BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Rongga mulut mempunyai berbagai fungsi, yaitu sebagai mastikasi, fonetik, dan juga estetik. Hal tersebut mengakibatkan rongga mulut merupakan tempat paling rawan dari tubuh karena merupakan pintu masuk berbagai agen berbahaya, seperti produk mikroorganisme, agen karsinogek, selain rentan terhadap trauma fisik, kimiawi, dan mekanis.1 Berdasarkan penjelasan diatas, walaupun pengetahuan dan teknologi dalam bidang kedokteran gigi semakin berkembang, namun berbagai penyakit gigi dan mulut juga emakin beragam. Berbagai penyakit yang bisa dikatakan masih awam atau asing pada mayarakat harus segera disosialisasikan agar pencegahan dan penyembuhannya dapat diterapkan pada masyarakat. Tetapi, penyakit- penyakit yang sudah tidak asing lagi tetap menjadi polemik dalam bidang kedokteran gigi, karena tidak jarang kita temukan masyarakat yang pengetahuannya masih sangat minim untuk mencegah maupun terapi penyakit tersebut. Mulut merupakan pintu gerbang pertama di dalam sistem pencernaan. Makanan dan minuman akan diproses didalam mulut dengan bantuan gigi- geligi, lidah, saliva, dan otot. Pemeliharaan kebersihan gigi dan mulut merupakan salah satu upaya 1 meningkatkan kesehatan. Mulut bukan sekedar pintu masuk makanan dan minuman, tetapi fungsi mulut lebih dari itu dan tidak banyak orang menyadari besarnya peranan mulut bagi kesehatan dan kesejahteraan seseorang. Masyarakat akan sadar pentingnya kesehatan gigi dan mulut ketika terjadi masalah atau ketika terkena penyakit. Oleh karena itu kesehatan gigi dan mulut sangat berperan dalam menunjang kesehatan seseorang.2 Salah satu penyakit yang sudah tidak asing lagi ialah stomatitis. Stomatitis dapat disebabkan oleh rangsangan mekanik, termal, kimia, dan fisik. Selain itu juga disebabkan karena malnutrisi, diabetes, dan sistem hemopoietik. Faktor- faktor lainnya yang meyebabkan stomatitis adalah protesa yang tidak tepat, benda asing, makan atau minum yang panas, pengaruh alkali dan juga asam. 2 Stomatitis dapat menyerang segala usia termasuk pada anak. Kesadaran anak dalam menjaga kesehatan rongga mulutnya tentu masih sangat rendah, dimana faktor peran orangtua merupakan hal yang dominan. Peran serta orangtua sangat diperlukan dalam membimbing, memberikan pengertian, mengingatkan, dan menyediakan fasilitas kepada anak agar dapat memelihara kebersihan gigi dan mulutnya. Selain itu, orangtua mempunyai peran yang cukup besar dalam mencegah terjadinya berbagai penyakit gigi dan mulut pada anak.3 Salah satu jenis stomatitis yaitu angular cheilitis. Angular cheilitis merupakan lesi yang ditandai dengan keretakan atau fisur pada sudut mulut. angular cheilitis disebut juga cheilitis, angular stomatitis atau perleche dimana penderitanya mencapai jutaan diseluruh dunia. angular cheilitis juga ditandai dengan ulser yang merah dan sudut bibir 2 pecah- pecah. Meskipun tidak membahayakan kehidupan atau benar- benar menular, ulser pada sudut bibir ini sangat mengganggu estetik dan membuat penderita malu dan memberikan dampak sosial.4 Ada berbagai alasan mengapa angular cheilitis terjadi. Hal ini dapat disebabkan oleh infeksi jamur atau infeksi bakteri atau virus, dan malnutrisi atau kekurangan gizi. angular cheilitis sering terjadi pada anak dikarenakan kekurangan gizi. Kekurangan gizi memiliki dampak yang besar, salah satunya gangguan kesehatan. 5 Kesehatan adalah hak asaasi manusia, oleh karena itu menjadi suatu keharusan bagi semua pihak untuk memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatan demi kesejahteraan masyarakat. Masalah gizi masyarakat masih memerlukan perhatian. Hal ini diketahui dari masih tingginya status gizi kurang pada anak. WHO memperkirakan bahwa anak- anak yang kekurangan gizi sejumlah 181,9 juta (32%) di Negara yang sedang berkembang. Di Asia Selatan bagian tengah dan Afrika Timur, kira- kira setengah dari anak- anak mempunyai kemunduran pertumbuhan, dibandingkan dengan umurnya.5 Penyebab utama lamanya penurunan prevalensi ialah karena rendahnya kesadaran masyarakat terhadap upaya perbaikan gizi. Masalah gizi terjadi di setiap siklus kehidupan, dimulai sejak dalam kandungan (janin), bayi, anak, dewasa dan usia lanjut. Periode dua tahun pertama kehidupan merupakan masa kritis, karena pada masa ini terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat. Gangguan gizi yang terjadi pada periode ini bersifat permanen, tidak dapat dipulihkan walapun kebutuhan gizi pada masa selanjutnya terpenuhi.5 3 Anak usia sekolah adalah investasi bangsa karena mereka adalah generasi penerus bangsa. Kualitas sumber daya manusia bangsa di masa depan ditentukan oleh anak- anak saat ini. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia harus dilakukan sejak dini, sistematis dan berkesinambungan. Tumbuh kembangnya anak usia sekolah yang optimal tergantung pemberian nutrisi dengan kualitas dan kuantitas yang baik serta benar. Dalam masa tumbuh kembang tersebut pemberian nutrisi atau asupan makanan pada anak tidak selalu dapat dilaksanakan dengan sempurna. Sering timbul masalah terutama dalam pemberian makanan yang tidak benar dan menyimpang. Penyimpangan ini mengakibatkan gangguan pada banyak organ dan sistem tubuh anak 4,5 Kekurangan gizi merupakan penyebab terjadinya angular cheilitis. Kekurangan vitamin B-2 (riboflavin), vitamin B-3 (niacin), Vitamin B-6 (pyridoxine), atau vitamin B-12 (cyanocobalamin) dan kekurangan zat besi dapat menyebabkan seorang anak mengalami angular cheilitis.6 Anak- anak yang menderita angular cheilitis akan mengalami gangguan psikologi. Mereka akan terisolasi dan tak seorangpun ingin berbicara dengan mereka karena mereka berbeda. Perilaku ini akan memberikan dampak serius pada perkembangan psikologis anak karena kepercayaan diri anak akan turun. Implikasi psikologis dari kondisi kulit bisa cukup mendalam ketika pasien tersebut adalah anak – anak.6 4 Karena itu, mengetahui hubungan status gizi dan Angular cheilitis dapat membantu pencegahan terhadap angular cheilitis. Penelitian dilakukan di puskesmas dengan keadaan status gizi anak yang bervariasi. Hal ini dimaksudkan untuk melihat pengaruh status gizi terhadap angular cheilitis. 1.2 RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut “Hubungan Status Gizi dengan Angular Cheilitis pada Anak” 1.3 TUJUAN PENELITIAN Mengetahui Hubungan Status Gizi dengan Angular Cheilitis pada Anak 1.4 MANFAAT PENELITIAN a. Bagi peneliti Menambah wawasan dan pengetahuan serta memberikan pengalaman langsung dalam melakukan penelitian dan penulisan karya ilmiah. b. Bagi masyarakat Menjadi bahan masukan dalam mengetahui hubungan status gizi dengan angular cheilitis 5 c. Bagi instansi terkait Menjadi bahan masukan untuk menilai keadaan kesehatan gigi dan mulut dan upaya kesehatan gigi dan mulut anak usia sekolah dasar. 