KONSTRUKSI SOSIAL KHITAN PEREMPUAN BAGI MASYARAKAT MADURA DI SURABAYA (Studi Deskriptif pada Masyarakat Madura di Kecamatan Semampir, Surabaya) DIAN HIKMAWATI Sosiologi Universitas Airlangga [email protected] ABSTRAK Khitan perempuan merupakan praktik yang biasa dilakukan oleh masyarakat Madura di Surabaya. Masyarakat Madura tersebut melaksanakan praktik khitan perempuan didasarkan atas beberapa aspek. Dalam studi tentang khitan perempuan bagi Masyarakat di Surabaya ini, menfokuskan pada kajian konstruksi pemikiran masyarakat Madura mengenai praktik khitan perempuan. Studi tentang khitan perempuan ini menggunakan kerangka pemikiran dari Peter Berger dengan menganalisis data yang telah didapat melalui tiga proses dialektika momentum simultan: eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode snowball sampling dan tipe penelitian deskriptif. Hasil penelitian dari konstruksi khitan perempuan bagi masyarakat Madura di Surabaya ini meliputi: (1) khitan perempuan sebagai wujud identitas bagi masyarakat Madura, (2) praktik khitan perempuan sebagai warisan budaya leluhur, (3) masyarakat Madura tidak mendapatkan pengetahuan tentang khitan perempuan dari sumber yang akurat, dan (4) masyarakat Madura melaksanakan praktik khitan perempuan berdasarkan alasan tradisi dan tidak terkait langsung dengan teks keagamaan. Kata kunci: konstruksi sosial, khitan perempuan dan masyarakat Madura ABSTRACT Female circumcision is a common practice undertaken by the Madurese in Surabaya. The Madurese is carrying out the practice of female circumcision based on some aspects. In female circumcision study about the Madurese society in Surabaya, the research focuses on construction of the Madurese‟s thought concerning on female circumcision. This study uses framework from Peter L Berger analyzing data that has been acquired through 3 dialectical processes of simultaneous momentum: externalization, objectivation, and internalization. This study is conducted by using qualitative approach with snowball sampling method and descriptive type. The Social Construction Result of Female Circumcision for the Madurese Community in Surabaya includes: (1) female circumcision is an Madurese‟s identity, (2) practical circumcision of female is the ancestral cultural heritage, (3) the knowledge of female circumcision is not obtained by Madurese with accurate data, and (4) Madurese do female circumcision practice according to traditional reason and is not directly related to religiousness text. Keywords: social construction, female circumcision and Madurese LATAR BELAKANG MASALAH Praktik khitan perempuan mengakibatkan posisi perempuan cenderung tersubordinasi. Posisi perempuan tersebut muncul ke dalam fenomena khitan perempuan yang masih eksis pada konteks kekinian. Fenomena khitan perempuan masih menjadi perdebatan antara Kementerian Kesehatan dan Lembaga Kesehatan Internasional (WHO) serta Lembaga Swadaya Masyarakat dalam pengesahan Kebijakan Peraturan Kementerian Kesehatan tentang Khitan Perempuan. Kementerian Kesehatan sempat mengatur dan memperbolehkan praktik khitan perempuan. Sebaliknya, Lembaga Kesehatan Internasional (WHO) dan Lembaga Swadaya Masyarakat sejak awal menolak kebijakan Permenkes tersebut yang dianggap sebagai bentuk perebutan hak reproduksi perempuan. Praktik khitan perempuan merupakan makrumah (kemuliaan) dalam ajaran agama islam.1 Pada masyarakat Madura, praktik khitan perempuan merupakan bentuk tradisi yang masih dipegang teguh sampai saat ini.2 Praktik khitan perempuan ini juga tidak terlepas dari pengaruh keagamaan. Tiga agama samawi yang melakukan praktik khitan perempuan adalah Yahudi, Kristen dan Islam (Sauki 2010). Pada agama yahudi, praktik khitan dilakukan untuk mewujudkan ikatan perjanjian suci antara Tuhan dan Manusia. Dalam doktrin agama 1 MUI mengeluarkan fatwa mengenai khitan, khitan baik dilakukan bagi laki-laki dan perempuan, dan itu termasuk dalam syiar Islam. Kaidah umum yang digunakan sebagai dasar adalah hadis riwayat Abu Hurairah RA tentang lima fitrah, yakni: khitan, mencukur rambut kemaluan, mencukur rambut ketiak, menggunting kuku, dan memotong kumis. 