminar
nasional sekaligus presentasi hasil pemantauan media terkini, Agustus
dan September 2012. Dinamika dalam seminar patut menjadi perhatian
semua pihak demi terwujudnya media sehat dalam pemberitaan syariat
Islam di Aceh.
Newsletter edisi III ini tampil agak berbeda dengan dua edisi sebelumnya.
Kami terus melakukan perbaikan demi kesempurnaan. Kami menyisipkan
kampanye Media Sehat pada beberapa halaman untuk mengingatkan kita
akan betapa pentingnya media yang sehat secara etika dan norma.
Akhirnya, kami dari jajaran redaksi SNW mempersembahkan beberapa
laporan hasil pemantauan selama periode ini, tentunya dengan berbagai
plus dan minus. Kritik dan saran tetap kami harapkan demi kesempurnaan
pemantauan pemberitaan syariat Islam di Aceh demi terwujudnya media
yang profesional dengan tetap mengedepankan etika. Selamat membaca.[]
Abdul Munar/dok. AJI Banda Aceh
SHARIANEWSWATCH
03/DESEMBER 2012
03
Review
#BAHASA
TABAYYUN
Sejak Februari hingga September 2012, AJI Banda Aceh melakukan pemantauan
belasan media cetak dan online terbitan nasional maupun lokal. Hasilnya,
ditemukan 169 kali praktik stigma. Esai ini membahas penggunaan bahasa media.
Oleh Maimun Saleh
PEMANTAUAN bahasa media dipilah menjadi
delapan kategori; eufemisme, disfemia,
stigma, hiperbola, technical reasoning,
metafora, akronimisasi serta slogan. Edisi
ini secara khusus membahas soal stigma.
Kajian bahasa berita ini menggunakan pola
analis bingkai.
Dalam ranah denotatif kata lacur, kalah
tenar dengan pelacur. Padahal pelacur berasal
dari lacur yang artinya; malang, celaka atau
sial. Makna lain dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) berarti buruk laku. Hingga
kata pelacur sama sekali tak berarti nasib,
melainkan pekerjaan menyewakan kelamin.
Makanya tidak ada yang bergembira kalau
disebut pelacur.
Apa yang paling identik dengan kata
pelacur? Dosa dan hukuman. Di Aceh sejak
tahun 2001, pelacur dan pelacuran, ‘diperangi’
sejadi-jadinya. Aceh memberlakukan syariat
Islam. Seiring dengan itu, praktik mesum
(khalwat) dihalau tiada henti. Sampai-sampai
sejumlah lokasi wisata ditutup agar tak ada
tempat untuk “berbuat mesum”.
“Dua Pelacur ABG…” begitu judul
salah satu berita surat kabar lokal, medio
September lalu. Salah seorang perempuan
yang diberitakan kemudian ditemukan tak
bernyawa, dengan tali yang melilit leher.
Pelacur merupakan salah satu stigma.
Kata itu sering muncul di media massa
sepanjang Februari hingga September.
Tak salah kata itu apabila benar faktanya
demikian, hanya mungkin tak elok dibaca
04
SHARIANEWSWATCH
03/DESEMBER 2012
dan tak sesuai dengan ‘etika tutur’ bangsa
ini. Bila tanpa fakta, siapapun yang ditambal
pelacur oleh media massa pastilah suram
masa depannya. Stigma dilain sisi senjata
ampuh “pembunuhan karakter.”
Tak hanya pelacur stigma yang sering
digunakan media. Dalam memberitakan
syariat Islam media sering menggunakan
stigma; pendakalan akidah, sesat, lokasi
mesum, pelanggaran syariat, pasangan
mesum (khalwat).
Sepanjang delapan bulan, media telah 169
kali memproduksi stigma atau labelisasi, 32
di antaranya pada bulan September. Stigma
biasanya lahir dari pola pemberitaan one
sided story (peliputan sepihak). Jurnalisme
di jagat raya ini menganjurkan agar media
menjalankan prinsip cover both sides. Malah
sekarang ada media yang mengklaim telah
menerapkan cover multi sides, artinya
meliput dari berbagai sisi.
Anjuran cover both sides bahkan ma­
suk dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ),
“wartawan Indonesia selalu menguji in­
formasi, memberitakan secara berimbang,
tidak mencampurkan fakta dan opini
yang menghakimi, serta menerapkan asas
praduga tak bersalah.” Begitulah bunyi pasal
tiga KEJ.
Media massa merupakan salah satu
pemicu representasi. Stuart Hall, sosiolog
asal
Kingston,
Jamaika,
menyatakan,
representasi cara bagaimana mengartikan
memaknai melalui gambar dan kata-kata
”
untuk mengatakan apa saja yang diinginkan.
Berangkat dari teori representasi Stuart
Hall ini, mari mengulang ingatan sejenak
pada peristiwa-peristiwa penutupan lokasi
wisata di Aceh. Apa alasan penutupan?
Mengapa massa mengamuk hingga mem­
bakar warung di lokasi wisata? Jawabannya,
“sering dijadikan lokasi mesum.”
Cafe merupakan salah satu representasi
praktik
mesum.
Bagaimana
media
membangun itu? Sekadar contoh, lihat saja
berita: “Ditenggarai Lapak Maksiat WH Pidie
Grebek Cafe,” Rakyat Aceh edisi 28 Agustus.
Dari penempatannya (paragraf dua terakhir),
penjelasan pemilik cafe pada berita straight
news ini dapat disimpulkan “kurang penting”
bagi media itu. Padahal penjelasannya
sangat penting, “Saya tegaskan usaha ini
tidak pernah kita buka praktek, yang diduga
masyarakat sebagai tempat mesum ataupun
khalwat,” tukasnya.
Upaya stigma juga dipertegas lewat foto
dengan keterangan, “KHALWAT - mudamudi pelaku khalwat diamankan petugas
WH
sedang
menjalani
pemeriksaan.”
