BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komunikasi 2.1.1 Pengertian Komunikasi Komunikasi merupakan proses kegiatan yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication, berasal dari kata latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama di sini maksudnya adalah sama makna. Komunikasi akan terjadi atau berlangsung apabila ada kesamaan makna mengenai apa yang dipercakapkan. Menurut Harold Laswell, komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu.1 Proses komunikasi terbagi menjadi dua tahap, yakni secara primer dan secara sekunder. Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (symbol) sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa, kial (gesture), isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya yang secara langsung mampu “menerjemahkan” pikiran atau perasaan komunikator kepada komunikan secara langsung. Sedangkan proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang pada media pertama. Seorang komunikator menggunakan media kedua 1 Onong Uchjana Effendy. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: Rosda. 2006. Hal. 10 14 15 dalam melancarkan komunikasinya karena komunikan sebagai sasarannya berada di tempat yang relatif jauh atau jumlahnya banyak. Surat, telepon, teleks, surat kabar, majalah, radio, televisi, film, dan masih banyak lagi adalah media kedua yang sering digunakan dalam komunikasi. Media-media tersebut bersifat massif atau massal, yakni tertuju kepada sejumlah orang yang relatif banyak sehingga termasuk ke dalam kategori komunikasi masssa (mass communication)2. Dalam lingkup komunikasi massa, salah satu media yang mempunyai kekuatan yang cukup besar adalah televisi. Untuk itu, televisi kerap kali menjadi media favorit dalam beriklan karena televisi memiliki kemampuan untuk menyiarkan iklan dengan kekuatan audiovisualnya dan jangkauan penayangannya yang cukup luas. 2.1.2 Komunikasi Verbal Komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan kata-kata, entah lisan maupun tertulis. Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Bahasa dapat juga dianggap sebagai sistem kode verbal3. Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Hampir semua rangsangan bicara yang kita sadari termasuk dalam kategori pesan verbal disengaja, yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara sadar untuk berhubungan dengan orang lain secara verbal4. 2 Ibid. 18 Hardjana. Komunikasi Intrapersonal dan Interpersonal,Kansius: Yogyakarta, 2003, Hal. 34 4 Ibid, Hal. 34 3 16 Komunikasi verbal ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut 5 : 1. Disampaikan secara lisan/bicara atau tulisan 2. Proses komunikasi eksplisit dan cenderung dua arah 3. Kualitas proses komunikasi seringkali ditentukan oleh komunikasi nonverbal Simbol verbal bahasa merupakan pencapaian manusia yang paling impresif. Saat ini terdapat sekitar 10.000 bahasa dan dialek digunakan umat manusia di dunia. Setiap bahasa memiliki aturan-aturan6: 1. Fonologi: cara bagaimana suara dikombinasikan untuk membentuk kata 2. Sintaksis : cara bagaimana kata dikombinasikan hingga membentuk kalimat 3. Semantik : arti kata 4. Pragmatis : cara bagaimana bahasa digunakan 2.1.3 Komunikasi Non-verbal Komunikasi nonverbal adalah setiap informasi atau emosi dikomunikasikan tanpa menggunakan kata-kata atau nonlinguistik. Komunikasi nonverbal adalah penting, sebab apa yang sering kita lakukan mempunyai makna jauh lebih penting daripada apa yang kita katakan. Ucapan atau ungkapan klise seperti “sebuah gambar sama nilainya dengan seribu kata-kata” menunjukkan bahwa alat-alat indera yang kita gunakan untuk menangkap isyarat-isyarat nonverbal sebetulnya berbeda dari hanya kata-kata yang kita gunakan. Dengan 5 Ibid, Hal. 35 Nina Mutmainah dan M. Fauzi. Psikologi Komunikasi, Penerbit Universitas Terbuka, Jakarta: 1997. Hal 56 6 17 sejumlah alat indera yang terangsang tampaknya orang akan merespon isyaratisyarat nonverbal secara emosional, sedangkan reaksi mereka kepada hanya katakata lebih bersifat rasional. Hal yang sama dapat dibuat orientasi bagi otak kanan dan otak kiri. Nonverbal cenderung lebih kepada otak kanan yang bersifat afektif atau emosional. Kata-kata cenderung lebih kepada otak kiri yang bersifat kognitif atau rasional7. Terdapat sejumlah bentuk komunikasi nonverbal dan bentuk-bentuk tersebut meliputi wajah terutama yang menyangkut mata, tubuh, sentuhan, suara, ruang, waktu, daya tarik fisik, pakaian, dan lingkungan8. Komunikasi nonverbal adalah semua bentuk komunikasi yang tidak menggunakan pesan berupa kata-kata. Pesan nonverbal dapat terbagi atas9 : 1. Paralanguage Apa yang kita katakan menggunakan kata, frase, atau kalimat penting dalam proses komunikasi. Namun, seringkali cara kita menggunakan bahasa jauh lebih penting sebagai sumber informasi daripada kata-kata itu sendiri. Inilah yang dikenal sebagai paralanguage (paralinguistik) cara kita menggunakan bahasa. Paralanguage dapat terbagi dua, yaitu: a. Bentuk vokalik (ucapan) b. Bentuk tertulis Paralanguage dalam bentuk ucapan misalnya:kecepatan bicara, tinggirendahnya suara, dialek, intonasi cara berhenti, ucapan-ucapan tertentu 7 Budyatna, Muhammad.,dan Leila Mona Ganiem. Teori Ilmu Komunikasi Massa. Kencana Prenada Media Group:Jakarta, 2009, Hal. 110 8 Ibid, Hal. 111 9 Nina Mutmainah dan M. Fauzi. Psikologi Komunikasi, Penerbit Universitas Terbuka, Jakarta: 1997. Hal.58 18 dalam bicara (misalnya, seringkali dalam berbicara orang banyak berkata: nah, eh, daripada, ehm, oh, dsb), artikulasi, keteraturan berbicara sesuai tata bahasa. Paralinguistik dapat menunjukkan hal-hal tertentu tentang sumber, seperti etnik, tingkat pendidikan, usia, tingkat emosi atau perasaan, dan sebagainya. Semua itu dapat menjadi dasar persepsi kita tentang orang lain. 2. Penampilan (Appearance) Dalam komunikasi manusia, penampilan memegang peranan penting. Kesan pertama seseorang tentang orang lain umumnya dibentuk dari penampilan orang tersebut. Kesan awal ini menentukan proses komunikasi selanjutnya. Sejumlah faktor yang menyumbang penampilan adalah wajah, mata, rambut, bentuk fisik tubuh, pakaian, perlengkapan, dan artifak. 3. Gestura (kinesik) Gestura adalah gerakan anggota tubuh. Gestura dapat disengaja (purposeful) sengaja dikirimkan dengan tujuan tertentu dan tidak disengaja (incidental atau unintended). Sejumlah gestura dapat merupakan pelengkap bagi sinyal-sinyal verbal (misalnya mengatakan “ya” sambil mengangguk-angguk) atau mengganti sinyal verbal (misal : mengangkat bahu untuk menunjukkan “tidak tahu”). 