19 II . TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Agroindustri Agroindustri adalah industri yang mengolah komoditas pertanian primer menjadi produk olahan, baik produk antara (intermediate product) maupun produk akhir (finish product), termasuk di dalamnya adalah penanganan pasca panen, industri pengolahan makanan dan minuman, industri biofarmaka, industri bio-energi, industri pengolahan hasil ikutan (by-product) serta industri agrowisata (Arifin, 2004). Di lain pihak, kegiatan agribisnis memiliki arti penting bagi pengembangan agroindustri yakni kegiatan usaha yang meliputi salah satu atau keseluruhan dari mata rantai produksi, pengolahan hasil dan pemasaran yang ada hubungannya dengan pertanian dalam arti luas (yang menunjang kegiatan pertanian dan kegiatan usaha yang ditunjang oleh kegiatan pertanian). Esensi utama dari suatu sistem agribisnis sebagai keterkaitan seluruh komponen dan subsistem agribinis yang terdiri atas (1) Sub Sistem Agribisnis Hulu, (2) Sub Sistem Pengolahan Usaha Tani, (3) Sub Sistem Pengolahan, (4) Sub Sistem Pemasaran serta (5) Sub Sistem Penunjang. Dengan elemen-elemen tersebut bukan hal mudah untuk dapat memutuskan suatu strategi pengembangan yang terintegrasi, apalagi dengan fakor eksternal yang sukar untuk dikendalikan (Gumbira-Sa’id dan Intan, 2004). Pada masa lalu, dengan orientasi pada peningkatan produksi, maka yang menjadi motor penggerak sektor pertanian adalah usaha tani. Hasil usaha tani menentukan perkembangan agribisnis hilir dan hulu. Hal di atas pada dasarnya sesuai pada masa lalu, karena target pembangunan sektor pertanian masih diorientasikan untuk mencapai tingkat produksi semaksimal mungkin. Saat ini, dan di masa yang akan datang, orientasi sektor pertanian secara berangsur-angsur berubah kepada orientasi pasar. Dengan berlangsungnya perubahan preferensi konsumen yang makin menuntut atribut produk yang lebih rinci dan lengkap serta adanya preferensi konsumen akan produk olahan, maka motor penggerak sektor pertanian harus berubah dari usaha tani kepada agroindustri. Dalam hal ini, untuk mengembangkan sektor pertanian yang modern dan berdaya saing, agroindustri 20 harus menjadi lokomotif dan sekaligus penentu kegiatan sub-sektor usaha tani dan selanjutnya akan menentukan sub-sektor agribisnis hulu. Paling sedikit terdapat lima alasan utama agroindustri penting untuk menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi di masa depan yakni sebagai berikut (Kementrian Pertanian, 2004): a) Industri pengolahan mampu mentransformasikan keunggulan komparatif menjadi keunggulan bersaing (kompetitif), yang pada akhirnya akan memperkuat daya saing produk agribisnis. b) Produknya memiliki nilai tambah dan pangsa pasar yang besar sehingga kemajuan yang dicapai dapat mempengaruhi pertumbuhan perekonomian nasional secara keseluruhan. c) Memiliki keterkaitan yang besar baik ke hulu maupun ke hilir (forward and backward linkages), sehingga mampu menarik kemajuan sektor-sektor lainnya. d) Memiliki basis bahan baku lokal (keunggulan komparatif) yang dapat diperbaharui sehingga terjamin keberlanjutannya; e) Memiliki kemampuan untuk mentransformasikan struktur ekonomi nasional dari pertanian ke industri dengan agroindustri sebagai motor penggeraknya. Permasalahan yang dihadapi di bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian yang sekaligus merupakan isu pokok dalam pembangunan pengolahan dan pemasaran hasil pertanian adalah sebagai berikut (Deptan, 2004) : a) Rendahnya daya saing produk pertanian, yang disebabkan oleh rendahnya mutu dan tampilan produk; rendahnya tingkat efisiensi produksi dan pemasaran; rendahnya akses pelaku usaha terhadap informasi; lemahnya budaya pemasaran dan kewirausahaan pelaku; serta minimnya sarana dan prasarana pengolahan, dan pemasaran hasil pertanian. b) Kurangnya sumber daya manusia terdidik di bidang pertanian yang terjun dalam praktek usaha pertanian profesional berskala menengah dan besar yang dapat menghasilkan produk-produk pertanian dengan mutu dan harga yang dapat bersaing di pasar global. Disamping itu, kebijakan makro yang diterapkan saat ini masih belum kondusif bagi para pemilik modal dan perbankan untuk menanamkan modalnya di bidang pengolahan hasil 21 pertanian, sehingga diperlukan upaya-upaya promosi investasi untuk menarik minat para calon investor baik dari kalangan dalam negeri maupun luar negeri. c) Rendahnya tingkat keberlanjutan usaha-usaha pengolahan dan pemasaran hasil pertanian yang disebabkan oleh kecilnya skala usaha (tidak mencapai skala ekonomi); pengembangan subsistem produksi yang tidak terkoordinasi dengan subsistem pengolahan dan pemasaran; produksi belum berorientasi pasar; pemanfaatan teknologi yang kurang ramah lingkungan dan belum adanya sistem insentif penerapan teknologi ramah lingkungan; ketergantungan kepada komponen impor untuk bahan baku maupun bahan penolong; perubahan tata ruang wilayah; kurang profesionalnya sumberdaya manusia; serta masih lemahnya kemitraan dan kelembagaan usaha. d) Pembangunan pengolahan dan pemasaran hasil pertanian selama ini masih belum mengakomodasi serta belum mendapat dukungan dan partisipasi penuh dari masyarakat dan pemerintah daerah. Berbagai permasalahan perencanaan lebih bersifat “top down” dan kebijakan pembangunan industri nasional kurang memperhatikan atau tidak berbasis pada sumberdaya domestik. e) Belum adanya kebijakan yang mengendalikan ekspor bahan mentah untuk melindungi dan merangsang berkembangnya agroindustri di dalam negeri, serta masih kuatnya budaya di masyarakat petani dan pengusaha untuk menghasilkan produk primer saja. Disamping belum adanya kebijakan yang mengendalikan ekspor bahan mentah, sehingga melindungi dan merangsang berkembangnya ekspor produk olahan. f) Mutu produk olahan khususnya usaha pengolahan berskala rumah tangga dan usaha kecil masih belum memenuhi persyaratan yang ditetapkan pasar, khususnya untuk memenuhi pasar internasional. g) Sarana dan prasarana yang belum memadai, seperti belum berkembangnya workshop yang dapat mengembangkan alat-alat pengolahan, serta masih rendahnya penguasaan terhadap teknologi pengolahan untuk meningkatkan diversifikasi produk dan pemanfaatan hasil ikutan. h) Legalitas di bidang usaha pasca panen dan pengolahan yang masih lemah sehingga sulit untuk dapat mengakses sumber dana permodalan. 