Sementara dalam beritanya, tak satupun ada
penjelasan apa yang dilakukan muda-mudi
tersebut hingga disebut khalwat.
Stigma memiliki daya dorong upaya
generalisasi. Misalnya, seolah-olah setiap
dua insan bersama berarti sedang mesum.
Tak jarang media massa ‘memaksa’ pembaca
untuk menerima stigma, tanpa memapar
fakta dari tindakan yang disebutkan mesum
Hai orangorang beriman,
jika datang
kepada kamu
seseorang
fasik membawa
berita, maka
periksalah
dengan teliti
agar kamu tidak
menimpakan
suatu musibah
kepada suatu
kaum tanpa
mengetahui
keadaannya,
yang
menyebabkan
kamu
menyesali atas
perbuatanmu itu
tersebut.
“Mesum di Belakang Ruko Pasangan
Putoh Kawat Ditangkap WH” begitulah judul
yang diturunkan Prohaba, 28 Juli lalu. Judul
ini memunculkan pertanyaan, apakah setiap
berdua dapat disebut “pasangan?” tentu
tidak. Apalagi disebut putoh kawat (sakit
jiwa).
Menariknya
lagi
judul
ini
juga
mengarahkan simpulan pembaca, bahwa
telah terjadi praktik khalwat. Tapi pada
paragraf tiga ditulis, “akan bermesum ria.”
Kata “akan” berarti belum terjadi. Mesum
apa yang “akan” mereka lakukan? Itu tak
ada penjelasan. Yang jelas mereka disebut
mesum.
Stigma selanjutnya, terjadi pada paragraf
enam, lewat pernyataan narasumber, “karena
kedua pelaku tidak waras, mereka tidak jadi
kita periksa…” kata “pelaku” menegaskan
ada pelanggaran mereka lakukan, tapi apa
yang mereka lakukan? tak ada keterangan.
Sekitar 15 abad sebelum KEJ disepakati
31 organisasi kewartawanan di Indonesia,
Islam sudah menyerukan agar tabayyun
(check and recheck). Persisnya anjuran
dalam surat Al Hujuraat ayat enam, “Hai
orang-orang beriman, jika datang kepada
kamu seseorang fasik membawa berita,
maka periksalah dengan teliti agar kamu
tidak menimpakan suatu musibah kepada
suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya,
yang menyebabkan kamu menyesali atas
perbuatanmu itu.” Tabayyun itu perintah
Allah, beranikah Anda menentangnya?[]
SHARIANEWSWATCH
03/DESEMBER 2012
05
Review
BERITA ATAU
PROPAGANDA?
Oleh Riza Nasser
BAGAIMANA
media
membangun
persepsi pembaca atas pemberlakuan
syariat Islam di Aceh? Untuk mencari
jawabannya, analis memilih model
framing Zhongdang Pan dan Gerald
M. Kosicki dimana salah satu aspek
analisisnya penempatan narasumber.
Sharia News Watch periode Juli
hingga September 2012 memantau 13
media yakni delapan media cetak lokal,
regional dan nasional, serta lima media
online lokal dan nasional. Media yang
dipilih dipandang memiliki pengaruh
besar terhadap pembaca, dengan
indikator; oplah, luasan sirkulasi atau
pengunjung pada media online.
Media cetak yang dipantau adalah
Serambi Indonesia, Harian Rakyat Aceh,
Pro Haba, Metro Aceh, Waspada, Harian
Analisa, The Jakarta Post, dan Kompas.
Sementara media online yang menjadi
sampel pemantaun ini yakni Atjehpost.
com, Acehkita.com, theglobejournal.
com, Antara dan thejakartaglobe.com.
Analis
memilih
13
kategori
narasumber yang relevan dan paling
sering
dimintai
keterangan.
Di
antaranya adalah pejabat Wilayatul
Hisbah, pejabat Dinas Syariat Islam,
polisi, pejabat pemerintah, anggota
dewan, aparat desa, ulama, aktifis LSM,
warga pelapor, dan saksi mata. Selain
itu katagori narasumber yang masuk
dalam pemantauan ini adalah terduga
pelanggar syariat dan korban salah
tuduh.
Dari hasil pemantauan, terjadi
peningkatan pemilihan narasumber
resmi pada periode Juli – September
2012. Narasumber resmi itu antara
lain pejabat Wilayatul Hisbah, pejabat
Dinas Syariat Islam dan polisi. Periode
sebelumnya yaitu Maret – Mei 2012,
petugas Wilayatul Hisbah menjadi
narasumber dalam 50 berita. Sementara
periode Juli – September naik menjadi
85 berita. Sementara polisi yang
menjadi narasumber pada triwulan
06
SHARIANEWSWATCH
03/DESEMBER 2012
lalu dengan periode kali ini, tercatat
seimbang dengan 22 berita.
Dalam pemberitaan periode ini,
media cenderung membangun model
one side story dengan dominasi
narasumber resmi. Bayangkan dalam
kurun tiga bulan hanya empat warga
ditanyai terkait peristiwa yang terjadi
padanya. Padahal sejatinya, warga yang
bersengketa itulah narasumber utama
yang tidak boleh diabaikan untuk
dimintai informasi. Narasumber resmi
atau pejabat hanya lebih memaparkan
pendapatnya atas peristiwa termasuk
dalam memapar runut peristiwa, ini
disebut fakta psikologis.
Sementara media online memiliki
kecenderungan memilih narasumber
tunggal. Nyaris sepanjang periode ini,
hanya pejabat Wilayatul Hisbah (WH)
narasumbernya.
Berita-berita
yang
disajikan seluruhnya talking news,
hanya dari sisi WH.
Pemberitaan soal syariat Islam
periode pamantauan ini jauh dari
tuntunan Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
Prinsip pertama yang terlanggar yakni
keberimbangan. Hal lain yang tak
diindahkan yaitu anjuran menguji
informasi, tak mencampur fakta dan
opini. Trend pemberitaan sepihak ini
sangat mempengaruhi akurasi, serta
objektifitas.
