Templat tesis dan disertasi

advertisement
SEKOLAH LAPANG PERCEPATAN
PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN (SL-P2KP)
SEBAGAI MEDIA KOMUNIKASI KERAGAMAN PANGAN
(Kasus Kelompok Wanita Tani di Pedesaan Jawa Tengah)
MARIANA ONDIKELEUW
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Sekolah Lapang
Penganekaragaman Konsumsi Pangan (SL-P2KP) Sebagai Media Komunikasi
Keragaman Pangan (Kasus Kelompok Wanita Tani di Pedesaan Jawa Tengah)
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013
Mariana Ondikeleuw
NIM I352100091
RINGKASAN
MARIANA ONDIKELEUW. Sekolah Lapang Percepatan Penganekaragaman
Konsumsi Pangan (SL-P2KP) Sebagai Media Komunikasi Keragaman Pangan
(Kasus Kelompok Wanita Tani di Pedesaan Jawa Tengah). Dibimbing oleh
NURMALA K PANDJAITAN dan EKO SRI MULYANI.
Pangan merupakan kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia yang paling
utama, karena itu pemenuhannya menjadi hak asasi setiap individu. Untuk
mewujudkan ketersediaan pangan yang cukup bagi seluruh penduduk dan
menjamin tersedianya pangan bagi tiap-tiap rumah tangga dapat memenuhi
kebutuhannya, merupakan sasaran utama dari pembangunan ketahanan pangan.
Pembangunan ketahanan pangan ditegaskan dalam Undang Undang Nomor 7
Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 68 Tahun
2002 tentang Ketahanan Pangan, secara spesifik mengatur bahwa pemerintah
menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan
terhadap ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya,
beragam, bergizi, berimbang, aman, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mendekripsikan pola komunikasi dalam
pelaksanaan SL-P2KP di Kecamatan Prambanan Kabupaten Sleman (2)
Menganalisis hubungan intensitas komunikasi dengan efektivitas komunikasi
dalam SL-P2KP (3) Menganalisis hubungan pengetahuan dan afeksi petani dalam
pelaksanaan SL-P2KP dengan perubahan perilaku penganekaragaman konsumsi
pangan.
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif yang menggunakan metode
survey dengan kuisioner. Responden berjumlah 60 anggota kelompok wanita tani
(KWT) yang mengikuti program SL-P2KP sejak tahun 2010 pada kegiatan
optimalisasi pemanfaatan pekarangan (OPP) di Kecamatan Prambanan. Pemilihan
kelompok dilakukan secara sengaja (purposive), alasan pemilihannya karena
kedua desa ini adalah penerima kegiatan Percepatan Penganekaragaman
Konsumsi Pangan (P2KP). Pengumpulan data dan pengamatan lapangan
dilaksanakan selama bulan Juli sampai dengan September 2012. Data yang
terkumpul meliputi data primer dan sekunder baik bersifat kuantitatif maupun
kualitatif. Analisis data dilakukan menggunakan analisis uji Chi Square.
Hasil penelitian menunjukan bahwa: 1) Pola komunikasi dilaksanakan
dalam SL-P2KP menggunakan model komunikasi terdiri dari: dua arah atau
interaksional; cara lebih banyak diskusi dan pertemuan kelompok; saluran
komunikasi menggunakan surat edaran dan alat peraga atau poster. Bahasa yang
digunakan bahasa campuran antara bahasa Jawa dan Indonesia; dan sumber utama
informasi adalah penyuluh dan petani yang berpengalaman. 2) Intensitas
komunikasi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap Efektivitas komunikasi
(perubahan pengetahuan, afeksi dan perilaku) petani P2KP dalam SL-P2KP.
Dalam pelaksanaan program ini dapat dikatakan bahwa komunikasi bukan salah
satu aspek penentu perubahan perilaku tetapi juga perlu di lihat kondisi setempat
seperti fasilitas dan iklim ikut menentukan perilaku petani sehubungan dengan
kegiatan SL-P2KP. Kondisi fisik lahan setempat seperti keadaan tanah yang
gersang dan berdebu, ketersediaan bibit yang terbatas, dan kurang air. Kurang
intensifnya sosialisasi tentang adanya kegiatan ini turut menyebabkan kurang
berhasilnya program P2KP dan 3) Aspek pengetahuan dan afeksi tidak
berpengaruh nyata terhadap perubahan perilaku petani dalam SL-P2KP.
Masyarakat terbiasa makan nasi sebagai sumber pangan utama, sumber
karbohidrat lain seperti ubi jalar, singkong, jagung, talas, dan garut masih diolah
sebagai makanan camilan/ makanan selingan. Wanita tani yang tingkat
pengetahuan SL-P2KP rendah maupun tinggi ternyata hampir semuanya
berperilaku sesuai dengan apa yang disosialisasikan dalam P2KP. Hal ini
disebabkan petani sudah sering melakukan kegiatan penanaman tanaman di
pekarangan rumah yang sebenarnya sudah disosialisasikan pemerintah pada
kegiatan-kegiatan penyuluhan selama ini. Hal yang sama pada aspek afeksi.
Petani mendukung maupun tidak program ini, hampir semuanya berperilaku
sesuai.
Kata kunci: komunikasi, media, penganekaragaman pangan, masyarakat pedesaan
SUMMARY
MARIANA ONDIKELEUW. Farmer‟s Field School of Food Diversity
Acceleration as Media Communication For Food Diversity (Case of Women‟s
Farmer Group in Rural Central Java). Supervised by NURMALA K.
PANDJAITAN dan EKO SRI MULYANI
Having achieved the community food diversification program, the
government carried out the Acceleration Movement of food Consumption
Diversification (P2KP). This movement was promoted with SL-P2KP addressed
to woman farmers. Development of food security defined in Law No. 7 of 1996
on Food and Government Regulation (PP) No. 68 of 2002 on Food Security,
specifically requires that the government conduct regulation, guidance, control
and supervision of availability of adequate food, both in quantity and quality,
varied, nutritious, balanced, safe, and affordable by the community.
This study aimed : 1) To description the pattern of consumption in the
implementation of SL-P2KP, 2) To analyze the effectiveness of communication in
the implementation of SL-P2KP, 3) to analyze the relationship between the
intensity of farmers' communication in the implementation of SL-P2KP and the
behaviour of food consumption diversification.
Data collection used questionnaire survey with the 60 members of Woman
Farmers following SL-P2KP program since 2010 to optimize the utilization of
yard activities (OPP) on the Prambanan district. Group selection is done
intentionally (purposive), the reason for his election as the two villages are
receiving Food Consumption Acceleration activity (P2KP). Data collection and
field observations conducted during the months of July to September 2012. Data
analysis was performed using Chi Square test analysis.
