Impatiens balsamina

advertisement
g
ISSN 0216-2393
GRADIEN
Vol. 2 No. 2 Juli 2006
JURNAL MIPA
H2O
NaCl
H2SO4
Linear (H2SO4)
Linear (NaCl)
Linear (H2O)
0.44
0.43
Absorbsi
0.42
0.41
A
A1 = -0.0056t + 0.4404 (H2O)
0.4
A2 = -0.0053t + 0.4363(NaCl)
0.39
A3 = -0.0047t + 0.4257(H2SO4)
0.38
5
10
15
Waktu
20
25
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BENGKULU
Gradien
Vol. 2
No. 2
Hal. 152-195
Bengkulu,
Juli 2006
ISSN
0216-2393
g
ISSN 0216-2393
GRADIEN
Vol. 2 No. 2 Juli 2006
JURNAL MIPA
DAFTAR ISI
Fisika
1. Pengukuran Konduktivitas Termal Bata Merah Pejal (Halauddin)
2. Tegangan Induksi Pada Saluran Pipa Minyak Yang Paralel Dengan Saluran
Transmisi Listrik (V. Sozi Karnefi)
3. Kecepatan Korosi Oleh 3 Bahan Oksidan Pada Plat Besi (Zul Bahrum
Caniago)
4. Hubungan Aktivitas Gempa Tektonik Daerah Subduction Indo-Australia
Eurasia Segmen Enggano Tahun 2000 Dengan Aktivitas Gempa Vulkanik
Gunungapi Kaba Dan Dempo (Refrizon)
152-155
156-160
161-166
167-171
Kimia
5. Perlakuan Fraksinasi Terhadap Kandungan β-Karotene Pada Minyak Merah
(Red Palm Olein) (Syafnil)
6. Karakteristik Senyawa Alkaloid Fraksi Etil Asetat Hasil Isolasi Dari Daun
Tumbuhan Pacah Piring (Ervatamia Coronaria (Jacq.) Stapf) (Evi Maryanti)
7. Kajian Pengaruh Suhu Pada Sintesis Trifenil Metil Klorida Dari Trifenil
Metanol Dan Asetil Klorida (Eni Widiyati)
8. 6-Metoksi, 7 Hidroksi Kumarin dari Daun Pacar Air (Impatiens Balsamina
Linn.) (Morina Adfa)
9. Karakteristik Kinerja Dari Beberapa Membran Datar (Irfan Gustian)
172-175
176-178
179-182
183-186
187-191
Matematika
10. Linierisasi Matriks Polynomial (Zulfia Memi Mayasari)
192-195
Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 152-155
Pengukuran Konduktivitas Termal Bata Merah Pejal
Halauddin
Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu, Indonesia
Diterima 12 Juni 2006; disetujui 1 Juli 2006
Abstrak - Telah dilakukan pengukuran konduktivitas termal (k) dengan metode plat tunggal dari beberapa jenis bata
merah pejal yang berasal dari daerah di provinsi Bengkulu diantaranya dari Nakau, Pinang Mas, Blok V, Blok VI,
Talang Pauh, Medan Baru dan Pekik Nyaring. Pengukuran ini bertujuan untuk melihat kekuatan bata merah pejal
berdasarkan besarnya konduktivitas termalnya. Kekuatan fisik bata merah sangat ditentukan oleh deformasi termal
yang berhubungan dengan ukuran rata-rata pori (porous) yang dipengaruhi oleh distribusi ukuran partikel, bentuk
partikel dan struktur tanah dan jenis tanah serta komposisi bahan pengisi pada saat dilakukan proses pemanasan
(pematangan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga konduktivitas termal masing-masing sampel batu merah
pejal memberikan kontribusi yang berbeda, namun hasilnya tidak memberikan perbedaan angka yang signifikan. Batu
merah pejal yang mempunyai harga konduktivitas termal yang paling tinggi adalah batu merah yang berasal dari
daerah Nakau dengan k = 0,380 (J s-1 m-1 K-1), sedangkan batu merah pejal yang mempunyai harga konduktivitas termal
yang paling rendah adalah batu merah yang berasal dari daerah Pekik Nyaring dengan konduktivitas termal k = 0,150
(J s-1 m-1 K-1).
Kata Kunci : Konduktivitas termal; deformasi termal; metode plat tunggal
1. Pendahuluan
Untuk memenuhi kriteria suatu bangunan yang kokoh
harus ada dua persyaratan utama yaitu kondisi tanah
tempat akan dibangunnya bangunan sipil tersebut serta
material yang digunakan. Para teknisi lapangan harus
mampu memperlakukan tanah sebagaimana juga
halnya material-material lain yang dihadapinya seperti
baja dan beton. Teknisi dituntut mampu melakukan
pengenalan atau identifikasi dan pengklasifikasian
tanah sehingga dapat diketahui apakah material sudah
cukup memadai untuk konstruksi sebuah bangunan [4] .
Salah satu material yang sangat berpengaruh untuk
material bangunan adalah bata merah pejal yang bahan
bakunya tanah. Kekuatan fisik bata merah sangat
ditentukan oleh jenis tanah serta komposisi bahan
pengisi pada saat dilakukan proses pemanasan
(pematangan). Pada proses pemanasan bertujuan untuk
memperbaiki sifat fisisnya seperti deformasi termal,
sifat-sifat hantaran kalor dan listrik [5]. Bata merah
pejal yang diharapkan setelah dilakukan uji
konduktivitas termal ini adalah memiliki daya hantar
panas yang tinggi, kekuatan tinggi, tahan terhadap
korosi dan bahan kimia.
Faktor paling dominan yang menentukan dalam proses
pemanasan (pematangan) adalah deformasi termal yang
berhubungan dengan ukuran rata-rata pori (porous)
yang dipengaruhi oleh distribusi ukuran partikel,
bentuk partikel dan struktur tanah. Secara garis besar,
makin kecil ukuran partikel, makin kecil pula ukuran
pori menandakan bahan tersebut mempunyai
konduktivitas sangat tinggi, sangat layak digunakan
sebagai bahan bangunan. Sebaliknya semakin besar
ukuran pori menandakan bahan tersebut mempunyai
konduktivitas sangat rendah artinya kurang layak
digunakan sebagai bahan bangunan. Oleh karena itu
pada penelitian ini akan ditentukan pada temperatur
berapa bata merah pejal mempunyai harga
konduktivitas yang sangat tinggi.
1.1. Perpindahan Panas
Bila dalam suatu sistem terdapat gradien temperatur,
atau bila ada dua sistem yang temperaturnya berbeda
bersinggungan, maka akan terjadi perpindahan kalor.
Proses dimana sesuatu yang dipindahkan diantara
sebuah sistem dan sekelilingnya akibat perbedaan
temperatur ini berlangsung disebut kalor [6].
153
Halauddin, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 152-155
Perpindahan kalor pada umumnya terjadi dengan tiga
cara yaitu : konduksi (conduction); konveksi
(convection); serta radiasi (radiation).
a. Konduksi - Perpindahan kalor secara perambatan
atau konduksi adalah perpindahan kalor dari suatu
bagian benda padat ke bagian lain dari benda padat
yang sama, atau dari benda padat yang satu ke benda
padat yang lain karena terjadi persinggungan fisik atau
menempel tanpa terjadinya perpindahan molekulmolekul dari benda padat itu sendiri [1].
b. Konveksi - Perpindahan kalor secara aliran atau
konveksi adalah perpindahan kalor yang dilakukan oleh
molekul-molekul suatu fluida (cair atau gas). Molekulmolekul fluida tersebut dalam gerakannya melayang
kesana-kemari membawa sejumlah kalor [1].
Konveksi adalah perpindahan panas melalui media gas
atau cairan seperti udara di dalam es dan air yang
dipanaskan di dalam ceret. Udara bersinggungan
dengan pipa-pipa Evaporator yang dingin di dalam
lemari. Udara mengambil panas, udara akan
merenggang dan menjadi ringan, kemudian mengalir
lagi ke atas sampai udara bersinggungan lagi dengan
pipa evaporator [6].
c. Radiasi - Perpindahan kalor secara pancaran atau
radiasi adalah perpindahan kalor suatu benda ke benda
yang lain melalui gelombang elektromagnetik tanpa
medium perantara. Bila pancaran kalor menimpa suatu
bidang, sebagian dari kalor pancaran yang diterima
benda tersebut akan dipancarkan kembali (re-radiated),
dipantulkan (reflected) dan sebagian dari kalor akan
diserap [1].
1.2. Teori Partikel Zat
Setiap zat baik berbentuk padat, cair maupun gas
tersusun dari partikel-partikel. Yang mempunyai
kecenderungan selalu bergetar. Sifat bergetar partikelpartikel zat tergantung pada jarak partikel pada zat
sangat berbeda dari ketiga jenis zat seperti yang telah
disebutkan di atas. Jarak antar partikel pada zat padat
sangat dekat; jarak partikel pada zat fluida lebih jauh
dibandingkan dengan jarak antar partikel pada zat
padat; sedangkan pada gas, jarak antar partikel
berjauhan. Hal inilah yang menyebabkan gaya tarikmenarik antar partikel atau kohesi pada zat padat lebih
besar daripada kohesi zat cair. Karena itu gerak
partikel-partikel pada zat padat sangat terbatas, dan
hanya bergetar pada tempat tertentu [6].
zat padat
zat cair
gas
gas
Gambar 1. Ilustrasi gerakan partikel-partikel zat [6].
1.3. Konduktivitas dan Resistivitas
Konduktivitas panas suatu bahan adalah ukuran
kemampuan bahan untuk menghantarkan panas
(termal) [2]. Berlaku untuk sebuah bahan berbentuk
balok dengan penampang lintang A, energi yang
dipindahkan persatuan waktu antara dua permukaan
berjarak l, sehingga diperoleh dari persamaan
E λA(T2 − T1 )
(1)
t
=
l
Dengan λ merupakan konduktivitas termal, T1 dan T2
merupakan temperatur permukaan.
Tabel 1. Koefisien konduktivitas termal beberapa
jenis bahan [6].
Satuan
Jenis Bahan
Kal s-1 m-1 K-1
J s-1 m-1 K-1
Perak
420
100
Tembaga
380
92
Aluminium
200
50
Baja
40
11
Kaca
0,84
2.10-1
Air
0,56
1,4.10-1
Asbes
0,16
0,4.10-1
Kayu
0,08
0,2.10-1
Gabus
0,04
0,1.10-1
Udara
0,02
0,06.10-1
Persamaan (1) akan berlaku dengan anggapan bahwa
permukaan yang berhadapan itu sejajar dan dengan
asumsi tidak ada panas yang hilang melalui sisi balok.
Satuan SI untuk konduktivitas termal adalah Js-1 m-1 K-1.
Kebalikan dari konduktivitas termal sebuah disebut
resistivitas. Dalam satuan SI, konduktivitas listrik
Halauddin, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 152-155
diukur dalam siemens per meter. Bila menyangkut
fluida, konduktivitas elektrolit diperoleh dari
perbandingan kerapatan arus terhadap kuat medan
listrik.
3. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan uji laboratorium yang
dilakukan di laboratorium Termodinamika (Gedung
Basic Sains), Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Bengkulu. Penelitian ini
dilakukan melalui dua tahap pelaksanaan yaitu
persiapan bahan, dan pengujian konduktivitas termal.
Bahan yang diperlukan hanya beberapa bata merah
pejal yang dapat diperoleh di tempat pembuatannya di
Kotamadya Bengkulu dan Kabupaten Bengkulu Utara,
Provinsi Bengkulu. Sampel bata hanya diambil dari
beberapa nama tempat pabrik pembuatannya saja,
peneliti tidak melakukan perbandingan konduktivitas
termal dari beberapa lokasi di seluruh Provinsi
Bengkulu. Digunakannya bata merah pejal sebagai
bahan yang diteliti adalah untuk membuktikan teori
tentang konduktivitas termal bahwa semakin besar
konduktivitas suatu bahan mempunyai daya hantar atau
kemampuan termal yang tinggi direkomendasikan akan
semakin layak juga digunakan untuk bahan bangunan
[2].
Setelah persiapan bahan, selanjutnya dilakukan uji
konduktivitas dari bata merah pejal. Konduktivitas
termal sampel diuji dengan menggunakan metode plat
tunggal [3]. Sampel dari sisi bawah dipanaskan pada
temperatur sama dengan temperatur kamar, sehingga
menjamin tidak ada kalor yang masuk atau keluar ke
lingkungan. Pada sisi atas dipasang pendingin,
sehingga kalor akan mengalir ke temperatur yang lebih
rendah. Laju aliran kalor ∆Q, gradien temperatur ∆T,
luas plat A, dan ketebalan plat d diukur. Energi listrik
∆W yang diserap pemanas selama interval waktu ∆t
sebanding dengan kuantitas kalor yang mengalir pada
sampel selama selang waktu tertentu. Bila diasumsikan
tidak ada kehilangan energi, maka kuantitas yang
diperoleh digunakan untuk menghitung konduktivitas
termal k sampel dengan persamaan :
k=
∆W d
∆t A ∆T
154
(2)
4. Hasil Dan Pembahasan
Data dan hasil pengamatan penelitian ini adalah
sebagaimana tercantum pada tabel 2.
Tabel 2. Nilai Konduktivitas Termal (k) hasil pengujian
laboratorium berdasarkan perbedaan nilai energi
listrik yang dibutuhkan
Bila dilihat dari besarnya permeabilitas untuk semua
sampel bata merah pejal yang diperoleh, baik yang
berasal dari Kotamadya Bengkulu dan Kabupaten
Bengkulu Utara. Ternyata bata merah pejal yang
mempunyai nilai konduktivitas termal yang paling
tinggi adalah bata merah pejal yang berasal dari daerah
Nakau, Bengkulu Utara. Bata merah pejal yang lainnya
mempunyai konduktivitas termal yang bagus juga,
karena hasilnya tidak memberikan perbedaan angka
yang signifikan. Dapat direkomendasikan sesuai
dengan teori yang diungkapkan oleh [2] bahwa bata
merah pejal Nakau mempunyai daya hantar atau
kemampuan termal yang sangat tinggi jika
dibandingkan dengan bataan merah pejal lainnya.
Artinya komposisi dari bata merah pejal Nakau bila
dibandingkan dengan bata merah pejal lainnya
mempunyai pori dan ukuran partikel yang sangat
rendah, sehingga dapat mempunyai kemampuan termal
yang sangat tinggi.
5. Kesimpulan
Bata merah pejal yang berasal dari daerah Nakau
mempunyai konduktivitas termal (k) yang tinggi
sebesar 0,380 (J s-1 m-1 K-1), mengindikasikan sangat
155
Halauddin, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 152-155
layak digunakan sebagai bahan bangunan karena
memiliki daya hantar panas yang tinggi, kekuatan
tinggi dan tahan terhadap korosi.
Perbedaan nilai konduktivitas antara semua sampel
tidak memberikan nilai yang signifikan, artinya mutu
dan kualitas bata merah pejal lainnya masih tergolong
bagus juga digunakan sebagai bahan bangunan.
Perbedaan konduktivitas termal pada saat diuji menurut
pengamatan peneliti disebabkan oleh beberapa faktor
yaitu bata merah pejal Nakau mempunyai komposisi
tanah yang sangat bagus serta pada saat dilakukan
pemanasan (pematangan) lebih sempurna.
Peneliti menyarankan agar penelitian dapat dilanjutkan
dengan mengambil semua jenis bata merah pejal yang
ada di Provinsi Bengkulu dan penelitian terus secara
kontinyu dilakukan sebagai suatu uji kelayakan untuk
bata merah pejal sebagai bahan bangunan serta ada
koordinasi dari Dinas terkait demi untuk menjaga mutu
serta kualitas, melihat posisi daerah Bengkulu
mempunyai potensi gempa sangat besar.
Daftar Pustaka
[1] Incropera, FP and Witt, P., Fundamental of Heat
Transfer, John Wiley and Sons, New York, 1981.
[2] Isaacs, Alan., Kamus Lengkap FISIKA, 1994, Erlangga.
[3] Leybold., Physics Experiment, Volume 3, 1986,
Leybold GMBH, Hurth,.
[4] Shirley, LH., Penuntun Praktis Geoteknik dan Mekanika
Tanah (Penyelidikan Lapangan & Laboratorium), 1994,
Penerbit NOVA, Bandung.
[5] Surdia, T. dan Saito, S., Pengetahuan Bahan Teknik,
1985, P.T. Pradnya Paramita, Jakarta.
[6] Zeemansky, W, Mark., Kalor dan Termodinamika, Edisi
Keenam, Terjemahan dari Heat and Thermodynamics
oleh The How Liong, 1986, ITB, Bandung.
Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 156-160
Tegangan Induksi Pada Saluran Pipa Minyak
Yang Paralel Dengan Saluran Transmisi Listrik
V. Sozi Karnefi
Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu, Indonesia
Diterima 30 Mei 2006; Disetujui 1 Juli 2006
Abstrak - Akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk membangun koridor energi sedemikian rupa, sehingga pemakaian
lahan akan lebih baik. Pembangunan saluran transmisi listrik yang paralel dengan saluran pipa minyak dapat
menimbulkan tegangan induksi pada saluran pipa minyak. Tegangan ini disebabkan adanya kopling elektrostatis dan
kopling elektromagnetis. Telah dilakukan penelitian dampak dari kopling elektromagnetis saluran transmisi listrik 115
KV yang paralel dengan saluran pipa minyak di daerah kerja PT. Caletex Pasific Indonesia di daerah Buatan –
Zamrud. Ternyata ada tegangan induksi pada saluran pipa minyak sebesar 9,7132 V sampai 11,0525 V.
Kata Kunci: Induksi; listrik; konduktor
1. Pendahuluan
Untuk menyalurkan energi listrik dari pusat-pusat
pembangkit tenaga listrik (electric power station) ke
pusat-pusat beban (load centers) dapat dilakukan
melalui saluran transmisi udara (overhead line) atau
saluran transmisi bawah tanah (underground line) [6].
Jalur yang diambil untuk saluran transmisi tersebut
biasanya disebut koridor energi. Begitu pula jalur yang
diambil untuk saluran pipa minyak dari lapangan
minyak ke tempat-tempat yang diperlukan atau
digunakan juga dapat dinamakan koridor energi.
Akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk membangun
koridor energi demikian rupa, sehingga pemakaian
lahan lebih baik. Pembangunan saluran transmisi listrik
dan saluran pipa minyak dapat menimbulkan dampak
lingkungan yang kurang baik. Oleh karena itu beberapa
negara menganjurkan agar penyaluran energi dari suatu
tempat ke tempat yang lain dilakukan secara paralel
pada koridor energi yang sama. Tetapi hal ini
menimbulkan masalah pula pada sistem komunikasi,
keamanan dan sebagainya. Masalah akan lebih
berkembang bila selain saluran transmisi listrik pada
koridor energi yang sama terdapat pula saluran pipa
minyak yang paralel dengan saluran transmisi listrik
tersebut. Dalam hal yang seperti ini saluran pipa
minyak akan menjadi bagian dari sirkuit listrik pada
jaringan transmisi, disebabkan karena kopling
elektrostatis dan kopling elektromagenetis. Kopling ini
dapat menimbulkan arus dan tegangan induksi pada
saluran pipa minyak.
Besarnya kopling dipengaruhi oleh:
•
Besar phasor tegangan pada konduktor
(penghantar).
•
Besar phasor arus pada konduktor.
•
Jarak antar konduktor.
•
Jarak konduktor-konduktor dengan saluran
pipa.
•
Ketidakseimbangan relatif dari arus dan
tegangan.
Timbulnya medan elektromagnet disebabkan karena
adanya gejala fisika yang dikenal sebagai hukum
tangan kanan Ampere yakni, bila ada arus yang
mengalir pada sebuah kawat pengantar, maka akan
menimbulkan medan elektromagnet yang mengelilingi
kawat penghantar tersebut dengan arah putaran maju
sekrup. Medan elektromagnet tersebut akan
melepaskan
tenaga
kepada
benda-benda
di
sekelilingnya.
Keberadaan saluran transmisi listrik yang berdekatan
dan paralel dengan saluran pipa minyak, akan
menimbulkan permasalahan bagi mereka yang bekerja
157
V. Sozi Karnefi, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 156-160
pada saluran pipa minyak. Hal ini disebabkan muatan
elektrostatis yang timbul pada peralatan dan bagianbagiannya yang dekat dengan transmisi listrik, sebagian
muatan disebabkan oleh penghubung kapasitas dan
dapat membuat shock para pekerja. Di samping itu
tegangan induksi yang terjadi pada saluran pipa minyak
juga akan mempercepat proses pengkaratan (korosi)
pada saluran pipa minyak.
Pada bulan Januari 1976, ITT Research Institute dan
Electric Power Research Institute serta American Gas
Association berhasil meneliti adanya tegangan induksi
pada saluran pipa gas yang diakibatkan oleh saluran
transmisi listrik 60 Hz yang berdekatan dengan saluran
pipa gas. Mereka berhasil memperkirakan tegangan
induksi yang terjadi dengan teori sumber terdistribusi,
yakni mengukur dan menghitung puncak-puncak
medan listrik serta memitigasi (memperingan) efek
induksi tersebut.
Di samping itu para pakar Amerika yang tergabung
pada Enviromental Protection Agency (EPA) dan
didukung oleh Electric Power Research Institute,
berhasil menemukan adanya akibat imbasan medan
elektromagnet lemah dari aliran listrik berfrekuensi
rendah (60Hz) dapat mengakibatkan gangguan
kesehatan, di antaranya penyakit kanker otak, leukemia
dan lain-lain.
Dalam penelitian ini dibahas tegangan induksi yang
terjadi pada saluran pipa minyak yang dititikberatkan
pada cara memperkirakan dan mengukur tegangan
induksi yang diakibatkan medan magnet saluran
transmisi listrik 115 Kv yang paralel dengan saluran
pipa minyak [3]. Untuk mengintepretasi data tegangan