19 4. Sentuhan (Haptik) Alat penerima sentuhan ialah kulit, yang mampu menerima dan membedakan berbagai emosi yang disampaikan orang melalui sentuhan. Sentuhan merupakan ungkapan seperti perhatian, rasa sayang, rasa takut, marah, kebahagian dan keakraban. Sentuhan dapat menunjukkan tingkat keakraban hubungan seseorang dengan orang lain, budaya, dan suku bangsa seseorang. 5. Ruang dan Jarak (Proksemik) Pesan prosemik disampaikan melalui pengaturan jarak dan ruang. Umumnya dengan mengatur jarak kita mengungkapkan tingkat keakraban kita dengan orang lain. Edward T. Hall menyebutkan ada empat macam jarak interaksi antarmanusia, yaitu jarak akrab/intim, jarak personal, jarak sosial, dan jarak publik. Sejumlah faktor mempengaruhi kita dalam berinteraksi dalam jarak-jarak ini misalnya tingkat hubungan kita dengan orang lain, topik yang dibicarakan, latar belakang budaya, sikap dan perasaan kita tentang orang lain, usia individu yang terlibat dan sebagainya. Pesan proksemik juga diungkapkan melalui pengaturan ruangan dan furnitur yang dipakai. Pesan proksemik ini dapat menunjukkan tiga fungsi, yaitu : 1. Mengarahkan Perilaku Pesan proksemik mempengaruhi perilaku seseorang. Misalnya pengaturan kursi dan meja di restoran fast-food dirancang agar 20 orang tidak berlama-lama di sana, jalan-jalan di taman membuat orang diatur harus berjalan di mana. 2. Mengatur Interaksi Interaksi juga dapat ditunjang oleh lingkungan. Misalnya ruang kuliah yang besar dengan mimbar di depan membuat kuliah berlangsung satu arah (dari dosen ke mahasiswa), sekat-sekat tinggi di perpustakaan dirancang agar orang-orang tidak mengobrol, dan sekat-sekat yang tidak terlalu tinggi di kantorkantor memungkinkan orang tetap bisa saling berbicara namun di sisi lain tidak terlalu terbuka hingga pekerjaan masing-masing tidak terganggu. 3. Memberikan Nilai Simbolik Lingkungan fisik melalui ukuran, bentuk, warna, dekor, dan sebagainya juga memberikan nilai simbolik yang penting bagi individu. Misalnya berada di sebuah ruangan besar, beratap tinggi,dengan furnitur berwarna gelap, sejumlah lilin menyala, ada buku-buku tua di sekelilingnya bermakna simbolis tertentu bagi kita. Dalam iklan yang akan diteliti ini, ada komponen-komponen nonverbal yang erat kaitannya dengan iklan Vaseline Men versi Ganteng Maksimal, yaitu : 1. Tatapan Mata Pada umumnya, tatapan mata juga memperlihatkan ketertarikan, tetapi ini pun berbeda antar masing-masing budaya serta suku bangsa. Varian 21 yang paling umum adalah memandang ke bawah saat berbicara dengan orang lain yang dianggap lebih tinggi derajatnya. Menatap mata orang lain dipandang sebagai sesuatu yang positif oleh banyak bangsa, terutama saat kita memerhatikan sepenuhnya apa yang diucapkan lawan bicara kita. 2. Ekspresi Emosional Wajah Sebagai umat manusia, kita cenderung melakukan penilaian berdasarkan ekspresi wajah seseorang. Charles Darwin mendapati bahwa hewan juga menampilkan emosinya berdasarkan ekspresi wajah mereka. Ekspresi-ekspresi wajah tertentu bersifat universal di antara berbagai bangsa atau kalangan. Sebagai contoh, tertawa di mana saja dianggap sebagai ekspresi kegembiraan. Tidak ada orang yang tertawa sedih. Sebaliknya, tangisan adalah ekspresi kesedihan yang dialami seseorang10. Ekspresi wajah seseorang dapat mempengaruhi dan mendorong orang lain untuk ikut melakukan hal serupa. Kita cenderung membalas senyuman orang lain (dengan senyuman pula tentunya), atau ikut meneteskan air mata bila seseorang menangis tersedu-sedu di hadapan kita. Bahkan bayi pun melakukannya. Inilah yang disebut “penjangkitan ekspresi di tengah-tengah masyarakat”. Gejala ini sanggup menjelaskan mengapa seseorang cenderung mengikuti amuk massa saat terjadi kerusuhan sosial. Ini membuktikan adanya suatu 10 Ibid, Hal. 50 22 ekspresi yang sanggup “menulari” orang-orang di sekitarnya, sehingga mereka mengikuti tindakan itu11. 3. Pakaian Pakaian sebagai tanda yang mewakili hal-hal seperti kepribadian, status sosial, dan karakter keseluruhan si pemakai. Sekali lagi, metode dasar pakar semiotika yaitu menyatakan apa, bagaimana, dan mengapa sesuatu memilki makna yang kini dimilikinya, berlaku pula pada pakaian12. Pada level biologis, pakaian mempunyai fungsi yang sangat penting yaitu meningkatkan kemampuan kita dalam bertahan hidup. Pakaian, dalam level denotatif ini, adalah perluasan buatan manusia dari sumber perlindungan tubuh; pakaian adalah tambahan bagi rambut dan tetebalan kulit di tubuh kita yang berfungsi melindungi. Seperti yang ditunjukkan dengan jitu oleh Werner Enninger (1992: 215), inilah mengapa gaya pakaian bervariasi menurut geografis dan topografi: “Distribusi jenis pakaian dalam kaitannya dengan zona iklim yang berbeda-beda dan variasi pakaian yang dikenakan seiring perubahan kondisi cuaca, menunjukkan fungsinya yang praktis dan sebagai perlindungan”. Namun, seperti halnya semua sistem buatan manusia, pakaian akan selalu memperoleh sekalipun konotasi dalam latar sosial. Konotasi ini dibangun berdasarkan pelbagai kode pakaian (dress codedari bahasa Prancis lama dresser, “mengatur, mendirikan”) yang 11 12 Ibid, Hal. 50 Marcel Danesi, Pesan, Tanda, dan Makna. Yogyakarta : Jalasutra. 2012. Hal. 205 23 memberitahu orang bagaimana mereka seharusnya berpakaian dalam pelbagai situasi sosial13. Memakai pakaian untuk alasan yang bersifat sosial merupakan ciri universal dalam budaya manusia. Bahkan di daerah beriklim dingin, sebagian orang tampaknya lebih tertarik menghiasi tubuh mereka daripada melindunginya14. Dengan demikian, hampir sejak awal sejarah, manusia mengenakan pakaian bukan hanya untuk perlindungan, tetapi juga demi identifikasi dan jatidiri. Kini, supir bus, kurir pos, perawat, polisi, dan pendeta mengenakan pakaian khusus agar mudah mengenali mereka. Baju juga mengungkapkan kepercayaan, perasaan, dan cara menyikapi hidup pada umumnya pada diri seseorang. Orang-orang yang percaya diri sering menunjukkan sikap yang lebih bebas memilih gaya berpakaian dibanding mereka yang pemalu atau tidak percaya diri15. Dalam sebuah masyarakat, bagian-bagian pakaian tertentu dan warna yang digunakan memilki warna khusus. Misalnya orang yang tengah berduka cita dapat mengenakan baju hitam. Mempelai wanita di Amerika Serikat umumnya mengenakan gaun putih; namun orangorang India akan menafsirkan penggunaan warna ini sebagai tanda berduka16. 