bab ii prospek ekonomi tahun 2007

advertisement
BAB II
PROSPEK EKONOMI TAHUN 2007
Prospek ekonomi tahun 2007 lebih baik dari tahun 2006. Stabilitas ekonomi diperkirakan
tetap terjaga dengan nilai tukar rupiah yang stabil, serta laju inflasi dan suku bunga yang
terkendali. Sasaran pertumbuhan ekonomi sebesar 6,3 persen dapat dicapai dengan
memperkuat kebijakan ekonomi yang mampu mendorong secara kuat investasi dan daya
beli masyarakat yang didukung oleh efektivitas kebijakan fiskal yang semakin baik
terutama belanja negara, penyaluran kredit perbankan yang meningkat, serta daya saing
ekspor nasional yang terjaga. Dorongan perlu diberikan kepada daerah untuk
memperbaiki iklim investasi di daerah, memanfaatkan belanja daerah, serta menangani
pengangguran dan kemiskinan terutama untuk daerah-daerah yang merupakan kantong
pengangguran dan kemiskinan.
Resiko pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dimungkinkan apabila peningkatan
investasi dan penguatan daya beli masyarakat berjalan lambat. Dalam keadaan ini,
perekonomian pada tahun 2007 diperkirakan hanya tumbuh 5,7 – 5,9 persen. Resiko
ketidakstabilan nilai tukar dan harga tetap ada dengan potensi gejolak baik dalam bentuk
pergerakan modal jangka pendek maupun resiko lainnya yang dapat timbul dari
melebarnya kesenjangan global. Dalam kaitan itu stabilitas ekonomi tetap perlu dijaga
dengan memperkuat ketahanan sektor keuangan terhadap berbagai kemungkinan gejolak
yang akan timbul.
A. EKONOMI DUNIA
Gambaran menyeluruh dari ekonomi dunia tahun 2007 diberikan oleh IMF, World
Economic Outlook, September 2006. Secara ringkas, ekonomi dunia tahun 2007
diperkirakan tetap tumbuh tinggi dengan resiko meningkatnya kembali harga minyak
mentah dunia, yang pada gilirannya akan memberi tekanan pada inflasi dan menuntut
kebijakan moneter yang ketat. Resiko juga dapat timbul dari kemungkinan melambatnya
perekonomian AS lebih dalam dari yang diperkirakan sehingga berpengaruh pada
perekonomian negara-negara maju lainnya. Melebarnya kesenjangan global memerlukan
penanganan bersama untuk mengelola resiko dan memantapkan pertumbuhan ekonomi
dunia.
Dalam tahun 2007 perekonomian dunia diperkirakan tumbuh 4,9 persen. Tingkat
pertumbuhan ini sedikit lebih rendah dari tahun 2006 (5,3 persen). Dengan tingkat
pertumbuhan ini, ekonomi dunia mengalami pertumbuhan yang tinggi selama empat
tahun berturut-turut sejak dasawarsa 70'an (World Economic Outlook, IMF, September
2006). Secara lebih rinci pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2007 adalah sebagai berikut.
⎯ Pertumbuhan ekonomi negara emerging market dan negara berkembang diperkirakan
tetap tinggi yaitu sekitar 7,3 persen dengan perekonomian China, India, dan Rusia
sebagai penggeraknya. Perekonomian China dan India pada tahun 2007 diperkirakan
tumbuh 10,0 persen dan 8,3 persen.
⎯ Perekonomian AS diperkirakan tumbuh lebih rendah yaitu menjadi 2,6 persen dengan
sektor perumahan dan konsumsi masyarakat yang melambat; sedangkan investasi
swasta diperkirakan masih terjaga.
II−1
⎯ Ekonomi Jepang dan Masyarakat Ekonomi Eropah diperkirakan tumbuh sebesar 2,0
persen dan 2,1 persen. Perlambatan ekonomi di Eropah antara lain disebabkan oleh
kenaikan pajak dalam rangka konsolidasi fiskal. Gambaran ekonomi dunia sampai
dengan tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel II.1.
Tabel II.1.
GAMBARAN EKONOMI DUNIA
(persen perubahan)
2004
2005
2006
PERTUMBUHAN EKONOMI
Dunia
5,3
4,8
5,3
Negara Maju
3,3
2,5
3,1
AS
3,9
3,2
3,4
MEE
2,0
1,4
2,6
Jepang
2,3
2,7
2,1
Negara Berkembang
7,7
7,3
7,7
Afrika
5,7
5,6
5,4
Eropah Timur
6,6
5,5
5,6
CIS
8,4
6,2
6,9
Asia
8,8
9,0
9,3
China
10,1
10,4
10,5
India
8,0
8,5
9,0
Timur Tengah
5,3
5,3
5,8
Amerika Latin
5,7
4,4
5,0
VOLUME PERDAGANGAN
10,6
7,4
9,2
Impor
Negara Maju
9,1
6,1
7,4
Negara Berkembang
16,4
11,7
14,7
Ekspor
Negara Maju
8,8
5,6
8,2
Negara Berkembang
14,7
11,3
10,6
HARGA
Non-fuel
18,5
10,3
28,5
Laju Inflasi (%)
Negara Maju
2,0
2,3
2,4
Negara Berkembang
5,6
5,4
5,3
Sumber: Draft WEO, IMF, April 2007
2007
4,9
2,6
2,6
2,1
2,0
7,3
6,2
5,1
6,4
8,8
10,0
8,3
5,0
4,4
6,6
4,7
12,0
5,4
8,5
-0,5
1,8
5,2
Volume perdagangan dunia pada tahun 2007 diperkirakan meningkat dengan
kemungkinan harga komoditi nonmigas menurun. Pertumbuhan ekonomi dunia yang
sedikit melambat, tetap mendorong permintaan terhadap komoditi-komoditi ekspor.
Volume perdagangan dunia diperkirakan tumbuh 6,6 persen. Sementara itu, harga
komoditi ekspor nonmigas diperkirakan menurun sekitar 0,5 persen. Penurunan ini antara
lain disebabkan oleh penyesuaian harga komoditi nonmigas yang meningkat tinggi selama
empat tahun terakhir. Perkiraan harga komoditi non-migas oleh IMF dapat dilihat pada
Boks II.1.
Harga minyak dunia tetap sulit diperkirakan. Pada awal-awal tahun 2007, harga
minyak mentah dunia turun di bawah USD 60/barel dengan berkurangnya permintaan
minyak oleh AS. Dalam keseluruhan tahun 2007, harga minyak tetap sulit untuk
diperkirakan secara pasti. Berbagai faktor memberikan indikasi bahwa harga minyak
dunia pada tahun 2007 diperkirakan tetap tinggi tetapi tidak lebih dari keseluruhan tahun
2006.
⎯ Beberapa faktor yang menahan peningkatan harga minyak mentah sebagai berikut.
Pertama, pasokan minyak mentah tahun 2007 diperkirakan cukup untuk memenuhi
kenaikan permintaan minyak mentah. Proyeksi terakhir yang dilakukan oleh
International Energy Agency (Desember 2006) memperkirakan tambahan pasokan
minyak mentah dari kelompok non-OPEC sebesar 1,7 juta barel/hari antara lain dari
bekas negara Uni Soviet (0,4 juta barel/hari), Afrika (0,5 juta barel/hari), AS (0,2 juta
barel/hari), dan Amerika Latin (0,3 juta barel/hari). Sementara itu total permintaan
minyak mentah dunia diperkirakan meningkat 1,4 juta barel/hari. Di atas kertas,
II−2
apabila pada tahun 2007, OPEC menggunakan basis produksi tahun 2005, secara
fundamental harga minyak mentah dunia tidak meningkat. Kedua, faktor non-ekonomi
yang meningkatkan harga minyak mentah dunia tahun 2006 diperkirakan berkurang
dengan penyelesaian konflik militer Israel – Lebanon dan upaya berlanjut mengenai
penyelesaian program nuklir Iran.