induksi, yang perlu diperhatikan adalah jarak antara
konduktor dengan saluran pipa, karena perbedaan jarak
akan mempengaruhi harga faktor kopling dan akan
mempengaruhi tegangan induksi yang terjadi.
Untuk membahas tegangan induksi yang terjadi pada
saluran pipa minyak, terlebih dahulu dibahas induksi
medan magnet dan saluran transmisi listrik, kemudian
cara menginterpretasi pengaruh induksi medan magnet
saluran transmisi listrik pada pipa. Inti dari penelitian
ini memperkirakan tegangan induksi yang terjadi pada
saluran pipa minyak.
2. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini pengamatan dan pengukuran data
yang diperlukan dilakukan pada lokasi daerah kerja PT.
Caletex Pacific Indonesia, dengan saluran transmisi
listrik 115 Kv yang paralel dan berdekatan dengan
saluran pipa minyak sepanjang 9 km di 16 titik (lokasi).
Besaran yang diukur adalah: jarak antar konduktor,
tiang listrik dengan pipa, antar tiang listrik, permukaan
tanah dengan konduktor, resistansi dan reaktansi
konduktor, resistansi dan reaktansi tanah yang
didasarkan pada tabel Carson serta besarnya arus yang
mengalir pada tiap konduktor.
Tegangan induksi telah diketahui dari hasil perkalian
arus urutan nol, faktor kopling dan panjang saluran
transmisi listrik paralel dengan saluran pipa. Untuk
membuktikan kebenarannya dilakukan pengukuran
langsung di 8 titik lokasi.
Pada prinsipnya untuk mengetahui berapa harga
tegangan pada suatu terminal listrik adalah mengukur
selisih atau beda potensial antara dua titik. Dalam hal
ini dilakukan pengukuran beda potensial antara tiang
listrik dengan saluran pipa, yaitu dengan cara
menghubungkan tiang listrik yang ditanahkan
(grounded) dengan menggunakan kabel 12 mm ke Volt
meter (Fluke multi meter digital 8060 True RMS) di
satu titik dan menghubungkan pada permukaan pipa di
titik lain.
3. Hasil dan Pembahasan
Hasil pengukuran harga beda potensial yang terjadi
antara dua titik pada Volt meter dapat dilihat pada tabel
1. Sedangkan hubungan faktor kopling dan tegangan
induksi dapat dilihat pada gambar 1.
Dari Gambar 1 terlihat adanya hubungan antara
tegangan induksi Epo dengan faktor kopling ZCF,
semakin besar harga faktor kopling semakin besar pula
harga tegangan induksi dan semakin dekat jarak
V. Sozi Karnefi, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 156-160
158
konduktor dengan saluran pipa tegangan induksi juga
semakin besar [7].
dengan arus yang mengalir dan tegangan induksi juga
berbanding lurus dengan jumlah sistem.
Tabel 1. Data Hasil Perhitungan dan PengukuranTegangan
Induksi pada Saluran Pipa Minyak
Pada dasarnya sistem transmisi yang digunakan untuk
menyalurkan tenaga listrik di PT. Caltex Pacific
Indonesia adalah sistem tiga fasa setimbang, karena
sebagian besar beban adalah motor tiga fasa untuk
menggerakkan pompa-pompa minyak. Pada keadaan
tertentu terjadi kononsimetrisan sistem yang
menyebabkan ketidakseimbangan sistem transmisi
listrik [4].
Keterangan:
PA = Jarak saluran pipa dengan konduktor A.
PB = Jarak saluran pipa dengan konduktor B.
PC = Jarak saluran pipa dengan konduktor C.
PG1 = Jarak saluran pipa dengan kawat tanah 1.
PG2 = Jarak saluran pipa dengan kawat tanah 2.
Gambar 1. Grafik Hubungan Faktor Kopling dan Tegangan
Induksi
Faktor kopling yang terjadi dipengaruhi oleh jarak
antara konduktor dengan saluran pipa. Kopling
elektromagnet yang terjadi pada jarak yang dekat kuat
atau besar [5] dan faktor kopling juga menjadi besar,
jika jaraknya semakin jauh kopling elektromagnet
semakin kecil, dengan demikian faktor kopling juga
semakin kecil. Hal ini dikarenakan jika jarak antara
konduktor dengan pipa sangat jauh, impedansi masingmasing konduktor akan mendekati sama besarnya
sehingga mengakibatkan tegangan induksi akan
mendekati nol. Di samping itu induksi magnet yang
terjadi di sekitar konduktor akan berbanding lurus
Terjadinya perbedaan harga antara perhitungan dengan
pengukuran tegangan induksi, hal ini dikarenakan
beberapa faktor. Sebagaimana diketahui arus urutan nol
merupakan faktor yang dominan untuk mengetahui
besarnya tegangan induksi yang terjadi pada pipa. Pada
tegangan induksi dan pengukuran tegangan induksi
pada pipa dilakukan pada waktu dan hari yang tidak
sama.
Pada pengukuran arus urutan nol terjadi
ketidaksetimbangan sistem pada transmisi listrik, hal
ini terbukti dengan adanya arus urutan nol sebesar I0 =
0,93 Amper (sistem setimbang I0 ~ Nol). Dengan
demikian tegangan induksi yang terjadi pada pipa juga
besar. Sedangkan pada pengukuran tegangan induksi
pada saluran pipa tidak diketahui berapa besar
kenonsimetrisan sistem, dengan demikian tidak
diketahui berapa arus urutan nol yang mengalir. Dan di
dalam menentukan titik pengukuran untuk mengukur
tegangan induksi dipakai permukaan pipa dan tiang
listrik yang ditanahkan (grounded), hal ini digunakan
sebagai titik acuan karena belum adanya metode cara
pengukuran tegangan induksi pada saluran pipa. Untuk
menghubungkan ke dua titik tersebut di dalam
pengukuran digunakan kabel 12 mm dengan panjang
25 meter, dengan demikian akan terjadi transmisi loss
(kehilangan daya) di sepanjang kabel dan hal ini akan
mengurangi tegangan induksi yang terukur pada Volt
meter.
Disamping itu saluran pipa menggunakan sistem SECT
(Skin Electric Current Tracing), pada sistem ini
sepanjang
saluran
pipa
dipanaskan
dengan
menggunakan arus listrik, dengan demikian saluran
159
V. Sozi Karnefi, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 156-160
pipa juga menimbulkan medan elektromagnetik, akan
tetapi pada waktu pengukuran sistem SECT tidak
bekerja yang berarti kopling sistem magnet yang terjadi
hanya dari transmisi listrik.
Besar arus urutan nol tergantung dari kononsimetrisan
sistem transmisi listrik, jika kenonsimetrisan sistem
besar arus urutan nol semakin besar dan tegangan
induksi juga semakin besar.
Saluran pipa minyak juga dibalut atau diisolasi bahan
polyurethane setebal 5 cm dan dilindungi selubung
lempengan baja setebal 1 mm dan di setiap 15 m
saluran pipa ditopang dengan besi yang ditanam dalam
tanah, dengan demikian secara tidak langsung saluran
pipa minyak juga ditanahkan (grounded), hal ini
menyebabkan tegangan induksi yang terjadi pada
saluran pipa minyak secara tidak langsung juga
dialirkan ke tanah. Keadaan di lapangan ini seolah-olah
telah adanya sistem Mitigasi (peringanan) yang bekerja
pada saluran pipa minyak [1].
Tegangan induksi dipengaruhi oleh jarak antara
konduktor transmisi listrik dengan saluran pipa minyak.
Semakin dekat jarak konduktor dengan saluran pipa
semakin besar tegangan induksi dan sebaliknya
semakin jauh jaraknya semakin kecil tegangan induksi.
Sistem mitigasi merupakan suatu cara memperingan
(memperkecil) tegangan induksi yang terjadi pada
saluran pipa yang berdekatan atau paralel dengan
saluran transmisi listrik. Yakni, dengan cara membuat
sistem setimbang pada saluran transmisi listrik atau
mengisolasi saluran pipa dengan bahan non metal serta
mentanahkan (grounded) saluran pipa tersebut.
Sedangkan pada perhitungan yang dilakukan untuk
mendapatkan tegangan induksi yang terjadi pada
saluran pipa minyak, diasumsikan transmisi listrik pada
keadaan tidak setimbang dan keadaan saluran pipa
minyak berada di permukaan tanah tanpa ditanahkan
serta tidak diisolasi. Beberapa hal tersebut di atas yang
menyebabkan hasil perhitungan berbeda atau lebih
besar dari hasil pengukuran di lapangan [2].
4. Kesimpulan
Saluran transmisi listrik yang dialiri arus dan paralel
dengan saluran pipa minyak, akan menimbulkan
tegangan induksi pada saluran pipa akibat induksi
medan magnet antara saluran transmisi listrik dengan
saluran pipa minyak.
Hubungan (kopling) antara saluran transmisi listrik
dengan saluran pipa minyak secara substansial
disebabkan oleh arus urutan nol.
Tegangan induksi yang terjadi pada saluran pipa
minyak dari hasil perhitungan berbeda dengan hail
pengukuran. Hal ini dikarenakan pada perhitungan
diasumsikan metode mitigasi tidak ada, sedang dari
hasil pengukuran ternyata pada saluran pipa minyak
terdapat sistem mitigasi.
Tegangan induksi dapat diperkecil dengan metode
mitigasi (peringanan) yakni, membuat sistem saluran
transmisi listrik setimbang, mengisolasi saluran pipa
dengan bahan non metal atau mentanahkan (grounded)
saluran pipa.
Metode mitigasi yang terbaik adalah mengusahakan
fase arus saluran transmisi listrik setimbang.
Daftar Pustaka
[1]
[2]
[3]
[4]
Allen Taflove, John Dabkowski, Mitivation of Buried
Pipelines Voltages Due to 60 Hz AC Inductive
Coupling, 1979, Part I-Design of Joint Rights – of –
Way, Part II Piperline Grounding Methods”, IEEE
Trans. Power App. Syst., Vol. PAS-98, pp. 1806-1823,
Sept/Oct. 1979.
Allen Taflove, John Dabkowski, Prediction Method for
Burriied Pipelines Voltages Due to 60 Hz AC Inductive
Coupling, Part I-Analysis, Part II Field Test
Verification, 1979, IEEE Trans. Power App. Syst., Vol.
PAS-98, pp. 780-794, May/June 1979.
A. M. Mousa, Ground Switch Interrupting Duty and
Total Ground Current Imposed by Induction from
Paralel Transmission Line, 1981, IEEE Trans. Power
App. Syst., Vol. PAS-100, pp. 3839-3849, Aug. 1981
Anonim, Electromagnetic Effects of Overhead
Transmission Lines: Practical Problem, Safeguards,
and Methods of Calculation, 1974, IEEE Trans. Power
V. Sozi Karnefi, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 156-160
[5]
[6]
[7]
App. Syst., Vol. PAS-93, no. 3, pp. 892-904, May/June.
1974.
J. Dakowski, The Calculation of Magnetic Coupling
from Overhead Transmission Lines, 1981, IEEE Trans.
Power App. Syst., Vol. PAS-100, pp. 3850-3860, Aug.
1981.
John P. Nelson, Power Sistems in Close Proximity to
Pipelines, IEEE Trans, Industry App. Syst., Vol. IA22, No. 3, pp. 435-441, May/June 1986.
Kent C. Jaffa, John B. Stewart, Magnetic Field
Induction from Overhead Transmission and
Distribution Power Lines and Buried Irrigation
Pipelines, 1981, IEEE Trans. Power App. Syst., Vol.
PAS-100, no. 33, pp. 991-999, March 1981.
160
Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 161-166
Kecepatan Korosi Oleh 3 Bahan Oksidan Pada Plat Besi
Zul Bahrum Caniago
Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu, Indonesia
Diterima 25 Juni 2006: disetujui 1 Juli 2006
Abstrak - Telah dilakukan penelitian untuk menentukan kecepatan korosi yang disebabkan oleh tiga bahan oksidan
yaitu air, asam dan garam terhadap logam (plat besi). Waktu pengamatan dilakukan secara berselang, yakni t = 0, 5
,10, 15, 20 dan 25 hari. Dengan menggunakan sinar Gamma (γ) yang dihasilkan dari sumber Cobalt (Co-60) yang
diradiasikan pada plat logam, kemudian radiasi sinar γ dideteksi oleh tabung Geiger Muller. Intensitas cacahan
menunjukkan daya tembus sinar γ semakin tinggi pada logam yang teroksidasi dengan waktu yang lebih lama. Hal ini
memberi arti terjadi kerenggangan molekul besi, kerenggangan tersebut akibat proses oksidasi (korosi). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa daya serap sinar γ dalam material merupakan fungsi eksponensial terhadap waktu.
Kecepatan korosi yang didapatkan adalah untuk asam sulfat = - 0.0056 dB/hari, garam = - 0.0053 dB/hari, dan air = 0.0047 dB/hari.
Kata Kunci: Korosi; Oksidan; Sinar γ
1. Pendahuluan
Secara teoritis ilmu tentang nuklir, relatif tidak
mengalami perkembangan seperti ilmu pengetahuan
yang lain, karena masih banyak fenomena nuklir yang
belum dapat dijelaskan secara tuntas. Namun dari segi
pemanfaatan, teknologi nuklir telah banyak
dimanfaatkan dalam berbagai bidang, misalnya
kedokteran, bidang rekayasa dan konstruksi, material.
Pada bidang konstruksi bangunan, teknologi nuklir
dimanfatkan misalnya, untuk memantau keretakan pada
bangunan dan kecepatan korosi pada logam.
Korosi atau oksidasi dapat menyebabkan turunnya
kualitas dan kekuatan dari suatu bahan. Untuk
menghindari kerugian yang lebih besar, perlu tindakan
preventif dengan cara mengawasi proses
korosi
secara dini. Pengawasan korosi dapat digunakan radiasi
dengan menyinari bahan yang
sinar γ, yakni
mengalami korosi dengan Sinar γ, kemudian akan
dapat diketahui tingkat atau kelajuan proses korosi
pada bahan yang diawasi tersebut untuk selanjutnya
dapat diprediksi tingkat kerusakan [4].
Logam adalah bahan yang banyak digunakan untuk
berbagai keperluan. Dalam udara terbuka logam mudah
teroksidasi yang menimbulkan korosi/ karat, sehingga
dapat menurunkan kualitas dan kekuatannya.
Kecepatan korosi pada suatu bahan, dipengaruhi oleh
kelembaban udara dan kadar garam atau asam,
sehingga daerah pinggir pantai memiliki peluang yang
sangat besar terjadinya korosi. Korosi terjadi dimulai
dari permukaan logam yang terbuka dan menyebar ke
bagian lain sesuai dengan fungsi waktu. Bagian yang
terkena korosi mengalami perubahan susunan molekul
karena terjadinya ikatan kimiawi antara atom logam
dengan oksigen.
Sinar γ dengan sifat gelombang elektromagnetik dan
memiliki daya tembus kuat, dapat digunakan untuk
mendeteksi tingkat korosi yang terjadi pada logam,
yakni dengan teknik penyinaran pada bagian yang
terkena korosi. Pada bagian logam yang terkena
korosi akan terjadi perubahan kerapatan logam,
sehingga terjadi perubahan daya serap antara yang
terkena korosi dengan yang tidak terkena korosi.
Perbedaan daya serap sinar γ pada bahan yang terkena
korosi ini akan memberikan informasi tingkat korosi
yang terjadi pada logam [5].
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kecepatan
tingkat korosi dari suatu bahan yang disebabkan oleh
3(tiga ) jenis bahan oksidan (garam, udara, asam).
Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan
Zul Bahrum Caniago, Jurnal Gradien Vol. 2 No.2 Juli 2006 : 161-166
kontribusi kepada Iptek dalam salah satu pemanfaatan
teknologi nuklir. Sedangkan manfaat, dapat ditunjukan
manfaat sinar γ untuk mengukur tingkat korosi logam
secara dini untuk diambil tindakan yang diperlukan
untuk mengatasi kerugian yang lebih besar pada suatu
sistem kontuksi besi.
162
Proses pancaran inti dari keadaan teruja ke keadaan
dasar disebut proses deexitasi. Deeksitasi suatu anak
luruh memiliki energi yang merupakan selisih antara
tingkat teruja dan tingkat dasar.
1.2. Interaksi Sinar γ Dengan Materi
1.1. Sifat Fisika Sinar γ.
Sinar γ adalah radiasi elektomagnetik dengan daya
tembus tinggi dengan panjang gelombang 10-7- 10-11
cm. Sinar γ dipancarkan dari inti atom yang tidak
stabil (radioaktif) atau pada inti dalam keadaan
tereksitasi (excited state), kemudian sinar γ terpancar
ke keadaan dasar dengan jalan memancarkan radiasi
elektromagnetik yang disebut sebagai Sinar γ. Dengan
kata lain, jika suatu inti berada dalam keadaan
tereksitasi namun karena ketakstabilan dari keadaan
tereksitasi, inti tersebut akan berpinduh ke keadaan
stabil, inti tersebut akan memancarkan sinar γ. Sinar γ
sama seperti radiasi sinar elektromagnetik lainnya biasa
dipandang sebagai paket-paket energi yang disebut
foton (γ). Massa dan muatan suatu inti yang
memancarkan sinar γ tidak berubah.
Sinar γ ini memiliki energi yang sama dengan selisih
antara tingkat-tingkat energi tersebut. Sebagai contoh
tinjau peluruhan 60Co27 menjadi 60Ni28 melalui emisi
partikel beta.
60
Co 27 → 60 Ni 28 + β + 0
Dimana 0 (neutrino) adalah zarah elementer yang
mempunyai massa hampir sama dengan nol dan tidak
bennuatan listrik sehingga sangat sukar dibuktikan
keberadaannya. 60Ni28 yang dalam keadaan teruja ini
mempunyai energi sebesar 2,5057 Mev. Dia akan
meluruh dengan memancarkan dua sinar γ.
Seperti halnya atom, maka sebuah inti dapat berada
dalam kedaan ikat yang energinya lebih tinggi daripada
keadaan dasar. Jika inti yang tereksitasi ini kembali ke
keadaan dasar, maka inti tersebut akan memancarkan
sinar γ. Sinar γ ini memiliki energi yang bersesuaian
dengan perbedaan energi antara berbagai keadaan awal
dan keadaan akhir dalam transisi yang bersangkutan.
Dengan kata lain sinar γ ini memiliki energi yang sama
dengan selisih antara tingkat-tingkat energi tersebut.
Sinar γ merupakan sinar elektromagnetik, tidak
bermassa dan tidak bermuatan. Kondisi inilah yang
menyebabkan sinar γ memiliki daya tembus material
yang cukup tinggi atau memiliki daya ionisasi yang
kecil.
1.3. Penyerapan Sinar γ [1]
Tiga cara utama Sinar-X atau Sinar γ dapat kehilangan
energinya ketika melewati materi, yaitu Efek
fotolistrik, Hamburan compton, dan Produksi pasangan.
Efek Fotolistrik [1]- Yaitu gejala terlepasnya electron
logam akibat logam tersebut dijatuhi radiasi
elektromagnetik. Elektron dapat terlepas dari logam
karena ia menyerap energi dari radiasi tersebut.
Besamya energi kinetik elektron yang terlepas
Ek = hf − hf o
Ek = hf − W
Dimana W sering disebut fungsi kerja atau energi
ambang.
Gambar 1. Skema pancaran γ dari peluruhan [1][3]
Hamburan Compton [1] - Gejala Compton adalah
gejala dimana sinar-X atau sinar γ yang menumbuk
electron dihamburkan dengan panjang gelombang yang
lebih besar. Menurut teori kuantum cahaya, foton
berlaku sebagai partikel, hanya proton tidak memiliki
massa diam. Foton sinar γ menumbuk electron yang
mula-mula diam terhadap sistem koordinat dan
Zul Bahrum Caniago, Jurnal Gradien Vol. 2 No.2 Juli 2006 : 161-166
163
kemudian mengalami hamburan dari arahnya semula,
sedangkan elektronnya menerima impulse dan mulai
bergerak. Dalam tumbukan ini foton dapat dipandang
sebagai partikel yang kehilangan sejumlah energi
kinetik K yang diterima oleh electron, walaupun
sebenamya kita mengamati dua foton yang berbeda.
Jika foton semula mempunyai frekuensi δ, maka foton
terhambur mempunyai frekuensi yang lebih rendah δ'
sehingga terjadi kehilangan energi sebesar
K = hδ − hδ '
Produksi Pasangan [1] - Ketika foton melewati dekat
inti dimungkinkan terjadinya electron dan positron
(elektron bermuatan positif), dimana jumlahan
keduanya menghasilkan muatan yaitu nol. Dalam
semua kasus baik efek fotolistrik, efek Compton dan
produksi pasangan energi foton ditransfer pada electron
yang diikuti dengan kehilangan energi terutama
disebabkan oleh proses oksidasi atau ionisasi. Pada
energi foton rendah efek fotolistrik merupakan
mekanisme utama dari. kehilangan energi. Pentingnya
efek fotolistrik dengan bertambahnya energi diganti
dengan hamburan Compton, lebih besar nomor atomic
penyerapannya lebih tinggi pula energi ketika efek
fotolistrik memegang peranan penting. Dalam unsur
ringan hamburan Compton berperan utama pada energi
foton, beberapa puluh KeV, sedangkan pada unsur
berat peran utama pada energi hampir 1 MeV. Produksi
pasangan peluangnya meningkat lebih besar energinya
dari energi ambang 1,02 MeV, lebih besar nomor
atomik penyerapannya. Intensitas I dari berkas sinar γ
dari laju transpor energi per satuan luas penampang
dari berkas itu. Energi fraksional yang hilang dari
