SEKOLAH LAPANG PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN (SL-P2KP) SEBAGAI MEDIA KOMUNIKASI KERAGAMAN PANGAN (Kasus Kelompok Wanita Tani di Pedesaan Jawa Tengah) MARIANA ONDIKELEUW SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Sekolah Lapang Penganekaragaman Konsumsi Pangan (SL-P2KP) Sebagai Media Komunikasi Keragaman Pangan (Kasus Kelompok Wanita Tani di Pedesaan Jawa Tengah) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2013 Mariana Ondikeleuw NIM I352100091 RINGKASAN MARIANA ONDIKELEUW. Sekolah Lapang Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (SL-P2KP) Sebagai Media Komunikasi Keragaman Pangan (Kasus Kelompok Wanita Tani di Pedesaan Jawa Tengah). Dibimbing oleh NURMALA K PANDJAITAN dan EKO SRI MULYANI. Pangan merupakan kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia yang paling utama, karena itu pemenuhannya menjadi hak asasi setiap individu. Untuk mewujudkan ketersediaan pangan yang cukup bagi seluruh penduduk dan menjamin tersedianya pangan bagi tiap-tiap rumah tangga dapat memenuhi kebutuhannya, merupakan sasaran utama dari pembangunan ketahanan pangan. Pembangunan ketahanan pangan ditegaskan dalam Undang Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan, secara spesifik mengatur bahwa pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, beragam, bergizi, berimbang, aman, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mendekripsikan pola komunikasi dalam pelaksanaan SL-P2KP di Kecamatan Prambanan Kabupaten Sleman (2) Menganalisis hubungan intensitas komunikasi dengan efektivitas komunikasi dalam SL-P2KP (3) Menganalisis hubungan pengetahuan dan afeksi petani dalam pelaksanaan SL-P2KP dengan perubahan perilaku penganekaragaman konsumsi pangan. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif yang menggunakan metode survey dengan kuisioner. Responden berjumlah 60 anggota kelompok wanita tani (KWT) yang mengikuti program SL-P2KP sejak tahun 2010 pada kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan (OPP) di Kecamatan Prambanan. Pemilihan kelompok dilakukan secara sengaja (purposive), alasan pemilihannya karena kedua desa ini adalah penerima kegiatan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP). Pengumpulan data dan pengamatan lapangan dilaksanakan selama bulan Juli sampai dengan September 2012. Data yang terkumpul meliputi data primer dan sekunder baik bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Analisis data dilakukan menggunakan analisis uji Chi Square. Hasil penelitian menunjukan bahwa: 1) Pola komunikasi dilaksanakan dalam SL-P2KP menggunakan model komunikasi terdiri dari: dua arah atau interaksional; cara lebih banyak diskusi dan pertemuan kelompok; saluran komunikasi menggunakan surat edaran dan alat peraga atau poster. Bahasa yang digunakan bahasa campuran antara bahasa Jawa dan Indonesia; dan sumber utama informasi adalah penyuluh dan petani yang berpengalaman. 2) Intensitas komunikasi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap Efektivitas komunikasi (perubahan pengetahuan, afeksi dan perilaku) petani P2KP dalam SL-P2KP. Dalam pelaksanaan program ini dapat dikatakan bahwa komunikasi bukan salah satu aspek penentu perubahan perilaku tetapi juga perlu di lihat kondisi setempat seperti fasilitas dan iklim ikut menentukan perilaku petani sehubungan dengan kegiatan SL-P2KP. Kondisi fisik lahan setempat seperti keadaan tanah yang gersang dan berdebu, ketersediaan bibit yang terbatas, dan kurang air. Kurang intensifnya sosialisasi tentang adanya kegiatan ini turut menyebabkan kurang berhasilnya program P2KP dan 3) Aspek pengetahuan dan afeksi tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan perilaku petani dalam SL-P2KP. Masyarakat terbiasa makan nasi sebagai sumber pangan utama, sumber karbohidrat lain seperti ubi jalar, singkong, jagung, talas, dan garut masih diolah sebagai makanan camilan/ makanan selingan. Wanita tani yang tingkat pengetahuan SL-P2KP rendah maupun tinggi ternyata hampir semuanya berperilaku sesuai dengan apa yang disosialisasikan dalam P2KP. Hal ini disebabkan petani sudah sering melakukan kegiatan penanaman tanaman di pekarangan rumah yang sebenarnya sudah disosialisasikan pemerintah pada kegiatan-kegiatan penyuluhan selama ini. Hal yang sama pada aspek afeksi. Petani mendukung maupun tidak program ini, hampir semuanya berperilaku sesuai. Kata kunci: komunikasi, media, penganekaragaman pangan, masyarakat pedesaan SUMMARY MARIANA ONDIKELEUW. Farmer‟s Field School of Food Diversity Acceleration as Media Communication For Food Diversity (Case of Women‟s Farmer Group in Rural Central Java). Supervised by NURMALA K. PANDJAITAN dan EKO SRI MULYANI Having achieved the community food diversification program, the government carried out the Acceleration Movement of food Consumption Diversification (P2KP). This movement was promoted with SL-P2KP addressed to woman farmers. Development of food security defined in Law No. 7 of 1996 on Food and Government Regulation (PP) No. 68 of 2002 on Food Security, specifically requires that the government conduct regulation, guidance, control and supervision of availability of adequate food, both in quantity and quality, varied, nutritious, balanced, safe, and affordable by the community. This study aimed : 1) To description the pattern of consumption in the implementation of SL-P2KP, 2) To analyze the effectiveness of communication in the implementation of SL-P2KP, 3) to analyze the relationship between the intensity of farmers' communication in the implementation of SL-P2KP and the behaviour of food consumption diversification. Data collection used questionnaire survey with the 60 members of Woman Farmers following SL-P2KP program since 2010 to optimize the utilization of yard activities (OPP) on the Prambanan district. Group selection is done intentionally (purposive), the reason for his election as the two villages are receiving Food Consumption Acceleration activity (P2KP). Data collection and field observations conducted during the months of July to September 2012. Data analysis was performed using Chi Square test analysis. The results showed that: 1) the communication pattern in the SL-P2KP was communication that generally took place in interactional/two-way interaction in a mixture of Javanese and Indonesian through form letters and posters. The main source of information was the instructor and fellow members of woman farmers, 2) The effectiveness of communication about SL-P2KP was still low, although the affective aspect was sufficient to support farmers. However, there was no changes in the behavior of woman farmers in implementing and applying SL-P2KP. In the implementation of this program can be said that communication is not one of the key aspects of behavior change but also need to see the facilities and local conditions such as climate in determining the behavior of farmers with respect to the SL-P2KP activities. Physical conditions such as the state of the local land barren and dusty soil, the limited availability of seeds and less water. Less intensive socialization of this activity contributed to the lack of success of the P2KP , and the main source of information is an experienced educator and farmer and 3) there was no relationship between the communication intensity and behavior change in SL-P2KP. aspects of knowledge and affection does not significantly affect farmers' behavior change in the SL-P2KP. Society accustomed to eating rice as a main food source, other sources of carbohydrates such as yams, cassava, corn, taro, and arrowroot are still treated as a snack food. The level of knowledge of women farmers SL-P2KP turns almost everything behaves according to what socialized in P2KP. This farmers are often planting activities in the yard of the house that is already socialized government on the activities during this extension. Same thing on affective aspects. Farmers to support this program or not, almost all of them behave accordingly. This was likely to be influenced by the physical condition of infertile land and the availability of production facilities like water, which the location was as far away from yards, and limited seed. Keywords: SL-P2KP, communication communities media, food diversification, rural © Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB SEKOLAH LAPANG PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN (SL-P2KP) SEBAGAI MEDIA KOMUNIKASI KERAGAMAN PANGAN (Kasus Kelompok Wanita Tani di Pedesaan Jawa Tengah) MARIANA ONDIKELEUW Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Sarwititi Sarwoprasodjo, MS Judul Tesis : Sekolah Lapang Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (SL-P2KP) Sebagai Media Komunikasi Keragaman Pangan (Kasus Kelompok Wanita Tani di Pedesaan Jawa Tengah) Nama : Mariana Ondikeleuw NIM : I352100091 Disetujui oleh Komisi Pembimbing Dr Nurmala K Pandjaitan, MS DEA Ketua Dr Ir Eko Sri Mulyani, MSi Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr Ir Djuara P Lubis, MS Dr Ir Dahrul Syah, MSc.Agr Tanggal Ujian: 29 Agustus 2013 Tanggal Lulus: Judu\ Tesis : Sekolah Lapang Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (SL-P2KP) Sebagai Media Komunikasi Keragaman Pangan (Kasus Kelompok Wanita Tani di Pedesaan Jawa Tengah) : Mariana Ondikeleuw Nama : 1352100091 NIM Disetujui oleh Komisi Pembimbing Dr Nurmala K Pandjaitan, MS,DEA Ketua Diketahui oleh Ketua Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Tanggal Ujian: 29 Agustus 2013 Tanggal Lulus: 06 NOV 2013 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2012 sampai dengan September 2012 ialah penganekaragaman pangan, dengan judul “Sekolah Lapang Percepatan Penganekagaman Konsumsi Pangan (SL-P2KP) Sebagai Media Komunikasi Keragaman Pangan (Kasus Kelompok Wanita Tani di Pedesaan Jawa Tengah).” Terima kasih penulis ucapkan kepada: Dr. Nurmala K Panjaitan MS DEA dan Dr Ir Eko Sri Mulyani MSi selaku pembimbing. Di samping itu penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Djuara P Lubis MS sebagai Ketua Program Studi Mayor KMP beserta seluruh staf pengajar yang telah memberikan materi dan ilmunya selama penulis melaksanakan tugas belajar di Institut Pertanian Bogor. Kepala Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Pertanian Kabupaten Sleman beserta seluruh stafnya, Bapak Sriyono dan Ibu Desi selaku PPL Desa Sumberharjo dan Bapak Suratal dan Ibu Ika Selaku PPL Desa Madurejo yang telah membantu penulis selama mengumpulkan data. Bapak kepala desa Sumberharjo dan kepala desa Madurejo yang telah memberikan izin penulis melakukan penelitian ini. Kelompok Wanita Tani Mawar desa Sumberharjo dan Kelompok Wanita Tani Perintis desa Madurejo yang telah membantu penulis dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan selama penelitian berlangsung. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orangtua penulis tercinta ayahanda Soleman. Ondikeleuw dan ibunda Martha. Ongge serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayang. Seluruh rekan mahasiswa KMP 2010 usi Ine, Uki, Fikri, pa Wije (rekan sebimbingan), bu Damay, bu Maya, bu Ratih, bu Dewi, pa Fauzi, pa Alim, pa Langlang dan pa Tetuko. Tidak terlupakan rekan sekerja Fani, Darsono dan bu. Tina. Rekan-rekan Forum Pasca Papua yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas segala dukungannya untuk terus maju serta seluruh pihak yang terkait penulis ucapkan terimakasih Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Oktober 2013 Mariana Ondikeleuw DAFTAR ISI DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vi 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian 1 1 4 5 5 2 TINJAUAN PUSTAKA Pelaksanaan Sekolah Lapang Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Komunikasi Komunikasi Pembangunan Pola Komunikasi Intensitas Komunikasi Efektivitas Komunikasi Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Adopsi Inovasi Faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi inovasi Kerangka Pikiran Hipotesis Definisi Operasional 5 5 11 13 14 22 23 25 26 28 30 31 32 3 METODOLOGI PENELITIAN Desain Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Populasi dan Sampel Penelitian Data dan Pengumpulan Data Teknik Pengolahan dan Analisis Data 35 35 35 35 36 37 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Pelaksanaan SL-P2KP di Kecamatan Prambanan Karakteristik Responden Penelitian Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Pola Komunikasi Anggota KWT Dalam Pelaksanaan SL-P2KP Model Komunikasi Bahasa yang digunakan dalam SL-P2KP Sumber Komunikasi Intensitas Komunikasi Efektivitas Komunikasi 37 37 42 46 51 53 53 55 56 58 62 Hubungan antara Intensitas Komunikasi Dengan Efektivitas Komunikasi Dalam SL-P2KP 65 Hubungan antara Pengetahuan Dan Afeksi Terhadap Perubahan Perilaku 68 5 SIMPULAN DAN SARAN 71 DAFTAR PUSTAKA 72 LAMPIRAN 76 RIWAYAT HIDUP 94 DAFTAR TABEL 1 Nama kelompok wanita tani di Kecamatan Prambanan 36 2 Distribusi nama dan luas desa di wilayah Kecamatan Prambanan tahun 2010 39 3 Jumlah penduduk Kecamatan Prambanan yang bekerja menurut kelompok umur dan jenis kelamin tahun 2010 39 4 Jumlah penduduk menurut pekerjaan utama di Kecamatan Prambanan tahun 2010 40 5 Produksi dan rata-rata produksi tanaman pangan dan hortikultura di Kecamatan Prambanan, 2008-2010 40 6 Luas lahan dan peruntukkannya di Kecamatan Prambanan tahun 2010 41 7 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat umur 46 8 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan 47 9 Jumlah dan persentase responden berdasarkan luas lahan yang dimiliki 48 10 Jumlah dan persentase responden berdasarkan luas lahan yang dimanfaatkan 49 11 Jumlah dan persentase responden berdasarkan status dan keterlibatan dalam kelompok 50 12 Jumlah dan persentase responden berdasarkan cara penyampaian informasi dalam kegiatan SL-P2KP 53 13 Jumlah dan persentase responden berdasarkan arah komunikasi yang digunakan dalam kegiatan SL-P2KP 54 14 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tanya jawab yang digunakan dalam kegiatan SL-P2KP 54 15 Jumlah dan persentase responden berdasarkan saluran komunikasi dalam kegiatan SL-P2KP 55 16 Jumlah dan persentase responden berdasarkan bahasa yang digunakan dalam kegiatan SL-P2KP 56 17 Jumlah dan persentase responden berdasarkan sumber informasi dalam kegiatan SL-P2KP 56 18 Jumlah dan persentase responden berdasarkan kehadiran penyuluh dalam kegiatan SL-P2KP 58 19 Jumlah dan persentase responden berdasarkan peran penyuluh lapangan dalam kegiatan SL-P2KP 59 20 Intensitas pembicaraan tentang SL-P2KP yang dilakukan petani dan penyuluh didalam pertemuan 59 21 Jumlah dan persentase petani berdasarkan intensitas pembicaran yang dilakukan antar sesama anggota tentang kegiatan SL-P2KP 60 22 Jumlah dan persentase petani berdasarkan intensitas pembicaran yang dilakukan dengan penyuluh tentang kegiatan SL-P2KP di luar pertemuan 60 23 Frekuensi pertemuan penyuluh dengan petani dan penyuluh didalam pertemuan 60 24 Frekuensi pertemuan penyuluh dengan petani dan penyuluh di luar pertemuan 61 25 Jumlah dan persentase petani berdasarkan intensitas komunikasi dalam pelaksanaan SL-P2KP 61 26 Jumlah dan persentase petani berdasarkan tingkat pengetahuan pada kegiatan SL-P2KP 62 27 Jumlah dan persentase petani berdasarkan tingkat afeksi pada kegiatan SL-P2KP 63 28 Jumlah dan persentase petani kegiatan SL-P2KP 64 berdasarkan tingkat perilaku pada 29 Jumlah dan persentase petani berdasarkan tingkat perilaku pemanfaatan sumber karbohidrat selain beras 64 30 Jumlah persentase petani menurut intensitas komunikasi dan tingkat pengetahuan dalam pelaksanaan SL-P2KP 65 31 Hubungan antara intensitas komunikasi dengan tingkat pengetahuan petani pada pelaksanaan SL-P2KP 66 32 Jumlah persentase petani menurut intensitas komunikasi dan tingkat afeksi dalam pelaksanaan SL-P2KP 66 33 Hubungan antara intensitas komunikasi dengan tingkat afeksi petani pada pelaksanaan SL-P2KP 67 34 Jumlah persentase petani menurut intensitas komunikasi dan perubahan perilaku dalam pelaksanaan SL-P2KP 68 35 Hubungan antara intensitas komunikasi dengan perubahan perilaku petani pada pelaksanaan SL-P2KP 68 36 Jumlah persentase petani menurut tingkat pengetahuan perubahan perilaku dalam pelaksanaan SL-P2KP 69 37 Hubungan antara tingkat pengetahuan petani pada pelaksanaan SL-P2KP terhadap dengan perubahan perilaku 38 Jumlah persentase petani menurut tingkat afeksi terhadap perubahan perilaku dalam pelaksanaan SL-P2KP 69 70 39 Hubungan antara tingkat afeksi dengan perubahan perilaku petani pada pelaksanaan SL-P2KP 70 DAFTAR GAMBAR 1 Model komunikasi interaksional 18 2 Kerangka berpikir hubungan antar peubah dalam penelitian 31 3 Foto-foto kegiatan 93 DAFTAR LAMPIRAN 1 Peta lokasi penelitian 76 2 Daftar kuisioner penelitian petani 77 3 Uji hubungan antar peubah 85 4 Struktur Organisasi dua KWT di Kecamatan Prambanan 91 5 Riwayat Hidup 94 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat, selain itu pangan merupakan komoditi dagang yang sangat berperan dalam kehidupan ekonomi. Sasaran utama dari pembangunan ketahanan pangan adalah mewujudkan ketersediaan pangan yang cukup bagi seluruh penduduk dan menjamin tersedianya pangan bagi tiaptiap rumah tangga dapat memenuhi kebutuhannya. Pembangunan ketahanan pangan ditegaskan dalam Undang-Undang Pangan Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan, yang secara spesifik mengatur bahwa pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, beragam, bergizi, berimbang, aman, merata dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Di sisi lain masyarakat berperan dalam menyelenggarakan produksi, penyediaan, perdagangan dan distribusi sekaligus sebagai konsumen. Pemenuhan kebutuhan pangan tidak hanya membahas produksi saja tetapi juga dalam ketersediaan maupun konsumsi yang seringkali menimbulkan persoalan. Pertambahan jumlah penduduk, dampak perubahan iklim global, peningkatan pendapatan perkapita finansial masyarakat, dan perubahan pola konsumsi masyarakat menuntut penyediaan dan keragaman pangan yang meningkat pula. Selain itu, konsumsi terhadap bahan pangan lainnya seperti pada kelompok umbi-umbian, pangan hewani, sayur dan buah belum memenuhi komposisi ideal yang dianjurkan (Pedum P2KP, 2012). Hal ini berarti bahwa diversifikasi pangan sangat diperlukan untuk mendukung pemantapan swasembada pangan. Upaya penganekaragaman pangan sangat penting untuk dilaksanakan, mengingat permintaan terhadap beras makin meningkat seiring dengan perkembangan jumlah penduduk dan peningkatan kualitas hidup, dampak perubahan iklim, adanya efek pemberian beras bagi keluarga miskin (Raskin) sehingga semakin mendorong masyarakat yang sebelumnya mengonsumsi pangan pokok (umbi-umbian) menjadi mengonsumsi beras (padi), serta belum optimalnya pemanfaatan pangan lokal sebagai sumber pangan pokok bagi masyarakat setempat. Rachman dan Ariani (2008) menunjukkan bahwa sejak tahun 2005 mayoritas masyarakat Indonesia di kota atau desa, kaya atau miskin memiliki satu pola makan pokok yaitu beras dan mie. Konsumsi pangan masyarakat masih belum beragam dan seimbang, dan peranan pangan import seperti terigu, susu, kedele meningkat, sementara konsumsi pangan lokal seperti sagu, jagung dan umbi-umbian cenderung menurun. Konsumsi pangan sumber protein, vitamin dan mineral berupa pangan hewani, sayuran dan buah masih rendah. Dalam mewujudkan diversifikasi/penganekaragaman pangan Pemerintah melalui Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian Republik Indonesia mengupayakan suatu percepatan pencapaian diversifikasi konsumsi pangan yakni melaksanakan gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) mulai tahun 2010. Tujuan kegiatan P2KP yaitu (1) meningkatkan kesadaran dalam 2 mewujudkan pola konsumsi pangan yang bergizi, berimbang, sehat dan aman (B2SA) serta mengurangi ketergantungan terhadap bahan pangan pokok beras; (2) Meningkatkan partisipasi kelompok wanita dalam penyediaan sumber pangan dan gizi keluarga melalui optimalisasi pemanfaatan pekarangan sebagai penghasil sumber karbohidrat, protein, vitamin dan mineral untuk konsumsi keluarga; dan (3) Mendorong pengembangan usaha pengolahan pangan sumber karbohidrat selain beras dan terigu. Gerakan ini disosialisasikan melalui Sekolah Lapang-P2KP. Sekolah Lapang-P2KP ditujukan bagi kelompok wanita tani, karena merupakan bagian integral dari masyarakat yang mempunyai peran yang sangat penting dalam penyediaan sumber pangan dan gizi keluarga. Kegiatan pemberdayaan anggota Kelompok Wanita Tani (KWT) bertujuan untuk mengembangkan pola pikir ibu rumahtangga tentang komposisi menu makanan ke arah beragam, bergizi seimbang dan aman melalui pemanfaatan pekarangan dan pemanfaatan pangan lokal sebagai sumber karbohidrat (Pedum P2KP, 2012). Hal ini sesuai dengan peran strategis perempuan dalam rumah tangga untuk menentukan menu makanan, mengolah bahan makanan dan menyediakan makan dalam keluarga. Melalui gerakan tersebut diharapkan pola pembangunan ketahanan pangan bertumpu pada kelompok wanita tani secara langsung dan menjadi aktor utama bukan sebagai penonton, dengan demikian masyarakat dapat berperan secara aktif dalam setiap proses pembangunan di pedesaan. Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) telah dilaksanakan sejak tahun 2010 di Kecamatan Prambanan Kabupaten Sleman melalui sekolah lapang-P2KP yang diikuti oleh anggota kelompok tani yang tergabung dalam dua KWT yakni Kelompok Wanita Tani Mawar dan Perintis. Kelompok wanita tani terbentuk sejak tahun 2005 belum mendapat bantuan sehingga dengan adanya kegiatan ini dapat meningkatkan kesejahteraan. Pelaksanaan SL-P2KP dilaksanakan sesuai kesepakatan masing-masing kelompok. Jadwal mengenai materi yang akan dilakukan dibuat oleh petugas lapang (penyuluh) dan pengurus KWT dan disesuaikan dengan kebutuhan kelompok. Waktu atau jam pelaksanaan disesuaikan dengan kegiatan ibu-ibu dengan kisaran waktu antara jam 10.00 pagi dan jam 13.00 (jam 1 siang). Kelompok Mawar pelaksanaan SL-P2KP hari Selasa jam 10.00 sampai jam 12.00 (dua jam), kelompok Perintis hari Rabu jam 13.00 sampai jam 15.00 sore hari. Permasalahan yang dihadapi di lapangan adalah dari kelompok penerima kegiatan SL-P2KP, secara keseluruhan belum menunjukkan adanya perkembangan yang signifikan sesuai dengan tujuan dari program P2KP. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal di antaranya minimnya sosialisasi yang dilakukan, petani kurang mengetahui tentang tujuan dan manfaat P2KP, lahan pekarangan sebagian belum tampak tanaman sehingga berpengaruh pada perilaku mereka. Diduga bila petani mengetahui dan memahami tentang program P2KP dengan baik, sosialisasi terlaksana, akan mempengaruhi efektivitas komunikasi dalam program P2KP dalam sekolah lapang. Dengan pelaksanaan SL-P2KP diharapkan untuk mengembangkan pola pikir ibu rumah tangga/wanita tentang komposisi menu makanan ke arah beragam, bergizi seimbang dan aman melalui pemanfaatan pekarangan dan pemanfaatan pangan lokal sebagai sumber karbohidrat non beras dan terigu. 3 Sekolah Lapang adalah sistem Pendidikan dan Latihan (Diklat) untuk mengubah sasaran diklat dari sikap “ketergantungan” (dependent) ke arah “kemandirian” (independent) dan sikap saling “ketergantungan” (interdependent) dalam kelompok, dari sikap kerja berdasarkan kebiasaan/pengertian ke arah kerja rasional; dari sekedar biasa bekerja atau terampil ke arah bekerja secara profesional (Pedum, 2012). Pelaksanaan Sekolah Lapang-P2KP memerlukan partisipasi seluruh masyarakat. Partisipasi merupakan manifestasi dari perilaku seseorang atau sekelompok masyarakat dalam mewujudkan perannya sesuai harapan masyarakat yang melakukan tindakan sosial untuk mencapai tujuan tertentu (Supandi, 2008). Partisipasi dalam hal mengemukakan pendapat, dan berinteraksi dengan sesama anggota merupakan harapan, yang ingin dicapai dalam kegiatan SL-P2KP. Keikutsertaan masyarakat yang dibarengi dengan intensitas komunikasi yang tinggi dalam kegiatan SL-P2KP dapat menumbuhkan rasa memiliki, sehingga program tersebut dapat berkelanjutan. Keberhasilan SL-P2KP bergantung pada sinergis kerjasama antar anggota kelompok wanita tani, penyuluh pendamping dan Pemerintah Daerah serta berperan aktif dalam pertemuan kelompok dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan. Partisipasi itu dipengaruhi oleh pola komunikasi dan intensitas komunikasi yang terjadi antar anggota kelompok, dan antar anggota kelompok dengan petugas lapang/penyuluh pendamping, yang akan membantu kelancaran proses sosialisasi maupun dalam pelaksanaan kegiatan program SL-P2KP di lapangan. Pola komunikasi merupakan proses komunikasi yang terjadi meliputi model komunikasi yang digunakan, cara menyampaikan informasi dan saluran yang digunakan. Dalam kegiatan SL-P2KP diharapkan anggota kelompok wanita tani dapat menjadi lebih aktif dalam menyampaikan pendapat atau menyampaikan pertanyaan terkait dengan kegiatan yang diberikan dan dengan mudah melakukan komunikasi secara aktif dengan petugas lapang. Intensitas komunikasi adalah frekuensi pembicaraan antara petani dan penyuluh, petani dengan sesama anggota baik di dalam maupun di luar pertemuan, frekuensi pertemuan diantara petani dan penyuluh, petani dan sesama anggota baik di dalam maupun di luar pertemuan SL-P2KP. Kemajuan pelaksanaan kegiatan SL-P2KP sangat dipengaruhi oleh tersedianya informasi dan komunikasi. Oleh karena itu, pelaksanaan program SLP2KP sangat memerlukan adanya dukungan komunikasi yang efektif. Keefektivan komunikasi mampu menggambarkan kemampuan untuk mencapai sasaran-sasaran dan tujuan akhir melalui intensitas komunikasi yaitu perubahan perilaku. Efektivitas komunikasi ditandai dengan serangkain perubahan yang terjadi pada diri khalayak komunikasi penerima informasi dan perubahan perilaku (behavioral) yang terdiri dari perubahan kognitif, afektif, dan konatif. Dukungan melalui komunikasi dapat mengubah segala ketidakpedulian masyarakat terhadap kepentingan dan komitmen, ketidakacuhan akan pengetahuan, dan mengubah sikap mental atau kebiasaan yang sebelumnya menentang perubahan pengetahuan, afeksi dan tindakan/perilaku. Menurut Berlo (1960), agar terjadi komunikasi yang efektif, komponen-komponen komunikasi perlu diperhatikan, mulai dari komunikator, pesan, saluran, dan komunikan sebagai sasaran komunikasi. DeVito (1997) menyebutkan bahwa komunikasi selalu mempunyai efek atau dampak atas satu atau lebih orang yang terlibat dalam tindak komunikasi. Efek tersebut adalah dampak intelektual (pengetahuan), dampak perubahan sikap (afeksi) dan dampak perubahan tindakan (psikomotorik) 4 Komunikasi timbal balik (dua arah) yang intens antara pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan sekolah lapang-P2KP dengan anggota kelompok wanita tani sangat diperlukan agar apa yang diinginkan baik oleh Balai Penyuluhan, Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP3K), Petugas Penyuluh Lapang (PPL) maupun anggota kelompok wanita tani dalam pelaksanaan SL-P2KP dapat tercapai. Dengan komunikasi efektif yang dilakukan peran penyuluh pendamping lapang diharapkan dapat menghilangkan berbagai hambatan, terutama dalam hal tukar-menukar informasi maupun berbagai ketimpangan dalam pelaksanaan SLP2KP. Oleh karena itu, sejauh mana intensitas komunikasi dalam pelaksanaan SLP2KP perlu dikaji. Demikian pula dengan proses keberlanjutan dari penerapan pangan lokal tentu tidak terlepas dari berbagai faktor-faktor yang diduga mempengaruhi komunikasi dalam SL-P2KP perlu di teliti lebih dalam lagi. Perumusan Masalah Komunikasi merupakan salah satu esensi keberlangsungan hidup manusia. Dengan komunikasi, manusia dapat belajar dan mengembangkan kemampuan serta potensi yang ada pada dirinya. Setiap manusia yang hidup di muka bumi ini selalu berusaha melakukan sesuatu yang baik untuk hidupnya, manusia cenderung melaksanakan semua aktivitas komunikasi yang berkaitan dengan hidupnya sepanjang itu menguntungkan dirinya. Proses pelaksanaan program SL-P2KP merupakan suatu proses komunikasi partisipatif. Melalui tahapan yang dilaksanakan, diharapkan kelompok wanita tani sebagai sasaran akhir terlibat secara langsung dapat mencari solusi untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi berkaitan dengan optimalisasi pemanfaatan pekarangan. Kelompok wanita tani (KWT) di Kecamatan Prambanan Kabupaten Sleman selalu melakukan aktivitas komunikasi sehari-hari yang berkaitan dengan pelaksanaan SL-P2KP. Aktivitas komunikasi tersebut tidak terlepas dari karakteristik individu sebagai peserta sekolah Lapang-P2KP dan faktor lingkungan sosial budaya yang mempengaruhi perubahan perilaku masyarakat. Penelitian Murtadha (2009) menyebutkan bahwa dalam aktivitas komunikasi dapat terjadi melalui dialog interaktif, pertemuan rapat rutin, mengadakan pengumpulan massa, dan mengundang wartawan dari masingmasing media. Mefalopulos dan Kamlongera 2004 menyatakan dalam komunikasi pembangunan terjadi pergeseran dari pendekatan komunikasi linier (modernisasi) mengarah pada pendekatan partisipatori. Di dalam pendekatan komunikasi partisipatori pemahaman terhadap pesan dibangun melalui proses komunikasi dua arah dan dialogis dengan prinsip penghargaan dan kesetaraan. Slamet (2003) menyimpulkan bahwa masyarakat dapat dikatakan berdaya jika memiliki pengetahuan (kognitif), sikap (afektif) dan keterampilan. Oleh karena itu, dapat dirumuskan permasalahan yang menarik untuk diteliti sebagai berikut : 1. Bagaimana pola komunikasi dalam pelaksanaan SL-P2KP di Kecamatan Prambanan? 2. Bagaimana hubungan intensitas komunikasi antara penyuluh dengan petani maupun antara petani dengan petani peserta SL-P2KP dengan efektivitas komunikasi P2KP di Kecamatan Prambanan? 5 3. Bagaimana hubungan antara pengetahuan dan afeksi tentang P2KP dengan perubahan perilaku peserta SL-P2KP dalam kegiatan SL-P2KP di Kecamatan Prambanan? Tujuan Penelitian 1. 2. 3. Penelitian ini bertujuan untuk: Mendeskripsikan pola komunikasi dalam pelaksanaan SL-P2KP di Kecamatan Prambanan. Menganalisis hubungan intensitas komunikasi dengan efektivitas komunikasi dalam SL-P2KP di Kecamatan Prambanan. Menganalisis hubungan antara tingkat pengetahuan dan afeksi petani dengan perubahan perilaku dalam pelaksanaan SL-P2KP di Kecamatan Prambanan. Manfaat Penelitian Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian maka penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk : 1. Secara akademis, diharapkan dapat memberikan masukan bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya disiplin ilmu komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. 2. Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi pemerintah Kabupaten Sleman khususnya Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan dalam upaya menentukan kebijakan dalam program kerjanya yang berhubungan dengan efektivitas komunikasi khususnya pada kegiatan Gerakan SL-P2KP. 3. Menjadi referensi untuk penelitian lanjutan yang berhubungan dengan efektivitas komunikasi khususnya kegiatan SL-P2KP. 2 TINJAUAN PUSTAKA Pelaksanaan Sekolah Lapang Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (SL-P2KP) Dalam mewujudkan diversifikasi pangan dengan sasaran peningkatan konsumsi pangan beragam, bergizi seimbang dan aman, pemerintah telah mencanangkan Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) Berbasis Sumber Daya Lokal, utamanya di pedukuhan (kampung) dan pedesaan di hampir seluruh Indonesia. Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) Berbasis Sumber Daya Lokal diselenggarakan oleh Kementan pada tahun 2010. P2KP merupakan program partisipatif Kementan, yang dilaksanakan dalam kegiatan pemberdayaan kelompok wanita melalui optimalisasi pemanfaatan pekarangan dan pemanfaatan pangan lokal serta pengembangan usaha rumah tangga pangan lokal berbasis tepung-tepungan. Pelaksanaan kegiatan P2KP dibiayai melalui APBN tahun anggaran 2010 dengan 6 mekanisme dana bantuan sosial (Bansos) yang langsung disetor ke rekening KWT. P2KP diimplementasikan di 5700 desa di 33 Provinsi. Untuk mencapai hasil yang maksimal dalam pelaksanaan P2KP, kelompok wanita tani (KWT) didampingi oleh tenaga Penyuluh Pertanian Lapang (PPL) dan Tenaga Harian Lepas (THL) Sasaran kegiatan pemberdayaan kelompok wanita adalah kelompok wnita yang telah memiliki kelembagaan yang aktif dengan pendekatan pemilihan berdasarkan dasa wisma atau tempat tinggal berdekatan dengan jumlah anggota minimal 10 rumah tangga. Tujuan dari program P2KP adalah; (1) Meningkatkan partisipasi kelompok wanita dalam penyediaan sumber pangan keluarga melalui optimalisasi pemanfaatan pekarangan sebagai penghasil sumber karbohidrat, vitamin, mineral dan protein untuk konsumsi keluarga; (2) Meningkatkan pemanfaatan pangan khas daerah dan produk olahannya sebagai sumber karbohidrat selain beras dan terigu, dan: (3) Meningkatkan kesadaran, motivasi, partisipasi dan aktivitas masyarakat dalam mewujudkan penganekaragaman konsumsi pangan. Gerakan ini disosialisasikan melalui Sekolah Lapang-P2KP. Sekolah Lapang-P2KP adalah suatu tempat pendidikan non formal bagi masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam pengembangan pemanfaatan pekarangan dalam rangka penganekaragaman konsumsi pangan sesuai dengan sumberdaya lokal. Pola penyelenggaraan SL-P2KP berfungsi sebagai pusat pembelajaran bagi kelompok wanita, sekaligus sebagai media tukar informasi dan pengalaman lapangan serta sebagai percontohan bagi kawasan lainnya. SL-P2KP dapat dilakukan ditempat yang berdekatan dengan lahan belajar. Dalam melaksanakan pembelajaran kelompok di bimbing oleh penyuluh. PPL mempunyai peran sebagai: 1) Pemandu yang paham terhadap materi, permasalahan dan kebutuhan yang ada di lapangan; 2) Dinamisator proses SL-P2KP sehingga menimbulkan ketertarikan dan lebih menghidupkan dalam budidaya dan dapat membangun kesadaran masyarakat dalam memanfaatkan pekarangan dalam rangka percepatan penganekaragaman konsumsi pangan; dan 3) Konsultan bagi anggota kelompok SL-P2KP untuk mempermudah menentukan langkah-langkah selanjutnya setelah kegiatan kelompok (Petunjuk Pelaksanaan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) Provinsi DIY) . Sekolah lapangan Pengembangan sumberdaya manusia merupakan bagian kegiatan pembangunan yang sangat penting dalam pembangunan pertanian. Pengembangan sumberdaya manusia dilaksanakan terutama melalui pendidikan dan pelatihan. Upaya-upaya pengembangan dan penyempurnaan pendidikan dan pelatihan di lingkungan Departemen Pertanian terus menerus dilakukan baik dari segi sistem, pola metode maupun model diklat. Salah satu model diklat yang dianggap efektif dalam rangka mempercepat alih teknologi kepada petani-nelayan adalah apa yang dinamakan Sekolah Lapangan (SL). Sekolah Lapangan (SL) adalah suatu model pelatihan yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan untuk mempercepat proses kompetisi sasaran, di mana proses berlatih melatih dilaksanakan melalui kegiatan belajar sambil mengerjakan dan belajar untuk menemukan atau memecahkan masalah sendiri, dengan berasas kemitraan antara pelatih dan peserta (Pedum, 2012). Menurut Zamzaini (2007), SLPHT adalah 7 pertemuan petani setiap seminggu sekali untuk belajar mengenai pertanian dan permasalahannya serta mencari jalan pemecahannya. Tujuan dari penyelenggaraan SL-P2KP adalah; (a) membudayakan pemanfaatan pekarangan dalam mendukung penganekaragaman konsumsi pangan dikalangan masyarakat, (b) mempercepat penerapan pengetahuan tentang penganekaragaman konsumsi pangan, sehingga dapat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran dalam mengelola pekarangan, (c) meningkatkan motivasi dan partisipasi masyarakat dalam pengembangan penganekaragaman konsumsi pangan melalui pemanfaatan pangan. Adapun sasaran kegiatan adalah: (a) meningkatnya partisipai kelompok wanita dalam penyediaan sumber pangan keluarga yang beragam, bergizi seimbang dan aman melalui pemanfaatan pekarangan sebagai penghasil sumber karbohidrat, vitamin, mineral dan protein untuk konsumsi keluarga, (b) meningkatnya pemanfaatan pangan khas daerah dan produk olahannya sebagai sumber karbohidrat selain beras dan terigu, (c) meningkatnya motivasi, partisipasi, dan aktivitas masyarakat dan anak usia dini dalam penganekaragaman konsumsi pangan dan (d) berkembangnya Rumah Pangan Lestari pada kawasan P2KP berbasis sumber daya lokal. Selain sasaran kegiatan juga diperlukan sasaran pendampingan bagi peserta sekolah lapang. Sasaran pendampingan adalah 40 kelompok wanita dan 40 orang pemandu lapangan (Desa P2KP 2012), 30 kelompok wanita dan 30 pemandu (Desa P2KP 2011), dan 20 kelompok dan 20 pemandu (Desa P2KP APBN Penghematan 2011) yang merupakan mata rantai dari sistem pemanfaatan teknologi yang saling ketergantungan, saling mendukung dan saling menguatkan. Kelompok sasaran optimalisasi pemanfaatan pekarangan adalah kelompok wanita yang memiliki kelembagaan aktif dengan pendekatan pemilihan berdasarkan dasa wisma dengan jumlah anggota minimal 10 orang atau lebih. Pendekatan inilah yang dilakukan dalam kegiatan SL-P2KP merupakan tugas bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat. Sesuai dengan semangat dan paradigma baru pembangunan, peran dan partisipasi masyarakat dalam hal ini kelompok perempuan tani peserta kegiatan SL-P2KP harus dikedepankan sebagai pelaku utama penentu keberhasilan program. Partisipasi pemerintah, masyarakat, swasta, organisasi non-pemerintah/LSM, organisasi profesi maupun perguruan tinggi sangat dibutuhkan untuk mendukung pelaksanaan gerakan penganekaragaman konsumsi pangan. Pola Konsumsi Pangan pada Masyarakat Pola konsumsi pangan adalah susunan makanan yang mencakup jenis dan jumlah bahan makanan rata-rata per orang per hari yang umum dikonsumsi ataudimakan penduduk dalam jangka waktu tertentu. Salah satu faktor yang mempengaruhi pola konsumsi pangan adalah kebiasaan atau gaya hidup (Bulu, 2010). Dalam mengkonsumsi makanan, aspek yang diperhatikan tidak hanya masalah kuantitas tetapi juga aspek kualitas pangan. Selama ini untuk mengukur kualitas pangan yang sekaligus juga keragaman/diversifikasi konsumsi pangan dilakukan dengan memperhatikan skor Pola Pangan Harapan (PPH). Kualitas konsumsi pangan dianggap baik dan terdiversifikasi sempurna apabila skor PPH mencapai 100 dan dapat dikatakan semakin tinggi skor, diversifikikasi konsumsi pangan semakin baik. 8 Konsumsi beras menunjukkan kecenderungan yang menurun dari tahun ke tahun walaupun dengan laju yang kecil. Walaupun menurun, namun tingkat konsumsi beras masih tinggi yaitu 280,06 gram/kapita/hari atau 100,82 kg/kapita/tahun. Pangsa energi dari beras saja mencapai 51,7 persen dari total konsumsi energi, padahal dalam konsep PPH, pangsa energi dari kelompok padipadian seharusnya hanya 50 persen. Oleh karena itu, konsumsi beras harus diturunkan, apalagi dengan tantangan kedepan untuk memproduksi beras. Ratarata konsumsi beras dunia hanya 60 kg/kapita/tahun, sedangkan Malaysia dan Thailand masing-masing juga hanya 80 kg dan 90 kg/kapita/tahun Menurut Ariani (2010) dengan menggunakan data SUSENAS berbagai tahun menunjukkan bahwa pola konsumsi pangan pokok di Indonesia dari pola yang beragam pangan pokok ke arah pola tunggal dan ke arah beras. Selanjutnya dikatakan masyarakat yang semula mempunyai pola jagung seperti di Provinsi Nusa Tenggara Timur serta sagu di Papua dan Maluku juga sudah ke arah beras. Dalam direktori Badan ketahanan Pangan (2009) terlihat bahwa rumahtangga yang tingkat pendapatannya di atas Rp.100 ribu/kapita/bulan, pola konsumsi pangan pokoknya sudah pola beras plus terigu (termasuk turunannya seperti mi instan). Sebaliknya pada kelompok pendapatan di bawah Rp 100 ribu/kapita/bulan, masih ditemukan pola pangan pokok yang menggunakan pangan lokal seperti jagung, ubikayu dan sagu. Dengan demikian dapat diartikan bahwa pola konsumsi masyarakat Indonesia masih perlu ditingkatkan keragamannya baik mencakup pangan pokok maupun untuk jenis pangan lainnya. Diversifikasi pangan juga menjadi salah satu pilar utama dalam mewujudkan ketahanan pangan. Apalagi bila mengacu pada konsep gizi bahwa tidak ada satu jenis panganpun yang lengkap zat gizinya sesuai dengan kebutuhan manusia untuk hidup sehat. Prinsip, Ciri dan Azas Sekolah Lapangan Prinsip sekolah Lapangan adalah proses berlatih berdasarkan agroekosistem dan sosial sistem, pengembangan kemampuan usahatani produktif, komersial berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, pengembangan sumberdaya petani-nelayan dan petugasnya sebagai subyek dan ahli. Sekolah Lapangan diperuntukkan bagi kelompok wanita, sekaligus sebagai media tukar informasi, dan pengalaman lapangan dan pembinaan manajemen kelompok serta sebagai percontohan bagi kawasan lainnya. Di sekolah lapang seperti seorang murid dengan guru, dimana kaum perempuan sebagai murid/penerima materi pelajaran dan sebagai guru adalah PPL dan THL. Antara murid dan guru tidak ada perbedaan, yang diutamakan kebersamaan, masing-masing dapat menerima dan berinteraksi dalam memberi pengetahuan. Melalui SL-P2KP diharapkan dapat terjadi percepatan alih teknologi dari pendamping kepada peserta untuk membudayakan pemanfaatan pekarangan dari yang tidak biasa di manfaatkan menjadi suatu kebiasaan; mempercepat peningkatan pengetahuan dan kesadaran dalam mengelola pekarangan dan meningkatkan motivasi dan partisipasi peserta dalam pengembangan penganekaragaman konsumsi pangan melalui pemanfaatan pekarangan. Kemudian berlangsung penyebarserapan secara alamiah dari alumni SL-P2KP kepada keluarga dan petani di sekitarnya. 9 Mekanisme Pelaksanaan Materi SL-P2KP Menurut Lestari dkk (2001) materi adalah isi atau topik pengajaran yang bermanfaat bagi pembelajar. Materi tersebut harus: a) sesuai dengan kebutuhan pembelajar; b) dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari; c) tersusun dengan baik, logis dan jelas; d) konsisten dengan tujuan keseluruhan; e) menantang, menyenangkan dan penting bagi pembelajar. Jenis materi yang disampaikan dalam pertemuan atau sosialisasi optimalisasi pemanfaatan pekarangan kepada kelompok wanita dilakukan minimal tiga kali dengan materi difokuskan pada pengelolaan budidaya tanaman pangan sumber karbohidrat, protein, vitamin dan mineral, pengelolaan pasca panen, pengolahan bahan pangan, penyusunan menu dan penyajian yang beragam, bergizi, berimbang dan aman berbasis pangan lokal bagi keluarga. Penyampaian materi pertemuan berisikan : Pengenalan tentang kegiatan SL-P2KP; Pemanfaatan pekarangan sebagai sumber pangan dan gizi keluarga; konsep pekarangan terpadu (5 fungsi pekarangan); Sosialisasi Pengembangan Pekarangan Kelompok; Menyusun menu beragam, bergizi, berimbang dan aman bagi keluarga; Pengenalan URT (ukuran rumah tangga) bahan pangan; Fungsi makanan bagi tubuh (Triguna makanan); Penanganan Pasca Panen tanaman; Aneka olahan dan kreasi hasil tanaman pekarangan; Keamanan pangan segar; Membuat olahan pangan (makanan selingan); Teknik memncuci dan memasak makanan yang benar; Manajemen bisnis pangan lokal dan Pola hidup sehat. Tidak kalah penting mengevaluasi pelaksanaan SL-P2KP baik dari segi materi maupun proses pelaksanaannya. Demikian pula perlu di evaluasi apa saja yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan kegiatan. Materi dalam kurikulum dapat disesuaikan dengan kebutuhan setempat. Persiapan dilakukan ditingkat desa/kecamatan dan ditingkat kelompok tani. Pemantauan merupakan unsur yang penting dalam suatu kegiatan.Pemantauan dilakukan secara kontinu dalam jangka waktu tertentu, terhadap perkembangan setiap pelaksanaan kegiatan P2KP oleh pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan desa. Hal–hal yang akan dipantau adalah kelengkapan administrasi, penggunaan dana, dokumen operasional berupa juklak, juknis, persiapan dan pelaksanaan kegiatan di kelompok wanita tani. Hal-hal penting yang perlu dilaporkan dalam pemantauan, perlu dianalisis lebih lanjut, sebagai bahan/informasi untuk evaluasi dan tindakan perbaikan pelaksanaan P2KP. Evaluasi dilaksanakan secara berjenjang mulai dari kabupaten/kota, provinsi, pusat, secara periodik minimal 2 (dua) kali setahun. Evaluasi dimaksudkan untukmengetahui sejauhmana peran dan tanggungjawab kelembagaan yang menangani P2KP, dan tingkat keberhasilan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan indikator yang telah ditetapkan. Prosedur penyaluran dana bantuan sosial (Bansos) dilaksanakan dengan mekanisme swakelola dari kuasa pengguna anggaran (KPA) Satker Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Provinsi DIY/ Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Kabupaten Sleman dan ditransfer ke rekening kelompok, dengan langkah-langkah pencairan sebagai berikut: 1. Kelompok wanita menyusun Rencana Kegiatan dan Kebutuhan anggaran (RKKA), yang di damping oleh penyuluh pendamping P2KP desa. 10 2. Kelompok wanita membuka rekening tabungan pada kantor cabang/unit BRI/ Bank Pos atau bank lain yang terdekat dan melaporkan kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di provinsi/kabupaten; 3. Kelompok wsnita mengusulkan RKKA kepada PPK provinsi/kabupaten setelah diverifikasi oleh penyuluh pendamping desa dan di setujui oleh aparat kabupaten; 4. PPK meneliti RKKA dan PPK membuat Surat Perjanjian Kerjasama dengan Ketua Kelompok Wanita, di lengkapi dengan berita acara; 5. PPK mengajukan kepada Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), KPA mengajukan Surat Permintaan Pembayaran Langsung (SPP-LS) diajukan kepada Pejabat penandatanganan SPM/penguji SPP Satker dengan lampiran: a) Keputusan Kepala Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Provinsi DIY/Kepala Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Kabupaten Sleman tentang Penetapan Kelompok Sasaran. b) Rekapitulasi RKKA, dengan mencantumkan: 1) Nama kelompok 2) Nama ketua kelompok 3) Nama anggota kelompok 4) Nomor rekening a.n kelompok 5) Nama cabang/Unit BRI/Bank Pos atau bank lain terdekat; c) Surat perjanjian kerjasama antara PPK dengan kelompok penerima manfaat tentang pemanfaatan dana d) Kuitansi yang ditandatangani oleh ketua kelompok dan diketahui/disetujui oleh PPK Provinsi/Kabupaten yang bersangkutan. 6. Berdasarkan SPP-LS, Pejabat penandatanganan SPM/penguji SPP Satker dan Perintah Pembayaran SPM menguji dokumen SPP-LS dan menerbitkan Surat Perintah Membayar Langsung (SPM-LS) selanjutnya KPA mengajukan SPM-LS kepada KPPN setempat; 7. KPPN menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) dan mentransfer dana bansos ke rekening kelompok wanita; 8. Kelompok wanita melalui ketuanya mengambil dana bansos di rekening bank dengan diketahui oleh PPK/aparat kabupaten. Pelaksanaan SL-P2KP terdiri dari beberapa tahap diantaranya tahap persiapan, tahap pelaksanaan, tahap pemantauan dan evaluasi, pengendalian dan pengawasan, serta pelaporan. Untuk persiapan SL-P2KP Proses pemilihan desa P2KP dilakukan berdasarkan identifikasi Calon Penerima dan Calon Lokasi (CP/CL) yaitu : a) Memiliki kelompok yang sudah eksis dan b) Memiliki pekarangan baik kelompok maupun anggota. Memilih dan menetapkan penyuluh pendamping P2KP desa yang ditetapkan melalui Surat Keputusan (SK) Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Beberapa indikator kinerja yang digunakan untuk mengukur keberhasilan penganekaragaman konsumsi pangan antara lain: Indikator Keluaran (output)meliputi; (1) Meningkatnya jumlah kelompok wanita dalam penyediaan sumber pangan keluarga yang beragam, bergizi seimbang dan aman; (2) Meningkatnya jumlah kelompok usaha pengolahan pangan lokal berbasis tepungtepungan dan penyediaan pangan sumber karbohidrat dari bahan pangan lokal; (3) Meningkatnya motivasi, partisipasi dan aktivitas masyarakat dalam penganekaragaman konsumsi pangan. Sedangkan Indikator Hasil (outcome)nya adalah; (1) 11 Meningkatnya skor Pola Pangan Harapan (PPH) tahun 2011 dari tahun sebelumnya; dan Menurunnya konsumsi beras 1,5 persen pertahun. Komunikasi Berdasarkan asal katanya, Gunter Kieslich (Mardikanto 2010) menyatakan bahwa komunikasi berasal dari bahasa latin communicare yang berarti partisipasi atau memberitahukan. Sementara dalam bahasa Inggris, komunikasi disamakan dengan communis yang berarti sama atau berusaha untuk mencapai kesamaan makna. Komunikasi dapat juga diartikan sebagai proses penyampaian informasi atau ide-ide antar sesama warga masyarakat. Dalam proses tersebut tidak hanya terjadi penyampaian informasi tetapi sekaligus pertukaran informasi, pengetahuan, ide-ide dan perasaan. Komunikasi pada hakekatnya adalah suatu proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu atau lebih penerima dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka (Rogers,2003). Dengan demikian, komunikasi dapat diartikan sebagai upaya menyampaikan sesuatu (informasi) kepada masyarakat, agar dapat diketahui dan menjadi milik bersama. Menurut Laswell (Effendy,2001) memberikan definisi komunikasi merupakan sebuah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan effek tertentu. Paradigma Laswell menunjukan bahwa komunikasi meliputi lima unsur yaitu S-M-C-R-E (source, message, channel, receiver dan efec). Efendi (2003), mengemukakan komunikasi merupakan proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan agar orang tersebut mengerti dan tahu serta bersedia menerima suatu paham atau keyakinan sehingga mau melakukan suatu perbuatan atau kegiatan lainnya. Jadi komunikasi berlangsung apabila antara orang-orang yang terlibat terdapat kesamaan makna mengenai sesuatu hal yang dikomunikasikan. Jika seseorang mengerti tentang sesuatu yang dinyatakan orang lain kepadanya, maka komunikasi itu dapat berlangsung dan sebaliknya (Mulyana, 2005). Selain itu, Shannon dan Weaver (1949) dalam Wiryanto (2006) menyebutkan bahwa komunikasi adalah bentuk interaksi manusia yang saling mempengaruhi satu sama lain, sengaja atau tidak disengaja dan tidak terbatas pada bentuk komunikasi verbal, tetapi juga dalam hal ekspresi wajah muka, lukisan, seni dan teknologi. Selanjutnya Leeuwis (2009), menyatakan komunikasi merupakan sebuah proses penting yang digunakan oleh manusia dalam pertukaran pengalaman dan ide, dan hal itu menjadi pemicu penting bagi penyampaian pengetahuan dan persepsi dari berbagai jenis (misalkan pembelajaran). Karena itu, komunikasi merupakan unsur inti dalam perubahan strategi untuk mendorong perubahan. Komunikasi dalam hal ini dapat berupa tindakan satu arah, bisa pula sebagai interaksi dan komunikasi sebagai transaksi. Sebagai tindakan satu arah, komunikasi mengisyaratkan penyampaian pesan searah dari seseorang (atau suatu lembaga) kepada seseorang (sekelompok orang) lainnya, baik secara langsung (tatap muka) ataupun melalui media, seperti surat (selebaran), surat kabar, majalah, radio atau televisi. Hasil penelitian Sumardjo (1999) menunjukkan bahwa pendekatan model penyuluhan dialogis, dan model komunikasi konvergen secara 12 signifikan lebih efektif untuk meningkatkan kemandirian petani dibanding dengan model penyuluhan yang sentralistik, top down (transfer of technologi) dengan komunikasi linier. Terkait dengan hal tersebut, Wilbur Schramm (1954) dalam West dan Turner (2008) menjelaskan bahwa komunikasi dua arah/interaksional terjadi dari pengirim kepada penerima dan dari penerima kepada pengirim. Proses ini terjadi secara melingkar atau memusat. Proses ini mengilustrasikan bahwa seseorang dapat menjadi pengirim maupun penemrima dalam suatu interaksi tetapi tidak dapat menjadi keduanya sekaligus. Setiap komunikasi yang dilakukan pasti memiliki tujuan. Menurut Effendy (2006), tujuan komunikasi adalah a) mengubah sikap (to change the attitude), b) mengubah opini pendapat atau pandangan (to change the opinion), c) mengubah perilaku (to change the behavior) dan d) mengubah masyarakat (to change the society). Selanjutnya Berlo (1960) mengatakan bahwa tujuan komunikasi terdiri atas tiga yakni memberi informasi (informatif ), untuk membujuk (persuasif) dan untuk tujuan menghibur (entertainment). Sedangkan fungsi komunikasi itu sendiri adalah a) menginformasikan (to inform), b) mendidik (to educate), c) menghibur (to entertain) dan d) mempengaruhi (to influence). Bagian terpenting dalam komunikasi menurut Rakhmat (2005) ialah bagaimana cara agar suatu pesan yang disampaikan komunikator itu menimbulkan dampak atau efek tertentu pada komunikan. Dampak yang ditimbulkan dapat diklasifikasikan menjadi: a. Dampak kognitif yaitu dampak yang timbul yang menyebabkan menjadi tahu atau meningkatkan intelektualitasnya. b. Dampak afektif yaitu supaya komunikan tergerak hatinya dan menimbulkan perasaan tertentu. c. Dampak konatif yaitu dampak yang timbul dalam bentuk perilaku, tindakan atau kegiatan. Berdasarkan pengertian, tujuan dan fungsi komunikasi, ternyata komunikasi memiliki peranan penting dalam membentuk sikap dan perilaku seseorang. Dengan kata lain bahwa komunikasi dapat menentukan baik dan buruknya sikap dan perilaku seseorang. Karena dengan komunikasi yang efektif maka dapat mencapai tujuan akhir dari suatu komunikasi adalah perubahan pengetahuan, sikap dan perilaku. Oleh karena itu Rogers (1983) mendefinisikan komunikasi sebagai pemindahan ide-ide baru dari sumber dengan harapan akan merubah perilaku para penerima. Berdasarkan pernyataan dan definisi tersebut di atas dapat dikemukakan secara umum bahwa komunikasi adalah proses pernyataan antara manusia mengenai isi pikiran dan perasaannya untuk memperoleh persamaan makna. Mengungkapkan isi pikiran dan perasaan tersebut apabila diaplikasikan secara benar dengan etika yang tepat akan memberikan manfaat terhadap individu maupun kelompok. Komunikasi memiliki peranan penting dalam membentuk sikap dan perilaku seseorang. Dengan kata lain, komunikasi menentukan baik dan buruknya sikap dan perilaku seseorang. Demikian pula komunikasi yang terjadi dalam Sekolah Lapang-P2KP. Dalam Sekolah Lapang-P2KP, komunikasi dilakukan melalui berbagai macam proses komunikasi dapat menyusun serangkaian metode untuk meningkatkan komunikasi dengan memperhatikan unsur-unsur komunikasi seperti sumber, pesan, dan saluran media yang digunakan sehingga dapat membentuk sikap dan 13 perilaku masyarakat sebagai anggota kelompok wanita tani (KWT). Jika proses komunikasi yang dilakukan efektif maka akan mempengaruhi pengetahauan rasa kepuasan yang kemudian berpengaruh terhadap tingkat perilaku terhadap program P2KP Komunikasi Pembangunan Komunikasi pembangunan telah menjadi multi-fase, multi-dimensi dan partisipatif, dan harus dilihat dalam konteks sosial-politik, ekonomi dan budaya agar relevan untuk masyarakat yang dituju. Pada intinya, komunikasi pembangunan adalah tentang pengembangan masyarakat. Peningkatan komunikasi pembangunan sangat penting untuk meningkatkan program-program pembangunan. Pengembangan komunikasi pembangunan ini perlu dilakukan dengan mengubah paradigma komunikasi pembangunan dari yang berciri linier (searah dari atas ke bawah) ke pola komunikasi yang berciri konvergen. Agar program yang akan dilaksanakan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Menurut Effendy (2001), komunikasi pembangunan merupakan proses penyebaran pesan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada khlayak guna mengubah sikap, pendapat dan perilakunya dalam rangka meningkatkan kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah, yang dalam keselarasannya dirasakan secara merata oleh seluruh rakyat. Komunikasi pembangunan ini merupakan suatu strategi yang menekankan pada perlunya sosialisasi pembangunan kepada seluruh para pelaku pembangunan daerah dan masyarakat secara umum melalui berbagai media strategis. Hal ini seiring dengan pendapat Nasution (2002), yang membedakan komunikasi dalam arti luas dan sempit. Dalam arti luas, komunikasi pembangunan adalah suatu aktivitas pertukaran pesan secara timbal balik (peran dan fungsi komunikasi) di antara semua pihak yang terlibat dalam usaha pembangunan; terutama antara masyarakat dengan pemerintah, sejak dari proses perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian terhadap pembangunan. Sedangkan dalam arti sempit, komunikasi pembangunan adalah segala upaya dan cara, serta teknik penyampaian gagasan, dan keterampilan-keterampilan pembangunan yang berasal dari pihak yang memprakarsai pembangunan dan ditujukan kepada masyarakat. Komunikasi pembangunan harus dilihat sebagai suatu proses menyeluruh, termasuk pemahaman terhadap khalayak serta kebutuhan-kebutuhannya, perencanaan komunikasi disekitar strategi-strategi yang terpilih, pembuatan pesan-pesan, penyebaran, penerimaan, umpan balik terhadap pesan-pesan itu dan bukan hanya kegiatan langsung satu arah dari komunikator kepada penerima yang pasif. Effendy (2006) mendefinisikan bahwa komunikasi pembangunan sebagai proses penyebaran pesan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada khalayak guna mengubah sikap, pendapat, dan perilakunya dalam rangka meningkatkan kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah. Pada komunikasi pembangunan proses interaksi seluruh warga masyarakat (aparat pemerintah, penyuluh, tokoh masyarakat, LSM, individu atau kelompok/organisasi sosial) ditujukan untuk menumbuhkan kesadaran dan menggerakkan partisipasi melalui 14 proses perubahan terencana demi tercapainya kualitas hidup secara berkesinambungan. Menurut Dilla (2007), komunikasi pembangunan sebagai komunikasi yang berisi pesan-pesan (message) pembangunan. Komunikasi pembangunan ini ada pada segala macam tingkatan, dari seorang petani sampai pejabat, pemerintah dan negara, termasuk juga di dalamnya dapat berbentuk pembicaraan kelompok, musyawarah pada lembaga formal dan non formal. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa komunikasi pembangunan merupakan suatu inovasi yang diterima oleh masyarakat melalui proses komunikasi. Banyak proses pembangunan tidak mencapai sasarannya hanya karena rendahnya frekuensi informasi dan komunikasi kepada masyarakat sehingga tidak menimbulkan tingkat partisipasi yang memadai. Padahal partisipasi masyarakat sangat diperlukan bagi usaha pencapaina tujuan pembangunan. Secara sederhana, pembangunan dapat diartikan sebagai perubahan berencana yang dikehendaki. Perubahan tersebut menyangkut perubahan struktur komunitas dan perubahan kebudayaan. Salah satu penyebab perubahan tersebut adalah karena adanya penemuan baru (inovasi). Inovasi tersebut bisa saja berupa alat dan bisa pula berupa ide baru. Seringkali, suatu inovasi baru ditemukan setelah melalui proses pertukaran pikiran dan diskusi yang panjang. Dalam hal inilah, komunikasi menjadi wadah penemuan inovasi. Demikianlah, komunikasi berperan untuk menfasilitasi penemuan (invention) dan menyebarkan inovasi tersebut ke sistem sosial yang lebih luas. Ringkasnya komunikasi sangat bermanfaat untuk pembangunan (Lubis et al., 2009). Dalam penelitian ini, yang dimaksud komunikasi pembangunan adalah proses interaksi dan penyebaran informasi secara timbal balik antara pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembangunan (pemerintah, masyarakat, dan lembaga kemasyarakatan) sejak tahap perencanaan, pelaksanaan hingga penilaian pembangunan. Komunikasi pembangunan dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran dan partisipasi masyarakat. Pola Komunikasi Pengertian pola menurut kamus bahasa Indonesia (1994) adalah pattern yang artinya model atau sistem yang berulang. Sehingga dapat dikatakan bahwa pola komunikasi adalah model komunikasi yang dilakukan secara individu atau kelompok secara berulang. Pola komunikasi dapat terbentuk dari komunikasi antar individu ataupun kelompok Pola merupakan ciri khas bagi tiap kegiatan akibat pengaruh lingkungan dan tingkah laku orang yang melakukan kegiatan secara terus-menerus baik dalam pekerjaan, pergaulan dan aktifitas kehidupan lainnya. Pada umumnya pola komunikasi terdiri dari dua bagian, yaitu pola komunikasi intern vertikal horisontal dan pola komunikasi ekstern (Departemen Penerangan, 1979). Menurut Bintarti (2003), yang meneliti hubungan pola komunikasi dengan prestasi belajar pada mahasiswa Universitas Terbuka, pola komunikasi tidak terbentuk dengan sendirinya, tetapi merupakan hasil interaksi antara karakteristik pelaku, media komunikasi yang digunakan, hasil dan tujuan yang ingin dicapai oleh sasaran. Sedangkan Retnowati (2007) mengartikan pola komunikasi orang tua dan anak sebagai komunikasi antar pribadi antara orang tua 15 dan anaknya, di mana masing-masing dapat memilih fungsi baik sebagai komunikator maupun sebagai komunikan yang mempunyai hubungan mantap dan jelas, artinya hampir tidak terhindarkan selalu ada hubungan antara kedua orang tersebut. Seorang komunikator dalam berkomunikasi membawa pengalaman, kepercayaan, nilai-nilai dan sikap tertentu yang diperoleh dan dipelajari dari interaksinya dengan orang lain dan lingkungan sekitar (Retnowati 2007). Sementara itu Arif (2004) dalam penelitiannya tentang pola komunikasi pengelola Taman Nasional dalam meningkatkan kesadaran konservasi pengunjung menyatakan bahwa akses media, ketersediaan sumber informasi, kemudahan mengakses sumber informasi, cara berkomunikasi dengan sesama pengunjung, dan frekuensi komunikasi verbal dan nonverbal berpengaruh terhadap pola komunikasi yang dilakukan Taman Nasional. Berdasarkan tiga penelitian terdahulu mengenai pola komunikasi, maka dalam penelitian ini disimpulkan unsur yang mempengaruhi pola komunikasi yakni melihat pada model komunikasi, bahasa yang digunakan, dan sumber informasi. Oleh karena itu, pesan komunikasi yang harus dikomunikasikan di dalam proses komunikasi haruslah sesuai dengan tujuan memberdayakan dan mensejahterakan masyarakat serta mendorong berlangsungnya perubahanperubahan ke arah yang lebih baik lagi, sekaligus memiliki sifat inovatif dalam pembangunan. Model Komunikasi Model merupakan representasi sederhana dari proses komunikasi. Model diartikan sebagai gambaran yang didesain untuk mempresentasikan realita, dan merupakan representasi fisik atau verbal dari suatu objek atau proses (DeVito 1997). Model merupakan suatu maksud untuk menunjukkan hal yang fundamental dalam sebuah studi (Sereno & Budaken 1975). Saat ini, pembangunan banyak mempergunakan pendekatan partisipatif yang melibatkan seluruh warga dalam proses penunjang pembangunan, yaitu sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, evaluasi sampai ke tahap menikmati hasil pembangunan. Pada pendekatan ini, proses komunikasi pembangunan memegang peranan yang sangat penting dalam menumbuhkan partisipasi masyarakat. Dalam hal ini pendekatan komunikasi yang dipakai untuk pembangunan adalah model komunikasi dengan pendekatan partisipasi masyarakat. Model komunikasi yang dibutuhkan adalah model yang memungkinkan adanya pertukaran informasi antar komponen dalam proses komunikasi dengan banyak dimensi. Menurut Melkote (2001) pendekatan model komunikasi dalam pembangunan dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar yakni kelompok paradigma Dominan (Modernisasi) dan kelompok Paradigma alternatif (Pemberdayaan). Teori-teori dan intervensi dalam paradigma dominan (modernisasi). Teori-teori ini dikembangkan oleh Lerner (1958) dan Schramm (1964) dan studi lainnya yang berkembang pada tahun 1950-an dan tahun 1960-an. Selanjutnya Mefalopulos (2008) menyatakan bahwa dalam mengenal ruang lingkup pembangunan dan komunikasi terdapat dua model utama komunikasi yaitu komunikasi monologis dan komunikasi dialogis. 