2 Di Indonesia, tidak hanya Madura saja yang melaksanakan praktik khitan perempuan. Di daerah lain di Indonesia yang melakukan praktik khitan perempuan adalah daerah Banjarmasin dan Gorontolo. Ketiga daerah ini memiliki latar belakang yang berbeda dalam pelaksanaan khitan perempuan. tersebut mewajibkan penganutnya untuk melakukan praktik khitan tanpa membedakan jenis kelamin. Karena agama Abraham tersebut diturunkan tanpa melihat perbedaan jenis apapun. Pada agama Kristen, karena Kristen adalah agama kedua yang lahir setelah Yahudi. Maka doktrin keagamaannya sedikit banyak mengadopsi dari doktrin agama Yahudi. Kristen juga mengajarkan khitan perempuan pada penganutnya. Tidak berbeda dengan yahudi, praktik khitan perempuan pada agama Kristen merupakan wujud ikatan perjanjian suci antara Allah dan manusia. Namun, terdapat perbedaan pandangan mengenai hukum praktik khitan pada perempuan. Jika pada Yahudi mewajibkan seluruh penganutnya baik laki-laki dan perempuan melakukan praktik khitan, Kristen tidak mewajibkannya bagi perempuan. Sedangkan pada agama Islam, berdasarkan hadis Rasul, praktik khitan perempuan merupakan kemuliaan. Menurut mazhab Imam Syafi‟i, praktik khitan perempuan hukumnya wajib.3 Nu.or.id mempublikasikan artikel yang ditulis Prof. Dr. Wahbah Zuhaili bahwa mazhab ini dianut oleh kurang lebih 28 persen populasi muslim dunia. Karena banyak dari masyarakat Indonesia menganut mazhab Imam Syafi‟i, maka tidak mengherankan jika praktik khitan perempuan masih eksis hingga saat ini. Praktik khitan perempuan, baik untuk perempuan dan laki-laki tidak terkait secara langsung dengan teks-teks agama. Karena tidak ada satu hadis shahih pun yang berbicara mengenai khitan perempuan bahwa alasan yang digunakan para ulama 3 Imam Syafi’i adalah seorang ulama ahli fiqh, ushul, hadis, bahasa dan nahwu. Disiplin ilmunya banyak digunakan sebagai dasar umat muslim dalam melakukan tindakan, khususnya khitan perempuan. Selain Indonesia, Malaysia merupakan negara yang secara jelas pemerintahannya menggunakan mazhab Syafi’i dalam memutuskan perkara-perkara agama. dalam pelaksanaan khitan perempuan yang dinilai hukumnya wajib adalah sangat lemah (Husein 2012). Kontradiksi pelaksanaan praktik khitan perempuan ini tidak terlepas pula dari perspektif praktisi kesehatan. Menurut praktisi kesehatan, praktik khitan perempuan tidak membawa kebaikan bagi perempuan. Justru praktik khitan ini dapat memberikan dampak yang buruk bagi perempuan. Di antaranya pendarahan, kemandulan, depresi psikologis, berkurangnya hasrat seksual, kista, kanker, prostat atau kematian. Urgensi dalam penelitian yang akan peneliti lakukan adalah ingin mengetahui konstruksi masyarakat Madura di Surabaya tentang pelaksanaan praktik khitan perempuan sebagai realitas. Peneliti memilih masyarakat Madura di Surabaya dengan proses mempertimbangkan sebagai masyarakat yang tinggal di daerah, seharusnya masyarakat Madura dapat berpikir menggunakan rasionalitasnya tentang keuntungan dan kerugian praktik khitan perempuan. Secara khusus, sebagai masyarakat, menjadi masyarakat yang tinggal di daerah dengan perubahan sosial yang cenderung cepat dan berdampingan dengan masyarakat heterogen, seharusnya dapat membuat masyarakat Madura mengubah konstruksi pemikirannya tentang tradisi khitan perempuan. A. KERANGKA TEORI Teori Konstruksi Sosial (Peter L. Berger & Thomas Luckmann) Menurut Berger, sosiologi memusatkan perhatian pada hubungan antara individu dan masyarakat (Ludwig 2012). “Individu” dianggapnya sebagai acting subject, yakni makhluk hidup yang senantiasa bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat sebagai Realitas Objektif Berger mengungkapkan pandangannya tentang masyarakat merupakan realitas objektif. Masyarakat tercipta sebagai realitas objektif karena adanya berbagai individu yang mengeksternalisasikan dirinya dengan mengungkapkan subjektivitas konstruksinya melalui aktivitas yang dilakukannya (Samuel 2012: 27). Aktivitas yang dilakukan individu ini terjadi secara terus-menerus dan berulang, namun tidak berarti pengulangan aktivitas ini tidak mengalami perubahan. Pengulangan aktivitas dalam istilah Berger menyebutnya “habitualisasi” (Ludwig 2012). Habitualisasi merupakan pengulangan tindakan atau aktivitas individu, melakukan tindakan atau aktivitas di masa kini atau masa depan yang kurang lebih sama dengan tindakan atau aktivitas di masa lampau. Masyarakat sebagai Realitas Subjektif Menurut Berger, pada masyarakat sebagai realitas subjektif, terdapat hubungan dialektis didalamnya, di mana ada proses hubungan saling membentuk dan menentukan. Bagi Berger, ketika manusia lahir, ia hanya memiliki kesiapan untuk menerima kehadiran masyarakat dalam kesadarannya. Seiring dengan kesiapan manusia menerima masyarakat dalam kesadaran sendiri inilah proses internalisasi berlangsung. Internalisasi merupakan proses di mana manusia menyerap pengetahuan dunia yang dihuninya. Proses internalisasi ini tidak menghilangkan kedudukan realitas objektif atas persepsi individu. Internalisasi hanya menyangkut penginterpretasian realitas objektif menjadi realitas subjektif menjadi pengetahuan yang hadir dan mengendap dalam kesadaran individu. Salah satu tugas pokok pada sosiologi pengetahuan adalah menjelaskan adanya dialektika antara diri (self) dengan dunia sosio-kultural. Dialektika ini berlangsung dalam suatu proses dengan tiga tahapan simultan, yakni sebagai berikut (Berger 2012): 1. Eksternalisasi, merupakan proses penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultural sebagai produk manusia 2. Objektivasi, merupakan proses di mana proses interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi 3. Internalisasi, proses di mana individu mengidentifikasi diri dengan lembagalembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya. B. METODE PENELITIAN Pendekatan dan Paradigma Penelitian Penelitian mengenai konstruksi khitan perempuan ini menggunakan pendekatan kualitatif dan paradigma definisi sosial. Pendekatan kualitatif di sini bertujuan untuk menggali informasi sedalam-dalamnya mengenai konstruksi khitan perempuan. Sedangkan paradigma definisi sosial ini memusatkan perhatian pada masalah makroskopik dan menjelaskan realitas sosial sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Setting Penelitian Secara keseluruhan penelitian ini dilakukan pada masyarakat yang tinggal di Kecamatan Semampir di Kota Surabaya. Penelitian dimulai pada awal semester ganjil mulai Oktober berakhir hingga Desember 2015. Pertimbangan peneliti mengambil setting penelitian tersebut adalah berawal dari fenomena yang peneliti lihat secara langsung. Kemudian, lokasi kota Surabaya merupakan lokasi yang sudah dikenal baik oleh peneliti. Dan efisiensi dan efektivitas dalam proses penelitian, diharapkan peneliti dapat mengungkap realitas secara mendalam karena telah mengenali lokasi penelitian dengan baik. Teknik Penentuan Informan Sasaran penelitian mengenai konstruksi sosial khitan perempuan ini adalah masyarakat Madura di Surabaya. Tepatnya adalah orangtua, baik suami atau istri dari individu yang menjadi pelaku khitan yang tinggal di daerah Kecamatan Semampir. Hal ini didasarkan pada posisi tertinggi dalam mengambil keputusan tentang pelaksanaan khitan perempuan adalah orangtua, baik suami atau istri. Kemudian pertimbangan peneliti memilih masyarakat Madura di Surabaya karena fokus penelitian ini mengkaji mengenai konstruksi sosial khitan perempuan