The results showed that: 1) the communication pattern in the SL-P2KP was
communication that generally took place in interactional/two-way interaction in a
mixture of Javanese and Indonesian through form letters and posters. The main
source of information was the instructor and fellow members of woman farmers,
2) The effectiveness of communication about SL-P2KP was still low, although the
affective aspect was sufficient to support farmers. However, there was no changes
in the behavior of woman farmers in implementing and applying SL-P2KP. In the
implementation of this program can be said that communication is not one of the
key aspects of behavior change but also need to see the facilities and local
conditions such as climate in determining the behavior of farmers with respect to
the SL-P2KP activities. Physical conditions such as the state of the local land
barren and dusty soil, the limited availability of seeds and less water. Less
intensive socialization of this activity contributed to the lack of success of the
P2KP , and the main source of information is an experienced educator and farmer
and 3) there was no relationship between the communication intensity and
behavior change in SL-P2KP. aspects of knowledge and affection does not
significantly affect farmers' behavior change in the SL-P2KP. Society accustomed
to eating rice as a main food source, other sources of carbohydrates such as yams,
cassava, corn, taro, and arrowroot are still treated as a snack food. The level of
knowledge of women farmers SL-P2KP turns almost everything behaves
according to what socialized in P2KP. This farmers are often planting activities in
the yard of the house that is already socialized government on the activities during
this extension. Same thing on affective aspects. Farmers to support this program
or not, almost all of them behave accordingly. This was likely to be influenced by
the physical condition of infertile land and the availability of production facilities
like water, which the location was as far away from yards, and limited seed.
Keywords: SL-P2KP, communication
communities
media,
food
diversification,
rural
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
SEKOLAH LAPANG PERCEPATAN
PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN (SL-P2KP)
SEBAGAI MEDIA KOMUNIKASI KERAGAMAN PANGAN
(Kasus Kelompok Wanita Tani di Pedesaan Jawa Tengah)
MARIANA ONDIKELEUW
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan
Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:
Dr Ir Sarwititi Sarwoprasodjo, MS
Judul Tesis : Sekolah Lapang Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan
(SL-P2KP) Sebagai Media Komunikasi Keragaman Pangan (Kasus
Kelompok Wanita Tani di Pedesaan Jawa Tengah)
Nama
: Mariana Ondikeleuw
NIM
: I352100091
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Nurmala K Pandjaitan, MS DEA
Ketua
Dr Ir Eko Sri Mulyani, MSi
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Komunikasi Pembangunan
Pertanian dan Pedesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Djuara P Lubis, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Ujian:
29 Agustus 2013
Tanggal Lulus:
Judu\ Tesis : Sekolah Lapang Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan
(SL-P2KP) Sebagai Media Komunikasi Keragaman Pangan (Kasus
Kelompok Wanita Tani di Pedesaan Jawa Tengah)
: Mariana Ondikeleuw
Nama
: 1352100091
NIM
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Nurmala K Pandjaitan, MS,DEA
Ketua
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Komunikasi Pembangunan
Pertanian dan Pedesaan
Tanggal Ujian:
29 Agustus 2013
Tanggal Lulus: 06 NOV 2013 PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah atas segala karunia-Nya
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian
yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2012 sampai dengan September 2012 ialah
penganekaragaman
pangan, dengan judul “Sekolah Lapang Percepatan
Penganekagaman Konsumsi Pangan (SL-P2KP) Sebagai Media Komunikasi
Keragaman Pangan (Kasus Kelompok Wanita Tani di Pedesaan Jawa Tengah).”
Terima kasih penulis ucapkan kepada: Dr. Nurmala K Panjaitan MS DEA dan
Dr Ir Eko Sri Mulyani MSi selaku pembimbing. Di samping itu penghargaan penulis
sampaikan kepada Bapak Dr Ir Djuara P Lubis MS sebagai Ketua Program Studi Mayor
KMP beserta seluruh staf pengajar yang telah memberikan materi dan ilmunya selama
penulis melaksanakan tugas belajar di Institut Pertanian Bogor. Kepala Badan
Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Pertanian Kabupaten Sleman beserta seluruh
stafnya, Bapak Sriyono dan Ibu Desi selaku PPL Desa Sumberharjo dan Bapak Suratal
dan Ibu Ika Selaku PPL Desa Madurejo yang telah membantu penulis selama
mengumpulkan data. Bapak kepala desa Sumberharjo dan kepala desa Madurejo yang
telah memberikan izin penulis melakukan penelitian ini. Kelompok Wanita Tani Mawar
desa Sumberharjo dan Kelompok Wanita Tani Perintis desa Madurejo yang telah
membantu penulis dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan selama penelitian
berlangsung. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orangtua penulis
tercinta ayahanda Soleman. Ondikeleuw dan ibunda Martha. Ongge serta seluruh
keluarga atas segala doa dan kasih sayang.
Seluruh rekan mahasiswa KMP 2010 usi Ine, Uki, Fikri, pa Wije (rekan
sebimbingan), bu Damay, bu Maya, bu Ratih, bu Dewi, pa Fauzi, pa Alim, pa Langlang dan pa Tetuko. Tidak terlupakan rekan sekerja Fani, Darsono dan bu. Tina.
Rekan-rekan Forum Pasca Papua yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas segala
dukungannya untuk terus maju serta seluruh pihak yang terkait penulis ucapkan
terimakasih
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2013
Mariana Ondikeleuw
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
1
1
4
5
5
2 TINJAUAN PUSTAKA
Pelaksanaan Sekolah Lapang Percepatan Penganekaragaman Konsumsi
Pangan
Komunikasi
Komunikasi Pembangunan
Pola Komunikasi
Intensitas Komunikasi
Efektivitas Komunikasi
Kondisi Sosial Budaya Masyarakat
Adopsi Inovasi
Faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi inovasi
Kerangka Pikiran
Hipotesis
Definisi Operasional
5
5
11
13
14
22
23
25
26
28
30
31
32
3 METODOLOGI PENELITIAN
Desain Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Populasi dan Sampel Penelitian
Data dan Pengumpulan Data
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
35
35
35
35
36
37
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Pelaksanaan SL-P2KP di Kecamatan Prambanan
Karakteristik Responden Penelitian
Kondisi Sosial Budaya Masyarakat
Pola Komunikasi Anggota KWT Dalam Pelaksanaan SL-P2KP
Model Komunikasi
Bahasa yang digunakan dalam SL-P2KP
Sumber Komunikasi
Intensitas Komunikasi
Efektivitas Komunikasi
37
37
42
46
51
53
53
55
56
58
62
Hubungan antara Intensitas Komunikasi Dengan Efektivitas Komunikasi
Dalam SL-P2KP
