g ISSN 0216-2393 GRADIEN Vol. 2 No. 2 Juli 2006 JURNAL MIPA H2O NaCl H2SO4 Linear (H2SO4) Linear (NaCl) Linear (H2O) 0.44 0.43 Absorbsi 0.42 0.41 A A1 = -0.0056t + 0.4404 (H2O) 0.4 A2 = -0.0053t + 0.4363(NaCl) 0.39 A3 = -0.0047t + 0.4257(H2SO4) 0.38 5 10 15 Waktu 20 25 FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS BENGKULU Gradien Vol. 2 No. 2 Hal. 152-195 Bengkulu, Juli 2006 ISSN 0216-2393 g ISSN 0216-2393 GRADIEN Vol. 2 No. 2 Juli 2006 JURNAL MIPA DAFTAR ISI Fisika 1. Pengukuran Konduktivitas Termal Bata Merah Pejal (Halauddin) 2. Tegangan Induksi Pada Saluran Pipa Minyak Yang Paralel Dengan Saluran Transmisi Listrik (V. Sozi Karnefi) 3. Kecepatan Korosi Oleh 3 Bahan Oksidan Pada Plat Besi (Zul Bahrum Caniago) 4. Hubungan Aktivitas Gempa Tektonik Daerah Subduction Indo-Australia Eurasia Segmen Enggano Tahun 2000 Dengan Aktivitas Gempa Vulkanik Gunungapi Kaba Dan Dempo (Refrizon) 152-155 156-160 161-166 167-171 Kimia 5. Perlakuan Fraksinasi Terhadap Kandungan β-Karotene Pada Minyak Merah (Red Palm Olein) (Syafnil) 6. Karakteristik Senyawa Alkaloid Fraksi Etil Asetat Hasil Isolasi Dari Daun Tumbuhan Pacah Piring (Ervatamia Coronaria (Jacq.) Stapf) (Evi Maryanti) 7. Kajian Pengaruh Suhu Pada Sintesis Trifenil Metil Klorida Dari Trifenil Metanol Dan Asetil Klorida (Eni Widiyati) 8. 6-Metoksi, 7 Hidroksi Kumarin dari Daun Pacar Air (Impatiens Balsamina Linn.) (Morina Adfa) 9. Karakteristik Kinerja Dari Beberapa Membran Datar (Irfan Gustian) 172-175 176-178 179-182 183-186 187-191 Matematika 10. Linierisasi Matriks Polynomial (Zulfia Memi Mayasari) 192-195 Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 152-155 Pengukuran Konduktivitas Termal Bata Merah Pejal Halauddin Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu, Indonesia Diterima 12 Juni 2006; disetujui 1 Juli 2006 Abstrak - Telah dilakukan pengukuran konduktivitas termal (k) dengan metode plat tunggal dari beberapa jenis bata merah pejal yang berasal dari daerah di provinsi Bengkulu diantaranya dari Nakau, Pinang Mas, Blok V, Blok VI, Talang Pauh, Medan Baru dan Pekik Nyaring. Pengukuran ini bertujuan untuk melihat kekuatan bata merah pejal berdasarkan besarnya konduktivitas termalnya. Kekuatan fisik bata merah sangat ditentukan oleh deformasi termal yang berhubungan dengan ukuran rata-rata pori (porous) yang dipengaruhi oleh distribusi ukuran partikel, bentuk partikel dan struktur tanah dan jenis tanah serta komposisi bahan pengisi pada saat dilakukan proses pemanasan (pematangan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga konduktivitas termal masing-masing sampel batu merah pejal memberikan kontribusi yang berbeda, namun hasilnya tidak memberikan perbedaan angka yang signifikan. Batu merah pejal yang mempunyai harga konduktivitas termal yang paling tinggi adalah batu merah yang berasal dari daerah Nakau dengan k = 0,380 (J s-1 m-1 K-1), sedangkan batu merah pejal yang mempunyai harga konduktivitas termal yang paling rendah adalah batu merah yang berasal dari daerah Pekik Nyaring dengan konduktivitas termal k = 0,150 (J s-1 m-1 K-1). Kata Kunci : Konduktivitas termal; deformasi termal; metode plat tunggal 1. Pendahuluan Untuk memenuhi kriteria suatu bangunan yang kokoh harus ada dua persyaratan utama yaitu kondisi tanah tempat akan dibangunnya bangunan sipil tersebut serta material yang digunakan. Para teknisi lapangan harus mampu memperlakukan tanah sebagaimana juga halnya material-material lain yang dihadapinya seperti baja dan beton. Teknisi dituntut mampu melakukan pengenalan atau identifikasi dan pengklasifikasian tanah sehingga dapat diketahui apakah material sudah cukup memadai untuk konstruksi sebuah bangunan [4] . Salah satu material yang sangat berpengaruh untuk material bangunan adalah bata merah pejal yang bahan bakunya tanah. Kekuatan fisik bata merah sangat ditentukan oleh jenis tanah serta komposisi bahan pengisi pada saat dilakukan proses pemanasan (pematangan). Pada proses pemanasan bertujuan untuk memperbaiki sifat fisisnya seperti deformasi termal, sifat-sifat hantaran kalor dan listrik [5]. Bata merah pejal yang diharapkan setelah dilakukan uji konduktivitas termal ini adalah memiliki daya hantar panas yang tinggi, kekuatan tinggi, tahan terhadap korosi dan bahan kimia. Faktor paling dominan yang menentukan dalam proses pemanasan (pematangan) adalah deformasi termal yang berhubungan dengan ukuran rata-rata pori (porous) yang dipengaruhi oleh distribusi ukuran partikel, bentuk partikel dan struktur tanah. Secara garis besar, makin kecil ukuran partikel, makin kecil pula ukuran pori menandakan bahan tersebut mempunyai konduktivitas sangat tinggi, sangat layak digunakan sebagai bahan bangunan. Sebaliknya semakin besar ukuran pori menandakan bahan tersebut mempunyai konduktivitas sangat rendah artinya kurang layak digunakan sebagai bahan bangunan. Oleh karena itu pada penelitian ini akan ditentukan pada temperatur berapa bata merah pejal mempunyai harga konduktivitas yang sangat tinggi. 1.1. Perpindahan Panas Bila dalam suatu sistem terdapat gradien temperatur, atau bila ada dua sistem yang temperaturnya berbeda bersinggungan, maka akan terjadi perpindahan kalor. Proses dimana sesuatu yang dipindahkan diantara sebuah sistem dan sekelilingnya akibat perbedaan temperatur ini berlangsung disebut kalor [6]. 153 Halauddin, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 152-155 Perpindahan kalor pada umumnya terjadi dengan tiga cara yaitu : konduksi (conduction); konveksi (convection); serta radiasi (radiation). a. Konduksi - Perpindahan kalor secara perambatan atau konduksi adalah perpindahan kalor dari suatu bagian benda padat ke bagian lain dari benda padat yang sama, atau dari benda padat yang satu ke benda padat yang lain karena terjadi persinggungan fisik atau menempel tanpa terjadinya perpindahan molekulmolekul dari benda padat itu sendiri [1]. b. Konveksi - Perpindahan kalor secara aliran atau konveksi adalah perpindahan kalor yang dilakukan oleh molekul-molekul suatu fluida (cair atau gas). Molekulmolekul fluida tersebut dalam gerakannya melayang kesana-kemari membawa sejumlah kalor [1]. Konveksi adalah perpindahan panas melalui media gas atau cairan seperti udara di dalam es dan air yang dipanaskan di dalam ceret. Udara bersinggungan dengan pipa-pipa Evaporator yang dingin di dalam lemari. Udara mengambil panas, udara akan merenggang dan menjadi ringan, kemudian mengalir lagi ke atas sampai udara bersinggungan lagi dengan pipa evaporator [6]. c. Radiasi - Perpindahan kalor secara pancaran atau radiasi adalah perpindahan kalor suatu benda ke benda yang lain melalui gelombang elektromagnetik tanpa medium perantara. Bila pancaran kalor menimpa suatu bidang, sebagian dari kalor pancaran yang diterima benda tersebut akan dipancarkan kembali (re-radiated), dipantulkan (reflected) dan sebagian dari kalor akan diserap [1]. 1.2. Teori Partikel Zat Setiap zat baik berbentuk padat, cair maupun gas tersusun dari partikel-partikel. Yang mempunyai kecenderungan selalu bergetar. Sifat bergetar partikelpartikel zat tergantung pada jarak partikel pada zat sangat berbeda dari ketiga jenis zat seperti yang telah disebutkan di atas. Jarak antar partikel pada zat padat sangat dekat; jarak partikel pada zat fluida lebih jauh dibandingkan dengan jarak antar partikel pada zat padat; sedangkan pada gas, jarak antar partikel berjauhan. Hal inilah yang menyebabkan gaya tarikmenarik antar partikel atau kohesi pada zat padat lebih besar daripada kohesi zat cair. Karena itu gerak partikel-partikel pada zat padat sangat terbatas, dan hanya bergetar pada tempat tertentu [6]. zat padat zat cair gas gas Gambar 1. Ilustrasi gerakan partikel-partikel zat [6]. 1.3. Konduktivitas dan Resistivitas Konduktivitas panas suatu bahan adalah ukuran kemampuan bahan untuk menghantarkan panas (termal) [2]. Berlaku untuk sebuah bahan berbentuk balok dengan penampang lintang A, energi yang dipindahkan persatuan waktu antara dua permukaan berjarak l, sehingga diperoleh dari persamaan E λA(T2 − T1 ) (1) t = l Dengan λ merupakan konduktivitas termal, T1 dan T2 merupakan temperatur permukaan. Tabel 1. Koefisien konduktivitas termal beberapa jenis bahan [6]. Satuan Jenis Bahan Kal s-1 m-1 K-1 J s-1 m-1 K-1 Perak 420 100 Tembaga 380 92 Aluminium 200 50 Baja 40 11 Kaca 0,84 2.10-1 Air 0,56 1,4.10-1 Asbes 0,16 0,4.10-1 Kayu 0,08 0,2.10-1 Gabus 0,04 0,1.10-1 Udara 0,02 0,06.10-1 Persamaan (1) akan berlaku dengan anggapan bahwa permukaan yang berhadapan itu sejajar dan dengan asumsi tidak ada panas yang hilang melalui sisi balok. Satuan SI untuk konduktivitas termal adalah Js-1 m-1 K-1. Kebalikan dari konduktivitas termal sebuah disebut resistivitas. Dalam satuan SI, konduktivitas listrik Halauddin, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 152-155 diukur dalam siemens per meter. Bila menyangkut fluida, konduktivitas elektrolit diperoleh dari perbandingan kerapatan arus terhadap kuat medan listrik. 3. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan uji laboratorium yang dilakukan di laboratorium Termodinamika (Gedung Basic Sains), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Bengkulu. Penelitian ini dilakukan melalui dua tahap pelaksanaan yaitu persiapan bahan, dan pengujian konduktivitas termal. Bahan yang diperlukan hanya beberapa bata merah pejal yang dapat diperoleh di tempat pembuatannya di Kotamadya Bengkulu dan Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu. Sampel bata hanya diambil dari beberapa nama tempat pabrik pembuatannya saja, peneliti tidak melakukan perbandingan konduktivitas termal dari beberapa lokasi di seluruh Provinsi Bengkulu. Digunakannya bata merah pejal sebagai bahan yang diteliti adalah untuk membuktikan teori tentang konduktivitas termal bahwa semakin besar konduktivitas suatu bahan mempunyai daya hantar atau kemampuan termal yang tinggi direkomendasikan akan semakin layak juga digunakan untuk bahan bangunan [2]. Setelah persiapan bahan, selanjutnya dilakukan uji konduktivitas dari bata merah pejal. Konduktivitas termal sampel diuji dengan menggunakan metode plat tunggal [3]. Sampel dari sisi bawah dipanaskan pada temperatur sama dengan temperatur kamar, sehingga menjamin tidak ada kalor yang masuk atau keluar ke lingkungan. Pada sisi atas dipasang pendingin, sehingga kalor akan mengalir ke temperatur yang lebih rendah. Laju aliran kalor ∆Q, gradien temperatur ∆T, luas plat A, dan ketebalan plat d diukur. Energi listrik ∆W yang diserap pemanas selama interval waktu ∆t sebanding dengan kuantitas kalor yang mengalir pada sampel selama selang waktu tertentu. Bila diasumsikan tidak ada kehilangan energi, maka kuantitas yang diperoleh digunakan untuk menghitung konduktivitas termal k sampel dengan persamaan : k= ∆W d ∆t A ∆T 154 (2) 4. Hasil Dan Pembahasan Data dan hasil pengamatan penelitian ini adalah sebagaimana tercantum pada tabel 2. Tabel 2. Nilai Konduktivitas Termal (k) hasil pengujian laboratorium berdasarkan perbedaan nilai energi listrik yang dibutuhkan Bila dilihat dari besarnya permeabilitas untuk semua sampel bata merah pejal yang diperoleh, baik yang berasal dari Kotamadya Bengkulu dan Kabupaten Bengkulu Utara. Ternyata bata merah pejal yang mempunyai nilai konduktivitas termal yang paling tinggi adalah bata merah pejal yang berasal dari daerah Nakau, Bengkulu Utara. Bata merah pejal yang lainnya mempunyai konduktivitas termal yang bagus juga, karena hasilnya tidak memberikan perbedaan angka yang signifikan. Dapat direkomendasikan sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh [2] bahwa bata merah pejal Nakau mempunyai daya hantar atau kemampuan termal yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan bataan merah pejal lainnya. Artinya komposisi dari bata merah pejal Nakau bila dibandingkan dengan bata merah pejal lainnya mempunyai pori dan ukuran partikel yang sangat rendah, sehingga dapat mempunyai kemampuan termal yang sangat tinggi. 5. Kesimpulan Bata merah pejal yang berasal dari daerah Nakau mempunyai konduktivitas termal (k) yang tinggi sebesar 0,380 (J s-1 m-1 K-1), mengindikasikan sangat 155 Halauddin, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 152-155 layak digunakan sebagai bahan bangunan karena memiliki daya hantar panas yang tinggi, kekuatan tinggi dan tahan terhadap korosi. Perbedaan nilai konduktivitas antara semua sampel tidak memberikan nilai yang signifikan, artinya mutu dan kualitas bata merah pejal lainnya masih tergolong bagus juga digunakan sebagai bahan bangunan. Perbedaan konduktivitas termal pada saat diuji menurut pengamatan peneliti disebabkan oleh beberapa faktor yaitu bata merah pejal Nakau mempunyai komposisi tanah yang sangat bagus serta pada saat dilakukan pemanasan (pematangan) lebih sempurna. Peneliti menyarankan agar penelitian dapat dilanjutkan dengan mengambil semua jenis bata merah pejal yang ada di Provinsi Bengkulu dan penelitian terus secara kontinyu dilakukan sebagai suatu uji kelayakan untuk bata merah pejal sebagai bahan bangunan serta ada koordinasi dari Dinas terkait demi untuk menjaga mutu serta kualitas, melihat posisi daerah Bengkulu mempunyai potensi gempa sangat besar. Daftar Pustaka [1] Incropera, FP and Witt, P., Fundamental of Heat Transfer, John Wiley and Sons, New York, 1981. [2] Isaacs, Alan., Kamus Lengkap FISIKA, 1994, Erlangga. [3] Leybold., Physics Experiment, Volume 3, 1986, Leybold GMBH, Hurth,. [4] Shirley, LH., Penuntun Praktis Geoteknik dan Mekanika Tanah (Penyelidikan Lapangan & Laboratorium), 1994, Penerbit NOVA, Bandung. [5] Surdia, T. dan Saito, S., Pengetahuan Bahan Teknik, 1985, P.T. Pradnya Paramita, Jakarta. [6] Zeemansky, W, Mark., Kalor dan Termodinamika, Edisi Keenam, Terjemahan dari Heat and Thermodynamics oleh The How Liong, 1986, ITB, Bandung. Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 156-160 Tegangan Induksi Pada Saluran Pipa Minyak Yang Paralel Dengan Saluran Transmisi Listrik V. Sozi Karnefi Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu, Indonesia Diterima 30 Mei 2006; Disetujui 1 Juli 2006 Abstrak - Akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk membangun koridor energi sedemikian rupa, sehingga pemakaian lahan akan lebih baik. Pembangunan saluran transmisi listrik yang paralel dengan saluran pipa minyak dapat menimbulkan tegangan induksi pada saluran pipa minyak. Tegangan ini disebabkan adanya kopling elektrostatis dan kopling elektromagnetis. Telah dilakukan penelitian dampak dari kopling elektromagnetis saluran transmisi listrik 115 KV yang paralel dengan saluran pipa minyak di daerah kerja PT. Caletex Pasific Indonesia di daerah Buatan – Zamrud. Ternyata ada tegangan induksi pada saluran pipa minyak sebesar 9,7132 V sampai 11,0525 V. Kata Kunci: Induksi; listrik; konduktor 1. Pendahuluan Untuk menyalurkan energi listrik dari pusat-pusat pembangkit tenaga listrik (electric power station) ke pusat-pusat beban (load centers) dapat dilakukan melalui saluran transmisi udara (overhead line) atau saluran transmisi bawah tanah (underground line) [6]. Jalur yang diambil untuk saluran transmisi tersebut biasanya disebut koridor energi. Begitu pula jalur yang diambil untuk saluran pipa minyak dari lapangan minyak ke tempat-tempat yang diperlukan atau digunakan juga dapat dinamakan koridor energi. Akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk membangun koridor energi demikian rupa, sehingga pemakaian lahan lebih baik. Pembangunan saluran transmisi listrik dan saluran pipa minyak dapat menimbulkan dampak lingkungan yang kurang baik. Oleh karena itu beberapa negara menganjurkan agar penyaluran energi dari suatu tempat ke tempat yang lain dilakukan secara paralel pada koridor energi yang sama. Tetapi hal ini menimbulkan masalah pula pada sistem komunikasi, keamanan dan sebagainya. Masalah akan lebih berkembang bila selain saluran transmisi listrik pada koridor energi yang sama terdapat pula saluran pipa minyak yang paralel dengan saluran transmisi listrik tersebut. Dalam hal yang seperti ini saluran pipa minyak akan menjadi bagian dari sirkuit listrik pada jaringan transmisi, disebabkan karena kopling elektrostatis dan kopling elektromagenetis. Kopling ini dapat menimbulkan arus dan tegangan induksi pada saluran pipa minyak. Besarnya kopling dipengaruhi oleh: • Besar phasor tegangan pada konduktor (penghantar). • Besar phasor arus pada konduktor. • Jarak antar konduktor. • Jarak konduktor-konduktor dengan saluran pipa. • Ketidakseimbangan relatif dari arus dan tegangan. Timbulnya medan elektromagnet disebabkan karena adanya gejala fisika yang dikenal sebagai hukum tangan kanan Ampere yakni, bila ada arus yang mengalir pada sebuah kawat pengantar, maka akan menimbulkan medan elektromagnet yang mengelilingi kawat penghantar tersebut dengan arah putaran maju sekrup. Medan elektromagnet tersebut akan melepaskan tenaga kepada benda-benda di sekelilingnya. Keberadaan saluran transmisi listrik yang berdekatan dan paralel dengan saluran pipa minyak, akan menimbulkan permasalahan bagi mereka yang bekerja 157 V. Sozi Karnefi, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 156-160 pada saluran pipa minyak. Hal ini disebabkan muatan elektrostatis yang timbul pada peralatan dan bagianbagiannya yang dekat dengan transmisi listrik, sebagian muatan disebabkan oleh penghubung kapasitas dan dapat membuat shock para pekerja. Di samping itu tegangan induksi yang terjadi pada saluran pipa minyak juga akan mempercepat proses pengkaratan (korosi) pada saluran pipa minyak. Pada bulan Januari 1976, ITT Research Institute dan Electric Power Research Institute serta American Gas Association berhasil meneliti adanya tegangan induksi pada saluran pipa gas yang diakibatkan oleh saluran transmisi listrik 60 Hz yang berdekatan dengan saluran pipa gas. Mereka berhasil memperkirakan tegangan induksi yang terjadi dengan teori sumber terdistribusi, yakni mengukur dan menghitung puncak-puncak medan listrik serta memitigasi (memperingan) efek induksi tersebut. Di samping itu para pakar Amerika yang tergabung pada Enviromental Protection Agency (EPA) dan didukung oleh Electric Power Research Institute, berhasil menemukan adanya akibat imbasan medan elektromagnet lemah dari aliran listrik berfrekuensi rendah (60Hz) dapat mengakibatkan gangguan kesehatan, di antaranya penyakit kanker otak, leukemia dan lain-lain. Dalam penelitian ini dibahas tegangan induksi yang terjadi pada saluran pipa minyak yang dititikberatkan pada cara memperkirakan dan mengukur tegangan induksi yang diakibatkan medan magnet saluran transmisi listrik 115 Kv yang paralel dengan saluran pipa minyak [3]. Untuk mengintepretasi data tegangan induksi, yang perlu diperhatikan adalah jarak antara konduktor dengan saluran pipa, karena perbedaan jarak akan mempengaruhi harga faktor kopling dan akan mempengaruhi tegangan induksi yang terjadi. Untuk membahas tegangan induksi yang terjadi pada saluran pipa minyak, terlebih dahulu dibahas induksi medan magnet dan saluran transmisi listrik, kemudian cara menginterpretasi pengaruh induksi medan magnet saluran transmisi listrik pada pipa. Inti dari penelitian ini memperkirakan tegangan induksi yang terjadi pada saluran pipa minyak. 