berkas ketika melalui penyerapan setebal dx adalah :
−
dI
= µdx
I
Konstanta pembanding µ disebut koefisien Alennasi
linier dan harganya bergantung dari energi foton dan
sifat material penyerap. Integrasi persamaan itu adalah
I = I 0e
Pada proses pengkorosian besi, penyebab utamanya
adalah terjadi reduksi oksigen pada molekul asam oleh
molekul logam. Mekanisme korosi lebih lanjut dapat
dijelaskan sebagai berikut : Pada permukaan logam
yang bersentuhan langsung dengan oksidan dapat
dipandang sebagai anoda, pada bagian ini terjadi
reaksi:
Fe(s ) → Fe (2aq+ ) + 2e
Elektron yang dihasilkan melakukan pertukaran dengan
oksigen, atau mengalami reduksi :
O 2 (g ) + 4H (+aq ) + 4e → 2H 2O (l )
Dari proses reaksi di atas, ion H+ berperan sebagai
pereduksi oksigen. Makin besar kosentrasi H+ (makin
asam) reaksi berlangsung semakin cepat. Sebaliknya
makin kecil kosentrasi ion H+ (makin basa) reaksi
berlangsung semakin lambat. Besi tidak terkorosi pada
pH > 9. Ion Fe2+ yang terbentuk pada anoda
mengalami oksidasi berlanjut membentuk Fe3+ yang
selanjutnya membentuk senyawa oksidasi terhidrasi,
Fe203 x H2O, yang disebut sebagai korosi besi.
4Fe(2aq+ ) + O 2 (g ) + 4H 2O(l )
2Fe 2O3 x − H 2O(s ) + 8H (+aq )
Katoda adalah bagian yang mendapat banyak suplai
oksigen, sehingga korosi terjadi pada bagian ini. Pada
proses pengkorosian besi bisa dilakukan secara alamiah
atau secara buatan. Secara alamiah, bila oksigen yang
terdapat dalam udara dapat bersentuhan dengan
permukaan logam besi yang lembab, kemungkinan
terjadinya korosi lebih besar. Korosi terutama terjadi
pada bagian sel yang kekurangan oksigen. Gejala ini
dapat dijelaskan berdasarkan reaksi-reaksi pada
permukaan katoda yang memerlukan elektron. Reaksi
katoda hanya dapat terjadi bila ada oksigen, dapat
dilihat, seperti dibawah ini:
2(H 2 O ) + O 2 + 4e − ↔ 4(OH )
−
(Pembentukan Hidroksil)
µx
Jadi Intensitas radiasi menurun secara eksponensial
terhadap tebal penyerap. Hubungan antara tebal
penyerap x dengan rasio Io/I adalah
 I 
ln 
I
x=  0
µ
1.4. Proses pengkorosian pada plat Besi
Disamping itu dari reaksi katoda ini memerlukan
elektron dan logam daerah disekitarnya yang kurang
oksigen harus menyerahkan elektron-elektronya. Jadi
dapat dsimpulkan bahwa daerah yang kurang
oksigennya menjadi anoda. Set oksidasi akan
mempercepat korosi didaerah dimana konsentrasi
Zul Bahrum Caniago, Jurnal Gradien Vol. 2 No.2 Juli 2006 : 161-166
oksigen lebih rendah. Besi mempunyai potensial
elektroda φ sebesar -0,44 volt. Agar terjadi rekasi
anoda:
(OH )− Fe → Fe 3+ + 3e − (Reaksi anoda)
Hal ini disebabkan karena Fe harus melepaskan ketiga
elektronnya agar berlangsung reaksi katoda sehingga
terjadi ion Fe3+.
164
sesudah melewati sampel (I) kemudian mengihtung
daya serapnya masing-masing. Untuk menentukan daya
serap (A) adalah
A = log
I
I0
(1)
I adalah Intensitas sinar γ setelah melewati bahan
(cacah/menit) dan Io adalah Intensitas sinar γ sebelum
bahan terkorosi (cacah/menit)
Bila kita lakukan reaksi:
6H 2 0 + 3O 2 + 2e − → 12(OH )
−
(Reaksi katoda)
Sehingga akan terjadi kesetaraan reaksi sebagai berikut:
4Fe + 6H 2 0 + 3O 2 + 12e − → 4Fe3+ + 12(OH ) + 12e −
−
4Fe + 6H 2 0 + 3O 2 → 4Fe(OH )3
Bila reaksi terjadi dalam aair yang diperkaya dengan
oksigen akan didapat hasil korosi yang tidak larut
dalam air dan akan mengendap yang selanjutnya
disebut karat.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Fisika
Eksperimen Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam. Dalam penelitian ini
digunakan metode eksperimen, bahan yang digunakan
adalah plat besi. Plat besi tersebut dipotong dengan
ukuran yang sama. Kemudian dikorosikan pada media
korosi (oksidan) yaitu air (H2O), asam sulfat (H2S04),
dan air garam (NaCl).
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
perangkat alat pendeteksi Tabung Geiger Muller,
Sumber radiasi sinar γ (Co-60), dan Digit Counter.
Lempengan besi dengan ukuran (2x3 cm, ketebalan 3
mm) diletakkan diatas gelas yang berisi media yang
berbeda-beda disusun dalam sebuah kotak kayu yang
terlebih dahulu dibasahi dengan oksidan. Sebagai
sampel pengontrol adalah logam yang bebas korosi,
yang diukur intsnsitas sinar γ sebelum dan sesudah
melewati sampel dan dihitung daya serap sinar γ pada
plat besi tersebut dinyatakan sebagai data Ao.
Sedangkan sampel uji, digunakan plat besi yang telah
mengalami korosi dengan waktu pengoksidasian yang
berbeda, yaitu: ± 5 hari, 10 hari, 15 hari, 20 hari, dan
25 hari. Data yang diambil sama dengan data pada
sampel kontrol yaitu intensitas sinar γ sebelum (Io) dan
Kecepatan korosi adalah:
v=
d
I 
 log 
dt 
I0 
(2)
3. Hasil Dan Pembahasan
Hasil pengukuran rata-rata intensitas sinar γ yang
melewati plat besi pada berbagai medium korosi
dengan 3 jenis oksidan ditunjukkan pada tabel 1.
Tabel 1. Intensitas sinar γ yang melewati plat
Hasil penelitian menunjukkan bahwa korosi terbesar
terjadi pada plat besi dengan oksidan asam sulfat
(H2SO4) dan terkecil terjadi dengan oksidan air(H2O)
Dari tabel 1, untuk oksidan H2O, nilai rata-rata
intensitas meningkat dari 278,8 (waktu korosi 5 hari)
menjadi 293,9 (waktu korosi 25 hari). Sedangkan
oksidan dengan larutan NaCl , nilai rata-rata
intensitasnya meningkat dari 281,1 (waktu korosi 5
hari) menjadi 295,1 (waktu korosi 25 hari). Demikian
untuk oksidan H2S04, peningkatan nilai rata-rata
intensitas dimulai dari 286,8 (waktu korosi 5 hari) dan
berakhir 300.7 (wakt korosi 25 hari). Peningkatan
instensitas sinar γ yang menembus pada bahan
bersesuaian dengan semakin lamanya waktu oksidasi,
dengan demikian oksidasi meyebabkan kerenggangan
molekul besi sehingga sinar γ berpeluang lolos.
Perbandingan karakteristik bahan (hubungan Intensitas
dengan lama korosi) yang mengalami korosi dengan 3
165
Zul Bahrum Caniago, Jurnal Gradien Vol. 2 No.2 Juli 2006 : 161-166
jenis oksidan dapat dilihat pada gambar 2 berikut :
Dari kurva yang diperlihatkan pada gambar 3, maka
diperoleh linearisasi daya serap sebagai berikut :
H2O = - 0.0056 t + 0.4404
NaCl = - 0.0053 t + 0.4363
H2SO4 = - 0.0047 t + 0.4257
Dengan menggunakan persamaan (2) maka diperoleh
kecepatan korosi v sebagai berikut :
Asam sulfat = - 0.0056 dB/hari
Garam
= - 0.0053 dB/hari
Air
= - 0.0047 dB/hari
Gambar 2. Karakteristik bahan yang mengalami korosi
4. Kesimpulan
Dari gambar 1 terlihat bahwa semakin lama besi
terkorosi maka intensitas sinar γ yang melewati plat
besi mengalami kenaikan. Dampaknya adalah intensitas
sinar γ yang diserap oleh plat besi mengalami
penurunan yang bersesuaian dengan lama proses korosi
yang dialami. Semakin tinggi intensitas sinar γ yang
melewati plat besi, maka semakin kecil intensitas yang
diserap oleh plat besi.
Besi mengalami korosi terbesar (kecepatan tingkat
korosinya paling besar) berturut-turut dengan oksidan
H2S04 kecepatan korosi rata-rata 0,00198 dB/hari,
NaCI kecepatan korosi rata-ratanya 0,00165 dB/hari
dan HzO kecepatan kurosi rata-ratanya 0,00157
dB/hari.
Hasil penyerapan intensitas sinar γ (A) oleh plat besi di
tunjukan pada tabel 2. Dan grafik daya serap dilihatkan
oleh gambar 3.
Tabel 2. Daya Serap
Intensitas sinar γ paling banyak melewati plat besi
dengan oksidan H2S04 dengan interval 286,8 sampai
300,7.
Plat besi yang mengalami korosi mudah ditembus oleh
sinar γ dengan arti lain daya serap rendah. Plat besi
yang tingkat korosinya kecil mampu menyerap
intensitas sinar γ dengan cepat
Penentuan kualitas material logam dapat dilakukan
dengan menembakkan sinar γ pada logam itu, bila
intensitas sinar γ banyak melewati logam (sedikit yang
diserap oleh logam) maka dapat diartikan kualitas
logam relatif rendah. Maka disarankan untuk menguji
kualitas material bangunan dapat memanfaatkan sinar γ
yang ditembakan pada material tersebut.
Daftar Pustaka
Gambar 3. Daya serap
[1] Arthur Beiser The Houw Liong, Concepts Of Modern
Physics, 1981, MC Graw-Hill, INC.
[2] Kenneth S. Krane, Modern Physics, 1992, Department
Of Physics, Oregon State University.
[3] Kenneth S. Krane, Introductory Nuclear Physics, 1988,
Oregen State University.
Zul Bahrum Caniago, Jurnal Gradien Vol. 2 No.2 Juli 2006 : 161-166
[4] Lawrenceh. Van Vlack, Elements Of Materials Science
and engineering, 1985, University Of Michigan, USA.
[5] M. Ridwan, M.Sc, Ph. D, dkk, Pengantar Ilmu
Pengetahuan dan teknologi nuklir, 1978, Jakarta.
166
Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 167-171
Hubungan Aktivitas Gempa Tektonik Daerah Subduction
Indo-Australia Eurasia Segmen Enggano Tahun 2000 Dengan
Aktivitas Gempa Vulkanik Gunungapi Kaba Dan Dempo
Refrizon dan Suwarsono
Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu, Indonesia
Diterima 27 Juni; disetujui 1 Juli 2006
Abstrak - Telah dilakukan penelitian mengenai hubungan antara aktivitas tektonik Segmen Enggano dengan aktivitas
vulkanik Gunungapi Kaba dan Dempo Sumatera Selatan. Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data
aktivitas gempa yang berpusat di sekitar Segmen Enggano, aktivitas vulkanik Gunungapi Kaba dan Gunungapi Dempo
sepanjang tahun 2000. Berdasarkan data itu dicoba melihat hubungan beserta pola hubungan tersebut. Aktivitas
tektonik Segmen Enggano, aktivitas vulakanik Gunungapi Kaba dan Dempo memiliki kemiripan. Puncak aktivitas
Gunungapi Kaba terjadi sekitar dua bulan setelah puncak aktivitas Segmen Enggano dan aktivitas vulkanik Kaba
terpengaruh oleh aktivitas tektonik Segmen Enggano. Sedangkan pola aktivitas Gunungapi Dempo juga mengikuti
pola aktivitas lempeng tektonik Segmen Enggano, puncak aktivitasnya terjadi tiga bulan setelah puncak aktivitas
Segmen Enggano, tetapi ada segmen selain Enggano yang mempengaruhi aktivitas Gunungapi Dempo.
Kata Kunci : Gempa Tektonik; Subduction; Vulkanik
1. Pendahuluan
Pengamatan di lapangan setelah gempa tektonik besar
di Bengkulu pada tanggal 4 Juni 2000 di Gunungapi
Kaba juga terjadi gempa vulkanik yang meningkat
secara
siknifikan
dibandingkan
waktu-waktu
sebelumnya. Secara teoritis peningkatan
dan
penurunan gempa vulkanik akan berasosiasi dengan
aktifitas pergerakan lempeng sehingga akan mengikuti
fluktuasi terjadinya gempa tektonik. Pada saat aktivitas
tektonik terjadi peningkatan selama 3 bulan dari Juni,
Juli hingga Agustus 2000, aktivitas vulkanik juga
meningkat tajam pada bulan-bulan itu, bahkan letusan
sempat terjadi pada bulan tersebut.
Bengkulu terletak diantara dua jalur sumber gempa
tektonik yaitu di sepanjang subduction antara lempeng
Indo-Australia dan lempeng Eurasia di Samudra
Hindia, sedangkan sumber gempa di daratan terletak
sepanjang sesar Sumatera. Sehingga Bengkulu
termasuk daerah yang diapit oleh dua jalur sumber
gempa tektonik yang sangat berbahaya. Dari data
stasiun pengamatan gempa wilayah II Kepahiyang
Bengkulu menunjukkan bahwa jumlah gempa
berbahaya sejak tahu 1963 sampai dengan 2000 dengan
magnitudo antara 4 sampai 7 skala Richter tercatat
lebih dari 1.192 kali.
Kenyataan menunjukkan bahwa frekuensi dan kekuatan
gempa tektonik menurun setelah tiga bulan, di samping
itu aktivitas gempa vulkanik di Gunungapi Kaba
menunjukkan penurunan juga. Sehingga diperkirakan
aktivitas gempa vulkanik Kaba di Curup berhubungan
erat dengan aktivitas tektonik di daerah subduction
Samudra Hindia. Jika pola hubungan kedua aktivitas
tersebut dapat ditemukan, maka akan dapat dipakai
sebagai salah satu cara antisipasi penentuan aktivitas
vukanik Kaba, untuk membantu perencanaan mitigasi
bencana di masa datang. Atau sebaliknya dengan
mengetahui peningkatan aktivitas Kaba akan dapat
diramalkan kemungkinan adanya tanda-tanda akan
terjadi gempa tektonik yang besar di daerah subduction
Samudra Hindia. Penelitian ini merupakan awal dari
berbagai kemungkinan untuk dapat mendeteksi lebih
dini akan adanya gempa tektonik di daerah subduction
ini.
Fakta yang ada setelah gempa tektonik besar 4 Juni
2000 di segmen Enggano, beberapa hari kemudian,
aktivitas Gunungapi Kaba dan Dempo mengalami
Refrizon, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 167-171
peningkatan yang sangat tajam. Menurut teori plat
tektonik memang aktivitas subduction Indo Australia
dan Eurasia berubungan dengan deretan gunung berapi
di Sumatera secara keseluruhan. Apakah terdapat
hubungan langsung antara aktivitas tektonik segmen
Enggano dengan aktivitas vulkanik Gunungapi Kaba
dan aktivitas
Gunungapi Dempo? Jika terdapat
hubungan langsung
bagaimana bentuk (pola)
hubungan tersebut dan mungkinkah Gunungapi Kaba
dan Dempo akan meletus dapat diramalkan dengan
dasar aktivitas gempa tektonik di daerah subduction
segmen Engano atau sebaliknya aktivitas kedua
gunungapi tersebut untuk meramalkan gempa tektonik
di Bengkulu.
Selama ratusan tahun yang lalu Bengkulu pernah
mengalami gempa-gempa besar seperti yang pernah
terjadi pada tengah malam 4 Juni 2000 dengan
kekuatan 7,3 skala Riechter. Gempa bumi tersebut telah
menimbulkan korban jiwa meninggal lebih dari 90
orang, luka berat 803 orang, luka ringan 1.782 orang,
bangunan rusak total 1.836, rusak berat 10.460, rusak
ringan 18.928 [1]. Dampak adanya gempa bumi
tergantung dari besarnya gempa, kondisi tanah, atau
batuannya, struktur geologi serta kondisi infra struktur
yang ada. Penyebab korban jiwa yang terbesar karena
tertimpa bangunan, saat gempa pertama terjadi dan
beberapa korban akibat gempa susulan. Hasil penelitian
tim Departemen Pekerjaan Umum menunjukkan
kerusakan pada bangunan-bangunan memiliki jenis
kerusakan yang tipikal [5]
Bengkulu merupakan daerah yang diapit oleh dua jalur
sumber gempa yaitu jalur subducton di samudra Hindia
dan jalur sesar Sumatra di sepanjang bukit barisan. Dari
hasil penelitian [6] menunjukkan bahwa: (1) pola
gempa bumi tektonik yang sama terjadi setiap 9–10
tahun sekali (2) frekuensi gempa bumi tektonik di
Bengkulu dari tahun 1963–2000 cenderung meningkat
(3) Gempa bumi Bengkulu dengan magnitudo 4 sampai
dengan 7 skala Richter dari tahun1963–2000 mencapai
1.192 kali. Sehingga dapat dipastikan bahwa daerah
Bengkulu masih akan memiliki frekuensi gempa yang
cukup tinggi, yang memerlukan penelitian-penelitian
untuk perencanaan mitigasinya.
168
Gempa bumi tektonik adalah gempa yang disebabkan
oleh terlepasnya energi regangan elastik [2]. Sedangkan
menurut teori elastic rebound bahwa di dalam kulit
bumi senantiasa ada aktivitas
geologis yang
mengakibatkan pergerakan relatif satu massa batuan di
dalam batuan yang lain di dalam kulit bumi. Batuanbatuan ini berifat elastik dan dapat menimbun regangan
bilamana ditekan atau ditarik oleh gaya-gaya tektonik.
Ketika tegangan yang terjadi pada batuan melampaui
kekuatannya, batuan tersebut akan hancur pada daerah
patahan dan melepaskan sebagian atau seluruh
tegangan untuk kembali ke keadaan semula.
Hancurnya batuan di dalam kulit bumi akan disertai
dengan pemancaran gelombang-gelombang gempa ke
segala arah, kadang-kadang sampai ke tempat yang
jauh tergantung pada banyaknya energi yang terlepas.
Menurut [2] gempa bumi tektonik hanya terjadi apabila
(1) terjadi penimbunan regangan secara perlahan-lahan
pada batuan-batuan di dalam bumi, (2) batuan-batuan
di dalam bumi harus dapat menimbun regangan hingga
mencapai satu besaran kira-kira 1020-1023 erg., sebagai
perbandingan bom atom Hirosima mempunyai energi
sebesar 8 x 1020 erg.
Magnitude gempa adalah besaran yang berhubungan
dengan kekuatan gempa di sumbernya. Gempa dengan
magnitude besar belum tentu merusak kalau sumbernya
sangat dalam apalagi kalau jaraknya juga sangat jauh.
Pengukuran magnitude yang dilakukan di tempat yang
berbeda, harus menghasilkan harga yang sama
walaupun gempa yang dirasakan di tempat-tempat
tersebut tentu berbeda.
Pada umumnya magnitude diukur berdasarkan
amplitudo dan periode fase gelombang tertentu. Rumus
untuk menentukan magnitude gempa yang umum
dipakai pada saat ini adalah:
M = log
a
+ f ( ∆, h) + C S + C R
T
(1)
dengan M adalah magnitude, a adalah amplitudo
gerakan tanah (dalam mikron), T adalah perido
gelombang, ∆ adalah jarak episenter, h adalah
kedalaman gempa, CS adalah koreksi stasiun oleh
struktur lokal (sama dengan nol untuk kondisi tertentu),
dan CR adalah koreksi regional yang berbeda untuk
setiap daerah gempa.
Refrizon, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 167-171
169
Magnitude gempa yang diperoleh berdasarkan
amplitudo gelombang badan (P atau S) dapat dihitung
dengan:
m b = log
a
+ f ( ∆ , h)
T
(2)
dengan mb adalah magnitude gelombang badan, dengan
anggapan bahwa Cs dan CR keduanya sama dengan nol.
Dalam prakteknya a adalah amplitudo gerakan tanah
maksimum dalam mikron yang diukur pada 3
gelombang yang pertama dari gelombang P
(seismogram periode pendek, komponen vertikal), dan
T adalah periode gelombang yang mempunyai
amplitudo maksimum tersebut.
Magnitude gelombang permukaan, Ms dapat ditentukan
berdasarkan:
M S = log
a
+ f ( ∆, h)
T
(3)
dengan a adalah amplitudo maksimum gelombang
permukaan, yaitu gelombang Rayleigh (dalam mikron)
dan T diukur pada gelombang dengan amplitudo
maksimum tersebut.
Kekuatan sumber gempa disumbernya dapat juga
diukur dari energi total yang dilepaskan oleh sumber
gempa tersebut. Energi yang dilepaskan oleh gempa
biasanya dihitung dengan mengintegralkan energi
gelombang sepanjang kereta gelombang (wave train)
dan seluruh luasan yang dilewati gelombang (bola
untuk gelombang badan, silinder untuk gelombang
permukaan), yang berarti mengintegralkan energi ke
seluruh ruang dan waktu.
Berdasar perhitungan energi dan magnitude yang
pernah dilakukan, ternyata antara magnitude dan energi
mempunyai relasi:
(4)
log E = 4,78 + 2,57 mb
dengan mb adalah magnitude gelombang badan dan
satuan energi adalah dyne cm atau erg.
Berdasarkan persamaan (1) dan (4), kenaikan
magnitude gempa sebesar 1 skala richter akan
berkaitan dengan kenaikan amplitudo yang dirasakan di
suatu tempat sebesar 10 kali, dan kenaikan energi
sebesar 25 sampai 30 kali.
Namun karena MS (amplitudo gelombang permukaan)
juga mempunyai hubungan langsung dengan mb secara
empiris ditulis sebagai:
(5)
mb = 0,56M S + 2,9
maka E juga berhubungan dengan MS yang bentuknya
adalah:
(6)
log E = 12,24 + 1,44M S
2. Metode Penelitian
1. Mengumpulkan dan mentabelkan data gempa
tektonik Bengkulu yang terjadi selama tahun 2000
dari stasion Meteorologi dan Geofisika Kepahyang
Bengkulu
2. Mengumpulkan dan mentabelkan data gempa
vulkanik Kaba yang terjadi selama tahun 2000, dari
stasion pengamatan gunung api Kaba.
3. Mengumpulkan dan mentabelkan data gempa
vulkanik gunungapi Dempo yang terjadi selama
tahun 2000, dari stasion pengamatan gunung api
Dempo.
4. Mengolah data-data tersebut dalam bentuk grafik
magnetudo versus waktu terjadinya gempa tektonik
maupun vulkanik.
5. Mencari hubungan, baik dalam magnetudo, waktu
dan frekuensi terjadinya gempa. Pola hubungan