65
Hubungan antara Pengetahuan Dan Afeksi Terhadap
Perubahan Perilaku
68
5 SIMPULAN DAN SARAN
71
DAFTAR PUSTAKA
72
LAMPIRAN
76
RIWAYAT HIDUP
94
DAFTAR TABEL
1 Nama kelompok wanita tani di Kecamatan Prambanan
36
2 Distribusi nama dan luas desa di wilayah Kecamatan Prambanan tahun
2010
39
3 Jumlah penduduk Kecamatan Prambanan yang bekerja menurut
kelompok umur dan jenis kelamin tahun 2010
39
4 Jumlah penduduk menurut pekerjaan utama di Kecamatan Prambanan
tahun 2010
40
5 Produksi dan rata-rata produksi tanaman pangan dan hortikultura di
Kecamatan Prambanan, 2008-2010
40
6 Luas lahan dan peruntukkannya di Kecamatan Prambanan tahun 2010
41
7 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat umur
46
8 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan
47
9 Jumlah dan persentase responden berdasarkan luas lahan yang dimiliki
48
10 Jumlah dan persentase responden berdasarkan luas lahan yang
dimanfaatkan
49
11 Jumlah dan persentase responden berdasarkan status dan keterlibatan
dalam kelompok
50
12 Jumlah dan persentase responden berdasarkan cara penyampaian
informasi dalam kegiatan SL-P2KP
53
13 Jumlah dan persentase responden berdasarkan arah komunikasi yang
digunakan dalam kegiatan SL-P2KP
54
14 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tanya jawab yang
digunakan dalam kegiatan SL-P2KP
54
15 Jumlah dan persentase responden berdasarkan saluran komunikasi
dalam kegiatan SL-P2KP
55
16 Jumlah dan persentase responden berdasarkan bahasa yang digunakan
dalam kegiatan SL-P2KP
56
17 Jumlah dan persentase responden berdasarkan sumber informasi dalam
kegiatan SL-P2KP
56
18 Jumlah dan persentase responden berdasarkan kehadiran penyuluh
dalam kegiatan SL-P2KP
58
19 Jumlah dan persentase responden berdasarkan peran penyuluh lapangan
dalam kegiatan SL-P2KP
59
20 Intensitas pembicaraan tentang SL-P2KP yang dilakukan petani dan
penyuluh didalam pertemuan
59
21 Jumlah dan persentase petani berdasarkan intensitas pembicaran yang
dilakukan antar sesama anggota tentang kegiatan SL-P2KP
60
22 Jumlah dan persentase petani berdasarkan intensitas pembicaran yang
dilakukan dengan penyuluh tentang kegiatan SL-P2KP di luar
pertemuan
60
23 Frekuensi pertemuan penyuluh dengan petani dan penyuluh didalam
pertemuan
60
24 Frekuensi pertemuan penyuluh dengan petani dan penyuluh di luar
pertemuan
61
25 Jumlah dan persentase petani berdasarkan intensitas komunikasi dalam
pelaksanaan SL-P2KP
61
26 Jumlah dan persentase petani berdasarkan tingkat pengetahuan pada
kegiatan SL-P2KP
62
27 Jumlah dan persentase petani berdasarkan tingkat afeksi pada kegiatan
SL-P2KP
63
28 Jumlah dan persentase petani
kegiatan SL-P2KP
64
berdasarkan tingkat perilaku pada
29 Jumlah dan persentase petani berdasarkan tingkat perilaku pemanfaatan
sumber karbohidrat selain beras
64
30 Jumlah persentase petani menurut intensitas komunikasi dan tingkat
pengetahuan dalam pelaksanaan SL-P2KP
65
31 Hubungan antara intensitas komunikasi dengan tingkat pengetahuan
petani pada pelaksanaan SL-P2KP
66
32 Jumlah persentase petani menurut intensitas komunikasi dan tingkat
afeksi dalam pelaksanaan SL-P2KP
66
33 Hubungan antara intensitas komunikasi dengan tingkat afeksi petani
pada pelaksanaan SL-P2KP
67
34 Jumlah persentase petani
menurut intensitas komunikasi dan
perubahan perilaku dalam pelaksanaan SL-P2KP
68
35 Hubungan antara intensitas komunikasi dengan perubahan perilaku
petani pada pelaksanaan SL-P2KP
68
36 Jumlah persentase petani menurut tingkat pengetahuan
perubahan perilaku dalam pelaksanaan SL-P2KP
69
37 Hubungan antara tingkat pengetahuan
petani pada pelaksanaan SL-P2KP
terhadap
dengan perubahan perilaku
38 Jumlah persentase petani menurut tingkat afeksi terhadap perubahan
perilaku dalam pelaksanaan SL-P2KP
69
70
39 Hubungan antara tingkat afeksi dengan perubahan perilaku petani pada
pelaksanaan SL-P2KP
70
DAFTAR GAMBAR
1 Model komunikasi interaksional
18
2 Kerangka berpikir hubungan antar peubah dalam penelitian
31
3 Foto-foto kegiatan
93
DAFTAR LAMPIRAN
1 Peta lokasi penelitian
76
2 Daftar kuisioner penelitian petani
77
3 Uji hubungan antar peubah
85
4 Struktur Organisasi dua KWT di Kecamatan Prambanan
91
5 Riwayat Hidup
94
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang
pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat, selain itu pangan merupakan
komoditi dagang yang sangat berperan dalam kehidupan ekonomi. Sasaran utama
dari pembangunan ketahanan pangan adalah mewujudkan ketersediaan pangan
yang cukup bagi seluruh penduduk dan menjamin tersedianya pangan bagi tiaptiap rumah tangga dapat memenuhi kebutuhannya. Pembangunan ketahanan
pangan ditegaskan dalam Undang-Undang Pangan Nomor 7 Tahun 1996 tentang
Pangan dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan
Pangan, yang secara spesifik mengatur bahwa pemerintah menyelenggarakan
pengaturan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan terhadap ketersediaan
pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, beragam, bergizi, berimbang,
aman, merata dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Di sisi lain masyarakat
berperan dalam menyelenggarakan produksi, penyediaan, perdagangan dan
distribusi sekaligus sebagai konsumen.
Pemenuhan kebutuhan pangan tidak hanya membahas produksi saja tetapi
juga dalam ketersediaan maupun konsumsi yang seringkali menimbulkan
persoalan. Pertambahan jumlah penduduk, dampak perubahan iklim global,
peningkatan pendapatan perkapita finansial masyarakat, dan perubahan pola
konsumsi masyarakat menuntut penyediaan dan keragaman pangan yang
meningkat pula. Selain itu, konsumsi terhadap bahan pangan lainnya seperti pada
kelompok umbi-umbian, pangan hewani, sayur dan buah belum memenuhi
komposisi ideal yang dianjurkan (Pedum P2KP, 2012). Hal ini berarti bahwa
diversifikasi pangan sangat diperlukan untuk mendukung pemantapan
swasembada pangan.
Upaya penganekaragaman pangan sangat penting untuk dilaksanakan,
mengingat permintaan terhadap beras makin meningkat seiring dengan
perkembangan jumlah penduduk dan peningkatan kualitas hidup, dampak
perubahan iklim, adanya efek pemberian beras bagi keluarga miskin (Raskin)
sehingga semakin mendorong masyarakat yang sebelumnya mengonsumsi pangan
pokok (umbi-umbian) menjadi mengonsumsi beras (padi), serta belum optimalnya
pemanfaatan pangan lokal sebagai sumber pangan pokok bagi masyarakat
setempat. Rachman dan Ariani (2008) menunjukkan bahwa sejak tahun 2005
mayoritas masyarakat Indonesia di kota atau desa, kaya atau miskin memiliki satu
pola makan pokok yaitu beras dan mie. Konsumsi pangan masyarakat masih
belum beragam dan seimbang, dan peranan pangan import seperti terigu, susu,
kedele meningkat, sementara konsumsi pangan lokal seperti sagu, jagung dan
umbi-umbian cenderung menurun. Konsumsi pangan sumber protein, vitamin dan
mineral berupa pangan hewani, sayuran dan buah masih rendah.
