TINJAUAN PUSTAKA Botani Acacia mangium Willd Acacia mangium Willd jenis legurn yang termasuk dalam famili Leguminosae, sub-famili Mimosoideae. Acacia mangium Willd secara umum dikenal sebagai brown salwood, black wattle, hickory wattle (di Australia). Manggae hutan, tongke hutan, nak, laj, jerri (di Indonesia). Di Papua New Guinea dikenal sebagai arr, di Malaysia dikenal sebagai nama mangium, kayu sofada. Di Thailand dikenal sebagai kra thin tepa. Mangium mempunyai beberapa nama lain, diantaranya adalah : Mangium montanum Rump dan Acasia glaucescena, serta Rancosperma mangium (Willd) (Awang dan Taylor, 1993). Buahnya berupa polong kering yang merekah dan melingkar ketika masak, agak keras dengan panjang 7.8 cm dan lebar 3-5 rnrn. Biji berwarna hitam mengkilat, lonjong, funicle berwarna oranye. Daun besar, panjangnya mencapai 25 cm, lebar 3-10 cm, berwarna hijau gelap dengan empat urat longitudinal (tiga pada Acasia auriculiformis), daun majemuk. Secara umum Acacia mangium Willd mencapai tinggi 25-35 m dengan bebas cabang melebihi setengah dari total tinggi. Diameternya dapat mencapai lebih dari 60 cm. Pada lahan yang miskin, pohon biasanya lebih kecil, dengan rata-rata tinggi antara 7 dan 10 m. Pohon yang masih muda berwarna hijau, kulit kasar dan beralur, berwma abu-abu atau coklat (Awang dan Taylor, 1993). Pada tempat tumbuh yang baik, pohon berumur 9 tahun tingginya mencapai 23 m, dengan mta-rata riap diameter 2-3 c d t h dan produksi kayunya 41.5 m3/ha. Acacia mangium Willd tidak memerlukan persyaratan tumbuh yang tinggi. Jenis ini dapat tumbuh pada tanah miskin hara, padang alang-alang, bekas tebangan, tanah tererosi, tanah berbatu dan juga tanah aluvial. Acacia mangium Willd dapat beradaptasi dengan tanah asam (pH 4.5-6.5) di dataran tropis yang lembab (Awang dan Taylor, 1993). Acacia mangium Willd termasuk jenis yang tumbuh cepat, tidak memerlukan persyaratan tumbuh yang tinggi dan tidak begitu terpengaruh oleh jenis tanahnya. Faktor lain yang mendorong pengembangan jenis ini adalah sifat perturnbuhan yang cepat. Pada areal yang diturnbuhi alang-alang, umur 13 tahun mencapai tinggi 25 meter dengan diameter rata-rata 27 cm serta hasil produksi rata-rata 20 m3/ha/tahun. Acacia mangium Willd termasuk dalam kelas kuat IIIIV, berat 0,56-0,60 dengan nilai kalori rata-rata antara 4800-4900 k.cal/kg (Dephut, 1994). Kegunaan kayu Acacia mangium Willd sebagai bahan konstruksi ringan sampai berat, rangka pintu dan jendela, perabot rumah tangga (a.1. lemari), lantai, papan dinding, tiang, tiang pancang, gerobak dan rodanya, pemeras minyak, gagang alat, alat pertanian, kotak dan batang korek api, papan partikel, papan serat, vinir dan kayu lapis, pulp dan kertas. Selain itu baik juga untuk kayu bakar dan arang (Mandang dun Pandit, 1997). Pemuliaan Tanaman secara Konvensional dan Peranan Bioteknologi Pemuliaan tanaman merupakan kegiatan untuk mengubah susunan genetik tanaman secara tetap, sehingga memiliki sifat atau penampilan sesuai dengan tujuan yang diinginkan pelakunya. Pemuliaan tanaman umumnya mencakup tindakan penangkaran, persilangan, dan seleksi. Produk pemuliaan tanaman adalah kultivar dengan ciri-ciri yang khusus dan bermanfaat bagi penanamnya. Dalam kerangka usaha pertanian (agribisnis), pemuliaan tanaman merupakan bagian awalkulu dari mata rantai usaha tani dan memastikan tersedianya benih atau bahan tanam yang baik dan bermutu tinggi (Anonim, 2007). Pemuliaan bertujuan untuk memanfaatkan perbedaan genetika antar individu dalam populasi, dengan maksud merubah rata-rata ekspresi sifat-sifat yang penting secara ekonomi sehingga meningkatkan hasil. Kebanyakan dari sifat yang dimuliakan dipengaruhi oleh faktor genetika dan faktor lingkungan (Finkeldey, 2005). Strategi dalam pemuliaan tanaman masa kini adalah dengan melakukan peningkatan variasi genetik yang diikuti kemudian dengan seleksi pada keturunannya. Peningkatan variasi genetik dapat dilakukan