2. Metode Penelitian Dalam penelitian ini pengamatan dan pengukuran data yang diperlukan dilakukan pada lokasi daerah kerja PT. Caletex Pacific Indonesia, dengan saluran transmisi listrik 115 Kv yang paralel dan berdekatan dengan saluran pipa minyak sepanjang 9 km di 16 titik (lokasi). Besaran yang diukur adalah: jarak antar konduktor, tiang listrik dengan pipa, antar tiang listrik, permukaan tanah dengan konduktor, resistansi dan reaktansi konduktor, resistansi dan reaktansi tanah yang didasarkan pada tabel Carson serta besarnya arus yang mengalir pada tiap konduktor. Tegangan induksi telah diketahui dari hasil perkalian arus urutan nol, faktor kopling dan panjang saluran transmisi listrik paralel dengan saluran pipa. Untuk membuktikan kebenarannya dilakukan pengukuran langsung di 8 titik lokasi. Pada prinsipnya untuk mengetahui berapa harga tegangan pada suatu terminal listrik adalah mengukur selisih atau beda potensial antara dua titik. Dalam hal ini dilakukan pengukuran beda potensial antara tiang listrik dengan saluran pipa, yaitu dengan cara menghubungkan tiang listrik yang ditanahkan (grounded) dengan menggunakan kabel 12 mm ke Volt meter (Fluke multi meter digital 8060 True RMS) di satu titik dan menghubungkan pada permukaan pipa di titik lain. 3. Hasil dan Pembahasan Hasil pengukuran harga beda potensial yang terjadi antara dua titik pada Volt meter dapat dilihat pada tabel 1. Sedangkan hubungan faktor kopling dan tegangan induksi dapat dilihat pada gambar 1. Dari Gambar 1 terlihat adanya hubungan antara tegangan induksi Epo dengan faktor kopling ZCF, semakin besar harga faktor kopling semakin besar pula harga tegangan induksi dan semakin dekat jarak V. Sozi Karnefi, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 156-160 158 konduktor dengan saluran pipa tegangan induksi juga semakin besar [7]. dengan arus yang mengalir dan tegangan induksi juga berbanding lurus dengan jumlah sistem. Tabel 1. Data Hasil Perhitungan dan PengukuranTegangan Induksi pada Saluran Pipa Minyak Pada dasarnya sistem transmisi yang digunakan untuk menyalurkan tenaga listrik di PT. Caltex Pacific Indonesia adalah sistem tiga fasa setimbang, karena sebagian besar beban adalah motor tiga fasa untuk menggerakkan pompa-pompa minyak. Pada keadaan tertentu terjadi kononsimetrisan sistem yang menyebabkan ketidakseimbangan sistem transmisi listrik [4]. Keterangan: PA = Jarak saluran pipa dengan konduktor A. PB = Jarak saluran pipa dengan konduktor B. PC = Jarak saluran pipa dengan konduktor C. PG1 = Jarak saluran pipa dengan kawat tanah 1. PG2 = Jarak saluran pipa dengan kawat tanah 2. Gambar 1. Grafik Hubungan Faktor Kopling dan Tegangan Induksi Faktor kopling yang terjadi dipengaruhi oleh jarak antara konduktor dengan saluran pipa. Kopling elektromagnet yang terjadi pada jarak yang dekat kuat atau besar [5] dan faktor kopling juga menjadi besar, jika jaraknya semakin jauh kopling elektromagnet semakin kecil, dengan demikian faktor kopling juga semakin kecil. Hal ini dikarenakan jika jarak antara konduktor dengan pipa sangat jauh, impedansi masingmasing konduktor akan mendekati sama besarnya sehingga mengakibatkan tegangan induksi akan mendekati nol. Di samping itu induksi magnet yang terjadi di sekitar konduktor akan berbanding lurus Terjadinya perbedaan harga antara perhitungan dengan pengukuran tegangan induksi, hal ini dikarenakan beberapa faktor. Sebagaimana diketahui arus urutan nol merupakan faktor yang dominan untuk mengetahui besarnya tegangan induksi yang terjadi pada pipa. Pada tegangan induksi dan pengukuran tegangan induksi pada pipa dilakukan pada waktu dan hari yang tidak sama. Pada pengukuran arus urutan nol terjadi ketidaksetimbangan sistem pada transmisi listrik, hal ini terbukti dengan adanya arus urutan nol sebesar I0 = 0,93 Amper (sistem setimbang I0 ~ Nol). Dengan demikian tegangan induksi yang terjadi pada pipa juga besar. Sedangkan pada pengukuran tegangan induksi pada saluran pipa tidak diketahui berapa besar kenonsimetrisan sistem, dengan demikian tidak diketahui berapa arus urutan nol yang mengalir. Dan di dalam menentukan titik pengukuran untuk mengukur tegangan induksi dipakai permukaan pipa dan tiang listrik yang ditanahkan (grounded), hal ini digunakan sebagai titik acuan karena belum adanya metode cara pengukuran tegangan induksi pada saluran pipa. Untuk menghubungkan ke dua titik tersebut di dalam pengukuran digunakan kabel 12 mm dengan panjang 25 meter, dengan demikian akan terjadi transmisi loss (kehilangan daya) di sepanjang kabel dan hal ini akan mengurangi tegangan induksi yang terukur pada Volt meter. Disamping itu saluran pipa menggunakan sistem SECT (Skin Electric Current Tracing), pada sistem ini sepanjang saluran pipa dipanaskan dengan menggunakan arus listrik, dengan demikian saluran 159 V. Sozi Karnefi, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 156-160 pipa juga menimbulkan medan elektromagnetik, akan tetapi pada waktu pengukuran sistem SECT tidak bekerja yang berarti kopling sistem magnet yang terjadi hanya dari transmisi listrik. Besar arus urutan nol tergantung dari kononsimetrisan sistem transmisi listrik, jika kenonsimetrisan sistem besar arus urutan nol semakin besar dan tegangan induksi juga semakin besar. Saluran pipa minyak juga dibalut atau diisolasi bahan polyurethane setebal 5 cm dan dilindungi selubung lempengan baja setebal 1 mm dan di setiap 15 m saluran pipa ditopang dengan besi yang ditanam dalam tanah, dengan demikian secara tidak langsung saluran pipa minyak juga ditanahkan (grounded), hal ini menyebabkan tegangan induksi yang terjadi pada saluran pipa minyak secara tidak langsung juga dialirkan ke tanah. Keadaan di lapangan ini seolah-olah telah adanya sistem Mitigasi (peringanan) yang bekerja pada saluran pipa minyak [1]. Tegangan induksi dipengaruhi oleh jarak antara konduktor transmisi listrik dengan saluran pipa minyak. Semakin dekat jarak konduktor dengan saluran pipa semakin besar tegangan induksi dan sebaliknya semakin jauh jaraknya semakin kecil tegangan induksi. Sistem mitigasi merupakan suatu cara memperingan (memperkecil) tegangan induksi yang terjadi pada saluran pipa yang berdekatan atau paralel dengan saluran transmisi listrik. Yakni, dengan cara membuat sistem setimbang pada saluran transmisi listrik atau mengisolasi saluran pipa dengan bahan non metal serta mentanahkan (grounded) saluran pipa tersebut. Sedangkan pada perhitungan yang dilakukan untuk mendapatkan tegangan induksi yang terjadi pada saluran pipa minyak, diasumsikan transmisi listrik pada keadaan tidak setimbang dan keadaan saluran pipa minyak berada di permukaan tanah tanpa ditanahkan serta tidak diisolasi. Beberapa hal tersebut di atas yang menyebabkan hasil perhitungan berbeda atau lebih besar dari hasil pengukuran di lapangan [2]. 4. Kesimpulan Saluran transmisi listrik yang dialiri arus dan paralel dengan saluran pipa minyak, akan menimbulkan tegangan induksi pada saluran pipa akibat induksi medan magnet antara saluran transmisi listrik dengan saluran pipa minyak. Hubungan (kopling) antara saluran transmisi listrik dengan saluran pipa minyak secara substansial disebabkan oleh arus urutan nol. Tegangan induksi yang terjadi pada saluran pipa minyak dari hasil perhitungan berbeda dengan hail pengukuran. Hal ini dikarenakan pada perhitungan diasumsikan metode mitigasi tidak ada, sedang dari hasil pengukuran ternyata pada saluran pipa minyak terdapat sistem mitigasi. Tegangan induksi dapat diperkecil dengan metode mitigasi (peringanan) yakni, membuat sistem saluran transmisi listrik setimbang, mengisolasi saluran pipa dengan bahan non metal atau mentanahkan (grounded) saluran pipa. Metode mitigasi yang terbaik adalah mengusahakan fase arus saluran transmisi listrik setimbang. Daftar Pustaka [1] [2] [3] [4] Allen Taflove, John Dabkowski, Mitivation of Buried Pipelines Voltages Due to 60 Hz AC Inductive Coupling, 1979, Part I-Design of Joint Rights – of – Way, Part II Piperline Grounding Methods”, IEEE Trans. Power App. Syst., Vol. PAS-98, pp. 1806-1823, Sept/Oct. 1979. Allen Taflove, John Dabkowski, Prediction Method for Burriied Pipelines Voltages Due to 60 Hz AC Inductive Coupling, Part I-Analysis, Part II Field Test Verification, 1979, IEEE Trans. Power App. Syst., Vol. PAS-98, pp. 780-794, May/June 1979. A. M. Mousa, Ground Switch Interrupting Duty and Total Ground Current Imposed by Induction from Paralel Transmission Line, 1981, IEEE Trans. Power App. Syst., Vol. PAS-100, pp. 3839-3849, Aug. 1981 Anonim, Electromagnetic Effects of Overhead Transmission Lines: Practical Problem, Safeguards, and Methods of Calculation, 1974, IEEE Trans. Power V. Sozi Karnefi, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 156-160 [5] [6] [7] App. Syst., Vol. PAS-93, no. 3, pp. 892-904, May/June. 1974. J. Dakowski, The Calculation of Magnetic Coupling from Overhead Transmission Lines, 1981, IEEE Trans. Power App. Syst., Vol. PAS-100, pp. 3850-3860, Aug. 1981. John P. Nelson, Power Sistems in Close Proximity to Pipelines, IEEE Trans, Industry App. Syst., Vol. IA22, No. 3, pp. 435-441, May/June 1986. Kent C. Jaffa, John B. Stewart, Magnetic Field Induction from Overhead Transmission and Distribution Power Lines and Buried Irrigation Pipelines, 1981, IEEE Trans. Power App. Syst., Vol. PAS-100, no. 33, pp. 991-999, March 1981. 160 Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 161-166 Kecepatan Korosi Oleh 3 Bahan Oksidan Pada Plat Besi Zul Bahrum Caniago Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu, Indonesia Diterima 25 Juni 2006: disetujui 1 Juli 2006 Abstrak - Telah dilakukan penelitian untuk menentukan kecepatan korosi yang disebabkan oleh tiga bahan oksidan yaitu air, asam dan garam terhadap logam (plat besi). Waktu pengamatan dilakukan secara berselang, yakni t = 0, 5 ,10, 15, 20 dan 25 hari. Dengan menggunakan sinar Gamma (γ) yang dihasilkan dari sumber Cobalt (Co-60) yang diradiasikan pada plat logam, kemudian radiasi sinar γ dideteksi oleh tabung Geiger Muller. Intensitas cacahan menunjukkan daya tembus sinar γ semakin tinggi pada logam yang teroksidasi dengan waktu yang lebih lama. Hal ini memberi arti terjadi kerenggangan molekul besi, kerenggangan tersebut akibat proses oksidasi (korosi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya serap sinar γ dalam material merupakan fungsi eksponensial terhadap waktu. Kecepatan korosi yang didapatkan adalah untuk asam sulfat = - 0.0056 dB/hari, garam = - 0.0053 dB/hari, dan air = 0.0047 dB/hari. Kata Kunci: Korosi; Oksidan; Sinar γ 1. Pendahuluan Secara teoritis ilmu tentang nuklir, relatif tidak mengalami perkembangan seperti ilmu pengetahuan yang lain, karena masih banyak fenomena nuklir yang belum dapat dijelaskan secara tuntas. Namun dari segi pemanfaatan, teknologi nuklir telah banyak dimanfaatkan dalam berbagai bidang, misalnya kedokteran, bidang rekayasa dan konstruksi, material. Pada bidang konstruksi bangunan, teknologi nuklir dimanfatkan misalnya, untuk memantau keretakan pada bangunan dan kecepatan korosi pada logam. Korosi atau oksidasi dapat menyebabkan turunnya kualitas dan kekuatan dari suatu bahan. Untuk menghindari kerugian yang lebih besar, perlu tindakan preventif dengan cara mengawasi proses korosi secara dini. Pengawasan korosi dapat digunakan radiasi dengan menyinari bahan yang sinar γ, yakni mengalami korosi dengan Sinar γ, kemudian akan dapat diketahui tingkat atau kelajuan proses korosi pada bahan yang diawasi tersebut untuk selanjutnya dapat diprediksi tingkat kerusakan [4]. Logam adalah bahan yang banyak digunakan untuk berbagai keperluan. Dalam udara terbuka logam mudah teroksidasi yang menimbulkan korosi/ karat, sehingga dapat menurunkan kualitas dan kekuatannya. Kecepatan korosi pada suatu bahan, dipengaruhi oleh kelembaban udara dan kadar garam atau asam, sehingga daerah pinggir pantai memiliki peluang yang sangat besar terjadinya korosi. Korosi terjadi dimulai dari permukaan logam yang terbuka dan menyebar ke bagian lain sesuai dengan fungsi waktu. Bagian yang terkena korosi mengalami perubahan susunan molekul karena terjadinya ikatan kimiawi antara atom logam dengan oksigen. Sinar γ dengan sifat gelombang elektromagnetik dan memiliki daya tembus kuat, dapat digunakan untuk mendeteksi tingkat korosi yang terjadi pada logam, yakni dengan teknik penyinaran pada bagian yang terkena korosi. Pada bagian logam yang terkena korosi akan terjadi perubahan kerapatan logam, sehingga terjadi perubahan daya serap antara yang terkena korosi dengan yang tidak terkena korosi. Perbedaan daya serap sinar γ pada bahan yang terkena korosi ini akan memberikan informasi tingkat korosi yang terjadi pada logam [5]. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kecepatan tingkat korosi dari suatu bahan yang disebabkan oleh 3(tiga ) jenis bahan oksidan (garam, udara, asam). Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan Zul Bahrum Caniago, Jurnal Gradien Vol. 2 No.2 Juli 2006 : 161-166 kontribusi kepada Iptek dalam salah satu pemanfaatan teknologi nuklir. Sedangkan manfaat, dapat ditunjukan manfaat sinar γ untuk mengukur tingkat korosi logam secara dini untuk diambil tindakan yang diperlukan untuk mengatasi kerugian yang lebih besar pada suatu sistem kontuksi besi. 162 Proses pancaran inti dari keadaan teruja ke keadaan dasar disebut proses deexitasi. Deeksitasi suatu anak luruh memiliki energi yang merupakan selisih antara tingkat teruja dan tingkat dasar. 1.2. Interaksi Sinar γ Dengan Materi 1.1. Sifat Fisika Sinar γ. Sinar γ adalah radiasi elektomagnetik dengan daya tembus tinggi dengan panjang gelombang 10-7- 10-11 cm. Sinar γ dipancarkan dari inti atom yang tidak stabil (radioaktif) atau pada inti dalam keadaan tereksitasi (excited state), kemudian sinar γ terpancar ke keadaan dasar dengan jalan memancarkan radiasi elektromagnetik yang disebut sebagai Sinar γ. Dengan kata lain, jika suatu inti berada dalam keadaan tereksitasi namun karena ketakstabilan dari keadaan tereksitasi, inti tersebut akan berpinduh ke keadaan stabil, inti tersebut akan memancarkan sinar γ. Sinar γ sama seperti radiasi sinar elektromagnetik lainnya biasa dipandang sebagai paket-paket energi yang disebut foton (γ). Massa dan muatan suatu inti yang memancarkan sinar γ tidak berubah. Sinar γ ini memiliki energi yang sama dengan selisih antara tingkat-tingkat energi tersebut. Sebagai contoh tinjau peluruhan 60Co27 menjadi 60Ni28 melalui emisi partikel beta. 60 Co 27 → 60 Ni 28 + β + 0 Dimana 0 (neutrino) adalah zarah elementer yang mempunyai massa hampir sama dengan nol dan tidak bennuatan listrik sehingga sangat sukar dibuktikan keberadaannya. 