Dalam mewujudkan diversifikasi/penganekaragaman pangan Pemerintah
melalui Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian Republik Indonesia
mengupayakan suatu percepatan pencapaian diversifikasi konsumsi pangan yakni
melaksanakan gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP)
mulai tahun 2010. Tujuan kegiatan P2KP yaitu (1) meningkatkan kesadaran dalam
2
mewujudkan pola konsumsi pangan yang bergizi, berimbang, sehat dan aman
(B2SA) serta mengurangi ketergantungan terhadap bahan pangan pokok beras; (2)
Meningkatkan partisipasi kelompok wanita dalam penyediaan sumber pangan dan
gizi keluarga melalui optimalisasi pemanfaatan pekarangan sebagai penghasil
sumber karbohidrat, protein, vitamin dan mineral untuk konsumsi keluarga; dan
(3) Mendorong pengembangan usaha pengolahan pangan sumber
karbohidrat selain beras dan terigu. Gerakan ini disosialisasikan melalui Sekolah
Lapang-P2KP.
Sekolah Lapang-P2KP ditujukan bagi kelompok wanita tani, karena
merupakan bagian integral dari masyarakat yang mempunyai peran yang sangat
penting dalam penyediaan sumber pangan dan gizi keluarga. Kegiatan
pemberdayaan anggota Kelompok Wanita Tani (KWT) bertujuan untuk
mengembangkan pola pikir ibu rumahtangga tentang komposisi menu makanan ke
arah beragam, bergizi seimbang dan aman melalui pemanfaatan pekarangan dan
pemanfaatan pangan lokal sebagai sumber karbohidrat (Pedum P2KP, 2012). Hal
ini sesuai dengan peran strategis perempuan dalam rumah tangga untuk
menentukan menu makanan, mengolah bahan makanan dan menyediakan makan
dalam keluarga. Melalui gerakan tersebut diharapkan pola pembangunan
ketahanan pangan bertumpu pada kelompok wanita tani secara langsung dan
menjadi aktor utama bukan sebagai penonton, dengan demikian masyarakat dapat
berperan secara aktif dalam setiap proses pembangunan di pedesaan.
Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) telah
dilaksanakan sejak tahun 2010 di Kecamatan Prambanan Kabupaten Sleman
melalui sekolah lapang-P2KP yang diikuti oleh anggota kelompok tani yang
tergabung dalam dua KWT yakni Kelompok Wanita Tani Mawar dan Perintis.
Kelompok wanita tani terbentuk sejak tahun 2005 belum mendapat bantuan
sehingga dengan adanya kegiatan ini dapat meningkatkan kesejahteraan.
Pelaksanaan SL-P2KP dilaksanakan sesuai kesepakatan masing-masing kelompok.
Jadwal mengenai materi yang akan dilakukan dibuat oleh petugas lapang
(penyuluh) dan pengurus KWT dan disesuaikan dengan kebutuhan kelompok.
Waktu atau jam pelaksanaan disesuaikan dengan kegiatan ibu-ibu dengan kisaran
waktu antara jam 10.00 pagi dan jam 13.00 (jam 1 siang). Kelompok Mawar
pelaksanaan SL-P2KP hari Selasa jam 10.00 sampai jam 12.00 (dua jam),
kelompok Perintis hari Rabu jam 13.00 sampai jam 15.00 sore hari.
Permasalahan yang dihadapi di lapangan adalah dari kelompok penerima
kegiatan SL-P2KP, secara keseluruhan belum menunjukkan adanya
perkembangan yang signifikan sesuai dengan tujuan dari program P2KP. Hal
tersebut disebabkan oleh beberapa hal di antaranya minimnya sosialisasi yang
dilakukan, petani kurang mengetahui tentang tujuan dan manfaat P2KP, lahan
pekarangan sebagian belum tampak tanaman sehingga berpengaruh pada perilaku
mereka. Diduga bila petani mengetahui dan memahami tentang program P2KP
dengan baik, sosialisasi terlaksana, akan mempengaruhi efektivitas komunikasi
dalam program P2KP dalam sekolah lapang. Dengan pelaksanaan SL-P2KP
diharapkan untuk mengembangkan pola pikir ibu rumah tangga/wanita tentang
komposisi menu makanan ke arah beragam, bergizi seimbang dan aman melalui
pemanfaatan pekarangan dan pemanfaatan pangan lokal sebagai sumber
karbohidrat non beras dan terigu.
3
Sekolah Lapang adalah sistem Pendidikan dan Latihan (Diklat) untuk
mengubah sasaran diklat dari sikap “ketergantungan” (dependent) ke arah
“kemandirian” (independent) dan sikap saling “ketergantungan” (interdependent)
dalam kelompok, dari sikap kerja berdasarkan kebiasaan/pengertian ke arah kerja
rasional; dari sekedar biasa bekerja atau terampil ke arah bekerja secara
profesional (Pedum, 2012). Pelaksanaan Sekolah Lapang-P2KP memerlukan
partisipasi seluruh masyarakat. Partisipasi merupakan manifestasi dari perilaku
seseorang atau sekelompok masyarakat dalam mewujudkan perannya sesuai
harapan masyarakat yang melakukan tindakan sosial untuk mencapai tujuan
tertentu (Supandi, 2008). Partisipasi dalam hal mengemukakan pendapat, dan
berinteraksi dengan sesama anggota merupakan harapan, yang ingin dicapai
dalam kegiatan SL-P2KP. Keikutsertaan masyarakat yang dibarengi dengan
intensitas komunikasi yang tinggi dalam kegiatan SL-P2KP dapat menumbuhkan
rasa memiliki, sehingga program tersebut dapat berkelanjutan.
Keberhasilan SL-P2KP bergantung pada sinergis kerjasama antar anggota
kelompok wanita tani, penyuluh pendamping dan Pemerintah Daerah serta
berperan aktif dalam pertemuan kelompok dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan.
Partisipasi itu dipengaruhi oleh pola komunikasi dan intensitas komunikasi yang
terjadi antar anggota kelompok, dan antar anggota kelompok dengan petugas
lapang/penyuluh pendamping, yang akan membantu kelancaran proses sosialisasi
maupun dalam pelaksanaan kegiatan program SL-P2KP di lapangan.
Pola komunikasi merupakan proses komunikasi yang terjadi meliputi model
komunikasi yang digunakan, cara menyampaikan informasi dan saluran yang
digunakan. Dalam kegiatan SL-P2KP diharapkan anggota kelompok wanita tani
dapat menjadi lebih aktif dalam menyampaikan pendapat atau menyampaikan
pertanyaan terkait dengan kegiatan yang diberikan dan dengan mudah melakukan
komunikasi secara aktif dengan petugas lapang. Intensitas komunikasi adalah
frekuensi pembicaraan antara petani dan penyuluh, petani dengan sesama anggota
baik di dalam maupun di luar pertemuan, frekuensi pertemuan diantara petani dan
penyuluh, petani dan sesama anggota baik di dalam maupun di luar pertemuan
SL-P2KP. Kemajuan pelaksanaan kegiatan SL-P2KP sangat dipengaruhi oleh
tersedianya informasi dan komunikasi. Oleh karena itu, pelaksanaan program SLP2KP sangat memerlukan adanya dukungan komunikasi yang efektif. Keefektivan
komunikasi mampu menggambarkan kemampuan untuk mencapai sasaran-sasaran
dan tujuan akhir melalui intensitas komunikasi yaitu perubahan perilaku.
