EDISI 03/DESEMBER 2012 BERITA atau PROPAGANDA? penerbitan ini didukung oleh Penerbit: Aliansi Jurnalis Independen Banda Aceh. Penanggungjawab: Mukhtaruddin Yakob. Editor: Nurdin Hasan, Adi Warsidi. Tim Penulis: Maimun Saleh, Daspriani Yuli Zamzami, Muhammad Riza Nasser. Sidang Redaksi: Alaidin Ikrami, Salman Mardira, Zulkarnaini Muchtar. Manajer Keuangan: Abdul Munar. Manajer Administrasi: Reza Fahlevi. Supervisi: AJI Indonesia. Dukungan dana: Ford Foundation melalui Cipta Media Bersama. Alamat Redaksi: Sekretariat AJI Banda Aceh Jl. Angsa No. 23 Batoh, Banda Aceh. Telp: +62-651-637708 SHARIANEWSWATCH Faksimile: +62-651-637708 Website: http://mediasehat.ajibanda.org Facebook: ajibanda Twitter: 03/DESEMBER 2012aji_banda 01 Kabar Seminar Perlu Pembenahan Oleh Mukhtaruddin Yakob Abdul Munar/dok. AJI Banda Aceh PADA 18 Oktober 2012 silam, sebuah seminar nasional tentang Etika dan Profesionalitas Media digelar di Banda Aceh. Penyelenggaraan seminar ini sebagai respon atas hasil pemantauan media yang dilakukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Banda Aceh melalui program Mendorong Media Sehat dalam Pemberitaan Syariat Islam di Aceh. Seminar diawali dengan presentasi hasil pemantauan pemberitaan tentang syariat Islam selama Agustus sampai September 2012. Pantauan dua bulan terakhir dipilih sebagai pemantauan ter­ baru untuk memberikan gambaran ke­ pada publik kondisi pemberitaan syariat Islam yang disiarkan media cetak dan online yang terbit dan beredar di Aceh. Dalam pemantauan itu, pemberita­ an syariat Islam masih belum meng­ gembirakan. Kecenderungan berita lebih besar pada penangkapan dan razia. Sementara sosialisasi syariat Islam ketinggalan jauh. Demikian juga suara korban dan perempuan sebagai pihak yang selama ini menjadi objek razia dan pemberitaan bagai terabaikan. Presentasi pantauan yang disam­ paikan Manager Program, Mukhtaruddin Yakob juga menemukan bahwa kutipan pernyataan pejabat sangat dominan dibandingkan suara masyarakat dan korban. Pemberitaan tak berimbang masih terlalu besar persentasenya dibandingkan keberimbangan. Padahal, cover both side dan verifikasi yang menjadi aturan penting dalam suatu pemberitaan. Kondisi sama juga terjadi 02 SHARIANEWSWATCH 03/DESEMBER 2012 pada konfirmasi dan pencampuran opini dan fakta. Seminar yang menghadirkan tiga pembicara dipandu Maimun Saleh, Ketua AJI Banda Aceh. Komisaris Besar (Kombes) Pol. Gustav Leo yang tampil pada kesempatan pertama mengurai peran Polda Aceh dalam menindaklanjuti sengketa pers. Gustav memaparkan pengalamannya saat masih berada di Divisi Humas Mabes Polri dan ketika bertugas di Polda Papua. Menurutnya, polisi terus mendorong penyelesaian sengketa pers melalui jalur UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Upaya ini sudah dilakukan sejak Kapolri dijabat Bambang Heru Danuri. Polda Aceh, tambah Gustav, meng­ garisbawahi tiga hal penting dalam menangani kasus sengketa pers. Salah satunya, masih banyak pengaduan ma­ sya­rakat akibat pemberitaan. Tahun 2010 menjadi awal upaya Polri menangani kasus sengketa pers dengan menge­ depankan UU Pers. Ada 7000 penyidik yang diberikan pemahaman oleh Divisi Humas Polri tentang bagaimana mekanisme menerima pengaduan, me­ nyam­paikan hak jawab dan hak koreksi kepada masyarakat agar tidak langsung menempuh upaya hukum ke polisi. Hasil evaluasi polisi, masih banyak masyarakat yang mengadukan pers tanpa melalui mekanisme UU Pers akan berdampak pada upaya kriminalisasi pers. Kondisi ini tidak perlu terjadi jika masyarakat dan penyidik memiliki persepsi yang sama. Namun, polisi tak akan gegabah bertindak. Dalam kasus sengketa pers, tambah Gustav, polisi tetap berkomunikasi dengan Dewan Pers. Demikian juga jika ada laporan dari masyarakat, jurnalis tidak perlu takut memberi keterangan bila dipanggil polisi. “Polda Aceh sudah membahani penyidik dengan UU Pers. Sayangnya, tidak seluruh penyidik paham dengan mekanisme ini,” kata Gustav lagi. Sementara itu Ketua Umum AJI Indonesia, Eko Maryadi yang tampil pada kesempatan kedua memaparkan tanggung jawab AJI untuk mengawasi Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Era pers bebas menyebabkan kondisi pers sedikit miris. Untuk membendungnya dibutuhkan KEJ. Eko menganalogikan KEJ bagaikan kitab suci jurnalis di Indonesia, karena KEJ adalah bagian dari rambu-rambu terhadap tugas jurnalistik. AJI sebagai organisasi profesi bertanggungjawab terhadap penegakan etika sesuai yang termaktub dalam KEJ. Dewan Pers sebagai lembaga independen yang bertugas mengawasi penegakan KEJ perlu didukung agar profesionalisme jurnalis dan media bisa terwujud. Jurnalis bisa kehilangan haknya jika terjadi pelanggaran etika. “Saat ini susah membedakan antara fakta dan gosip. Antara wartawan amplop dan wartawan yang sungguhan,” ujar Eko yang kerap disapa Item. Menurutnya, selama ini pelanggaran etika yang seharusnya bisa diselesaikan melalui mekanisme UU Pers sering di­ abai­kan. Lahirnya kesepahaman atau MoU antara Dewan Pers dan Kapolri pada Februari 2012 membawa angin segar bagi penyelesaian sengketa pers di Indonesia. Presentasi anggota Dewan Pers, Bekti Nugroho pada sesi penutup menjadikan seminar ini hangat. Bekti menampilkan siluet foto seorang model yang ditahan polisi. Sebuah foto setengah bugil beredar di internet. Yang ingin ditonjolkan Bekti, bagaimana media arif memberitakan dengan menghormati kaidah dan etika yang ada. Saat jurnalis mulai meliput dan memberitakan, perlu ada prinsip bahwa berita tersebut mengandung nilai SALAM. edukasi, bukan sensasi. Bekti banyak mencontohkan sejum­ lah media di Indonesia “menjual” aurat sekaligus mempermalukan objek berita. Padahal, sejatinya aura dari pemberitaan sehat, bukan sekadar kontrol sosial tanpa format. “Seorang jurnalis yang cer­ das tau apa pesan yang ingin disam­paikan, bukan fakta saja, masih banyak berita lain yang lebih bermanfaat dari sekadar berita mesum atau kriminal murahan,” ujar Bekti. Jurnalis senior televisi swasta ini juga menekankan pentingnya verifikasi. Tuduhan terhadap mesum atau perzi­nah­ an tidak sembarang, karena butuh cross check dan saksi. Pemberitaan aib sangat bertentangan dengan prinsip syariat Islam yang tengah dijalankan di Aceh, katanya. Oleh karena itu, dibutuhkan etika dalam meliput dan menulis berita. “Etika itu adalah kejujuran, keadilan dan tanggung jawab. Maka pers Indonesia wajib melaksanakan standar ini agar tidak ada pihak yang dirugikan. Wartawan tanpa etika, maka itu anarki,” tegas pengurus Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) ini. Seminar yang dihadiri berbagai stakeholder, ulama, LSM dan ormas ini berlangsung dinamis. Sejumlah per­tanyaan dan saran penting menge­muka. Para peserta nyaris tak kebagian waktu menyampaikan pendapat dan saran terhadap kondisi pemberitaan khusus­nya yang terkait isu syariat Islam. Namun, beberapa penanya, meng­gugat peran Dewan Pers dan AJI sebagai lembaga pers terhadap kualitas pemberitaan syariat Islam selama ini. Akmal Abzal, peserta dari Rabitah Thaliban memprotes model pemberitaan yang menghakimi. Sebagai contoh, saat seseorang ditangkap karena diduga melanggar hukum, media menempatkan di halaman depan. Sayangnya, saat diputuskan tak bersalah, media sering alpa, bahkan nyaris tak ada berita. “Ini kan tidak adil. Bagaimana pun media harus bertanggungjawab merehabilitasi nama yang bersangkutan,” kata Akmal. Begitu pula Cut Putri yang mewakili Hiz­ but Thahir Indonesia menanyakan saluran pengaduan jika ada wartawan pemeras. “Apa yang akan dilakukan AJI dan Dewan Pers terhadap korban peme­rasan?” tanya Cut Putri bersemangat. [] PEMBACA yang budiman, Sharia News Watch (SNW) kembali hadir di hadapan Anda. Secara umum, tidak ada perubahan mendasar antara edisi III ini dengan dua edisi sebelumnya. Pemantauan dan pendataan pemberitaan syariat Islam dituangkan dalam analisis. Perubahannya cuma terjadi pada jumlah media dan berita yang terpantau. Bila pada edisi perdana, jumlah yang dipantau mencapai 18 media cetak dan online. Pada edisi II menjadi 15 media dan di edisi III, kembali berkurang jadi 12 media saja. Kondisi ini karena beberapa media tidak terbit lagi, seperti Harian Pikiran Merdeka, demikian juga dengan situs acehcorner.com. Sementara Harian Aceh berubah jadwal terbit dari harian menjadi mingguan, sehingga tidak dapat dipantau berbanding lurus dengan harian terbit reguler. Selebihnya, masih tetap berlangsung seperti biasa dengan penekanan pada kelompok rentan dan terpinggirkan. Sedangkan isi newsletter, analisis soal narasumber, bahasa dan peristiwa menjadi sajian utama kami. Analisis diperkuat data dan fakta dari pemberitaan yang dipublikasikan sejumlah media yang terbit dan beredar di Aceh. Pada edisi ini juga dipaparkan hasil Seminar Nasional Etika dan Profesionalitas Media yang menghadirkan Bekti Nugroho (anggota Dewan Pers), Eko Maryadi (Ketua Umum AJI Indonesia) dan Kombes Polisi Gustav Leo (Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Aceh) menggantikan Kapolda Aceh Irjen Pol Iskandar Hasan, yang berhalangan hadir. Seminar nasional sekaligus presentasi hasil pemantauan media terkini, Agustus dan September 2012. Dinamika dalam seminar patut menjadi perhatian semua pihak demi terwujudnya media sehat dalam pemberitaan syariat Islam di Aceh. Newsletter edisi III ini tampil agak berbeda dengan dua edisi sebelumnya. Kami terus melakukan perbaikan demi kesempurnaan. Kami menyisipkan kampanye Media Sehat pada beberapa halaman untuk mengingatkan kita akan betapa pentingnya media yang sehat secara etika dan norma. Akhirnya, kami dari jajaran redaksi SNW mempersembahkan beberapa laporan hasil pemantauan selama periode ini, tentunya dengan berbagai plus dan minus. Kritik dan saran tetap kami harapkan demi kesempurnaan pemantauan pemberitaan syariat Islam di Aceh demi terwujudnya media yang profesional dengan tetap mengedepankan etika. Selamat membaca.[] Abdul Munar/dok. AJI Banda Aceh SHARIANEWSWATCH 03/DESEMBER 2012 03 Review #BAHASA TABAYYUN Sejak Februari hingga September 2012, AJI Banda Aceh melakukan pemantauan belasan media cetak dan online terbitan nasional maupun lokal. Hasilnya, ditemukan 169 kali praktik stigma. Esai ini membahas penggunaan bahasa media. Oleh Maimun Saleh PEMANTAUAN bahasa media dipilah menjadi delapan kategori; eufemisme, disfemia, stigma, hiperbola, technical reasoning, metafora, akronimisasi serta slogan. Edisi ini secara khusus membahas soal stigma. Kajian bahasa berita ini menggunakan pola analis bingkai. Dalam ranah denotatif kata lacur, kalah tenar dengan pelacur. Padahal pelacur berasal dari lacur yang artinya; malang, celaka atau sial. Makna lain dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti buruk laku. Hingga kata pelacur sama sekali tak berarti nasib, melainkan pekerjaan menyewakan kelamin. Makanya tidak ada yang bergembira kalau disebut pelacur. Apa yang paling identik dengan kata pelacur? Dosa dan hukuman. Di Aceh sejak tahun 2001, pelacur dan pelacuran, ‘diperangi’ sejadi-jadinya. Aceh memberlakukan syariat Islam. Seiring dengan itu, praktik mesum (khalwat) dihalau tiada henti. Sampai-sampai sejumlah lokasi wisata ditutup agar tak ada tempat untuk “berbuat mesum”. “Dua Pelacur ABG…” begitu judul salah satu berita surat kabar lokal, medio September lalu. Salah seorang perempuan yang diberitakan kemudian ditemukan tak bernyawa, dengan tali yang melilit leher. Pelacur merupakan salah satu stigma. Kata itu sering muncul di media massa sepanjang Februari hingga September. Tak salah kata itu apabila benar faktanya demikian, hanya