Fakta (kebenaran) tak dapat ditawar
dalam
pemberitaan.
Sedikit
saja
diselip “rekayasa”, maka tak lagi dapat
disimpulkan sebagai berita. Teknik
pelintir fakta seperti ini adalah salah
satu cara yang dilakukan Hitler dalam
menjalankan propagandanya. Dalam
Everyman's encyclopedia disebutkan,
propaganda merupakan suatu seni
untuk menyebarkan dan meyakinkan
suatu
kepercayaan,
khususnya
kepercayaan agama atau politik.
“Kebohongan paling besar ialah
kebenaran yang diubah sedikit saja,”
ini ajaran Jozef Goebbels, Menteri
Propaganda Nazi yang paling terkenal.
Sebagai pakar propaganda paling tenar
era Nazi berkuasa, seruan Goebbels
pada awak media di bawah kendalinya
menarik
untuk
sekadar
diingat,
“sebarkan kebohongan berulang-ulang
kepada publik. Kebohongan yang
diulang-ulang, akan membuat publik
menjadi percaya."
Dalam pemberitaan syariat Islam,
media gagal menjalankan fungsi
kontrol. Kedekatan dengan narasumber
resmi bisa jadi salah satu faktor
penyebabnya. Resiko paling pelik,
berita tak lagi diperuntukkan buat
kepentingan publik, melainkan pejabat
publik.
Sosiolog asal Amerika yang juga
meneliti tentang perkembagan media,
Herbert Gans, mengibaratkan hubungan
antara narasumber dan jurnalis sebagai
pasangan dansa. Narasumber mencari
akses terhadap jurnalis, dan jurnalis
mencari akses terhadap narasumber.
Baik jurnalis maupun narasumber dapat
memimpin tarian. Namun lebih sering
terjadi narasumberlah yang memimpin
tarian itu.
Tabel 1: Frekuensi pemilihan narasumber
media cetak
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
NARASUMBER
Wilayatul Hisbah (WH)
Dinas Syariat Islam
Polisi
Ormas
LSM
Ulama
Pemda/Pemko/Pemkab
Perangkat Desa
Anggota Dewan
Korban
Diduga Pelaku
Warga pelapor
Saksi Mata
Frekwensi
56
26
22
4
14
9
9
2
4
8
5
7
Tabel 2: Frekuensi pemilihan narasumber
media online
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
NARASUMBER
Wilayatul Hisbah (WH)
Dinas Syariat Islam
Polisi
Ormas
LSM
Ulama
Pemda/Pemko/Pemkab
Perangkat Desa
Anggota Dewan
Korban
Diduga Pelaku
Saksi Mata
Frekwensi
29
3
3
3
5
2
4
5
2
Di ranah media online lokal,
theglobejournal.com dan atjehpost.
com
paling
sering
menyajikan
narasumber tunggal. Bisa jadi kedua
media ini memiliki policy; satu berita
satu narasumber. Tapi warga yang
terjerat qanun syariat Islam hanya dua
kesempatan saja dimuat informasinya.
No
Media
1
2
3
4
5
6
10
11
12
Serambi Indonesia
Rakyat Aceh
Pro Haba
Metro Aceh
Waspada
Analisa
Atjehpost.com
Theglobejournal.com
Acekita.com
No 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Narasumber
Dinas Syariat islam Polisi
4
7
4
6
9
3
5
9
3
3
2
-
WH
7
4
14
12
7
8
9
13
7
NARASUMBER
Wilayatul Hisbah (WH)
Dinas Syariat Islam
Polisi
Ormas
LSM
Ulama
Pemda/Pemko/Pemkab
Perangkat Desa
Anggota Dewan
Korban
Diduga Pelaku
Saksi Mata
Atjehpost.com sedikit memperkaya
dengan narasumber Dinas Syariat Islam
dan polisi.
Mayoritas
pemberitaan
syariat
Islam berjenis straight news, dalam
jenis ini dikenal hirarki informasi yang
begitu tegas. Semakin di atas informasi
ditempatkan,
semakin
penting
informasi tersebut. Hal ini lebih dikenal
dengan istilah piramida terbalik.
Narasumber resmi selalu mendapat
porsi lebih besar dalam pemberitaan.
Tidak hanya dalam porsi penempatan
di bagian awal berita, narasumber resmi
seperti Wilayatul Hisbah dan polisi
sering mendapat tempat sebagai judul
berita.
Sebanyak 12 kali WH menempati
lead, cukup untuk menjadi ukuran
institusi ini adalah prioritas. Bahkan
Dinas Syariat Islam hanya enam kali
saja. Ironisnya, betapa tidak pentingnya
korban dan warga yang diduga pelaku
pelanggar syariat Islam bagi media. Hal
ini ditunjukkan dengan tidak pernahnya
kedua warga ini menempati lead.
Korban
sebagai
pelengkap
JUL
2
1
1
Title
AGS
SEP
1
JUL
7
4
1
1
3
1
Ulama
12
1
--
Diduga Pelaku
3
1
4
2
2
2
berita yang tidak diperhitungkan,
diperlihatkan media hanya dengan
memberi ruang kecil satu atau dua
paragraf pada akhir berita. Itupun
langka. Selama Juli, hanya sekali saja
korban memberi keterangan sementara
September tidak pernah sama sekali.
Dari 77 berita penangkapan para
terduga pelanggar syariat Islam, hanya
13 berita yang memuat keterangan
dari terduga pelanggar. Penempatan
keterangan mereka hanya menjadi
pelengkap dan ditempatkan di akhir
paragraf berita.
Padahal
merujuk
pada
teori
penempatan narasumber dalam ilmu
jurnalistik, korban atau terduga pelaku
adalah narasumber utama yang harus
dimintai keterangannya. Karena mereka
terkait langsung dengan peristiwa
yang diberitakan. Pejabat dan petugas
harusnya hanya menjadi sumber
pelengkap.
