7 TINJAUAN PUSTAKA Perilaku Komunikasi Perilaku pada dasarnya berorientasi pada tujuan. Dengan kata lain, perilaku pada umumnya dimotivasi oleh keinginan untuk memperoleh tujuan tertentu. Tujuan spesifik tidak selamanya diketahui dengan sadar oleh yang bersangkutan. Dorongan yang memotivasi pola perilaku individu yang nyata dalam kadar tertentu berada dalam alam bawah sadar (Hersey& Blanch 2004), sedangkan Rogers menyatakan bahwa perilaku komunikasi merupakan suatu kebiasaan dari individu atau kelompok di dalam menerima atau menyampaikan pesan yang diindikasikan dengan adanya partisipasi, hubungan dengan sisitem sosial, kekosmopolitan, hubungan dengan agen pembaharu, keterdedahan dengan media massa, keaktifan mencari informasi, pengetahuan mengenai hal-hal baru. Gould dan Kolb yang dikutip oleh Ichwanudin (1998), perilaku komunikasi adalah segala aktivitas yang bertujuan untuk mencari dan memperoleh informasi dari berbagai sumber dan untuk menyebarluaskan informasi kepada pihak manapun yang memerlukan. Perilaku komunikasi pada dasarnya berorientasi pada tujuan dalam arti perilaku seseorang pada umumnya dimotivasi dengan keinginan untuk memperoleh tujuan tertentu. Berdasarkan pada definisi perilaku yang telah diungkapkan sebelumnya, perilaku komunikasi diartikan sebagai tindakan atau respon dalam lingkungan dan situasi komunikasi yang ada, atau dengan kata lain perilaku komunikasi adalah cara berfikir, berpengetahuan dan berwawasan, berperasaan dan bertindak atau melakukan tindakan yang dianut seseorang, keluarga atau masyarakat dalam mencari dan menyampaikan informasi melalui berbagai saluran yang ada di dalam jaringan komunikasi masyarakat setempat (Hapsari 2007). Rogers (1993) mengungkapkan ada tiga peubah perilaku komunikasi yang sudah teruji secara empiris signifikan yaitu pencarian informasi, kontak dengan penyuluh, dan keterdedahan pada media massa. Peubah pertama yaitu pencarian informasi masih perlu didampingi dengan penyampaian informasi, sesuai dengan model transaksional yang bersifat saling menerima dan memberi informasi secara bergantian. 32 Di dalam mencari dan menyampaikan informasi, seyogyanya juga mengukur kualitas (level) dari komunikasi. Berlo (1960) mendeskripsikan level komunikasi adalah mengukur derajat kedalaman mencari dan menyampaikan informasi yang meliputi (1), sekedar bicara ringan, (2), saling ketergantungan (independen), (3), tenggang rasa (empaty), (4), saling interaksi (interaktif). Kebutuhan seseorang akan informasi mampu menggerakannya secara aktif melakukan pencarian informasi. Perilaku komunikasi sesama petani dalam rangka mencari dan menyebarkan informasi dipengaruhi oleh faktor-faktor situasional. Lebih lanjut Berlo (1960), mengungkapkan bahwa perilaku komunikasi seseorang dapat dilihat dari kebiasaan berkomunikasi. Berdasarkan definisi perilaku komunikasi, maka hal-hal yang sebaiknya perlu dipertimbangkan adalah bahwa seseorang akan melakukan komunikasi sesuai dengan kebutuhannya. Halim (1992) mengungkapkan bahwa komunikasi, kognisi, sikap, dan perilaku dapat dijelaskan secara lebih baik melalui pendekatan situasional, khususnya mengenai kapan dan bagaimana orang berkomunkasi tentang masalah tertentu. Kifli (2002) menyatakan bahwa faktor internal yang mempengaruhi perilaku komunikasi petani adalah kondisi ekonomi. Kondisi ekonomi yang tinggi memberikan kesempatan yang luas kepada petani untuk melakukan interaksi dengan lingkungan, misalnya pada petani yang memiliki tingkat ekonomi yang rendah suatu kesempatan harus mencari informasi mengenai harga jual produk, menemui PPL dan lainnya terpaksa ditinggalkan karena harus memenuhi tambahan penghasilan. Adi (2002) mengungkapkan bahwa gelar teknologi ternyata membentuk persepsi positif petani karena petani dapat secara langsung melihat, memahami, mengenal, dan mempraktekkan inovasi serta akan terjadi komunikasi interpersonal. Rafinaldy (1992) membatasi perilaku komunikasi anggota ke dalam beberapa peubah yaitu; perilaku membicarakan informasi kredit, hadir dalam rapat, jumlah media yang digunakan, pemanfaatan media massa, kontak dengan Pembina, dan partisipasi sosial. Sedangkan adopsi inovasi dalam penelitian ini dinyatakan dalam peubah pemanfaatan kredit. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa sekitar 42 persen responden tidak aktif membicarakan informasi kredit dan 49 persen responden partisipasi sosialnya rendah, sebagian responden yang pernah 9 hadir namun pada umumnya tidak pernah kontak dengan pembinanya, repsonden pada umumnya menggunakan sedikitnya dua media komunikasi untuk memperoleh informasi dengan rata-rata menghabiskan waktunya untuk membaca, mendengar, dan melihat media massa yang komunikasi hampir 17 jam setiap minggunya. Pambudy (1999) dari hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa ada beberapa faktor yang memiliki hubungan yang kuat terhadap perilaku komunikasi peternak dalam menerapkan wirausaha tenaknya. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah partisipasi sosial dengan kontak sesama peternak, kontak dengan penyuluh, kontak dengan media massa dan kontak dengan kelompok. Lebih lanjut Pambudy mengungkapkan bahwa kontak dengan media massa menjadi faktor pendorong meningkatnya perilaku berwirausaha dijelaskan oleh perilaku komunikasi yang lebih mampu mengakses informasi dari media massa. Rukka (2003) menyatakan bahwa tingginya tingkat motivasi petani dalam mengadopsi inovasi sangat ditentukan sifat inovasi tersebut. Petani akan cepat menerima suatu inovasi bila unsur-unsur karakteristik dari inovasi tersebut cenderung positif. Namun kalau unsur-unsur saling kontradiktif, maka inovasi tersebut akan menyulitkan petani dalam mengadopsinya. Tingkat penerapan usaha tani organik pada padi sawah, menurut Rukka (2003) terhadap motivasi petani berbanding positif. Terutama motivasi intrinsik untuk melakukan budidaya secara organik dengan motif untuk meningkatkan pendapatan dan juga meningkatkan pengetahuan. Perilaku komunikasi yang berhubungan dengan praktek budidaya pertanian organik pada petani bawang antara lain: Keterdedahan Pada Media Massa Media massa memiliki peranan memberikan informasi untuk memperluas cakrawala, pemusatan perhatian, menumbuhkan aspirasi dan sebagainya tetapi tergantung pada keterdedahan khalayaknya terhadap media massa (Schramm dan Kincaid 1977). Pada penelitian adopsi inovasi menunjukan bahwa orang-orang yang pertama kali mengenal atau menerima ide-ide baru (early knowers atau early adopters) ternyata orang-orang yang lebih banyak memanfaatkan jasa media 32 massa dibandingkan dengan mereka yang mengenal atau mengadopsi ide-ide baru itu belakangan (Wiryanto 2000). Dari 116 penelitian yang dikumpulkan oleh Rogers dan Shoemaker (1981), sekitar 69 persen mendukung pendapat bahwa ada hubungan antara pemanfaatan media komunikasi dengan adopsi. Studi Gross dan Tavez menggungkapkan bahwa ada hubungan antara penggunaan inovasi di bidang pertanian dengan membaca buku, majalah, dan mendengarkan radio. Gross lebih lanjut mengungkapkan bahwa membaca buletin, majalah, dan surat kabar ternyata dapat dipakai sebagai pembeda yang signifikan antara penerima dan penolak inovasi (Muhadjir 2001). Perubahan perilaku khalayak tidak hanya dipengaruhi oleh keterdedahan pada satu media massa tetapi juga memerlukan lebih dari satu saluran komunikasi massa lainnya seperti tv, radio, film, dan bahan cetakan lainnya (Schramm dan Kincaid 1977). Kontak pada saluran interpersonal Pada model-model proses komunikasi massa, model efek terbatas menunjukan bahwa pengaruh komunikasi massa sangat terbatas, tidak powerfull, sama sekali tidak efektif manakala tujuannya untuk menimbulkan sikap dan atau perilaku nyata. Perubahan yang nyata sebagian besar diakibatkan oleh komunikasi antar pribadi (Wiryanto 2000). Model efek terbatas mengungkapkan bahwa pesan-pesan media tidak seluruhnya mencapai mass audiens secara langsung, sebagian besar malahan berlangsung secara bertahap. Tahap pertama dari media massa ke para pemuka pendapat (opinion leader). Tahap kedua dari pemuka pendapat kepada khalayak ramai (mass audiens atau followers). Pada tahap kedua ini merupakan komunikasi interpersonal (Wiryanto 2000). Seseorang untuk meyakinkan informasi yang diperolehnya akan melakukan kontak interpersonal dengan tokoh masyarakat maupun agen pembaharu. Pada tahap ini seseorang akan memerlukan pemuka pendapat untuk memberikan pertimbangan tentang biaya atau informasi lainnya yang dapat digunakan sebagai dasar untuk menilai apakah inovasi itu cocok dengan kebutuhannya (Rogers 1993). 11 Seseorang akan lebih cepat mengadopsi inovasi, apabila ia lebih banyak melakukan kontak komunikasi interpersonal dengan agen pembaharu dan tokoh masyarakat. Meningkatnya pengaruh pada seseorang untuk mengadopsi atau menolak inovasi, merupakan hasil interaksinya dalam jaringan komunikasi dengan individu lain yang dianggap dekat serta memiliki pengaruh terhadap dirinya, namun demikian hal ini sangat tergantung pada norma-norma yang berlaku apakah mendukung atau menolak perubahan (Rogers 1993). Beberapa hasil studi tentang perilaku dan proses adopsi inovasi, Saleh (1988), mengemukakan bahwa perilaku komunikasi pemuka tani DAS Citanduy yang dominasi antara lain: a) menjadikan PPL terdekat sebagai tempat bertanya pertama kali bila menjumpai masalah, b) menyebarkan informasi lewat dari satu cara atau melalui teman yang berminat, c) Tingkat partisipasi sosial rendah dan parilaku mencari informasi lewat media massa berimbang antara yang sebentar, lama, dan tidak pernah. Sulastini (1990) dalam kepemimpinan dan perilaku komunikasi tim penggerak PKK di kabupaten Banyumas, mereka relatif sering mencari informasi dan menyebarkan informasi, melakukan kontak dengan penyuluh serta cukup lama tersentuh media massa. Intensitas Interaksi dalam Kelompok Komunikasi Eksistensi kelompok adalah penting bagi individu dan masyarakat. Ketika seseorang bergerak dalam ruang kehidupannya, kooperasi menjadi esensial dalam mencapai tujuan. Michael dalam Wiryanto (2005) mendifinisikan komunikasi dalam kelompok sebagai interaksi secara tatap mukaantara tiga orang atau lebih dengan tujuan yang telah diketahui, seperti berbagi informasi, menjaga diri, pemecaham masalah yang mana anggota-anggotanya dapat mengingat karakteristik pribadi anggota anggota lain secara tepat. Soekartawi (1988) menyatakan bahwa proses adopsi inovasi tidak terlepas dari pengaruh interaksi antar individu, anggota masyarakat atau kelompok masyarakat, juga pengaruh interaksi antar kelompok dalam suatu masyarakat. Terjadinya interaksi antar petani dalam kelompok sangat penting sebab merupakan forum komunikasi yang demokratis