mungkin tak elok dibaca 04 SHARIANEWSWATCH 03/DESEMBER 2012 dan tak sesuai dengan ‘etika tutur’ bangsa ini. Bila tanpa fakta, siapapun yang ditambal pelacur oleh media massa pastilah suram masa depannya. Stigma dilain sisi senjata ampuh “pembunuhan karakter.” Tak hanya pelacur stigma yang sering digunakan media. Dalam memberitakan syariat Islam media sering menggunakan stigma; pendakalan akidah, sesat, lokasi mesum, pelanggaran syariat, pasangan mesum (khalwat). Sepanjang delapan bulan, media telah 169 kali memproduksi stigma atau labelisasi, 32 di antaranya pada bulan September. Stigma biasanya lahir dari pola pemberitaan one sided story (peliputan sepihak). Jurnalisme di jagat raya ini menganjurkan agar media menjalankan prinsip cover both sides. Malah sekarang ada media yang mengklaim telah menerapkan cover multi sides, artinya meliput dari berbagai sisi. Anjuran cover both sides bahkan ma­ suk dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ), “wartawan Indonesia selalu menguji in­ formasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.” Begitulah bunyi pasal tiga KEJ. Media massa merupakan salah satu pemicu representasi. Stuart Hall, sosiolog asal Kingston, Jamaika, menyatakan, representasi cara bagaimana mengartikan memaknai melalui gambar dan kata-kata ” untuk mengatakan apa saja yang diinginkan. Berangkat dari teori representasi Stuart Hall ini, mari mengulang ingatan sejenak pada peristiwa-peristiwa penutupan lokasi wisata di Aceh. Apa alasan penutupan? Mengapa massa mengamuk hingga mem­ bakar warung di lokasi wisata? Jawabannya, “sering dijadikan lokasi mesum.” Cafe merupakan salah satu representasi praktik mesum. Bagaimana media membangun itu? Sekadar contoh, lihat saja berita: “Ditenggarai Lapak Maksiat WH Pidie Grebek Cafe,” Rakyat Aceh edisi 28 Agustus. Dari penempatannya (paragraf dua terakhir), penjelasan pemilik cafe pada berita straight news ini dapat disimpulkan “kurang penting” bagi media itu. Padahal penjelasannya sangat penting, “Saya tegaskan usaha ini tidak pernah kita buka praktek, yang diduga masyarakat sebagai tempat mesum ataupun khalwat,” tukasnya. Upaya stigma juga dipertegas lewat foto dengan keterangan, “KHALWAT - mudamudi pelaku khalwat diamankan petugas WH sedang menjalani pemeriksaan.” Sementara dalam beritanya, tak satupun ada penjelasan apa yang dilakukan muda-mudi tersebut hingga disebut khalwat. Stigma memiliki daya dorong upaya generalisasi. Misalnya, seolah-olah setiap dua insan bersama berarti sedang mesum. Tak jarang media massa ‘memaksa’ pembaca untuk menerima stigma, tanpa memapar fakta dari tindakan yang disebutkan mesum Hai orangorang beriman, jika datang kepada kamu seseorang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya, yang menyebabkan kamu menyesali atas perbuatanmu itu tersebut. “Mesum di Belakang Ruko Pasangan Putoh Kawat Ditangkap WH” begitulah judul yang diturunkan Prohaba, 28 Juli lalu. Judul ini memunculkan pertanyaan, apakah setiap berdua dapat disebut “pasangan?” tentu tidak. Apalagi disebut putoh kawat (sakit jiwa). Menariknya lagi judul ini juga mengarahkan simpulan pembaca, bahwa telah terjadi praktik khalwat. Tapi pada paragraf tiga ditulis, “akan bermesum ria.” Kata “akan” berarti belum terjadi. Mesum apa yang “akan” mereka lakukan? Itu tak ada penjelasan. Yang jelas mereka disebut mesum. Stigma selanjutnya, terjadi pada paragraf enam, lewat pernyataan narasumber, “karena kedua pelaku tidak waras, mereka tidak jadi kita periksa…” kata “pelaku” menegaskan ada pelanggaran mereka lakukan, tapi apa yang mereka lakukan? tak ada keterangan. Sekitar 15 abad sebelum KEJ disepakati 31 organisasi kewartawanan di Indonesia, Islam sudah menyerukan agar tabayyun (check and recheck). Persisnya anjuran dalam surat Al Hujuraat ayat enam, “Hai orang-orang beriman, jika datang kepada kamu seseorang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya, yang menyebabkan kamu menyesali atas perbuatanmu itu.” Tabayyun itu perintah Allah, beranikah Anda menentangnya?[] SHARIANEWSWATCH 03/DESEMBER 2012 05 Review BERITA ATAU PROPAGANDA? Oleh Riza Nasser BAGAIMANA media membangun persepsi pembaca atas pemberlakuan syariat Islam di Aceh? Untuk mencari jawabannya, analis memilih model framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki dimana salah satu aspek analisisnya penempatan narasumber. Sharia News Watch periode Juli hingga September 2012 memantau 13 media yakni delapan media cetak lokal, regional dan nasional, serta lima media online lokal dan nasional. Media yang dipilih dipandang memiliki pengaruh besar terhadap pembaca, dengan indikator; oplah, luasan sirkulasi atau pengunjung pada media online. Media cetak yang dipantau adalah Serambi Indonesia, Harian Rakyat Aceh, Pro Haba, Metro Aceh, Waspada, Harian Analisa, The Jakarta Post, dan Kompas. Sementara media online yang menjadi sampel pemantaun ini yakni Atjehpost. com, Acehkita.com, theglobejournal. com, Antara dan thejakartaglobe.com. Analis memilih 13 kategori narasumber yang relevan dan paling sering dimintai keterangan. Di antaranya adalah pejabat Wilayatul Hisbah, pejabat Dinas Syariat Islam, polisi, pejabat pemerintah, anggota dewan, aparat desa, ulama, aktifis LSM, warga pelapor, dan saksi mata. Selain itu katagori narasumber yang masuk dalam pemantauan ini adalah terduga pelanggar syariat dan korban salah tuduh. Dari hasil pemantauan, terjadi peningkatan pemilihan narasumber resmi pada periode Juli – September 2012. Narasumber resmi itu antara lain pejabat Wilayatul Hisbah, pejabat Dinas Syariat Islam dan polisi. Periode sebelumnya yaitu Maret – Mei 2012, petugas Wilayatul Hisbah menjadi narasumber dalam 50 berita. Sementara periode Juli – September naik menjadi 85 berita. Sementara polisi yang menjadi