4 TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq). Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) berasal dari Afrika Barat. Spesies palm tropika ini banyak ditanam di kawasan garis khatulistiwa. Pohon kelapa sawit tumbuh tegak dapat mencapai 15-20 m. Kelapa sawit termasuk ke dalam Angiospermae, famili Arecaceae, dan genus Elaeis. Kelapa sawit adalah tanaman monoceous, yaitu bunga jantan dan betina ditemukan dalam satu tanaman. Bunga jantan dan betina matang (anthesis) pada waktu yang berbeda atau sangat jarang terjadi bersamaan (Hartley, 1988). Tanaman kelapa sawit dapat dibagi menjadi dua fase vegetatif dan generatif. Fase vegetatif terdiri dari akar, batang dan daun. Sedangkan bagian generatif yang berfungsi sebagai alat perkembangbiakan adalah bunga dan buah. Kelapa sawit diperbanyak dengan cara generatif dengan biji yang dikecambahkan. Cara ini telah dilakukan sejak tanaman mulai dibudidayakan (Semangun dan Mangoensoekarjo, 2005). Seperti tanaman palma lainya, daun kelapa sawit merupakan daun majemuk. Daun berwarna hijau tua dan pelepah berwarna hijau muda. Tanaman kelapa sawit sangat mirip dengan tanaman salak, hanya saja dengan duri yang tidak terlalu keras dan tajam, bentuk daun termasuk majemuk menyirip dan tersusun rozet pada ujung batang. Tiap pelepah mempunyai lebih kurang 100 pasang helai daun (Kee et al., 2004). Kelapa sawit sudah mulai berbunga pada umur + 2 tahun. Tanaman ini merupakan tanaman monoceous, artinya pada satu tanaman terdapat bunga jantan dan bunga betina yang masing – masing terangkai dalam suatu tandan, tetapi masa Universitas Sumatera Utara 5 masak (anthesis) dari kedua jenis bunga tersebut sangat jarang atau tidak pernah bersamaan. Oleh karena itu, untuk proses penyerbukan memerlukan bantuan baik oleh manusia atau serangga penyerbuk (Semangun dan Mangoensoekarjo, 2005). Bunga jantan dan betina pada tanaman kelapa sawit terletak pada tandan bunga yang berbeda dan waktu anthesis tidak sama. Hal ini menyebabkan penyerbukan sendiri jarang terjadi dan perlu agen untuk penyerbukan silang atau penyerbukan buatan. Penyerbukan buatan perlu dilakukan karena jumlah bunga jantan lebih sedikit dibandingkan bunga betina. Selain itu yang menyebabkan perlunya penyerbukan buatan adalah kelembaban yang tinggi atau musim hujan yang panjang. Penyerbukan buatan yang dilakuakan seperti penyerbukan buatan yang dibantu oleh manusia atau serangga (Kurniawan, 2010). Pada umumnya tanaman kelapa sawit yang tumbuh baik dan subur sudah dapat menghasilkan buah serta siap dipanen pertama pada umur sekitar 3,5 tahun jika dihitung mulai dari penanaman biji kecambah di pembibitan. Namun, jika dihitung mulai penanaman di lapangan maka tanaman berbuah dan siap panen pada umur 2,5 tahun. Buah terbentuk setelah terjadi penyerbukan dan pembuahan. Waktu yang diperlukan mulai dari penyerbukan sampai buah matang dan siap panen kurang lebih 5-6 bulan. Buah sawit mempunyai warna bervariasi dari hitam, ungu hingga merah tergantung varietasnya. Buah bergerombol dalam tandan yang muncul dari tiap pelepah. Kandungan minyak bertambah sesuai kematangan buah. Setelah melewati fase matang, kandungan asam lemak bebas akan meningkaat dan buah akan rontok dengan sendirinya. Buah terdiri dari tiga lapisan yaitu eksokarp bagian kulit buah berwarna kemerahan dan licin, mesokarp serat buah dan