1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia banyak tanaman yang dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai obat tradisional, salah satunya adalah tanaman temu giring (Curcuma heyneana Val.& v.Zijp) yang dimanfaatkan sebagai obat penyakit kulit (Supriadi, 2001). Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Shanti (2000) menunjukkan bahwa minyak atsiri temu giring diketahui memiliki aktifitas antijamur terhadap Tricophyton mentagrophytes dengan Kadar Hambat Minimal (KHM) sebesar 1%. Tricophyton mentagrophytes merupakan salah satu jamur yang dapat menyebabkan penyakit kulit yaitu Tinea pedis (Kumar dkk., 2011). Selain itu minyak atsiri temu giring juga memiliki aktivitas terhadap Candida albicans ATCC 10231 dengan KHM50 sebesar 0,5 % v/v (Pratiwi dkk., 2015) yang diketahui dapat menyebabkan penyakit candidiasis (Johnson, 2009). Dalam pengembangannya, minyak atsiri temu giring diformulasikan menjadi sedian topikal nanoemulsi minyak atsiri temu giring tipe o/w (oil in water) oleh Putri dkk. (2015) sebagai agen antijamur. Minyak atsiri memiliki sifat mudah menguap sehingga dengan diformulasikan menjadi nanoemulsi, efektifitas nanoemulsi menjadi meningkat. Hal tersebut dikarenakan minyak atsiri 2 terenkapsulasi oleh sistem nanoemulsi sehingga kemampuan menguapnya menjadi semakin kecil. Selain itu sediaan nanoemulsi diketahui dapat meningkatkan stabilitas minyak atsiri (Liang dkk., 2012) dan dapat meningkatkan aktivitas antijamur (Gupta dkk., 2010). Sediaan nanoemulsi memiliki ukuran droplet yang kecil sehingga nanoemulsi dapat tersebar secara merata pada kulit dan dapat menyebabkan terjadinya peningkatan penetrasi/absorbsi zat aktif ke dalam kulit yang dimungkinkan dapat mencapai saluran sistemik (Bouchemal dkk., 2004). Berdasarkan hasil penelitian Fang dkk. (2009) dan Kong dkk. (2011), sediaan nanoemulsi dapat menembus membran sel dan diketahui dapat menyebabkan terjadinya hemolisis eritrosit. Senyawa 1,8-sineol yang diketahui merupakan senyawa kandungan utama dari minyak atsiri temu giring juga diketahui berpotensi kecil menyebabkan terjadinya hemolisis eritrosit (Mendanha dkk., 2013). Oleh karena itu perlu adanya evaluasi toksisitas terhadap hemolisis eritrosit dari sediaan nanoemulsi minyak atsiri temu giring yang telah dikembangkan untuk mengetahui kemungkinan efek toksik yang ditimbulkannya terhadap eritrosit. Beberapa minyak atsiri juga diketahui dapat menyebabkan terjadinya iritasi pada kulit karena sifatnya yang mudah larut dalam minyak (Agusta, 2000; Dweck, 2009). Jika minyak atsiri terpapar pada kulit dalam jangka waktu yang 3 lama, kulit akan menjadi kemerahan, meradang dan dapat melepuh (Agusta, 2000). Selain itu kandungan utama dari minyak atsiri temu giring yaitu 1,8-sineol diketahui memiliki potensi yang kecil untuk menyebabkan iritasi kulit (Mendanha dkk., 2013). Oleh karena sifatnya yang iritatif dan sediaan nanoemulsi minyak atsiri temu giring yang telah dikembangkan ditujukan untuk pamakain topikal, maka perlu adanya evaluasi toksisitas terhadap iritasi akut dermal untuk mengetahui kemungkinan efek iritasi yang dapat ditimbulkan oleh sediaan tersebut. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk penelitian selanjutnya sebagai dasar pengembangan nanoemulsi minyak atsiri temu giring sebagai agen antijamur pada pemakaian topikal. B. Rumusan Masalah 1. Apakah minyak atsiri temu giring bentuk nanoemulsi dan bukan nanoemulsi dapat menyebabkan hemolisis eritrosit? 