13 Ibid, Hal. 208 Ibid, Hal. 211 15 Ibid, Hal. 211 16 Ibid, Hal. 212 14 24 4. Warna Dari segi semiotik, istilah warna adalah penanda verbal yang mendorong orang untuk cenderung memperhatikan terutama rona-rona yang disandikan penanda tersebut. Ini strategi yang praktis; jika tidak, jutaan istilah harus diciptakan untuk mengklasifikasi spektrum dengan akurat. Namun, kisah semiotik tentang warna tidak berhenti sampai di situ. Di seluruh dunia, warna-warna digunakan untuk tujuan konotatif. Catatan arkeologis dengan kuat menyiratkan bahwa pada kenyataannya, makna inderawi dan emosional yang dilekatkan pada warna mungkin bahkan merupakan asal istilah-istilah warna itu sendiri (Wescott, 1980)17. Penggunaan istilah warna secara konotatif tersebar lebih luas dibanding yang mungkin kita kira pada awalnya. Dalam tiap masyarakat, warna memainkan fungsi yang sangat penting dalam wilayah simbolisme18. Setiap orang pasti memiliki warna favorit. Dan biasanya warna tersebut mempengaruhi suasana hati (mood), berikut adalah uraian suasana hati yang diapresiasikan dengan warna sebagaimana diungkapkan oleh Barker (1954) dalam Mulyana 19. 17 Ibid, Hal. 84 Ibid, Hal. 85 19 Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi Aplikasi Praktis Bagi Penelitian dan Skripsi Komunikasi, Mitra Wacana Media, Jakarta: 2013. Hal. 211 18 25 Tabel 2.1 Suasana hati yang diasosiasikan dengan warna Suasana Hati Menggairahkan, merangsang Aman, nyaman Tertekan, terganggu, bingung Lembut, menenangkan Melindungi, mempertahankan Sangat sedih, patah hati, tidak bahagia Kalem, damai, tenteram Berwibawa, agung Menyenangkan, riang, gembira Menantang, melawan memusuhi Berkuasa, kuat, bagus sekali Warna Merah Biru Oranye Biru Merah, coklat, hitam Hitam, coklat Biru, hijau Ungu Kuning Merah, oranye Hitam Sumber : Mulyana, 2007. Hal 429-430 2.2 Periklanan 2.2.1 Pengertian Iklan Menurut Ralph S. Alexander dalam Morissan, iklan atau advertising dapat didefinisikan sebagai “any paid form of nonpersonal communication about an organization, product, service, or idea by an identified sponsor”20 (setiap bentuk komunikasi nonpersonal mengenai suatu organisasi, produk, servis, atau ide yang dibayar oleh satu sponsor yang diketahui). Menurut Kasiyan dalam glosariumnya, iklan adalah berita pesanan (untuk mendorong, membujuk) kepada khalayak ramai tentang benda dan jasa yang ditawarkan. Atau juga dapat bermakna sebagai pemberitahuan kepada khalayak ramai mengenai barang atau jasa yang dijual dipasang di dalam media massa, 20 Morissan. Periklanan Komunikasi Pemasaran Terpadu. Jakarta: Kencana. 2010. Hal. 17 26 seperti surat khabar dan majalah. Iklan adalah penyampaian pesan untuk mempersuasi khalayak sasaran tertentu.21 Iklan merupakan salah satu bentuk promosi yang paling dikenal dan paling banyak dibahas orang, hal ini kemungkinan karena daya jangkaunya yang luas. Iklan juga menjadi instrumen promosi yang sangat penting, khususnya bagi perusahaan yang memproduksi barang atau jasa yang ditujukan kepada masyarakat luas. 2.2.2 Strategi Pesan dalam Periklanan Ada banyak cara untuk mencapai tujuan komunikasi. Perencana mencari strategi kreatif terbaik—pendekatan yang paling masuk akal untuk dipakai dengan mengingat situasi pemasaran terbaik brand dan kebutuhan dan minat audiensi. Profesor Charles Frazer dari Universitas Washington mengusulkan enam strategi kreatif untuk menangani berbagai macam situasi advertising. Meskipun tidak komprehensif, term ini berguna untuk mengidentifikasi beberapa pendekatan umum untuk strategi advertising. Strategi tersebut dijabarkan pada Tabel 2.2 Tabel 2.2 Enam Strategi Kreatif Frazer22 Strategi Deskripsi Preemptive Menggunakan Penggunaan atribut Digunakan umum atau keunggulan kategori untuk dengan umum, namun brandnya diferensiasi yang kecil 21 Kasiyan, op.cit., xviii Moriarty, Mitchell, & Wells. Advertising: Edisi Kedelapan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2011. Hal. 443 22 27 diutamakan—memaksa persaingan atau kategori produk untuk baru. mengikuti posisi kita. Unique Preposition Selling Menggunakan ciri yang Digunakan khas dalam atribut yang kategori menciptakan yang untuk dengan level manfaat teknologi yang maju dan bermakna bagi mengandung inovasi konsumen. Brand Image Menggunakan klaim Digunakan superioritas dengan atau barang yang homogeni, keunggulan berdasarkan berteknologi faktor-faktor ekstrinsik dengan seperti perbedaan diferensiasi. biasa, sedikit psikologis dalam benak konsumen. Positioning Menempatkan benak konsumen. diri di Digunakan pendatang oleh baru atau brand kecil yang ingin menantang pemimpin pasar Resonance Menggunakan situasi, Digunakan dalam gaya hidup, dan emosi kategori produk yang tak yang dapat diidentifikasi terdiferensiasikan dan 28 oleh audiensi sasaran. Affective/ Anomalous Menggunakan emosional, sangat kompetitif. pesan Digunakan ketika pesaing bahkan bermain langsung dan terkadang ambigu, untuk informatif. mengatasi ketidakpedulian. Sumber: Moriarty, Mitchell, & Wells. Advertising: Edisi Kedelapan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2011. Hal. 443 2.2.3 Iklan Televisi Iklan mengikuti bagaimana tujuan-tujuan promosi dan pemasaran yang telah dibuat. Suharko menyebutkan bahwa melalui iklan, kelompok-kelompok pemasar komoditas menginterpretasikan dan menyosialisasikan nilai guna dari suatu komoditas. Suharko menjelaskan, iklan berusaha merepresentasikan kenyataan yang hidup dalam masyarakat melalui simbol-simbol tertentu, sehingga mampu menimbulkan impresi dalam benak konsumen bahwa citra produk yang ditampilkan adalah juga bagian dari kesadaran budayanya. 23 Wells, Moriarty, dan Burnett menyebutkan bahwa iklan televisi merupakan pesan penjualan yang disiarkan pengiklan pada program yang telah disponsori atau selama jeda program yang sedang berlangsung dengan melihat pertimbangan tipe khalayak yang menonton serta jangkauannya. Televisi sebagai 23 Suranto, H., & Ibrahim, I. S, Wanita dan Media : Konstruksi Ideologi Gender Dalam Ruang Publik Orde Baru, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1998 29 medium iklan memiliki dampak yang kuat karena interaksi dan visual, warna, suara, gerakan, dan drama yang menghasilkan respons emosional yang kuat. Iklan televisi memiliki dua elemen yaitu audio dan video. Video atau visual adalah elemen iklan yang tampil di layar televisi. Komposisi visual umumnya lebih menarik perhatian khalayak dalam mengomunikasikan suatu ide, pesan, dan citra. Komposisi visual ini antara lain, warna, teknik kamera, pencahayaan, dan editing. Elemen audio terdiri dari musik, narasi, efek suara atau kombinasi dari keseluruhan elemen. Penggunaan ketiganya harus dihubungkan dengan bagian visual. Suara yang digunakan dalam iklan televisi bisa berbentuk direct presentation, percakapan ataupun voice-over. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dilihat banyak elemen penyusun dalam iklan televisi. Elemen-elemen inilah yang merupakan tanda-tanda yang dapat dilihat dalam iklan. Iklan televisi juga dibentuk oleh banyak simbol. Ketajaman dan kontras antara gelap dan terang dapat merepresentasikan huruf yang berbeda maknanya, memperdengarkan suara, kombinasi kata yang menyimbolkan sebuah objek, tindakan, dan porperti. Begitu pula dalam ilustrasi sebuah produk, pemain dan latar belakang dapat menimbulkan berbagai asosiasi dalam pikiran penerima pesan. dalam identifikasi tanda, pengamatan tanda dilakukan pada setiap image, sound, warna, hingga teknik pencahayaan, pemilihan teknik kamera yang digunakan, dimana setiap tanda memiliki makna masing-masing. Berikut ini merupakan paparan mengenai tanda tersebut : 30 a. Warna, adalah sesuatu yang berkaitan dengan cahaya, tekstur, ukuran, proporsi, material, dan temperatur. Dameria (2007) menyebutkan bahwa warna adalah fenomena yang terjadi karena adanya tiga unsur, yaitu cahaya, objek, dan observer dan warna terkait dengan persepsi dan interpretasi subyektif sekarang. Berikut ini merupakan beberapa arti/ kesan/ suasana yang diasosiasikan oleh suatu warna : Tabel 2.3 Asosiasi Suasana Oleh Warna Warna Biru Asosiasi Kebenaran, kontemplatif, intelegensi tinggi, mediatif, ketenangan, keteraturan, keamanan, reliabilitas, emosional, egosentris, racun. Hitam Kuat, kreativitas, idealis, fokus, elegan, superior, merusak, kekuatan, kecanggihan. Cokelat Stabilitas, kesederhanaan, hangat. Putih Bersih, murni, kesederhanaan, jujur, monotn, kaku. Oranye Muda, kreatif, dinamis, riang, persahabatan, dominan, arogan. Sumber : Anne Dameria. Colour Basic : Panduan Dasar Warna untuk Desainer & Industri Grafika. Jakarta : Link & Match Graph. 2007 1. Warna Warna merupakan salah satu daya tarik perhatian pembaca untuk membaca iklan secara keseluruhan. Definisi warna adalah suatu mutu cahaya yang 31 dipantulkan dari suatu objek ke mata manusia yang menyebabkan kerucut-kerucut warna pada retina bereaksi yang memungkinkan timbulnya gejala warna pada objek yang dilihat sehingga mengubah persepsi manusia. 24 Karena warna termasuk dalam elemen visual dimana visual itu sendiri adalah unsur yang sangat penting dalam sebuah iklan televisi. Dalam sebuah iklan perpaduan warna digunakan selain agar terlihat menarik warna juga diharapkan dapat memberikan sebuah kesan tersendiri dalam benak audience tergantung dari energi yang terkadung dalam warna itu sendiri. 1. Fungsi warna: a. Fungsi identitas Warna memiliki kegunaan mempermudah orang mengenal identitas suatu kelompok masyarakat, organisasi atau Negara seperti seragam, bendera, logo perusahaan, dan lain-lain. b. Fungsi isyarat atau media komunikasi Warna memberi tanda-tanda atas sifat dan/atau kondisi, seperti merah bisa mengisyaratkan marah, atau bendera putih mengisyaratkan “menyerah”. Warna juga merupakan lambang atau sebagai perlambang sebuah tradisi atau pola tertentu. Lampu lalu lintas yang memberi isyarat berhenti diinstruksikan dengan warna merah, hati-hati dengan warna kuning, dan jalan dengan warna hijau. c. Fungsi psikologis Dari sudut pandang ilmu kejiwaan, warna dikaitkan dengan karakter-karakter manusia. Contohnya orang yang berkarakter extrovert lebih senang dengan warna- 24 Iwan Wirya, Kemasan Yang menjual , Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999, hal. 28-29 32 warna panas dan cerah. Karena tipe orang seperti ini biasanya terbuka, lebih memandang ke luar daripada ke dalam dirinya sendiri. Sedangkan orang yang berkarakter introvert lebih senang pada warna-warna dingin dan gelap. Orang bertipe ini biasanya tertutup, lebih memandang ke dalam diri sendiri, sulit menerima masalah-masalah baru, lebih suka menyelesaikan pada hal-hal yang khusus daripada yang umum. d. Fungsi alamiah Warna adalah properti benda tertentu, dan merupakan penggambaran sifat objek secara nyata, atau secara umum warna mampu menggambarkan sifat objek secara nyata. Contoh warna hijau menggambarkan daun, rumput, dan biru untuk laut, langit dan sebagainya. e. Fungsi pembentuk keindahan Keberadaan warna memudahkan kita dalam melihat dan mengenali suatu benda. Sebagai contoh apabila kita meletakkan benda ditempat yang sangat gelap, mata kita tidak mampu mendeteksi objek tersebut dengan jelas. 25 Dari penjelasan diatas bisa disimpulkan warna memiliki fungsi sebagai penggambaran sifat objek secara nyata yang terjadi secara alamiah seperti warna hijau pada rumput dan sekaligus berfungsi untuk mengidentifikasi suatu objek atau simbol suatu organisasi. Selain itu warna juga berfungsi sebagai isyarat yang tergantung pada budaya atau tradisi dalam lingkungan tersebut. 25 Ibnu Teguh Wibowo, Belajar Desain Grafis, Buku Pintar, Yogyakarta, 2013, h.149-151 33 2. Psikologi Warna Warna adalah hal terpenting dalam desain, karena warna menentukan respon pembaca. Warna adalah hal yang paling utama dilihat oleh pembaca, terutama background. Untuk mencapai desain warna yang efektif, dapat dimulai dengan memilih warna yang bisa memprentasikan tujuan sebuah publikasi. Palet warna yang dibuat sebaiknya cocok dengan pribadi dan tujuan publikasi. Menurut Idarmadi (1999), terdapat kolerasi umum secara psikologis antara warna dan orang, seperti tabel berikut: Tabel 2.4 Psikologi warna Warna Merah Biru Hijau Kuning Ungu/ Respon Psikologi Keterangan Power, energi, Warna merah kadang berubah arti kehangatan, cinta, jika dikombinasikan dengan warna nafsu, agresi, bahaya. lain. Merah dikombinasikan dengan hijau, akan menjadi pohon natal. Merah dikombinasikan dengan putih, akan mempunyai arti “bahagia” dibudaya oriental. Kepercayaan, Banyak digunakan sebagai warna konsevatif, pada logo Bank di Amerika Serikat keamanan, teknologi, untuk memberikan kesan kebersihan, „kepercayaan‟. keteratura. Alami, sehat, Warna hijau tidak selalu „sukses‟ keberuntungan, untuk ukuran Global. Di Cina dan pembaruan. Perancis, kemasan dengan warna hijau tidak begitu mendapat sambutan. Tetapi di Timur Tengah, warna hijau sangat disukai. Optimis, harapan, Kuning adalah warna keramat filosofi, dalam agama Hindu. ketidakjujuran , pengecut (untuk budaya barat), pengkhianat. Spiritual, misteri, Warna ungu sangat jarang ditemui 34 Jingga Oranye Coklat Abu-abu Putih Hitam kebangsawanan, transformasi, kekasaran, keangkuhan. Energi, keseimbangan, kehangatan. Tanah/bumi, reliability, comfort, daya tahan. di alam. Menekankan sebuah produk yang tidak mahal. Kemasan makanan di Amerika sering memakai warna coklat dan sangat sukses, tetapi di Kolumbia, warna coklat untuk kemasan kurang