bagi masyarakat Madura di Surabaya serta sesuai dengan karakteristik informan penelitian dan subjek penelitian. Teknik Pengumpulan Data Sumber data yang digunakan peniliti adalah sumber data primer. Sumber data primer didapatkan peneliti secara langsung dari objek yang diteliti, dalam kaitannya dengan hal ini adalah informan. Sehingga, informasi yang diberikan oleh informan merupakan sumber data primer dari penelitian ini. Lebih dalam lagi, peneliti melakukan indepth interview di mana umumnya berisikan daftar pertanyaan yang sifatnya terbuka yang sebelumnya telah disusun sedemikian rupa oleh peneliti dalam pedoman wawancara. Teknik Analisis Data Analisis data kualitatif ini meliputi tiga pokok kegiatan yang terjadi secara beriringan (Miles & Huberman 1992: 16-19): 1. Reduksi Data Reduksi data merupakan proses analisis data di mana memilih, memusatkan perhatian pada topik permasalahan, melakukan penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data „kasar‟ yang muncul dari catatan tertulis di lapangan. 2. Penyajian Data Penyajian data merupakan sehimpunan informasi yang telah disusun dengan sedemikian rupa dan memberikan celah adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. 3. Kesimpulan Penarikan kesimpulan lebih didasarkan pada perumusan makna yang dimiliki oleh tiap subjek. Penelitian memaparkan pemaknaan dari masing-masing subjek secara umum. Sehingga, dalam kesimpulan akan dikemukakan jawaban atas permasalahan penelitian yang telah dirumuskan. C. KONSTRUKSI SOSIAL KHITAN PEREMPUAN BERKAITAN DENGAN LINGKUNGAN SOSIAL Praktik khitan perempuan dewasa ini menempati suatu kedudukan khusus dan menjadi tradisi yang tidak mungkin ditinggalkan. Praktik khitan perempuan dapat disejajarkan sebagai sebuah kewajiban yang harus dilakukan oleh masyarakat dewasa ini, terutama di kalangan masyarakat Madura. Sebagian masyarakat masih ada yang menganggapnya hanya sebuah tradisi biasa, tetapi praktik khitan perempuan adalah selayaknya wujud eksistensi diri bagi masyarakat Madura. Eksistensi diri ini dapat diwujudkan dengan terus memelihara tradisi praktik khitan perempuan. Dialektika Simultan Proses Internalisasi, Objektivasi dan Eksternalisasi dalam Pelaksanaan Praktik Khitan Perempuan Internalisasi Proses ini merupakan tahap di mana masyarakat Madura mengidentifikasi dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi tempat ia tinggal. Di mana masyarakat Madura mendapatkan pengetahuan tentang praktik khitan perempuan dari orangtua (Ibu) atau neneknya. Tetapi bagi masyarakat Madura yang lain, mereka mendapatkan pengetahuan tentang praktik khitan perempuan dari masyarakat sekitar. Menekan Syahwat Membersihkan Kotoran Seorang Kyai memandang jika perempuan memiliki nafsu yang besar, sehingga praktik khitan perempuan dilakukan untuk meredam nafsu perempuan. Masyarakat Madura melihat praktik khitan perempuan sebagai tindakan untuk membersihkan alat kelamin perempuan Mencegah Tumbuhnya Daging Lebihan Menambah Kenikmatan Menghilangkan Kenikmatan Seorang Lurah memandang Petugas jika praktik Kelurahan khitan menilai perempuan perempuan yang dapat tidak dikhitan memberikan akan memiliki keuntungan daging lebihan yakni yang tumbuh, menambah maka praktik kenikmatan khitan saat perempuan berhubungan dilaksanakan seksual. untuk mencegah hal itu. Seorang bidan menyatakan jika praktik khitan perempuan dapat memberikan kerugian bagi perempuan. Karena tindakan praktik khitan tersebut dapat merusak sel saraf dan mengakibatkan hilangnya kenikmatan saat berhubungan seksual. Objektivasi Proses ini merupakan tahap di mana masyarakat Madura melakukan interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang telah dilembagakan dan mengalami institusionalisasi. Di mana pengetahuan tentang praktik khitan perempuan pada tahap ini dipengaruhi oleh eksistensi Kyai yang menilai praktik khitan perempuan sebagai tindakan yang penting. Keharusan Manusia Seorang Kyai memandang praktik khitan perempuan termasuk ke dalam keharusan atau kebaikan bagi perempuan. Dan keharusan atau kebaikan tersebut ia nyatakan sebagai khilqoh manusia. Khilqoh merupakan sesuatu yang harus atau baik untuk dilakukan. Seorang Guru menilai praktik khitan termasuk ke dalam perkara yang baik dilakukan oleh perempuan. Sunah Rasul/Sunah Muakkad Seorang Kyai menilai praktik khitan perempuan berasal dari sunah nabi Ibrahim, dan hukum dari praktik khitan perempuan tersebut adalah sunah muakkad. Di mana ritual tersebut sangat dianjurkan untuk dilaksanakan. Kewajiban Agama Islam Petugas Kelurahan memandang praktik khitan perempuan termasuk ke dalam perkara yang wajib dilaksanakan. Hal itu ada dalam ajaran agama Islam. Di mana pelaksanaan praktik khitan perempuan merupakan keharusan yang tidak dapat ditoleransi lagi. Eksternalisasi Proses ini merupakan tahap di mana individu dalam konteks ini masyarakat Madura menyesuaikan diri dengan dunia sosio-kulturalnya sebagai produk manusia. Di mana masyarakat madura mengonstruksi kembali atas benturan pengetahuan yang dimilikinya. Benturan pengetahuan tersebut dimulai dari pengaruh peran dukun bayi atau beranak, kepercayaan masyarakat Madura dengan Kyai serta penolakan dan penjelasan mengenai dampak negatif dari pelaksanaan praktik khitan perempuan oleh bidan di puskesmas. Tradisi Sunah Agama Islam Keyakinan Seorang bidan dan masyarakat Madura memandang jika praktik khitan perempuan merupakan sebuah tradisi. Di mana tradisi tersebut telah lama dijalankan oleh masyarakat Madura. Kyai dan petugas Kelurahan melihat praktik khitan perempuan termasuk dalam ajaran agama Islam. Di mana ajaran agama tersebut berasal dari sunah nabi Ibrahim dan diimitasi oleh masyarakat Madura sebagai ritual yang biasa mereka lakukan dengan tujuan kebaikan. Masyarakat Madura memandang jika terdapat kebaikan dan keuntungan dari pelaksanaan praktik khitan perempuan. Keyakinan tersebut dipengaruhi oleh mitosmitos seputar praktik khitan perempuan mengenai dampak negatif dari tidak dilakukannya praktik khitan tersebut. Dan keyakinan itu pula yang membuat masyarakat Madura menjaga eksistensi praktik khitan perempuan hingga sekarang. Praktik Khitan Perempuan sebagai Realitas Sosial Objektif Analisis ini tidak bermaksud sama sekali untuk mengemukakan kritik terhadap pemikiran umum mengenai identitas seseorang yang melaksanakan praktik khitan perempuan yang diasumsikan sebagai masyarakat yang tidak memiliki pemikiran yang terbuka dengan datangnya pengetahuan baru. Sebab, praktik khitan perempuan menurut ilmu kesehatan tidaklah baik dilakukan. Karena hal itu dapat melukai dan menciderai sel saraf yang ada di dalam vagina perempuan, hal itu diungkapkan oleh informan 01-PAN. Realitas objektif praktik khitan perempuan yang berkembang di Indonesia sebagai praktik keagamaan sudah berkembang sejak lama. Dalam masa itu, realitas objektif praktik khitan perempuan dibentuk melalui dialektika pemikiran intersubjektif. Tokoh-tokoh agama yang ada mendukung munculnya perkembangan praktik khitan perempuan, salah satunya adalah informan 04-ASA dan informan 05-FAT. Selain itu, pemikiran tentang praktik khitan perempuan yang merupakan simbol keagamaan juga diperkuat dengan sosialisasi dari orangtua kepada anak mengenai pelaksanaan praktik khitan perempuan. Hal itu dialami oleh informan 02-MAL dan informan 03-AHA. Sehingga, praktik khitan perempuan di kalangan masyarakat Madura yang cenderung mewujudkan simbol keagamaan menjadi semakin kuat. Akan tetapi, berorientasi kepada masa depan, setiap aktivitas manusia selalu memiliki tujuan yang ingin dicapai. Jawaban universal dari tujuan ini adalah pembentukan tatanan dunia (nomos). Alasan yang membuat praktik khitan perempuan tetap eksis adalah bahwa masyarakat Madura meyakini