Efektivitas komunikasi ditandai dengan serangkain perubahan yang terjadi
pada diri khalayak komunikasi penerima informasi dan perubahan perilaku
(behavioral) yang terdiri dari perubahan kognitif, afektif, dan konatif. Dukungan
melalui komunikasi dapat mengubah segala ketidakpedulian masyarakat terhadap
kepentingan dan komitmen, ketidakacuhan akan pengetahuan, dan mengubah
sikap mental atau kebiasaan yang sebelumnya menentang perubahan pengetahuan,
afeksi dan tindakan/perilaku. Menurut Berlo (1960), agar terjadi komunikasi yang
efektif, komponen-komponen komunikasi perlu diperhatikan, mulai dari
komunikator, pesan, saluran, dan komunikan sebagai sasaran komunikasi. DeVito
(1997) menyebutkan bahwa komunikasi selalu mempunyai efek atau dampak atas
satu atau lebih orang yang terlibat dalam tindak komunikasi. Efek tersebut adalah
dampak intelektual (pengetahuan), dampak perubahan sikap (afeksi) dan dampak
perubahan tindakan (psikomotorik)
4
Komunikasi timbal balik (dua arah) yang intens antara pihak-pihak yang
terlibat dalam kegiatan sekolah lapang-P2KP dengan anggota kelompok wanita
tani sangat diperlukan agar apa yang diinginkan baik oleh Balai Penyuluhan,
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP3K), Petugas Penyuluh Lapang (PPL)
maupun anggota kelompok wanita tani dalam pelaksanaan SL-P2KP dapat
tercapai. Dengan komunikasi efektif yang dilakukan peran penyuluh pendamping
lapang diharapkan dapat menghilangkan berbagai hambatan, terutama dalam hal
tukar-menukar informasi maupun berbagai ketimpangan dalam pelaksanaan SLP2KP. Oleh karena itu, sejauh mana intensitas komunikasi dalam pelaksanaan SLP2KP perlu dikaji. Demikian pula dengan proses keberlanjutan dari penerapan
pangan lokal tentu tidak terlepas dari berbagai faktor-faktor yang diduga
mempengaruhi komunikasi dalam SL-P2KP perlu di teliti lebih dalam lagi.
Perumusan Masalah
Komunikasi merupakan salah satu esensi keberlangsungan hidup manusia.
Dengan komunikasi, manusia dapat belajar dan mengembangkan kemampuan
serta potensi yang ada pada dirinya. Setiap manusia yang hidup di muka bumi ini
selalu berusaha melakukan sesuatu yang baik untuk hidupnya, manusia cenderung
melaksanakan semua aktivitas komunikasi yang berkaitan dengan hidupnya
sepanjang itu menguntungkan dirinya. Proses pelaksanaan program SL-P2KP
merupakan suatu proses komunikasi partisipatif. Melalui tahapan yang
dilaksanakan, diharapkan kelompok wanita tani sebagai sasaran akhir terlibat
secara langsung dapat mencari solusi untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi
berkaitan dengan optimalisasi pemanfaatan pekarangan. Kelompok wanita tani
(KWT) di Kecamatan Prambanan Kabupaten Sleman selalu melakukan aktivitas
komunikasi sehari-hari yang berkaitan dengan pelaksanaan SL-P2KP. Aktivitas
komunikasi tersebut tidak terlepas dari karakteristik individu sebagai peserta
sekolah Lapang-P2KP dan faktor lingkungan sosial budaya yang mempengaruhi
perubahan perilaku masyarakat.
Penelitian Murtadha (2009) menyebutkan bahwa dalam aktivitas
komunikasi dapat terjadi melalui dialog interaktif, pertemuan rapat rutin,
mengadakan pengumpulan massa, dan mengundang wartawan dari masingmasing media. Mefalopulos dan Kamlongera 2004 menyatakan dalam komunikasi
pembangunan terjadi pergeseran dari pendekatan komunikasi linier (modernisasi)
mengarah pada pendekatan partisipatori. Di dalam pendekatan komunikasi
partisipatori pemahaman terhadap pesan dibangun melalui proses komunikasi dua
arah dan dialogis dengan prinsip penghargaan dan kesetaraan. Slamet (2003)
menyimpulkan bahwa masyarakat dapat dikatakan berdaya jika memiliki
pengetahuan (kognitif), sikap (afektif) dan keterampilan. Oleh karena itu, dapat
dirumuskan permasalahan yang menarik untuk diteliti sebagai berikut :
1. Bagaimana pola komunikasi dalam pelaksanaan SL-P2KP di Kecamatan
Prambanan?
2. Bagaimana hubungan intensitas komunikasi antara penyuluh dengan petani
maupun antara petani dengan petani peserta SL-P2KP dengan efektivitas
komunikasi P2KP di Kecamatan Prambanan?
5
3.
Bagaimana hubungan antara pengetahuan dan afeksi tentang P2KP dengan
perubahan perilaku peserta SL-P2KP dalam kegiatan SL-P2KP di Kecamatan
Prambanan?
Tujuan Penelitian
1.
2.
3.
Penelitian ini bertujuan untuk:
Mendeskripsikan pola komunikasi dalam pelaksanaan SL-P2KP di
Kecamatan Prambanan.
Menganalisis hubungan intensitas komunikasi dengan efektivitas komunikasi
dalam SL-P2KP di Kecamatan Prambanan.
Menganalisis hubungan antara tingkat pengetahuan dan afeksi petani dengan
perubahan perilaku dalam pelaksanaan SL-P2KP di Kecamatan Prambanan.
Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian maka penelitian ini
diharapkan dapat berguna untuk :
1. Secara akademis, diharapkan dapat memberikan masukan bagi
pengembangan ilmu pengetahuan khususnya disiplin ilmu komunikasi
Pembangunan Pertanian dan Pedesaan.
2. Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi pemerintah Kabupaten Sleman
khususnya
Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan dalam upaya
menentukan kebijakan dalam program kerjanya yang berhubungan dengan
efektivitas komunikasi khususnya pada kegiatan Gerakan SL-P2KP.
3. Menjadi referensi untuk penelitian lanjutan yang berhubungan dengan
efektivitas komunikasi khususnya kegiatan SL-P2KP.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Pelaksanaan Sekolah Lapang Percepatan Penganekaragaman Konsumsi
Pangan (SL-P2KP)
Dalam mewujudkan diversifikasi pangan dengan sasaran peningkatan
konsumsi pangan beragam, bergizi seimbang dan aman, pemerintah telah
mencanangkan Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP)
Berbasis Sumber Daya Lokal, utamanya di pedukuhan (kampung) dan pedesaan di
hampir seluruh Indonesia. Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi
Pangan (P2KP) Berbasis Sumber Daya Lokal diselenggarakan oleh Kementan
pada tahun 2010. P2KP merupakan program partisipatif Kementan, yang
dilaksanakan dalam kegiatan pemberdayaan kelompok wanita melalui
optimalisasi pemanfaatan pekarangan dan pemanfaatan pangan lokal serta
pengembangan usaha rumah tangga pangan lokal berbasis tepung-tepungan.
Pelaksanaan kegiatan P2KP dibiayai melalui APBN tahun anggaran 2010 dengan
6
mekanisme dana bantuan sosial (Bansos) yang langsung disetor ke rekening KWT.