di tingkat akar rumput (Slamet, 2003). Forum kelompok itu merupakan forum belajar sekaligus merupakan forum pengambilan keputusan untuk memperbaiki nasib mereka sendiri. Melalui forum- 32 forum semacam itulah pemberdayaan ditumbuhkan yang akan berlanjut pada tumbuh dan berkembangnya kemandirian petani; tidak mengantungkan nasib dirinya pada orang lain, yakni penyuluh sebagai aparat pemerintah. Demikian juga melalui kelompok-kelompok itu kepemimpinan di kalangan petani akan tumbuh dan berkembang dengan baik melalui pembinaan penyuluhan. Untuk menunjang kepemimpinan para petani, para penyuluh pertanian perlu disiapkan dengan baik untuk melakukan pembinaan sebagai konsekuensi dari keberhasilan pendekatan kelompok menjadikan kelompok tani yang dinamis. Kemandirian Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata “mandiri” berarti dalam keadaan dapat berdiri sendiri tanpa tergantung pada orang lain. Kemandirian menurut Saragih (2005), adalah kemampuan berusaha sendiri, kreatif, kerja keras, dan competitiveness. Menurut Sumardjo (1999), mengacu pada konsep filsafat moral autonomy dari Kant, otonomi moral adalah kehendak manusia untuk bertindak dari prinsip yang diyakininya sendiri, mampu mengatur diri sendiri, menentukan diri sendiri, mengarahkan diri sendiri, bebas dari kehendak orang lain, berhak untuk mengikuti kemauannya sendiri. Kemandirian adalah perwujudan kemampuan seseorang untuk memanfaatkan potensi dirinya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, yang dicirikan oleh kemampuan dan kebebasan menentukan pilihan yang terbaik (Hubeis 1992). Sementara menurut Radi (1997), petani yang mampu mewujudkan pertanian mandiri adalah petani yang memiliki karakter; a) mampu memanfaatkan keanekaragaman sumber daya pertanian secara optimal melalui kemampuannya sendiri, b) mampu memanfaatkan teknologi pertanian yang ramah lingkungan, serta tidak menutup diri terhadap berlangsungnya transformasi teknologi yang lebih menguntungkan (integrasi teknologi lokal dengan teknologi luar secara selektif), c) mampu mengembangkan keunggulan kompetitif dan d) memiliki kemampuan manajerial dan keterampilan mengelola usaha secara bisnis. Menurut Verhagen yang dikutip oleh Marliati (2008), mengemukakan bahwa kemandirian merupakan kemampuan memilih berbagai alternatif yang tersedia agar dapat digunakan untuk melangsungkan kehidupan yang serasi dan 13 berkelanjutan. Lebih lanjut Marliati mengungkapkan bahwa kemandirian terdiri dari kemandirian materil, kemandirian intelektual, dan kemandirian pembinaan. Melalui kemandirian material, seseorang memiliki kapasitas untuk memanfaatkan secara optimal semua potensi sumber daya alam yang mereka miliki tanpa harus menunggu bantuan orang lain atau tergantung dari luar. Kemandirian intelektual, memiliki kapasitas untuk mengkritisi dan mengemukakan pendapat tanpa dibayangi rasa cemas atau tekanan dari pihak lain. Kemandirian pembinaan, yaitu memiliki kapasitas untuk mengembangkan dirinya sendiri melalui proses pembelajaran discovery learning tanpa harus tergantung atau menunggu sampai adanya agen pembaharu atau pembina yang mengajarkan mereka. Kemandirian yang dimaksudkan pada penelitian ini adalah kemandirian material petani dimana seseorang memiliki kapasitas untuk memanfaatkan secara optimal semua potensi sumber daya alam yang mereka miliki tanpa harus menunggu bantuan orang lain atau tergantung dari luar atau kemampuan petani di dalam mendapatkan sarana produksi yang meliputi pupuk, dan pestisida serta kemandirian dalam memasarkan produk mereka tanpa ada tekanan dan ketergantungan pada pihak lain. Agussabti (2002) mengungkapkan bahwa kemandirian petani dalam mendapatkan sarana produksi berkorelasi positif terhadap kedinamisan petani, artinya petani yang memiliki mobilitas yang tinggi, seringnya kontak dengan dunia luar, selalu terbuka terhadap perubahan akan memiliki banyak alternatif di dalam pemenuhan kebutuhan sarana produksinya. Kemandirian Petani dalam Usaha Pertanian Organik Pembangunan pertanian dewasa ini menghadapi persaingan bebas dalam era globalisasi. Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur untuk penyediaan input pertanian, pemasaran sangat diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan hidup petani. Kecenderungan adanya persaingan yang semakin ketat di pasar dunia menyebabkan hanya petani-petani yang lebih efisien saja yang mampu bertahan (Van den ban dan Hawkins 1999). Inilah yang menjadi dasar pentingnya sumberdaya pertanian yang mandiri untuk mewujudkan pertanian yang maju dan tangguh. 