Boks II.1.
PERKEMBANGAN HARGA KOMODITI NONMIGAS
Komoditi non-migas meliputi komoditi pertambangan dan pertanian. Pada tahun
2006, harga komoditi pertambangan meningkat tajam yaitu sebesar 180 persen
dalam harga riil tahun 2002; lebih tinggi dari kenaikan harga minyak mentah dunia
(157 persen). Kenaikan harga komoditi pertambangan terutama didorong oleh
permintaan yang tinggi terutama dari China. Dalam tahun 2002 – 2005, permintaan
alumunium tumbuh 7,6 persen per tahun; lebih tinggi dari dasawarsa sebelumnya
(3,8 persen). Perekonomian China menyumbang sekitar separuh dari kenaikan
konsumsi alumunium, tembaga, dan baja dalam empat tahun terakhir ini.
Dalam jangka menengah, harga alumunium dan tembaga diperkirakan menurun
mengarah pada biaya produksinya. Saat ini harga beberapa komoditi pertambangan
berada pada tingkat yang tidak berkelanjutan dengan harga sekitar 1,5 – 2,75 kali
lipat dari biaya produksinya. Faktor lainnya yang diperkirakan berperan dalam
penurunan harga metal adalah rendahnya spekulasi di pasar komoditi nonmigas.
Respon harga komoditi pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi dunia yang tinggi
tidak sekuat komoditi pertambangan. Pertama, konsumsi komoditi pertanian
meningkat lebih lambat dibandingkan komoditi pertambangan. Kedua, respon sisi
produksi untuk komoditi pertanian lebih cepat dibandingkan dengan pertambangan.
Kenaikan komoditi pertanian selama beberapa tahun terakhir ini lebih didorong oleh
melemahnya nilai tukar dolar AS dan meningkatnya biaya produksi terutama yang
terkait dengan harga minyak mentah.
Dengan perkiraan tersebut, harga komoditi nonmigas pada tahun 2007 diperkirakan
menurun sebesar 4,8 persen. Gambaran harga komoditi nonmigas ini perlu
mendapat perhatian karena ikut berperan dalam meningkatkan surplus neraca
transaksi berjalan selama beberapa tahun terakhir ini. Meskipun harga komoditi
nonmigas dalam tahun 2007 tidak turun, peningkatan ekspor non-migas
diperkirakan tidak sebesar tahun 2006.
⎯ Resiko meningkatnya harga minyak mentah dunia tetap ada. Meningkatnya
permintaan minyak mentah oleh China dan India lebih dari yang diperkirakan, spare
capacity OPEC yang masih rendah dibandingkan awal-awal tahun 2000, kemungkinan
timbulnya gejolak produksi negara-negara penghasil minyak mentah, serta
memburuknya faktor non-ekonomi, berpotensi mendorong kembali harga minyak
mentah dunia.1 Permintaan dan pasokan minyak mentah dunia dapat dilihat Tabel
II.2; sedangkan spare capacity serta konsumsi dan produksi minyak mentah AS,
China, dan India dapat dilihat pada Grafik II.1 – Grafik II.4.2
1
Regresi time-series yang dilakukan oleh Direktorat Ekonomi Makro dengan data harian tahun 2005
dan 2006 mengindikasikan harga minyak mentah WTI pada tahun 2007 antara USD 60 – 67/barel.
Dalam tahun 2003 – 2005, perbedaan antara harga spot minyak mentah WTI dengan harga ekspor
minyak mentah Indonesia sekitar USD 2,1 – 2,9/barel.
2
Spare capacity adalah selisih antara kapasitas produksi maksimum (kapasitas produksi yang dapat
ditingkatkan dalam 1 bulan dan berkelanjutan hingga 3 bulan) dengan produksi yang dihasilkan.
II−3
Tabel II.2.
PERMINTAAN DAN PASOKAN MINYAK DUNIA
(juta barel/hari)
2003
2004
2005
2006
PERMINTAAN
79,3
82,4
83,6
84,5
OECD
48,6
49,3
49,6
49,4
Amerika Utara
24,5
25,4
25,5
25,4
Eropah
15,4
15,5
15,5
15,5
Pasifik
8,6
8,5
8,6
8,5
NON-OECD
30,7
33,1
34,0
35,1
FSU
3,6
3,8
3,8
4,0
Eropah
0,7
0,7
0,7
0,7
China
5,5
6,4
6,6
7,0
Asia Lainnya
8,1
8,6
8,8
8,9
Amerika Latin
4,7
5,0
5,1
5,2
Timur Tengah
5,4
5,8
6,1
6,5
Afrika
2,7
2,8
2,9
2,9
PASOKAN
79,8
83,2
84,5
84,4
OECD
21,6
21,3
20,3
20,1
Amerika Utara
14,6
14,6
14,1
14,3
Eropa
6,3
6,1
5,6
5,2
Pasifik
0,7
0,6
0,6
0,6
NON-OECD
25,6
27,0
28,0
28,8
FSU
10,3
11,2
11,6
12,1
Eropah
0,2
0,2
0,2
0,1
China
3,4
3,5
3,6
3,7
Asia Lainnya
2,6
2,7
2,7
2,7
Amerika Latin
4,0
4,1
4,3
4,4
Timur Tengah
2,0
1,9
1,8
1,7
Afrika
3,0
3,4
3,7
4,0
Processing Gain
1,8
1,8
1,9
1,9
OPEC
30,8
33,1
34,2
33,6
Minyak Mentah
27,1
28,9
29,7
28,9
NGL
3,7
4,2
4,5
4,7
Sumber: International Energy Agency, Desember 2006
Grafik II.1.
SPARE CAPACITY OPEC
Grafik II.2.
KONSUMSI DAN PRODUKSI MINYAK MENTAH AS
5
Juta Barel/Hari
juta barel/hari
6
4
3
2
1
0
2002
2003
2004
Tidak Termasuk Irak
2005
2006**)
22
20
18
16
14
12
10
8
Konsumsi
Juta Barel/Hari
Juta Barel/Hari
3
1970 1974 1978 1982 1986 1990 1994 1998 2002 2006
Konsumsi
1970 1974 1978 1982 1986 1990 1994 1998 2002 2006
Termasuk Irak
Grafik II.3.
KONSUMSI PRODUKSI MINYAK MENTAH CHINA
8
7
6
5
4
3
2
1
0
2007
85,9
49,6
25,8
15,4
8,4
36,3
4,0
0,7
7,4
9,1
5,3
6,8
3,0
85,5
20,4
14,5
5,3
0,7
29,9
12,5
0,1
3,7
2,7
4,6
1,7
4,5
1,9
33,3
28,4
4,9
Produksi
Grafik II.4.
KONSUMSI PRODUKSI MINYAK MENTAH INDIA
2
1
0
1980
1984
1988
1992
Konsumsi
II−4
Produksi
1996
2000
Produksi
2004
Melebarnya kesenjangan global tetap berpotensi mendorong ketidakstabilan nilai
tukar dan keuangan internasional. Meskipun telah dilakukan langkah bersama untuk
mengurangi kesenjangan global antara lain dengan mendorong penyesuaian sistem nilai
tukar mata uang Yuan dan beberapa negara emerging market lainnya serta pengurangan
defisit anggaran AS [mohon dilihat Perekonomian Indonesia Tahun 2006: Prospek dan
Kebijakan], potensi ketidakstabilan moneter dan keuangan internasional tetap ada.
