Strategi Pengembangan Agroindustri Halal Dalam

advertisement
19
II . TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Agroindustri
Agroindustri adalah industri yang mengolah komoditas pertanian primer
menjadi produk olahan, baik produk antara (intermediate product) maupun
produk akhir (finish product), termasuk di dalamnya adalah penanganan pasca
panen, industri pengolahan makanan dan minuman, industri biofarmaka, industri
bio-energi, industri pengolahan hasil ikutan (by-product) serta industri agrowisata
(Arifin, 2004). Di lain pihak, kegiatan agribisnis memiliki arti penting bagi
pengembangan agroindustri yakni kegiatan usaha yang meliputi salah satu atau
keseluruhan dari mata rantai produksi, pengolahan hasil dan pemasaran yang ada
hubungannya dengan pertanian dalam arti luas (yang menunjang kegiatan
pertanian dan kegiatan usaha yang ditunjang oleh kegiatan pertanian). Esensi
utama dari suatu sistem agribisnis sebagai keterkaitan seluruh komponen dan
subsistem agribinis yang terdiri atas (1) Sub Sistem Agribisnis Hulu, (2) Sub
Sistem Pengolahan Usaha Tani, (3) Sub Sistem Pengolahan, (4) Sub Sistem
Pemasaran serta (5) Sub Sistem Penunjang. Dengan elemen-elemen tersebut
bukan hal mudah untuk dapat memutuskan suatu strategi pengembangan yang
terintegrasi, apalagi dengan fakor eksternal yang sukar untuk dikendalikan
(Gumbira-Sa’id dan Intan, 2004).
Pada masa lalu, dengan orientasi pada peningkatan produksi, maka yang
menjadi motor penggerak sektor pertanian adalah usaha tani. Hasil usaha tani
menentukan perkembangan agribisnis hilir dan hulu. Hal di atas pada dasarnya
sesuai pada masa lalu, karena target pembangunan sektor pertanian masih
diorientasikan untuk mencapai tingkat produksi semaksimal mungkin. Saat ini,
dan di masa yang akan datang, orientasi sektor pertanian secara berangsur-angsur
berubah kepada orientasi pasar. Dengan berlangsungnya perubahan preferensi
konsumen yang makin menuntut atribut produk yang lebih rinci dan lengkap serta
adanya preferensi konsumen akan produk olahan, maka motor penggerak sektor
pertanian harus berubah dari usaha tani kepada agroindustri. Dalam hal ini, untuk
mengembangkan sektor pertanian yang modern dan berdaya saing, agroindustri
20
harus menjadi lokomotif dan sekaligus penentu kegiatan sub-sektor usaha tani dan
selanjutnya akan menentukan sub-sektor agribisnis hulu.
Paling sedikit terdapat lima alasan utama agroindustri penting untuk
menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi di masa depan yakni sebagai berikut
(Kementrian Pertanian, 2004):
a) Industri pengolahan mampu mentransformasikan keunggulan komparatif
menjadi keunggulan bersaing (kompetitif), yang pada akhirnya akan
memperkuat daya saing produk agribisnis.
b) Produknya memiliki nilai tambah dan pangsa pasar yang besar sehingga
kemajuan yang dicapai dapat mempengaruhi pertumbuhan perekonomian
nasional secara keseluruhan.
c) Memiliki keterkaitan yang besar baik ke hulu maupun ke hilir (forward and
backward linkages), sehingga mampu menarik kemajuan sektor-sektor
lainnya.
d) Memiliki basis bahan baku lokal (keunggulan komparatif) yang dapat
diperbaharui sehingga terjamin keberlanjutannya;
e) Memiliki kemampuan untuk mentransformasikan struktur ekonomi nasional
dari pertanian ke industri dengan agroindustri sebagai motor penggeraknya.
Permasalahan yang dihadapi di bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil
Pertanian yang sekaligus merupakan isu pokok dalam pembangunan pengolahan
dan pemasaran hasil pertanian adalah sebagai berikut (Deptan, 2004) :
a) Rendahnya daya saing produk pertanian, yang disebabkan oleh rendahnya
mutu dan tampilan produk; rendahnya tingkat efisiensi produksi dan
pemasaran; rendahnya akses pelaku usaha terhadap informasi; lemahnya
budaya pemasaran dan kewirausahaan pelaku; serta minimnya sarana dan
prasarana pengolahan, dan pemasaran hasil pertanian.
b) Kurangnya sumber daya manusia terdidik di bidang pertanian yang terjun
dalam praktek usaha pertanian profesional berskala menengah dan besar yang
dapat menghasilkan produk-produk pertanian dengan mutu dan harga yang
dapat bersaing di pasar global. Disamping itu, kebijakan makro yang
diterapkan saat ini masih belum kondusif bagi para pemilik modal dan
perbankan untuk menanamkan modalnya di bidang pengolahan hasil
21
pertanian, sehingga diperlukan upaya-upaya promosi investasi untuk menarik
minat para calon investor baik dari kalangan dalam negeri maupun luar negeri.
c) Rendahnya tingkat keberlanjutan usaha-usaha pengolahan dan pemasaran hasil
pertanian yang disebabkan oleh kecilnya skala usaha (tidak mencapai skala
ekonomi); pengembangan subsistem produksi yang tidak terkoordinasi dengan
subsistem pengolahan dan pemasaran; produksi belum berorientasi pasar;
pemanfaatan teknologi yang kurang ramah lingkungan dan belum adanya
sistem insentif penerapan teknologi ramah lingkungan; ketergantungan kepada
komponen impor untuk bahan baku maupun bahan penolong; perubahan tata
ruang wilayah; kurang profesionalnya sumberdaya manusia; serta masih
lemahnya kemitraan dan kelembagaan usaha.
d) Pembangunan pengolahan dan pemasaran hasil pertanian selama ini masih
belum mengakomodasi serta belum mendapat dukungan dan partisipasi penuh
dari masyarakat dan pemerintah daerah. Berbagai permasalahan perencanaan
lebih bersifat “top down” dan kebijakan pembangunan industri nasional
kurang memperhatikan atau tidak berbasis pada sumberdaya domestik.
e) Belum adanya kebijakan yang mengendalikan ekspor bahan mentah untuk
melindungi dan merangsang berkembangnya agroindustri di dalam negeri,
serta masih kuatnya budaya di masyarakat petani dan pengusaha untuk
menghasilkan produk primer saja. Disamping belum adanya kebijakan yang
mengendalikan ekspor bahan mentah, sehingga melindungi dan merangsang
berkembangnya ekspor produk olahan.
f) Mutu produk olahan khususnya usaha pengolahan berskala rumah tangga dan
usaha kecil masih belum memenuhi persyaratan yang ditetapkan pasar,
khususnya untuk memenuhi pasar internasional.
g) Sarana dan prasarana yang belum memadai, seperti belum berkembangnya
workshop yang dapat mengembangkan alat-alat pengolahan, serta masih
rendahnya penguasaan terhadap teknologi pengolahan untuk meningkatkan
diversifikasi produk dan pemanfaatan hasil ikutan.
h) Legalitas di bidang usaha pasca panen dan pengolahan yang masih lemah
sehingga sulit untuk dapat mengakses sumber dana permodalan.
22
Lemahnya perkembangan agroindustri dapat diindikasikan dengan
membanjirnya hasil pertanian dan hasil pengolahan pertanian impor yang
membanjiri pasar Indonesia. Berdasarkan data BPS (September 2010), nilai impor
Indonesia selama Januari– Juli 2010 mencapai USD 75,56 miliar yang terdiri atas
non migas mencapai USD 60,33 miliar (79,84 persen) dan impor migas mencapai
USD15,23 miliar (20,16 persen). Negara pemasok barang impor nonmigas
terbesar ke Indonesia ditempati oleh China, diikuti Jepang dan Singapura.
Komposisi impor yang diperinci menurut golongan penggunaan barang adalah:
barang konsumsi (7,40 persen), bahan baku penolong (72,90 persen), dan barang
modal (19,70 persen).