Upaya perimbangan berita cukup
minim diperankan oleh media yang
dipantau. Apa yang disampaikan
narasumber resmi ditelan mentahmentah. Upaya menguji informasi lewat
cek dan ricek juga jarang dilakukan, dan
media cenderung mengamini sumber
resmi.
Padahal
mengandalkan
sumber
resmi menjadikan informasi yang
dihasilkan tidak kaya dan mengaburkan
fakta.
Peluang
menyebarkan
propaganda
menyesatkan
cukup
besar. Sebab narasumber resmi punya
kepentingan
untuk
meningkatkan
derajat instansi lewat publikasi. Lalu,
sampai kapan propaganda berbalut
berita terus disebar? []
PENEMPATAN NARASUMBER
Lead
Body
AGS
SEP
JUL
AGS
2
3
23
37
2
7
5
1
2
1
2
3
1
6
1
2
1
2
3
2
10
4
SEP
11
10
8
1
3
9
1
3
Last Paragraf
JUL
AGS
SEP
25
30
14
5
8
11
1
8
1
3
5
3
1
3
1
1
3
5
1
2
1
1
SHARIANEWSWATCH
03/DESEMBER 2012
07
GALERI
Anggota Dewan Pers, Bekti Nugroho pada Seminar Nasional " Etika dan Profesionalitas Media" yang digelar AJI Kota Banda Aceh.
Foto Abdul Munar/dok. AJI Banda Aceh
FGD "Panduan Pemberitaan Syariat Islam" di Banda Aceh. Foto Abdul Munar/dok. AJI Banda Aceh
08
SHARIANEWSWATCH
03/DESEMBER 2012
Roadshow Media Sehat
di Lhokseumawe.
Foto Abdul Munar/dok.
AJI Banda Aceh
FGD "Panduan
Pemberitaan Syariat
Islam" di Banda Aceh.
Foto Abdul Munar/dok.
AJI Banda Aceh
Workshop "Membangun
Etika Pemberitaan
Syariat Islam yang
Sehat" di Banda Aceh.
Foto Abdul Munar/dok.
AJI Banda Aceh
SHARIANEWSWATCH
03/DESEMBER 2012
09
Review
ISU BERLANJUT,
TANPA SOLUSI
Oleh Despriani Zamzami
ADA yang hangat pada
pemantauan pemberitaan
syariat Islam yang dilakukan
selama triwulan ketiga tahun
2012. Itu terlihat adanya
pasang surut terhadap isu
penangkapan yang dilakukan
pihak berwenang, dalam hal
ini Wilayatul Hisbah (WH) atau
Polisi Syariah terhadap pelaku
yang diduga melanggar syariat.
Angka penangkapan menonjol
pada Agustus 2012 yaitu
mencapai 36 kasus. Sedangkan,
bulan Juli 2012 hanya 17 kasus
dan pada September 2012 naik
jadi 24 kasus.
Sebagian besar isu
pemberitaan adalah kasus
penangkapan pelaku khalwat
alias mesum dengan pasangan
yang bukan muhrim. Selama
Juli hingga Agustus 2012,
kuantitas pemberitaan kasus
penangkapan yang dilakukan
Selain peristiwa, soal
penegakan syariat Islam
menjadi bagian utama dari
upaya penegakan hukum
di Aceh. Syariat Islam yang
sudah menjadi hukum
positif, diharapkan mampu
diimplementasikan oleh
masyarakat. Tak urung,
jika media mengangkat
menjadi isu utama yang tak
boleh dilepaskan dari setiap
penerbitan pemberitaan di
media massa.
Dalam analisis, yang
menjadi masalah adalah belum
maksimalnya masyarakat
mengimplementasikan syariat
Islam sebagaimana yang sudah
ditetapkan oleh pemerintah
sesuai qanun (peraturan daerah)
yang sudah menjadi hukum
positif dalam kehidupan
masyarakat.
Sehingga banyak masyarakat
polisi syariah, naik 111 persen.
(Lihat tabel 1 dan tabel 2).
Isu menghangat karena di
antara bulan-bulan tersebut,
umat Islam menjalankan
ibadah puasa Ramadhan.
Imbauan untuk menghormati,
memuliakan, berlaku dan
bersikap sesuai ajaran Islam
gencar dilakukan pihakpihak terkait, baik kelompok
masyarakat maupun pemerintah
daerah melalui instansi terkait
baik Dinas Syariat Islam
maupun Satpol PP/Wilayatul
Hisbah.
Media pun memainkan
perannya, memberitakan
peristiwa yang terjadi di sekitar
masyarakat. Walau tak ada
pernyataan bahwa ini adalah
hal maksimal dilakukan media
dalam mendukung pelaksanaan
syariat Islam, atau sekadar
menambah jumlah pembaca.
Tabel 1. Pemberitaan Syariat Islam Berdasarkan Penempatan Isu Juli 2012
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
10
ISU
Cambuk
Razia
Sosialisasi
Pelaksanaan Eksekusi
Pelaksanaan Projustisi
Penangkapan
Pendangkalan Aqidah
Aliran Sesat
Pemurtadan
Lain-lain
SHARIANEWSWATCH
03/DESEMBER 2012
SI
1
2
PRO
2
7
RA
MA
1
5
6
WSP
1
6
2
1
1
ANS
4
1
KOM
JP
JG
TAP
2
5
AK
1
4
2
TGJ
4
2
ANT
Tabel 2. Pemberitaan Syariat Islam Berdasarkan Penempatan Isu Agustus 2012
No
1
ISU
Cambuk
SI
2
Razia
3
5
2
2
2
1
3
Sosialisasi
2
1
1
2
2
4
Pelaksanaan Eksekusi
5
Pelaksanaan Projustisi
1
6
Penangkapan
1
13
2
6
5
1
3
4
1
7
Pendangkalan Aqidah
8
Aliran Sesat
9
Pemurtadan
10
Lain-lain
2
yang kemudian ditangkap
(dilakukan polisi syariah
sesuai kewenangannya),
karena melanggar aturan
yang ada. Dalam pemberitaan
yang dipantau, kebanyakan
warga yang ditangkap adalah
PRO
RA
MA
WSP
ANS
KOM
JP
JG
TAP
TGJ
AK
ANT
pelanggaran syariat Islam.
