Sepuluh Tahun Hak Buruh di Indonesia

advertisement
Sepuluh Tahun Hak Buruh di Indonesia
November 2009
Solidarity
Center
Oleh Staf Solidarity Center
”Serikat Pekerja/Buruh
Indonesia yang demokratis
telah berhasil memainkan
peran kritis dalam
pembuatan kebijakan yang
demokratis, khususnya
dalam membangun dan
mempertahankan sebuah
struktur hubungan kerja
yang baru tumbuh”.
PADA 28 Maret 2000, Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi ILO
No. 182 tentang Penghapusan Bentuk-Bentuk Terburuk Pekerjaan Anak,
termasuk yang terdahulu di antara 183 negara anggota ILO lainnya.1
Konvensi ini bertujuan untuk menghapuskan perburuhan anak yang
mengambil bentuk perbudakan dan pekerjaan yang berbahaya bagi
kesehatan, keselamatan dan moral anak. Konvensi No. 182 adalah
konvesi yang kedelapan dan terakhir, yang mengkodifikasi standar inti
perburuhan ILO
yang ditetapkan
dalam PrinsipPrinsip dan HakHak Dasar di
Pekerjaan (lihat
Bagan 1)
© Solidarity Center
Ratifikasi Konvensi
No. 182 melengkapi
berbagai ratifikasi
atas konvensi
standar inti
perburuhan
segera setelah
Anggota Serikat Pekerja Nasional
pengunduran diri
(SPN)
Presiden Soeharto
pada bulan Mei
1998 dan hancurnya Orde Baru Soeharto.2 Awal 1998, pemerintah
Indonesia bergerak sangat cepat untuk menyelaraskan undang-undang
ketenagakerjaan dan struktur hubungan industrial nasional dengan
standar-standar inti perburuhan.
Dalam dekade sesudahnya, negara ini mengalami tiga pemilihan
parlemen, dua pemilihan presiden langsung, program desentralisasi
pemerintah masif (yang diikuti dengan pilkada di propinsi maupun
kab/kota), dan revisi konstitusi. Dalam periode yang sering terlihat
demokrasi yang agak liar, secara umum disebut Reformasi, telah berhasil
mengarahkan Indonesia ke arah landasan politik demokratis yang kuat.
Terlepas adanya perubahan-perubahan ini, masih ada pertarungan
kebijakan dan kesenjangan yang berlanjut antara cita-cita Reformasi dan
warisan praktek-praktek dari rezim lama. Hal ini juga berlaku untuk hakhak pekerja/buruh dan perjuangan yang berlanjut untuk menegakkan
realitas hubungan kerja dengan janji-janji yang terkandung dalam standar
www.solidaritycenter.org
rl_policy_brief_Indo.indd 1
1
12/19/2009 8:24:35 PM
inti perburuhan ILO. Meskipun sangat terkekang di bawah Soeharto dan
tiba-tiba dipaksa untuk merespon secara cepat terbukanya lingkungan
politik, serikat pekerja/buruh Indonesia yang demokratis telah berhasil
memainkan peran kritis dalam pembuatan kebijakan yang demokratis,
khususnya dalam membangun dan mempertahankan sebuah struktur
hubungan kerja yang baru tumbuh.
Ingatan yang menyakitkan, Janji-Janji yang Berani
Pengunduran diri Soeharto pada tahun 1998, di tengah Krisis Keuangan
Asia, meningkatnya ketegangan di Timor Timur, dan kerusuhan/
ketidakpuasan massa, mendorong pemerintah Indonesia untuk meninjau
sejumlah kewajiban internasionalnya. Dalam memoarnya, Soeharto
mengangkat langsung penggantinya, BJ Habibie, menyebutkan bahwa
ratifikasi standar inti perburuhan ILO yang cepat adalah ”diperlukan
untuk memenuhi komitmen kami kepada organisasi-organisasi
multilateral” seperti ILO, ADB (Bank Pembangunan Asia), Bank Dunia,
dan IMF (International Monetary Fund).3 Sementara tuntutan dari
Lembaga Keuangan Internasional (LKI) yang kuat pada hari-hari Krisis
Keuangan Asia membawa beban nyata, dan pemerintah Indonesia tidak
paham tentang mengapa mempromosikan hak-hak pekerja/buruh secara
simultan adalah sangat penting.
”Solidarity Center adalah
organisasi nirlaba aliansi AFLCIO yang didirikan untuk
menyediakan bantuan ke seluruh
pekerja/buruh di seluruh
dunia. Bekerja dengan serikat
pekerja/buruh, organisasi non
pemerintah (LSM), organisasi
kemasyarakatan, dan pemerintah.
Solidarity Center mendukung
program-program dan proyekproyek untuk memajukan
hak pekerja/buruh dan
mempromosikan pembangunan
ekonomi dan demokrasi secara
internasional dan berkelanjutan
di 60 negara. Solidarity Center
berperan dalam pemberian
bermacam-macam bantuan
teknis, kegiatan pendidikan
dan lainnya untuk membantu
pekerja/buruh membangun
serikat pekerja/buruh yang
demokratis dan independen serta
mempromosikan HAM dan hak
pekerja/buruh di seluruh dunia.”
www.solidaritycenter.org
Disusun dan didistribusikan atas dukungan dana
dari National Endowment for Democracy
Sementara Habibie tidak memberikan petunjuk, jawabannya mungkin
terletak pada fakta bahwa aksi ketidakpuasan pekerja dan pelanggaran
hak-hak pekerja/buruh telah menjadi duri dalam daging sejak pemerintah
Indonesia selama dekade terakhir kekuasaan Soeharto. Meningkatnya
aksi ketidakpuasan mahasiswa dan tekanan dari tuntutan LKI terkait
dengan krisis keuangan menciptakan prospek meningkatnya sakit hati
dan demonstrasi publik oleh pekerja/buruh. Tahun-tahun yang menuntun
ke arah Krisis Keuangan Asia ditandai oleh campur tangan negara dan
militer yang terus menerus dalam hubungan kerja dan meningkatkan
represi terhadap organisasi pekerja/buruh yang demokratis. Kritik
hebat dari gerakan buruh internasional serta organisasi non-pemerintah
(LSM) internasional seperti Human Rights Watch dan peningkatan
pengawasan hak-hak pekerja/buruh oleh pemerintah AS merupakan
tekanan nyata pada pemerintah Indonesia agar mau berubah.4 Pemerintah
kemudian melakukan upaya-upaya yang dipublikasikan secara luas
untuk membuka perjanjian kerja bersama bagi serikat pekerja/buruh
independen di tingkat unit/tempat kerja dan untuk secara sah mengakhiri
peran kelembagaan militer dalam hubungan kerja, tetapi belum ada bukti
adanya niatan untuk secara efektif menerapkan perubahan-perubahan
ini. Kebijakan anti-serikat buruh menjadi norma standar, dan para
pemimpin militer terus berkolusi dengan bisnis/pengusaha dan pejabat
pemerintah. Pemimpin serikat buruh seperti Muchtar Pakpahan dan Dita
Sari dipenjarakan (Pakpahan lebih dari sekali), dan organisasi buruh
independen seperti Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) dan Aliansi
Jurnalis Independen (AJI) terus-menerus ditekan.5 Beberapa mengalami
nasib naas: aktivis serikat pekerja/buruh lokal Marsinah (1993) dan Rusli
(1994) terbunuh dan tak terhitung jumlah mereka yang terluka atau tewas
dalam kekerasan anti serikat pekerja/buruh.