tersebut digambarkan dalam bentuk grafik hubungan
aktivitas kegempaan tektonik dan vulkanik versus
waktu terjadinya.
6. Grafik yang terbentuk dicari persamaan
matematiknya,
yang
mencerminkan
besar
magnetudo sebagai fungsi waktu terjadinya gempa.
Persamaan tersebut menyatakan pola hubungan
yang dimaksud pada point 1.
3. Hasil Dan Pembahasan
Pengumpulan data-data gempa tektonik segemen
Enggano dan data-data gempa vulkanik Gunungapi
Kaba dan Dempo selama tahun 2000 telah dapat
dilakukan. Untuk mengetahui perkembangan aktivitas
gempa tersebut dibuat gravik yang menghubungkan
total magnitudo selama selang satu bulan dari Januari
sampai Nopember. Aktivitas gempa tektonik Segemen
Enggano, gempa vulkanik Gunungapi Kaba dan
Refrizon, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 167-171
Aktivitas gempa tektonik Segmen Enggano yang terjadi
sepanjang tahun 2000 mengalami peningkatan sejak
dari Bulan Pebruari 2000 dan mencapai puncaknya Juni
tahun 2000. Aktivitas gempa tektonik pada bulan Juni
2000 mengalami peningkatan yang sangat besar
dibandingkan dengan rata-rata total magnitudo gempa
bulan Pebruari sampai Mei 2000. Besar peningkatan
total magnitudonya sekitar 20 kali lebih besar (Tabel
1). Bila dihubungkan dengan energi yang dilepaskan
sekitar 900 kali lebih besar dibandingkan total energi
pada bulan Pebruari sampai Mei.
4.00
3.00
2.00
1.00
0.00
-1.00 0 1
2 3 4
5 6 7
8 9 10 11 12
Bulan
3.00
Gambar 2. Aktivitas gempa vulakanik Gunungapi Kaba
setiap bulannya pada tahun 2000.
2.50
log magnitudo
relatif lebih jauh dibandingkan Gunungapi Kaba daro
Segmen Enggano yang diduga akan memepengaruhi
aktivitas gunungapi ini. Aktivitas Gunungapi Dempo
selama tahun 2000 diperlihatkan pada gambar 3. Dari
gambar 3 tersebut dapat dilihat bahwa aktivitas
Gunungapi Dempo sepanjang tahun 2000 tersebut juga
mengalami perubahan yang signifikan.
Log magnitudo
Dempo berturut-turut diperlihatkan pada gambar 1,
gambar 2 dan gambar 3.
170
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Bulan
Gambar 1. Aktivitas gempa tektonik Segmen Enggano setiap
bulannya pada tahun 2000.
Aktivitas gempa vulkanik Gunungapi Kaba selama
tahun 2000 diperlihatkan pada Gambar 2. Sejak Januari
sampai Mei aktivitas Gunungapi Kaba sedikit
mengalami kenaikan pada bulan Pebruari. Secara
umum aktivitasnya ini bisa dianggap sangat kecil
karena total magnitudo dalam satu bulan kurang dari
sepuluh. Pada bulan Juni aktivitas Gunungapi Kaba
mulai naik, demikian juga Juli dan mencapai
puncaknya pada bulan Agustus 2000, kemudian pada
Bulan September terus menurun sampai Nopember.
Aktivitas gempa tektonik Segmen Enggano secara
umum memiliki pola peningkatan aktivitas sepanjang
tahun 2000 yang hampir sama dengan pola aktivitas
Gunungapi Kaba, hanya saja terjadi pergeseran puncak
aktivitas dua bulan setelah puncak aktivitas tektonik
Segmen Enggano. Sementara aktivitas vulkanik
Gunungapi Dempo di Sumatera Selatan, letaknya
Pola perubahan aktivitas Gunungapi Dempo sejak awal
tahun 2000 sampai akhir tahun sebenarnya mirip
dengan pola aktivitas Gunungapi Kaba. Awal tahun
2000 Gunungapi Dempo mengalami peningkatan di
Bulan Maret sedangkan Gunungapi Kaba Bulan
Pebruari, sedangkan ketika bulan Juni Gunungapi Kaba
telah mulai meningkat aktivitasnya Gunungapi Dempo
juga mengalami peningkatan, kemudian turun lagi.
Gunungapi Dempo ini mengalami puncak aktivitasnya
di bulan September 2000, yang berarti tergeser tiga
bulan setelah aktivitas tektonik Segmen Enggano.
Bila dibandingkan pola aktivitas tektonik Segmen
Enggano, aktivitas Gunungapi Kaba dan aktivitas
Gunungapi Dempo di Sumatera Selatan, memiliki
kemiripan pola puncak aktivitasnya. Hal ini
membuktikan bahwa kegiatan pergerakan lempeng
Segmen Enggano mempengaruhi aktivitas kedua
gunungapi ini. Puncak aktivitasnya terjadi dua bulan
sesudah puncak aktivitas tektonik untuk Gunungapi
Kaba dan sesudah tiga bulan untuk Gunungapi Dempo.
Perbedaan ini dapat dipahami sebagai waktu yang
diperlukan untuk mengumpulkan energi aktivitas
lempeng yang memicu aktivitas gunungapi. Secara
geografis posisi Gunungapi Kaba lebih dekat
dibandingkan Gunungapi Dempo di Sumatera Selatan.
Refrizon, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 167-171
171
Pengamatan Gunungapi Kaba
pengamatan Gunungapi Dempo.
Log m a gnitudo
2.5
dan
Stasiun
2
1.5
Daftar Pustaka
1
0.5
0
-0.5 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan
Gambar 3. Aktivitas gempa vulakanik Gunungapi
Dempo di Sumatera Selatan setiap
bulannya pada tahun 2000.
Sementara pola aktivitas gunungapi Dempo sepanjang
tahun 2000 memiliki sedikit perbedaan dengan
memiliki dua puncak aktivitas sebelum aktivitas
tertinggi pada bulan September 2000. Kemungkinan
penyebab hal ini selain letaknya yang relatif lebih jauh
dari Segmen Enggano, juga akan dipengaruhi oleh
aktivitas lempeng tektonik lain yang sebagaimana
diketahui juga terdapat aktivitas tektonik, sementara
posisinya sedikit lebih jauh dari Segmen Enggano.
4. Kesimpulan
Pola aktivitas Gunungapi Kaba memiliki kemiripan
dengan pola aktivitas tektonik Segmen Enggano, tetapi
puncak aktivitasnya terjadi sekitar dua bulan setelah
puncak aktivitas Segmen Enggano, sehingga dapat
dikatakan bahwa aktivitas vulkanik Kaba dominan
dipengaruhi oleh aktivitas tektonik Segmen Enggano.
Pola aktivitas Gunungapi Dempo sebenarnya mengikuti
pola aktivitas lempeng tektonik Segmen Enggano,
puncak aktivitasnya terjadi tiga bulan setelah puncak
aktivitas Segmen Enggano, tetapi ada sedikit perbedaan
pola, hal inilah yang membuktikan bahwa terdapat
pengaruh segmen lain selain Segmen Enggano.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih
1. Proyek Peningkatan Sumberdaya Manusia Dirjen
Dikti.
2. Staf dan pegawai Stasiun Meteorologi dan
Geofisika
Wilayah II Kepahiyang, Stasiun
[1] Anonim, Informasi Gempa Susulan Kekuatan Gempa
(Magnitude), 2000, Badan Meteorologi Dan Geofisika,
Bengkulu.
[2] Boen T., Gempa Bumi Bengkulu Fenomena dan
Perbaikan Perkuatan bangunan (berdasarkan hasil
pengamatan terhadap bangunan-bangunan yang rusak
akibat gempa bumi Bengkulu 4 Juni 2000), 2000,
Seminar Nasional Kegempaan dan Mitigasi Bengkulu
Masa Mendatang, Universitas Bengkulu.
[3] Dobrin M.B. & Savit C.H., Introduction to Geophysical
Prospecting,
fourth edition, 1996, McGraw-Hill
International Edition, New York.
[4] Garg K.S., Geologi The Science Of The Earth, 1983,
Kanna Publishers, New Delhi.
[4] Kertapati E., Kondisi Geologi Bengkulu Dan Pengaruh
Terhadap Resiko Gempa Bumi, 2000, Seminar Nasional
Kegempaan dan Mitigasi Bengkulu Masa Mendatang,
Universitas Bengkulu.
[5] Maryoko H. dkk, Petunjuk Perbaikan Bangunan Yang
Rusak Akibat Gempa Bumi, 2000, Departemen
Pekerjaan Umum, Bengkulu.
[6] Meva Arianti dan Suwarsono, Karakteristik Gempa
Tektonik di Bengkulu, 2000, Program Studi Fisika,
Universitas Bengkulu.
Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 172-175
Perlakuan Fraksinasi Terhadap Kandungan β-Karotene
Pada Minyak Merah (Red palm olein)
Syafnil
Jurusan Teknologi Ilmu Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu, Indonesia
Diterima 5 Mei 2006; disetujui 1 Juli 2006
Abstrak - Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan fraksinasi terhadap kandungan β-karotene
pada minyak sawit merah atau Red palm olein (RPO). Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Pertanian,
Universitas Bengkulu selama 5 bulan, dari bulan Juni – November 2004. Parameter yang diamati adalah
menganalisis konsentrasi senyawa karotene yang telah dilakukan fraksinasi pada suhu 4oC dengan lama
penyimpanan selama 3, 6 dan 9 hari dengan metode spektrofotometri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin
lama masa penyimpanan (fraksinasi) semakin sedikit fraksi cair terbentuk tetapi konsentrasi karotennya semakin
tinggi.
Kata kunci : Fraksinasi; β Karotene; Red palm olein
1. Pendahuluan
Red palm olein (RPO) merupakan salah satu jenis
minyak goreng sawit yang mengandung zat warna
karotenoid dan β-karotene alami yang cukup tinggi.
Kandungan β-karotene yang cukup tinggi tersebut
merupakan
keunggulan dari RPO dibandingkan
dengan minyak goreng lain, sehingga minyak goreng
ini digolongkan sebagai minyak goreng spesial
dengan harga jual lebih mahal dari minyak goreng lain.
Fraksinasi merupakan proses awal pembuatan RPO
dengan bahan baku Crude palm olein (CPO). Pada
proses ini dilakukan pemisahan fraksi padat dan fraksi
cair CPO. Pada proses fraksinasi CPO akan diperoleh
70 % fraksi padat berupa Cude Palm Stearin (CPS)
dan fraksi cair berupa Crude Palm Olein (CPO) [2].
Warna pada minyak goreng sangat dipengaruhi oleh zat
warna yang terdapat secara alami pada sumber minyak
tersebut. Zat warna yang terdapat pada minyak kelapa
sawit berasal dari berbagai jenis zat warna karotenoid
yang larut pada minyak seperti, α, β, χ-karotene dan
β-zaekarotene [1]. Perlakuan fraksinasi CPO ,
khususnya
penurunan suhu minyak
untuk
memisahkan fraksi padat dan cair turut mempengaruhi
kelarutan zat warna karotenoid pada fraksi cair
minyak. Penurunan suhu minyak dalam waktu yang
lama akan menyebabkan lebih banyak zat warna
karotenoid berada atau larut pada fraksi cair (crude
palm olein/CPO) dibandingkan dengan fraksi padatnya
(crude falm stearin/CPS).
Sebagaian besar karotene yang terdapat dalam minyak
sawit adalah α dan β-karotene, kandungannya lebih
dari 80%, sedangkan sisanya terdiri dari γ-karotene
dan β-zeakarotene [1][5]. β-karotene dikenal sebagai
provitamin-A, di dalam tubuh akan mengalami
tranformasi menjadi vitamin A [5]. Disamping
juga
sebagai precursor vitamin A, β-karotene
berfungsi sebagai antioksidan yang efektif. Hasil studi
epidomologi tahun 1980 telah diketahui bahwa βkarotene dapat melindungi secara preventif dari
beberapa jenis kanker seperti, kanker mulut,
tenggorokan, paru-paru dan perut [1][5].
Minyak sawit diproduksi melalui Refinisasi, Bleaching
dan Deodorisasi (RBD). Pada pembuatan minyak
goreng (palm olein) sebagian besar senyawa karotene
yang terdapat dalam
crude palm oil
(CPO)
dihilangkan melalui
proses bleaching untuk
mendapatkan minyak goreng jernih. Mengingat
manfaat karotene yang begitu besar bagi kesehatan,
maka beberapa tahun terakhir ini masyarakat mulai
menerima minyak goreng yang kaya akan senyawa
173
Syafnil, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 172-175
karotene, yaitu minyak goreng yang diproduksi tanpa
menghilangkan zat warna (tanpa bleaching) karotene
yang secara alamiah ada pada CPO. Minyak goreng
sawit (palm olein) yang dibuat tanpa perlakuan
bleaching lebih dikenal dengan nama Minyak Sawit
Merah atau Red palm olein [1][5].
Kandungan β-karotene yang terdapat dalam Red palm
olein (RPO) diukur dengan metoda spektrofotometri.
Spektrofotometri merupakan perluasan pemeriksaan
visual secara kuantitatif. Prinsip kerja berdasarkan
penyerapan energi radiasi oleh suatu larutan yang
berwarna, dengan jalan mengukur intensitas sinar yang
diserap larutan berwarna yang dilewati oleh berkas
energi radiasi tersebut [2].
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
perlakuan fraksinasi kandungan β-karotene pada
minyak sawit merah atau red palm olein. Diharapkan
hasil penelitian ini dapat memberikan ekspektasi
terhadap warna minyak sawit merah yang diproduksi
sebagai minyak goreng yang lebih sehat, serta
mendorong kajian lebih lanjut terhadap karakteristik
minyak sawit merah, khususnya zat warna yang
bermanfaat bagi kesehatan.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi
Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu .
Berlangsung selama 5 bulan, mulai dari bulan Juni
sampai November tahun 2004.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
crude palm olein (CPO), β-karotene, aqua destilata,
aluminium foil, kertas label, dan bahan-bahan kimia
lainnya. Sampel crude palm oil (CPO) diperoleh dari
pabrik pengolahan kelapa sawit PT. Bio Nusantara,
Bengkulu Utara, Propinsi Bengkulu. Bahan-bahan
kimia dibeli dari CV. Purna Karya Scientific Bengkulu,
Kotamadya Bengkulu. Peralatan yang dipakai adalah
refrigerator, scentrifuge, spektronik-21, stirrer, magnet,
kompor listrik , kassa, kertas saring. Sedangkan alatalat gelas yang digunakan antara lain, gelas ukur, gelas
piala, pipet volume, erlenmeyer, kaca arloji, pengaduk,
corong, tabung reaksi, dll.
Perlakuan pertama adalah memisahkan sampel CPO
dari pengotornya dengan menggunakan centrifuge.
Untuk mendapatkan hasil yang optimum dilakukan
pemisahan dengan variasi putaran 2, 3, 4 dan 5 menit,
serta kecepatan putaran 1500, 2000, 3000, 4000 dan
5000 rpm. Sampel yang dibersihkan dari pengotornya,
selanjutnya dilakukan fraksinasi dalam refrigerator
dengan suhu 4oC, selama 3, 6 dan 9 hari. Fraksi cair
diambil sebanyak 50 ml dan dimasukkan ke dalam
tabung reaksi (masing-masing 10 ml) selanjutnya
diputar dalam centrifuge, dengan kecepatan 4000 rpm,
selama 2 menit. Selanjutnya dipisahkan dan hitung
volume fraksi cair, dipindahkan pada tabung reaksi,
tutup dan diberi label atau kode. Setiap perlakuan
diulang sebanyak 3 kali. Konsentrasi senyawa
karotennya diukur dengan metode spektrofotometri,
pengukuran dilakukan pada panjang gelombang
optimum 500 nm. Hasil serapan dibandingkan dengan
hasil serapan berbagai konsentrasi larutan standar βkarotene, perhitungannya menggunakan persamaan
garis regresi. Pengujian dengan menggunakan Anava
dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan
fraksinasi terhadap perbedaaan konsentrasi β-karotene.
3. Hasil dan Pembahasan
Pada studi ini akan dicoba untuk tidak membuang
senyawa karotene yang terkandung dalam minyak,
minyak ini dikenal dengan Red palm olein (RPO).
Langkah awal yang dilakukan adalah memisahkan
sample CPO dari pengotornya dengan alat centrifuge.
Sebanyak 40 ml sample dimasukkan ke dalam 4 tabung
reaksi, masing-masing dengan volume 10 ml.
Selanjutnya dimasukkan ke dalam centrifuge selama 2
menit dan kecepatan putaran 1500 rpm. Fraksi cair
diambil dan volumenya diukur, perlakuan ini dilakukan
3 kali. Untuk memperoleh pemisahan yang optimal,
maka waktu putaran divariasikan selama 2, 3, 4 dan 5
menit serta kecepatan putaran 1500, 2000, 4000 dan
5000 rpm. Volume fraksi cair dapat dilihat pada table
1.
Hasil table 1 dilakukan uji F (ANAVA) dengan
ketelitian 0,05 untuk mengetahui pengaruh perolehan
fraksi cair terhadap lama dan kecepatan putaran.
Syafnil, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 172-175
Tabel 1. Volume fraksi cair hasil pemisahan kotoran
Kecepatan Putaran ( rpm )
Lama
Putaran
1500
2000
3000
4000
5000
(menit)
2
3
4
5
32,6 ml
36,4 ml
36,3 ml
36,3 ml
36,3 ml
36,4 ml
36,2 ml
36,4 ml
36,3 ml
36,2 ml
36,4 ml
36,4 ml
36,3 ml
36,4 ml
36,1 ml
34,4 ml
36,3 ml
36,2 ml
36,2 ml
36,4 ml
36,4 ml
36,4 ml
36,2 ml
36,1 ml
34,0 ml
34,1 ml
34,1 ml
34,2 ml
34,1 ml
34,1 ml
34,0 ml
34,2 ml
34,2 ml
34,1 ml
34,2 ml
34,1 ml
31,9 ml
32,0 ml
32,1 ml
32,9 ml
32,1 ml
32,0 ml
31,8 ml
32,0 ml
32,1 ml
32,2 ml
33,1 ml
32,0 ml
31,0 ml
30,8 ml
30,9 ml
31,1 ml
30,7 ml
30,9 ml
30,9 ml
31,0 ml
30,9 ml
31,0 ml
30,8 ml
30,8 ml
Dari hasil uji F diperoleh bahwa untuk perlakuan A
(lama putaran) F hitung (= 0,001 318) berarti lebih
kecil dari F tabel (=2,84) dengan taraf signifikan 0,05,
perlakuan B (kecepatan putaran) tidak menghasilkan
perbedaan yang nyata, sedangkan volume fraksi cair
terdapat perbedaan yang nyata dengan variasi
kecepatan putaran. Untuk analisis selanjutnya, karena
lama putaran tidak memberikan perbedaan yang nyata,
maka lama putaran dilakukan selama 2 menit.
Kecepatan putaran dilakukan dengan kecepatan 4000
rpm.
Minyak sawit terdiri dari asam lemak tidak jenuh
(ALTJ) dan asam lemak jenuh (ALJ), kedua asam ini
diperlukan untuk industri lemak makan. ALTJ sangat
dibutuhkan dalam proses metabolisme di dalam tubuh
dibandingkan dengan ALJ [4]. Untuk mengurangi
kandungan ALJ dalam CPO dilakukan proses
pemisahan dengan cara pendinginan pada suhu 4oC
[1][5]. Pada suhu tersebut ALJ akan membeku
sedangkan ALTJ masih berujud cair. Sample CPO yang
telah dipisahkan dengan pengotornya dengan centrifuge
selama 2 menit dan kecepatan putaran 4000 rpm
diambil sebanyak 50 ml dan dimasukkan ke dalam 5
tabung reaksi masing-masing volume
10 ml,
selanjutnya dilakukan proses penyimpanan dalam
refrigerator pada suhu 4oC. Selesai masa penyimpanan
fraksi cair diambil dan selanjutnya diputar dalam
centrifuge dengan kecepatan 4000 rpm selama 2 menit,
fraksi cair diambil.
Hasil yang diperoleh, semakin lama masa penyimpanan
semakin banyak fraksi padat terbentuk dan semakin
sedikit fraksi cairnya.
174
Tabel 2. Volume fraksi cair hasil penyimpanan
Lama Penyimpanan
Sampel
3 Hari
6 Hari
9 Hari
1
6,6 ml
5,3 ml
3,9 ml
2
6,8 ml
5,1 ml
4,5 ml
3
6,2 ml
5,7 ml
4,4 ml
4
6,5 ml
5,6 ml
4,6 ml
5
6,4 ml
5,2 ml
4,2 ml
Jumlah
32,5 ml
26,9 ml
21,6 ml
Serapan rata-rata sample dibandingkan dengan hasil
serapan larutan standar (Lampiran), dengan
menggunakan garis regersi lewat titik nol [3].
Konsentrasi karotene dalam sample diperoleh adalah:
a. Penyimpanan 3 hari ( 3H ) = 155,263 ppm
b. Penyimpanan 6 hari ( 6H ) = 200,669 ppm
c. Penyimpanan 9 hari ( 9H ) = 525,507 ppm
Dari ketiga sample diperoleh bahwa kandungan
konsentrasi karotene meningkat dengan makin lama
proses penyimpanan. Pengujian dengan Anava
dilakukan untuk mengetahui pengaruh lama
penyimpanan terhadap konsentrasi karotene.
Hasilnya adalah, F Hitung (= 6461,931) lebih besar
dari F tabel (= 5,14) dengan taraf signifikasi 0,05.
Berarti lama penyimpanan memberikan perbedaan
yang nyata terhadap kandungan karotene.
4. Kesimpulan
Hasil penelitian ini diperoleh bahwa asam lemak ,jenuh
(ALJ) mempunyai titik beku lebih tinggi dari pada
asam lemak tidak jenuh (ALTJ), sehingga dalam
proses pembuatan minyak sawit, asam lemak jenuh
dapat dipisahkan dengan proses pendinginan.
Senyawa karotene yang memberi warna pada minyak
tidak dihilangkan sehingga minyak tetap berwarna
merah yang dikenal dengan minyak sawit merah
(RPO).
Lama penyimpanan (= pada suhu 4oC) berpengaruh
nyata terhadap kandungan senyawa karotene. Semakin
lama masa penyimpanan semakin tinggi konsentrasi
karotene yang diperoleh.
175
Syafnil, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 172-175
Daftar Pustaka
[1] Choo, Y.M., S.C. Yap. A.S.H. Ong, C.K. Ooi, dan S.H.
Goh., Palm Oil Caroteniod : Chemistry and Technology,
1999, JAOCS, Vol 76, No. 1, 42-47.
[2] Day, R.A. dan A.L. Underwood, Analisa Kimia
Kuantitatif, 1989, Edisi Kelima, Erlangga, Jakarta: 383406.
[3] Imamkhasani, Soemanto, Regresi Lewat Titik Nol, 1991,
Jakarta : Warta Kimia Analitik, Puslitbang Kimia
Terapan LIPI. 2(3), Hal 19-20.
[4] Naibaho, P.M., Diversivikasi Minyak Sawit dan Inti
Sawit Dalam Upaya Meningkatkan Daya Saing Dengan
Minyak Nabati Lain dan Hewani, 1990 Buletin
Perkebunan, Vol 21, No. 2, Hal 107-124.