P2KP diimplementasikan di 5700 desa di 33 Provinsi. Untuk mencapai hasil yang
maksimal dalam pelaksanaan P2KP, kelompok wanita tani (KWT) didampingi
oleh tenaga Penyuluh Pertanian Lapang (PPL) dan Tenaga Harian Lepas (THL)
Sasaran kegiatan pemberdayaan kelompok wanita adalah kelompok wnita
yang telah memiliki kelembagaan yang aktif dengan pendekatan pemilihan
berdasarkan dasa wisma atau tempat tinggal berdekatan dengan jumlah anggota
minimal 10 rumah tangga. Tujuan dari program P2KP adalah; (1) Meningkatkan
partisipasi kelompok wanita dalam penyediaan sumber pangan keluarga melalui
optimalisasi pemanfaatan pekarangan sebagai penghasil sumber karbohidrat,
vitamin, mineral dan protein untuk konsumsi keluarga; (2) Meningkatkan
pemanfaatan pangan khas daerah dan produk olahannya sebagai sumber
karbohidrat selain beras dan terigu, dan: (3) Meningkatkan kesadaran, motivasi,
partisipasi dan aktivitas masyarakat dalam mewujudkan penganekaragaman
konsumsi pangan. Gerakan ini disosialisasikan melalui Sekolah Lapang-P2KP.
Sekolah Lapang-P2KP adalah suatu tempat pendidikan non formal bagi
masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam
pengembangan pemanfaatan pekarangan dalam rangka penganekaragaman
konsumsi pangan sesuai dengan sumberdaya lokal.
Pola penyelenggaraan SL-P2KP berfungsi sebagai pusat pembelajaran bagi
kelompok wanita, sekaligus sebagai media tukar informasi dan pengalaman
lapangan serta sebagai percontohan bagi kawasan lainnya. SL-P2KP dapat
dilakukan ditempat yang berdekatan dengan lahan belajar. Dalam melaksanakan
pembelajaran kelompok di bimbing oleh penyuluh. PPL mempunyai peran
sebagai: 1) Pemandu yang paham terhadap materi, permasalahan dan kebutuhan
yang ada di lapangan; 2) Dinamisator proses SL-P2KP sehingga menimbulkan
ketertarikan dan lebih menghidupkan dalam budidaya dan dapat membangun
kesadaran masyarakat dalam memanfaatkan pekarangan dalam rangka percepatan
penganekaragaman konsumsi pangan; dan 3) Konsultan bagi anggota kelompok
SL-P2KP untuk mempermudah menentukan langkah-langkah selanjutnya setelah
kegiatan kelompok (Petunjuk Pelaksanaan Percepatan Penganekaragaman
Konsumsi Pangan (P2KP) Provinsi DIY) .
Sekolah lapangan
Pengembangan sumberdaya manusia merupakan bagian kegiatan
pembangunan yang sangat penting dalam pembangunan pertanian. Pengembangan
sumberdaya manusia dilaksanakan terutama melalui pendidikan dan pelatihan.
Upaya-upaya pengembangan dan penyempurnaan pendidikan dan pelatihan di
lingkungan Departemen Pertanian terus menerus dilakukan baik dari segi sistem,
pola metode maupun model diklat. Salah satu model diklat yang dianggap efektif
dalam rangka mempercepat alih teknologi kepada petani-nelayan adalah apa yang
dinamakan Sekolah Lapangan (SL). Sekolah Lapangan (SL) adalah suatu model
pelatihan yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan untuk
mempercepat proses kompetisi sasaran, di mana proses berlatih melatih
dilaksanakan melalui kegiatan belajar sambil mengerjakan dan belajar untuk
menemukan atau memecahkan masalah sendiri, dengan berasas kemitraan antara
pelatih dan peserta (Pedum, 2012). Menurut Zamzaini (2007), SLPHT adalah
7
pertemuan petani setiap seminggu sekali untuk belajar mengenai pertanian dan
permasalahannya serta mencari jalan pemecahannya.
Tujuan dari penyelenggaraan SL-P2KP adalah; (a) membudayakan
pemanfaatan pekarangan dalam mendukung penganekaragaman konsumsi pangan
dikalangan masyarakat, (b) mempercepat penerapan pengetahuan tentang
penganekaragaman konsumsi pangan, sehingga dapat meningkatkan pengetahuan
dan kesadaran dalam mengelola pekarangan, (c) meningkatkan motivasi dan
partisipasi masyarakat dalam pengembangan penganekaragaman konsumsi
pangan melalui pemanfaatan pangan. Adapun sasaran kegiatan adalah: (a)
meningkatnya partisipai kelompok wanita dalam penyediaan sumber pangan
keluarga yang beragam, bergizi seimbang dan aman melalui pemanfaatan
pekarangan sebagai penghasil sumber karbohidrat, vitamin, mineral dan protein
untuk konsumsi keluarga, (b) meningkatnya pemanfaatan pangan khas daerah dan
produk olahannya sebagai sumber karbohidrat selain beras dan terigu, (c)
meningkatnya motivasi, partisipasi, dan aktivitas masyarakat dan anak usia dini
dalam penganekaragaman konsumsi pangan dan (d) berkembangnya Rumah
Pangan Lestari pada kawasan P2KP berbasis sumber daya lokal. Selain sasaran
kegiatan juga diperlukan sasaran pendampingan bagi peserta sekolah lapang.
Sasaran pendampingan adalah 40 kelompok wanita dan 40 orang pemandu
lapangan (Desa P2KP 2012), 30 kelompok wanita dan 30 pemandu (Desa P2KP
2011), dan 20 kelompok dan 20 pemandu (Desa P2KP APBN Penghematan 2011)
yang merupakan mata rantai dari sistem pemanfaatan teknologi yang saling
ketergantungan, saling mendukung dan saling menguatkan. Kelompok sasaran
optimalisasi pemanfaatan pekarangan adalah kelompok wanita yang memiliki
kelembagaan aktif dengan pendekatan pemilihan berdasarkan dasa wisma dengan
jumlah anggota minimal 10 orang atau lebih.
Pendekatan inilah yang dilakukan dalam kegiatan SL-P2KP merupakan
tugas bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat. Sesuai
dengan semangat dan paradigma baru pembangunan, peran dan partisipasi
masyarakat dalam hal ini kelompok perempuan tani peserta kegiatan SL-P2KP
harus dikedepankan sebagai pelaku utama penentu keberhasilan program.
Partisipasi pemerintah, masyarakat, swasta, organisasi non-pemerintah/LSM,
organisasi profesi maupun perguruan tinggi sangat dibutuhkan untuk mendukung
pelaksanaan gerakan penganekaragaman konsumsi pangan.
Pola Konsumsi Pangan pada Masyarakat
Pola konsumsi pangan adalah susunan makanan yang mencakup jenis dan
jumlah bahan makanan rata-rata per orang per hari yang umum dikonsumsi
ataudimakan penduduk dalam jangka waktu tertentu. Salah satu faktor yang
mempengaruhi pola konsumsi pangan adalah kebiasaan atau gaya hidup (Bulu,
2010). Dalam mengkonsumsi makanan, aspek yang diperhatikan tidak hanya
masalah kuantitas tetapi juga aspek kualitas pangan. Selama ini untuk mengukur
kualitas pangan yang sekaligus juga keragaman/diversifikasi konsumsi pangan
dilakukan dengan memperhatikan skor Pola Pangan Harapan (PPH). Kualitas
konsumsi pangan dianggap baik dan terdiversifikasi sempurna apabila skor PPH
mencapai 100 dan dapat dikatakan semakin tinggi skor, diversifikikasi konsumsi
pangan semakin baik.