60Ni28 yang dalam keadaan teruja ini mempunyai energi sebesar 2,5057 Mev. Dia akan meluruh dengan memancarkan dua sinar γ. Seperti halnya atom, maka sebuah inti dapat berada dalam kedaan ikat yang energinya lebih tinggi daripada keadaan dasar. Jika inti yang tereksitasi ini kembali ke keadaan dasar, maka inti tersebut akan memancarkan sinar γ. Sinar γ ini memiliki energi yang bersesuaian dengan perbedaan energi antara berbagai keadaan awal dan keadaan akhir dalam transisi yang bersangkutan. Dengan kata lain sinar γ ini memiliki energi yang sama dengan selisih antara tingkat-tingkat energi tersebut. Sinar γ merupakan sinar elektromagnetik, tidak bermassa dan tidak bermuatan. Kondisi inilah yang menyebabkan sinar γ memiliki daya tembus material yang cukup tinggi atau memiliki daya ionisasi yang kecil. 1.3. Penyerapan Sinar γ [1] Tiga cara utama Sinar-X atau Sinar γ dapat kehilangan energinya ketika melewati materi, yaitu Efek fotolistrik, Hamburan compton, dan Produksi pasangan. Efek Fotolistrik [1]- Yaitu gejala terlepasnya electron logam akibat logam tersebut dijatuhi radiasi elektromagnetik. Elektron dapat terlepas dari logam karena ia menyerap energi dari radiasi tersebut. Besamya energi kinetik elektron yang terlepas Ek = hf − hf o Ek = hf − W Dimana W sering disebut fungsi kerja atau energi ambang. Gambar 1. Skema pancaran γ dari peluruhan [1][3] Hamburan Compton [1] - Gejala Compton adalah gejala dimana sinar-X atau sinar γ yang menumbuk electron dihamburkan dengan panjang gelombang yang lebih besar. Menurut teori kuantum cahaya, foton berlaku sebagai partikel, hanya proton tidak memiliki massa diam. Foton sinar γ menumbuk electron yang mula-mula diam terhadap sistem koordinat dan Zul Bahrum Caniago, Jurnal Gradien Vol. 2 No.2 Juli 2006 : 161-166 163 kemudian mengalami hamburan dari arahnya semula, sedangkan elektronnya menerima impulse dan mulai bergerak. Dalam tumbukan ini foton dapat dipandang sebagai partikel yang kehilangan sejumlah energi kinetik K yang diterima oleh electron, walaupun sebenamya kita mengamati dua foton yang berbeda. Jika foton semula mempunyai frekuensi δ, maka foton terhambur mempunyai frekuensi yang lebih rendah δ' sehingga terjadi kehilangan energi sebesar K = hδ − hδ ' Produksi Pasangan [1] - Ketika foton melewati dekat inti dimungkinkan terjadinya electron dan positron (elektron bermuatan positif), dimana jumlahan keduanya menghasilkan muatan yaitu nol. Dalam semua kasus baik efek fotolistrik, efek Compton dan produksi pasangan energi foton ditransfer pada electron yang diikuti dengan kehilangan energi terutama disebabkan oleh proses oksidasi atau ionisasi. Pada energi foton rendah efek fotolistrik merupakan mekanisme utama dari. kehilangan energi. Pentingnya efek fotolistrik dengan bertambahnya energi diganti dengan hamburan Compton, lebih besar nomor atomic penyerapannya lebih tinggi pula energi ketika efek fotolistrik memegang peranan penting. Dalam unsur ringan hamburan Compton berperan utama pada energi foton, beberapa puluh KeV, sedangkan pada unsur berat peran utama pada energi hampir 1 MeV. Produksi pasangan peluangnya meningkat lebih besar energinya dari energi ambang 1,02 MeV, lebih besar nomor atomik penyerapannya. Intensitas I dari berkas sinar γ dari laju transpor energi per satuan luas penampang dari berkas itu. Energi fraksional yang hilang dari berkas ketika melalui penyerapan setebal dx adalah : − dI = µdx I Konstanta pembanding µ disebut koefisien Alennasi linier dan harganya bergantung dari energi foton dan sifat material penyerap. Integrasi persamaan itu adalah I = I 0e Pada proses pengkorosian besi, penyebab utamanya adalah terjadi reduksi oksigen pada molekul asam oleh molekul logam. Mekanisme korosi lebih lanjut dapat dijelaskan sebagai berikut : Pada permukaan logam yang bersentuhan langsung dengan oksidan dapat dipandang sebagai anoda, pada bagian ini terjadi reaksi: Fe(s ) → Fe (2aq+ ) + 2e Elektron yang dihasilkan melakukan pertukaran dengan oksigen, atau mengalami reduksi : O 2 (g ) + 4H (+aq ) + 4e → 2H 2O (l ) Dari proses reaksi di atas, ion H+ berperan sebagai pereduksi oksigen. Makin besar kosentrasi H+ (makin asam) reaksi berlangsung semakin cepat. Sebaliknya makin kecil kosentrasi ion H+ (makin basa) reaksi berlangsung semakin lambat. Besi tidak terkorosi pada pH > 9. Ion Fe2+ yang terbentuk pada anoda mengalami oksidasi berlanjut membentuk Fe3+ yang selanjutnya membentuk senyawa oksidasi terhidrasi, Fe203 x H2O, yang disebut sebagai korosi besi. 4Fe(2aq+ ) + O 2 (g ) + 4H 2O(l ) 2Fe 2O3 x − H 2O(s ) + 8H (+aq ) Katoda adalah bagian yang mendapat banyak suplai oksigen, sehingga korosi terjadi pada bagian ini. Pada proses pengkorosian besi bisa dilakukan secara alamiah atau secara buatan. Secara alamiah, bila oksigen yang terdapat dalam udara dapat bersentuhan dengan permukaan logam besi yang lembab, kemungkinan terjadinya korosi lebih besar. Korosi terutama terjadi pada bagian sel yang kekurangan oksigen. Gejala ini dapat dijelaskan berdasarkan reaksi-reaksi pada permukaan katoda yang memerlukan elektron. Reaksi katoda hanya dapat terjadi bila ada oksigen, dapat dilihat, seperti dibawah ini: 2(H 2 O ) + O 2 + 4e − ↔ 4(OH ) − (Pembentukan Hidroksil) µx Jadi Intensitas radiasi menurun secara eksponensial terhadap tebal penyerap. Hubungan antara tebal penyerap x dengan rasio Io/I adalah I ln I x= 0 µ 1.4. Proses pengkorosian pada plat Besi Disamping itu dari reaksi katoda ini memerlukan elektron dan logam daerah disekitarnya yang kurang oksigen harus menyerahkan elektron-elektronya. Jadi dapat dsimpulkan bahwa daerah yang kurang oksigennya menjadi anoda. Set oksidasi akan mempercepat korosi didaerah dimana konsentrasi Zul Bahrum Caniago, Jurnal Gradien Vol. 2 No.2 Juli 2006 : 161-166 oksigen lebih rendah. Besi mempunyai potensial elektroda φ sebesar -0,44 volt. Agar terjadi rekasi anoda: (OH )− Fe → Fe 3+ + 3e − (Reaksi anoda) Hal ini disebabkan karena Fe harus melepaskan ketiga elektronnya agar berlangsung reaksi katoda sehingga terjadi ion Fe3+. 164 sesudah melewati sampel (I) kemudian mengihtung daya serapnya masing-masing. Untuk menentukan daya serap (A) adalah A = log I I0 (1) I adalah Intensitas sinar γ setelah melewati bahan (cacah/menit) dan Io adalah Intensitas sinar γ sebelum bahan terkorosi (cacah/menit) Bila kita lakukan reaksi: 6H 2 0 + 3O 2 + 2e − → 12(OH ) − (Reaksi katoda) Sehingga akan terjadi kesetaraan reaksi sebagai berikut: 4Fe + 6H 2 0 + 3O 2 + 12e − → 4Fe3+ + 12(OH ) + 12e − − 4Fe + 6H 2 0 + 3O 2 → 4Fe(OH )3 Bila reaksi terjadi dalam aair yang diperkaya dengan oksigen akan didapat hasil korosi yang tidak larut dalam air dan akan mengendap yang selanjutnya disebut karat. 2. Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Fisika Eksperimen Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Dalam penelitian ini digunakan metode eksperimen, bahan yang digunakan adalah plat besi. Plat besi tersebut dipotong dengan ukuran yang sama. Kemudian dikorosikan pada media korosi (oksidan) yaitu air (H2O), asam sulfat (H2S04), dan air garam (NaCl). Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah perangkat alat pendeteksi Tabung Geiger Muller, Sumber radiasi sinar γ (Co-60), dan Digit Counter. Lempengan besi dengan ukuran (2x3 cm, ketebalan 3 mm) diletakkan diatas gelas yang berisi media yang berbeda-beda disusun dalam sebuah kotak kayu yang terlebih dahulu dibasahi dengan oksidan. Sebagai sampel pengontrol adalah logam yang bebas korosi, yang diukur intsnsitas sinar γ sebelum dan sesudah melewati sampel dan dihitung daya serap sinar γ pada plat besi tersebut dinyatakan sebagai data Ao. Sedangkan sampel uji, digunakan plat besi yang telah mengalami korosi dengan waktu pengoksidasian yang berbeda, yaitu: ± 5 hari, 10 hari, 15 hari, 20 hari, dan 25 hari. Data yang diambil sama dengan data pada sampel kontrol yaitu intensitas sinar γ sebelum (Io) dan Kecepatan korosi adalah: v= d I log dt I0 (2) 3. Hasil Dan Pembahasan Hasil pengukuran rata-rata intensitas sinar γ yang melewati plat besi pada berbagai medium korosi dengan 3 jenis oksidan ditunjukkan pada tabel 1. Tabel 1. Intensitas sinar γ yang melewati plat Hasil penelitian menunjukkan bahwa korosi terbesar terjadi pada plat besi dengan oksidan asam sulfat (H2SO4) dan terkecil terjadi dengan oksidan air(H2O) Dari tabel 1, untuk oksidan H2O, nilai rata-rata intensitas meningkat dari 278,8 (waktu korosi 5 hari) menjadi 293,9 (waktu korosi 25 hari). Sedangkan oksidan dengan larutan NaCl , nilai rata-rata intensitasnya meningkat dari 281,1 (waktu korosi 5 hari) menjadi 295,1 (waktu korosi 25 hari). Demikian untuk oksidan H2S04, peningkatan nilai rata-rata intensitas dimulai dari 286,8 (waktu korosi 5 hari) dan berakhir 300.7 (wakt korosi 25 hari). Peningkatan instensitas sinar γ yang menembus pada bahan bersesuaian dengan semakin lamanya waktu oksidasi, dengan demikian oksidasi meyebabkan kerenggangan molekul besi sehingga sinar γ berpeluang lolos. Perbandingan karakteristik bahan (hubungan Intensitas dengan lama korosi) yang mengalami korosi dengan 3 165 Zul Bahrum Caniago, Jurnal Gradien Vol. 2 No.2 Juli 2006 : 161-166 jenis oksidan dapat dilihat pada gambar 2 berikut : Dari kurva yang diperlihatkan pada gambar 3, maka diperoleh linearisasi daya serap sebagai berikut : H2O = - 0.0056 t + 0.4404 NaCl = - 0.0053 t + 0.4363 H2SO4 = - 0.0047 t + 0.4257 Dengan menggunakan persamaan (2) maka diperoleh kecepatan korosi v sebagai berikut : Asam sulfat = - 0.0056 dB/hari Garam = - 0.0053 dB/hari Air = - 0.0047 dB/hari Gambar 2. Karakteristik bahan yang mengalami korosi 4. Kesimpulan Dari gambar 1 terlihat bahwa semakin lama besi terkorosi maka intensitas sinar γ yang melewati plat besi mengalami kenaikan. Dampaknya adalah intensitas sinar γ yang diserap oleh plat besi mengalami penurunan yang bersesuaian dengan lama proses korosi yang dialami. Semakin tinggi intensitas sinar γ yang melewati plat besi, maka semakin kecil intensitas yang diserap oleh plat besi. Besi mengalami korosi terbesar (kecepatan tingkat korosinya paling besar) berturut-turut dengan oksidan H2S04 kecepatan korosi rata-rata 0,00198 dB/hari, NaCI kecepatan korosi rata-ratanya 0,00165 dB/hari dan HzO kecepatan kurosi rata-ratanya 0,00157 dB/hari. Hasil penyerapan intensitas sinar γ (A) oleh plat besi di tunjukan pada tabel 2. Dan grafik daya serap dilihatkan oleh gambar 3. Tabel 2. Daya Serap Intensitas sinar γ paling banyak melewati plat besi dengan oksidan H2S04 dengan interval 286,8 sampai 300,7. Plat besi yang mengalami korosi mudah ditembus oleh sinar γ dengan arti lain daya serap rendah. Plat besi yang tingkat korosinya kecil mampu menyerap intensitas sinar γ dengan cepat Penentuan kualitas material logam dapat dilakukan dengan menembakkan sinar γ pada logam itu, bila intensitas sinar γ banyak melewati logam (sedikit yang diserap oleh logam) maka dapat diartikan kualitas logam relatif rendah. Maka disarankan untuk menguji kualitas material bangunan dapat memanfaatkan sinar γ yang ditembakan pada material tersebut. Daftar Pustaka Gambar 3. Daya serap [1] Arthur Beiser The Houw Liong, Concepts Of Modern Physics, 1981, MC Graw-Hill, INC. [2] Kenneth S. Krane, Modern Physics, 1992, Department Of Physics, Oregon State University. [3] Kenneth S. Krane, Introductory Nuclear Physics, 1988, Oregen State University. Zul Bahrum Caniago, Jurnal Gradien Vol. 2 No.2 Juli 2006 : 161-166 [4] Lawrenceh. Van Vlack, Elements Of Materials Science and engineering, 1985, University Of Michigan, USA. [5] M. Ridwan, M.Sc, Ph. D, dkk, Pengantar Ilmu Pengetahuan dan teknologi nuklir, 1978, Jakarta. 166 Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 167-171 Hubungan Aktivitas Gempa Tektonik Daerah Subduction Indo-Australia Eurasia Segmen Enggano Tahun 2000 Dengan Aktivitas Gempa Vulkanik Gunungapi Kaba Dan Dempo Refrizon dan Suwarsono Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu, Indonesia Diterima 27 Juni; disetujui 1 Juli 2006 Abstrak - Telah dilakukan penelitian mengenai hubungan antara aktivitas tektonik Segmen Enggano dengan aktivitas vulkanik Gunungapi Kaba dan Dempo Sumatera Selatan. Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data aktivitas gempa yang berpusat di sekitar Segmen Enggano, aktivitas vulkanik Gunungapi Kaba dan Gunungapi Dempo sepanjang tahun 2000. Berdasarkan data itu dicoba melihat hubungan beserta pola hubungan tersebut. Aktivitas tektonik Segmen Enggano, aktivitas vulakanik Gunungapi Kaba dan Dempo memiliki kemiripan. Puncak aktivitas Gunungapi Kaba terjadi sekitar dua bulan setelah puncak aktivitas Segmen Enggano dan aktivitas vulkanik Kaba terpengaruh oleh aktivitas tektonik Segmen Enggano. Sedangkan pola aktivitas Gunungapi Dempo juga mengikuti pola aktivitas lempeng tektonik Segmen Enggano, puncak aktivitasnya terjadi tiga bulan setelah puncak aktivitas Segmen Enggano, tetapi ada segmen selain Enggano yang mempengaruhi aktivitas Gunungapi Dempo. Kata Kunci : Gempa Tektonik; Subduction; Vulkanik 1. Pendahuluan Pengamatan di lapangan setelah gempa tektonik besar di Bengkulu pada tanggal 4 Juni 2000 di Gunungapi Kaba juga terjadi gempa vulkanik yang meningkat secara siknifikan dibandingkan waktu-waktu sebelumnya. Secara teoritis peningkatan dan penurunan gempa vulkanik akan berasosiasi dengan aktifitas pergerakan lempeng sehingga akan mengikuti fluktuasi terjadinya gempa tektonik. Pada saat aktivitas tektonik terjadi peningkatan selama 3 bulan dari Juni, Juli hingga Agustus 2000, aktivitas vulkanik juga meningkat tajam pada bulan-bulan itu, bahkan letusan sempat terjadi pada bulan tersebut. Bengkulu terletak diantara dua jalur sumber gempa tektonik yaitu di sepanjang subduction antara lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia di Samudra Hindia, sedangkan sumber gempa di daratan terletak sepanjang sesar Sumatera. Sehingga Bengkulu termasuk daerah yang diapit oleh dua jalur sumber gempa tektonik yang sangat berbahaya. Dari data stasiun pengamatan gempa wilayah II Kepahiyang Bengkulu menunjukkan bahwa jumlah gempa berbahaya sejak tahu 1963 sampai dengan 2000 dengan magnitudo antara 4 sampai 7 skala Richter tercatat lebih dari 1.192 kali. Kenyataan menunjukkan bahwa frekuensi dan kekuatan gempa tektonik menurun setelah tiga bulan, di samping itu aktivitas gempa vulkanik di Gunungapi Kaba menunjukkan penurunan juga. Sehingga diperkirakan aktivitas gempa vulkanik Kaba di Curup berhubungan erat dengan aktivitas tektonik di daerah subduction Samudra Hindia. Jika pola hubungan kedua aktivitas tersebut dapat ditemukan, maka akan dapat dipakai sebagai salah satu cara antisipasi penentuan aktivitas vukanik Kaba, untuk membantu perencanaan mitigasi bencana di masa datang. Atau sebaliknya dengan mengetahui peningkatan aktivitas Kaba akan dapat diramalkan kemungkinan adanya tanda-tanda akan terjadi gempa tektonik yang besar di daerah subduction Samudra Hindia. Penelitian ini merupakan awal dari berbagai kemungkinan untuk dapat mendeteksi lebih dini akan adanya gempa tektonik di daerah subduction ini. Fakta yang ada setelah gempa tektonik besar 4 Juni 2000 di segmen Enggano, beberapa hari kemudian, aktivitas Gunungapi Kaba dan Dempo mengalami Refrizon, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 167-171 peningkatan yang sangat tajam. Menurut teori plat tektonik memang aktivitas subduction Indo Australia dan Eurasia berubungan dengan deretan gunung berapi di Sumatera secara keseluruhan. Apakah terdapat hubungan langsung antara aktivitas tektonik segmen Enggano dengan aktivitas vulkanik Gunungapi Kaba dan aktivitas Gunungapi Dempo? Jika terdapat hubungan langsung bagaimana bentuk (pola) hubungan tersebut dan mungkinkah Gunungapi Kaba dan Dempo akan meletus dapat diramalkan dengan dasar aktivitas gempa tektonik di daerah subduction segmen Engano atau sebaliknya aktivitas kedua gunungapi tersebut untuk meramalkan gempa tektonik di Bengkulu. Selama ratusan tahun yang lalu Bengkulu pernah mengalami gempa-gempa besar seperti yang pernah terjadi pada tengah malam 4 Juni 2000 dengan kekuatan 7,3 skala Riechter. Gempa bumi tersebut telah menimbulkan korban jiwa meninggal lebih dari 90 orang, luka berat 803 orang, luka ringan 1.782 orang, bangunan rusak total 1.836, rusak berat 10.460, rusak ringan 18.928 [1]. Dampak adanya gempa bumi tergantung dari besarnya gempa, kondisi tanah, atau batuannya, struktur geologi serta kondisi infra struktur yang ada. Penyebab korban jiwa yang terbesar karena tertimpa bangunan, saat gempa pertama terjadi dan beberapa korban akibat gempa susulan. Hasil penelitian tim Departemen Pekerjaan Umum menunjukkan kerusakan pada bangunan-bangunan memiliki jenis kerusakan yang tipikal [5] Bengkulu merupakan daerah yang diapit oleh dua jalur sumber gempa yaitu jalur subducton di samudra Hindia dan jalur sesar Sumatra di sepanjang bukit barisan. Dari hasil penelitian [6] menunjukkan bahwa: (1) pola gempa bumi tektonik yang sama terjadi setiap 9–10 tahun sekali (2) frekuensi gempa bumi tektonik di Bengkulu dari tahun 1963–2000 cenderung meningkat (3) Gempa bumi Bengkulu dengan magnitudo 4 sampai dengan 7 skala Richter dari tahun1963–2000 mencapai 1.192 kali. Sehingga dapat dipastikan bahwa daerah Bengkulu masih akan memiliki frekuensi gempa yang cukup tinggi, yang memerlukan penelitian-penelitian untuk perencanaan mitigasinya. 