jika di dalam vagina perempuan menyimpan kotoran, hal ini disampaikan oleh informan 06-NAM. Ia percaya bahwa dengan melakukan praktik khitan perempuan dapat membersihkan kotoran yang tersimpan di dalam vagina perempuan. Praktik Khitan Perempuan sebagai Realitas Subjektif Kejadian-kejadian seperti respon dari keluarga tersebut, termasuk dalam fenomena yang membantu duplikasi kesadaran dalam internalisasinya membuat individu menghasilkan “penguatan” baik di luar maupun di dalam dirinya sebagai akibat dari kehidupannya dalam masyarakat di mana praktik khitan perempuan juga banyak terjadi diantara masyarakat. Hal itu terjadi pula pada informan 06-NAM dan informan 07-SEN, keduanya membentuk pengetahuan mengenai praktik khitan perempuan dengan mengamati fenomena khitan perempuan di lingkungan sekitarnya. Berdasarkan hal itu, kemungkinan terjadi tidak saja dunia sosial tampak asing bagi individu dengan pernyataan-pernyataan dari praktisi kesehatan setempat seperti pernyataan dari informan 01-PAN yang melarang adanya praktik khitan perempuan, tetapi individu juga menjadi asing bagi dirinya sendiri dalam aspek-aspek tertentu dari dirinya yang telah tersosialisasi. Sehingga dari beberapa informan yang telah diwawancara dan mengalami penolakan dari bidan setempat tetap melaksanakan praktik khitan perempuan. Keterasingan ini tidak lagi memiliki sifat dialektis. Individu tidak menemukan sebuah dunia sebagai bentukan aktivitasnya secara sosial, terlebih lagi ia tidak lagi menemukan dirinya dalam setiap internalisasi realitas objektif. Sehingga tidak ada proses dialektika yang relevan antara keduanya. Penolakan yang dilakukan oleh informan 01-PAN dan bidan lainnya sesuai dengan yang diungkapkan oleh informan 03-AHA kepada masyarakat Madura yang datang ke puskesmas, membuat masyarakat Madura berpikir kembali mengenai tujuan dari dilakukannya praktik khitan perempuan. Mereka mencoba menyerap pengetahuan baru yang ia dapat dari informan 01-PAN dan bidan setempat lainnya, tetapi dalam proses penyerapan pengetahuan baru tersebut tidak seluruhnya mengendap dalam pikiran masyarakat masyarakat Madura. Berdasarkan hasil wawancara, Madura yang pergi ke puskesmas untuk mengkhitankan anak perempuannya atau cucu perempuannya dan permintaan tersebut ditolak oleh bidan, awalnya tidak membuat masyarakat Madura untuk menghentikan tindakannya dalam melaksanakan praktik khitan perempuan. Hal ini dialami oleh informan 03-AHA. Ia berpikir, terdapat dukun bayi atau dukun beranak yang berperan penting juga dalam melaksanakan praktik khitan perempuan. Pada akhirnya masyarakat Madura yang sebelumnya ditolak oleh bidan beralih ke dukun bayi atau dukun beranak. Karena oleh dukun bayi tersebut, masyarakat Madura justru dianjurkan untuk tetap melakukan praktik khitan perempuan. Menimbang bahwa praktik khitan perempuan adalah tradisi nenek moyang yang wajib untuk dilaksanakan seperti yang telah dituturkan oleh informan 02-MAL dan informan 03-AHA. Resistensi yang dilakukan bidan pada masyarakat Madura yang melaksanakan praktik khitan perempuan dibalas pula dengan resistensi yang dilakukan oleh masyarakat Madura dengan wujud pelaksanaan praktik khitan perempuan di dukun bayi atau dukun beranak. Menurut informan 02-MAL dan informan 03-AHA, praktik khitan perempuan hanya syarat yang harus dilakukan oleh masyarakat Madura. Hal itu didukung dengan teknis pelaksanaan praktik khitan perempuan yang hanya menggores alat kelamin perempuan saja. Mereka berpikir jika tindakan tersebut tidak akan mendatangkan bahaya bagi perempuan yang melaksanakan khitan. Bahkan ada informan 03-AHA yang yakin sekali jika praktik khitan perempuan tersebut tidak berbahaya, karena ia pernah menyaksikan sendiri bagaimana proses pelaksanaan praktik khitan perempuan berlangsung. Kondisi masyarakat Madura yang seolah-olah terisolasi mendeskripsikan sisi sebaliknya