2
rl_policy_brief_Indo.indd 2
12/19/2009 8:24:35 PM
”Pada saat yang sama,
serikat-serikat pekerja/
buruh independen
harus beradaptasi
secara cepat terhadap
terbukanya lingkungan
politik dan meminta
pertanggungjawaban
pemerintah atas
janjinya terkait masalah
internasional”.
Penuntutan dan pemenjaraan para aktivis seperti Muchtar Pakpahan dan
Dita Sari dilakukan untuk menangkal serbuan tekanan internasional.
Meningkatnya pemogokan yang berujung rusuh, pengorganisasian
serikat pekerja/buruh independen, dan kerjasama dengan mahasiswa
yang melakukan perlawanan, telah memainkan peran penting dalam
mendapatkan dukungan akar rumput untuk protes yang memaksa
Soeharto turun.6 Dengan persiapan waktu yang singkat, gerakan buruh
Indonesia yang demokratis memasuki era paska-Soeharto dengan
tugas yang menakutkan – yakni memastikan bahwa pemerintah akan
memasukkan standar-standar hak pekerja/buruh yang secara internasional
telah disetujuinya dalam praktik-praktik di dalam negeri.
SP/SB dalam Lingkungan Politik yang Berubah
Pemerintahan paska-Soeharto mungkin berharap untuk segera
meratifikasi standar inti perburuhan yang tersisa dalam rangka
menunjukkan komitmennya kepada masyarakat internasional untuk
perubahan di bidang hak asasi manusia. Pada saat yang sama, serikatserikat pekerja/buruh independen harus beradaptasi secara cepat terhadap
terbukanya lingkungan politik dan meminta pertanggungjawaban
pemerintah atas janjinya terkait masalah internasional. Negara anggota
ILO mempunyai kewajiban untuk menerapkan konvensi yang telah
diratifikasi melalui undang-undang nasional, tapi akankah Indonesia
memberlakukan undang-undang baru, atau akankah ratifikasi-ratifikasi
tersebut merupakan pepesan kosong?
Sementara demokrasi Indonesia yang masih baru mewarisi sistem
penyusunan kebijakan yang berpusat di Jakarta, kepresidenan yang
melemah membuat otoritas yang lebih besar bergeser ke parlemen (DPR)
dan departemen/kementrian eksekutif, seperti Departemen Tenaga
Kerja dan Transmigrasi, badan pemerintah yang bertugas menegakkan
undang-undang/hukum-hukum perburuhan/ketenagakerjaan nasional
Indonesia.7 Desentralisasi (otonomi daerah) memang telah memindahkan
lebih banyak kekuasaan administratif ke luar Jakarta, tetapi pemerintah
pusat tetap menjadi tempat utama untuk diskusi-diskusi kebijakan
terkait implementasi dan penegakan hukum-hukum perburuhan. Komisi
Tripartit Nasional - yang terdiri dari wakil-wakil serikat pekerja/buruh,
asosiasi pengusaha (APINDO), dan Departemen Tenaga Kerja - telah
memainkan peran kelembagaan kunci dalam mempromosikan dialog
mengenai perubahan-perubahan hukum/undang-undang perburuhan.
Peran Komisi Tripartit Nasional dalam memfasilitasi diskusi kelembagaan
terkait penyusunan kebijakan yang demokratis telah membantu transisi
demokrasi Indonesia untuk berlabuh. Dengan masukan kuat dari serikat
pekerja/buruh, badan tersebut telah memainkan peran utama dalam
menciptakan struktur dasar sistem hubungan industrial Indonesia,
terutama Undang-Undang Serikat Pekerja tahun 2000 dan UndangUndang Ketenagakerjaan tahun 2003, yang membawa hukum Indonesia
secara umum telah sejalan dengan kewajiban-kewajibannya dengan
ILO. Para pembela hak-hak pekerja/buruh tetap mempertanyakan peran
Komisi Tripartit Nasional, terutama pada tahun 2006 ketika serikat
pekerja/buruh menemukan bahwa kalangan bisnis/pengusaha dan
3
rl_policy_brief_Indo.indd 3
12/19/2009 8:24:35 PM
”Menurut banyak serikat
pekerja/buruh, kegagalan
dalam menegakkan
hukum-hukum perburuhan,
serta adanya penghalangpenghalang institusional
lainnya terhadap hakhak pekerja/buruh,
menunjukkan penundaan
yang berkelanjutan antara
janji-janji yang dibuat
pemerintah Indonesia
dalam meratifikasi
konvensi tentang
standar inti perburuhan
dengan kesediaan
pemerintah untuk
mengimplementasikannya
dalam praktek”.
pemerintah telah menyusun revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan
yang dalam prosesnya tidak melibatkan buruh. Revisi undang-undang
yang diusulkan, terutama terkait pesangon karyawan dan aturan-aturan
kontrak, telah mengundang protes hebat dari kalangan serikat pekerja/
buruh. Akibatnya, revisi tersebut dibatalkan, dan ini adalah kemenangan
sementara bagi buruh.8
Reformasi dan Penegakan
Protes yang dilakukan terkait revisi pada tahun 2006 terhadap UU
Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa gerakan buruh di Indonesia
telah mampu menyatu berkaitan dengan kebijakan penting di era
Reformasi. Mereka juga dapat mengarahkan sebuah tema utama dalam
dialog-dialog Indonesia yang demokratis terkait isu-isu perburuhan
-- kesenjangan antara prioritas-prioritas internasional dan kepentingan
bisnis dalam negeri, yang sering berusaha untuk melemahkan hukumhukum perburuhan, dan tujuan-tujuan serikat-serikat pekerja/buruh
Indonesia, yang fokus pada peningkatan dan penegakan hukum/
peraturan yang telah ada. Menurut banyak serikat pekerja/buruh,
kegagalan dalam menegakkan hukum-hukum perburuhan, serta adanya
penghalang-penghalang institusional lainnya terhadap hak-hak pekerja/
buruh, menunjukkan penundaan yang berkelanjutan antara janjijanji yang dibuat pemerintah Indonesia dalam meratifikasi konvensi
tentang standar inti perburuhan dengan kesediaan pemerintah untuk
mengimplementasikannya dalam praktek.