Tingginya komposisi impor bahan baku penolong dan barang modal
menunjukkan bahwa Indonesia harus segera mengurangi impor dengan
membangun investasi di dalam negeri. Melakukan impor di mana bahan dasar
tidak tersedia di dalam negeri adalah suatu keharusan, tetapi melakukan impor
saat bahan dasarnya melimpah menunjukkan bahwa Indonesia belum mampu
mentrasnformasikan kekayaan sumber daya alamnya. Hal tersebut menunjukkan
bahwa tingkat produksi masih kurang untuk dapat memenuhi kebutuhan didalam
negeri. Salah satu penyebab agroindustri di Indonesia tidak berkembang adalah
basis produksinya lemah dan kebijakan pemerintah tidak mendukung terjadinya
sinergi yang unggul antara keterkaitan saling menguntungkan antara sektor
pertanian dan agroindustrinya.
Kondisi di atas terjadi karena strategi pengembangan agroindustri nasional
belum terintegrasi. Dalam kebijakan pengembangan sektor pertanian dan
agroindustri, orientasi lebih ditujukan kepada pemenuhan komoditas tanpa
pertimbangan ekonomis yang diimbangi dengan perbaikan mutu, peningkatan
produktivitas, serta minimnya upaya penambahan nilai tambah pada komoditas
pertanian.
Pada dasarnya sektor agroindustri dapat dipandang sebagai suatu sistem
industri yang memiliki karakter dinamis. Hal ini yang menyebabkan timbulnya
permasalahan dalam perancangan suatu kebijakan karena hubungan antar
komponen penyusun suatu sistem industri seperti sektor pasar dan sektor ekonomi
memiliki karakter dinamis. Selain itu hal ini juga menyebabkan permasalahan
23
dalam perancangan suatu kebijakan karena hubungan antar komponen penyusun
suatu sistem industri seperti sektor pasar, sektor ekonomi, sektor tenaga kerja dan
sektor produksi selalu berubah dari waktu ke waktu.
Kondisi di atas menunjukkan bahwa perlu adanya suatu perangkat
perancangan kebijakan yang mampu diimplementasikan sebagai alat bantu untuk
mencapai pengembangan interaksi agroindustri dengan sektor pertanian di dalam
negeri secara terintegrasi. Terlebih lagi penggunaan teknologi maju, dampak dari
pelaksanaan otonomi daerah dan keseimbangan perkembangan antar daerah, yang
dapat memperkuat sektor pertanian menjadi isu yang sangat penting, dan
dilakukan dengan mempertimbangkan keseimbangan yang tepat antara sektor
pertanian dan sektor agroindustri Indonesia.
Pada kondisi saat ini, kebijakan dan strategi yang diterapkan pada industriindustri tersebut tidak terlalu responsif, terutama dengan keadaan keuangan dan
krisis ekonomi dan relatif seringnya perubahan kebijakan sejak tahun 1998 yang
tidak dapat diprediksi dan tidak stabil. Kebijakan-kebijakan tersebut perlu
direstruksturisasi dan distabilisasi agar industri domestik
mampu turut
berkembang dalam kompetisi internasional baik secara lokal ataupun di pasar
dunia. Hal ini termasuk kebijakan dalam hal-hal berikut (Arifin, 2004):
a) Melancarkan dan memberikan transparansi dalam bidang investasi;
b) Meningkatkan penggunaan dan pengadopsian inovasi dan teknologi
agroindustri yang modern melalui peningkatan penelitian dan pengembangan
dan pelatihan jasa-jasa pendukung lainnya;
c) Menguatkan usaha pengembangan institusional dan kapasitas teknik dan
manajemennya;
d) Pengembangan sumber daya manusia disertai dengan pembangunan
infrastruktur
agroindustri.
untuk
mendukung
pertumbuhan
dan
perluasan
klaster
24
2.2. Kecenderungan Pertambahan Penduduk Muslim
Islam merupakan agama dengan jumlah pemeluk kedua terbesar di dunia
setelah agama Kristen dan memiliki tingkat pertumbuhan yang sangat tinggi. Pada
tahun 2025, 30% penduduk dunia diperkirakan akan merupakan penduduk muslim
(CIA Online World Factbook, 2009). Pada tahun 2010, umat muslim sudah
mencapai 23,90 persen dari total penduduk dunia. Rasio penduduk muslim di
dunia diperlihatkan pada Tabel 4 berikut.
Tabel 4. Perkiraan Jumlah Populasi Muslim Dunia Tahun 2010
(Kettani, 2010)
Presentase
Total Populasi
Jumlah
Penduduk
Benua
Dunia
Penduduk
Muslim
(Jiwa)
Muslim (Jiwa)
(%)
Asia
4.184.149.728
27,44
1.148,173.347
Rasio
Muslim
(%)
69,38
Afrika
1.031.761.881
43,33
447.042.815
27,01
Eropa
734.602.633
6,74
49.545.462
2,99
Amerika
939.510.388
1,03
9.704.062
0,59
Oceania
35.799.477
1,33
475.708
0,03
6.925.824.107
23,90
1.654.941.394
100
Dunia
Dengan peningkatan penduduk muslim yang tinggi, pemenuhan kebutuhan
pangan halal juga semakin meningkat. Pada awalnya hampir semua negara dengan
penduduk muslim yang banyak, mencukupi kebutuhan pangan utamanya dari
dalam negeri atau diimpor dari negara-negara muslim lainnya. Setelah pasokan
pangan dalam negeri maupun impor dari negara-negara muslim tersebut tidak
mampu memenuhi seluruh kebutuhan pangan halal, maka impor pangan dan
produk-produk halal lainnya dari selain negara-negara
muslim di atas juga
meningkat. Pertumbuhan penduduk muslim yang cukup tinggi di luar negaranegara muslim utama ikut mendorong perkembangan produksi pangan halal
dunia.
25
Gambar 4. Sebaran Penduduk Muslim Dunia (World Factbook, 2009)
Akibat peningkatan jumlah penduduk Muslim dunia, beragam faktor
berkembang menjadi pendorong bisnis pangan halal dunia, seperti yang dijelaskan
sebagai berikut (Sulaiman, 2007):
a) Kepedulian pada konsumsi produk halal di kalangan masyarakat muslim
meningkat.
b) Daya beli masyarakat muslim meningkat seiring dengan peningkatan
pendapatan masyarakat muslim di banyak negara muslim dunia.
c) Terdapat peningkatan kebutuhan konsumsi pangan yang aman dan bermutu
tinggi pada masyarakat muslim maupun seluruh masyarakat dunia pada
umumnya.
d) Produk halal ternyata tidak hanya diterima oleh komunitas muslim global saja,
namun juga oleh kalangan non-muslim secara global.
e) Terminologi halal dianggap sebagai tanda mutu yang tinggi terhadap jaminan
keamanan dan kesehatan pangan.
f) Jaminan halal meningkatkan kepercayaan terhadap produk.
g) Liberalisasi pasar global berdampak pada penyediaan akses pasar pangan halal
yang lebih besar.
26
h) Harmonisasi peraturan dan panduan halal secara global akan meningkatkan
volume dan nilai perdagangan produk halal global.
i) Terdapat peningkatan kebutuhan untuk keragaman dan diferensiasi produk
yang tinggi pada pasar yang terdiferensiasi.
j) Terjadi peningkatan potensi pasar pada produk bermerek yang bermutu dan
bernilai tambah tinggi.
2.3. Tren Permintaan Produk Agroindustri Halal Global
Seiring dengan meningkatnya permintaan produk halal secara global,
sistem perdagangan bebas Internasional telah mengakomodasi halal dalam Codex
Alimentarius Commission (Codex), serta mendapat dukungan penuh organisasiorgansasi internasional berpengaruh seperti World Health Organization (WTO),
Food and Agriculture Organization (FAO), dan World Trade Organization
(WTO). Berikut lembaga-lembaga yang sering dikaitkan dengan isu standarisasi
dan sertifikasi halal internasional:
1) The International Organisation for Standardizations (ISO). Secara jelas dalam
aturannya, ISO tidak akan mengatur perkara yang berdasarkan aturan agama.
Dengan demikian halal tidak akan diatur dalam ISO.