Selain penangkapan, isu
lain yang beriringan dan saling
terkait satu sama lain ialah
razia dan sosialisasi. Razia
dan sosialisasi memang selalu
dilaksanakan berbarengan. Jadi
REPRO
pelaku mesum, dimana mereka
melakukan perbuatan yang
melanggar qanun seperti
berdua-duaan dengan pasangan
non muhrim tanpa ikatan
pernikahan sah.
Isu-isu penangkapan
yang merupakan isu dengan
kontinuitas tinggi ini belum
memiliki solusi untuk
meminimalisir. Sehingga
beberapa penangkapan memberi
dampak negatif bagi korban dan
masyarakat. (Lihat pemberitaan
gambar 3).
Media terlihat masih kurang
dalam memainkan isu sebagai
upaya mendorong adanya
pemberitaan berisikan solusi
dari pemberitaan-pemberitaan
tiga bulan ini yakni mulai
Juli hingga September, maka
jumlah frekuensi aktifitas razia
ada 40 kasus dan sosialisasi
ada 46 kasus. Angka-angka
ini menunjukan bahwa tiga
aktifitas tersebut terkesan
menjadi aktifitas utama dari
pemerintah daerah dalam
mengimplementasikan
pelaksanaan syariat Islam di
Aceh.
Isu lain yang menggejolak
di tengah masyarakat dan
diberitakan media ialah soal
pendangkalan aqidan dan
aliran sesat. Masalah ini tak
populer sepanjang Juli 2012
yaitu hanya terpantau 1 kasus
yang dilaporkan oleh harian
Waspada. (Lihat Tabel 1).
tak heran jika frekuensi kegiatan razia dan sosialisasi (dalam
hal ini sosialisasi implementasi
qanun-qanun syariat Islam)
jumlahnya hampir bersamaan.
Dari tabel 1 dan 2 di atas,
bisa dilihat angka frekuensi
aktifitas razia untuk bulan
Juli sebanyak 16 kasus dan
sosialisasi ada 25 kasus.
Sedangkan frekuensi untuk
bulan Agustus 2012, razia
mencapai 15 kasus dan
sosialisasi 8 kasus. Sementara
untuk frekuensi bulan
September 2012, angka untuk
razia sebanyak 9 kasus dan
sosialisasi hanya 3 kasus. (Lihat
tabel 3)
Jika dijumlahkan selama
REPRO
SHARIANEWSWATCH
03/DESEMBER 2012
11
Tabel 3 : Pemberitaan Syariat Islam Berdasarkan Penempatan Isu Bulan September 2012
No
1
ISU
Cambuk
SI
2
Razia
1
2
4
1
1
3
Sosialisasi
4
1
1
1
2
3
1
4
Pelaksanaan Eksekusi
5
Pelaksanaan Projustisi
6
7
Penangkapan
Pendangkalan Aqidah
4
8
1
6
4
1
1
4
8
Aliran Sesat
15
1
9
Pemurtadan
1
10
Lain-lain
6
Isu ini kembali melonjak
frekuensi angkanya pada bulan
September 2012. Untuk kasus
pendangkalan aqidah ada 5
kasus dan untuk aliran sesat
melonjak menjadi 16 kasus.
(Lihat tabel 3).
Kasus-kasus ini didominasi
pemberitaannya oleh harian
terbitan yakni Serambi
Indonesia. Sementara media lain
yang notabenenya juga media
lokal seperti Rakyat Aceh dan
media regional yang memiliki
halaman khusus Aceh seperti
harian Analisa dan Waspada
justru tidak menulis sama sekali
isu pendangkalan aqidah dan
aliran sesat yang merupakan
bagian dari penegakan syariat
Islam.
PRO
RA
MA
WSP
ANS
KOM
JP
JG
TAP
Dari berbagai pemberitaan
terkait isu pendangkalan aqidah
dan aliran sesat ini, ada hal
yang juga perlu dikritisi, bahwa
pihak terkait harus memberi
sosialisasi lebih banyak kepada
masyarakat. Tapi media belum
memiliki cukup waktu untuk
REPRO
TGJ
AK
ANT
memuat upaya sosialisasi
kepada masyarakat dengan
porsi yang sama seperti
pemberitaan peristiwa yang
diangkat sebelumnya.
Bukan tidak mungkin
penangkapan, razia,
pendangkalan aqidah dan aliran
sesat akan menjadi gunung
es, sehingga pemberitaan
tentang syariat Islam selama
ini menjadi tidak berarti, tetapi
hanya sebatas menjalankan
tugas sebagai wartawan untuk
memberitakan peristiwa. Media
tidak mendorong adanya upaya
memberi solusi atas peristiwa
tersebut, dengan memberitakan
kembali kelanjutan upaya-upaya
penyelesaian masalah yang
terjadi.[]
REPRO
Isu teratas pemberitaan Syariat Islam
periode Juli-September 2012
Isu juli :
1. Sosialisasi : 25 kasus
2. Penangkapan : 17 kasus
3. Razia
: 16 kasus
Isu Agustus :
1. Penangkapan : 36 kasus
2. Razia : 15 kasus
3. Sosialisasi
: 8 kasus
Isu September :
1. Penangkapan
2. Aliran Sesat
3. Sosialisasi 4. Razia 12
SHARIANEWSWATCH
03/DESEMBER 2012
: 24 kasus
: 16 kasus
: 13 kasus
: 9 kasus
Media Yang Dipantau:
Acehkita.com (AK)
Antara Aceh.com (ANT)
Harian Analisa (ANL)
Harian Kompas (KPS)
Harian Metro Aceh (MA)
Harian Rakyat Aceh (RA)
Harian Waspada (WS)
Prohaba (Pro)
Serambi Indonesia (SI)
The Atjehpost.com (TAP)
The Globe Journal.com (TGJ)
The Jakarta Globa.com (JG)
The Jakarta Post (JP)
Opini
BERITA SYARIAT,
SIAPA UNTUNG
Oleh Fahmi Yunus
ANDA boleh sepakat atau tidak dengan saya yang
berpendapat bahwa syariat Islam sudah terintegrasi
dalam kehidupan bermasyarakat di Aceh. Hal itu karena
budaya Aceh telah diwarnai oleh tradisi ke-Islaman.