1.5 HIPOTESIS Ada Hubungan Status Gizi dengan Angular Cheilitis 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Angular Cheilitis Angular cheilitis atau perleche ialah reaksi inflamasi pada sudut bibir mulut yang sering dimulai dengan penyimpangan mukokutaneus dan berlanjut hingga ke kulit. Angular cheilitis ini dikarakteristik oleh kemerahan yang menyebar, bentuknya seperti fisur- fisur, kulit yang nampak terkikis, ulser yang permukaannya berlapis dan disertai dengan gejala yang subjektif seperti rasa sakit, rasa terbakar, dan nyeri.7 Gejala awal Angular cheilitis ialah rasa gatal pada sudut mulut dan terlihat tampilan kulit yang meradang dan bintik merah. Pada awalnya, hal ini tidak berbahaya, tetapi akan terasa nyeri di sudut mulut dan mudah berdarah yang dikarenakan oleh gerakan mulut seperti tertawa ataupun berbicara. Tingkat keparahan inflamasi ini ditandai dengan retakan sudut mulut dan beberapa pendarahan saat mulut dibuka. Hal ini terlihat pada gambar1.8 Gambar 1. Angular Cheilitis (Sumber: Barbara Herb. Angular Cheilitis natural care(intenet).Available from:http://www.barbaraherb.com/ac.html.Accessed 25 dec 2010) 7 Angular cheilitis menjadi masalah yang serius karena perkembangannya yang cepat, karena itu tidak boleh ada keterlambatan dalam pengobatan jika gejala angular cheilitis telah terjadi dan sangat jelas. Hal ini tidak terbatas pada kelompok usia tertentu, dimana kondisi ini telah mempengaruhi anak- anak dan orangtua. Baik anakanak maupun remaja dapat terkena angular cheilitis tanpa melihat jenis kelamin. Usia yang paling sering ialah decade 4,5, dan 6.7 Kasus unilateral pada angular cheilitis sering terjadi dikarenakan trauma perawatan dental dan trauma pada sudut bibir, sedangkan kasus bilateral terjadi jika penderita dengan penyakit sistemik seperti anemia, diabetes mellitus, dan infeksi monomial yang kronis. Lama penyakit bisa bervariasi dari beberapa hari hingga beberapa tahun, tergantung etiologinya. 7 2.2 Etiologi Angular Cheilitis Ada beberapa faktor yang menyebabkan angular cheilitis, yaitu: A. Kandidiasis Kandidiasis adalah infeksi jamur yang berwarna merah dan krem yang awalnya terlihat seperti bercak terbentuk pada permukaan lembab dimulut dan bisa menyebabkan rasa sakit. Kondisi ini dapat menyebabkan kesulitan menelan dan mengubah indera perasa. Kandidiasis lebih sering terjadi pada anak yang masih muda dan orangtua dan juga pada orang yang sistem imunnya sangat rendah. Hal ini bisa dipicu oleh perawatan antibiotik, yang dapat mengganggu aktivitas normal bakteri mulut. Jika antibiotik adalah 8 etiologinya, dokter gigi harus segera mengurangi dosis atau mengubah pengobatan. Anti jamur dapat digunakan untuk mengobati kondisi gangguan kesehatan ini. 8 B. Trauma Ada banyak penyebab trauma pada rongga mulut, seperti mekanik, kimia, dan termal. Trauma mekanis bisa disebabkan oleh: 1. Trauma cups yang tajam 2. Peralatan ortodonti 3. Menggigit bibir atau pipi Diagnosa jenis ini biasanya tidak sulit tergantung pada posisi, bentuk dan ukuran ulserasi yang harus sesuai dengan penyebab yang dicurigai. Ulserasi biasanya mulai sembuh dalam 10 hari. Jika penyembuhan tidak terjadi maka penyebab lain dari ulserasi harus dicurigai.9 C. Gigi Tiruan Gigi tiruan termasuk etiologi yang sering terjadi, dimana ketidaknormalan anatomi dari pemasangan gigi tiruan penuh atau sebagian dengan stabilitas yang tidak baik, kehilangan vertikal dimensi atau lingual yang terletak pada gigi anterior, kehilangan gigi posterior, atrisi, dan kehilangan gigi tanpa memakai gigi tiruan. Pada kasus ini, pasien sering mengalami bilateral angular cheilitis dan dengan periode yang lama. Selain itu, gigi tiruan yang tidak terpasang dengan baik dapat menyebabkan penutupan mulut yang kurang tepat sehingga menyebabkan saliva memenuhi sudut 9 mulut dan terjadi infeksi. Bagian- bagian yang tajam dan celah yang dihasilkan oleh gigi tiruan yang tidak pas dapat menyebabkan angular cheilitis. Selain itu, gigi tiruan yang tidak pas dapat menyebabkan saliva menumpuk pada sudut mulut dan infeksi. 8 D. Status Gizi Anak Angular cheilitis disebabkan oleh kekurangan zat besi dan beberapa jenis vitamin. Kekurangan gizi paska usia dini mempunyai dampak yang buruk pada masa dewasa yang dimanifestasikan dalam bentuk fisik yang lebih kecil dengan tingkat produktivitas yang lebih rendah. Dampak kekurangan gizi pada usia dini makin menjadi penting bila memperhatikan analisis berbagai data yang ada. Hasil- hasil analisis tersebut memperkuat hipotesa mengenai besarnya peranan kekurangan gizi pada usia dini terhadap terjadinya penyakit degenerative pada dewasa yang justru merupakan usia produktif.10 Kekurangan gizi paska masa anak- anak selalu dihubungkan dengan vitamin dan mineral yang spesifik, yang berhubungan dengan mikronutrien tertentu. Konsekuensi defisiensi mikronutrien selama masa anak- anak sangat berbahaya.10 1.Defisiensi Zat Besi Defisiensi zat besi dapat menyebabkan angular cheilitis mengganggu perkembangan mental dan motorik anak dan juga menyebabkan anemia. Mengingat tingginya prevalensi defisiensi zat gizi tertentu serta efek negatifnya, maka suplementasi zat gizi seperti zat besi pada anak- anak akan sangat bermanfaat, khususnya karena 10 secara praktis sulit meningkatkan zat gizi yang adekuat dari pola makan bayi yang ada selama ini. Beberapa makanan yang diberikan pada anak cenderung menghambat penyerapan zat besi seperti asam filtrat yang terkandung di dalam padi- padian dan susu sapi yang dapat menurunkan absorbsi zat besi.11 Sampai saat ini, anemia defisiensi besi (ADB) merupakan masalah gangguan nutrisi yang paling umum di dunia dan mempengaruhi lebih dari 700 juta orang di dunia. ADB lebih banyak terjadi pada negara berkembang termasuk Indonesia. Diperkirakan pada negara berkembang terjadi sebesar 36% atau sekitar 1,4 milyar populasi. Walaupun pada pria dewasa juga memiliki resiko terjadinya ADB, namun resiko terbesar adalah pada masa bayi, prasekolah, remaja, dan wanita usia reproduktif. 