⎯ Pengaruh baik langsung maupun tidak langsung dari melebarnya kesenjangan global
tercermin dari gejolak bursa saham dan nilai tukar mata uang yang terjadi pada
pertengahan Mei hingga Juni 2006 serta melemahnya nilai tukar dolar AS pada bulan
Desember 2006. Gejolak juga dapat bersumber dari upaya-upaya yang dilakukan oleh
beberapa negara untuk mengurangi pengaruh yang tidak menguntungkan dari
berlebihnya arus modal jangka pendek, sebagaimana yang dilakukan oleh Thailand
pada tanggal 19 Desember 2006. Melebarnya kesenjangan global tetap berpotensi
mengakibatkan ketidakstabilan moneter dan keuangan internasional dalam jangka
menengah. Beberapa skenario kesenjangan global dalam jangka menengah dapat
dilihat pada Boks II.2.
Boks II.2.
SKENARIO BERKURANGNYA KESENJANGAN GLOBAL
Gambaran menyeluruh dari berkurangnya kesenjangan global disampaikan oleh IMF,
World Economic Outlook, September 2006.
Pertama, skenario tanpa kebijakan. Defisit neraca transaksi berjalan AS diperkirakan
akan menurun menjadi 4 persen PDB pada tahun 2015 dengan meningkatnya
tabungan masyarakat dan membaiknya ekspor AS yang didorong oleh melemahnya
dolar AS. Negara-negara emerging Asia tetap sebagai kreditor.
Kedua, skenario penyesuaian mendadak. Skenario ini terjadi apabila kepercayaan
masyarakat terhadap ekonomi AS menurun drastis sehingga meningkatkan premi
resiko sangat tinggi. Nilai tukar mata uang dunia diperkirakan akan bergejolak luar
biasa yang pada gilirannya akan mendorong inflasi dan menuntut bank sentral di
berbagai negara untuk menerapkan kebijakan moneter yang sangat ketat. Pada
skenario ini, perekonomian AS diperkirakan akan melambat menjadi 1 persen dan
negara emerging Asia menjadi 4 persen. Ekonomi dunia diperkirakan akan
mengalami resesi yang cukup panjang.
Ketiga, skenario penguatan kebijakan. Dalam skenario ini, defisit neraca transaksi
berjalan AS diperkirakan menurun menjadi 1 persen PDB pada tahun 2015 dengan
penyesuaian yang lebih longgar terhadap sistem nilai tukar mata uang terutama pada
negara-negara emerging Asia, penurunan defisit anggaran AS hingga menjadi
seimbang pada tahun 2012, penyesuaian struktural pada perekonomian Jepang dan
Masyarakat Ekonomi Eropah, serta peningkatan pengeluaran oleh negara-negara
pengekspor minyak [mohon dilihat Perekonomian Indonesia Tahun 2006: Prospek
dan Kebijakan].
B. SASARAN PEMBANGUNAN EKONOMI TAHUN 2007
Secara ringkas sasaran pembangunan ekonomi yang hendak dicapai pada tahun 2007
adalah terciptanya lapangan kerja yang luas dan berkurangnya jumlah penduduk miskin
dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabilitas ekonomi yang terjaga. Dalam
kaitan itu, perekonomian diupayakan tumbuh 6,3 persen dengan laju inflasi terjaga
II−5
sebesar 7,0 persen. Sasaran ini diperlukan untuk mengurangi jumlah pengangguran
terbuka menjadi 9,9 persen pada tahun 2007.
C. TANTANGAN POKOK
Dengan kemajuan yang dicapai pada tahun 2006 serta lingkungan global yang tetap ketat,
tantangan pokok yang dihadapi oleh perekonomian Indonesia pada tahun 2007 adalah
sebagai berikut.
Pertama, meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sampai dengan triwulan III/2006,
pertumbuhan ekonomi lebih didukung oleh ekspor neto; belum didorong oleh investasi
dan daya beli masyarakat yang memadai.
⎯ Prasyarat perekonomian tumbuh lebih dari 6 persen. Sejak krisis tahun 1997/98,
pertumbuhan ekonomi belum pernah mencapai 6 persen. Pertumbuhan ekonomi
tertinggi dicapai pada tahun 2005 yaitu sebesar 5,6 persen.3 Untuk mencapai
pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen, semua unsur permintaan agregat perlu
tumbuh tinggi. Selain investasi harus tumbuh tinggi; daya beli masyarakat juga harus
meningkat dengan memadai. Pola pertumbuhan ekonomi setelah krisis dapat dilihat
pada Boks II.3.
Boks II.3.
POLA PERTUMBUHAN EKONOMI SETELAH KRISIS
Setelah krisis tahun 1997/98, pola pertumbuhan ekonomi dicirikan sebagai berikut.
Pertama, investasi yang masuk lebih didorong oleh pertumbuhan ekonomi dunia
yang tinggi dan kurang bertumpu pada permintaan domestik. Pasca krisis, investasi
meningkat pada tahun 2000, 2004, dan 2005 yaitu pada saat perekonomian dunia
tumbuh tinggi. Pada tahun-tahun tersebut ekonomi dunia tumbuh berturut-turut 4,8
persen, 5,3 persen, dan 4,9 persen. Pada kurun waktu tersebut, investasi berupa
pembentukan modal tetap bruto meningkat masing-masing sebesar 16,7 persen, 14,6
persen, dan 9,9 persen. Pada tahun 2001, ekonomi dunia mengalami resesi pendek
disebabkan oleh technology shock dan kemudian pulih dalam dua tahun berikutnya.
Pada tahun 2001 – 2003, investasi hanya tumbuh rata-rata 3,9 persen per tahun.
Kedua, investasi yang masuk tidak selalu diikuti dengan peningkatan konsumsi
masyarakat. Kecuali pada tahun 2004, konsumsi rumah tangga hanya tumbuh
berturut-turut sebesar 1,6 persen dan 4,0 persen pada tahun 2000 dan 2005. Pada
tahun 2004, semua unsur permintaan agregat tumbuh tinggi didorong oleh harapan
masyarakat yang besar. Dalam tahun 2004, konsumsi masyarakat tumbuh 5,0
persen. Ekspektasi masyarakat yang tinggi tersebut selanjutnya mendorong impor
barang meningkat tajam dan bersifat mengurang terhadap PDB. Pada tahun 2004,
impor barang dan jasa meningkat 26,5 persen, hampir dua kali lipat dari peningkatan
ekspor barang dan jasa yang naik 16,7 persen. Pola pertumbuhan ekonomi tahun
2000 – 2005 dapat dilihat pada Tabel II.3.
Secara teori, konsumsi masyarakat akan meningkat cukup tinggi setelah ada
kepastian peningkatan pendapatan yang berkelanjutan (secara agregat pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan). Dalam persamaan secara sederhana dinyatakan
sebagai Ct = Et [Yt+i(It+i)]. Dari persamaan tersebut dapat diartikan bahwa konsumsi
masyarakat akan dipengaruhi oleh kepastian terhadap keberlanjutan pertumbuhan
Perekonomian tahun 2005 berpotensi tumbuh 6 persen apabila stabilitas ekonomi pada tahun 2005
dapat dikendalikan dengan baik.
3
II−6
ekonomi dengan penggerak investasi (investment accelerator), tidak saja pada tahun
yang bersangkutan, tetapi juga pada beberapa tahun selanjutnya.
Tabel II.3.
POLA PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2000 - 2005
(persen perubahan)
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Konsumsi Rumah Tangga
1,6
3,5
3,8
3,9
5,0
4,0
Pengeluaran Pemerintah
6,5
7,6
13,0
10,0
4,0
8,1
Pembentukan Modal Tetap Bruto
16,7
6,5
4,7
0,6
14,6
9,9
Ekspor Barang dan Jasa
26,5
0,6
-1,2
5,9
13,5
8,6
Impor Barang dan Jasa
25,9
4,2
-4,2
1,6
27,1
12,3
PDB
4,9
3,6
4,5
4,8
5,1
5,6
Sumber: diolah dari BPS
Pertumbuhan Tahun 2000 atas tahun dasar 1993; tahun 2001-04 atas tahun dasar 2000
⎯ Sebagai gambaran, dalam tahun 1986 – 1996, perekonomian tumbuh rata-rata sekitar
7,8 persen per tahun. Dengan pertumbuhan ekonomi tinggi yang didorong oleh
investasi yang tumbuh rata-rata 10,9 persen per tahun, konsumsi masyarakat
meningkat rata-rata sekitar 8 persen per tahun. Konsumsi masyarakat meningkat
dengan kecepatan yang sama dengan pertumbuhan ekonomi pada kurun waktu
tersebut.
