Politik Kesejahteraan Kamis, 27 Maret 2008 | 00:30 WIB Tata Mustasya Di permukaan, politik kesejahteraan seolah menempatkan kepentingan publik—terutama kelompok rentan—menjadi titik sentral. Kenyataannya, politik kesejahteraan merupakan persaingan elite-elite demi kekuasaan. Secara oportunis, elite memanfaatkan situasi kesejahteraan: membaik, stabil, atau memburuk. Pada tahun 2008 dan 2009, dinamika politik kesejahteraan di Indonesia bakal meningkat karena dua hal. Pertama, Pemilu 2009. Kedua, ancaman memburuknya kesejahteraan akibat naiknya harga kebutuhan pokok. Apa yang harus dilakukan? Pengalaman Indonesia Dimulai dari Orde Baru, politik Sebelumnya, Presiden Soekarno ditangkap darinya, ”prioritas kita tergantikan—di antaranya sebagai ini. kesejahteraan amat berperan dalam kompetisi politik nasional. pada Orde Lama menunjukkan pengecualian. Pesan yang dapat melanjutkan revolusi, kesejahteraan datang kemudian”. Peran tak proklamator kemerdekaan—membuatnya leluasa menjalankan politik Hingga 1965, Soekarno mampu mengatasi manuver elite penentangnya di tingkat nasional dan separatisme di daerah. Ini, secara implisit, menunjukkan besarnya dukungan rakyat. Namun, anjloknya kesejahteraan, di antaranya inflasi hingga 650 persen, membuat kelompok elite yang tak puas mampu meraih simpati publik dan mengambil alih kekuasaan. Presiden Soeharto di Orde Baru, selama berkuasa 32 tahun ditopang kuatnya politik kesejahteraan. Tahun 1970-an, pemerintahan Soeharto diuntungkan penerimaan ekspor minyak bumi akibat melambungnya harga di pasar internasional. Harga minyak naik dari tiga dolar AS per barel (1972) menjadi 30 dolar AS sebelum 1980. Sebelum tahun 1981, penerimaan ekspor minyak mencapai 82 persen total ekspor (Vatikiotis, 1993). Uang itu untuk membiayai beragam program kesejahteraan. Pembangunan SD inpres serta puskesmas pada tahun 1970-an dan awal 1980-an tak bisa dicapai lagi hingga kini. Saat penerimaan ekspor minyak menurun, puncaknya tahun 1985, tim ekonomi mengalihkan fokus ekspor ke industri manufaktur, seperti tekstil, sepatu, dan petrokimia. Ini meningkatkan proporsi manufaktur terhadap produk domestik bruto dari 8,0 persen (1970) menjadi 19 persen sebelum 1990 (Vatikiotis, 1993). Sadar akan ”modal” kesejahteraan, dalam banyak hal Soeharto menerapkan dualisme. Di bidang politik, dia relatif otoriter. Di bidang ekonomi, ia menyerahkan penyusunan kebijakan kepada para teknokrat. Dengan itu, gerakan elite, langsung atau tidak—Peristiwa Malari 1974, demonstrasi mahasiswa 1978, dan Petisi 50—terdengar sayup-sayup di masyarakat. Krisis ekonomi 1998 membuat modal politik sirna dan Soeharto jatuh. Jatuhnya Habibie, Abdurrahman Wahid, dan tak terpilihnya Megawati pada Pemilu 2004 terutama karena gagal memainkan politik kesejahteraan. Tahun 2008 dan 2009 Kini ekspektasi masyarakat adalah: 1) kebebasan politik; (2) perbaikan dan stabilitas kesejahteraan. Inilah permintaan pasar politik yang menyebabkan Presiden Yudhoyono memenangi Pemilu 2004 dengan tawaran kampanye pada dua aspek itu. Sepertinya, Yudhoyono bakal tak mampu memenuhi hal kedua, kesejahteraan. Harga minyak yang terus melambung memaksa pemerintah menyubsidi BBM dan listrik di atas Rp 200 triliun, hal yang nyaris mustahil. Pilihan menaikkan harga BBM bakal melambungkan inflasi, sekaligus memperlambat pertumbuhan ekonomi. Ini diperburuk naiknya harga-harga komoditas pangan, sebagian karena pengaruh internasional yang sulit diatasi Indonesia dalam jangka pendek. Elite merespons ”peluang” ini. Wiranto—yang bakal menjadi pesaing Yudhoyono pada Pemilu 2009— membuat iklan teve yang menggambarkan buruknya kesejahteraan. PDI-P, sebagai oposisi, melontarkan kritik dan pernyataan populis. Partai lain banyak yang ambigu, bergabung di kabinet, tetapi juga menyerang kebijakan pemerintah. Yang menggembirakan, elite politik sepertinya menyiapkan diri untuk bersaing pada Pemilu 2009, bukan melalui jalur ”cabut mandat” dan sejenisnya. Militer, sebagai kekuatan terpenting dalam situasi krisis ekonomi, cenderung mendukung proses ini. Masalahnya, bagaimana politik elite bisa menghasilkan resultan positif bagi kesejahteraan publik. Ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama, jangka pendek, krisis harus mendorong pemerintah bekerja lebih efektif, berani, dan jujur, dengan mengabaikan aneka kepentingan sempit elite. Kedua, dalam jangka panjang, perlu ada lembaga yang benar-benar bisa merancang kebijakan kesejahteraan tanpa campur tangan politik yang riuh. Bagi elite, kompetisi politik harus berupa tawaran solusi nyata. Rakyat mulai lelah, tidak hanya terhadap pemerintah yang terlalu gemar berjanji, tetapi juga politisi yang terlampau gaduh. Tata Mustasya Analis Ekonomi-Politik dan Kebijakan Publik