22 Lemahnya perkembangan agroindustri dapat diindikasikan dengan membanjirnya hasil pertanian dan hasil pengolahan pertanian impor yang membanjiri pasar Indonesia. Berdasarkan data BPS (September 2010), nilai impor Indonesia selama Januari– Juli 2010 mencapai USD 75,56 miliar yang terdiri atas non migas mencapai USD 60,33 miliar (79,84 persen) dan impor migas mencapai USD15,23 miliar (20,16 persen). Negara pemasok barang impor nonmigas terbesar ke Indonesia ditempati oleh China, diikuti Jepang dan Singapura. Komposisi impor yang diperinci menurut golongan penggunaan barang adalah: barang konsumsi (7,40 persen), bahan baku penolong (72,90 persen), dan barang modal (19,70 persen). Tingginya komposisi impor bahan baku penolong dan barang modal menunjukkan bahwa Indonesia harus segera mengurangi impor dengan membangun investasi di dalam negeri. Melakukan impor di mana bahan dasar tidak tersedia di dalam negeri adalah suatu keharusan, tetapi melakukan impor saat bahan dasarnya melimpah menunjukkan bahwa Indonesia belum mampu mentrasnformasikan kekayaan sumber daya alamnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat produksi masih kurang untuk dapat memenuhi kebutuhan didalam negeri. Salah satu penyebab agroindustri di Indonesia tidak berkembang adalah basis produksinya lemah dan kebijakan pemerintah tidak mendukung terjadinya sinergi yang unggul antara keterkaitan saling menguntungkan antara sektor pertanian dan agroindustrinya. Kondisi di atas terjadi karena strategi pengembangan agroindustri nasional belum terintegrasi. Dalam kebijakan pengembangan sektor pertanian dan agroindustri, orientasi lebih ditujukan kepada pemenuhan komoditas tanpa pertimbangan ekonomis yang diimbangi dengan perbaikan mutu, peningkatan produktivitas, serta minimnya upaya penambahan nilai tambah pada komoditas pertanian. Pada dasarnya sektor agroindustri dapat dipandang sebagai suatu sistem industri yang memiliki karakter dinamis. Hal ini yang menyebabkan timbulnya permasalahan dalam perancangan suatu kebijakan karena hubungan antar komponen penyusun suatu sistem industri seperti sektor pasar dan sektor ekonomi memiliki karakter dinamis. Selain itu hal ini juga menyebabkan permasalahan 23 dalam perancangan suatu kebijakan karena hubungan antar komponen penyusun suatu sistem industri seperti sektor pasar, sektor ekonomi, sektor tenaga kerja dan sektor produksi selalu berubah dari waktu ke waktu. Kondisi di atas menunjukkan bahwa perlu adanya suatu perangkat perancangan kebijakan yang mampu diimplementasikan sebagai alat bantu untuk mencapai pengembangan interaksi agroindustri dengan sektor pertanian di dalam negeri secara terintegrasi. Terlebih lagi penggunaan teknologi maju, dampak dari pelaksanaan otonomi daerah dan keseimbangan perkembangan antar daerah, yang dapat memperkuat sektor pertanian menjadi isu yang sangat penting, dan dilakukan dengan mempertimbangkan keseimbangan yang tepat antara sektor pertanian dan sektor agroindustri Indonesia. Pada kondisi saat ini, kebijakan dan strategi yang diterapkan pada industriindustri tersebut tidak terlalu responsif, terutama dengan keadaan keuangan dan krisis ekonomi dan relatif seringnya perubahan kebijakan sejak tahun 1998 yang tidak dapat diprediksi dan tidak stabil. Kebijakan-kebijakan tersebut perlu direstruksturisasi dan distabilisasi agar industri domestik mampu turut berkembang dalam kompetisi internasional baik secara lokal ataupun di pasar dunia. Hal ini termasuk kebijakan dalam hal-hal berikut (Arifin, 2004): a) Melancarkan dan memberikan transparansi dalam bidang investasi; b) Meningkatkan penggunaan dan pengadopsian inovasi dan teknologi agroindustri yang modern melalui peningkatan penelitian dan pengembangan dan pelatihan jasa-jasa pendukung lainnya; c) Menguatkan usaha pengembangan institusional dan kapasitas teknik dan manajemennya; d) Pengembangan sumber daya manusia disertai dengan pembangunan infrastruktur agroindustri. untuk mendukung pertumbuhan dan perluasan klaster 24 2.2. Kecenderungan Pertambahan Penduduk Muslim Islam merupakan agama dengan jumlah pemeluk kedua terbesar di dunia setelah agama Kristen dan memiliki tingkat pertumbuhan yang sangat tinggi. Pada tahun 2025, 30% penduduk dunia diperkirakan akan merupakan penduduk muslim (CIA Online World Factbook, 2009). Pada tahun 2010, umat muslim sudah mencapai 23,90 persen dari total penduduk dunia. Rasio penduduk muslim di dunia diperlihatkan pada Tabel 4 berikut. Tabel 4. Perkiraan Jumlah Populasi Muslim Dunia Tahun 2010 (Kettani, 2010) Presentase Total Populasi Jumlah Penduduk Benua Dunia Penduduk Muslim (Jiwa) Muslim (Jiwa) (%) Asia 4.184.149.728 27,44 1.148,173.347 Rasio Muslim (%) 69,38 Afrika 1.031.761.881 43,33 447.042.815 27,01 Eropa 734.602.633 6,74 49.545.462 2,99 Amerika 939.510.388 1,03 9.704.062 0,59 Oceania 35.799.477 1,33 475.708 0,03 6.925.824.107 23,90 1.654.941.394 100 Dunia Dengan peningkatan penduduk muslim yang tinggi, pemenuhan kebutuhan pangan halal juga semakin meningkat. Pada awalnya hampir semua negara dengan penduduk muslim yang banyak, mencukupi kebutuhan pangan utamanya dari dalam negeri atau diimpor dari negara-negara muslim lainnya. Setelah pasokan pangan dalam negeri maupun impor dari negara-negara muslim tersebut tidak mampu memenuhi seluruh kebutuhan pangan halal, maka impor pangan dan produk-produk halal lainnya dari selain negara-negara muslim di atas juga meningkat. Pertumbuhan penduduk muslim yang cukup tinggi di luar negaranegara muslim utama ikut mendorong perkembangan produksi pangan halal dunia. 25 Gambar 4. Sebaran Penduduk Muslim Dunia (World Factbook, 2009) Akibat peningkatan jumlah penduduk Muslim dunia, beragam faktor berkembang menjadi pendorong bisnis pangan halal dunia, seperti yang dijelaskan sebagai berikut (Sulaiman, 2007): a) Kepedulian pada konsumsi produk halal di kalangan masyarakat muslim meningkat. b) Daya beli masyarakat muslim meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan masyarakat muslim di banyak negara muslim dunia. c) Terdapat peningkatan kebutuhan konsumsi pangan yang aman dan bermutu tinggi pada masyarakat muslim maupun seluruh masyarakat dunia pada umumnya. d) Produk halal ternyata tidak hanya diterima oleh komunitas muslim global saja, namun juga oleh kalangan non-muslim secara global. e) Terminologi halal dianggap sebagai tanda mutu yang tinggi terhadap jaminan keamanan dan kesehatan pangan. f) Jaminan halal meningkatkan kepercayaan terhadap produk. g) Liberalisasi pasar global berdampak pada penyediaan akses pasar pangan halal yang lebih besar. 26 h) Harmonisasi peraturan dan panduan halal secara global akan meningkatkan volume dan nilai perdagangan produk halal global. i) Terdapat peningkatan kebutuhan untuk keragaman dan diferensiasi produk yang tinggi pada pasar yang terdiferensiasi. j) Terjadi peningkatan potensi pasar pada produk bermerek yang bermutu dan bernilai tambah tinggi. 