BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

advertisement
BAB I PENGANTAR
A. LATAR BELAKANG PENELITIAN
Saujana Dataran Tinggi Malang merupakan kawasan geologis, terletak di wilayah
Karisidenan Malang, Jawa Timur. Istilah Dataran Tinggi Malang pertama kali dikemukakan oleh geolog Belanda yaitu Mohr (1922:87) pada saat melakukan penelitian
tentang geogenesis kawasan geologis tersebut di Malang. Menurut Mohr, mula-mula
kawasan tersebut merupakan cekungan yang dalam, terapit oleh Pegunungan Kapur
Selatan di selatan, Gunung Api Kawi Purba serta Arjuno Purba di sebelah barat,
Pegunungan Tengger di bagian utara dan di bagian timur terapit oleh Gunung Api
Mahāmeru Purba.
Dalam kurun waktu yang panjang, di bagian pinggiran cekungan tersebut lambatlaun terisi oleh bekuan berbagai tuf dan efflata dari erupsi ketiga gunung api purba
tersebut, sehingga berakibat terhentinya beberapa aliran sungai dan akhirnya cekungan
tersebut berubah menjadi danau purba. Gunung-gunung berapi itu, secara terus-menerus
mengeluarkan erupsi berupa lava maupun efflata serta mengisi cekungan danau purba
dan dalam proses yang panjang mengakibatkan danau tersebut mengering menjadi dataran tinggi yang luas. Menurut Bemmelen (1949: 547,599-560) peristiwa geologis
tersebut terjadi menjelang awal Kala Holosen, dan dataran luas yang merupakan bekas
danau purba tersebut dikenal dengan Dataran Tinggi Malang (Bezemer 1921: 303,
408-409; Daldjoeni II 1984: 75-76, 83-84).
2
Ciri-ciri tanah bekas danau purba di dataran tersebut berwarna coklat tua hingga
hampir kehitam-hitaman dan oleh Mohr (1922:87) ciri tanah semacam ini dikategorikan
sebagai tanah subur. Dataran tanah yang subur tersebut, didukung pula oleh sumber daya
alam berupa sumber air yang melimpah dan beberapa sungai besar seperti bagian hulu
Sungai Brantas, Metro, Bangau, Amprong serta Sungai Lesti (Leimpt 1939: 166-167).
Kondisi semacam ini, mengakibatkan di dataran ini menjelang awal abad VIII - XIV M
(Poerbatjaraka 1951:61-64) berkembanglah peradaban Hindhu-Buddha dan salah satunya adalah peradaban Hindhu-Buddha Siŋhasari. Peradaban Hindhu-Buddha Siŋhasari,
juga berkembang di sekitar Dataran Tinggi Malang. Dalam kaitannya dengan hal ini,
maka Dataran Tinggi Malang dapat disebut pula sebagai Saujana Dataran Tinggi Malang
(Bisri Mustofa dan Inung Sektiawan 210:294).
Berkembangnya peradaban Hindhu-Buddha Siŋhasari, ditandai begitu banyaknya
sebaran situs masa Kerajaan Siŋhasari di Saujana Dataran Tinggi Malang dan sekitarnya. Sebaran situs tersebut dapat dirunut, berdasarkan keterangan Sĕrat Pārārāton atawa
Kātuturānira Ken Angrok (Brandes 1920), Nāgarakĕrtāgama (Pigeaud I 1960), sumber
data prasasti dan hasil penelitian para sarjana Belanda th.1902 – 1938. Berdasarkan
keterangan Sĕrat Pārārāton atawa Kātuturānira Ken Angrok (Brandes 1920), sebaran situs yang dimaksud antara lain terdiri atas situs Karuman (Bosch 1924: 85-86), Sagĕnggěng, Gantĕr, Kabalon, Turyantpada, Lulumbang, Tugaran, Panawijen Mĕmĕling,
Pandakan dan Pagör talagā (Brandes 1920; Berg 1930 dan Berg 1931). Selain itu, juga
terdiri atas sebaran situs pendharmaan raja di Kagĕněngan, Kidal, Katang Lumbang dan
3
situs pendharmaan raja di Jajaghu (Brandes 1920:21-24). Sebagian besar sebaran situs
dalam Sĕrat Pārārā ton tersebut belum teridentifikasi, kecuali situs pendharmaan raja di
Kidal serta di Jajaghu. Oleh Brandes (1904) situs pendharmaan raja di Kidal diidentifikasi sebagai situs Candi Kidal, terletak di Desa Kidal, Tajinan dan pendharmaan raja
Jajaghu diidentifikasi sebagai situs Candi Jago, di Desa Tumpang, sebelah timur Kota
Malang.
Sebaran situs berdasarkan keterangan Nāgarakĕrtāgama ( Pigeaud I 1960), antara
lain terdiri atas situs Banū hanĕt, Banir, Talijunân, Wdwawdwan, Kūwarāhan, Cloŋ,
Dadamār, Ggarantan, Pagör talagā, Pahānaman, Tāmbak, Rabut wayuha, Blanak,
Pāndakan, Bhanarāgin, Padāmayan, dan Jajawa. Selain itu, juga mencakup situs Kutha
rāja, Siŋhāsāri nāgara, Katoede, pendharmaan raja ri Sākgāla, tempat tinggal kaum
brahmana di Kājār, situs tempat tinggal penganut agama Wisnu di Batoe, Gnön serta
Panawan dan situs mandala asrama Buddha Mūla sāgara (Nāgarakĕrtāgama.73,74,76,77
dan 78; Krom 1922).
Juga mencakup situs Burŋ, Kduŋ bhirū dan
Banū hanĕt
(Nāgarakĕrtāgama 35: 4.d dan 37: 7.d; Pigeaud I 1960:26-27).
Situs-situs tersebut sebagian besar belum teridentifikasi, kecuali situs
pendharmaan raja di Jajawa serta ri Sākgāla. Bosch (1917:135-142) mengidentifikasi
situs pendharmaan raja di Jajawa sebagai situs Candi Jawi di Prigen, Pasuruan, hal ini
kemudian diikuti oleh Poerbatjaraka (1917:143-151) dan dihubungkan sebagai situs
tempat pendharmaan Prabhu Çri Kĕr tanāgara. Demikian juga situs ri Sākgāla oleh
4
kedua sarjana tersebut diidentifikasikan sebagai situs Candi Singosari, di Desa Candirenggo, Singosari serta dikaitkan juga sebagai situs tempat pendharmaan Prabhu Çri
Kĕrtanāgara.
Adapun sebaran situs, berdasarkan sumber data prasasti antara lain mencakup
situs-situs (banua) ri balingawān (Pras.Balingawān 813 Ç, bagian.depan,baris 6 dan10;
Brandes 1913: 22) manañjung, tugaran, waharu (Pras.Sangguran 846 Ç, bag.depan,
baris 8, 11, bag.belakang baris 14; Brandes 1913:46) sang hyang kayangan i pangawān
Pras.Gulunggulung 851 Ç, bag.muka, baris 5, Brandes 1913:63), simā sawah ri
panawijyan (Pras.Wurandungan B 865 Ç, bag.depan, baris 4.b; Brandes 1913:106) ,
bhatāra i sang hyang walandĕt, watak hujung (Pras.Muñcang 866 Ç, bag.depan, baris 7,
13; Brandes 1913: 108-109) dan situs watĕk kanuruhān (Pras.Wurandungan B 865 Ç,
baris 1.b ; Brandes 1913:105). Analisis tafonomi serta toponimi situs-situs tersebut,
belum juga dilakukan, kecuali situs bhatāra i sang hyang walandĕt serta watĕk
kanuruhān.
Oleh Casparis (1940:50-61) toponimi situs bhatāra i sang hyang walandĕt
dikaitkan dengan keberadaan situs bangunan suci untuk pemujaaan Dewa Brahma di
Desa Blandit,Wonorejo. Adapun toponimi situs watĕk kanuruhān oleh Casparis (Meulen
1976:445-462) dikaitkan dengan
toponimi situs Kāñjuruhan yakni bekas ibu kota
Kerajaan Kāñjuruhan yang diperkirakan tertelak di Desa Kejuron tidak jauh dari Candi
Badut.
Sebaran situs hasil penelitian sarjana Belanda th.1902 – 1938 antara lain mencakup situs Kuburan China “Hian Liang Tjwan” di Desa Kutoredjo, Kota Lama (Knebel
5
1902:159-252), situs pemandian (badplaats) Wendit, situs Seläbräjä, situs Pagersari
lereng barat Gunung Kawi dan situs Ngabab, Pujon lereng selatan Gunung Arjuno
(Knebel 1902 :253-375). Selain itu juga mencakup situs Koetaredjo, situs arca Ganeça
Karang Kates, Sumber-Pucung, situs Pagentan, Singasari, dan situs Gunung Wedon,
Lawang (Verbeek 1923:19, 24 – 77). Juga mencakup sebaran situs Desa Karuman, situs
bangunan berundak (terrassen-heiligdom) puncak Gunung Kekep, lereng timur G.Kawi,
situs puncak Gunung Katu, lereng timur Gunung Kawi (Maurenbrecher 1923: 170-184),
situs arca Cāmundā di Ardimulyo, distrik Karanglo (Bosch 1928: 26-33), situs pemandian (badplaats) Watugede (Stutterheim 1937: 7 - 8, 622-624), situs Candi Telih di
puncak Arjuno dan situs pemandian (badplaats) Sekaran di Gunungrejo, Singosari
(Kempers 1938:14,16). Identifikasi situs-situs hasil penelitian para sarjana tersebut,
bersifat deskriptif dan informatif. Penelitian mendalam yang menyangkut sistem relasi
atau system of relations antar situs belum pernah dilakukan.
Berdasarkan keterangan Sĕrat Pārārāton atawa Kātuturānira Ken Angrok
(Brandes 1920), Nāgarakĕrtāgama (Pigeaud I 1960), sumber data prasasti dan situs-situs
hasil penelitian para sarjana Belanda, diketahui bahwa sebaran situs-situs di Saujana
Dataran Tinggi Malang dan sekitarnya tersebut, berkembang pada abad XII-XIII M.
Sebaran situs-situs tersebut, secara diakronis dapat dibedakan menjadi sebaran situs
masa kekuasaan raja-raja Siŋhasari yakni (1) sebaran situs pada masa kekuasaan Ken
Angrok yang bergelar Ratu Çrī Rangāh Rājasa bhatâra sang Amûrwabhûmi, th. 1104
6
Çaka = 1182 M (Pigeaud I 1960)1 hingga tahun 1149 Çaka = 1227 M /1169 Ç = 1247
M,2 (2) sebaran situs masa kekuasaan Ratu sang Anûsapati, th. 1149 Çaka = 1227 M
/1170 Ç = 1248 M hingga th.1171 Çaka=1249 M (Brandes 1920), (3) sebaran situs masa
kekuasaan Ratu pañji Tohdjaja, th. 1171 Çaka = 1249 M, (4) sebaran situs pada masa
kekuasaan Rangga wuni yang bergelar Ratu Wisnuwarddhana th. 1172 Çaka = 1250 M
hingga th. 1190 Çaka = 1268 M3/ 1194 Çaka=1272 M 4 (Brandes,1920), dan (5) sebaran
situs pada masa kekuasaan Prabhu Çri Kĕrtanāgara th. 1176 Çaka=1254 M hingga
tahun 1214 Çaka =1292 M (Pigeaud I 1960:31).
Mengacu hasil penelitian beberapa sarjana Belanda dan didukung sumber Kakawin
Nāgarakĕrtāgama oleh Rakawi Prapañca abad XIV 5 (Kern 1919; Krom 1922; Pigeaud I
1960), serta Sĕrat
Pārārāton atawa Katuturanira Ken Angrok6 (Brandes 1920) dan
sumber data prasasti (Brandes 1913), sebaran situs masa Siŋh asari, di Saujana Dataran
Tinggi Malang dan sekitarnya7, terdiri atas sebaran situs (1) desa-desa kuno, (2) pusat
pemerintahan atau ibu kota kerajaan serta benteng negara, (3) dharmma haji atau
1
) Masa kelahiran Ken Angrok
) Dalam Nāgarakĕrtāgama 40:5, disebutkan bahwa sang Amûrwabhûmi berpulang ke swargoloka
pada th. 1149 Çaka = 1227 M, sedangkan menurut Sĕrat Pararaton sang Amûrwabhûmi berpulang
ke swargoloka pada th. 1169 Çaka = 1247 M
3
) Berdasarkan Nāgarakĕrtāgama, Wisnuward dhana meninggal pada th. kanawawāniksithi sama dengan
1190 Çaka = 1268 M, hal ini dikemukakan oleh Kern, Pigeaud serta I Ketut Riana. Adapun
Slamet Mulyana mengartikan kanawawāniksithi sama dengan tahun 1192 Çaka = 1270 M
4
)Berdasarkan Sĕrat Pararaton. 18: 10 Wisnuwarddhana meninggal pada th. 1194 Çaka = 1272 M,
(Brandes,1920:24).
5
) Tahun 1287 Çaka = 1355 M
6
) Tahun 1535 Çaka = 1613 M
7
) Yang dimaksud daerah sekitar Saujana Dataran Tinggi Malang yaitu kawasan lereng barat-utaratimur Gunung Butak-Kawi, lereng barat-timur Gunung Arjuno, lereng selatan Pegunungan
Tengger, lereng barat Gunung Bromo, dan kawasan lereng barat-selatan Gunung Semeru.
2
7
tempat pendharmaan raja berserta kerabatnya (4) dharmma lpas (Kern 1922), (5) situs
pathirthan serta gua pertapaan dan (6) sebaran situs “tempat suci”.