32 Pembangunan pertanian yang berorientasi pada peningkatan produksi pada petani telah mengakibatkan terjadinya ketergantungan petani terhadap input-input pertanian anorganik yang tinggi. Kondisi ini menggambarkan pembangunan pertanian yang kurang memperhatikan aspek keberlanjutan yang disebabkan oleh belum mandirinya petani dalam pengambilan keputusan adopsi inovasi dalam pengembangan usaha tani sayurnya, sehingga dalam jangka waktu panjang akan merugikan petani itu sendiri (Agussabti 2002). Penggunaan input-input secara terus-menerus dari luar yang biasa dilakukan saat ini menimbulkan monopoli perdagangan bibit dan pestisida oleh perusahaan trans-nasional. Kondisi ini yang memaksa petani agar tergantung pada perusahaan trans-nasional untuk memperoleh saprodi yang mereka butuhkan. Hal ini selain menyebabkan hilangnya varietas bibit yang dimiliki oleh petani secara besar-besaran juga mengancam keanekaragaman hayati dan juga survival petani itu sendiri (Soetrisno 2006). Bertolak dari kondisi ini, Winangun (2005) mengemukakan perlunya meningkatkan partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kemandirian dan menumbuhkan jiwa kewirausahaan. Rumah tangga petani memiliki tiga macam kekuatan; kekuatan sosial, politik, dan psikologis. Kekuatan sosial menyangkut akses terhadap dasar-dasar produksi, termasuk informasi dan pengetahuan. Kekuatan psikologis direfleksikan dalam rasa memiliki potensi individu. Dalam hubungan ini peningkatan kemandirian dapat dicapai melalui pemberdayaan yang bersifat partisipatif. Keputusan mandiri merujuk pada kemampuan petani menentukan sendiri tujuan usaha taninya, merencanakan sendiri, menggunakan sumber-sumber yang dipilih sendiri untuk kepentingannya sendiri. Petani akan mendapatkan kepuasan dari kegiatan usaha tani yang diputuskan dan dikerjakan sendiri. Keputusan ini bukan berarti petani tidak membutuhkan pihak lain tetapi mereka mengembangkan proses belajar yang tidak tergantung pada pihak lain, sedangkan pertimbangan dan nasihat dari pihak lain masih dibutuhkan (Agussabti, 2002). Agussabti (2002) mengungkapkan bahwa kemandirian petani sangat tergantung pada keputusan untuk mengadopsi inovasi untuk kemajuan usaha taninya. Petani yang mandiri pada umumnya memilih komoditas dan inovasi yang 15 melekat padanya bersifat lebih kompleks. Petani pada umumunya mampu dan memiliki kemampuan di dalam pengelolaan potensi sumber daya yang mereka miliki, sehingga cenderung relatif lebih aman dan tidak ragu-ragu dalam mengambil suatu keputusan. Agussabti (2002) lebih lanjut mengungkapkan bahwa kemandirian petani dalam mengadopsi inovasi sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain tingkat mobilitas dan kontak dengan sumber informasi yang tinggi yang menjadikan mereka lebih terbuka terhadap perubahan ide-ide baru. Pertanian Berkelanjutan dan Pertanian Organik Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) adalah pemanfaatan sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan sumberdaya tidak dapat diperbaharui (unrenewable resources) untuk proses produksi pertanian dengan menekan dampak negatif terhadap lingkungan seminimal mungkin. Keberlanjutan yang dimaksud meliputi : penggunaan sumberdaya, kualitas dan kuantitas produksi, serta lingkungannya. Proses produksi pertanian yang berkelanjutan akan lebih mengarah pada penggunaan produk hayati yang ramah terhadap lingkungan (Kasumbogo Untung, 1997). FAO (2002) Organic agriculture is a holistic production management system which promotes and enhances agro-ecosystem health, including biodiversity, biological cycles and soil biological activity. It emphasises the use of management practices in preference to the use of off-farm inputs (...) This is accomplished by using, where possible, agronomic, biological, and mechanical methods, as opposed to using synthetic materials, to fulfil any specific function within the system." Pertanian organik merupakan salah satu bagian pendekatan pertanian berkelanjutan, yang di dalamnya meliputi berbagai teknik sistem pertanian, seperti tumpangsari (inter-cropping), penggunaan mulsa, penanganan tanaman dan pasca panen. Pertanian organik memiliki ciri khas dalam hukum dan sertifikasi, larangan penggunaan bahan sintetik, serta pemeliharaan produktivitas tanah. Menurut Manguiat (1995), ada dua peristiwa penting yang menandai kelahiran paradigma baru sistem pertanian berkelanjutan. Peristiwa pertama 32 adalah laporan dari komisi dunia tentang lingkungan hidup dan pembangunan (World Commission on Environment and Development) pada tahun 1987, yang mendifinisikan dan mempromosikan paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Peristiwa kedua adalah konferensi Dunia di Rio de Janeiro pada tahun 1992, yang membahas Agenda 21 dengan mempromosikan program Sustainable Agriculture an Rural Development. Sistem pertanian berkelanjutan dapat dilaksanakan dengan menggunakan beberapa macam model sistem. Salah satunya adalah sistem pertanian organik. Pengertian sistem pertanian organik menurut International Federation Of Organik Agriculture and Food (IOFAM) (2004) adalah sistem pertanian yang mengedepankan daur ulang unsur hara dan proses alami dalam pemeliharaan kesuburan tanah dan keberhasilan produksi. (IFOAM) lebih lanjut menyatakan bahwa pertanian organik bertujuan untuk: (1) menghasilkan produk pertanian yang berkualitas dengan kuantitas memadai, (2) membudidayakan tanaman secara alami, (3) mendorong dan meningkatkan siklus hidup biologis dalam ekosistem pertanian, (4) memelihara dan meningkatkan kesuburan tanah jangka panjang, (5) menghindarkan seluruh bentuk cemaran yang diakibatkan penerapan teknik pertanian, (6) memelihara keragaman genetik sistem pertanian dan sekitarnya, dan (7) mempertimbangkan dampak sosial dan ekologis yang lebih luas dalam sistem usaha tani. Sistem pertanian organik bertujuan untuk meningkatkan produksi melalui proses pemupukan dan dalam pelaksanaannya tidak menggunakan bahan penunjang lain yang anorganik. Sistem ini menitikberatkan pada pertanaman polikultur, rotasi tanaman, pemanfaatan tanaman sisa, penggunaan pupuk kandang, pupuk