2. Apakah minyak atsiri temu giring bentuk nanoemulsi dan bukan nanoemulsi dapat menyebabkan iritasi akut dermal? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui apakah minyak atsiri temu giring bentuk nanoemulsi dan bukan nanoemulsi dapat menyebabkan hemolisis eritrosit. 4 2. Untuk mengetahui apakah minyak atsiri temu giring bentuk nanoemulsi dan bukan nanoemulsi dapat menyebabkan iritasi akut dermal. D. Manfaat Penenelitian 1. Memberikan informasi mengenai efek minyak atsiri temu giring bentuk nanoemulsi dan bukan nanoemulsi terhadap hemolisis eritrosit dan iritasi akut dermal. 2. Memberikan landasan bagi peneliti selanjutnya untuk melakukan uji klinis dan pengembangan produk. E. Tinjauan Pustaka 1. Tanaman Temu Giring a. Klasifikasi Tanaman Temu Giring Divisi : Spermatophyta Sub divisi: Angiospermae Kelas Bangsa Suku Marga Jenis : Monocotyledoneae : Zingiberales : Zingiberaceae : Curcuma : Curcuma heyneana Valeton & Zijp 5 (Anonim, 2008) b. Deskripsi Tanaman Gambar 1. Tanaman dan rimpang temu giring (Anonim, 2008) Temu giring merupakan tumbuhan semak, semusim, tegak, tinggi ±1 m. Batang semu terdiri dari pelepah daun, tegak, permukaan licin, membentuk rimpang dan berwarna hijau muda. Daun tunggal, permukaan licin, tepinya rata, ujung dan pangkal daun meruncing, pertulangannya menyirip, lebar 15-18 cm, panjang 40-50 cm, dan berwarna hijau muda. Rimpang bagian luar berwarna kuning kotor, irisan rimpang atau rimpang bagian dalam berwarna kuning. Braktea atau daun pelindung berwarna hijau muda pada bagian bawah, merah muda atau pink pada bagian atas, pangkal meruncing, ujung membulat, mahkota bunga dan kelopak bunga berwarna kuning muda (Anonim, 2008). 6 c. Kandungan Kimia dan Kegunaan Tanaman Temu Giring Rimpang temu giring mengandung saponin, flavonoid, dan minyak atsiri 5% yang berisi sesquiterpen, resin, kalsium oksalat, dan kurkuminoid (Anonim, 2001; Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991). Temu giring telah banyak digunakan sebagai obat dan kosmetik tradisional. Di Arab temu giring digunakan sebagai ramuan boreh untuk menghilangkan bau tidak enak akibat sering makan daging kambing. Temu giring juga dapat digunakan untuk mengobati kulit yang terkelupas dan luka (Heyne, 1950). Rimpangnya dapat digunakan untuk tapal tempat yang sakit, jamu untuk pengantin, campuran untuk membuat bedak, pelangsing badan, menghangatkan badan, membersihkan darah, obat penyakit kulit, dan juga untuk menghilangkan bau badan (Supriadi, 2001). d. Minyak Atsiri Rimpang Temu Giring Minyak atsiri rimpang temu giring mengandung 1,8-sineol (35,97%), β-pinen (7,66%), 2-Nonanol (6,52%), dan L-camphor (6,32%) (Putri dkk., 2015). Berdasarkan penelitian Zwaving dan Bos (1992), minyak atsiri temu giring juga diketahui mengandung 1,8-sineol (14,2%), isocurcumenol (7,4%), β-eudesmol (4,7%), curcumanolid (13,1%) dan dehidrocurdion (10,2%). Senyawa 1,8-sineol yang merupakan kandungan 7 utama dari minyak atsiri rimpang temu giring diketahui memiliki aktivitas sebagai antiinflamasi (Lima dkk., 2013), antioksidan pada konsentrasi 480 µg/mL (Culafic dkk., 2009), dan antijamur (Vilela dkk., 2009). Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa minyak atsiri rimpang temu giring memiliki aktivitas terhadap Candida albicans ATCC 10231 dengan KHM50 sebesar 0,5 % v/v (Pratiwi dkk., 2015). Selain itu minyak atsiri rimpang temu giring juga memiliki aktifitas terhadap jamur Tricophyton mentagrophytes dengan kadar hambat minimum (KHM) sebesar 1% (Shanti, 2000). Minyak atsiri dapat larut dengan baik di dalam minyak, sehingga kebanyakan minyak atsiri bersifat iritatif pada kulit dan selaput lendir. Jika minyak atsiri terpapar pada kulit dalam jangka waktu yang lama, kulit akan menjadi kemerahan, meradang dan dapat melepuh. Senyawa yang dapat menimbulkan kemerahan pada kulit selama beberapa hari adalah limonen, p-simen, α-pinen, dan felandren. Namun beberapa senyawa turunan oksigen dari beberapa monoterpen dalam minyak atsiri diketahui tidak menimbulkan efek kemerahan pada kulit, seperti linalool, geraniol, dan sineol (Agusta, 2000). Berdasarkan hasil penelitian Mendanha dkk. (2013), diketahui bahwa 1,8-sineol yang merupakan komponen utama minyak atsiri 8 rimpang temu giring memiliki potensi yang kecil untuk menyebabkan iritasi. Kitahara dkk. (1993) juga menyebutkan bahwa 1,8-sineol tidak menyebabkan iritasi pada kulit. Selain itu 1,8-sineol merupakan senyawa monoterpen tanpa gugus OH yang diketahui dapat menyebabkan efek hemolisis yang rendah. Efek hemolisis terlihat secara signifikan ketika konsentrasi 1,8-sineol lebih dari 10 mM (Mendanha dkk., 2013). 2. Nanoemulsi Nanoemulsi merupakan dispersi air dalam minyak (W/O) atau minyak dalam air (O/W) dengan ukuran droplet antara 20-600 nm. Dispersi tersebut distabilkan oleh adanya surfaktan yang membentuk lapisan antarmuka (Jaiswal dkk., 2015). Sediaan nanoemulsi memiliki penampakan yang transparan dan translucent. Terdapat empat komponen penting penyusun nanoemulsi yaitu fase air, fase minyak, surfaktan, dan kosurfaktan. Penambahan kosurfaktan dalam pembuatan nanoemulsi menyebabkan tegangan muka antara minyak dan air menjadi semakin kecil sehingga nanoemulsi menjadi lebih stabil, baik secara kinetik maupun fisik jika dibandingkan dengan makroemulsi (Gupta dkk., 2010). Nanoemulsi mampu mempengaruhi permeabilitas kulit selanjutnya dapat menembus lapisan stratum korneum dan berdifusi hingga mencapai dermis. Nanoemulsi merupakan cairan pembawa yang ideal untuk membawa obat. Hal tersebut dikarenakan pembuatan nanoemulsi cukup mudah, viskositasnya rendah, 9 memiliki kapasitas kelarutan yang tinggi untuk bahan hidrofilik dan lipofilik, serta memiliki ukuran droplet yang sangat kecil (Kogan dan Garti, 2006). Aplikasi nanoemulsi memberikan beberapa manfaat terhadap sistem penghantaran minyak atsiri, diantaranya dapat meningkatkan stabilitas, meningkatkan khasiatnya dan mampu mengontrol pelepasan zat aktif (Liang dkk., 2012). Menurut Gupta dkk. (2010), sediaan nanoemulsi juga mampu meningkatkan aktivitas antijamur. Dengan ukuran dropletnya yang kecil, nanoemulsi dapat tersebar secara merata pada kulit. Nanoemulsi juga cocok untuk sediaan yang digunakan secara topikal karena sistem emulsinya memiliki luas permukaan yang besar, tegangan antarmuka dari sistem dan droplet rendah sehingga dapat meningkatkan penetrasi zat aktif ke dalam kulit (Bouchemal dkk., 2004) dan tidak menimbulkan iritasi (Kong dkk., 2011). Akan tetapi beberapa penelitian juga menunjukkan terjadinya hemolisis eritrosit yang disebabkan oleh sediaan nanoemulsi (Fang