Kelaut Kita Kembali Serial Pidato ke-11 | Jeffrie Geovanie Assalamu Alaikum Wr. Wb. Hadirin sekalian yang saya cintai! “Lautan adalah kebebasan,” demikianlah Rendra melukiskan tentang laut. Kita adalah sebuah bangsa yang dikelilingi 5,8 km persegi lautan. Laut adalah Ibu kehidupan kita. Setiap detik, laut menggelorakan kabar tentang kekayaan nusantara. Di sepanjang garis pantai, ombak mengabarkan pada nelayan, bahwa ikan telah tumbuh dewasa dan siap untuk dijala. Setiap senja, laut memberikan memancarkan cahaya matahari tropis tak tertandingi. Sungguh, kita negeri yang patut bersyukur atas anugerah tiada tara ini. Laut telah menghidupi kita berabad-abad lamanya, sejak Indonesia masih disebut nusantara. Sejak perahu-perahu Phinisi Bugis-Makassar, berhasil menembus batas asia, berlayar menuju Afrika dan Eropa. Laut juga yang telah menghantarkan armada Majapahit, Tuban, Aceh, Banten meraih kejayaannya di nusantara. Laut pulalah, yang telah membawa bangsa asing untuk jatuh cinta pada bumi yang sering disebut zamrud khatulistiwa ini. Hadirin sekalian yang saya muliakan! Namun mungkin benar apa yang dikatakan Rendra, “dihadapan wajah lautan, Nampak diriku yang pendusta.” Demikianlah kita mengingkari laut, secara sembrono kita telah meyakini bahwa diri kita adalah negara agraris. Seluruh model pembangunan industri dan ekonomi kita lalu kita orientasikan dalam perspektif agraris. Bahkan sejak kecil kita diyakinkan bahwa kita adalah negara agraris dengan daratan yang subur dan melimpah hasil pangan. Lalu apa yang terjadi saudara-saudara sekalian? Karena pengingkaran kita pada lautan, kita gagal menjadi negara agraris. Kita akhirnya terseok-seok menjadi negara pengimpor beras, gula, garam dan hasil-hasil pertanian lainnya. Kita gagal, karena kita telah secara congkak mengingkari takdir kita sebagai negara maritim. Kita membutakan diri di hadapan sejarah, bahwa nenek moyang kita telah berjaya karena bersahabat dengan lautan. Hadirin sekalian yang saya banggakan! Betapa miris hati kita, melihat fakta bahwa dengan garis pantai terpanjang di dunia, harus mengimpor garam dari negeri lain. Lautan kita yang kaya, justru dinikmati oleh bangsa lain, tentu kita wajar bersedih, mendengar ikan kita yang dicuri mencapai angka satu juta ton setiap tahunnya. Artinya, kita kehilangan 30 Trilyun Rupiah setiap tahunnya. Kita tentu marah, mendengar setiap saat, wilayah laut kita dilanggar oleh kapal-kapal asing, tanpa adanya perlindungan yang cukup dari negara. Kita menjadi semakin tersudut, ketika kekayaan alam dari lautan kita, harus kita serahkan ke bangsa lain, hanya karena kita tidak memiliki teknologi dan pengetahuan untuk memanfaatkannya. Kita seharusnya menjadi negara kaya karena lautan kita menyimpan cadangan minyak terbaik dalam jumlah besar. Namun sekali lagi, kita yang telah mengingkari lautan, akhirnya harus mengalah dengan tunduk pada harga minyak dunia. Subsidi rakyat dicabut, dengan dalih penghematan dan kita terdiam karenanya. Hadirin sekalian yang saya hormati! Kita memang tidak pernah serius mencintai laut, padahal pada tahun 1963, Soekarno di depan peserta National Maritime Convention (NMC) telah menyebutkan bahwa ““Untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan national building bagi negara Indonesia. Maka negara dapat menjadi kuat jika dapat menguasai lautan. Untuk menguasai lautan kita harus menguasai armada yang seimbang.” Menguasai lautan, artinya berdaulat atas apa yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita, menjaga apa yang sudah diakui dunia internasional sebagai milik kita sendiri. Lautan yang luas, pantai yang indah, nelayan yang tangguh, kekayaan yang memanggil-manggil dan menyediakan kehidupan bagi anak cucu kita ratusan tahun mendatang. Hadirin sekalian yang saya cintai! Namun apa mau dikata, dengan perbandingan luas lautan dan kekuatan Angkatan Laut, kita masih jauh dari cukup jika dibanding dengan negara-negara Asia Tenggara yang luas lautannya jauh lebih kecil dari lautan Indonesia. Postur pertahanan kita dikembangkan dengan struktur Angkatan Darat yang gemuk, yang menunjukkan bahwa politik pertahanan Indonesia, masih beriorientasi pada pertahanan di darat. Padahal sangat dibutuhkan armada angkatan laut yang kuat dan canggih untuk mengamankan wilayah perairan kita. Kita benar-benar harus berdaulat di laut saudara-saudara sekalian. Secara sadar kita telah melanjutkan kebodohan yang telah diwariskan kolonial Belanda kepada kita. Pada era kolonial, orientasi dan semangat maritim bangsa Indonesia dibelokkan, dari orientasi maritim ke orientasi daratan. Kita dipaksa untuk mengahasilkan rempah-rempah yang