16 Monologis Model: Satu Arah (One-Way) Modus monologis terkait dengan perspektif komunikasi pembangunan dikenal sebagai "difusi." Hal ini didasarkan pada aliran satu arah informasi untuk tujuan menyebarkan informasi dan pesan untuk mendorong perubahan. Beltran Salmón [2000] dan Pasquali [2003] menyatakan bahwa tujuan utama dari model monologis (satu arah) dapat dibagi menjadi dua jenis aplikasi: (1) komunikasi untuk menginformasikan (atau hanya "informasi," dan menyebutnya), dan (2) komunikasi untuk membujuk. "Komunikasi untuk menginformasikan" biasanya melibatkan transmisi linier informasi, biasanya dari pengirim ke banyak penerima. Hal ini digunakan ketika meningkatkan kesadaran atau memberikan pengetahuan tentang isu-isu tertentu dianggap cukup untuk mencapai tujuan yang dimaksud (misalnya, menginformasikan masyarakat tentang kegiatan sebuah project atau menginformasikan kepada masyarakat tentang reformasi jangka berlakunya). Dalam banyak kasus, pendekatan untuk membujuk masih mengandalkan gagasan klasik yang satu arah komunikasi. Tujuan utamanya adalah pengirim dapat membujuk penerima tentang perubahan dimaksud. Dalam model ini umpan balik adalah semacam sebuah lagu yang dinyanyikan, memungkinkan pengirim untuk memperbaiki pesan persuasif (Beltran Salmón2000). Secara umum pendekatan terkait erat dengan mode ini, yang sering digunakan dalam prakarsa pembangunan adalah strategis komunikasi untuk mendukung manajemen tujuan pembangunan tertentu. Komunikasi sebagai tindakan satu arah yaitu suatu pemahaman komunikasi sebagai penyampaian pesan searah dari seseorang (lembaga) kepada seseorang (sekelompok orang) lainnya, baik secara langsung (tatap muka) ataupun melalui media. Komunikasi dianggap sebagai sesuatu tindakan yang disengaja untuk menyampaikan pesan guna memenuhi kebutuhan komunikator seperti, menjelaskan sesuatu kepada orang lain atau membujuk untuk melakukan sesuatu. Kejadian ini sesuai dengan ide dasar pembuatan model linear yang didesain berdasar sistem telepon (model Claude Shanon dan Warren, 1949) dikutip oleh Mulyana (2003). Selain Claude Shannon, model linier juga dijelaskan oleh Harold D. Laswell dan Aristoteles. Model Laswell menjelaskan proses satu arah, sehingga mengabaikan faktor tanggapan balik. Elemen kunci pada model linier adalah sebuah sumber (source) yang mengirimkan pesan (message) kepada penerima (receiver) yang akan menerima pesan tersebut. Model komunikasi ini lebih tepat digunakan menyampaikan informasi yang lebih bersifat instruksi. Dialogis Model: Dua Arah Komunikasi Interaksional Modus dialogis dikaitkan dengan munculnya paradigma partisipatif. Di sisi lain, model komunikasi dua arah didasarkan pada menciptakan lingkungan yang konstruktif di mana stakeholder dapat berpartisipasi dalam menyelesaikan masalah dan menemukan solusi. Tujuan utama model ini dapat dibagi menjadi dua jenis aplikasi yang luas: (1) komunikasi untuk menilai, dan (2) komunikasi untuk memberdayakan. Komunikasi untuk menilai digunakan sebagai penelitian dan alat analisis, yang sifatnya interdisipliner dan lintas sektoral, dapat digunakan secara efektif untuk menyelidiki masalah apapun. Kekuatan komunikasi dialogis diterapkan untuk melibatkan para pemangku kepentingan mengungkap, dan menilai isu-isu kunci, peluang, dan risiko dari kedua teknis dan alam politik. 17 Sebagai ilustrasi, mengambil inisiatif di permukaan yang tidak membutuhkan komunikasi, seperti membangun jembatan untuk menghubungkan dua daerah dan masyarakat dipisahkan oleh sungai. Sebuah penilaian berbasis komunikasi sebelum proyek akan menyelidiki pengetahuan, persepsi, dan posisi pemangku kepentingan lokal atas prakarsa dimaksudkan. Kecuali diperiksa melalui komunikasi dua arah, kursus teknis diidentifikasi mungkin mengabaikan aspek penting yang dapat menyebabkan masalah atau konflik, misalnya dengan nelayan setempat yang melihat mata pencaharian mereka terancam. Ini menggunakan komunikasi dua arah melibatkan para ahli dan pemangku kepentingan di masalah-analisis dan pemecahan masalah proses menuju perubahan. Aktif mendengarkan menjadi sama pentingnya dengan berbicara. Di satu sisi, dapat dikatakan bahwa dialogis komunikasi tidak digunakan untuk menginformasikan tetapi untuk benar-benar "berkomunikasi"yaitu, untuk berbagi persepsi dan menciptakan pengetahuan baru. Ife (1995) menyatakan bahwa pemberdayaan merupakan sebuah proses dalam komunitas/kelompok dengan sumber daya, kesempatan, pengetahuan dan keahlian untuk meningkatkan kapasitas komunitas/kelompok sehingga dapat berpartisipasi untuk menetukan kehidupan masa depan mereka. Proses pemberdayaan melibatkan peran aktif keterlibatan masyarakat dalam menyusun langkah-langkah program yang harus diselesaikan. Langkah-langkah tersebut adalah mengurutkan untuk mencapai tujuan yang dikehendaki, mengimplementasikan aktivitas komunikasi pertahapan dan melakukan monitoring dan evaluasi dalam program. Tujuan keseluruhan dari modus dialogis adalah untuk memastikan saling pengertian dan membuat penggunaan terbaik dari semua pengetahuan yang mungkin dalam menilai situasi, membangun konsensus, dan mencari solusi yang tepat. Di sisi lain, komunikasi dua arah yang lebih ditunjukkan dalam mencapai saling pengertian, membangun kepercayaan, dan mengungkap dan menghasilkan pengetahuan, yang mengarah ke hasil yang lebih baik (Mefalopolus, 2008). Komunikasi berlangsung dalam proses dua arah (two-way) maupun proses peredaran atau perputaran arah (cyclical proses), sedangkan setiap partisipan memiliki peran ganda, di mana pada satu waktu bertindak sebagai sender, sedangkan pada waktu lain berlaku sebagai receiver, terus seperti itu sebaliknya (Bungin, 2008). Model interaksional menurut Wilbur Schramm (1954) dalam West dan Turner (2008) menekankan pada proses komunikasi dua arah, yaitu dari pengirim kepada penerima dan dari penerima kepada pengirim. Proses interaksi terjadi secara melingkar (Gambar 1). Proses ini mengilustrasikan bahwa seseorang dapat menjadi pengirim maupun penerima dalam sebuah interaksi, tetapi tidak dapat menjadi keduanya sekaligus. 18 Gangguan Pesan Gangguan Bidang Pengalaman Gangguan Penerima Pengirim m Umpan Balik Bidang Pengalaman Umpan Balik Saluran Gangguan Gambar 1 Model komunikasi interaksional Sumber : West dan Turner (2008) Freire menegaskan bahwa dialog merupakan hal esensial pada proses penyadaran. Fraire menggarisbawahi potensi yang luas darii dialog dan dengan bersemangat mempertahankan kekuatan bahasa sebagai alat yang mampu menananmkan dominasi maupun kebebasan. Tufte dan Mefalopulos (2009) menyatakan bahwa fokus dari komunikasi partisiapsi adalah diaolog, suara, media didik, aksi-refleksi. Dialog merupakan suatu prinsip komunikasi partisipasi, dimana peserta akan mengungkapkan usulan dengan aksi-refleksi-aksi dan komunikasi horizontal. Dalam dialog proses yang terjadi diawali dengan defenisi program dimana terjadi kesenjangan informasi. Tipe masalah yang terjadi dapat berupa sosial dan ekonomi masyarakat atau issu kemiskinan dan ketidakadilan. Dengan demikian strategi komunikasi yang digunakan adalah merangkum isu yang general untuk memperoleh gambaran yang terjadi dan dapat merangkum solusi yang ada. Model komunikasi yang dibutuhkan adalah model yang memungkinkan adanya pertukaran informasi antar komponen dalam proses komunikasi dengan banyak dimensi. Pendekatan ini sering disebut dengan model partisipasi (participatory model) atau model interaktif (interaktif model). Komunikasi dua arah adalah model komunikasi interaksional, merupakan kelanjutan dari pendekatan linier. Pada model ini terjadi komunikasi umpan balik (feedback) gagasan. Ada pengirim (sender) yang mengirimkan informasi dan ada penerima (receiver) yang melakukan seleksi, interpretasi dan memberikan respons balik terhadap pesan dari pengirim (sender). Dengan demikian, komunikasi berlangsung dalam proses dua arah (two way) maupun proses peredaran atau 19 perputaran arah (cyclical process), sedangkan setiap partisipan memiliki peran ganda, di mana pada satu waktu bertindak sebagai sender, sedangkan pada waktu lain berlaku sebagai receiver, terus seperti itu sebaliknya (Bungin, 2009). Model partisipatori membutuhkan komunikator pembangunan menambahkan dimensi baru pada aturan tradisional, contohnya inisiator, fasilitator, negositor, dan mediator. Komunikator pembangunan akan mencari keduanya, sumber dan penerima pesan, menambahkan kontak langsung, dan interaksi penerima sebagimana juga sumber. Proses partisipatori pada dasarnya akan transaksional (Nair dan White 2004). Komunikasi transaksional bukanlah merupakan proses persuasi satu arah. Itu merupakan dialog dimana pengirim dan penerima pesan berinteraksi dalam periode waktu tertentu, datang dan berbagi pemahaman. Sebagai contoh, ide baru atau praktek lebih disukai diadopsi jika penerima terlibat dalam dialog dan diskusi tentang kebutuhan mereka, alternatif tindakan, dan penerimaan dalam sumbersumber untuk memyelesaikan tujuan pembangunan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada pemberdayaan masyarakat, komunikasi pembangunan merupakan alat atau jalan mencapai partisipasi masyarakat dan juga merancang pesan pembangunan yang diperlukan dalam proses perubahan perilaku masyarakat yaitu memiliki pengetahuan, sikap dan tindakan untuk berperilaku menerapkan pesan-pesan pembangunan (ide-ide atau teknologi) yang terpilih guna mencapai perbaikan mutu hidup yang diharapkan melalui komunikasi dua arah yang berlangsung terus menerus hingga tercapai kesamaan makna pesan. Komunikasi partisipatif dalam program SL-P2KP merupakan desain pesan komunikasi yang dapat menciptakan keberdayaan, peningkatan kesadaran partisipasi pembangunan dengan melakukan pendekatan persuasif melibatkan peran serta anggota kelompok wanita tani (KWT), tokoh masyarakat, aparat pemerintah/penyuluh, menciptakan suasana komunikasi yang dapat mendorong petani berani mengeluarkan pendapat atau ide pembangunan dan memanfaatkan saluran komunikasi penunjang pembangunan yang berfungsi sebagai saluran pesan yang akrab serta mampu mengembangkan komunikasi partisipatoris dalam pelaksanaan kegiatan SL-P2KP. Memahami model penyampaian komunikasi berarti memahami kondisi penerima pesan atau komunikan sehingga tidak terjadi kesalahan dalam pemberian informasi atau pesan. Banyak model komunikasi yang telah diungkapkan oleh para ahli komunikasi. Keragaan model komunikasi pada kelompok wanita tani dalam penelitian ini dilihat dari arah komunikasi yang digunakan, cara menyampaikan informasi dan saluran yang digunakan. Cara Komunikasi Cara menyampaikan komunikasi dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Komunikasi secara langsung yakni penyampaian informasi atau pesan yang dilakukan secara langsung (tatap muka) seperti; presentase, pidato dan lainya. Komunikasi tidak langsung adalah informasi atau pesan yang disampaikan menggunakan media seperti telepon, koran, poster dan lainnya. 20 Arah Komunikasi Arah komunikasi sebagai sesuatu yang bergerak dari satu tempat ke tempat lain, komunikasi dapat juga dimaknai sebagai suatu proses atau aliran. Dengan kata lain, komunikasi yang tidak efektif akan menghambat, bahkan menjadi rintangan aliran yang ada dalam organisasi tersebut. Sebagai proses transfer gagasan dan pemikiran dalam bentuk pesan agar tercipta persamaan persepsi, proses komunikasi dalam kepemimpinan tidak begitu berbeda dengan proses komunikasi dalam konteks lain. Komunikasi yang memiliki dampak positif dalam arti pesan yang disampaikan dapat dipahami untuk kemudian dapat diketahui umpan-baliknya. Dalam disiplin kepemimpinan khususnya, perlu diperhatikan arah komunikasi dapat mengalir secara vertikal atau lateral (menyisi). Komunikasi ke atas. Komunikasi yang mengarah ke atas adalah komunikasi yang mengalir ke suatu tempat (obyek) yang lebih tinggi dalam kelompok atau organisasi dimana proses kepemimpinan itu berlangsung. Komunikasi jenis ini biasanya digunakan untuk memberikan umpan-balik kepada atasan, menginformasikan mereka tentang kemajuan tujuan, dan meneruskan masalah-masalah yang ada, komunikasi ke atas menyebabkan para pemimpin, yang dalam hal ini adalah manajer, menyadari perasaan orang-orang yang dipimpinnya terhadap pekerjaannya, rekan atau bahkan lingkungan organisasi secara menyeluruh. Komunikasi ke bawah. Pola ini adalah pola yang paling sering terbayang dalam benak setiap orang ketika membayangkan komunikasi dalam kepemimpinan. Komunikasi ke bawah adalah suatu bentuk komunikasi yang mengalir kepada tingkat (obyek) yang lebih rendah dalam suatu kelompok atau organisasi. Selain itu ada komunikasi satu arah dan komunikasi dua arah atau komunikasi timbal balik. Saluran Komunikasi Saluran Komunikasi adalah media yang dilalui pesan. Jarang sekali komunikasi berlangsung melalui hanya satu saluran, kita menggunakan dua, tiga, atau empat saluran yang berbeda secara simultan. Sebagai contoh, dalam interaksi tatap muka kita berbicara dan mendengarkan (saluran suara), tetapi kita juga memberikan isyarat tubuh dan menerima isyarat ini secara visual (saluran visual). Kita juga memancarkan dan mencium bau-bauan (saluran olfaktori). Seringkali kita saling menyentuh, ini pun komunikasi (saluran taktil). (Modul kuliah). Saluran komunikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah komunikasi kelompok dan menggunakan media komunikasi, yakni media komunikasi cetak. Bahasa Bahasa menurut Sassaure dalam Littlejohn dan Foss (2009) adalah sebuah sistem baku yang dapat dianalisis terpisah dari kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan pengucapan adalah kegunaan sebenarnya dari bahasa untuk mencapai tujuan.Selanjutnya Berlo (1960) mengartikan kode pesan bagi setiap kelompok simbol-simbol yang dapat distrukturkan dengan cara tertentu sehingga bermakna bagi sejumlah orang. Bahasa adalah kode pesan yang utama dalam komunikasi antar pribadi. Setiap kode bahasa memiliki sekelompok elemen seperti kosa kata dan prosedur untuk memgkombinasikan elemen-elemen tersebut sehingga bermakna. Sebagaimana diketahui keefektifan komunikasi akan 21 ditentukan oleh kemampuan dalam memilih: a) kode atau bahasa yang akan digunakan, b) elemen-elemen apa yang akan digunakan, serta c) metode apa yang akan dipakai dalam menstrukturkan elemen-elemen apa yang telah dipilih. Bahasa dan perilaku seringkali tidak bekerja bersama, sehingga tanda nonverbal merupakan hal penting dalam interaksi. Tanda nonverbal adalah kumpulan perilaku yang digunakan untuk menyampaikan arti. Judee Burgon dalam Littlejohn dan Foss (2009) menggolongkan sistem nonverbal memiliki beberapa sifat. Pertama, tanda nonverbal cenderung analog daripada digital. Sinyal digital mempunyai ciri tersendiri, seperti huruf dan angka, sedangkan analog berkesinambungan, membentuk sebuah tingkatan atau spektrum seperti volume dan intensitas cahaya. Oleh karena itu, tanda nonverbal, seperti ekspresi wajah dan intonasi suara tidak dapat dengan sederhana digolongkan menjadi kategori yang mempunyai ciri-ciri tersebut. Sistem kode nonverbal sering digolongkan menurut jenis aktivitas yang digunakan dalam kode. Sumber Sumber/komunikator adalah pelaku utama/pihak yang mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi atau yang memulai suatu komunikasi, bisa seorang individu, kelompok, organisasi, maupun suatu negara sebagai komunikator. Gerald R. Miller dalam Mulyana (2007) menjelaskan bahwa “komunikasi terjadi ketika suatu sumber menyampaikan suatu pesan kepada penerima dengan niat yang disadari untuk mempengaruhi perilaku penerima”. Sumber informasi berperan penting bagi seseorang dalam menentukan sikap atau keputusan bertindak. Sehingga dapat dikatakan bahwa komunikator memegang peranan yang sangat penting terutama dalam mengendalikan jalannya komunikasi. Untuk itu seorang komunikator harus terampil berkomunikasi, dan juga kaya ide serta penuh daya kreatifitas. Soekartawi (2005) menyebutkan faktorfaktor yang menentukan kredibilitas seorang komunikator adalah: 1. Titel yang dimiliki, terdapat kesan bahwa sumber yang mempunyai gelar kesarjanaan memiliki kredibilitas tinggi dibandingkan dengan sumber yang tidak menyandang gelar kesarjanaan. 2. Pangkat atau jnjang kepegawaian, sumber yang telah mempunyai kepangkatan kepegawaian yang lebih tinggi sering dianggap mempunyai kredibilitas lebih baik. 3. Status sosial, banyak juga dijumpai bahwa yang mempunyai status sosial yang tinggi sekalipun tidak ada kaitannnya dengan kepangkatan atau titel yang dimiliki, dinilai memiliki kredibilitas tinggi. 4. Penampilan dalam melakukan komunikasi, terlepas dari komunikator tersebut seorang sarjana atau bukan, tetapi jika dinilai mampu melakukan komunikasi yang baik, maka komunikan menganggap bahwa sumber tersebut mempunyai kredibilitas tinggi. Paul Lazarfeld dalam Mulyana (2007), menyebutnya sebagai “pengaruh personal”; yang ditunjukkan dalam teori two step flow of communication (komunikasi dua tahap). Dalam teori tersebut dikatakan bahwa informasi bergerak menuju orang-orang yang sering memperhatikan media massa; dan selanjutnya dari mereka tersebut informasi menuju pada khalayak. 22 Intensitas komunikasi Intensitas merupakan serapan dari bahasa Inggris intensity yang mempunyai arti maksud, hebat, lebih. Seseorang yang melakukan suatu tindakan tertentu pada kurun waktu tertentu pula bisa dikatakan mempunyai intensitas yang tetap. Artinya pada kurun waktu tersebut seseorang melakukan suatu usaha tindakan dengan kuantitas yang sama. Efisiensi waktu dalam menjalin terciptanya intensitas komunikasi menjadi hal yang penting manakala lingkungan mempunyai sentiment negatif terhadap hal yang dianggap baru. Intensitas komunikasi sangat penting dalam menumbuhkan budaya keterbukaan dan menanamkan rasa saling percaya antara pribadi yang satu dengan lainnya. Menurut Djamarah, 2004 dalam Ihsan (2009) intensitas komunikasi merupakan tingkat kedalaman penyampaian pesan dari individu sebagai anggota keluarga kepada yang lainnya. Intensitas komunikasi mencakup aspek-aspek seperti: kejujuran, keterbukaan, pengertian, percaya, yang mutlak diantara kedua belah pihak dan dukungan, Intensitas komunikasi dapat diukur dari apa-apa dan siapa yang dibicarakan, pikiran, perasaan, obyek tertentu, orang lain atau dirinya sendiri. Devito (2009) menyatakan intensitas komunikasi merupakan istilah atau terminology yang disarikan dari social penetration theory. Teori ini menjelaskan bahwa diri individu terdiri dari sejumlah lapisan seperti pengalaman, pengetahuan, ide, sikap, pemikiran dan tingkah laku. Sementara itu defenisi intensitas komunikasi yaitu tingkat kedalaman dan keluasan pesan yang muncul dalam aktivitas komunikasi yang dilakukan antar individu. Untuk dapat mengukur intensitas komunikasi antar individu dapat ditinjau dari enam aspek yaitu: (1) Frekuensi berkomunikasi terkait dengan tingkat keseringan seseorang dalam melakukan aktivitas komunikasi, (2) Durasi yang digunakan dalam berkomunikasi merujuk pada lamanya waktu yang digunakan pada saat melakukan aktivitas komunikasi, (3) Perhatian yang diberikan saat berkomunikasi, diartikan sebagai fokus yang dicurahkan oleh partisipan komunikasi pada saat berkomunikasi, (4) Keteraturan dalam berkomunikasi, menunjukkan kesamaan sejumlah aktivitas komunikasi yang dilakukan secara rutin dan teratur, (5) Tingkat keluasan pesan saat berkomunikasi dan jumlah orang yang diajak berkomunikasi, artinya ragam topic maupun pesan yang dibicarakan pada saat berkomunikasi dan jumlah orang yang diajak untuk berkomunikasi pada saat melakukan komunikasi, (6) Tingkat kedalaman pesan saat berkomunikasi, merujuk pada pertukaran pesan secara lebih detail yang ditandai dengan kejujuran, keterbukaan dan sikap saling percaya antar partisipan pada saat berkomunikasi. Komunikasi adalah kendaraan atau alat yang digunakan untuk bertingkah laku dan untuk memahami serta memberi makna terhadap segala sesuatu di sekitar kita (Morissan dan Wardhany 2009). Komunikasi melibatkan pemahaman tentang bagaimana orang-orang bersikap dalam menciptakan, menukar dan mengartikan pesan-pesan. Oleh karena itu dengan komunikasi yang intens seseorang dapat berinteraksi dengan orang lain. Intensitas komunikasi berlangsung antara sekurang-kurangnya dua pihak yang berinteraksi. Berinteraksi membutuhkan kontak satu sama lain dan juga komunikasi antar orang yang melakukan kontak (Suharman 2010). Menurut van den Ban dan Hawkins (1999), proses saling mempengaruhi dan bersifat timbal- 23 balik dari suatu tindakan berbagai individu atau kelompok tani, biasanya dilakukan dengan komunikasi. Intensitas komunikasi berlangsung antara sekurang-kurangnya dua pihak yang berinteraksi. Dua pihak yang intens berkomunikasi di dalam pelaksanaan SL-P2KP adalah antara peserta dengan petugas penyuluh lapang. Dengan demikian yang di maksud dengan intensitas komunikasi antara peserta dengan petugas penyuluh lapang adalah frekuensi usaha yang dilakukan dalam berkomunikasi dengan baik dalam bentuk penyampaian informasi, sinyal, atau pesan individu kepada individu yang lain dengan konsekuensi umpan balik yang diterima secara langsung sehingga terjadi hubungan timbal balik atau komunikasi dua arah antara kedua individu tersebut. Hasil penelitian Mohamad Ihsan (2009) menunjukkan faktor intensitas komunikasi petani pada variabel intensitas komunikasi dengan pengelola taman nasional, intensitas komunikasi dengan media massa dan intensitas komunikasi dengan penyuluhan memberikan pengaruh yang nyata terhadap perilaku petani dalam melakukan konservasi tanah dan air secara berkelanjutan di daerah penyangga kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP). Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan intensitas komunikasi dalam pelaksanaan SL-P2KP adalah kedalaman dan keluasan komunikasi yang dilihat dari (1) frekuensi kehadiran petani pada kegiatan SL-P2KP, (2) peran penyuluh, (3) Intensitas pembicaraan petani dengan penyuluh didalam pertemuan SL-P2KP, (4) Intensitas pembicaraan petani dengan sesama (5) Intensitas pembicaraan petani dengan penyuluh di luar pertemuan SL-P2KP (6) Frekuensi pertemuan petani dengan penyuluh dalam pertemuan SL-P2KP dan (7) Frekuensi pertemuan petani dengan penyuluh diluar pertemuan SL-P2KP. Efektivitas Komunikasi Efektivitas berasal dari kata efektif yang berarti tercapai keberhasilan yang telah ditetapkan. Menurut Tubbs dan Moss (2005) efektivitas komunikasi erat kaitannya dengan tujuan, yang biasanya menghasilkan pemahaman, kesenangan, mempengaruhi sikap, memperbaiki hubungan dan tindakan. DeVito (1997) menjelaskan bahwa komunikasi selalu mempunyai efek atau dampak atas satu atau lebih orang yang terlibat dalam tindak komunikasi. Efek tersebut adalah dampak intelektual, dampak perubahan sikap (afektif) dan dampak perilaku (psikomotorik). Vardiansyah (2008) Selanjutnya Effendy (2001) mengemukakan bahwa komunikasi dikatakan efektif bila menimbulkan dampak: 1) kognitif, yakni meningkatnya pengetahuan komunikan. 2) afektif, yaitu perubahan pandangan komunikan, karena hatinya tergerak akibat komunikasi dan 3) behavioral yaitu perubahan perilaku atau tindakan yang terjadi pada komunikan. Menurut Berlo (1960), dalam proses komunikasi terdapat unsur-unsur komunikasi yang akan mempengaruhi atau menentukan kejelasan komunikasi yakni: 1) Sumber (source), adalah pihak yang menciptakan pesan, bila diklasifikasikan maka sumber dapat berbentuk lembaga atau organisasi dan personal orang. Sumber informasi memproduksi sebuah pesan untuk dikomunikasikan. 2) Pesan (message), adalah sesuatu yang disampaikan oleh sumber kepada penerima dengan kata lain sebagian produk fisik aktual dari komunikator- 24 komunikan. Pesan dapat disampaikan dengan cara tatap muka atau melalui media komunikasi. Pesan tersebut dapat terdiri dari kata-kata lisan atau tulisan, musik, gambar, dan lain-lain. 3) Saluran (channel), Saluran adalah alat yang digunakan untuk memindahkan pesan dari sumber kepada penerima. Terdapat beberapa pendapat mengenai saluran atau media, misalnya dalam komunikasi antarpribadi panca indera dianggap sebagai media komunikasi. Selain indera manusia, ada juga saluran komunikasi seperti telepon, surat dan telegram yang digolongkan sebagai media komunikasi antarpribadi. Media digunakan dalam komunikasi apabila komunikan berada di tempat yang jauh dari komunikator dan atau jumlahnya banyak (Effendy, 1992). Saluran (channel) adalah media yang menyalurkan isyarat dari pemancar kepada penerima (receiver) 4) Penerima (receiver) Komunikan sering disebut juga sebagai penerima pesan. Penerima adalah pihak yang menjadi sasaran pesan yang dikirim oleh sumber. Penerima bisa terdiri dari satu orang atau lebih, bisa dalam bentuk kelompok, organisasi dan lain sebagainya. 5) Efek (effect). efek adalah tanggapan, respon atau reaksi dari komunikan ketika menerima pesan dari komunikator, dan jawaban lisan atau tertulis dari individu yang memberi respon (tanggapan) ini oleh Sunarjo (1997) di sebut opini. Secara umum komunikasi dinilai efektif bila rangsangan yang disampaikan dan dimaksudkan oleh pengirim atau sumber, berkaitan erat dengan rangsangan rangsangan yang ditangkap dan dipahami oleh penerima. Semakin besar kaitan antara yang dimaksud oleh komunikator dengan yang dipahami komunikan, maka semakin efektif pula komunikasi yang dilaksanakan. Untuk dapat mencapai komunikasi yang efektif, umpan balik diperlukan. Namun umpan balik tidak selalu memberikan hasil positif, karena adakalanya umpan balik ada gangguan. Seringkali saat kita melakukan umpan balik dalam berkomunikasi, namun kemudian tidak memberi respon untuk mendorong timbulnya penerimaan dari umpan balik tersebut. Dengan demikian, diantara orang yang bekomunikasi haruslah tercapai kesamaan pengertian tentang hal yang dikomunikasikan yang berarti berjalan efektif. Komunikasi akan menjadi efektif apabila adanya pemahaman bersama (mutual understanding). Pemahaman bersama (mutual understanding) yang merupakan tujuan dan fungsi utama komunikasi adalah proses pengambilan keputusan bersama yang berdasarkan pada ketidakpastian. Saling mengerti dan persetujuan tentang informasi simbolik yang dibentuk dan dibagi adalah sebuah prasyarat untuk aktivitas sosial dan kolektif lainnya (Rogers & Kincaid 1981). Agar pihak-pihak yang terlibat dalam proses komunikasi dapat saling memahaminya dan karenanya berkomunikasi dengan efektif, mereka harus memiliki sesuatu yang kurang lebih sama dengan latar belakang dan pengalaman. Istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan keadaan yang sama antara pihak-pihak pelaku komunikasi ini adalah homofili. Menurut Rogers (20003), homophily adalah derajat dimana sepasang individu atau lebih yang berkomunikasi dengan cara yang sama. Kesamaan ini bisa saja pada atribut tertentu, misalnya kepercayaan, pendidikan, status sosial, tempat tinggal, etnis, ekonomi dan kesukaannya. 25 Komunikasi akan berjalan efektif apabila ketepatannya dapat ditingkatkan dan gangguannya dapat diperkecil. Oleh karena itu, meningkatkan ketepatan dan mengurangi gangguan harus terjadi pada setiap unsur komunikasi. Unsur-unsur komunikasi tersebut harus dapat memenuhi kriteria sebagai berikut : 1. Seorang komunikator harus memiliki keterampilan berkomunikasi (communication skills), pengetahuan yang luas mengenai apa yang dibahasnya (knowledge), sikap jujur dan bersahabat (attitude), serta mampu beradaptasi dengan sistem sosial dan budaya (social and cultural system). 2. Seorang komunikan harus memiliki kemampuan berkomunikasi, bersikap positif kepada komunikator dan pesan yang disampaikan, memahami isi pesan yang disampaikan, serta perilaku kebiasaan dalam menerima dan menafsirkan pesan. 3. Pesan yang disampaikan harus memenuhi persyaratan kode atau bahasa pesan, kesesuaian isi pesan dengan tujuan komunikasi, serta pemilihan dan pengaturan bahasa dan isi pesan. 