narasumber pada triwulan 06 SHARIANEWSWATCH 03/DESEMBER 2012 lalu dengan periode kali ini, tercatat seimbang dengan 22 berita. Dalam pemberitaan periode ini, media cenderung membangun model one side story dengan dominasi narasumber resmi. Bayangkan dalam kurun tiga bulan hanya empat warga ditanyai terkait peristiwa yang terjadi padanya. Padahal sejatinya, warga yang bersengketa itulah narasumber utama yang tidak boleh diabaikan untuk dimintai informasi. Narasumber resmi atau pejabat hanya lebih memaparkan pendapatnya atas peristiwa termasuk dalam memapar runut peristiwa, ini disebut fakta psikologis. Sementara media online memiliki kecenderungan memilih narasumber tunggal. Nyaris sepanjang periode ini, hanya pejabat Wilayatul Hisbah (WH) narasumbernya. Berita-berita yang disajikan seluruhnya talking news, hanya dari sisi WH. Pemberitaan soal syariat Islam periode pamantauan ini jauh dari tuntunan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Prinsip pertama yang terlanggar yakni keberimbangan. Hal lain yang tak diindahkan yaitu anjuran menguji informasi, tak mencampur fakta dan opini. Trend pemberitaan sepihak ini sangat mempengaruhi akurasi, serta objektifitas. Fakta (kebenaran) tak dapat ditawar dalam pemberitaan. Sedikit saja diselip “rekayasa”, maka tak lagi dapat disimpulkan sebagai berita. Teknik pelintir fakta seperti ini adalah salah satu cara yang dilakukan Hitler dalam menjalankan propagandanya. Dalam Everyman's encyclopedia disebutkan, propaganda merupakan suatu seni untuk menyebarkan dan meyakinkan suatu kepercayaan, khususnya kepercayaan agama atau politik. “Kebohongan paling besar ialah kebenaran yang diubah sedikit saja,” ini ajaran Jozef Goebbels, Menteri Propaganda Nazi yang paling terkenal. Sebagai pakar propaganda paling tenar era Nazi berkuasa, seruan Goebbels pada awak media di bawah kendalinya menarik untuk sekadar diingat, “sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang, akan membuat publik menjadi percaya." Dalam pemberitaan syariat Islam, media gagal menjalankan fungsi kontrol. Kedekatan dengan narasumber resmi bisa jadi salah satu faktor penyebabnya. Resiko paling pelik, berita tak lagi diperuntukkan buat kepentingan publik, melainkan pejabat publik. Sosiolog asal Amerika yang juga meneliti tentang perkembagan media, Herbert Gans, mengibaratkan hubungan antara narasumber dan jurnalis sebagai pasangan dansa. Narasumber mencari akses terhadap jurnalis, dan jurnalis mencari akses terhadap narasumber. Baik jurnalis maupun narasumber dapat memimpin tarian. Namun lebih sering terjadi narasumberlah yang memimpin tarian itu. Tabel 1: Frekuensi pemilihan narasumber media cetak No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 NARASUMBER Wilayatul Hisbah (WH) Dinas Syariat Islam Polisi Ormas LSM Ulama Pemda/Pemko/Pemkab Perangkat Desa Anggota Dewan Korban Diduga Pelaku Warga pelapor Saksi Mata Frekwensi 56 26 22 4 14 9 9 2 4 8 5 7 Tabel 2: Frekuensi pemilihan narasumber media online No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 NARASUMBER Wilayatul Hisbah (WH) Dinas Syariat Islam Polisi Ormas LSM Ulama Pemda/Pemko/Pemkab Perangkat Desa Anggota Dewan Korban Diduga Pelaku Saksi Mata Frekwensi 29 3 3 3 5 2 4 5 2 Di ranah media online lokal, theglobejournal.com dan atjehpost. com paling sering menyajikan narasumber tunggal. Bisa jadi kedua media ini memiliki policy; satu berita satu narasumber. Tapi warga yang terjerat qanun syariat Islam hanya dua kesempatan saja dimuat informasinya. No Media 1 2 3 4 5 6 10 11 12 Serambi Indonesia Rakyat Aceh Pro Haba Metro Aceh Waspada Analisa Atjehpost.com Theglobejournal.com Acekita.com No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Narasumber Dinas Syariat islam Polisi 4 7 4 6 9 3 5 9 3 3 2 - WH 7 4 14 12 7 8 9 13 7 NARASUMBER Wilayatul Hisbah (WH) Dinas Syariat Islam Polisi Ormas LSM Ulama Pemda/Pemko/Pemkab Perangkat Desa Anggota Dewan Korban Diduga Pelaku Saksi Mata Atjehpost.com sedikit memperkaya dengan narasumber Dinas Syariat Islam dan polisi. Mayoritas pemberitaan syariat Islam berjenis straight news, dalam jenis ini dikenal hirarki informasi yang begitu tegas. Semakin di atas informasi ditempatkan, semakin penting informasi tersebut. Hal ini lebih dikenal dengan istilah piramida terbalik. Narasumber resmi selalu mendapat porsi lebih besar dalam pemberitaan. Tidak hanya dalam porsi penempatan di bagian awal berita, narasumber resmi seperti Wilayatul Hisbah dan polisi sering mendapat tempat sebagai judul berita. Sebanyak 12 kali WH menempati lead, cukup untuk menjadi ukuran institusi ini adalah prioritas. Bahkan Dinas Syariat Islam hanya enam kali saja. Ironisnya, betapa tidak pentingnya korban dan warga yang diduga pelaku pelanggar syariat Islam bagi media. Hal ini ditunjukkan dengan tidak pernahnya kedua warga ini menempati lead. Korban sebagai pelengkap JUL 2 1 1 Title AGS SEP 1 JUL 7 4 1 1 3 1 Ulama 12 1 -- Diduga Pelaku 3 1 4 2 2 2 berita yang tidak diperhitungkan, diperlihatkan media hanya dengan memberi ruang kecil satu atau dua paragraf pada akhir berita. Itupun langka. Selama Juli, hanya sekali saja korban memberi keterangan sementara September tidak pernah sama sekali. Dari 77 berita penangkapan para terduga pelanggar syariat Islam, hanya 13 berita yang memuat keterangan dari terduga pelanggar. Penempatan keterangan mereka hanya menjadi pelengkap dan ditempatkan di akhir paragraf berita. Padahal merujuk pada teori penempatan narasumber dalam ilmu jurnalistik, korban atau terduga pelaku adalah narasumber utama yang harus dimintai keterangannya. Karena mereka terkait langsung dengan peristiwa yang diberitakan. Pejabat dan petugas harusnya hanya menjadi sumber pelengkap. Upaya perimbangan berita cukup minim diperankan oleh media yang