Yang menjadi diskursus menarik hingga pro-kontranya
saat ini adalah penerapan atau implementasi syariat
Islam yang diatur oleh pemerintah dianggap main
tebang pilih, mengurusi hal kurang subtansial dalam
memperbaiki kualitas kehidupan masyarakat, hingga
sarat kepentingan berbagai pihak. Baik itu kepentingan
politik, ekonomi, sosial, tak ketinggalan kepentingan
media massa.
Selama ini relasi antara media dan pemerintah
diidentikkan dengan hubungan tak searah, media
mengkritisi terlalu berlebihan sebaliknya pemerintah
yang resistensi terhadap media. Juga ada tuduhan media
“merongrong” pemerintah, sementara pemerintah
berusaha menghalangi akses informasi yang dibutuhkan.
Secara umum –mungkin-- benar seperti itu, namun jika
ditelisik masing-masing tema atau isu, saya menemukan
hal berbeda. Kesimpulan itu berlaku pada pemberitaan
media, khususnya koran lokal di Aceh tentang penerapan
syariat Islam.
Relasi antara media dan institusi pelaksana syariat
Islam di Aceh adalah simbiosis mutualisme, artinya
terdapat hubungan dua institusi yang berbeda dan
saling menguntungkan. Pertama, media di satu sisi
membutuhkan akses dan informasi mengenai kasuskasus pelanggaran syariat. Isu pelanggaran syariat
menurut peraturan yang berlaku masih “seksi” dan
menjadi komoditas yang laris di pasar/konsumen media.
Dengan kata lain, sebagian besar pemberitaan tentang
syariat didominasi oleh masalah skandal, hukum
cambuk, penangkapan, razia dan isu-isu kontroversi
lainnya. Parahnya, tidak sedikit masyarakat kita yang
doyan pemberitaan “esek-esek” ini.
Kedua, dari sisi pemerintah melalui lembaga seperti
Dinas syariat Islam, dan Wilayatul Hisbah (WH) yang
menurut Qanun Nomor 11 Tahun 2002 adalah badan
yang bertugas mengawasi pelaksanaan syariat, punya
kepentingan tidak hanya untuk mensosialisasikan
tupoksi mereka, tapi juga yang lebih penting ialah
mengukuhkan otoritasnya sebagai pemegang kuasa
syariat.
Saya teringat buku karya Jonathan Woodier, The
Media and Political Change in Southeast Asia (2009), yang
menjelaskan, sejarah perkembangan media komunikasi
massa di Indonesia adalah sebuah sejarah tentang
upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak otoritas atau
pemerintah yang memanfaatkan media sebagai suatu
instrumen atau alat kekuasannya dan untuk mengekang
tatkala pers menggambarkan atau mengungkapkan
tentang perbedaan pendapat.
Tidak hanya Indonesia, hal ini juga terjadi di negaranegara Asia Tenggara lainnya. Dalam konteks Indonesia,
misalnya saat pemberlakuan darurat militer di Aceh,
tahun 2003. Militer memblokir akses media ke daerahdaerah konflik sementara pemberontak anti pemerintah
(GAM) juga menekan jurnalis untuk memberitakan
dari sisi mereka. Megawati, presiden saat itu, memberi
otoritas seluas-luasnya kepada militer garis keras di
Aceh.
Darurat militer memberikan izin kepada militer untuk
membatasi media dan secara efektif membungkam
jurnalis yang mencoba meliput perang dengan GAM.
Namun ada juga jurnalis yang mencoba “tampil beda”.
Salah satunya jurnalis SCTV Dandhy Dwi Laksono
mencoba meliput dengan memperhatikan prinsip-prinsip
jurnalisme yang benar dan tidak lupa menampilkan
suara korban. Alhasil Dandhy pun dipecat dari TV swasta
tempat dia bekerja. Pemecatan ini dikaitkan adanya
tekanan dari militer yang keberatan atas liputannya. Ia
juga sempat dituduh sebagai “jurnalis anti militer”.
Dalam peliputan syariat, media terutama media-media
lokal tentunya tidak “dipaksa atau terpaksa” seperti era
darurat militer, karena media juga meraup untung bagi
kepentingan bisnisnya dari berita-berita tersebut. Mereka
secara “sukarela” menyediakan pentas bagi otoritas
untuk menentukan siapa yang salah dan siapa yang
benar, bahkan sering tanpa melalui proses pengadilan.
Sementara, institusi pemegang kuasa seperti WH tahu
persis bagaimana menjadi sumber informasi tunggal
bagi jurnalis, terutama bagi mereka yang sengaja atau
tidak mengabaikan prinsip cover both sides, verifikasi
serta pencampuran opini dan fakta. Sadar atau tidak
media dengan kepentingan korporasi atau ekonominya
telah “berselingkuh” dengan instansi resmi itu untuk
makin memantapkan otoritas penguasa syariat.
Lantas kita akan melihat bagaimana berita syariat
Islam yang alih-alih menciptakan kesadaran publik,
justru cenderung terus menebar sensasi, dan makin
melupakan suara-suara publik. Jika ini terus berlangsung,
saya khawatir nantinya akan makin melenakan publik
terhadap isu-isu yang lebih besar dan krusial seperti
korupsi serta penyalahgunaan wewenang lain yang
merugikan publik.[]
SHARIANEWSWATCH
03/DESEMBER 2012
13
Review
SASARAN "EMPUK"
BERITA KITA
Oleh Mukhtaruddin Yakob
MENDAMBAKAN media sehat barangkali masih
harus menunggu waktu. Apalagi upaya menuju
ke arah itu belum sepenuhnya disadari. Pekerja
pers, pemilik media maupun publik masih belum
terbiasa mendapat sajian informasi bermanfaat,
dibutuhkan dan menentukan.