⎯ Satu-satunya upaya untuk mendorong peningkatan daya beli masyarakat cukup tinggi
adalah dengan memperkuat kebijakan-kebijakan yang benar-benar mampu
meyakinkan bahwa pertumbuhan yang digerakkan oleh investasi akan
berkelanjutan. Dengan cara ini masyarakat akan meningkatkan konsumsinya saat ini
karena yakin bahwa pendapatannya akan terus meningkat secara berkelanjutan.
Grafik II.5.
PERTUMBUHAN EKONOMI DAN INVESTASI
20
7,5
15
6,5
10
5,5
5
4,5
0
3,5
-5
2003:1
2004:1
2005:1
PMTB
2006:1
2,5
Pertumbuhan PDB (%, y-o-y)
Pertumbuhan PMTB (%), y-o-y
⎯ Tanpa dukungan investasi dan daya beli masyarakat, pola pertumbuhan ekonomi
tahun 2006 sangat rentan terhadap gejolak eksternal dan tidak akan berkelanjutan.
Dukungan investasi terhadap pertumbuhan ekonomi dapat dilihat pada Grafik II.5.
PDB
Kedua, menjaga stabilitas ekonomi terutama nilai tukar rupiah serta harga barang dan
jasa. Perkembangan ekonomi tahun 2006 menunjukkan bahwa gejolak keuangan global
seperti yang terjadi di Turki dan Brasil pada bulan Mei 2006 serta di Thailand pada bulan
Desember 2006 berpengaruh terhadap stabilitas keuangan dan moneter negara-negara
berkembang termasuk Indonesia. Potensi gejolak keuangan dan moneter internasional
dapat timbul baik dari kesenjangan global yang makin melebar maupun dari pergerakan
arus modal, terutama arus modal jangka pendek, yang makin cepat.
II−7
⎯ Stabilitas harga terutama kebutuhan pokok tetap membutuhkan perhatian yang serius.
Meskipun dalam tahun 2006, laju inflasi terkendali, harga beras meningkat cukup
tinggi. Dalam tahun 2006, harga beras meningkat sebesar 31,3 persen dibandingkan
tahun 2005. Tingginya harga beras dapat berpengaruh pada kehidupan masyarakat
kurang mampu terutama masyarakat miskin.
Ketiga, meningkatkan kemampuan ekonomi untuk menciptakan lapangan kerja
yang semakin luas dan mengurangi kemiskinan. Dengan jumlah pengangguran yang
masih besar, kualitas pertumbuhan perlu ditingkatkan agar kegiatan ekonomi dapat
menciptakan lapangan kerja yang lebih besar dan mengurangi lebih banyak jumlah
penduduk miskin.
⎯ Meskipun dalam periode November 2005 – Agustus 2006 pengangguran terbuka
menurun sekitar 1 juta orang, jumlah penganggur terbuka masih mencakup sebanyak
10,9 juta orang (10,3 persen angkatan kerja). Pengurangan penganggur terbuka tahun
2006 lebih didorong oleh melambatnya pertambahan angkatan kerja. Dalam tahun
2006, angkatan kerja hanya meningkat sekitar 530 ribu orang, jauh lebih kecil dari
rata-rata tahun 2002 – 2005 yang bertambah sebanyak 1,7 juta per tahun. Dalam
tahun 2007, tantangan untuk menciptakan lapangan kerja semakin besar dengan
tambahan angkatan kerja baru dan dorongan kenaikan Upah Minimum Provinsi.
Pertumbuhan ekonomi harus mencapai lebih dari 6 persen dengan kualitas yang lebih
tinggi dalam menciptakan lapangan kerja program-program pembangunan yang lebih
baik dalam mengurangi kemiskinan.
D. LANGKAH POKOK YANG PERLU DITEMPUH
Pertama, meningkatkan implementasi dari langkah-langkah perbaikan iklim
investasi sebagaimana yang tercantum dalam Inpres No. 3/2006 tentang Paket
Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi. Beberapa rencana tindak yang penting dan masih
tertunda perlu diselesaikan atau dipastikan penyelesaiannya. Upaya untuk meningkatkan
pemahaman pada pihak legislatif mengenai pentingnya aspek kepastian dalam investasi
perlu ditingkatkan. Adapun rencana tindak yang berada dalam kewenangan pemerintah
perlu segera diselesaikan. Kepastian ini akan memberi signal yang kuat bagi realisasi
persetujuan investasi, terutama PMDN, yang tercatat cukup besar pada tahun 2006.
Secara ringkas rincian minat investasi tersebut adalah sebagai berikut.
⎯ Dalam tahun 2006, nilai rencana investasi yang disetujui dalam rangka PMDN
mencapai Rp 162,8 triliun, atau 36,4 persen lebih besar dari periode tertinggi sebelum
krisis (rencana investasi dalam rangka PMDN tertinggi pada tahun 1997 yaitu sebesar
Rp 119,0 triliun). Sementara nilai rencana investasi dalam rangka PMA mencapai USD
15,6 miliar, atau 46,4 persen dari periode tertinggi sebelum krisis (rencana investasi
dalam rangka PMA tertinggi pada tahun 1997 yaitu sebesar USD 33,7 miliar).
Perkembangan rencana investasi tahun 1996 – 2006 dapat dilihat pada Grafik II.6.
44
200
33
150
22
100
11
50
0
1996
1998
2000
2002
PMA
2004
PMDN
II−8
2006
0
PMDN (Rp Triliun)
PMA (US$ miliar)
Grafik II.6.
NILAI RENCANA INVESTASI
⎯ Rencana investasi dalam rangka PMDN terbesar pada industri kertas, barang kertas,
dan percetakan (Rp 82,5 triliun, 50,7 persen); industri kimia dasar, barang kimis, dan
farmasi (Rp 24,3 triliun, 14,9 persen); dan industri makanan (Rp 13,8 triliun, 8,5
persen). Adapun dalam rangka PMA, rencana investasi terbesar pada industri logam,
mesin, dan elektronik (USD 2,9 miliar, 18,6 persen); konstruksi (USD 2,1 miliar, 16,4
persen); dan industri kimia dasar, barang kimia, dan farmasi (USD 1,5 miliar, 9,8
persen).
⎯ Daerah yang menarik minat investasi untuk PMDN adalah Kalimantan Timur (Rp 53,8
triliun, 33,1 persen); Kalimantan Barat (Rp 21,3 triliun, 13,1 persen); dan Riau (Rp 20,9
triliun, 12,8 persen). Adapun dalam rangka PMA, daerah yang menarik minat investasi
terbesar adalah DKI Jakarta (USD 2,7 miliar, 17,1 persen); Riau (USD 1,8 miliar, 11,8
persen); serta Jawa Barat dan Kalimantan Selatan (masing-masing sebesar USD 1,6
miliar, 10,3 persen).
⎯ Sinyal membaiknya investasi pada tahun 2007 juga terlihat dari meningkatnya
kapasitas produksi. Survei yang dilakukan oleh Bank Indonesia menunjukkan
kapasitas produksi mulai meningkat sejak triwulan IV/2006. Kapasitas produksi
terpakai untuk usaha pertambangan dan industri pengolahan pada triwulan IV/2006
mencapai 81,9 persen dan 69,9 persen. Perkembangan kapasitas produksi terpakai
dapat dilihat pada Grafik II.7.
Persen (%)
76
Grafik II.7.