hijau, pengolahan tanah yang tepat, serta pengendalian hama dan penyakit secara hayati (Sitanggang 1993). Departemen Pertanian Amerika Serikat pada tahun1980 mengeluarkan definisi tentang pertanian organik sebagai berikut: Suatu sistem produksi yang menghindarkan atau sebagian besar tidak menggunakan pupuk sintetis, pestisida, hormon tumbuh, pakan ternak tanpa zat additive . Kelayakan yang maksimum dapat dicapai dengan menerapkan suatu sistem pertanian organik berdasar pada rotasi tanaman, residu tanaman, pupuk kandang, kacang-kacangan penutup tanah, 17 pupuk hijau-an, limbah organik dari luar sistem, budidaya secara mekanis, batuan alam, dan aspek pengendalian hayati. Kesemua aspek ini bertujuan untuk mempertahankan produktivitas tanah, mensuplai unsur hara bagi tanaman, dan mengontrol hama, gulma dan hama lainnya. Konsep tersebut juga meliputi serangkaian observasi dimana tanah sebagai bagian dari sistem kehidupan harus diberi asupan dengan cara membiarkan berkembangnya mikro organisma penting dalam recycle hara bagi tanaman dan menghasilkan humus. Menurut Stockdale et al (2001) produksi tanaman di dalam pertanian organik dapat dikarakterisasikan dengan meningkatnya keragaman pola penanaman berdasarkan waktu dan luasan dibandingkan cara budi daya empat konvensional (menggunakan bahan anorganik). Di dalam pertanian organik bagaimana hubungan produksi tanaman dan kesehatan tanaman dijabarkan dalam bentuk diagram seperti yang terlihat pada Gambar 1. Tujuan diterapkannya keragaman genetik, pertama untuk menjalankan sistem dalam penyediaan bahan dan nutrisi organik. Kedua, memelihara kesehatan tanaman sehingga dapat menjaga produksi yang berkelanjutan. Keuntungan yang diperoleh dari diterapkannya diversifikasi tanaman pada pertanian organik adalah : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. meningkatkan jumlah dan komposisi tanaman yang dipanen meningkatkan stabilitas panen mengurangi serangan penyakit mengurangi pemakaian pestisida mengontrol gulma mengurangi erosi tanah recycle cadangan hara yang berada di tanah bagian dalam transfer N dari spesies yang memfiksasi N 32 Pertanian organik secara ekonomis sangat menguntungkan dan secara ekologis dapat menjaga kelestarian lingkungan. Dilihat dari aspek sosial tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat serta secara teknik mudah untuk diterapkan oleh petani (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura 1993). Menurut Sudana (2009) usaha pertanian organik harus dilakukan secara intensif dalam bentuk perusahan yang lengkap dengan struktur organisasinya serta jelas tugasnya dan dimanajemen dengan baik. Usaha tani yang dilengkapi dengan struktur organisasi dan manajemen yang baik akan dapat diefisiensikan secara optimal modal tetap (fixed cost) dan biaya produksi (variable cost) sehingga kuantitas dan kualitas produknya terjamin demikian juga kontinuitasnya. Pertanian organik perorangan sebenarnya dapat berkembang baik asalkan modal ditingkatkan sebesar 500 persen guna memenuhi modal tetap (fixed cost) untuk membuat green house, rumah plastik, sumur serta saluran/pipa irigasi serta biaya produksi untuk meningkatkan tenaga kerja dan pembelian bibit unggul. Peningkatan modal yang besar tersebut kemungkinan masalah hama dan penyakit 19 berkurang, mutu produksi meningkat secara kualitas dan kuantitas serta kontinuitasnya terjamin karena tidak lagi tergantung pada musim. Untuk hal ini sangat diperlukan bantuan pemerintah atau swasta memberikan kredit ringan pada pengusaha pertanian organik perorangan. Sebenarnya banyak petani konvensional yang ingin berubah menjadi petani organik, namun modal dan teknologi masih banyak belum dimiliki. Selain itu diperlukan usaha pemerintah atau swasta untuk mendirikan suatu lembaga sertifikasi, sehingga petani yang baru beralih ke pertanian organik mendapat kepercayaan dari konsumen jika telah memiliki sertifikat organik dari lembaga resmi. Hasil penelitian Adiyoga (2002), mengemukakan meskipun usaha tani organik menunjukan perkembangan yang cukup baik, kontribusi terhadap produksi sayuran Indonesia masih sangat kecil yaitu kurang dari satu persen. Lebih lanjut Witono mengemukakan bahwa prospek pengembangan sayuran organik cenderung menjanjikan. Hal ini dapat dilihat dari belum terpenuhinya permintaan yang disebabkan keterbatasan pasokan. Pertanian organik secara intersif pada tanaman hortikiulura di Negaranegara beriklim tropis agak kurang berkembang dibandingkan dengan Negaranegara beriklim sedang (temperate) ( Velenzuela, 1999). Berkembangnya sistem pertanian input rendah merupakan teknik pertanian berkelanjutan dengan masukan sarana produksi rendah melalui penguasaan teknologi budidaya yang baik, seperti bibit berkualitas, pemupukan berimbang, penerapan pengendalian hama terpadu, dan pengaturan jarak tanam (Deptan, 2009). Perubahan dari sistem usaha tani konvensional ke sistem usaha tani yang seimbang secara ekonomis, ekologis, dan sosial memerlukan suatu proses transisi, yaitu penyesuaian terhadap perubahan yang dilakukan secara sadar untuk membuat sistem usaha tani lebih seimbang dan berkelanjutan. Transisi berhubungan dengan tenaga kerja, lahan atau uang dan pengambilan resiko, sehingga dibutuhkan strategi yang sesuai dengan kondisi lahan pertaniannya. Dukungan, kepercayan diri, dan imaginasi, serta perbaikan pemasaran dan kebijakan harga yang cocok sangat diperlukan petani di dalam proses transisi ini (Reijntjes et al, 1994). 