dari pemikiran para praktisi kesehatan. Masyarakat Madura menafsirkan praktik khitan perempuan sebagai kenyataan subjektif dari proses menafsirkan realitas objektif melalui proses internalisasi, sembari ia menyumbang pada proses eksternalisasi. Individu berupaya memahani definisi “realitas objektif”. Namun lebih dari itu, individu turut mengonstruksi pengetahuan bersama. Jadi, individu merupakan aktor yang aktif sebagai pembentuk pemelihara, sekaligus pengubah masyarakat. D. PENUTUP Kesimpulan Adapun kesimpulan dari penelitian tentang Konstruksi Sosial Khitan Perempuan bagi Masyarakat Madura di Surabaya adalah sebagai berikut: 1. Praktik khitan perempuan sebagai wujud identitas masyarakat Madura di Surabaya. Mengenai aspek identitas, masyarakat Madura menggunakan pelaksanaan praktik khitan perempuan sebagai tanda (sign) bagi mereka yang menjadi bagian dari kelompok sosial, dalam konteks ini masyarakat Madura. 2. Praktik khitan perempuan merupakan warisan budaya leluhur. Berdasarkan aspek budaya, praktik khitan perempuan dinilai sebagai ritual adat kebudayaan leluhur. Praktik khitan perempuan sebagai ritual yang tidak boleh dilanggar telah menjadi pengetahuan umum bagi masyarakat Madura. 3. Masyarakat Madura tidak mendapatkan pengetahuan tentang khitan perempuan dari sumber yang terpercaya atau akurat. Hal ini terlihat bahwa dalam melaksanakan praktik khitan perempuan, masyarakat Madura cenderung ikutikutan. 4. Praktik khitan perempuan yang dilaksanakan oleh masyarakat Madura tidak terkait langsung dengan teks keagamaan. Hal ini dapat diketahui dari alasan masyarakat Madura melaksanakan praktik khitan perempuan, diantaranya: membersihkan kotoran, menahan nafsu, menambah kenikmatan dan mencegah agar tidak ada daging lebihan yang tumbuh pada alat kelamin perempuan. Saran Untuk masyarakat secara umum, baik yang memiliki pandangan konservatif, moderat maupun progresif, masyarakat Madura bukan kelompok sosial masyarakat yang haris disikapi secara antipati. Setiap individu yang ada di dalam kehidupan masyarakat sudah memahami mengenai mekanisme-mekanisme yang harus dilakukannya ketika sedang berhadapan dengan tradisi praktik khitan perempuan, dan di sisi lain ada pula masyarakat yang secara ragu-ragu serta sangat mantap dengan mekanisme-mekanisme tersebut. Untuk para pembaca yang budiman, fokus penelitian ini merupakan sebagian kecil dari topik yang diangkat peneliti yakni tentang masyarakat madura di Surabaya dan tradisi praktik khitan perempuannya. Tentunya masih banyak fokus yang dapat dikaji kembali dari topik penelitian ini yang kiranya cukup menarik untuk dijadikan fokus penelitian. Peneliti berharap ada pihak-pihak selanjutnya yang dapat meneruskan penelitian ini dengan fokus yang lain atau bahkan dengan fokus yang sama akan tetapi lebih mendalami lagi di tingkatan analisisnya, terutama yang berkaitan dengan masalah gender. Di mana dalam konteks kekinian, masih sedikit ditemukan dalam setting sosial masyarakat Madura dan belum sempat diteliti dalam penelitian ini. Daftar Pustaka Buku: Basri, Muhammad dan Soenyono. 2004. Teori Sosial dalam Tiga Paradigma. Surabaya: Yayasan Kampusina. Berger, Peter dan Thomas Luckmann. 2012. Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES Indonesia. Budiman, Arief. 1985. Pembagian Kerja secara Seksual: Sebuah Pembahasan Sosiologis tentang peran Wanita di dalam Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia Miles, M.M dan Huberman A.M. 1992. Analisa dan Penelitian Kualitatif (Buku Sumber Tentang Metode Baru). Jakarta: Universitas Indonesia. Muhammad, Husein. 2012. Fiqh Perempuan. Yogyakarta: PT. LkiS Printing Cemerlang. Poloma, Margaret. 2013. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Ritzer, Geroge. 2012. Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Potsmodern. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Samuel, Hanneman. 