168 Gempa bumi tektonik adalah gempa yang disebabkan oleh terlepasnya energi regangan elastik [2]. Sedangkan menurut teori elastic rebound bahwa di dalam kulit bumi senantiasa ada aktivitas geologis yang mengakibatkan pergerakan relatif satu massa batuan di dalam batuan yang lain di dalam kulit bumi. Batuanbatuan ini berifat elastik dan dapat menimbun regangan bilamana ditekan atau ditarik oleh gaya-gaya tektonik. Ketika tegangan yang terjadi pada batuan melampaui kekuatannya, batuan tersebut akan hancur pada daerah patahan dan melepaskan sebagian atau seluruh tegangan untuk kembali ke keadaan semula. Hancurnya batuan di dalam kulit bumi akan disertai dengan pemancaran gelombang-gelombang gempa ke segala arah, kadang-kadang sampai ke tempat yang jauh tergantung pada banyaknya energi yang terlepas. Menurut [2] gempa bumi tektonik hanya terjadi apabila (1) terjadi penimbunan regangan secara perlahan-lahan pada batuan-batuan di dalam bumi, (2) batuan-batuan di dalam bumi harus dapat menimbun regangan hingga mencapai satu besaran kira-kira 1020-1023 erg., sebagai perbandingan bom atom Hirosima mempunyai energi sebesar 8 x 1020 erg. Magnitude gempa adalah besaran yang berhubungan dengan kekuatan gempa di sumbernya. Gempa dengan magnitude besar belum tentu merusak kalau sumbernya sangat dalam apalagi kalau jaraknya juga sangat jauh. Pengukuran magnitude yang dilakukan di tempat yang berbeda, harus menghasilkan harga yang sama walaupun gempa yang dirasakan di tempat-tempat tersebut tentu berbeda. Pada umumnya magnitude diukur berdasarkan amplitudo dan periode fase gelombang tertentu. Rumus untuk menentukan magnitude gempa yang umum dipakai pada saat ini adalah: M = log a + f ( ∆, h) + C S + C R T (1) dengan M adalah magnitude, a adalah amplitudo gerakan tanah (dalam mikron), T adalah perido gelombang, ∆ adalah jarak episenter, h adalah kedalaman gempa, CS adalah koreksi stasiun oleh struktur lokal (sama dengan nol untuk kondisi tertentu), dan CR adalah koreksi regional yang berbeda untuk setiap daerah gempa. Refrizon, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 167-171 169 Magnitude gempa yang diperoleh berdasarkan amplitudo gelombang badan (P atau S) dapat dihitung dengan: m b = log a + f ( ∆ , h) T (2) dengan mb adalah magnitude gelombang badan, dengan anggapan bahwa Cs dan CR keduanya sama dengan nol. Dalam prakteknya a adalah amplitudo gerakan tanah maksimum dalam mikron yang diukur pada 3 gelombang yang pertama dari gelombang P (seismogram periode pendek, komponen vertikal), dan T adalah periode gelombang yang mempunyai amplitudo maksimum tersebut. Magnitude gelombang permukaan, Ms dapat ditentukan berdasarkan: M S = log a + f ( ∆, h) T (3) dengan a adalah amplitudo maksimum gelombang permukaan, yaitu gelombang Rayleigh (dalam mikron) dan T diukur pada gelombang dengan amplitudo maksimum tersebut. Kekuatan sumber gempa disumbernya dapat juga diukur dari energi total yang dilepaskan oleh sumber gempa tersebut. Energi yang dilepaskan oleh gempa biasanya dihitung dengan mengintegralkan energi gelombang sepanjang kereta gelombang (wave train) dan seluruh luasan yang dilewati gelombang (bola untuk gelombang badan, silinder untuk gelombang permukaan), yang berarti mengintegralkan energi ke seluruh ruang dan waktu. Berdasar perhitungan energi dan magnitude yang pernah dilakukan, ternyata antara magnitude dan energi mempunyai relasi: (4) log E = 4,78 + 2,57 mb dengan mb adalah magnitude gelombang badan dan satuan energi adalah dyne cm atau erg. Berdasarkan persamaan (1) dan (4), kenaikan magnitude gempa sebesar 1 skala richter akan berkaitan dengan kenaikan amplitudo yang dirasakan di suatu tempat sebesar 10 kali, dan kenaikan energi sebesar 25 sampai 30 kali. Namun karena MS (amplitudo gelombang permukaan) juga mempunyai hubungan langsung dengan mb secara empiris ditulis sebagai: (5) mb = 0,56M S + 2,9 maka E juga berhubungan dengan MS yang bentuknya adalah: (6) log E = 12,24 + 1,44M S 2. Metode Penelitian 1. Mengumpulkan dan mentabelkan data gempa tektonik Bengkulu yang terjadi selama tahun 2000 dari stasion Meteorologi dan Geofisika Kepahyang Bengkulu 2. Mengumpulkan dan mentabelkan data gempa vulkanik Kaba yang terjadi selama tahun 2000, dari stasion pengamatan gunung api Kaba. 3. Mengumpulkan dan mentabelkan data gempa vulkanik gunungapi Dempo yang terjadi selama tahun 2000, dari stasion pengamatan gunung api Dempo. 4. Mengolah data-data tersebut dalam bentuk grafik magnetudo versus waktu terjadinya gempa tektonik maupun vulkanik. 5. Mencari hubungan, baik dalam magnetudo, waktu dan frekuensi terjadinya gempa. Pola hubungan tersebut digambarkan dalam bentuk grafik hubungan aktivitas kegempaan tektonik dan vulkanik versus waktu terjadinya. 6. Grafik yang terbentuk dicari persamaan matematiknya, yang mencerminkan besar magnetudo sebagai fungsi waktu terjadinya gempa. Persamaan tersebut menyatakan pola hubungan yang dimaksud pada point 1. 3. Hasil Dan Pembahasan Pengumpulan data-data gempa tektonik segemen Enggano dan data-data gempa vulkanik Gunungapi Kaba dan Dempo selama tahun 2000 telah dapat dilakukan. Untuk mengetahui perkembangan aktivitas gempa tersebut dibuat gravik yang menghubungkan total magnitudo selama selang satu bulan dari Januari sampai Nopember. Aktivitas gempa tektonik Segemen Enggano, gempa vulkanik Gunungapi Kaba dan Refrizon, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 167-171 Aktivitas gempa tektonik Segmen Enggano yang terjadi sepanjang tahun 2000 mengalami peningkatan sejak dari Bulan Pebruari 2000 dan mencapai puncaknya Juni tahun 2000. Aktivitas gempa tektonik pada bulan Juni 2000 mengalami peningkatan yang sangat besar dibandingkan dengan rata-rata total magnitudo gempa bulan Pebruari sampai Mei 2000. Besar peningkatan total magnitudonya sekitar 20 kali lebih besar (Tabel 1). Bila dihubungkan dengan energi yang dilepaskan sekitar 900 kali lebih besar dibandingkan total energi pada bulan Pebruari sampai Mei. 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 -1.00 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Bulan 3.00 Gambar 2. Aktivitas gempa vulakanik Gunungapi Kaba setiap bulannya pada tahun 2000. 2.50 log magnitudo relatif lebih jauh dibandingkan Gunungapi Kaba daro Segmen Enggano yang diduga akan memepengaruhi aktivitas gunungapi ini. Aktivitas Gunungapi Dempo selama tahun 2000 diperlihatkan pada gambar 3. Dari gambar 3 tersebut dapat dilihat bahwa aktivitas Gunungapi Dempo sepanjang tahun 2000 tersebut juga mengalami perubahan yang signifikan. Log magnitudo Dempo berturut-turut diperlihatkan pada gambar 1, gambar 2 dan gambar 3. 170 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Bulan Gambar 1. Aktivitas gempa tektonik Segmen Enggano setiap bulannya pada tahun 2000. Aktivitas gempa vulkanik Gunungapi Kaba selama tahun 2000 diperlihatkan pada Gambar 2. Sejak Januari sampai Mei aktivitas Gunungapi Kaba sedikit mengalami kenaikan pada bulan Pebruari. Secara umum aktivitasnya ini bisa dianggap sangat kecil karena total magnitudo dalam satu bulan kurang dari sepuluh. Pada bulan Juni aktivitas Gunungapi Kaba mulai naik, demikian juga Juli dan mencapai puncaknya pada bulan Agustus 2000, kemudian pada Bulan September terus menurun sampai Nopember. Aktivitas gempa tektonik Segmen Enggano secara umum memiliki pola peningkatan aktivitas sepanjang tahun 2000 yang hampir sama dengan pola aktivitas Gunungapi Kaba, hanya saja terjadi pergeseran puncak aktivitas dua bulan setelah puncak aktivitas tektonik Segmen Enggano. Sementara aktivitas vulkanik Gunungapi Dempo di Sumatera Selatan, letaknya Pola perubahan aktivitas Gunungapi Dempo sejak awal tahun 2000 sampai akhir tahun sebenarnya mirip dengan pola aktivitas Gunungapi Kaba. Awal tahun 2000 Gunungapi Dempo mengalami peningkatan di Bulan Maret sedangkan Gunungapi Kaba Bulan Pebruari, sedangkan ketika bulan Juni Gunungapi Kaba telah mulai meningkat aktivitasnya Gunungapi Dempo juga mengalami peningkatan, kemudian turun lagi. Gunungapi Dempo ini mengalami puncak aktivitasnya di bulan September 2000, yang berarti tergeser tiga bulan setelah aktivitas tektonik Segmen Enggano. Bila dibandingkan pola aktivitas tektonik Segmen Enggano, aktivitas Gunungapi Kaba dan aktivitas Gunungapi Dempo di Sumatera Selatan, memiliki kemiripan pola puncak aktivitasnya. Hal ini membuktikan bahwa kegiatan pergerakan lempeng Segmen Enggano mempengaruhi aktivitas kedua gunungapi ini. Puncak aktivitasnya terjadi dua bulan sesudah puncak aktivitas tektonik untuk Gunungapi Kaba dan sesudah tiga bulan untuk Gunungapi Dempo. Perbedaan ini dapat dipahami sebagai waktu yang diperlukan untuk mengumpulkan energi aktivitas lempeng yang memicu aktivitas gunungapi. Secara geografis posisi Gunungapi Kaba lebih dekat dibandingkan Gunungapi Dempo di Sumatera Selatan. Refrizon, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 167-171 171 Pengamatan Gunungapi Kaba pengamatan Gunungapi Dempo. Log m a gnitudo 2.5 dan Stasiun 2 1.5 Daftar Pustaka 1 0.5 0 -0.5 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Bulan Gambar 3. Aktivitas gempa vulakanik Gunungapi Dempo di Sumatera Selatan setiap bulannya pada tahun 2000. Sementara pola aktivitas gunungapi Dempo sepanjang tahun 2000 memiliki sedikit perbedaan dengan memiliki dua puncak aktivitas sebelum aktivitas tertinggi pada bulan September 2000. Kemungkinan penyebab hal ini selain letaknya yang relatif lebih jauh dari Segmen Enggano, juga akan dipengaruhi oleh aktivitas lempeng tektonik lain yang sebagaimana diketahui juga terdapat aktivitas tektonik, sementara posisinya sedikit lebih jauh dari Segmen Enggano. 4. Kesimpulan Pola aktivitas Gunungapi Kaba memiliki kemiripan dengan pola aktivitas tektonik Segmen Enggano, tetapi puncak aktivitasnya terjadi sekitar dua bulan setelah puncak aktivitas Segmen Enggano, sehingga dapat dikatakan bahwa aktivitas vulkanik Kaba dominan dipengaruhi oleh aktivitas tektonik Segmen Enggano. Pola aktivitas Gunungapi Dempo sebenarnya mengikuti pola aktivitas lempeng tektonik Segmen Enggano, puncak aktivitasnya terjadi tiga bulan setelah puncak aktivitas Segmen Enggano, tetapi ada sedikit perbedaan pola, hal inilah yang membuktikan bahwa terdapat pengaruh segmen lain selain Segmen Enggano. Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih 1. Proyek Peningkatan Sumberdaya Manusia Dirjen Dikti. 2. Staf dan pegawai Stasiun Meteorologi dan Geofisika Wilayah II Kepahiyang, Stasiun [1] Anonim, Informasi Gempa Susulan Kekuatan Gempa (Magnitude), 2000, Badan Meteorologi Dan Geofisika, Bengkulu. [2] Boen T., Gempa Bumi Bengkulu Fenomena dan Perbaikan Perkuatan bangunan (berdasarkan hasil pengamatan terhadap bangunan-bangunan yang rusak akibat gempa bumi Bengkulu 4 Juni 2000), 2000, Seminar Nasional Kegempaan dan Mitigasi Bengkulu Masa Mendatang, Universitas Bengkulu. [3] Dobrin M.B. & Savit C.H., Introduction to Geophysical Prospecting, fourth edition, 1996, McGraw-Hill International Edition, New York. [4] Garg K.S., Geologi The Science Of The Earth, 1983, Kanna Publishers, New Delhi. [4] Kertapati E., Kondisi Geologi Bengkulu Dan Pengaruh Terhadap Resiko Gempa Bumi, 2000, Seminar Nasional Kegempaan dan Mitigasi Bengkulu Masa Mendatang, Universitas Bengkulu. [5] Maryoko H. dkk, Petunjuk Perbaikan Bangunan Yang Rusak Akibat Gempa Bumi, 2000, Departemen Pekerjaan Umum, Bengkulu. [6] Meva Arianti dan Suwarsono, Karakteristik Gempa Tektonik di Bengkulu, 2000, Program Studi Fisika, Universitas Bengkulu. Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 172-175 Perlakuan Fraksinasi Terhadap Kandungan β-Karotene Pada Minyak Merah (Red palm olein) Syafnil Jurusan Teknologi Ilmu Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu, Indonesia Diterima 5 Mei 2006; disetujui 1 Juli 2006 Abstrak - Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan fraksinasi terhadap kandungan β-karotene pada minyak sawit merah atau Red palm olein (RPO). Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Pertanian, Universitas Bengkulu selama 5 bulan, dari bulan Juni – November 2004. Parameter yang diamati adalah menganalisis konsentrasi senyawa karotene yang telah dilakukan fraksinasi pada suhu 4oC dengan lama penyimpanan selama 3, 6 dan 9 hari dengan metode spektrofotometri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin lama masa penyimpanan (fraksinasi) semakin sedikit fraksi cair terbentuk tetapi konsentrasi karotennya semakin tinggi. Kata kunci : Fraksinasi; β Karotene; Red palm olein 1. Pendahuluan Red palm olein (RPO) merupakan salah satu jenis minyak goreng sawit yang mengandung zat warna karotenoid dan β-karotene alami yang cukup tinggi. Kandungan β-karotene yang cukup tinggi tersebut merupakan keunggulan dari RPO dibandingkan dengan minyak goreng lain, sehingga minyak goreng ini digolongkan sebagai minyak goreng spesial dengan harga jual lebih mahal dari minyak goreng lain. Fraksinasi merupakan proses awal pembuatan RPO dengan bahan baku Crude palm olein (CPO). Pada proses ini dilakukan pemisahan fraksi padat dan fraksi cair CPO. Pada proses fraksinasi CPO akan diperoleh 70 % fraksi padat berupa Cude Palm Stearin (CPS) dan fraksi cair berupa Crude Palm Olein (CPO) [2]. Warna pada minyak goreng sangat dipengaruhi oleh zat warna yang terdapat secara alami pada sumber minyak tersebut. Zat warna yang terdapat pada minyak kelapa sawit berasal dari berbagai jenis zat warna karotenoid yang larut pada minyak seperti, α, β, χ-karotene dan β-zaekarotene [1]. Perlakuan fraksinasi CPO , khususnya penurunan suhu minyak untuk memisahkan fraksi padat dan cair turut mempengaruhi kelarutan zat warna karotenoid pada fraksi cair minyak. Penurunan suhu minyak dalam waktu yang lama akan menyebabkan lebih banyak zat warna karotenoid berada atau larut pada fraksi cair (crude palm olein/CPO) dibandingkan dengan fraksi padatnya (crude falm stearin/CPS). Sebagaian besar karotene yang terdapat dalam minyak sawit adalah α dan β-karotene, kandungannya lebih dari 80%, sedangkan sisanya terdiri dari γ-karotene dan β-zeakarotene [1][5]. β-karotene dikenal sebagai provitamin-A, di dalam tubuh akan mengalami tranformasi menjadi vitamin A [5]. Disamping juga sebagai precursor vitamin A, β-karotene berfungsi sebagai antioksidan yang efektif. Hasil studi epidomologi tahun 1980 telah diketahui bahwa βkarotene dapat melindungi secara preventif dari beberapa jenis kanker seperti, kanker mulut, tenggorokan, paru-paru dan perut [1][5]. Minyak sawit diproduksi melalui Refinisasi, Bleaching dan Deodorisasi (RBD). Pada pembuatan minyak goreng (palm olein) sebagian besar senyawa karotene yang terdapat dalam crude palm oil (CPO) dihilangkan melalui proses bleaching untuk mendapatkan minyak goreng jernih. Mengingat manfaat karotene yang begitu besar bagi kesehatan, maka beberapa tahun terakhir ini masyarakat mulai menerima minyak goreng yang kaya akan senyawa 173 Syafnil, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 172-175 karotene, yaitu minyak goreng yang diproduksi tanpa menghilangkan zat warna (tanpa bleaching) karotene yang secara alamiah ada pada CPO. Minyak goreng sawit (palm olein) yang dibuat tanpa perlakuan bleaching lebih dikenal dengan nama Minyak Sawit Merah atau Red palm olein [1][5]. Kandungan β-karotene yang terdapat dalam Red palm olein (RPO) diukur dengan metoda spektrofotometri. Spektrofotometri merupakan perluasan pemeriksaan visual secara kuantitatif. Prinsip kerja berdasarkan penyerapan energi radiasi oleh suatu larutan yang berwarna, dengan jalan mengukur intensitas sinar yang diserap larutan berwarna yang dilewati oleh berkas energi radiasi tersebut [2]. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan fraksinasi kandungan β-karotene pada minyak sawit merah atau red palm olein. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan ekspektasi terhadap warna minyak sawit merah yang diproduksi sebagai minyak goreng yang lebih sehat, serta mendorong kajian lebih lanjut terhadap karakteristik minyak sawit merah, khususnya zat warna yang bermanfaat bagi kesehatan. 2. Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu . Berlangsung selama 5 bulan, mulai dari bulan Juni sampai November tahun 2004. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah crude palm olein (CPO), β-karotene, aqua destilata, aluminium foil, kertas label, dan bahan-bahan kimia lainnya. Sampel crude palm oil (CPO) diperoleh dari pabrik pengolahan kelapa sawit PT. Bio Nusantara, Bengkulu Utara, Propinsi Bengkulu. Bahan-bahan kimia dibeli dari CV. Purna Karya Scientific Bengkulu, Kotamadya Bengkulu. Peralatan yang dipakai adalah refrigerator, scentrifuge, spektronik-21, stirrer, magnet, kompor listrik , kassa, kertas saring. Sedangkan alatalat gelas yang digunakan antara lain, gelas ukur, gelas piala, pipet volume, erlenmeyer, kaca arloji, pengaduk, corong, tabung reaksi, dll. Perlakuan pertama adalah memisahkan sampel CPO dari pengotornya dengan menggunakan centrifuge. Untuk mendapatkan hasil yang optimum dilakukan pemisahan dengan variasi putaran 2, 3, 4 dan 5 menit, serta kecepatan putaran 1500, 2000, 3000, 4000 dan 5000 rpm. Sampel yang dibersihkan dari pengotornya, selanjutnya dilakukan fraksinasi dalam refrigerator dengan suhu 4oC, selama 3, 6 dan 9 hari. Fraksi cair diambil sebanyak 50 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi (masing-masing 10 ml) selanjutnya diputar dalam centrifuge, dengan kecepatan 4000 rpm, selama 2 menit. Selanjutnya dipisahkan dan hitung volume fraksi cair, dipindahkan pada tabung reaksi, tutup dan diberi label atau kode. Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Konsentrasi senyawa karotennya diukur dengan metode spektrofotometri, pengukuran dilakukan pada panjang gelombang optimum 500 nm. Hasil serapan dibandingkan dengan hasil serapan berbagai konsentrasi larutan standar βkarotene, perhitungannya menggunakan persamaan garis regresi. Pengujian dengan menggunakan Anava dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan fraksinasi terhadap perbedaaan konsentrasi β-karotene. 3. Hasil dan Pembahasan Pada studi ini akan dicoba untuk tidak membuang senyawa karotene yang terkandung dalam minyak, minyak ini dikenal dengan Red palm olein (RPO). Langkah awal yang dilakukan adalah memisahkan sample CPO dari pengotornya dengan alat centrifuge. Sebanyak 40 ml sample dimasukkan ke dalam 4 tabung reaksi, masing-masing dengan volume 10 ml. Selanjutnya dimasukkan ke dalam centrifuge selama 2 menit dan kecepatan putaran 1500 rpm. Fraksi cair diambil dan volumenya diukur, perlakuan ini dilakukan 3 kali. Untuk memperoleh pemisahan yang optimal, maka waktu putaran divariasikan selama 2, 3, 4 dan 5 menit serta kecepatan putaran 1500, 2000, 4000 dan 5000 rpm. Volume fraksi cair dapat dilihat pada table 1. Hasil table 1 dilakukan uji F (ANAVA) dengan ketelitian 0,05 untuk mengetahui pengaruh perolehan fraksi cair terhadap lama dan kecepatan putaran. Syafnil, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 172-175 Tabel 1. Volume fraksi cair hasil pemisahan kotoran Kecepatan Putaran ( rpm ) Lama Putaran 1500 2000 3000 4000 5000 (menit) 2 3 4 5 32,6 ml 36,4 ml 36,3 ml 36,3 ml 36,3 ml 36,4 ml 36,2 ml 36,4 ml 36,3 ml 36,2 ml 36,4 ml 36,4 ml 36,3 ml 36,4 ml 36,1 ml 34,4 ml 36,3 ml 36,2 ml 36,2 ml 36,4 ml 36,4 ml 36,4 ml 36,2 ml 36,1 ml 34,0 ml 34,1 ml 34,1 ml 34,2 ml 34,1 ml 34,1 ml 34,0 ml 34,2 ml 34,2 ml 34,1 ml 34,2 ml 34,1 ml 31,9 ml 32,0 ml 32,1 ml 32,9 ml 32,1 ml 32,0 ml 31,8 ml 32,0 ml 32,1 ml 32,2 ml 33,1 ml 32,0 ml 31,0 ml 30,8 ml 30,9 ml 31,1 ml 30,7 ml 30,9 ml 30,9 ml 31,0 ml 30,9 ml 31,0 ml 30,8 ml 30,8 ml Dari hasil uji F diperoleh bahwa untuk perlakuan A (lama putaran) F hitung (= 0,001 318) berarti lebih kecil dari F tabel (=2,84) dengan taraf signifikan 0,05, perlakuan B (kecepatan putaran) tidak menghasilkan perbedaan yang nyata, sedangkan volume fraksi cair terdapat perbedaan yang nyata dengan variasi kecepatan putaran. Untuk analisis selanjutnya, karena lama putaran tidak memberikan perbedaan yang nyata, maka lama putaran dilakukan selama 2 menit. Kecepatan putaran dilakukan dengan kecepatan 4000 rpm. Minyak sawit terdiri dari asam lemak tidak jenuh (ALTJ) dan asam lemak jenuh (ALJ), kedua asam ini diperlukan untuk industri lemak makan. ALTJ sangat dibutuhkan dalam proses metabolisme di dalam tubuh dibandingkan dengan ALJ [4]. Untuk mengurangi kandungan ALJ dalam CPO dilakukan proses pemisahan dengan cara pendinginan pada suhu 4oC [1][5]. Pada suhu tersebut ALJ akan membeku sedangkan ALTJ masih berujud cair. Sample CPO yang telah dipisahkan dengan pengotornya dengan centrifuge selama 2 menit dan kecepatan putaran 4000 rpm diambil sebanyak 50 ml dan dimasukkan ke dalam 5 tabung reaksi masing-masing volume 10 ml, selanjutnya dilakukan proses penyimpanan dalam refrigerator pada suhu 4oC. Selesai masa penyimpanan fraksi cair diambil dan selanjutnya diputar dalam centrifuge dengan kecepatan 4000 rpm selama 2 menit, fraksi cair diambil. Hasil yang diperoleh, semakin lama masa penyimpanan semakin banyak fraksi padat terbentuk dan semakin sedikit fraksi cairnya. 174 Tabel 2. Volume fraksi cair hasil penyimpanan Lama Penyimpanan Sampel 3 Hari 6 Hari 9 Hari 1 6,6 ml 5,3 ml 3,9 ml 2 6,8 ml 5,1 ml 4,5 ml 3 6,2 ml 5,7 ml 4,4 ml 4 6,5 ml 5,6 ml 4,6 ml 5 6,4 ml 5,2 ml 4,2 ml Jumlah 32,5 ml 26,9 ml 21,6 ml Serapan rata-rata sample dibandingkan dengan hasil serapan larutan standar (Lampiran), dengan menggunakan garis regersi lewat titik nol [3]. Konsentrasi karotene dalam sample diperoleh adalah: a. Penyimpanan 3 hari ( 3H ) = 155,263 ppm b. Penyimpanan 6 hari ( 6H ) = 200,669 ppm c. Penyimpanan 9 hari ( 9H ) = 525,507 ppm Dari ketiga sample diperoleh bahwa kandungan konsentrasi karotene meningkat dengan makin lama proses penyimpanan. Pengujian dengan Anava dilakukan untuk mengetahui pengaruh lama penyimpanan terhadap konsentrasi karotene. Hasilnya adalah, F Hitung (= 6461,931) lebih besar dari F tabel (= 5,14) dengan taraf signifikasi 0,05. Berarti lama penyimpanan memberikan perbedaan yang nyata terhadap kandungan karotene. 4. Kesimpulan Hasil penelitian ini diperoleh bahwa asam lemak ,jenuh (ALJ) mempunyai titik beku lebih tinggi dari pada asam lemak tidak jenuh (ALTJ), sehingga dalam proses pembuatan minyak sawit, asam lemak jenuh dapat dipisahkan dengan proses pendinginan. Senyawa karotene yang memberi warna pada minyak tidak dihilangkan sehingga minyak tetap berwarna merah yang dikenal dengan minyak sawit merah (RPO). Lama penyimpanan (= pada suhu 4oC) berpengaruh nyata terhadap kandungan senyawa karotene. Semakin lama masa penyimpanan semakin tinggi konsentrasi karotene yang diperoleh. 175 Syafnil, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 172-175 Daftar Pustaka [1] Choo, Y.M., S.C. Yap. A.S.H. Ong, C.K. Ooi, dan S.H. Goh., Palm Oil Caroteniod : Chemistry and Technology, 1999, JAOCS, Vol 76, No. 1, 42-47. [2] Day, R.A. dan A.L. Underwood, Analisa Kimia Kuantitatif, 1989, Edisi Kelima, Erlangga, Jakarta: 383406. [3] Imamkhasani, Soemanto, Regresi Lewat Titik Nol, 1991, Jakarta : Warta Kimia Analitik, Puslitbang Kimia Terapan LIPI. 2(3), Hal 19-20. [4] Naibaho, P.M., Diversivikasi Minyak Sawit dan Inti Sawit Dalam Upaya Meningkatkan Daya Saing Dengan Minyak Nabati Lain dan Hewani, 1990 Buletin Perkebunan, Vol 21, No. 2, Hal 107-124. [5] Ooi, C.K., Choo, S.C., Y. Basiron, dan A.S.H. Ong., Recovery of Carotenoids From Palm Oil, 1994, Vol. 71, No. 4, Hal 423-426. Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 176-178 Karakterisasi Senyawa Alkaloid Fraksi Etil Asetat Hasil Isolasi dari Daun Tumbuhan Pacah Piriang (Ervatamia coronaria (Jacq.) Stapf) Evi Maryanti Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu, Indonesia Diterima 12 April 2006; disetujui 1 Juli 2006 Absrak - Telah diisolasi senyawa alkaloid dari ekstrak metanol daun tumbuhan Pacah Piriang (Ervatamia coronaria (Jacq.) Stapf. Senyawa ini berupa kristal batang berwarna putih yang diperoleh dari fraksi etil asetat. Hasil karakterisasi terhadap senyawa alkaloid ini dengan spektrofotometer UV menunjukkan serapan maksimum pada 204 nm, 225 nm dan 285 nm yang menandakan adanya cincin benzena, ikatan rangkap diena terkonyugasi dan transisi n ke π* dari elektron menyendiri atom N. Hasil karakterisasi dengan spektrofotometer IR memperlihatkan adanya serapan pada 3438,8 cm-1 (-NH 10 atau 20), 2920,0 cm-1 (-CH alifatis), 1710,7 cm-1 (C=O), 1593,1 cm-1 (-C=C- aromatis), 1488,9 cm-1 (cincin aromatis), 1454,2 cm-1 (-CH2), 1371,3 cm-1 (-CH3), dan 829,3 cm-1 (=CH- luar bidang). Kata Kunci : Alkaloid; Ervatamia coronaria (Jacq.) Stapf 1. Pendahuluan Pacah Piriang (Ervatamia coronaria (Jacq.) Stapf) merupakan tanaman semak hias dengan tinggi antara 12,5 meter dan mempunyai bunga berwarna putih. Tumbuhan ini berasal dari india dan banyak digunakan sebagai obat tradisonal antara lain untuk mengobati penyakit pembengkakan pada mata dan gigi, cacing, diare, wasir, tumor abdominal, epilepsi, encok, kencing batu, cacar, tetapi pada dosis tinggi dapat menyebabkan keracunan [2][3]. Salah satu konstituen yang dikandung oleh Ervatamia coronaria (Jacq.) Stapf adalah alkaloid. Alkaloid merupakan salah satu metabolit sekunder yang banyak ditemukan di alam dan mempunyai keaktifan fisiologis tertentu. Alkaloid ada yang sangat beracun tetapi ada pula yang sangat berguna dalam pengobatan misalnya kuinin, morfin dan striknin [1]. Pemurnian dan pengkarakterisasi senyawa sistein protease ervatamin A secara biokimia telah dilakukan oleh [11]. Penelitian terhadap spesies lain dari genus yang sama yaitu tumbuhan Ervatamia orientalis, dimana dari penelitian tersebut telah diisolasi 0,22 % alkaloid-alkaloid yaitu ibogain, ervatamin, 19-dehydro ervatamin dan apparasin dengan perbandingan berturutturut 1,8 ; 0,25 ; 0,5 ; 1; 2 juga telah dilakukan oleh [9]. Mengingat pentingnya senyawa alkaloid tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi dan mengkarakterisasi senyawa alkaloid dari daun tumbuhan Pacah Piriang (Ervatamia coronaria (Jacq.) Stapf). 2. Metode Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : daun segar tumbuhan Pacah Piriang (Ervatamia coronaria (Jacq.) Stapf), metanol, etil asetat, butanol, pereaksi Dragendorf, silika gel, plat KLT. Peralatan yang digunakan adalah rotavapor, lampu ultra violet, kolom kromatografi, spektrofotometer ultra violet dan spektrofotometer infra merah. Metode penyarian dilakukan dengan maserasi terhadap 6 Kg daun segar Pacah Piriang (Ervatamia coronaria (Jacq.) Stapf) yang telah dirajang halus dalam metanol selama 5 hari, sebanyak 3 kali. Hasil ekstrak dipekatkan dengan rotavapor, kemudian difraksinasi dengan etil asetat dan butanol. Dari pengerjaan ini didapat 3 alkaloid yaitu alkaloid kasar A (2,3546 gram), alkaloid kasar B (5,2673 gram) dari fraksi etil 177 Evi Maryanti, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 176-178 asetat dan alkaloid kasar C (25,2654 gram) dari fraksi butanol. Masing-masing fraksi dimonitor dengan kromatografi lapisan tipis, pereaksi dragendorf dan lampu ultra violet. Alkaloid kasar B dari fraksi etil asetat menunjukkan intensitas warna orange yang paling tajam dengan pereaksi Dragendorf. Dari pemeriksaan diatas, dilakukan kromatografi kolom terhadap alkaloid kasar B dengan eluen n-heksana, campuran n-heksana-etil asetat, etil asetat,campuran etil asetat-metanol dan metanol dengan sistim elusi kepolaran dinaikkan. Setelah didapat senyawa murni, dikarakterisasi dan spektroskopi UV dan IR. 3. Hasil dan Pembahasan Dari hasil pemisahan terhadap alkaloid kasar B menggunakan kromatografi kolom didapatkan kristal berbentuk batang yang berwarna putih sebanyak 45 mg. Selanjutnya dilakukan uji kemurnian dari kristal dengan kromatografi lapis tipis menggunakan beberapa eluen dimana didapat noda tunggal dan bulat dengan harga Rf seperti yang terlihat pada lampiran, dan uji titik leleh memberikan jarak leleh 1360C-136,70C. Hal ini sesuai dengan pendapat [10] yang menyatakan bahwa jika sudah terbentuk noda tunggal pada plat KLT dan jarak leleh yang kecil dari 20C menunjukkan kristal telah murni. Hasil pengukuran dengan spektrofotometer ultraviolet dengan pelarut metanol p.a memperlihatkan adanya serapan maksimum pada panjang gelombang 204 nm yang menunjukkan adanya cincin benzena didalam senyawa hasil isolasi. Menurut [14] bahwa benzena memperlihatkan 3 pita serapan yaitu pada 184 nm, 204 nm dan 285 nm yang berasal dari transisi π ke π*. Hal ini juga didukung oleh serapan pada spektrum IR yaitu 1488,9 cm-1 yang merupakan serapan dari cincin aromatis, sesuai dengan [13] bahwa serapan medium tinggi kuat pada daerah 1450-1650 cm-1 menunjukkan adanya cincin aromatis. Disamping itu adanya serapan pada 1593,10 cm-1 yang menunjukkan adanya gugus C=C aromatis dan serapan pada 829,3 cm-1 yang merupakan bengkokan =CH luar bidang [13]. Spektrum UV juga memperlihatkan adanya serapan maksimum pada panjang gelombang 225 nm yang memberikan indikasi adanya ikatan rangkap terkonyugasi. Menurut [14] bahwa diena terkonyugasi muncul pada serapan 215-230 nm. Hal ini juga didukung oleh adanya pita serapan pada spektrum IR yaitu pada 1710,7 cm-1 yang menunjukkan adanya vibrasi ulur C=O yang terkonyugasi ikatan rangkap. Gugus C=O yang terkonyugasi oleh ikatan rangkap akan menyebabkan serapan bergeser ke daerah dengan panjang gelombang yang lebih kecil dari serapan gugus C=O murni yaitu pada daerah 1720-1725 cm-1 [13]. Selain itu spektrum UV juga menunjukkan serapan maksimum pada panjang gelombang 285 nm yang memberikan indikasi adanya transisi n ke π* dari elektron n menyendiri pada atom N yang terjadi pada daerah panjang gelombang lebih besar dari 270 nm [5]. Hal ini juga didukung oleh adanya serapan pada spektrum IR yaitu pada 3438,8 cm-1 yang menunjukkan adanya gugus -NH (10 atau 20). Serapan oleh vibrasi ulur N-H terletak pada daerah dekat 3500 cm-1 [13]. Dari hasil pengukuran dengan spektrofotometer inframerah terhadap senyawa hasil isolasi juga memperlihatkan serapan vibrasi ulur C-H alifatis pada daerah 2920,0 cm-1 dan didukung oleh serapan vibrasi tekuk dari -CH2- pada daerah 1454,2 cm-1 serta serapan vibrasi tekuk dari gugus metil (-CH3) pada daerah 1371,3 cm-1. Umumnya vibrasi ulur C-H alifatis akan menghasilkan serapan pada daerah 2850-3000 cm-1, vibrasi tekuk –CH3 akan menghasilkan serapan pada daerah 1375-1450 cm-1 dan vibrasi tekuk -CH2- akan menghasilkan serapan pada daerah kira-kira 1465 cm-1 [13]. Dari data yang diperoleh dapat diketahui bahwa senyawa hasil isolasi merupakan senyawa alkaloid yang mengandung ikatan rangkap terkonyugasi, cincin benzena, gugus -NH (10 atau 20), gugus C=O, gugus CH2- dan gugus –CH3. 4. Kesimpulan Dari hasil fraksinasi ekstrak pekat metanol didapatkan 3 alkaloid kasar dari 2 fraksi yaitu alkaloid kasar A Evi Maryanti, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 176-178 (2,3546 gram), dan alkaloid kasar B (5,2673 gram) dari fraksi etil asetat serta alkaloid kasar C (25,2654 gram) dari fraksi butanol. Dari hasil karakterisasi dengan spektrofotometer UV dan IR diketahui bahwa senyawa alkaloid hasil isolasi mengandung cincin benzen, ikatan rangkap terkonyugasi, gugus NH (10 atau 20), gugus C=O, gugus –CH2- dan gugus –CH3. Adanya N (10 atau 20) pada spektrum IR menunjukkan bahwa kristal batang berwarna putih adalah senyawa alkaloid. Daftar Pustaka [1] Achmad, S.A., Kimia Organik Bahan Alam, 1986, UT, Jakarta. [2] Anonim, Plants for Medicines : A Chemical and Pharmacological Survey of Plants in the Aust Region CSIRO 1990, 2004, http://www.google.com [3] Backer, C.A. & R.C. Bakhuizen Van Den Brinnk., Flora of Java Vol II, 1965, N.V.P.Noodhoff-Groningen, Nedherlands. [4] Cordell, G.A.,. Introduction to Alkaloids A Biogenetic Approach, 1981, A Wiley Interscience Publication, John Wiley and Sons, New York. [5] Fessenden & Fessenden., Kimia Organik, terjemahan Aloysius Hadyana Pudjaatmaka, edisi ketiga, jilid 2, 1999, Erlangga, Jakarta. [6] Farnworth, Norman.R., Biological and Pytochemical Screening of Plants, 1966, Pharmaceutical Sciences,. March;55(3):253-254. [7] Gritter, R.J., Pengantar Kromatografi, terjemahan Kosasih Padmawinata, Edisi kedua, 1991, ITB, Bandung. [8] Kusuma, T.S., Kimia dan Lingkungan, 1988, Pusat penelitian UNAND, Padang. [9] Knox & Slobbe., Alkaloids of Ervatamia orientalis, 1975, Aust. J. Chem. #28: 1813-56. http://users.lycaeum.org/.~mulga/iboga/center.htm. [10] Manjang,Y., Kimia Analisa Organik, 1985, Proyek Peningkatan Pengembangan Perguruan Tinggi, UNAND, Padang. [11] Nallamsetty, S., Kundu, S., Jagannadham, M.V., Purification and Biochemical characterization of A Highly Active Cysteine Protease Ervatamin A The Latex of Ervatamia coronaria ,2003 , J. Protein. Chem, Jan;22(1):1-13. http://www.google.com., 2004. 178 [12] Pelletier, S.W., Alkaloids Chemical and Biological Perspectives, Vol 1, 1983, John Wiley and Sons, New York. [13] Sastrohamidjojo, H., Spektroskopi Infra Merah, 1992, Liberty, Yogyakarta [14] Silverstein, R.M., G.C. Bassler and T.C.Morril., Penyelidikan Spektroskopi Senyawa Organik Edisi keempat, 1986, Erlangga, Jakarta. [15] Suyani, H., Kimia dan Sumber Daya Alam, 1991, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Penelitian Universitas andalas, Padang. [16] Vogel, I.A., A Text-Book of Practical Organic Chemistry, Edisi ketiga, 1946, Longman, London. Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 179-182 Kajian Pengaruh Suhu Pada Sintesis Trifenil Metil Klorida Dari Trifenil Metanol Dan Asetil Klorida Eni Widiyati Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu, Indonesia Diterima 10 Juni 2006; disetujui 1 Juli 2006 Abstrak – Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suhu pada sintesis trifenil metil klorida dari trifenil metanol dan asetil klorida serta mempelajari mekanisme reaksinya. Pada penelitian ini, untuk mengetahui adanya pengaruh suhu pada sintesis maka dilakukan sintesis trifenil metil klorida pada suhu refluks yang divariasi yaitu 45oC, 55oC dan 70oC. Trifenil metil klorida yang dihasilkan diidentifikasi dengan spektrofotometer inframerah, kemudian spektra yang dihasilkan dibandingkan dengan spektra standar trifenil metil klorida. Mekamisme reaksi yang terjadi dipelajari dengan cara studi literatur. Hasil penelitian menunjukkan trifenil metil klorida yang dihasilkan pada suhu refluks 45oC memberikan hasil lebih banyak dibandingkan dengan yang disintesis pada suhu yang lain. Hal ini menunjukkan suhu berpengaruh pada sintesis tersebut. Reaksi sintesis trifenil metil klorida dari trifenil metanol dan asetil klorida adalah merupakan reaksi substitusi nukleofilik dengan mekanisme adisi-eliminasi melalui pembentukan zat-antara tetrahedral. Kata Kunci : Sintesis; Trifenil metil klorida; Trifenil Metanol; Asetil klorida 1. Pendahuluan Tidak semua senyawa organik dapat diperoleh secara isolasi langsung dari sumbernya, sehingga untuk mendapatkan senyawa-senyawa tersebut harus dibuat secara sintesis seperti asetil klorida, trifenil metanol dan trifenil metil klorida. Trifenil metil klorida adalah senyawa organik termasuk golongan senyawa alkil halida tersier di mana ketiga gugus alkil diganti oleh gugus fenil. Senyawa ini mudah terhidrolisis oleh air, sehingga tidak dapat diperoleh dalam keadaan bebas di alam. Oleh karena itu jika akan diperlukan maka senyawa tersebut harus dibuat secara sintesis. Sintesis untuk menghasilkan trifenil metil klorida sudah pernah dilakukan [2] dan [3], namun pada kedua sintesis tersebut tidak dijelaskan suhu reaksi. Hasil yang diperoleh pada sintesis [3] sebanyak 79 – 83%. Ada beberapa faktor yang dapat berpengaruh terhadap kuantitas senyawa hasil reaksi sintesis, salah satunya adalah suhu reaksi. Suhu berpengaruh pada kesetimbangan kimia [1]. Menurut prinsip Le Chatelier, bila sistem kesetimbangan diganggu, maka kesetimbangan akan berpindah untuk melawan perubahan yang diterapkan. Apabila suhu sistem kesetimbangan dinaikkan, maka kesetimbangan akan bergeser ke arah yang menyebabkan absorbsi kalor. Oleh karena itu untuk mengetahui adanya pengaruh suhu reaksi terhadap kuantitas hasil perlu dilakukan penelitian khususnya sintesis trifenil metil klorida dari trifenil metanol dan asetil klorida. Diharapkan dari hasil penelitian dapat diketahui adanya pengaruh suhu terhadap jumlah trifenil metil klorida yang dihasilkan sehingga dapat digunakan sebagai acuan untuk menentukan kondisi reaksi sintesis trifenil metil klorida atau senyawa-senyawa sejenis. Berdasarkan pada latar belakang di atas maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suhu pada sintesis trifenil metil klorida dari trifenil metanol dan asetil klorida dan mempelajari mekanisme reaksi yang terjadi. 2. Metode Penelitian Dalam penelitian ini alat-alat yang digunakan meliputi satu set alat refluks, satu set alat distilasi fraksi, spektrofotometer infra merah merk Hitachi 270-50 Eni Widiyati, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 179-182 dengan media pendispersi parafin cair, timbangan, kompor listrik, alat penentu titik leleh, kertas saring, corong Buchner dan penangas air. Bahan-bahan yang digunakan meliputi asetil klorida, trifenil metanol, benzena, petroleum eter, kalsium klorida, kalsium oksida, parafin padat, parafin cair dan sodium hidroksida. Pada penelitian ini trifenil metil klorida disintesis dengan mereaksikan trifenil metanol dan asetil klorida pada suhu refluks yang berbeda yaitu 45oC, 55oC dan 70oC. Caranya adalah sebanyak 25 gram trifenil metanol dimasukkan ke dalam labu alas bulat leher tiga vol 100 ml yang dilengkapi dengan pengaduk magnet, pendingin bola (bagian atas diberi tabung yang berisi kalsium klorida anhidrat), corong penetes dan termometer. Ke dalam trifenil metanol dimasukkan 8 ml benzena. Sebanyak 15 ml asetil klorida dimasukkan ke dalam corong penetes. Campuran dipanaskan dalam penangas air. Pada saat suhu campuran mencapai 45oC, sebanyak kurang lebih 2 ml asetil klorida ditambahkan tetes demi tetes sambil diaduk. Setelah trifenil metanol larut, penambahan asetil klorida dilanjutkan tetes demi tetes. Suhu campuran dijaga tetap. Setelah selesai penambahan asetil klorida campuran direfluks pada suhu 45oC selama 30 menit. Setelah refluks selesai, campuran didinginkan di dalam air dan pada saat pendinginan ditambahkan 20 ml petroleum eter. Kemudian campuran didinginkan dengan air es selama 2 jam. Endapan disaring dengan corong Buchner, dicuci menggunakan 15 ml petroleum eter, kemudian dikeringkan dalam desikator vakum dengan pengering kalsium oksida, sodium hidroksida dan parafin padat. Setelah disimpan dalam desikator selama 24 jam, endapan kristalin menjadi kering dan ditentukan titik lelehnya untuk mengetahui apakah senyawa yang dihasilkan sudah murni. Jika belum murni, maka kristal direkristalisasi kembali sampai diperoleh trifenil metil klorida murni. Selanjutnya trifenil metil klorida yang dihasilkkan ditentukan serapan inframerahnya menggunakan alat spektrofotometer inframerah. Prosedur tersebut diulangi dengan suhu refluks berbeda yaitu 55oC dan 70oC. 180 3. Hasil dan Pembahasan Trifenil metil klorida dapat disintesis dari trifenil metanol dan asetil klorida dengan pelarut benzena. Untuk mendapatkan hasil trifenil metil klorida yang baik, maka semua senyawa yang akan direaksikan harus dalam keadaan murni. Untuk itu asetil klorida harus diredistilasi dan trifenil metanol harus direkristalisasi. Pada penelitian ini trifenil metil klorida dibuat dengan mereaksikan 25 gram (0,096 mol) trifenil metanol dan 15 ml (16,56 gram, B.J = 1,104 = 0,210 mol) asetil klorida. Asetil klorida dibuat berlebihan agar semua trifenil metanol berubah menjadi trifenil metil klorida, sedang kelebihan asetil klorida dan asam asetat yang dihasilkan akan larut dalam benzena atau larut dalam petroleum eter pada saat pencucian hasil dan rekristalisasi. Berdasarkan perhitungan secara teori, jika 0,096 mol trifenil metanol direaksikan dengan 0,210 mol asetil klorida , maka akan dihasilkan trifenil metil klorida sebanyak 26,76 gram. Trifenil metil klorida yang dihasilkan pada penelitian ini berupa zat padat, bersifat kristal, berwarna putih dan titik leleh 110oC – 111oC. Sifat-sifat ini sesuai dengan sifat trifenil metil klorida standar [8]. Berdasarkan pengamatan pada sintesis trifenil metil klorida , ternyata dari ketiga sintesis pada suhu yang berbeda, diperoleh trifenil metil klorida dengan jumlah yang berbeda pula yaitu pada suhu refluks 45oC sebanyak 19,60 gram (73,23%), sedang yang dibuat pada suhu refluks 55oC sebanyak 17,55 gram (65,57%) dan yang dibuat pada suhu 70oC sebanyak 9,05 gram (33,81%). Gambar diagram hubungan antara suhu refluks dengan jumlah trifenil metil klorida yang dihasilkan terdapat pada gambar 1. Gambar 1. Diagram hubungan suhu refluks dengan jumlah trifenil metil klorida yang dihasilkan 181 Eni Widiyati, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 179-182 Dari ke tiga pengamatan dapat diketahui bahwa pada saat penambahan asetil klorida ke dalam campuran trifenil metanol dan benzena terjadi kenaikan suhu, hal ini menunjukkan bahwa sintesis trifenil metil klorida bersifat eksotermik. Trifenil metil klorida yang disintesis pada suhu 45oC jumlahnya lebih banyak bila dibandingkan dengan yang disintesis pada suhu 55oC dan 70oC, namun masih di bawah perhitungan secara teoritis. Sedang trifenil metil klorida yang disintesis pada suhu 70oC adalah yang paling sedikit dan jauh dari perhitungan secara teoritis. Hal ini kemungkinan disebabkan karena proses reaksinya merupakan reaksi eksoterm. Menurut prinsip Le Chatelier, bila sistem kesetimbangan diganggu, kesetimbangan akan bergeser untuk melawan aksi tersebut. Jadi pada reaksi eksoterm, apabila suhu dinaikkan, maka kesetimbangan akan bergeser ke arah endoterm [1]. Reaksi-reaksi eksoterm biasanya memiliki konstanta kesetimbangan kecil berarti perubahan bahan awal menjadi hasil reaksi sedikit [7]. Jadi pada reaksi eksoterm apabila ditambahkan panas, maka reaksi akan bergeser ke arah pembentukan reaktan, sehingga produk yang dihasilkan akan berkurang. Juga kemungkinan disebabkan oleh kenaikan suhu yang begitu cepat dapat mengakibatkan reaksi-reaksi yang tidak diinginkan karena adanya panas. Suhu reaksi yang tinggi dapat menyebabkan asetil klorida keluar dari reaktor sehingga reaksinya tidak sempurna. Untuk mengetahui struktur senyawa trifenil metil klorida berdasarkan pada gugus karakteristik yang terdapat dalam struktur senyawa, maka dilakukan analisis kualitatif dengan media pendispersi parafin cair menggunakan spektrofotometer inframerah. Spektra yang dihasilkan pada penelitian ini dibandingkan dengan spektra standar trifenil metil klorida [6]. Pada umumnya, senyawa yang akan dianalisis menggunakan alat spektrofotometer inframerah terlebih dahulu dibuat pelet dengan KBr. Namun pada penelitian ini, trifenil metil klorida tidak dapat dibuat pelet dengan KBr karena senyawa ini merupakan senyawa yang bersifat higroskopis. Apabila dibuat pelet dengan KBr, maka trifenil metil klorida akan mengikat air yang kemungkinan terdapat dalam KBr, sehingga serapan gugus OH dari air akan muncul dalam spektra dan hal ini akan mengganggu dalam analisis. Pada penelitian ini digunakan parafin cair sebagai media pendispersi karena senyawa ini cocok sebagai media pendispersi senyawa-senyawa aromatik seperti trifenil metil klorida. Hasil analisis serapan inframerah trifenil metil klorida yang disintesis pada penelitian ini terdapat pada tabel 1. Tabel 1. Hasil analisis serapan inframerah trifenil metil klorida yang disintesis pada suhu 45o C No 1 Serapan (cm –1) 3100 2 3000 – 2800 (tajam) 3 4 5 6 1600 – 1475 (sedang) 1450 (sedang) 1370 (sedang) 900 – 690 (tajam) 7 800 – 600 (tajam) Gugus karakteristik Rentangan = CH aromatik Rentangan –CH dari alkana -C=C- aromatik -CH2 – dari alkana -CH3 dari alkana =CH aromatik keluar bidang -C-Cl Dari tabel 1, dapat diketahui hasil analisis spektra inframerah trifenil metil klorida yang disintesis pada suhu 45oC menunjukkan terdapat puncak-puncak (serapan) pada bilangan gelombang yang sesuai dengan spektra serapan inframerah standar senyawa trifenil metil klorida. Demikian juga dengan spektra serapan inframerah trifenil metil klorida yang disintesis pada suhu refluks 55oC dan 70oC, memberikan hasil yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa yang dihasilkan pada penelitian ini adalah senyawa trifenil metil klorida. Asetil klorida adalah salah satu turunan asam karboksilat yang mengandung gugus karbonil (C=O) yang berdekatan dengan gugus klor yang bersifat elektronegatif. Apabila asetil klorida mengalami reaksi substitusi, maka akan terjadi substitusi dengan mekanisme adisi-eliminasi [5]. Jadi reaksi sintesis trifenil metil klorida dari trifenil metanol dengan asetil klorida termasuk dalam reaksi substitusi nukleofilik pada senyawa karbonil. Hal ini disebabkan karena gugus klor yang terikat pada gugus karbonil senyawa asetil klorida bersifat elektronegatif (good leaving group) sehingga akan menarik elektron dari karbon karbonil dan menyebabkan atom karbon karbonil Eni Widiyati, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 179-182 menjadi bersifat lebih positif dan mudah diserang oleh nukleofil. Mekanisme reaksi sintesis trifenil metil klorida terdapat pada gambar 2. 182 Reaksi sintesis trifenil metil klorida merupakan reaksi substitusi nukleofilik dengan mekanisme adisieliminasi melalui pembentukan zat-antara tetrahedral. Daftar Pustaka Gambar 2. Mekanisme reaksi sintesis trifenil metil klorida dari trifenil metanol dan asetil klorida Pada tahap adisi, trifenil matanol sebagai nukleofil menyerang karbon karbonil dari asetil klorida dengan menggunakan pasangan elektron bebas pada atom oksigen gugus hidroksil membentuk hasil antara tetrahedral [4]. Tahap ini adalah tahap lambat yang merupakan tahap penentu laju reaksi. Jadi tahap penentu laju reaksi adalah adisi nukleofilik pada gugus karbonil. Pada tahap adisi terjadi perubahan geometri atom C gugus karbonil dari trigonal (∠120oC) dengan orbital sp2 bastar menjadi tetrahedral (∠109,5oC) dengan orbital sp 3 bastar dalam bentuk hasil antara. Kemudian tahap berikutnya gugus klor dan gugus trifenil metil akan mengalami eliminasi membentuk trifenil metil klorida yang merupakan tahap cepat. Pada tahap eliminasi terjadi perubahan geometri karbon karbonil dari tetrahedral menjadi trigonal. 4. Kesimpulan Sintesis trifenil metil klorida pada suhu refluks 45oC memberikan hasil yang lebih banyak yaitu 73,23% dibandingkan dengan yang disintesis pada suhu refluks 55oC (65,57%) dan 70oC (33,81%). Berarti pada penelitian ini suhu reaksi berpengaruh pada jumlah trifenil metil klorida yang dihasilkan. [1] Daniels, F. dan Alberty, R., Kimia Fisika, (terjemahan Surdia, N.M. et al.), 1983, edisi ketujuh, Penerbit Erlangga, Jakarta. [2] Furniss, B.S., Vogel’s Text Book of Practical Organic Chemistry, 1978, fourth edition, Longman Group Ltd., England. [3] Horning, E.C. et al., Organic Synthesis , 1967, volume 3, John Wiley and Sons, Inc., New York [4] Isaact, N. S., Reactive Intermediates in Organic Chemistry , 1975, John Wiley and Sons, New York. [5] Norman, R. O. C., 1978, Principles of Organic Synthesis, 1978, second edition, Chapman and Hall, London. [6] Pouchert, C.J., The Aldrich Library of Infrared Spectra, 1975, second edition, Aldrich Chemical Company Inc., Wisconsin. [7] Sykes, P., 1989, Penuntun Mekanisme Reaksi Kimia Organik, (alih bahasa Hartomo, Anton J. dkk), 1989, edisi keenam, P.T. Gramedia, Jakarta. [8] Weast, R. C., Hanbook of Chemistry and Physics, 19831984, CRC Press, Inc., Boca Raton, Florida. Jurnal Gradien Vol.2 No.2 Juli 2006 : 183-186 6-Metoksi, 7-Hidroksi Kumarin dari Daun Pacar Air (Impatiens balsamina Linn.) Morina Adfa Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu, Indonesia Diterima 29 Juni 2006; disetujui 1 Juli 2006 Abstrak – Telah dilakukan isolasi 6-metoksi, 7 hidroksi kumarin (Scoploletin) dari daun Pacar Air (Impatiens balsamina L.) yang diekstrak dengan menggunakan metanol dan pemisahan dengan chromatografy colum yang selanjutnya dipisahkan dengan mengunakan TLC preparasi. Strukturnya ditentukan dengan spektrum UV, IR, 1H NMR, 13C NMR, MS dan hasilnya dibandingkan dengan data literatur. Dari hasil isolasi didapat bahwa senyawa kumarin sebanyak 6 mg, berupa amorf berwarna kuning dengan titik leleh 199-2010C dan fluoresensi biru di bawah lampu UV 365 nm, mempunyai massa relatif 192 dengan rumus molekul C10H8O4. Kata Kunci : Impatiens balsamina L.; 6-methoxy; 7-hydroxy coumarin (Scopoletin) 1. Pendahuluan Kumarin adalah salah satu senyawa metabolik sekunder yang memiliki kerangka dasar α-benzo pyron [2]. Beberapa kelompok senyawa kumarin memiliki efek farmakologis dan fisiologis tertentu seperti senyawa furanokumarin dapat menghambat efek karsinogen serta mempunyai nilai ekonomi sebagai komponen aktif racun ikan. Turunan Psoralen digunakan secara oral untuk mempercoklat kulit yang terkena sinar matahari dan untuk mengobati vertiligo [8]. Sedangkan senyawa yang tergolong 4-hidroksi kumarin menunjukkan aktivitas anti koagulasi darah, menghambat kerja enzim, anti mikroba, anti biotik, dan dapat mengganggu sintesa DNA/RNA [5]. Impatiens balsamina L. atau Pacar Air termasuk famili balsaminaceae. Salah satu konstituen yang dikandungnya adalah kumarin. Dari penelitian terdahulu dilaporkan bahwa pada bagian akar Impatiens balsamina L. didapat 2 (dua) jenis kumarin yaitu scopoletin dan isofraxidin [6]. Namun sejauh ini belum ada laporan tentang kumarin dari bagian daunnya. Dilain pihak masyarakat Indonesia telah memanfaatkan tanaman Impatiens balsamina L. sebagai obat luka potong, bengkak-bengkak, dan koreng. Bunga tanaman Impatiens balsamina L. memberikan efek anti histamin, anti anapilaktik, menurunkan tekanan darah, anti bodi, dan anti puritik [4]. Dalam pengobatan China tumbuhan Impatiens balsamina L. digunakan untuk mengobati penyakit encok, luka memar, dan beri-beri [3], serta di India digunakan juga sebagai racun ikan [9]. Mengingat potensi dari beberapa senyawa kumarin dan banyaknya kegunaan dari tumbuhan Impatiens balsamina L. maka perlu kiranya dilakukan isolasi senyawa kumarin dari daun tumbuhan Impatiens balsamina L. untuk mendapatkan struktur senyawa kumarin dan turunannya. Karena dari uji pendahuluan dengan spot test dan plat kromatografi lapisan tipis ternyata tumbuhan Impatiens balsamina L. positif mengandung kumarin. 