8
Konsumsi beras menunjukkan kecenderungan yang menurun dari tahun ke
tahun walaupun dengan laju yang kecil. Walaupun menurun, namun tingkat
konsumsi beras masih tinggi yaitu 280,06 gram/kapita/hari atau 100,82
kg/kapita/tahun. Pangsa energi dari beras saja mencapai 51,7 persen dari total
konsumsi energi, padahal dalam konsep PPH, pangsa energi dari kelompok padipadian seharusnya hanya 50 persen. Oleh karena itu, konsumsi beras harus
diturunkan, apalagi dengan tantangan kedepan untuk memproduksi beras. Ratarata konsumsi beras dunia hanya 60 kg/kapita/tahun, sedangkan Malaysia dan
Thailand masing-masing juga hanya 80 kg dan 90 kg/kapita/tahun
Menurut Ariani (2010) dengan menggunakan data SUSENAS berbagai
tahun menunjukkan bahwa pola konsumsi pangan pokok di Indonesia dari pola
yang beragam pangan pokok ke arah pola tunggal dan ke arah beras. Selanjutnya
dikatakan masyarakat yang semula mempunyai pola jagung seperti di Provinsi
Nusa Tenggara Timur serta sagu di Papua dan Maluku juga sudah ke arah beras.
Dalam direktori Badan ketahanan Pangan (2009) terlihat bahwa rumahtangga
yang tingkat pendapatannya di atas Rp.100 ribu/kapita/bulan, pola konsumsi
pangan pokoknya sudah pola beras plus terigu (termasuk turunannya seperti mi
instan). Sebaliknya pada kelompok pendapatan di bawah Rp 100 ribu/kapita/bulan,
masih ditemukan pola pangan pokok yang menggunakan pangan lokal seperti
jagung, ubikayu dan sagu.
Dengan demikian dapat diartikan bahwa pola konsumsi masyarakat
Indonesia masih perlu ditingkatkan keragamannya baik mencakup pangan pokok
maupun untuk jenis pangan lainnya. Diversifikasi pangan juga menjadi salah satu
pilar utama dalam mewujudkan ketahanan pangan. Apalagi bila mengacu pada
konsep gizi bahwa tidak ada satu jenis panganpun yang lengkap zat gizinya sesuai
dengan kebutuhan manusia untuk hidup sehat.
Prinsip, Ciri dan Azas Sekolah Lapangan
Prinsip sekolah Lapangan adalah proses berlatih berdasarkan
agroekosistem dan sosial sistem, pengembangan kemampuan usahatani produktif,
komersial berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, pengembangan sumberdaya
petani-nelayan dan petugasnya sebagai subyek dan ahli. Sekolah Lapangan
diperuntukkan bagi kelompok wanita, sekaligus sebagai media tukar informasi,
dan pengalaman lapangan dan pembinaan manajemen kelompok serta sebagai
percontohan bagi kawasan lainnya. Di sekolah lapang seperti seorang murid
dengan guru, dimana kaum perempuan sebagai murid/penerima materi pelajaran
dan sebagai guru adalah PPL dan THL. Antara murid dan guru tidak ada
perbedaan, yang diutamakan kebersamaan, masing-masing dapat menerima dan
berinteraksi dalam memberi pengetahuan.
Melalui SL-P2KP diharapkan dapat terjadi percepatan alih teknologi dari
pendamping kepada peserta untuk membudayakan pemanfaatan pekarangan dari
yang tidak biasa di manfaatkan menjadi suatu kebiasaan; mempercepat
peningkatan pengetahuan dan kesadaran dalam mengelola pekarangan dan
meningkatkan motivasi dan partisipasi peserta dalam pengembangan
penganekaragaman konsumsi pangan melalui pemanfaatan pekarangan. Kemudian
berlangsung penyebarserapan secara alamiah dari alumni SL-P2KP kepada
keluarga dan petani di sekitarnya.
9
Mekanisme Pelaksanaan Materi SL-P2KP
Menurut Lestari dkk (2001) materi adalah isi atau topik pengajaran yang
bermanfaat bagi pembelajar. Materi tersebut harus: a) sesuai dengan kebutuhan
pembelajar; b) dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari; c) tersusun dengan
baik, logis dan jelas; d) konsisten dengan tujuan keseluruhan; e) menantang,
menyenangkan dan penting bagi pembelajar.
Jenis materi yang disampaikan dalam pertemuan atau sosialisasi
optimalisasi pemanfaatan pekarangan kepada kelompok wanita dilakukan minimal
tiga kali dengan materi difokuskan pada pengelolaan budidaya tanaman pangan
sumber karbohidrat, protein, vitamin dan mineral, pengelolaan pasca panen,
pengolahan bahan pangan, penyusunan menu dan penyajian yang beragam,
bergizi, berimbang dan aman berbasis pangan lokal bagi keluarga.
Penyampaian materi pertemuan berisikan : Pengenalan tentang kegiatan
SL-P2KP; Pemanfaatan pekarangan sebagai sumber pangan dan gizi keluarga;
konsep pekarangan terpadu (5 fungsi pekarangan); Sosialisasi Pengembangan
Pekarangan Kelompok; Menyusun menu beragam, bergizi, berimbang dan aman
bagi keluarga; Pengenalan URT (ukuran rumah tangga) bahan pangan; Fungsi
makanan bagi tubuh (Triguna makanan); Penanganan Pasca Panen tanaman;
Aneka olahan dan kreasi hasil tanaman pekarangan; Keamanan pangan segar;
Membuat olahan pangan (makanan selingan); Teknik memncuci dan memasak
makanan yang benar; Manajemen bisnis pangan lokal dan Pola hidup sehat. Tidak
kalah penting mengevaluasi pelaksanaan SL-P2KP baik dari segi materi maupun
proses pelaksanaannya. Demikian pula perlu di evaluasi apa saja yang menjadi
hambatan dalam pelaksanaan kegiatan. Materi dalam kurikulum dapat disesuaikan
dengan kebutuhan setempat. Persiapan dilakukan ditingkat desa/kecamatan dan
ditingkat kelompok tani.
Pemantauan merupakan unsur yang penting dalam suatu kegiatan.Pemantauan
dilakukan secara kontinu dalam jangka waktu tertentu, terhadap perkembangan setiap
pelaksanaan kegiatan P2KP oleh pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan desa. Hal–hal
yang akan dipantau adalah kelengkapan administrasi, penggunaan dana, dokumen
operasional berupa juklak, juknis, persiapan dan pelaksanaan kegiatan di kelompok
wanita tani. Hal-hal penting yang perlu dilaporkan dalam pemantauan, perlu
dianalisis lebih lanjut, sebagai bahan/informasi untuk evaluasi dan tindakan perbaikan
pelaksanaan P2KP.
Evaluasi dilaksanakan secara berjenjang mulai dari kabupaten/kota, provinsi,
pusat, secara periodik minimal 2 (dua) kali setahun. Evaluasi dimaksudkan
untukmengetahui sejauhmana peran dan tanggungjawab kelembagaan yang
menangani P2KP, dan tingkat keberhasilan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan
indikator yang telah ditetapkan.