dkk., 2009; Kong dkk., 2011). Nanoemulsi minyak atsiri temu giring yang digunakan dalam penelitian ini merupakan nanoemulsi hasil optimasi Putri dkk. (2015). Nanoemulsi tersebut terdiri dari minyak atsiri rimpang temu giring sebanyak 2,63%,VCO sebanyak 0,87%, PEG 400 sebanyak 9,33%, tween 80 sebanyak 18,67% dan akuades sebanyak 68,5%. VCO digunakan sebagai minyak pembawa dikarenakan VCO merupakan minyak yang terdiri dari 92% asam lemak jenuh dan mengandung 10 banyak asam lemak jenuh rantai pendek (70%) sepeti asam miristat dan asam laurat (Krishna dkk., 2010). Karena komposisinya tersebut, VCO memiliki sifat hidrofilisitas yang rendah sehingga cocok digunakan sebagai fase minyak untuk nanoemulsi tipe o/w (oil in water) (Suciati dkk., 2014) dan minyak pembawa untuk minyak atsiri temu giring (Putri dkk., 2015). 3. Uji Toksikologi Uji toksikologi atau uji toksisitas sangat penting dilakukan dalam pengembangan obat baru guna memastikan keamanan suatu obat. Suatu produk harus memenuhi persyaratan keamanan sebelum diproduksi dan dipasarkan sehingga keamanannya terjamin. Secara umum uji toksisitas bertujuan untuk menentukan dosis suatu sediaan uji yang dapat menimbulkan kematian atau gejala toksik pada organ atau jaringan, mengidentifikasi hubungan kausatif antara dosis yang diberikan dengan terjadinya perubahan fisiologis dan morfologi suatu organisme serta melakukan monitoring terkait variasi hewan uji dengan responnya terhadap sediaan uji (Donatus, 2005). Secara umum uji toksisitas terbagi menjadi dua kategori, yaitu uji toksisitas tak khas dan uji toksisitas khas. Uji toksisitas tak khas adalah uji toksisitas yang dirancang untuk mengevaluasi keseluruhan efek toksik suatu senyawa pada hewan uji. Uji toksisitas akut, subkronis, dan kronis merupakan uji toksisitas tak khas. Uji toksisitas akut dirancang untuk mengetahui efek tosik 11 suatu senyawa yang dipejankan dalam waktu singkat. Uji toksisitas subkronik dirancang untuk mengetahui efek toksik suatu senyawa setelah pemejanan dalam waktu yang panjang (28 atau 90 hari). Uji toksisitas kronik dirancang untuk mengetahui efek toksik suatu senyawa yang dipejankan dalam waktu sedikitnya 12 bulan sampai 2 tahun pada hewan rodent dan 6-12 bulan pada hewan non-rodent. Sedangkan uji toksisitas khas adalah uji toksisitas yang dirancang untuk mengevaluasi secara rinci efek yang khas/spesifik suatu senyawa pada berbagai hewan uji, seperti uji karsinogenik, potensiasi, kulit, mata, reproduksi, mutagenik dan perilaku (Loomis, 1978). a. Uji Iritasi Akut Dermal Iritasi merupakan suatu reaksi kulit terhadap zat kimia, misalnya basa kuat, asam kuat, pelarut, dan deterjen yang dapat menimbulkan inflamasi dan rasa gatal (Lu, 1991). Iritasi yang ditimbulkan oleh suatu zat kimia bersifat reversible (Loomis, 1978). Berdasarkan pedoman uji toksisitas klinik secara in vivo pada Peraturan Kepala BPOM RI No.7 tahun 2014 yang mengacu padaOECD No.404 tahun 2002, uji iritasi akut dermal dilakukan dengan menggunakan hewan uji kelinci albino. Digunakan kelinci dalam uji ini dikarenakan kelinci memiliki daya absorbsi yang hampir sama dengan daya absorbsi pada manusia, sehingga kelinci adalah model yang tepat untuk uji iritasi akut dermal (Gad dan Chengelis, 1997). 