[5] Ooi, C.K., Choo, S.C., Y. Basiron, dan A.S.H. Ong.,
Recovery of Carotenoids From Palm Oil, 1994, Vol.
71, No. 4, Hal 423-426.
Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 176-178
Karakterisasi Senyawa Alkaloid Fraksi Etil Asetat Hasil Isolasi
dari Daun Tumbuhan Pacah Piriang
(Ervatamia coronaria (Jacq.) Stapf)
Evi Maryanti
Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu, Indonesia
Diterima 12 April 2006; disetujui 1 Juli 2006
Absrak - Telah diisolasi senyawa alkaloid dari ekstrak metanol daun tumbuhan Pacah Piriang (Ervatamia coronaria
(Jacq.) Stapf. Senyawa ini berupa kristal batang berwarna putih yang diperoleh dari fraksi etil asetat. Hasil
karakterisasi terhadap senyawa alkaloid ini dengan spektrofotometer UV menunjukkan serapan maksimum pada 204
nm, 225 nm dan 285 nm yang menandakan adanya cincin benzena, ikatan rangkap diena terkonyugasi dan transisi n ke
π* dari elektron menyendiri atom N. Hasil karakterisasi dengan spektrofotometer IR memperlihatkan adanya serapan
pada 3438,8 cm-1 (-NH 10 atau 20), 2920,0 cm-1 (-CH alifatis), 1710,7 cm-1 (C=O), 1593,1 cm-1 (-C=C- aromatis),
1488,9 cm-1 (cincin aromatis), 1454,2 cm-1 (-CH2), 1371,3 cm-1 (-CH3), dan 829,3 cm-1 (=CH- luar bidang).
Kata Kunci : Alkaloid; Ervatamia coronaria (Jacq.) Stapf
1. Pendahuluan
Pacah Piriang (Ervatamia coronaria (Jacq.) Stapf)
merupakan tanaman semak hias dengan tinggi antara 12,5 meter dan mempunyai bunga berwarna putih.
Tumbuhan ini berasal dari india dan banyak digunakan
sebagai obat tradisonal antara lain untuk mengobati
penyakit pembengkakan pada mata dan gigi, cacing,
diare, wasir, tumor abdominal, epilepsi, encok, kencing
batu, cacar, tetapi pada dosis tinggi dapat menyebabkan
keracunan [2][3].
Salah satu konstituen yang dikandung oleh Ervatamia
coronaria (Jacq.) Stapf adalah alkaloid. Alkaloid
merupakan salah satu metabolit sekunder yang banyak
ditemukan di alam dan mempunyai keaktifan fisiologis
tertentu. Alkaloid ada yang sangat beracun tetapi ada
pula yang sangat berguna dalam pengobatan misalnya
kuinin, morfin dan striknin [1].
Pemurnian dan pengkarakterisasi senyawa sistein
protease ervatamin A secara biokimia telah dilakukan
oleh [11]. Penelitian terhadap spesies lain dari genus
yang sama yaitu tumbuhan Ervatamia orientalis,
dimana dari penelitian tersebut telah diisolasi 0,22 %
alkaloid-alkaloid yaitu ibogain, ervatamin, 19-dehydro
ervatamin dan apparasin dengan perbandingan berturutturut 1,8 ; 0,25 ; 0,5 ; 1; 2 juga telah dilakukan oleh [9].
Mengingat pentingnya senyawa alkaloid tersebut maka
penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi dan
mengkarakterisasi senyawa alkaloid dari daun
tumbuhan Pacah Piriang (Ervatamia coronaria (Jacq.)
Stapf).
2. Metode Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
daun segar tumbuhan Pacah Piriang (Ervatamia
coronaria (Jacq.) Stapf), metanol, etil asetat, butanol,
pereaksi Dragendorf, silika gel, plat KLT. Peralatan
yang digunakan adalah rotavapor, lampu ultra violet,
kolom kromatografi, spektrofotometer ultra violet dan
spektrofotometer infra merah.
Metode penyarian dilakukan dengan maserasi terhadap
6 Kg daun segar Pacah Piriang (Ervatamia coronaria
(Jacq.) Stapf) yang telah dirajang halus dalam metanol
selama 5 hari, sebanyak 3 kali. Hasil ekstrak
dipekatkan dengan rotavapor, kemudian difraksinasi
dengan etil asetat dan butanol. Dari pengerjaan ini
didapat 3 alkaloid yaitu alkaloid kasar A (2,3546
gram), alkaloid kasar B (5,2673 gram) dari fraksi etil
177
Evi Maryanti, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 176-178
asetat dan alkaloid kasar C (25,2654 gram) dari fraksi
butanol.
Masing-masing fraksi dimonitor dengan kromatografi
lapisan tipis, pereaksi dragendorf dan lampu ultra
violet. Alkaloid kasar B dari fraksi etil asetat
menunjukkan intensitas warna orange yang paling
tajam dengan pereaksi Dragendorf.
Dari pemeriksaan diatas, dilakukan kromatografi kolom
terhadap alkaloid kasar B dengan eluen n-heksana,
campuran n-heksana-etil asetat, etil asetat,campuran etil
asetat-metanol dan metanol dengan sistim elusi
kepolaran dinaikkan. Setelah didapat senyawa murni,
dikarakterisasi dan spektroskopi UV dan IR.
3. Hasil dan Pembahasan
Dari hasil pemisahan terhadap alkaloid kasar B
menggunakan kromatografi kolom didapatkan kristal
berbentuk batang yang berwarna putih sebanyak 45 mg.
Selanjutnya dilakukan uji kemurnian dari kristal
dengan kromatografi lapis tipis menggunakan beberapa
eluen dimana didapat noda tunggal dan bulat dengan
harga Rf seperti yang terlihat pada lampiran, dan uji
titik leleh memberikan jarak leleh 1360C-136,70C. Hal
ini sesuai dengan pendapat [10] yang menyatakan
bahwa jika sudah terbentuk noda tunggal pada plat
KLT dan jarak leleh yang kecil dari 20C menunjukkan
kristal telah murni.
Hasil pengukuran dengan spektrofotometer ultraviolet
dengan pelarut metanol p.a memperlihatkan adanya
serapan maksimum pada panjang gelombang 204 nm
yang menunjukkan adanya cincin benzena didalam
senyawa hasil isolasi. Menurut [14] bahwa benzena
memperlihatkan 3 pita serapan yaitu pada 184 nm, 204
nm dan 285 nm yang berasal dari transisi π ke π*. Hal
ini juga didukung oleh serapan pada spektrum IR yaitu
1488,9 cm-1 yang merupakan serapan dari cincin
aromatis, sesuai dengan [13] bahwa serapan medium
tinggi kuat pada daerah 1450-1650 cm-1 menunjukkan
adanya cincin aromatis. Disamping itu adanya serapan
pada 1593,10 cm-1 yang menunjukkan adanya gugus
C=C aromatis dan serapan pada 829,3 cm-1 yang
merupakan bengkokan =CH luar bidang [13].
Spektrum UV juga memperlihatkan adanya serapan
maksimum pada panjang gelombang 225 nm yang
memberikan indikasi adanya ikatan rangkap
terkonyugasi. Menurut [14] bahwa diena terkonyugasi
muncul pada serapan 215-230 nm. Hal ini juga
didukung oleh adanya pita serapan pada spektrum IR
yaitu pada 1710,7 cm-1 yang menunjukkan adanya
vibrasi ulur C=O yang terkonyugasi ikatan rangkap.
Gugus C=O yang terkonyugasi oleh ikatan rangkap
akan menyebabkan serapan bergeser ke daerah dengan
panjang gelombang yang lebih kecil dari serapan gugus
C=O murni yaitu pada daerah 1720-1725 cm-1 [13].
Selain itu spektrum UV juga menunjukkan serapan
maksimum pada panjang gelombang 285 nm yang
memberikan indikasi adanya transisi n ke π* dari
elektron n menyendiri pada atom N yang terjadi pada
daerah panjang gelombang lebih besar dari 270 nm [5].
Hal ini juga didukung oleh adanya serapan pada
spektrum IR yaitu pada 3438,8 cm-1 yang menunjukkan
adanya gugus -NH (10 atau 20). Serapan oleh vibrasi
ulur N-H terletak pada daerah dekat 3500 cm-1 [13].
Dari hasil pengukuran dengan spektrofotometer
inframerah terhadap senyawa hasil isolasi juga
memperlihatkan serapan vibrasi ulur C-H alifatis pada
daerah 2920,0 cm-1 dan didukung oleh serapan vibrasi
tekuk dari -CH2- pada daerah 1454,2 cm-1 serta serapan
vibrasi tekuk dari gugus metil (-CH3) pada daerah
1371,3 cm-1. Umumnya vibrasi ulur C-H alifatis akan
menghasilkan serapan pada daerah 2850-3000 cm-1,
vibrasi tekuk –CH3 akan menghasilkan serapan pada
daerah 1375-1450 cm-1 dan vibrasi tekuk -CH2- akan
menghasilkan serapan pada daerah kira-kira 1465 cm-1
[13].
Dari data yang diperoleh dapat diketahui bahwa
senyawa hasil isolasi merupakan senyawa alkaloid
yang mengandung ikatan rangkap terkonyugasi, cincin
benzena, gugus -NH (10 atau 20), gugus C=O, gugus CH2- dan gugus –CH3.
4. Kesimpulan
Dari hasil fraksinasi ekstrak pekat metanol didapatkan
3 alkaloid kasar dari 2 fraksi yaitu alkaloid kasar A
Evi Maryanti, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 176-178
(2,3546 gram), dan alkaloid kasar B (5,2673 gram) dari
fraksi etil asetat serta alkaloid kasar C (25,2654 gram)
dari fraksi butanol.
Dari hasil karakterisasi dengan spektrofotometer UV
dan IR diketahui bahwa senyawa alkaloid hasil isolasi
mengandung cincin benzen, ikatan rangkap
terkonyugasi, gugus NH (10 atau 20), gugus C=O,
gugus –CH2- dan gugus –CH3.
Adanya N (10 atau 20) pada spektrum IR menunjukkan
bahwa kristal batang berwarna putih adalah senyawa
alkaloid.
Daftar Pustaka
[1] Achmad, S.A., Kimia Organik Bahan Alam, 1986, UT,
Jakarta.
[2] Anonim, Plants for Medicines : A Chemical and
Pharmacological Survey of Plants in the Aust Region
CSIRO 1990, 2004, http://www.google.com
[3] Backer, C.A. & R.C. Bakhuizen Van Den Brinnk., Flora
of Java Vol II, 1965, N.V.P.Noodhoff-Groningen,
Nedherlands.
[4] Cordell, G.A.,. Introduction to Alkaloids A Biogenetic
Approach, 1981, A Wiley Interscience Publication, John
Wiley and Sons, New York.
[5] Fessenden & Fessenden., Kimia Organik, terjemahan
Aloysius Hadyana Pudjaatmaka, edisi ketiga, jilid 2,
1999, Erlangga, Jakarta.
[6] Farnworth, Norman.R., Biological and Pytochemical
Screening of Plants, 1966, Pharmaceutical Sciences,.
March;55(3):253-254.
[7] Gritter, R.J., Pengantar Kromatografi, terjemahan
Kosasih Padmawinata, Edisi kedua, 1991, ITB,
Bandung.
[8] Kusuma, T.S., Kimia dan Lingkungan, 1988, Pusat
penelitian UNAND, Padang.
[9] Knox & Slobbe., Alkaloids of Ervatamia orientalis,
1975,
Aust.
J.
Chem.
#28:
1813-56.
http://users.lycaeum.org/.~mulga/iboga/center.htm.
[10] Manjang,Y., Kimia Analisa Organik, 1985, Proyek
Peningkatan Pengembangan
Perguruan Tinggi,
UNAND, Padang.
[11] Nallamsetty, S., Kundu, S., Jagannadham, M.V.,
Purification and Biochemical characterization of A
Highly Active Cysteine Protease Ervatamin A The Latex
of Ervatamia coronaria ,2003 , J. Protein. Chem,
Jan;22(1):1-13. http://www.google.com., 2004.
178
[12] Pelletier, S.W., Alkaloids Chemical and Biological
Perspectives, Vol 1, 1983, John Wiley and Sons, New
York.
[13] Sastrohamidjojo, H., Spektroskopi Infra Merah, 1992,
Liberty, Yogyakarta
[14] Silverstein, R.M., G.C. Bassler and T.C.Morril.,
Penyelidikan Spektroskopi Senyawa Organik Edisi
keempat, 1986, Erlangga, Jakarta.
[15] Suyani, H., Kimia dan Sumber Daya Alam, 1991,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat
Penelitian Universitas andalas, Padang.
[16] Vogel, I.A., A Text-Book of Practical Organic
Chemistry, Edisi ketiga, 1946, Longman, London.
Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 179-182
Kajian Pengaruh Suhu Pada Sintesis Trifenil Metil Klorida Dari
Trifenil Metanol Dan Asetil Klorida
Eni Widiyati
Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu, Indonesia
Diterima 10 Juni 2006; disetujui 1 Juli 2006
Abstrak – Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suhu pada sintesis trifenil metil klorida dari trifenil
metanol dan asetil klorida serta mempelajari mekanisme reaksinya. Pada penelitian ini, untuk mengetahui adanya
pengaruh suhu pada sintesis maka dilakukan sintesis trifenil metil klorida pada suhu refluks yang divariasi yaitu 45oC,
55oC dan 70oC. Trifenil metil klorida yang dihasilkan diidentifikasi dengan spektrofotometer inframerah, kemudian
spektra yang dihasilkan dibandingkan dengan spektra standar trifenil metil klorida. Mekamisme reaksi yang terjadi
dipelajari dengan cara studi literatur. Hasil penelitian menunjukkan trifenil metil klorida yang dihasilkan pada suhu
refluks 45oC memberikan hasil lebih banyak dibandingkan dengan yang disintesis pada suhu yang lain. Hal ini
menunjukkan suhu berpengaruh pada sintesis tersebut. Reaksi sintesis trifenil metil klorida dari trifenil metanol dan
asetil klorida adalah merupakan reaksi substitusi nukleofilik dengan mekanisme adisi-eliminasi melalui pembentukan
zat-antara tetrahedral.
Kata Kunci : Sintesis; Trifenil metil klorida; Trifenil Metanol; Asetil klorida
1. Pendahuluan
Tidak semua senyawa organik dapat diperoleh secara
isolasi langsung dari sumbernya, sehingga untuk
mendapatkan senyawa-senyawa tersebut harus dibuat
secara sintesis seperti asetil klorida, trifenil metanol
dan trifenil metil klorida.
Trifenil metil klorida adalah senyawa organik termasuk
golongan senyawa alkil halida tersier di mana ketiga
gugus alkil diganti oleh gugus fenil. Senyawa ini
mudah terhidrolisis oleh air, sehingga tidak dapat
diperoleh dalam keadaan bebas di alam. Oleh karena
itu jika akan diperlukan maka senyawa tersebut harus
dibuat secara sintesis.
Sintesis untuk menghasilkan trifenil metil klorida sudah
pernah dilakukan [2] dan [3], namun pada kedua
sintesis tersebut tidak dijelaskan suhu reaksi. Hasil
yang diperoleh pada sintesis [3] sebanyak 79 – 83%.
Ada beberapa faktor yang dapat berpengaruh terhadap
kuantitas senyawa hasil reaksi sintesis, salah satunya
adalah suhu reaksi. Suhu
berpengaruh pada
kesetimbangan kimia [1]. Menurut prinsip Le Chatelier,
bila sistem kesetimbangan diganggu, maka
kesetimbangan akan berpindah untuk melawan
perubahan yang diterapkan. Apabila suhu sistem
kesetimbangan dinaikkan, maka kesetimbangan akan
bergeser ke arah yang menyebabkan absorbsi kalor.
Oleh karena itu untuk mengetahui adanya pengaruh
suhu reaksi terhadap kuantitas hasil perlu dilakukan
penelitian khususnya sintesis trifenil metil klorida dari
trifenil metanol dan asetil klorida.
Diharapkan dari hasil penelitian dapat diketahui adanya
pengaruh suhu terhadap jumlah trifenil metil klorida
yang dihasilkan sehingga dapat digunakan sebagai
acuan untuk menentukan kondisi reaksi sintesis trifenil
metil klorida atau senyawa-senyawa sejenis.
Berdasarkan pada latar belakang di atas maka
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
suhu pada sintesis trifenil metil klorida dari trifenil
metanol dan asetil klorida dan mempelajari mekanisme
reaksi yang terjadi.
2. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini alat-alat yang digunakan meliputi
satu set alat refluks, satu set alat distilasi fraksi,
spektrofotometer infra merah merk Hitachi 270-50
Eni Widiyati, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 179-182
dengan media pendispersi parafin cair, timbangan,
kompor listrik, alat penentu titik leleh, kertas saring,
corong Buchner dan penangas air.
Bahan-bahan yang digunakan meliputi asetil klorida,
trifenil metanol, benzena, petroleum eter, kalsium
klorida, kalsium oksida, parafin padat, parafin cair dan
sodium hidroksida.
Pada penelitian ini trifenil metil klorida disintesis
dengan mereaksikan trifenil metanol dan asetil klorida
pada suhu refluks yang berbeda yaitu 45oC, 55oC dan
70oC. Caranya adalah sebanyak 25 gram trifenil
metanol dimasukkan ke dalam labu alas bulat leher tiga
vol 100 ml yang dilengkapi dengan pengaduk magnet,
pendingin bola (bagian atas diberi tabung yang berisi
kalsium klorida anhidrat), corong penetes dan
termometer. Ke dalam trifenil metanol dimasukkan 8
ml benzena. Sebanyak 15 ml asetil klorida dimasukkan
ke dalam corong penetes. Campuran dipanaskan dalam
penangas air. Pada saat suhu campuran mencapai 45oC,
sebanyak kurang lebih 2 ml asetil klorida ditambahkan
tetes demi tetes sambil diaduk. Setelah trifenil metanol
larut, penambahan asetil klorida dilanjutkan tetes demi
tetes. Suhu campuran dijaga tetap. Setelah selesai
penambahan asetil klorida campuran direfluks pada
suhu 45oC selama 30 menit. Setelah refluks selesai,
campuran didinginkan di dalam air dan pada saat
pendinginan ditambahkan 20 ml petroleum eter.
Kemudian campuran didinginkan dengan air es selama
2 jam. Endapan disaring dengan corong Buchner,
dicuci menggunakan 15 ml petroleum eter, kemudian
dikeringkan dalam desikator vakum dengan pengering
kalsium oksida, sodium hidroksida dan parafin padat.
Setelah disimpan dalam desikator selama 24 jam,
endapan kristalin menjadi kering dan ditentukan titik
lelehnya untuk mengetahui apakah senyawa yang
dihasilkan sudah murni. Jika belum murni, maka kristal
direkristalisasi kembali sampai diperoleh trifenil metil
klorida murni. Selanjutnya trifenil metil klorida yang
dihasilkkan ditentukan serapan inframerahnya
menggunakan alat spektrofotometer inframerah.
Prosedur
tersebut diulangi dengan suhu refluks
berbeda yaitu 55oC dan 70oC.
180
3. Hasil dan Pembahasan
Trifenil metil klorida dapat disintesis dari trifenil
metanol dan asetil klorida dengan pelarut benzena.
Untuk mendapatkan hasil trifenil metil klorida yang
baik, maka semua senyawa yang akan direaksikan
harus dalam keadaan murni. Untuk itu asetil klorida
harus diredistilasi dan trifenil metanol harus
direkristalisasi. Pada penelitian ini trifenil metil klorida
dibuat dengan mereaksikan 25 gram (0,096 mol)
trifenil metanol dan 15 ml (16,56 gram, B.J = 1,104 =
0,210 mol) asetil klorida. Asetil klorida dibuat
berlebihan agar semua trifenil metanol berubah menjadi
trifenil metil klorida, sedang kelebihan asetil klorida
dan asam asetat yang dihasilkan akan larut dalam
benzena atau larut dalam petroleum eter pada saat
pencucian hasil dan rekristalisasi. Berdasarkan
perhitungan secara teori, jika 0,096 mol trifenil
metanol direaksikan dengan 0,210 mol asetil klorida ,
maka akan dihasilkan trifenil metil klorida sebanyak
26,76 gram.
Trifenil metil klorida yang dihasilkan pada penelitian
ini berupa zat padat, bersifat kristal, berwarna putih dan
titik leleh 110oC – 111oC. Sifat-sifat ini sesuai dengan
sifat trifenil metil klorida standar [8].
Berdasarkan pengamatan pada sintesis trifenil metil
klorida , ternyata dari ketiga sintesis pada suhu yang
berbeda, diperoleh trifenil metil klorida dengan jumlah
yang berbeda pula yaitu pada suhu refluks 45oC
sebanyak 19,60 gram (73,23%), sedang yang dibuat
pada suhu refluks 55oC sebanyak 17,55 gram (65,57%)
dan yang dibuat pada suhu 70oC sebanyak 9,05 gram
(33,81%). Gambar diagram hubungan antara suhu
refluks dengan jumlah trifenil metil klorida yang
dihasilkan terdapat pada gambar 1.
Gambar 1. Diagram hubungan suhu refluks dengan jumlah
trifenil metil klorida yang dihasilkan
181
Eni Widiyati, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 179-182
Dari ke tiga pengamatan dapat diketahui bahwa pada
saat penambahan asetil klorida ke dalam campuran
trifenil metanol dan benzena terjadi kenaikan suhu, hal
ini menunjukkan bahwa sintesis trifenil metil klorida
bersifat eksotermik. Trifenil metil klorida yang
disintesis pada suhu 45oC jumlahnya lebih banyak bila
dibandingkan dengan yang disintesis pada suhu 55oC
dan 70oC, namun masih di bawah perhitungan secara
teoritis. Sedang trifenil metil klorida yang disintesis
pada suhu 70oC adalah yang paling sedikit dan jauh
dari perhitungan secara teoritis. Hal ini kemungkinan
disebabkan karena proses reaksinya merupakan reaksi
eksoterm. Menurut prinsip Le Chatelier, bila sistem
kesetimbangan diganggu, kesetimbangan akan bergeser
untuk melawan aksi tersebut. Jadi pada reaksi
eksoterm, apabila suhu dinaikkan, maka kesetimbangan
akan bergeser ke arah endoterm [1]. Reaksi-reaksi
eksoterm biasanya memiliki konstanta kesetimbangan
kecil berarti perubahan bahan awal menjadi hasil reaksi
sedikit [7]. Jadi pada reaksi eksoterm apabila