32 Beberapa kendala yang dihadapi dalam melakukan pertanian organik, diantaranya: 1. Adanya hama “transmigran” dari kebun yang nonorganik, sehingga produktivitas lahan menjadi semakin rendah, 2. Akibat rendahnya produksi tidak bisa mengimbangi permintaan pasar yang ada. 3. Dalam pertanian organik yang murni disyaratkan tanah relatif masih “perawan”, padahal penelitian menunjukkan bahwa tanah pertanian di Indonesia sudah jenuh fosfat. 4. Pasar terbatas, karena produk organik hanya dikonsumsi oleh kalangan tertentu saja. 5. Kesulitan menggantungkan pasokan dari alam. Pupuk misalnya, harus mengerahkan suplai kotoran ternak dalam jumlah besar dan kontinu. Budidaya Bawang Merah Bawang merah (Allium ceppa Lin) merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan yang sejak lama diusahakan oleh petani secara intensif. Komoditas ini juga merupakan sumber pendapatan dan kesempatan kerja yang memberikan kontribusi cukup tinggi terhadap perkembangan ekonomi wilayah, karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi, maka pengusahaan budidaya bawang merah telah menyebar di hampir semua provinsi di Indonesia (Balitsa, 2005). Tanaman bawang merah lebih baik tumbuh pada daerah beriklim kering, Tanaman ini peka terhadap curah hujan dan intensitas hujan yang tinggi, serta cuaca berkabut. Tanaman ini membutuhkan penyinaran cahaya matahari yang maksimal. Tanaman ini dapat membentuk umbi di daerah yang suhu udaranya rata-rata 22 derajat celcius, tetapi hasil umbinya tidak sebaik di daerah yang suhu udaranya lebih panas. Bawang merah akan membentuk umbi besar bilamana ditanam di daerah dengan penyinaran lebih dari 12 jam. Di bawah suhu udara 22 derajat selcius tanaman bawang merah tidak akan membentuk umbi (Rismunandar, 1986). Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan sejak lama yang telah lama diusahan oleh petani secara intensif. Komoditas ini juga merupakan sumber pendapatan bagi petani. Usaha tani bawang merah ini usaha 21 tani komersil yang memerlukan perlakuan intensif sehingga padat modal dan tenaga (Purmiyati 2002). Tanaman bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran yang memerlukan input sintesis yang tinggi. Penambahan input dari luar tentu akan berdampak buruk bagi lahan pertanian ke depannya, sehingga sistem budidaya yang ramah lingkungan dan berkelanjutan merupakan suatu hal yang mesti di kembangkan pada sistem pertanian ke depan. Budidaya tanaman bawang merah di dalam perawatannya, sangat tergantung pada input dari luar, baik dalam penyediaan unsur hara maupun pengendalian organisme pengganggu tanaman. Dari hasil penelitian Balitsa, pemupukan bawang merah pada lahan bekas padi sawah di dataran rendah dengan menggunakan pupuk nitrogen sebanyak 200 sampai 300 kilogram yang dikombinasikan dengan pupuk pospat sebanyak 90 kilogram dan kalium sebanyak 50 sampai 150 kilogram per hektar. Pemupukan ini dilakukan secara bertahap (Balitsa 2005). Hasil penelitian Sulistiyono (2002), mengungkapkan bahwa, intensitas penyemprotan tanaman bawang merah yang dilakukan oleh petani dikategorikan tinggi, dengan rata-rata 18,93 kali per tanam artinya penyemprotan dilakukan oleh petani pada kisaran 2 sampai 3 hari sekali penyemprotan. Di sini dapat dilihat adanya kecenderungan petani menggunakan pestisida berdasarkan sistem kalender. Penyemprotan pestisida dilakukan oleh petani dimulai saat sebelum tanam hingga dua atau empat hari menjelang panen. Purmiyati (2002) mengungkapkan bahwa usaha tani bawang merah secara konvensional memerlukan perlakuan intensif, sehingga padat modal dan tenaga kerja. Secara umum usaha tani bawang merah di Kabupaten Brebes tidak efisien dalam penggunaan input karena nilai NPMxi/Pxi tidak sama dengan satu, sehingga produksi dan prosuktivitas optimal sulit dicapai. Pada hasil penelitian Handayani (2007) “ Anasisis Keunggulan Komparatif Dan Kompetitif Usaha Tani Bawang Merah Konvensional Dan Organik Di Kabupaten Brebes” juga menghasilkan kesimpulan yang serupa yaitu pendapatan usaha tani bawang merah organik lebih besar jika dibandingkan dengan usaha tani bawang merah bawang merah. Pada usaha tani bawang merah 32 konvensional nilai R/C di atas biaya totalnya lebih besar dibandingkan dengan usaha tani bawang merah organik. Hal ini menunjukan bahwa usaha tani bawang merah organik lebih efisien jika dibandingkan dengan usaha tani konvensional. Adopsi Inovasi Masalah yang cukup mendasar yang dialami di negara-negara yang sedang berkembang adalah masalah proses transformasi melalui pengalihan, penerapan, dan pengembangan ilmu dan teknologi. Proses transformasi industry di dalam negara-negara terbelakang dapat dipandang sebagai proses pembangunan guna mencapai tujuan yang dicita-citakan (Hartomo & Aziz 1990). Difusi inovasi menurut Rogers (1993) merupakan bentuk khusus komunikasi. Adapun yang menjadi ciri komunikasi adalah pesan-pesan yang disebarluaskan berisi ide-ide, atau praktik ataupun hal-hal baru. Difusi dapat diartikan sebagai proses dimana suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu dalam jangka waktu tertentu di kalangan warga dalam suatu sistem sosial. Pengkajian difusi adalah telaah tentang pesan - pesan yang bersifat inovatif (ide baru), sedangkan