melalui berbagai cara: Introduksi, persilangan, manipulasi genom, manipulasi gen atau bagian kromosom, dan transfer gen (Anonim, 2007). Uji genetik genotype Materi genetik Hibridisasi I Pembiakan vegetatif Rekayasa genetika Gambar 1 Diagram integrasi bioteknologi Pertumbuhan dan Perkembangan Kayu Kayu adalah bahan organik dengan susunan unsur 50% C, 6% H, 44% 0 (berdasar bobot), dan sedikit saja unsur lain. Kayu dapat juga disebut polimer alami, mengingat 97-99% bobotnya berupa polimer (sekitar 90% pada kayu tropis). Dari jumlah itu, sebesar 65-75% adalah golongan polisakarida. Dari persfektif kimia, jaringan kayu (termasuk bahan sel dan zat antarsel) merupakan bahan komposit yang dibangun dari berbagai polimer organik, yakni molekul yang terbuat dari ribuan subunit atau monomer. Struktur dasar atau materi kerangka dari semua dinding sel kayu ialah selulosa, yaitu molekul gula linear berantai panjang, termasuk dalam keluarga polisakarida (karbohidrat) yang tersusun dari monomer glukosa. Untuk mengisi struktur selulosa ini, ada bahan polisakarida lain yang berbobot molekul rendah dan memiliki rantai samping yang pendek. Karbohidrat yang dimaksud umufnnya merupakan kombinasi-kombinasi dari gula berkarbon 5 (xilosa dan arabinosa) dan gula berkarbon 6 (glukosa, manosa, dan galaktosa). Kombinasi gula tersebut arnat berbeda dengan selulosa (terutama dalam konformasi dan bobot molekul), dikenal dengan istilah hemiselulosa (Achmadi, 1990). Pertumbuhan kayu dalam dimensi memanjang dan melebar adalah berkat aktivitas sel khusus yang disebut meristem. Meristem apikal terletak di bagian ujung batang atau cabang, juga di ujung akar, dan berperan dalam pertumbuhan memanjang (pertumbuhan primer) dari kayu. Setelah melewati tahun pertama, mulailah kegiatan meristem lateral, atau lazim disebut kambium vaskuler. Semua sel di dalam zone kambium adalah hidup. Pada waktu pembentukan xylem, mulailah serangkaian transformasi yang mengubahnya menjadi unsur kayu dewasa. Sebagian dari turunan xylem dapat mengalami perusakan diri dan modifikasi dinding sel, sehingga terbentuklah lumen. Selama fase pembelahan dan pembesaran sel, dinding sel merupakan kantong yang tipis, lentur, dan dapat melar, yang disebut dinding primer. Menjelang akhir proses pembesaran, mulailah pembentukan dinding sekunder ke arah lumen dari dinding primer. Serat kayu, pembuluh, dan unsur xylem dan phloem tertentu yang tidak berfungsi sebagai penyalur d d a t a u pendukung, biasanya membentuk dinding sekunder (Haygreen et al., 2002). Gen xyloglucanase Xyloglucanase merupakan sejenis enzim yang mengkatalisis reaksi hidrolisis xyloglucan (Irwin et al., 2003). Xyloglucan adalah penyusun utama hemiselulosa polisakarida pada dinding sel tanaman dikotil termasuk di dalamnya sel kayu, yang dapat membentuk ikatan hidrogen dengan mikrofibril selulosa dan secara potensial membentuk ikatan silang dengan mikrofibril (Campbell dun Braam, 1998; Valls et al., 2006). Xyloglucan terdapat pada 20 % berat kering dinding sel primer (York dan Eberhard, 2003). Overekspresi xyloglucanase pada tanaman poplar (Populus tremula) berhasil menunjukkan perubahan fenotip yang berarti, yaitu tanaman lebih tinggi, dam lebih lebar, pertambahan diameter batang, indeks volume kayu, berat kering dan persentase selulosa dan hemiselulosa lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh adanya keterlibatan xyloglucanase pada proses pemutusan ikatan xyloglucan yang terjadi saat elongasi (pemanjangan) sel, menyebabkan melemahnya dinding sel dan mempercepat proses elongasi serta meningkatkan deposisi selulosa pada xylem sekunder sehingga kualitas kayu yang dihasilkan semakin baik (Park et al., 2004). Aktivitas pemutusan ikatan rantai xyloglukan juga memberi kontribusi untuk merperkuat hubungan antara dinding sel primer dan dinding sel sekunder pada jaringan yang akan membentuk kayu (Kallas et al., 2005). Transformasi Genetik Tanaman Teknik