11 Diet zat besi ditemukan terutama dalam daging. Zat besi sangat penting untuk mengangkut oksigen dan respirasi intraseluler, yang melekat dibeberapa enzim. Kebanyakan zat besi hadir dalam hemoglobin, beberapa disimpan dalam mkrofag dalam hati dan limpa sebagai feritin dan haemosiderin. Zat besi diangkut sebagai transferin. Defisiensi dapat timbul dari penyebab makanan atau serapan, tetapi biasanya merupakan konsekuensi dari kehilangan darah yang kronis. Kekurangan zat besi berpengaruh cepat, dan membagi sel- sel seperti sumsum tulang dan mukosa otal. 10,11 Hipokrom mikrositik merupakan hasil anemia. Serum besi dan feritin serum tingkat rendah. Manifestasi oral mukosa kekurangan zat besi yang umum dan termasuk glossitis, stomatitis angular, dan burning mouth sindrom. Atrofi glossitis ditemukan di hingga 40% dari pasien yang kekurangan zat besi. dan angular cheilitis sebesar 15 % 11 dari pasien yang kekurangan zat besi. Sekitar sepertiga dari pasien memiliki lidah yang terasa sakit.10,11 Zat besi (Fe) merupakan mironutrien yang esensial dalam memproduksi hemoglobin yang berfungsi dalam mengangkut oksigen dari paru- paru ke jaringan tubuh, mengangkut elektron dalam sel dan dalam mensintesis enzim yang mengandung zat besi dibutuhkan untuk menggunakan oksigen selama memproduksi energi selluler.11,12 Keseimbangan zat besi ditentukan oleh simpanan zat besi di dalam tubuh, absorbsi zat besi dan zat besi yang hilang. Sedikitnya 2/3 zat besi dalam tubuh merupakan zat besi yang bersifat fungsional, kebanyakan dalam bentuk hemoglobin. Selama masa sirkulasi sel darah merah, beberapa sebagai mioglobin di dalam sel otot dan sebagian ada didalam enzim yang mengandung zat besi. Paling banyak sisa zat besi dalam tubuh disimpan dalam bentuk cadangan zat besi (bentuk ferritin dan hemosiderin) yang berfungsi sebagai cadangan zat besi yang rendah yang disebabkan karena zat besi digunakan untuk pertumbuhan dan pertambahan volume darah.11,12 Defisiensi zat besi merupakan kekurangan zat gizi yang biasa terjadi di negara berkembang dan industri. Apabila tubuh mengalami kekurangan zat besi, dapat menyebabkan anemia. Anemia defisiensi zat besi adalah keadaan penurunan konsentrasi hemoglobin dalam darah sampai kadar dibawah 11 g/dl. Cut off point hemoglobin anak usia 6 bulan- 6 tahun adalah 11 gr%. 11,12 Konsekuensi anemia defisiensi zat besi diakui memberi pengaruh terhadap metabolisme energi dan fungsi kekebalan yang akan berpengaruh pada fungsi kognitif 12 dan perkembangan motorik. Defisiensi zat besi juga berhubungan dengan menurunnya fungsi kekebalan yang diukur dengan perubahan dalam beberapa komponen sistem kekebalan yang terjadi selama defisiensi zat besi. Konsekuensi dari perubahan fungsi kekebalan adalah resistensi terhadap penyakit infeksi. Pada anak- anak defisiensi zat besi berhubungan dengan kelesuan, daya tangkap rendah, mudah marah dan menurunnya kemampuan belajar.10,11,12 Kelompok Umur (gr/dl) Anak , Dewasa 6 bulan s/d 6 tahun, 6 1112 tahun s/d 14 tahun Laki- laki 13 wanita 12 Wanita hamil 11 Tabel 1. Batas normal kadar hemoglobin. Sumber:Nasution N. Efek suplementasi zinc dan besi pada pertumbuhan anak.J USU;2008;113 (75);p.82-96 Defisiensi zat besi umumnya terjadi pada usia 6-12 bulan atau 1-2 tahun, yaitu 70% kebutuhan zat besi pada usia 6- 12 bulan dan 50% kebutuhan zat besi pada usia 1-2 tahun terjadi saat pertumbuhan jaringan yang cepat. Pada tahun pertama kehidupan, kebutuhan sseorang bayi untuk mengabsorbsi zat besi sama besarnya dengan kebutuhan seorang laki- laki dewasa, yang mana hal ini sulit untuk dipenuhi. 11 Prevalensi tertinggi defisiensi zat besi terjadi bersamaan dengan saat terakhir pertumbuhan otak anak (6-24 bulan), yaitu pada saat terbentuknya kemampuan kognitif 13 dan motorik. Kandungan zat besi dalam otak pada saat lahir hanya 10 % dan 50% pada usia 10 tahun. Banyak penelitian menunjukkan bahwa anak- anak yang menderita defisiensi zat besi hasil tes psikomotornya kurang baik dibandingkan anak- anak yang tidak anemia.11,12 Selain itu, jika terjadi defisiensi zat besi pada usia 6- 24 bulan yaitu, pada saat terjadi pertumbuhan yang pesat dengan konsekuensi dapat mengganggu penggunaan energi dan pertumbuhan fisik.11,12 2. Defisiensi Vitamin B Berbagai jenis vitamin B memiliki peran penting terhadap terjadinya angular cheilitis. a) Defisiensi Vitamin B 12 Kekurangan yang paling dikenal adalah vitamin B12. Vitamin ini ditemukan terutama di hati, telur, daging, dan susu. Kekurangan vitamin B12 biasanya terlihat pada anemia pernisiosa, yang terdapat kekurangan faktor intrinsik lambung yang dibutuhkan untuk penyerapan vitamin B12. Glossitis dan stomatitis dapat disebabkan dari kekurangan vitamin B12. Ujung lidah memerah pada tahap awal kekurangan dan pada akhirnya menyebar dengan fissuring yang disebut dengan atrofi papiler. Angular stomatitis, apthae, dan lesi erosi juga dapat dilihat. Beberapa pasien mungkin memiliki burning mouth sindrom. 13 14 Vitamin B12 diperlukan sebanyak 2 mikro-gram perhari. Sumber utama vitamin B12 hanya ditemukan di dalam daging hewan dan prduk- produk hewani. Orang yang hanya makan sayuran dapat melindungi diri sendiri melawan defisiensi dengan menambah konsumsi susu, keju,dan telur. Hal ini berarti sekitar satu cangkir susu atau satu butir telur untuk satu harinya. Untuk seorang vegetarian yang tidak memakan semua produk dari hewan dapat memperoleh sumber vitamin B12 dari susu kedelai atau ragi yang sudah ditumbuhkan dalam lingkungan yang kaya akan vitamin B12.13,14 Gambar 2. Telur (sumber:Koop J. Nutrition for human(internet). Available from:http://www.naturalfood.com/ac.html.Accessed 27 Dec 2010) Fungsi vitamin B12 berperan penting pada saat pembelahan sel yang berlangsung dengan cepat. Vitamin B12 juga memelihara lapisan yang mengelilingi dan melindungi serta syaraf dan mendorong pertumbuhan normalnya. Selain itu juga berperan dalam aktivitas dan metabolisme sel- sel tulang. Vitamin B12 juga dibutuhkan 15 untuk melepaskan folat, sehingga dapat membantu pembentukan sel- sel darah merah. 13,14 Kekurangan vitamin B 12 dapat menyebabkan kekurangan darah (anemia), yang sebenarnya disebabkan oleh kekurangan folat. Tanpa vitamin B12, folat tidak dapat berperan dalam pembentukan sel- sel darah merah. Gejala kekurangan lainnya adalah sel- sel darah merah menjadi belum matang (immature) yang menunjukkan sintesis DNA yang lambat. Kekurangan vitamin B12 dapat juga mempengaruhi system syaraf, berperan pada regenerasi syaraf peripheral, mendorong kelumpuhan. Selain itu juga dapat menyebabkan hipersensitif pada kulit. 11,13,14 2.Vitamin B2 (Riboflavin) Riboflavin yang dibutuhkan dalam tubuh ialah sebesar 0,6 mg/1000 kkal perhari. Jadi sekitar 1,2 mg perhari untuk 2000 kkal diet. Anak- anak dan wanita hamil membutuhkan tambahan riboflavin karena vitamin ini penting untuk pertumbuhan. Riboflavin ditemukan dalam sayuran, daging, susu, dan ikan. Berfungsi sebagai pembentukan dua koenzim, flavin adenine dinukleotida dan flavin mononukleotida, terlibat dalam metabolisme oksidatif.13,14 Sumber- sumber utama vitamin B2 ialah susu dan produk- produk susu, misalnya keju, merupakan sumber yang baik untuk riboflavin. Untuk itu ketersediaannya dalam makanan sehari- hari sangat penting. Hampir semua sayuran hijau dan biji- bijian mengandung riboflavin; brokoli, jamur dan bayam merupakan sumber yang baik. 13,14 16 Gambar 3. Makanan mengandung vitamin B2 (Sumber:James C. Healthy food(Internet). Available from :http://www.dishes.com/ac.html. Accessed 20 Dec 2010) Kekurangan vitamin B2 terutama terlihat dalam pecandu alcohol, dan mengarah ke dermatitis seboroik, vaskularisasi kornea, dan anemia dan manifestasi mukosa mulut serupa dengan mereka kekurangan vitamin B 12. Angular cheilitis,glossitis dan ulserasi oral telah dicatat dalam kekurangan vitamin B2. 