4. Media komunikasi harus sesuai denga tujuan yang hendak dicapai, sesuai dengan isi pesan sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat, serta efisien dalam memilih media. Prinsip media harus dapat dilihat, didengar, disentuh, dicium dan dirasakan. Komunikasi dapat dinilai efektif apabila pendengar atau pembaca mengikuti pandangan seorang komunikator, karena ia memiliki daya tarik dalam hal kesamaan (similarity), dikenal baik (familiarity), disukai (liking) dan fisiknya (physic). Kesamaan dimaksudkan bahwa orang bisa terarik pada komunikator karena adanya kesamaan demografik, seperti bahasa, agama, suku, daerah asal, partai atau ideologi. Komunikator yang dikenal baik lebih cepat diterima oleh khalayak daripada mereka yang tidak dikenal. Komunikator yang sudah dikenal kepiawaiannya akan mudah diterima, sebab khalayak tidak akan ragu terhadap kemampuan dan kejujurannya. Selain itu, komunikator juga harus disukai oleh khalayak. Penampilan fisik dan postur badan dinilai penting karena fisik yang cacat bisa menimbulkan ejekan sehingga menganggu jalannya komunikasi (Cangara 2004). Dari penjelasan di atas maka secara umum, didefinisikan efektivitas komunikasi adalah suatu proses komunikasi dimana keempat unsur komunikasi harus berfungsi secara sinergi pada saat proses komunikasi berlangsung, baik dalam konteks fisik/ruang dan waktu, serta diharapkan dari proses komunikasi tersebut muncul efek komunikasi, dan juga menimbulkan gangguan-gangguan (noise) yang dapat memperlancar proses komunikasi itu. Kondisi Sosial Budaya Kondisi sosial budaya masyarakat, yaitu hal-hal yang terdapat atau berhubungan erat dalam kehidupan baik sebagai individu maupun dalam bermasyarakat. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang diteliti meliputi; lingkungan sosial, lingkungan ekonomi dan norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Lingkungan Sosial yaitu kebiasaan yang masih berlaku dalam masyarakat yang meliputi: norma yang ada, organisasi kemasyarakatan yang ada dan tingkat interaksi dengan masyarakat luar.keberadaannya dapat mendorong 26 atau menghambat responden dalam menjalin kerjasama dalam pelaksanaan SLP2KP. Sedangkan lingkungan ekonomi; yaitu kekuatan-kekuatan ekonomi yang ada dalam masyarakat di lokasi penelitian yang secara langsung keberadaannya dapat mendorong atau menghambat responden dalam mengolah hasil usahataninya. Sebagai contoh petani mau menanam tanaman jika ada manfaat dan dapat menghasilkan sehingga meningkatkan pendapatan keluarga. Menurut Muhammad (2009) norma adalah satu set asumsi atau harapan yang dipegang oleh anggota kelompok atau organisasi mengenai tingkah laku yang benar atau yang salah, baik atau buruk, cocok atau tidak cocok, diizinkan atau tidak diizinkan. Kelompok dapat menetapkan secara eksplisit dan implisit norma-norma mereka, norma kelompok sesungguhnya adalah membimbing dan mengkoordinasikan anggota kelompok agar kelompok dapat mencapai tujuannya. Seperti yang DeVito (1997) katakan bahwa pada umumnya kelompok mengembangkan norma atau peraturan mengenai perilaku yang diinginkan, norma dapat bersifat eksplisit maupun implisit yang berlaku bagi anggota perorangan maupun kelompok secara keseluruhan. Walgito (2007) mengatakan bahwa norma kelompok adalah pedoman-pedoman yang mengatur sikap dan perilaku atau perbuatan anggota kelompok. Diperkuat oleh Goldberg dan Larson (2006) yang menjelaskan bahwa norma-norma mengatur tingkah laku anggota kelompok. Norma terdiri dari gambaran (nations) tentang bagaimana seharusnya mereka bertingkah laku. Norma terbagi dalam pola-pola dan menjadi aspek-aspek yang dapat diperkirakan dari kegiatan maupun segi pandangan kelompok. Kecenderungan suatu kelompok untuk selalu menekan anggotanya untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma dan pedoman kelompok, anggota yang menyimpang dari norma-norma kelompok akan didorong untuk merubah tingkah lakunya yang tidak mentaati akan dihukum. Adopsi Inovasi Adopsi. Pada hakekatnya dapat diartikan sebagai proses penerimaan inovasi dan atau perubahan perilaku baik yang berupa; pengetahuan (cognitive), sikap (affective) maupun keterampilan (psychomotoric) pada diri seseorang setelah menerima “inovasi” yang disampaikan Fasilitator oleh Penerima manfaatnya. (Mardikanto, 2010). Penerimaan di sini mengandung arti tidak sekedar “tahu” atau “mau”, tetapi sampai benar-benar melaksanakan atau menerapkannya dengan benar serta menghayatinya dalam kehidupannya, sehingga tetap berlangsung dan berkelanjutan. Selain itu, proses adopsi inovasi juga dapat didekati dengan pemahaman bahwa proses adopsi inovasi itu sendiri merupakan proses yang diupayakan secara sadar demi tercapainya tujuan pembangunan. Hasil penelitian Maksum (1984) menunjukkan bahwa faktor utama petani mengadopsi teknologi embung adalah ekonomi, kemudian teknis dan terakhir budaya. Karakteristik individu yang memiliki hubungan yang cukup kuat dengan adopsi teknologi embung adalah pendidikan, luas pemilikan lahan, kontak dan komunikasi dengan sumber-sumber informasi seperti petani lain, penyuluh dan kelompok tani. Adopsi inovasi di bidang pertanian merupakan hasil dari kegiatan suatu komunikasi peranian dan karena komunikasi itu melibatkan interaksi sosial di 27 antara masyarakat, maka proses adopsi inovasi terkait dengan pengaruh interaksi antar individu, antar kelompok, angota masyarakat atau kelompok masyarakat, juga dipengaruhi oleh interaksi antar kelompok dalam masyarakat. Proses adopsi inovasi yang terjadi pada kelompok tani pada prinsipnya adalah kumlatif dari adopsi individual, sehingga tahapantahapan adopsi inovasi individual juga berlaku bagi tahapan adopsi inovasi kelompok (Soekartawi, 2005). Ibrahim et al (2003) menyebutkan adopsi adalah proses yang terjadi sejak pertama kali seseorang mendengar hal yang baru sampai orang tersebut mengadopsinya. Petani sasaran mengambil keputusan setelah melalui beberapa tahapan dalam proses adopsi. Beberapa tahapan yang harus dilalui yaitu tingkat adopsi sangat dipengaruhi tipe keputusan untuk menerima atau menolak inovasi. Dengan melihat tipe keputusan adopsi inovasi, proses adopsi dapat melalui empat tahap yaitu: tahap mengetahui (knowledge), persuasi (persuasion), pengambilan keputusan (decision) dan konfirmasi (confirmation). Tahapan adopsi Secara konseptual, sebelum masyarakat mau menerima/ menerapkan dengan keyakinannya sendiri, proses adopsi selalu melalui tahapan-tahapan meskipun selang waktu antar satu tahapan dengan yang lainnya itu tidak selalu sama, tergantung sifat inovasi, karakteristik penerima manfaat, keadaan lingkungan (fisik maupun sosial), dan aktivitas/kegiatan yang dilakukan oleh fasilitator. Menurut Rogers (1983) menyatakan proses adopsi inovasi terdiri dari lima tahap, yaitu: a. Awareness atau tahap kesadaran. Petani mulai sadar tentang adanya sesuatu yang baru, mulai terbuka akan perkembangan dunia luarnya, sadar apa yang sudah ada dan apa yang belum. b. Interest atau tumbuhnya tahap minat. Tahap ini ditandai oleh adanya kegiatan mencari keterangan-keterangan tentang hal-hal yang baru diketahuinya. c. Evaluation atau tahap penilaian. Setelah keterangan yang diperlukan diperoleh, mulai timbul rasa menimbang-nimbang untuk kemungkinan melaksanakannya sendiri. d. Trial atau tahap mencoba. Jika keterangan sudah lengkap, minat untuk meniru besar, dan jika ternyata hasil penilaiannya positif, maka dimulai usaha mencoba hal baru yang sudah diketahuinya. e. Adoption atau tahap adopsi. Petani sudah mulai mempraktekkan hal-hal baru dengan keyakinan akan berhasil. Inovasi. Menurut Rogers (2003), inovasi adalah gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh seseorang. Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara subyektif menurut pandangan individu yang menerimanya. Jika suatu ide dianggap baru oleh seseorang, maka ide tersebut adalah inovasi untuk orang tersebut. Konsep ‟baru‟ dalam ide yang inovatif tidak harus baru sama sekali. Inovasi adalah sesuatu ide, perilaku, produk, informasi, dan praktekpraktek baru yang belum banyak diketahui, diterima dan digunakan/diterapkan, dilaksanakan oleh sebagian besar warga masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu, yang dapat digunakan atau mendorong terjadinya perubahan-perubahan di segala aspek kehidupan masyarakat demi selalu terwujudnya perbaikan-perbaikan mutu 28 hidup setiap individu dan seluruh warga masyarakat yang bersangkutan (Mardikanto, 1993). Inovasi adalah suatu gagasan, metode, atau objek yang dapat dianggap sebagai sesuatu yang baru, tetapi tidak selalu merupakan hasil dari penelitian mutakhir. Inovasi sering berkembang dari penelitian dan juga dari petani (Van den Ban dan H.S. Hawkins, 1985). Segala sesuatu ide, cara-cara baru, ataupun obyek yang dioperasikan oleh seseorang sebagai sesuatu yang baru adalah inovasi. Baru di sini tidaklah semata-mata dalam ukuran waktu sejak ditemukannya atau pertama kali digunakannya inovasi tersebut. Hal yang penting adalah kebaruan dalam persepsi, atau kebaruan subyektif hal yang dimaksud bagi seseorang, yang menentukan reaksinya terhadap inovasi tersebut. Dengan kata lain, jika sesuatu dipandang baru bagi seseorang, maka hal itu merupakan inovasi. Rogers (1983) mengemukakan lima karakteristik inovasi yakni: 1. Keunggulan relatif (relative advantage), adalah merupakan tingkatan dimana suatu ide sebagai suatu ide yang lebih baik dari ide-ide sebelumnya dan secara ekonomi menguntungkan 2. Kompatibilitas (compatibility), adalah sejauh mana masa lalu suatu inovasi dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman masa lalu, dan kebutuhan adopter (penerima). Oleh karena itu inovasi yang tidak kompatibel dengan ciri-ciri sistem sosial yang menonjol akan tidak diadopsi secepat ide yang kompatibel. 3. Kerumitan (complexity), adalah suatu tingkatan dimana suatu iinovasi dianggap relative sulit dimengerti dan digunakan. Kesulitan untuk dimengerti dan digunakan, akan merupakan hambatan bagi proses kecepatan adopsi inovasi 4. Kemungkinan untuk dicoba (trialability) adalah suatu tingkatan dimana suatu inovasi dalam skala kecil. Ide baru yang dapat dicoba dalam skala kecil biasanya diadopsi lebih cepat daripada inovasi yang tidak dapat dicoba lebih dahulu 5. Kemampuan diamati (observability), adalah suatu tingkat hasil-hasil suatu inovasi dapat dengan mudah dilihat sebagai keuntungan teknis ekonomis, sehingga mempercepat proses adopsi. Faktor-Faktor yang mempengaruhi adopsi inovasi Tergantung kepada proses perubahan perilaku yang diupayakan, proses pencapaian tahapan adopsi dapat berlangsung secara cepat atau lambat. Jika proses tersebut melalui “pemaksaan” (coersion), biasanya dapat berlangsung secara cepat, tetapi jika melalui “bujukan” (persuasive) atau “pendidikan” (learning), proses adopsi tersebut dapat berlangsung lebih lambat (Soewardi, 1987). Menurut Soekartawi (2005) cepat tidaknya proses adopsi inovasi, juga akan ditentukan oleh faktor internal petani dan faktor luar yang terkait dengan kegiatan usahatani dimana teknologi tersebut digunakan. Karakteristk individu petani adalah cici-ciri atau sifat-sifat yang dimiliki oleh seseorang yang ditampilkan melalui pola pikir, pola sikap dan pola tindakan terhadap lingkungan hidupnya berdasarkan karakteristik internal petani sebagai adopter. Beberapa faktor internal petani sebagai karakteristik individu antara lain:umur, pendidikan, keberanian mengambil resiko, pola hubungan, sikap terhadap perubahan, motivasi 29 berkarya, aspirasi, fatalisme, sistem kepercayaan tertentu dan karakteristik psikologi. Lionberger dan Gwin (Anas 2003) mengungkapkan peubah-peubah yang penting dalam mengkaji masyarakat lokal diantaranya adalah peubah karakteristik. Karakateristik individu meliputi: usia, tingkat pendidikan dan ciri psikologis. Hasil penelitian Utami (2007), menyimpulkan bahwa beberapa aspek karakteristik individu yang memiliki pengaruh besar terhadap perilaku wirausaha dan tingkat kemandirian adalah pendidikan, motivasi berusaha, dan aspek gender melalui intensitas komunikasi dan pemenuhan kebutuhan. Selanjutnya hasil penelitian Manjar (2002), Suwanda (2003), Djunaedi (2003) dan Nugraha menunjukkan terdapat hubungan nyata antara karakteristik individu dengan efktivitas komunikasi. Karakteristik individu tersebut adalah umur, jenis kelamin, pendidikan formal, pendidikan non formal, pendapatan, status kepemilikan lahan, pengalaman menerima bantuan, motivasi dalam berusahatani dan status dalam kelompok. Berdasarkan penjelasan tentang karakteristik individu merupakan ciri kepribadian seseorang yang ada sejak lahir dan berkembang sesuai perkembangan lingkungan. Menurut Far-Far (2011), karakteristik individu merupakan salah satu faktor penting untuk diketahui dalam rangka mengetahui kecenderungan perilaku seseorang atau masyarakat dalam kehidupannya. Kemampuan atau potensi yang dimiliki petani dapat dipelajari melalui karakteristik yang melekat pada diri petani itu sendiri. Karakteristik individu tersebut meliputi: umur, pendidikan, pendapatan, pengalaman dan luas lahan petani merupakan karakteristik yang berhubungan nyata dan sangat nyata dengan perilaku komunikasi interpersonal. Hubungan tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi umur, pendidikan, pendapatan dan luas lahan yang dimiliki petani, cenderung komunikasi interpersonal semakin tinggi dan baik. Selanjutnya Rogers dan Shoemaker (1971) menyatakan proses pengambilan keputusan para petani apakah menerima atau menolak suatu inovasi tergantung pada sikap mental (sikap terhadap pengubahan), situasi intern dan situasi ekstern. Situasi intern individu dipengaruhi antara lain oleh usia, tingkat pendidikan formal dan pendidikan nonformal, pengalaman bertani padi, keberanian mengambil resiko dan tingkat kekosmopolitan. Disamping karakteristik individu petani terdapat karakteristik usahatani atau faktor situasional yang akan mempengaruhi proses adopsi inovasi teknologi pertanian oleh petani. Peubah yang terdapat pada karakter usahatani antara lain adalah: luas pengelolaan lahan, biaya pengolahan lahan, produktivitas lahan dan harga jual gabah perkilogram dapat mempengaruhi tingkat kecepatan adopsi inovasi teknologi oleh petani. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa untuk dapat melakukan aktivitas komunikasi, seseorang mempunyai karakteristik tertentu. Sehubungan dengan penelitian ini, karakteristik individu anggota KWT yang akan diamati adalah umur, tingkat pendidikan, pemilikan lahan, pemanfaatan lahan, tingkat keterlibatan dalam kelompok. 30 Kerangka Pemikiran Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) merupakan kegiatan baru guna mendukung anjuran pemerintah untuk menjaga dan menjamin ketahanan pangan melalui pemberdayaan kelompok wanita tani. Di Kecamatan Prambanan dan di Kabupaten Sleman. Mengenai program utama P2KP terbagi dalam empat bidang yaitu pemberdayaan kelompok wanita tani melalui optimalisasi pemanfaatan pekarangan (OPP), pengembangan pangan lokal, sosialisasi dan promosi penganekaragaman konsumsi pangan, dan pengembangan rumah pangan lestari (RPL). Implementasi gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) pada tahun 2012 merupakan keberlanjutan dari tahun 2010 dan 2012 yang dilaksanakan dalam bentuk kegiatan Pemberdayaan kelompok wanita tani melalui optimalisasi pemanfaatan pekarangan (OPP) dan pemanfaatan pangan lokal sebagai sumber karbohidrat, dilaksanakan dalam bentuk sekolah lapangP2KP. SL- P2KP adalah model pelatihan yang dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan, proses berlatih melatih dilaksanakan melalui kegiatan belajar sambil mengerjakan dan belajar untuk menemukan atau memecahkan masalah dalam suatu kelompok. Sasaran pelaksanaan kegiatan lebih difokuskan kepada kelompok wanita tani. Kelompok wanita tani terdiri dari ibu-ibu yang terlibat dalam kelompok PKK atau dasa wisma. Tujuan kegiatan dilakukan sebagai upaya untuk mengembangkan pola pikir kelompok wanita tani tentang konsumsi pangan beragam, bergizi, seimbang dan aman melalui kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan (OPP). Pola komunikasi kelompok wanita tani meliputi; model komunikasi (arah, saluran/media yang digunakan, dan cara penyampaian), penggunaan bahasa, dan sumber yang berlangsung dalam proses belajar. Proses belajar mengajar sekolah lapang-P2KP tidak berhasil begitu saja karena dipengaruhi oleh faktor karakteristik individu. Di sisi lain faktor penting yang mempengaruhi yaitu faktor dari luar (eksternal) meliputi kondisi sosial budaya masyarakat. Efektivitas komunikasi Kelompok Wanita Tani diukur dari dengan melihat aspek pegetahuan, aspek afeksi dan aspek perilaku yang dapat mengarah pada perubahan perilaku penganekaragaman konsumsi pangan. Perubahan perilaku dilihat dari pola konsumsi/kebiasaan makan, pola pemanfaatan lahan pekarangan/pola menanam dan efektivitas komunikasi yang terjadi saat penyampaian informasi setelah mengikuti SL-P2KP kepada anggota keluarga dan masyarakat sekitar. Berdasarkan uraian tersebut, maka secara sederhana alur penelitian tentang Sekolah Lapang Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (SLP2KP) Sebagai Media Komunikasi di kecamatan Prambanan Kabupaten Sleman dapat dilihat pada gambar 2. 31 Karakteristik Individu 1. Umur 2. Tingkat Pendidikan 3. Kepemilikan dan pemanfaatan lahan 4. Keterlibatan dalam kelompok Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Intensitas Komunikasi Dalam Pelaksanaan SL-P2KP Pola Komunikasi SLP2KP 1. Model Komunikasi 2. Bahasa 3. Sumber informasi Efektivitas Komunikasi - Tingkat Pengetahuan - Tingkat Afeksi Perubahan Perilaku Gambar 2. Alur Berpikir Mengenai Pola Komunikasi dalam kegiatan SL-P2KP. Keterangan: : Analisis kuantitatif : Deskripsi kualitatif Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini hipotesis adalah: 1. Ada hubungan antara intensitas komunikasi dalam SL-P2KP dengan efektifitas komunikasi (perubahan pengetahun, afeksi dan perilaku) pada masyarakat. 2. Ada hubungan antara tingkat pengetahuan dan tingkat afeksi tentang SLP2KP dengan tingkat perilaku pelaksanaan Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan dalam masyarakat. 32 Definisi Operasional Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner yang berisi daftar pertanyaan yang berhubungan dengan peubah-peubah yang dikaji meliputi; karakteristik responden, kondisi sosial budaya masyarakat, pola komunikasi, efektivitas komunikasi dan intensitas komunikasi yang telah disiapkan sebelumnya. Instrumen pengumpulan data adalah alat bantu yang digunakan peneliti dalam kegiatan mengumpulkan data agar kegiatan penelitian menjadi sistematis dan mudah (Kriyantono 2008). 1. Karakteristik anggota kelompok wanita tani adalah ciri kepribadian yang ada pada individu sejak lahir dan berkembang sesuai dengan kondisi lingkungan. Karakteristik responden meliputi; umur, tingkat pendidikan, luas lahan pekarangan dan pemanfaatannya, dan keterlibatan dalam kelompok. a. Umur adalah jumlah tahun usia responden yang dihitung sejak kelahirannya sampai waktu penelitian dilakukan, skala pengukuran yang digunakan adalah ordinal dikategorikan: 1. 20-34 tahun adalah usia muda 2. 35-54 tahun usia dewasa 3. 55 tahun keatas adalah usia tua b. Tingkat p e ndidikan adalah j e n j a n g p e n d i d i k a n f o r m a l yang pernah diikuti oleh responden sampai dengan waktu penelitian dilakukan, skala pengukuran yang digunakan adalah ordinal dan dikategorikan; 1. Tidak sekolah – SD rendah dengan skor 1 2. SMP sedang skor 2 3. SMA ke atas tinggi dengan skor 3 c. Luas lahan adalah satuan luas lahan pekarangan yang diperuntukkan kepada setiap petani dengan kategori; 1. Sempit kurang dari 100 m2 skor 1 2. Sedang 100-300m2 skor 2 3. Luas lebih dari 300m2 skor 3 d. Pemanfaatan lahan pekarangan adalah satuan luas lahan pekarangan yang dimanfaatkan oleh petani dengan kategori; 1. Sempit (kurang dari 100 m2) skor 1 2. Sedang (100-300m2) skor 2 3. Luas (lebih dari 300m2) skor 3. e. Keterlibatan dalam kelompok yaitu keterlibatan seseorang dalam kelompok dan yang mendorongnya untuk memberikan kontribusi bagi kelompok, seperti; status dalam kelompok, kehadiran, keaktifan dalam menjalankan kewajibannya. Indikator yang diukur adalah: jangka waktu lama terlibat dengan kategori: 1. Baru saja skor 1 (kurang dari 3 tahun) 2. Sedang skor 2 (5 tahun) 3. Lama skor 3 (lebih dari 7 tahun) status dalam kelompok: pengurus dan anggota, serta kehadiran dalam pertemuan yang dikategorikan: 1. Selalu skor 3 2. Kadang-kadang skor 2 3. Tidak pernah skor 1 2. Kondisi sosial budaya masyarakat merupakan deskripsi rinci mengenai dasar 33 3. 4. untuk menentukan strategi yang dapat digunakan untuk pelaksanaan program. Kondisi sosial budaya masyarakat terdiri dari; lingkungan sosial, lingkungan ekonomi dan norma atau aturan adat dalam masyarakat. 1. Lingkungan sosial yaitu lingkungan masyarakat disekeliling responden yang keberadaannya dapat mendorong atau menghambat responden dalam menjalin kerjasama dalam pelaksanaan SL-P2KP. 2. Lingkungan ekonomi, yaitu kekuatan-kekuatan ekonomi yang ada dalam masyarakat di lokasi penelitian yang secara langsung keberadaannya dapat mendorong atau menghambat responden dalam mengolah hasil usahataninya. Sebagai contoh petani mau menanam tanaman jika dapat menghasilkan sehingga meningkatkan pendapatan keluarga. 3. Norma atau aturan adalah harapan yang dipegang oleh anggota kelompok atau organisasi mengenai tingkah laku yang benar atau yang salah, baik atau buruk, cocok atau tidak cocok, suka atau tidak suka. Norma sesungguhnya adalah membimbing dan mengkoordinasikan anggota kelompok agar kelompok dapat mencapai tujuannya. Pola komunikasi SL-P2KP adalah komunikasi yang terjadi diantara pemberi informasi (penyuluh) dan penerima informasi (anggota kemlompok wanita tani) saat sekolah lapang berlangsung atau setelah sekolah lapang. Pola komunikasi terdiri dari; model komunikasi (meliputi; cara, arah, dan saluran), bahasa yang digunakan, dan sumber. a. Model komunikasi merupakan bagian dari proses komunikasi yang terjadi dalam pelaksanaan SL-P2KP. Model komunikasi dapat dilihat dari: 1) Cara atau metode yang digunakan menyampaikan informasi kegiatan SLP2KP seperti diskusi, ceramah pertemuan kelompok dan praktek lapang, gambar poster dengan pilihan cara mana yang paling sering atau disukai petani 2) Arah komunikasi yang digunakan dalam kegiatan SL-P2KP yakni: banyak arah skor 1, satu arah skor 2; dan dua arah skor 3. skala yang digunakan adalah ordinal; rendah, sedang dan tinggi; 3) Saluran/media komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan informasi kegiatan SL-P2KP ini adalah papan pengumuman, poster/alat peraga, Televisi (TV) dan surat edaran/undangan dengan pilihan mana yang disukai petani responden. b. Bahasa yang dimaksud adalah bahasa apa yang digunakan oleh PPL/THL ketika mensosialisasikan kegiatan SL-P2KP. Bahasa Indonesia skor 1, bahasa Jawa dengan skor 2 dan bahasa campuran (bahasa Jawa dan Indonesia) dengan skor 3. c. Sumber adalah siapa dan bagaimana informasi disampaikan kepada anggota KWT yakni; kontak tani, penyuluh, pendamping P2KP dan sesama anggota dengan pilihan mana yang paling banyak digunakan dan paling banyak disukai petani. Intensitas komunikasi adalah seberapa sering atau frekuensi waktu yang digunakan dalam berkomunikasi seperti yang dilakukan diantara petani dengan penyuluh dan di antara sesama anggota. Intensitas komunikasi yang diteliti dalam penelitian ini terdiri dari: kehadiran penyuluh dalam pertemuan SL-P2KP, peran dari penyuluh, pembicaraan di dalam dan diluar pertemuan diantara petani dengan penyuluh, pembicaraan diantara sesama anggota KWT dan frekuensi bertemu 34 yang dilakukan oleh penyuluh kepada anggota KWT baik di dalam maupun di luar pertemuan untuk membicarakan tentang kegiatan SL-P2KP. a. Kehadiran penyuluh adalah jumlah waktu penyuluh hadir dan memberikan materi dalam kegiatan Sekolah Lapang-P2KP. Intensitas diukur dengan kategori; tidak pernah skor 1, kadang-kadang skor 2, dan selalu skor 3. a. Pembicaraan petani dengan penyuluh di dalam pertemuan adalah frekuensi membicarakan tentang kegiatan terkait kegiatan Sekolah Lapang-P2KP. Intensitas komunikasi di ukur dengan kategori; tidak pernah skor 1, kadangkadang skor 2, dan selalu dengan skor 3. b. Pembicaraan di antara sesama petani adalah frekuensi membicarakan tentang kegiatan terkait kegiatan Sekolah Lapang-P2KP. Intensitas komunikasi di ukur dengan kategori; tidak pernah skor 1, kadang-kadang skor 2, dan selalu dengan skor 3. c. Pembicaraan petani dengan penyuluh di luar pertemuan adalah frekuensi membicarakan tentang kegiatan terkait kegiatan Sekolah Lapang-P2KP. Intensitas komunikasi di ukur dengan kategori; tidak pernah skor 1, kadangkadang skor 2, dan selalu dengan skor 3. d. Petani dan penyuluh bertemu di dalam SL-P2KP. Intensitas komunikasi di ukur dengan kategori; tidak pernah skor 1, kadang-kadang skor 2, dan selalu dengan skor 3. e. Petani dan penyuluh bertemu di luar SL-P2KP. Intensitas komunikasi di ukur dengan kategori; tidak pernah skor 1, kadang-kadang skor 2, dan selalu dengan skor 3. 5. Efektivitas komunikasi adalah perubahan yang terjadi dalam diri responden sebagai akibat dari proses komunikasi, yang mana perubahan tersebut meliputi; peningkatan pengetahuan, perubahan afeksi dan perubahan perilaku. Dalam penelitian ini efektivitas yang dikaji adalah; a. Pengetahuan yakni mengenai kegiatan SL-P2KP adalah perubahan dalam diri responden sebagai akibat dari proses komunikasi, perubahan yang terjadi adalah peningkatan pengetahuan atau memahami konsep program P2KP (tujuan, sasaran dan manfaat bagi masyarakat). Diukur dengan menggunakan skala ordinal; rendah, dan tinggi. b. Tingkat Afeksi adalah pandangan petani untuk mengikuti dan atau mengabaikan materi pendampingan dan kegiatan-kegiatan P2KP yang dilaksanakan. Diukur dengan menggunakan skala ordinal dan hasilnya dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu tidak mendukung, dan mendukung. c. Tingkat perilaku adalah perubahan perilaku atau tindakan yang terjadi pada diri petani, sebagai akibat dari proses komunikasi, dimana perubahan dimaksud adalah menyangkut keterlibatan aktif untuk melaksanakan program P2KP sesuai prosedur atau panduan yang berlaku. Diukur dengan menggunakan skala ordinal dan hasilnya dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu tidak sesuai, dan sesuai. 35 3 METODOLOGI PENELITIAN Desain Penelitian Penelitian ini dirancang sebagai metode penelitian survei yang bersifat deskriptif dan inferensial. Sebagaimana yang dikatakan oleh Faisal (2001), penelitian deskriptif dimaksudkan untuk eksplorasi dan klarifikasi mengenai sesuatu fenomena atau kenyataan sosial dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti. Sementara itu, menurut Singarimbun dan Effendi (2010) desain penelitian survei adalah penelitian yang mengambil contoh dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok. Pada penelitian ini mencoba mencermati secara mendalam fenomena-fenomena intensitas komunikasi yang terjadi di dalam Sekolah Lapang-P2KP dan hubungannya dengan efektivitas komunikasi (tingkat pengetahuan, tingkat afeksi dan perilaku). Peubah yang diamati dalam penelitian ini terdiri dari peubah bebas dan peubah terikat. Peubah bebas adalah Karakteristik Individu, Kondisi sosial budaya masyarakat, Pola komunikasi SL-P2KP, serta intensitas komunikasi dan peubah terikat yakni Efektivitas Komunikasi. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Desa Sumberharjo dan Desa Madurejo Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman - Yogyakarta. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive). Alasan pemilihan lokasi karena Desa Sumberharjo dan Desa Madurejo adalah sebagai penerima kegiatan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) berbasis sumber daya lokal. Secara geografis Kecamatan Prambanan berada agak jauh dari pusat kota (39,4 km), tetapi dapat ditempuh dengan kendaraan. Pelaksanaan penelitian dilaksanakan pada bulan Juli- September 2012. Populasi dan Responden Penelitian Populasi merupakan keseluruhan objek atau fenomena yang diteliti. Kriyantono (2008) menyebut populasi sebagai wilayah generalisasi yang terdiri dari obyek atau subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh periset untuk dipelajari. Populasi dapat berupa orang, organisasi, kata-kata dan kalimat juga simbol-simbol non verbal. Menurut Arikunto populasi adalah keseluruhan subyek penelitian. Apabila seseorang ingin meneliti semua elemen yang ada di wilayah penelitian, maka penelitiannya merupakan penelitian populasi. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pengurus dan anggota kelompok wanita tani, baik sebagai koordinator, sekretaris, bendahara, ketua bidang pendidikan, ketua bidang humas, ketua bidang ekonomi di Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman sesuai data BPKP tahun 2012. Jumlah populasi 36 peserta SL-P2KP adalah 164 orang dari 2 kelompok wanita tani. Daftar namanama kelompok wanita tani di Kecamatan Prambanan Kabupaten Sleman secara lengkap dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Nama kelompok wanita tani di Kecamatan Prambanan Nama Kelompok Desa Mawar Sumberharjo* Murih Mulyo Wukirharjo Girikarto Gayamharjo Margo Waluyo Sambirejo Perintis Madurejo* Bokoharjo Bokoharjo Jumlah Total 29 20 34 20 31 30 164 Sumber: Laporan PPL Desa Penerima kegiatan SL-P2KP Di kecamatan Prambanan terdapat enam kelompok wanita tani (KWT) di enam desa yakni; kelompok wanita tani Mawar, kelompok wanita tani Perintis, kelompok wanita tani Murih Mulyo, kelompok wanita tani Margo Waluyo, kelompok wanita tani Sambirejo, dan kelompok wanita tani Bokoharjo. Namun demikian kondisi di lapang, hasil survey awal adalah dua kelompok wanita tani (KWT Mawar dan Perintis) yang terpilih sebagai penerima SL-P2KP. Dalam penelitian ini teknik pengambilan responden dilakukan dengan metode sensus. Responden yang diambil merupakan peserta sekolah pelatihan SLP2KP yang berjumlah 60 orang di Desa Sumberraja dan desa Maduraja Kecamatan Prambanan Kabupaten Sleman. Data dan Pengumpulan Data Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan panduan kuisioner dan observasi langsung ke lapangan. Data sekunder diperoleh dari hasilhasil penelitian sebelumnya dan dari berbagai instansi yang terkait dangan penelitian ini. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan terhadap petani yang merupakan anggota kelompok wanita tani (KWT) peserta SL-P2KP sesuai dengan data Kantor Badan Ketahanan Pangan Penyuluh Pertanian Kabupaten Sleman pada tahun 2012 di wilayah Kecamatan Prambanan. Pengumpulan data tersebut dilakukan dengan cara mengajukan butir-butir pertanyaan atau pernyataan kepada petani dan penyuluh melalui, wawancara terstruktur dengan menggunakan kuesioner, informan dengan panduan pertanyaan untuk melengkapi data penelitian dan observasi secara langsung di lapangan untuk memperoleh gambaran umum wilayah, situasi dan kondisi penelitian. Menurut Wimmer dan Sendjaya (Kriyantono 2008) menjelaskan metode pengumpulan data adalah teknik atau cara-cara yang dapat digunakan peneliti untuk mengumpulkan data. Dalam riset kuantitatif dikenal metode 37 pengumpulan data berupa kuisioner, wawancara dan dokumentasi. Data yang dikumpulkan menggunakan metode survey. Agar data lebih akurat maka dalam penelitian dilengkapi dengan data kualitatif untuk menjelaskan kondisi di lapangan. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data yang terkumpul diolah kemudian dianalisis sesuai dengan kebutuhan untuk menjawab rumusan masalah dan tujuan penelitian serta untuk menguji hipotesis penelitian. Teknik pengolahan data digunakan analisis kuantitatif dan untuk mendukung dan mempertajam analisis kuantitatif dilengkapi dengan informasi berdasarkan data kualitatif. Analisis data kuantitatif dalam penelitian ini berupa: (1) analisis statistik deskriptif, dan (2) analisis statistik inferensial berupa analisis uji Chi Square. 1) Analisis statistik deskriptif digunakan untuk menganalisis data peubah (a) karakteristik individu, (b) kondisi lingkungan sosial budaya, (c) pola komunikasi secara umum. Analisis statistik deskriptif berupa frekuensi, persentase, rataan skor, total skor dan tabulasi silang. Analisis statistik deskriptif berupa tabel frekuensi, persentase, dan tabulasi silang. 2) Analisis statistik inferensial digunakan untuk menganalisis sejauh mana hasil yang diperoleh berhubungan dengan analisis data pada sampel untuk penggeneralisasian pada suatu populasi. Untuk melihat hubungan antara intensitas komunikasi dengan efektivas komunikasi yang meliputi aspek kognitif (pengetahuan), afeksi, dan konatif (perilaku), dan hubungan antara aspek pengetahuan dan afeksi dengan perilaku dianalisis menggunakan metode Chi-Square (Khi Kuadrat) dengan rumus: X2= ∑ (f0 – fe)2 Fe Di mana: χ2: Nilai khi-kuadrat f0: Nilai yang diamati fe: Nilai yang diharapkan 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Luas Wilayah Kabupaten Sleman adalah 57.482 Ha atau 574,82 Km2 atau sekitar 18% dari luas Propinsi Daerah Istimewa Jogjakarta 3.185,80 Km2, dengan jarak terjauh Utara – Selatan 32 Km, Timur – Barat 35 Km. Geografis Kabupaten Sleman terletak diantara 107° 15′ 03″ dan 107° 29′ 30″ Bujur Timur, 38 7° 34′ 51″ dan 7° 47′ 30″ Lintang Selatan. Secara administratif terdiri 17 wilayah Kecamatan, 86 Desa, dan 1.212 Dusun. Topografi wilayah Kabupaten Sleman keadaan tanahnya dibagian selatan relatif datar kecuali daerah perbukitan dibagian tenggara Kecamatan Prambanan dan sebagian di Kecamatan Gamping. Makin ke utara relatif miring dan dibagian utara sekitar Lereng Merapi relatif terjal serta terdapat sekitar 100 sumber mata air. Hampir setengah dari luas wilayah merupakan tanah pertanian yang subur dengan didukung irigasi teknis di bagian barat dan selatan. Topografi dapat dibedakan atas dasar ketinggian tempat dan kemiringan lahan (lereng). Ketinggian wilayah Kabupaten Sleman berkisar antara kurang dari 100 sampai dengan lebih dari 1000 m dari permukaan laut. Iklim Kabupaten Sleman termasuk beriklim tropis basah dengan musim hujan antara bulan Nopember-April dan musim kemarau antara bulan MeiOktober. Pada tahun 2000 banyaknya hari hujan 25 hari terjadi pada bulan Maret, namun demikian rata-rata banyaknya curah hujan terdapat pada bulan Februari sebesar 16,2 mm dengan banyak hari hujan 20 hari. Adapun kelembaban nisbi udara pada tahun 2000 terendah pada bulan Agustus sebesar 74 % dan tertinggi pada bulan Maret dan November masing-masing sebesar 87 %, sedangkan suhu udara terendah sebesar 26,1 derajad celcius pada bulan Januari dan Nopember dan suhu udara yang tertinggi 27,4 derajad celcius pada bulan September . Kecamatan Prambanan adalah salah satu Kecamatan di Kabupaten Sleman berada di sebelah Timur Laut dari Ibukota Kabupaten Sleman. Jarak Ibukota Kecamatan ke Pusat Pemerintahan (Ibukota) Kabupaten Sleman adalah 25 Km. Lokasi ibu kota kecamatan Prambanan berada di 7.756„ LS dan 110.49„ BT. Kecamatan Prambanan mempunyai luas wilayah 1.559 Ha. Batas-batas wilayah administratif Kecamatan Prambanan sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Kalasan, sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Prambanan Klaten Jawa Tengah, sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Piyungan dan sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Berbah. Kecamatan Prambanan berada di dataran rendah. Ibukota Kecamatannya berada pada ketinggian 149 meter diatas permukaan laut. Kecamatan Prambanan beriklim seperti layaknya daerah dataran rendah di daerah tropis. Suhu tertinggi yang tercatat di Kecamatan Prambanan adalah 33ºC dengan suhu terendah 22ºC. Bentangan wilayah di Kecamatan Prambanan berupa tanah yang datar, berombak dan sebagian berupa perbukitan. Wilayah Kecamatan Prambanan dihuni oleh 13.214 KK. Jumlah keseluruhan penduduk Kecamatan Prambanan adalah 45.244 orang dengan jumlah penduduk laki-laki 21.723 orang dan penduduk perempuan 23.521 orang dengan kepadatan penduduk mencapai 1.063 jiwa/km2. Sebagian besar penduduk Kecamatan Prambanan adalah Petani. Dari data monografi Kecamatan tercatat 12.960 orang atau 28.65 % penduduk Kecamatan Prambanan bekerja di sektor pertanian. Secara administratif Kecamatan Prambanan terdiri dari 6 desa, dan 68 Padukuhan. Distribusi luas wilayah di sajikan pada Tabel 2. 39 Tabel 2 Distribusi nama dan luas desa di wilayah Kecamatan Prambanan Tahun 2010 Desa Luas Area (Km2) Sumberharjo* 9,17 Wukirharjo 4,75 Gayamharjo 6,55 Sambirejo 8,39 Madurejo* 7,09 Bokoharjo 5,40 Total 41,35 * lokasi penelitian Sumberdaya Manusia (SDM) Sumber daya manusia memegang peranan penting dalam pembangunan. Oleh karena itu dalam melaksanakan pembangunan suatu wilayah perlu diketahui keadaan sumber daya manusia yang ada di wilayah tersebut. Semakin lengkap dan tepat data mengenai sumber daya manusia yang tersedia, semakin mudah dan tepat pula perencanaan pembangunan yang di buat. Sumber daya manusia di Kecamatana Pramabanan dilihat dari potensi penduduk yang bekerja menurut kelompok umur dan jumlah penduduk menurut jenis pekerjaan. Potensi sumberdaya manusia di Kecamatan Prambanan secara terperinci disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Jumlah penduduk Kecamatan Prambanan yang Bekerja menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin (2010) Kelompok Umur (Tahun) Jenis Kelamin 15-19 20 -24 25-34 >35 Jumlah Laki-laki 794 3.213 3.762 5.770 13.539 Perempuan 589 2.837 1.928 3.201 8.555 Total 1.380 6.050 8.971 22.094 5.690 Sumber : BPS Kabupaten Sleman, 2010 Tabel 3 menunjukkan bahwa dari segi jumlah, penduduk Kecamatan Prambanan yang bekerja didominasi oleh mereka yang berusia 35 tahun ke atas yakni 8.971 orang, kemudian mereka yang berusia 20 – 24 tahun, diikuti mereka yang berusia 25 – 34 tahun dan selanjutnya usia 15 – 19 tahun. Berkaitan dengan upaya pengembangan bidang pertanian di wilayah tersebut, gambaran jumlah penduduk di atas cukup mendukung. Hal ini dapat dilihat juga pada jumlah sebaran penduduk Kecamatan Prambanan menurut pekerjaan, yang mana hampir sebagian penduduk bekerja sebagai petani. Jumlah penduduk menurut jenis pekerjaan Pegawai Negeri Sipil (PNS), TNI/POLRI, Swasta, petani, tukang, dan lainnya (sopir, tukang ojek) dan yang tidak bekerja di Kecamatan Prambanan dapat dilihat pada Tabel 4. 40 Tabel 4 Jumlah Penduduk menurut Pekerjaan Utama di Kecamatan Prambanan Tahun 2010 Pekerjaan Utama Desa PNS TNI Swasta Tani Tukang Lain2 Tdk kerja Sumberharjo* 457 134 532 5.462 747 Wukirharjo 29 4 61 1.821 153 Gayamharjo 127 7 423 2.317 592 Sambirejo 14 8 178 3.382 352 Madurejo* 351 120 162 8.201 892 Bokoharjo 547 61 172 6.247 634 Kecamatan 1.525 334 1.528 27.430 3.370 Sumber : BPS Kabupaten Sleman, 2010 *lokasi penelitian 2.409 427 1.094 1.103 1.932 2.376 9.341 1.679 52 163 62 262 332 2.640 Data Tabel 4 menggambarkan bahwa penduduk Desa Sumberharjo (5.462) dan Desa Madurejo (8.201) lebih banyak yang bermata pencaharian sebagai petani dari pekerjaan lain. Secara ekonomi mata pencaharian penduduk lebih banyak bersumber dari bidang pertanian dan perkebunan. Dengan demikian diharapkan potensi pertanian dapat diterapkan melalui penerapan teknologi inovasi pertanian di pedesaan, serta dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di kecamatan Prambanan. Potensi Pertanian Pertanian di Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman adalah kegiatan usaha yang meliputi budi daya tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan perikanan, kehutanan dan peternakan. Tanaman pangan meliputi padi dan palawija. Tanaman palawija mencakup komoditas jagung, ubi jalar, ubi kayu, kacang tanah, kedelai serta kacang hijau. Hortikultura meliputi sayur-sayuran, buah-buahan, tanaman hias dan tanaman obat-obatan. Secara terperinci data produksi dan rata-rata tanaman pangan dan hortikultura di sajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Produksi dan rata-rata produksi tanaman pangan dan hortikultura di Kecamatan Prambanan, 2008 – 2010 Komoditas Padi Ubi Kayu Jagung Ubi jalar Kacang Tanah Kedelai Melinjo Cabe Petsai/Sawi Luas Panen (Ha) 2,354 505 761 13 705 315 26.936 29 14 Produksi (Ton) 14,567 9,391 4.775 147 696 547 6.024 1.612 1.325 Rata-Rata Produksi (Kw/ha) 61,88 185,96 62,74 113,39 9,87 17,36 22,36 55,59 94,64 Sumber : BPS Kabupaten Sleman, 2010 Tabel 5 menunjukkan produksi padi sawah dan padi ladang Kecamatan Prambanan 14.567 ton. Tanaman palawija dilihat dari segi produksi di dominasi 41 oleh ubi kayu yang mencapai 9.391 ton, jagung 4,775 ton, produksi ubi jalar sebanyak 147 ton. Produksi kacang tanah 696 ton dan kedelai 547 ton. Untuk produksi tanaman sayuran, yang relatif menonjol produksinya adalah melinjo, disusul cabe merah dan petsai/sawi. Pengembangan wilayah pertanian tidak lepas dari kebutuhan akan lahan, baik itu lahan sawah atau lahan pekarangan. Peruntukkan luas lahan secara terperinci seperti: sawah 1.485 ha (35,91%), tegal 945 ha (22,85%), pekarangan 1.145 ha (27,69%) dan lahan seluas 560 ha (13,54%) diperuntukkan untuk lainnya. Kajian ini lebih pada penggunaan atau pemanfaatan lahan pekarangan (optimalisasi pekarangan), sehingga dapat dideskripsikan bahwa wilayah Kecamatan Prambanan dapat dicirikan masyarakat pedesaan yang berbasis pertanian, dengan luasnya areal persawahan yang menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat. Luas lahan dan peruntukannya di Kecamatan Prambanan di lihat pada Tabel 6. Tabel 6 Luas Lahan dan peruntukannya di kecamatan Prambanan Tahun 2010 Peruntukan Lahan Luas (ha) Persentase (%) Sawah 1.485 35,91 Tegal 945 22,85 Pekarangan 1.145 27,69 Lainnya 560 13,54 Total 4.135 100,00 Sumber : BPS Kabupaten Sleman, 2010 Lahan pekarangan berada di sekitar rumah tinggal dan juga sebagai lahan yang dimanfaatkan sebagai alternatif dalam menanggulangi kenaikan harga bahan pangan segar akibat adanya fenomena anomali iklim. Pemanfaatan pekarangan di sekitar pemukiman (rumah tinggal) meliputi; menanam bahan pangan keluarga, mendukung penyediaan bahan pangan untuk keluarga dan pemenuhan sumber gizi keluarga serta menciptakan usaha ekonomi produktif untuk meningkatkan pendapatan keluarga sekaligus menjaga dan memelihara kelestarian lingkungan. Kegiatan pemanfaatan pekarangan ditujukan lebih kepada para ibu yang tergabung dalam kelompok wanita tani. Kecamatan Prambanan memiliki beberapa kelompok tani dan kelompok wanita tani yang aktif, sampling responden untuk penelitian ini diambil dari dua kelompok wanita tani yang mengikuti SL-P2KP khususnya pada kegiatan pemanfaatan pekarangan/optimalisasi pekarangan yaitu kelompok wanita tani Mawar dan kelompok wanita tani Perintis. Kelompok tani (dewasa, wanita) adalah suatu kumpulan petani yang tumbuh berdasarkan kesamaan kepentingan, kondisi lingkungan (ekonomi, sosial) dan keakraban untuk bekerjasama dalam meningkatkan dan mengembangkan hasil produksi usahatani dalam suatu wilayah (desa) yang dibentuk oleh para anggota dengan didukung oleh pemerintah terkait seperti petugas penyuluh lapang (PPL) serta aparat desa. 42 Pelaksanaan SL-P2KP di Kecamatan Prambanan SL-P2KP adalah suatu tempat pendidikan non formal bagi masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam pengembangan pemanfaatan pekarangan dalam rangka penganekaragaman konsumsi pangan sesuai sumber daya lokal. Sekolah Lapang-P2KP dilaksanakan dalam rangka optimalisasi pemanfaatan pekarangan dan dikembangkan atas dasar pemikiran bahwa sistem pelatihan tersebut harus mampu mengubah sasaran dari sikap “ketergantungan” (dependent) ke arah “kemandirian” (independent) kearah kerja dalam kelompok; dari sikap kerja berdasarkan kebiasaan atau petunjuk ke arah sikap kerja rasional; atau dari sekedar bisa bekerja ke arah bekerja secara profesional (ahli). Secara umum tujuan dari pelaksanaan Sekolah Lapang (SL) yakni untuk meningkatkan kopetensi kerja dan perilaku sasaran pelatihan, dengan demikian dapat mempercepat proses alih teknologi dari sumber/perekayasa teknologi sampai ke kelompok perempuan. Tujuan khusus dari pelaksanaan Sekolah Lapang P2KP adalah (a) Membudayakan pemanfaatan pekarangan dalam mendukung penganekaragaman konsumsi pangan di tingkat masyarakat. (b) mempercepat penerapan pengetahuan tentang penganekaragaman konsumsi pangan, sehingga dapat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran dalam mengelola pekarangan. (c) meningkatkan motivasi dan partisipasi masyarakat dalam pengembangan penganekaragaman konsumsi pangan melalui pemanfaatan pekarangan. Sekolah Lapang P2KP berfungsi sebagai media pembelajaran bagi kelompok perempuan, juga sebagai tempat pengambilan keputusan dan sebagai percontohan bagi kawasan lain. Dengan demikian diharapkan bahwa kelompok SL-P2KP akan mampu mengambil keputusan dalam baik secara teknis maupun ekonomis dalam setiap kegiatan pengembangan pemanfaatan pekarangan serta mampu mengaplikasikan pengetahuan, keterampilan sehingga dapat meningkatkan kualitas konsumsi pangan keluarga dan pendapatannya. SL-P2KP tidak terikat dengan ruang kelas, sehingga belajar dapat dilakukan di saung pertemuan, balai desa atau tempat-tempat lain yang berdekatan dengan lahan belajar. Dalam SL-P2KP terdapat satu demplot/kebun kelompok yang merupakan tempat bagi anggota kelompok melaksanakan seluruh kegiatan. Dalam pelaksanaan SL-P2KP, kelompok dibimbing oleh penyuluh pendamping dan tenaga harian lepas setempat sesuai dengan karakteristik daerah masingmasing. Kelompok wanita tani dan petugas penyuluh lapangan, keduanya merupakan mata rantai pemanfaatan teknologi yang saling ketergantungan, saling mendukung, saling menguatkan, dan tak dapat dipisahkan Kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan dilaksanakan dengan metode Sekolah Lapang (SL). Metode ini menggunakan pendekatan praktek langsung dalam pengembangan pekarangan mulai dari aspek budidaya hingga pengolahan hasil pekarangan dengan tetap memperhatikan kebutuhan gizi keluarga sehari-hari dan kelestarian lingkungan. Pendekatan dilakukan dengan mengembangkan pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) mengutamakan pemanfaatan sumber daya lokal dan pengetahuan lokal (local wisdom) agar tetap menjaga kelestarian lingkungan. Metode pemberdayaan kelompok wanita optimalisasi pemanfaatan pekarangan adalah Sekolah Lapang (SL) melalui 43 pendampingan Penyuluh P2KP desa bekerjasama dengan Penyuluh Pendamping P2KP Kabupaten/Kota serta dikoordinasikan oleh aparat Kabupaten/Kota. Pemberdayaan kelompok perempuan dilaksanakan melalui kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan di 5.700 desa pada 358 kabupaten/kota di 33 provinsi dan pengembangan usaha rumah tangga (Pedumn P2KP, 2012). Berdasarkan kajian identifikasi Calon Penerima dan Calon Lokasi (CP/CL) dari Pusat Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian RI melalui Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Kabupaten. Dengan demikian dapat diartikan bahwa untuk keberlanjutan dari pengembangan kegiatan produktif masyarakat tidak hanya terbatas produksi pekarangan ke meja makan/dikonsumsi (from farm to table), tetapi dapat berkembang dari pekarangan menuju pasar/dijual (from farm to market) dan memberikan nilai tambah. Kegiatan sekolah lapang-P2KP dilaksanakan pada kelompok wanita tani Mawar di Padukuhan Daleman desa Sumberharjo dan pada kelompok wanita tani Perintis di Padukuhan Madurejo desa Gangsiran yang dilaksanakan melalui proses pemilihan desa yang dilakukan berdasarkan identifikasi Calon Penerima dan Calon Lokasi (CP/CL) sesuai dengan kriteria, yaitu; a) Memiliki kelompok yang sudah eksis namun bukan penerima bansos lainnya dan b) Memiliki pekarangan baik kelompok maupun anggota. Kelompok Wanita Tani (KWT) Mawar Kelompok wanita tani (KWT) Mawar terletak di kampung Daleman desa Sumberharjo berlokasi di RW 03/ RT 01. Lingkup RW 03 terdiri dari RT 01, RT 02, dan RT 03. Kelompok wanita tani Mawar di bentuk berdasarkan berita acara pembentukan kelompok yang ditandatangani oleh kepala desa sejak tahun 2005 dan masih berlangsung hingga sekarang. Struktur organisasi kelompok wanita tani Mawar terdiri dari tujuh orang pengurus; Ketua, Sekretaris dan Bendahara. Anggota kelompok wanita tani mawar tidak semua bekerja sebagai petani ada juga yang pegawai negeri (PNS). Jumlah keseluruhan anggota 29 orang. (Data terlampir). Kegiatan sekolah lapang P2KP di laksanakan pada akhir bulan Juni dan awal bulan Juli tahun 2012. Saat penelitian pertemuan sekolah lapang-P2KP baru lima (5) kali dilakukan. Waktu pelaksanaan tiap hari selasa jam 10.00 sampai 11.00 waktu setempat. Untuk waktu disesuaikan dengan aktivitas ibu-ibu di rumah. Tiap pertemuan materi yang diberikan satu sampai dua topik. Materi disiapkan oleh petugas penyuluh lapang (PPL). Lama waktu penyampaian materi satu sampai dua jam tiap pertemuan dengan materi yang disiapkan tetapi juga terkadang disesuaikan dengan kebutuhan petani. Kelompok wanita tani Mawar memiliki kebun bibit kelompok yang ditanami dengan tanaman sayuran, seperti; kangkung cabut, sawi, cabe besar, tomat, seledri dan terung. Selain sayuran juga ada buah-buahan seperti Jambu, jeruk purut, papaya, belimbing, pisang dan rambutan. Kelompok juga memiliki ternak ikan lele. Kelompok tani Mawar telah memiliki satu demplot dan kebun bibit yang berlokasi di halaman rumah ketua kelompok. Untuk ternak lele bertempat di halaman rumah koordinator humas, sementara untuk pengolahan pangan bertempat di rumah Bendahara. 44 Kelompok Wanita Tani (KWT) Perintis Kelompok wanita tani Perintis terletak di Dukuh/Kampung Gangsiran Desa Madurejo dibentuk pada tanggal 05 Januari 2005 yang ditandatangani oleh kepala desa. Nama Perintis di gunakan karena kelompok tani ini merupakan kelompok pertama yang merupakan perintis dalam melakukan berbagai kegiatan untuk perempuan, pula sebagai perintis yang mengikuti kegiatan baik di tingkat desa maupun tingkat Kecamatan. Kelompok wanita tani Perintis pada tanggal 22 Juni 2012 dengan mengacu pada Piagam Pengakuan Kelas Pemula dikukuhkan sebagai kelompok penerima pelaksana SL-P2KP. Struktur organisasi kelompok wanita tani Perintis terdiri dari tujuh orang pengurus; Ketua, Sekretaris dan Bendahara. Anggota kelompok wanita tani Perintis terdiri dari ibu rumah tangga, pegawai negeri, dan pedagang. Jumlah keseluruhan anggota 31 orang. (Data terlampir). Pelaksanaan Sekolah Lapang Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (SL-P2KP) dilaksanakan di RW 09/ RT 04 dukuh Gangsiran, Desa Madurejo. Lingkup RW 09 terdiri dari RT 01, RT 02, RT 03 dan RT 04. Kegiatan sekolah lapang P2KP di laksanakan minggu ke dua bulan Juni tahun 2012. Saat penelitian pertemuan sekolah lapang-P2KP baru empat (4) kali dilakukan. Waktu pelaksanaan tiap hari Rabu jam 13.00 sampai 14.30 waktu setempat. Untuk waktu disesuaikan dengan aktivitas ibu-ibu. Tiap pertemuan materi yang diberikan satu sampai dua topik. Materi disiapkan oleh petugas penyuluh lapang (PPL). Lama waktu penyampaian materi satu sampai dua jam tiap pertemuan dengan materi yang disiapkan tetapi juga terkadang disesuaikan dengan kebutuhan petani. Sementara tempat pelaksanaan kadang di halaman rumah ibu ketua kadang di halaman rumah sekretaris yang mempunyai halaman luas. Dalam pelaksanaan sekolah lapang-P2KP setelah materi dilanjutkan dengan kegiatan praktek, misalnya pada pertemuan ke empat topik materi yang diberikan pembuatan pupuk organik. Setelah menerima materi langsung praktek pembuatan pupuk organik. Kegiatan sekolah lapang-P2KP tidak dilaksanakan pada bulan Agustus karena berkenaan dengan hari raya keagamaan (bulan puasa). Menurut ibu ketua: “sekolah lapang-P2KP ndak ada karena puasa, lah ibu-ibu ngatur waktune susah mba, ya ada yang ngurus anak yang masih kecil dirumah, ada juga yang mesti nganter jemput anak. Jadi untuk waktu disesuaikan dengan aktivitas ibu-ibu di rumah. Hal senada diungkapkan petugas penyuluh lapang (PPL) yang mendampingi selama proses sekolah ;apang berlangsung bahwa kegiatan sekolah lapang akan dilaksanakan pada bulan Juni karena dana yang terlambat diberikan kepada kelompok. Bantuan dana tersebut digunakan untuk menyiapkan bahan dan alat seperti; bibit dan juga pupuk. Begitu pula dengan materi yang disesuaikan dengan kebutuhan dan aktivitas ibu-ibu. Kelompok wanita tani Perintis telah memiliki demplot dan kebun bibit kelompok yang ditanami dengan tanaman sayuran, seperti; kangkung cabut, cabe besar, tomat, seledri, wortel dan terung. Kebun bibit terletak di halaman rumah ibu sekretaris. Kebun bibit kelompok diresmikan pada tanggal 12 Januari 2012. Selain sayuran juga ada buah-buahan seperti papaya belimbing, pisang, kelengkeng dan ternak ikan lele. 45 Komunikasi yang dilakukan baik di KWT Mawar maupun KWT Perintis antara pengurus dan anggota menggunakan surat undangan, demikian pula untuk mengumpulkan anggotanya dalam suatu pertemuan. Dalam proses penyampaian informasi atau kegiatan SL-P2KP menggunakan undangan sebagai salah satu bentuk komunikasi bermedia, yang menyebutkan: “Selama ini kami menggunakan undangan saja mbak, nggak ada yang lain kalau mau pertemuan atau ngumpulin anggota ntar kalau ada yang belum ngerti bisa bertanya dalam pertemuan kelompok ” (pernyataan pengurus). Pertemuan yang dilakukan selain sekolah lapang-P2KP adalah pertemuan kelompok wanita tani. Pertemuan kelompok dilakukan 2-4 kali dalam satu kali musim tanam. Jika itu pertemuan formal yang diundang pengurus, tetapi kalau ada anggota yang mau ikut atau hadir dibolehkan agar dapat menambah wawasan dan pengalaman. Jika itu pertemuan informal maka disampaikan secara lisan dan atau menggunakan telpon seluler untuk anggota yang lainnya. Namun demikian jika ada undangan dari kelurahan atau instansi untuk menghadiri pertemuan atau mengikuti kegiatan maka penyampaiannya secara lisan atau dari mulut ke mulut, sebagai contoh ketika penulis membuat janji dengan salah satu pengurus yang kebetulan datang juga petugas yang membawa undangan perihal surat pertemuan di kantor Balai Wanita dalam rangka sosialisasi ketahanan pangan lokal. “Undangan akan diteruskan ke anggota dengan cara mendatangi dari rumah ke rumah, kalau yang mempunyai telepon seluler akan di sms.“ Jumlah pertemuan dalam pelaksanaan Sekolah Lapang-P2KP sepuluh kali namun yang dilakukan di KWT Mawar dan KWT Perintis baru lima kali pertemuan. Rata-rata responden menghadiri pertemuan tersebut. Dalam pelaksanaan ada sepuluh topik, satu kali pertemuan diberikan satu sampai dua materi yang dilanjutkan dengan praktek lapang. Lama waktu pelaksanaan 2-3 jam. Penyampaian kegiatan sosialisasi SL-P2KP berupa materi dan praktek lapang disampaikan dalam pertemuan kelompok. Dalam SL-P2KP petugas penyuluh lapang (PPL) yang lebih banyak menyampaikan materi, juga selalu diberi kesempatan tanya jawab untuk petani jika belum memahami apa yang disampaikan. Namun demikan ada anggota yang belum atau tidak dapat menyampaikan pertanyaan. Menurut pengakuan responden kadang-kadang saya tidak berani bertanya atau takut salah, ada juga responden yang tidak bertanya karena usia lanjut (70-80 tahun). Informasi yang diterima responden lebih banyak pada saat sekolah lapang P2KP, selain daripada itu tidak ada. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, data dan keterangan dari semua pihak yang terlibat (petani, petugas lapang/ PPL) bahwa pelaksanaan program kegiatan SL-P2KP belum optimal. Secara teknis transfer teknologi dan sosialisasi dari petugas penyuluh lapang (PPL) ke kelompok wanita tani berlangsung dengan baik, namun tidak semua paket materi (jadwal) yang dianjurkan dalam program SL-P2KP dapat diaplikasikan oleh kelompok wanita tani (KWT), disebabkan oleh beberapa faktor seperti; petani cenderung aktif di sawah dan ladang dan adanya kegiatan atau program dari instansi selain Badan Ketahanan Pangan (BKP) sehingga untuk mengatur waktu sedikit susah. Faktor 46 lain yang mempengaruhi jadwal pelaksanaan yang dijadwalkan Mei-Juli ternyata baru terlaksana di bulan Juni akhir. Saat penelitian di bulan Juni-Juli dua kelompok tani Sekolah LapangP2KP masih berlangsung, namun tidak efektif hal ini tejadi karena bertepatan dengan hari raya (waktu puasa dan perayaan Idul Fitri) sehingga tidak dilaksanakan SL-P2KP. Demikian dengan waktu disesuaikan dengan pekerjaan para ibu, seperti di KWT Mawar terjadwal jam 10.00 pagi baru dilaksanakan jam 11 dan atau jam 12.00. Begitu juga di KWT Perintis terjadwal jam 13.00 baru di laksanakan jam 14.00. Selain itu hari yang disepakati bisa tertunda ketika para petani tidak hadir. Alasan tidak hadir karena kegiatan lain atau urusan keluarga maka petugas akan membiarkan dengan alasan bahwa petani jika mempunyai kesibukan. Tidak boleh dipaksa untuk mengikuti kegiatan karena akan menyebabkan kurangnya peserta dan pada pertemuan berikutnya petani tidak mau datang. Karakteristik Responden Penelitian Karakteristik petani merupakan sifat-sifat atau ciri-ciri yang dimiliki seseorang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dan lingkungannya. Karakteristik tersebut terbentuk oleh faktor-faktor biologis dan faktor sosiopsikologis. Karakteristik individu dianggap sebagai salah satu unsur penting yang menentukan tingkat partisipasi serta efektivitas komunikasi sebagai sasaran akhir. Karakteristik anggota KWT yang dikaji dalam penelitian ini adalah umur, tingkat pendidikan, luas lahan pekarangan, dan keterlibatan dalam kelompok. Umur Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa manusia dapat beraktivitas secara maksimal pada kisaran umur 15-55 tahun (umur produktif) sedangkan umur di bawah 15 tahun disebut umur belum produktif dan di atas 55 tahun adalah umur tidak produktif pada kegiatan tertentu. Usia yang lanjut menurut Robbins (2002) menyatakan bahwa semakin tua tenaga kerja maka produktivitas akan menurun. Sementara Lionberger (1960), mengemukakan usia lanjut akan cenderung melakukan usahataninya secara tradisional dan mereka pada umumnya sangat selektif dalam bertindak untuk menggunakan teknologi. Ditinjau dari segi umur, rata-rata petani responden termasuk ke dalam usia produktif (33-54 tahun) usia responden yang paling tua yaitu 80 tahun dan yang paling muda yaitu 20 tahun. Karakteristik responden (petani) dikelompokkan menjadi tiga kategori. Secara terperinci penggolongan umur responden disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat umur Kelompok Umur (tahun) Jumlah (orang) Persentase (%) 20-35 12 20 35-54 33 55 55 ke atas 15 25 Total 60 100 47 Tabel 7 menggambarkan umur anggota kelompok wanita tani (KWT) berkisar antara 20 sampai lebih dari 55 tahun dan sebagian besar berada pada umur dewasa 35-54 tahun (55%), di mana dapat dikatakan termasuk dalam usia produktif. Responden dengan umur tersebut akan dapat melakukan usahatani dan aktivitas lainnya secara produktif. Golongan umur produktif adalah merupakan modal dan potensi yang sangat penting dalam berusahatani yang bermakna dalam kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan jika dipersentasekan sebesar 25 persen, yang diantaranya umur muda 20-34 tahun (20%). Dominasi anggota yang berumur dewasa merupakan salah satu sintesa yang memperkuat asumsi bahwa anggota KWT di Kecamatan Prambanan merupakan anggota yang masih produktif untuk terus berkiprah di berbagai kegiatan SL-P2KP. Keadaan ini menunjukkan kemampuan pengetahuan dan perilaku/tindakan yang masih kuat, sehingga dapat dengan mudah menyesuaikan dan dapat berperan serta dalam semua kegiatan. Tingkat Pendidikan Pendidikan yang cukup dan memadai yang dimiliki oleh seorang petani diharapkan mampu memahami tentang kemampuan dan ketersediaan sumber daya alam yang ada di sekelilingnya (lingkungan sekitarnya) yang dapat mendukung kelangsungan hidupnya, baik terhadap sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable) dan yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable). Tingkat pendidikan petani responden yang tertinggi adalah Sekolah Menengah Atas (SMA) dan tingkat pendidikan terendah adalah Sekolah Dasar (SD). Adapun sebaran tingkat pendidikan petani responden secara terperinci disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan Tingkat pendidikan Jumlah Persentase Tidak Sekolah/SD 34 56,66 SMP 13 21,67 SMA ke atas 13 21,67 Total 60 100,00 Data Tabel 8 terlihat bahwa petani peserta sekolah lapang-P2KP hampir sebagian besar memiliki tingkat pendidikan rendah. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas sumber daya manusia (SDM) di daerah penelitian dapat dikategorikan pada tingkat pendidikan yang (rendah) dengan kondisi tingkat pendidikan masyarakat relatif rendah, maka diharapkan upaya-upaya yang strategis guna meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani dalam berusahatani. Dengan tingkat pengetahuan yang memadai diharapkan petani peka dan tanggap terhadap hal-hal baru dalam berusahatani yang bermakna optimalisasi pemanfaatan pekarangan (OPP) pada kegiatan SL-P2KP secara berkelanjutan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Soehardjo dan Patong (dalam Setiani. dkk,1996) bahwa tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap cara berpikir dalam melakukan usahatani. Semakin tinggi tingkat pendidikan, akan semakin responsif terhadap teknologi inovasi. Tingkat pendidikan anggota kelompok wanita tani yang mengikuti kegiatan SL-P2KP berada pada jenjang Sekolah Dasar (SD) atau dapat dipersentasekan 56,66 persen. Menurut petani, sebagian dari 48 mereka hanya dapat mencapai tingkat pendidikan pada jenjang SD-SMP (saat mereka bersekolah), disebabkan karena keadaan sosial ekonomi pada masa lalu yang belum memungkinkan. Di sisi lain mereka tidak memiliki motivasi untuk mengubah hidup dengan pendidikan dan pasrah menerima keadaan dengan alasan kurangnya biaya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Menurut Tasmara (1997) salah satu fungsi pendidikan adalah proses untuk menguak potensi individu dan cara manusia untuk mampu mengontrol potensi yang telah dikembangkan agar bermanfaat bagi peningkatan kualitas hidupnya. Selanjutnya, kondisi tersebut akan berkontribusi terhadap kemampuan adaptif seseorang dalam merespon dan menerima inovasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendidikan anggota kelompok wanita tani yang mengikuti kegiatan SL-P2KP relatif berpendidikan rendah, secara teoritis diketahui bahwa kemampuan seseorang untuk menerima suatu inovasi dipengaruhi oleh tingkat pendidikannya. Kepemilikan Luas Lahan Pekarangan Lahan dalam kegiatan pertanian merupakan faktor penting dalam produksi dan budidaya pertanian. Kepemilikan luas lahan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pemilikan luas lahan pekarangan. Lahan pekarangan bila dikelola secara optimal dan terencana dapat memberikan manfaat yang sangat besar dalam menunjang kebutuhan gizi keluarga di samping sekaligus untuk keindahan (estetika). Lahan pekarangan dapat dikembangkan sebagai apotik hidup dengan menanami tanaman obat keluarga dan gizi hidup dengan menanam berbagai buah-buahan dan sayuran. Dalam mengelola lahan pekarangan sebaiknya kita menyusun suatu perencanaan penataan lahan pekarangan sehingga areal lahan yang akan dikelola dapat dimanfaatkan secara optimal dan produktif secara berkelanjutan. Strategi implementasi P2KP terkait luas lahan pekarangan yang dimiliki petani peserta SL-P2KP dikelompokkan menjadi tiga strata (spesifik lokasi) oleh Badan Penyuluh Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BP3K Parambanan) yaitu; (a) luas pekarangan kurang dari 100 m2 hanya teras; (b) luas pekarangan 100-300 m2 dan; luas lahan pekarangan lebih dari 300 m2. Secara rinci luas lahan pekarangan disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Jumlah dan persentase responden berdasarkan luas lahan yang dimiliki Luas lahan yang dimiliki Kurang 100 m2 100-300 m2 Lebih 300 m2 Total Jumlah (orang) Persentase (%) 29 18 13 60 48 22 30 100 Tabel 9 menunjukkan bahwa umumnya petani memiliki luas lahan pekarangan kurang dari 100 m2 atau dapat dikatakan berada pada kategori sempit, dengan jumlah 29 petani atau sebesar 48 persen. Artinya, dengan kondisi ini maka petani sangat sulit untuk menerapkan nilai-nilai optimalisasi pemanfaatan pekarangan dalam SL-P2KP, sedangkan yang masuk kategori memiliki lahan sedang sebanyak 22 persen dengan kisaran lahan yang dimiliki antara 100 - 300 49 m2 dan sisanya 30 persen petani berada pada kategori luas dengan luasan lebih dari 300 m2. Pemanfaatan Lahan Pekarangan Lahan pekarangan bila dikelola secara optimal dan terencana dapat memberikan manfaat yang sangat besar dalam menunjang kebutuhan gizi keluarga di samping sekaligus untuk keindahan (estetika). Lahan pekarangan dapat dikembangkan dengan menanam jenis tanaman yang dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Pemanfaatan lahan pekarangan dikelompokkan menjadi tiga (secara spesifik) yakni; lahan sempit kurang dari 100 m2, lahan sedang (100-300 m2) dan lahan pekarangan luas lebih dari 300 m, disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Jumlah dan persentase responden berdasarkan luas lahan yang di manfaatkan Luas lahan yang dimanfaaatkan Kurang dari 100 m 100-300 m2 Lebih dari 300 m2 Total 2 Jumlah (orang) Persentase (%) 40 15 5 60 66,67 25,00 8,33 100 Pada tabel 10 nampak bahwa rata-rata petani (66,67 persen) memanfaatkan lahan pekarangan kurang dari 100 m2. Pemanfaatan lahan pekarangan mengarah pada jenis tanaman yang disesuaikan dengan kondisi halaman dan lingkungan tempat tinggal. Jenis tanaman tersebut adalah tanaman pangan hortikultura yang digunakan sehari-hari. Namun data Tabel 10 menggambarkan petani yang memanfaatkan lahan pekarangan lebih dari 300 m2 sangat kecil atau 8,33 persen artinya petani di kecamatan ini mungkin memandang lahan pekarangan belum begitu penting untuk dilakukan kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan. Kondisi ini didukung dengan sebagian petani memanfaatkan lahan pekarangan untuk usaha meubel dan garasi kendaraan roda empat. Keterlibatan Petani dalam Kelompok Status responden dalam struktur keanggotaan dan keterlibatan dalam kelompok berhubungan dengan tugas dan kewajibannya serta keaktifannya dalam kelompok maupun dalam kegiatan SL-P2KP. Keterlibatan responden dalam kelompok ada yang menjadi pengurus dan ada juga yang menjadi anggota. Jumlah anggota yang terlibat sebagai pengurus berjumlah sembilan belas (19) orang dan jumlah anggota empat puluh satu (41) orang. Artinya dengan jumlah sembilan belas orang (32 persen) pengurus sudah cukup untuk membantu anggotanya dalam menyampaikan informasi tentang kegiatan-kegiatan P2KP sertelah pertemuan. Dalam kegiatan organisasi kelompok wanita tani terbagi dalam tiga kategori yakni; kurang dari tiga tahun, lima tahun dan lebih dari tujuh tahun. sebagian besar anggota terlibat lebih dari tujuh tahun (45 persen), ini dapat dijelaskan bahwa rata – rata responden telah mengetahui akan tugas dan tanggung 50 jawabnya dalam kelompok tani dan juga mengetahui tentang kegiatannya. Berkaitan dengan keterlibatan petani dalam pertemuan kelompok, sebagian besar anggota kelompok wanita tani (58,33 persen) menyatakan selalu menerima undangan dan 61,67 persen anggota selalu menghadiri pertemuan yang dilakukan dalam kelompok. Artinya bahwa pengurus KWT jika akan melakukan suatu kegiatan dalam kelompok selalu menyebarkan undangan kepada pengurus dan anggota KWT. Anggota KWT yang menerima undangan selalu hadir dalam kegiatan yang dilakukan dalam kelompok, mereka (anggota KWT) telah berpartisipasi dalam setiap pertemuan yang dilakukan. Jumlah dan persentase responden disajikan dalam Tabel 11. Tabel 11. Jumlah dan persentase responden berdasarkan status dan keterlibatan dalam kelompok Keterlibatan Jumlah (orang) Persentase (%) Status ibu dalam kelompok Pengurus 19 32,67 Anggota 41 68,33 Total 60 100,00 Lama waktu terlibat Kurang dari 3 tahun 17 28,33 5 tahun 16 26,67 Lebih dari 7 tahun 27 45,00 Total 60 100,00 Menerima undangan rapat Selalu 35 58,33 Kadang-kadang 24 40,00 Tidak pernah 1 1,67 Total 60 100,00 Menghadiri undangan rapat Selalu 37 61,67 Kadang-kadang 23 38,33 Tidak pernah 0 0 Total 60 100,00 Pada Tabel 11 dapat dikatakan bahwa kelompok wanita tani yang telah lama terlibat dengan selalu menerima undangan serta selalu hadir dan aktif dalam setiap pertemuan kelompok, diharapkan akan aktif dalam mengikuti kegiatan SLP2KP. Dengan semakin banyaknya anggota kelompok wanita tani yang terlibat dalam kegiatan SL-P2KP harapkan akan semakin meningkatnya tingkat penerapan kaidah-kaidah optimalisasi pemanfataan pekarangan (OPP) dan diversifikasi pangan secara berkelanjutan. Dengan demikian dapat menghasilkan komunikasi yang baik dan meningkatkan perubahan pada aspek pengetahuan, afeksi dan perilaku pada kegiatan optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan di Kecamatan Prambanan. 51 Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Kondisi sosial budaya yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu faktorfaktor yang mendukung usahatani yang bermakna SL-P2KP secara berkelanjutan, adapun faktor lingkungan yang dimaksud yaitu kondisi lingkungan sosial ekonomi masyarakat, norma (peran aparat desa/kecamatan). Keterlibatan masyarakat dan anggota kelompok wanita tani dalam kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan dalam SL-P2KP akan menjadi kunci kesuksesan dari setiap program yang dicanangkan oleh pemerintah serta lembaga-lembaga lainnya. Tanpa melibatkan masyarakat dan anggota kelompok wanita tani akan mengalami kesulitan yang berarti. Faktor pendukung seperti tersedianya lahan pekarangan, air, peralatan pertanian dan lainnya. Kegiatan pada bidang lingkungan yang telah dilakukan oleh masyarakat RW 03 dan RW 09 Kecamatan Prambanan sebelum adanya kegiatan sekolah lapang-P2KP, sebagian warga juga sudah memanfaatkan lahan pekarangan, ini terlihat dari kegiatan “tabulapot” (tanaman buah dalam pot) dan tanaman jangka panjang seperti rambutan, klengkeng, jambu dan sukun di halaman rumah tinggal. Tanaman ini ada yang dibeli ada juga yang berupa bantuan dari dinas pertanian. Aktifitas budidaya (menanam) tanaman dan mengolah secara kontinu telah dilakukan petani baik di lahan sawah maupun lahan pekarangan. Sehingga bukan merupakan hal baru bagi petani ketika menerima introduksi kegiatan sekolah lapang P2KP. Tingkat pengetahuan petani terhadap usaha tani tidak terlepas dari banyaknya pihak yang terlibat dalam mengkampanyekan upaya-upaya pemanfataan lahan pekarangan dan adanya program yang melibatkan petani seperti program Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) melalui sekolah lapang (SL). Kegiatan ekonomi yang ada di Kecamatan Prambanan tepatnya di RW 03 yaitu pembuatan aneka kue dari ubi telo. Kegiatan pembuatan aneka kue ini sudah dilakukan sejak tahun 2010 sebelum ada kegiatan SL-P2KP di RW 03desa Sumberharjo. Awal terbentuknya kelompok pengolahan pangan ini karena sebelumnya ibu Wulan suka membuat aneka camilan yang diperoleh dari membaca majalah kartini dan mencoba resep. Kemudian desa Sumberharjo mendapatkan kesempatan untuk diberikan pelatihan mengenai pembuatan roti telo, brownis telo, dan crimping telo. Menurut penjelasan Ibu Wulan, setelah pelatihan kelompoknya diberi perlengkapan masak seperti penggorengan besar, dan mesin parut singkong agar dapat mempraktekkan apa yang telah didapatkan di pelatihan sehingga dapat mengembangkan sendiri. “norma atau aturan yang mengatur dan atau larangan terhadap bahan makanan pokok di dalam masyarakat tidak ada, seperti ibu hamil tidak boleh makan ganyong atau ubi pendem” (Jen). Hal senada juga disampaikan oleh kepala desa. Sementara kebiasaan mengkonsumsi pangan khas daerah setempat hampir sebagian warga tidak mengkonsumsi sebagai menu utama. Dalam pelaksanaan kegiatan SL-P2KP di desa, peran kepala desa bersama-sama dengan penyuluh pendamping, kelompok wanita, melakukan koordinasi dalam melaksanakan setiap kegiatan P2KP. Kepala desa berperan sebagai penghubung antara masyarakat dengan aparat pemerintah. Penuturan 52 salah satu pengurus KWT mengenai peran kepala desa dalam kegiatan Sekolah Lapang-P2KP yakni: “Kepala desa ada Pak Sn, beliau sifatnya ya hadir saat awal kegiatan karena diundang aparat Kecamatan, aparat desa dan dari dinas. Setelah itu kegiatan Sekolah Lapang - P2KP berlangsung itupun hanya pertemuan peserta dengan para pengajar, jarang sekali sebetulnya” (Surti). Demikian pula dengan perangkat kecamatan hanya merupakan faktor pendorong percepatan keberhasilan pembangunan khususnya di tingkat desa dalam wilayah kecamatan. Peranan perangkat kecamatan adalah memfasilitasi pelaksanaan kegiatan diwilayahnya. Perangkat kelurahan sesuai dengan pedoman kerja yang berlaku berkewajiban untuk mengkoordinasikan kepala desa dalam pelaksanaan kegiatan P2KP di wilayahnya, membantu aparat provinsi dan kabupaten dalam proses penetapan lokasi. Peran dari pihak aparat kecamatan hampir mirip dengan kepala desa yakni datang saat pembukaan kegiatan dilakukan, selanjutnya kegiatan terlaksana yang hadir adalah pengurus KWT, anggota peserta SL-P2KP dan PPL (para pengajar). Hal ini menunjukkan bahwa peran dari kepala desa belum optimal, misalnya dalam menjawab pertanyaan tentang berapa jumlah kelompok wanita tani dan jumlah anggota yang mengikuti kegiatan sekolah lapang-P2KP hanya dijawab itu kegiatan ibu-ibu jadi nanti dapat bertanya kepada pengurus atau PPL. Suatu inovasi teknologi baru yang dipersepsi erat kaitannya terhadap kondisi lingkungan (agro-ekosistem) dan tingkat kesulitan untuk menerapkan teknologi tersebut. Penilaian terhadap tingkat kesulitan inovasi teknologi itu merupakan faktor-faktor internal individu dalam mempersepsikan kemampuan diri sendiri untuk melakukan tindakan atau penerapan sebagai pola perilakunya. Faktor-faktor eksternal meliputi norma-norma, kebiasaan, komunikasi sosial, interaksi sosial, dan belajar sosial individu petani dalam sistem sosial. Perubahan sikap petani terhadap adopsi teknologi dipengaruhi oleh proses interaksi dan komunikasi dalam sistem sosial. Untuk memperoleh informasi seorang individu petani selalu mengadakan interaksi, komunikasi, dan belajar sosial tentang suatu teknologi yang dibutuhkan. Nilai-nilai sosial budaya masyarakat yang dimaksud adalah pandangan dan nilai-nilai serta adat istiadat yang menyangkut tentang pola hubungan antara masyarakat dengan alamnya, aturan-aturan adat menyangkut pola pengetahuan tentang mengkonsumsi pangan lokal seperti ubi-ubian (kearifan lokal). Norma atau adat budaya yang berhubungan dengan pantangan terhadap makanan misalnya pangan lokal di lokasi penelitian, menurut informan tidak ada. Jawaban informan bahwa: “kalo larangan untuk makanan yo ndak ada apa lagi untuk ibu hamil atau menyusui itu di sini ndak ada mba. Makanan itu yo di makan supaya ibune jadi kuat waktu lahiran atau asinya bagus”. Hal senada disampaikan oleh petugas lapang bahwa “mungkin dulu ada mba tapi sekarang ini kalau larangan mengenai makanan apalagi yang berkarbohidart (pangan lokal) itu tidak ada larangan”. 53 Artinya dari kedua jawaban ini dapat dikatakan bahwa dilokasi penelitian adat larangan atau tabu terhadap konsumsi pangan lokal tidak ada. Pola Komunikasi anggota KWT dalam Pelaksanaan SL-P2KP Pola komunikasi yang dimaksud adalah bagaimana sebuah proses komunikasi yang berlangsung atau yang digunakan secara terus menerus yang dapat mengubah baik si pemberi pesan maupun yang menerima pesan tersebut. Pola komunikasi anggota kelompok wanita tani dalam pelaksanaan SL-P2KP meliputi; model komunikasi (meliputi; cara komunikasi, arah yang digunakan saluran yang digunakan), bahasa yang digunakan, dan sumber komunikasi. Model Komunikasi Model komunikasi angggota kelompok wanita tani diartikan sebagai sebuah proses yang dapat mengubah pihak-pihak yang berkomunikasi. Komunikasi yang terjadi diantara kedua belah pihak (penyampai pesan dan penerima pesan pesan) maka harus ada komunikasi dua arah atau komunikasi timbal balik, untuk itu diperlukan adanya kerja sama yang diharapkan untuk mencapai tujuan bersama dalam kelompok/organisasi. Pihak-pihak yang secara aktif melakukan komunikasi dapat menggunakan alat atau saluran agar apa yang hendak disampaikan dapat diterima. Sedangkan untuk menginformasikan pesan tentang suatu kegiatan maka dapat disampaikan dengan cara penyampaian secara individu maupun dalam kelompok. Model komunikasi dalam penelitian ini pembahasannya meliputi cara komunikasi, arah komunikasi, dan saluran komunikasi; bahasa yang digunakan dan sumber informasi. Cara komunikasi yang digunakan dalam kegiatan SL-P2KP meliputi diskusi, ceramah, pertemuan kelompok dan praktek lapang dengan gambar dan poster. Tabel 12 Jumlah dan persentase responden berdasarkan cara penyampaian informasi dalam kegiatan SL-P2KP Cara komunikasi Jumlah (orang) Persentase (%) Diskusi 47 78,33 Ceramah 30 50,00 Pertemuan Kelompok 45 75,00 Praktek lapang, Gambar poster, 9 15,00 Tabel 12 memperlihatkan bahwa cara penyampaian informasi yang digunakan dalam pelaksanaan Sekolah Lapang-P2KP adalah diskusi 78,33 persen. Artinya bahwa diskusi yang dilakukan dalam pertemuan dapat meningkatkan pengetahuan dan terjadi komunikasi yang efektif antara PPL (pemberi materi) dan anggota KWT sebagai peserta. Diskusi dilaksanakan dalam pertemuan berupa tanya jawab yang dilakukan anggota KWT dan juga diberikan kesempatan untuk bertanya oleh PPL (pemberi materi). Pertemuan kelompok adalah media yang digunakan penyuluh maupun anggota untuk melakukan tanya jawab. Selain itu cara yang dilakukan oleh pengurus KWT melalui ceramah dalam perkumpulan 54 pengajian ibu-ibu. Praktek lapang dengan gambar poster kecil presentasinya hanya 15 persen artinya anggota KWT sebagai peserta SL-P2KP mungkin merasa kurang waktu untuk praktek juga bila dikaitkan dengan tugas dan peran para ibu dalam rumah tangga. Arah komunikasi yang digunakan dalam pelaksanaan SL-P2KP terdiri dari komunikasi banyak arah, satu arah dan komunikasi dua arah. Secara rinci jumlah dan persentase responden dapat dilihat padda Tabel 13. Tabel 13. Jumlah dan persentase responden berdasarkan arah komunikasi yang digunakan Arah Komunikasi Jumlah Persentase Banyak arah 0 0 Satu arah 23 38,33 Dua arah 37 61,67 Total 60 100,00 Pada Tabel 13 arah komunikasi yang terjadi dalam kegiatan sekolah lapang-P2KP adalah dua arah (61,67 persen). Arah komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi yang dilakukan PPL (pembawa materi) menyampaikan materi kepada peserta dan peserta diberi kesempatan untuk bertanya jika ada materi yang belum dimengerti atau menyampaikan saran. Pelaksanaan SL-P2KP selalu terjadi tanya jawab antara pemateri dan peserta. Sebagian besar responden menyatakan bahwa pemberi materi memberikan kesempatan kepada responden untuk bertanya. Dalam pelaksanaan Sekolah Lapang-P2KP terjadi tanya diantara PPL dengan anggota KWT (peserta/responden). Jumlah dan persentase responden berdasarkan tanya jawab yang dilakukan disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tanya jawab yang dilakukan Tanya jawab dalam SL-P2KP Jumlah (orang) Persentase (%) Selalu 39 65 Kadang-kadang 21 35 Tidak pernah 0 0 Total 60 100 Data Tabel 14 menunjukkan bahwa selalu terjadi tanya jawab antara PPL dan peserta (65 persen). Artinya dalam pelaksanaan Sekolah Lapang-P2KP selalu terjadi tanya jawab. Dengan tanya jawab yang terjadi diharapkan dapat meningkatkan partisipasi dan efektivitas komunikasi. Namun demikian ada juga responden yang menyatakan bahwa kadang-kadang saja bertanya (35 persen). Ini menjelaskan bukan karena tidak ada ruang dan waktu, kemungkinan karena malu atau takut salah. Menurut pengakuan salah seorang peserta: “saya kadang-kadang saja bertanya, ya takut salah terus malu sama yang lain”. Ada juga yang tidak bertanya itu disebabkan karena sudah berusia lanjut (umur 70 – 80 tahun). Saluran media komunikasi sangat mempengaruhi anggota KWT sebagai sasaran pelaksanaan kegiatan SL-P2KP dalam menerima informasi yang diterima. Jenis saluran media komunikasi yang digunakan terkait dengan pelaksanaan SL- 55 P2KP yakni TV, papan pengumuman, poster, dan undangan / surat edaran. Secara terperinci jumlah dan persentase responden berdasarkan saluran komunikasi dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Jumlah dan persentase responden berdasarkan saluran komunikasi Saluran Media informasi Jumlah (orang) Persentase (%) Papan pengumuman 24 40,00 Poster/alat peraga 38 63,33 TV 14 23,33 Surat edaran 44 73,33 Data Tabel 15 memperlihatkan bahwa saluran media komunikasi yang digunakan pengurus untuk mengundang anggotanya adalah menggunakan surat edaran (73,33 persen) untuk mengikuti sosialisasi dalam kegiatan SL-P2KP. Sementara media poster (63,33 persen) disukai responden karena digunakan untuk menyampaikan kegiatan di lapang. Poster dan alat peraga digunakan oleh PPL untuk menyampaikan kegiatan terkait P2KP. Sebagian responden menyatakan untuk mengetahui kegiatan melalui gambar-gambar poster yang ditempel di tempat pertemuan atau dirumah ketua. Menurut ketua KWT “untuk mengundang anggota biasanya diantar langsung surat undangannya kalau tidak mereka tidak datang, kalau yang punya HP bisa saya hubungi tetapi di desa tidak semua punya HP”. Sementara itu agar anggota dapat mengetahui cara kerja suatu kegiatan misalnya informasi dapat di lihat pada poster yang ditempel di dinding tempat pertemuan atau di rumah ketua. Poster di peroleh dari dinas BP3K Kabupaten Sleman bidang bina produksi. Bahasa Bahasa merupakan salah satu unsur penting dalam pelaksanaan kegiatan SL-P2KP. Bahasa mempunyai peranan penting dalam proses adopsi dan difusi inovasi pertanian. Menurut Benjamin Whorf tentang teori relatifitas linguistik. Teori ini mengatakan bahwa bahasa dan budaya menentukan perilaku dan kebiasaan pemikiran dalam budaya. Hipotesis Whorf tentang penggunaan bahasa mengatakan bahwa: (1) Dalam dunia aktivitas sosial biasanya dipahami dari penguasaan bahasa tertentu yang menjadi medium komunikasi masyarakat. (2) Bahasa adalah suatu alat pemecahan permasalahan komunikasi spesifik. (3) Fakta dari perihal pekerjaan riil tanpa disadari bahwa kontruksi berdasarkan pada kebiasaan bahasa dari kelompok. (4) Kebiasaan bahasa masyarakat mempengaruhi aneka pilihan interpretasi (Littlejohn, 1999). Jumlah dan persentase petani berdasarkan bahasa disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 nampak bahwa bahasa yang digunakan baik ketika melakukan sosialisasi SL-P2KP ataupun sewaktu menyampaikan materi kepada peserta anggota KWT serta kehadiran petani sebagai peserta berpengaruh terhadap pemahaman petani tentang kegiatan SL-P2KP. Dalam menyampaikan informasi kegiatan P2KP lebih banyak digunakan bahasa campuran (bahasa Jawa dan 56 bahasa Indonesia) sebesar 50 persen petani, dengan tingkat pemahaman 86,67 persen. Ini menjelaskan bahwa hampir semua petani mengerti bahasa yang digunakan. Tabel 16 Jumlah dan persentase responden berdasarkan bahasa dalam kegiatan SL- P2KP Bahasa dan tingkat pemahaman dalam Jumlah (orang) Persentase SL-P2KP (%) Bahasa yang digunakan Indonesia 19 31,67 Jawa 11 18,33 Campuran 30 50,00 Total 60 100,00 Tingkat pemahaman bahasa Mengerti 52 86,67 Sedikit mengerti 8 13,33 Tidak mengerti 0 0 Total 60 100,00 Dengan demikian diharapkan dapat meningkatkan partisipasi petani peserta SL-P2KP, terciptanya komunikasi yang efektif dan intens sehingga dapat terjadi peningkatan pengetahuan tentang P2KP yang mengarah kepada peningkatan perubahan perilaku petani pada pelaksanaan kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan. Menurut Everett M. Rogers (2003), orang-orang yang sama lebih mungkin berkomunikasi dan melakukan jika berada pada kelompok yang sama, berdiam lebih berdekatan satu sama lain, sama etnis dan tertarik oleh satu kepentingan yang sama. Kesamaan secara sosial ini menjurus ke homophily. Pada kondisi ini komunikasi dan kesamaan pendapat akan lebih mudah terjadi dibandingkan dalam keadaan heterophily (kondisi yang berbeda). Sumber Informasi Sumber informasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah dari mana petani mendapat informasi dan siapa yang menyampaikan informasi tersebut. Untuk mengetahui jumlah dan persentase responden dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Jumlah dan persentase responden berdasarkan sumber informasi Sumber informasi yang digunakan Jumlah (orang) Persentase (%) Kontak Tani 6 10,00 Penyuluh/Pendamping 45 75,00 Pengurus KWT 35 58,33 Sesama anggota 37 61,67 Sumber informasi selain PPL juga anggota KWT memperoleh informasi dari kontak tani, pengurus (sekretaris, bendahara dan koordinator) KWT 57 dan sesama anggota. Sumber utama dalam menyampaikan informasi adalah penyuluh 75 persen artinya PPL sebagai pemateri telah mengikuti pelatihan pendampingan dan bertugas untuk mendampingi dan menyampaikan materi. Sedangkan pengurus selain mendampingi dan melengkapi kebutuhan dalam pelaksanaan kegiatan juga sebagai peserta SL-P2KP. Selain penyuluh responden peserta SL-P2KP juga sering bertanya kepada sesama anggota. Hal ini juga ditegaskan oleh pengurus KWT, yang menyatakan bahwa; “penyuluh yang menyiapkan materi dan sudah mengikuti pelatihan, kami pengurus hanya membantu untuk kelancaran saja”. Selain itu para anggota juga bertanya kepada sesama anggota, maksudnya adalah sesama adalah petani yang berpengalaman. Namun demikian dalam pelaksanaan kegiatan tetap saja ada salah seorang pengurus yang menjadi pemandu acara dalam pertemuan kelompok untuk memgatur agar pertemuan berjalan dengan lancar. Dalam pelaksanaan SL-P2KP PPL mempunyai peran penting dalam menyampaikan informasi tentang P2KP dengan maksud dapat meningkatkan pengetahuan anggota KWT juga afeksi yang kemudian mengarah pada perubahan perilaku dalam kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan (OPP) Iktisar Pola komunikasi pada pelaksanaan P2KP, penyuluh melakukan diskusi dua arah (komunikasi interaksional) yang melibatkan peserta. Peserta diberikan kesempatan bertanya apabila ada materi yang tidak dimengerti dan peserta lain diberikan kesempatan memberikan masukan atau jika ada materi yang ingin didiskusikan. Jawaban petani sebagian besar (78,33%) menyatakan bahwa cara penyampaian informasi adalah melalui diskusi dan pertemuan kelompok (75%). Saluran komunikasi yang digunakan dalam bentuk surat edaran dan poster. Poster digunakan untuk menyampaikan pola hidup sehat dan diversifikasi pangan yang ditempel di dinding tempat pertemuan dan rumah ibu ketua kelompok. Surat edaran digunakan pengurus untuk mengundang ibu-ibu menghadiri pertemuan baik ditingkat kelompok maupun tingkat desa atau kecamatan. Bahasa yang digunakan di SL-P2KP adalah bahasa campuran Indonesia dan bahasa Jawa. Menurut penyuluh “ karena peserta ada yang tidak bisa baca tulis dan ada yang berusia lanjut (70-80 tahun) maka bahasa Jawa masih digunakan sebagai bahasa pengantar”. Selanjutnya Everett M. Rogers (2003) orang-orang yang sama (homophily) lebih mungkin termasuk kelompok etnis yang sama, dengan tempat tinggal berdekatan satu sama lain, dan tertarik oleh kepentingan yang sama. Pada kondisi ini komunikasi akan lebih mudah terjadi dibandingkan dalam keadaan heterophily. Sumber informasi yang paling utama adalah penyuluh dan cukup banyak dari sesama anggota. Petani banyak memperoleh informasi mengenai kegiatan tersebut dari penyuluh karena dalam pertemuan Sekolah Lapang-P2KP yang sering menyampaikan kegiatan P2KP adalah penyuluh. Pengurus KWT hanya membantu dalam pelaksanaan pertemuan sekolah lapang dan melengkapi dengan peralatan yang diperlukan atau melengkapi untuk kelancaran pada saat pelaksanaan SL-P2KP saja. 58 Intensitas Komunikasi Intensitas komunikasi yang dimaksud disini yaitu proses, frekuensi dan intensitas komunikasi yang terjadi antara para petani dengan penyuluh sehingga program SL-P2KP tetap berlangsung dan berkelanjutan. Pada konteks ini intensitas komunikasi yang diteliti adalah kehadiran penyuluh dalam pertemuan SL-P2KP, peran dari penyuluh, frekuensi pembicaraan didalam pertemuan, frekuensi pembicaraan diluar pertemuan, frekuensi bertemu petani dengan penyuluh dalam pertemuan dan frekuensi bertemu petani dangan penyuluh diluar pertemuan SL-P2KP. Kehadiran penyuluh dapat menjadi motivator bagi para petani dalam mensukseskan target-target pembangunan sektor pertanian dan dapat memberi kontribusi pada peningkatan pembangunan. Secara rinci mengenai jumlah dan persentase petani berdasarkan kehadiran penyuluh dalam SL-P2KP disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Jumlah dan persentase petani berdasarkan kehadiran penyuluh pada kegiatan SL-P2KP Kehadiran pendamping Jumlah (orang) Persentase (%) Selalu 41 68,33 Kadang-kadang 17 28,33 Tidak pernah 2 3,34 Total 60 100,00 Pada tabel 18 tampak bahwa penyuluh selalu hadir dalam pertemuan sekolah lapang-P2KP dengan jumlah responden 41 yang jika dipersentasekan sebanyak 68,33 persen. Ini menjelaskan bahwa dengan kehadiran penyuluh yang intens dalam pertemuan tersebut akan dapat meningkatkan komunikasi yang efektif dengan demikian dapat mengarah pada peningkatan pengetahuan petani tentang P2KP. Pertemuan di kedua kelompok tani baru dilakukan 4-5 kali. Padahal dalam buku pedoman umum (Pedum 2012) pelaksanaan kegiatan SLP2KP mestinya dilakukan 10 kali. Artinya bahwa dalam pertemuan itu bisa dilakukan dalam sebulan atau setahun disesuaikan dengan kondisi setempat. Kondisi lapang saat penelitian sekolah lapang-P2KP diliburkan karena bertepatan dengan hari raya keagamaan. Menurut ketua KWT sebagian besar anggota KWT sedang menjalani ibadah puasa sehingga pelaksanaan Sekolah Lapang-P2KP diliburkan sampai dengan akhir perayaan hari raya Idul Fitri yakni pada bulan September. Hal ini juga disampaikan penyuluh bahwa kegiatan SLP2KP di tunda sampai petani siap mengikuti sekolah lapang-P2KP. Dalam pelaksanaan kegiatan Sekolah Lapang-P2KP peran aktif penyuluh selain menyampaikan materi kegiatan juga merencanakan, membimbing dan memfasilitasi responden dalam kegiatan P2KP. Adapun peran penyuluh dapat di lihat pada tabel 19. 