pengkajian komunikasi meliputi telaah terhadap semua bentuk pesan. Perbedaan lainnya adalah bahwa di dalam riset komunikasi, hanya memperhatikan pada perubahan sikap dan pengetahuan komunikan tanpa memperhatikan resiko terjadinya perubahan tingkah laku yang tampak dari komunikan, tetapi pada riset difusi, lebih mengarahkan perhatian pada perubahan tingkah laku yang tampak, dimana komunikan menyatakan menerima atau menolak inovasi yang diberikan, bukan sekedar perubahan sikap dan pengetahuan saja. Terdapat empat unsur utama dalam difusi inovasi yaitu inovasi, saluran-saluran komunikasi, waktu dan sistem sosial. Inovasi Inovasi merupakan ide, praktik, atau obyek yang baru oleh suatu individu ataupun unit adopsi yang lain (misanya organisasi). Tidak begitu penting apakah suatu ide yang dimaksud memang benar-benar baru secara obyektif jika diukur menurut urutan waktu sejak hal itu pertama kali dipakai atau ditemukan. 23 Kebaruan menurut persepsi sesorang terhadap ide menetukan reaksi terhadap hal tersebut. Kalau ide tersebut tampak baru bagi seseorang, maka hal tersebut merupakan satu inovasi. Kebaruan inovasi baik masyarakat tidak hanya menyangkut pengetahuan baru karena bisa saja inovasi tersebut merupakan informasi lama namun masyarakat tersebut belum memutuskan sikap untuk menyukai dan tidak menyukainya ataupun untuk menerima atau menolaknya. Oleh karena itu, aspek kebaruan dalam satu inovasi terlihat dari pengetahuan, persuasi, atau suatu kepuasan untuk mengadopsi. Saluran –saluran komunikasi Komunikasi diartikan sebagai proses dimana partisipan menciptakan beberapa informasi dan menyebarkan informasi tersebut untuk mencapai suatu pengertian bersama. Difusi merupakan bentuk khusus dari komunikasi dimana informasi yang dipertukarkan menyangkut ide-ide baru. Inti dari difusi adalah pertukaran informasi dari satu individu ke individu lainnya, menyangkut : a. suatu inovasi, b. individu atau unit adopsi lain yang mengetahui atau berpengalaman menggunakan inovasi, c. individu lain atau unit lain yang belum menggunakan inovasi, d. saluran komunikasi yang menghubungkan kedua belah pihak. Saluran komunikasi merupakan alat dimana pesan dapat sampai dari individu ke individu lainnya. Sifat dari hubungan pertukaran informasi antar sepasang individu menentukan kondisi-kondisi di mana seorang sumber akan atau tidak akan menyampaikan inovasi ke penerima dan yang menentukan efek dari penyampaian tersebut. Prinsip yang mendasar dalam komunikasi adalah penyampaian ide terjadi antar dua individu yang memiliki kesamaan atau homofili. Homofili diartikan sebagai tingkat dimana pasangan individu yang berinteraksi adalah sama dalam atribut-atribut tertentu seperti keyakinan, pendidikan, status dan lainnya. Komunikasi akan berjalan efektif ketika dua individu homofilus. 32 Waktu Waktu merupakan elemen terpenting dalam proses difusi. Dimensi waktu dalam proses difusi terkait dalam aspek berikut : 1. dalam proses keputusan inovasi dimana seseorang sejak pertama kali mengetahui inovasi sehingga menerima atau menolaknya 2. dalam keinovatifan seorang individu maupun unit adopsi, yakni dalam hal kecepatan atau kelambatan relatif dalam mengadopsi suatu inovasi dibandingkan dengan anggota lain dari suatu sistem 3. dalam sistem (rate of adoption) suatu inovasi di lingkungan suatu sistem, biasanya diukur melalui jumlah anggota sistem yang mengadopsi inovasi dalam jangka waktu tertentu. Sistem sosial Sistem sosial didefinisikan sebagai seperangkat unit yang saling berhubungan dan tergabung dalam upaya bersama memecahkan masalah untuk mencapai cita-cita bersama. Anggota atau unit sistem dapat berupa individu, kelompok informal, organisasi atau unit. Penting untuk dicatat bahwa difusi terjadi di lingkungan suatu sistem karena struktur sosial dari sistem berpengaruh pada difusi melalui beberapa cara. Sistem sosial membentuk batasan di lingkungan dimana satu inovasi menyebar. Ketika pertama kali suatu inovasi disodorkan atau diperkenalkan kepada masyarakat, orang pada umunya memperhatikan hal-hal yang dapat membantu mempercepat proses penyebarannya. Dengan demikian inovasi tersebut perlu dikembangkan atau dimodifikasi agar dapat cepat diterima di masyarakat luas. Filgel dalam Muhadjir (2001) menyodorkan enam atribut untuk membuat keputusan mengadopsi suatu inovasi atau tidak yakni, biaya memadai, manfaat besar, efisiensi tinggi, resiko kecil, dan mudah dilaksanakan. Awal perubahan penyebaran perubahan Penyaringan perubahan privat atau publik menolak atau menerima Gambar 2 Tahap Penyebaran Inovasi (Rogers 1993) Legitimasi perubahan mengimbangi atau menguatkan 25 Penerimaan atau penolakan suatu inovasi adalah keputusan yang dibuat oleh seseorang. Jika ia menerima (mengadopsi inovasi), yaitu mulai menggunakan ide baru, praktek baru, atau barang baru itu dan menghentikan penggunaan ide-ide yang digantikan oleh inovasi itu. Keputusan inovasi adalah proses mental, sejak seseorang mengetahui adanya inovasi sampai mengambilnya keputusan untuk menerima atau menolaknya dan kemudian mengukuhkannya (Rogers 1993). Proses Keputusan Inovasi Di dalam pandangan tradisional mengenai proses keputusan inovasi, yang disebut proses adopsi dikemukakan oleh komisi-komisi ahli-ahli sosiologi pedesaan pada tahun 1955, proses ini terdiri dari lima tahap (Rogers dan Shoemaker 1981): 1. Tahap kesadaran, dimana seseorang mengetahui adanya ide-ide baru tetapi kekurangan informarmasi mengenai hal itu. 2. Tahap menaruh minat, dimana seseorang mulai menaruh minat terhadap inovasi dan mencari lebih lanjut informasi mengenai inovasi tersebut. 