hanya kemudian menguntungkan pihak penjajah. Tradisi ini dilanjutkan oleh Orde Baru dengan pembangunan berbasis daratan, bahkan Soeharto menyebut Indonesia sebagai negara agraris. Di era reformasi bahkan tradisi ini masih berlanjut. Kebijakan pembangunan bahkan semakin tidak focus dan terarah. Padahal sebagai negara maritim, harusnya kita menguasai semua kekuatan strategis di lautan. Kita harus memiliki daya dukung kekuatan maritim baik itu armada peradagangan, armada perang, Industri maritim serta kebijakan pembangunan negara yang berbasis maritim. Hadirin sekalian yang saya muliakan! Sejarah menunjukkan, siapa yang memiliki armada laut, maka akan menguasai daratan. Sejarah masih mencatat bagaimana Kerajaan Sriwijaya menguasai daratan Asia Tenggara dengan armada lautnya, juga masih tercatat di dinding Candi Borobudur, bagaimana kerajaan Mataram Kuno telah berlayar menebar perdagangan dan kekuasaannya melalui laut. Sejarah juga mencatat bagaimana Kerajaan Majapahit, menjadi kekuatan besar mempersatukan nusantara dengan armada laut yang gagah berani. Juga di Timur, Kerajaan GowaTallo dengan meriam terbesar di nusantara, mempersatukan hampir seluruh wilayah timur dibawah kekuasaannya. Saudara-saudara sekalian, laut kita menyimpan bukan hanya kekayaan alam yang berlimpah. Laut kita tidak hanya menyimpan ilmu pengetahuan yang unggul. Laut kita tidak hanya menyimpan janji kesejahteraan bagi anak cucu bangsa ini. Tapi lebih daripada itu, laut kita, laut Indonesia, telah menjadi saksi sejarah, betapa berharganya sebuah bangsa yang menghargai lautnya, betapa tingginya nilai sebuah kedaulatan di lautan, dan betapa bermartabatnya bangsa yang menjadikan laut sebagai ibu kehidupannya. Hadirin yang saya banggakan! Ketika Sipadan dan Ligitan di ambil dari tangan kita, alasannya sungguh membuat hati marah. Jelas bahwa Indonesia telah menelantarkan dua pulau tersebut. Sipadan dan Ligitan bukan hanya sekedar pulau kosong tak berpenghuni. Tapi lebih dari itu, Sipadan dan Ligitan menjadi tapal batas kedaulatan, dimana luas wilayah ekonomi ditetapkan. Lepasnya Sipadan dan Ligitan, bisa menjadi pelajaran berharga, bahwa betapa pemerintah tidak memiliki perhatian khusus pada pulau-pulau terluar yang dikelilingi lautan. Jangan salahkan laut yang marah dan menerjang kita dengan Tsunami. Jangan salahkan laut yang akhirnya marah dan menelan korban nelayan terbaik bangsa ini. Sungguh kita harusnya malu, karena kita sendiri telah secara sengaja telah mengabaikan laut kita sendiri.Coba tanyakan pada pemerintah, berapa banyak ikan yang telah dicuri dari laut kita. Tanyakan juga pada mereka, berapa perdagangan gelap yang dilakukan di wilayah laut kita, tanpa pernah kita ketahui. Tanyakan pada pemerintah kita, berapa banyak nelayan yang hidup dibawah garis kemiskinan, mereka menyantap kepala-kepala ikan, sementara dagingnya di jual ke negara lain. Tanyakan juga berapa banyak minyak yang telah mereka hisap dari dasar samudera kita, lalu mereka jual tanpa tahu pasti berapa yang kembali untuk kesejahteraan bangsa ini. Hadirin sekalian yang saya cintai! Sungguh laut adalah masa lalu dan masa depan bangsa ini. Dengarkan lirik dan syair lagu rayuan pulau kelapa yang telah dinyanyikan dalam berbagai bahasa itu. Lihat lambaian nyiur sepanjang pantai nusantara, seakan memanggil kita semua untuk sejenak menengok lautan. Dengarkan juga jeritan pulau-pulau terpencil, dimana fasilitas kesehatan dan pendidikan sangat langka, bahkan pejabat baerah setempat pun, dalam lima tahun kekuasaannya, mungkin tak pernah menginjakkan kaki di pulau-pulau tersebut. Lihatlah gulungan ombak kejar mengejar dengan indah, seakan mengajak nelayan untuk melaut, dan menjanjikan bahwa hasil ikan-ikan sedang menunggu mereka untuk dibawa pulang kepada anak dan isteri mereka yang setia menunggu di rumah. Biru laut terus menerus memberikan keteduhan, kedalamannya menyimpan rahasia yang harusnya memacu segenap anak bangsa untuk belajar dan terus belajar dari laut. Saudara-saudara sekalian, laut sungguh telah menjalani kesetiaan mereka berabad-abad lamanya pada bangsa ini, Sungguh kita telah menjadi ingkar ketika ternyata kesetiaan lautan hanya bertepuk sebelah tangan. Kita harus kembali ke laut, menjalani takdir kita sebagai negara maritim terbesar di dunia, menyongsong masa depan yang gemilang, bersama lautan, ibu segala kehidupan bangsa. Wabillahi Taufiq Wal Hidayah, Wassalamu Alaikum Wr. Wb. Sebuah Persembahan Untuk Sumatera Barat Serial Pidato Akan Diterbitkan Setiap Hari Rabu Simak Makna, Pesan, Hikmah dan Gagasan Yang Terkandung Dalam Setiap Pidato, dan Tunggu Informasi Selanjutnya www.jeffriegeovanie.com