dipantau. Apa yang disampaikan narasumber resmi ditelan mentahmentah. Upaya menguji informasi lewat cek dan ricek juga jarang dilakukan, dan media cenderung mengamini sumber resmi. Padahal mengandalkan sumber resmi menjadikan informasi yang dihasilkan tidak kaya dan mengaburkan fakta. Peluang menyebarkan propaganda menyesatkan cukup besar. Sebab narasumber resmi punya kepentingan untuk meningkatkan derajat instansi lewat publikasi. Lalu, sampai kapan propaganda berbalut berita terus disebar? [] PENEMPATAN NARASUMBER Lead Body AGS SEP JUL AGS 2 3 23 37 2 7 5 1 2 1 2 3 1 6 1 2 1 2 3 2 10 4 SEP 11 10 8 1 3 9 1 3 Last Paragraf JUL AGS SEP 25 30 14 5 8 11 1 8 1 3 5 3 1 3 1 1 3 5 1 2 1 1 SHARIANEWSWATCH 03/DESEMBER 2012 07 GALERI Anggota Dewan Pers, Bekti Nugroho pada Seminar Nasional " Etika dan Profesionalitas Media" yang digelar AJI Kota Banda Aceh. Foto Abdul Munar/dok. AJI Banda Aceh FGD "Panduan Pemberitaan Syariat Islam" di Banda Aceh. Foto Abdul Munar/dok. AJI Banda Aceh 08 SHARIANEWSWATCH 03/DESEMBER 2012 Roadshow Media Sehat di Lhokseumawe. Foto Abdul Munar/dok. AJI Banda Aceh FGD "Panduan Pemberitaan Syariat Islam" di Banda Aceh. Foto Abdul Munar/dok. AJI Banda Aceh Workshop "Membangun Etika Pemberitaan Syariat Islam yang Sehat" di Banda Aceh. Foto Abdul Munar/dok. AJI Banda Aceh SHARIANEWSWATCH 03/DESEMBER 2012 09 Review ISU BERLANJUT, TANPA SOLUSI Oleh Despriani Zamzami ADA yang hangat pada pemantauan pemberitaan syariat Islam yang dilakukan selama triwulan ketiga tahun 2012. Itu terlihat adanya pasang surut terhadap isu penangkapan yang dilakukan pihak berwenang, dalam hal ini Wilayatul Hisbah (WH) atau Polisi Syariah terhadap pelaku yang diduga melanggar syariat. Angka penangkapan menonjol pada Agustus 2012 yaitu mencapai 36 kasus. Sedangkan, bulan Juli 2012 hanya 17 kasus dan pada September 2012 naik jadi 24 kasus. Sebagian besar isu pemberitaan adalah kasus penangkapan pelaku khalwat alias mesum dengan pasangan yang bukan muhrim. Selama Juli hingga Agustus 2012, kuantitas pemberitaan kasus penangkapan yang dilakukan Selain peristiwa, soal penegakan syariat Islam menjadi bagian utama dari upaya penegakan hukum di Aceh. Syariat Islam yang sudah menjadi hukum positif, diharapkan mampu diimplementasikan oleh masyarakat. Tak urung, jika media mengangkat menjadi isu utama yang tak boleh dilepaskan dari setiap penerbitan pemberitaan di media massa. Dalam analisis, yang menjadi masalah adalah belum maksimalnya masyarakat mengimplementasikan syariat Islam sebagaimana yang sudah ditetapkan oleh pemerintah sesuai qanun (peraturan daerah) yang sudah menjadi hukum positif dalam kehidupan masyarakat. Sehingga banyak masyarakat polisi syariah, naik 111 persen. (Lihat tabel 1 dan tabel 2). Isu menghangat karena di antara bulan-bulan tersebut, umat Islam menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Imbauan untuk menghormati, memuliakan, berlaku dan bersikap sesuai ajaran Islam gencar dilakukan pihakpihak terkait, baik kelompok masyarakat maupun pemerintah daerah melalui instansi terkait baik Dinas Syariat Islam maupun Satpol PP/Wilayatul Hisbah. Media pun memainkan perannya, memberitakan peristiwa yang terjadi di sekitar masyarakat. Walau tak ada pernyataan bahwa ini adalah hal maksimal dilakukan media dalam mendukung pelaksanaan syariat Islam, atau sekadar menambah jumlah pembaca. Tabel 1. Pemberitaan Syariat Islam Berdasarkan Penempatan Isu Juli 2012 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 10 ISU Cambuk Razia Sosialisasi Pelaksanaan Eksekusi Pelaksanaan Projustisi Penangkapan Pendangkalan Aqidah Aliran Sesat Pemurtadan Lain-lain SHARIANEWSWATCH 03/DESEMBER 2012 SI 1 2 PRO 2 7 RA MA 1 5 6 WSP 1 6 2 1 1 ANS 4 1 KOM JP JG TAP 2 5 AK 1 4 2 TGJ 4 2 ANT Tabel 2. Pemberitaan Syariat Islam Berdasarkan Penempatan Isu Agustus 2012 No 1 ISU Cambuk SI 2 Razia 3 5 2 2 2 1 3 Sosialisasi 2 1 1 2 2 4 Pelaksanaan Eksekusi 5 Pelaksanaan Projustisi 1 6 Penangkapan 1 13 2 6 5 1 3 4 1 7 Pendangkalan Aqidah 8 Aliran Sesat 9 Pemurtadan 10 Lain-lain 2 yang kemudian ditangkap (dilakukan polisi syariah sesuai kewenangannya), karena melanggar aturan yang ada. Dalam pemberitaan yang dipantau, kebanyakan warga yang ditangkap adalah PRO RA MA WSP ANS KOM JP JG TAP TGJ AK ANT pelanggaran syariat Islam. Selain penangkapan, isu lain yang beriringan dan saling terkait satu sama lain ialah razia dan sosialisasi. Razia dan sosialisasi memang selalu dilaksanakan berbarengan. Jadi REPRO pelaku mesum, dimana mereka melakukan perbuatan yang melanggar qanun seperti berdua-duaan dengan pasangan non muhrim tanpa ikatan pernikahan sah. Isu-isu penangkapan yang merupakan isu dengan kontinuitas tinggi ini belum memiliki solusi untuk meminimalisir. Sehingga beberapa penangkapan memberi dampak negatif bagi korban dan masyarakat. (Lihat pemberitaan gambar 3). Media terlihat masih kurang dalam memainkan isu sebagai upaya mendorong adanya pemberitaan berisikan solusi dari pemberitaan-pemberitaan tiga bulan ini yakni mulai Juli hingga September, maka jumlah frekuensi aktifitas razia ada 40 kasus dan sosialisasi ada 46 kasus. Angka-angka ini menunjukan bahwa tiga aktifitas tersebut terkesan menjadi aktifitas utama dari pemerintah daerah dalam mengimplementasikan pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Isu lain yang menggejolak di tengah masyarakat dan diberitakan media ialah soal pendangkalan aqidan dan aliran sesat. Masalah ini tak populer sepanjang Juli 2012 yaitu hanya terpantau 1 kasus yang dilaporkan oleh harian Waspada. (Lihat Tabel 1). tak heran jika frekuensi kegiatan razia dan sosialisasi (dalam hal ini sosialisasi implementasi qanun-qanun syariat Islam) jumlahnya hampir bersamaan. Dari tabel 1 dan 2 di atas, bisa dilihat angka frekuensi aktifitas razia