Perdebatan terkait potensi perubahan pada Undang-Undang
Ketenagakerjaan dari persepsi bisnis/pengusaha (diperkuat oleh
badan-badan internasional seperti Bank Dunia) bahwa peraturan
ketenagakerjaan, sebagaimana pesangon yang wajib diberikan ketika
pekerja di-phk, akan mengerem investasi dan peluang pekerjaan formal.9
Mereka membandingkan kewajiban-kewajiban seperti ini dengan aturan
hukum di negara-negara Asia lainnya yang lebih ”menguntungkan”,
khususnya Cina.10 Serikat pekerja/buruh dan para pendukung
mengajukan keprihatinan mereka terkait kurangnya penegakan hukum
perburuhan, kebijakan pajak yang tidak menguntungkan, lemahnya
infrastruktur, dan keprihatinan yang berlanjut dengan korupsi
kelembagaan. (Bank Dunia juga memasukkan banyak dari keprihatinan
ini pada daftar perubahan yang diperlukan).11 Menurut Rekson
Silaban, Ketua Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI),
”Pemerintah hanya ingin merevisi undang-undang ketenagakerjaan saja
tetapi tidak melakukan apapun untuk menghilangkan masalah-masalah
yang membuat investor asing kabur.”12
Perubahan aturan hukum lain yang diusulkan pada tahun 2006 (tapi
kemudian dihentikan) oleh kelompok bisnis dan pemerintah adalah
untuk mengamandemen Undang-Undang Ketenagakerjaan demi
memungkinkan penggunaan tenaga kontrak dan outsourcing yang lebih
besar. UU tahun 2003 tersebut memperbolehkan penggunaan tenaga kerja
kontrak untuk pekerjaan temporer (waktu tertentu) dan outsourcing untuk
pekerjaan yang bukan inti usaha (non-core bisnis).13 Serikat pekerja/buruh
mengkounter dengan menyebutkan bahwa kedua ketentuan tersebut
4
rl_policy_brief_Indo.indd 4
12/19/2009 8:24:36 PM
seringkali dilanggar dalam prakteknya dan menyebabkan peningkatan
pekerjaan informal dan situasi ketidakpastian kerja (precarious). Ini
membuat serikat pekerja/buruh, sebagai organisasi masyarakat berbasis
keanggotaan, terpaksa melakukan protes-protes publik yang besar dan
efektif yang pada akhirnya dapat menetapkan batas politik yang efektif
sekitar proses tersebut.
Untuk mengulur-ulur proses, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
meminta ”panel” lima universitas untuk mengkaji UU tersebut. Masalah
tersebut muncul sebentar di saat kampanye presiden 2009 ketika Presiden
Yudhoyono menyatakan kesediaannya untuk melihat kembali masalah
outsourcing. Lawan utamanya, Megawati Soekarnoputri, menyerukan
untuk membongkar sistem outsourcing - dengan dukungan vokal dari
banyak serikat pekerja/buruh.14 Setelah memenangkan pemilihan kembali
dan dengan suara parlemen yang lebih kuat untuk partainya, Yudhoyono
telah berjanji untuk membuat pertumbuhan ekonomi sebagai prioritas,
terlepas apakah hal tersebut memerlukan upaya lain terkait revisi undangundang ketenagakerjaan, dan dengan tingkat dialog sosial seperti apa,
masih harus dilihat.15
© Solidarity Center
Standar Inti Perburuhan: Hukum vs Praktek
Perdebatan tentang pekerja/buruh outsourcing dan kontrak merangkum
inti perbedaan antara perspektif serikat pekerja/buruh Indonesia dengan
perspektif pengusaha dan investor. Outsourcing dan kontrak memang
diperbolehkan (dengan batasan yang jelas) oleh UUK tahun 2003, tetapi
serikat pekerja/buruh telah mencatat adanya banyak cara yang dipakai
untuk menyalahgunakannya. Sebagai contoh, pekerja kontrak, yang
secara hukum hanya dipekerjakan secara temporer/sementara, ternyata
mereka dipekerjakan dan kemudian dipekerjakan kembali secara rotasi.16
Batasan untuk outsourcing, yang lebih tepatnya adalah dibatasi untuk
fungsi-fungsi kerja yang sifatnya bukan “core” bisnis (utama), jarang
dilaksanakan, Perusahaan, terutama di bidang manufaktur, menyerahkan
pekerjaan ke perusahaan-perusahaan outsourcing, di mana banyak dari
mereka yang mempekerjakan pekerja temporer dan kontrak dengan
jumlah yang besar. Sementara pengusaha dan investor mengeluh tentang
pesangon yang disebut sebagai penghalang untuk
mempekerjakan dan memecat pekerja penuh
waktu, mereka sedikit sekali bicara tentang fakta
Indonesia yang memiliki peringkat rendah dalam
bidang upah per jam, keselamatan dan kesehatan
kerja, serta kesejahteraan sosial seperti asuransi
kesehatan dan dana pensiun. Kesimpulan
argumen pekerja/buruh untuk mengkonter adalah
bahwa pekerja/buruh temporer dan kontrak,
pada kenyataannya memiliki pekerjaan yang
hampir tidak menentu, dibayar rendah, dan tanpa
kesejahteraan kerja yang sesuai untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi mereka. Jadi bagi serikat
pekerja/buruh, ketentuan hukum yang tidak
Presiden FSPMI di sesi perencanaan strategis
jelas telah membuka pintu untuk merajalelanya
dalam suatu loka karya
pelanggaran yang mengatasnamakan
5
rl_policy_brief_Indo.indd 5
12/19/2009 8:24:36 PM
”Sementara pengusaha
dan investor mengeluh
tentang pesangon
yang disebut sebagai
penghalang untuk
mempekerjakan dan
memecat pekerja penuh
waktu, mereka sedikit
sekali bicara tentang
fakta Indonesia yang
memiliki peringkat rendah
dalam bidang upah per
jam, keselamatan dan
kesehatan kerja, serta
kesejahteraan sosial
seperti asuransi kesehatan
dan dana pensiun”.