endoskarp cangkang pelindung inti (Setyamidjaja, 2006). Universitas Sumatera Utara 6 Tanaman Kelapa Sawit di Dataran Tinggi Secara komersial perluasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada datara tinggi (altitude > 600 m dpl) mulai dilakukan pada tahun 1996 di kebun Bah Birung Ulu, Sumatera Utara. Penanaman kelapa sawit di dataran tinggi dimungkinkan karena faktor pembatas utama telah berubah yaitu terjadi peningkatan rerata tempertur udara minimum menjadi > 18o C sejak tahun 1990 namun temperatur bulanan minimum < 18o C masih berpeluang terjadi pada bulan Desember – Januari (Simangungsong et al., 2005). Kelapa sawit dapat tumbuh baik pada dataran rendah di daerah tropis yang beriklim basah, yaitu sepanjang garis khatulistiwa 15o LU sampai 15o LS. Di luar zona tersebut biasanya pertumbuhan tanaman kelapa sawit agak terhambat sehingga masa awal produksinya juga terhambat dan beberapa unsur iklim yang penting yaitu suhu, curah hujan, kelembaban udara, lama penyinaran matahari (Fauzi et al., 2006). Cahaya merupakan faktor utama sebagai sumber energi dalam fotosintesis, kekurangan cahaya akan mengganggu proses fotosintesis dan pertumbuhan, meskipun kebutuhan cahaya tergantung pada jenis tumbuhan. Kekurangan cahaya pada saat pertumbuhan berlangsung akan menimbulkan gejala etiolasi, batang akan tumbuh cepat namun lemah, daunnya lebih kecil, tipis dan pucat. Pengaruh cahaya bukan hanya pada intensitas saja, namun berkaitan dengan panjang gelombangnya. Penyinaran yang kurang karena kabut dan terlindung oleh awan di daerah dataran tinggi menyebabkan daun tanaman akan menebal dan berwarna hijau tua, sedangkan di daerah dataran rendah penyinaran yang panjang Universitas Sumatera Utara 7 menyebabkan daun lebih lebar, warnanya lebih hijau, ketebalan daun lebih tipis yang berfungsi mempercepat proses transpirasi (Gtuneland, 2011). Di daerah dataran tinggi suhu lebih rendah karena setiap kenaikan 100 m suhu menurun sekitar 0,6o C. Suhu berpengaruh terhadap fisiologis tumbuhan antara lain bukaan stomata, laju penyerapan air dan nutrisi, fotosintesis dan respirasi. Suhu yang tinggi atau terlalu rendah akan menghambat pertumbuhan. Suhu minimum (+ 10o C) merupakan suhu terendah dimana tumbuhan masih dapat tumbuh. Suhu maksimum (30o C - 39o C) merupakan suhu tertinggi dimana tumbuhan masih dapat tumbuh. Penigkatan suhu sampai titik optimum akan diikuti oleh peningkatan metabolisme tanaman (Wulan, 2012). Perbedaan suhu menyebabkan perbedaan umur mulai produksi dan produktivitas. Suhu rendah menyebabkan aktivitas metabolisme tanaman kelapa sawit di daerah dataran tinggi menjadi terhambat karena aktivitas kerja enzim katalase yang melambat. Suhu rendah dan cahaya matahari yang sedikit menyebabkan rendahnya fotosintesis. Suhu optimum yang diterima oleh tanaman kelapa sawit di daerah dataran sedang menjadikan enzin katalase beraksi dengan baik dalam tubuh tumbuhan sehingga tanaman kelapa sawit di dataran sedang dapat berproduksi dengan baik (Nasamsir dan Indrayadi, 2016). Penanaman kelapa sawit di daerah dataran tinggi hasilnya lebih rendah dibandingkan dengan dataran rendah. Salah satu faktor yang berpengaruh adalah kehadiran serangga polinator. Satu hal yang menggembirakan adalah serangga E. kamerunicus ternyata dapat hidup dan berkembang pada dataran tinggi walaupun di Amerika Selatan dan di Afrika