ditambahkan panas, maka reaksi akan bergeser ke arah
pembentukan reaktan, sehingga produk yang dihasilkan
akan berkurang. Juga kemungkinan disebabkan oleh
kenaikan suhu yang begitu cepat dapat mengakibatkan
reaksi-reaksi yang tidak diinginkan karena adanya
panas. Suhu reaksi yang tinggi dapat menyebabkan
asetil klorida keluar dari reaktor sehingga reaksinya
tidak sempurna.
Untuk mengetahui struktur senyawa trifenil metil
klorida berdasarkan pada gugus karakteristik yang
terdapat dalam struktur senyawa, maka dilakukan
analisis kualitatif dengan media pendispersi parafin cair
menggunakan spektrofotometer inframerah. Spektra
yang dihasilkan pada penelitian ini dibandingkan
dengan spektra standar trifenil metil klorida [6]. Pada
umumnya, senyawa yang akan dianalisis menggunakan
alat spektrofotometer inframerah terlebih dahulu dibuat
pelet dengan KBr. Namun pada penelitian ini, trifenil
metil klorida tidak dapat dibuat pelet dengan KBr
karena senyawa ini merupakan senyawa yang bersifat
higroskopis. Apabila dibuat pelet dengan KBr, maka
trifenil metil klorida akan mengikat air yang
kemungkinan terdapat dalam KBr, sehingga serapan
gugus OH dari air akan muncul dalam spektra dan hal
ini akan mengganggu dalam analisis. Pada penelitian
ini digunakan parafin cair sebagai media pendispersi
karena senyawa ini cocok sebagai media pendispersi
senyawa-senyawa aromatik seperti trifenil metil
klorida.
Hasil analisis serapan inframerah trifenil metil klorida
yang disintesis pada penelitian ini terdapat pada tabel
1.
Tabel 1. Hasil analisis serapan inframerah trifenil
metil klorida yang disintesis pada suhu 45o C
No
1
Serapan (cm –1)
3100
2
3000 – 2800 (tajam)
3
4
5
6
1600
–
1475
(sedang)
1450 (sedang)
1370 (sedang)
900 – 690 (tajam)
7
800 – 600 (tajam)
Gugus karakteristik
Rentangan = CH
aromatik
Rentangan –CH dari
alkana
-C=C- aromatik
-CH2 – dari alkana
-CH3 dari alkana
=CH aromatik keluar
bidang
-C-Cl
Dari tabel 1, dapat diketahui hasil analisis spektra
inframerah trifenil metil klorida yang disintesis pada
suhu 45oC menunjukkan terdapat puncak-puncak
(serapan) pada bilangan gelombang yang sesuai
dengan spektra serapan inframerah standar senyawa
trifenil metil klorida. Demikian juga dengan spektra
serapan inframerah trifenil metil klorida yang disintesis
pada suhu refluks 55oC dan 70oC, memberikan hasil
yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa yang
dihasilkan pada penelitian ini adalah senyawa trifenil
metil klorida.
Asetil klorida adalah salah satu turunan asam
karboksilat yang mengandung gugus karbonil (C=O)
yang berdekatan dengan gugus klor yang bersifat
elektronegatif. Apabila asetil klorida mengalami reaksi
substitusi, maka akan terjadi substitusi dengan
mekanisme adisi-eliminasi [5]. Jadi reaksi sintesis
trifenil metil klorida dari trifenil metanol dengan asetil
klorida termasuk dalam reaksi substitusi nukleofilik
pada senyawa karbonil. Hal ini disebabkan karena
gugus klor yang terikat pada gugus karbonil senyawa
asetil klorida bersifat elektronegatif (good leaving
group) sehingga akan menarik elektron dari karbon
karbonil dan menyebabkan atom karbon karbonil
Eni Widiyati, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 179-182
menjadi bersifat lebih positif dan mudah diserang oleh
nukleofil. Mekanisme reaksi sintesis trifenil metil
klorida terdapat pada gambar 2.
182
Reaksi sintesis trifenil metil klorida merupakan reaksi
substitusi nukleofilik dengan mekanisme adisieliminasi melalui pembentukan zat-antara tetrahedral.
Daftar Pustaka
Gambar 2. Mekanisme reaksi sintesis trifenil metil
klorida dari trifenil metanol dan asetil klorida
Pada tahap adisi, trifenil matanol sebagai nukleofil
menyerang karbon karbonil dari asetil klorida dengan
menggunakan pasangan elektron bebas pada atom
oksigen gugus hidroksil membentuk hasil antara
tetrahedral [4]. Tahap ini adalah tahap lambat yang
merupakan tahap penentu laju reaksi. Jadi tahap
penentu laju reaksi adalah adisi nukleofilik pada gugus
karbonil. Pada tahap adisi terjadi perubahan geometri
atom C gugus karbonil dari trigonal (∠120oC) dengan
orbital sp2 bastar menjadi tetrahedral (∠109,5oC)
dengan orbital sp 3 bastar dalam bentuk hasil antara.
Kemudian tahap berikutnya gugus klor dan gugus
trifenil metil akan mengalami eliminasi membentuk
trifenil metil klorida yang merupakan tahap cepat. Pada
tahap eliminasi terjadi perubahan geometri karbon
karbonil dari tetrahedral menjadi trigonal.
4. Kesimpulan
Sintesis trifenil metil klorida pada suhu refluks 45oC
memberikan hasil yang lebih banyak yaitu 73,23%
dibandingkan dengan yang disintesis pada suhu refluks
55oC (65,57%) dan 70oC (33,81%). Berarti pada
penelitian ini suhu reaksi berpengaruh pada jumlah
trifenil metil klorida yang dihasilkan.
[1] Daniels, F. dan Alberty, R., Kimia Fisika, (terjemahan
Surdia, N.M. et al.), 1983, edisi ketujuh, Penerbit
Erlangga, Jakarta.
[2] Furniss, B.S., Vogel’s Text Book of Practical Organic
Chemistry, 1978, fourth edition, Longman Group Ltd.,
England.
[3] Horning, E.C. et al., Organic Synthesis , 1967, volume
3, John Wiley and Sons, Inc., New York
[4] Isaact, N. S., Reactive Intermediates in Organic
Chemistry , 1975, John Wiley and Sons, New York.
[5] Norman, R. O. C., 1978, Principles of Organic
Synthesis, 1978, second edition, Chapman and Hall,
London.
[6] Pouchert, C.J., The Aldrich Library of Infrared Spectra,
1975, second edition, Aldrich Chemical Company Inc.,
Wisconsin.
[7] Sykes, P., 1989, Penuntun Mekanisme Reaksi Kimia
Organik, (alih bahasa Hartomo, Anton J. dkk), 1989,
edisi keenam, P.T. Gramedia, Jakarta.
[8] Weast, R. C., Hanbook of Chemistry and Physics, 19831984, CRC Press, Inc., Boca Raton, Florida.
Jurnal Gradien Vol.2 No.2 Juli 2006 : 183-186
6-Metoksi, 7-Hidroksi Kumarin dari Daun Pacar Air
(Impatiens balsamina Linn.)
Morina Adfa
Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu, Indonesia
Diterima 29 Juni 2006; disetujui 1 Juli 2006
Abstrak – Telah dilakukan isolasi 6-metoksi, 7 hidroksi kumarin (Scoploletin) dari daun Pacar Air (Impatiens
balsamina L.) yang diekstrak dengan menggunakan metanol dan pemisahan dengan chromatografy colum yang
selanjutnya dipisahkan dengan mengunakan TLC preparasi. Strukturnya ditentukan dengan spektrum UV, IR, 1H
NMR, 13C NMR, MS dan hasilnya dibandingkan dengan data literatur. Dari hasil isolasi didapat bahwa senyawa
kumarin sebanyak 6 mg, berupa amorf berwarna kuning dengan titik leleh 199-2010C dan fluoresensi biru di bawah
lampu UV 365 nm, mempunyai massa relatif 192 dengan rumus molekul C10H8O4.
Kata Kunci : Impatiens balsamina L.; 6-methoxy; 7-hydroxy coumarin (Scopoletin)
1. Pendahuluan
Kumarin adalah salah satu senyawa metabolik sekunder
yang memiliki kerangka dasar α-benzo pyron [2].
Beberapa kelompok senyawa kumarin memiliki efek
farmakologis dan fisiologis tertentu seperti senyawa
furanokumarin dapat menghambat efek karsinogen
serta mempunyai nilai ekonomi sebagai komponen
aktif racun ikan. Turunan Psoralen digunakan secara
oral untuk mempercoklat kulit yang terkena sinar
matahari dan untuk mengobati vertiligo [8]. Sedangkan
senyawa yang tergolong 4-hidroksi kumarin
menunjukkan aktivitas anti koagulasi darah,
menghambat kerja enzim, anti mikroba, anti biotik, dan
dapat mengganggu sintesa DNA/RNA [5].
Impatiens balsamina L. atau Pacar Air termasuk famili
balsaminaceae.
Salah satu konstituen yang
dikandungnya adalah kumarin.
Dari penelitian
terdahulu dilaporkan bahwa pada bagian akar Impatiens
balsamina L. didapat
2 (dua) jenis kumarin yaitu
scopoletin dan isofraxidin [6]. Namun sejauh ini belum
ada laporan tentang kumarin dari bagian daunnya.
Dilain pihak masyarakat Indonesia telah memanfaatkan
tanaman Impatiens
balsamina L. sebagai obat luka
potong, bengkak-bengkak, dan koreng. Bunga tanaman
Impatiens balsamina L. memberikan efek anti histamin,
anti anapilaktik, menurunkan tekanan darah, anti bodi,
dan anti puritik [4]. Dalam pengobatan China
tumbuhan Impatiens balsamina L. digunakan untuk
mengobati penyakit encok, luka memar, dan beri-beri
[3], serta di India digunakan juga sebagai racun ikan
[9].
Mengingat potensi dari beberapa senyawa kumarin dan
banyaknya kegunaan dari tumbuhan Impatiens
balsamina L. maka perlu kiranya dilakukan isolasi
senyawa kumarin dari daun tumbuhan Impatiens
balsamina L. untuk mendapatkan struktur senyawa
kumarin dan turunannya. Karena dari uji pendahuluan
dengan spot test dan plat kromatografi lapisan tipis
ternyata tumbuhan Impatiens balsamina L. positif
mengandung kumarin.
2. Metode Penelitian
Alat yang digunakan antara lain adalah: rotary
evapotaror (Heidolph), kolom kromatografi,
desikator, titik leleh ditentukan dengan Fischer John
Melting Point Apparatus. Pemeriksaan spektrum UV
menggunakan alat spektroskopi UVvis –1601
SHIMAZU. Perekaman spektrum infra merah dengan
alat spektrofotometer IR Perkin Elmer FTIR System
dengan KBr dan dibawah nitrogen, sedangkan
perekaman spektrum massa menggunakan metoda
Morina Adfa, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 183-186
Elektron Impact EI(70 eV)-MS. Spektrum resonansi
magnit inti direkam dengan 13C NMR Varian Unity
Inova pada 125 MHz, 1H NMR 500 MHz, DEPT 90
(125 MHz), DEPT 135 (125 MHz) dan pelarut yang
digunakan CDCl3. Penampak noda menggunakan
184
3. Hasil Dan Pembahasan
Pengukuran spektrum senyawa hasil isolasi
memperlihatkan data-data sebagai berikut : Spektrum
UV λ max (MeOH) nm : 203,8 ;228,2 ; 252,6 ; 297,4 ;
lampu UV λ 365 nm.
344,9. Spektrum IR ν max (KBr) cm-1 : 3430-3200,
1725, 1620, 1590, 1450, 1180, 940, 860, 820.
Bahan yang digunakan pada penelitian ini: daun pacar
air ( Impatiens balsamian L.). Pelarut organik yang
digunakan berkualitas pro analisis atau dimurnikan
sesuai dengan prosedur standar, metanol, n-heksana,
etil asetat, kloroform, aseton. Kromatografi lapisan
Spektrum 1H NMR δ (CDCl3) ppm : 7,60 (1H-4, d, J =
9,54 Hz) ; 6,92 (1H-5, s) ; 6,85 (1H-8, s) ; 6,27 (1H-3,
tipis menggunakan plat KLT Merck Silica gel 60
GF254, KLT preparatif menggunakan silika gel G,
natrium hidroksida, iodium, larutan amoniak dan
aquadest.
Sampel Impatiens balsamina L. Diambil di Kelurahan
Pasar Ambacang, Kecamatan Kuranji, Kotamadya
Padang.
Identifikasi tumbuhan dilakukan di
Herbarium Universitas Andalas Padang (ANDA)
dengan nomor koleksi MA 182.
Ekstraksi dan Isolasi Kumarin
Sebanyak 3 kg sampel daun segar Impatiens balsamina
L. dimaserasi dengan metanol 10 L selama 5 hari,
kemudian difraksinasi dengan heksana dan dilanjutkan
dengan etil asetat. Sebanyak 10 g ekstrak etil asetat
dikromatografi kolom menggunakan fasa diam silika
gel dan eluen n-heksana, kloroform, etil asetat, metanol
dengan sistem step gradient polarity.
Didapat 5 fraksi, fraksi IV dilanjutkan dengan KLT
preparatif menggunakan silika gel G. Noda yang
berfluoresensi biru dikerok lalu direndam dengan
metanol selama 1 malam, disaring dan dipekatkan
dengan menggunakan rotary evaporator, dilanjutkan
dengan rekristalisasi menggunakan kloroform : nheksana didapat amorf kuning seberat 6 mg dengan
titik leleh 199-201oC. Setelah dilakukan kromatografi
lapisan tipis dengan pengungkap noda lampu UV 365
nm serta disemprot dengan NaOH 10% dalam metanol,
memperlihatkan 1 noda biru terang, selanjutnya dengan
uap I2 tetap 1 noda.
d, J = 9,48) ; 3,95 (3H, s). Spektrum 13C NMR δ
(CDCl3) ppm : 161, 43 (C=O) ; 150,23 (C-7) ; 149,69
(C-9) ; 143,99 (C-6) ; 143,28 (C-4) ; 113,39 (C-5) ;
111,49 (C-10) ; 107,47 (C-3) ; 103, 18 (C-8) ; 56,39
(O-CH3) dan MS memberikan rumus molekul C10H8O4
dengan m/z pada 192 [M]+ 100%, 177 (75%), 164
(31%), 149 (51%), 121 (21%).
Senyawa hasil isolasi berupa amorf berwarna kuning
mempunyai titik leleh 199-201oC. Artinya jarak titik
leleh relatif tajam, berarti senyawa hasil isolasi telah
murni. Disamping itu berdasarkan kromatografi lapisan
tipis, dengan penampak noda uap Iodium dan lampu
ultraviolet 365 nm memberikan 1 (satu) noda dengan
berbagai eluent dan fluoresensinya berwarna biru
terang. Ini memperkuat data titik leleh bahwa hasil
yang didapat sudah murni.
Spektrum resonansi magnetik inti menunjukkan adanya
10 atom C dan 8 atom H. Begitu pula spektroskopi
massa memberikan puncak ion molekul pada 192. Dari
10 atom C dan 8 atom H didapat m/z 10 x 12 + 8 x 1 =
128 dan dengan adanya m/z ion molekul 192,
memungkinkan 64 berupa 4 atom O, sehingga rumus
Bila dihitung double bond
molekulnya C10H8O4.
equivalent (DBE) dari senyawa ini adalah = [(2 x 10
+ 2) – 8] / 2 = 7, berarti mempunyai 1 (satu) cincin
aromatis, 1 (satu) siklik dan 2 (dua) ikatan rangkap
diluar aromatik.
Spektrum ultraviolet menghasilkan serapan maksimum
pada panjang gelombang 203,8 ; 228,2 ; 252,6 ; 297,4 ;
344,9 nm. Serapan ini menunjukkan bahwa senyawa
hasil isolasi mengandung inti benzen, karena serapan
benzen terjadi pada 255, 200 dan 185 nm [10]. Bila
dibandingkan dengan serapan maksimum kumarin
murni pada 274 dan 311 nm yang merupakan serapan
185
Morina Adfa, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 183-186
dari cincin benzen dan α-pyron. Disini terlihat adanya
pergeseran puncak serapan kedaerah panjang
gelombang yang lebih besar, maka diperkirakan
senyawa ini sejenis kumarin yang mempunyai
substitusi.
Interpretasi spektrum infra merah didapatkan puncakpuncak yang penjabarannya sebagai berikut: struktur
terpenting dari kumarin adalah cincin benzen, α-pyron
dan adanya gugus karbonil.
Cincin aromatik
ditunjukkan oleh serapan pada 1650-1450 cm-1.
Senyawa hasil isolasi memberikan serapan pada 1620
cm-1 dan 1450 cm-1 merupakan regangan C=C aromatis
dan didukung oleh pita serapan pada daerah 860 cm-1
dan 820 cm-1 yang karakterisasi untuk senyawa
aromatis disubstitusi [10].
Serapan pada 1725 cm-1 merupakan regangan C=O,
dimana menurut literatur regangan C=O yang
karakteristik untuk kumarin pada 1700-1750 cm–1.
Puncak serapan pada 1180 cm–1 merupakan serapan
C(O)-O [1].
Spektrum DEPT 135 menunjukkan 5 puncak, berarti
ada 1 (satu) atom C primer (CH3) dan 4 atom C tersier
(4-CH) sedangkan atom C sekunder (CH2) tidak ada.
Dengan demikian atom C quartener ada 5 buah. Atom
C tersier keluar pada pergeseran kimia δ ppm 143,28
(C-4) ; 113,39 (C-5) ; 107,47 (C-3) ; 103,18 (C-8) dan
atom C primer pada pergeseran kimia 56,4 (O-CH3).
Atom C quarterner ada 5 buah pada pergeseran kimia δ
ppm 161,43 (C=O) ; 143,99 (C-6) ; 150,24 (C-7) ;
149,69 (C-9) ; 111,49 (C-10) [7][11].
Dari spektroskopi massa memberikan puncak pada m/z
192 dan m/z 177, ini berarti m/z 192 puncak ion
molekul dan m/z 177 merupakan lepasnya CH3 dari ion
molekul, yang mempunyai massa 15. Begitu pula
adanya m/z 149 berarti lepasnya gugus CO yang berupa
pengurangan berat 28 dari m/z 177. Sedangkan m/z
164 juga lepasnya gugus CO dari ion molekul. Adanya
m/z 121 juga berarti lepasnya gugus CO dari m/z 149.
Dimana kemungkinan fragmen yang terjadi pada
spektroskopi massa dapat diungkapkan menurut reaksi
retro Diels-Alder [12] sebagai berikut:
Serapan pada 3430-3200 (lebar) merupakan serapan
untuk vibrasi OH yang terikat dengan ikatan hidrogen.
Jadi dapat disimpulkan senyawa hasil isolasi memiliki
substituen OH [1].
Data spektrum 1H resonansi magnetik inti dengan
perbandingan integrasi yang diberikan 3 : 1 : 1 : 1 : 1 :
1 berarti cocok untuk 8 atom H yaitu : CH3 : CH : CH :
CH : CH : OH. Pergeseran kimia pada 3,95 ppm
puncak singlet merupakan indikasi gugus OCH3.
Pergeseran kimia pada 6,27 ppm puncak doublet,
integrasi 1 dengan J = 9,48 merupakan puncak H-3
yang dikoupling oleh H-4. Pergeseran kimia pada 7,60
ppm puncak doublet, integrasi 1 dengan J = 9,54
merupakan puncak H-4 yang dikoupling oleh H-3.
Pergeseran kimia 6,92 merupakan puncak singlet dari
H-5, ini menunjukkan adanya benzena tersubstitusi,
sedangkan 6,85 ppm singlet merupakan puncak H-8
[7].
Spektrum 13C resonansi magnetik inti, mem-perlihatkan
adanya 10 buah atom C. Adanya spek-trum DEPT 90
menunjukkan adanya 4 buah atom C tersier (CH).
Dari interpretasi data spektrum UV, IR, 1HNMR, 13C
NMR dan MS, serta Double Bond Equivalent (DBE) =
7 yang berarti adanya 1 cincin aromatis, 1 siklik dan 2
ikatan rangkap diluar aromatik maka struktur dari
senyawa hasil isolasi ditentukan sebagai 6-metoksi, 7hidroksi kumarin. Kesimpulan ini diperkuat setelah
data-data diatas dibandingkan dengan senyawa yang
sama yang telah diisolasi oleh [6] dan [7].
Morina Adfa, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 183-186
L. Root Cultures, 1995, J. Phytochemistry, 40 (4),
1141-1143.
4. Kesimpulan
Dari hasil isolasi daun Pacar Air (Impatiens balsamina
L.) berhasil didapat senyawa kumarin sebanyak 6 mg,
berupa amorf berwarna kuning dengan titik leleh 1992010C dan fluoresensi biru di bawah lampu UV 365
nm, mempunyai massa relatif 192 dengan rumus
molekul C10H8O4.
Berdasarkan hasil analisis data, maka dapat
disimpulkan senyawa tersebut mempunyai struktur
sebagai berikut :
H
CH3 O
5
H
9
6
4
3
H
2
HO
7
8
10
H
O
1
O
Sebagaimana telah diungkapkan pada kromatografi
lapisan tipis fraksi etil asetat ada 4 noda yang
berfluoresensi dan yang berhasil diisolasi baru 1 (satu),
maka disarankan untuk melanjutkan penelitian terhadap
daun Impatiens balsamina L. khususnya dari fraksi etil
asetat, serta dilakukan uji bio aktivitas terhadap
senyawa hasil isolasi.
Daftar Pustaka
[1]
Creswell, C.J., O.A. Runquist, M. M. Campbell,
Analisis Spektrum Senyawa Organik, 1982,
Penerbit ITB bandung.
[2]
Ellis, G. P., M. N. Deborah, E. E. Schweizer,
Chromenens, Chromanones and Chromones, The
Chemistry of Heterocyclic Compounds, 1977, John
[3]
Fukomoto, H., K. Isoi, K. Ishiguro, M. Semma, T.
Murashima, Structure Determination of A Kaemferol 3Rhamnosyldiglucoside From Impatiens balsamina L.,
1994, J. Phytochemistry, 37 (5), 1486-1488.
Fukomoto, H., K. Isoi, K. Ishiguro, M. Semma, M.
Yamaki, Antianaphylactic Effect of The Principle
Compounds From The White Petals of Impatiens
balsamina L., 1996, Phytother-res, 10 (3), 202-206.
Murray, R. D. H., J. Mendez, S. A. Brown, The Natural
Coumarins (Occurrence, Chemistry and Biochemistry),
1982, John Wiley & Sons, New York.
Panichayupakaranant, P., H. Noguchi, Napthoquinones and Coumarins From Impatiens balsamina
Wiley & Sons, New York.
[4]
[5]
[6]
186
[7]
Razdan, T. K., B. Qadri, S. Harkar, E. S. Waight,
Chromones and Coumarins From Skimmia
laureola, 1987, J. Phytochemistry, 26 (7), 20632069.
[8]
Robinson, Trevor, Kandungan Organik Tumbuhan
Tinggi, 1995, Penerbit ITB Bandung, 57-83.
[9] Shoji, N., A. Umeyama, K. Yoshikawa, M. Nagai and
S. Arihara, 1994, Baccharane Glycosides From Seeds
of Impatiens balsamina L., J. Phytochemistry, 37 (5),
1437-1441.
[10] Silverstein, R. M., G. C. Bassler, T. C. Morrill,
Spectrometric Identification of Organik Compounds,