”fleksibilitas”. Meskipun kurang dalam hal pelaksanaannya, seruan untuk
fleksibilitas yang lebih masih terus berlanjut. Dalam rubrik di Jakarta Post
pada 3 Mei 2007, mantan Country Program Director Solidarity Center,
Rudy Porter mempertanyakan, ”Jika pekerja/buruh dan para pemimpin
mereka merelakan pengurangan upah pesangon, tunjangan/kesejahteraan
apa lagi yang kemudian akan diminta oleh perusahaan untuk dipotong
berikutnya. . .?”17
Ada isu-isu serupa dalam ranah standar inti perburuhan. Sementara
sistem hukum perburuhan paska-Soeharto merepresentasikan sebuah
langkah maju yang nyata dalam mematuhi standar inti perburuhan, tetapi
masih tetap saja ada masalah-masalah dengan implementasi di lapangan.
Pihak yang berwenang secara hukum melakukan upaya yang kurang
memadai dalam memerangi praktek-praktek peninggalan rezim lama.
Diskriminasi Anti Serikat Pekerja/Buruh
Sementara serikat pekerja di sektor swasta diperbolehkan untuk berserikat
dan mendaftarkannya ke Departemen Tenaga Kerja, hambatan-hambatan
tetap masih ada. International Trade Union Confederation (ITUC)
mencatat dalam laporannya tentang hukum Indonesia dan realita bahwa
meskipun secara teknis menghalangi pekerja untuk bergabung dengan
sebuah serikat pekerja/buruh adalah ilegal, pasal anti-diskriminasi jarang
diberlakukan karena keteledoran administrasi, korupsi, dan/atau lamanya
proses hukum yang lebih menguntungkan pengusaha dibanding pekerja.18
Baik serikat buruh Indonesia dan ILO telah menduga terjadinya berbagai
kasus diskriminasi terhadap serikat pekerja/buruh. Komplain yang
umum adalah pemecatan pemimpin serikat atau seluruh kelompok
pekerja selama atau setelah upaya mendirikan serikat pekerja/buruh.
Dalam kasus-kasus yang diajukan ke Komite Kebebasan Berserikat ILO,
pelanggaran-pelanggaran tertentu terulang kembali. Dalam perselisihan
perburuhan di perusahaan PT Musim Mas di Riau pada tahun 2005,
para pemimpin serikat dan lebih dari 700 pekerjanya dipecat. Dugaan
pelanggaran terhadap pengusahanya termasuk: menolak untuk mengakui
serikat pekerja yang didirikan secara demokratis oleh para karyawannya;
pendirian serikat pekerja perusahaan sebagai serikat pekerja tandingan;
tidak ada pembaruan kontrak pekerja; pemecatan terhadap 701 pekerja
dan 300 pekerja kontrak serta pengusiran banyak pekerja dan keluarga
mereka dari perumahan perusahaan setelah berlangsungnya pemogokan
yang sah; penangkapan enam pemimpin serikat pekerja; intimidasi,
pelecehan, dan hukuman mutasi bagi anggota dan pengurus serikat
pekerja, dan campur tangan polisi serta preman atas nama pengusaha.19
Beberapa tuduhan yang diungkapkan dalam komplain serikat pekerja/
buruh pada tahun 2006 yang dikirimkan ke Komite Kebebasan Berserikat
(CFA) ILO adalah kepada PT Securicor Indonesia yang menolak untuk
melakukan perundingan, melakukan pemecatan terhadap lebih dari 300
orang baik pengurus maupun anggota serikat pekerjanya, serta menolak
untuk mempekerjakan mereka kembali sebagaimana bunyi perintah
putusan pengadilan.20 Dalam komplain lainnya ke CFA, dalam kasus
lain, pekerja di PT Cigading Habeam Centre Company, yang sebagian
6
rl_policy_brief_Indo.indd 6
12/19/2009 8:24:36 PM
”Peninggalan yang
paling dikenal dari masa
lalu yang menghalangi
penguatan
supremasi hukum
berkenaan dengan
perselisihan
ketenagakerjaan adalah
terus berlangsungnya
penggunaan KUHP
untuk menghukum para
pemimpin serikat pekerja/
buruh dan aktivis”.
sahamnya dimiliki oleh perusahaan baja militer di Cilegon Banten,
menyatakan bahwa manajer perusahaan dan personil militer diduga
telah melakukan sejumlah pelanggaran dalam merespon tuntutan serikat
pekerja yang dilakukan secara damai terkait kenaikan gaji dan persiapan
mogok yang sah pada tahun 2005. Menurut komplain serikat pekerja yang
diterima ILO, oknum militer secara aktif hadir pada saat negosiasi dan
berkolusi dengan manajemen perusahaan untuk mengintimidasi para
pekerja agar mengundurkan diri, lock-out/mencegah buruh yang mogok
untuk bekerja kembali dan memecat mereka, mempekerjakan pekerja
pengganti, dan melakukan latihan militer yang agresif dengan menembak
tempat kosong yang searah dengan keberadaan para pemogok yang
dicegah masuk.21 Dalam laporan bulan Maret 2009, CFA membuat catatan
dengan “menyesal” menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia telah gagal
untuk memberikan “informasi baru yang substansial” sebagai respon atas
himbauan CFA untuk melakukan investigasi atas pemecatan terhadap
481 pekerja/buruh dalam rangka menghalangi kegiatan mogok pekerja/
buruh dan dugaan keterlibatan militer dalam tindakan intimidasi dan
kekerasan22
Tema-tema yang ditampilkan dalam banyak kasus ini sangat
mencerminkan komplain-komplain era sebelum-Reformasi: tekanan dan
tindakan penghukuman terhadap para pemimpin buruh dan pekerja/
buruh yang berserikat, menolak untuk mengakui dan berunding dengan
serikat pekerja/buruh yang dipilih secara demokratis, dan pelecehan
oleh polisi serta/atau campur tangan langsung militer dalam masalah
ketenagakerjaan. Setiap kasus yang dibahas di sini, dan juga banyak lagi
lainnya, termasuk panjang dan berlarut-larutnya proses hukum, seringkali
tergantung hanya pada ketentuan/pasal-pasal baik pidana maupun
undang-undang perburuhan yang samar.
“Perbuatan Tidak Menyenangkan”
Peninggalan yang paling dikenal dari masa lalu yang menghalangi
penguatan supremasi hukum berkenaan dengan perselisihan
ketenagakerjaan adalah terus berlangsungnya penggunaan KUHP untuk
menghukum para pemimpin serikat pekerja/buruh dan aktivis; yang
secara khusus dicatat adalah Pasal 160 dan 335 KUHP Indonesia, yang
berkaitan dengan ”penghasutan” dan ”perbuatan tidak menyenangkan.”