KAPASITAS PRODUKSI TERPAKAI
72
68
64
60
2003:1 2003:3 2004:1 2004:3 2005:1 2005:3 2006:1 2006:3
Total
Industri Pengolahan
⎯ Beberapa catatan terkait dengan minat investasi yang tinggi adalah sebagai berikut.
Pertama, investasi bersifat lebih volatile dibandingkan unsur permintaan agregat
lainnya. Kedua, persetujuan investasi tahun-tahun sebelumnya tidak
menunjukkan pola yang pasti bahwa persetujuan investasi yang tinggi akan
terealisasi pada tahun berikutnya. Tahun pada saat investasi meningkat tinggi yaitu
tahun 2000 dan 2004 tidak didahului oleh nilai persetujuan investasi yang besar pada
tahun sebelumnya. Di sini kekuatan kebijakan sangat berperan dalam
merealisasikan rencana investasi.
⎯ Terkait dengan investasi di bidang infrastruktur, pada awal bulan November 2006,
proyek-proyek yang siap untuk ditawarkan telah dipertajam menjadi 111 proyek senilai
USD 16,7 miliar yang terdiri dari 10 model proyek dan 101 potensi proyek masingmasing senilai USD 4,5 miliar dan USD 12,2 miliar. Penawaran tersebut mencakup
proyek jalan tol, air minum, pembangkit tenaga listrik, perpipaan gas, transportasi,
dan telekomunikasi. Disamping upaya-upaya untuk membenahi permasalahan pokok
yang masih menghambat (pembebasan lahan dan regulasi), pendekatan terhadap
calon investor secara berlanjut perlu terus ditingkatkan dengan unit yang profesional
pada masing-masing proyek. Upaya ini diperlukan untuk menjaga kesinambungan dari
infrastructure summit yang telah dilakukan.
II−9
Kedua, meningkatkan efektivitas kebijakan fiskal dengan mempertajam kebijakan
belanja negara.
⎯ Penyerapan anggaran perlu diupayakan sedini mungkin. Belanja negara yang
dimanfaatkan lebih awal dapat membantu mendorong daya beli masyarakat melalui
kegiatan-kegiatan pembangunan yang dibiayai.
⎯ Dorongan fiskal terhadap perekonomian juga perlu diberikan pada belanja
daerah. Dengan semakin besarnya fungsi pelayanan kepada masyarakat yang
diberikan kepada daerah, peranan daerah untuk mendorong kegiatan ekonomi
semakin besar. Dalam tahun 2007, dana perimbangan daerah mencapai Rp 258,8
triliun, relatif sama dengan belanja pemerintah pusat di luar subsidi, pembayaran
utang, dan bantuan sosial (Rp 265,9 triliun). Keselarasan antara APBN dan APBD
sangat penting untuk meningkatkan efektivitas dari penggunaannya.
Ketiga, meningkatkan penyaluran kredit perbankan. Penyaluran kredit perbankan
ditingkatkan dengan mendorong fungsi intermediasi perbankan untuk memberi tekanan
yang lebih besar pada kegiatan investasi dan produksi. Dengan penurunan suku bunga
kredit yang masih berlanjut pada tahun 2007, penyaluran kredit perbankan termasuk
kredit konsumsi diperkirakan akan meningkat.
⎯ Pertumbuhan kredit perbankan perlu diupayakan meningkat lebih dari 20
persen pada tahun 2007. Meskipun kegiatan ekonomi masyarakat tidak sepenuhnya
dibiayai oleh perbankan, peranan perbankan tetap besar dalam mendorong
pencapaian pertumbuhan ekonomi lebih dari 6 persen pada tahun 2007 [catatan: Bank
Indonesia memperkirakan pertumbuhan kredit perbankan tahun 2007 sebesar 18
persen]. Penyelesaian kredit bermasalah pada bank-bank yang mempunyai NPL besar
penting untuk membantu bank yang bersangkutan dalam menyalurkan kembali kredit
kepada masyarakat. Hubungan credit channel terhadap pertumbuhan ekonomi dapat
dilihat pada Boks II.4 berikut ini.
Keempat, meningkatkan daya saing dan diversifikasi pasar komoditi ekspor. Upaya
peningkatan daya saing perlu dilakukan untuk mengimbangi perlambatan ekonomi dunia
terutama perekonomian Amerika Serikat. Peningkatan daya saing dilakukan dengan
mengurangi berbagai kendala yang menghambat arus barang dan jasa, termasuk
peraturan-peraturan daerah yang menghambat, serta dengan menyederhanakan prosedur
kepabeanan. Diversifikasi pasar komoditi ekspor diperluas dengan mencari pasar baru di
luar negara-negara industri maju terutama di negara-negara Asia sebagai kawasan yang
tumbuh paling pesat dalam tiga puluh tahun terakhir.
Kelima, meningkatkan ketahanan sektor keuangan. Dengan meningkatnya potensi
ketidakstabilan moneter dan keuangan internasional, perhatian perlu diberikan pada
penyusunan langkah-langkah penanganan terhadap berbagai kemungkinan gejolak
yang timbul disamping penguatan sistem deteksi dini dan penguatan kelembagaan sektor
keuangan. Prioritas untuk menjaga stabilitas ekonomi juga diberikan pada upaya untuk
menangani secara mendasar kenaikan harga beras yang tinggi pada tahun 2006.
Keenam, mendorong daerah-daerah yang merupakan kantong pengangguran dan
kemiskinan untuk menciptakan lapangan kerja dan mengurangi jumlah penduduk
miskin baik melalui kebijakan investasi daerah maupun APBD.
⎯ Sebagian besar pengangguran terbuka dan penduduk miskin berada di Jawa. Dari
Sakernas Agustus 2006, sekitar 62,7 persen pengangguran terbuka berada di Jawa
(termasuk DKI Jaya, DIY, dan Banten) dengan pengangguran terbuka terbesar di Jawa
Barat (23,4 persen atau hampir seperempat dari total penganggur terbuka). Di luar
Jawa, penganggur terbuka yang cukup besar terdapat di Sumatera Utara (sekitar 632
ribu). Selanjutnya dari Susenas 2004, sebanyak 52,1 persen penduduk miskin juga
II−10
berada di Jawa dengan jumlah terbesar di Jawa Timur, disusul Jawa Tengah, dan Jawa
Barat.
⎯ Pemecahan masalah pengangguran dan kemiskinan dalam jangka menengah panjang
diimbangi oleh pemerataan pembangunan dengan mendorong pembangunan di luar
Jawa lebih cepat.
Boks II.4.
CREDIT CHANNEL DAN PERTUMBUHAN EKONOMI
Grafik II.8.
PERTUMBUHAN KREDIT DAN PDB
40
10
16
5
-8
0
-32
-5
-56
-10
-80
1992
Kredit-Inflasi
1994
1996
1998
2000
PDB
2002
-15
Pertumbuhan PDB (%)
Pertumb Kredit-Inflasi/PDB Deflato
Dengan lemahnya hubungan antara uang beredar dan pertumbuhan ekonomi,
transmisi kebijakan moneter terhadap pertumbuhan ekonomi lebih dilihat dari kredit
yang disalurkan oleh perbankan kepada masyarakat. Data tahun 1995 – 2005
menunjukkan pola yang sejalan antara pertumbuhan riil kredit yang disalurkan
perbankan dengan pertumbuhan ekonomi sebagaimana Grafik II.8.
Kredit-PDB Deflator
Regresi sangat sederhana pertumbuhan PDB sebagai fungsi dari pertumbuhan kredit
riil adalah sebagai berikut
Δy/y = 3,18 + 0,1686 Δc/c
dimana Δy/y dan Δc/c menyatakan pertumbuhan PDB dan pertumbuhan kredit
secara riil. Apabila persamaan tersebut diterapkan untuk tahun 2005, dengan
pertumbuhan kredit nominal tahun 2005 sebesar 24,6 persen dan laju inflasi ratarata setahun sebesar 10,4 persen didapatkan pertumbuhan ekonomi 5,57 persen;
relatif sama dengan realisasi pertumbuhan PDB tahun 2005 sebesar 5,7 persen.