Pantauan AJI Kota Banda Aceh melalui program
Mendorong Media Sehat dalam Pemberitaan Syariat
Islam di Aceh sejak 1 Februari 2012, kondisi
pemberitaan masih berkutat pada hal seremonial
dan peristiwa. Sangat jarang media menurunkan
liputan lengkap dan berpihak pada publik.
Perempuan yang menjadi “korban” masih menjadi
sasaran pemberitaan “empuk” media massa,
dengan berbagai isunya.
Penggambaran perempuan memang bagian
yang sering dijadikan objek pasif oleh media.
Perempuan seringkali digambarkan sebagai
pelarian dan irasional berlawanan dengan lelaki
yang berpikiran jernih. Perempuan terus-menerus
digambarkan dalam situasi domestik keluarga
yang selalu menjalankan fungsi perawatan
dalam adegan yang menggairahkan kaum lelaki
dan objek menggiurkan bagi tatapan pria.
Contoh lain ialah pada fashion kontemporer dan
perimajian periklanan bersikukuh menggambarkan
perempuan berada pada posisi pasif hasrat dan di
bawah kendali lelaki (Tony Thwaltes, dkk , 2002,
Hal. 227).
Dari jumlah pemberitaan, media lokal masih
merajai frekuensi pemberitaan. Harian Pro Haba
menempati urutan pertama jumlah pemberitaan
selama Juli – September 2012. Suratkabar harian
berhalun kriminal ini menurunkan 34 dari 144
berita yang terpantau atau 23,6 persen. Sementara
Harian Serambi Indonesia menempati urutan kedua
dengan frekuensi mencapai 30 kali. Selanjutnya,
Harian Waspada berada di urutan ketiga atau 27
berita, diikuti Metro Aceh dengan 21 pemberitaan
dan Rakyat Aceh menurunkan 19 berita dalam
kurun waktu tiga bulan.
Frekuensi pemberitaan isu syariat di harian
lokal memang tidak keliru. Karena “jualan” isu
lokal ditujukan kepada pembaca tempatan.
Prinsip proximity atau kedekatan adalah bagian
14
SHARIANEWSWATCH
03/DESEMBER 2012
dari news value atau nilai
berita. Yang menarik adalah
fakta pada Waspada. Jumlah
berita yang diturunkan harian
terbitan Medan ini melampaui
Metro Aceh dan Rakyat Aceh
yang notabenenya media lokal
meskipun masih terbit di
Medan.
Pemberitaan di Serambi
Indonesia, PROHABA, Waspada,
Metro Aceh, dan Rakyat Aceh
melebihi jumlah pemberitaan
soal syariat Islam yang
diturunkan media online
The Globe Journal. Media
siber Banda Aceh ini hanya
menurunkan 18 berita selama
periode itu. Sementara The
Atjeh Post.com menurunkan
16 berita syariat Islam atau
18,2 persen dari 88 berita yang
diterbitkan enam media siber.
Acehkita.com menurunkan 9
berita, sedangkan The Jakarta
Globe.com dan Antara-aceh.com,
nihil.
Harian Analisa menurunkan
12 berita dalam periode
tersebut. Harian Kompas, hanya
menurunkan sekali liputan.
Sementara The Jakarta Post
tak ada pemberitaan tentang
syariat Islam di Aceh selama
Juli – September 2012. Padahal,
periode Februari sampai
Juni 2012, The Jakarta Post
menurunkan dua liputan soal
penangkapan anak Punk.
Dari sisi isu, terdapat
perbedaan frekuensi antara
media cetak dan online. Media
cetak menurunkan 62 liputan
soal penangkapan atau 43,1
persen. Sedangkan online
hanya memberitakan 15 kali
penangkapan. Sosialisasi syariat
Islam di media online sebanyak
17 kali, sementara razia 11 kali.
Media cetak menurunkan
isu pembentukan Kaukus
Wartawan Pendukung Syariat
Islam (KWPSI) sebanyak
enam kali dalam isu lain
pemberitaan. Sementara media
online justru memberitakan
soal bisnis prostitusi dalam
isu berita lainnya. Persoalan
cambuk, pelaksanaan eksekusi,
pendangkalan aqidah, aliran
sesat, pemurtadan projustisi
yang menjadi variable
pemantauan tidak ditemukan
dalam media online. Pada media
cetak, projustisi ditemukan satu
kali pemberitaan, pendangkalan
aqidah enam kali, aliran sesat
16 kali, dan pemurtadan sekali.
Tapi tak semua isu tersebut
merupakan peristiwa, karena
sebagian merupakan pernyataan
pejabat berwenang.
Narasumber utama
pemberitaan selama periode
tersebut masih tetap dominan
Satpol PP & WH. Media cetak
menjadikan Satpol PP & WH
sebanyak 69 kali, sementara
media online 28 kali. Dinas
Syariat Islam menjadi
narasumber favorit kedua media
cetak atau 28 kali, sedangkan
media online menempatkan
pada terduga pelaku di urutan
kedua meski hanya 6 kali.
Selain itu, narasumber polisi
masih mendapatkan tempat
khusus di media cetak dengan
22 kali pemberitaan. Media
online justeru menjadikan
”
pejabat pemerintah daerah
sebagai narasumber selanjutnya.
Ulama dan pimpinan dayah,
narasumber berikutnya bagi
media online. Demikian
juga bagi media cetak yang
menurunkan 14 berita dengan
narasumber tersebut. Media
cetak menempatkan pemda
dan terduga pelaku dengan
perlakuan serupa yaitu 10 kali.
Fakta ini menunjukan
kondisi media belum sehat
secara proporsi narasumber.