Pemerintah kolonial dan pasca- kolonial telah menggunakan ketentuan
pidana ini, yang awalnya berasal pada masa jaman kolonial Belanda
dahulu kala, untuk memenjarakan para pembangkang politik (misalnya
Soekarno di tahun 1945 dan Muchtar Pakpahan pada tahun 1996).23
Di era Reformasi, pengusaha sering menyalahgunakan pasal tersebut
untuk menghabisi aksi ketidakpuasan serikat pekerja/buruh karena
ketentuan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan tahun 2003 (Pasal
158 dan 160) secara eksplisit menghubungkannya dengan KUHP tentang
“penghasutan” dan “perbuatan tidak menyenangkan” (lihat di atas).
Menurut CFA, ”jika seorang pemimpin serikat pekerja/buruh divonis
karena melanggar pasal-pasal tersebut, maka perusahaan dapat memecat
dirinya tanpa pesangon atau prosedur normal yang harus diikuti.”24
Menghubungkan model pidana era kolonial dengan hukum perburuhan
7
rl_policy_brief_Indo.indd 7
12/19/2009 8:24:36 PM
memiliki efek yang jelas dalam menciptakan ancaman yang didefinisikan
secara samar terhadap para organizer dan pemimpin serikat pekerja/buruh.
Mengorganisir pekerja akan membuat Anda kehilangan pekerjaan Anda,
menghadapi ancaman penjara, atau situasi yang lebih buruk lainnya.
Sarta bin Sarim, seorang pemimpin lokal Federasi Serikat Pekerja
Konstruksi, Umum dan Informal (FKUI), dan lima anggota serikat
buruh lainnya dinyatakan bersalah karena melanggar Pasal 335 pada
tahun 2007, ketika mereka mengorganisir dan berpartisipasi dalam
aksi damai peringatan Hari Buruh Internasional di Tangerang. Dalam
kasus yang menarik perhatian internasional tersebut, Sarta bin Sarim
kemudian ditahan oleh otoritas setempat di malam hari pada 1 Mei
selepas kegiatan jalan bersama singkat tersebut. Di penjara setempat, ia
dipukuli dan ia mengatakan bahwa dengan pemaksaan fisik ia dipaksa
untuk menandatangani BAP polisi yang tidak benar. Pada akhir proses,
Sarta bin Sarim dibebaskan dari penjara, setelah menghabiskan waktu tiga
bulan dalam kurungan dan divonis telah melakukan ”perbuatan tidak
menyenangkan”.”25
Pada tahun 2005, pemimpin serikat pekerja lokal Daud Sukamto
mengalami penerapan pasal yang anti-pekerja/buruh tersebut ketika ia
menyarankan agar anggota serikat pekerja di PT Perkebunan Gunung
Madu menolak kenaikan upah yang diusulkan pengusaha. Meskipun
usulan perusahaan pada akhirnya diterima, perusahaan tetap berusaha
memecat Sukamto karena telah melakukan ”kesalahan berat” menurut
Pasal 158 Undang-Undang Ketenagakerjaan; dan perusahaan berhasil
mendapatkan ijin dari Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
Daerah (P4D) untuk melakukan pemecatan tersebut.26 Dalam mengajukan
komplain ke ILO, International Union of Foodworkers (IUF) mengklaim
bahwa keputusan P4D tersebut didasarkan pada kalimat yang tidak jelas
dari Pasal 158 Undang-Undang Ketenagakerjaan, yang memungkinkan
perusahaan untuk memecat Sukamto hanya karena meminta anggota
serikat pekerjanya menolak usulan perusahaan dan pemberian
kewenangan yang terlalu besar pada P4D tersebut untuk menentukan
dasar sebuah pemecatan.27
Kegagalan Mempekerjakan Kembali
Banyak masalah yang disebutkan di atas menyatu pada sebuah
perselisihan pada tahun 2009 di kawasan Industrial Estate Bekasi yang
luas di luar Jakarta, yakni di pabrik Toshiba. Selama upaya untuk
mengatasi tiga tahun kebuntuan perundingan untuk perjanjian kerja
bersama baru, pemimpin serikat pekerja setempat menduga bahwa
manajemen telah melakukan upaya-upaya hukum untuk mendukung
kemauan perusahaan dan mendesakkan ancaman-ancaman. Serikat
Pekerja mengajukan untuk melakukan pemogokan pada 16 April 2009
dengan mengirimkan surat ke Pengawas Ketenagakerjaan setempat
pada 6 April, sebagaimana seharusnya pemberitahuan tujuh hari yang
diisyaratkan untuk sahnya mogok. Perusahaan menanggapi dengan
memberikan surat peringatan pemecatan kepada pemimpin serikat
pekerja. Toshiba akhirnya benar-benar melaksanakan ancamannya,
dengan memecat 15 pekerja pada hari mogok sebagaimana yang
8
rl_policy_brief_Indo.indd 8
12/19/2009 8:24:36 PM
”PRT, didominasi
perempuan, dikecualikan
dari hak-hak pekerja
dalam
Undang-undang
Ketenagakerjaan
Indonesia, dan perempuan
lebih cenderung
melihat pemotongan
kesejahteraan atau
kehilangan pekerjaan
disebabkan oleh
perkawinan atau
kehamilan”.
direncanakan. Anggota kelompok tersebut juga menerima surat panggilan
polisi pada 22 April untuk memberikan kesaksian terkait dugaan
pelanggaran terhadap Pasal 335 yang mengatur tentang ”perbuatan
tidak menyenangkan”. Sejak pemogokan sah tersebut, perusahaan mulai
menghentikan pembayaran gaji dan tunjangan kepada para pekerja yang
mogok.28
Kasus tersebut telah membuat Federasi Logam Internasional (IMF)
dan Canadian Autoworkers (CAW) mengirimkan surat kepada pihak
berwenang Indonesia dan Kantor Toshiba Indonesia. Toshiba akhirnya
setuju untuk mempekerjakan kembali 682 pekerja mogok yang upahnya
tidak dibayar; 15 pemimpin serikat pekerja setuju mengundurkan diri
dengan diberikan pesangon.29
Hasil seperti ini, di mana suatu kasus ”diselesaikan” dengan pekerja
atau pemimpin serikat pekerja/buruh kunci diberikan pesangon atau
setuju untuk menerima phk atau putusan pengadilan yang tidak
menyenangkan sebagai imbalan atas berakhirnya sebuah perselisihan,
terlalu sering terjadi. Pekerja/buruh memandang pengusaha seolah
memiliki kekebalan hukum yang mendapatkan persetujuan dari lembaga
penegakan hukum dan peradilan meskipun telah melecehkan upaya
pengorganisasian (mengorganisir serikat pekerja/buruh). Kondisi “pilih
kasih” ini menciptakan keseimbangan yang tidak adil yang mengancam
implementasi standar perburuhan dan aturan hukum.
Standar Inti Perburuhan Lain
Isu-isu utama yang berkaitan dengan perjuangan Indonesia untuk
mempromosikan kepatuhan terhadap standar inti perburuhan terutama
bergantung pada pertanyaan-pertanyaan sekitar diskriminasi terhadap
serikat pekeja/buruh dalam bentuk pelanggaran hak kebebasan berserikat
dan hak untuk berunding bersama (keduanya dijamin oleh Konvensi
ILO No. 98 dan No. 87 yang telah diratifikasi Indonesia). Serikat pekerja/
buruh dan pembela perburuhan (lembaga internasional) mencatat terus
terjadinya kesenjangan antara tujuan dari instrumen-instrumen tersebut
dengan implementasinya.
Sebagai contoh, kemajuan Indonesia dalam menjamin kesetaraan
dalam pekerjaan dan jabatan menurut Konvensi ILO No. 100 dan No.
111 terus dihambat oleh representasi terlalu banyaknya perempuan
dalam lapangan kerja informal dan dalam status/kondisi tidak menentu
(precarious), seperti kerja temporer atau borongan. Juga, fakta bahwa upah
perempuan yang masih saja sekitar 75 persen di bawah rekan laki-laki,
tetap menjadi masalah yang memprihatinkan. Beberapa kesenjangan
ini bersifat historis, di samping adanya hambatan struktural yang terus
ada. Baik ILO dan ITUC telah mencatat bahwa definisi Undang-Undang
Ketenagakerjaan tentang diskriminasi adalah tidak jelas dan tidak ada
ketentuan yang menjamin upah yang sama untuk jenis pekerjaan yang
sama. PRT, didominasi perempuan, dikecualikan dari hak-hak pekerja
dalam Undang-undang Ketenagakerjaan Indonesia, dan perempuan lebih
9
rl_policy_brief_Indo.indd 9
12/19/2009 8:24:36 PM
cenderung melihat pemotongan kesejahteraan atau kehilangan pekerjaan
disebabkan oleh perkawinan atau kehamilan.
Pembela serikat pekerja/
buruh dan buruh anak
menyatakan bahwa lebih
banyak pengawasan
ketenagakerjaan
dibutuhkan untuk
memastikan kepatuhan
hukum Indonesia terhadap
kewajiban-kewajiban
internasionalnya.
Dalam wilayah diskriminasi etnis, contoh-contoh nyata diskriminasi
terhadap etnis minoritas, terutama Cina, terus menjadi isu yang
memprihatinkan.30
Buruh/pekerja anak, yang tercakup dalam Konvensi ILO No. 138 dan
No. 182 yang diratifikasi Indonesia, tetap menjadi masalah. Indonesia
menetapkan15 tahun sebagai usia kerja minimum dan memperbolehkan
”pekerjaan ringan” untuk anak-anak usia 13-15 tahun. ITUC mencatat
adanya pelanggaran di bidang-bidang seperti ”pertanian, pemancingan
di laut dalam, pertambangan, manufaktur, pekerjaan rumah tangga,
perdagangan narkoba, [dan] eksploitasi seksual.”31 Pembela serikat
pekerja/buruh dan buruh anak menyatakan bahwa lebih banyak
pengawasan ketenagakerjaan dibutuhkan untuk memastikan kepatuhan
hukum Indonesia terhadap kewajiban-kewajiban internasionalnya. Lebih
jauh lagi, anak-anak yang tidak dalam hubungan kerja formal (atau
bekerja sendiri) tidak dicakup secara eksplisit dalam undang-undang
ketenagakerjaan nasional.32
Kerja paksa, yang didefinisikan sebagai pekerjaan atau jasa yang
dipaksakan agar dilakukan oleh seseorang dengan ancaman hukuman
dan sehingga orang tersebut tidak melakukannya secara sukarela, dicakup
dalam ratifikasi Konvensi ILO No 29 dan No 105 Indonesia. Meskipun
Indonesia telah membuat langkah besar terhadap perdagangan manusia
(trafiking), kekhawatiran tentang masalah ini masih tetap ada, terutama
karena hal ini berhubungan dengan migrasi ke luar negeri. Buruh migran
Indonesia yang bekerja di luar negeri masih mengalami trafiking dan kerja
paksa, khususnya di negara-negara Asia lainnya dan di Timur Tengah.33
Dikutip dari laporan tambahan, kerja paksa pada anak-anak terjadi di
industri perikanan, pemungutan sampah, dan kerja di jalanan, seperti
pedagang asongan.
Pada tahun 2008 Komite Ahli ILO untuk Penerapan Konvensi dan
Rekomendasi (CEACR) mencatat ketentuan-ketentuan dalam UndangUndang Ketenagakerjaan yang memperbolehkan kerja penjara wajib
sebagai hukuman yang memungkinkan bagi karyawan layanan publik
yang mogok.34
Kesimpulan
Serikat pekerja/buruh independen telah secara cepat beradaptasi
dengan era Reformasi dengan mendukung upaya pengorganisasian
dan mendukung terbukanya pintu di arena pembuatan kebijakan
yang sebelumnya tertutup. Serikat pekerja/buruh telah menggunakan
kekuatan kolektif mereka terutama melalui pengaruh mereka dalam
mekanisme resmi dialog sosial, seperti Komisi Tripartit Nasional.
Sayangnya, implementasi hukum perburuhan di Indonesia sering terlalu
lemah dalam hal penegakan dan lebih berkutat pada berlarut-larutnya
proses hukum, sedangkan pekerja/buruh memiliki ’kekuatan’ terbatas.
10
rl_policy_brief_Indo.indd 10
12/19/2009 8:24:36 PM
Disahkannya UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial tahun
2004 dan berlanjutnya pelaksanaan sistem peradilan buruh yang berjalan
memiliki potensi untuk meningkatkan hak-hak pekerja/buruh melalui
proses peradilan yang lebih efektif dan obyektif. Dalam jangka panjang,
peradilan perburuhan berpotensi untuk dapat difungsikan sebagai
langkah pertama dalam mengakhiri penggunaan hukum pidana untuk
mengintimidasi para pemimpin serikat pekerja/buruh dan para organizer.
Pengadilan baru-baru ini membuat sebuah preseden ketika seorang
manajer pabrik elektronik dijatuhi hukuman 18 bulan penjara karena
melakukan taktik-taktik pemberangusan serikat pekerja/buruh, termasuk
intimidasi, penolakan untuk membayar upah, dan pemecatan tidak sah
terhadap anggota serikat pekerja/buruh.35
© Solidarity Center
Serikat pekerja/buruh belum terlalu aktif atau berpengaruh secara politik
dalam proses pemilihan. Meskipun beberapa pemimpin perjuangan antiOrde Baru, seperti Muchtar Pakpahan dan Dita Sari, telah mendirikan
partai dan kelompok politik berbasis pekerja/buruh, pekerja/buruh
Indonesia belum menyatu di antara kelompok politik yang berbeda.
Sejumlah pekerja/buruh tetap mempertahankan dukungannya selama ini
untuk Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) juga telah mendapatkan dukungan dari beberapa pekerja/
buruh dan serikat pekerja/buruh.
Serikat pekerja/buruh memiliki pengalaman lebih mendapatkan
keberhasilan dengan aliansi untuk mendukung suatu kepentingan
bersama, seperti ketika mereka relatif bersatu menentang revisi undangundang ketenagakerjaan pada tahun 2005 dan 2006. Memasuki sepuluh
tahun ke paska-era Orde Baru, dan dengan masa
jabatan parlemen dan presiden baru mulai bulan
Oktober 2009, masih belum jelas apakah serikat
pekerja/buruh harus merapatkan barisan lagi
untuk memperjuangkan kepentingan mereka,
atau apakah mereka akan diberikan sebuah kursi
di meja diskusi terkait berbagai perubahan yang
dibutuhkan – yakni penegakan hukum yang lebih
baik, perluasan cakupan hak-hak pekerja/buruh,
upah dan jaring pengaman sosial yang lebih baik,
dan dalam penggunaan hukum pidana (KUHP)
untuk menyelesaikan perselisihan perburuhan.
Serikat pekerja/buruh akan ditantang untuk
membagikan pesan mereka ke kalangan yang
Sekjen AJI Indonesia
lebih luas dan menggunakan kekuatan kolektif
mengutuk praktek suap
mereka untuk mendorong dialog terbuka dan
demokratis yang akan meningkatkan hak-hak
pekerja/buruh dan memperkuat aturan hukum. Pencapaian terhadap
tujuan-tujuan ini diperlukan baik untuk keadilan sosial maupun
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
11
rl_policy_brief_Indo.indd 11
12/19/2009 8:24:37 PM
Bagan 1
Standar Inti Perburuhan ILO
Penghapusan Segala Bentuk Kerja Paksa atau Wajib
Konvensi No.29: Kerja Paksa (1930)
Konvensi No 105: Penghapusan Kerja Paksa (1957)
Kebebasan Berserikat dan Hak Berunding Bersama (PKB)
Konvensi No 87: Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi/
berserikat (1948)
Konvensi No 98: Hak Berorganisasi/berserikat dan Perjanjian Kerja Bersama (1949)
Penghapusan Diskriminasi terhadap Pekerjaan dan Jabatan
Konvensi No.111: Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan) (1958)
Konvensi No 100: Remunerasi Setara (1951)
Penghapusan Buruh Anak
Konvensi No 138: Konvensi Usia Minimum (1973)
Konvensi No 182: Penghapusan Bentuk-Bentuk Terburuk Pekerjaan Anak (1999)
Bagan 2
Struktur Hukum Perburuhan
• UU Serikat Pekerja/Buruh No. 21 (2000)
Memungkinkan untuk membuat serikat pekerja/buruh, tapi dengan
batasan yang rendah yakni dengan 10 pekerja/buruh dapat membentuk
serikat pekerja/buruh (meskipun satu serikat pekerja/buruh harus
mewakili 50 persen dari semua pekerja/buruh di tempat kerja untuk dapat
melakukan perundingan dengan pengusaha). Serikat pekerja/buruh masih
prihatin dengan adanya pengecualian terhadap banyak kategori pekerja
sektor publik dalam UU tersebut..
• UU Ketenagakerjaan No. 13 (2003)
Hukum perburuhan nasional yang mendasar menawarkan perjanjian kerja
bersama dan hak untuk mogok, meskipun tetap ada pertanyaan tentang
regulasi terkait hak mogok dalam ketentuan ini dan UU Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial.
• Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial No.
2 (2004)
Tujuan pendirian sistim pengadilan perburuhan tripartit adalah untuk
memperbaiki hubungan industrial dan mengurangi korupsi.
12
rl_policy_brief_Indo.indd 12
12/19/2009 8:24:37 PM
Endnotes
1
ILO, “Ratifications of the Fundamental Human Rights Conventions by Country,” ILOLEX
Database of international labor standards, http://www.ilo.org/ilolex/english/docs/declworld.htm.
2
“President Soeharto Resigns,” BBC News, May 21,1998, http://news.bbc.co.uk/2/hi/events/
indonesia/latest_news/97848.stm.
3
Bacharuddin Jusuf Habibie, Decisive Moments: Indonesia’s Long Road to Democracy (Jakarta,
Ilthabi Rekatama, 2006), pp. 211, 213.
4
Human Rights Watch/Asia, “Petition on Indonesian Worker Rights to the U.S. Trade
Representative,”
June 14, 1995, http://www.hartford-hwp.com/archives/54b/019.html; Human Rights Watch,
“Indonesia: New Developments on Labor Rights,” January 24, 1994, vol. 6, no. 1, http://www.hrw.
org/sites/default/files/reports/INDONESI941.PDF; ILO, Committee on Freedom of Association,
Report No. 297, 1995, Series B, No. 1,
http://webfusion.ilo.org/public/db/standards/normes/libsynd/lsgetparasbycase.cfm?PARA=683&FI
LE=1773&hdroff=1&DISPLAY=BACKGROUND,ANNEX.
5
U.S. Department of State, “Indonesia: Report on Human Rights Practices for 1997,” January
30, 1998, http://www.fas.org/irp/world/indonesia/indonesia-1997.htm; Human Rights Watch,
“Indonesia: Press Closures in Indonesia One Year Later,” July 1995, vol. 7, no. 9, http://www.hrw.
org/legacy/reports/1995/Indonesi2.htm. Background on the imprisonment of Sari and Pakpahan,
and the deaths of Marsinah and Rusli are summarized in Dan La Botz, Made in Indonesia: Indonesian
Workers Since Soeharto (South End Press, 2001).