transformasi genetik merupakan salah satu metode penting dalam biologi tanaman. Teknik transformasi genetik dapat dipergunakan untuk mempelajari regulasi gen, identifikasi fhgsi gen, pengujian metabolisme, mempelajari fisiologi serta perkembangan tanaman (Knight, 1992; Walkerpeach dan Velten, 1994). Keberhasilan dalam melakukan rekayasa genetika memerlukan beberapa faktor yaitu : tersedianya gen yang diinginkan, tersedianya cara untuk mentransfer dan mengintegrasikan gen tersebut ke dalam sel tanaman dan cara untuk meregenerasikan tanaman transgenik, dan kemampuan tanaman untuk mengekspresikan gen yang telah diintroduksikan. Metode transformasi genetik untuk mengintroduksikan gen terpilih ke dalam sel tanaman dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain menggunakan Agrobacterium (Sudarsono, 1994). Terdapat dua spesies Agrobacterium yang bersifat pathogen, yaitu Agrobacterium tumefaciens sebagai penyebab penyakit tumor (crown gall) dan Agrobacterium rhizogenes sebagai penyebab penyakit akar rambut (hairy root) pada berbagai tanaman dikotil (Armitage et al., 1987). Agrobacterium tumefaciens merupakan bakteri aerob obligat gram negatif yang hidup alami di tanah, secara genetik dapat mentransformasi sel inang dan secara agronomi merupakan penyakit yang penting menyerang tanaman dikotil. Interaksi antara Agrobacterium dan sel tanaman adalah contoh alami yang diketahui dapat mentransfer DNA (Deoxiribosa Nucleic Acid) antar kingdom. Pada proses ini, DNA dipindahkan dari Agrobacterium ke dalam inti sel tanaman. Ekspresi dari DNA yang ditransfer (T-DNA) mengakibatkan pertumbuhan tumor pada tanaman inang. Gen yang dibawa T-DNA membawa gen-gen yang terlibat dalam sintesis hormon pertumbuhan tanaman dan produksi opin (Sheng dan Citovsky, 1996). Kemampuan bakteri mentransformasi sel tanaman berhubungan dengan adanya plasmid penginduksi tumor (Ti) atau penginduksi akar (Ri) dalam Agrobacterium. Dua daerah dalam Ti dan Ri yang penting untuk transformasi yaitu T-DNA dan daerah vir. T-DNA merupakan bagian dari DNA yang terletak dalam plasmid Ti yang berukuran 200 kb. Sedangkan daerah vir yang berukuran 35 kb terdiri dari tujuh lokus utarna (vir A, vir B, vir C, vir D, vir E, vir G, dan vir H). Gen-gen vir mensintesis protein virulens yang berperan untuk menginduksi terjadinya transfer T-DNA dan integrasi T-DNA ke tanaman. Gen vir berekspresi jika terdapat inducer yang antara lain berupa senyawa monosiklik fenolik seperti acetosyringone dan monosakarida seperti glukosa dan galaktosa. Disamping itu, kondisi pH juga mempengaruhi ekspresi gen vir. Nilai pH yang sesuai berkisar 5,O-5,s. Senyawa fenolik dan monosakarida terbentuk pada saat tanaman dikotil mengalami luka dan proses ini jarang terjadi pada monokotil (Sheng dun Citovsky, 1996). Interakasi antara Agrobacterium dengan sel tanaman didahului dengan penginderaan (sensing) Agrobacterium terhadap sel rentan yang luka. Mekanisme penginderaan ini terjadi secara kimiawi dimana sel tanaman yang luka menghasilkan suatu metabolit yang berperan sebagai isyarat bagi Agrobacterium. Metabolit tersebut dapat berupa senyawa gula, asam amino, atau senyawa fenol. Dengan adanya isyarat tersebut maka Agrobacterium akan bergerak aktif menuju sel tanaman target. Gerakan yang bersifat kemotaksis dipandu oleh senyawa yang disekresikan oleh sel tanaman rentan yang luka (Schaad, 1988). Interaksi dilanjutkan dengan terjadinya kontak antara Agrobacterium dengan sel tanaman target. Untuk memperkuat kontak ini Agrobacterium mengeluarkan suatu metabolit, yaitu P- 1,2-glukan. Beberapa gen dalam kromosom Agrobacterium diketahui merupakan penyandi enzim yang berperan dalam sintesis berbagai senyawa glukan, yaitu chvA, chvB dan exoC. Gen lain pada kromosom yang peranannya seperti ketiga gen tersebut adalah cel, yang berperan dalam sintesis senyawa selulosa fibril (Douglas et al., 1985). Proses transfer T-DNA dari Agrobacterium ke genom tanaman