2.3. Tren Permintaan Produk Agroindustri Halal Global Seiring dengan meningkatnya permintaan produk halal secara global, sistem perdagangan bebas Internasional telah mengakomodasi halal dalam Codex Alimentarius Commission (Codex), serta mendapat dukungan penuh organisasiorgansasi internasional berpengaruh seperti World Health Organization (WTO), Food and Agriculture Organization (FAO), dan World Trade Organization (WTO). Berikut lembaga-lembaga yang sering dikaitkan dengan isu standarisasi dan sertifikasi halal internasional: 1) The International Organisation for Standardizations (ISO). Secara jelas dalam aturannya, ISO tidak akan mengatur perkara yang berdasarkan aturan agama. Dengan demikian halal tidak akan diatur dalam ISO. 2) Codex Alimentarius Commission (Codex); Memiliki panduan umum mengenai penggunaan terminologi halal. Di dalam Codex, diakui adanya beberapa perbedaan pendapat mengenai hewan yang dikategorikan halal dan dalam hal proses pemotongan hewan berdasarkan mazhab yang ada. Untuk hal yang demikian maka intepretasi yang tepatnya diserahkan pada pihak yang berwenang pada negara pengekspor. 3) The World halal Council adalah asosiasi dari badan-badan sertifikasi halal dunia yang didominasi oleh negara-negara pengekspor makanan dan negaranegara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI). 4) Committee for Economic and Commercial Cooperation (COMCEC). Lembaga yang mengembangkan standar halal negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam, namun tidak melibatkan negara-negara produsen utama halal dari negara-negara non-OKI. 27 Dalam perkembangannya, instrumen standarisasi halal yang bersifat global dan lokal menjadi instrumen penting untuk memperkuat daya saing produk domestik negara-negara produsen agar dapat memasuki pasar internasional, terutama untuk dapat masuk ke negara-negara dengan penduduk Muslim yang besar, terutama Indonesia. 2.4. Strategi dan Perencanaan Startegi 2.4.1. Pengembangan Strategi Menerapkan teori dan konsep dari kekuatan daya saing, struktur, dan strategi yang matang, dalam penelitian ini diusulkan konsep strategi antisipasi perkembangan bisnis halal global agar kebijakan agroindustri produk halal berorientasi pada aspek strategi rantai pasokan, struktur perusahaan, dan integrasi sistem jaminan halal akan menyasar pada perusahaan produsen halal, dan dalam upaya untuk posisi Indonesia agar mampu bersaing dalam bisnis halal global. Proses manajemen strategi yang dikembangkan meliputi empat elemen dasar, yaitu (1) pengamatan lingkungan (eksternal dan internal), (2) perumusan strategi, (3) implementasi strategi, (3) implementasi strategi, (4) evaluasi dan pengendalian (Weelen dan Hunger, 1996; Jauch dan Glueck, 1997). Variabel lingkungan eksternal terdiri atas lingkungan sosial dan lingkungan tugas, sedangkan variabel lingkungan internal terdiri atas struktur, budaya dan sumberdaya perusahaan. Kedua variabel tersebut memiliki hubungan dengan strategi perusahaan dalam meningkatkan kinerjanya. Variabel lingkungan eksternal terdiri dari variabel-variabel di luar organisasi dan tidak secara khusus ada dalam pengendalian jangka pendek dari manajemen puncak (Gupta dan Govindarajan, 1999; Wheelen dan Hunger, 1996; Jauck dan Glueck, 1997). Menurut Wheelen dan Hunger (1996), lingkungan ekternal terdiri atas dua bagian, yaitu lingkungan sosial dan lingkungan kerja. Lingkungan sosial merupakan kekuatan umum yang secara tidak langsung berhubungan dengan aktivitas-aktivitas organisasi jangka pendek tetapi dapat dan sering kali dapat mempengaruhi keputusan jangka panjang, yaitu kekuatan ekonomi, kekuatan 28 teknologi, kekuatan hukum-politik, kekuatan sosio-kultural. Kekuatan hukumpolitik dan sosio-kultural merupakan kekuatan yang bersifat sensitif sehingga tidak termasuk dalam kapasitas pengkajian penelitian. Lingkungan kerja meliputi elemen-elemen atau kelompok-kelompok yang berpengaruh kepada perusahaan dan pada gilirannya akan dipengaruhi oleh pemerintah, komunitas lokal, pemasok, pesaing, pelanggan, kreditur, tenaga kerja, serikat buruh, kelompok kepentingan khusus, dan asosiasi perdagangan. Variabelvariabel dari lingkungan internal meliputi struktur budaya, dan sumberdaya organisasi. Struktur adalah cara bagaimana sumber daya diorganisasikan berkenaan dengan dengan komunikasi, wewenang, dan arus kerja. Budaya adalah pola keyakinan, pengharapan dan nilai-nilai yang dibagikan oleh anggota organisasi. Sumberdaya adalah aset yang merupakan bahan baku bagi produksi barang dan jasa organisasi, meliputi keahlian, kemampuan dan bakat manajerial. Pada tahap perencanaan strategi akan dijabarkan strategi pilihan untuk mewujudkan visi dan misi organisasi ke dalam sasaran-sasaran strategis, dengan disasarkan pada hasil pengamatan terhadap lingkungan eksternal maupun internal, karena perumusan strategi yang dimulai dengan analisis lingkungan tidak dapat dipisahkan dari proses perencanaan preategi perusahaan atau pada unit bisnis (Wheelen dan Hunger, 1996; Jauch dan Glueck, 1997) Strategi merupakan alat penting dalam rangka mencapai keunggulan bersaing. Strategi juga merupakan suatu rencana yang disatukan, menyeluruh, dan terpadu, untuk menjamin tujuan bisnis (Wheelen dan Hunger, 1996; Jauch dan Glueck, 1997). Keberhasilan organisasi (kinerja organisasi) dapat dicapai apabila kombinasi perencanaan strategi yang baik dengan pelaksanaan strategi yang baik pula. Dengan hal tersebut, pengetahuan mengenai manajemen strategi yang berkaitan dengan kinerja usaha dibutuhkan dalam rangka optimalisasi sumberdaya untuk mencapai kinerja bisnis yang efektif dalam lingkungan yang berubah bisnis (Wheelen dan Hunger, 1996; Jauch dan Glueck, 1997), karena lingkungan (eksternal) merupakan faktor kontekstual penting yang mempunyai pengaruh terhadap kinerja perusahaan (Hamel dan Prahalad, 1990; Child, 1997). Untuk menjaga kesiapan agroindustri halal Indonesia dalam menghadapi perubahan lingkungan eksternal yang bersifat makro, perlu dilakukan deteksi dini tehadap 29 level kinerja agroindustri halal pada berbagai kondisi lingkungan ekternal yang dilakukan dengan menggunakan prisip manajemen strategi berbasis sumber daya. Penjaminan terhadap pencapaian kinerja yang baik membutuhkan suatu proses evaluasi kinerja. Menurut Kaplan dan Norton (1996) evaluasi terhadap kinerja dapat diawali dengan melakukan pengukuran kinerja yang didasarkan pada empat perspektif, yaitu keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, serta pertumbuhan pembelajaran. Tahapan selanjutnya dari proses evaluasi kinerja adalah tahap perbaikan (improvement). Menurut Cohen (1995) dan Dale (1995), untuk memastikan bahwa kebutuhan dan keinginan stakeholder dapat terpenuhi dalam proses perbaikan kinerja, maka dibutuhkan proses perbaikan yang berfokus pada stakeholder dan bermula dari suara stakeholder tersebut. Berdasarkan uraian terdahulu, kesesuaian antara lingkungan dan rencana strategik akan berpengaruh terhadap perspektif kinerja perusahaan dan proses pengukuran serta perbaikan yang tepat diharapkan dapat menjadi dasar evaluasi kinerja yang optimum. 