12 Uji iritasi akut dermal dilakukan untuk mendeteksi efek yang muncul setelah pemaparan sediaan uji dalam dosis tunggal. Pemaparan dilakukan selama 3 menit sampai 4 jam dan selanjutnya tingkat iritasi dinilai pada interval waktu tertentu, yaitu pada jam ke 1, 24, 48 dan 72 setelah pemaparan sediaan uji. Untuk melihat reversibilitas, pengamatan dilanjutkan sampai 14 hari. Uji iritasi akut dermal bertujuan untuk menilai dan mengevaluasi karakteristik suatu zat apabila terpapar pada kulit (Anonim, 2014). b. Uji Hemolisis Eritrosit Eritrosit atau sel darah merah merupakan salah satu komponen dalam darah dengan fungsi utama mengangkut hemoglobin yang selanjutnya membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh. Disamping mengangkut hemoglobin, sel-sel darah merah juga memiliki fungsi lain, yaitu sel darah merah mengandung banyak sekali karbonik anhidrase yang akan mengkatalisis reaksi antara karbon dioksida dan air, sehingga akan meningkatkan kecepatan reaksi antara karbon dioksida dan air menjadi beberapa kali ribu lipat. Hemoglobin dalam sel darah merah juga merupakan penyangga asam-basa yang utama (Guyton, 1982). Eritrosit berbentuk cakram bikonkaf yang pembentukannya terjadi di dalam sumsum tulang. Setiap eritrosit memiliki diameter 7,5 µm dan tebal 2 µm, serta masing-masing mengandung sekitar 29 pg hemoglobin (Ganong, 1989). 13 Pada laki-laki normal jumlah rata-rata sel darah merah per milliliter kubik adalah 5.200.000 dan pada wanita normal 4.700.000 (Guyton, 1982). Kerusakan membran eritrosit dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah penambahan larutan hipertonis, hipotonis dalam darah, pemanasan dan pendinginan, obat, trauma mekanik, kontaminasi/infeksi mikroba (Adriansyah dkk., 2009, Ganong, 1989). Adanya kerusakan pada membran eritrosit akibat ketoksikan yang terjadi pada membran eritrosit dapat dideteksi dengan menggunakan parameter-parameter penting berikut ini, seperti perubahan bentuk membran, hemolisis, kehilangan ion potasium, autooksidasi membran lipid, pengendapan protein membran, perubahan fluiditas eritrosit, dan perubahan rasio volume terhadap luas permukaan membran sel (Siagian, 2007). Pada penelitian ini digunakan parameter hemolisis untuk mengevaluasi toksisitas sediaan nanoemulsi dan minyak atsiri temu giring. Hemolisis adalah pecahnya sel eritrosit (sel darah merah) yang menyebabkan terjadinya pelepasan hemoglobin ke dalam mediumnya (plasma) (Neun dan Dobrovolskaia, 2011). Hemolisis eritrosit menunjukkan terjadinya perubahan membran sel yang sangat jelas ketika hemolisis terjadi. Membran sel darah merah yang terdiri dari protein dan lipid akan rusak dan akhirnya pecah sehingga menyebabkan keluarnya berbagai senyawa yang ada di dalam sel darah merah, seperti hemoglobin, ion-ion, dan beberapa jenis enzim. Hemoglobin itulah 14 yang memberikan warna merah pada larutan sel darah merah yang mengalami hemolisis (Niki dkk., 1988). Penggunaan pelarut seperti dimetil isosorbit, dimetil asetamid, PEG 400, dan etanol dapat berpotensi menyebabkan hemolisis eritrosit secara in vitro dengan nilai LD50 berturut-turut sebesar 39,5% (dimetil isosorbid); 37% (dimetil asetamid); 30% (PEG 400) dan 21,1% (etanol) (Reed dan Yalkowsky, 1985). Berdasarkan hasil penelitian Noudeh dkk. (2008), tween 80 pada konsentrasi 0,02 mM diketahui dapat menyebabkan 58-59% hemolis eritrosit. Selain itu detergen seperti triton X-100 juga diketahui dapat menyebabkan hemolisis eritrosit. Triton