Apabila pertumbuhan kredit perbankan tahun 2007 dapat ditingkatkan sebesar 23,0
persen, dengan laju inflasi sebesar 6,5 persen pada akhir tahun 2007, pertumbuhan
ekonomi tahun 2007 diperkirakan sekitar 6 persen. Meskipun hubungan antara
pertumbuhan ekonomi dengan peningkatan kredit riil cukup kuat, pembiayaan
ekonomi, termasuk investasi, tidak sepenuhnya dibiayai oleh perbankan. Sebagian
dibiayai dari PMA, sumber pembiayaan jangka pendek, APBN, dan sumber
pembiayaan sendiri.
Dengan tingginya rencana PMDN tahun 2006 diperkirakan permintaan terhadap
kredit perbankan meningkat lebih dari 20 persen. Dorongan lebih lanjut
pertumbuhan ekonomi tahun 2007 diperoleh dari penajaman kebijakan fiskal baik
dalam bentuk belanja pemerintah pusat dan daerah. Dalam keseluruhan tahun 2007,
pertumbuhan ekonomi berpotensi mencapai 6,3 persen.
II−11
E. PROYEKSI EKONOMI TAHUN 2007
1. PERTUMBUHAN EKONOMI
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa sasaran pertumbuhan ekonomi lebih
dari 6 persen membutuhkan peningkatan semua unsur permintaan agregat termasuk
daya beli masyarakat. Dengan memperhitungkan kekuatan kebijakan yang telah dan
akan ditempuh, pertumbuhan ekonomi pada tahun 2007 akan digerakkan oleh
sumber-sumber pertumbuhan sebagai berikut.
⎯ Investasi dan konsumsi masyarakat diupayakan menjadi penggerak utama
pertumbuhan ekonomi dengan didukung oleh pengeluaran pemerintah. Investasi
berupa pembentukan modal tetap bruto baik untuk memenuhi permintaan ekspor
maupun permintaan dalam negeri diperkirakan tumbuh sebesar 12,3 persen.
Dengan meningkatnya investasi, impor barang dan jasa diperkirakan tumbuh 14,2
persen; lebih tinggi dari ekspor barang dan jasa yang secara riil meningkat 9,9
persen.
⎯ Sementara itu, pengeluaran pemerintah tetap memberi dorongan bagi
perekonomian dengan peningkatan sebesar 8,9 persen. Penyerapan dana lebih
awal akan membantu peningkatan daya beli masyarakat melalui kegiatan-kegiatan
pembangunan yang dibiayai oleh belanja negara dan daerah. Dengan ekspektasi
masyarakat terhadap pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, konsumsi
masyarakat diperkirakan meningkat sebesar 5,1 persen.
⎯ Dari sisi produksi, sektor pertanian diperkirakan tumbuh 2,7 persen antara lain
didorong oleh sub-sektor perkebunan dan perikanan. Adapun industri pengolahan
nonmigas diperkirakan mampu tumbuh 7,9 persen didorong oleh perbaikan iklim
investasi dan permintaan ekspor yang masih meningkat relatif tinggi. Adapun
sektor-sektor lain diperkirakan tumbuh 6,8 persen.
⎯ Dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,3 persen pada tahun 2007 dan jumlah
penduduk sekitar 224,9 juta orang, pendapatan riil per kapita dalam harga konstan
tahun 2000 diperkirakan Rp 8,7 juta. Dengan nilai tukar rupiah sekitar Rp 9.300,per USD, PDB per kapita pada tahun 2007 diperkirakan lebih dari USD 1.800.
Gambaran ekonomi makro dan struktur ekonomi, serta proyeksi ekonomi tahun
2007 dapat dilihat pada Tabel II.4, Tabel II.5, dan Grafik II.9.
Tabel II.4.
PROYEKSI PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2007
(persen perubahan, y-o-y)
2007*)
2005
2006
Tw. I*) Tw. II*) Tw. III*) Tw. IV*)
Konsumsi Masyarakat
Konsumsi Pemerintah
PMTB
Ekspor Barang dan Jasa
Impor Barang dan Jasa
PDB
4,0
6,6
10,8
16,4
17,1
5,7
3,2
9,6
2,9
9,2
7,6
5,5
*) Proyeksi
II−12
4,1
10,3
10,0
8,4
10,7
6,0
4,9
5,6
11,7
9,5
12,2
6,1
5,7
12,7
13,2
10,4
12,0
6,4
5,5
7,8
14,2
11,2
21,5
6,6
Total
5,1
8,9
12,3
9,9
14,2
6,3
8
15
6
4
5
2
0
2002:1
2003:1
PMTB
2004:1
2005:1
2006:1
Konsumsi RT
2007:1
-5
Pertumbuhan PMTB (%)
Pertumbuhan PDB, Konsumsi RT (%)
10
Grafik II.9.
PROYEKSI PERTUMBUHAN EKONOMI 2007
PDB
2. NERACA PEMBAYARAN
Proyeksi neraca pembayaran didasarkan pada perkiraan-perkiraan sebagai berikut.
Pertama, pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat serta menurunnya harga
komoditi nonmigas diperkirakan akan memperlambat peningkatan penerimaan
ekspor. Kedua, meningkatnya investasi akan mendorong kebutuhan impor. Ketiga,
nilai imbal beli rupiah diperkirakan masih tetap menarik bagi investasi portfolio
disamping investasi langsung asing.
⎯ Dengan perkiraan tersebut, surplus neraca transaksi berjalan pada tahun 2007
diperkirakan menurun menjadi USD 8,6 miliar, lebih rendah dibandingkan tahun
2006 (USD 9,6 miliar). Di sektor ekspor, penerimaan ekspor non-migas pada
tahun 2007 diperkirakan meningkat sebesar 12,0 persen, lebih rendah
dibandingkan tahun 2006 (20,7 persen). Di sektor impor, pengeluaran impor nonmigas pada tahun 2007 diperkirakan tumbuh 15,6 persen; lebih tinggi
dibandingkan dengan tahun 2006 (7,1 persen). Sedangkan defisit pada sektor jasajasa diperkirakan tetap tinggi dengan meningkatnya arus ke luar jasa-jasa
transportasi dan masih tingginya pembayaran bunga pendapatan.
⎯ Surplus neraca modal dan finansial diperkirakan menurun menjadi USD 0,4 miliar
dibandingkan tahun 2006 (USD 2,5 miliar). Penurunan ini terutama didorong oleh
defisit arus modal lainnya terutama dalam bentuk aset swasta; sedangkan investasi
langsung asing dan portfolio (neto) diperkirakan mengalami surplus berturut-turut
sebesar USD 5,6 miliar dan USD 3,7 miliar.
⎯ Dari gambaran neraca transaksi berjalan serta neraca modal dan finansial tersebut,
neraca keseluruhan (overall balance) pada tahun 2007 diperkirakan mengalami
surplus sebesar USD 9,0 miliar sehingga cadangan devisa diperkirakan meningkat
menjadi USD 51,6 miliar. Perkiraan neraca pembayaran tahun 2007 dapat dilihat
pada Tabel II.6.
3. MONETER
Sejak pertengahan tahun 2006, kebijakan moneter mulai dilonggarkan dengan
tekanan inflasi yang menurun dan meredanya siklus pengetatan moneter di Amerika
Serikat. Dalam tahun 2007 kebijakan moneter diarahkan untuk menjaga momentum
pertumbuhan ekonomi serta menjaga stabilitas harga dan nilai tukar mata uang dari
potensi gejolak moneter dan keuangan internasional yang dapat timbul pada tahun
2007.