begitu membawa hasil. Intelek, masa Warna abu-abu adalah warna yang depan (seperti warna paling mudah/gampang dilihat oleh Milenium), mata. kesederhanaan, kesedihan. Kesucian, Di Amerika, putih melambangkan kebersihan, ketepatan, perkawinan (gaun pengantin berwarna ketidakbersalahan, putih), tapi di banyak budaya Timur steril, kematian. (terutama India dan Cina), warna putih melambangkan kematian. Power, Melambangkan kematian dan seksualitas, kesedihan di budaya barat. Sebagai kecanggihan, warna kemasan, hitam melambangkan kematian, misteri, keanggunan (Elegance), kemakmuran ketakutan, kesedihan, (Wealth), dan kecanggihan keanggunan. (Sopiscared). Sumber : Ibnu Teguh Wibowo, Belajar Desain Grafis, Buku Pintar Yogyakarta, 2013. Memang tidak ada seseorang pun yang menjamin bahawa seseorang akan membeli sebuah produk hanya karena melihat warna kemasan produk tersebut. Tapi setidaknya, warna mampu menampilkan kesan dari suatu emosi tertentu yang akan mempengaruhi calon konsumen untuk mengambil keputusan. Begitu pula ketika akan mendesain, pemilihan warna yang tepat akan menentukan bagus tidaknya suatu desain di mata khalayak atau publik.26 26 Ibid 163-166 35 b. Teknik kamera ialah suatu usaha, teknik, pengambilan, pergerakan gambar, dari satu frame ke frame lain dengan kamera. Berikut ini beberapa contoh teknik dasar kamera : Tabel 2.5 Teknik Pergerakan Kamera Nama Teknik Zoom in zoom out Penjelasan Zoom adalah pergerakan mendekati atau menjauhi subjek. Sesungguhnya kamera tetap dalam satu posisi, namun pergerakan tersebut diambil menggunakan lensa zoom. Dolly in dolly out Sama seperti zoom, namun teknik dolly tidak menggunakan lensa zoom melainkan memindahkan kamera mendekati ataupun menjauhi subjek. Umumnya pergerakannya lebih lambat dan digunakan pada area yang luas dan waktu pergerakan yang lebih lama. Penggunaan teknik ini memberi impresi subjek bergerak menjauhi atau mendekati kamera. Pan right pan left Kamera memutar dari satu sisi ke sisi lain namun kamera berada di posisinya. Dengan teknik ini, kamera terlihat menyaksikan sebuah tindakan saat subjek melintas. 36 Truck right truck left Kamera bergerak, beriringan dengan subjek (tindakan yang ditekan) sehingga perspektif yang terekam adalah perspektif dari subyek, berbeda dengan teknik pan. Tilt up, tilt down Kamera memutar ke atas dan ke bawah, atau bisa disebut juga versi vertikal dari teknik pan. Boom or crane shot Teknik pergerakan ini menggunakan sebuah crane bermotor atau boom yang membawa kamera, kamera operator dan seringkali direktor saat mereka „menggerakkan‟ platform dari sebuah adegan utama untuk memberikan efek spektakuler. Sumber : Jewler A. Jerome. Creative Strategy in Advertising, 4th ed. California : Wadsworth, Inc. 2011 Tabel 2.6 Teknik Framing Kamera Nama Teknik EWS (Extreme Wide Shot) Penjelasan Tampilan sangat jauh dari subjek, sehingga subjek tak terlihat. Poin pada shot ini adalah untuk menunjukkan kondisi sekitar subjek. EWS sering digunakan untuk establishing shot pertama dari scene 37 baru, yang dirancang untuk menunjukkan kepada penonton dimana tempat dari suatu kejadian. VWS (very wide shot) Framing ini lebih mendekat pada subjek. Subjek terlihat namun scene lebih menekankan kepada lingkungan di sekitar subjek. Juga digunakan untuk establishing shot. WS (wide shot) Subjek tampil penuh dalam frame. Tipe framing ini mengambil gambar keseluruhan tubuh subyek namun tetap memberikan latar belakang yang jelas dengan kepala dan kaki subjek dan menegaskan jarak publik dalam gambar tersebut. MS (medium shot) Menunjukkan beberapa bagian subjek lebih detail, sehingga seolah-olah khalayak sedang melihat keseluruhan subjek. Gambar yang didapatkan seperti bagaimana kita melihat seseorang dalam sebuah percakapan tatap muka. Kita tidak akan memperhatikan bagian tubuh bawah lawan bicara, sehingga gambar yang 38 diambil ialah dari tengah tubuh ke atas. MCU (medium close up) Berfokus pada wajah namun tidak menimbulkan kesan tidak nyaman karena terlalu dekat dengan subjek. Umumnya subjek ditampilkan dari bagian dada hingga atas kepala. Close up Fitur tertentu atau bagian dari subjek mengambil keseluruhan frame. Close up dari seseorang umumnya berarti sebuah close up dari wajah mereka, sehingga memberikan kesan intim dengan subjek. ECU (extreme close up) Menunjukkan detail ekstrim. Pada gambar orang, ECU digunakan untuk menyampaikan emosi. CA (cutaway) Umumnya untuk menampilkan sesuatu lain dari tindakan/ kejadian utama. Dapat berupa subjek yang berbeda, sebuah CU dari bagian yang berbeda subjek, atau apa saja yang lain. CA digunakan sebagai sebuah „buffer’ antara gambar (untuk membantu proses pengeditan) atau untuk menambah sebuah perhatian/ informasi. Over-the-shoulder shot MS umumnya digunakan pada sebuah 39 scene dialog antara aktor, dimana seorang aktor diambil gambarnya dari posisi atas pundak lawan bicaranya. Point-of-view shot Shot apapun yang diambil dari sebuah posisi strategis dari karakter dalam film/ gambar. Sumber : http://www.mediacollage.com/video/camera/tutorial/01-framing.html 2.3 Representasi Menurut Danesi dalam Indiwan Seto, representasi merupakan kegunaan dari tanda, yaitu “proses merekam ide, pengetahuan, atau pesan dalam beberapa cara fisik disebut representasi. Ini dapat didefinisikan lebih tepat sebagai kegunaan dari tanda yaitu untuk menyambungkan, melukiskan, meniru sesuatu yang dirasa, dimengerti, diimajinasikan atau dirasakan dalam beberapa bentuk fisik”. 27 Menurut Stuart Hall ada dua proses representasi. Pertama, representasi mental, yaitu konsep tentang „sesuatu‟ yang ada di kepala kita masing-masing (peta konseptual), representasi mental masih berbentuk sesuatu yang abstrak. Kedua „bahasa‟, yang berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam „bahasa‟ yang 27 Indiwan Seto, op.cit., 148 40 lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dari simbol-simbol tertentu. 28 Representasi bekerja pada hubungan tanda dan makna. Konsep representasi sendiri bisa berubah-ubah. Selalu ada pemaknaan baru. Menurut Nuraini Juliastuti, representasi berubah-ubah akibat makna yang juga berubahubah. Setiap waktu terjadi proses negosiasi dalam pemaknaan. Jadi, representasi bukanlah suatu kegiatan atau proses statis tapi merupakan proses dinamis yang etrus berkembang seiring dengan kemampuan intelektual dan kebutuhan para pengguna tanda yaitu manusia sendiri yang juga terus bergerak dan berubah. Representasi merupakan suatu bentuk usaha konstruksi. Karena pandanganpandangan baru yang menghasilkan pemaknaan baru juga merupakan hasil pertumbuhan konstruksi pemikiran manusia. Juliastuti mengatakan bahwa melalui representasi makna diproduksi dan dikonstruksi. Ini terjadi melalui proses penandaan, praktik yang membuat sesuatu hal bermakna sesuatu.29 Penelitian ini ingin menjelaskan bagaimana proses representasi ini bekerja dalam iklan, yaitu bagaimana suatu iklan mencoba merepresentasikan konsep maskulinitas. 