59 Tabel 19 Jumlah dan persentase petani berdasarkan peran penyuluh Penyuluh melakukan aktivitas Jumlah (orang) Persentase (%) Merencanakan 35 58,33 Membimbing 25 41,67 Memfasilitasi 0 0 Total 60 100,00 Data tabel di atas menggambarkan bahwa dalam pelaksanaan kegiatan SL-P2KP yang diikuti petani lebih banyak (58,33 persen) menjawab bahwa aktivitas yang dilakukan penyuluh antara lain merencanakan kegiatan berupa penyampaian materi untuk pertemuan berikutnya. Selanjutnya bimbingan dari PPL 41,67 persen. Artinya penyuluh membimbing petani terkait kegiatan P2KP meliputi pemberdayaan kelompok wanita (optimalisasi pemanfaatan pekarangan dan pengembangan pangan lokal). Sementara untuk peran penyuluh dalam memfasilitasi tidak ada nilainya, mungkin tidak dianggap penting oleh petani padahal memfasilitasi merupakan salah satu kriteria penting dalam mendampingi dan memfasilitasi kelompok sasaran dalam menyusun Rencana Kegiatan dan Kebutuhan Anggaran (RKKA) kelompok sesuai potensi wilayah. Intensitas pembicaraan dalam pertemuan SL-P2KP yang dilakukan ptani dengan penyuluh yang intens dapat meningkatkan pengetahuan petani yang akan mengarah pada peningkatan pengetahuan yang mengarah pada perubahan perilaku terkait kegiatan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan. Intensitas pembicaraan antara petani dengan penyuluh disajikan pada tabel 20. Tabel 20 umlah dan persentase petani berdasarkan intensitas komunikasi antar petani dan penyuluh didalam pertemuan Intensitas komunikasi Jumlah (orang) Persentase (%) Selalu 23 38,33 Kadang-kadang 26 43,33 Tidak pernah 11 18,33 Total 60 100,00 Pada tabel 20 memperlihatkan bahwa intensitas komunikasi antar petani dan penyuluh yang dilakukan pertemuan Sekolah Lapang-P2KP yang kurang hanya kadang-kadang (43,33 %) bahkan tidak pernah (18,33%). Hal ini menggambarkan kurangnya materi yang dibicarakan belum sesuai Pedoman Umum P2KP. Dalam pertemuan sekolah lapang tidak ternanyata penyuluh tidak hanya membahas kegiatan P2KP namun juga membicarakan hal lain seperti bibit unggul, hama penyakit, pembuatan pupuk dan racun tanaman. Padahal materi yang perlu dibicarakan terkait kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan adalah kegiatan diversifikasi pangan dan pengembangan pangan lokal. Hal ini disebabkan karena ada diantara anggota yang berusia 55 tahun keatas dan ada yang tidak mengerti bahasa Indonesia serta malu bertanya. Kondisi ini juga terlihat pada intensitas pembicaraan tentang SL-P2KP yang dilakukan petani dan penyuluh diluar pertemuan. Intensitas komunikasi yang dilakukan antar sesama anggota kelompok wanita tani (KWT) baik di dalam maupun diluar pertemuan. Intensitas komunikasi 60 yang dilakukan antar sesama anggota kelompok wanita tani dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21 Jumlah dan persentase petani berdasarkan intensitas komunikasi yang dilakukan antar sesama anggota tentang SL-P2KP Intensitas komunikasi Jumlah (orang) Persentase (%) Selalu 17 28,33 Kadang-kadang 31 51,67 Tidak pernah 12 20,00 Total 60 100,00 Tabel 21 menunjukkan bahwa intensitas komunikasi petani dengan sesama anggota KWT ternyata lebih dari pada dengan penyuluh. Lebih dari setengah jumlah petani (51,67%) kadang-kadang membicarakannya bahkan (28,33%) mengatakan selalu membicarakannya. Hal ini disebabkan karena ada diantara anggota yang berusia 55 tahun keatas dan ada yang tidak mengerti bahasa Indonesia serta malu bertanya. Kondisi ini juga terlihat pada intensitas komuniasi tentang SL-P2KP yang dilakukan petani dan penyuluh diluar pertemuan. Intensitas komunikasi tentang SL-P2KP secara rinci dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Jumlah dan persentase petani berdasarkan intensitas komunikasi yang dilakukan dengan penyuluh tentang SL-P2KP di luar pertemuan Intensitas komunikasi Jumlah (orang) Persentase (%) Selalu 24 40,00 Kadang-kadang 29 48,33 Tidak pernah 7 11,67 Total 60 100,00 Tabel 22 terlihat bahwa intensitas pembicaraan tentang SL-P2KP antara petani dengan PPL diluar pertemuan ternyata lebih banyak dilakukan walaupun tidak selalu. Menurut seorang petani kadang-kadang bahkan hampir tidak pernah membicarakan tentang kegiatan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) karena tidak semua anggota KWT mempunyai waktu yang sama untuk bertemu dengan penyuluh. Hal ini dikarenakan bahwa setiap petani mempunyai aktivitas yang berbeda. Frekuensi bertemunya petani dengan penyuluh yang dimaksud dalam penelitian ini adalah frekuensi atau jumlah bertemunya petani dengan penyuluh dalam pertemuan SL-P2KP. Sebaran frekuensi pertemuan petani dengan penyuluh disajikan pada Tabel 23. Tabel 23. Jumlah dan persentase petani berdasarkan frekuensi pertemuan penyuluh dengan petani dalam pertemuan Frekuensi pertemuan Jumlah (orang) Persentase (%) Sering 35 58,33 Kadang-kadang 22 36,67 Tidak pernah 3 5,00 Total 60 100,00 61 Data Tabel diatas nampak bahwa frekuensi pertemuan antara penyuluh dan petani sebagai peserta SL-P2KP lebih sering dilakukan (58,33%). Artinya bahwa baik penyuluh (sumber pemateri) dan petani sering bertemu dapat meningkatkan partisipasi aktif yang dilakukan melalui komunikasi yang intens sehingga dapat meningkatkan efektivitas komunikasi pada kegiatan tersebut. Frekuensi bertemu diluar pertemuan diantara petani dengan penyuluh, diamati dari pertemuan yang dilakukan di luar pertemuan Sekolah LapangP2KP misalnya petani bertemu penyuluh di rumahnya, dan lainnya. Frekuensi pertemuan penyuluh dengan petani dilihat pada Tabel 24. Tabel 24 Jumlah dan persentase petani berdasarkan frekuensi pertemuan penyuluh dengan petani dan petani di luar pertemuan Frekuensi interaksi Jumlah (orang) Persentase (%) Sering 17 28,33 Kadang-kadang 28 46,67 Tidak pernah 15 25,00 Total 60 100,00 Tabel 24 menunjukkan bahwa frekuensi pertemuan petani dengan penyuluh diluar hanya kadang-kadang dengan jumlah 28 orang (67%). Hal ini dapat dikatakan bahwa jarangnya petani bertemu dengan penyuluh diluar pertemuan maka informasi mengenai percepatan penganekaragaman konsumsi pangan yang diperoleh petani juga sangat sedikit. Intensitas komunikasi yang intens dapat meningkatkan partisipasi dan pengetahuan responden sebaliknya. Secara keseluruhan intensitas komunikasi yakni frekuensi pembicaraan yang dilakukan antara petani dengan penyuluh dan petani dengan sesama anggota dalam pertemuan kelompok maupun diluar pertemuan sudah berjalan dan berada pada kategori sedang. Jumlah dan persentase petani responden berdasarkan intensitas komunikasi dalam SL-P2KP disajikan pada Tabel 25. Tabel 25 Jumlah dan persentase responden berdasarkan intensitas komunikasi dalam pelaksanaan SL-P2KP Kriteria Jumlah (orang) Persentase (%) Rendah 38 63,3 Tinggi 22 36,7 Total 60 100,00 Data pada Tabel 25 nampak bahwa intensitas komunikasi yang dilakukan diantara petani dan penyuluh baik dalam pertemuan maupun diluar pertemuan dapat digolongkan rendah. Frekuensi pertemuannya tidak banyak dan topik yang dibicarakan juga meluas sehingga sekali-sekali saja membahas topik SL-P2KP. Jadi dalam pertemuan tidak hanya membicarakan tentang optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan dan pengembangan pangan lokal tetapi juga membicarakan tentang bibit unggul, pupuk dan lainnya. 62 Iktisar Pertemuan penyuluh dengan petani lebih banyak di dalam pertemuan daripada di luar pertemuan kelompok SL-P2KP. Penyuluh selalu hadir dalam pertemuan untuk merencanakan kegiatan dan membimbing petani dalam melakukan optimalisasi pemanfaatan pekarangan. Namun dalam pertemuan dengan penyuluh topik P2KP kadang-kadang saja dibicarakan, secara khusus biasanya diselingi dengan berbagai topik lain seperti tentang bibit unggul, hama penyakit, pupuk dan racun tanaman. Demikian juga dalam pembicaraan antar petani di dalam maupun di luar pertemuan tidak selalu membicarakan tentang SL-P2KP. Dengan demikian intensitas komunikasi tentang P2KP tergolong rendah. Dapat dikatakan bahwa sosialisasi P2KP masih relatif kurang intensif dilakukan baik oleh penyuluh maupun pengurus KWT. Pertemuan SL-P2KP kurang teratur karena bertepatan dengan hari raya keagamaan ( puasa dan Idul Fitri). Padahal seharusnya kegiatan ini berlangsung teratur selama 10 kali dengan materi yang berbeda di setiap pertemuannya.Di sisi lain responden hanya bertanya kepada penyuluh (pemberi materi) saat sekolah lapang-P2KP di luar itu tidak ada karena sedikit sekali waktu pertemuan. Waktu pertemuan yang seharusnya sepuluh kali baru dilaksanakan 4 sampai 5 kali pertemuan. Namun demikian interaksi dengan penyuluh (pemberi materi) juga telah memberikan pengaruh pada perubahan perilaku petani di pedesaan. Efektivitas Komunikasi Dalam Kegiatan SL-P2KP Aspek Pengetahuan Aspek pengetahuan adalah kemampuan berpikir yang dilandasi oleh pengetahuan dan wawasan seseorang dalam upaya mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi dan mengetahui atau memahami konsep program P2KP (tujuan, sasaran, manfaat penting dan peruntukkan). Pada penelitian ini, aspek pengetahuan ditentukan berdasarkan kriteria memiliki anggota KWT memiliki pengetahuan yang luas tentang kegiatan, pengetahuan awal tentang cara pemanfaatan lahan pekarangan, materi yang diterima dalam kegiatan SL-P2KP, kegiatan yang masih diingat, alasan pentingnya pelaksanaan SL-P2KP, dan alasan pelaksanaan kegiatan SL-P2KP hanya untuk perempuan. Jumlah dan persentase petani berdasarkan tingkat pengetahuan dapat di lihat pada tabel 26. Tabel 26. Jumlah dan persentase petani berdasarkan tingkat pengetahuan pada kegiatan SL-P2KP Pengetahuan Jumlah (orang) Persentase (%) Rendah 22 36,67 Tinggi 38 63,33 Total 60 100,00 63 Tabel 26 nampak bahwa sebagian besar petani (63,33 %) memiliki tingkat pengetahuan yang tergolong dalam kategori tinggi dan (36,67 %) yang tergolong rendah. Hal ini berarti bahwa pengetahuan petani tentang P2KP baik. Walaupun cukup banyak yang menjawab dengan benar tapi masih banyak juga yang belum dapat menjawab tentang manfaat dan tujuan dari kegitan P2KP maupun SL-P2KP dan mengapa kegiatan ini ditujukan hanya untuk perempuan. Petani (anggota KWT) yang mengikuti kegiatan SL-P2KP memiliki tingkat pengetahuan cukup baik meskipun pada karakteristik individu nampak bahwa tingkat pendidikan mereka (responden) rendah (56,67 persen). Namun dari sisi kondisi sosial budaya diketahui bahwa sebagian besar petani sudah tahu tentang bercocok tanam di lahan pekarangan sebelum adanya kegiatan SL-P2KP. Dapat dikatakan bahwa pengetahuan mereka tentang budidaya di pekarangan sudah cukup baik. Aspek Afeksi Aspek afeksi petani dilihat dari delapan pernyataan yang diberikan dengan dua pilihan jawaban tidak setuju dan setuju. Kemudian setiap jawaban tidak setuju diberi nilai satu dan setuju diberi nilai dua. Selanjutnya diberi nilai rata-rata untuk setiap responden dan dikelompokkan menjadi dua yakni tidak mendukung dan mendukung. Secara terperinci jumlah dan persentase petani responden disajikan pada Tabel 27. Tabel 27. Jumlah dan persentase reponden berdasarkan tingkat afeksi pada kegiatan SL-P2KP Afeksi Jumlah (orang) Persentase (%) Tidak Mendukung 1 1,7 Mendukung 59 98,3 Total 60 100,00 Data tabel 27 nampak bahwa hampir semua petani (98,3%) mendukung SL-P2KP, karena dianggap mempermudah petani dalam melakukan budidaya tanaman pangan di lahan pekarangan, mendorong perempuan untuk memberikan beragam makanan pokok pada keluarga, kegiatan ini tidak sulit dilakukan dalam keluarga, kegiatan ini tidak sulit dilakukan dalam keluarga. Oleh karena itu kegiatan ini perlu dilakukan oleh seluruh masyarakat. Secara kelompok tidak ada anggota yang tidak mendukung kegiatan SL-P2KP dan hanya satu orang saja yang tidak mendukung dalam kegiatan ini. Hal ini dapat dijelaskan bahwa sebagian besar masyarakat di Kecamatan Prambanan telah melakukan kegiatan penanaman tanaman buah dalam pot (Tabulapot) sebelum kegiatan ini SL-P2KP dilakukan mengacu pada kondisi sosial budaya masyarakat (hal 51). 64 Perilaku Tingkat perilaku yang diamati berdasarkan jumlah dan persentase yang dikelompokkan menjadi dua kategori, yakni kategori tidak sesuai dan sesuai dengan kegiatan SL-P2KP. Pengukuran perilaku dilihat melalui kegiatan pemanfaatan pekarangan, cara memanfaatkan dan cara mengkonsumsi pangan sumber karbohidrat selain beras (singkong, ubi jalar, talas dan jagung). Secara rinci jumlah dan persentase petani berdasarkan tingkat perilaku petani di sajikan pada Tabel 28. Tabel 28. Jumlah dan persentase petani berdasarkan tingkat perilaku pada kegiatan SL-P2KP (Pemanfaatan Pekarangan) Perilaku Jumlah (orang) Persentase (%) Tidak sesuai 5 11,67 Sesuai 55 88,33 Total 60 100,00 Sebagian besar petani (88,33%) menunjukkan perilaku pemanfaatan pekarangan yang sesuai dengan apa yang sudah diajarkan dalam SL-P2KP khususnya pada perilaku menanam (budidaya). Pada saat pelaksanaan SL-P2KP, petani didampingi oleh penyuluh dan bibit tanaman yang diberikan adalah tanaman semusim berupa sayur-sayuran dan buah-buahan. Pemanfaatan dan cara mengkonsumsi pangan lokal selain beras ini disajikan pada Tabel 29. Tabel 29. Jumlah dan persentase petani berdasarkan tingkat perilaku pemanfaatan sumber karbohidrat selain beras Jenis Tanaman Makanan Utama Makanan Selingan Dijual n % n % n % Ubi Jalar 5 8,33 43 71,67 5 8,33 Jagung 1 1,67 42 70 0 0 Singkong 15 25 36 60 0 0 Talas 0 0 60 100 0 0 Data Tabel 29 menunjukkan bahwa hampir sebagian besar petani 70 sampai 100 persen memanfaatkan tanaman pangan sumber karbohidrat selain beras sebagai makanan selingan bukan makanan utama, yang biasa dikonsumsi tanpa lauk-pauk. Makanan utama yang dimaksud dalam penelitian ini adalah petani mengkonsumsi jenis tanaman pangan lokal dalam satu hari selain mengkonsumsi nasi dan atau diselingi nasi-ubi jalar-nasi. Jenis tanaman pangan lokal seperti ubi jalar (ubi pendem), jagung, singkong/ubi kayu (telo) dan talas merupakan sumber karbohidrat pengganti beras karena memiliki kandungan gizi yang mendekati beras. Namun pemanfaatannya masih belum banyak dilakukan oleh masyarakat seperti yang nampak pada tabel ubi kayu dijadikan sebagai makanan utama sekitar 25 persen. Konsumsi ubi kayu sebagai pangan alternatif pangan karena ketersediaannya cukup banyak dan mudah dibudidayakan pada lahan subur maupun kurang subur sampai lahan marjinal. Ubi kayu dapat 65 langsung dikonsumsi dengan terlebih dahulu direbus, digoreng dan dibakar atau difermentasi menjadi tape. Ubi jalar (ubi pendem) hanya 8,33 persen, disusul tanaman jagung 1,67 persen. Sementara untuk makanan selingan seluruh responden menyatakan talas 100 persen. Ini menjelaskan bahwa petani selain mengkonsumsi pada waktu dan atau acara tertentu juga harga talas agak mahal dan agak susah diperoleh. Tanaman ubi jalar 71,67 persen dikonsumsi pada acara tertentu seperti arisan atau jika ada warga yang mempunyai hajatan ubi jalar disajikan dalam bentuk kudapan atau aneka kue. Jagung sebanyak 70 persen dan ubi kayu (singkong) sebanyak 60 persen. Selain dijadikan sebagai makanan utama dan makanan selingan, ada petani yang memanfaatkan tanaman pangan lokal untuk dijual. 8,33 persen petani menjawab tanaman talas dijual karena tanaman ubi jalar bernilai ekonomis dan tahan lama jika disimpan serta memiliki potensi peluang pasar. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa perubahan perilaku petani walaupun tidak terlalu banyak tetapi sudah melakukan diversifikasi pangan dalam kegiatan SL-P2KP. Hubungan Antara Intensitas Komunikasi Dengan Efektivitas Komunikasi Dalam SL-P2KP Hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan nyata antara intensitas komunikasi dalam SL-P2KP dengan efektivitas komunikasi. Peubah efektivitas komunikasi yaitu, aspek pengetahuan, aspek afeksi dan aspek perilaku. Untuk mengetahui tingkat hubungan antara intensitas komunikasi terhadap efektivitas komunikasi dilakukan melalui tabulasi silang dan menggunakan analisis uji Chi-Square. Hubungan antara intensitas komunikasi dengan aspek pengetahuan petani dalam kegiatan SL-P2KP Dalam pembahasan ini, peubah yang merupakan bagian dari intensitas komunikasi adalah kehadiran penyuluh, peran penyuluh, komunikasi di antara sesama anggota KWT, komunikasi di antara penyuluh dan responden (anggota KWT) di dalam maupun di luar pertemuan dan frekuensi bertemu antara penyuluh dengan responden (anggota KWT) di dalam maupun di luar pertemuan, sedangkan peubah dari efektivitas komunikasi adalah aspek pengetahuan. Untuk mengetahui adanya hubungan antara intensitas komunikasi terhadap efektivitas komunikasi aspek pengetahuan, dilakukan pengujian tabulasi silang pada Tabel 30. Tabel 30 Jumlah persentase petani menurut intensitas komunikasi dan tingkat pengetahuan responden dalam pelaksanaan SL-P2KP Intensitas komunikasi Pengetahuan (%) Jumlah Rendah Tinggi Rendah 36,8 63,2 100 Tinggi 36,4 63,6 100 66 Tabel 30 menunjukkan bahwa petani yang memiliki intensitas komunikasi rendah maupun tinggi relatif sama tingkat pengetahuannya. Petani yang intensitas komunikasinya rendah maupun tinggi sebagian besar tingkat pengetahuannya tergolong tinggi. Untuk mengetahui hubungan antara intensitas komunikasi terhadap tingkat pengetahuan, dilakukan pengujian statistik dengan menggunakan analisis uji chi square. Tabel 31 Hubungan antara intensitas komunikasi dengan tingkat pengetahuan petani pada pelaksanaan SL-P2KP Indikator p-value Sig Keterangan Intensitas komunikasi 0,001 0,970 Tidak Nyata vs Tingkat Pengetahuan Hasil uji pada tabel 31 menunjukkan intensitas komunikasi berhubungan tidak nyata dengan tingkat pengetahuan dengan nilai signifikansi sebesar 0,970 lebih besar dari alpha 0.05. Hubungan tidak nyata antara intensitas komunikasi dilihat dari frekuensi membicarakan tentang P2KP antar penyuluh dan antar sesama petani yang hanya terjadi dalam pertemuan dan topiknya bukan hanya P2KP saja. Pembicaraan diantara sesama petani kadang-kadang dilakukan, frekuensi bertemu antara petani dan penyuluh hanya terjadi pada saat pertemuan SL-P2KP sementara frekuensi bertemua diluar pertemuan jarang bahkan kurang. Hal ini dapat menyebabkan rendahnya tingkat pengetahuan petani. Petani yang jarang bertemu dengan penyuluh tidak memberikan peningkatan pengetahuan petani tentang optimalisasi pemanfaatan pekarangan dan penganekaragaman pangan. Hubungan antara intensitas komunikasi dengan aspek afeksi petani dalam kegiatan SL-P2KP Dalam pembahasan ini, peubah yang merupakan bagian dari intensitas komunikasi adalah kehadiran penyuluh, peran penyuluh, pembicaraan di antara sesama anggota KWT, pembicaraan di antara penyuluh dan responden (anggota KWT) di dalam maupun di luar pertemuan dan frekuensi bertemu antara penyuluh dengan responden (anggota KWT) di dalam maupun di luar pertemuan, sedangkan peubah dari efektivitas komunikasi adalah aspek afeksi. Untuk mengetahui adanya hubungan antara intensitas komunikasi terhadap efektivitas komunikasi aspek afeksi, dilakukan pengujian tabulasi silang pada Tabel 32. Tabel 32 Jumlah persentase petani menurut intensitas komunikasi dan tingkat afeksi dalam pelaksanaan SL-P2KP Afeksi (%) Intensitas Jumlah komunikasi Tidak mendukung Mendukung Rendah Tinggi 2,6 0 97,4 100,0 100 100 67 Pada Tabel 32 tampak bahwa sebagian besar petani yang melakukan komunikasi secara intens maupun tidak ternyata semua mendukung program SLP2KP. Hal ini menjelaskan bahwa pada tingkat intensitas komunikasi rendah atau tinggi, komunikasi terutama yang dilakukan antara penyuluh dengan petani dan antara petani dengan petani, ternyata petani mendukung kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan (OPP). Hampir seluruh petani mendukung kegiatan ini. Karena sudah menjadi kebiasaan atau budaya petani yang melakukan kegiatan penanaman tanaman dipekarangan rumah sebelum adanya program ini. Untuk mengetahui tingkat hubungan antara intensitas komunikasi terhadap tingkat afeksi, dilakukan pengujian statistik dengan menggunakan analisis uji chi square. Tabel 33. Hubungan antara intensitas komunikasi dengan tingkat afeksi petani dalam pelaksanaan SL-P2KP Indikator Value Sig Keterangan Intensitas komunikasi vs 0,589 0,443 Tidak Nyata Tingkat afeksi Hasil uji pada Tabel 33 dapat dikatakan antara intensitas komunikasi dengan tingkat afeksi terdapat hubungan tidak nyata dengan nilai signifikansi sebesar 0,443 lebih besar dari alpha 0.05. Hubungan tidak nyata antara intensitas komunikasi dengan tingkat afeksi ini menjelaskan bahwa kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan (OPP) bukan merupakan hal yang baru karena sudah dilakukan oleh petani sebelum kegiatan SL-P2KP dilaksanakan. Aktivitas menanam sudah dilakukan petani sejak lama, telah disinggung sebelumnya dimuka bahwa pekerjaan utama di desa adalah bertani, sehingga kegiatan memanfaatkan lahan pekarangan yang diprogramkan di dukung oleh masyarakat setempat. Dengan demikan dapat dijelaskan bahwa intensitas komunikasi yang dilakukan pada tingkat afeksi petani mendukung kegiatan SL-P2KP sehingga terdapat hubungan tidak nyata dan atau hubungannya lemah. Hubungan antara intensitas komunikasi dengan aspek perilaku petani dalam kegiatan SL-P2KP Dalam pembahasan ini, peubah yang merupakan bagian dari intensitas komunikasi adalah kehadiran penyuluh, peran penyuluh, pembicaraan di antara sesama anggota KWT, pembicaraan di antara penyuluh dan responden (anggota KWT) di dalam maupun di luar pertemuan dan frekuensi bertemu antara penyuluh dengan responden (anggota KWT) di dalam maupun di luar pertemuan, sedangkan peubah dari efektivitas komunikasi adalah aspek perilaku. Untuk mengetahui adanya hubungan antara intensitas komunikasi dengan perubahan perilaku, dilakukan pengujian melalui tabulasi silang. 68 Tabel 34 Jumlah persentase petani menurut intensitas komunikasi dan perubahan perilaku petani dalam pelaksanaan SL-P2KP Intensitas Perilaku (%) Jumlah komunikasi Tidak sesuai Sesuai Rendah 13,2 86,8 100 Tinggi 0 100,0 100 Pada tabel 34 dapat dilihat bahwa petani yang sama-sama memiliki tingkat pengetahuan rendah maupun tinggi memiliki perilaku sesuai. Ini menjelaskan bahwa dari dulu petani sudah tahu tentang optimalsasi pemanfaatan pekarangan dan sudah melakukan penanaman tanaman di lahan pekarangan. Untuk mengetahui tingkat hubungan antara intensitas komunikasi terhadap perubahan perilaku dilakukan dengan menggunakan uji chi square. Tabel 35. Hubungan antara intensitas komunikasi dengan perubahan perilaku petani dalam pelaksanaan SL-P2KP Indikator Value Sig Keterangan Intensitas komunikasi vs 3,158 0,076 Tidak nyata Perubahan Perilaku Hubungan antara intensitas komunikasi dan perubahan perilaku tidak nyata atau lemah, dengan nilai signifikansi sebesar 0,076 yang lebih besar dari pada alpha 0,05. Artinya walaupun petani mengetahui tujuan dan manfaat optimalisasi pemanfaatan pekarangan (OPP) atau tingkat pengetahuan tinggi namun tidak ada peningkatan untuk mengkonsumsi pangan lokal, hal ini disebabkan karena yang diberikan bibit tanaman sayuran dan buah-buahan bukan bibit tanaman pangan sumber karbohidrat. Masyarakat memang makan sumber pangan yang lain namun hanya untuk makanan selingan bukan sebagai pengganti beras. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hipotesis satu tentang ada hubungan antara intensitas komunikasi dalam SL-P2KP dengan efektivitas komunikasi (pengetahun, afeksi dan perubahan perilaku) pada masyarakat ditolak. Artinya intensitas komunikasi dalam kegiatan SL-P2KP belum mampu meningkatkan efektivitas komunikasi. Perubahan hanya sedikit terlihat pada aspek pengetahuan dan aspek afektif sedangkan aspek perilaku masih belum terlihat perubahannya. Salah satu penyebab belum terjadinya perubahan karena kondisi fisik lahan yang tidak mendukung seperti lahan/tanah yang gersang dan tidak subur, berdebu, kurang air, ketersediaan bibit yang terbatas, penyuluh kadang-kadang saja membahas atau membicarakan tentang optimalisasi pemanfaatan pekarangan (OPP) dan kurang intensifnya sosialisasi tentang program SL-P2KP ini. Hubungan Pengetahuan dan Afeksi terhadap Perubahan Perilaku Hubungan Pengetahuan terhadap perubahan perilaku Hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan nyata antara aspek pengetahuan dan aspek afeksi terhadap perubahan perilaku petani. 69 Untuk mengetahui adanya hubungan antara pengetahuan dan afeksi terhadap perubahan perilaku petani, dilakukan pengujian melalui tabulasi silang Tabel 36. Tabel 36 Jumlah persentase petani menurut tingkat pengetahuan terhadap perubahan perilaku dalam pelaksanaan SL-P2KP Perilaku (%) Pengetahuan Jumlah Tidak sesuai Sesuai Rendah 0 100,0 100 Tinggi 13,2 86,8 100 Pada tabel 36 tampak tingkat pengetahuan petani baik rendah maupun tinggi perilakunya sesuai. Beberapa petani 13,2% memiliki tingkat pengetahuan tinggi, memiliki perilaku sesuai dikarenakan selain sudah memiliki pengetahuan tentang P2KP, lahan petani yang tersedia sempit, bibit terbatas (bukan bibit tanaman pangan lokal) dan air yang kurang atau tidak tersedianya sumur serta kondisi iklim kemarau panjang. Untuk melihat hubungan antara pengetahuan terhadap perubahan perilaku petani, dilakukan pengujian statistik dengan menggunakan uji chi square. Tabel 37 Hubungan antara tingkat pengetahuan dengan perubahan perilaku petani dalam pelaksanaan SL-P2KP Indikator Value Sig Keterangan Pengetahuan vs Perubahan perilaku 3,178 0,076 Tidak Nyata Tabel 37 nampak bahwa antara pengetahuan dengan perubahan perilaku berhubungan tidak nyata, dengan nilai signifikansi sebesar 0,076 yang lebih besar dari alpha 0,05. Ini menjelaskan semakin tinggi tingkat pengetahuan petani, memiliki kecenderungan semakin sesuai perilaku petani sebaliknya semakin rendah pengetahuan petani, memiliki kecenderungan semakin tidak sesuai perilaku petani terhadap kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan (OPP). Hubungan tidak nyata tersebut dikarenakan petani memiliki sudah memiliki pengetahuan tentang cara menanam tanaman di lahan pekarangan berkaitan dengan apa yang disuluhkan oleh penyuluh. Pengetahuan tersebut diperoleh melalui penyuluhan yang dilakukan dinas terkait (Dinas Pertanian) sebelum adanya kegiatan SL-P2KP. Dengan demikian tanpa disuluhpun petani telah melakukan penanaman di ladang dan di lahan pekarangan. Demikian pula dalam hal makanan tanpa disuluh petani di wilayah kajian (Kecamatan Prambanan) sudah terbiasa mengkonsumsi pangan lokal (ubi jalar, ubi kayu, jagung, talas dan garut). Namun tidak semua mengkonsumsi sebagai makanan utama. Perilaku tidak sesuai dapat dijelaskan bahwa apa yang disuluhkan oleh penyuluh belum sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh petani seperti bagaimana pengolahan pangan lokal dijadikan sebagai penganekaragaman pangan (diversifikasi) dan pangan lokal dapat diproduksi dan dikembangkan sesuai dengan potensi sumber daya wilayah dan budaya setempat. Selain itu perlu disesuaikan dengan kondisi iklim setempat. 70 Hubungan afeksi terhadap perubahan perilaku Tingkat afeksi merupakan bagian yang akan dibahas dalam hubungannya dengan perilaku petani pada pelaksanaan SL-P2KP. Untuk mengetahui adanya hubungan antara afeksi terhadap perubahan perilaku petani, dilakukan pengujian melalui tabulasi silang. Secara terperinci jumlah persentase petani menurut tingkat afeksi terhadap perubahan perilaku disajikan pada Tabel 38. Tabel 38. Jumlah persentase petani menurut tingkat afeksi terhadap perubahan perilaku dalam pelaksanaan SL-P2KP Perilaku (%) Afeksi Jumlah Tidak sesuai Sesuai Tidak mendukung 8,5 91,5 100 Mendukung 0 100,0 100 Pada Tabel 38 terlihat bahwa hampir semua tingkat afeksi petani baik mendukung atau tidak ternyata tingkat perilaku mereka sesuai. Karena petani sudah sering melakukan kegiatan penanaman tanaman dipekarangan rumah sebelum adanya program ini. Aktivitas menanam sudah merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh petani baik di kebun/ladang dan dilahan pekarangan. Beberapa petani yang tidak mendukung namun perilakunya sesuai. Dikarenakan kondisi lahan yang tidak mendukung (halaman rumah sempit), bibit yang disediakan terbatas dan bukan bibit tanaman pangan lokal, ketersediaan air yang kurang akibat kondisi iklim saat itu kemarau panjang. Untuk melihat hubungan antara afeksi terhadap perubahan perilaku petani, dilakukan pengujian statistik dengan menggunakan uji chi square. Tabel 39. Hubungan antara tingkat afeksi dengan perubahan perilaku petani dalam pelaksanaan SL-P2KP Indikator Value Sig Keterangan Afeksi vs perubahan perilaku 0,092 0,761 Tidak Nyata Tabel 39 terlihat bahwa antara afeksi dengan perubahan perilaku berhubungan tidak nyata. Perilaku menanam tidak ada hubungan dengan afeksi. Meskipun pada aspek perilaku lebih banyak yang mendukung daripada yang tidak mendukung, dan lebih banyak yang berperilaku sesuai. Hal ini disebabkan bahwa perilaku menanam memang sudah menjadi kebiasaan sejak sebelum adanya program SL-P2KP sehingga tidak berhubungan lagi dengan masalah mendukung atau tidak mendukung pada program tersebut. Masyarakat tidak mendukung karena memang tidak ada sarana prasarana, budaya setempat seperti masyarakat sudah biasa menanam baik di ladang maupun di lahan pekarangan, sehingga pengetahuan maupun afeksi yang ditimbulkan oleh penyuluhan tidak berpengaruh banyak terhadap perilaku menanam. Perilaku tidak sesuai ini lebih mengarah pada pola makan makanan lokal atau pemanfaatannya (lihat tabel 29) dimana pangan lokal belum dijadikan sebagai makanan utama lebih banyak petani menjadikan pangan lokal sebagai makanan selingan. Harga bahan baku pangan lokal masih belum stabil dan relatif 71 lebih tinggi daripada harga terigu, sehingga harga produk akhir juga cenderung lebih tinggi. Semakin banyak permintaan dan penawaran sedikit, maka harga bahan baku pangan lokal cenderung mahal, begitu pula sebaliknya. Pada musim panen, harga cenderung turun. Kondisi ini menyebabkan fluktuasi harga yang sangat signifikan dan merugikan petani. Di sisi lain perilaku tidak sesuai disebabkan karena waktu pelaksanaan yang relatif singkat kegiatan ini baru dilaksanakan pada awal bulan Juni 2012. Dengan demikan hipotesis kedua tentang adanya hubungan antara pengtahuan dan afeksi petani peserta SL-P2KP terhadap perubahan perilaku ditolak. 5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil penelitian tentang kegiatan SL-P2KP di Kecamatan Prambanan dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pola komunikasi dilaksanakan dalam SL-P2KP menggunakan model komunikasi terdiri dari arah: dua arah atau interaksional; cara lebih banyak diskusi dan pertemuan kelompok; saluran komunikasi menggunakan surat edaran dan alat peraga atau poster. Bahasa yang digunakan bahasa campuran antara bahasa Jawa dan Indonesia; dan sumber utama informasi adalah penyuluh dan petani yang berpengalaman. 2. Intensitas komunikasi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap Efektivitas komunikasi (perubahan pengetahuan, afeksi dan perilaku) petani P2KP dalam SL-P2KP. Dalam pelaksanaan program ini dapat dikatakan bahwa komunikasi bukan salah satu aspek penentu perubahan perilaku tetapi juga perlu di lihat kondisi setempat seperti fasilitas dan iklim ikut menentukan perilaku petani sehubungan dengan kegiatan SL-P2KP. Kondisi fisik lahan setempat seperti keadaan tanah yang gersang dan berdebu, ketersediaan bibit yang terbatas, dan kurang air. Kurang intensifnya sosialisasi tentang adanya kegiatan ini turut menyebabkan kurang berhasilnya program P2KP. 3. Aspek pengetahuan dan afeksi tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan perilaku petani dalam SL-P2KP. Masyarakat terbiasa makan nasi sebagai sumber pangan utama, sumber karbohidrat lain seperti ubi jalar, singkong, jagung, talas, dan garut masih diolah sebagai makanan camilan/ makanan selingan. Wanita tani yang tingkat pengetahuan SL-P2KP rendah maupun tinggi ternyata hampir semuanya berperilaku sesuai dengan apa yang disosialisasikan dalam P2KP. Hal ini disebabkan petani sudah sering melakukan kegiatan penanaman tanaman di pekarangan rumah yang sebenarnya sudah disosialisasikan pemerintah pada kegiatan-kegiatan penyuluhan selama ini. Hal yang sama pada aspek afeksi. Petani mendukung maupun tidak program ini, hampir semuanya berperilaku sesuai. 72 Saran 1. Perlu ada dukungan dari pemerintah di tingkat desa dan kecamatan terhadap pelaksanaan P2KP terutama dalam hal ketersediaan faktor-faktor pendukung seperti fasilitas lahan pekarangan sebagai demplot, bibit tanaman dan sumur alternatif yang dekat dengan rumah penduduk ketika terjadi perubahan iklim. Untuk dapat mendorong keberhasilan suatu program perlu juga meningkatkan komunikasi (sosialisasi) dan menyediakan sarana produksi yang digunakan dalam pengermbangan penganekaragaman pangan. 