2) Codex Alimentarius Commission (Codex); Memiliki panduan umum mengenai
penggunaan terminologi halal. Di dalam Codex, diakui adanya beberapa
perbedaan pendapat mengenai hewan yang dikategorikan halal dan dalam hal
proses pemotongan hewan berdasarkan mazhab yang ada. Untuk hal yang
demikian maka intepretasi yang tepatnya diserahkan pada pihak yang
berwenang pada negara pengekspor.
3) The World halal Council adalah asosiasi dari badan-badan sertifikasi halal
dunia yang didominasi oleh negara-negara pengekspor makanan dan negaranegara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI).
4) Committee for Economic and Commercial Cooperation (COMCEC).
Lembaga yang mengembangkan standar halal negara-negara anggota
Organisasi Konferensi Islam, namun tidak melibatkan negara-negara produsen
utama halal dari negara-negara non-OKI.
27
Dalam perkembangannya, instrumen standarisasi halal yang bersifat global
dan lokal menjadi instrumen penting untuk memperkuat daya saing produk
domestik negara-negara produsen agar dapat memasuki pasar internasional,
terutama untuk dapat masuk ke negara-negara dengan penduduk Muslim yang
besar, terutama Indonesia.
2.4. Strategi dan Perencanaan Startegi
2.4.1. Pengembangan Strategi
Menerapkan teori dan konsep dari kekuatan daya saing, struktur, dan
strategi yang matang, dalam penelitian ini diusulkan konsep strategi antisipasi
perkembangan bisnis halal global agar kebijakan agroindustri produk halal
berorientasi pada aspek strategi rantai pasokan, struktur perusahaan, dan integrasi
sistem jaminan halal akan menyasar pada perusahaan produsen halal, dan dalam
upaya untuk posisi Indonesia agar mampu bersaing dalam bisnis halal global.
Proses manajemen strategi yang dikembangkan meliputi empat elemen
dasar, yaitu (1) pengamatan lingkungan (eksternal dan internal), (2) perumusan
strategi, (3) implementasi strategi, (3) implementasi strategi, (4) evaluasi dan
pengendalian (Weelen dan Hunger, 1996; Jauch dan Glueck, 1997). Variabel
lingkungan eksternal terdiri atas lingkungan sosial dan lingkungan tugas,
sedangkan variabel lingkungan internal terdiri atas struktur, budaya dan
sumberdaya perusahaan. Kedua variabel tersebut memiliki hubungan dengan
strategi perusahaan dalam meningkatkan kinerjanya.
Variabel lingkungan eksternal terdiri dari variabel-variabel di luar
organisasi dan tidak secara khusus ada dalam pengendalian jangka pendek dari
manajemen puncak (Gupta dan Govindarajan, 1999; Wheelen dan Hunger, 1996;
Jauck dan Glueck, 1997).
Menurut Wheelen dan Hunger (1996), lingkungan ekternal terdiri atas dua
bagian, yaitu lingkungan sosial dan lingkungan kerja. Lingkungan sosial
merupakan kekuatan umum yang secara tidak langsung berhubungan dengan
aktivitas-aktivitas organisasi jangka pendek tetapi dapat dan sering kali dapat
mempengaruhi keputusan jangka panjang, yaitu kekuatan ekonomi, kekuatan
28
teknologi, kekuatan hukum-politik, kekuatan sosio-kultural. Kekuatan hukumpolitik dan sosio-kultural merupakan kekuatan yang bersifat sensitif sehingga
tidak termasuk dalam kapasitas pengkajian penelitian.
Lingkungan kerja meliputi elemen-elemen atau kelompok-kelompok yang
berpengaruh kepada perusahaan dan pada gilirannya akan dipengaruhi oleh
pemerintah, komunitas lokal, pemasok, pesaing, pelanggan, kreditur, tenaga kerja,
serikat buruh, kelompok kepentingan khusus, dan asosiasi perdagangan. Variabelvariabel dari lingkungan internal meliputi struktur budaya, dan sumberdaya
organisasi. Struktur adalah cara bagaimana sumber daya diorganisasikan
berkenaan dengan dengan komunikasi, wewenang, dan arus kerja. Budaya adalah
pola keyakinan, pengharapan dan nilai-nilai yang dibagikan oleh anggota
organisasi. Sumberdaya adalah aset yang merupakan bahan baku bagi produksi
barang dan jasa organisasi, meliputi keahlian, kemampuan dan bakat manajerial.
Pada tahap perencanaan strategi akan dijabarkan strategi pilihan untuk
mewujudkan visi dan misi organisasi ke dalam sasaran-sasaran strategis, dengan
disasarkan pada hasil pengamatan terhadap lingkungan eksternal maupun internal,
karena perumusan strategi yang dimulai dengan analisis lingkungan tidak dapat
dipisahkan dari proses perencanaan preategi perusahaan atau pada unit bisnis
(Wheelen dan Hunger, 1996; Jauch dan Glueck, 1997)
Strategi merupakan alat penting dalam rangka mencapai keunggulan
bersaing. Strategi juga merupakan suatu rencana yang disatukan, menyeluruh, dan
terpadu, untuk menjamin tujuan bisnis (Wheelen dan Hunger, 1996; Jauch dan
Glueck, 1997). Keberhasilan organisasi (kinerja organisasi) dapat dicapai apabila
kombinasi perencanaan strategi yang baik dengan pelaksanaan strategi yang baik
pula. Dengan hal tersebut, pengetahuan mengenai manajemen strategi yang
berkaitan dengan kinerja usaha dibutuhkan dalam rangka optimalisasi sumberdaya
untuk mencapai kinerja bisnis yang efektif dalam lingkungan yang berubah bisnis
(Wheelen dan Hunger, 1996; Jauch dan Glueck, 1997), karena lingkungan
(eksternal) merupakan faktor kontekstual penting yang mempunyai pengaruh
terhadap kinerja perusahaan (Hamel dan Prahalad, 1990; Child, 1997). Untuk
menjaga kesiapan agroindustri halal Indonesia dalam menghadapi perubahan
lingkungan eksternal yang bersifat makro, perlu dilakukan deteksi dini tehadap
29
level kinerja agroindustri halal pada berbagai kondisi lingkungan ekternal yang
dilakukan dengan menggunakan prisip manajemen strategi berbasis sumber daya.
Penjaminan terhadap pencapaian kinerja yang baik membutuhkan suatu
proses evaluasi kinerja. Menurut Kaplan dan Norton (1996) evaluasi terhadap
kinerja dapat diawali dengan melakukan pengukuran kinerja yang didasarkan pada
empat perspektif, yaitu keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, serta
pertumbuhan pembelajaran. Tahapan selanjutnya dari proses evaluasi kinerja
adalah tahap perbaikan (improvement). Menurut Cohen (1995) dan Dale (1995),
untuk memastikan bahwa kebutuhan dan keinginan stakeholder dapat terpenuhi
dalam proses perbaikan kinerja, maka dibutuhkan proses perbaikan yang berfokus
pada stakeholder dan bermula dari suara stakeholder tersebut. Berdasarkan uraian
terdahulu, kesesuaian antara lingkungan dan rencana strategik akan berpengaruh
terhadap perspektif kinerja perusahaan dan proses pengukuran serta perbaikan
yang tepat diharapkan dapat menjadi dasar evaluasi kinerja yang optimum.
2.4.2. Strategi dan Kebijakan
Strategi menurut Norton (2004), secara sederhana berarti rencana atau
kegiatan yang dilakukan dalam upaya membantu organisasi mencapai tujuan dan
sasaran yang disebut sebagai intended strategy. Strategi yang berkaitan dengan
kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai sasaran yang diinginkan, disebut
sebagai realized strategy. Strategi pengembangan produk agroindustri halal,
dimaksudkan sebagai kegiatan untuk memperoleh pola atau formula dan tahapan
pelaksanaan untuk pengembangan agroindustri halal.
Terdapat banyak definisi mengenai analisis kebijakan. Menurut Weimer
dan Vining (1991), analisis kebijakan adalah “suatu anjuran (advice) yang
berorientasi pada klien dan berkaitan dengan keputusan publik”. Definisi lain
yang dikutip dalam tulisan kedua penulis tersebut, misalnya adalah “suatu cara
untuk menggabungkan informasi, termasuk berbagai hasil penelitian kedalam
suatu format yang sesuai dengan keputusan kebijakan (analisis kebijakan akan
memaparkan pilihan-pilihan kebijakan), serta menentukan informasi yang
dibutuhkan dimasa depan untuk membuat kebijakan. Analisis kebijakan
30
merupakan suatu disiplin ilmu sosial yang menggunakan berbagai metode
penelitian dan argumentasi untuk menghasilkan dan mentransformasikan
informasi yang terkait dengan kebijakan yang dapat digunakan dalam suatu
lingkungan politik untuk menyelesaikan masalah kebijakan (Weimer, 1989). Di
lain pihak menurut Pal (1997) kebijakan adalah serangkaian tindakan (action) atau
diamnya (inaction) otoritas publik (pemerintah) untuk memecahkan masalah.
Menurut Lowi (1972) semua jenis kebijakan dapat diartikan sebagai
pemaksaan yang dilakukan dengan hati-hati, oleh karena kebijakan tersebut
melibatkan perumusan maksud (purpose), sarana (means), pelaku dan objek
pemaksaan. Salah satu yang paling menarik tentang kebijakan adalah bagaimana
kebijakan tersebut dibuat atau dirumuskan. Dapat disimpulkan bahwa tujuan
utama dalam kebijakan adalah menganalisa dan menyajikan alternatif yang
tersedia, melalui sintesa riset dan teori-teori yang ada, dalam menyelesaikan
masalah publik.
Strategi dan kebijakan tersebut merupakan bagian dari kebijakan industri
dan kebijakan ekonomi karena secara langsung kegiatan agroindustri halal akan
meningkatkan nilai tambah produk pertanian, sedangkan kebijakan industri dan
ekonomi adalah bagian dari kebijakan. Pengembangan kebijakan pada dasarnya
harus berkaitan dengan perkembangan manusia (human development), dengan
tujuan yang spesifik terutama pada bidang pertanian publik berkaitan dengan
“apa” yang harus dikerjakan oleh pemerintah. Menurut Norton (2004) kebijakan
adalah suatu daftar tujuan (cita-cita) yang memiliki urutan prioritas dan
pernyataan umum tentang maksud dan tujuan.
2.4.3. Manajemen Strategi dalam Peningkatan Kinerja
Menurut
Blocher et al. (1999), manajemen strategi merupakan
pembangunan suatu posisi kompetitif yang berkelanjutan sehuingga menciptakan
keberhasilan bersaing yang terus menerus. Selain itu Pearce dan Robinson (1997),
mendefinisikan manajemen strategi sebagai sekumpulan keputusan dan kegiatan
dalam memformulasikan dan mengimplementasikan rencana yang dirancang
dalam mencapai tujuan perusahaan. Manajemen strategi biasanya dihubungkan
dengan pendekatan manajemen uang integratif yang mengedepankan secara
31
bersama-sama
seluruh
elemen,
seperti
perencanaan,
pelaksanaan,
dan
pengendalian sebuah strategi bisnis (Ward, 1996).
Tujuan utama dari manajemen strategi adalah untuk mengidentifikasi
mengapa dalam persaingan beberapa perusahaan dapat berlangsung sukses,
sedangkan sebagian lainnya mengalami kegagalan. Komponen utama proses
manajemen strategi menutur Yuwono et al. (2004), meliputi hal-hal berikut:
a) Misi dan tujuan utama organisasi
b) Analisis lingkungan internal dan eksternak organisasi
c) Pilihan strategi yang selaras dan sesuai antara kekuatan dan kelemahan
perusahaan dengan peluang dan ancaman eksternal.
d) Pengadopsian
struktur
organisasi
dan
sistem
pengendalian
untuk
mengimplementasikan strategi organisasi yang dipilih.
Menurut Kaplan dan Norton (1996), terdapat enam hambatan dalam
mengimplementasikan strategi, yaitu (1) hambatan visi (2) hambatan sumber
daya manusia, (3) hambatan operasi, dan (4) hambatan pembelajaran. Masingmasing hambatan tersebut dapat ditanggulangi dengan penerapan komponenkomponen manajemen strategi, yaitu memformulasikan dan mentransformasikan
visi dan strategi, mengkomunikasikan dan menghubungkan tujuan-tujuan dan
tolok ukur strategi, menyusun dan melaksanakan target-target serta menyelaraskan
insiatif-inisiatif strategis, dan mempertinggi umpan balik dan pembelajaran
strategis.
Dalam perspektif manajemen strategi, lingkungan merupakan faktor
konstekstual penting yang memiliki dampak terhadap kinerja perusahaan (Child,
1997). Konsep manajemen modern menunjukkan bahwa badan usaha yang
melakukan suatu kegiatan ekonomi tidaklah berdiri sendiri, melainkan berada
dalam lingkungan bisnis yang saling berpengaruh. Pada umumnya perusahaan
berada di tengah lingkungan bisnis yang terdiri atas pemerintah, masyarakat
sosial, pelanggan, pemasok, karyawan, dan industri sejenis yang merupakan
pesaing.
32
Strategi diperlukan agar mampu mewujudkan suatu hasil yang sesuai
dengan visi, misi, dan sasaran yang telah dibuat. Kemampuan organisasi
menempatkan posisinya dalam lingkungan dengan memperhitungkan dan
mengevaluasi dirinya dari faktor-faktor lingkungan yang saling berpengaruh dan
mempengaruhi, akan sangat menentukan keberhasilan.
Langkah memperhitungkan dan mengevaluasi kondisi dirinya dan faktor
llingkungan yang berpengaruh dan saling mempengaruhi dakam proses
pengambilan keputusan untuk suatu rencana tidakan ataupun kebijakan dalam
mengelola organisasi adalah suatu bentuk manajemen strategis. Perusahaan
mengembangakan strateginya dengan melakukan penyesuaian antara kemampuan
intinya dengan peluang industri yang ada. Gambar 5 dan Gambar 6 berikut
memperlihatkan perumusan strategi sebagai suatu proses evaluasi kekuatan dan
kelemahan yang ada dalam perusahaan yang dilakukan oleh eksekutif senior serta
melihat kesempatan dan ancaman saat ini (Anthony dan Govindajaran, 2002).
Menurut Wheelen dan Hunger (1992), lingkungan yang ahrus diamati perusahaan
terdiri dari (1) lingkungan yang ada di dalam perusahaan (internal environmental)
yang terdiri dari struktur, budaya, dan sumbera daya, (2) lingkungan yang berada
di luar perusahaan (external environmental) yang terdiri dari lingkungan sosial
dan lingkungan tugas (Gambar 5)
Analisis Internal
Analisis Lingkungan
§
§
§
§
§
§
§
§
§
§
Pesaing
Pelanggan
Suplier
Peraturan
Sosial Politik
Penguasaan Teknologi
Penguasaan Manufakturing
Penguasaan Pemasaran
Penguasaan Distribusi
Penguasaan Logistik
Peluang dan Ancaman
Peluang dan Ancaman
Identifikasi Kesempatan
Identifikasi Kesempatan
Sesuaikan Kompetensi Internal
dengan Peluang Eksternal
Strategi Perusahaan
Gambar 5. Tahap Perumusan Strategi (Anthony dan Govindajaran, 2002)
Pengamatan Terhadap
Lingkungan
Eksternal
Misi
Lingkungan Sosial
Kekeuatan-kekuatan
Umum
Alasan
Keberadaan
Lingkungan Tugas
Analisis Industri
Internal
Implementasi Strategi
Formulasi Strategi
Tujuan
Hasil yang
ingin dicapai
dan kapan
Strategi
Rencana
untuk
mencapai
tujuan dan
misi
Kebijakan
Proses untuk
memonitor
kinerja dan
mengambil
langkah
koreksi
Garis besar
pembuatan
keputusan
Struktur
Rantai Tugas
Program
Budaya
Harapan, Kepercayaan,
Nilai-nilai
Aktivitas
yang
dibutuhkan
untuk
mencapai
suatu tujuan
Sumber Daya
Aset, Kemampuan,
Kompetensi,
Pengetahuan
Evaluasi dan
Pengendalian
Pembiayaan
Biaya
Program
Prosedur
Tahapan
Kagiatan
Kinerja
Hasil
Aktual
Gambar 6. Proses Manajemen Strategi (Wheelen dan Hunger, 1992)
33
34
2.4.4. Elemen-elemen Kunci dalam Proses Pembuatan Kebijakan
Menurut Norton (2004) sebuah strategi memerlukan suatu visi dari sektor
terpilih dengan keadaan yang diinginkan pada masa depan dan dijabarkan oleh
sebuah road map yang menunjukkan bagaimana cara pencapaiannya. Titik awal
harus dijelaskan secara jelas dimulai dari situasi saat ini dengan didasarkan atas
kondisi yang melatarbelakanginya dan perkiraan yang ingin dicapai pada masa
depan.
Sebuah strategi harus realistis, namun visinya di masa depan harus
menggambarkan arah yang akan dituju berdasarkan kekuatan dan kesempatan
yang dimiliki. Selain itu, strategi juga merepresentasikan sebuah komitemen dari
pihak pemerintah serta pihak-pihak yang berwenang untuk membawa perubahan
yang diinginkan. Untuk mengetahui arah perubahan yang diinginkan maka perludi
diketahui keunggulan komparatif yang dimiliki (Norton, 2004).
Untuk mengembangkan stretegi perlu mensinergikan antara manajemen
operasi dengan manajemen strategis, hal ini dilakukan agar strategi yang
dilakukan dapat berkelanjutan sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Terdapat
beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melaksanakan strategi ini, antara lain
kondisi aktual yang harus dipahami dan membandingkannya dengan visi masa
depan yang kemudian diterjemahkan menjadi tujuan. Kesenjangan yang tercipta
antara tujuan dan kondisi nyata kemudian diisi dengan formulasi strategi yang
dilakukan dengan pelaksanaannya di dunia nyata dan diawasi dengan strategi
kontrol dan evaluasi. Pembuatan visi dan strategi tersebut diilustrasikan pada
Gambar 7 berikut:
35
Manajemen Operasi
Keadaan
Aktual
Tujuan
(Goal)
Kensenjangan
Aksi
Implementasi
Strategi
Kontrol Strategi
dan Evaluasi
Penerjemaahan Visi
dan Komunikasi
Strategi
Visi
Formulasi Strategi
Manajemen Stategik
Gambar 7. Manajemen Strategik dan Manajemen Operasi Dalam Penetapan Visi
Dan Strategi Untuk Mencapai Tujuan (Tasrif, 2009)
Rekomendasi kebijakan berupaya untuk menjelaskan dalam garis besar
mengenai apa yang sebaiknya dilakukan untuk mengatasi masalah atau bagimana
mewujudkan peluang yang ada. Secara ideal, usulan kebijakan meliputi dua hal
yaitu: (1) suatu daftar tujuan-tujuan utama (goals) berdasarkan proritas, dan (2)
alternatif-alternatif untuk mencapai tujuan tersebut. Strategi yang mendukung
kebijakan melibatkan berbagai pihak seperti, institusi terkait, hukum, pasar serta
dukungan sumber daya Kebijakan yang berdasarkan pertanian memiliki tiga
elemen utama dalam taksonominya, yaitu kebijakan harga, kebijakan sumber daya
dan kebijakan akses. Elemen-elemen dari taksonomi kebijakan pertanian
ditunjukkan pada Gambar 8 (Norton, 2004).
36
Gambar 8. Taksonomi Kebijakan Pertanian (Norton, 2004).
2.4.5. Prinsip Pengembangan Kebijakan Berbasis Pertanian
Penyebab kegagalan kebijakan bukan hanya hambatan teknis, tetapi juga
konflik mengenai apa yang akan dituju. Agar kebijakan dapat berhasil dijalankan
harus dikenali konflik mengenai apa yang akan dituju, serta prinsip prinsip dalam
mengembangkan suatu kebijakan. Prinsip-prinsip keberlanjutan yang harus
dipegang dalam pengembangan kebijakan dalam pengembangan pertanian
diterangkan dalam Gambar 9 (Norton, 2004):
. Prinsip Dasar Keberlanjutan Kebijakan
Pertanian
Ekonomi
Lingkungan
Politik
Sosial
Fiskal
Gambar 9. Prinsip Dasar Keberlanjutan Kebijakan Pertanian (Norton,2004)
Kebijakan yang diambil didasarkan atas lima prinsip dasar keberlajutan
agar kebijakan dapat dijalankan dalam waktu lama. Keberlanjutan secara ekonomi
berarti strategi yang diterapkan harus memberikan keutungan ekonomi bagi
masyarakat. Keberlanjutan secara sosial menyangkut strategi yang diambil juga
memperhatikan pengembangan masyarakat pada level bawah. Kebijakan yang
memiliki visi yang jauh ke depan perlu dilindungi dengan kebijakan fiskal yang
konsisten dengan institusi yang handal serta dilakukan dengan memperhatikan
kelestarian lingkungan (Norton, 2004)
37
2.4.6. Hubungan antara Pembuatan Kebijakan dengan Analisis Kebijakan
Analisis kebijakan tidak dapat dimengerti sepenuhnya tanpa pemahaman
tentang proses pembuatan kebijakan. Analisis kebijakan mencoba memberikan
informasi mengenai konsekuensi-konsekuensi dari suatu tindakan (action) yang
diusulkan. Gambar 10 berikut menunjukkan kerangka atau model tentang
hubungan antara pembuatan kebijakan dengan analisis kebijakan menurut Norton
(2004).
Indentifikasi
Masalah
DIAGNOSIS.
Apa yang menjadi
masalah?
PROGNOSIS.
Apa yang akan
terjadi jika kita
tidak melakukan
apapun?
Perumusan SubTujuan
Pada dasarnya
Tujuan utama suatu
kebijakan adalah
human development
yang dilanjutkan
merumuskan subtujuan pada setiap
pemecahan
permasalahan yang
mengerucut pada
pemecahan masalah
secara keseluruhan
Formulasi
Usulan Kebijakan
PEMIKIRAN STRATEGIK
Apa rencana untuk mengatasi
masalah?
Apa yang seharusnya menjadi
sasaran, tujuan dan prioritas?
PILIHAN.
Cara spesifik apa yang tersedia untuk
mencapai tujuan tersebut?
MENAKSIR DAMPAK.
Mana yang dipilih atau keduaduanya merupakan keuntungan yang
sebesar-besarnya atau
meminimumkan dampak yang
buruk?
Gambar 10. Elemen-Elemen Pembuatan Kebijakan (Norton, 2004).
Analisis pada tahap formulasi kebijakan meliputi: 1) Identifikasi
kebutuhan yang akan diwujudkan, 2) Identifikasi sumber-sumber penyebab
masalah, dan 3) Mengkaji bagaimana kelompok-kelompok populasi tertentu akan
dipengaruhi. Masalahnya adalah perbedaan substansial antara apa yang ada dan
apa yang seharusnya. Tujuan utama dalam analisis kebijakan adalah menganalisa
dan menyajikan alternatif yang tersedia melalui sintesa, riset, dan teori-teori yang
ada dalam menyelesaikan masalah. Tujuan kebijakan yang berpijak pada
pertanian menurut Norton (2004) adalah mendukung pengembangan manusia
(human develompment), tujuan spesifiknya adalah untuk memastikan pemenuhan
nutrisi dan kebutuhan dasar lainnya, dan memberikan kontribusi terhadap
kepuasan masyarakat terhadap pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut.
38
Dalam penelitian ini kebijakan juga
melingkupi intervensi atau
keterlibatan pemerintah dalam mengendalikan produksi dan kebutuhan konsumsi
masyarakat secara efisien. Selama ini, pemerintah melakukan intervensi antara
lain dengan cara membuat peraturan, memberikan subsidi, turut terlibat dalam
produksi, memberikan bantuan atau menjadi perantara (melakukan intermediasi)
yang memberikan dampak signifikan pada pengembangan industri, seperti halnya
Pemerintah
model yang dikembangkan oleh Deperindag pada tahun 2001 (Gambar 11.).
Eksternal / Makroekonomik
Fundamemntal / Kebijakan / Peraturan
Keselamatan lingkungan yang
berkelanjutan
Swasta
Persediaan Input-input:
- Permesinan / peralatan
- Pupuk / pestisida
- Benih / material pembibitan
Pemerintah
Downstream Industries
(Aktivas yang memberikan nilai
tambah)
Pemrosesan lanjutan.
pengepakan, handling,
pergudangan, distribusi,
pemasaran
Sektor / Klaster Inti Agro-industri
(Berdasarkan letak Geografis)
Produksi Utama
Assembly,Peningkatan,
Pemrosesan utama
Penggolongan. pengepakan &
manajemen kualitas
Upstream Industries
(Mempertinggi produktivitas)
Infrastruktur dan Jasa Pendukung Lainnya yang Berhubungan
Teknologi
Fasilitas
Investasi
Penambahan
dan Jasa
Pelatihan
Infrastruktiur
Sosial
Pengembangan
SDM
R&D
Infrastruktur
Fisik
Gambar 11. Kerangka Model Analisis Klaster Berbasis Pertanian
(Deperindag, 2001)
Pendekatan ekonomi dalam kebijakan didasarkan pada konsep persaingan
sempurna
yang
berpandangan
bahwa
produsen
(yang
memaksimalkan
keuntungan) dan konsumen (yang bertujuan memaksimumkan utilitasnya)
berinteraksi sedemikian rupa hingga menciptakan suatu pola produksi dan
konsumsi (atau alokasi barang dan sumber daya) yang paling efisien di dalam
perekonomian. Pola alokasi yang paling efisien di atas (dikenal sebagai “efisien
pareto”) merupakan pola yang memaksimumkan tingkat kesejahteraan masyarakat
secara keseluruhan.
Akan tetapi di didalam perekonomian yang sesungguhnya asumsi-asumsi
dasar dalam ekonomi pasar persaingan sempurna umumnya tidak terpenuhi,
sehingga pasar tidak mampu menciptakan pola alokasi yang paling efisien.
39
Kegagalan pasar (market failure) sering dijadikan sebagai alasan untuk
melibatkan pemerintah dalam mengendalikan produksi dan konsumsi masyarakat,
dengan kata lain kebijakan dianggap perlu untuk mengatasi kegagalan pasar.
Kegagalan pasar
yang sering digunakan sebagai alasan perlunya intervensi
pemerintah (Belly, 1977) adalah: (a) kompetisi tidak berlangsung sempurna (ada
pelaku ekonomi yang memiliki kekuatan monopoli), (b) produsen memindahkan
biaya atau memberi
manfaat
membayar ongkos atau menagih
kepada produsen lain atau konsumen tanpa
pembayaran atas manfaat tersebut (terjadi
eksternalitas), (c) barang yang dihasilkan merupakan barang publik yang kepada
penggunanya tidak dikenakan biaya, (d) pasar bersifat tidak lengkap (pasar tidak
berlangsung terus-menerus di masa depan dan tidak mencakup semua resiko yang
mungkin), dan (e) informasi tidak tersedia secara lengkap dan sempurna.
2.4.7. Fasilitas Pengembangan Agroindustri
Fasilitas dan jasa pelayanan yang lebih banyak lagi diperlukan untuk
memacu perkembangan agribisnis. Fasilitas-fasilitas tersebut harus tersedia dan
terjangkau oleh para stakeholders. Kebutuhan akan fasilitas-fasilitas tersebut
dapat dikategorikan sebagai berikut (Deperindag, 2004):
a) Pelayanan para ahli, termasuk jasa pelayanan profesional (persiapan,
konstruksi, keteknikan), jasa konsultan (operasi, evaluasi dan penyesuaian),
dan
jasa pendukung
manajerial (entrepreneurial,
konsultasi
hukum,
pemasaran).
b) Organisasi khusus bisnis pertanian (kelompok tani, asosiasi, koperasi,
kerjasama kelompok atau bisnis, perusahaan).
c) Jasa keuangan (bank, asuransi, kredit mikro, kerjasama modal).
d) Teknologi (produksi, panen dan pasca panen, pemrosesan, ditribusi,
pemasaran).
e) Pengembangan sumber daya manusia, tenaga kerja terlatih (ahli mesin
pertanian, keuangan, akunting, pemasaran, promosi, hukum).
f) Infrastruktur, jalan, kelistrikan, transportasi, pergudangan, unit pemrosesan,
pengepakan.
Hal-hal tersebut dijelaskan pada Gambar 12 berikut.
40
FONDASI EKONOMI
Teknologi dan
kemampuan R&D
- teknologi asli lokal/
asal
- Sumber Global
- Proses dan Sistem
Informasi
Industri-industri pendukung ( Penyedia Teknologi, Permesinan dan Barang-barang Material
Kluster Indistri Berbasiskan
Sistem Suplai PertanianSistem Pelayanan dan
Sistem suplai input
material bahan mentah
utama
Sistem Suplai
Pemrosesan Utama
Pemrosesan Sekunder/
Tersier
Input Peralatan dan
Permesinan
SISTEM INDUSTRI UTAMA
Kekuatan Sumber
Daya Alam
- Sumber Daya Tanah/
Lahan
- Sumber Daya Air
- Iklim/Cuaca
- Lingkungan
Infrastruktur Fisik
- Energi
- Transportasi
- Komunikasi
Nilai
Tambah
Sumber Daya
Manusia
- Kualitas
- Kuantitas
- Ketersediaan dan
Responsivitas
Per
Pekerja
Lingkungan Bisnis
dan Pelayanan
Pendukung
- Sumber Modal
- Keuangan
- Insentif
- Investasi
- Perbankan
- Jaminan
PASAR
EKSPOR
PASAR
DOMESTIK
Produktivit
as
Per Unit
R&D
Farm
Produksi
Pasca Panen Production
Distribusi Penjualan & R&D
Farm
Farm
Produksi
Distribusi Sales & R&D Produksi
Distribusi Penjualan &
Logistik Marketing
Pasca Panen Production Logistik Marketing
Pasca Panen Production Logistik Marketing
Aktivitas Rantai Nilai
Tambah
Bahan Mentah
Layanan R&D
- Produksi
- Pemrosesan
- Pasca Panen - Keamanan Produk
- Produk
- Sistem kualitas
Aktivitas Rantai Nilai
Tambah
Primer
- Perbaikan & Pemeliharan Mesin
- Pendukung Bisnis penting lain
- Akunting
- Manajemen proyek
- Jasa Konsultan
Aktivitas Rantai Nilai
Tambah
Sekunder
- Transportasi dan
Jasa Komunikasi
Jasa Ekspor
- Broker
- Forwarding
- Jasa Pelabuhan
Industri-industri dan jasa yang saling terkait dan berhubungan
Gambar 12. Klaster Industri berbasis pertanian (Deperindag, 2004)
41
Kebijakan industri merupakan intervensi pemerintah secara sengaja dan
terkoordinasi untuk mengembangkan industri. Melalui kebijakan industri
pemerintah mengatur alokasi sumberdaya diantara industri-industri atau
mempengaruhi level aktivitas perusahaan-perusahaan di dalam suatu industri,
pemerintah
mendorong
peningkatan
produksi,
investasi,
penelitian
dan
pengembangan, modernisasi atau restrukturisasi di jenis-jenis industri tertentu,
dan mendorong penurunannya di industri lain (Norton, 2004).
Tujuan utama kebijakan industri di negara sedang berkembang pada
prinsipnya adalah untuk pertumbuhan, pembangunan dan modernisasi ekonomi
nasional (Norton, 2004). Kebijakan yang dilakukan
berkaitan dengan
pemaksimalan kesejahteraan masyarakat dengan cara pembuatan kebijakan.
Tujuan utama tersebut diwakili oleh sejumlah tujuan yang tidak selalu saling
kompatibel,
misalnya,
industrialisasi
(mempercepat
transformasi
dari
perekonomian berbasis pertanian ke perekonomian berbasis industri, pendalaman
struktur industri, substitusi impor), pengembangan teknologi, orientasi ekspor,
penciptaan lapangan kerja, pengembangan industri kecil menengah dan
desentralisasi spasial.