Berpijak pada sejarah penelitian oleh peneliti Belanda yaitu Engelhard (1804) serta
Brandes (1909), th.1803 -1904 , Knebel (1904), Verbeek (1923) serta Bosch (1930),
th. 1905 - 1930 dan Bosch (1935) serta Stutterheim (1939) tahun 1931-1939, sebaran
situs-situs Hindhu-Buddha masa Siŋhasari tersebut belum sepenuhnya diidentifikasi
berdasarkan analisis tafonomi dan toponimi serta metapora (metaphor) situs. Analisis
struktur ruang situs serta keletakan struktur ruang situs pada bentang ekologi (landscape
ecology) yakni masalah gubahan ruang situs di Saujana Dataran Tinggi Malang dan
sekitarnya dalam kaitannya dengan penelitian arkeologi ruang (spatial archaeology)
maupun arkeologi lanskap (landscape archaeology) post-prossesual, juga belum pernah
dilakukan oleh peneliti terdahulu. Termasuk dalam hal ini adalah analisis sintagmatik
persebaran struktur gubahan ruang situs atau pola hubungan antar struktur gubahan
ruang situs serta analisis paradigmatik persebaran struktur gubahan ruang situs atau
analisis hubungan “asosiatife” (associative) antar tingkatan struktur gubahan ruang situs,
dan analisis sebaran situs tingkat mikro, semi-mikro serta tingkat makro dalam lanskap
alamiah (natural landscape) atau ruang geografi, juga belum pernah dilakukan.
Dalam kaitannya dengan penelitian arkeologi lanskap post-prosseual belum pernah
dilakukan analisis tentang (1) kondisi bentang ekologi Dataran Tinggi Malang dan
sekitarnya, (2) kondisi “personifikasi” atau metapora (metaphors) bentang ekologi
Dataran Tinggi Malang dan sekitarnya berdasarkan alam pikiran masyarakat HindhuBuddha abad XII – XIII M, (3) struktur sebaran gubahan ruang situs-situs, dan (4)
8
analisis makna gubahan ruang situs tingkat mikro, semi-mikro serta tingkat makro
dengan pendekatan Strukturalisme Lévi-Strauss yang bertumpu pada analisis
sintagmatik, paradigmatik serta analisis “transformasi” struktur sebaran gubahan ruang
situs. Berdasarkan sumber prasasti serta naskah Nāgarakĕrtāgama, ada beberapa contoh
fenomena situs yang telah beberapa kali mengalami gubahan ruang yaitu situs desa kuno
Mĕmĕling dan situs Wĕdwawĕdwan8, namun analisis makna serta “transformasi”
struktur gubahan ruang situs dengan pendekatan Strukturalisme Lévi-Strauss belum
pernah dilakukan oleh peneliti terdahulu.
Salah satu yang tidak pernah mendapatkan perhatian peneliti terdahulu yaitu belum
pernah dilakukan analisis mendalam tentang sistem relasi (system of relations) struktur
sebaran gubahan ruang situs Hindhu-Buddha dengan struktur sebaran gubahan ruang
situs-situs tradisi megalitik yang acap kali ditemukan berdampingan serta menyatu
dengan struktur sebaran gubahan ruang
situs-situs masa Siŋhasari. Berdasarkan
pengamatan sementara, diketahui bahwa pada situs-situs masa Siŋhasari kerap kali
ditemukan bersamaan atau berdampingan dengan obyek tradisi megalitik seperti menhir,
batu dakon, lumpang batu, dolmen serta batu bergores dan ditemukan juga menyatu
dengan bagunan megalitik yaitu bangunan berundak, teras-teras batu serta jalanan batu.
Masalah ini belum pernah dikaji secara mendalam oleh peneliti terdahulu, terutama
bagaimanakah terbentuknya proses “transformasi” antara elemen-elemen tinggalan
) Desa Mĕmĕling pada abad VIII M merupakan wilayah batas desa (Brandes, 1913) namun pada abad
XIII mengalami gubahan ruang sebagai bagian wilayah Siddhabhawana (Brandes, 1920). Demikian juga
situs Wĕdwawĕdwan pada masa prasejarah merupakan situs megalitik, namun pada abad XIII M
mengalami gubahan ruang sebagai situs dharmma haji (Kern,1922)
8
9
tradisi megalitik dengan struktur sebaran gubahan ruang situs Hindhu-Buddha? Untuk
menjawab permasalahan ini, maka perlunya melalukan penelitian mendalam dengan
menggunakan pendekatan Strukturalisme Lévi-Strauss.
Beberapa paparan permasalahan tersebut di atas menjadi dasar pijakan, melalukan
penelitian lanjutan dalam lingkup kajian arkeologi ruang - arkeologi lanskap untuk
mengungkap makna gubahan ruang situs-situs Hindhu-Buddha abad XII-XIII M, masa
Siŋha sari di Saujana Dataran Tinggi Malang dan sekitarnya dengan pendekatan
Strukturalisme Lévi-Strauss berbasis pada paradigma arkeologi post-prosessual atau
arkeologi interpretatif. Fokus penelitian adalah melakukan analisis mendalam tentang
pola hubungan struktur sebaran gubahan ruang “antar situs” atau sintagmatik serta pola
hubungan “assosiative” atau paradigmatik dan analisis “transformasi” struktur sebaran
gubahan ruang situs. Di Indonesia, penelitian ini belum pernah dilakukan oleh peneliti
terdahulu, sehingga kegiatan penelitian ini adalah asli.
B. RUMUSAN MASALAH PENELITIAN
Sesuai latar belakang masalah penelitian tersebut di atas, untuk menfokuskan arah
penelitian, berikut ini dikemukakan rumusan masalah penelitian :
1. Bagaimanakah kondisi ekologi Saujana Dataran Tinggi Malang dan sekitarnya abad
XII – XIII M, masa perkembangan peradaban Hindhu-Buddha Siŋhasari ?
2. Bagaimanakah struktur gubahan ruang situs-situs Hindhu-Buddha
abad XII – XIII M masa Siŋhasari, di Saujana Dataran Tinggi Malang dan
sekitarnya ?
10
3. Bagaimakah struktur sebaran gubahan ruang situs-situs Hindhu-Buddha
abad XII – XIII M masa Siŋhāsā ri, di Saujana Dataran Tinggi Malang dan
sekitarnya?
4. Apa makna gubahan ruang situs-situs Hindhu-Buddha masa Siŋhasari abad
XII-XIII M di Saujana Dataran Tinggi Malang dan sekitarnya?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1.Tujuan Penelitian
a. Tujun umum
Tujuan umum penelitian adalah sebagai berikut :
(1).Merekonstruksi cara-cara hidup manusia terutama alam pikiran yakni gagasangagasan tentang sistem kepercayaan (Koentjaraningrat 1983 :188-189) masyarakat
Hindhu-Buddha masa Siŋhasari pada abad XII-XIII M di Saujana Dataran Tinggi
Malang dan sekitarnya,
(2). Penggambaran proses budaya dalam kaitannya dengan proses “transformasi” budaya
Hindhu-Buddha abad XII-XIII M masa Siŋhasari di Saujana Dataran Tinggi Malang
dan serkitarnya (Binford,1972:78-104) 9
b. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian adalah sebagai berikut:
9
) Ada tiga tujuan umum dalam arkeologi yaitu (a) rekonstruksi sejarah kebudayaan, (b) rekonstruksi
cara-cara hidup, dan (c) penggambaran proses budaya. Untuk mencapai penggambaran proses budaya,
para ahli arkeologi harus berusaha memahami proses-proses budaya yang terjadi agar dapat diperoleh
penjelasan mengenai bagaimana dan mengapa kebudayaan dan masyarakat masa lalu mengalami
perubahan-perubahan bentuk, arah serta kecepatan perkembangnnya (Mundardjito,1993: 18-19).
11
(1). Menemukan pola hubungan sintagmatik dan paradigmatik struktur sebaran gubahan
ruang situs-situs Hindhu-Buddha abad XII-XIII M, masa Siŋhasari di Saujana
Dataran Tinggi Malang dan sekitarnya.
(2). Mengetahui struktur dalam (deep structure) struktur sebaran gubahan ruang situssitus Hindhu-Buddha abad XII-XIII M, melalui fenomena-fenomena struktur luar
(surface structure) struktur sebaran gubahan ruang situs-situs Hindhu-Buddha sesuai
dengan landasan teori Strukturalisme Lévi-Strauss
(3). Mengetahui makna gubahan ruang yang sesuai dengan alam pikiran yakni gagasangagasan tentang sistem kepercayaan masyarakat Hindhu-Buddha abad XII-XIII M,
masa Siŋhasari di Saujana Dataran Tinggi Malang dan sekitarnya.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat teoritis
(1). Mengetahui efektifitas metode Strukturalisme Lévi-Strauss untuk kajian gubahan
ruang situs dalam kaitannya dengan arkeologi ruang-arkeologi lanskap, bahwa
pendekatan Strukturalisme Lévi-Strauss dapat menghasilkan kemanfaatan ilmiah,
dengan biaya yang sangat murah serta dapat menjangkau situs-situs dalam satuan
wilayah yang luas,
(2). Sejalan dengan paradigma arkeologi ruang-arkeologi lanskap post-prosessual atau
interpretative archaeology, pendekatan Strukturalisme Lévi-Strauss
merupakan
salah satu terobosan baru dalam penelitian arkeologi ruang-arkeologi lanskap di
12
Indonesia serta sesuai dengan tujuan utama arkeologi yang mengedepankan dimensi
manusia.
b. Manfaat praktis
(1). Sebagai bahan pertimbangan untuk perencanaan strategi perlindungan dan
pengamanan situs-situs arkeologi dengan cara pewilayahan daerah-daerah purbakala
(zoning) guna penentuan skala prioritas pengamanan terhadap dampak negatif,
(2). Sebagai bahan pertimbangan perencanaan strategi pemanfaatan situs-situs sebagai
sumberdaya dalam rangka pengembangan daerah dan pengembangan kepariwisataan
untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat (Mundardjito,1993:13),
(3) Sebagai bahan pertimbangan untuk pengembangan serta perencanaan kearifan lokal
gubahan ruang di wilayah pemerintahan daerah Kota Malang, Kota Batu dan
Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur.
D. TINJAUAN PUSTAKA
1. Kajian Arkeologi Ruang - Arkeologi Lanskap dan Gubahan Ruang Situs di
Luar Indonesia
Untuk mempelajari arkeologi lanskap pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan
dari kajian arkeologi ruang, karena untuk memahami arkeologi lanskap didasarkan pada
data kajian arkeologi ruang. Pada awalnya, penekanan kajian arkeologi ruang lebih
menfokuskan pada pengkajian dimensi atau spasial dari benda dan situs arkeologi
daripada pengkajian atas dimensi bentuk (forma) dan dimensi waktu (temporal). Pada
perkembangannya, kajian arkeologi ruang tidak hanya menekankan atas kajian spasial
13
namun pada kajian yang lebih luas yaitu region atau wilayah sebagai suatu ruang yang
lebih luas dan mengandung data arkeologis seperti artefak, ekofak, feature dan situssitus (Dunnel & Dancey 1983:267; Mundardjito 1993: 3-4).
Perhatian kajian arkeologi ruang lebih banyak ditekankan kepada benda-benda
arkeologis sebagai kumpulan atau himpunan dalam suatu satuan ruang daripada sebagai
satuan-satuan benda tunggal yang berdiri sendiri. Dalam hal ini, Clarke mengemukakan
bahwa studi arkeologi ruang tidak memberikan titik berat perhatian kepada benda
arkeologi sebagai suatu entitas, melainkan kepada sebaran dari benda-benda serta situssitus arkeologi, hubungan antara benda dengan benda dan antara situs dengan situs, serta
hubungan antara benda atau situs dengan lingkungan fisiknya sebagai sumberdaya.
Arkeologi ruang juga mengkaji antara bentuk-bentuk data arkeologi lain yang
kesemuanya diistilahkan oleh Clarke (1977: 11-17) sebagai unsur-unsur yang terdiri atas
struktur serta feature, dan situs serta lingkungan fisik yang dimanfaatkan sebagai
sumberdaya dalam kaitannya dengan akitivitas manusia di masa lampau (Mundardjito
1993:3-4).
Berdasarkan pengertian arkeologi ruang yang dikemukakan Clarke tersebut,
jelaslah bahwa kajian arkeologi ruang berkenaan dengan aktivitas manusia dalam
satuan-satuan ruang baik secara tingkat mikro (micro-level), semi-mikro (semi-micro
level) serta tingkat makro (macro-level), benda-benda arkeologi yang ditinggalkan
mereka, infrastruktur fisik yang memberikan akomodasi bagi mereka, lingkungan yang
berdampingan atau berkaitan dengan mereka dan interaksi antara semua aspek tersebut.
Penelitian arkeologi ruang juga melakukan analisis terhadap situs permukiman dalam
14
arti tempat hunian, tetapi juga mencakup kajian atas semua tempat pusat aktivitas dari
komunitas manusia masa lampau seperti situs kubur, situs upacara, situs gua, situs pasar,
situs perkotaan dan situs eksploratasi sumber daya alam (Clarke 1977:9).
Tradisi pengkajian arkeologi-ruang diawali di Eropa, khususnya di Jerman pada
awal abad XX M. Hasil penelitian lebih banyak menekankan perhatian pada kesimpulan
data sebaran benda dan situs arkelologi dalam satuan-satuan ruang (spatial distribution).
Pertaliannya dengan Geografi amatlah kuat, sehingga hasil penelitian kebanyakan
berupa peta-peta sebaran artefak yang antara lain menggambarkan korelasi antara pola
pemukiman dengan pola sumberdaya alam. Pendekatan yang digunakan adalah metode
Geografi, dan hal ini berlangsung di Jerman pada th. 1880-1900 (Mundardjito 1993:6-7).
Penelitian arkeologi ruang di Jerman tersebut lebih mengutamakan data geografi
dibandingkan dengan data utama arkeologis (forms of archaeological data). Dengan
demikian, tujuan utama arkeologis yaitu merekonstruksi cara-cara hidup manusia masa
lampau tidak optimal dapat dicapai, karena lebih banyak mengedepankan data geografi.
Salah satu kelebihan penelitian ini adalah diketahuinya secara akurat keletakan sebaran
situs-situs arkeologi dalam satuan ruang geografi baik dalam skala mikro, semi-mikro
maupun skala makro. Dengan demikian, amatlah mudah diketahui hubungan keletakan
sebaran situs dengan sumber daya lingkungan dalam satuan ruang geografi.
Tradisi kajian di Jerman tersebut sedikit banyak telah mempengaruhi penelitian
arkeologi di Inggris, terutama berhubungan dengan penelitian pola-pola pemukiman
masa lalu dalam kaitannya dengan lanskap alamiah (natural landscape) atau bentang
alam. Berdasarkan penelitian Gojda (2004), diketahui bahwa perkembangan tradisi
15
kajian arkeologi ruang di Inggris mengalami kristalisasi menjelang tahun 1970-an.