5th Editions, 1991, John Wiley & Sons, Inc.
[11] Steek, W., M. Mazurek, Identification of Natural
Coumarins by NMR Spectroscopy, 1972, Lloydia, 35
(4), 418-439.
[12] Porter, Q. N., J. Baldas, Mass Spectrometry of
Heterocyclic Compounds, 1985, John Wiley &
Sons, New York, 161-167.
Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 187-191
Karakterisiasi Kinerja Dari Beberapa Membran Datar
Irfan Gustian
Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu, Indonesia
Diterima 20 Juni 2006; disetujui 1 Juli 2006
Abstrak - Penelitian ini bertujuan untuk membuat membran datar melalui beberapa cara. Cara pertama menggunakan
cara tekan panas dengan bahan dasar selulosa bakteri untuk proses osmosis balik dan proses ultrafiltrasi dan yang
kedua menggunakan cara inversi phasa dengan polisulfon sebagai lapisan pendukung, selulosa asetat, aseton dan
formamida sebagai lapisan aktif. Pengujian yang telah dilakukan adalah terhadap koefisien rejeksi dan fluks dari
membran yang dihasilkan. Dari hasil menunjukkan bahwa keofisien rejeksi untuk cara pertama pada proses osmosis
balik adalah 55% hingga 78% dan untuk proses ultrafiltrasi adalah 98%. Pada cara kedua menggunakan inversi phasa
diperoleh 66,94% hingga 72,93%.
Kata kunci: membran datar; koefisien rejeksi
1. Pendahuluan
Saat ini penggunaan membran pada skala besar telah
dimanfaatkan untuk memproduksi air yang dapat
diminum dari air laut atau proses desalinasi dengan
proses osmosa balik, recovery suatu konstituen dengan
proses elektrodialisis, fraksinasi makromolekul pada
industri makanan dan minuman dengan proses
ultrafiltrasi dan menghilangkan toksin dan racun
lainnya dari darah manusia dengan proses dialisis pada
ginjal buatan. Perkembangan dari penggunaan dan
pemanfaatan dari membran ini tidak lain karena proses
pemisahan dan pemekatan dengan membran ini
memilki kelebihan antara lain: tidak menggunakan zat
kimia, temperatur operasinya cukup pada temperatur
kamar, bersifat non destruktif, “tailor made” dan
teknologinya bersih [6].
Pemilihan terhadap teknik ini dikarenakan berbagai
sifat membran yang menguntungkan dan dapat
dipergunakan luas untuk berbagai proses pemisahan.
Kemampuan membran untuk mentransportasikan atau
memindahkan salah satu komponen lebih cepat
dibandingkan dengan komponen lainnya disebabkan
karena adanya gaya dorong dan perbedaan sifat fisika
kimia antara membran dan komponen permeat [3].
Pada Penelitian ini telah di lakukan karakterisasi
kinerja membran yang dibuat melalui dua cara dan
bahan yang berbeda, yaitu metoda hotpress dengan
bahan dasar selulosa bakteri untuk proses osmosis balik
dan ultrafiltrasi [1][5]. Metoda yang kedua inversi
phasa dengan bahan dasar polisulfon sebagai lapisan
pendukung dan selulosa asetat, aseton, formamida
sebagai lapisan aktifnya. untuk proses ultrafiltrasi.
2. Metode Penelitian
Bahan yang digunakan adalah, air aren, air kelapa,
(NH2)2CO, CH3COOH, NaOH, NaN3, MgCl2 NaCl,
bakteri Acetobacter xylinum, polisulfon, dimetilasetamida, polietilenglikol, selulosa asetat, aseton, dan
formamida, hidrazin sulfat, heksametilen tetramin.
Alat yang digunakan adalah wadah plastik/ baki, koran,
karet, , alat hot press, kasa stainles stell, peralatan
osmosa balik master RUW-4 Nitto Denko, Total
Dissolved Solid meter (TDS), sel membran.
Pembuatan membran dari air aren
terisasi untuk proses osmosis balik
dan karak-
Satu liter air aren (Arenga pinata) yang telah disaring
dididihkan. Setelah mendidih ditambahkan 6,7 gram
gula pasir, 5 gram (NH2)2CO dan 1 mL CH3COOH.
Dalam keadaan panas kemudian dipindahkan wadah
plastik/baki berukuran 15 x 20 cm dan ditutup dengan
kertas. Setelah dingin/ suhu kamar di inokulasi dengan
Irfan Gustian, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 187-191
Fluks NaCl dan MgCl2
6
Fluks (L/jam m2)
starter bakteri Acetobacter xylinum. Frmentasi pada
suhu kamar selama 7 hari. Nata yang dihasilkan
dimurnikan dan diberi perlakuan perendaman. Setelah
itu nata ditekanan panas pada 100 kgf/cm2 pada suhu
120oC selama 3-5 menit untuk mendapatkan membran
.Membran yang dihasilkan selanjutnya di karakterisasi
pada proses osmosis balik.
188
5
4
3
2
1
0
0
5
10
15
20
25
2
Tekanan (Kgf/cm )
Pembuatan membran dari air kelapa dan karakterisasi untuk proses ultrafiltrasi
Nata yang dihasilkan dimurnikan dan diberi perlakuan
perendaman. Setelah itu nata ditekanan panas pada 100
kgf/cm2 pada suhu 120oC selama 3-5 menit untuk
mendapatkan membran. Membran yang dihasilkan
selanjutnya di karakterisasi pada proses ultrafiltrasi.
Pembuatan membran komposit dan karakterisasi
untuk proses ultrafiltrasi
Fluks MgCl2 NaOH
Gambar 1. Fluks NaCl dan MgCl2
Fluks NaCl dan MgCl2 membran menunjukan
perbedaan yang tidak berarti, pada tekanan 10 Kgf/cm2
fluks NaCl dan MgCl2 yaitu 2,39016 L/m2 jam untuk
MgCl2 dan 2,2294 L/m2 jam untuk NaCl Bila dilihat
dari larutan umpan yang digunakan, fluks NaCl lebih
besar dari fluks MgCl2. Ini dimungkinkan oleh ukuran
molekul larutan umpan yang berbeda.
Koefisein Rejaksi NaCl dan MgCl2
80
% Rejeksi
Satu liter air kelapa yang telah disaring dididihkan.
Setelah mendidih ditambahkan 6,7 gram gula pasir, 5
gram (NH2)2CO dan 1 mL CH3COOH. Dalam keadaan
panas kemudian dipindahkan ke wadah plastik/baki
berukuran 15 x 20 cm dan ditutup dengan kertas.
Setelah dingin/ suhu kamar di inokulasi dengan starter
bakteri Acetobacter xylinum. Frmentasi pada suhu
kamar selama 4 hari.
Fluks NaCl NaOH 2%
60
40
20
0
0
5
10
15
20
25
2
Tekanan (Kgf/cm )
Pembuatan
membran
komposit
berpendukung
dilakukan dengan cara mencetak dope polisulfon diatas
kain poliester dan membiarkannya terkoagulasi di
udara terbuka selama 30 menit. Selanjutnya dope
selulosa asetat dicetak diatas polisulfon sebagai lapisan
tipis dan segera dikoagulasi di dalam air.
Komposisi polisulfon 16%, dimetil-asetamida 68% dan
polietilenglikol 16%. Untuk lapisan aktifnya selulosa
asetat 17%, aseton 56% dan formamida 27%.
Membran yang dihasilkan selanjutnya di karakterisasi
pada proses ultrafiltrasi.
3. Hasil Dan Pembahasan
a.
Kinerja membran dari air aren
osmosis balik
pada proses
% R NaCl NaOH 2%
% R MgCl2 N
Gambar 2. Koefisien rejeksi membran
Nilai rejeksi meningkat dengan meningkatnya aplikasi
tekanan, tetapi peningkatan nilai rejaksi ini tidak terlalu
berarti,. semakin besar tekanan larutan umpan semakin
besar pula berkompetisi untuk melewati pori membran,
sehingga banyak partikel umpan yang tertahan
sehingga menghasilkan nilai rejeksi yang besar
dibandingkan dengan tekanan yang lebih rendah [3][6].
Dari larutan umpan terlihat bahwa nilai rejeksi
membran terhadap larutan umpan MgCl2 lebih besar
dibandingkan dengan larutan umpan NaCl, hal ini
dimungkinkan ukuran larutan umpan yang berbeda.
Irfan Gustian, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 187-191
b.
Kinerja membran dari air kelapa pada proses
ultrafiltrasi
Hasil pengukuran Fluk beberapa larutan umpan pada
tekanan 1, 1,5 dan 2 bar terhadap membran dariair
kelapa, diperoleh hasil seperti pada Tabel berikuit.
Tabel 1 . Fluk membran dari air kelapa dengan variasi
tekanan pada beberapa jenis umpan
Umpan
Akuades
Suspensi
kekeruhan
Air baku
PDAM
Tekanan
(Bar)
1
1,5
2
1
1,5
2
1
1,5
2
Fluks (Lm-2h-1)
11,3359
14,3437
17,1344
9,6824
12,0846
14,3555
11,3183
14,3250
17,1036
Penambahan
tekanan
berpengaruh
terhadap
peningkatan Fluks membran dari air kelapa. Nilai fluks
tertinggi terjadi pada tekanan 2 bar dengan akuades
sebagai larutan umpan yaitu 17,1344
Lm-2h-1,
sedangkan terendah terjadi pada suspensi kekeruhan
sebagai larutan umpan pada tekanan 1 bar yaitu 9,6824
Lm-2h-1. Hal ini sesuai dengan teori bahwa hubungan
antara tekanan dengan fluk membran adalah
berbanding lurus yang artinya semakin besar tekanan
yang diberikan pada membran maka fluks akan
semakin besar [1].
Berdasarkan Tabel terlihat Akuades sebagai larutan
umpan nilai fluksnya lebih tinggi dibandingkan dengan
air baku PDAM sebagai umpan., sedangkan pada air
baku PDAM terdapat partikel-partikel yang
menyebabkan terjadinya penyumbatan pada pori
membran, sehingga difusinya lebih lambat. Semakin
besar tekanan yang diberikan maka semakin banyak
partikel-pertikel yang tertahan pada permukaan
membran atau pada pori-pori membran dan
mengakibatkan penyumbatan pori-pori membran
sehingga terjadinya penurunan nilai fluks. Difusi
dinyatakan dalam harga koefisien difusi. Pada suspensi
kekeruhan sebagai larutan umpan, diperoleh harga
fluks yang paling kecil yaitu tekanan 1 bar, harga ratarata fluksnya sebesar 9,6824 Lm-2h-1. Tekanan 1,5 bar,
harga rata-rata fluksnya sebesar 12,0846 Lm-2h-1 dan
pada tekanan 2 bar, harga rata-rata fluksnya sebesar
14,3555 Lm-2h-1. Hal ini disebabkan karena pada
suspensi kekeruhan sebagai larutan umpan adanya efek
polarisasi konsentrasi.
Ketika daya dorong berupa tekanan diberikan pada
larutan umpan, maka komponen penyusun larutan
berupa koloid tertahan dipermukaan membran,
sedangkan pelarutnya akan keluar melewati membran.
Dengan semakin banyaknya komponen yang tertahan
pada bagian permukaan membran seiring dengan
penambahan tekanan, maka konsentrasi komponen
yang tertahan di permukaan membran akan semakin
meningkat. Hubungan antara rejeksi membran dengan
tekanan pada berbagai jenis umpan dapat dilihat pada
Gambar berikut :
100
Permselektivitas (%)
189
Air Baku
PDAM
50
Suspensi
0
1
1,5
2
Tekanan (bar)
Gambar 3. Grafik rejeksi membran dengan variasi
tekanan pada beberapa larutan umpan
Berdasarkan gambar di atas, dapat dilihat bahwa pada
suspensi kekeruhan sebagai larutan umpan,
penambahan tekanan tidak memberikan pengaruh yang
berarti terhadap permselektivitas membran dimana
koefisien rejeksi tidak menunjukkan perbedaan yang
berarti yaitu relatif konstan dan koefisien rejeksinya
hampir mencapai 100%. Sedangkan pada Air baku
PDAM sebagai larutan umpan, nilai koefisien rejeksi
meningkat dengan semakin meningkatnya tekanan. Hal
ini disebabkan pada suspensi kekeruhan sebagai larutan
umpan terjadi polarisasi konsentrasi sedangkan pada air
baku PDAM tidak terjadinya polarisasi konsentrasi.
c.
Kinerja membran komposit
ultrafiltrasi
pada proses
Pada pengukuran permeabilitas membran komposit
terhadap limbah zat warna dispersi industri batik
besurek menggunakan limbah zat warna reactiv
Irfan Gustian, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 187-191
berwarna biru hasil pencucian kain batik besurek dari
industri rumah tangga “Serindang Bulan”. Sebagai
pembanding digunakan larutan umpan air keruh.
Pengukuran permeabilitas dari limbah zat warna dan
larutan umpan air keruh dilakukan pada tekanan 1 Bar,
1,5 Bar, dan 2 Bar.
190
penghalang. Dimana molekul-molekul air akan terikat
pada ion-ion elektrolit sehingga ion terhidrasi ini
mempunyai diameter yang cukup besar untuk dapat
ditahan oleh lapisan aktif membran.
%R
120
100
Dari Gambar.. terlihat fluks dari zat warna dan sampel
air keruh naik pada setiap tekanan yang aplikasikan.
Fenomena ini sama dengan fluks akuades, tetapi nilai
fluks yang dihasilkan untuk zat warna dan sampel air
keruh lebih rendah karena pada akuades tidak ada
partikel atau zat terlarut lain sehingga laju difusi
akuades melewati membran lebih cepat. Sedangkan
pada zat warna dan sampel air keruh terdapat partikel
atau zat-zat terlarut yang dapat memperlambat laju
difusi umpan melewati membran. Fluks limbah zat
warna lebih besar bila dibandingkan dengan fluks
sampel air keruh pada setiap tekanan yang
diaplikasikan.
%R
16
14
12
10
8
6
4
2
0
Fluks
2
)
(L/Jam m13.687
10.826
Zat Warna
8.308
7.368
6.356
5.691
0
1
2
Tekanan (Bar)
Sampel
air
3
Gambar.4. Fluks zat warna dan sampel air keruh
Dari karakterisasi degree of swelling membran oleh air
yang menunjukkan nilai yang cukup tinggi, ini berarti
ikatan silang yang terbentuk pada membran komposit
juga cukup banyak. Adanya ikatan silang menyebabkan
molekul atau ion lebih sulit berdifusi melewati
membran dan akibat meningkatnya ikatan silang
menyebabkan penurunan koefisien difusi akan semakin
tinggi. Fluks akuades lebih tinggi daripada fluks larutan
zat warna dan sampel air keruh, hal ini terjadi karena
molekul air akuades jauh lebih kecil dibandingkan
dengan molekul zat warna dan sampel air keruh
sehingga difusi air akuades akan lebih cepat.
Berdasarkan pada model aliran serapan pipa kapiler
yang dikemukakan oleh Sourirajan dengan asumsi
bahwa air berikatan dengan membran membentuk lapis
zat w arna
80
60
40
sam pel
air
20
0
0
1
2
3
Tekanan (Bar)
Gambar 5.Koefisien rejeksi membran komposit
Koefesien rejeksi dari kedua jenis umpan menunjukkan
kecendrungan yang sama, dimana kenaikan tekanan
yang diaplikasikan akan meningkatkan rejeksi. Pada
tekanan 1 Bar koefisien rejeksi kedua umpan
menghasilkan nilai yang hampir sama. Pada kenaikan
tekanan 1,5 Bar dan 2 Bar koefesien rejeksi sampel air
keruh kenaikannya lebih ekstrim dibandingkan
kenaikan koefesien rejeksi membran terhadap zat
warna. Perbedaan ini karena perbedaan ukuran molekul
atau partikel terlarut dari ke dua umpan, dimana untuk
sampel air keruh ukuran molekul atau partikel
terlarutnya lebih besar dibandingkan zat warna . Hal ini
di dukung juga oleh data yang diperoleh dari
permebilitas membran komposit, dimana laju difusi
umpan zat warna lebih tinggi dibandingkan laju difusi
sampel air keruh. Terjadinya laju difusi yang tinggi
menyebabkan interaksi umpan dengan membran lebih
cepat yang mengakibatkan koefisien rejeksinya
menjadi rendah, membran sukar menahan umpan dan
ada umpan yang dapat berdifusi melewati membran.
Sedangkan umpan air keruh pada tekanan 1,5 Bar dan 2
Bar menghasikan koefisien rejaksi hingga 100%,
artinya molekul atau partikel terlarut tertahan oleh
membran tidak dapat berdifusi melewati membran.
Difusi membran sangat dipengaruhi oleh goemetri poripori dan larutan umpan. Terjadinya ikatan silang pada
antarmuka membran dari asimetris menjadi asimetris
komposit yang mempunyai lapis tipis yang sangat
rapat, proses pembentukan ikatan silang ini akan terus
berlangsung sampai reaktan pembentuk ikatan habis
[3].
Tekanan
191
Irfan Gustian, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 187-191
4. Kesimpulan
Permeabilitas yang dihasilkan :
a. Untuk membran dari air aren pada proses osmosis
balik adalah 2 hingga 6 Lm-2h-1.
b. Untuk membran dari air kelapa pada proses
ultrafiltrasi adalah 9,68 hingga 17,10 Lm-2h-1
c. Untuk membran komposit pada proses ultrafiltrasi
adalah 8,30 hingga 13,09 Lm-2h-1
Selektifitas yang dihasilkan :
a. Untuk membran dari air aren pada proses osmosis
balik adalah 55% hingga 78%.
b. Untuk membran dari air kelapa pada proses
ultrafiltrasi adalah 98%.
c. Untuk membran komposit pada proses ultrafiltrasi
adalah 66,94% hingga 72,93%.
Perlu dilakukannya penelitian lanjut tentang polarisasi
konsentrasi yang terjadi pada setiap proses pemisahan.
Daftar Pustaka
[1] Iguchi, M., S. Yamanaka, A. Budhiono, Review
Bacterial Cellulose, a Masterpiece of Natueal’s Arts,
2000, Journal of Material Science, 35, 261- 269.
[2] Master, W., Pembuatan dan Pemurnian nata de coco
untuk memperoleh film polimer berkekuatan tinggi,
1999, skripsi, jurusan kimia, ITB.
[3] Mulder, M., Basic principles of Membrane Tecnology,
2nd edition, 1996, kluwer academic Publisher.
[4] Nishi, Y., Uryu, S. Yamanaka, K. Watanabe, N.
Kitamura, M. Iguchi, Structure and Mechanical 5.
Properties of Sheet Prepared from Bacterial Cellulose,
1990, Journal of Material Science, 24, 3141- 4145
[5] Shibazaki, H,. S. Kuga, F. Onabe and M. Usuda,
Bacterial cellulose Membrane as Separatoin Medium,
1993, Journal of Applied Polymer Science, 50, 965 969.
[6] Strathmann, H., Synthetic Membranes and Their
Preparation, 1990, Handbook of industrial Membrane
Technology, Editor: M.C.Porter, Noyes Pub, New
Jersey, 1- 60.
Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 192-195
Linierisasi Matriks Polynomial
Zulfia Memi Mayasari
Jurusan Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu, Indonesia
Diterima 20 Juni 2006; disetujui 1 Juli 2006
Abstrak - Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji linierisasi matriks polynomial monik Linerisasi matriks polynomial
monik L(λ) adalah mencari matriks polynomial linier yang ekuivalen dengan suatu matriks polynomial. Dalam
l −1
menganalisis masalah linerisasi matriks polynomial monik yaitu dengan cara mengubah L(λ ) = Iλ l + ∑ A j λ
j
j =0
dimana A0, A1,…,Aj adalah matriks-matriks berukuran n x n menjadi bentuk linier L(λ ) = Iλ − A sehingga Iλ − A
 L (λ ) 0 
ekuivalen dengan 
.
I 
 0
Kata kunci : linierisasi; polynomial monik.
1. Pendahuluan
Teori matriks merupakan bagian penting dalam aljabar
linier. Banyak sekali penerapan-penerapan dari teori
matriks, khususnya matriks polynomial yang dapat
dipakai
dalam
pemecahan
masalah-masalah
matematika. Misalnya nilai awal, teori sistem, analisa
getaran, teori jaringan, analisa numerik dan persamaan
differensial [1]. Matriks polynomial juga dikenal
sebagai λ-matriks. Matriks polynomial diartikan
sebagai polynomial dari variabel-variabel kompleks
dengan koefisien matriks. Jika A0 , A1, . . . , Aℓ adalah
matriks berukuran n x n dengan entri-entrinya bilangan
Aℓ
kompleks dan jika
≠ 0, maka fungsi bernilai
l
matriks yang didefenisikan sebagai L(λ ) = ∑ Ai λ
i
i =0
dinamakan matriks polynomial berderajat ℓ. Jika Aℓ
pada matriks polynomial diatas merupakan matriks
identitas, maka matriks polynomial ini dikatakan
monik. Jadi matriks polynomial monik dapat ditulis
l −1
sebagai: L(λ ) = Iλ + ∑ A j λ , dimana A0 , A1, . . . ,
l
j
j =0
Aj adalah matriks berukuran n x n yang entri-entrinya
adalah bilangan kompleks. Linerisasi matriks
polynomial monik L(λ) adalah mencari matriks
polynomial linier yang ekuivalen dengan suatu matriks
polynomial. Permasalahan yang akan dijawab dalam
kasus ini adalah bagaimana menganalisis linerisasi
matriks polynomial monik L(λ),
2. Matriks Polynomial dan Linierisasi
Definisi 1 [1]
Jika A0, A1,…,A l matriks-matriks berukuran n x n dan
entri-entrinya adalah bilangan kompleks dan Aℓ ≠ 0,
maka fungsi bernilai matriks yang didefinisikan
l
sebagai L(λ ) = ∑ Ai λ i disebut matriks polynomial
i =0
berderajat ℓ. Jika Aℓ = I , dimana I merupakan matriks
identitas, maka matriks polynomial tersebut dikatakan
l −1
monik, dan ditulis sebagai L(λ ) = Iλ l + ∑ A j λ
j
.
j =0
Definisi 2 [2]
Matriks polynomial M 1 (λ ) dan M 2 (λ ) dikatakan
ekuivalen jika
M 1 (λ ) = E (λ ) M 2 (λ ) F2 (λ ) untuk
suatu matriks polynomial
E(λ) dan
F(λ) yang
berukuran sama dengan M 1 (λ ) dan M 2 (λ ) serta det
( E (λ )) ( E1(λ)), dan
M 1 (λ ) ∼ M 2 (λ ) .
det ( F (λ )) ≠ 0 dan ditulis
Zulfia Memi Mayasari, Jurnal Gradien Vol. 2 No.2 Juli 2006 : 192-195
193
Definisi
l −1
Jika L(λ ) = Iλ l + ∑ A j λ
j
monik
x
adalah matriks polynomial
j =0
berukuran
 0
 0
C1 = 
 M