serangga lebih baik perkembangannya di dataran rendah dan daerah pantai (Nasution dan Tobing, 2015). Universitas Sumatera Utara 8 Serangga Elaeidobius kamerunicus Faust E. kamerunicus Faust merupakan kumbang moncong (weevil), yang termasuk dalam ordo Coleoptera dan famili Curculionidae. Kumbang ini berukuran kecil (panjang sekitar 4 mm dan lebar sekitar 1,5 mm) dan berwarna cokat kehitaman (Syed et al., 1982). Kumbang ini mengalami metamorfosis sempurna (holometabola), yakni siklus hidupnya terdiri dari telur-larva-pupaimago. E. kamerunicus memiliki peran dalam penyerbukan tanaman kelapa sawit. Penyerbukan terjadi karena kumbang ini tertarik dengan aroma bunga jantan, kemudian mendekati, dan saat hinggap di bunga jantan, serbuk sari akan melekat di tubuhnya. Sewaktu hinggap di bunga betina yang mekar (reseptif), serbuk sari akan terlepas dari kumbang dan menyerbuki bunga betina (Setyamidjaja, 2006). Selain itu, kumbang ini tidak berbahaya dan tidak mengganggu tanaman lain, karena kumbang ini hanya dapat makan dan bereproduksi pada bunga jantan kelapa sawit (Syed et al., 1982). Tubuh E. kamerunicus memiliki bulu – bulu halus pada bagian punggung membentuk seperti jamur, pada bulu tersebut biji serbuk sari dapat melekat dan saat kumbang berpindah kebunga betina maka proses penyerbukan terjadi, ukuran tubuh jantan lebih besar daripada betina, moncong pada jantan lebih pendek dari betina, dan serangga tersebut aktif antara jam 09.00 sampai jam 11.00 pagi kelihatan seperti nyamuk yang beterbangan (Lubis et al., 1989). Sebelum ditemukanya E. kamerunicus sebagai penyerbuk paling efektif untuk tanaman kelapa sawit terdapat serangga yang juga berfungsi sebagai penyerbuk yaitu Thrips hawaiilensis namun serangga tersebut diduga kurang Universitas Sumatera Utara 9 efektif karena populasinya yang sangat dipeengaruhi oleh cuaca bahkan di daerah Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya tidak ditemukan (Lubis, 1992). Serangga penyerbuk kelapa sawit merupkan tipe serangga yang memiliki metamorfosis sempurna, pada tipe ini serangga pra dewasa (larva dan pupa) biasanya memiliki bentuk yang sangat berbeda dengan serangga dewasa (imago). Larva merupakan fase yang sangat aktif makan sedangakan pupa merupakan tempat peralihan yang dicirikan dengan terjadinya perombakan dan penyusunan kembali alat alat tubuh baik bagian dalam dan luar tubuh (Jumar, 2000). Bunga Kelapa Sawit Ketersediaan bunga jantan merupakan faktor penting bagi perkembangan kumbang E. kamerunicus. Selain sebagai sumber makanan, bunga jantan diketahui sebagai habitat kumbang (Headley et al., 2006). Hasil penelitian Susanto et al (2007) bahwa idealnya dalam 1 hektar dibutuhkan paling sedikit 3 tandan bunga jantan dengan asumsi ± 20.000 ekor kumbang sehingga mampu menghasilkan 75% fruitset. Bila jumlah itu tercapai, maka populasi kumbang tidak menjadi factor pembatas bagi penyerbukan kelapa sawit termasuk di daerah dataran tinggi. Keberhasilan penyerbukan merupakan hal yang penting dalam budidaya tanaman kelapa sawit. Keberhasilan penyerbukan kelapa sawit merupakan hal sangat menentukan terhadap produksi kelapa sawit di Indonesia (Prasetyo dan Susanto, 2010). Kelapa sawit memiliki bunga jantan dan bunga betina yang terpisah dalam satu pohon. Tandan bunga jantan dibungkus oleh seludang bunga yang pecah jika akan anthesis (mekar) seperti