10,13,14 3. Vitamin B3 (Niaci) Niasin sebesar 6,6 mg NE (Niacin equivalents)/1000 kkal atau 13 mg dibutuhkan perhari oleh manusia. NE merupakan jumlah niasin yang diperoleh dalam makanan, termasuk niasin yang secara teori dibuat dari prekusor asam amino tryptophan. 60 mg tryptophan dapat menghasilkan 1 mg niasin. 14,15 Sumber utama vitamin B3 ialah daging, unggas (ayam, itik) dan ikan merupakan sumber utama niasin, sama halnya roti dan sereal (biji- bijian) yang telah diperkaya. Jamur, asparagus dan sayuran hijau merupakan sumber yang paling baik. Fungsi vitamin ini ialah membentuk Dua Koenzim yang dibantu oleh NAD dan NADP dibutuhkan 17 untuk beberapa aktivitas metabolisme, terutama metabolisme glukosa, lemak dan alkohol. Niasin memiliki keunikan diantara vitamin B karena tubuh dapat membentuknya dari asam amino tryptophan. Niasin membantu kesehatan kulit, sistem saraf dan sistem pencernaan.14 Gambar 4. Daging Ayam (Sumber:Kharisma S. Peran dunia pasar dalam nutrisi anak.MIKGI;2001:V:244 (Internet).Available from:http://www.MIKGI.ac.html.Akses 10 Januari 2011) Gejala kekurangannya ialah pellagra (penyakit kekurangan niasin), menunjukkan gejala seperti dermatitis, diare dan dementia. Hal ini meluas di bagian selatan Amerika Serikat pada awal 1900. Gejala kekurangan niasin lainnya adalah kehilangan nafsu makan, lemah, pusing dan kebingungan mental. Kulit dapat menunjukkan gejala dermatitis simetrik bilateral khususnya pada daerah yang terkena sinar matahari langsung. 15 Keracunan niasin dalam jumlah yang besar dapat menjadi racun pada sistem saraf, lemak darah dan gula darah. Gejala- gejala seperti muntah, lidah membengkak dan pingsan dapat terjadi. Lebih lanjut, hal ini dapat berpengaruh pada fungsi hati dan dapat mengakibatkan tekanan darah rendah. 14,15 18 4.Vitamin B6 (pyridoxine) Koenzim vitamin B6 berperan penting dalam metabolisme asam amino, sehingga konsumsi sehari- hari harus sebanding dengan konsumsi protein karena protein dibuat dari asam amino. RDA untuk vitamin B6 adalah 0,16 mg/m protein. Rata- rata konsumsi adalah 2 mg/hari untuk pria dan 1,6 mg/hari untuk wanita. 15 Sumber utamanya ialah daging, ikan, dan unggas seperti itik, ayam yang merupakan sumber utama vitamin B6. Sumber yang lain ialah kentang, beberapa sayuran hijau dan buah berwarna ungu. Vitamin B6 berperan dalam metabolisme asam amino dan asam lemak. Vitamin B6 membantu tubuh untuk mensintesis asam amino nonesensial. Selain itu juga berperan dalam produksi sel darah merah.15 Seseorang dengan kadar vitamin B6 rendah, menunjukkan gejala seperti lemah, sifat lekas marah dan susah tidur. Selanjutnya gejala kegagalan pertumbuhan, kerusakan fungsi motorik dan angular cheilitis.14,15 Vitamin B6 terlibat dalam pembentukan fosfat dan fosfat pyridoxal pyridoxamine, koenzim dalam metabolism asam amino. Kekurangan vitamin B6 terutama ditemukan pada alkoholisme, kehamilan dan penggunaan beberapa obat; misalnya isoniazid. Kekurangan vitamin B6 menyebabkan dermatitis dan perifer neuropati dan manifestasi mukosa mulut serupa kepada mereka yang kekurangan vitamin B12 dengan angular cheilitis dan kadang- kadang ulserasi.14,15 19 E. Manifestasi berbagai penyakit sistemik Banyak pasien yang menderita penyakit yang mempengaruhi seluruh tubuh dan menunjukkan tanda- tanda dan gejala oral yang spesifik, seperti:16 1. Gangguan hematologis: anemia karena defisiensi zat besi 2. Gangguan endokrin: Diabetes mellitus 3. Infeksi virus: infeksi human immunodeficiency virus 4. Penyakit ganas: penyakit ganas lanjutan, leukemia Gangguan hematological asien yang menderita anemia. Kekurangan zat besi memiliki kecenderungan untuk beberapa penyakit mukosa oral. 9 yaitu meliputi: a) Ulserasi apthous b) Angular cheilitis: nyeri dan retak pada sudut mulut disebabkan oleh jamur kandida albicans dan/ oleh bakteri staphylococcus aureus c) Atrofi mukosa : mukosa nampak memerah dan halus Hal ini penting untuk memikirkan defisinesi zat besi, anemia pada pasien dengan ulserasi apthous dan angular cheilitis. Jika kekurangan zat besi anemia tidak terdeteksi maka penyebab lain harus diselidiki.9 20 F. Infeksi Virus Tidak seperti bakteri yang terdiri dari sel tunggal dan mampu berkembang secara mandiri, virus terdiri dari fragmen nuklir kecil dikelilingi oleh lapisan protein. Mereka tidak dapat membagi atau mereplikasi sendiri dan untuk dapat bertahan harus mendapatkan akses hidup di dalam sel- sel hospes.16 Setelah masuk mereka menggunakan proses sendiri sel inang sintetik untuk mereproduksi dan dan dalam prosesnya sering merusak sel inang. Dalam kasus lain, tuan rumah akan menghancurkan virally sel yang terinfeksi dalam rangka mengkilangkan virus.16,17 Hal ini merupakan seluler kehancuran yang bertanggungjawab untuk banyak klinis fitur dari infeksi virus yang mempengaruhi rongga mulut. Waktu yang dibutuhkan bagi virus untuk menginfeksi host, replikasi dan untuk kerusakan sel dan dengan demikian gejala klinis mungkin terjadi banyak hal, 321 hari dan dikenal sebagai masa inkubasi. 16,17 Kebanyakan virus dengan infeksi berat antara 10 dan 14 hari, setelah tuan rumah telah merespon kekebalan tubuh yang efektif dan infeksi terselesaikan. Infeksi lain kurang virulen mungkin berlangsung hanya beberapa hari. Pada infeksi virus umumnya mempengaruhi kelompok usia yang lebih muda dan infeksi virus yang terjadi pada kelompok usia yang lebih tua kemungkinan imunosupresi yang mendasarinya.16,17 21 2.3 Status Gizi dan Angular Cheilitis Angka kecukupan gizi (AKG) yang tidak dapat terpenuhi dapat menyebabkan terjadinya keadaan kurang gizi yang disebabkan oelh rendahnya konsumsi energy dan protein dalam makanan sehari- hari atau disebut dengan kekurangan energy protein yang pertama sekali dikenal pada tahun 1920 dan paling sering terjadi di negara yang sedang berkembang. Anak – anak dengan kekurangan energy protein di negara manapun menyebabkan kegagalan pertumbuhan dan perkembangan anak. 18 Pemeriksaaan mulut dapat memberikan informasi yang cepat dan vital tentang keadaan gizi pasien. Dokter gigi dapat menjadi orang pertama yang menemukan tanda klinis dari kekurangan gizi, yang mempunyai efek bukan hanya di mulut, tetapi juga kesehatan secara umum dan fungsi mental. Oleh karena itu, dokter gigi hanya mengenal manifestasi mulut dari kekurangan gizi. 18,19 Manifestasi mulut kekurangan gizi dapat berupa angular cheilitis. Angular cheilitis karena kekurangan gizi sering dijumpai pada anak- anak yang masih muda pada dekade pertama dan kedua kehidupan. Terdapat perdebatan tentang penyebab angular cheilitis dan banyak faktor yang diduga tentang patogenitas dari keadaan ini, termasuk kekurangan gizi dan infeksi. Kekurangan gizi dapat karena kekurangan vitamin B2, riboflavin, vitamin B6, piridoksin, zat besi, asam folat, dan bioti. Kekurangan vitamin B kompleks lebih sering daripada hanya bitamin B individual.18 Pada angular cheilitis yang berhubungan dengan kekurangan gizi terjadi besi bilateral yang biasanya meluas beberapa mm dari sudut mulut pada mukosa pipi dan 22 kelateral pada kulit sirkum oral 1-10 mm. Dasar lesi lembab, adanya fisur yang tajam, vertical dari tepi vermillon bibir dari area kulit yang berdekatan. 