⎯ Dalam keseluruhan tahun 2007, nilai tukar rupiah diperkirakan stabil sekitar Rp
9.200 per USD. Dengan tidak adanya pengaruh pelemahan rupiah secara tajam
II−13
terhadap inflasi serta memperhitungkan kenaikan harga kelompok bahan makanan
pada awal-awal tahun 2007, laju inflasi pada keseluruhan tahun 2007 diperkirakan
sekitar 7 persen. Peningkatan permintaan yang tinggi terhadap perekonomian
diperkirakan tidak akan mendorong laju inflasi yang tinggi dengan adanya
kapasitas produksi yang belum maksimal digunakan pada tahun 2006 dan
perbaikan infrastruktur yang berpengaruh pada distribusi barang dan jasa.
⎯ Dengan melunaknya tekanan inflasi dan kebijakan suku bunga Fed yang netral, BI
rate masih mempunyai ruang untuk menurun secara bertahap dengan laju yang
lebih lambat dibandingkan tahun 2006. Langkah yang lebih penting adalah
mempercepat penurunan suku bunga kredit agar pengaruhnya lebih cepat
dirasakan bagi peningkatan kegiatan ekonomi dan daya beli masyarakat.
4. KEUANGAN NEGARA
Kebijakan fiskal tahun 2007 tetap dilaksanakan untuk menjaga ketahanan fiskal
dengan memberi stimulan terhadap perekonomian melalui penyelarasan APBN dan
APBD. Secara ringkas, gambaran APBN Tahun 2007 adalah sebagai berikut.
⎯ Penerimaan negara diupayakan meningkat menjadi Rp 720,4 triliun atau naik Rp
65,5 triliun dibandingkan APBN-P Tahun 2006. Peningkatan terutama bersumber
dari penerimaan pajak yang diupayakan meningkat menjadi Rp 509,5 triliun atau
naik Rp 84,4 triliun dibandingkan APBN-P Tahun 2006. Sasaran peningkatan
pajak tahun 2007 cukup berat. Selain pertumbuhan ekonomi harus tumbuh
tinggi, pencapaian sasaran ini membutuhkan efektivitas pengumpulan pajak
yang lebih tinggi.
⎯ Pengeluaran negara direncanakan meningkat menjadi Rp 763,6 triliun atau naik
Rp 64,5 triliun dibandingkan APBN-P Tahun 2006. Peningkatan diberikan
terutama kepada belanja daerah yang naik sebesar Rp 38,0 triliun; sedangkan
belanja pemerintah pusat hanya meningkat Rp 26,5 triliun. Dengan besarnya
dorongan ekspansi fiskal dalam bentuk belanja daerah, keselarasan program
pembangunan di daerah dengan prioritas pembangunan nasional sangat penting.
Program-program pembangunan di daerah perlu diupayakan untuk mendukung
pencapaian program-program nasional. Secara keseluruhan kebijakan belanja
negara harus kuat dan tajam agar penerimaan pajak yang digalakkan dapat
diwujudkan pada kegiatan pembangunan yang memberi dampak lebih luas
bagi masyarakat.
⎯ Dengan rencana pada sisi penerimaan dan pengeluaran tersebut, defisit APBN
dalam tahun 2007 diperkirakan sebesar Rp 40,5 triliun atau 1,1 persen PDB. Defisit
tersebut akan dibiayai terutama melalui penerbitan surat utang negara (SUN)
sebesar Rp 40,6 triliun dan pinjaman luar negeri Rp 40,3 triliun dengan kewajiban
pembayaran pokok utang luar negeri yaitu Rp 54,8 triliun. Rincian keuangan
negara tahun 2005 – 2007 dapat dilihat pada Tabel II.7.
5. KEBUTUHAN INVESTASI DAN SUMBER PEMBIAYAAN
Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 6,3 persen pada tahun 2007
dibutuhkan investasi sebesar Rp 989,6 triliun. Sebagian besar dari kebutuhan investasi
tersebut (Rp 862,2 triliun atau sekitar 87,1 persen dari total kebutuhan investasi)
diupayakan berasal dari masyarakat, termasuk swasta; sedangkan sisanya berasal dari
pemerintah. Kebutuhan investasi masyarakat tersebut akan dipenuhi dengan sumber
pembiayaan antara lain dari perbankan; investasi langsung asing (termasuk saham);
dana luar negeri lainnya; serta lainnya (modal sendiri, penyertaan saham, emisi
saham/obligasi). Rincian kebutuhan investasi dan sumber pembiayaannya dapat
dilihat pada Tabel II.8.
II−14
F. KEMUNGKINAN PERTUMBUHAN EKONOMI LEBIH LAMBAT DARI 6,3 PERSEN
Terdapat kemungkinan pertumbuhan ekonomi tahun 2007 lebih rendah dari 6,3 persen.
Faktor-faktor yang berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi antara lain: (a)
lambatnya pemulihan investasi dan daya beli masyarakat yang pada gilirannya akan
mengurangi peningkatan permintaan domestik; (b) melambatnya perekonomian dunia
lebih dalam dari yang diperkirakan (pertumbuhan ekonomi dunia menjadi kurang dari 4
persen) yang berpengaruh besar pada sisi eksternal ekonomi nasional; serta (c)
meningkatnya gejolak moneter dan keuangan internasional yang menuntut kebijakan
moneter baik luar maupun dalam negeri yang sangat ketat.
Berbagai faktor di atas dapat mengakibatkan nilai tukar rupiah melemah pada kisaran Rp
11.000 ⎯ Rp 12.000 per USD, laju inflasi pada akhir tahun 2007 antara 9 — 11 persen, BI
rate kembali di atas satu digit; serta pertumbuhan ekonomi dalam keseluruhan tahun 2007
melambat di bawah 6 persen menjadi sekitar 5,7 – 5,9 persen.
II−15
Tabel II.5.
GAMBARAN EKONOMI MAKRO DAN STRUKTUR EKONOMI
Realisasi
2003
2004
2005
2006
Proyeksi
2007
PERTUMBUHAN EKONOMI (%)
4,8
5,0
5,7
5,5
6,3
PERTUMBUHAN PDB SISI PENGELUARAN (%)
Konsumsi Masyarakat
Konsumsi Pemerintah
Investasi
Ekspor Barang dan Jasa
Impor Barang dan Jasa
3,9
10,0
0,6
5,9
1,6
5,0
4,0
14,7
13,5
26,7
4,0
6,6
10,8
16,4
17,1
3,2
9,6
2,9
9,2
7,6
5,1
8,9
12,3
9,9
14,2
PERTUMBUHAN PDB SISI PRODUKSI (%)
Pertanian
Industri Pengolahan
Nonmigas
Pertambangan dan Penggalian
Listrik, Gas, dan Air Bersih
Bangunan
Perdagangan, Hotel, dan Restoran
Pengangkutan dan Telekomunikasi
Keuangan, Persewaan, dan Jasa Usaha
Jasa-jasa
3,8
5,3
6,0
-1,4
4,9
6,1
5,4
12,2
6,7
4,4
2,8
6,4
7,5
-4,5
5,3
7,5
5,7
13,4
7,7
5,4
2,7
4,6
5,9
3,1
6,3
7,4
8,4
13,0
6,8
5,0
3,0
4,6
5,3
2,2
5,9
9,0
6,1
13,6
5,6
6,2
2,7
7,2
7,9
2,4
6,2
9,4
7,0
13,8
6,0
4,5
DISTRIBUSI PDB (%)
Pertanian
Industri Pengolahan
Nonmigas
Lainnya
15,2
28,3
24,4
56,6
14,3
28,1
24,0
57,6
13,1
27,7
22,7
59,2
12,9
28,0
22,8
59,1
12,5
27,7
23,1
59,8
LAJU INFLASI (%)
5,1
6,4
17,1
6,6
7,0
II−16
Tabel II.6.