6
U.S. State Department human rights reports for 1996 and 1997 noted that illegal strikes
increased from 276 to 346 from 1995 to 1996, while also noting that the ILO reported 890 strikes in
1996. While officially reported numbers fell after the Soeharto government stopped counting oneday warning strikes in 1997, the level of independent worker unrest increased with the onset of the
Asian Financial Crisis. U.S Department of State, “Indonesia Report on Human Rights Practices for
1997.”
7
Chris Manning, The Political Economy of Reform: Labour after Soeharto, University of Sydney,
Indonesian Studies Working Papers, no. 6, August 2008, p. 4,
http://www.arts.usyd.edu.au/departs/indonesian/docs/USYD_IS_Manning_Labour_After_
Soeharto.pdf .
8
Ridwan Max Sijabat, “Major Labor Unions Renew Opposition to Amendment,” Jakarta
Post, April 4, 2006.
9
World Bank, “Indonesia: Economic and Social Update,” October 2006, http://siteresources.
worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Country-Update/Indonesia_Brief_Oct06.pdf .
10
Bill Guerin, “Labor Pains in Indonesia,” Asia Times Online, April 25, 2006, http://www.
atimes.com/atimes/Southeast_asia/HD25Ae02.html.
13
rl_policy_brief_Indo.indd 13
12/19/2009 8:24:37 PM
11
Sijabat, “Major Labor Unions;” World Bank, pp. 14, 15.
12
Ibid.
13
International Trade Union Confederation (ITUC), “Internationally Recognized Core Labour
Standards in Indonesia, Report for the WTO, General Council Review of the Trade Policies of
Indonesia, Geneva, 27, 29 June 2007,” http://www.ituc-csi.org/IMG/pdf/Indonesia_report_final_
FINAL.pdf; Interview with H. Said Iqbal, Federation of Indonasian Metalworkers Unions (FSPMI),
February 16, 2009.
14
Irawaty Wardany, “Megawati Woos Workers; SBY Rides Bike,” The Jakarta Post, June 8,
2009; April Aswadi, “Labor Law Outsourcing Provisions Face Review,” Jakarta Globe, June 30, 2009.
15
Arijit Ghosh and Daniel Ten Kate, “Landslide Win Gives SBY Clear Mandate to
Pursue Needed Economic Reforms,” Bloomberg (reprinted in Jakarta Globe, July 9, 2009, http://
thejakartaglobe.com/elections2009/landslide-win-gives-sby-clear-mandate-to-pursue-neededeconomic-reforms/317247).
16
H. Said Iqbal interview, February 16, 2009.
17
Rudy Porter “Missing the Point of Labor Day,” Jakarta Post, May 3, 2007, http://www.
solidaritycenter.org/content.asp?contentid=675.
18
ITUC, “Internally Recognized Core Labour Standards in Indonesia.”
19
See, ILO, “Complaint against the Government of Indonesia Presented by the Building
and Wood Workers’ International (BWI) and the International Confederation of Free Trade Unions
(ICFTU), supported by the International Union of Food, Agricultural, Hotel, Restaurant, Catering,
Tobacco and Allied Workers’ Association (IUF),” Report No. 348, Case(s) No(s). 2472, ILO, ILOLEX.
20
See, ILO, “Complaint against the Government of Indonesia presented by the Indonesian
Association of Trade Unions (ASPEK Indonesia),” Report No. 348, Case(s) No(s). 2494, ILO,
ILOLEX.
21
ILO, “Complaint against the Government of Indonesia presented by the Federation of
Metal, Machine and Electronic SBSI Trade Union (Federation of Lomenik SBSI),” Report No. 350,
Case(s) No(s). 2589.
22
Ibid; 353rd Report of the Committee on Freedom of Association, International Labour Office
Governing Body, 304th Session, Geneva, March 2009, p. 27, http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/
public/---ed_norm/---relconf/documents/meetingdocument/wcms_104130.pdf.
23
ILO, “Complaint against the Government of Indonesia presented by the Federation of
Construction, Informal, and General Workers (FKUI),” Report No. 349, Case No. 2585, ILOLEX.
24
Ibid.
14
rl_policy_brief_Indo.indd 14
12/19/2009 8:24:37 PM
25
Solidarity Center, “Indonesian Labor Leader Branded a Criminal for Peaceful May Day
March,” n.d., http://www.solidaritycenter.org/content.asp?contentid=699; ILO, “Complaint against
the Government of Indonesia presented by the Federation of Construction, Informal and General
Workers (FKUI),” Report No. 349, Case(s) No(s). 2585, ILO, ILOLEX.
26
ILO, “Complaint against the Government of Indonesia Presented by the International
Union of Food, Agricultural, Hotel, Restaurant, Catering, Tobacco and Allied Workers’ Associations
(IUF),” Report No. 342, Case(s) No(s). 2441.
27
Ibid.
28
International Metalworkers Federation, Resolution on Toshiba Consumer Products
Indonesia, Item 12, Resolution 11, 32nd IMF World Congress, Gothenburg, Sweden May 24-28,
2009, http://www.imfmetal.org/files/09052622311279/Toshiba_IndonesiaEN.pdf; Solidarity Center,
“Resolution of Dispute at Toshiba Indonesia Only a Partial Win for Workers.”
29
Solidarity Center, “Resolution of Dispute at Toshiba Indonesia Only a Partial Win for
Workers.”
30
ITUC, “Internationally Recognized Core Labour Standards in Indonesia”; ILO
CEACR, “Comments made by the Committee of Experts on the Application of Conventions
and Recommendations (CEACR), Indonesia, Discrimination (Employment and Occupation)
Convention, 1958 (No. 111),” http://webfusion.ilo.org/public/db/standards/normes/appl/appldisplayAllComments.cfm?hdroff=1&ctry=0740&conv=C111&Lang=EN#2006.
31
ITUC, “Internationally Recognized Core Labour Standards in Indonesia.”
32
Ibid.
33
U.S. Department of State, Office to Monitor and Combat Trafficking in Persons, “Trafficking
in Persons Report 2009,” http://www.state.gov/g/tip/rls/tiprpt/2009/123136.htm.
34
ITUC, “Internationally Recognized Core Labour Standards in Indonesia”; ILO CEACR,
“Individual Observation Concerning Abolition of Forced Labour Convention, 1957 (No. 105)
Indonesia, (Ratification: 1999),” 2009, http:www.ilo.org/ilolex/gbe/ceacr1009.htm. .
35
International Metalworkers Federation (IMF), “Indonesian Company Manager Imprisoned
for Union-busting, February 11, 2009, http://www.imfmetal.org/index.cfm?c=18955&l=2.
15
rl_policy_brief_Indo.indd 15
12/19/2009 8:24:37 PM
Download