18 Biasanya tidak ada tanda inflamasi pada tepi lesi. Secara klinis, epitel pada komisura terlihat mengerut dan sedikit luka. Pada waktu mengerut, menjadi lebih jelas terlihat, membentuk satu atau beberapa fisur yang dalam, berulserasi tetapi cenderung berdarah. Walaupun dapat terbentuk krusta eksudatif superfisial, fisur ini tidak melibatkan permukaan mukosa pada komisura didalam mulut, tetapi berhenti pada mucocutaneus junction. 18,19 2.4 Pemberian Nutrisi yang Tepat pada Anak Memberikan makanan yang benar pada anak usia sekolah harus dilihat dari banyak aspek,seperti ekonomi, sosial ,budaya,agama,disamping aspek medik dari anak itu sendiri. Makanan pada anak usia sekolah harus serasi,selaras dan seimbang. Serasi artinya sesuai dengan tingkat tumbuh kembang anak. Selaras adalah sesuai dengan kondisi ekonomi,sosial budaya serta agama dari keluarga. Sedangkan seimbang artinya nilai gizinya harus sesuai dengan kebutuhan berdasarkan usia dan jenis bahan makanan seperti kabohidrat, protein dan lemak. Karena besarnya variasi kebutuhan makanan pada masing-masing anak,maka dalam memberikan nasehat makanan pada anak tidak boleh terlalu kaku. 11,18,19 Pemberian makanan pada anak tidak boleh dilakukan dengan kekerasan tetapi dengan persuasif dan monitoring terhadap tumbuh kembangnya. Pemberian makan yang baik harus sesuai dengan jumlah, jenis dan jadwal pada umur anak tertentu. Ketiga hal 23 tersebut harus terpenuhi sesuai usia anak secara keseluruhan, bukan hanya mengutamakan jenis tapi melupakan jumlahnya atau sebaliknya memberikan jumlah yang cukup tapi jenisnya tidak sesuai untuk anak. Contoh, pemberian makanan jumlahnya sudah cukup banyak tapi jenis makanannya kurang mengandung nilai gizi yang baik.11,18,19 Pada usia sekolah sudah harus dibagi dalam jenis kelaminnya mengingat kebutuhan mereka yang berbeda. Anak laki-laki lebih banyak melakukan aktivitas fisik sehingga memerlukan kalori yang lebih banyak dibandingkan anak perempuan. Pada usia ini biasanya anak perempuan sudah mengalami masa haid sehingga memerlukan lebih banyak protein, zat besi dari usia sebelumnya. 11,18,19 Sarapan pagi bagi anak usia sekolah sangatlah penting, karena waktu sekolah adalah penuh aktifitas yang membutuhkan energi dan kalori yang cukup besar. Untuk sarapan pagi harus memenuhi sebanyak ¼ kalori sehari. Dengan mengkonsumsi 2 potong roti dan telur; satu porsi bubur ayam; satu gelas susu dan buah; akan mendapatkan 300 kalori. Bila tidak sempat sarapan pagi sebaiknya anak dibekali dengan makanan/snack yang berat (bergizi lengkap dan seimbang) misalnya : arem-arem, mi goreng atau roti isi daging. Makan siang biasanya menu makanannya lebih bervariasi karena waktu tidak terbatas. Makan malam merupakan saat makan yang menyenangkan karena bisa berkumpul dengan keluarga. 11,18,19 24 2.5 Penilaian Status Gizi Secara sederhana dapat dijelaskan pengertian gizi yaitu segala asupan yang diperlukan agar tubuh menjadi sehat. Gizi diperlukan oleh tubuh manusia untuk kecerdasan otak dan kemampuan fisik. Gizi diperoleh dari asupan makanan yang mengandung karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral.20 Ada tiga macam kondisi dalam penilaian status gizi : 1. Ditujukan untuk perorangan atau untuk kelompok masyarakat. 2. Pelaksanaan pengukuran : satu kali atau berulang secara berkala. 3. Situasi dan kondisi pengukuran baik perorangan atau kelompok masyarakat : pada saat kritis, darurat, kronis dan sebagainya. Dengan memperhatikan ketiga macam kondisi tersebut, beberapa penilaian status gizi dapat diaplikasikan, seperti penapisan (screening), penilaian status gizi perorangan untuk keperluan rujukan, dari kelompok masyarakat atau dari puskesmas, dalam kaitannya dengan tindakan atau intervensi. Dapat pula digunakan untuk keperluan pemantauan pertumbuhan anak, dalam kaitannya dengan kegiatan penyuluhan. Selain itu dapat dimanfaatkan untuk penilaian status gizi pada kelompok masyarakat dalam rangka mengevaluasi suatu program atau sebagai bahan perencanaan atau penetapan kebijakan. 20,21 25 Ada berbagai cara yang dilakukan untuk menilai status gizi, salah satunya adalah pengukuran tubuh manusia yang dikenal dengan istilah “Antropometri”. Antropometri telah lama dikenal sebagai indikator peni-laian status gizi perorangan maupun kelompok. Pengukuran antropometri dapat dilakukan oleh siapa saja dengan hanya memerlukan lati-han yang cepat dan sederhana. Beberapa macam antropometri yang telah digunakan antara lain :20,21 - Berat Badan (BB) - Tinggi Badan (TB)/Panjang Badan (PB) - Lingkar Lengan Atas (LLA) - Lingkar Kepala (LK) - Lingkar Dada (LD) - Lapisan Lemak Bawah Kulit (LLBK) Di Indonesia, jenis antropometri yang banyak digunakan, baik dalam kegiatan program maupun penelitian, adalah BB dan TB. Yang menjadi obyek pengukuran antropometri, pada umumnya anak-anak dibawah umur lima tahun (balita). Dalam pemakaian untuk penilaian status gizi, antropometri disajikan dalam bentuk indeks yang dikaitkan dengan variabel lain, seperti :20,21 - Berat Badan menurut Umur (BB/U) - Tinggi Badan/Panjang Badan menurut Umur (TB/U atau PB/U) - Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB), dll 26 Masing-masing indeks antropometri tersebut memiliki buku rujukan atau nilai patokan untuk memperkirakan status gizi seseorang atau kelompok. Jika antropometri ditujukan untuk mengukur seseorang yang kurus kering , kecil pendek, atau keterhambatan pertumbuhan, maka indeks BB/TB dan TB/U adalah yang cocok digunakan.20,21 Alternatif pengukuran lain yang juga banyak digunakan adalah indeks BB/U, atau melakukan penilaian gizi dengan membandingkan berat badan dan usia pada saat pengukuran. Penggunaan indeks BB/U ini sangat mudah dilakukan akan tetapi kurang dapat menggambarkan kecenderungan perubahan situasi gizi dari waktu ke waktu. Seperti pada tabel 2 yang memperlihatkan distribus kasus gizi buruk di Provinsi Sulawesi Selatan.20,21 Provinsi Jumlah Kasus Gizi Buruk Jumlah Kasus Meninggal Dilaporkan Sulawesi Utara 108 0 Sulawesi tengah 491 2 Sulawesi selatan 369 13 Sulawesi barat 879 3 Total 1847 18 Tabel 2. Distribusi kasus gizi buruk per Provinsi. Berdasarkan Laporan Dinas Kesehatan Provinsi- Januari- December 2005 27 BAB III KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, dan