2.4 Maskulinitas Problematika konsep ideologi gender yang telah terintegrasi dalam akumulasi ruang dan waktu yang amat panjang di masyarakat, kemudian telah 28 Nuraini Juliastuti. Newsletter KUNCI #4 – Budaya Materi: Representasi. 2009. Diakses pada tanggal 19 Oktober 2013 dari http://archive.org/stream/NewsletterKunci4BudayaMateri/Newsletter_KUNCI_4_Budaya_Materi #page/n5/mode/1up 29 Ibid, 150 41 menghasilkan semacam wacana standarisasi pelabelan antara laki-laki dan perempuan dalm konteks sosial. Atau dalam istilah lain, adanya sebuah konsep stereotip gender laki-laki dan perempuan, secara sosial. Dalam hal ini, segala yang dianggap „pantas‟ dan „biasanya‟ diekspresikan oleh perempuan atau lakilaki, kemudian dikenal dengan sifat stereotip perempuan (feminity stereotype) dan laki-laki (masculinity stereotype). Oleh karena stereotip gender maskulinitas dan feminitas ini dikonstruksikan secara kultural dalam periode waktu yang panjang, bahkan diwariskan dari generasi ke generasi, kemudian menjelma menjadi seolaholah merupakan kodrat Tuhan. 30 Stereotip maskulinitas senantiasa dilekatkan pada kaum laki-laki, dalam bentuk konsepsi sifat-sifat yang selalu bermakna positif, di antaranya yakni: rasional, tegar, kuat, mandiri, tegas, dan dominan. Di samping stereotip potensi unsur-unsur psikologis, juga yang tak kalah besar dan dominannya, adalah stereotip yang berangkat dari persoalan kultur sosial yang ada, berlaku, dan berkembang di masyarakat. Misalnya, di berbagai budaya, merokok dipandang tidak pantas dilakukan perempuan, bahkan dalam kadar tertentu dijadikan simbol „kebinalan yang destruktif‟, sedangkan sebaliknya bagi laki-laki, justru dianggap sebagai „lambang kejantanan‟ sejati, yang layak dibanggakan. 31 Secara linguistik`, dalam kamus Oxford, masculine adalah like men, atau dalam bahasa Indonesia bersifat laki-laki. Sejalan dengan kamus Oxford, menurut Nuraini Juliastuti, maskulin menunjuk pada sifat atau nilai yang lazim dimiliki 30 31 Kasiyan, op.cit., 52 Ibid. 53 42 laki-laki. Menurut Archer dan Lloyd dalam Indiwan Seto, ada beberapa stereotip yang berkenaan dengan gender, melalui tabel berikut: Tabel 2.7 Pertentangan Gender: stereotip-stereotip kontemporer pria dan wanita Pria Wanita Bertindak sebagai pemimpin Penuh kasih sayang Agresif Emosional Ambisius Feminin Tegas Lembut Kompetitif Menyukai anak-anak Dominan Halus Kuat Paham Pandai berolahraga Hangat Independen Ramai Mudah membuat keputusan Maskulin Tidak mudah tergugah Percaya diri Sumber: Archerdan Lloyd dalam Anthony Synnot. Tubuh sosial, simbolisme, diri, dan masyarakat. Jalasutra: Yogyakarta. 2003. Hal. 129 Dalam buku Sex & Gender, ada kata stereotip kata sifat yang mencerminkan seorang laki-laki32: Tabel 2.8 Adjectives stereotypically associated with men Men Adventurous (Petualang) Enterprising (Giat) 32 Aggressive (Agresif) Forceful (Kuat) Ambitious (Ambisius) Handsome (Tampan) Hilary Lips. Sex & Gender: An Introduction 6 ed. New York: The McGraw-Hill Companies Inc. 2008. Hal. 7 43 Assertive (Asertif) Independent (Mandiri) Autocratic (Otokratis) Jolly (Riang gembira) Boastful (Sombong) Logical (Logis) Coarse (Kasar) Loud (Lantang) Confident (Percaya Diri) Masculine (Maskulin) Courageous (Penuh rasa ingin tahu) Rational (Rasional) Cruel (Garang) Realistic (Realistis) Daring (Berani) Robust (Tegap) Disorderly (Suka melanggar peraturan) Self-confident (Percaya diri) Dominant (Dominan) Severe (Hebat) Stable (Stabil) Stern (Tegang) Strong (Kuat) Tough (Tangguh) Unemotional (Tidak Menunjukkan Unexcitable (Tidak antusias) Emosi) 2.4.1 Maskulinitas Dalam Iklan Orientasi iklan produk kecantikan tidak akan pernah lepas dengan kaum hawa. Namun, fenomena yang kini berkembang adalah produk kecantikan yang berorientasi pada kaum adam. Dulu, laki-laki terlihat lebih tidak peduli dengan penampilannya, namun kini mereka „digiring‟ untuk memerhatikan penampilannya, yang pada akhirnya hal-hal seperti perawatan tubuh pun yang dulu dilakukan oleh perempuan kini menjadi salah satu hal yang „wajib‟ dilakukan oleh laki-laki. Nur Ratih Devi Affandi mengutip Juliastuti, menurutnya selain 44 berotot, stereotip tentang laki-laki macho kini bertambah menjadi berbadan tegap, berotot, tinggi, wajah menarik, rapi, dan harum. Munculnya iklan menampilkan wacana baru bagi kaum adam bahwa kulit putih merupakan salah satu kategori maskulinitas.33 Julia T. Wood dalam bukunya Communication Gender and Culture mengatakan34: “Media most represent boys and men as active, adventurous, powerful, sexually aggressive, and largely uninvolved in human relationships, and represent girls and women as young, thin, beautiful, passive, dependent, and often incompetent. Although these remain the dominant gender images, media have begun to offer some alternative, less traditional images of men and women, masculinity and feminity. Portrayals of men. The majority of men on prime-time television are independent, aggressive, and in charge. Television programming for all ages disproportionately depicts men, particularly white, heterosexual men, as serious, confident, competent, and powerful.” (Media merepresentasikan laki-laki dan pria sebagai aktif, berjiwa petualang, kuat, agresif secara seksual, dan sebagian besar tidak terlibat dalam hubungan manusia, dan merepresentasikan perempuan dan wanita terlihat muda, langsing, cantik, pasif, bergantung pada orang lain, dan sering tidak kompeten. Meskipun semua ini merupakan penggambaran jender yang dominan, media telah mulai menawarkan beberapa alternatif, berkurangnya penggambaran secara tradisional dari laki-laki dan perempuan, maskulinitas dan feminitas. Penggambaran laki-laki. Mayoritas laki-laki saat tayangan prime-time di televisi terlihat independen, agresif, dan bertanggung jawab. Televisi diprogram untuk segala usia seringkali menggambarkan laki-laki yang, terutama putih, laki-laki heteroseksual, serius, percaya diri, kompeten, dan kuat.) Maka itu, tidak heran bila media selalu menampilkan sosok ideal di kalangan menengah ke atas, termasuk sosok laki-laki ideal. Sosok laki-laki ideal dalam media tidak jauh dari kesan neat and fresh pada penampilan mereka. 