Dalam penyusunan kebijakan industri, tujuan-tujuan di atas adalah sebagai
proksi bagi tujuan utama yang lebih luas yaitu efisiensi dan pertumbuhan.
Instrumen yang digunakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan kebijakan
industri adalah kebijakan makro ekonomi, kebijakan perdagangan, kebijakan
sektor finansial, kebijakan pasar tenaga kerja, kebijakan pajak, sistem insentif bagi
investasi industri, peraturan perijinan industri, peraturan kepemilikan dan
investasi pemerintah serta kebijakan penyediaan infrastruktur. Peranan program
pengembanan pertanian dalam pengembangan ekonomi nasional diperlihatkan
pada Gambar 13.
42
Nutrisi dan material
lain yang dibutuhkan
di area pedesaan
Kekuatan daya beli
dari daerah
pedesaan
Harga Komoditas
Pertanian di
Pedesaan
Nutrisi dan meterial
lain yang dibutuhkan
di area perkotaan
Program-Program
Bantuan
Pendampingan
Program Pangan
yang ditargetkan
Efek berganda dari
Permintaan
Konsumen
Lapangan Kerja dan
Pendapatan Petani
Produksi Pertanian
(nilai nyata)
Produksi nonpertanian,
pendapatan dan
lapangan pekerjaan
Buruh, modal,
kebijakan industri
dan faktor lain
Nilai tukar mata
uang asing dan
impor
Ekspor Pertanian
Investasi
Kebijakan
perdagangan, nilai
tukar, kebijakan
dan perundangundangan
Program-program
manajemen
sumberdaya dan
kebijakan
Akses terhadap
teknologi dan
pasar
Keterangan
Tujuan langsung
program-program pertanian
Tujuan tidak langsung programprogram pertanian
Gambar 13. Peranan Program Pengembangan Pertanian Dalam Pengembangan
Ekonomi Nasional (Norton, 2004)
Sektor pertanian mempunyai peranan yang penting dalam pembangunan
perekonomian nasional. Namun demikian, potensi sektor pertanian belum
dikembangkan secara optimal. Hal tersebut tercermin dari sebagian besar hasil
dari sektor pertanian masih berupa komoditas (produk segar). Hal tersebut
mengakibatkan aktivitas usaha pertanian yang dilakukan terperangkap pada resiko
yang diakibatkan karakteristik khas pertanian berbasis komoditas seperti fluktuasi
43
harga, tingkat kerusakan yang tinggi, dan musiman. Kondisi tersebut
mengkibatkan instabilitas kinerja para pelaku di sektor pertanian.
Dalam upaya mengurangi resiko khas pertanian berbasis komoditas,
diperlukan berbagai upaya lanjutan berupa proses peningkatan nilai tambah (value
added). Menurut USDA (Amanor-Boadu, 2005) nilai tambah dalam pertanian
terbentuk ketika terjadi perubahan dalam bentuk fisik atau bentuk produk
pertanian atau adopsi metode produksi atau proses penanganan yang bertujuan
untuk meningkatkan basis konsumen bagi produk tersebut serta mendapatkan
porsi yang lebih besar dari pengeluaran pembelanjaan konsumen yang tumbuh
untuk produsen. Berdasarkan definisi tersebut, secara lebih lanjut Amanor-Boadu
(2005) menyatakan bahwa inisiatif nilai tambah bisnis pada suatu rantai pasokan
yang ada terjadi sebagai imbalan atas aktivitas yang dilakukan oleh pelaku usaha
industri hilir pada suatu rantai pasokan. Ukuran imbalan tersebut secara langsung
dan proporsional ditujukan untuk kepuasan konsumen. Imbalan tersebut
berbentuk harga yang tinggi, peningkatan pangsa pasar, dan atau peningkatan
akses pasar. Dengan demikian, hal tersebut akan meningkatkan tingkat
keuntungan bagi pelaku usaha.
Coltrain et al. (2000) menyatakan bahwa terdapat dua jenis nilai tambah,
yaitu inovasi dan koordinasi. Inovasi meliputi aktivitas yang memperbaiki ”proses
yang ada, prosedur, produk dan pelayanan atau menciptakan sesuatu yang baru”
dengan menggunakan atau memodifikasi konfigurasi organisasi yang telah ada
(Tabel 5).
Tabel 5. Tipologi Peluang Dalam Inisiatif Nilai Tambah (Amanor-Boadu, 2005)
Dimensi
Waktu
Lokasi
Produk/Pelayanan
Proses/Metode
Informasi
Insentif
Peluang Nilai Tambah
Inovasi
Koordinasi
Kecepatan
Kenyamanan
Bentuk
Teknologi
Penyampaian Just in Time
Efisiensi
Logistik
Aliansi Strategik
Keamanan, Etika
Motivator
Sistem Informasi
Transparansi
44
Koordinasi merupakan harmonisasi fungsi dalam keseluruhan bagian
sistem. Hal tersebut merupakan peluang dalam meningkatkan koordinasi produk,
pelayanan informasi dalam sepanjang rantai pasokan untuk menciptakan imbalan
yang nyata dan meningkatkan nilai sepanjang rantai pasokan. Chopra dan Meindl
(2001) menyatakan bahwa kesenjangan koordinasi akan menimbulkan ”bullwhip
effect” atau fluktuasi dalam pesanan. Hal tersebut akan berdampak pada
peningkatan biaya. Inisiatif nilai tambah koordinasi difokuskan pada hubungan
vertikal dan horisontal di antara produsen, pengolahan, perantara, distributor dan
pengecer.
Peluang untuk menghasilkan nilai tambah pada pertanian masih sangat
terbuka lebar, karena nilai tambah yang ada terpaku pada upaya untuk
menghasilkan produk segar, sedangkan pengembangan produk hilir berbasis hasil
pertanian masih terbatas. Terdapat beberapa peluang pengembangan industri hilir
berbasis hasil pertanian di antaranya adalah industri pangan, industri biokimia,
industri bioenergi, industri biofarmaka, industri biopolimer serta industri masa
depan yang merupakan konvergensi di antara berbagai industri tersebut
(Rochman, 2011).
Seluruh peluang dalam inisiatif nilai tambah pertanian dalam dunia
nyatanya saling berinteraksi. Berdasarkan hal tersebut seluruh inisiatif tersebut
harus dirancang secara sistematik untuk mencapai satu tujuan, yaitu mencapai
keunggulan kompetitif berbasis nilai tambah secara berkelanjutan. Nilai tambah
tersebut dapat diciptakan pada suatu unit usaha, pada suatu unit kawasan bahkan
pada suatu negara. Dalam mencapai hal tersebut diperlukan kerjasama para
stakeholders dalam pembangunan perekonomian nasional.
Secara lebih spesifik, Amanor-Boadu (2005) menyatakan bahwa terdapat
dua katagori utama peluang dalam pertanian yang dapat dikembangkan oleh para
stakeholders, yaitu
pangan dan non pangan. Pengembangan hasil pertanian
menjadi produk pangan akan mengarah pada pengembangan pangan eksotik,
pangan fungsional dan reposisi produk tradisional. Arahan tersebut terjadi karena
tuntutan dari perubahan perilaku konsumen, dimana produk pangan tidak hanya
berfungsi sebagai kebutuhan dasar manusia, tetapi berkembang ke arah fungsi
makanan yang menyehatkan.
45
2.5. Analisis SWOT
Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis utnuk
merumuskan strategi sebuah organisasi. Analisa didasarkan pada logika yang
dapat memaksimalkan kekuatan (Stengths) dan peluang (Opportunities), namun
secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weakness) dan ancaman
(Threats). Yang dimaskud dengan faktor kekuatan adalah kompetensi khusus
yang dimiliki sebuah organisasi yang menjadi keunggulan komparatif maupun
kompetitif. Faktor kelemahan adalah kekurangan yang dimiliki oleh suatu
organisasi yang menjadi penghalang utama bagi keinerjanya. Faktor peluang
adalah berbagai situasi lingkungan yang menguntungkan suatu organisasi,
sedangkan faktor ancaman adalah faktor-faktor lingkungan yang menguntungkan
suatu organisasi yang jika tidak diatasi akan menjadi ganjalan baik untuk masa
sekarang ataupun masa yang akan datang.