ALUR PENELITIAN III.1. KERANGKA TEORI Defisiensi Vitamin B dan Defisiensi Zat Besi pada Anak MALNUTRISI ANGULAR CHEILITIS 28 III.2 KERANGKA KONSEP STATUS GIZI Defisiensi vitamin B dan zat besi ANGULAR CHEILITIS Keterangan: Variabel Bebas Variabel Akibat Variabel Antara 29 3.3.ALUR PENELITIAN Pengumpulan Anak Binaan Gizi Puskesmas Cendarwasih Penimbangan Berat Badan Anak dengan gizi yang sedang mengalami perbaikan Pemeriksaan angular cheilitis Pemeriksaan angular cheilitis a Ya Anak dengan gizi Buruk a Tidak PENGOLAHAN DATA Ya Tidak PENGOLAHAN DATA ANALISIS DATA ANALISIS DATA HASIL HASIL 30 BAB IV Metode Penelitian A. Jenis penelitian Observasional Analitik B. Lokasi penelitian Puskesmas Cendrawasih C. Waktu penelitian Bulan April 2011 D. Subjek penelitian Subjek : Anak Binaan Gizi puskesmas cendrawasih E. Kriteria sampel : 1. Anak Binaan gizi puskesmas cendrwasih 2. Anak usia 6 -11 tahun yang pernah dan sedang mengalami angular cheilitis 3. Bersedia menjadi sampel 31 F. Variabel 1. Variabel bebas : Status Gizi 2. Variabel akibat : Angular Cheilitis 3. Variabel antara : Defisiensi vitamin B dan zat besi G. Alat dan bahan Alat : a. Kartu Status (Indentitas sampel dan orangtua) 1. Nama 2. Usia 3. Berat Badan 4. Alamat 5. Pekerjaan orangtua b. Alat tulis : untuk mencatat data c. Timbangan : untuk menimbang berat badan anak H. Definisi operasional 1. Angular cheilitis : lesi yang ditandai dengan adanya fisur, retak- retak pada sudut bibir, berwarna kemerahan, mudah berdarah, menimbulkan rasa nyeri dan terlihat kering pada sudut bibir (bilateral) 32 2. Kekurangan Gizi : ketidakseimbangan antara suplai makanan dan energi dengan kebutuhan tubuh untuk menjamin pertumbuhan tubuh yang ditandai dengan berat badan yang tidak sesuai dengan standar antropometri berat badan/ umur. I. Kriteria Penilian Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 995/MENKES/SK/XII/2010. Tentang penilaian antropometri untuk status gizi anak. Tabel penilaian dilampirkan. J. Pengambilan Data: a. Data diperoleh dengan cara menimbang anak kemudian memeriksa keadaan sudut bibirnya b. Jenis data adalah data primer yang diperoleh secara langsung dari objek yang diteliti. c. Analisis data yang digunakan ialah uji chi- square d. Penyajian data dalam bentuk tabel distribusi 33 BAB V HASIL PENELITIAN V.1 Hasil Penelitian Hasil penelitian hubungan antara status gizi dan angular cheilitis yang dilakukan di Puskesmas Cendrawasih menunjukkan ada keterkaitan. Hal ini didukung dengan keadaan klinis pada 28 anak dengan gizi buruk yag menderita angular cheilitis sebanyak 17 anak (42,5%), sedangkan yang tidak menderita angular cheilitis sebanyak 11 anak (27,5%) yang disebabkan karena berbagai faktor. Pada 18 anak yang sedang dalam proses perbaikan gizi terlihat adanya angular cheilitis. Sebanyak 8 anak (20%) yang dalam proses perbaikan gizi menderita angular cheilitis dan yang telah sembuh total sebanyak 4 anak (10%). V.2 Deskripsi Hasil Penelitian Setelah dilakukan pengolahan data, maka diperoleh hasil sebagai berikut: Tabel 1. Tabel Frekuensi Usia Sampel USIA Distribusi Frekuensi Persen Valid persen USIA Kumulatif Persen Valid 6 15 37.5 37.5 37.5 7 6 15.0 15.0 52.5 8 9 22.5 22.5 75.0 34 9 3 7.5 7.5 82.5 10 4 10.0 10.0 92.5 11 3 Total 7.5 40 7.5 100.0 100.0 100.0 Berdasarkan tabel tersebut, jumlah anak usia 6 tahun merupakan sampel terbanyak yaitu 15 anak (37,5 %). Anak usia 8 tahun menempati posisi kedua, yaitu sebesar 9 anak. Usia 7 tahun menempati posisi ketiga dan berturut- turut diikuti anak usia 10, 9, dan 11 tahun. Total sampel penelitian ialah 40 anak. Tabel 2. Tabel Status Gizi Sampel Frekuensi Persen Valid persen Kumulatif Persen Valid Buruk 28 70.0 70.0 70.0 Dalam proses perbaikan 12 30.0 30.0 100.0 Total 40 100.0 100.0 Untuk menilai status gizi anak diperlukan standar antropometri yang mengacu pada Standar World Health Organization (WHO). Hal ini juga telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang standar antropometri penilaian status gizi anak. Gizi buruk adalah status gizi yang didasarkan pada indeks berat badan menurut Umur (BB/U) yang merupakan padanan istilah underweight (gizi kurang) dan severely 35 underweight (gizi buruk). Status gizi pada penelitian ini hanya mengambil status gizi baik dan status gizi buruk, tidak memisahkan gizi kurang dan gizi cukup. Adapun kategori dan ambang batas status gizi anak berdasarkan indeks Antropometri: Indeks Berat Massa Kategori status Ambang Batas Gizi (Z- score) Tubuh Sangat kurus < -3 SD menurut Umur Anak Kurus -3 SD sampai dengan <-2 Sd umur 5- 18 tahun Normal -2 SD samapi dengan 1 SD Gemuk >1 SD samapi dengan 2 SD Obesitas >2 SD Sumber: Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang standar antropometri penilaian status gizi anak. Berdasarkan pengukuran berat badan sampel, anak dengan frekuensi gizi buruk (70.%) lebih besar daripada gizi baik yaitu sebesar 30%. Cara perhitungan dilakukan dengan mencocokkan berat badan anak dengan tabel standar Antropometri penilaian status gizi anak. 36 Tabel 3. Tabel Status Angular Cheilitis Sampel Frekuensi Persen Valid persen Kumulatif Persen Valid Ya 25 62.5 62.5 62.5 Tidak 15 37.5 37.5 100.0 Total 40 100.0 100.0 Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa angular cehiltis pada anak di puskesmas cendrawasih, yaitu sebanyak 25 anak dari total sampel 40 anak (62,5%) Tabel 4. Tabel Crosstabs Hubungan antara status gizi dengan angular cheilitis Status Angular Cheilitis Status Gizi Buruk Dalam proses perbaikan Total Total Ya Tidak Jumlah % dengan status gizi % total Jumlah % dengan status gizi % total 17 60.7% 42.5% 8 66.7% 20.0% 11 39.3% 27.5% 4 33.3% 10.0% 28 100.0% 70.0% 12 100.0% 30.0% Jumlah % dengan status gizi % total 25 62.5% 62.5% 15 37.5% 37.5% 40 100.0% 100.0% 37 Berdasarkan tabel diatas, diperoleh hasil bahwa anak dengan status gizi buruk yang menderita angular cheilitis sebanyak 42,5 % , sedangkan yang tidak mengalami angular cheilitis sebanyak 27,5 %. Tabel diatas juga menunjukkan anak dengan status gizi yang dalam proses perbaikan , yaitu sebesar 20,0% untuk anak dengan angular cheilitis sedangkan yang tidak mengalami angular cheilitis sebesar 10 %. Total anak dengan angular cheilitis baik yang bergizi buruk maupun yang masih dalam proses perbaikan ialah 62,5 % dan anak dengan tidak mengalami angular cheilitis sebesar 37,5 %. Tabel 5. Tabel Chi-square Pearson Chi-square Tes exact fisher Linear-by-linear Assosiasi N dari Kasus Value Df Asymp.sig .127b 1 .722 .124 1 .725 Exact Sig (2-sided) Exact Sig (1-Sided) 1.000 .001 40 Nilai ekspektasi pada tabel diatas menunjukkan angka 0,1 yang berarti hasil penelitian menunjukkan angka yang signifikan atau berarti. Tabel diatas menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara status gizi dan angular cheilitis. 