2.4.2. Strategi dan Kebijakan Strategi menurut Norton (2004), secara sederhana berarti rencana atau kegiatan yang dilakukan dalam upaya membantu organisasi mencapai tujuan dan sasaran yang disebut sebagai intended strategy. Strategi yang berkaitan dengan kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai sasaran yang diinginkan, disebut sebagai realized strategy. Strategi pengembangan produk agroindustri halal, dimaksudkan sebagai kegiatan untuk memperoleh pola atau formula dan tahapan pelaksanaan untuk pengembangan agroindustri halal. Terdapat banyak definisi mengenai analisis kebijakan. Menurut Weimer dan Vining (1991), analisis kebijakan adalah “suatu anjuran (advice) yang berorientasi pada klien dan berkaitan dengan keputusan publik”. Definisi lain yang dikutip dalam tulisan kedua penulis tersebut, misalnya adalah “suatu cara untuk menggabungkan informasi, termasuk berbagai hasil penelitian kedalam suatu format yang sesuai dengan keputusan kebijakan (analisis kebijakan akan memaparkan pilihan-pilihan kebijakan), serta menentukan informasi yang dibutuhkan dimasa depan untuk membuat kebijakan. Analisis kebijakan 30 merupakan suatu disiplin ilmu sosial yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumentasi untuk menghasilkan dan mentransformasikan informasi yang terkait dengan kebijakan yang dapat digunakan dalam suatu lingkungan politik untuk menyelesaikan masalah kebijakan (Weimer, 1989). Di lain pihak menurut Pal (1997) kebijakan adalah serangkaian tindakan (action) atau diamnya (inaction) otoritas publik (pemerintah) untuk memecahkan masalah. Menurut Lowi (1972) semua jenis kebijakan dapat diartikan sebagai pemaksaan yang dilakukan dengan hati-hati, oleh karena kebijakan tersebut melibatkan perumusan maksud (purpose), sarana (means), pelaku dan objek pemaksaan. Salah satu yang paling menarik tentang kebijakan adalah bagaimana kebijakan tersebut dibuat atau dirumuskan. Dapat disimpulkan bahwa tujuan utama dalam kebijakan adalah menganalisa dan menyajikan alternatif yang tersedia, melalui sintesa riset dan teori-teori yang ada, dalam menyelesaikan masalah publik. Strategi dan kebijakan tersebut merupakan bagian dari kebijakan industri dan kebijakan ekonomi karena secara langsung kegiatan agroindustri halal akan meningkatkan nilai tambah produk pertanian, sedangkan kebijakan industri dan ekonomi adalah bagian dari kebijakan. Pengembangan kebijakan pada dasarnya harus berkaitan dengan perkembangan manusia (human development), dengan tujuan yang spesifik terutama pada bidang pertanian publik berkaitan dengan “apa” yang harus dikerjakan oleh pemerintah. Menurut Norton (2004) kebijakan adalah suatu daftar tujuan (cita-cita) yang memiliki urutan prioritas dan pernyataan umum tentang maksud dan tujuan. 2.4.3. Manajemen Strategi dalam Peningkatan Kinerja Menurut Blocher et al. (1999), manajemen strategi merupakan pembangunan suatu posisi kompetitif yang berkelanjutan sehuingga menciptakan keberhasilan bersaing yang terus menerus. Selain itu Pearce dan Robinson (1997), mendefinisikan manajemen strategi sebagai sekumpulan keputusan dan kegiatan dalam memformulasikan dan mengimplementasikan rencana yang dirancang dalam mencapai tujuan perusahaan. Manajemen strategi biasanya dihubungkan dengan pendekatan manajemen uang integratif yang mengedepankan secara 31 bersama-sama seluruh elemen, seperti perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian sebuah strategi bisnis (Ward, 1996). Tujuan utama dari manajemen strategi adalah untuk mengidentifikasi mengapa dalam persaingan beberapa perusahaan dapat berlangsung sukses, sedangkan sebagian lainnya mengalami kegagalan. Komponen utama proses manajemen strategi menutur Yuwono et al. (2004), meliputi hal-hal berikut: a) Misi dan tujuan utama organisasi b) Analisis lingkungan internal dan eksternak organisasi c) Pilihan strategi yang selaras dan sesuai antara kekuatan dan kelemahan perusahaan dengan peluang dan ancaman eksternal. d) Pengadopsian struktur organisasi dan sistem pengendalian untuk mengimplementasikan strategi organisasi yang dipilih. Menurut Kaplan dan Norton (1996), terdapat enam hambatan dalam mengimplementasikan strategi, yaitu (1) hambatan visi (2) hambatan sumber daya manusia, (3) hambatan operasi, dan (4) hambatan pembelajaran. Masingmasing hambatan tersebut dapat ditanggulangi dengan penerapan komponenkomponen manajemen strategi, yaitu memformulasikan dan mentransformasikan visi dan strategi, mengkomunikasikan dan menghubungkan tujuan-tujuan dan tolok ukur strategi, menyusun dan melaksanakan target-target serta menyelaraskan insiatif-inisiatif strategis, dan mempertinggi umpan balik dan pembelajaran strategis. Dalam perspektif manajemen strategi, lingkungan merupakan faktor konstekstual penting yang memiliki dampak terhadap kinerja perusahaan (Child, 1997). Konsep manajemen modern menunjukkan bahwa badan usaha yang melakukan suatu kegiatan ekonomi tidaklah berdiri sendiri, melainkan berada dalam lingkungan bisnis yang saling berpengaruh. Pada umumnya perusahaan berada di tengah lingkungan bisnis yang terdiri atas pemerintah, masyarakat sosial, pelanggan, pemasok, karyawan, dan industri sejenis yang merupakan pesaing. 32 Strategi diperlukan agar mampu mewujudkan suatu hasil yang sesuai dengan visi, misi, dan sasaran yang telah dibuat. Kemampuan organisasi menempatkan posisinya dalam lingkungan dengan memperhitungkan dan mengevaluasi dirinya dari faktor-faktor lingkungan yang saling berpengaruh dan mempengaruhi, akan sangat menentukan keberhasilan. Langkah memperhitungkan dan mengevaluasi kondisi dirinya dan faktor llingkungan yang berpengaruh dan saling mempengaruhi dakam proses pengambilan keputusan untuk suatu rencana tidakan ataupun kebijakan dalam mengelola organisasi adalah suatu bentuk manajemen strategis. Perusahaan mengembangakan strateginya dengan melakukan penyesuaian antara kemampuan intinya dengan peluang industri yang ada. Gambar 5 dan Gambar 6 berikut memperlihatkan perumusan strategi sebagai suatu proses evaluasi kekuatan dan kelemahan yang ada dalam perusahaan yang dilakukan oleh eksekutif senior serta melihat kesempatan dan ancaman saat ini (Anthony dan Govindajaran, 2002). Menurut Wheelen dan Hunger (1992), lingkungan yang ahrus diamati perusahaan terdiri dari (1) lingkungan yang ada di dalam perusahaan (internal environmental) yang terdiri dari struktur, budaya, dan sumbera daya, (2) lingkungan yang berada di luar perusahaan (external environmental) yang terdiri dari lingkungan sosial dan lingkungan tugas (Gambar 5) Analisis Internal Analisis Lingkungan § § § § § § § § § § Pesaing Pelanggan Suplier Peraturan Sosial Politik Penguasaan Teknologi Penguasaan Manufakturing Penguasaan Pemasaran Penguasaan Distribusi Penguasaan Logistik Peluang dan Ancaman Peluang dan Ancaman Identifikasi Kesempatan Identifikasi Kesempatan Sesuaikan Kompetensi Internal dengan Peluang Eksternal Strategi Perusahaan Gambar 5. Tahap Perumusan Strategi (Anthony dan Govindajaran, 2002) Pengamatan