Media gampang sekali mengutip
para pejabat tanpa memberikan
kesempatan membela diri pada
objek berita atau korban. UU
Pers dan Kode Etik Jurnalistik
menegaskan agar wartawan
Indonesia memberitakan
liputannya secara berimbang
dan proporsional.
Persoalan ini pernah
dipertanyakan kepada beberapa
teman jurnalis saat workshop
“Etika Pemberitaan Syariat
Islam” 18 Juni 2012 silam.
Mereka membela diri seraya
menyatakan bahwa ruh berita
dikemas para redaktur mereka.
Mereka bahkan mengaku kaget
antara berita yang dikirim
dengan berita yang terbit.
Memang alasan para jurnalis
itu tidak mengada-ada. Karena
dalam kebijakan redaksi,
redaktur menjadi penjaga
gerbang. Saat pemberitaan
merugikan korban, maka
redaktur mempertimbangkan
untung-rugi. Redaktur harus
memilih antara sekadar
mengenal masalah atau
menempatkan diri pada posisi
korban yang dapat membantu
redaktur mengatasi masalah
yang sulit ini (William L. River
dan Cleve Mathews, 1988, hal.
208).
Penggunaan narasumber,
keuchik/imam/ketua
pemuda, LSM, korban, Dinas
Syariat Islam di media online
memiliki frekuensi sama 3
kali. Narasumber DPRA/DPRK,
warga pelapor, dan narasumber
wartawan hanya satu kali di
media online. Sementara media
Banyak hal yang
bisa digarap
secara serius
dengan tetap
mengedepankan
kaidah-kaidah
jurnalistik
dan kode
etik, sehingga
pemberitaan
tak terkesan
hanya terjebak
pada peristiwa
semata.
cetak menjadikan pejabat
Pemda, terduga pelaku 10 kali.
Variable narasumber keuchik
diturunkan 9 kali, DPRA/
DPRK 2 kali, warga pelapor 8
kali. Narasumber saksi mata
sebanyak 7 kali, korban 3 kali,
Ormas 4 kali, massa/warga,
santri 1 kali. Media cetak
dan online tidak menemukan
narasumber tentara, hakim,
akademisi/pakar, jaksa dalam
pemberitaan periode tersebut.
Dari pendataan ditemukan
bahwa penggunaan bahasa
labelisasi mendominasi
jumlah pemberitaan. Media
cetak menggunakan bahasa
labelisasi sebanyak 77 kali atau
sangat dominan. Sedangkan
media online dominan dengan
technical reasoning. Labelisasi di
media online menempati urutan
kedua atau 17 kali, bandingkan
dengan media cetak.
Technical reasoning dan
disfemisme (pengasaran
bahasa) di media cetak sama
atau 36 kali. Metafora masih
sering digunakan dalam
pemberitaan di media cetak
atau 29 kali, sedangkan
media siber hanya 5 kali.
Eufimisme (penghalusan)
menjadi kecendrungan media
cetak menggunakan dalam
pemberitaan atau sebanyak 25
kali, sedangkan di online hanya
6 kali.
Akronimisasi diterbitkan
15 kali oleh media cetak,
sedangkan media online hanya
2 kali. Frekuensi slogan sama
antara media cetak dan media
online. Bahasa hiperbola
masih dominan di media cetak
dibandingkan media online. Jika
di media online hanya 2 kali, di
media cetak justru 6 kali.
Pendataan soal pencampuran
fakta dan opini, media cetak
dan siber masih tergolong
berimbang. Media cetak
menggunakan pencampuran
59 kali atau 41 persen
dari jumlah pemberitaan.
Sedangkan media online hanya
8 persen. Yang miris justru
pada keberimbangan. Media
cetak dan online lebih banyak
menurunkan karya jurnalistik
tak berimbang. Media cetak
hanya 17,4 persen berimbang,
sedangkan media online lebih
rendah atau 13,6 persen saja.
Verifikasi/cek dan ricek,
media online lebih bagus
dibandingkan media cetak.
Media online melakukan
verifikasi sebesar 25 persen,
sedangkan media cetak hanya
15,7 persen. Straight news atau
berita peristiwa masih menjadi
andalan media cetak dan online.
Media cetak menempatkan 99,3
persen sebagai straight news,
sementara media online lebih
rendah atau 95 persen. News
features dan indepth reporting
tetap menjadi sajian langka di
media massa yang dipantau.
Fakta-fakta di atas
menunjukan bahwa prinsip
untuk mewujudkan media
yang sehat terkesan diabaikan.
Yang paling baik bagi seorang
wartawan adalah berjuang matimatian untuk menyampaikan
informasi secara tepat waktu,
cermat, dan efektif sehingga
masyarakat mendapat gambaran
akurat setelah menerima
pesan tersebut. Wartawan dan
redaktur menyaring berbagai
fakta yang masuk. Bisa saja
wartawan dan redaktur tidak
memahami berita yang diliput,
dengan mendatangi sumber
yang salah. Namun dalam
berbagai kasus kebajikan
menjadi keharusan (Clifton
Fadiman, 1988).
Publik tentu berharap media
massa, khususnya yang terbit
di Aceh, untuk lebih cermat
dalam memberitakan masalah
pelaksanaan syariat Islam di
Aceh. Banyak hal yang bisa
digarap secara serius dengan
tetap mengedepankan kaidahkaidah jurnalistik dan kode
etik, sehingga pemberitaan
tak terkesan hanya terjebak
pada peristiwa semata. Tetapi
hampir setahun pemantauan
yang dilakukan, hal itu masih
jauh dari harapan.[]
SHARIANEWSWATCH
03/DESEMBER 2012
15
“
Wartawan
harus menguji
informasi, tidak
boleh menelan
mentah-mentah
keterangan
narasumber.
KONFIRMASI
dan VERIFIKASI
adalah
bagian dari
ETIKA
Media Sehat Pers Bermartabat
AJI BANDA ACEH
Download