2012. Peter L. Berger: Sebuah Pengantar Ringkas. Depok: Kepik. Suyanto, Bagong dan Sutinah. 2005. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Tumanggor, Rusmin, Kholis Rido, dan Nurochim. 2014. Ilmu Sosial & Budaya Dasar. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Skripsi: Aji, Ridho Setyo. 2014. Migrasi Etnis Madura di Surabaya Tahun 1906-1942. Skripsi Mahasiswa Departemen Sejarah Universitas Airlangga. Alsiddiq, Imamulhuda. 2013. Konstruksi Sosial Mahasiswa Muslim Kedokteran Hewan dalam Memaknai Kenajisan Anjing. Skripsi Mahasiswa Departemen Sosiologi Universitas Airlangga. Sauki, Muhammad. 2010. Khitan Prempuan Perspektif Hadis dan Sirkumsisi Perempuan menurut WHO. Skripsi Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Tesis: Indah, Merlia P. 2010. Identitas Masyarakat Madura Di Perkotaan (Studi tentang Pengaburan Identitas Kemaduraan Etnis Madura di Surabaya). Tesis Mahasiswi Fakultas Sosial Sosiologi Universitas Airlangga. Laporan Penelitian: Suryandaru, Yayan Sakti, Liestianingsih dan Sri Indah. 2003. Sunat Anak Perempuan pada Masyarakat Urban Madura di Surabaya. Laporan Penelitian: Lembaga Penelitian Universitas Airlangga. Jurnal: Nurdiyana, Tutung. 2010. “Khitan Perempuan pada Masyarakat Banjar di Kota Banjarmasin”. Jurnal Komunitas 2 (2):116-124 Zamroni, Imam. 2011. “Khitan Perempuan Madura: Belenggu, Adat, Normativitas Agama, dan Hak Asasi Manusia”. Pusat Studi Asia Pasifik UGM Yogyakarta 19 (2): 218-237. Angga, La Ode. 2011. “Hak Reproduksi Perempuan dalam Perspektif Islam”. Muwazah 3 (2): 480-486. Butar, Debora Catherine Butar dan Rulli P. Setiawan. 2012. “Penataan Lingkungan Permukiman Kumuh di Wilayah Kecamatan Semampir Kota Surabaya Melalui Pendeakatan Partisipasi Masyarakat”. Jurnal Teknik Pomits 1 (1): 1-6. Ebook: Mianoki, Adika. 2014. Ensiklopedi Khitan: Kupas Tuntas Pembahasan Khitan dalam Tinjauan Syariat dan Medis. Yogyakarta: Tim Kesehatan Muslim. Diakses 23 Oktober, 2015 (http://www.kesehatanmuslim.com). Internet: http://filsafat.kompasiana.com/2013/06/25/khitan-bagi-perempuan-ditinjau-darikesehatan-dan-islam-571901.html diakses pada tanggal 10 Maret 2015, pukul 11.57 WIB http://nu.or.oid diakses pada tanggal 22 Maret 2015, pukul 16.50 WIB http://www.mediabidik.com/2014/06/pro-kontra-khitan-wanita.html diakses pada tanggal 25 Maret 2015, pukul 10.55 WIB http://klinikkhitan.blogspot.com/2011/06/khitan-wanita.html diakses pada tanggal 25 Maret 2015, pukul 13.17 WIB www.kalyanamitra.or.id/2013/06/khitan-perempuan-praktik-budaya-yang-masihdilakukan/ diakses pada tanggal 10 Maret 2015, pukul 11.33 WIB http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2013/02/130205_whokhitanpere mpuan diakses pada tanggal 10 Maret 2015, pukul 11.27 WIB http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_permenkes/PMK No. 1636 ttg Khitan Perempuan.pdf diakses pada tanggal 10 Maret 2015, pukul 11.37 WIB http://www.institutperempuan.or.id/?p=175 diakses pada tanggal 25 Maret 2015, pukul 14.15 WIB www.republika.co.id diakses pada tanggal 7 April 2015, pukul 18.36 WIB http://sejarah-republik-indonesia.blogspot.com/p/jumlah-suku-bangsa-terbesardi.html diakses pada tanggal 8 April 2015, pukul 13.40 WIB http://www.kalyanamitra.or.id/files/bulletin/2013_edisi3.pdf diakses pada tanggal 2 Juni 2015, pukul 12.52 WIB https://darulilmi1.wordpress.com/2011/10/28/macam-macam-derajat-haditsrasulullah-nabi-muhammad-s-a-w/ dipublikasikan pada tanggal 20 Oktober 2011 oleh darulilmi1 diakses pada tanggal 25 Juni 2015 pukul 22.45 WIB https://abelpetrus.files.wordpress.com/2011/08/kondisi-fisik-wilayah-danpenduduk-indonesia.pdf diakses pada tanggal 22 Oktober 2015 pukul 11.00 WIB http://rsphc.co.id/article/khitan-tanpa-jahitan-dan-dapat-langsung-beraktivit.html dipublikasikan pada tanggal 2 Juni 2014 diakses pada tanggal 19 Januari 2016 pukul 13.20 WIB