X-100 inilah yang umumnya digunakan sebagai kontrol positif pada uji hemolisis eritrosit (Dobrovolskaia dkk., 2008; Prete, 2010). Uji hemolisis eritrosit dapat dilakukan dengan metode pembacaan absorbansi menggunakan microplate reader pada panjang gelombang 540 nm. Prinsip dari metode ini adalah dengan memcampurkan sel eritrosit dan sampel uji dengan perbandingan 4:1 dalam ependorf steril dan selanjutnya diinkubasi selama 5 jam dalam inkubator CO2 pada suhu 37°C dan 5% CO2. Tingkat hemolisis dinilai berdasarkan absorbansi yang terbaca pada microplate reader. Absorbansi menggambarkan tingkat hemolisis eritrosit yang terjadi ditandai dengan meningkatnya nilai absorbansi. Semakin tinggi nilai absorbansi yang terbaca maka semakin tinggi pula tingkat hemolisis yang terjadi, begitu juga sebaliknya. 15 Semakin rendah nilai absorbansi yang terbaca maka semakin rendah pula tingkat hemolisis yang terjadi (Zhu dkk., 2002). Selain menggunakan metode pembacaan absorbansi dengan microplate reader, pada uji hemolisis eritrosit metode pewarnaan trypan blue juga merupakan metode yang umum digunakan untuk menghitung tingkat proliferasi sel. Metode ini didasarkan atas adanya perbedaan permeabilitas membran antara sel hidup dan sel mati, sehingga tingkat penyerapan zat warna melalui kedua membran tersebut juga berbeda. Sel hidup tidak dapat menyerap pewarna trypan blue, hanya sel yang mengalami kerusakan membran yang dapat menyerap pewarna tersebut. Sel-sel yang mengalami kerusakan membran akan berwarna biru dan tampak suram atau gelap, sedangkan sel yang hidup akan tampak jernih, berbentuk bulat dan struktur dinding selnya kompak. Oleh karena itu metode pewarnaan trypan blue dapat digunakan untuk membedakan antara sel hidup dengan sel mati (Tantradwitiya, 2009). F. Landasan Teori Minyak atsiri temu giring merupakan salah satu bahan alam yang diketahui memiliki aktivitas antijamur. Penelitian terdahulu menyebutkan bahwa minyak atsiri temu giring memiliki aktivitas terhadap Candida albicans ATCC 16 10231 dengan KHM50 sebesar 0,5 % v/v serta Trichophyton mentagrophytes dengan kadar bunuh minimal (KHM) sebesar 1%. Beralihnya masyarakat ke pengobatan bahan alam mendorong adanya pengembangan minyak atsiri temu giring menjadi sediaan nanoemulsi yang dapat meningkatkan stabilitas dan aktivitasnya sebagai antijamur. Minyak atsiri temu giring mengandung 1,8-sineol (35,97%), β-pinen (7,66%), 2-nonanol (6,52%), dan L-camphor (6,32%). Senyawa 1,8-sineol yang merupakan kandungan utama dari minyak atsiri temu giring diketahui tidak menyebabkan iritasi kulit. Menurut hasil penelitian terdahulu, 1,8-sineol berpotensi menyebabkan hemolisis eritrosit. Efek hemolisis terlihat signifikan pada kadar lebih dari 10 mM. Selain itu sediaan nanoemulsi diketahui dapat menyebabkan terjadinya hemolisis eritrosit secara in vitro. Akan tetapi data mengenai ketoksikan nanoemulsi minyak atsiri temu giring terhadap iritasi dermal dan hemolisis eritrosit belum ada. Oleh karena itu perlu adanya evaluasi toksisitas dari nanoemulsi minyak atsiri temu giring untuk mengetahui kemungkinan efek toksik yang ditimbulkannya. 17 G. Hipotesis 1. Minyak atsiri temu giring bentuk nanoemulsi dan bukan nanoemulsi dapat menyebabkan hemolisis eritrosit. 2. Minyak atsiri temu giring bentuk nanoemulsi dan bukan nanoemulsi tidak menyebabkan iritasi akut dermal.