3. Tahap penilainan, dimana seseorang mengadakan penilaian terhadap ide baru itu dihubungkan dengan situasi dirinya saat ini dan masa mendatang dan menentukan mencobanya atau tidak. 4. Tahap percobaan, dimana seseorang menerapkan ide-ide baru itu dalam skala kecil untuk menentukan kegunaannya, apakah sesuai dengan situasi dirinya. 5. Tahap penerimaan, dimana seseorang menggunakan ide baru secara luas dan secara tetap. Rogers menyusun suatu model proses keputusan inovasi yang terdiri dari empat tahap, yaitu: a. Pengenalan, dimana seseorang mengetahui adanya inovasi dan memperoleh, beberapa pengertian tentang bagaimana inovasi itu berfungsi. b. Persuasi, dimana seseorang membentuk sikap berkenan atau tidak berkenan terhadap inovasi. c. Keputusan, dimana seseorang terlibat dalam kegiatan yang membawanya pada pemilihan untuk menerima atau menolak inovasi. d. Konfirmasi, dimana seseorang mencari penguat bagi keputusan. 32 Terus mengadopsi Variabel 1. Penerima(sikap terhadap perubahan), 2. Sifat-sifat sosial (kekosmopolitan) 3. Kebutuhan nyata terhadap inovasi 4. Dan sebagainya Adopsi Diskontinuiansi a. Ganti yang baru b. Kecewa Pengenalan Persuasi Keputusan Implementas Konfirmasi ii Sistem Sosial 1. Norma sosial, 2. Toleransi terhadap perubahan 3. Kesatuan komunikasi 4. Dan seterusnya Pengadopsian Terlambat Menolak Ciri-ciri inovasi dalam pengamatan penerima 1. Keuntungan telatif 2. Kompatibilitas 3. Kompleksitas 4. Trialabilitas 5. Observavilitas Tetap menolak Gambar 3 Proses keputusan inovasi (Rogers 1993) Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Praktek Usahatani Karakteristik Petani Sampson dalam Humaedah (2007), mengemukakan bahwa faktor internal individu merupakan ciri-ciri yang dimiliki oleh seseorang yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dengan lingkungannya. Karakteristik tersebut terbentuk oleh faktor-faktor biologis dan sosiopsikologis. Karaktersistik individu merupakan salah satu faktor penting untuk diketahui dalam rangka mengetahui perilaku suatu masyarakat. Puttileihalat (2007), dalam hasil penelitiannya mengungkapkan karakteristik individu yang mempengaruhi perilaku komunikasi antara lain: umur, tingkat pendidikan, luas lahan, pangalaman berusaha tani, status pekerjaan. a. Umur Umur menggambarkan pengalaman dalam diri seseorang sehingga terdapat perbedaan keragaman perilaku berdasarkan usia yang dimiliki. Petani- 27 petani yang berusia lebih tua tampaknya kurang cenderung melakukan difusi inovasi pertanian daripada mereka yang relatif muda. Petani yang berumur muda biasanya akan lebih bersemangat dibandingkan dengan petani yang lebih tua (Soekartawi 1988). b. Pendidikan Pendidikan merupakan suatu proses pembentukan watak seseorang sehingga memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku. Proses pembentukan watak terjadi karena adanya interaksi antara potensi yang dimiliki seseorang, lingkungan dan pendidikan/pengajaran (Yolanda 1998). Sukanto (2002) menyatakan bahwa pendidikan mengajarkan kepada individu aneka macam kemampuan, membuka fikiran ilmiah. Petani yang relatif lebih cepat dalam menerapkan hal-hal yang baru umumnya adalah petani yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi dari masyarakat sekitar, pandai dan pengetahuan luas. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang. Seseorang yang mempunyai tingkat pendidikan yang lebih tinggi umumnya lebih menyadari kebutuhan akan informasi, sehingga menggunakan lebih banyak jenis sumber informasi dan lebih terbuka terhadap media massa (Jahi, 1988). Rukka (2003), pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat adopsi petani akan suatu inovasi. Rendahnya kualitas sumber daya manusia akan menyebabkan rendahnya motivasi petani di dalam menerapkan suatu teknologi baru. Hasil penelitian Sadono (1999) mengatakan bahwa faktor internal yang berkorelasi nyata dengan tingkat penerapan pengendalian hama terpadu (PHT) adalah tingkat pendidikan dan persepsi petani terhadap PHT itu sendiri. c. Luas kepemilikan lahan Hernanto (1989) mengemukakan bahwa luas lahan usaha tani dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yakni lahan yang sempit dengan luas lahan kurang dari setengah hektar, lahan yang sedang dengan luas lahan setengah sampai dua hektar, dan lahan luas dengan luas lebih dari dua hektar. Sehubungan dengan Wiriaatmadja (1977) mengungkapkan bahwa petani-petani yang memiliki 32 tanah usaha yang luas akan memiliki sifat dan kegemaran untuk mencoba teknologi baru dan akan selalu berusaha sendiri mencari informasi yang dibutuhkan. d. Pengalaman berusaha tani Pengalaman merupakan interaksi yang dialami seseorang selama hidupnya dengan lingkungannya sehingga ia mendapatkan pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman tentang suatu kejadian. Semakin sesuainya pengalaman petani dengan suatu kejadian. Pengalaman seseorang petani secara tidak langsung berpengaruh terhadap proses pengambilan keputusan. Petani yang memiliki penagalaman berusaha tani lebih lama senderung lebih selektif di dalam proses pengambilan keputusan (Mardikanto 1992).