− A0
n
I
0
M
0
I
M
− A1
− A2
n
,
maka
matriks


 dimana C
1


L − Al −1 
0
0
M
L
L
M
berukuran nℓ x nℓ disebut matriks Companion pertama
L(λ),
dari
0
I

C 2 = 0

M
0

0
0
I
M
0
dan
L − A0 
L − A1 
L − A2  = C1T

M
M 
L − Al −1 
matriks
elementer pada suatu matriks unimodular juga matriks
unimodular.
Diberikan matriks polynomial monik berderajat ℓ,
l −1
L(λ ) = Iλ l + ∑ A j λ j . Dalam menganalisis masalah
j =0
linerisasi matriks polynomial monik tersebut, yaitu
l −1
bagaimana mengubah L(λ ) = Iλ l + ∑ A j λ
j
dimana
j =0
A0, A1,…,Aj adalah matriks-matriks berukuran n x n
menjadi bentuk linier L(λ ) = Iλ − A sehingga Iλ − A
 L (λ ) 0
ekuivalen dengan 
.
I 
 0
disebut
matriks
Pernyataan ini dapat dilihat dengan mengambil contoh
sebagai berikut: Diberikan matriks polynomial monik
L(λ ) = a 0 + a1 λ + a 2 λ 2 + Iλ3
Companion kedua dari L(λ)
[3].
Dari
matriks
polynomial tersebut dapat dibentuk matriks
Definisi 4
Suatu matriks polynomial Iλ − A yang berukuran nℓ x
 0
A =  0
− a1
nℓ disebut linerisasi matriks polynomial monik L(λ)
 L (λ ) 0 
berukuran n x n , jika: Iλ − A ∼ 
I 
 0
Definisi 5
Diberikan matriks A dalam C [λ ]
nxn
matriks dalam C [λ ]
0
− a2
0 
1 
− a3 
sehingga diperoleh
λ
λI − A =  0
a 0
−1
λ
a1
0 
− 1  .
a 2 + λ 
. A disebut
unimodular jika mempunyai A-1 yang merupakan
nxn
1
.
Pada matriks polynomial didefinisikan tiga jenis
operasi baris elementer yaitu:
Definisi 6
Jenis 1 : Menukar dua baris yang berlainan.
Jenis 2 : Mengalikan suatu baris dengan suatu
konstanta tak nol.
Jenis 3 : Menambahkan pada suatu baris dengan
hasil kali baris lain dengan suatu
polynomial dalam C [λ ] .
Dengan operasi baris elementer pada
diperoleh matriks
0
0 
−1


A' = 
0
0
−1 
2
3
2
a0 + a1λ + a2λ + λ a1 + a2λ + λ a2 + λ
yang ekuivalen dengan λI − A . Hal ini berarti L(λ )
yang semula berderajat tiga dan dengan melakukan
proses diatas diperoleh polynomial λI − A yang linier.
Teorema 7
Diberikan suatu matriks polynomial monik berderajat ℓ
l −1
dan berukuran n x n , L(λ ) = Iλ l + ∑ A j λ
j =0
Definisi diatas menunjukkan bahwa operasi kebalikan
dari setiap operasi elementer merupakan operasi
elementer dari jenis yang sama dan juga hasil operasi
λI − A
didefinisikan:
j
dan
Zulfia Memi Mayasari, Jurnal Gradien Vol. 2 No.2 Juli 2006 : 192-195
 0
 0
C1 = 
 M

− A0
I
0
0
I
M
M
− A1
− A2
adalah transpose matriks C1. Jika diambil semua
transpose pada teorema 7 maka C2 juga merupakan

0 
M 

L − Al −1 
L
L
M
0
didasarkan pada teorema berikut. Sebelumnya akan
diberikan beberapa konsep yang mendukung teorema
dan pembuktian teorema tersebut.
Bukti:
Menurut definisi 2 maka dapat dibentuk matriks
nℓ x nℓ
sebagai berikut:
 0
 0
F (λ ) = 
 M

− A0
I
0
0
I
M
M
− A1
− A2

0 
M 

L − Al −1 
 Bl −1 (λ ) Bl − 2 (λ )
 −1
0

E (λ ) =  0
−1

M
 M
 0
0

L B0 ( λ ) 
0 
L
0 
L

M
M 
L
0 
L
L
M
L(λ ) . Hal ini
linerisasi dari polynomial monik
 L (λ ) 0
maka Iλ − C1 
I 
 0
polynomial E (λ ) dan F (λ ) yang berukuran
194
Sifat 8
Dua linierisasi dari matriks polynomial L(λ ) adalah
similar.
Bukti:
0
Misalkan C1 dan C2 adalah linierisasi dari
maka:
λI − C1 ∼
 L (λ ) 0 
 0
I 

dan
 L (λ ) 0
 0
I 

akibatnya
dan
L (λ )
λI − C 2
∼
λI − C1 ∼ λI − C 2 . Maka
terdapat P(λ) dan Q(λ) yang unimodular sehingga
λI − C1 = P(λ )(λI − C 2 )Q(λ ) =
P (λ ) λ Q (λ ) − P ( λ ) C 2 Q (λ )
maka I = P(λ )Q (λ ) sehingga Q (λ ) = ( P (λ )) −1 dan
dengan Bl −1 (λ ) = I dan Br +1 (λ ) = λBr (λ ) + Al−r −1
C 2 = P(λ )C 2 Q (λ )
untuk r = 0, 1, …., ℓ-1. Maka det F (λ ) = 1 dan
det E (λ ) = ± 1, yaitu:
C 2 = P(λ )C 2 ( P(λ )) −1
sehingga diperoleh C1 ≈ C2
- jika n genap maka det ( E (λ )) = (-1) ℓ+1
- jika n ganjil maka det ( E (λ )) = 1.
Sifat 9
Jika T linierisasi matriks polynomial monik L(λ ) dan
Akibatnya E (λ ) , F (λ ) unimodular dan
S similar dengan T, maka S juga linierisasi matriks
polynomial monik L(λ ) .
 L (λ ) 0 
λI − C1 = ( E (λ )) −1 
± (λ )
I 
 0
berarti
λI − C1 ∼
Bukti:
 L (λ ) 0
.
 0
I 

Karena T linierisasi matriks polynomial monik L(λ )
maka
Teorema 7 menyatakan bahwa C1 merupakan linerisasi
l −1
matriks polynomial monik L(λ ) = Iλ l + ∑ A j λ
j
dan
j =0
matriks C1 diatas disebut matriks companion pertama
dari L(λ ) .
Linerisasi suatu matriks polynomial monik L(λ )
tidak tunggal. Misalkan ambil C 2 = C1T yaitu C2
 L (λ ) 0 
λI − T ∼ 
I 
 0
karena S similar dengan T
diperoleh
(1)
maka menurut sifat 8
λI − T ∼ λI − S
(2)
 L (λ ) 0
yaitu
dari (1) dan (2) diperoleh λI − S ∼ 
I 
 0
S juga merupakan linierisasi dari L(λ )
Zulfia Memi Mayasari, Jurnal Gradien Vol. 2 No.2 Juli 2006 : 192-195
195
Teorema 10
Daftar Pustaka
0
I

Matriks C 2 = 0

M
0

− A0 
0 L − A1 
I L − A2  Adalah linierisasi

M M
M 
0 L − Al −1 
0 L
l −1
matriks polynomial monik L(λ ) = Iλ l + ∑ A j λ
j
j =0
Bukti:
 L (λ ) 0
Berdasarkan teorema 7, λI − C1 ∼ 
dengan
I 
 0
C1 merupakan matriks companion pertama. Karena itu
terdapat P(λ) dan Q(λ) yang merupakan matriks
unimodular sehingga
 L (λ ) 0 
Q (λ ) .
1
 0
λI − C1 = P(λ ) 
Akibatnya
T


 L (λ ) 0 
Q (λ )  =
[λI − C1 ]T =  P(λ ) 

1


 0
 LT (λ ) 0
T
[Q (λ )]T 
 [ P(λ )]
1
 0
 LT (λ ) 0
Jadi λI − C1T ∼ 
 berarti
I 
 0
 LT (λ ) 0

I 
 0
λI − C 2 ∼ 
yaitu C2 merupakan linierisasi matriks polynomial
monik L(λ ) .
3. Kesimpulan
Untuk setiap matriks polynomial monik L(λ ) , dapat
ditentukan matriks A sebagai linierisasinya. Linierisasi
matriks polynomial monik L ( λ ) tidak tunggal
Jika A1 dan A2 masing-masing merupakan linierisasi
matriks polynomial monik L(λ ) , maka A1 ekuivalen
A2. Jika A1 ekuivalen A2 dan A1 merupakan linierisasi
matriks polynomial monik L(λ ) , maka A2 juga
merupakan linierisasi matriks polynomial monik L(λ ) .
[1] Cullen. G. C., Matrices And Linear Transformations,
1996, Addison-Wesley Publishing Company.
[2] Gohberg. I. , Lancester. P, and Rodman. L, M., Matrix
Polynomial, 1982, Academic Press.
[3] Mayasari, Z.M., Analisis Linierisasi Matriks Polynomial
Monik Dan Aplikasinya Pada Persamaan Differensia,.
2005, Laporan Penelitian PPD Heds. Jakarta
Download