Terhadap Lingkungan Eksternal Misi Lingkungan Sosial Kekeuatan-kekuatan Umum Alasan Keberadaan Lingkungan Tugas Analisis Industri Internal Implementasi Strategi Formulasi Strategi Tujuan Hasil yang ingin dicapai dan kapan Strategi Rencana untuk mencapai tujuan dan misi Kebijakan Proses untuk memonitor kinerja dan mengambil langkah koreksi Garis besar pembuatan keputusan Struktur Rantai Tugas Program Budaya Harapan, Kepercayaan, Nilai-nilai Aktivitas yang dibutuhkan untuk mencapai suatu tujuan Sumber Daya Aset, Kemampuan, Kompetensi, Pengetahuan Evaluasi dan Pengendalian Pembiayaan Biaya Program Prosedur Tahapan Kagiatan Kinerja Hasil Aktual Gambar 6. Proses Manajemen Strategi (Wheelen dan Hunger, 1992) 33 34 2.4.4. Elemen-elemen Kunci dalam Proses Pembuatan Kebijakan Menurut Norton (2004) sebuah strategi memerlukan suatu visi dari sektor terpilih dengan keadaan yang diinginkan pada masa depan dan dijabarkan oleh sebuah road map yang menunjukkan bagaimana cara pencapaiannya. Titik awal harus dijelaskan secara jelas dimulai dari situasi saat ini dengan didasarkan atas kondisi yang melatarbelakanginya dan perkiraan yang ingin dicapai pada masa depan. Sebuah strategi harus realistis, namun visinya di masa depan harus menggambarkan arah yang akan dituju berdasarkan kekuatan dan kesempatan yang dimiliki. Selain itu, strategi juga merepresentasikan sebuah komitemen dari pihak pemerintah serta pihak-pihak yang berwenang untuk membawa perubahan yang diinginkan. Untuk mengetahui arah perubahan yang diinginkan maka perludi diketahui keunggulan komparatif yang dimiliki (Norton, 2004). Untuk mengembangkan stretegi perlu mensinergikan antara manajemen operasi dengan manajemen strategis, hal ini dilakukan agar strategi yang dilakukan dapat berkelanjutan sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melaksanakan strategi ini, antara lain kondisi aktual yang harus dipahami dan membandingkannya dengan visi masa depan yang kemudian diterjemahkan menjadi tujuan. Kesenjangan yang tercipta antara tujuan dan kondisi nyata kemudian diisi dengan formulasi strategi yang dilakukan dengan pelaksanaannya di dunia nyata dan diawasi dengan strategi kontrol dan evaluasi. Pembuatan visi dan strategi tersebut diilustrasikan pada Gambar 7 berikut: 35 Manajemen Operasi Keadaan Aktual Tujuan (Goal) Kensenjangan Aksi Implementasi Strategi Kontrol Strategi dan Evaluasi Penerjemaahan Visi dan Komunikasi Strategi Visi Formulasi Strategi Manajemen Stategik Gambar 7. Manajemen Strategik dan Manajemen Operasi Dalam Penetapan Visi Dan Strategi Untuk Mencapai Tujuan (Tasrif, 2009) Rekomendasi kebijakan berupaya untuk menjelaskan dalam garis besar mengenai apa yang sebaiknya dilakukan untuk mengatasi masalah atau bagimana mewujudkan peluang yang ada. Secara ideal, usulan kebijakan meliputi dua hal yaitu: (1) suatu daftar tujuan-tujuan utama (goals) berdasarkan proritas, dan (2) alternatif-alternatif untuk mencapai tujuan tersebut. Strategi yang mendukung kebijakan melibatkan berbagai pihak seperti, institusi terkait, hukum, pasar serta dukungan sumber daya Kebijakan yang berdasarkan pertanian memiliki tiga elemen utama dalam taksonominya, yaitu kebijakan harga, kebijakan sumber daya dan kebijakan akses. Elemen-elemen dari taksonomi kebijakan pertanian ditunjukkan pada Gambar 8 (Norton, 2004). 36 Gambar 8. Taksonomi Kebijakan Pertanian (Norton, 2004). 2.4.5. Prinsip Pengembangan Kebijakan Berbasis Pertanian Penyebab kegagalan kebijakan bukan hanya hambatan teknis, tetapi juga konflik mengenai apa yang akan dituju. Agar kebijakan dapat berhasil dijalankan harus dikenali konflik mengenai apa yang akan dituju, serta prinsip prinsip dalam mengembangkan suatu kebijakan. Prinsip-prinsip keberlanjutan yang harus dipegang dalam pengembangan kebijakan dalam pengembangan pertanian diterangkan dalam Gambar 9 (Norton, 2004): . Prinsip Dasar Keberlanjutan Kebijakan Pertanian Ekonomi Lingkungan Politik Sosial Fiskal Gambar 9. Prinsip Dasar Keberlanjutan Kebijakan Pertanian (Norton,2004) Kebijakan yang diambil didasarkan atas lima prinsip dasar keberlajutan agar kebijakan dapat dijalankan dalam waktu lama. Keberlanjutan secara ekonomi berarti strategi yang diterapkan harus memberikan keutungan ekonomi bagi masyarakat. Keberlanjutan secara sosial menyangkut strategi yang diambil juga memperhatikan pengembangan masyarakat pada level bawah. Kebijakan yang memiliki visi yang jauh ke depan perlu dilindungi dengan kebijakan fiskal yang konsisten dengan institusi yang handal serta dilakukan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan (Norton, 2004) 37 2.4.6. Hubungan antara Pembuatan Kebijakan dengan Analisis Kebijakan Analisis kebijakan tidak dapat dimengerti sepenuhnya tanpa pemahaman tentang proses pembuatan kebijakan. Analisis kebijakan mencoba memberikan informasi mengenai konsekuensi-konsekuensi dari suatu tindakan (action) yang diusulkan. Gambar 10 berikut menunjukkan kerangka atau model tentang hubungan antara pembuatan kebijakan dengan analisis kebijakan menurut Norton (2004). Indentifikasi Masalah DIAGNOSIS. Apa yang menjadi masalah? PROGNOSIS. Apa yang akan terjadi jika kita tidak melakukan apapun? Perumusan SubTujuan Pada dasarnya Tujuan utama suatu kebijakan adalah human development yang dilanjutkan merumuskan subtujuan pada setiap pemecahan permasalahan yang mengerucut pada pemecahan masalah secara keseluruhan Formulasi Usulan Kebijakan PEMIKIRAN STRATEGIK Apa rencana untuk mengatasi masalah? Apa yang seharusnya menjadi sasaran, tujuan dan prioritas? PILIHAN. Cara spesifik apa yang tersedia untuk mencapai tujuan tersebut? MENAKSIR DAMPAK. Mana yang dipilih atau keduaduanya merupakan keuntungan yang sebesar-besarnya atau meminimumkan dampak yang buruk? Gambar 10. Elemen-Elemen Pembuatan Kebijakan (Norton, 2004). Analisis pada tahap formulasi kebijakan meliputi: 1) Identifikasi kebutuhan yang akan diwujudkan, 2) Identifikasi sumber-sumber penyebab masalah, dan 3) Mengkaji bagaimana kelompok-kelompok populasi tertentu akan dipengaruhi. Masalahnya adalah perbedaan substansial antara apa yang ada dan apa yang seharusnya. Tujuan utama dalam analisis kebijakan adalah menganalisa dan menyajikan alternatif yang tersedia melalui sintesa, riset, dan teori-teori yang ada dalam menyelesaikan masalah. Tujuan kebijakan yang berpijak pada pertanian menurut Norton (2004) adalah mendukung pengembangan manusia (human develompment), tujuan spesifiknya adalah untuk memastikan pemenuhan nutrisi dan kebutuhan dasar lainnya, dan memberikan kontribusi terhadap kepuasan masyarakat terhadap pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut. 38 Dalam penelitian ini kebijakan juga melingkupi intervensi atau keterlibatan pemerintah dalam mengendalikan produksi dan kebutuhan konsumsi masyarakat secara efisien. Selama ini, pemerintah melakukan intervensi antara lain dengan cara membuat peraturan, memberikan subsidi, turut terlibat dalam produksi, memberikan bantuan atau menjadi perantara (melakukan intermediasi) yang memberikan dampak signifikan pada pengembangan industri, seperti halnya Pemerintah model yang dikembangkan oleh Deperindag pada tahun 2001 (Gambar 11.). Eksternal / Makroekonomik Fundamemntal / Kebijakan / Peraturan Keselamatan lingkungan yang berkelanjutan Swasta Persediaan Input-input: - Permesinan / peralatan - Pupuk / pestisida - Benih / material pembibitan Pemerintah Downstream Industries (Aktivas yang memberikan nilai tambah) Pemrosesan lanjutan. pengepakan, handling, pergudangan, distribusi, pemasaran Sektor / Klaster Inti Agro-industri (Berdasarkan letak Geografis) Produksi Utama Assembly,Peningkatan, Pemrosesan utama Penggolongan. pengepakan & manajemen kualitas Upstream Industries (Mempertinggi produktivitas) Infrastruktur dan Jasa Pendukung Lainnya yang Berhubungan Teknologi Fasilitas Investasi Penambahan dan Jasa Pelatihan Infrastruktiur Sosial Pengembangan SDM R&D Infrastruktur Fisik Gambar 11. Kerangka Model Analisis Klaster Berbasis Pertanian (Deperindag, 2001) Pendekatan ekonomi dalam kebijakan didasarkan pada konsep persaingan sempurna yang berpandangan bahwa produsen (yang memaksimalkan keuntungan) dan konsumen (yang bertujuan memaksimumkan utilitasnya) berinteraksi sedemikian rupa hingga menciptakan suatu pola produksi dan konsumsi (atau alokasi barang dan sumber daya) yang paling efisien di dalam perekonomian. Pola alokasi yang paling efisien di atas (dikenal sebagai “efisien pareto”) merupakan pola yang memaksimumkan tingkat kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Akan tetapi di didalam perekonomian yang sesungguhnya asumsi-asumsi dasar dalam ekonomi pasar persaingan sempurna umumnya tidak terpenuhi, sehingga pasar tidak mampu menciptakan pola alokasi yang paling efisien. 39 Kegagalan pasar (market failure) sering dijadikan sebagai alasan untuk melibatkan pemerintah dalam mengendalikan produksi dan konsumsi masyarakat, dengan kata lain kebijakan dianggap perlu untuk mengatasi kegagalan pasar. Kegagalan pasar yang sering digunakan sebagai alasan perlunya intervensi pemerintah (Belly, 1977) adalah: (a) kompetisi tidak berlangsung sempurna (ada pelaku ekonomi yang memiliki kekuatan monopoli), (b) produsen memindahkan biaya atau memberi manfaat membayar ongkos atau menagih kepada produsen lain atau konsumen tanpa pembayaran atas manfaat tersebut (terjadi eksternalitas), (c) barang yang dihasilkan merupakan barang publik yang kepada penggunanya tidak dikenakan biaya, (d) pasar bersifat tidak lengkap (pasar tidak berlangsung terus-menerus di masa depan dan tidak mencakup semua resiko yang mungkin), dan (e) informasi tidak tersedia secara lengkap dan sempurna. 2.4.7. Fasilitas Pengembangan Agroindustri Fasilitas dan jasa pelayanan yang lebih banyak lagi diperlukan untuk memacu perkembangan agribisnis. Fasilitas-fasilitas tersebut harus tersedia dan terjangkau oleh para stakeholders. Kebutuhan akan fasilitas-fasilitas tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut (Deperindag, 2004): a) Pelayanan para ahli, termasuk jasa pelayanan profesional (persiapan, konstruksi, keteknikan), jasa konsultan (operasi, evaluasi dan penyesuaian), dan jasa pendukung manajerial (entrepreneurial, konsultasi hukum, pemasaran). b) Organisasi khusus bisnis pertanian (kelompok tani, asosiasi, koperasi, kerjasama kelompok atau bisnis, perusahaan). c) Jasa keuangan (bank, asuransi, kredit mikro, kerjasama modal). d) Teknologi (produksi, panen dan pasca panen, pemrosesan, ditribusi, pemasaran). e) Pengembangan sumber daya manusia, tenaga kerja terlatih (ahli mesin pertanian, keuangan, akunting, pemasaran, promosi, hukum). f) Infrastruktur, jalan, kelistrikan, transportasi, pergudangan, unit pemrosesan, pengepakan. Hal-hal tersebut dijelaskan pada Gambar 12 berikut. 40 FONDASI EKONOMI Teknologi dan kemampuan R&D - teknologi asli lokal/ asal - Sumber Global - Proses dan Sistem Informasi Industri-industri pendukung ( Penyedia Teknologi, Permesinan dan Barang-barang Material Kluster Indistri Berbasiskan Sistem Suplai PertanianSistem Pelayanan dan Sistem suplai input material bahan mentah utama Sistem Suplai Pemrosesan Utama Pemrosesan Sekunder/ Tersier Input Peralatan dan Permesinan SISTEM INDUSTRI UTAMA Kekuatan Sumber Daya Alam - Sumber Daya Tanah/ Lahan - Sumber Daya Air - Iklim/Cuaca - Lingkungan Infrastruktur Fisik - Energi - Transportasi - Komunikasi Nilai Tambah Sumber Daya Manusia - Kualitas - Kuantitas - Ketersediaan dan Responsivitas Per Pekerja Lingkungan Bisnis dan Pelayanan Pendukung - Sumber Modal - Keuangan - Insentif - Investasi - Perbankan - Jaminan PASAR EKSPOR PASAR DOMESTIK Produktivit as Per Unit R&D Farm Produksi Pasca Panen Production Distribusi Penjualan & R&D Farm Farm Produksi Distribusi Sales & R&D Produksi Distribusi Penjualan & Logistik Marketing Pasca Panen Production Logistik Marketing Pasca Panen Production Logistik Marketing Aktivitas Rantai Nilai Tambah Bahan Mentah Layanan R&D - Produksi - Pemrosesan - Pasca Panen - Keamanan Produk - Produk - Sistem kualitas Aktivitas Rantai Nilai Tambah Primer - Perbaikan & Pemeliharan Mesin - Pendukung Bisnis penting lain - Akunting - Manajemen proyek - Jasa Konsultan Aktivitas Rantai Nilai Tambah Sekunder - Transportasi dan Jasa Komunikasi Jasa Ekspor - Broker - Forwarding - Jasa Pelabuhan Industri-industri dan jasa yang saling terkait dan berhubungan Gambar 12. Klaster Industri berbasis pertanian (Deperindag, 2004) 41 Kebijakan industri merupakan intervensi pemerintah secara sengaja dan terkoordinasi untuk mengembangkan industri. Melalui kebijakan industri pemerintah mengatur alokasi sumberdaya diantara industri-industri atau mempengaruhi level aktivitas perusahaan-perusahaan di dalam suatu industri, pemerintah mendorong peningkatan produksi, investasi, penelitian dan pengembangan, modernisasi atau restrukturisasi di jenis-jenis industri tertentu, dan mendorong penurunannya di industri lain (Norton, 2004). Tujuan utama kebijakan industri di negara sedang berkembang pada prinsipnya adalah untuk pertumbuhan, pembangunan dan modernisasi ekonomi nasional (Norton, 2004). Kebijakan yang dilakukan berkaitan dengan pemaksimalan kesejahteraan masyarakat dengan cara pembuatan kebijakan. Tujuan utama tersebut diwakili oleh sejumlah tujuan yang tidak selalu saling kompatibel, misalnya, industrialisasi (mempercepat transformasi dari perekonomian berbasis pertanian ke perekonomian berbasis industri, pendalaman struktur industri, substitusi impor), pengembangan teknologi, orientasi ekspor, penciptaan lapangan kerja, pengembangan industri kecil menengah dan desentralisasi spasial. Dalam penyusunan kebijakan industri, tujuan-tujuan di atas adalah sebagai proksi bagi tujuan utama yang lebih luas yaitu efisiensi dan pertumbuhan. Instrumen yang digunakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan kebijakan industri adalah kebijakan makro ekonomi, kebijakan perdagangan, kebijakan sektor finansial, kebijakan pasar tenaga kerja, kebijakan pajak, sistem insentif bagi investasi industri, peraturan perijinan industri, peraturan kepemilikan dan investasi pemerintah serta kebijakan penyediaan infrastruktur. Peranan program pengembanan pertanian dalam pengembangan ekonomi nasional diperlihatkan pada Gambar 13. 42 Nutrisi dan material lain yang dibutuhkan di area pedesaan Kekuatan daya beli dari daerah pedesaan Harga Komoditas Pertanian di Pedesaan Nutrisi dan meterial lain yang dibutuhkan di area perkotaan Program-Program Bantuan Pendampingan Program Pangan yang ditargetkan Efek berganda dari Permintaan Konsumen Lapangan Kerja dan Pendapatan Petani Produksi Pertanian (nilai nyata) Produksi nonpertanian, pendapatan dan lapangan pekerjaan Buruh, modal, kebijakan industri dan faktor lain Nilai tukar mata uang asing dan impor Ekspor Pertanian Investasi Kebijakan perdagangan, nilai tukar, kebijakan dan perundangundangan Program-program manajemen sumberdaya dan kebijakan Akses terhadap teknologi dan pasar Keterangan Tujuan langsung program-program pertanian Tujuan tidak langsung programprogram pertanian Gambar 13. Peranan Program Pengembangan Pertanian Dalam Pengembangan Ekonomi Nasional (Norton, 2004) Sektor pertanian mempunyai peranan yang penting dalam pembangunan perekonomian nasional. Namun demikian, potensi sektor pertanian belum dikembangkan secara optimal. Hal tersebut tercermin dari sebagian besar hasil dari sektor pertanian masih berupa komoditas (produk segar). Hal tersebut mengakibatkan aktivitas usaha pertanian yang dilakukan terperangkap pada resiko yang diakibatkan karakteristik khas pertanian berbasis komoditas seperti fluktuasi 43 harga, tingkat kerusakan yang tinggi, dan musiman. Kondisi tersebut mengkibatkan instabilitas kinerja para pelaku di sektor pertanian. Dalam upaya mengurangi resiko khas pertanian berbasis komoditas, diperlukan berbagai upaya lanjutan berupa proses peningkatan nilai tambah (value added). Menurut USDA (Amanor-Boadu, 2005) nilai tambah dalam pertanian terbentuk ketika terjadi perubahan dalam bentuk fisik atau bentuk produk pertanian atau adopsi metode produksi atau proses penanganan yang bertujuan untuk meningkatkan basis konsumen bagi produk tersebut serta mendapatkan porsi yang lebih besar dari pengeluaran pembelanjaan konsumen yang tumbuh untuk produsen. Berdasarkan definisi tersebut, secara lebih lanjut Amanor-Boadu (2005) menyatakan bahwa inisiatif nilai tambah bisnis pada suatu rantai pasokan yang ada terjadi sebagai imbalan atas aktivitas yang dilakukan oleh pelaku usaha industri hilir pada suatu rantai pasokan. Ukuran imbalan tersebut secara langsung dan proporsional ditujukan untuk kepuasan konsumen. Imbalan tersebut berbentuk harga yang tinggi, peningkatan pangsa pasar, dan atau peningkatan akses pasar. Dengan demikian, hal tersebut akan meningkatkan tingkat keuntungan bagi pelaku usaha. Coltrain et al. (2000) menyatakan bahwa terdapat dua jenis nilai tambah, yaitu inovasi dan koordinasi. Inovasi meliputi aktivitas yang memperbaiki ”proses yang ada, prosedur, produk dan pelayanan atau menciptakan sesuatu yang baru” dengan menggunakan atau memodifikasi konfigurasi organisasi yang telah ada (Tabel 5). Tabel 5. Tipologi Peluang Dalam Inisiatif Nilai Tambah (Amanor-Boadu, 2005) Dimensi Waktu Lokasi Produk/Pelayanan Proses/Metode Informasi Insentif Peluang Nilai Tambah Inovasi Koordinasi Kecepatan Kenyamanan Bentuk Teknologi Penyampaian Just in Time Efisiensi Logistik Aliansi Strategik Keamanan, Etika Motivator Sistem Informasi Transparansi 44 Koordinasi merupakan harmonisasi fungsi dalam keseluruhan bagian sistem. Hal tersebut merupakan peluang dalam meningkatkan koordinasi produk, pelayanan informasi dalam sepanjang rantai pasokan untuk menciptakan imbalan yang nyata dan meningkatkan nilai sepanjang rantai pasokan. Chopra dan Meindl (2001) menyatakan bahwa kesenjangan koordinasi akan menimbulkan ”bullwhip effect” atau fluktuasi dalam pesanan. Hal tersebut akan berdampak pada peningkatan biaya. Inisiatif nilai tambah koordinasi difokuskan pada hubungan vertikal dan horisontal di antara produsen, pengolahan, perantara, distributor dan pengecer. Peluang untuk menghasilkan nilai tambah pada pertanian masih sangat terbuka lebar, karena nilai tambah yang ada terpaku pada upaya untuk menghasilkan produk segar, sedangkan pengembangan produk hilir berbasis hasil pertanian masih terbatas. Terdapat beberapa peluang pengembangan industri hilir berbasis hasil pertanian di antaranya adalah industri pangan, industri biokimia, industri bioenergi, industri biofarmaka, industri biopolimer serta industri masa depan yang merupakan konvergensi di antara berbagai industri tersebut (Rochman, 2011). Seluruh peluang dalam inisiatif nilai tambah pertanian dalam dunia nyatanya saling berinteraksi. Berdasarkan hal tersebut seluruh inisiatif tersebut harus dirancang secara sistematik untuk mencapai satu tujuan, yaitu mencapai keunggulan kompetitif berbasis nilai tambah secara berkelanjutan. Nilai tambah tersebut dapat diciptakan pada suatu unit usaha, pada suatu unit kawasan bahkan pada suatu negara. Dalam mencapai hal tersebut diperlukan kerjasama para stakeholders dalam pembangunan perekonomian nasional. Secara lebih spesifik, Amanor-Boadu (2005) menyatakan bahwa terdapat dua katagori utama peluang dalam pertanian yang dapat dikembangkan oleh para stakeholders, yaitu pangan dan non pangan. Pengembangan hasil pertanian menjadi produk pangan akan mengarah pada pengembangan pangan eksotik, pangan fungsional dan reposisi produk tradisional. Arahan tersebut terjadi karena tuntutan dari perubahan perilaku konsumen, dimana produk pangan tidak hanya berfungsi sebagai kebutuhan dasar manusia, tetapi berkembang ke arah fungsi makanan yang menyehatkan. 