untuk bulan Juli sebanyak 16 kasus dan sosialisasi ada 25 kasus. Sedangkan frekuensi untuk bulan Agustus 2012, razia mencapai 15 kasus dan sosialisasi 8 kasus. Sementara untuk frekuensi bulan September 2012, angka untuk razia sebanyak 9 kasus dan sosialisasi hanya 3 kasus. (Lihat tabel 3) Jika dijumlahkan selama REPRO SHARIANEWSWATCH 03/DESEMBER 2012 11 Tabel 3 : Pemberitaan Syariat Islam Berdasarkan Penempatan Isu Bulan September 2012 No 1 ISU Cambuk SI 2 Razia 1 2 4 1 1 3 Sosialisasi 4 1 1 1 2 3 1 4 Pelaksanaan Eksekusi 5 Pelaksanaan Projustisi 6 7 Penangkapan Pendangkalan Aqidah 4 8 1 6 4 1 1 4 8 Aliran Sesat 15 1 9 Pemurtadan 1 10 Lain-lain 6 Isu ini kembali melonjak frekuensi angkanya pada bulan September 2012. Untuk kasus pendangkalan aqidah ada 5 kasus dan untuk aliran sesat melonjak menjadi 16 kasus. (Lihat tabel 3). Kasus-kasus ini didominasi pemberitaannya oleh harian terbitan yakni Serambi Indonesia. Sementara media lain yang notabenenya juga media lokal seperti Rakyat Aceh dan media regional yang memiliki halaman khusus Aceh seperti harian Analisa dan Waspada justru tidak menulis sama sekali isu pendangkalan aqidah dan aliran sesat yang merupakan bagian dari penegakan syariat Islam. PRO RA MA WSP ANS KOM JP JG TAP Dari berbagai pemberitaan terkait isu pendangkalan aqidah dan aliran sesat ini, ada hal yang juga perlu dikritisi, bahwa pihak terkait harus memberi sosialisasi lebih banyak kepada masyarakat. Tapi media belum memiliki cukup waktu untuk REPRO TGJ AK ANT memuat upaya sosialisasi kepada masyarakat dengan porsi yang sama seperti pemberitaan peristiwa yang diangkat sebelumnya. Bukan tidak mungkin penangkapan, razia, pendangkalan aqidah dan aliran sesat akan menjadi gunung es, sehingga pemberitaan tentang syariat Islam selama ini menjadi tidak berarti, tetapi hanya sebatas menjalankan tugas sebagai wartawan untuk memberitakan peristiwa. Media tidak mendorong adanya upaya memberi solusi atas peristiwa tersebut, dengan memberitakan kembali kelanjutan upaya-upaya penyelesaian masalah yang terjadi.[] REPRO Isu teratas pemberitaan Syariat Islam periode Juli-September 2012 Isu juli : 1. Sosialisasi : 25 kasus 2. Penangkapan : 17 kasus 3. Razia : 16 kasus Isu Agustus : 1. Penangkapan : 36 kasus 2. Razia : 15 kasus 3. Sosialisasi : 8 kasus Isu September : 1. Penangkapan 2. Aliran Sesat 3. Sosialisasi 4. Razia 12 SHARIANEWSWATCH 03/DESEMBER 2012 : 24 kasus : 16 kasus : 13 kasus : 9 kasus Media Yang Dipantau: Acehkita.com (AK) Antara Aceh.com (ANT) Harian Analisa (ANL) Harian Kompas (KPS) Harian Metro Aceh (MA) Harian Rakyat Aceh (RA) Harian Waspada (WS) Prohaba (Pro) Serambi Indonesia (SI) The Atjehpost.com (TAP) The Globe Journal.com (TGJ) The Jakarta Globa.com (JG) The Jakarta Post (JP) Opini BERITA SYARIAT, SIAPA UNTUNG Oleh Fahmi Yunus ANDA boleh sepakat atau tidak dengan saya yang berpendapat bahwa syariat Islam sudah terintegrasi dalam kehidupan bermasyarakat di Aceh. Hal itu karena budaya Aceh telah diwarnai oleh tradisi ke-Islaman. Yang menjadi diskursus menarik hingga pro-kontranya saat ini adalah penerapan atau implementasi syariat Islam yang diatur oleh pemerintah dianggap main tebang pilih, mengurusi hal kurang subtansial dalam memperbaiki kualitas kehidupan masyarakat, hingga sarat kepentingan berbagai pihak. Baik itu kepentingan politik, ekonomi, sosial, tak ketinggalan kepentingan media massa. Selama ini relasi antara media dan pemerintah diidentikkan dengan hubungan tak searah, media mengkritisi terlalu berlebihan sebaliknya pemerintah yang resistensi terhadap media. Juga ada tuduhan media “merongrong” pemerintah, sementara pemerintah berusaha menghalangi akses informasi yang dibutuhkan. Secara umum –mungkin-- benar seperti itu, namun jika ditelisik masing-masing tema atau isu, saya menemukan hal berbeda. Kesimpulan itu berlaku pada pemberitaan media, khususnya koran lokal di Aceh tentang penerapan syariat Islam. Relasi antara media dan institusi pelaksana syariat Islam di Aceh adalah simbiosis mutualisme, artinya terdapat hubungan dua institusi yang berbeda dan saling menguntungkan. Pertama, media di satu sisi membutuhkan akses dan informasi mengenai kasuskasus pelanggaran syariat. Isu pelanggaran syariat menurut peraturan yang berlaku masih “seksi” dan menjadi komoditas yang laris di pasar/konsumen media. Dengan kata lain, sebagian besar pemberitaan tentang syariat didominasi oleh masalah skandal, hukum cambuk, penangkapan, razia dan isu-isu kontroversi lainnya. Parahnya, tidak sedikit masyarakat kita yang doyan pemberitaan “esek-esek” ini. Kedua, dari sisi pemerintah melalui lembaga seperti Dinas syariat Islam, dan Wilayatul Hisbah (WH) yang menurut Qanun Nomor 11 Tahun 2002 adalah badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan syariat, punya kepentingan tidak hanya untuk mensosialisasikan tupoksi mereka, tapi juga yang lebih penting ialah mengukuhkan otoritasnya sebagai pemegang kuasa syariat. Saya teringat buku karya Jonathan Woodier, The Media and Political Change in Southeast Asia (2009), yang menjelaskan, sejarah perkembangan media komunikasi massa di Indonesia adalah sebuah sejarah tentang upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak otoritas atau pemerintah yang memanfaatkan media sebagai suatu instrumen atau alat kekuasannya dan untuk mengekang tatkala pers menggambarkan atau mengungkapkan tentang perbedaan pendapat. Tidak hanya Indonesia, hal ini juga terjadi di negaranegara Asia Tenggara lainnya. Dalam konteks Indonesia, misalnya saat pemberlakuan darurat militer di Aceh, tahun 2003. Militer memblokir akses media ke daerahdaerah konflik sementara pemberontak anti pemerintah (GAM) juga menekan jurnalis untuk memberitakan dari sisi mereka. Megawati, presiden saat itu, memberi otoritas