2. Metode Penelitian Alat yang digunakan antara lain adalah: rotary evapotaror (Heidolph), kolom kromatografi, desikator, titik leleh ditentukan dengan Fischer John Melting Point Apparatus. Pemeriksaan spektrum UV menggunakan alat spektroskopi UVvis –1601 SHIMAZU. Perekaman spektrum infra merah dengan alat spektrofotometer IR Perkin Elmer FTIR System dengan KBr dan dibawah nitrogen, sedangkan perekaman spektrum massa menggunakan metoda Morina Adfa, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 183-186 Elektron Impact EI(70 eV)-MS. Spektrum resonansi magnit inti direkam dengan 13C NMR Varian Unity Inova pada 125 MHz, 1H NMR 500 MHz, DEPT 90 (125 MHz), DEPT 135 (125 MHz) dan pelarut yang digunakan CDCl3. Penampak noda menggunakan 184 3. Hasil Dan Pembahasan Pengukuran spektrum senyawa hasil isolasi memperlihatkan data-data sebagai berikut : Spektrum UV λ max (MeOH) nm : 203,8 ;228,2 ; 252,6 ; 297,4 ; lampu UV λ 365 nm. 344,9. Spektrum IR ν max (KBr) cm-1 : 3430-3200, 1725, 1620, 1590, 1450, 1180, 940, 860, 820. Bahan yang digunakan pada penelitian ini: daun pacar air ( Impatiens balsamian L.). Pelarut organik yang digunakan berkualitas pro analisis atau dimurnikan sesuai dengan prosedur standar, metanol, n-heksana, etil asetat, kloroform, aseton. Kromatografi lapisan Spektrum 1H NMR δ (CDCl3) ppm : 7,60 (1H-4, d, J = 9,54 Hz) ; 6,92 (1H-5, s) ; 6,85 (1H-8, s) ; 6,27 (1H-3, tipis menggunakan plat KLT Merck Silica gel 60 GF254, KLT preparatif menggunakan silika gel G, natrium hidroksida, iodium, larutan amoniak dan aquadest. Sampel Impatiens balsamina L. Diambil di Kelurahan Pasar Ambacang, Kecamatan Kuranji, Kotamadya Padang. Identifikasi tumbuhan dilakukan di Herbarium Universitas Andalas Padang (ANDA) dengan nomor koleksi MA 182. Ekstraksi dan Isolasi Kumarin Sebanyak 3 kg sampel daun segar Impatiens balsamina L. dimaserasi dengan metanol 10 L selama 5 hari, kemudian difraksinasi dengan heksana dan dilanjutkan dengan etil asetat. Sebanyak 10 g ekstrak etil asetat dikromatografi kolom menggunakan fasa diam silika gel dan eluen n-heksana, kloroform, etil asetat, metanol dengan sistem step gradient polarity. Didapat 5 fraksi, fraksi IV dilanjutkan dengan KLT preparatif menggunakan silika gel G. Noda yang berfluoresensi biru dikerok lalu direndam dengan metanol selama 1 malam, disaring dan dipekatkan dengan menggunakan rotary evaporator, dilanjutkan dengan rekristalisasi menggunakan kloroform : nheksana didapat amorf kuning seberat 6 mg dengan titik leleh 199-201oC. Setelah dilakukan kromatografi lapisan tipis dengan pengungkap noda lampu UV 365 nm serta disemprot dengan NaOH 10% dalam metanol, memperlihatkan 1 noda biru terang, selanjutnya dengan uap I2 tetap 1 noda. d, J = 9,48) ; 3,95 (3H, s). Spektrum 13C NMR δ (CDCl3) ppm : 161, 43 (C=O) ; 150,23 (C-7) ; 149,69 (C-9) ; 143,99 (C-6) ; 143,28 (C-4) ; 113,39 (C-5) ; 111,49 (C-10) ; 107,47 (C-3) ; 103, 18 (C-8) ; 56,39 (O-CH3) dan MS memberikan rumus molekul C10H8O4 dengan m/z pada 192 [M]+ 100%, 177 (75%), 164 (31%), 149 (51%), 121 (21%). Senyawa hasil isolasi berupa amorf berwarna kuning mempunyai titik leleh 199-201oC. Artinya jarak titik leleh relatif tajam, berarti senyawa hasil isolasi telah murni. Disamping itu berdasarkan kromatografi lapisan tipis, dengan penampak noda uap Iodium dan lampu ultraviolet 365 nm memberikan 1 (satu) noda dengan berbagai eluent dan fluoresensinya berwarna biru terang. Ini memperkuat data titik leleh bahwa hasil yang didapat sudah murni. Spektrum resonansi magnetik inti menunjukkan adanya 10 atom C dan 8 atom H. Begitu pula spektroskopi massa memberikan puncak ion molekul pada 192. Dari 10 atom C dan 8 atom H didapat m/z 10 x 12 + 8 x 1 = 128 dan dengan adanya m/z ion molekul 192, memungkinkan 64 berupa 4 atom O, sehingga rumus Bila dihitung double bond molekulnya C10H8O4. equivalent (DBE) dari senyawa ini adalah = [(2 x 10 + 2) – 8] / 2 = 7, berarti mempunyai 1 (satu) cincin aromatis, 1 (satu) siklik dan 2 (dua) ikatan rangkap diluar aromatik. Spektrum ultraviolet menghasilkan serapan maksimum pada panjang gelombang 203,8 ; 228,2 ; 252,6 ; 297,4 ; 344,9 nm. Serapan ini menunjukkan bahwa senyawa hasil isolasi mengandung inti benzen, karena serapan benzen terjadi pada 255, 200 dan 185 nm [10]. Bila dibandingkan dengan serapan maksimum kumarin murni pada 274 dan 311 nm yang merupakan serapan 185 Morina Adfa, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 183-186 dari cincin benzen dan α-pyron. Disini terlihat adanya pergeseran puncak serapan kedaerah panjang gelombang yang lebih besar, maka diperkirakan senyawa ini sejenis kumarin yang mempunyai substitusi. Interpretasi spektrum infra merah didapatkan puncakpuncak yang penjabarannya sebagai berikut: struktur terpenting dari kumarin adalah cincin benzen, α-pyron dan adanya gugus karbonil. Cincin aromatik ditunjukkan oleh serapan pada 1650-1450 cm-1. Senyawa hasil isolasi memberikan serapan pada 1620 cm-1 dan 1450 cm-1 merupakan regangan C=C aromatis dan didukung oleh pita serapan pada daerah 860 cm-1 dan 820 cm-1 yang karakterisasi untuk senyawa aromatis disubstitusi [10]. Serapan pada 1725 cm-1 merupakan regangan C=O, dimana menurut literatur regangan C=O yang karakteristik untuk kumarin pada 1700-1750 cm–1. Puncak serapan pada 1180 cm–1 merupakan serapan C(O)-O [1]. Spektrum DEPT 135 menunjukkan 5 puncak, berarti ada 1 (satu) atom C primer (CH3) dan 4 atom C tersier (4-CH) sedangkan atom C sekunder (CH2) tidak ada. Dengan demikian atom C quartener ada 5 buah. Atom C tersier keluar pada pergeseran kimia δ ppm 143,28 (C-4) ; 113,39 (C-5) ; 107,47 (C-3) ; 103,18 (C-8) dan atom C primer pada pergeseran kimia 56,4 (O-CH3). Atom C quarterner ada 5 buah pada pergeseran kimia δ ppm 161,43 (C=O) ; 143,99 (C-6) ; 150,24 (C-7) ; 149,69 (C-9) ; 111,49 (C-10) [7][11]. Dari spektroskopi massa memberikan puncak pada m/z 192 dan m/z 177, ini berarti m/z 192 puncak ion molekul dan m/z 177 merupakan lepasnya CH3 dari ion molekul, yang mempunyai massa 15. Begitu pula adanya m/z 149 berarti lepasnya gugus CO yang berupa pengurangan berat 28 dari m/z 177. Sedangkan m/z 164 juga lepasnya gugus CO dari ion molekul. Adanya m/z 121 juga berarti lepasnya gugus CO dari m/z 149. Dimana kemungkinan fragmen yang terjadi pada spektroskopi massa dapat diungkapkan menurut reaksi retro Diels-Alder [12] sebagai berikut: Serapan pada 3430-3200 (lebar) merupakan serapan untuk vibrasi OH yang terikat dengan ikatan hidrogen. Jadi dapat disimpulkan senyawa hasil isolasi memiliki substituen OH [1]. Data spektrum 1H resonansi magnetik inti dengan perbandingan integrasi yang diberikan 3 : 1 : 1 : 1 : 1 : 1 berarti cocok untuk 8 atom H yaitu : CH3 : CH : CH : CH : CH : OH. Pergeseran kimia pada 3,95 ppm puncak singlet merupakan indikasi gugus OCH3. Pergeseran kimia pada 6,27 ppm puncak doublet, integrasi 1 dengan J = 9,48 merupakan puncak H-3 yang dikoupling oleh H-4. Pergeseran kimia pada 7,60 ppm puncak doublet, integrasi 1 dengan J = 9,54 merupakan puncak H-4 yang dikoupling oleh H-3. Pergeseran kimia 6,92 merupakan puncak singlet dari H-5, ini menunjukkan adanya benzena tersubstitusi, sedangkan 6,85 ppm singlet merupakan puncak H-8 [7]. Spektrum 13C resonansi magnetik inti, mem-perlihatkan adanya 10 buah atom C. Adanya spek-trum DEPT 90 menunjukkan adanya 4 buah atom C tersier (CH). Dari interpretasi data spektrum UV, IR, 1HNMR, 13C NMR dan MS, serta Double Bond Equivalent (DBE) = 7 yang berarti adanya 1 cincin aromatis, 1 siklik dan 2 ikatan rangkap diluar aromatik maka struktur dari senyawa hasil isolasi ditentukan sebagai 6-metoksi, 7hidroksi kumarin. Kesimpulan ini diperkuat setelah data-data diatas dibandingkan dengan senyawa yang sama yang telah diisolasi oleh [6] dan [7]. Morina Adfa, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 183-186 L. Root Cultures, 1995, J. Phytochemistry, 40 (4), 1141-1143. 4. Kesimpulan Dari hasil isolasi daun Pacar Air (Impatiens balsamina L.) berhasil didapat senyawa kumarin sebanyak 6 mg, berupa amorf berwarna kuning dengan titik leleh 1992010C dan fluoresensi biru di bawah lampu UV 365 nm, mempunyai massa relatif 192 dengan rumus molekul C10H8O4. Berdasarkan hasil analisis data, maka dapat disimpulkan senyawa tersebut mempunyai struktur sebagai berikut : H CH3 O 5 H 9 6 4 3 H 2 HO 7 8 10 H O 1 O Sebagaimana telah diungkapkan pada kromatografi lapisan tipis fraksi etil asetat ada 4 noda yang berfluoresensi dan yang berhasil diisolasi baru 1 (satu), maka disarankan untuk melanjutkan penelitian terhadap daun Impatiens balsamina L. khususnya dari fraksi etil asetat, serta dilakukan uji bio aktivitas terhadap senyawa hasil isolasi. Daftar Pustaka [1] Creswell, C.J., O.A. Runquist, M. M. Campbell, Analisis Spektrum Senyawa Organik, 1982, Penerbit ITB bandung. [2] Ellis, G. P., M. N. Deborah, E. E. Schweizer, Chromenens, Chromanones and Chromones, The Chemistry of Heterocyclic Compounds, 1977, John [3] Fukomoto, H., K. Isoi, K. Ishiguro, M. Semma, T. Murashima, Structure Determination of A Kaemferol 3Rhamnosyldiglucoside From Impatiens balsamina L., 1994, J. Phytochemistry, 37 (5), 1486-1488. Fukomoto, H., K. Isoi, K. Ishiguro, M. Semma, M. Yamaki, Antianaphylactic Effect of The Principle Compounds From The White Petals of Impatiens balsamina L., 1996, Phytother-res, 10 (3), 202-206. Murray, R. D. H., J. Mendez, S. A. Brown, The Natural Coumarins (Occurrence, Chemistry and Biochemistry), 1982, John Wiley & Sons, New York. Panichayupakaranant, P., H. Noguchi, Napthoquinones and Coumarins From Impatiens balsamina Wiley & Sons, New York. [4] [5] [6] 186 [7] Razdan, T. K., B. Qadri, S. Harkar, E. S. Waight, Chromones and Coumarins From Skimmia laureola, 1987, J. Phytochemistry, 26 (7), 20632069. [8] Robinson, Trevor, Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi, 1995, Penerbit ITB Bandung, 57-83. [9] Shoji, N., A. Umeyama, K. Yoshikawa, M. Nagai and S. Arihara, 1994, Baccharane Glycosides From Seeds of Impatiens balsamina L., J. Phytochemistry, 37 (5), 1437-1441. [10] Silverstein, R. M., G. C. Bassler, T. C. Morrill, Spectrometric Identification of Organik Compounds, 5th Editions, 1991, John Wiley & Sons, Inc. [11] Steek, W., M. Mazurek, Identification of Natural Coumarins by NMR Spectroscopy, 1972, Lloydia, 35 (4), 418-439. [12] Porter, Q. N., J. Baldas, Mass Spectrometry of Heterocyclic Compounds, 1985, John Wiley & Sons, New York, 161-167. Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 187-191 Karakterisiasi Kinerja Dari Beberapa Membran Datar Irfan Gustian Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu, Indonesia Diterima 20 Juni 2006; disetujui 1 Juli 2006 Abstrak - Penelitian ini bertujuan untuk membuat membran datar melalui beberapa cara. Cara pertama menggunakan cara tekan panas dengan bahan dasar selulosa bakteri untuk proses osmosis balik dan proses ultrafiltrasi dan yang kedua menggunakan cara inversi phasa dengan polisulfon sebagai lapisan pendukung, selulosa asetat, aseton dan formamida sebagai lapisan aktif. Pengujian yang telah dilakukan adalah terhadap koefisien rejeksi dan fluks dari membran yang dihasilkan. Dari hasil menunjukkan bahwa keofisien rejeksi untuk cara pertama pada proses osmosis balik adalah 55% hingga 78% dan untuk proses ultrafiltrasi adalah 98%. Pada cara kedua menggunakan inversi phasa diperoleh 66,94% hingga 72,93%. Kata kunci: membran datar; koefisien rejeksi 1. Pendahuluan Saat ini penggunaan membran pada skala besar telah dimanfaatkan untuk memproduksi air yang dapat diminum dari air laut atau proses desalinasi dengan proses osmosa balik, recovery suatu konstituen dengan proses elektrodialisis, fraksinasi makromolekul pada industri makanan dan minuman dengan proses ultrafiltrasi dan menghilangkan toksin dan racun lainnya dari darah manusia dengan proses dialisis pada ginjal buatan. Perkembangan dari penggunaan dan pemanfaatan dari membran ini tidak lain karena proses pemisahan dan pemekatan dengan membran ini memilki kelebihan antara lain: tidak menggunakan zat kimia, temperatur operasinya cukup pada temperatur kamar, bersifat non destruktif, “tailor made” dan teknologinya bersih [6]. Pemilihan terhadap teknik ini dikarenakan berbagai sifat membran yang menguntungkan dan dapat dipergunakan luas untuk berbagai proses pemisahan. Kemampuan membran untuk mentransportasikan atau memindahkan salah satu komponen lebih cepat dibandingkan dengan komponen lainnya disebabkan karena adanya gaya dorong dan perbedaan sifat fisika kimia antara membran dan komponen permeat [3]. Pada Penelitian ini telah di lakukan karakterisasi kinerja membran yang dibuat melalui dua cara dan bahan yang berbeda, yaitu metoda hotpress dengan bahan dasar selulosa bakteri untuk proses osmosis balik dan ultrafiltrasi [1][5]. Metoda yang kedua inversi phasa dengan bahan dasar polisulfon sebagai lapisan pendukung dan selulosa asetat, aseton, formamida sebagai lapisan aktifnya. untuk proses ultrafiltrasi. 2. Metode Penelitian Bahan yang digunakan adalah, air aren, air kelapa, (NH2)2CO, CH3COOH, NaOH, NaN3, MgCl2 NaCl, bakteri Acetobacter xylinum, polisulfon, dimetilasetamida, polietilenglikol, selulosa asetat, aseton, dan formamida, hidrazin sulfat, heksametilen tetramin. Alat yang digunakan adalah wadah plastik/ baki, koran, karet, , alat hot press, kasa stainles stell, peralatan osmosa balik master RUW-4 Nitto Denko, Total Dissolved Solid meter (TDS), sel membran. Pembuatan membran dari air aren terisasi untuk proses osmosis balik dan karak- Satu liter air aren (Arenga pinata) yang telah disaring dididihkan. Setelah mendidih ditambahkan 6,7 gram gula pasir, 5 gram (NH2)2CO dan 1 mL CH3COOH. Dalam keadaan panas kemudian dipindahkan wadah plastik/baki berukuran 15 x 20 cm dan ditutup dengan kertas. Setelah dingin/ suhu kamar di inokulasi dengan Irfan Gustian, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 187-191 Fluks NaCl dan MgCl2 6 Fluks (L/jam m2) starter bakteri Acetobacter xylinum. Frmentasi pada suhu kamar selama 7 hari. Nata yang dihasilkan dimurnikan dan diberi perlakuan perendaman. Setelah itu nata ditekanan panas pada 100 kgf/cm2 pada suhu 120oC selama 3-5 menit untuk mendapatkan membran .Membran yang dihasilkan selanjutnya di karakterisasi pada proses osmosis balik. 188 5 4 3 2 1 0 0 5 10 15 20 25 2 Tekanan (Kgf/cm ) Pembuatan membran dari air kelapa dan karakterisasi untuk proses ultrafiltrasi Nata yang dihasilkan dimurnikan dan diberi perlakuan perendaman. Setelah itu nata ditekanan panas pada 100 kgf/cm2 pada suhu 120oC selama 3-5 menit untuk mendapatkan membran. Membran yang dihasilkan selanjutnya di karakterisasi pada proses ultrafiltrasi. Pembuatan membran komposit dan karakterisasi untuk proses ultrafiltrasi Fluks MgCl2 NaOH Gambar 1. Fluks NaCl dan MgCl2 Fluks NaCl dan MgCl2 membran menunjukan perbedaan yang tidak berarti, pada tekanan 10 Kgf/cm2 fluks NaCl dan MgCl2 yaitu 2,39016 L/m2 jam untuk MgCl2 dan 2,2294 L/m2 jam untuk NaCl Bila dilihat dari larutan umpan yang digunakan, fluks NaCl lebih besar dari fluks MgCl2. Ini dimungkinkan oleh ukuran molekul larutan umpan yang berbeda. Koefisein Rejaksi NaCl dan MgCl2 80 % Rejeksi Satu liter air kelapa yang telah disaring dididihkan. Setelah mendidih ditambahkan 6,7 gram gula pasir, 5 gram (NH2)2CO dan 1 mL CH3COOH. Dalam keadaan panas kemudian dipindahkan ke wadah plastik/baki berukuran 15 x 20 cm dan ditutup dengan kertas. Setelah dingin/ suhu kamar di inokulasi dengan starter bakteri Acetobacter xylinum. Frmentasi pada suhu kamar selama 4 hari. Fluks NaCl NaOH 2% 60 40 20 0 0 5 10 15 20 25 2 Tekanan (Kgf/cm ) Pembuatan membran komposit berpendukung dilakukan dengan cara mencetak dope polisulfon diatas kain poliester dan membiarkannya terkoagulasi di udara terbuka selama 30 menit. Selanjutnya dope selulosa asetat dicetak diatas polisulfon sebagai lapisan tipis dan segera dikoagulasi di dalam air. Komposisi polisulfon 16%, dimetil-asetamida 68% dan polietilenglikol 16%. Untuk lapisan aktifnya selulosa asetat 17%, aseton 56% dan formamida 27%. Membran yang dihasilkan selanjutnya di karakterisasi pada proses ultrafiltrasi. 