45 2.5. Analisis SWOT Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis utnuk merumuskan strategi sebuah organisasi. Analisa didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Stengths) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weakness) dan ancaman (Threats). Yang dimaskud dengan faktor kekuatan adalah kompetensi khusus yang dimiliki sebuah organisasi yang menjadi keunggulan komparatif maupun kompetitif. Faktor kelemahan adalah kekurangan yang dimiliki oleh suatu organisasi yang menjadi penghalang utama bagi keinerjanya. Faktor peluang adalah berbagai situasi lingkungan yang menguntungkan suatu organisasi, sedangkan faktor ancaman adalah faktor-faktor lingkungan yang menguntungkan suatu organisasi yang jika tidak diatasi akan menjadi ganjalan baik untuk masa sekarang ataupun masa yang akan datang. Analisa SWOT dapat dilakukan dengan membuat matriks SWOT yang dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi oeganisasi dapat diselesaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Matriks tersebut dapat menghasilkan empat set kemungkinan alternatif strategi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 14 (David, 2004). STRENGTHS (S) WEAKNESS (W) Daftar faktor-faktor kekuatan internal. Daftar faktor-faktor kelemahan internal. OPPORTUNITIES (O) STRATEGI S-O STRATEGI W-O Daftar faktor-faktor peluang ekternal. Strategi yang memanfaatkan kekuatan untuk mendapatkan peluang. Strategi yang meminimalkan kelemahan untuk mendapatkan peluang. THREATHS (T) STRATEGI S-T STRATEGI W-T Daftar faktor-faktor ancaman ekternal. Strategi yang memanfaatkan kekuatan untuk mengatasi acaman. Strategi yang meminimalkan kelemahanuntuk mengatasi acaman. SW OT Gambar 14. Ilustrasi Matriks SWOT Dalam Indentifikasi Alternatif (David, 2004) 46 Pengelompokan dari masing-masing alternatif strategi dapat dilakukan pada empat kuadran SWOT yaitu sebagai berikut: a) Strategi S-O (Strength-Opportunity) Strategi ini dibuat berdasarkan sebuah pemikiran yang memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan mengambil peluang sebesar-besarnya. b) Strategi S-T (Strength-Threat) Strategi disusun berdasarkan kerangka pemikiran untuk memanfaatkan seluruh kegiatan yang dimiliki sebuah organisasi untuk mengatasi atau menghindari ancaman. c) Strategi W-O (Weakness-Opportunity) Strategi ini disusun berdasarkan sebuah kerangka pemikiran yang meminimalkan kelemahan yang dimiliki untuk mendapatkan peluang yang besar. d) Strategi W-T (Weakness-Threat) Strategi ini disusun berdasarkan pada sebuah pemikiran yang bersifat defensif yang beupaya meminimalkan kelemahan yang dimiliki dan menghindari ancaman. Pada proses formulasi kebijakan, analisis SWOT banyak digunakan dan dijadikan pondasi untuk pengembangan dan perumusan kebijakan dari sebuah organisasi. Namun demikian, analisis SWOT tradisional umumnya menganalisis faktor-faktor lingkungan strategis secara kualitatif semata sehingga hasilnya kurang objektif dan tidak memberikan prioritas terhadap berbagai faktor dan strategi yang ada (Hill, 1997). Oleh karena itu berbagai pendekatan telah dilakukan untuk memperbaiki analisis SWOT tradisional dengan perhitungan kuantitatif. David (1998, 2002) meringkas berbagai metode analisis SWOT secara kualitatif meliputi matriks evaluasi faktor-faktor eketrnal (EFE: External Factor Evaluation) dan (IFE: Internal Factor Evaluation) yang dapat digunakan untuk merumuskan strategi yang lebih akurat sehingga mendapatkan hasil yang lebih objektif. 47 2.6. Analytical Hierarchy Process ( AHP) Metode AHP (Analytical Hierarchy Process) merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan dalam pengambilan suatu keputusan. Metode AHP ditujukan untuk memodelkan problema-problema tidak terstruktur, baik untuk bidang ekonomi, sosial maupun sains manajemen. AHP merupakan suatu model yang luwes yang mampu memberikan kesempatan bagi perorangan atau kelompok untuk membangun gagasan-gagasan dan mendefinisikan persoalan dengan cara membuat asumsi mereka masing-masing dan memperoleh pemecahan yang diinginkan. Proses ini juga memungkinkan penguna AHP menguji kepekaan hasilnya terhadap perubahan informasi (Saaty, 2011). AHP memasukkan pertimbangan dan nilai-nilai pribadi secara logis. Proses ini bergantung pada imajinasi, pengalaman dan pengetahuan untuk menyusun hierarki suatu masalah pada logika, intuisi dan pengalaman untuk memberikan pertimbangan. Metode AHP mempunyai beberapa prinsip yaitu decomposition, comparative judgement, synthesis of priority dan logical consistency. AHP dilakukan melalui empat langkah yaitu identifikasi sistem, penyusunan hirarki, penyusunan matriks gabungan, pengolahan vertikal dan penghitungan vektor prioritas. Tabel 6 berikut menjelaskan mengenai prinsip-prinsip AHP. Tabel 6. Prinsip-prinsip AHP (Saaty, 2011) No Prinsip AHP Uraian 1 Decomposition Memecahkan persoalan menjadi unsur-unsur terkecil 2 Judgement Penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat diatasnya. Hasil penilaian disajikan dalam matriks pairwise comparison 3 Synthesis of Priority Mencari eigen vector untuk mendapatkan local priority dari setiap matriks 4 Logical Consistency Pengelompokan objek-objek yang serupa sesuai dengan keseragaman dan relevansi dan pendefinisian tingkat hubungan antara objek- objek yang didasarkan pada kriteria tertentu. 48 Menurut Saaty (1980), tahapan terpenting dalam analisis adalah penilaian dengan teknik komparasi berpasangan (pairwise comparison) terhadap elemenelemen pada suatu tingkatan hirarki. Penilaian dilakukan dengan memberikan bobot numerik dan membandingkan antara satu elemen dengan elemen lainnya. Tahap selanjutnya adalah melakukan sintesa terhadap hasil penilaian untuk menentukan elemen mana yang memiliki prioritas tertinggi dan terendah. Penggunaan metoda hibrid SWOT-AHP ini telah diigunakan pada beberapa penelitian terdahulu, diantaranya adalah pada penelitian yang dilakuka oleh Kurtilaa (1999) yang mengembangan metoda hibrid SWOT-AHP sebagai upaya peningkatan usabilitas metoda analisis SWOT. AHP dengan kerangka perhitungan nilai eigen diintegrasikan dengan analisis SWOT. Hubungan AHP dengan SWOT secara analitik membantu menghasilkan prioritas faktor-faktor yang dihasilkan dalam kriteria-kriteria SWOT untuk digunakan dalam meningkatkan informasi kuantitatif dari proses perencanaan jangka panjang. Pola hibrid ini diterapkan Kurtilaa pada penelitian sertifikasi hutan yang menunjukkan bahwa sertifikasi dapat menjadi alternatif strategi yang dikembangkan dalam pengelolaan hutan. Di lain pihak, perbandingan berpasangan sangat bermanfaat untuk membuat pakar mempertimbangkan lebih matang pada pembobotan faktor yang ada untuk kemudian dianalisa lebih tajam dan lebih dalam. Pada beberapa penelitian yang menyangkut bidang pertanian, analisis prospek dan pemetaan daya saing produk-produk pertanian, Shrestha (2004) mengekplorasi adopsi pola silvopasture di Florida Tengah bagian Selatan yang mengakomodir opini dari para pakar dalam praktek dengan pola silvopasture di Florida. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kekuatan dan kesempatan pengembangan pola tersebut berada diatas kelemahan dan ancamannya. Pola silvopasture yang dikembangkan memberikan dampak keuntungan bagi lingkungan serta dukungan pemerintah dinilai sebagai sebagai kesempatan yang bernilai tinggi serta diperlukan pengembangan kebijakan yang berkaitan dengan praktek silvopasture. Di Indonesia, Rochman (2011) merumuskan strategi pengembangan nanoteknologi dalam rangka peningkatan daya saing global agroindustri nasional dengan memilih bidang agroindustri yang cocok dikembangkan dengan menerapkan nanoteknologi didalamnya.