seluas-luasnya kepada militer garis keras di Aceh. Darurat militer memberikan izin kepada militer untuk membatasi media dan secara efektif membungkam jurnalis yang mencoba meliput perang dengan GAM. Namun ada juga jurnalis yang mencoba “tampil beda”. Salah satunya jurnalis SCTV Dandhy Dwi Laksono mencoba meliput dengan memperhatikan prinsip-prinsip jurnalisme yang benar dan tidak lupa menampilkan suara korban. Alhasil Dandhy pun dipecat dari TV swasta tempat dia bekerja. Pemecatan ini dikaitkan adanya tekanan dari militer yang keberatan atas liputannya. Ia juga sempat dituduh sebagai “jurnalis anti militer”. Dalam peliputan syariat, media terutama media-media lokal tentunya tidak “dipaksa atau terpaksa” seperti era darurat militer, karena media juga meraup untung bagi kepentingan bisnisnya dari berita-berita tersebut. Mereka secara “sukarela” menyediakan pentas bagi otoritas untuk menentukan siapa yang salah dan siapa yang benar, bahkan sering tanpa melalui proses pengadilan. Sementara, institusi pemegang kuasa seperti WH tahu persis bagaimana menjadi sumber informasi tunggal bagi jurnalis, terutama bagi mereka yang sengaja atau tidak mengabaikan prinsip cover both sides, verifikasi serta pencampuran opini dan fakta. Sadar atau tidak media dengan kepentingan korporasi atau ekonominya telah “berselingkuh” dengan instansi resmi itu untuk makin memantapkan otoritas penguasa syariat. Lantas kita akan melihat bagaimana berita syariat Islam yang alih-alih menciptakan kesadaran publik, justru cenderung terus menebar sensasi, dan makin melupakan suara-suara publik. Jika ini terus berlangsung, saya khawatir nantinya akan makin melenakan publik terhadap isu-isu yang lebih besar dan krusial seperti korupsi serta penyalahgunaan wewenang lain yang merugikan publik.[] SHARIANEWSWATCH 03/DESEMBER 2012 13 Review SASARAN "EMPUK" BERITA KITA Oleh Mukhtaruddin Yakob MENDAMBAKAN media sehat barangkali masih harus menunggu waktu. Apalagi upaya menuju ke arah itu belum sepenuhnya disadari. Pekerja pers, pemilik media maupun publik masih belum terbiasa mendapat sajian informasi bermanfaat, dibutuhkan dan menentukan. Pantauan AJI Kota Banda Aceh melalui program Mendorong Media Sehat dalam Pemberitaan Syariat Islam di Aceh sejak 1 Februari 2012, kondisi pemberitaan masih berkutat pada hal seremonial dan peristiwa. Sangat jarang media menurunkan liputan lengkap dan berpihak pada publik. Perempuan yang menjadi “korban” masih menjadi sasaran pemberitaan “empuk” media massa, dengan berbagai isunya. Penggambaran perempuan memang bagian yang sering dijadikan objek pasif oleh media. Perempuan seringkali digambarkan sebagai pelarian dan irasional berlawanan dengan lelaki yang berpikiran jernih. Perempuan terus-menerus digambarkan dalam situasi domestik keluarga yang selalu menjalankan fungsi perawatan dalam adegan yang menggairahkan kaum lelaki dan objek menggiurkan bagi tatapan pria. Contoh lain ialah pada fashion kontemporer dan perimajian periklanan bersikukuh menggambarkan perempuan berada pada posisi pasif hasrat dan di bawah kendali lelaki (Tony Thwaltes, dkk , 2002, Hal. 227). Dari jumlah pemberitaan, media lokal masih merajai frekuensi pemberitaan. Harian Pro Haba menempati urutan pertama jumlah pemberitaan selama Juli – September 2012. Suratkabar harian berhalun kriminal ini menurunkan 34 dari 144 berita yang terpantau atau 23,6 persen. Sementara Harian Serambi Indonesia menempati urutan kedua dengan frekuensi mencapai 30 kali. Selanjutnya, Harian Waspada berada di urutan ketiga atau 27 berita, diikuti Metro Aceh dengan 21 pemberitaan dan Rakyat Aceh menurunkan 19 berita dalam kurun waktu tiga bulan. Frekuensi pemberitaan isu syariat di harian lokal memang tidak keliru. Karena “jualan” isu lokal ditujukan kepada pembaca tempatan. Prinsip proximity atau kedekatan adalah bagian 14 SHARIANEWSWATCH 03/DESEMBER 2012 dari news value atau nilai berita. Yang menarik adalah fakta pada Waspada. Jumlah berita yang diturunkan harian terbitan Medan ini melampaui Metro Aceh dan Rakyat Aceh yang notabenenya media lokal meskipun masih terbit di Medan. Pemberitaan di Serambi Indonesia, PROHABA, Waspada, Metro Aceh, dan Rakyat Aceh melebihi jumlah pemberitaan soal syariat Islam yang diturunkan media online The Globe Journal. Media siber Banda Aceh ini hanya menurunkan 18 berita selama periode itu. Sementara The Atjeh Post.com menurunkan 16 berita syariat Islam atau 18,2 persen dari 88 berita yang diterbitkan enam media siber. Acehkita.com menurunkan 9 berita, sedangkan The Jakarta Globe.com dan Antara-aceh.com, nihil. Harian Analisa menurunkan 12 berita dalam periode tersebut. Harian Kompas, hanya menurunkan sekali liputan. Sementara The Jakarta Post tak ada pemberitaan tentang syariat Islam di Aceh selama Juli – September 2012. Padahal, periode Februari sampai Juni 2012, The Jakarta Post menurunkan dua liputan soal penangkapan anak Punk. Dari sisi isu, terdapat perbedaan frekuensi antara media cetak dan online. Media cetak menurunkan 62 liputan soal penangkapan atau 43,1 persen. Sedangkan online hanya memberitakan 15 kali penangkapan. Sosialisasi syariat Islam di media online sebanyak 17 kali, sementara razia 11 kali. Media cetak menurunkan isu pembentukan Kaukus Wartawan Pendukung Syariat Islam (KWPSI) sebanyak enam kali dalam isu lain pemberitaan. Sementara media online justru memberitakan soal bisnis prostitusi dalam isu berita lainnya. Persoalan cambuk, pelaksanaan eksekusi, pendangkalan aqidah, aliran sesat, pemurtadan projustisi yang menjadi variable pemantauan tidak ditemukan dalam media online. Pada media cetak, projustisi ditemukan satu kali pemberitaan, pendangkalan aqidah enam kali, aliran sesat 16 kali, dan pemurtadan sekali. Tapi tak semua isu tersebut merupakan