38 BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Pembahasan Hasil Penelitian Penelitian yang telah dilakukan di Puskesmas Cendrawasih ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara status gizi anak dengan angular cheilitis. Status gizi memiliki penilaian antropometri yang kemudian dijadikan acuan dalam menilai status gizi seorang anak. Status gizi tersebut memiliki tabel penilian tersendiri dengan penilaian 6 kategori, sangat kurang gizi (-3 SD), cukup kurang gizi (-2 SD), kurang gizi (-1SD), normal (Median), Cukup normal (1 SD), sangat normal (2 SD), Obesitas (3 SD). Pada penelitian kali ini, peneliti menggunakan penilaian indeks gizi buruk dan gizi baik dengan menggunakan timbangan. Berat badan. Setelah mencatat berat badan anak, peneliti kemudian memeriksa keadaan sekitar rongga mulut pasien, apakah anak tersebut menderita angular cheilitis. Selain itu, pada anak juga ditanyakan apakah pernah mengalami angular cheilitis dengan menunjukkan gambar anak yang sedang mengalaminya atau jika anak tidak mengerti peneliti menanyakan kepada orangtua yang mengantar. Banyak variasi jawaban yang diberikan oleh anak maupun orangtuanya. Pada bab III peneliti menuliskan definisi operasional angular cheilitis yang menyatakan bahwa peneliti tidak melihat apakah angular cheilitis tersebut telah masuk dalam fase mengalami penyembuhan atau baru saja menjadi lesi. Sehingga, setelah dilakukan 39 pemeriksaan, angular cheilitis tersebut sangat variasi, dari lesi kecil hingga lesi yang sedang dalam proses penyembuhan. Status Gizi dikaitkan dengan Angular cheilitis karena salah satu etiologi utama angular cheilitis ialah defisiensi nutrisi. Kekurangan nutrisi dapat menyebabkan menurunnya system imun anak, sehingga berbagai virus dan bakteri dengan mudah menyerang pertahanan tubuh anak. Salah satunya ialah menyebabkan angular cheilitis pada sudut bibir anak secara bilateral. Angular Cheilitis ditemukan pada sudut mulut pada pertemuan kulit wajah dan bibir. Inflamasi, rasa terbakar, kemerahan dan ulserasi atau celah merupakan karakteristik masalah kulit bibir dari angular cheilitis, yang juga dikenal sebagai cheilitis, angular stomatitis, atau Perleche. Keadaan ini tentunya akan menggangu aktivitas anak, ketika belajar maupun bermain. Angka kecukupan gizi (AKG) yang tidak terpenuhi dapat menyebabkan terjadinya keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energy dan protein dalam makanan sehari- hari. Ukuran dan berat badan anak terutama sensitive akan masukan protein dan energy serta vitamin. Oleh Karena itu ukuran status gizi dengan indeks antropometri yang sering digunakan adalah berat badan/umur. Pemeriksaan mulut dapat memberikan informasi yang cepat dan vital tentang keadaan gizi anak. Seorang dokter gigi dapat menemukan tanda klinis dari kekurangan gizi, yang mempunyai efek bukan hanya di mulut, tetapi juga kesehatan secara umum 40 dan fungsi mental. Oleh karena itu, dokter gigi harus mengenali manifestasi mulut dari kekurangan gizi. Manifestasinya salah satunya ialah angular cheilitis. Terdapat perdebatan tentang penyebab angular cheilitis dan banyak factor yang diduga tentang patogenitas dari keadaan ini, termasuk kekurangan gizi dan infeksi. Kekurangan gizi dapat karena kekurangan vitamin B2, riboflavin, vitamin B6, piridoksin, zat besi, asam folat dan biotin. Kekurangan vitamin B kompleks lebih sering daripada hanya vitamin B individual. Fakta ini menjadi factor yang menyebabkan keakuratan status gizi anak terhadap angukar cheilitis menjadi bias, karena tidak semua anak dengan gizi baik mengkonsumsi vitamin tersebut dengan dosis yang cukup, sehingga ditemukan anak dengan gizi baik tetpai menderita angular cheilitis. Selain itu, anak dengan gizi burukpun ada yang tidak mengalami angular cheilitis, karena mereka mengalami KEP atau kekurangan energy protein, tetapi mereka mengikuti program gizi baik dari puskesmas cendrawasih yaitu berupa pemberian vitamin B komples. Angular chelitis yang disebabkan kekurangan gizi terjadi lesi bilateral yang biasanya meluas beberapa mm dari sudut mulut pada mukosa pipi dan kelateral pada kulit sirkum oral 1-10 mm. Dasar lesi terlihat lembab, adanya fisur yang tajam, vertical dari tepi vermillion bibir dan area kulit yang berdekatan. Pada sampel biasanya tidak terlihat tanda inflamasi pada tepi lesi. Secara klinis, epitel pada komusira terlihat mengerut dan sedikit luka. Pada waktu mengerut, menjadi lebih jelas terlihat, membentuk satu atau beberapa fisur yang dalam, berulserasi tetapi tidak cenderung 41 berdarah. Pada sampel, lesi terlihat tidak meibatkan permukaan mukosa pada komisura dalam mulut, tetapi berhenti pada mucocutaneus junction. Dari 40 anak yang berumur 6-11 tahun di Puskesmas Cendrawasih, terlihat 70% mempunyai gizi buruk berdasarkan perhitungan antropometri berat badan/umur anak. Hal ini menunjukkan lebih dari setengah anak bimbingan di Puskesmas Cendrawasih masih kekurangan berat badan, yang berarti kekurangan gizi. Menurut data WHO bahwa kira- kira 150 juta anak dibahawa umur s tahun di Negara yangs edang berkembang adalah kekurangan gizi berdasarkan berat badan yang rendah dibandingkan umurnya. Dua pertiga anak- anak kekurangan gizi tedapat di Asia dan seperempat di Afrika. Kekurangan gizi dipengaruhi oleh beberapa factor, seperrti sanitasi yang tidak memadai, hygiene personal yang buruk, pelayanan kesehatan yang tidak cukup, kapasitas pendapatan yang jelek, kebanyakan penduduk, sumber yang tidak cukup. Hal ini yang sedang terjadi di daerah pusekesmas Cendrawasih sehingga banyak anak yang mengalami gizi buruk. Namun, pada waktu penelitian berlangsung tidak seluruh anak datang di puskesmas. Tabel hasil penelitian menunjukkan anak yang mengalami gizi buruk ialah sebanyak 28 orang dan gizi baik sebanyak 12 orang. Keadaan tersebut menjadi kendala penelitian mengenai hubungan status gizi dan angular cheilitis. 