PERKIRAAN NERACA PEMBAYARAN
(USD miliar)
Realisasi
2004
2005
2006
Proyeksi
2007
Ekspor
Migas
Nonmigas
(Pertumbuhan, %)
70,8
16,3
54,5
11,5
87,0
20,2
66,8
22,5
102,7
22,2
80,6
20,7
110,8
20,5
90,2
12,0
Impor
Migas
Nonmigas
(Pertumbuhan, %)
-50,6
-11,2
-39,5
24,4
-69,5
-16,0
-53,4
36,0
-73,0
-15,8
-57,2
7,1
-80,1
-14,0
-66,2
15,6
Jasa-jasa
Pembayaran Bunga Pinjaman Pemerintah
-18,6
-2,8
-17,3
-2,7
-20,1
-2,6
-22,1
-2,1
Neraca Transaksi Berjalan
1,6
0,3
9,6
8,6
Neraca Modal dan Finansial
Neraca Modal
Neraca Finansial
Investasi Langsung
Arus Masuk
Arus Keluar
Portfolio
Aset Swasta
Liabilities
Pemerintah dan BI
Swasta
Lainnya
Aset Swasta
Liabilities
Pemerintah dan BI
Swasta
1,9
0,0
1,9
-1,5
1,9
-3,4
4,4
0,4
4,1
2,3
1,8
-1,0
1,0
-2,0
-2,7
0,7
0,3
0,3
-0,0
5,3
8,3
-3,1
4,4
-1,1
5,3
4,8
0,4
-9,5
-8,6
-0,8
-0,8
0,0
2,5
0,3
2,1
4,1
7,5
-3,5
3,8
-1,9
5,7
4,5
1,3
-5,8
-3,6
-2,2
-2,5
0,3
0,4
0,4
0,1
5,6
9,1
-3,6
3,7
-2,0
5,7
2,8
3,0
-9,3
-8,2
-1,1
-1,7
0,6
To t a l
3,4
0,6
12,1
9,0
Selisih Perhitungan
-3,1
0,2
3,0
0,0
Neraca Keseluruhan
0,3
0,4
15,0
9,0
Cadangan Devisa
(persentase terhadap PDB)
36,3
0,6
34,7
0,1
42,6
2,6
51,6
2,1
Memorandum Item
Exceptional Financing
IMF Neto
Penjadwalan Hutang
-1,0
-1,0
0,0
1,7
-1,1
2,7
-7,6
-7,6
0,0
0,0
0,0
0,0
II−17
I. PENERIMAAAN NEGARA DAN HIBAH
A. Penerimaan Negara
1. Penerimaan Pajak
a. Pajak Penghasilan
b. Pajak Pertambahan Nilai
c. Lainnya
2. Penerimaan Bukan Pajak
a. SDA
- Migas
- Bukan Migas
b. Lainnya
Tabel II.7.
KEUANGAN NEGARA
APBN-P 2006
APBN 2007
APBN 20051)
Rp Triliun % PDB Rp Triliun % PDB2) Rp Triliun %PDB3)
495,0
18,1
659,1
21,1
723,1
20,5
493,7
18,1
654,9
21,0
720,4
20,4
346,8
12,7
425,1
13,6
509,5
14,4
175,4
6,4
213,7
6,9
261,7
7,4
101,3
3,7
132,9
4,3
161,0
4,6
2,6
70,1
78,5
2,5
86,7
2,5
146,9
5,4
229,8
7,4
210,9
6,0
110,6
4,1
165,7
5,3
146,3
4,1
103,7
3,8
159,8
5,1
139,9
4,0
6,9
0,3
5,9
0,2
6,4
0,2
36,2
1,3
64,1
2,1
64,7
1,8
B. Hibah
1,3
0,0
4,2
0,1
2,7
0,1
507,4
356,9
55,9
30,6
36,9
57,6
120,7
0,0
24,3
30,8
18,6
13,1
2,0
1,1
1,4
2,1
4,4
0,0
0,9
1,1
699,1
478,3
79,1
56,0
69,8
82,5
107,6
0,0
41,0
42,3
22,4
15,3
2,5
1,8
2,2
2,6
3,5
0,0
1,3
1,4
763,6
504,8
98,5
71,9
76,8
85,1
102,9
0,0
50,7
18,8
21,6
14,3
2,8
2,0
2,2
2,4
2,9
0,0
1,4
1,4
150,5
143,3
49,8
88,7
4,7
7,2
5,5
5,2
1,8
3,3
0,2
0,3
220,8
216,8
59,6
145,7
11,6
4,0
7,1
7,0
1,9
4,7
0,4
0,1
258,8
250,3
68,5
164,8
17,1
8,5
7,3
7,1
1,9
4,7
0,5
0,2
III. KESEIMBANGAN PRIMER
45,2
1,7
42,5
1,4
44,6
1,3
IV. SURPLUS/DEFISIT ANGGARAN
-12,4
-0,5
-40,0
-1,3
-40,5
-1,1
V. PEMBIAYAAN
A. Pembiayaan Dalam Negeri
1. Perbankan
2. Non Perbankan
a. Privatisasi
b. Penjualan Aset Restrukturisasi
c. Surat Utang Negara
d. Penyertaan Modal Pemerintah
B. Pembiayaan Luar Negeri
1. Penarikan Pinjaman Luar Negeri
a. Pinjaman Program
b. Pinjaman Proyek
2. Pembayaran Pokok
12,4
23,7
-0,3
23,9
6,6
0,0
22,6
-5,2
-11,3
25,9
12,3
13,6
-37,1
0,5
0,9
0,0
0,9
0,2
0,0
0,8
-0,2
-0,4
0,9
0,4
0,5
-1,4
40,0
55,3
17,9
37,4
1,0
2,6
35,8
2,0
-15,3
37,6
12,0
25,5
-52,8
1,3
1,8
0,6
1,2
0,0
0,1
1,1
-0,1
-0,5
1,2
0,4
0,8
-1,7
40,5
55,1
13,0
42,1
2,0
1,5
40,6
-2,0
-14,5
40,3
16,3
24,0
-54,8
1,1
1,6
0,4
1,2
0,1
0,0
1,1
-0,1
-0,4
1,1
0,5
0,7
-1,6
II. PENGELUARAN NEGARA
A. Belanja Pemerintah Pusat
1. Belanja Pegawai
2. Belanja Barang
3. Belanja Modal
4. Pembayaran Utang
5. Subsidi
6. Belanja Hibah
7. Belanja sosial
8. Belanja lain-lain
B. Belanja Daerah
1. Dana perimbangan
a. Dana Bagi Hasil
b. Dana Alokasi Umum
c. Dana Alokasi Khusus
2. Dana Khusus dan Penyeimbang
Keterangan: 1) realisasi per 31 Desember; 2) menggunakan asumsi PDB nominal Rp 3.119 triliun; 3)
menggunakan asumsi PDB nominal Rp 3.531 triliun
II−18
Tabel II.8.
KEBUTUHAN DAN SUMBER PEMBIAYAAN INVESTASI
(Rp Triliun)
Realisasi
2004
2005
2006
Proyeksi
2007
KEBUTUHAN INVESTASI
% PDB
464,6
24,1
654,8
24,6
796,8
21,0
989,6
26,1
SUMBER PEMBIAYAAN INVESTASI
1. Pemerintah
% Total Investasi
2. Masyarakat
% Total Investasi
• Perbankan
• PMA (termasuk saham)
• Dana Luar Negeri Lainnya
• Lain-lain
464,4
83,2
17,9
381,4
82,1
115,6
102,7
68,3
94,8
654,8
78,6
12,0
576,2
88,0
136,1
141,8
173,8
124,5
796,8
110,7
13,9
686,1
86,1
97,5
131,8
196,8
260,0
989,6
127,4
12,9
862,2
87,1
170,9
145,3
239,5
306,5
II−19
Download