peristiwa, karena sebagian merupakan pernyataan pejabat berwenang. Narasumber utama pemberitaan selama periode tersebut masih tetap dominan Satpol PP & WH. Media cetak menjadikan Satpol PP & WH sebanyak 69 kali, sementara media online 28 kali. Dinas Syariat Islam menjadi narasumber favorit kedua media cetak atau 28 kali, sedangkan media online menempatkan pada terduga pelaku di urutan kedua meski hanya 6 kali. Selain itu, narasumber polisi masih mendapatkan tempat khusus di media cetak dengan 22 kali pemberitaan. Media online justeru menjadikan ” pejabat pemerintah daerah sebagai narasumber selanjutnya. Ulama dan pimpinan dayah, narasumber berikutnya bagi media online. Demikian juga bagi media cetak yang menurunkan 14 berita dengan narasumber tersebut. Media cetak menempatkan pemda dan terduga pelaku dengan perlakuan serupa yaitu 10 kali. Fakta ini menunjukan kondisi media belum sehat secara proporsi narasumber. Media gampang sekali mengutip para pejabat tanpa memberikan kesempatan membela diri pada objek berita atau korban. UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik menegaskan agar wartawan Indonesia memberitakan liputannya secara berimbang dan proporsional. Persoalan ini pernah dipertanyakan kepada beberapa teman jurnalis saat workshop “Etika Pemberitaan Syariat Islam” 18 Juni 2012 silam. Mereka membela diri seraya menyatakan bahwa ruh berita dikemas para redaktur mereka. Mereka bahkan mengaku kaget antara berita yang dikirim dengan berita yang terbit. Memang alasan para jurnalis itu tidak mengada-ada. Karena dalam kebijakan redaksi, redaktur menjadi penjaga gerbang. Saat pemberitaan merugikan korban, maka redaktur mempertimbangkan untung-rugi. Redaktur harus memilih antara sekadar mengenal masalah atau menempatkan diri pada posisi korban yang dapat membantu redaktur mengatasi masalah yang sulit ini (William L. River dan Cleve Mathews, 1988, hal. 208). Penggunaan narasumber, keuchik/imam/ketua pemuda, LSM, korban, Dinas Syariat Islam di media online memiliki frekuensi sama 3 kali. Narasumber DPRA/DPRK, warga pelapor, dan narasumber wartawan hanya satu kali di media online. Sementara media Banyak hal yang bisa digarap secara serius dengan tetap mengedepankan kaidah-kaidah jurnalistik dan kode etik, sehingga pemberitaan tak terkesan hanya terjebak pada peristiwa semata. cetak menjadikan pejabat Pemda, terduga pelaku 10 kali. Variable narasumber keuchik diturunkan 9 kali, DPRA/ DPRK 2 kali, warga pelapor 8 kali. Narasumber saksi mata sebanyak 7 kali, korban 3 kali, Ormas 4 kali, massa/warga, santri 1 kali. Media cetak dan online tidak menemukan narasumber tentara, hakim, akademisi/pakar, jaksa dalam pemberitaan periode tersebut. Dari pendataan ditemukan bahwa penggunaan bahasa labelisasi mendominasi jumlah pemberitaan. Media cetak menggunakan bahasa labelisasi sebanyak 77 kali atau sangat dominan. Sedangkan media online dominan dengan technical reasoning. Labelisasi di media online menempati urutan kedua atau 17 kali, bandingkan dengan media cetak. Technical reasoning dan disfemisme (pengasaran bahasa) di media cetak sama atau 36 kali. Metafora masih sering digunakan dalam pemberitaan di media cetak atau 29 kali, sedangkan media siber hanya 5 kali. Eufimisme (penghalusan) menjadi kecendrungan media cetak menggunakan dalam pemberitaan atau sebanyak 25 kali, sedangkan di online hanya 6 kali. Akronimisasi diterbitkan 15 kali oleh media cetak, sedangkan media online hanya 2 kali. Frekuensi slogan sama antara media cetak dan media online. Bahasa hiperbola masih dominan di media cetak dibandingkan media online. Jika di media online hanya 2 kali, di media cetak justru 6 kali. Pendataan soal pencampuran fakta dan opini, media cetak dan siber masih tergolong berimbang. Media cetak menggunakan pencampuran 59 kali atau 41 persen dari jumlah pemberitaan. Sedangkan media online hanya 8 persen. Yang miris justru pada keberimbangan. Media cetak dan online lebih banyak menurunkan karya jurnalistik tak berimbang. Media cetak hanya 17,4 persen berimbang, sedangkan media online lebih rendah atau 13,6 persen saja. Verifikasi/cek dan ricek, media online lebih bagus dibandingkan media cetak. Media online melakukan verifikasi sebesar 25 persen, sedangkan media cetak hanya 15,7 persen. Straight news atau berita peristiwa masih menjadi andalan media cetak dan online. Media cetak menempatkan 99,3 persen sebagai straight news, sementara media online lebih rendah atau 95 persen. News features dan indepth reporting tetap menjadi sajian langka di media massa yang dipantau. Fakta-fakta di atas menunjukan bahwa prinsip untuk mewujudkan media yang sehat terkesan diabaikan. Yang paling baik bagi seorang wartawan adalah berjuang matimatian untuk menyampaikan informasi secara tepat waktu, cermat, dan efektif sehingga masyarakat mendapat gambaran akurat setelah menerima pesan tersebut. Wartawan dan redaktur menyaring berbagai fakta yang masuk. Bisa saja wartawan dan redaktur tidak memahami berita yang diliput, dengan mendatangi sumber yang salah. Namun dalam berbagai kasus kebajikan menjadi keharusan (Clifton Fadiman, 1988). Publik tentu berharap media massa, khususnya yang terbit di Aceh, untuk lebih cermat dalam memberitakan masalah pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Banyak hal yang bisa digarap secara serius dengan tetap mengedepankan kaidahkaidah jurnalistik dan kode etik, sehingga pemberitaan tak terkesan hanya terjebak pada peristiwa semata. Tetapi hampir setahun pemantauan yang dilakukan, hal itu masih jauh dari harapan.[] SHARIANEWSWATCH 03/DESEMBER 2012 15 “ Wartawan harus menguji informasi, tidak boleh menelan mentah-mentah keterangan narasumber. KONFIRMASI dan VERIFIKASI adalah bagian dari ETIKA Media Sehat Pers Bermartabat AJI BANDA ACEH