35 Produk-produk perawatan wajah pria seakan mengukuhkan pria untuk memiliki gaya hidup yang peduli akan perawatan tubuh. Pandangan ini jelas adalah 33 Nur Ratih Devi Affandi. Observasi Kajian Komunikasi dan Informatika: Menyoroti Iklan di Televisi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. 2007. Hal. 33 34 Julia T.Wood. Gendered Lives: Communication Gender and Culture, Seventh Edition. Belmont: Thomson Higher Education. 2007. Hal. 258 35 Ibid. 39 45 rekonstruksi stereotip yang berkembang mengenai tampilan pria ideal yang dulu berotot dan berkesan macho, kini wangi, rapi, berkulit cerah. 2.5 36 Semiotika 2.5.1 Pengertian Semiotika Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal ini mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonsitusi sistem terstruktur dari tanda. 37 Pokok perhatian pada semiotika adalah tanda dimana ia mempunyai tiga bidang studi utama38: 1. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya. 36 Ibid. 41 Sobur, op.cit., 15 38 John Fiske. Cultural and Communication Studies Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra. 2010. Hal. 60 37 46 2. Kode atau sistem yang mengorganisasi tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya. 3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri. Memahami semiotika, tentu tak bisa terlepas dari pengaruh dua tokoh, yakni Charles Sander Peirce (1839-1914) dan Ferdinand de Saussure (1857-1913). Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan tidak mengenal satu sama lain. Saussure di Eropa dan Peirce di Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan Saussure adalah linguistik. Peirce menyebut ilmu yang dibangunnya semiotika (semiotics), sedangkan Saussure menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi (semiology)39. Menurut metode semiotika yang dikembangkan oleh Peirce, sebuah tanda atau representamen ialah sesuatu yang bagi seseorang mewakili interpretant (sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas) yang mengacu kepada obyek. Dengan kata lain representamen memiliki relasi „triadik‟ langsung dengan interpretan dan obyeknya. Apa yang dimaksud dengan proses „semiosis‟ 39 Sumbo Tinarbuko. Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta: Jalasutra. 2012. Hal. 11 47 merupakan suatu proses yang memadukan entitas (berupa representamen) dengan entitas lain yang disebut sebagai obyek. Proses ini disebut signifikasi. 40 Peirce membedakan tipe-tipe tanda menjadi Ikon (icon), Indeks (index) dan Simbol (symbol) yang didasarkan atas relasi di antara representamen dan obyeknya. Pada dasarnya, tanda dalam iklan terdiri dari tanda-tanda verbal dan non verbal. Tanda verbal mencakup bahasa yang kita kenal sedangkan tanda-tanda non verbal adalah bentuk dan warna yang disajikan dalam iklan. Tanda-tanda dalam iklan mengacu pada suatu rencana konstruksi berisi positioning pada karakteristik konsumen tujuan. Untuk itu diperlukan suatu tampilan- tampilan yang sesuai dengan kartakteristik pasar ataupun produk. Ada dua jenis tampilan iklan: pertama, tampilan rasional (rational appeals), ditujukan pada kebutuhan fungsional dan praktis konsumen yang bisa didapat dari produk barang ataupun jasa. Kedua, tampilan emosional (emotional appeals) menggambarkan kebutuhan psikologis, dan simbolis yang dibutuhkan konsumen dari produk. Menurut Peirce, jenis tanda dalam iklan bisa juga dikenali melalui klasifikasi tanda berdasarkan hubungan antara objek yang dituju dan tanda, yaitu: a. Indeks (adanya kedekatan eksistensi antara tanda dengan objek atau adanya hubungan sebab akibat contohnya sebuah tiang penunjuk jalan, ada asap maka ada api) b. Ikon (tanda berhubungan dengan objek karena adanya keserupaan, contoh peta, potret) 40 Wahyu Wibowo, op.cit., 18 48 c. Simbol (hubungan ini bersifat konvensional dalam artian adanya persetujuan tertentu antara para pemakai tanda, contohnya adalah bahasa, bendera).41 Selain Charles Sander Perice, pendekatan semiotika yang terus berkembang hingga saat ini adalah semiotika Ferdinand de Saussure yang lebih terfokus pada semiotika linguistik. Pandangannya tentang Tanda sangat berbeda dengan pandangan para ahli linguistik di jamannya. Saussure justru „menyerang pemahaman historis‟ terhadap bahasa yang dikembangkan pada abad ke-19. Saat itu, studi bahasa hanya berfokus kepada perilaku linguistik yang nyata (parole). Studi tersebut menelusuri perkembangan kata-kata dan ekspresi sepanjang sejarah, mencari faktor-faktor yang berpengaruh seperti geografi, perpindahan penduduk dan faktor lain yang mempengaruhi perilaku linguistik manusia. Saussure justru menggunakan pendekatan anti historis yang melihat bahasa sebagai sebuah sistem yang utuh dan harmonis secara internal atau dalam istilah Saussure disebut langue. Saussure mengusulkan teori bahasa yang disebut sebagai struktualisme untuk menggantikan pendekatan historis dari para pendahulunya. Sedikitnya, ada lima pandangan Saussure yang terkenal, yaitu (1) signifier (penanda) dan signified (petanda), (2) form (bentuk) dan content (isi), (3) langue (bahasa) dan parole (tuturan/ujaran), (4) synchronic (sinkronik) dan diachronic, serta (5) syntagtamatic dan associative atau paradigmatik. 42 Dua di antaranya, yaitu Signifier dan Signified dianggap cukup penting dalam upaya menangkap hal pokok pada teori Saussure. Kedua prinsip ini 41 42 Indiwan Seto, op.cit., 157 Indiwan seto, op.cit., 20. 49 mengatakan bahwa bahasa adalah suatu sistem tanda, dan setiap tanda itu tersusun dari dua bagian, yakni signifier (penanda) dan signified (petanda). “Penanda dan petanda merupakan kesatuan, seperti dua sisi dari sehelai kertas,” kata Saussure. Maka, seperti dikutip Pradopo dalam Tinarbuko,43 di mana ada tanda, di sana ada sistem. Artinya sebuah tanda (berwujud atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indra kita yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk. Aspek lainnya disebut signified, bidang petanda atau konsep atau makna. Aspek kedua terkandung di dalam aspek pertama. Jadi petanda merupakan konsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama. Lebih lanjut dikatakannya bahwa penanda terletak pada tingkatan ungkapan (level of expression) dan mempunyai wujud atau merupakan bagian fisik seperti bunyi, huruf, kata, gambar, warna, objek, dan sebagainya. Sedangkan petanda terletak pada level of content (tingkatan isi atau gagasan) dari apa yang diungkapkan melalui tingkatan ungkapan. Hubungan antara kedua unsur melahirkan makna. Tanda akan selalu mengacu pada (mewakili) sesuatu hal (benda) yang lain. Ini disebut referent. Lampu merah mengacu pada jalanan berhenti, wajah cerah mengacu pada kebahagiaan, air mata mengacu pada kesedihan. Apabila hubungan antara tanda dan yang diacu terjadi, maka dalam benak orang yang melihat atau mendengar akan timbul pengertian. 43 Tinarbuko, op.cit., 12-13 50 2.5.2 Semiotika Roland Barthes Roland Barthes (1915-1980) dikenal sebagai salah satu ahli semiotika yang mengembangkan kajian model linguitik dan semiologi Saussurean. Barthes melontarkan konsep tentang konotasi dan denotasi sebagai kunci dari analisisnya. Barthes berpendapat bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan sumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu.44 Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Barthes kerap membahas fenomena keseharian, dimana aspek denotatif tanda-tanda dalam budaya pop menyingkapkan konotasi yang pada dasarnya adalah mitos-mitos (myths) yang dibangkitkan oleh sistem tanda yang lebih luas membentuk masyarakat. Barthes mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sistem kedua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif. 45 Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja: Gambar 2.1 1. Signifier (penanda) 2. Signified (petanda) 3. Denotative sign (tanda denotatif) 4. CONNOTATIVE SIGNIFIER 5. CONNOTATIVE SIGNIFIED (Penanda Konotatif) (Petanda Konotatif) 6. CONNOTATIVE SIGN (Tanda Konotatif) Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan 44 45 Sobur, op.cit., 63. Ibid. 69 51 Dari peta Roland Barthes terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Untuk menganalisis iklan dapat menggunakan model Roland Barthes, yaitu dilakukan dengan mengkaji pesan yang dikandungnya. Metode ini sebenarnya diterapkan dalam film namun dapat digunakan dalam iklan. Menganalisis iklan berdasarkan pesan yang dikandungnya yaitu: 1. Pesan linguistik (semua kata dan kalimat dalam iklan) 2. Pesan ikonik yang terkodekan (konotasi yang muncul dalam foto iklanyang hanya berfungsi jika dikaitkan dengan sistem tanda yang lebih luas dalam masyarakat) 3. Pesan ikonik tak terkodekan (denotasi dalam foto iklan) 46 Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu47. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda dan tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau, dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran kedua48. Mitos menurut Barthes terletak pada tingkatan kedua penandaan. Setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda 46 Ibid, Hal. 118 Ibid, Hal. 71 48 Ibid, Hal. 71 47 52 baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos. Gambar 2.2 Signifikansi dua tahap Roland Barthes Sumber: John Fiske. Cultural and Communication Studies: Sebuah pengantar Paling Komperhensif, Jalasutra: Yogyakarta, 2004, hal. 122 Model Barthes ini adalah model matematis yang sering disebut sebagai signifikansi dua tahap Barthes. Tahapan pertama adalah pemaknaan tanda yang berdasarkan atas realita dari tanda dan tahapan kedua adalah tahapan penandaan yang didasarkan atas kultur atau budaya yang ada di dalam masyarakat. Dari kedua tahapan penandaan ini kemudian muncullah istilah denotasi, konotasi, dan mitos. Keterangan lebih detail tentang signifikansi penandaan. Barthes adalah sebagai berikut : 53 1. Denotasi Tatanan pertandaan pertama adalah landasan kerja Saussure. Tatanan ini menggambarkan relasi antara penanda dan petanda di dalam tanda, dan antara tanda dengan referennya dalam realitas eksternal. Barthes menyebut tatanan ini sebagai denotasi. 49 2. Konotasi Dalam istilah yang digunakan Barthes, konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda dalam tatanan pertandaan kedua. Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Bagi Barthes, faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama. Penanda tatanan pertama merupakan tanda konotasi.50 3. Mitos Cara kedua dari tiga cara Barthes mengenai cara bekerjanya tanda dalam tatanan kedua adalah melalui mitos. Bagi Barthes, mitos merupakan cara berpikir dari suatu kebudayaan tentang sesuatu, cara untuk mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu. Bila konotasi merupakan pemaknaan tatanan kedua dari penanda, mitos merupakan tatanan kedua dari petanda.51 49 John Fiske. Cultural and Communication Studies: Sebuah pengantar Paling Komperhensif, Jalasutra: Yogyakarta, 2004, Hal. 118 50 Ibid, Hal. 118-119 51 Ibid, Hal. 121 54 Aspek lain dari mitos yang ditekankan Barthes adalah dinamismenya. Mitos berubah dan beberapa diantaranya dapat berubah dengan cepat guna memenuhi kebutuhan perubahan dan nilai-nilai kultural dimana mitos itu sendiri menjadi bagian dari kebudayaan tersebut.52 Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya. Pada signifikasi tahap ke dua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah memiliki suatu dominasi. Mitos primitif misalnya, mengenai hidup dan mati, manusia dan dewa dan sebagainya. Sedangkan mitos masa kini misalnya mengenai feminitas, maskulinitas, ilmu pengetahuan, keberhasilan, keluarga, atau tentang ilmu.53 Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda. Petanda lebih miskin dari penanda, sehingga dalam praktiknya terjadilah 52 53 Ibid, Hal. 125 Ibid. Hal.121 55 pemunculan konsep secara berulang-ulang dalam bentuk-bentuk yang berbeda. Mitologi mempelajari bentuk-bentuk tersebut karena pengulangan konsep terjadi dalam wujud pelbagai bentuk tersebut.54 Barthes mengartikan mitos sebagai cara berpikir kebudayaan tentang sesuatu, sebuah cara mengkonseptualisasi atau memahami sesuatu hal. Barthes menyebut mitos sebagai rangkaian konsep yang saling berkaitan. Mitos adalah sistem komunikasi, sebab ia membawakan pesan. Maka itu, mitos bukanlah objek. Mitos bukan pula konsep ataupun suatu gagasan, melainkan suatu cara signifikansi, suatu bentuk. Lebih jauh lagi, mitos tidak ditentukan oleh objek ataupun materi (bahan) pesan yang disampaikan, melainkan oleh cara mitos disampaikan. Mitos tidak hanya berupa pesan yang disampaikan dalam bentuk verbal (kata-kata lisan ataupun tulisan), namun juga dalam berbagai bentuk lain atau campuran antara bentuk verbal dan nonverbal. Misalnya dalam bentuk film, lukisan, fotografi, iklan, dan komik. Semuanya dapat digunakan untuk menyampaikan pesan.55 Jadi disini mitos menurut Barthes mempunyai makna yang berbeda dengan konsep mitos dalam artian umum. Yaitu mitos yang dimengerti sebagai percobaan manusia untuk mencari jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tentang alam semesta, termasuk dirinya sendiri seperti termaktub dalam mitologi yunani. 56 54 Alex Sobur. Semiotika Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya: Bandung, 2009, Hal. 71 Ibid, Hal. 224 56 Ibid, Hal. 222 55