Analisa SWOT dapat dilakukan dengan membuat matriks SWOT yang
dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal
yang dihadapi oeganisasi dapat diselesaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang
dimilikinya. Matriks tersebut dapat menghasilkan empat set kemungkinan
alternatif strategi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 14 (David, 2004).
STRENGTHS (S)
WEAKNESS (W)
Daftar faktor-faktor kekuatan
internal.
Daftar faktor-faktor
kelemahan internal.
OPPORTUNITIES (O)
STRATEGI S-O
STRATEGI W-O
Daftar faktor-faktor peluang
ekternal.
Strategi yang memanfaatkan
kekuatan untuk mendapatkan
peluang.
Strategi yang meminimalkan
kelemahan untuk
mendapatkan peluang.
THREATHS (T)
STRATEGI S-T
STRATEGI W-T
Daftar faktor-faktor ancaman
ekternal.
Strategi yang memanfaatkan
kekuatan untuk mengatasi
acaman.
Strategi yang meminimalkan
kelemahanuntuk mengatasi
acaman.
SW
OT
Gambar 14. Ilustrasi Matriks SWOT Dalam Indentifikasi Alternatif (David, 2004)
46
Pengelompokan dari masing-masing alternatif strategi dapat dilakukan
pada empat kuadran SWOT yaitu sebagai berikut:
a) Strategi S-O (Strength-Opportunity)
Strategi ini dibuat berdasarkan sebuah pemikiran yang memanfaatkan seluruh
kekuatan untuk merebut dan mengambil peluang sebesar-besarnya.
b) Strategi S-T (Strength-Threat)
Strategi disusun berdasarkan kerangka pemikiran untuk memanfaatkan seluruh
kegiatan yang dimiliki sebuah organisasi untuk mengatasi atau menghindari
ancaman.
c) Strategi W-O (Weakness-Opportunity)
Strategi
ini disusun
berdasarkan
sebuah
kerangka
pemikiran
yang
meminimalkan kelemahan yang dimiliki untuk mendapatkan peluang yang
besar.
d) Strategi W-T (Weakness-Threat)
Strategi ini disusun berdasarkan pada sebuah pemikiran yang bersifat defensif
yang beupaya meminimalkan kelemahan yang dimiliki dan menghindari
ancaman.
Pada proses formulasi kebijakan, analisis SWOT banyak digunakan dan
dijadikan pondasi untuk pengembangan dan perumusan kebijakan dari sebuah
organisasi. Namun demikian, analisis SWOT tradisional umumnya menganalisis
faktor-faktor lingkungan strategis secara kualitatif semata sehingga hasilnya
kurang objektif dan tidak memberikan prioritas terhadap berbagai faktor dan
strategi yang ada (Hill, 1997). Oleh karena itu berbagai pendekatan telah
dilakukan untuk memperbaiki analisis SWOT tradisional dengan perhitungan
kuantitatif. David (1998, 2002) meringkas berbagai metode analisis SWOT secara
kualitatif meliputi matriks evaluasi faktor-faktor eketrnal (EFE: External Factor
Evaluation) dan (IFE: Internal Factor Evaluation) yang dapat digunakan untuk
merumuskan strategi yang lebih akurat sehingga mendapatkan hasil yang lebih
objektif.
47
2.6. Analytical Hierarchy Process ( AHP)
Metode AHP (Analytical Hierarchy Process) merupakan salah satu teknik
yang dapat digunakan dalam pengambilan suatu keputusan. Metode AHP
ditujukan untuk memodelkan problema-problema tidak terstruktur, baik untuk
bidang ekonomi, sosial maupun sains manajemen. AHP merupakan suatu model
yang luwes yang mampu memberikan kesempatan bagi perorangan atau kelompok
untuk membangun gagasan-gagasan dan mendefinisikan persoalan dengan cara
membuat asumsi mereka masing-masing dan memperoleh pemecahan yang
diinginkan. Proses ini juga memungkinkan penguna AHP menguji kepekaan
hasilnya terhadap perubahan informasi (Saaty, 2011).
AHP memasukkan pertimbangan dan nilai-nilai pribadi secara logis. Proses
ini bergantung pada imajinasi, pengalaman dan pengetahuan untuk menyusun
hierarki suatu masalah pada logika, intuisi dan pengalaman untuk memberikan
pertimbangan. Metode AHP mempunyai beberapa prinsip yaitu decomposition,
comparative judgement, synthesis of priority dan logical consistency. AHP
dilakukan melalui empat langkah yaitu identifikasi sistem, penyusunan hirarki,
penyusunan matriks gabungan, pengolahan vertikal dan penghitungan vektor
prioritas. Tabel 6 berikut menjelaskan mengenai prinsip-prinsip AHP.
Tabel 6. Prinsip-prinsip AHP (Saaty, 2011)
No
Prinsip AHP
Uraian
1
Decomposition Memecahkan persoalan menjadi unsur-unsur terkecil
2
Judgement
Penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada
suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat
diatasnya. Hasil penilaian disajikan dalam matriks
pairwise comparison
3
Synthesis of
Priority
Mencari eigen vector untuk mendapatkan local priority
dari setiap matriks
4
Logical
Consistency
Pengelompokan objek-objek yang serupa sesuai dengan
keseragaman dan relevansi dan pendefinisian tingkat
hubungan antara objek- objek yang didasarkan pada
kriteria tertentu.
48
Menurut Saaty (1980), tahapan terpenting dalam analisis adalah penilaian
dengan teknik komparasi berpasangan (pairwise comparison) terhadap elemenelemen pada suatu tingkatan hirarki. Penilaian dilakukan dengan memberikan
bobot numerik dan membandingkan antara satu elemen dengan elemen lainnya.
Tahap selanjutnya adalah melakukan sintesa terhadap hasil penilaian untuk
menentukan elemen mana yang memiliki prioritas tertinggi dan terendah.
Penggunaan metoda hibrid SWOT-AHP ini telah diigunakan pada
beberapa penelitian terdahulu, diantaranya adalah pada penelitian yang dilakuka
oleh Kurtilaa (1999) yang mengembangan metoda hibrid SWOT-AHP sebagai
upaya peningkatan usabilitas metoda analisis SWOT. AHP dengan kerangka
perhitungan nilai eigen diintegrasikan dengan analisis SWOT. Hubungan AHP
dengan SWOT secara analitik membantu menghasilkan prioritas faktor-faktor
yang dihasilkan dalam kriteria-kriteria SWOT untuk digunakan dalam
meningkatkan informasi kuantitatif dari proses perencanaan jangka panjang.
Pola hibrid ini diterapkan Kurtilaa pada penelitian sertifikasi hutan yang
menunjukkan
bahwa
sertifikasi
dapat
menjadi
alternatif
strategi
yang
dikembangkan dalam pengelolaan hutan. Di lain pihak, perbandingan berpasangan
sangat bermanfaat untuk membuat pakar mempertimbangkan lebih matang pada
pembobotan faktor yang ada untuk kemudian dianalisa lebih tajam dan lebih
dalam. Pada beberapa penelitian yang menyangkut bidang pertanian, analisis
prospek dan pemetaan daya saing produk-produk pertanian, Shrestha (2004)
mengekplorasi adopsi pola silvopasture di Florida Tengah bagian Selatan yang
mengakomodir opini dari para pakar dalam praktek dengan pola silvopasture di
Florida. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kekuatan dan kesempatan
pengembangan pola tersebut berada diatas kelemahan dan ancamannya. Pola
silvopasture yang dikembangkan memberikan dampak keuntungan bagi
lingkungan serta dukungan pemerintah dinilai sebagai sebagai kesempatan yang
bernilai tinggi serta diperlukan pengembangan kebijakan yang berkaitan dengan
praktek silvopasture. Di Indonesia, Rochman (2011) merumuskan strategi
pengembangan nanoteknologi dalam rangka peningkatan daya saing global
agroindustri nasional dengan memilih
bidang agroindustri yang cocok
dikembangkan dengan menerapkan nanoteknologi didalamnya.
Download