Sebelum itu, kajian arkeologi ruang bersifat amatir dan selalu didasarkan pada intuisi
dan di bawah pengaruh Rawford, kajian arkeologi ruang diperdalam dengan kerja
lapangan yang dilandasi dengan kajian-kajian ilmiah, sehingga dikenal dengan mazhab
“arkeologi lapangan” (field archaelogy). Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
lingkungan dan dalam pengambilan data mengedepankan teknik survei permukaan tanah
serta tidak merusak situs, sehingga efektif menjangkau areal situs dalam skala luas yang
kemudian disebut sebagai kawasan arkeologi. Penekanan kajian pada mazhab ini adalah
identifikasi pemukiman pada suatu kawasan geografis.
Seiring dengan perkembangan ilmu geografi yaitu Geografi Baru (New
Geography), dalam perkembangannya, kajian arkeologi ruang mengadopsi serta
mengembangkan teori-teori Geografi Baru dan hal ini dipelopori oleh kelompok
Arkeologi Baru (New Archeology), sehingga kajian arkeologi ruang saat itu masuk
mazhab Arkeologi Baru. Kajian arkeologi ini mengedepankan analisis spasial geografi
dengan menggunakan teknik analisis kuantitatif atau matematis. Mazhab Geografi Baru
lahir di Amerika Serikat, pada th.1952, dipelopori oleh Preston James (1952:195-222)
dan teori-teori yang dikembangkan antara lain berfokus pada teori-teori pengorganisasian ruang (spatial theory), teori lokasi, teori tempat pusat (central place theory)
dan teori-teori struktur inter perkotaan. Analisis yang digunakan adalah pendekatan
matematis atau kuantitatif antara lain chi-quadrat test, korelasi rangking Spearman dan
analisis sistem matematis (Daldjoeni 1992).
16
Salah satu teori Geografi Baru yang dikembangkan dalam penelitian arkeologi
ruang di Inggris yaitu teori pengorganisasian ruang (spatial theory), dan dibedakan
menjadi analisis pengorganisasian ruang (spatial analysis) skala mikro, semi-mikro dan
skala makro (Clarke 1977). Analisis pengorganisasian ruang skala mikro telah
diaplikasikan oleh Dickens (1977: 33-46) untuk penelitian Sejarah Perencanaan Rumah
pada ke-74 unit peninggalan rumah hunian di Burweel dekat Cambrige dan oleh
Fletcher (1977:47-162) untuk meneliti sisa-sisa bangunan biara Franciscan abad XVII M
di situs Awatovi, Arizona. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
perkembangan ruang skala mikro dari tahun ke tahun yakni th.1551 – 1850 rumahrumah hunian di Burweel serta mengetahui adaptasi perencanaan ruang skala mikro
terhadap lingkungan, beradanya kompleks biara Franciscan abad XVII M di Awatovi.
Analisis data menggunakan pendekatan matematis model Haggett serta Chorley
(Dickens 1977:37-39) maupun analisis statistik deskriptif (Fletcher 1977:152-153).
Adapun teori pengorganisasian ruang skala semi-mikro telah digunakan oleh
Raper (1977:189-221) untuk menganalisis struktur ruang areal kota kuno Pompeii yang
telah tertimbun selama berabad-abad oleh lahar dingin akibat letusan Gunung Vesuvius
pada abad 79 A.D. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui model adaptasi
manusia dalam lingkungan kota pada abad 79 A.D. Pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan lingkungan berbasis pada tata guna lahan saat itu dan pendekatan ini
diadopsi dari salah satu paradigma Geografi Baru. Berdasarkan hasil penelitiannya
antara lain diketahui bahwa struktur ruang perkotaan Pompeii saat itu, berhubungan erat
17
dengan regulasi spasial tata guna lahan. Regulasi spasial tata guna lahan berhubungan
dengan struktur sosial masyarakat kota pada waktu itu (Raper 1977:217-219).
Teori pengorganisasian skala makro digunakan oleh Hodder (1977:223-351)
untuk menganalisis hubungan interaksi keruangan (spatial behavior) manusia masa lalu
dengan variabel sebaran artefak pada suatu kawasan situs skala makro di beberapa situs
arkeologi di Inggris antara lain situs S.Poland, Banderamik, Lengyel, dan situs
Untermanebiet. Analisis data menggunakan pendekatan matematis yakni analisis sistem
matematis. Hasil penelitian antara lain menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif
antara sebaran artefak dengan akitivitas keruangan manusia di masa lalu. Hal ini antara
lain diakibatkan adanya faktor difusi kebudayaan, dan komunikasi manusia antar
wilayah melalui jalur perdagangan serta urbanisasi. Teori serupa juga digunakan oleh
Danks (1977:353-381) untuk mengobservasi dan menganalisis sistem pasar serta
distribusi komoditi ekonomi di situs Anglia Timur, Inggris pada lintas waktu abad
pertengahan maupun setelah abad pertengahan. Tujuan penelitian adalah untuk
mengetahui model-model penggunaan ruang ekonomi pada suatu kawasan situs
arkeologi skala makro. Hasil penelitian antara lain menunjukkan bahwa model-model
penggunaan ruang ekonomi atau sering disebut juga pola-pola persebaran lokasi
ekonomi antara lain adalah
konsentris, sektoral dan linier (Danks 1977:354-356,
358-362, 375).
Pengembangan tradisi kajian arkeologi ruang dengan pendekatan Geografi Baru
juga dikembangkan di wilayah Amerika Serikat (Clarke 1977:3), akan tetapi dalam
perkembangannya, ahli arkeologi Amerika memberi tekanan lebih besar pada aspek
18
organisasi sosial dari komunitas yang dipelajari. Dengan demikian aspek geografi dalam
kajian arkeologi ruang makin kurang kadarnya, sedangkan aspek antropologi lebih kuat.
Demikianlah misalnya Steward dalam penelitian di Amerika Barat Daya mengkaitkan
pola pemukiman komunitas prasejarah dalam suatu wilayah luas dengan proses
perkembangan organisasi sosial (Steward 1937:1938). Hasil penelitian Steward ini, telah
mendorong ahli arkeologi Amerika untuk melakukan penelitian situs arkeologi skala
regional untuk mempelajari adaptasi manusia dalam hubungnnya dengan alam
lingkungan. Penelitian-penelitian semacam ini antara lain dilakukan oleh Philip Phillips,
Jame A .Ford dan James B.Griffin di lembah Sungai Mississippi, Amerika Serikat dan
oleh Willey di lembah Viru, Peru (Mundardjito 1993:8-9). Penelitian serupa juga
dikembangkan oleh Jeff Oliver (2007:1-27) di Canada, oleh Gregory Zaro, Heather
Buildth, Claudia Rivera, Jimena Roldan serta Graciela Suvires (2008:261-271) di
Amerika Selatan serta Australia, dan oleh Stuardo (2005:31-44) di Mexiko terhadap
sebaran situs pemukiman Palenque, Chiapas.
Seiring dengan perkembangan kajian arkeologi ruang di belahan dunia, di Inggris
menjelang th. 1990, terjadi perkembangan baru dalam tradisi kajian arkeologi ruang. Hal
ini antara lain diilhami publikasi hasil penelitian arkeologi berjudul Landscape and
Culture, sehingga lahirlah kajian lanskap kebudayaan di masa lalu yang kemudian
dikenal dengan Arkeologi Lanskap (Landscape Archeology). Salah satu paradigma baru
yang dikembangkan dalam kajian arkeologi lanskap yaitu satuan-satuan ruang arkeologi
pada skala mikro, semi-mikro, maupun skala makro harus dipandang sebagai ruang
absolut maupun relatif serta mengandung makna budaya.
19
Paradigma tersebut diadopsi dari cabang ilmu Geografi Manusia (Human
Geography) yang memandang satuan ruang (spacial) sebagai sistem yang absolut serta
relatif. Pengertian ruang absolut (absolute space) yaitu lokasi tempat beradanya satuan
ruang dalam lanskap geografi secara hitungan matematis adalah mutlak serta tidak
berubah dan ditandai oleh koordinat bumi. Adapun pengertian ruang relatif ( relative
space) yaitu satuan-satuan ruang dalam lanskap alamiah atau ruang geografi mengalami
gubahan ruang atau proses perluasan serta perkembangan (spatial processes) seiring
dengan perjalanan waktu akibat sentuhan budaya manusia, sehingga satuan-satuan ruang
tersebut harus diartikan mengandung makna budaya. Dalam hal ini manusia berperan
dalam proses gubahan ruang atau pertumbuhan ruang, walaupun lingkungan fisik
alamiah dianggap menjadi faktor yang dominan. Sistem satuan-satuan ruang geografi
dalam kaitannya lingkungan fisik alamiah dengan aktivitas manusia disebut dengan
istilah lanskap budaya (cultural landscape). Lanskap budaya yang menyangkut akitivitas
manusia di masa lalu pada satuan-satuan ruang geografi disebut lanskap arkeologi.
Berbeda dengan cara pandang
arkeologi ruang yang didasarkan pada paradigma
Geografi Baru – Arkeologi Baru, mengartikan ruang sebagai hal yang absolut sehingga
kajian spasial lebih mengandalkan pendekatan kuantitatif dan hal ini menyampingkan
peranan manusia (Fellmann et.al 2007).
Selain mengadopsi padaradigma Geografi Manusia, dalam perkembangannya
kajian arkeologi lanskap juga menerapkan paradigma : rekonstruksi – prosessual interaksi yang disesuaikan dengan konsep-konsep perkembangan ilmu terbaru, sehingga
dikenal dengan pentahapan arkeologi prosessual. Pada massa ini, lahirlah beberapa hasil
20
penelitian arkeologi lanskap dengan aneka pendekatan seperti pendekatan historis,
pendekatan organisasi sosial-ekonomi, pendekatan sosial-politik, pendekatan proses
budaya, pendekatan lanskap
budaya (bentang budaya atau lanskap kultur), serta
pendekatan etnoarkeologi dalam lingkup geografi regional. Pengembangan serta
pembaruan arkeologi lanskap di Inggris saat itu antara lain dipelopori oleh Hodder serta
Butzer (Gojda 2004).
Tradisi pengkajian arkeologi lanskap yang dipelopori oleh kelompok prosessual
di Inggris tersebut, kemudian mempengaruhi pengembangan tradisi arkeologi lanskap
serta penelitian gubahan-ruang terhadap situs-situs di beberapa negara Eropa seperti di
Scotland, Italia, Perancis, Cyprus, Filandia, Spanyol, Albania, Armenia, serta Polandia
dan umumnya menggunakan pendekatan Geografi Manusia. Di Scotland, misalnya
dilakukan oleh Dristol (1987) untuk mengindentifikasi sejarah keruangan (spatial
historical) serta lanskap budaya Kerajaan Prictis di Scottis abad ke-6 M. Selain itu, juga
menggunakan pendekatan historis berdasarkan sumber data tertulis serta persebaran
bangunan pemukiman.
Tradisi kajian arkeologi lanskap di Italia jauh lebih maju dibanding dengan di
Scotland antara lain dengan penggunakan citra-satelit seperti LiDAR ( Ligh Detection
and Ranging) serta DEM (Digital Elevation Model) untuk mengidentifikasi data lanskap
budaya yaitu situs-situs Paleolitik hingga Neolitik di Bocco dell’Incoronata, Italia
Selatan. Hal ini dilakukan oleh Coluzzi et.al (2010:125-131), sehingga menjangkau area
situs yang luas serta data lingkungan kuno secara lengkap, tanpa merusak situs. Untuk
mengintensifkan kajian arkeologi lanskap, maka di Italia didirikan pusat latihan
21
penelitian arkeolgi ruang serta arkeologi lanskap berbasis citra-satelit di Pusat Riset
Nasional, Italia (Campana & Piro 2009:5, 27).
Pendekatan Geografi Manusia seperti pendekatan lingkungan juga dilakukan
oleh Walsh (2008:547-564) dan Gibson (2007:61-87) di Perancis untuk mengidentifikasi
ruang situs-situs di Mediterranean maupun di Cyprus. Di Spanyol pendekatan
lingkungan dengan menggunakan citra-satelit sangat intensif dikembangkan untuk
mengidenstifikasi lanskap budaya yakni situs-situs prasejarah di tepian Sungai Duero
serta Finnmark, Norway Utara. Untuk merekonstruksi lingkungan situs menggunakan
pendekatan paleobotani melalui fosil-fosil tumbuhan serta binatang. Juga melakukan
kajian dengan pendekatan etnobotani terhadap flora-fauna yang masih berkembang di
sekitaran situs. Hal itu dilakukan oleh Diez-Martin (2008:103-137), Skandfer (2009:89102) dan Montufo (1997:71-85). Pengembangan tradisi kajian arkeologi lanskap di
Albania dilakukan oleh Robert Schon (2006: 231-262), menggunakan pendekatan
historis yakni diakronik untuk mengidentifikasi lanskap budaya yakni situs-situs
arkeologi yang berkembang di kawasan lembah Shala, Dataran Tinggi Albania.
Sementara kajian arkeologi lanskap dengan pendekatan Geografi Manusia di
beberapa negara
Asia Tengah, Afrika, Asia
serta Australia berkembang pesat, di
Inggris menjelang sesudah tahun 1990-an, sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan postmodern, tradisi pengkajian arkeologi lanskap memasuki babak baru
dengan mengembangkan paradigma baru yaitu interpretatif (hermenuetic) dikenal
dengan arkeologi interpretatif atau arkeologi post-prosessual. Kemunculan paradigma
baru ini sebagai bentuk kritik terhadap kajian arkeolog ruang - arkeologi lanskap yang
22
“mendewakan” pendekatan Geografi Baru maupun Geografi Manusia yang dimotori
oleh kelompok ahli new archaeology serta arkeologi prosessual.
Pendekatan Geografi Baru maupun Geografi Manusia seakan-akan memunculkan paradigma bahwa lingkungan alamlah yang membentuk ruang serta gubahan
ruang yang bermakna budaya di masa lalu, sehingga dimensi manusia sering dilupakan.
Hal ini, tidak sesuai lagi dengan tujuan utama arkeologi, salah satunya yaitu
merekonstruksi cara-cara hidup manusia masa lalu berdasarkan tinggalan arkeologi,
sehingga faktor manusialah yang harus dikedepankan.
Kelompok post-prosessual berpandangan bahwa ruang serta gubahan ruang yang
bermakna budaya di masa lalu merupakan hasil interpretasi manusia terhadap alam
lingkungan atau lanskap alamiah, sehingga hal ini memunculkan kreatifitas pola-pola
ruang serta gubahan ruang di masa lalu. Dengan demikian, dalam kajian arkeologi ruang
- arkeologi lanskap, untuk memahami bentangan arkeologi atau sebaran situs arkeologi
dalam geografi harus mengedepankan skala dimensi manusia. Bentangan arkeologi
bukan saja merupakan hasil hubungan fungsional antara lingkungan dengan manusia,
tetapi hal itu harus diukur berdasarkan pendekatan hermeneutik serta fenomenologi yang
mengedepankan dimensi manusia bukan dimensi lingkungan alam maupun geografi.
Dalam hal ini bentangan arkeologi (landscape archeology), harus diartikan sebagai hasil
budaya dari manusia masa lalu, bukan semata-mata hasil hubungan positif antara
manusia dan lingkungan alam. Dengan demikian, manusialah yang berperan penting
dalam proses terciptanya ruang dan gubahan ruang terkait dengan paradigma kajian
arkeologi lanskap tersebut (Gojda 2004: 11).
23
Beberapa konsep dasar itulah yang melandasi berbagai penelitian kelompok
arkeologi post-prosessual dalam kajian arkeologi ruang maupun arkeologi lanskap,
namun ada beberapa permasalahan pokok dalam aplikasinya. Sehubungan dengan hal itu
maka pada tahun 1994, kelompok ini mengadakan Kongres “World Archaeology” di
New Delhi, India guna melakukan restropeksi hasil kajian mutakhir arkeologi lanskap
dan hasil kongres tersebut diterbitkan dalam buku The Archaeology and Antropology of
Landscape : Shaping your landscape (Ucko and Layto 1999:3)10.
Dalam kongres tersebut antara lain dibicarakan tentang pendekatan interpretatif
(hermenueutic) dalam kajian arkeologi lanskap serta penelitian ruang maupun gubahan
ruang, sebagai bagian penting dalam penelitian arkeologi post-prosessual. Dikemukakan
ada dua masalah besar dalam kajian arkeologi lanskap post-prosessual yaitu pertama
bahwa sistem kognitif manusia masa lalu susah dideteksi oleh faktor lingkungan masa
lalu.
Sistem budaya yang terjadi di masa lalu bisa bertahan hidup tanpa ruang geologis
masa lalu, demikian juga tidak bisa diprediksi berdasarkan kondisi ekologi masa lalu.
Hal ini telah dibuktikan oleh Lahiri dan Singh (1999: 177-190) atas hasil penelitian
gubahan ruang terhadap kawasan situs desa kuno di Ballabgarh, New Delhi, Negara
Bagian Haryana, India. Dalam penelitiannya antara lain dikemukakan bahwa makna
gubahan ruang desa-desa kuno di Ballabgrab berkaitan erat dengan bentuk transformasi
10
) Kongres tersebut dihadiri sekitar 42 ahli arkeologi ruang aliran arkeologi post-prosessual dari
berbagai negara yaitu Australia, Colombia, USA, London, India, Irlandia, Spanyol, Swedia,Mesir,
Micronesia, Madagaskar, dan Yunani, dan membahas sekitar 29 artikel arkeologi-atropologi lanskap.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian yaitu interpretatif arkeologi atau arkeoilogi post-prosessual,
seperti pendekatan simbolik, pendekatan strukturalisme de Saussure, pendekatan transformasi
strukturalisme, dan strukturalisme Levi-Strauss.
24
aktif dari struktur sosial-ekonomi, struktur tradisi keagamaan dan struktur mitos tentang
Ramayana yang berkembang serta telah lama dimiliki masyarakat Ballabgarh, sehingga
bentuk gubahan ruang bukan merupakan hasil hubungan positif antara lingkungan alam
atau bentang geografis (natural landscape) seperti yang dikemukan oleh paham
Arkeologi Baru, Geografi Baru serta Geografi Manusia.. Lingkungan alam hanya
merupakan media dalam proses terbentuknya gubahan ruang desa-desa kuno tersebut.
Permasalahan kedua adalah sangatlah sulit bagi studi arkeologi untuk mengenal
ekspresi kognisi dalam gubahan ruang maupun yang bertumpu pada alam lingkungan.
Hal ini yang oleh kelompok post-prosessual selalu dianggap mendua atau tidak pasti,
apalagi hal ini dikaitkan dengan kajian gubahan ruang pada masa prasejarah. Idealnya
ekspresi hasil budaya yang berkaitan dengan hubungan komunikasi masyarakat masa
lalu dengan alam lingkungan dapat dibaca melalui media yang relevan, namun hal itu
menurut Layton dan Eco (1990:38-41) makna ekspresi terhadap lingkungan atau
ekspresi kognisi masyarakat masa lalu dalam studi arkeologi lanskap, susah dipahami.
Dalam kaitannya dengan dua masalah pokok penelitian gubahan ruang dalam
kajian arkeologi lanskap tersebut di atas, maka dalam Kongres “World Archeological”
di New Delhi tahun 1994, para ahli arkeologi post-prosessual bersepakat untuk
memberikan solusi yakni dengan mengadopsi metode strukturalisme Lévi-Strauss dalam
mengungkap makna gubahan ruang situs-situs arkeologi dalam kajian arkeologi lanskap.
Dalam kajian antropologi, hal ini pernah dilakukan oleh Lévi-Strauss dalam
mengungkapkan makna gubahan ruang struktur desa-desa atau perkampungan penduduk
di Amerika Selatan. Salah satu yang diungkap yaitu bahwa makna gubahan ruang desa-
25
desa suku pedalaman di Amerika Selatan merupakan wujud transformasi yang
berlandaskan atas pengetahuan atau kognisi mitologi suku pedalaman di Amerika
Selatan (Lévi - Strauss 1963:133-137).
Tradisi kajian arkeologi lanskap dengan menggunakan salah satu aspek
pendekatan strukturalisme Lévi-Strauss, yaitu transformasi telah dilakukan oleh
kelompok post-prosessual maupun post-modern antara lain oleh Thomas (1993 a : 32 ;
1993 b) untuk mengungkap makna gubahan ruang sejumlah situs neolitik di Inggris,
dan Richards (1996:202) terhadap makna gubahan ruang sejumlah situs neolitik di
Orkney. Hal serupa juga dilakukan oleh beberapa peneliti arkeologi post-prosessual
seperti Ayres serta Mauricio (1999:299-322), Fullagar serta Head (1999:323-336),
Kinahan (1999:337-358), Pearson, et. al (1999:398-4110) dan Evan (1999:440-458).
Berdasarkan
hasil
penelitian
beberapa
ahli
tersebut
diketahui
bahwa
pengungkapan makna gubahan ruang situs-situs di India, Micronesia, Australia, Swedia
serta Madagaskar Selatan didasarkan pada pola-pola makna gubahan ruang masa
sekarang atau
kontemporer yang diaplikasikan terhadap pola-pola gubahan ruang
terhadap sebaran peninggalan arkeologis. Selain itu, juga didasarkan pada interpretasi
pola-pola umum tradisi gubahan ruang yang masih berkembang hingga masa sekarang.
Bahkan berdasarkan penelitian Fullagar serta Head terhadap situs prasejarah di Northern
Territory, Australia diketahui bahwa makna gubahan ruang masa prasejarah merupakan
hasil ekspresi transformasi mitos-mitos yang masih berkembang hingga sekarang.
Berdasarkan uraian tersebut di atas diketahui bahwa kajian makna gubahan ruang dalam
26
arkeologi ruang - arkeologi lanskap harus mengedepankan proses kognitif manusia masa
lalu dalam kaitannya dengan alam lingkungan (Lyton & Ucko 1999:12-14).
Berlandaskan paparan mengenai hasil penelitian arkeologi post-prosessual
tersebut di atas, maka untuk mengungkap makna gubahan ruang situs-situs HindhuBuddha di Indonesia termasuk juga makna gubahan ruang situs-situs Hindhu-Buddha
masa Siŋhasari abad XII-XIII M di Saujana Dataran Tinggi Malang dan sekitarnya,
perlunya menggunakan pendekatan interpretatif (hermeneutic) arkeologi. Dalam telaah
pengungkapan makna gubahan ruang situs-situs Hindhu-Buddha perlu menggunakan
salah satu metode yaitu pendekatan strukturalisme Lévi-Strauss. Alasan mendasar
penggunaan pendekatan ini salah satunya adalah sesuai dengan tujuan utama Arkeologi
yaitu merekonstruksi alam pikiran manusia masa lalu (deep structure) yakni gagasangagasan serta ide-ide manusia (Koentjaraningrat 1983: 188-189), sehingga dalam kajian
pengungkapan makna gubahan ruang situs-situs Hindhu-Buddha harus mengedepankan
dimensi manusia bukan dimensi alam lingkungan geografi.
2. Kajian Arkeologi Ruang - Arkeologi Lanskap dan Gubahan Ruang Situs di
Indonesia
Seperti halnya di Inggris, negara-negara di Eropa, Amerika Serikat, Amerika
Selatan serta Australia, di Indonesia berdasarlan penelusuran Mundardjito (1993:9-10)
perhatian terhadap dimensi ruang dalam penelitian arkeologi sudah ada jauh sebelum
sekarang. Sebagai contoh misalnya penelitian Geldern (1932) tentang sebaran tipe-tipe
kapak batu prasejarah dalam wilayah yang luas yang dikaitkan dengan topik difusi.
27
Kajian Geldern ini diikuti oleh Duff (1970:1-18) untuk mengetahui persebaran spasial
kapak-kapak persegi di kawasan Asia Tenggara yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand,
Viet Nam, Laos, Cambodia, dan Thailand Utara. Kajian ini bertujuan untuk mencari
persebaran spasial kapak persegi (neolitik) yang oleh Duff disebut sebagai kapak tipe
Polynesia. Pendekatan yang digunakan kedua ahli prasejarah tersebut yaitu difusi
kebudayaan.
Kajian serupa juga dilakukan oleh Stutterheim (1939: 237-238) yang membicarakan keletakan sebaran situs-situs Hindhu-Buddha di satuan lingkungan geografi yakni
lembah Kali Elo dan Kali Progo yang memiliki kemiripan dengan satuan lingkungan
geografi di India Utara yaitu lingkungan lembah Sungai Gangga dan Yamuna.
Kemiripan satuan wilayah geografi yang dimaksud yaitu (1) toponimi situs Tukmas
sebagai sumber Sungai Elo di Jawa Tengah merupakan tiruan (gubahan ruang)
Kunjarakunjadesa sumber mata Sungai Gangga, (2) situasi lanskap lembah Kali ProgoElo, Jawa Tengah merupakan tiruan (gubahan ruang) lanskap lembah Gangga-Yamuna,
India Utara, (3) toponimi desa Progowati di pertemuan dua sungai yakni Kali Progo dan
Elo, Jawa Tengah, identik (gubahan ruang) dengan lokasi kota Prayoga, India Utara, (4)
lokasi toponimi desa Canggal, Jawa Tengah mirip dengan lokasi kota Kaci di tepi
Sungai Gangga, India Utara dan (5) toponimi Yogyakarta (Ngayogya) di timur hilir Kali
Progo berasosiasi dengan kota Ayodya, India Utara di mana raja Rama bertahta dan (6)
lokasi monumen Candi Borobudur di Jawa Tengah mirip dengan lokasi stupa besar
Bharhut di India Utara. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sejarah
kebudayaan dengan penekanan alkuturasi kebudayaan yakni telah terjadi penyerapan
28
unsur-unsur budaya India: Hindhu-Buddha dan kemudian diterapkan serta dikembangkan di Indonesia (Daldjoeni II 1984:52-58).
Perhatian dimensi ruang dalam penelitian arkeologi, juga dilakukan oleh ahli
arkeologi Indonesia antara lain oleh Ambary mengenai penelitian tata ruang kota Banten
Lama (1980), Soejatmi Satari mengenai kota Majapahit di Trowulan (1980), Nurhadi
tentang pemukiman kuno di Giri (1983), Bambang Budi Utomo (1983) tentang
pemukiman di tepi Sungai Batanghari maupun di daerah Kedu (Utomo 1988), Sony
Wibisono (1985) mengenai pola pemukiman di Pulau Selayar serta Barus (Wibisono
1986) dan Hasan Djafar (1988) mengenai pemukiman kuno di wilayah Jakarta.
Berdasarkan penelitian tersebut, Mundardjito (1993:9-10) menilai bahwa tradisi kajian
arkeologi-ruang, gubahan ruang di Indonesia masih berada dalam tingkat awal. Kajian
arkeologi-ruang dengan pendekatan Geografi Baru telah dilakukan Mundardjito (1993)
terhadap sebaran situs skala makro masa Hindhu-Buddha di daerah Yogyakarta. Hasil
kesimpulan penelitian ialah (1) pertimbangan ekologi dalam penempatan situs-situs
candi di daerah Yogyakarta pada dasarnya sesuai dengan prinsip yang disebutkan dalam
kitab India kuno Mānasāra-Śilpaśastra dan Śilpa Prakaśa, (2) kesesuaian yang dimaksud
hanya berlaku sebagian besar situs candi dan (3) ada sejumlah kecil situs candi tidak
sesuai dengan kitab India kuno Mānasāra-Śilpaśastra serta Śilpa Prakaśa.
Penelitian yang dapat dimasukkan kajian arkeologi lanskap pemula yaitu
penelitian Maclaine Pont (1924: 36-75) tentang rekonstruksi tata ruang ibu kota kerajaan
Majapahit di situs Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Penelitian didasarkan atas
keterkaitan sebaran situs-situs di kawasan Trowulan dengan lanskap ibu kota Kerajaan
29
Majapahit berdasarkan sumber tertulis Nāgarakĕrtāgama. Tata ruang yang dijelaskan
dalam Nāgarakĕrtāgama, satu persatu dianalisis serta diinterpretasikan untuk dicocokkan
dengan sumber data artefak, sebaran keruangan (spatial distributions) serta hubungan
keruangan (spatial relationship) situs-situs di kawasan Trowulan dan kemudian
dilakukan rekonstruksi, yaitu berupa peta rekonstruksi lanskap ibu kota Majapahit.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan historis yakni merekonstruksi bentuk
lanskap ibu kota Majapahit berdasarkan sumber Nāgarakĕrtāgama dan kemudian diuji
berdasarkan sebaran artefak, sebaran keruangan serta hubungan keruangan situs-situs di
kawasan Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur.
Penelitian arkeologi lanskap tingkat awal juga dilakukan oleh Van Romondt
(1951) terhadap peninggalan-peninggalan purbakala di Gunung Penanggungan.
Tujuannya antara lain yaitu untuk (a) mengetahui letak sebaran situs bangunan berundak
bercorak Hindhu-Buddha pada lanskap alamiah Gunung Penanggungan, (b) rancangan
umum susunan bangunan berundak bercorak Hindhu-Buddha, dan (c) teknik penyusunan bagian-bagian bangunan berundak bercorak Hindhu-Buddha. Pendekatan yang
digunakan adalah sejarah kebudayaan serta alkuturasi kebudayaan. Hasil penelitian
antara lain yaitu
(a) arah orientasi seluruh bangunan menghadap ke arah puncak
gunung, (b) seluruh bangunan berundak tidak berdinding dan bagian susunan bangunan
yang tertinggi serta terakhir merupakan pusat upacara, sehingga dianggap sebagai
ruang tersuci dan (c) lanskap alamiah Gunung Penganggungan dengan keempat gunung
yang mengelilingi puncaknya yakni Gunung Bekel, Gunung Gadjahmungkur, Gunung
Bende serta Gunung Jambia, berdasarkan kitab Tantu Panggĕ laran merupakan replika
30
Gunung Mahāmeru, sehinggga lanskap alamiah Gunung Penanggungan dianggap suci.
Dari beberapa hasil penelitian tersebut Van Romondt (1951:5-8) secara umum
menyimpulkan bahwa sebaran keruangan (spatial distribution) situs-situs bangunan
berundak bercorak Hindhu-Buddha tersebut di atas berkaitan dengan alam pikiran yaitu
gagasan tentang lanskap gunung suci Mahāmeru di India.
Penelitian arkeologi lanskap lainnya dilakukan oleh Hermanislamet (1999), dan
menfokuskan penelitiannya untuk rekonstruksi gubahan ruang Kota Majapahit sebagai
salah satu model tata ruang ibu kota kerajaan bercorak Hindhu-Buddha di Indonesia.
Salah satu tujuan penelitian yaitu mengidentifikasi wujud pola maupun struktur
keruangan Kota Majapahit, khususnya pada masa praindustri pada lingkup era
Nāgarakĕrtāgama serta Sĕrat Pārārā ton. Selain itu ditujukan untuk mengetahui penyebab
terjadinya perbedaan antara struktur keruangan kota-kota Hindhu-Buddha dengan
struktur keruangan Kota Majapahit sebagai entitas pusat kerajaan. Pendekatan yang
digunakan yaitu pendekatan historis dalam arsitektur atau sering disebut strategi arkival
(achival), oleh karena itu dalam pelaksanaan penelitiannya lebih banyak menggunakan
peninggalan budaya masa lalu yakni arkeologis serta beberapa naskah kuno.
Pencapaian hasil penelitian yaitu bentuk gubahan ruang Kota Majapahit berupa
pola tata ruang papan catur (grit), sehingga gubahan ruang Kota Majapahit merupakan
pola yang direncanakan. Gubahan ruang Kota Majapahit merupakan wujut transformasi
keutuhan entitas sistematis masyarakat kerajaan Majapahit. Gubahan ruang Kota
Majapahit juga merupakan hasil kreatifitas para pencipta, seniman, pengrajin serta
pembangun kota dan hal inilah yang memberikan pembeda terhadap gubahan ruang kota
31
dari kota-kota lain, khususnya kota Hindhu India yang memiliki pola dasar keruangan
yang mirip.
Peneliti lain yaitu Hasan Djawar (2010) memusatkan perhatiannya terhadap
persebaran kompleks percandian di kawasan situs Batujaya, pantai utara Jawa Barat.
Tujuan penelitian yaitu merekonstruksi sejarah kebudayaan daerah pantai utara Jawa
bagian barat (Jawa Barat) dari masa prasejarah, awal tarikh Masehi hingga akhir
perkembangan Kerajaan Tārumānagara abad ke-10 Masehi. Pendekatan yang digunakan
yaitu sejarah kebudayaan yang menfokuskan pada aspek proses budaya dari masa
prasejarah hingga masa akhir perkembangan Kerajaan Tārumānagara. Hasil penelitian
yang dicapai antara lain yaitu bahwa kompleks percandian di kawasan situs Batujaya
masa Kerajaan Tārumānagara dibangun dalam dua fase. Fase pembangunan pertama
terjadi sekitar abad ke-6 dan ke -7 M, dan pembangunan fase kedua antara abad ke-8
hingga ke-10 M. Diketahui juga bahwa pola pembangunan gubahan ruang kompleks
percandian tidak selalu mengikuti kaidah-kaidah dalam panduan kitab kuno India
Mānasāra-Śilpaśastra. Hal ini terjadi karena masa awal pembangunan candi, proses
adaptasi kebudayaan sedang berlangsung, sehingga penyerapan unsur-unsur kebudayaan India masih belum sepenuhnya berjalan dalam kehidupan masyarakat setempat.
Berdasarkan paparan penelitian arkeologi ruang - arkeologi lanskap tersebut di
atas, diketahui bahwa penelitian arkeologi ruang - arkeologi lanskap untuk mengungkap
makna gubahan ruang dengan pendekatan arkeologi kognitif atau arkeologi postprosessual, khususnya dengan pendekatan Strukturalisme Lévi-Strauss, di Indonesia
32
sejauh ini belum dilakukan. Wacana kajian Strukturaslisme Lévi-Strauss dalam penelitian arkeologi telah diawali oleh Ahimsa-Putra (1999 a: 1-13) untuk mengkaji masalah
pemukiman arkeologi serta telaah makna Arca Ganesya Masa Siŋhasari dan Kadhiri
(Ahimsa-Putra 1999b: 53-82). Sehubungan dengan hal ini, maka kajian arke-ologi
lanskap berdasarkan analisis spasial untuk mengungkap makna gubahan ruang dengan
pendekatan Strukturaslisme Lévi-Strauss di Indonesia yang mengedepankan dimensi
manusia, perlu dikembangkan lebih jauh. Hal inilah yang melandasi penulis untuk
melakukan penelitian tentang makna gubahan ruang situs-situs Hindhu-Buddha abad
XII – XIII Masehi di Saujana Dataran Tinggi Malang dan sekitarnya dengan pendekatan
metode Strukturaslisme Lévi-Strauss, sehingga penelitian ini adalah asli serta belum
pernah dilakukan oleh peneliti lain.
E. LANDASAN TEORITIK
1. Konsep Ruang dan Gubahan Ruang
Terminologi tentang ruang (space) berakar dari bahasa Latin yaitu spatium yang
kemudian dalam bahasa Perancis menjadi space, dalam bahasa Italia spazio dan dalam
bahasa Spanyol espacio. Dalam bahasa Jerman sapce identik dengan istilah raum yang
dikembangkan dari bahasa Teutonic ruum, kemudian dalam bahasa Inggris menjadi
room dan dalam bahasa Belanda disebut ruimte. Raum berarti ruang dan mengandung
makna sama dengan istilah space serta berkaitan dengan wujud material misalnya
berupa bangunan konstruksi rangka kayu seperti rumah tempat tinggal (Ven 1987: 3-4).
33
Konsep tentang ruang (space) pertama kali dikemukakan oleh filsuf China yaitu
Lao Tzu sekitar lima ratus tahun lalu. Menurut Lao Tzu konsep ruang berkaitan dengan
menyatunya dua elemen pokok yaitu menyatunya elemen being (yang ada) dan elemen
non being (yang tak ada). Elemen being selalu dapat dilihat dengan pancaindra sehingga
bersifat empiris serta berwujud material, sedangkan elemen non being selalu bersifat
abstrak dan ada dalam pikiran manusia atau disebut juga gagasan tentang konsep ruang
(Ven 1987: 3-4).
Menyatunya dua elemen yang bertentangan tersebut membentuk suatu ruang
(space) apabila terdapat batas ruang berupa dinding pemisah. Ruang tersebut terdiri atas
ruang internal yakni ada di dalam dinding dan ruang eksternal yakni ada di luar dinding.
Berdasarkan pemikiran Lao Tzu tersebut, dapat didefinisikan bahwa ruang atau spasial
(space) terbentuk adanya representasi dari gagasan tentang ruang yang bersifat abstrak
ke dalam bentuk empiris yakni berupa space yang terdiri atas dinding-dinding pemisah
sehingga terciptalah sebuah ruang internal dan ruang eksternal (Ven 1987: 6-7).
Gagasan tentang ruang juga dikemukakan oleh pemikir barat yaitu Plato yang
memahami ruang sebagai salah satu dari keempat elemen yang membentuk wadah atau
tempat yaitu tanah, udara, air dan api. Dari konsepsi ini maka muncullah konsep ruang
yang berhubungan dengan konsep tempat (topos). Hal ini dikemukakan oleh Aristoteles
yang menganggap bahwa ruang selalu terkait dengan tempat (topos) serupa dengan
sebuah wadah dari sebuah objek. Dengan demikian ruang didefinisikan sebagai wadah
atau tempat yang teraba, berbentuk rongga, dapat ditempati manusia dan berfungsi untuk
34
melindungi kepentingan akitivitas kehidupan manusia serta memberi rasa aman
(Ven 1987: 21-25).
Sejalan dengan berkembangnya wilayah-wilayah urban di Eropa, konsep tentang
ruang juga mengalami perkembangan yakni disesuaikan dengan kebutuhan akan ruangruang urban. Sehubungan dengan hal ini, Brinckmann mendefinisikan ruang sebagai hal
yang harus dikaitkan dengan masalah fungsional. Untuk kepentingan penciptaan ruangruang urban, Brinckmann mengembangkan konsep-konsep mengenai
pembentukan
ruang (raumbildung), penggatraan ruang (raumfassung), desain ruang (raumgestaltung),
rasa akan ruang (raumgefühl) dan disposisi ruang (raumanordnung). Pengertian tentang
pembentukan ruang, penggatraan ruang serta desain ruang, mengandung makna yaitu
berkaitan dengan wujud ruang dan proses gubahan ruang (Ven 1987:132). Pengertian
disposisi ruang serta rasa akan ruang mengandung makna fungsi serta nama sebuah
ruang.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Kahn (1957) bahwa proses pembentukan
ruang, penggatraan ruang, serta desain ruang disebut sebagai penggubahan
(arrangemen)
konsep-konsep
ruang
dan
akan
menghasilkan
gubahan
ruang
(arrangement spaces). Gubahan ruang yang dimaksud dapat berupa benda material
antara lain berupa bangunan pemukiman, dan ruang-ruang urban di wilayah desa
maupun perkotaan.
Dalam kaitannya dengan masalah gubahan ruang, baik Brinckmann maupun Kahn
(1975) berpendapat bahwa gubahan ruang berhubungan dengan reproduksi atau
pengulangan maupun modifikasi secara terus-menerus mengenai proses pembentukan
35
ruang, penggatraan ruang serta desain ruang. Contoh misalnya, salah satu gunung berapi
tertinggi di Jawa Timur, pada abad XI M digubah menjadi Gunung Mahāmeru sama
maknanya dengan Gunung Mahāmeru di India. Pada abad XII M gunung tersebut
digubah lagi menjadi gunung Sang hyang Mahāmeru dan difungsikan sebagai tempat
bersemayamnya para dewa (Pigeaud 1924: 97-98). Pada abad XVII M hingga masa
sekarang gunung tersebut oleh masyarakat Tengger digubah lagi menjadi Gunung
Semeru dan mereka mengfungsikannya sebagai penanda pusat kiblat upacara adat.
Mereka menganggap gunung tersebut sebagai tempat bersemayamnya roh nenek
moyang mereka.
Sejalan
dengan
perkembangan
ilmu
pengetahuan,
konsep
ruang
juga
dikembangkan dalam geografi yaitu oleh Carl Troll, pada tahun 1938 (Huggett 1995:
13-15). Carl Troll menggabungkan konsep ruang dengan kondisi permukaan bumi
secara luas (geographical space) yang kemudian dikenal dengan istilah lanskap
(landscape). Studi tentang lanskap difokuskan pada masalah hubungan interaksi antara
berbagai kelompok organisme di suatu ruang geografi atau permukaan tanah dalam skala
tertentu. Studi tentang lanskap menggunakan dua pendekatan yaitu (a) kajian terhadap
seluruh gejala perubahan yang terjadi di permukaan bumi, termasuk di dalamnya yaitu
bentuk perubahan tanah, perubahan vegetasi dan perubahan-perubahan permukaan tanah
serta vegetasi akibat perilaku manusia, (b) kajian area geografi yang dicirikan oleh
gejala spesifik bentuk muka bumi, vegetasi dan indikasi spesifik suatu kebudayaan dari
sekelompok manusia di suatu wilayah tertentu. Faktor-faktor yang dijadikan analisis
36
yaitu (a) iklim, (b)geologi, (c) geomorfologi, (d) air, (e) tanah, (f) vegetasi dan (g)
perkembangan peradaban manusia (Vink 1983).
Sejalan dengan perkembangan ilmu biologi, Carl Troll mengabungkan konsep
lanskap dengan masalah ekosistem biologi yakni ekosistem tumbuh-tumbuhan,
ekosistem binatang, dan juga manusia serta ekosistem organisme lainnya yang kemudian
dikenal dengan istilah ekologi lanskap (landscape ecology). Kajian ekologi lanskap
tersebut menjelang th. 1960-an berkembang pesat di Eropa, maka ahli geografi Jerman
yakni Schreiber serta Vink melakukan pengembangan kajian lanskap ekologi dalam
kaitannya dengan masalah kehidupan sosial serta budaya manusia.
Kajian tersebut memfokuskan pada masalah hubungan timbal-balik antara
manusia dengan lingkungannya yakni ekosistem tumbuh-tumbuhan serta binatang dalam
ruang geografi (geographical space). Oleh karena kajian ini menyangkut kehidupan
sosial serta budaya manusia dalam ruang geografi, maka muncullah kajian khusus yang
dikenal dengan kajian lanskap kebudayaan (cultural landscapes). Pada awalnya kajian
ini dikembangkan oleh ahli geografi manusia (human geography) yang menitik beratkan
aspek geografi sosial dalam kaitannya dengan kajian lanskap. Kemudian dikembangkan
oleh ahli antropologi dikenal dengan istilah antropologi lanskap (landscapes
anthropology) dan menjelang abad ke-20 dikembangkan juga dalam arkeologi dikenal
dengan kajian arkeologi lanskap (landscape archaeology) (Ingold 2000:510-530; Pauls
2006 :65-83).
Selain membahas ekosistem biologis, studi lanskap ekologi maupun studi
lanskap kebudayaan juga mengembangkan kajian tentang degradasi ekosistem akibat
37
kegiatan sosial serta budaya manusia dalam ruang geografi. Adapun yang dikaji adalah
masalah pemanfaatan lingkungan oleh manusia dan dampak negatif pada ekosistem
organisme dalam ruang geografi. Studi pemanfaatan sumber daya lingkungan oleh
manusia dalam ruang geografi disebut dengan istilah manajemen sumber daya
lingkungan (environmental managements) atau secara khusus disebut juga kajian tata
guna tanah (land use) (Vink 1983: 10-15).
Menjelang akhir th.1960-an, konsep tata guna tanah tentang lanskap, secara
khusus dikembangkan oleh para ahli arsitek di Amerika Serikat, dikenal dengan studi
landscape architects. Secara umum studi ini bertujuan untuk menciptakan ruang-ruang
taman, ruang-ruang konservasi organisme biologis seperti kelompok binatang serta
tumbuh-tumbuhan dalam ruang geografi yang berbasis pada prinsip-prinsip ekologi.
Dengan demikian, maka terciptalah ruang geografi baru yang dilandasi akan konsep
perencanaan ruang, dan desain ruang untuk kepentingan terciptanya ekologi yang lebih
baik bagi kehidupan manusia (Vink 1983:3-4)
Studi arsitektur lanskap tersebut apabila dikaitkan dengan konsep penggubahan
ruang yang dikemukakan oleh Brinckmann dan Kahn (1975), maka pada tahapan
perencanaan arsitektur lanskap dapat disebut sebagai proses penggubahan ruang lanskap.
Adapun hasil dari perencanaan yang antara lain berupa desain arsitektur lanskap,
lanskap taman kota, tata kota, taman nasional, taman margasatwa, lanskap danau buatan
serta lanskap kanal buatan adalah merupakan gubahan ruang lanskap (Vink 1983 :4-5).
Berdasarkan kaidah-kaidah studi arsitektur lanskap tersebut Harg (1960), Sjoberg
(1965) dan Hermanislamet (1999) berpendapat bahwa gubahan ruang dapat dibedakan
38
menjadi gubahan ruang yang direncanakan dan gubahan ruang yang tidak direncanakan.
Gubahan ruang yang direncanakan mempunyai implikasi tujuan pemanfaatan ruang
yaitu untuk efisiensi manfaat ruang dan efisiensi struktural. Selain itu ditunjukan juga
untuk gubahan ruang simbolis yaitu mempresentasikan keselarasan kosmologis (makromikro) maupun keseimbangan komposisi fisikal-visual.
Kajian arkeologi lanskap menurut Julian Thomas (2001:165-166) merupakan
penggabungan antara kajian lanskap alamiah (landscape) dengan fenomena kebudayaan
yang terjadi di masa lalu termasuk dalam hal ini adalah situs arkeologi. Lanskap alamiah
terdiri atas topografi dan permukaan tanah pada suatu kawasan tertentu sedangkan
fenomena kebudayaan masa lalu antara lain ditandai dengan adanya sebaran situs di
suatu kawasan.
Apabila pandangan Thomas tersebut dikaitkan dengan pandangan Brinckmann
serta Kahn, Harg serta Sjoberg, dan Hermanislamet dapat diketahui bahwa proses
terciptanya situs arkeologi sebagai fenomena budaya masa lalu di dalam lanskap alamiah
berhubungan dengan proses gubahan ruang. Adapun keletakan situs arkeologi dalam
lanskap alamiah dapat dinamakan gubahan ruang situs, sama pengertiannya dengan
gubahan ruang taman maupun danau buatan (lanskap danau buatan) dalam kajian
arsitektur lanskap.
Berlandaskan uraian tersebut di atas, maka yang dimaksud dengan gubahan
ruang situs adalah keletakan situs arkeologi dalam lanskap alamiah. Situs arkeologi
yang dimaksud telah mengalami proses pembentukan ruang, dan penggatraan ruang
serta desain ruang dalam hubungannya dengan lanskap alamiah. Proses pembentukan
39
ruang dan penggatraan ruang serta desain ruang menyangkut tentang struktur ruang situs
serta keletakan struktur ruang situs dalam lanskap alamiah. Dengan demikian gubahan
ruang situs dapat didefinisikan proses pembentukan struktur ruang dan penggatraan
serta desain struktur ruang situs dalam lanskap alamiah.
2. Paradigma Baru Kajian Arkeologi Lanskap Post-Prosessual
Menjelang th.1990-an, di Inggris sejalan dengan pengembangan ilmu pengetahuan
postmodern, penelitian gubahan ruang dalam kaitannya dengan tradisi kajian arkeologi
lanskap (landscape archaeology), memasuki babak baru dengan mengembangkan
paradigma baru yaitu interpretatif (hermeneuitic). Para ahli arkeologi yang mengembangkan paradigma baru ini menamakan diri sebagai kelompok arkeologi postprosessual. Mula-mula dipelopori Tilley (1994) serta Bender (1998) dan hal ini
dilakukan atas kritik yang mendalam terhadap pendekatan kelompok tradisional serta
New Arkeologi atau arkeologi prosessual terhadap kajian arkeologi ruang-arkeologi
lanskap yang secara eksklusif mengedepankan pendekatan lingkungan alam serta
menyampingkan dimensi manusia (Gojda 2004:6-7). Tilley (1994) dalam penelitiannya
yang dipaparkan dalam A Phenomenology of Landscape, antara lain menyatakan bahwa:
To identitify how any particular people understood their landscape environment is
adjudged to be an end either unattainable or unnecessary. Places imphasis on two
fundamental point: fist, on symbolism in the relationship of man and landscape;
and second, on the roles o social memory in choice of settlement, burial and sacret
sites
Adapun Bender (1998) dari College University, London, dalam risalah penelitian
Stonehenge:Making Space, antara lain menyatakan :
40
One of the most identifiable personalities in curret postmodern landscape
archaeology, wrestles with the question as to why the landscape has became such
an important theme today. The landscape as a result connects people an the
material word not only in terms of understanding, but olso in everyday life an
politics and thea this pheomenon represents practically every reality. The language
itself is full of so many landscape metaphors that it can be said that people speak
an live in a landcape for evey moment of their existence. The landcapes is
perceived as something passive, standing outside us. In reality, the landscape is
perceived as something passive, standing outside. People as individuals, and as a
society or nation state, form their identity.
Berdasarkan hasil penelitian kedua ahli arkeologi lanskap post-prosessual tersebut,
diketahui bahwa untuk mengkaji gubahan ruang dalam kaitannya dengan arkeologi
ruang-arkeologi lanskap, harus mengedepankan dimensi manusia. Manusialah yang
menentukan bentuk ruang yang bermakna budaya serta gubahan ruang yang
direncanakan, bukan lingkungan alam yang pasif. Gubahan ruang dalam kaitannya
dengan kajian arkeologi lanskap, dibentuk berdasarkan interpretasi aktif serta
komunikasi intensif manusia terhadap lingkungan alam. Alam lingkungan merupakan
suatu media atau sarana berkreatifitas hingga terbentuknya pola-pola gubahan ruang.
Dengan demikian paradigma dalam penelitian arkeologi ruang-arkeologi lanskap
sebaiknya berdasarkan paradigma hermeneutik atau interpretatif (Ucko dan Layton
1999:11-12). Kajian ini kemudian disebut arkeologi interpretatif atau arkeologi postprosessual yang sejalan dengan perkembangan ilmu postmodern.
3. Pendekatan Strukturalisme Lévi-Strauss
Seiring dengan berkembang-pesatnya penelitian arkeologi lanskap post-prosessual,
maka menjelang akhir th.1994, para ahli arkeologi lanskap post-prosessual melakukan
41
Kongres World Arhaeological di New Delhi, India dan dihadiri beberapa ahli dunia dari
Scandinavia, Amerika Utara serta Selatan, India, Australia, Inggris,
Pasifik dan
Amerika Serikat. Salah satu hal yang dibahas adalah melakukan retropeksi tentang hasil
penelitian mutakhir arkeologi lanskap post-prosessual (Ucko dan Layton 1999:11-12).
Berdasarkan hasil evaluasi penelitian yang dilakukan oleh Lahiri serta Singh (1999:
177-190) terhadap situs desa kuno di Ballabgarh, New Delhi, Negara Bagian Haryana,
India, dan penelitian Layton (1997) terhadap representasi serta trasnformasi gubahan
ruang di Australia Utara, serta didasarkan pada konsep batas-batas interpretasi yang
dikemukakan Eco (1990) ditemukan dua masalah pokok dalam penelitian arkeologi
lanskap post-prosessual.
Permasalahan yang dimaksud, berdasarkan kesepatan kongres (Ucko & Layton
1999:11-12 ) yaitu:
A hermeneutic (interpretive) approach to the study of landscape reveals two
problem for archaeology. The first is that cognitive system are undertdetermined
by their environment. Experience is never adequate to determine which of many
possible theory, but do not indicate just where and how. Many possible cultural
systems can therefore exist within the same ecological space, and none could be
predicted in its entirety or specificity from the ecological conditions.
……………………………………………………………………………………...
……………………………………………………………………………………..
The construction of monumentts, or other meaningful trasformations of the
landscape, can only partky be analysed through theories of adaptation.
The second diffulty for archaeology is the expressions of cognition or meaning in
the environment are often ambigous. Normally, repeated interaction within a
community will clarify the circumstantial or contextual clues that are needed to
clarify such ambiguity. That every discourse belongs to a community of knowers
who can agree on what constitutes a relevant reading of an ambiguous.
Untuk mengatasi dua permasahan pokok dalam kajian arkeologi lanskap post-prosessual
tersebut, maka dalam kongres disepakati suatu jalan tengah atau solusi terbaik yaitu
42
agar dalam penelitian arkeologi lanskap post-prosessual mengadopsi atau menggunakan
pendekatan strukturalisme Lévi-Strauss, sebagai berikut :
One solution to this problem that appears frequently in the recent archaeological
literature on landscape is to adopt a structuralist method, implicitly following
Lévi-Strauss approach to South American mythology. This approach looks for
evidence of the structuring of material setting that can be read as signifying
universal cognitive appositions. Such oppositions are, according to Lévi-Strauss,
intrinsically generated by way in which the human mind works and threfore have
cross-cultural validity. Once universal elements have been identifiied, a brigge has
been built allowing access to the specific meanings that characterised ancient
culture (Ucko dan Layton 1999,11-13 ).
Penelitian arkeologi lanskap dengan pendekatan Strukturalisme Lévi-Strauss
tersebut antara lain telah dikembangkan oleh Thomas (1993 a,32, cf.1993b) untuk
merekonstruksi makna gubahan ruang situs-situs Neolitik di Inggris. Demikian juga oleh
Richards (1996) untuk mengungkap makna gubahan ruang tinggalan rumah-rumah
neolitik akhir di Orkney serta makam-makan kontemporer di Maeshome, Inggris.
Untuk memahami Strukturalisme Lévi-Strauss, sebagai salah satu pendekatan
dalam penelitian arkeologi lanskap post-prosessual, terlebih dulu
harus memahami
asumsi-asumsi dasar yang ada dalam aliran ini. Ada cukup banyak asumsi dasar
tersebut, namun hanya beberapa asumsi dasar yang dianggap penting dalam kajian
arkeologi lanskap untuk kajian makna gubahan ruang situs-situs arkeologi (AhimsaPutra, 2009:66). Sebagaimana dikemukakan oleh beberapa ahli arkeologi lanskap postprosessual seperti Lahiri serta Singh, Ayres serta Mauticio, Fullagar serta Heah,
Kinahan, Parker Paearson (Ucko dan Layton 1999:11-13 ) dan ahli antropologi
struktural Indonesia, Ahimsa-Putra (1999a: 56-57; 1999b: 6-7) asumsi dasar yang
43
dianggap penting dan relevan dalam pendekatan Strukturalisme Lévi-Strauss untuk
kajian arkeologi lanskap yaitu fenomena kebudayaan dianggap sebagai sistem atau
rangkaian tanda.
Dalam hal ini, tanda memiliki makna atau lebih tepat diberi makna. Makna yang
dimaksud bahwa makna berada pada tataran yang tidak disadari oleh pelakukanya atau
oleh pemberi makna itu sendiri (Rossi 1974:9-12) dan tanda di sini dibedakan dengan
simbol karena tanda tidak memiliki makna referensial atau makna acuan, sedangkan
simbol memiliki referensial. Kalau makna suatu simbol adalah apa yang diacunya,
referennya maka makna tanda terletak pada relasinya dengan tanda-tanda yang lain.
Model yang diambil di sini adalah berasal dari linguistik, terutama dari fonologi
struktural yang dikembangkan oleh Roman Jakobson ( Ahimsa-Putra 1999 a: 58, lampiran Catatan kaki 1.1).
Tujuan analisis makna tanda dan analisis simbolis adalah untuk menyingkap
makna dari berbagai macam simbol yang kurang lebih bersifat disadari, sedangkan
analisis semiotis dimaksudkan untuk mengungkapkan makna atau lebih tepatnya logika
yang dianggap ada di balik benda-benda kebudayaan yang kurang lebih tidak disadari
(nirsadar). Untuk itu, menempatkan berbagai macam simbol dan tanda dalam konteks
sintagmatis dan paradigmatis merupakan salah satu langkah yang perlu dilakukan.
Sehubungan dengan hal ini, pandangan linguistik struktural dari Ferdinan de Saussure
yang membedakan poros sintagmatis dan paradigmatis dari bahasa, perlu dipahami
44
untuk dapat diaplikasikan dalam kajian arkeologi ruang-arkeologis lanskap untuk
memahami makna gubahan ruang situs-situs arkeologi (lampiran Catatan kaki 1.2).
Sebagai serangkaian tanda dan simbol, benda-benda budaya pada dasarnya juga
dapat ditanggapi dengan cara seperti penjelasan tersebut di atas. Analisis arkeologis
termasuk juga kajian gubahan ruang situs-situs, secara struktural
yang terdiri atas
kebudayaan materi, paling tidak harus mengikuti alur analisis sintagmatis-paradigmatis
tersebut di atas. Dengan metode analisis seperti ini, makna yang dapat disampaikan atau
ditampilkan dari benda atau artefak, himpunan artefak maupun situs arkeologis yang
dianalisis akan menjadi lebih kaya dan utuh. Analisis arkeologis atas budaya, kemudian
tidak hanya akan diarahkan pada upaya mengungkapkan makna simbolis dari benda
tersebut, tetapi lebih dari itu, juga untuk mengungkapkan benda atau artefak maupun
situs arkeologis yang ada dalam proses penciptaan benda-benda simbolis itu sendiri atau
hukum-hukum yang mengatur proses penggabungan berbagai macam tanda dan ciri
simbolis yang bersifat tidak disadari, namun dalam proses penyampaian pesan-pesan
yang abstrak melalui berbagai macam tanda dan simbol yang lebih kongkret sifatnya
(Ahimsa-Putra 1999a :60 - 61).
4. Makna, Struktur dan Transformasi dalam Kajian Strukturalisme Lévi-Strauss
Lévi-Strauss mengatakan bahwa struktur adalah model yang dibuat oleh ahli
antropologi untuk memahami atau menjelaskan gejala atau peristiwa kebudayaan yang
ditelaahnya. Dalam analisis struktural, struktur dibedakan menjadi dua macam, pertama
yaitu struktur lahir, struktur luar (surface structure) dan struktur batin, struktur dalam
45
(deep structure). Struktur luar adalah susunan unsur-unsur yang dapat dibuat atau
dibangun atas dasar ciri-ciri luar atau empiris dari unsur-unsur tersebut, sedangkan
struktur dalam adalah susunan tertentu yang dibangun berdasarkan struktur lahir yang
berhasil dibuat, dan tidak selalu nampak pada sisi luar. Struktur dalam ini dapat disusun
dengan menganalisis dan membandingkan berbagai struktur luar yang berhasil
ditemukan atau dibangun. Struktur dalam itulah yang lebih tepat disebut model untuk
memahami fenomena yang diteliti karena dengan adanya struktur ini, peneliti kemudian
dapat memahami berbagai fenomena budaya yang ditelaahnya.
Konsep kedua adalah transformasi dan dalam hal ini pengertian transformasi
adalah berbeda pada pengertian perubahan dalam konteks pembahasan ini. Dalam
kaitannya dengan hal ini Ahimsa-Putra (1999 a: 61-62) mengartikan transformasi
sebagai alih-rupa atau malih dalam bahasa Jawa. Artinya suatu transformasi yang terjadi
sebenarnya adalah perubahan pada tataran permukaan, sedangkan pada tataran yang
lebih dalam lagi perubahan tersebut tidak terjadi. Dengan kata lain, suatu transformasi
adalah perubahan atau pergantian yang terjadi hanya pada kulit atau wadah, sedang isi
dalam wadah tersebut tidak mengalami pergantian. Pada bidang simbolisme, hal ini
paling jelas tampak dalam bahasa (lampiran Cacatan kaki 1. 3). Ahimsa-Putra tidak
mengartikan transformasi sebagai perubahan, karena dalam perubahan terkandung
pengertian proses berubahnya sesuatu ke sesuatu yang lain dalam ruang dan waktu
tertentu. Dalam hal ini transformasi menunjuk pada berubahnya sesuatu tetapi tanpa
melalui proses atau proses tersebut tidak dipandang penting atau proses tersebut ada
46
pada tingkatan yang lebih dalam lagi atau lebih abstrak (Ahimsa-Putra 1999 a: 61-62;
lampiran Catatan kaki 1. 4).
Dalam kajian struktural perlunya menyusun rangkaian transformasi yang terjadi
pada fenomena tersebut pada tataran yang berbeda, kemudian membangun model yang
dapat menjelaskan atau membantu atau memahami fenomena-fenomena sebagai suatu
kesatuan. Dengan demikian akan dapat dilihat bahwa fenomena yang diteliti
memperlihatkan adanya suatu struktur tertentu yang bersifat tetap, meneng, diam tidak
mengalami perubahan sama sekali. Struktur inilah yang dinamakan sebagai deep
structure, struktur dalam dari berbagai simbol dan proses simbolisasi suatu fenomena
sehingga dapat diketahui tentang makna fenomena tersebut (Ahimsa-Putra 1999a).
Analisis semacam inilah yang akan digunakan untuk mengungkap makna gubahan ruang
situs arkeologi dalam kaitannya dengan arkeologi ruang-arkeologi lanskap postprosessual.
5. Strukturalisme Lévi-Strauss, Makna Gubahan Ruang Situs-Situs HindhuBuddha.
Berdasarkan asumsi dasar kajian Strukturalisme Lévi-Strauss yang telah
dirumuskan oleh Ahimsa-Putra tersebut di atas, maka dapat dikemukakan tentang
aplikasi kajian Strukturalisme Lévi-Strauss untuk mengungkap makna gubahan ruang
situs-situs Hindhu-Buddha utamanya makna gubahan ruang situs-situs Hindhu-Buddha
masa Siŋhasari di Saujana Dataran Tinggi Malang dan sekitarnya. Sesuai dengan uraian
situs-situs Hindhu-Buddha di saujana tersebut dan berkaitan dengan asumsi dasar bahwa
47
fenomena kebudayaan masa lalu dapat ditanggapi sebagai sistem tanda serta dikaitkan
dengan paradigma kajian linguistik struktural, maka kajian unit terkecil dalam makna
gubahan ruang situs ini adalah komponen situs. Dengan demikian komponen situs
diasumsikan sama dengan unit fonem dalam kajian linguistik struktural. Asumsi ini
bersifat arbiter dan dapat berubah sesuai dengan karakter data penelitian.
Dalam kaitannya dengan kajian arkeologi ruang-arkeologi lanskap maka unit
terkecil tersebut yakni situs merupakan lingkup ruang dalam skala kecil atau sering
disebut tingkat mikro. Selanjutnya himpunan beberapa situs membentuk wilayah atau
area yang dalam skala ruang disebut ruang tingkat semi-mikro. Beberapa himpunan situs
tingkat semi-mikro membentuk suatu kesatuan region atau wilayah disebut dengan
istilah ruang tingkat makro. Ruang tingkat makro dalam penelitian makna situs-situs
Hindhu-Buddha masa Siŋhasari adalah ruang geologis Kawasan Dataran Tinggi Malang
dan sekitarnya
Dalam kaitannya dengan kajian Strukturalisme Lévi-Strauss terlebih dahulu situssitus tersebut dianalisis berdasarkan analisis tafonomi (Mundardjito 1982:501-503;
Sharer & Asmore,1980:78-79), analisis spasial, analisis peta persebaran, dan analisis
hubungan hirarkis situs (Hodder 1976:55-72) sehingga diperoleh suatu kepastian atau
validitas suatu jenis situs sebagai bagian dari fenomena arkeologis. Hal ini dilakukan
melalui tahapan-tahapan analisis arkeologis dan setelah diperoleh suatu pembakuan atau
validitas identifikasi situs sesuai dengan gubahan ruang berdasarkan alam pikiran
Hindhu-Buddha yang antara lain tertuang dalam Mānasāra-Śilpaśāstra serta Śilpa
48
Prakāśa, baru dilakukan analisis struktural seperti analisis linguistik. Hal yang dimaksud
yaitu identifikasi situs tersebut dicarikan atau dianalisis secara sintagmatis dan
paradigmatis, sehingga akan diketahui tentang makna gubahan ruang suatu situs seperti
halnya makna fonem dalam linguistik dalam kaitanya dengan analisis sintagmatis dan
paradigmatis (Ahimsa-Putra 2009:47-51).
Suatu contoh misalnya salah satu situs Hindhu-Buddha masa Siŋhasari di Kawasan
Dataran Tinggi Malang yakni situs Kagĕnĕngan telah berhasil diidentifikasi secara
metodis-arkeologis sebagai situs dharmma haji yaitu situs pendharmaan leluhur raja
pendiri wangsa atau dinasti kerajaan (Krom 1922: 45), maka situs tersebut akan
dianalisis secara sintagmatis dengan situs-situs lain sehingga akan membentuk sebuah
rantai sintagmatis sebagai berikut :
1. Situs dharmma haji Kagĕnĕngan → bangunan suci dalam Sĕrat Pārārāton → bangunan suci
dalam Nārāgakĕrtagama → bangunan megalitik masa prasejarah → banguan suci dalam Kitab
Tāntu Panggĕlaran, di Saujana Dataran Tinggi Malang dan sekitarnya . Demikian seterusnya
sampai terdapat model rantai sintagmatis tertentu .
Setelah dilakukan analisis sintagmatis, kemudian dilakukan analisis paradigmatis
seperti halnya analisis yang dilakukan dalam analisis linguistik, sebagai berikut:
2. Situs dahrmma haji Kagĕnĕngan – situs dharmma lpas Gunung Katu – situs kadewaguruan situs desa kuno Kabalon – situs desa kuno Sagĕnggĕng – situs tempat suci Ganésa
Karangkates, di Saujana Dataran Tinggi Malang dan sekitarnya. Demikian seterusnya sampai
terdapat model tertentu sehingga proses transformasi situs dapat dikemukakan dengan baik,
dengan demikian dapat dikemukakan tentang makna gubahan situs Kagĕnĕngan.
Sehubungan dengan analisis itu, sehingga situs dharmma haji Kagĕnĕngan akan
diupayakan untuk dicari proses tranformasinya berdasarkan perbandingan dengan situs
lain baik dalam kaitannya dengan struktur lanskap alamiah berdasarkan alam pikiran:
49
gagasan–gagasan tentang sistem kepercayaan masyarakat Hindhu-Buddha masa itu,
maupun dalam kaitannya dengan struktur sebaran gubahan ruang situs-situs HindhuBuddha di Saujana Dataran Tinggi Malang dan sekitarnya abad XII – XIII M. Analisis
ini akan berjalan baik, apabila didahului dengan pentahapan analisis arkeologis secara
benar terhadap struktur sebaran gubahan ruang situs-situs Hindhu-Buddha di Saujana
Dataran Tinggi Malang dan sekitarnya.
F. METODE PENELITIAN
Untuk menjawab permasalahan penelitian yang telah dikemukakan di muka dan
didasarkan pada landasan teoritik, maka diperlukan metode penelitian. Metode
penelitian yang dimaksud berkenaan dengan tatahan-tahapan penelitian yaitu (1)
penentuan daerah penelitian (2) perumusan data penelitian, (3) pengumpulan data, dan
(4) pengolahan atau analisis serta (5) interpretasi data (Sharer&Asmore 1980:25-29).
Uraian masing-masing pentahapan penelitian adalah sebagai berikut:
1.Daerah Penelitian
Daerah penelitian merupakan kawasan geologis Saujana Dataran Tinggi Malang
dan sekitarnya, terletak di wilayah administratif Karisidenan Malang, Jawa Timur.
Daerah tersebut terdiri atas bagian tengah wilayah Kabupaten Malang, Pemerintahan
Kota Malang, Pemerintahan Kota Batu, sebagian wilayah utara Kabupaten Blitar, bagian
selatan wilayah Kabupaten Pasuruhan dan sebagian kecil wilayah barat Kabupaten
Lumajang, Jawa Timur. Saujana Dataran Tinggi Malang dan sekitarnya mencakup
kawasan Dataran Tinggi Malang, kawasan lereng barat serta timur Gunung Butak-Kawi,
50
lereng selatan serta timur Gunung Anjasmoro-Arjuno, lereng selatan Pegunungan
Tengger, lereng barat Gunung Bromo, lereng barat serta selatan Gunung Semeru dan
kawasan lereng utara Pegunungan Kapur Selatan (Gambar 1.1).
Salah satu pertimbangan daerah ini dipilih sebagai daerah penelitian yaitu
banyaknya sebaran situs Hindhu-Buddha abad XII – XIII M pada masa Siŋhasari. Selain
itu sebaran situs tersebut belum pernah dianalisis oleh peneliti terdahulu secara
mendalam khususnya berkenaan dengan kajian makna gubahan ruang situs-situs
arkeologi melalui pendekatan Strukturalisme Lévi-Strauss, berbasis pada arkeologi postprosessual.
2.Data Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah penelitian, data penelitian terdiri atas (a) data
kondisi ekologi Saujana Dataran Tinggi Malang dan sekitarnya pada abad XII-XIII M,
(b) data ”peresonifikasi”atau metafora (metaphors) kondisi ekologi Saujana Dataran
Tinggi Malang dan sekitarnya berdasarkan alam pikiran masyarakat Hindhu-Buddha
abad XII – XIII M, (c) data struktur sebaran situs-situs Hindhu-Buddha pada abad
XII-XIII M, dan (d) data struktur gubahan ruang situs-situs Hindhu-Buddha abad XIIXIII M tingkat mikro, semi-mikro dan tingkat makro. Uraian singkat mengenai masingmasing data penelitian adalah sebagai berikut:
(a). Data kondisi ekologi Saujana Dataran Tinggi Malang dana sekitaranya pada abad
XII-XIII M
51
52
Data ekologi berupa (1) data iklim, (2) geologi, (3) geomorfologi, (4) air, (5) tanah
(soils), (6) flora serta fauna dan (6) kondisi perkembangan peradaban manusia masa
lampau yakni peradaban masa prasejarah sampai masa Hindhu-Buddha di daerah
penelitian (Vink 1983; Gambar.1.2),
(b) Data ”personifikasi”atau metafora (metaphors) kondisi ekologi Saujana Dataran
Tinggi Malang dan sekitarnya berdasarkan alam pikiran masyarakat Hindhu-Buddha
abad XII – XIII M
Data ”personifikasi” atau metafora (metaphors) kondisi ekologi Saujana Dataran
Tinggi Malang dan sekitarnya berupa
(1) data ”personifikasi” atau metafora
(metaphors) lanskap alamiah Dataran Tinggi Malang, (2) data ”personifikasi” atau
metafora (metaphors) Gunung Api Lawu-Butak-Kawi, Gunung Api Anjasmoro- Arjuno,
-Welirang-Penanggungan, Gunung Api
Bromo-Semeru serta Pegunungan Kapur
Selatan dan (3) data ”personifikasi” atau metafora (metaphors) bukit, puncak gunung,
telaga maupun sungai di Saujana Dataran Tinggi Malang dan sekitarnya berdasarkan
keterangan Kitab Tāntu Pānggĕlārān, Sĕrat Pārārā ton atawa Kātuturānira Ken Angrok,
Nāgarakĕrtāgama serta sejumlah prasasti abad IX – XIV M,
(b). Data sebaran situs-situs Hindhu-Buddha abad XII-XIII M.
Data penelitian ini merupakan sebidang lahan yang mengandung (1) tinggalan
arkeologi termasuk dalam kategori benda-tak-bergerak seperti bangunan candi,
bangunan pintu gerbang, patirthan, gua pertapaan, bangunan berundak, monumen arca
serta sisa-sisa susunan bangunan pemukiman dan hal ini digolongkan terletak in situ; (2)
tinggalan arkeologi ke dalam kategori benda-bergerak namun merupakan bagian yang
53
terlepas dari benda-tak-bergerak seperti arca, komponen bangunan candi, serta komponen bangunan pemukiman, sehingga digolongkan terletak insitu ;(3) tinggalan
arkeologi kategori benda-bergerak berupa artefak seperti pecahan-pecahan gerabah,
pecahan-pecahan keramik, sejumlah mata uang kuno serta alat upacara yang benar-benar
dapat dipastikan berasal dari situs, sehingga digolongkan terletak in situ (Mundardjito
1993); dan (4) tinggalan arkeologi berupa feature seperti bekas parit keliling, bekas
patirthan, arung dan bekas proses pembentukan bangunan berundak (Sharer & Ashmore
1979; Gambar 1.2).
(c) Data struktur gubahan ruang situs-situs Hindhu-Buddha abad XII-XIII M tingkat
mikro, semi-mikro dan tingkat makro.
Data penelitian ini berupa data (1) hasil analisis peta persebaran serta spasial situssitus Hindhu-Buddha abad XII-XIII M tingkat mikro, semi-mikro serta tingkat makro di
daerah penelitian, dan (2) hasil analisis hubungan horizontal serta hirarki situs-situs
Hindhu-Budha abad XII-XIII tingkat mikro, semi-mikro serta tingkat makro di daerah
penelitian.
3.Pengumpulan Data
Pengumpulan data dibedakan menjadi (a) pengumpulan data kepustakaan dan (b)
pengumpulan data lapangan.
(a). Pengumpulan data kepustakaan :
(1) Kondisi ekologi atau bentang ekologi. Pengumpulan data awal melalui kajian
pustaka berkenaan dengan data iklim, data geologi, geomorfologi, tanah, air (aliran
sungai serta sejumlah mata air), flora serta fauna dan perkembangan peradaban
54
manusia masa prasejarah hingga Hindhu-Buddha. Data iklim diperoleh dari
penelusuran pustaka kondisi iklim 20 tahunan daerah penelitian dan sekitarnya
melalui data dokumentasi iklim BMKG Karang Prolo, Malang. Data geologigeomorfologi diperoleh dari kajian pustaka peta geologi Malang oleh Junghuhn
th.1844, Bemmelen th. 1943, peta topografi Lahar Gunung Kelud th.1919, peta
topografi lahar Gunung Semeru th.1885 – 1913, dan naskah Tāntu Panggĕlaran
(1557 Çaka = 1635 M) serta Nāgarakĕrtāgama. Data tanah, air (aliran sungai serta
mata air) dan flora serta fauna diperoleh dari penelusuran pustaka Vallace th.1869,
pustaka Jasa Tirta :Proyek Brantas, Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru dan
Taman Hutan Raya R.Soerjo, Malang. Data perkembangan peradaban manusia
diperoleh dari tinggalan arkeologi serta penelusuran pustaka sejumlah prasasti masa
Hindhu-Buddha abad IX – XIV M (Gambar 1.2).
(2).Pengumpulan data kepustakaan persebaran situs arkeologi. Langah-langkah kegiatan
yang berkaitan dengan pengumpulan data persebaran situs arkeologi melalui telaah
pustaka serta peta-peta terinci sebagai berikut :
(a) menelusuri serta mengkaji kepustakaan lama th.1844, 1902, 1905-1906, 1912-1939
serta kepustakaan baru th.1981, 1986, 1989, 1996, 1997, dan th.1998 yang memuat
keterangan mengenai keberadaan lokasi situs-situs di daerah penelitian ,
(b) menelusuri serta mengkaji kepustakaan mengenai lokasi serta nama-nama situs di
daerah penelitian berdasarkan data prasasti abad VIII – XIII M, Nāgarakĕrtāgama
55
Sĕrat Pārārāton atawa Katuturanira Ken Angrok, Kidung Harşa-Wijaya
serta
Kidung Rangga Lawe-Panji Wijayakrama,
(c) menelusuri keletakan situs serta nama-nama sebaran situs pada peta-peta topografi
yakni peta topografi Malang Th. 1880 skala 1:25.000, th.1914 serta th.1939 skala
1:50.000 dan peta rupha bhumi Malang th.1995, skala 1:25.000. Kemudian membuat
daftar lokasi situs serta peta persebaran situs-situs sementara sebagai panduan ground
truth keletakan situs di lapangan.
(b) Pengumpulan data lapangan.
Pengumpulan data kondisi ekologi lanskap (landscape ecology) atau bentang ekologi
dan keletakan sebaran situs, terinci sebagai berikut:
(1) pengumpulan data lapangan kondisi ekologi lanskap atau bentang ekologi dengan
cara survei permukaan tanah di daerah penelitian berkenaan dengan berbagai
bentukan lahan (Vink 1983).
(2) pengumpulan data lapangan keletakan sebaran situs Hindhu-Buddha pada abad
XII-XIII M di daerah penelitian11 dengan cara (a) survei permukaan tanah yakni
observasi menyeluruh (full caverage survey) dan (b) dokumentasi serta ground truth
keletakan situs pada peta rupha bhumi daerah penelitian th.1995, skala 1:25.000.
(Sharer et. al 1979: 178-207;Gambar 1.2),
11
)Situs abad XII-XIII M dicirikan oleh pertanggalan prasasti serta penanda langgam kesenian masa
Siŋhasari seperti penenda langgam kesenian berupa bonggol teratai d an ornamen tengkorak-berjejer (Edy
Sedyawati,1985)
56
4. Analisis Data
Langkah-langkah yang berkenaan dengan tahapan analisis kondisi ekologi
lanskap atau bentang ekologi dan data arkeologi, baik dari penelusuran kepustakaan
maupun lapangan, dimaksudkan untuk dijadikan bahan utama untuk analisis selanjutnya
(Mundardjito 1993). Analisis yang dimaksud berkenaan dengan interpretasi makna
gubahan ruang situs-situs Hindhu-Budha abad XII-XIII M di daerah penelitian.
Tahapan analisis data kondisi bentang ekologi berkenaan analisis geologi kwarter
daerah penelitian menjelang Kala Plestosen Atas-awal Holosen dan analisis
geomorfologi daerah penelitian. Rekonstruksi flora serta fauna dilakukan melalui
pendekatan analisis etnobotani terhadap sejumlah flora serta fauna yang berkembang di
Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru (TNBTS), Taman Hutan Raya (TAHURA)
R.Soeryo, data botani dalam prasasti abad VIII-XIV M dan naskah Nāgarakĕrtāgama.
Tahapan analisis data arkeologi meliputi tahapan sebagai berikut :
(a) Analisis tafonomi. Tujuan analisis ini untuk merekonstruksi atau melacak kembali
peristiwa-peristiwa masa lalu melalui kejadian transformasi serta metafora data
arkeologi dalam satuan situs (Mundardjito 1982:500-501; Lyman 2010: 1-16).
(b) Analisis toponimi serta metafora (metaphor). Tujuan analisis ini untuk menelaah
tentang asal-usul serta metafora (metaphor) nama sebuah situs atau suatu wilayah
yang disebutkan dalam prasasti, serta susastra. Kemudian dianalisis toponimi-nya
berdasarkan keletakan nama situs, ceritera rakyat, data etnografi serta peta topografi.
57
(c) Analisis spasial ( spatial analysis). Analisis spasial bekaitan dengan analisis
persebaran artefak, persebaran situs, hubungan-hubungan antara artefak serta situs
dalam satuan ruang. Satuan ruang dibedakan menjadi (1) ruang tingkat mikro, (2)
semi-mikro, dan (3) tingkat makro. Analisis tingkat mikro menganalisis pola-pola
persebaran dan hubungan artefak dalam sebuah bangunan, analisis tingkat semimikro mempelajari pola-pola persebaran dan hubungan dalam sebuah situs,
sedangkan analisis tingkat makro mempelajari pola persebaran dan hubungan di
dalam suatu wilayah (Clark 1977:11-17)
(d) Analisis peta persebaran. Analisis tersebut berkenaan dengan analisis hubungan
horizontal
(horizontal
relationships)
dan
hubungan
vertikal
(hierarchial
relationships) antar artefak maupun situs dalam suatu peta persebaran. (Hodder
1976:55-72).
(e) Analisis kontekstual atau hubungan asosiatif terhadap sebaran situs. Analisis peta
persebaran dilengkapi dengan analisis kontekstual, yakni persebaran artefak dengan
lingkungan, persebaran situs dengan lingkungan dan hubungan antar situs dengan
lingkungan. (Hodder 1977:214-215; Gambar 1.2).
5. Interpretasi Data
Analisis data arkeologi dan bentang ekologi (landscape ecology) di daerah
penelitian menghasilkan data “personifikasi” atau metafora (metaphora) bentang ekologi
dan struktur gubahan ruang situs-situs tingkat mikro, semi-mikro serta tingkat makro
dan data struktur sebaran gubahan ruang situs. Data struktur gubahan ruang situs-situs
58
tingkat mikro, semi-mikro dan tingkat makro tersebut dianalisis dengan menggunakan
pendekatan
Strukturalisme Lévi-Strauss. Langkah-langkah analisis,
terinci sebagai
barikut :
(a) melakukan analisis sintagmatik dan paradigmatik12 struktur gubahan ruang lanskap
alamiah yakni struktur “personifikasi” atau matafora (metaphors) gubahan ruang
lanskap alamiah, struktur gubahan ruang situs-situs tradisi megalitik (tradisi
prasejarah), dan struktur gubahan ruang situs-situs Hindhu-Buddha abad XII-XIII M
tingkat mikro, tingkat semi-mikro serta tingkat makro di daerah penelitian,
(b) melakukan analisis transformasi struktur gubahan ruang lanskap alamiah yakni
struktur “personifikasi” atau metafora (metaphor) lanskap alamiah dengan struktur
sebaran gubahan ruang situs-situs megalitik, dan dengan struktur sebaran gubahan
ruang situs-situs Hindhu-Buddha abad XII-XIII M pada tingkat mikro, tingkat semimikro serta struktur sebaran gubahan ruang tingkat makro. Analisis ini ditujukan
untuk mengetahui aspek distinctive feature (ciri pembeda) dan aspek deep structure
(struktur dalam) dari masing-masing struktur sebaran gubahan ruang situs-situs
(Gambar 1.2).
Berdasarkan aspek-aspek struktur dalam (deep structure) struktur sebaran gubahan
ruang situs-situs, maka dapat diungkapkan atau dijelaskan tentang makna gubahan ruang
12
) Gubahan ruang situs yang diasumsikan sebagai satuan terkecil tersebut dicarikan atau dianalisis
secara sintagmatik dan paradigmatik, sehingga akan diketahui tentang makna gubahan ruang situs.
59
Gambar 1.2. Diagram Alur Pemikiran Penelitian
Data Fisik Lanskap Ekologi SDTM dan
Sekitarnya
Data Situs-Situs Hindhu-Buddha Abad
XII-XIII M di SDTM dan Sekitarnya
Analisis Metafora
(Metaphors)
Data Metafora ( Metaphors): Lanskap
Ekologi SDTM dan Sekitarnya Berdasarkan
Alam Pikiran Masyarakat Hindhu-Buddha
Abad XII-XIII Masehi
Data Metafora (Metaphors): Situs-Situs
Hindhu-Buddha Abad XII-XIII Masehi
Berdasarkan Alam Pikiran Masyarakat
Hindhu-Buddha
Data Gubahan Ruang Situs-Situs Hindhu-Buddha Abad XII-XIII Masehi
Analisis Spasial Data Metaphors Struktur Gubahan Ruang Situs-Situs
Hindhu-Buddha Abad XII-XIII Masehi
Analisis Peta Persebaran: Hubungan Horizontal dan Hubungan Vertikal
Situs-Situs Data Metaphors Struktur Sebaran Gubahan Ruang Situs-Situs
Hindhu-Buddha Abad XII-XIII Masehi
Analisis Struktural: Struktur Gubahan Ruang dan Strukur Sebaran
Gubahan Ruang Situs-Situs Hindhu-Buddha Abad XII-XIII Masehi
Analisis Sintagmatik dan Paradigmatik: Struktur Sebaran Gubahan
Ruang Situs-Situs Hindhu-Buddha Abad XII-XIII Masehi
Analisis Transformasi: "Struktur" Metaphors Lanskap Ekologi SDTM dan Sekitarnya, Struktur Sebaran
Gubahan Ruang Situs-Situs Megalitik dan Struktur Sebaran Gubahan Ruang Situs-Situs Hindhu-Buddha
Abad XII-XIII Masehi
hi
Makna Gubahan Ruang Situs-Situs Hindhu-Buddha Masa Siŋhasari Abad XII-XIII Masehi di
Saujana Dataran Tinggi Malang dan Sekitarnya (SDTM)
SDTM = Saujana Dataran Tinggi Malang
Blasius .S. 2014
60
situs-situs Hindhu-Buddha abad XII-XIII M, pada masa perkembangan peradaban
Siŋhasari di Saujana Dataran Tinggi Malang dan sekitarnya (Ahimsa-Putra 2009:
47-51).
Download