2. Kondisi lingkungan dapat mempengaruhi sikap petani terhadap teknologi. Kondisi lingkungan alam yang kurang baik seperti tanah yang kering, iklim yang tidak tentu, ketresediaan air yang terbatas dapat menyebabkan petani kurang responsif menerima inovasi. Pada daerah seperti ini, aspek penyuluhan yang diberikan lebih ditekankan pada pola makanan yang Beragam, Bergizi, Seimbang dan Aman (B2SA) yang berbasis kearifan/sumberdaya lokal atau bagaimana memupuk yang aman dengan pestisida nabati. Dengan perkataan lain penyuluhan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kondisi ekosistem yang ada. DAFTAR PUSTAKA Angsari. PS. 2008. “Peranan Perguruan Tinggi dalam Pengembangan SDM Pembangunan”. Dalam Pemberdayaan Manusia Pembangunan Yang Bermartabat. Di edit oleh: Adjat Sudrajat dan Ida Yustina. Bogor, Syndex Plus. Astuti U. 2007. Hubungan Karakteristik Individu dan Aktivitas Komunikasi dengan Perilaku Masyarakat dalam Mengembangkan Perkampungan Budaya Betawi Situ Babakan [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Azwar S. 2003. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta (ID): Liberty. Ariani. T. 2006 Jurnal Pangan dan Gizi (Persagi) Analisis Konsumsi Pangan Tingkat Masyarakat Mendukung Pencapaian. Socio-economic Survey (SUSENAS) year 2005-2009 obtained from the Food Security Council, 2008. www.persagi.org/proses/proses.Makalah. Di akses tanggal 28 Agustus 2012 Berlo D.K. 1960. The Process of Communication. Hort, Rienhart and Winston. New York BPS (Badan Pusat Statistik) Kabupaten Sleman. 2010. Kabupaten Sleman dalam Angka tahun 2010. Kerjasama Badan Pusat Statistik dengan BAPPEDA Kabupaten Sleman. Departemen Pertanian, 1980. ”Pembinaan Kelompok tani”. Pusat Penyuluhan Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta. Departemen Pertanian, 2007. Pedoman Penumbuhan, Pengembangan dan Gabungan Kelompok tani, Permentan No: 273/Kpts/OT.160/4/2007 tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani. 73 DeVito, JA.1997. Komunikasi Antar Manusia. Agus, M penerjemah. Jakarta: Proffesional Books. Dilla S. 2007. Komunikasi Pembangunan: Pendekatan Terpadu (ID): Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Effendy, O.U. 2000. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung ___________. 2001. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Ed.Ke-14. Bandung: Rosdakarya. ___________. 2006. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung PT. Remaja Rosdakarya. ___________.2007. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Faisal S. 2001. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada Far-Far R. 2011. Hubungan Komunikasi Interpersonal dengan Perilaku Petani dalam Bercocok Tanam Padi Sawah di Desa Waimital Kabupaten Seram Bagian Barat. Jurnal Budidaya Pertanian. 7(2):100-106. Ibrahim, J.T., Armand Sudiyono, dan Harpowo. 2003. Komunikasi dan Penyuluhan Pertanian. Banyumedia Publishing. Malang. Ichwanudin, 1988. Hubungan Perilaku Peserta Kelompok Penggerak Pariwisata (Kompepar) dengan Adopsi Program Sapta Pesona di Kabupaten Sukabumi. Tesis Sekolah Pasca Sarjana- Jurusan Komunikasi Pembangunan Pertanian - Institut Pertanian Bogor (IPB). Bogor Ife J. 1995. Community Development: Creating community Iternatives-vision, analysis and practice. Australia (AU): Longman Pty Ltd. Israel, Arturo. 1990. Pengembangan Kelembagaan; Pengalaman ProyekProyek Bank Dunia. Jakarta. LP3ES. Ihsan. M.2009. Intensitas Komunikasi Petani Daerah Penyangga Kawasan Taman Nasional Dalam Melakukan Konservasi Tanah Dan Air Secara Berkelanjutan. (Kasus pada empat desa binaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Provinsi Jawa Barat). Tesis Sekolah Pasca SarjanaJurusan Komunikasi Pembangunan Pertanian - Institut Pertanian Bogor (IPB). Bogor Jahi, amri. 1988. Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negaranegara Dunia Ketiga: Status Pengantar. Penerbit PT Gramedia, Jakarta. Kaliky R. 2002. Intensitas Komunikasi dan Persepsi Peternak terhadap Keberlanjutan Adopsi Teknologi Perbaikan Pakan Ternak Sapi Perah Periode Kering di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman Yogyakarta [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Krzanowski W 2007, Statiscal Principles and Techniques in Scientific and Social Research. OXFORD University Press. Lestari SB, Mindarti S, Ratnada M, Hardi J, Sidu D, Ramija K dan Gufroni LM. 2001. Manajemen dan komunikasi penyuluhan. Yogyakarta: Penyuluhan dan komunikasi pertanian UGM. Leeuwis C. 2009. Komunikasi Untuk Inovasi Pedesaan. Berpikir Kembali tentang Penyuluhan Pertanian. Yogyakarta: Kanisius. Levis LR. 1996. Komunikasi Penyuluhan. Bandung: Citra aditya Bakti. Lionberger, H.F. and P.H Gwin, 1983. Communication Strategies Illinois: The Interdtate Orienters & Publishers, Inc. 74 Little John. SW, Foss, KA. 2009. Teori Komunikasi; Theories of Human Communication Eigth Edition. Mohammad YH, penerjemah. Jakarta; Salemba Humanika Lubis D.P. 2009. Dasar-Dasar Komunikasi. Bogor: Sains KPM IPB Press. Margono Slamet, 1989. “Kumpulan Bacaan Penyuluhan Pertanian”.Institut Pertanian Bogor. Melky Koli Baran, 2010. Sebuah artikel Kedaulatan Pangan dalam Harian Umum Flores Pos, Flores Timur, 2 November 2010) Mulyana, D. 1996. Human Communication: Prinsip-prinsip Dasar. PT Remaja Rosdakarya. Bandung. __________. 2007. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung.PT Remaja Rosdakarya Mulyana D., Gembirasari, penerjemah. Bandung (ID): Remaja Rosdakarya. Terjemahan dari: Human Communication Martianto D, Briawan D, Ariani M, dan Yulianis N. 2009. Jurnal Pangan dan Gizi, hal 45. Percepatan Diversifikasi Konsumsi Pangan Berbasis Pangan Lokal : Perspektif Pejabat Daerah Dan Strategi Pencapaiannya Mefalopulos 2008. Development communication sourcebook : broadening the boundaries of communication. Mardikanto T. 2010. Komunikasi Pembangunan; Acuan bagi Akademisi, Praktisi dan Peminat Komunikasi Pembangunan. Cet.I Surakarta. UNS Press. …………, 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta: UNS-Press Melkote SR, Leslie HS, 2001. Communication for Development in the Third World: Theory and Practice for Empowerment (2nd ed.), Newe Delhi, Thousand Oaks, CA and London: Sage Nair KS, White. SA. 2004. Participatory Message Development: Conceptual Framework dalam White, SA dan Nair, KS, Ascroft, Joseph. 2004 . Participatory Communaication Working for Change and Development, New Delhi (IN): Sage Publication India Pvt. Ltd Nasution Z. 2002. Komunikasi Pembangunan: Pengenalan Teori dan Penerapannya. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Pedum 2012. Pusat Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian RI. Robins S.P. 2002. Prinsip-prinsip Perilaku Organisasi. Alih Bahasa Halida. Jakarta; Erlangga Rogers, EM and F.F Shoemaker. 1971. Communication of Innovetion; A Cross Cultural Approach. The Free Press. New York . 1976. Communication in Organization New York: The Free Press. _______. 1983. Diffussion of Innovation”, (Canada: The Free Press of Macmillan Publishing Co) Roger. B. Ellis Robert,J Gates and Neil kenwarthy, Interpersonal communication in Nursing Theory and Practice, Churcill Livingstone, 1995 Ruben BD., Steward LP. 2005. Communication and Human Behaviour. USA (US): Allyn and Bacon. Saleh A. 2010. Komunikasi Kelompok. Dalam Dasar-dasar Komunikasi, Bogor; Departemen Sain KPM-Fema IPB. Soekartawi.2005. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Jakarta; UI Press 75 Soewardi. 1987. Perkembangan Penyuluhan Pertanian di Indonesia. Makalah disajikan dalam Kongres PERHIPTANI Ke I di Subang, tanggal 4-6 Juli 1987 Sears, D.O.J.L Freedman & L.A Peplau. 2004. Psikologi Sosial. Erlangga Jakarta Sereno, KK Bodaken, EM 1975. Trans-Per Understanding Human Communication. Boston: Houghton Mifflin Company. Singarimbun, M dan Effendi. 2010. Metode Penelitian Survei. LP3S. Jakarta. Susiasumantri, J.S. 1993. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Slamet, M. 2003. Membentuk Pola Perilaku Pembangunan. Yustina, I., dan A. Sudradjat (Editor). Bogor: IPB Press. Suharsimi arikunto, Prosedur Penelitian (Jakarta: PT Rieneka Cipta, 2006) hlm 130 Sumardjo. 1999. Transformasi Model Penyuluhan Pertanian Menuju Pembangunan Kemandirian Petani: Kasus di Provinsi Jawa Barat [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Tasmara T. 1997. Komunikasi Dakwah. Jakarta; Gaya Media Pratama Tuti Sri S, Maksum, Vivit w.R, Suni T dan Juznia A. 2011 Laporan penelitian. Korelasi Antara Stratifikasi Sosial Ekonomi, Model Difusi Dengan Adopsi Padi Varietas Mekongga Inovasi Dan Aktivitas Komunikasi Pusat Penelitian Dan Penyebaran Teknologi Pertanian Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian. Tubs S.L. Moss, S. 2005. Human Communication. Prinsip-prinsip dasar. Bandung; Remaja Rosdakarya Tufte T. Mefalopulos P. 2009 A. Practical Guide Participatory Communication. Washington (US): The world Bank Uphoff, Norman 1986. Local Institutional Development an Anatical Sourcebook With Cases, West Hartford Connedictut Kumarian Press Van den Ban dan Hawkins. 2007. Penyuluhan Pertanian.Yogyakarta: Kanisius Walgito, Bimo.2003. Pengantar Psikologi Umum. Andi. Yogyakarta. Wardhani. AC . 1994; Hubungan Karakteristik Demografis dan Motivasi Kognitif Peternak Dengan Penggunanaan Sumber-sumber Informasi Tentang Ayam Buras di Desa Cisontrol, Kab. Ciamis. Thesis Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Wijadja A.W. 1986. Komunikasi dan Hubungan Masyarakat. Jakarta; Bina Aksara Wiryanto. 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta (ID): Gramedia Widiasarana Indonesia. West, R., Turner LH. 2008. Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi. Ed. 3. Maria NDM, penerjemah Yohanes G Bulu 2010. Sikap dan Perilaku Petani terhadap Adopsi Teknologi Pertanian. (www.iptek.apjii.or.id.25 Desember 2010). Di akses 25 Januari 2012 Zamzaini. 2007. Makalah Seminar Refleksi Pembangunan Pertanian. Fakultas Pertanian. UNS 3 Juli 2007. 76 Lampiran 1 Peta Lokasi Penelitian 77 Lampiran 2: Kuistioner Penelitian Petani SEKOLAH LAPANG PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN (SL-P2KP) SEBAGAI MEDIA KOMUNIKASI KERAGAMAN PANGAN Kuesioner ini dibuat dalam rangka penyusunan tugas akhir Mariana Ondikeleuw (I352100091), mahasiswa Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (KMP), Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor (SPs-IPB). Atas kesediaan Bpk/ibu/Sdr/I untuk mengisinya dengan tepat, disampaikan terima kasih IDENTITAS RESPONDEN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Nama lengkap Alamat Desa /Kecamatan Umur Pendidikan Terakhir Jenis kelamin Nama kelompok tani Nomor Responden : : :RT/RW : : : L/P : : (tahun) MAYOR KOMUNIKASI PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PEDESAAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 78 Bagian I. Karakteristik Individu Pertanyaan berikut berhubungan dengan karakteristik individu Ibu, yaitu umur, tingkat pendidikan, status dalam kelompok tani, pengalaman bertani, status kepemilikan dan luas lahan kekosmopolitan, dan keterlibatan dalam kelompok tani. Petunjuk pengisian: Ibu silahkan mengisi pertanyaan berikut dengan jawaban yang benar, sedangkan untuk pertanyaan pilihan, Ibu silahkan melingkari salah satu atau lebih (sesuai pertanyaan) jawaban yang tepat. 1. Apakah status ibu dalam kelompok wanita tani ? a. Ketua b. Pengurus c. Anggota 2. Berapa luas lahan pekarangan yang ibu miliki? …m2 3. Berapa luas (m2) yang ditanami tanaman pangan? (Ubi jalar, Jagung, Ketela pohon/singkong, Talas, Sayuran)........m2 4. Sudah berapa tahun Ibu tergabung dalam kelompok wanita tani? a. Kurang dari tiga tahun b. Lima tahun c. Lebih dari tujuh tahun 5. Apa saja kegiatan Kelompok Wanita tani yang ibu ketahui? Sebutkan ……… 6. Apakah setiap rapat Ibu di undang? a. Selalu b. Kadang-kadang c. Tidak 7. Apakah setiap diundang ibu hadir? a. Selalu b. Kadang-kadang c. Tidak pernah Bagian II. Pola Komunikasi SL-P2KP Pertanyaan berikut berhubungan dengan pola komunikasi, yaitu model komunikasi (arah, saluran dan cara), bahasa, sumber komunikasi dan intensitas komunikasi yang digunakan PPL dan THL dalam menyampaikan kegiatan SL-P2KP. Petunjuk pengisian: Ibu silahkan mengisi jawabannya, dengan member tanda silang (X) pada jawaban yang benar salah satu atau lebih (sesuai pertanyaan) dan menjelaskan jawaban itu. 1. Bagaimana cara menyampaikan kegiatan SL-P2KP? (pilihan boleh lebih dari satu) a. Ceramah b. Diskusi c. Pertemuan Kelompok d. Praktek lapang,Poster 79 2. Bagaimana arah komunikasi dalam sekolah lapang-P2KP? a. Satu arah skor 2 b. Dua arah skor 3 c. Banyak arah skor 1 3. Dalam kegiatan Sekolah Lapang-P2KP apakah ada tanya jawab? a. Selalu b. Kadang-kadang c. Tidak pernah 4. Saluran komunikasi apa saja yang digunakan dalam menyampaikan informasi kegiatan SL-P2KP? (pilihan boleh lebih dari satu) Saluran Papa Poster/alat Televisi Su Komunikasi yang n peraga rat digunakan pengumu edaran man 1. saluran apa yang digunakan dalam menyampaikan materi kegiatan 5. Ketika menyampaikan materi bahasa apa yang digunakan pendamping lapangan? a. Indonesia b. Jawa c. Campuran (Indonesia/Jawa) 6. Apakah ibu mengerti bahasa yang digunakan pendamping lapangan? a. Mengerti b. Sedikit mengerti c. Tidak mengerti 7. Berapa kali pertemuan SL-P2KP dilakukan? …… kali (deskripsikan) 8. Berapa jam SL-P2KP dilaksanakan dalam satu hari? (deskripsikan) 9. Ada berapa topik yang diberikan dalam SL-P2KP? (deskripsikan) 10. Satu kali pertemuan SL-P2KP berapa topik yang di bahas? (deskripsikan) 11. Dari mana Ibu mendapat informasi tentang kegiatan SL-P2KP ( lebih dari satu) a. Kontak tani b. Penyuluh/Pendamping P2KP c. Pengurus (sekretaris, bendahara, koordinator) KWT d. Sesama anggota 80 Bagian III. Intensitas Komunikasi SL-P2KP 1. Intensitas pembicaraan yang dilakukan PPL/THL terhadap anggota KWT dan inisiatif ibu bertemu PPL/THL dalam 3 bulan terakhir Keterangan 2. 3. selalu Kadang -kadang Tidak pernah Apakah ada pendamping yang hadir dalam kegiatan SL-P2KP? Apakah yang dilakukan oleh pendamping lapangan dalam SL-P2KP? (pilihan boleh lebih dari satu) a. Merencanakan kegiatan SL-P2KP b. Membimbing dalam kegiatan SL-P2KP c. Memfasilitasi kegiatan SL-P2KP Intensitas pembicaraan yang dilakukan PPL/THL terhadap anggota KWT didalam pertemuan resmi 3 bulan terakhir Keterangan selalu Kadang Tidak -kadang pernah Dalam pertemuan sekolah lapang dengan pendamping lapangan, apakah ibu membicarakan kegiatan P2KP? 4. Apakah ada pembicaraan diantara sesama anggota baik dalam pertemuan dan atau setelah Sekolah Lapang-P2KP? a. Selalu b. Kadang-kadang c. Tidak pernah 5. Intensitas pembicaraan yang dilakukan PPL/THL terhadap anggota KWT diluar pertemuan resmi 3 bulan terakhir. Keterangan selalu Kadang Tidak -kadang pernah Jika bertemu diluar pertemuan sekolah lapang dengan pendamping lapangan, apakah ibu membicarakan kegiatan SLP2KP? 81 6. Frekuensi bertemu diantara PPL/THL dengan anggota KWT didalam dan diluar pertemuan resmi 3 bulan terakhir Keterangan selalu Kadang Tidak -kadang pernah 1. Dalam pertemuan sekolah lapang dengan pendamping lapangan, apakah ibu selalu bertemu? 2. Setelah pertemuan sekolah lapang, apakah ibu selalu bertemu dengan pendamping? Bagian IV. Efektivitas Komunikasi SL-P2KP 1. Tingkat Pengetahuan 1. Apa saja materi yang diberikan materi yang diberikan dalam SL-P2KP (Pilihan boleh lebih dari 1) a. Pengenalan tentang kegiatan SL-P2KP b. Pemanfaatan pekarangan sebagai sumber pangan dan gizi keluarga c. Sosialisasi Pengembangan Pekarangan Kelompok (persiapan lahan, pemilihan budidaya tanaman pangan dan sayuran) d. Menyusun menu beragam, bergizi, berimbang dan aman bagi keluarga 2. Apakah Jenis kegiatan SL-P2KP yang masih ibu ingat? (pilihan boleh lebih dari satu) a. Pembuatan demplot pekarangan b. Mengembangkan kebun bibit Kelompok c. Pembuatan pupuk organik d. Demonstrasi penyediaan pangan dan penyiapan makanan 3B 3. Menurut Ibu, untuk apa SL-P2KP diadakan didaerah ini? Jelaskan……….. a. Menambah pengetahuan pertanian b. Meningkatkan pendapatan, menambah c. penghasilan keluarga, mengurangi pengeluaran d. Memanfaatkan pekarangan e. Diversifikasi pangan lokal, tanaman umbi- umbian pengganti nasi 4. Mengapa SL-P2KP diberikan hanya untuk perempuan saja?Jelaskan ........ a. Peningkatan pendapatan rumah tangga 82 b. Menambah kegiatan ibu rumah tangga c. Memberdayakan ibu-ibu d. Ibu yang mengurus, mengatur rumah tangga II. Tingkat Afeksi Silahkan ibu/sdr menanggapi pernyataan berikut dengan memberikan tanda (√) pada pilihan jawaban yang telah disediakan ST = Setuju RR= Ragu-ragu TS= Tidak Setuju No Pernyataan Skor Jawaban ST RR TS 1. Penganekaragaman Konsumsi Pangan harus segera dilakukan 2. kegiatan SL-P2KP mendorong perempuan untuk memberikan beragam makanan pokok pada keluarga 3. Penganekaragaman Konsumsi Pangan sulit dilakukan dalam keluarga 4. Penganekaragaman Konsumsi Pangan belum waktunya dilakukan 5. Penganekaragaman Konsumsi Pangan harus dilakukan oleh seluruh masyarakat 6. Penganekaragaman Konsumsi Pangan menghemat pengeluaran Rumahtangga 7. Penganekaragaman Konsumsi Pangan membantu Pemerintah dalam mengatasi krisis beras 8. Penganekaragaman Konsumsi Pangan menambah beban kerja ibu rumah tangga III. Tingkat Perilaku 1. Sejak kapan Ibu menanam tanaman pangan di pekarangan milik ibu ? a. Sejak sebelum ikut SLP2KP b. Setelah ikut SLP2KP c. Baru saja: th………………… 2. Tanaman apa yang ibu tanam? (lingkari huruf dan pilihan boleh lebih dari satu) a. Ubi jalar b. Jagung c. Singkong d. Talas e. Sayuran:………………………………………. f. Buah-buahan : ……………………………….. 83 3. Hasil tanaman pangan dimanfaatkan untuk apa saja oleh Ibu? Dijual Jenis Makanan Acara Selingan Utama Khusus Ubi jalar Jagung Singkong Talas (makanan utama adalah makanan yang dimakan paling sedikit satu kali dalam satu hari) 4. Bagaimana ibu mengkonsumsi jenis makanan di bawah ini? Jenis Tanpa Lauk Lauk Biasa Lauk Tertentu Dengan sayur Ubi jalar Jagung Singkong Talas 5. Apakah di kemudian hari ibu akan melanjutkan kegiatan SL-P2KP ini di pekarangan ibu? a. Ya (alasannya:………………………………………) b. Tidak (alasannya:…………………………………….) 6. Dari mana ibu memperoleh bibit? a. Disediakan petugas lapang b. Membibit sendiri c. Membeli dari sesama anggota d. Membeli daripetani lain. 7. Pupuk apa yang ibu pakai? a. Pupuk hijau, kandang,kompos b. Pupuk hijau, Urea c. Urea 8. Dari mana ibu mempeoleh pupuk? a. Disediakan petugas lapang b. Membibit sendiri c. Membeli dari sesama anggota d. Membeli daripetani lain. 9. Racun tanaman apa yang ibu pakai? a. Mikro Organisme Lokal/MOL (Urin,rempah-rempah, empon-empon) b. Larutan tembako c. Pestisida 10. Dari mana ibu memperoleh racun tanaman tersebut? a. Disediakan petugas lapang b. Membibit sendiri c. Membeli dari sesama anggota d. Membeli daripetani lain 84 11. Masalah-masalah apa yang ibu hadapi dalam melaksanakan yang diajarkan dalam SL-P2KP ? Pertanyaan Terbuka Pendamping Lapangan Silahkan Bapak/Ibu mengisi jawaban yang telah disediakan sesuai dengan keadaan sebenarnya. 1. Bagaimana Bapak/Ibu melakukan pendampingan pada kelompok Tani Wanita di Kecamatan Prambanan? 2. Apakah Bapak/Ibu memberikan materi pada peserta Sekolah Lapang sudah sesuai kesepakatan bersama peserta SL-P2KP? Atau hanya mengikuti cara Bapak/Ibu 3. Bagaimana kehadiran peserta SL-P2KP? 4. Metode apa yang Bapak/Ibu gunakan dalam proses Sekolah Lapang bagi peserta? 5. Apakah materi yang diberikan sesuai dengan metode yang digunakan atau berbeda? 6. Bagaimana Bapak/Ibu menyiapkan materi? 7. Bahasa apa yang Bapak/ibu gunakan dalam menyampaikan materi dalam SL-P2KP? 8. Bagaimana partisipasi peserta dalam mengikuti kegiatan SL-P2KP? 9. Apakah Bapak/Ibu mengukur kejelasan materi yang diterima peserta SLP2KP? 10. Apakah alat ukur yang Bapak/Ibu gunakan untuk mengukur kejelasan materi peserta SL-P2KP? 11. Contoh-contoh apa yang dilakukan untuk memperjelas materi kepada peserta SL-P2KP? 12. Menurut pendapat Bapak/Ibu bagaimana respon peserta terhadap pelaksanaan SL-P2KP? 13. Menurut pendapat Bapak/Ibu bagaimana peserta SL-P2KP mau melakukan apa yang diajarkan? 14. Apa hambatan yang dihadapi peserta dalam melaksanakan kegiatan SLP2KP? 15. Apakah ada hasil dari apa yang dilaksanakan oleh peserta yang telah mengikuti pelatihan SL-P2KP? 16. Apakah alumni SL-P2KP juga mendampingi peserta yang sedang mengikuti SL-P2KP? Dalam bentuk apa? (misalnya melakukan kunjungan, memberikan informasi mencari bibit dan lainnya) 17. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu terhadap kegiatan SL-P2KP? 18. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu sebelum ada kegiatan SL-P2KP dan setelah kegiatan ini berjalan? 19. Apakah ada kunjungan setelah pelaksanaan SL-P2KP 20. Apakah ada hambatan-hambatan yang muncul pada saat Bapak/Ibu melakukan pendampingan di lapangan? 21. Bagaimana cara Bapak/Ibu mengatasi hambatan-hambatan yang muncul tersebut? 85 22. Menurut Bapak/Ibu, peserta SL-P2KP dapat menerima kegiatan yang dilakukan? 23. Tindakan apa yang Bapak/Ibu lakukan jika peserta SL-P2KP tidak hadir (mendatangi atau membiarkan saja) Berikan alasan ……… Lampiran 3: HUBUNGAN ANTAR PEUBAH 1. Hubungan antara Intensitas Komunikasi dengan Tingkat Pengetahuan Crosstabs Warnings CORR statistics are available for numeric data only. Case Processing Summary Cases Valid Missing N Percent N Percent Intensitas Pengetahuan * 60 100.0% 0 0.0% N Total Percent 60 100.0% Intensitas * Pengetahuan Crosstabulation Pengetahuan Rendah Tinggi Count 14 24 Expected Count 13.9 24.1 Rendah % within Intensitas 36.8% 63.2% % within 63.6% 63.2% Pengetahuan Intensitas Count 8 14 Expected Count 8.1 13.9 Tinggi % within Intensitas 36.4% 63.6% % within 36.4% 36.8% Pengetahuan Count 22 38 Expected Count 22.0 38.0 Total % within Intensitas 36.7% 63.3% % within 100.0% 100.0% Pengetahuan Total 38 38.0 100.0% 63.3% 22 22.0 100.0% 36.7% 60 60.0 100.0% 100.0% 86 Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correctionb Likelihood Ratio df .00 1a .00 0 .00 1 Asymp. Sig. (2-sided) 1 .970 1 1.000 1 .970 Exact Sig. (2-sided) Fisher's Exact Test Exact Sig. (1sided) 1.000 .597 N of Valid Cases 60 a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8.07. b. Computed only for a 2x2 table Symmetric Measuresa Value N of Valid Cases 60 a. Correlation statistics are available for numeric data only. 2. Hubungan antara Intensitas Komunikasi dengan Tingkat Afeksi Crosstabs Warnings CORR statistics are available for numeric data only. Case Processing Summary Intensitas * Afeksi N 60 Valid Percent 100.0% N 0 Cases Missing Percent 0.0% N 60 Total Percent 100.0% Intensitas * Afeksi Crosstabulation Rendah Intensitas Tinggi Total Count Expected Count % within Intensitas % within Afeksi Count Expected Count % within Intensitas % within Afeksi Count Expected Count % within Intensitas % within Afeksi Afeksi Mendukung Tidak Me 37 1 37.4 6 97.4% 2.6% 62.7% 100.0% 22 0 21.6 0.4 100.0% 0.0% 37.3% 0.0% 59 1 59.0 1.0 98.3% 1.7% 100.0% 100.0% Total 38 38.0 100.0% 63.3% 22 22.0 100.0% 36.7% 60 60.0 100.0% 100.0% 87 Chi -Square Tests Pearson Chi-Square Continuity Correction Value df a 1 .589 b Likelihood Ratio Asymp. Sig. (2sided) .443 .000 1 1.000 .923 1 .337 Fisher's Exact Test Exact Sig. (2sided) Exact Sig. (1sided) 1.000 .633 N of Valid Cases 60 a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .37. b. Computed only for a 2x2 table Symmetric Measuresa Value N of Valid Cases 60 a. Correlation statistics are available for numeric data only. 3. Hubungan antara Intensitas Komunikasi dengan Tingkat Perilaku Crosstabs Warnings CORR statistics are available for numeric data only. Case Processing Summary Intensitas * Perilaku N 60 Valid Percent 100.0% N 0 Cases Missing Percent 0.0% N 60 Total Percent 100.0% Intensitas * Perilaku Crosstabulation Rendah Intensitas Tinggi Total Count Expected Count % within Intensitas % within Perilaku Count Expected Count % within Intensitas % within Perilaku Count Expected Count % within Intensitas % within Perilaku Perilaku Sesuai Tidak se 33 5 34.8 3.2 86.8% 13.2% 60.0% 100.0% 22 0 20.2 1.8 100.0% 0.0% 40.0% 0.0% 55 5 55.0 5.0 91.7% 8.3% 100.0% 100.0% Total 38 38.0 100.0% 63.3% 22 22.0 100.0% 36.7% 60 60.0 100.0% 100.0% 88 Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction df a 1 Asymp. Sig. (2sided) .076 1.670 1 .196 4.828 1 .028 3.158 b Likelihood Ratio Exact Sig. (2sided) Exact Sig. (1sided) .148 .092 Fisher's Exact Test N of Valid Cases 60 a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.83. b. Computed only for a 2x2 table a Symmetric Measures Value N of Valid Cases 60 a. Correlation statistics are available for numeric data only. 4. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dengan Perubahan Perilaku Crosstabs Warnings CORR statistics are available for numeric data only. Case Processing Summary Pengetahuan * Perilaku N 60 Valid Percent 100.0% N 0 Cases Missing Percent 0.0% N 60 Total Percent 100.0% Pengetahuan * Perilaku Crosstabulation Rendah Pengetahuan Tinggi Total Count Expected Count % within Pengetahuan % within Perilaku Count Expected Count % within Pengetahuan % within Perilaku Count Expected Count % within Pengetahuan % within Perilaku Perilaku Sesuai Tidak se 22 0 20.2 1.8 100.0% 0.0% 40.0% 0.0% 33 5 34.8 3.2 86.8% 13.2% 60.0% 100.0% 55 5 55.0 5.0 91.7% 8.3% 100 100 .0% .0% Total 22 22.0 100.0% 36.7% 38 38.0 100.0% 63.3% 60 60.0 100.0% 100.0% 89 Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction a 1 Asymp. Sig. (2-sided) .076 1.670 1 .196 4.828 1 .028 3.158 b Likelihood Ratio df Exact Sig. (2sided) Exact Sig. (1sided) .148 .092 Fisher's Exact Test N of Valid Cases 60 a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.83. b. Computed only for a 2x2 table Symmetric Measuresa Value N of Valid Cases 60 a. Correlation statistics are available for numeric data only. 5. Hubungan antara ingkat Afeksi dengan Perubahan Perilaku Crosstabs Warnings CORR statistics are available for numeric data only. Case Processing Summary Afeksi * Perilaku N 60 Valid Percent 100.0% N 0 Cases Missing Percent 0.0% N 60 Total Percent 100.0% Afeksi * Perilaku Crosstabulation Mendukung Afeksi Tidak Me Total Count Expected Count % within Afeksi % within Perilaku Count Expected Count % within Afeksi % within Perilaku Count Expected Count % within Afeksi % within Perilaku Perilaku Sesuai Tidak se 54 5 54.1 4.9 91.5% 8.5% 98.2% 100.0% 1 0 .9 .1 100.0% 0.0% 1.8% 0.0% 55 5 55.0 5.0 91.7% 8.3% 100.0% 100.0% Total 59 59.0 100.0% 98.3% 1 1.0 100.0% 1.7% 60 60.0 100.0% 100.0% 90 Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction 1 Asymp. Sig. (2sided) .761 .000 1 1.000 .176 1 .675 .092 b Likelihood Ratio Fisher's Exact Test df a Exact Sig. (2sided) Exact Sig. (1sided) 1.000 .917 N of Valid Cases 60 a. 3 cells (75.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .08. b. Computed only for a 2x2 table Symmetric Measuresa Val ue N of Valid Cases 60 a. Correlation statistics are available for numeric data only. 91 Lampiran 4: Susunan Pengurus Kelompok Wanita Tani di Kecamatan Prambanan Kelompok Wanita Tani ” MAWAR ” Alamat : Dusun Daleman, Sumberharjo, Prambanan, Sleman, Yogyakarta SUSUNAN PENGURUS Pelindung : Bp. Kadus Daleman Pembina : PPL No Nama Jabatan dalam . kelompok 1 Ny. Parmo Suprapto Ketua 2 Warsini Wakil Ketua 3 Tri Winarni Sekretaris I 4 Rubini Sekretaris II 5 Nuryani Leastari Bendahara I 6 Sri Mulat Handayani Bendahara II 7 Trisno Wiyono Seksi Usaha 8 Adi Wiyono Seksi Pertanian 9 Sumiyati Seksi Humas 10 Sumini Seksi Humas 11 Titi Darmini Anggota 12 WIdyo N Anggota 13 Surtiasih Anggota 14 Suratmi Anggota 15 Hadi Harjo Anggota 16 Tutik Pras Anggota 17 Wasidah Anggota 18 Tumini Anggota 19 Jiwo S Anggota 20 Mujiyem Anggota 21 Suyatmi Anggota 22 Warni Anggota 23 Tuminah Anggota 24 Tumini Anggota 25 Tuminah Anggota 26 Adi Arjo Anggota 27 Yoso Anggota 28 Ngatiyem Anggota 29 Suwarni Anggota Alamat Daleman, Sumberharjo Daleman, Sumberharjo Daleman, Sumberharjo Daleman, Sumberharjo Daleman,Sumberharjo Daleman, Sumberharjo Daleman, Sumberharjo Daleman, Sumberharjo Daleman, Sumberharjo Daleman, Sumberharjo Daleman, Sumberharjo Daleman, Sumberharjo Daleman, Sumberharjo Daleman, Sumberharjo Daleman, Sumberharjo Daleman, Sumberharjo Daleman, Sumberharjo Daleman, Sumberharjo Daleman, Sumberharjo Daleman, Sumberharjo Daleman, Sumberharjo Daleman, Sumberharjo Daleman, Sumberharjo Daleman, Sumberharjo Daleman, Sumberharjo Daleman, Sumberharjo Daleman, Sumberharjo Daleman, Sumberharjo Daleman, Sumberharjo 92 Kelompok Wanita Tani ” PERINTIS ” Alamat : Dusun Gangsiran, Madurejo, Prambanan, Sleman, Yogyakarta SUSUNAN PENGURUS Pelindung Pembina No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 : Bp. Kadus Gangsiran : PPL Nama Surati Mulyani Naning Purwanti Siti Romlah Sugiyanti Mami Indarwati Ny. Marsudi Aminah Sri Sukamti Sudilah Ny. Cipto Sumaryati Suharni Supriyantini Salinem Kristin Astuti Sumarni Suchiyatmi Murjiyah J. Salinem Kartimah Aminah Sri Widayati Yayuk Zubaedah Titik Rahardjo Yuliana Sriwiratmi Tugiyah Menuk Suyati Sugiyati Jiwo Sumarto Jabatan dalam kelompok Ketua I Ketua II Sekretaris I Sekretaris II Bendahara I Bendahara II Seksi Usaha Seksi Usaha Seksi Usaha Seksi Usaha Seksi Humas Seksi Humas Seksi Humas Seksi Humas anggota Anggota Anggota anggota Anggota anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Alamat Gangsiran Gangsiran Gangsiran Gangsiran Gangsiran Gangsiran Gangsiran Gangsiran Gangsiran Gangsiran Gangsiran Gangsiran Gangsiran Gangsiran Gangsiran Gangsiran Gangsiran Gangsiran Gangsiran Gangsiran Gangsiran Gangsiran Gangsiran Gangsiran Gangsiran Gangsiran Gangsiran Gangsiran Gangsiran Gangsiran Gangsiran 93 FOTO-FOTO KEGIATAN SL-P2KP a. Kebun Kelompok, tanaman kering dan mati b. Tidak ada air tanaman cabe dan pisang kuning dan layu c. Wawancara di lahan petani 94 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kampung Harapan (kota Nikah) Sentani pada tanggal 17 Februari 1973 dari ayah Soleman Ondikeleuw dan ibu Martha Ongge. Penulis adalah putri ke empat dari sembilan bersaudara. Tahun 1992 penulis lulus dari SMA Negeri I Jayapura dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Negeri Cenderawasih Jayapura serta diterima pada Program Studi Antropology, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan menamatkannya tahun 1998. Penulis diterima menjadi staf peneliti pada instansi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Provinsi Papua melalui pengangkatan tenaga honorer/tenaga kontrak pada tahun 1999-2007, dan tahun 2007 penulis diangkat sebagai staf tetap/ Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tahun 2010 didukung oleh Pemerintah Provinsi Papua dan Beasiswa Petugas Belajar Kementerian (LITBANG) Pertanian, penulis berkesempatan melanjutkan studi Program Magister Pascasarjana pada Mayor Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor .