BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Data dari Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun 2010 menginformasikan bahwa kasus patah tulang meningkat setiap tahun sejak 2007. Pada 2007 tercatat ada 22,815 kasus patah tulang, pada 2008 menjadi 36,947, 2009 jadi 42,280 dan pada 2010 ada 43,003. Kerusakan pada tulang biasanya berhubungan dengan kecelakaan lalu lintas, hal ini terjadi karena adanya benturan keras yang dialami oleh pengemudi kendaraan sehingga mengakibatkan tulang menjadi retak ataupun patah. Peningkatan angka kecelakaan lalu lintas setiap tahun dapat dilihat pada Tabel 1.1 menunjukkan peningkatan jumlah kecelakaan lalu lintas, korban kecelakaan paling banyak mengalami luka ringan, disusul dengan luka berat, dan meninggal dunia. Luka berat yang dialami korban kecelakaan biasanya berhubungan dengan kerusakan pada tulang, untuk kasus kerusakan tulang di luar negeri menurut Salgado (2004) terdapat lebih kurang 1 juta di Amerika Serikat dan ½ juta di Eropa mengalami kasus kerusakan tulang rangka dalam setiap tahun yang memerlukan restorasi tulang untuk tersambung kembali dengan baik sedangkan kasus kerusakan tulang di Indonesia ada sebanyak 300-400 kasus operasi bedah tulang per bulan yang dilakukan di RS. Dr.Soetomo Surabaya (Gunawarman, 2010). Kasus kerusakan tulang menyebabkan korban harus menjalani perawatan berupa restorasi tulang, penanganan restorasi tulang tergantung dari tingkat kerusakan tulang, jika tingkat kerusakan tulang ringan misalnya retak tulang maka cukup ditangani dengan pemasangan gips, pen, atau yang lainnya. Jika kerusakan tulang berat maka penanganan restorasi tulang akan menuju perlakuan amputasi atau menghilangkan bagian yang rusak dari tubuh korban. Perkembangan teknologi kedokteran saat ini melakukan perawatan untuk penggantian organ atau jaringan dengan transplantasi organ dari satu orang ke orang lain atau melakukan 1 2 rekonstruksi bedah dengan mentransfer jaringan dari satu lokasi di tubuh ke bagian sakit pasien. Salah satu cara penanganan patah tulang atau kerusakan tulang itu adalah dengan menggunakan bone grafting yaitu memperbaiki dan mengganti jaringan yang rusak dan mempunyai fungsi mekanik dan biologi dikarenakan dapat membantu atau mengisi lubang (void filler) dan meningkatkan regenerasi tulang di tempat implantasi. Bone grafting memiliki beberapa sifat fisiologis yang secara langsung akan mempengaruhi keberhasilan bone healing yaitu osteogenesis, osteoinduction, dan osteoconduction (Kalfas, 2001). Osteogenesis adalah kemampuan graft untuk menghasilkan tulang baru, dan proses ini tergantung pada adanya sel-sel tulang yang ada dalam graft, osteoinductive adalah kemampuan bahan graft untuk mendorong sel-sel induk untuk berdiferensiasi menjadi sel-sel tulang dewasa, sedangkan osteoconduction adalah properti fisik dari graft untuk menjadi scaffolds yang menjadi tempat penyembuhan tulang yang layak. Tabel 1.1. Kecelakaan Lalu Lintas di D.I. Yogyakarta ( BPS DIY, 2013) Tahun Jumlah Kecelakaan Mati Luka Luka Kerugian berat Ringan Material Rp. 2011 4,511 518 999 5,336 3,048,536 2010 4,704 171 1,105 6,151 3,082,132 2009 4,378 203 1,035 5,777 3,492,826 2008 2,407 202 832 2,797 2,242,115 2007 3,071 292 946 3,320 2,689,622 2006 1,066 213 481 1,094 935,769 2005 335 159 149 369 475,460 2004 459 198 144 457 675,050 2003 584 141 134 482 662,753 2002 691 183 94 693 706,095 2001 328 140 45 266 366,260 Bone grafting terdapat tiga teknik yang dapat diaplikasikan pada pasien restorasi tulang (Salgado, et.al., 2004). Metode pertama autograft yang 3 menggunakan jaringan baru yang berasal dari jaringan lain pada tubuh yang sama, metode ini secara biologis baik karena berasal dari tubuh yang sama tetapi pasien mempunyai resiko mengalami morbiditas, resiko infeksi yang tinggi, resiko kehilangan darah dan menjadikan biaya operasi lebih tinggi (Hench, 1998). Metode yang kedua adalah allograft yang menggunakan jaringan yang diperoleh dari orang lain, metode ini rentan terjadinya transfer penyakit dari donor ke pasien. Kemudian dikembangkan metode ketiga yaitu xenograft yang menggunakan jaringan yang berasal dari tulang hewan. Vacanti (2013) menjelaskan adanya perbedaan antara kebutuhan dan ketersediaan jaringan donor dengan data di negara Amerika Serikat terdapat 110.000 pasien yang menunggu ketersediaan organ dan hanya 28,000 pasien yang menjalani operasi transplantasi. Hal ini menyebabkan pengembangan tissue engineering (TE), yang bertujuan untuk menciptakan pengganti biologis untuk memperbaiki atau mengganti organ dan jaringan yang gagal. Salah satu pendekatan yang lebih menjanjikan di tissue engineering (TE) adalah untuk menumbuhkan selsel pada biodegradable scaffolds yang berupa struktur rekayasa tinggi yang bertindak sebagai dukungan sementara untuk sel untuk memfasilitasi regenerasi target jaringan. Tantangan utama di tissue engineering (TE) adalah untuk merancang dan membuat konstruksi biodegradable disesuaikan dengan sifat yang diinginkan yang akan menaikkan adhesi sel, dukungan pertumbuhan sel, perkembangbiakan dan perbedaan (Gross, 1994). Untuk pengganti tulang yang ideal adalah material yang membentuk ikatan yang aman dengan jaringan dan mendorong jaringan tersebut untuk menumbuhkan sel-sel baru dalam implan, salah satu cara untuk mencapai hal tersebut adalah dengan memilih material implan yang osteoconductive dan berpori. Salah satu jenis material implan yang banyak diteliti adalah hydroxyapatite (HA; Ca10(PO4)6(OH)2). HA murni memiliki komposisi kimia, biologi dan struktur kristal yang sama dengan mineral yang ada dalam jaringan tulang (Kroese-Deutman, et al., 2005), maka dari itu dibutuhkan struktur HA berpori (porous HA) agar dapat memenuhi syarat pengganti tulang yang ideal tersebut, terutama untuk restorasi tulang berskala besar. 4 Metode-metode yang dikembangkan untuk pembuatan scaffolds diantaranya menggunakan Computer Aided Design (CAD) dan Rapid Prototyping (RP). Teknik Rapid Prototyping (RP) telah terbukti layak untuk menghasilkan scaffolds diantaranya dengan teknik langsung dan tidak langsung (Yeong et al., 2004), dengan menggunakan Fused Deposition Modelling (FDM) (Zein et al., 2002), menggunakan metode 3D Printing (3DP) (Seitz et al., 2005), atau menggunakan 3D Bioplotting (Landers et al., 2002), Model Maker II (MMII) (Yeong et al., 2006), Stereolithography Apparatus (SLA) (Chu et al., 2001), dan Selective Laser Sintering (SLS) (Tan et al., 2005). Salah satu cara untuk membuat scaffolds dengan menggunakan Solid Freeform Fabrication (SFF) yang mempunyai kemampuan untuk membuat scaffolds (Mason, 2009), melihat kondisi tersebut maka dibutuhkan metode yang dapat menghasilkan pore interconnectivity yang baik dan ukuran porous dapat diatur sesuai keinginan. Penelitian ini akan difokuskan pada pembuatan macroporous HA yang bertujuan untuk perbaikan, regenerasi, dan rekonstruksi jaringan yang hilang maupun rusak, terutama untuk cacat yang cukup besar atau proses penyembuhan tulang yang memerlukan implan, metode yang digunakan dalam membuat macroporous HA ini dengan menggunakan mesin Aqueous Based Extrusion Fabrication (ABEF) yang merupakan proses ektrusi material pasta hydroxyapatite yang membuat kontur lapisan demi lapisan untuk membuat model 3 dimensi (Mason, 2009). Penelitian ini dirancang guna mengembangkan sebuah mesin berdasarkan mesin ABEF yang dapat membuat scaffolds hydroxyapatite, ide dasar mesin ini merupakan gabungan antara mesin Computer Numerical Control (CNC) dengan proses ektrusi dari material pasta bio keramik, dengan menggunakan metode ini diharapkan dapat mempermudah penanganan kasus restorasi tulang berskala besar karena dapat menyesuaikan bentuk dan ukuran macroporous HA sesuai kebutuhan. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut maka diperlukan penelitian untuk pembuatan mesin purwa rupa ABEF yang menghasilkan macroporous hydroxyapatite bioceramics dengan struktur pori-pori yang beraturan. 5 1.3. Batasan Masalah Untuk lebih memfokuskan penelitian yang dilakukan, maka dalam penelitian ini diambil sejumlah batasan masalah sebagai berikut: 1. Pengendali sistem mesin purwa rupa ABEF yang dipakai berupa pengendali berbasis LCD controller RepRap Arduino Mega Pololu Shield 1,4 , menggunakan perangkat lunak RepRap 3D printer dengan operating systems Microsoft Windows 7. 2. Menggunakan 4 sumbu X, Y, Z dan A untuk proses extrusi material bio keramik. 3. Bahan baku yang digunakan adalah hydroxyapatite komersial (Sigma- Aldrich 04238). 4. Bahan pelarut yang digunakan adalah aquadest water. 5. Menggunakan syringe 60 ml dalam proses ektrusi. 6. Maksimum pergerakan sumbu X 160 mm Y 190 mm Z 150 mm dan A 110 mm. 1.4. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan sebagai berikut: 1. Membangun mesin purwa rupa ABEF yang portabel dan menggunakan koneksi USB. 2. Mesin purwa rupa ABEF mempunyai kepresisian posisi 0,05 – 0,1 mm. 3. Mengetahui kemampuan mesin purwa rupa ABEF dalam menghasilkan macroporous hydroxyapatite. 4. Mengetahui parameter-parameter utama dalam pembuatan macroporous hydroxyapatite dengan purwarupa ABEF. 1.5. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah didapatkanlah mesin purwa rupa untuk pembuatan scaffolds yang digunakan untuk membantu bidang medis dalam memperoleh scaffolds.