memerlukan adanya sekuen DNA yang berupa dua T-DNA border dan trans acting factor virulensi. Satu atau beberapa molekul T-DNA dapat ditransfer dan terintegrasi dalam genom tanaman, sehingga dalam kromosom tanaman akan terdapat satu atau beberapa utas T-DNA yang terintegrasi pada satu situs yang sama atau terpisah-pisah pada situs yang berbeda. Situs integrasi T-DNA di dalam DNA tanaman tampaknya bersifat acak (Armitage et al., 1987). Dengan menggunakan satu plasmid Ti dari Agrobacterium, maka beberapa transgen dapat digabung dan ditempatkan di antara T-DNA dan selanjutnya diintegrasikan ke dalam genom tanaman. Hal penting dalam proses transformasi melalui Agrobacterium tumefaciens ini adalah transfer T-DNA ke inti tanaman target, integrasi T-DNA tersebut ke dalam genom tanaman target yang diinduksi oleh ekspresi gen-gen vir serta ekspresi gen-gen yang tertransformasi (Cheng et al., 1998). Selain itu integrasi T-DNA yang membawa transgen ke dalam genom resipien, akan mengalami sedikit pengaturan kembali secara intra dan intermolekul, untuk memulihkan sistem iranskripsi dan translasi genom tanaman resipien. Transformasi melalui Agrobacterium lebih menjamin kestabilan genom tanaman resipien (Sheng dan Citovsky, 1996). Seleksi Tanaman Transgenik Tanaman transgenik yang terseleksi dapat diamati dengan adanya pembentukan tumor pada sel-sel tanaman yang mengalami transformasi atau dapat juga diamati melalui adanya pertumbuhan dalam kultur yang bebas hormon. Selain itu dapat juga digunakan penanda seleksi yang disisipkan pada T-DNA pada sel-sel yang mengalami transformasi (Nakas dan Hagedors, 1990). Salah satu contoh penanda seleksi adalah gen ketahanan terhadap antibiotik yaitu gen resisten terhadap kanamisin yang telah berhasil digunakan sebagai penanda seleksi yang dapat terekspresi pada fenotipe untuk transformasi pada beberapa spesies tanaman. Resistensi terhadap kanamisin telah berhasil digunakan sebagai penanda seleksi pada beberapa tanaman. Resistensi terhadap kanamisin ini disebabkan adanya gen nptII yang diperoleh dari transposon Tn5. Gen ini menyandi enzim neomisin fosfotransferase dan cara pewarisannya pada tanaman transgenik mengikuti pewarisan hukum Mendel untuk gen-gen dominan (Nakas dan Hagedors, 1990). Regenerasi In vitro Regenerasi tanaman rnerupakan suatu proses perkembangan yang sangat kompleks. Regenerasi kultur in vitro terjadi melalui pembentukan organ langsung dari eksplan, pembentukan embrioid langsung dari eksplan, pembentukan organ melalui kalus serta pembentukan embrioid melalui kalus. Upaya untuk memperoleh regenerasi yang efisien sebagian besar dipusatkan pada pemilihan bagian tanaman yang paling responsif serta penentuan jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang efektif. Perlakuan lain yang kadang-kadang perlu diuji adalah cahaya, panjang penyinaran serta reaksi dalam sub kultur (Bhaskaran dan Smith, 1990). Kultur Jaringan Kultur jaringan merupakan suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan, dan organ serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman utuh kembali (Gunawan, 1992). Selain untuk perbanyakan tanaman, teknik ini juga dapat digunakan untuk memperbaiki tanaman, menghasilkan tanaman bebas virus, produksi metabolit sekunder dan preservasi tanaman (Hartmann et al., 1990). Teori yang mendasari teknik ini adalah konsep totipotensi yaitu sel yang hidup memiliki kemampuan untuk berproduksi, membentuk organ dan berkembang menjadi individu sempurna jika ditempatkan pada media dan lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan (Pierik, 1987). Keberhasilan menggunakan metode kultur jaringan dalam mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis, sangat tergantung pada jenis dan fisiologi eksplan yang dikulturkan (seperti organ yang digunakan, umur fisiologi, umur saat diambil, dari tanaman asal, ulcuran dan kualitas tanaman asal), media yang digunakan, dan kondisi fisik kultur. Faktor-faktor tersebut dapat berinteraksi satu dengan yang lainnya. Eksplan Pada dasarnya setiap bagian tanaman dapat digunakan sebagai eksplan. Pernilihan material eksplan yang tepat akan mempengaruhi kesuksesan kultur jaringan, baik dari segi organ, ukuran, umur, dan cara mengkulturkannya (George dan Sherrington, 1984). Surnber eksplan dapat mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenetiknya. Eksplan yang berasal dari satu organ memiliki keragarnan kemampuan regenerasinya. eksplan. Selain itu, morfogenetik juga dapat dipengaruhi oleh ukuran Ukuran yang terlampau kecil, baik berupa pucuk tunas maupun meristem, fiagmen atau keseluruhan bagian tanaman, atau bagian kalus h a n g daya hidupnya bila dikulturkan, sementara jika terlalu besar akan mempersulit untuk mendapatkan eksplan yang steril dan dalam proses manipulasinya (George dan Sherrington, 1984). Kepadatan eksplan yang ditanam dalam tiap botol juga mempengaruhi diferensiasi sel. Semakin banyak jumlah eksplan tiap botol, maka semakin banyak jumlah sel yang tidak berdiferensiasi. Volume media kultur diduga ada interaksinya dengan kepadatan eksplan dalam mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kultur. Interaksi ini diduga berhubungan dengan menurunnya senyawa inhibitor dalam media (George dun Sherrington, 1984). Media Media kultur jaringan pada prinsipnya harus bisa menyediakan unsur-unsur hara yang diperlukan untuk pertumbuhan seperti tanamm dilapang. Keberhasilan dalam penggunaan metode kultur jaringan sangat tergantung pada media yang digunakan. Pemilihan komposisi media dan jenis media tergantung pada jenis tanaman yang dikulturkan, faktor aerasi, dan bentuk pertumbuhan dari deferensiasi yang diinginkan (Pierik, 1987). Media kultur jaringan tanaman tidak hanya menyediakan unsur-unsur hara makro (N,P, K, Ca, Mg, dan S) dan mikro (Fe, Mn,B, Cu,dan Mo), tetapi juga karbohidrat yang pada umumnya berupa gula untuk menggantikan karbon yang biasanya didapat dari atrnosfer melalui fotosintesis. Hasil yang lebih baik juga akan diperoleh, bila ke dalam media tersebut ditambahkan vitarnin-vitamin, asam amino, dan zat pengatur tumbuh. Pada keadaan tertentu media kultur jaringan juga dilengkapi dengan arang aktif (Gunawan, 1992). Interaksi dan keseirnbangan zat pengatur tumbuh yang diberikan ke dalam media (eksogen) dengan yang dihasilkan oleh sel secara endogen, menentukan arah pertumbuhan dan perkembangan suatu kultur. Pemilihan jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh tergantung pada : (1) tipe pertumbuhan dan perkembangan yang dikehendaki (kalus, akar, tunas, regenerasi dinding sel), (2) taraf zat pengatur endogen, (3) kemampuan jaringan mensintesis zat pengatur turnbuh, dan (4) interaksi antara zat pengatur tumbuh endogen dan eksogen (Gunawan, 1992). Dalam kultur jaringan terdapat dua zat pengatur tumbuh tanaman yang penting yaitu auksin dan sitokinin. Auksin berperan dalam merangsang pembentukan kalus, pemanjangan sel, pembesaran dan pembentukan akar. Beberapa eksplan secara alamiah memproduksi cukup auksin. Pengaruh sitokinin adalah merangsang pembelahan sel dan multiplikasi tunas (George dan Sherrington, 1984). Keseirnbangan auksin dan sitokinin pada media tumbuh juga akan menentukan arah perkembangan eksplan. Tunas akan terbentuk bila perbandingan konsentrasi auksin lebih tinggi dari sitokinin (Gunawan, 1992). Kondisi fsik kultur Kondisi fisik atau kepadatan media berpengaruh terhadap potensial air dan tekanan osmotik, serta penyerapan hara tanaman. Kepadatan media ditentukan oleh konsentrasi agar, pH media dan penambahan arang aktif. Konsentrasi agar semakin tinggi dapat mengurangi difusi persenyawaan dari dan ke eksplan, sehingga pengambilan hara dan zat pengatur tumbuh berkurang, sedangkan zat penghambat dari eksplan tetap berkumpul di sekitar eksplan. Selain agar, ada juga zat pemadat yang lain, yaitu gelrite yang dapat membentuk gel yang lebih bening, pada konsentrasi 0,l-0,2% sudah dapat memadatkan media. Derajat keasaman (pH) merupakan ha1 penting yang hams diperhatikan dalam penyiapan media kultur jaringan tanaman. Karena pH dapat mempengaruhi perturnbuhan dan perkembangan eksplan yaitu dapat mempengaruhi tersedianya nutrisi dan hormon pada jaringan tanaman serta mempengaruhi fhgsi membran sel dan pH sitoplasma. Pengaturan pH selain memperhatikan kepentingan fisiologi sel, juga hams memperhatikan : (1) kelarutan garam-garam penyusun media, (2) pangaturan pengambilan zat-zat pengahu tumbuh dan gararn-garam lainnya, dan (3) efisiensi pembekuan agar media (George & Sherrington, 1984). Keasaman media pada umumnya berkisar antara 5,5-5,8 sebelum disterilisasi (Gunawan, 1992). Kondisi lingkungan kultur Faktor lingkungan yang paling utarna mempengaruhi perturnbuhan dan perkembangan kultur adalah cahaya dan suhu. mempengaruhi morfogenesis, diferensiasi dm Cahaya diperlukan karena embriogenesis aseksual. Kebutuhan cahaya dalam kultur meliputi kualitas cahaya, lama penyinaran, dan intensitas cahaya (George dun Sherrington, 1984). Kualitas cahaya yang paling baik untuk pertumbuhan kultur adalah putih. Banyak penelitian menunjukkan bahwa penggunaan panjang penyinaran selama (14-16) jam memberikan hasil yang baik. Intensitas cahaya dari lampu flourescent adalah antara (1000-4000) lux dan ditempatkan dengan jumlah lampu dan kekuatan tertentu pada jarak (40-50) cm dari tabung kultur, untuk luas area tertentu. Suhu di dalam ruang kultur oleh banyak peneliti dilaporkan pada kisaran (25-28) OC memberikan pengaruh yang baik untuk pertumbuhan tanaman in vitro. Suhu optimum untuk pertumbuhan kultur jaringan tergantung dari jenis tanaman dan tempat turnbuh alami dari tanaman tersebut (Gunawan, 1992). Induksi Embrio somatik Embriogenesis somatik yaitu suatu proses perkembangan nonseksual yang menghasilkan suatu sel embrio bipolar yang berasal dari jaringan somatik. Tahaptahap perkembangannya serupa dengan embriogenesis normal dan menghasilkan embrio tanpa hubungan vaskular dengan jaringan asalnya (Haccius, 1978). Embriogenesis sornatik memiliki dua pola perkembangan yaitu embriogenesis langsung (direct embriogenesis), yaitu embrio langsung terbentuk pada eksplan tanpa melalui proses pengkalusan, dan embriogenesis tak langsung (indirect embriogenesis), yaitu sebelum terbentuk embrio, eksplan membentuk kalus terlebih dahulu. Embriogenesis langsung secara in vitro umurnnya terjadi pada sel-sel eksplan yang masih muda Quvenil) sedangkan embriogenesis tak langsung terjadi pada sel-sel yang telah mengalami diferensiasi, pembelahan sel, transformasi menjadi sel embriogenik. Embrio somatik dapat dicirikan dari strukturnya yang bipolar, yaitu mempunyai dua calon meristem, yaitu meristem akar dan meristem tunas. Dengan memiliki struktur tersebut maka perbanyakan melalui embrio somatik lebih menguntungkan daripada pembentukan tunas adventif yang unipolar. Disarnping stdturnya, tahap perkembangan embrio somatik menyerupai embrio zigotik. Secara spesifik tahap perkembangan tersebut dimulai dari fase globular, fase hati, fase torpedo, dan planlet (Henry et.al., 1998 dalam Gaj, 2001). Lingkungan kimia dan lingkungan fisik mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap embrio somatik. Faktor kimia terpenting yang terlibat dalam proses munculnya embrio somatik adalah kandungan auksin pada media, campuran nitrogen yang ditambahkan sebagai nutrisi. Faktor fisik seperti temperatur, intensitas cahaya, fotoperiode, udara, keadaan media dan kecepatan pengocokan juga telah dilaporkan mempengaruhi embrio somatik. Temperatur optimum adalah spesifik untuk setiap spesies clan tahap perkembangan. Perlakuan panas atau dingin pada tahap tertentu dapat meningkatkan embriogenesis dan perkecambahan dari embrio somatik dan propagul lain untuk perkembangan yang lebih lengkap (Vajrabhaya, 1988). Analisis Tanaman Transgenik Analisis tanaman transgenik dalam proses transformasi genetik tanaman dapat dilakukan pada berbagai tahapan, yaitu : introduksi gen, transkripsi, translasi, dan pengujian efektifitas protein yang dihasilkan. Dewasa ini telah dikenal berbagai teknik analisis tanaman transgenik seperti : Uji histokirnia P- glucuronidase (uji Gus), analisis Polymerase Chain Reaction (PCR), analisis Sothern Blot, Northern, Western, ELISA dan lain-lain. Untuk gen ketahanan terhadap serangga, pengujian efektifitas protein yang dihasilkan terhadap serangga target dapat d i l w a n melalui uji hayati, uji pakan dan sebagainya. Uji GUS Uji histokimia P-glucuronidase (uji GUS) dapat dilakukan pada tahap awal segera setelah ko-kultivasi maupun setelah gen terintegrasi dengan stabil di kromosom. Warna biru yang muncul pada sel atau jaringan menunjukkan hasil transformasi positif. Warna biru disebabkan oleh reaksi substrat X-gluc (5-bromo4-chrorno-3-irtdoZyZ-~-D-glucuronide) dengan enzim P-glucuronidase menjadi suatu senyawa perantara yang kemudian melalui reaksi dimerisasi oksidatif membentuk senyawa dichloro-dibromoindigo (CIBr-Indigo) yang berwarna biru (Stomp, 1992). Warna biru tersebut menunjukkan telah terekspresinya gen gus-A. Pemakaian gen gus-A sebagai gen penanda pada proses transformasi genetik sangat menguntungkan, karena produk gen ini dapat diarnati secara in vivo pada irisan jaringan dengan menggunakan teknik histokirnia, sehingga gen gus-A sering dipergunakan sebagai penanda dalam kondisi dimana pemakaian antibiotik tidak memunglunkan bagi regenerasi tanaman (Lal dan Lal, 1993). Gen gus banyak dipergunakan sebagai penanda pada sistem transformasi tanaman dan seringkali digunakan untuk mempelajari fimgsi promoter (Jefferson, 1987). Analisis Polymerase Chain Reaction (PCR) PCR merupakan teknik analisis tingkat DNA, yang menggunakan penggandaan urutan basa DNA spesifik secara in vitro, seperti pada cara replikasi DNA, dengan bantuan enzirn polimerase dan pemanfaatan perubahan sifat fisik DNA terhadap suhu (Davis et al., 1994). Keuntungan teknik PCR diantamnya adalah analisisnya cepat, tidak diperlukan DNA dalam jumlah banyak, dapat dilakukan pada fase awal pertumbuhan dan metode ekstraksi DNAnya relatif sederhana. Dalam transformasi genetik, teknik PCR dapat dipergunakan untuk mengamplifikasikan gen yang telah diintroduksi ke sel tanaman target untuk membuktikan keberadaannya. Dengan reaksi PCR, DNA dapat diperbanyak dengan menggunakan enzim polymerase yang dihasilkan oleh bakteri termofilik melalui serangkaian pengaturan suhu yang berbeda selama waktu tertentu pada satu siklus perbanyakan. Dalam satu siklus perbanyakan, terjadi penggandaan urutan basa cetakan. Masing-masing siklus terdiri dari tiga tahap yaitu tahap denaturasi DNA, penempelan (annealing) dan sintesis DNA (Krawetz, 1989). Pada tahap pertama DNA didenaturasi dengan meningkatkan suhu sehingga 95 O C selama 60-90 detik. Tahap berikutnya suhu diturunkan hingga 55 "C atau antara 40-60 "C tergantung panjang primer selama 30-60 detik untuk penempelan primer ke DNA target secara spesifik. Pada tahap terakhir suhu dinaikkan kembali sekitar 72 OC untuk sintesis DNA yang dimulai dari ujung 3' hidroksil pada masing-masing primer (Krawetz, 1989; Cha dun Thilly, 1993). PCR merupakan metode yang sangat sensitif sehingga dengan hanya satu molekul DNA dapat memperbanyak DNA jutaan kali, sehingga sangat bermanfaat baik pada penelitian maupun penggunaan komersial (Promega, 1996). Southern Blot Keuntungan analisis Southern blot selain dapat menunjukkan integrasi gen, juga dapat mengetahui jumlah salinan DNA yang terintegrasi, serta galur independent transgenik. Analisis Southern blot dapat dipergunakan untuk mengetahui jumlah salinan gen dan kejadian transformasi yang berbeda setelah pemotongan DNA tanaman transgenik dengan enzim restriksi tertentu yang memotong pada situs tunggal dalam DNA plasmid. Produk hibridisasi berasal dari gen yang diintroduksikan dari hasil pemotongan DNA genomik sehingga polimorfisme yang terbentuk menunjukkan sisi integrasi yang berbeda (Casas et al., 1995). Selain dipergunakan untuk membedakan kejadian transformasi, analisis Southern blot dapat membedakan integrasi ekstra kromosomal dan kromosomal (Davis et al., 1994). Kelemahan penerapan metode Southern blot adalah memerlukan sejumlah DNA yang relatif banyak dengan kemurnian tinggi dan waktu pelaksanaan relatif lama (Sambrook et al., 1989). Northern Blot Hibridisasi Northern merupakan suatu prosedur yang dipergunakan untuk identifikasi dan analisis transkip RNA (Kafatos et al., 1979). RNA tidak dapat berikatan secara efisien pada membran, sehingga dalam analisis northern dipergunakan suatu membran spesifik dimana RNA dapat berikatan secara kovalen. Ikatan RNA tersebut dapat dihibridisasi dengan menggunakan probe RNA radioaktif atau DNA utas tunggal (Freifelder, 1995). Dalam analisis Northern, sekuen RNA spesifik dideteksi menggunakan teknik bloting yaitu RNA ditransfer dari agarose ke membran. Hasil bloting dianalisis melalui proses hibridisasi dengan probe RNA. RNA merupakan bentuk utas tunggal, sehingga dapat membentuk struktur sekunder melalui pasangan basa intramolekul, sehingga hams dielektroforasi di bawah kondisi denaturasi. Denaturasi dilakukan dengan penambahan formaldehid ke gel maupun loading buHer, atau perlakuan glyoxal dan dimethyl sulfoxide (DMSO) pada loading bufler. Berbagai bahan untuk denaturasi gel RNA telah dipergunakan termasuk formaldehid, glyoxal dan methilmercuri klorida yang sangat toksik. Total RNA dapat dipergunakan untuk proses hibridisasi northern, akan tetapi total RNA biasanya memberikan hasil yang kurang memuaskan sebab terjadi hibridisasi nonspesifik. Meskipun sedikit, molekul rRNA akan menghasilkan signal hibridisasi yang lebih kuat (Ausubel, 1995). Western Blot Western blot merupakan suatu metode yang dipergunakan untuk mendeteksi DNA-binding protein. Dalarn metode ini protein dipisahkan dengan elektroforesis dan ditransfer ke suatu membran sehingga protein akan berikatan secara kovalen. Sebagai probe dipergunakan utas ganda DNA radioaktif dengan cara penggabungan dari radioaktivitas dengan pita-pita protein yang menunjukkan bahwa protein tertentu merupakan DNA binding protein (Dale 1995; Freifelder, 1995). Prinsip dasar Western blot adalah identifikasi pemisahan protein yang tidak terlabel dengan SDS gel elektroforesis polyacrilamide (PAGE) yang didasarkan pada immunoradioaktivitasnya dengan menggunakan antibodi monoklonal. Kemudian protein ditransfer ke membran dan diberi perlakuan awal untuk mereduksi ikatan nonspesifik dari antiserum ke membran. Inkubasi membran dilakukan dengan antiserum spesifik, kemudian diinkubasi dengan antibodi yang berkonjugasi dengan reagen pendeteksi dan berikatan pada antiserum primer. Setelah itu diikuti deteksi dari immunoreaksi diantara antiserum primer dan target protein spesifik (Davis et al., 1994). Park et. al. (2004) telah melakukan uji ekspresi pada tanaman poplar yang telah ditransformasi dengan menggunakan teknik Western blot. Analisis Polymerase Chain Reaction (PCR) juga telah dilakukan sebelum Western blot. Hasil uji ekspresi memberikan nilai positif dengan munculnya pita-pita. Western blot adalah teknik yang paling tepat untuk uji ekspresi protein pada tanaman yang telah ditransformasi. Uji Hayati Untuk pengujian resistensi tanarnan terhadap serangga tersedia berbagai teknik uji hayati baik yang dilakukan pada skala rumah kaca, laboratorium maupun lapang. Tahap perkembangan serangga yang diinfestasikan sangat bervariasi baik dalam bentuk telur, larva maupun nirnfa, dan bagian tanaman yang diinfestasikan juga beragam baik berupa daun, batang, bagian tanaman lain maupun tanaman utuh. Di samping itu, dikenal berbagai teknik untuk menentukan mekanisme resistensi seperti uji antisenosis, uji antibiosis, dan uji toleransi (Panda dan Khush, 1995).