bunga betina. Tiap tandan bunga jantan memiliki 100 – 250 spikelet yang panjangnya 10 – 20 cm dan diameter 1 – 1,5 cm. Tiap Universitas Sumatera Utara 10 spikelet berisi 500 – 1500 bulir bunga yang akan menghasilkan jutaan tepung sari (Lubis, 2008). Bunga jantan mulai mekar satu minggu setelah seludang kedua (bagian dalam) pecah atau terbuka. Individu bunga jantan tersusun secara spiral pada spikelet. Spikelet bunga jantan berbentuk seperti tongkol tersusun pada rakila (sumbu pembungaan). Mekarnya bunga jantan dimulai dari pangkal spikelet dan disertai aroma khas serta pelepasan serbuk sari (Hetharie et al., 2007). Ciri – ciri bunga jantan kelapa sawit yang sedang anthesis adalah bunga berwarna kuning, mengeluarkan aroma yang menjadi attractant bagi kumbang Elaeidobius kamerunicus, dan pada permukaan spikelet bunga banyak terdapat serbuk sari (polen). Sedangkan ciri- ciri bunga betina receptive adalah kepala putik terbuka, warna kepala putik kemerah – merahan dan berlendir serta mengeluarkan aroma. Aroma atau bau harum yang dihasilkan oleh bunga jantan lebih kuat dibandingkan aroma yang dihasilkan bunga betina (Corley dan Tinker, 2003). Pada waktu bunga- bunga mekar, suhu di dalam pembungaan meningkat 5 - 10o C dan bunga mengeluarkan bau seperti adas (Foeniculum vulgare) yang kuat. Ujung putik reseptif memiliki 3 cuping berambut seperti sabit. Bunga pertama yang membuka adalah bunga yang terletak disasar spikelet, setelah bunga mekar cupingnya akan berubah menjadi keunguan karena adanya anthosianin dan tepung sari tidak dapat berkecambah pada putik ini. Bunga jantan yang sedang anthesis memiliki bau yang lebih kuat dibandingkan dengan bunga betina. Hasil penelitian menyatakan bahwa serbuk sari pada bunga jantan mekar mengandung senyawa kimia p-metoksialilbenzena (estragole) yang berbau sangat kuat, dan bau Universitas Sumatera Utara 11 tersebut memiliki peran yang penting dalam memarik reaksi serangga tersebut (Susanto et al., 2007). Tiap tandan bunga mempunyai tangkai sepanjang 30 - 45 cm, yang mendukung spikelet tersusun spiral. Tandan bunga sawit awalnya tertutup oleh dua lapis seludang berserat. Enam minggu sebelum anthesis seludang bagian luar akan pecah dan 2 atau 3 minggu kemudian seludang bagian dalam akan pecah dan tandan bunga akan terbuka. (Susanto et al., 2007). Bunga betina receptive ditandai dengan robeknya seludang ( pembungkus) bunga oleh desakan pertumbuhan ukuran bunga. Pecahan atau sabut dari seludang bunga masih membungkusnya. Bunga kelapa sawit dengan tipe majemuk dengan tonjolan kerah atas tangkai anakan bunga dan asesori bunga membentuk seperti pelindung bunga. pembungaan tersusun berlapis dari permukaan atas dilanjutkan sederetan pembungaan yang tersembunyi dibawahnya. Terlihat dipermukaan calon buah, kepala putik yang berbentuk bintang empat berwarna putih dan terasa lengket bila diraba. Bunga betina receptive beraroma lebih lembut dari pada bunga jantan (Kahono et al., 2012). Tandan bunga betina memiliki ukuran panjang 24 – 45 cm, serta mengandung ribuan bunga yang terletak pada pembungaan betina. Jumlah bunga betina pada tanaman kelapa sawit setiap tandan bervariasi tergantung pada lokasi dan umur tanaman kelapa sawit. Jumlah bunga betina yang terdapat di Sumatera sebanyak 6000 bunga betina/ tandan bunga (Susanto el al., 2007). Universitas Sumatera Utara