42 Penelitian serupa yang dilakukan pada anak sekolah dasar Kecamatan Pacet Kabupaten Cinajur menunjukkan hasil yang berbeda. Penelitian tersebut menemukan, dari 85 anak yang menderita angular cheilitis, 47 anak didapatkan dengan status gizi kurang dan 38 anak dengan status gizi baik. Kesimpulan enelitian tersebut ialah adanya hubungan terjadinya angular cheilitis dan status gizi tetapi tidak menemukan adanya hubungan keparahan angular cheilitis dan status gizi. Penelitian tersebut mengambil sampel secara acak berbeda dengan peneliti yang mengambil subjek dalam hal ini di anak binaan gizi puskesmas cendrawasih. Ketika penelitian berlangsung jumlah anak yang masih mengikuti program tersebut ialah hanya 40 anak dengan kondisi status gizi dan angular cheilitis yang berbeda. Sebenarnya, pada anak dengan gizi baik yang masih mengalami angular cheilitis, angular cheilitisnya dalam proses penyembuhan. Hal tersebut dapat dilihat dari kondisi klinis angular cheilitis yang tidak parah, yaitu tidak terdapat lagi fisur yang dalam dan bercak darah. Namun, definisi operasional peneliti tidak membedakan tingkat keparahan angular cheilitis yang diderita anak, melainkan hanya melihat apakah anak menderita angular cheilitis atau tidak. Hasilnya, ada anak dengan gizi baik yang menderita angular cheilis walaupun gizinya baik. Hal ini berbanding terbalik dengan teori yang ada, bahwa anak dengan status gizi buruk yang menderita angular cheilitis. Selain itu, terdapat juga anak dengan gizi buruk namun tidak menderita angular cheilitis. Untuk mengetahui apa penyebabnya, peneliti melakukan wawancara terpimpin kepada orangtua anak. 43 Anak dengan gizi buruk yang tidak menderita angular cheilitis ternyata tercukupi dalam hal vitamin dan susu karena mengikuti program binaan gizi di puskesmas cendrawasih secara rutin. Namun anak dengan keadaan ini hanya berjumlah 11 anak dari 40 anak. Walaupun saat ini tidak menderita angular cheilitis dengan gizi buruk, anak tersebut pernah menderita angular cheilitis beberapa minggu sebelum mengikuti program binaan gizi tersebut. Gambar 5. Anak dengan status gizi baik yang menderita angular cheilitis di Puskesmas Cendrawasih Keadaan tersebut menunjukkan bahwa anak dengan gizi buruk yang tidak mengalami angular cheilitis pada waktu penelitian dilaksanakan dikarenakan telah dilaksanakannya perbaikan gizi secara bertahap oleh pihak puskesmas, sehingga anak dengan gizi yang berangsur- angsur membaikpun terlihat ada yang memiliki angular cheilitis karena masih dalam tahap penyembuhan. Kita ketahui bersama juga bahwa angular cheilitis adalah lesi dengan etiologi kompleks, salah satunya gizi dengan 44 perhitungan yang kompleks, bukan hanya dari berat badan tapi dipengauhi terutama oleh vitamin B kompleks yang menjadi variabel antara status gizi dan angular cheilitis. Penelitian lain yang mendukung pernyataan tersebut dilakukan di enam panti asuhan di Kota Madya Medan yang menunjukkan keterkaitan antara status gizi dengan angular cheilitis. Hasil penelitian tersebut menyatakan dari 107 anak panti asuhan yang mempunyai status gizi baik dijumpai 39,25% menderita angular cheilitis dan 60,75 % tidak menderita angular cheilits. Dari 56 anak dengan status gizi ringan dijumpai 51,79% menderita angular cheilitis dan 48,21% tidak menderita angular cheilitis. Dari 30 anak dengan status gizi sedang dijumpai 63,33% menderita angular cheilitis dan 36,67% tidak menderita angular cheilitis. Sedangkan 7 anak dengan status gizi buruk dijumpai 57,14% menderita angular cheilitis dan 42,86% tidak menderita angular cheilitis. Data tersebut menunjukkan adanya variasi yang sama dengan peneliti, bahwa baik anak dengan gizi baik maupun gizi buruk ada yang menderita angular cheilitis dengn tingkat keparahan yang variatif. 45 BAB VII PENUTUP 7.1 Kesimpulan Dari hasil peneitian ini, dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu: 1. Ada hubungan yang signifikan antara status gizi dengan angular cheilitis 2. Angular cheilitis dapat ditemukan pada anak dengan status gizi yang masih dalam proses perbaikan dikarenakan takaran beberapa nutrisi yang belum tepat pada anak 3. Vitamin B kompleks dan zat besi merupakan nutrisi yang sangat penting untuk mencegah angular cheilitis 7.2 Saran Dari peneitian yang ditemukan, status gizi anak yang buruk akan mempengaruhi keadaan rongga mulut, untuk itu dokter gigi dapat berperan serta untuk mendiagnosa status gizi seorang anak dan memberikan penanganan yang tepat. Namun, informasi ini masih kurang diketahui oleh masyarakat. Penulis menyarankan perlu diadakan penyuluhan mengenai kesehatan gigi dan mulut khususnya mengenai hubungan status gizi dengan angular cheilitis pada masyarakat 46 Mengingat keterkaitan antara status gizi dengan angular cheilitis yang singnifikan, penulis juga menyarankan adanya kerjasama antara praktisi kesehatan di bidang gizi dengan para dokter gigi dalam pemberantasan gizi buruk dan gizi kurang di Kota Makassar dengan segera mengenali anak dengan status gizi buruk atau gizi kurang sehingga dapat diintervensi dengan segera 47 DAFTAR PUSTAKA 1. Chrismawaty E. Peran struktur mukosa rongga mulut dalam mekanisme blockade fisik terhadap iritan. MIKGI; 2006:V:244 2. Yusran A, Barunawaty. Dua metode pemeriksaan untuk mendiagnosis lesi pada mukosa mulut. Maj.Ked.Gigi. (Dent.J.); 2007:III:395 3. Parlak A, Koybasi S, Yavuz T, Yesildad N, Anul H, Aydign I. Prevalence of oral lesion in 13 to 16 years old student in Duze, Turkey Oral Dis;2006;12(6):553-8. 4. Devani, Barankin D. Angular cheilitis. Newyork: Can Fam Physician 2007; 53:1022-23 5. Atmarita S. Analisis situasi gizi dan kesehatan masyarakat. Jakarta:Gramedia;2006.p.23-7 6. Faiz R. Angular cheilitis-overview cheilitis.[Internet]Available and symptoms of angular at:http://www.articlesbase.com/skin-care- articles/angular-cheilitis-overview-and-sypmtoms-of-angular-cheilitis285629.html>.Accessed 28 December 2010 7. Dowl W.Effect of angular cheilitis on children and teenagers.[internet]. Available at URL:http://www.EzineArticles/childandac.html. Accesses 25 December 2010 8. Muray J.J, Nunn J. H.Steele J. The prevention of oral disease 4th ed. Newyork:oxford University Press; 2008,p.177 9. Hari S. Angular cheilitis:Review of etiology and clinical management. K.D.J.[Internet] Available at:http://www.trivandrum.co.uk. Accessed 27 December 2010. 48 10. Deritana N, Kombong A. Gizi untuk pertumbuhan dan perkembangan. J.WATCH Jayawijaya. 2007;p.5-18 11. Tegeman CA, Davis JR. Nutritional Care 3th ed.St,Louis; Saunders Elsevier; 2010;p.251-9 12. Nasution N. Efek Suplementasi zinc dan besi pada pertumbuhan anak. J USU;2008:113 (75);p.82-96 13. Eschelemen MM. Introductory nutrition and nutrition therapy 3 th ed. Lippincott: Raven Publisher; 2007;p. 212-13 14. Muhilal, Fasli J. Angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Jakarta: Widya Karya pangan dan gizi VI. LIPI; 2006;p.62-9 15. Decker RT. Oral manifestation of nutrient deficiencies. ADA Journal 2006;65:355-361 16. Susan ZL. Angular cheilitis; Etiologi and diagnose. J. Practical Hyg;2009;6:31-6 17. Irelands R. Clinical textbook of dental hygiene and therapy. State avenue:Blackwell munksgaard; 2006,p. 52;6-3 18. Lubis S. Hubungan status gizi dengan keilitis angularis pada anak umur 6-12 tahun di enam panti asuhan di Kota Madya Medan. Dentika J Dent; 2006; 11:117;180-1 19. Supariasa IND. Bakri B. Fajar I. Penilaian status gizi 1 st ed;Jakarta: penerbit Buku Kedokteran EGC, 2006:36-63 20. Muray J.J, Nunn J.H, Steele J. G. The prevention of oral disease 4 th ed.New York: Oxford University Press; 2007,p.180-1 49 21. Kartika K. Indeks gizi. J USU. [Internet]. Available at:http://jada.ada.org/cgi/content/full/133/3/391. Accessed 25 Januari 2011. 50