3. Hasil Dan Pembahasan a. Kinerja membran dari air aren osmosis balik pada proses % R NaCl NaOH 2% % R MgCl2 N Gambar 2. Koefisien rejeksi membran Nilai rejeksi meningkat dengan meningkatnya aplikasi tekanan, tetapi peningkatan nilai rejaksi ini tidak terlalu berarti,. semakin besar tekanan larutan umpan semakin besar pula berkompetisi untuk melewati pori membran, sehingga banyak partikel umpan yang tertahan sehingga menghasilkan nilai rejeksi yang besar dibandingkan dengan tekanan yang lebih rendah [3][6]. Dari larutan umpan terlihat bahwa nilai rejeksi membran terhadap larutan umpan MgCl2 lebih besar dibandingkan dengan larutan umpan NaCl, hal ini dimungkinkan ukuran larutan umpan yang berbeda. Irfan Gustian, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 187-191 b. Kinerja membran dari air kelapa pada proses ultrafiltrasi Hasil pengukuran Fluk beberapa larutan umpan pada tekanan 1, 1,5 dan 2 bar terhadap membran dariair kelapa, diperoleh hasil seperti pada Tabel berikuit. Tabel 1 . Fluk membran dari air kelapa dengan variasi tekanan pada beberapa jenis umpan Umpan Akuades Suspensi kekeruhan Air baku PDAM Tekanan (Bar) 1 1,5 2 1 1,5 2 1 1,5 2 Fluks (Lm-2h-1) 11,3359 14,3437 17,1344 9,6824 12,0846 14,3555 11,3183 14,3250 17,1036 Penambahan tekanan berpengaruh terhadap peningkatan Fluks membran dari air kelapa. Nilai fluks tertinggi terjadi pada tekanan 2 bar dengan akuades sebagai larutan umpan yaitu 17,1344 Lm-2h-1, sedangkan terendah terjadi pada suspensi kekeruhan sebagai larutan umpan pada tekanan 1 bar yaitu 9,6824 Lm-2h-1. Hal ini sesuai dengan teori bahwa hubungan antara tekanan dengan fluk membran adalah berbanding lurus yang artinya semakin besar tekanan yang diberikan pada membran maka fluks akan semakin besar [1]. Berdasarkan Tabel terlihat Akuades sebagai larutan umpan nilai fluksnya lebih tinggi dibandingkan dengan air baku PDAM sebagai umpan., sedangkan pada air baku PDAM terdapat partikel-partikel yang menyebabkan terjadinya penyumbatan pada pori membran, sehingga difusinya lebih lambat. Semakin besar tekanan yang diberikan maka semakin banyak partikel-pertikel yang tertahan pada permukaan membran atau pada pori-pori membran dan mengakibatkan penyumbatan pori-pori membran sehingga terjadinya penurunan nilai fluks. Difusi dinyatakan dalam harga koefisien difusi. Pada suspensi kekeruhan sebagai larutan umpan, diperoleh harga fluks yang paling kecil yaitu tekanan 1 bar, harga ratarata fluksnya sebesar 9,6824 Lm-2h-1. Tekanan 1,5 bar, harga rata-rata fluksnya sebesar 12,0846 Lm-2h-1 dan pada tekanan 2 bar, harga rata-rata fluksnya sebesar 14,3555 Lm-2h-1. Hal ini disebabkan karena pada suspensi kekeruhan sebagai larutan umpan adanya efek polarisasi konsentrasi. Ketika daya dorong berupa tekanan diberikan pada larutan umpan, maka komponen penyusun larutan berupa koloid tertahan dipermukaan membran, sedangkan pelarutnya akan keluar melewati membran. Dengan semakin banyaknya komponen yang tertahan pada bagian permukaan membran seiring dengan penambahan tekanan, maka konsentrasi komponen yang tertahan di permukaan membran akan semakin meningkat. Hubungan antara rejeksi membran dengan tekanan pada berbagai jenis umpan dapat dilihat pada Gambar berikut : 100 Permselektivitas (%) 189 Air Baku PDAM 50 Suspensi 0 1 1,5 2 Tekanan (bar) Gambar 3. Grafik rejeksi membran dengan variasi tekanan pada beberapa larutan umpan Berdasarkan gambar di atas, dapat dilihat bahwa pada suspensi kekeruhan sebagai larutan umpan, penambahan tekanan tidak memberikan pengaruh yang berarti terhadap permselektivitas membran dimana koefisien rejeksi tidak menunjukkan perbedaan yang berarti yaitu relatif konstan dan koefisien rejeksinya hampir mencapai 100%. Sedangkan pada Air baku PDAM sebagai larutan umpan, nilai koefisien rejeksi meningkat dengan semakin meningkatnya tekanan. Hal ini disebabkan pada suspensi kekeruhan sebagai larutan umpan terjadi polarisasi konsentrasi sedangkan pada air baku PDAM tidak terjadinya polarisasi konsentrasi. c. Kinerja membran komposit ultrafiltrasi pada proses Pada pengukuran permeabilitas membran komposit terhadap limbah zat warna dispersi industri batik besurek menggunakan limbah zat warna reactiv Irfan Gustian, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 187-191 berwarna biru hasil pencucian kain batik besurek dari industri rumah tangga “Serindang Bulan”. Sebagai pembanding digunakan larutan umpan air keruh. Pengukuran permeabilitas dari limbah zat warna dan larutan umpan air keruh dilakukan pada tekanan 1 Bar, 1,5 Bar, dan 2 Bar. 190 penghalang. Dimana molekul-molekul air akan terikat pada ion-ion elektrolit sehingga ion terhidrasi ini mempunyai diameter yang cukup besar untuk dapat ditahan oleh lapisan aktif membran. %R 120 100 Dari Gambar.. terlihat fluks dari zat warna dan sampel air keruh naik pada setiap tekanan yang aplikasikan. Fenomena ini sama dengan fluks akuades, tetapi nilai fluks yang dihasilkan untuk zat warna dan sampel air keruh lebih rendah karena pada akuades tidak ada partikel atau zat terlarut lain sehingga laju difusi akuades melewati membran lebih cepat. Sedangkan pada zat warna dan sampel air keruh terdapat partikel atau zat-zat terlarut yang dapat memperlambat laju difusi umpan melewati membran. Fluks limbah zat warna lebih besar bila dibandingkan dengan fluks sampel air keruh pada setiap tekanan yang diaplikasikan. %R 16 14 12 10 8 6 4 2 0 Fluks 2 ) (L/Jam m13.687 10.826 Zat Warna 8.308 7.368 6.356 5.691 0 1 2 Tekanan (Bar) Sampel air 3 Gambar.4. Fluks zat warna dan sampel air keruh Dari karakterisasi degree of swelling membran oleh air yang menunjukkan nilai yang cukup tinggi, ini berarti ikatan silang yang terbentuk pada membran komposit juga cukup banyak. Adanya ikatan silang menyebabkan molekul atau ion lebih sulit berdifusi melewati membran dan akibat meningkatnya ikatan silang menyebabkan penurunan koefisien difusi akan semakin tinggi. Fluks akuades lebih tinggi daripada fluks larutan zat warna dan sampel air keruh, hal ini terjadi karena molekul air akuades jauh lebih kecil dibandingkan dengan molekul zat warna dan sampel air keruh sehingga difusi air akuades akan lebih cepat. Berdasarkan pada model aliran serapan pipa kapiler yang dikemukakan oleh Sourirajan dengan asumsi bahwa air berikatan dengan membran membentuk lapis zat w arna 80 60 40 sam pel air 20 0 0 1 2 3 Tekanan (Bar) Gambar 5.Koefisien rejeksi membran komposit Koefesien rejeksi dari kedua jenis umpan menunjukkan kecendrungan yang sama, dimana kenaikan tekanan yang diaplikasikan akan meningkatkan rejeksi. Pada tekanan 1 Bar koefisien rejeksi kedua umpan menghasilkan nilai yang hampir sama. Pada kenaikan tekanan 1,5 Bar dan 2 Bar koefesien rejeksi sampel air keruh kenaikannya lebih ekstrim dibandingkan kenaikan koefesien rejeksi membran terhadap zat warna. Perbedaan ini karena perbedaan ukuran molekul atau partikel terlarut dari ke dua umpan, dimana untuk sampel air keruh ukuran molekul atau partikel terlarutnya lebih besar dibandingkan zat warna . Hal ini di dukung juga oleh data yang diperoleh dari permebilitas membran komposit, dimana laju difusi umpan zat warna lebih tinggi dibandingkan laju difusi sampel air keruh. Terjadinya laju difusi yang tinggi menyebabkan interaksi umpan dengan membran lebih cepat yang mengakibatkan koefisien rejeksinya menjadi rendah, membran sukar menahan umpan dan ada umpan yang dapat berdifusi melewati membran. Sedangkan umpan air keruh pada tekanan 1,5 Bar dan 2 Bar menghasikan koefisien rejaksi hingga 100%, artinya molekul atau partikel terlarut tertahan oleh membran tidak dapat berdifusi melewati membran. Difusi membran sangat dipengaruhi oleh goemetri poripori dan larutan umpan. Terjadinya ikatan silang pada antarmuka membran dari asimetris menjadi asimetris komposit yang mempunyai lapis tipis yang sangat rapat, proses pembentukan ikatan silang ini akan terus berlangsung sampai reaktan pembentuk ikatan habis [3]. Tekanan 191 Irfan Gustian, Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 187-191 4. Kesimpulan Permeabilitas yang dihasilkan : a. Untuk membran dari air aren pada proses osmosis balik adalah 2 hingga 6 Lm-2h-1. b. Untuk membran dari air kelapa pada proses ultrafiltrasi adalah 9,68 hingga 17,10 Lm-2h-1 c. Untuk membran komposit pada proses ultrafiltrasi adalah 8,30 hingga 13,09 Lm-2h-1 Selektifitas yang dihasilkan : a. Untuk membran dari air aren pada proses osmosis balik adalah 55% hingga 78%. b. Untuk membran dari air kelapa pada proses ultrafiltrasi adalah 98%. c. Untuk membran komposit pada proses ultrafiltrasi adalah 66,94% hingga 72,93%. Perlu dilakukannya penelitian lanjut tentang polarisasi konsentrasi yang terjadi pada setiap proses pemisahan. Daftar Pustaka [1] Iguchi, M., S. Yamanaka, A. Budhiono, Review Bacterial Cellulose, a Masterpiece of Natueal’s Arts, 2000, Journal of Material Science, 35, 261- 269. [2] Master, W., Pembuatan dan Pemurnian nata de coco untuk memperoleh film polimer berkekuatan tinggi, 1999, skripsi, jurusan kimia, ITB. [3] Mulder, M., Basic principles of Membrane Tecnology, 2nd edition, 1996, kluwer academic Publisher. [4] Nishi, Y., Uryu, S. Yamanaka, K. Watanabe, N. Kitamura, M. Iguchi, Structure and Mechanical 5. Properties of Sheet Prepared from Bacterial Cellulose, 1990, Journal of Material Science, 24, 3141- 4145 [5] Shibazaki, H,. S. Kuga, F. Onabe and M. Usuda, Bacterial cellulose Membrane as Separatoin Medium, 1993, Journal of Applied Polymer Science, 50, 965 969. [6] Strathmann, H., Synthetic Membranes and Their Preparation, 1990, Handbook of industrial Membrane Technology, Editor: M.C.Porter, Noyes Pub, New Jersey, 1- 60. Jurnal Gradien Vol. 2 No. 2 Juli 2006 : 192-195 Linierisasi Matriks Polynomial Zulfia Memi Mayasari Jurusan Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu, Indonesia Diterima 20 Juni 2006; disetujui 1 Juli 2006 Abstrak - Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji linierisasi matriks polynomial monik Linerisasi matriks polynomial monik L(λ) adalah mencari matriks polynomial linier yang ekuivalen dengan suatu matriks polynomial. Dalam l −1 menganalisis masalah linerisasi matriks polynomial monik yaitu dengan cara mengubah L(λ ) = Iλ l + ∑ A j λ j j =0 dimana A0, A1,…,Aj adalah matriks-matriks berukuran n x n menjadi bentuk linier L(λ ) = Iλ − A sehingga Iλ − A L (λ ) 0 ekuivalen dengan . I 0 Kata kunci : linierisasi; polynomial monik. 1. Pendahuluan Teori matriks merupakan bagian penting dalam aljabar linier. Banyak sekali penerapan-penerapan dari teori matriks, khususnya matriks polynomial yang dapat dipakai dalam pemecahan masalah-masalah matematika. Misalnya nilai awal, teori sistem, analisa getaran, teori jaringan, analisa numerik dan persamaan differensial [1]. Matriks polynomial juga dikenal sebagai λ-matriks. Matriks polynomial diartikan sebagai polynomial dari variabel-variabel kompleks dengan koefisien matriks. Jika A0 , A1, . . . , Aℓ adalah matriks berukuran n x n dengan entri-entrinya bilangan Aℓ kompleks dan jika ≠ 0, maka fungsi bernilai l matriks yang didefenisikan sebagai L(λ ) = ∑ Ai λ i i =0 dinamakan matriks polynomial berderajat ℓ. Jika Aℓ pada matriks polynomial diatas merupakan matriks identitas, maka matriks polynomial ini dikatakan monik. Jadi matriks polynomial monik dapat ditulis l −1 sebagai: L(λ ) = Iλ + ∑ A j λ , dimana A0 , A1, . . . , l j j =0 Aj adalah matriks berukuran n x n yang entri-entrinya adalah bilangan kompleks. Linerisasi matriks polynomial monik L(λ) adalah mencari matriks polynomial linier yang ekuivalen dengan suatu matriks polynomial. Permasalahan yang akan dijawab dalam kasus ini adalah bagaimana menganalisis linerisasi matriks polynomial monik L(λ), 2. Matriks Polynomial dan Linierisasi Definisi 1 [1] Jika A0, A1,…,A l matriks-matriks berukuran n x n dan entri-entrinya adalah bilangan kompleks dan Aℓ ≠ 0, maka fungsi bernilai matriks yang didefinisikan l sebagai L(λ ) = ∑ Ai λ i disebut matriks polynomial i =0 berderajat ℓ. Jika Aℓ = I , dimana I merupakan matriks identitas, maka matriks polynomial tersebut dikatakan l −1 monik, dan ditulis sebagai L(λ ) = Iλ l + ∑ A j λ j . j =0 Definisi 2 [2] Matriks polynomial M 1 (λ ) dan M 2 (λ ) dikatakan ekuivalen jika M 1 (λ ) = E (λ ) M 2 (λ ) F2 (λ ) untuk suatu matriks polynomial E(λ) dan F(λ) yang berukuran sama dengan M 1 (λ ) dan M 2 (λ ) serta det ( E (λ )) ( E1(λ)), dan M 1 (λ ) ∼ M 2 (λ ) . det ( F (λ )) ≠ 0 dan ditulis Zulfia Memi Mayasari, Jurnal Gradien Vol. 2 No.2 Juli 2006 : 192-195 193 Definisi l −1 Jika L(λ ) = Iλ l + ∑ A j λ j monik x adalah matriks polynomial j =0 berukuran 0 0 C1 = M − A0 n I 0 M 0 I M − A1 − A2 n , maka matriks dimana C 1 L − Al −1 0 0 M L L M berukuran nℓ x nℓ disebut matriks Companion pertama L(λ), dari 0 I C 2 = 0 M 0 0 0 I M 0 dan L − A0 L − A1 L − A2 = C1T M M L − Al −1 matriks elementer pada suatu matriks unimodular juga matriks unimodular. Diberikan matriks polynomial monik berderajat ℓ, l −1 L(λ ) = Iλ l + ∑ A j λ j . Dalam menganalisis masalah j =0 linerisasi matriks polynomial monik tersebut, yaitu l −1 bagaimana mengubah L(λ ) = Iλ l + ∑ A j λ j dimana j =0 A0, A1,…,Aj adalah matriks-matriks berukuran n x n menjadi bentuk linier L(λ ) = Iλ − A sehingga Iλ − A L (λ ) 0 ekuivalen dengan . I 0 disebut matriks Pernyataan ini dapat dilihat dengan mengambil contoh sebagai berikut: Diberikan matriks polynomial monik L(λ ) = a 0 + a1 λ + a 2 λ 2 + Iλ3 Companion kedua dari L(λ) [3]. Dari matriks polynomial tersebut dapat dibentuk matriks Definisi 4 Suatu matriks polynomial Iλ − A yang berukuran nℓ x 0 A = 0 − a1 nℓ disebut linerisasi matriks polynomial monik L(λ) L (λ ) 0 berukuran n x n , jika: Iλ − A ∼ I 0 Definisi 5 Diberikan matriks A dalam C [λ ] nxn matriks dalam C [λ ] 0 − a2 0 1 − a3 sehingga diperoleh λ λI − A = 0 a 0 −1 λ a1 0 − 1 . a 2 + λ . A disebut unimodular jika mempunyai A-1 yang merupakan nxn 1 . Pada matriks polynomial didefinisikan tiga jenis operasi baris elementer yaitu: Definisi 6 Jenis 1 : Menukar dua baris yang berlainan. Jenis 2 : Mengalikan suatu baris dengan suatu konstanta tak nol. Jenis 3 : Menambahkan pada suatu baris dengan hasil kali baris lain dengan suatu polynomial dalam C [λ ] . Dengan operasi baris elementer pada diperoleh matriks 0 0 −1 A' = 0 0 −1 2 3 2 a0 + a1λ + a2λ + λ a1 + a2λ + λ a2 + λ yang ekuivalen dengan λI − A . Hal ini berarti L(λ ) yang semula berderajat tiga dan dengan melakukan proses diatas diperoleh polynomial λI − A yang linier. Teorema 7 Diberikan suatu matriks polynomial monik berderajat ℓ l −1 dan berukuran n x n , L(λ ) = Iλ l + ∑ A j λ j =0 Definisi diatas menunjukkan bahwa operasi kebalikan dari setiap operasi elementer merupakan operasi elementer dari jenis yang sama dan juga hasil operasi λI − A didefinisikan: j dan Zulfia Memi Mayasari, Jurnal Gradien Vol. 2 No.2 Juli 2006 : 192-195 0 0 C1 = M − A0 I 0 0 I M M − A1 − A2 adalah transpose matriks C1. Jika diambil semua transpose pada teorema 7 maka C2 juga merupakan 0 M L − Al −1 L L M 0 didasarkan pada teorema berikut. Sebelumnya akan diberikan beberapa konsep yang mendukung teorema dan pembuktian teorema tersebut. Bukti: Menurut definisi 2 maka dapat dibentuk matriks nℓ x nℓ sebagai berikut: 0 0 F (λ ) = M − A0 I 0 0 I M M − A1 − A2 0 M L − Al −1 Bl −1 (λ ) Bl − 2 (λ ) −1 0 E (λ ) = 0 −1 M M 0 0 L B0 ( λ ) 0 L 0 L M M L 0 L L M L(λ ) . Hal ini linerisasi dari polynomial monik L (λ ) 0 maka Iλ − C1 I 0 polynomial E (λ ) dan F (λ ) yang berukuran 194 Sifat 8 Dua linierisasi dari matriks polynomial L(λ ) adalah similar. Bukti: 0 Misalkan C1 dan C2 adalah linierisasi dari maka: λI − C1 ∼ L (λ ) 0 0 I dan L (λ ) 0 0 I akibatnya dan L (λ ) λI − C 2 ∼ λI − C1 ∼ λI − C 2 . Maka terdapat P(λ) dan Q(λ) yang unimodular sehingga λI − C1 = P(λ )(λI − C 2 )Q(λ ) = P (λ ) λ Q (λ ) − P ( λ ) C 2 Q (λ ) maka I = P(λ )Q (λ ) sehingga Q (λ ) = ( P (λ )) −1 dan dengan Bl −1 (λ ) = I dan Br +1 (λ ) = λBr (λ ) + Al−r −1 C 2 = P(λ )C 2 Q (λ ) untuk r = 0, 1, …., ℓ-1. Maka det F (λ ) = 1 dan det E (λ ) = ± 1, yaitu: C 2 = P(λ )C 2 ( P(λ )) −1 sehingga diperoleh C1 ≈ C2 - jika n genap maka det ( E (λ )) = (-1) ℓ+1 - jika n ganjil maka det ( E (λ )) = 1. Sifat 9 Jika T linierisasi matriks polynomial monik L(λ ) dan Akibatnya E (λ ) , F (λ ) unimodular dan S similar dengan T, maka S juga linierisasi matriks polynomial monik L(λ ) . L (λ ) 0 λI − C1 = ( E (λ )) −1 ± (λ ) I 0 berarti λI − C1 ∼ Bukti: L (λ ) 0 . 0 I Karena T linierisasi matriks polynomial monik L(λ ) maka Teorema 7 menyatakan bahwa C1 merupakan linerisasi l −1 matriks polynomial monik L(λ ) = Iλ l + ∑ A j λ j dan j =0 matriks C1 diatas disebut matriks companion pertama dari L(λ ) . Linerisasi suatu matriks polynomial monik L(λ ) tidak tunggal. Misalkan ambil C 2 = C1T yaitu C2 L (λ ) 0 λI − T ∼ I 0 karena S similar dengan T diperoleh (1) maka menurut sifat 8 λI − T ∼ λI − S (2) L (λ ) 0 yaitu dari (1) dan (2) diperoleh λI − S ∼ I 0 S juga merupakan linierisasi dari L(λ ) Zulfia Memi Mayasari, Jurnal Gradien Vol. 2 No.2 Juli 2006 : 192-195 195 Teorema 10 Daftar Pustaka 0 I Matriks C 2 = 0 M 0 − A0 0 L − A1 I L − A2 Adalah linierisasi M M M 0 L − Al −1 0 L l −1 matriks polynomial monik L(λ ) = Iλ l + ∑ A j λ j j =0 Bukti: L (λ ) 0 Berdasarkan teorema 7, λI − C1 ∼ dengan I 0 C1 merupakan matriks companion pertama. Karena itu terdapat P(λ) dan Q(λ) yang merupakan matriks unimodular sehingga L (λ ) 0 Q (λ ) . 1 0 λI − C1 = P(λ ) Akibatnya T L (λ ) 0 Q (λ ) = [λI − C1 ]T = P(λ ) 1 0 LT (λ ) 0 T [Q (λ )]T [ P(λ )] 1 0 LT (λ ) 0 Jadi λI − C1T ∼ berarti I 0 LT (λ ) 0 I 0 λI − C 2 ∼ yaitu C2 merupakan linierisasi matriks polynomial monik L(λ ) . 3. Kesimpulan Untuk setiap matriks polynomial monik L(λ ) , dapat ditentukan matriks A sebagai linierisasinya. Linierisasi matriks polynomial monik L ( λ ) tidak tunggal Jika A1 dan A2 masing-masing merupakan linierisasi matriks polynomial monik L(λ ) , maka A1 ekuivalen A2. Jika A1 ekuivalen A2 dan A1 merupakan linierisasi matriks polynomial monik L(λ ) , maka A2 juga merupakan linierisasi matriks polynomial monik L(λ ) . [1] Cullen. G. C., Matrices And Linear Transformations, 1996, Addison-Wesley Publishing Company. [2] Gohberg. I. , Lancester. P, and Rodman. L, M., Matrix Polynomial, 1982, Academic Press. [3] Mayasari, Z.M., Analisis Linierisasi Matriks Polynomial Monik Dan Aplikasinya Pada Persamaan Differensia,. 2005, Laporan Penelitian PPD Heds. Jakarta