Prosedur penyaluran dana bantuan sosial (Bansos) dilaksanakan dengan
mekanisme swakelola dari kuasa pengguna anggaran (KPA) Satker Badan
Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Provinsi DIY/ Badan Pelaksana Penyuluhan
dan Ketahanan Pangan Kabupaten Sleman dan ditransfer ke rekening kelompok,
dengan langkah-langkah pencairan sebagai berikut:
1. Kelompok wanita menyusun Rencana Kegiatan dan Kebutuhan anggaran (RKKA),
yang di damping oleh penyuluh pendamping P2KP desa.
10
2. Kelompok wanita membuka rekening tabungan pada kantor cabang/unit BRI/
Bank Pos atau bank lain yang terdekat dan melaporkan kepada Pejabat Pembuat
Komitmen (PPK) di provinsi/kabupaten;
3. Kelompok wsnita mengusulkan RKKA kepada PPK provinsi/kabupaten setelah
diverifikasi oleh penyuluh pendamping desa dan di setujui oleh aparat kabupaten;
4. PPK meneliti RKKA dan PPK membuat Surat Perjanjian Kerjasama dengan
Ketua Kelompok Wanita, di lengkapi dengan berita acara;
5. PPK mengajukan kepada Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), KPA mengajukan
Surat Permintaan Pembayaran Langsung (SPP-LS) diajukan kepada Pejabat
penandatanganan SPM/penguji SPP Satker dengan lampiran:
a) Keputusan Kepala Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Provinsi
DIY/Kepala Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Kabupaten
Sleman tentang Penetapan Kelompok Sasaran.
b) Rekapitulasi RKKA, dengan mencantumkan:
1) Nama kelompok
2) Nama ketua kelompok
3) Nama anggota kelompok
4) Nomor rekening a.n kelompok
5) Nama cabang/Unit BRI/Bank Pos atau bank lain terdekat;
c) Surat perjanjian kerjasama antara PPK dengan kelompok penerima manfaat
tentang pemanfaatan dana
d) Kuitansi yang ditandatangani oleh ketua kelompok dan diketahui/disetujui oleh
PPK Provinsi/Kabupaten yang bersangkutan.
6. Berdasarkan SPP-LS, Pejabat penandatanganan SPM/penguji SPP Satker dan
Perintah Pembayaran SPM menguji dokumen SPP-LS dan menerbitkan Surat
Perintah Membayar Langsung (SPM-LS) selanjutnya KPA mengajukan SPM-LS
kepada KPPN setempat;
7. KPPN menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) dan mentransfer dana
bansos ke rekening kelompok wanita;
8. Kelompok wanita melalui ketuanya mengambil dana bansos di rekening bank
dengan diketahui oleh PPK/aparat kabupaten.
Pelaksanaan SL-P2KP terdiri dari beberapa tahap diantaranya tahap
persiapan, tahap pelaksanaan, tahap pemantauan dan evaluasi, pengendalian dan
pengawasan, serta pelaporan. Untuk persiapan SL-P2KP Proses pemilihan desa
P2KP dilakukan berdasarkan identifikasi Calon Penerima dan Calon Lokasi
(CP/CL) yaitu : a) Memiliki kelompok yang sudah eksis dan b) Memiliki
pekarangan baik kelompok maupun anggota. Memilih dan menetapkan penyuluh
pendamping P2KP desa yang ditetapkan melalui Surat Keputusan (SK) Kuasa
Pengguna Anggaran (KPA).
Beberapa indikator kinerja yang digunakan untuk mengukur keberhasilan
penganekaragaman konsumsi pangan antara lain: Indikator Keluaran
(output)meliputi; (1) Meningkatnya jumlah kelompok wanita dalam penyediaan
sumber pangan keluarga yang beragam, bergizi seimbang dan aman; (2)
Meningkatnya jumlah kelompok usaha pengolahan pangan lokal berbasis tepungtepungan dan penyediaan pangan sumber karbohidrat dari bahan pangan lokal; (3)
Meningkatnya motivasi, partisipasi dan aktivitas masyarakat dalam penganekaragaman konsumsi pangan. Sedangkan Indikator Hasil (outcome)nya adalah; (1)
11
Meningkatnya skor Pola Pangan Harapan (PPH) tahun 2011 dari tahun
sebelumnya; dan Menurunnya konsumsi beras 1,5 persen pertahun.
Komunikasi
Berdasarkan asal katanya, Gunter Kieslich (Mardikanto 2010) menyatakan
bahwa komunikasi berasal dari bahasa latin communicare yang berarti partisipasi
atau memberitahukan. Sementara dalam bahasa Inggris, komunikasi disamakan
dengan communis yang berarti sama atau berusaha untuk mencapai kesamaan
makna. Komunikasi dapat juga diartikan sebagai proses penyampaian informasi
atau ide-ide antar sesama warga masyarakat. Dalam proses tersebut tidak hanya
terjadi penyampaian informasi tetapi sekaligus pertukaran informasi, pengetahuan,
ide-ide dan perasaan. Komunikasi pada hakekatnya adalah suatu proses dimana
suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu atau lebih penerima dengan maksud
untuk mengubah tingkah laku mereka (Rogers,2003). Dengan demikian,
komunikasi dapat diartikan sebagai upaya menyampaikan sesuatu (informasi)
kepada masyarakat, agar dapat diketahui dan menjadi milik bersama.
Menurut Laswell (Effendy,2001) memberikan definisi komunikasi
merupakan sebuah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada
komunikan melalui media yang menimbulkan effek tertentu. Paradigma Laswell
menunjukan bahwa komunikasi meliputi lima unsur yaitu S-M-C-R-E (source,
message, channel, receiver dan efec). Efendi (2003), mengemukakan komunikasi
merupakan proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan agar
orang tersebut mengerti dan tahu serta bersedia menerima suatu paham atau
keyakinan sehingga mau melakukan suatu perbuatan atau kegiatan lainnya. Jadi
komunikasi berlangsung apabila antara orang-orang yang terlibat terdapat
kesamaan makna mengenai sesuatu hal yang dikomunikasikan. Jika seseorang
mengerti tentang sesuatu yang dinyatakan orang lain kepadanya, maka
komunikasi itu dapat berlangsung dan sebaliknya (Mulyana, 2005).
Selain itu, Shannon dan Weaver (1949) dalam Wiryanto (2006)
menyebutkan bahwa komunikasi adalah bentuk interaksi manusia yang saling
mempengaruhi satu sama lain, sengaja atau tidak disengaja dan tidak terbatas pada
bentuk komunikasi verbal, tetapi juga dalam hal ekspresi wajah muka, lukisan,
seni dan teknologi. Selanjutnya Leeuwis (2009), menyatakan komunikasi
merupakan sebuah proses penting yang digunakan oleh manusia dalam pertukaran
pengalaman dan ide, dan hal itu menjadi pemicu penting bagi penyampaian
pengetahuan dan persepsi dari berbagai jenis (misalkan pembelajaran). Karena itu,
komunikasi merupakan unsur inti dalam perubahan strategi untuk mendorong
perubahan.
Komunikasi dalam hal ini dapat berupa tindakan satu arah, bisa pula sebagai
interaksi dan komunikasi sebagai transaksi. Sebagai tindakan satu arah,
komunikasi mengisyaratkan penyampaian pesan searah dari seseorang (atau suatu
lembaga) kepada seseorang (sekelompok orang) lainnya, baik secara langsung
(tatap muka) ataupun melalui media, seperti surat (selebaran), surat kabar, majalah,
radio atau televisi. Hasil penelitian Sumardjo (1999) menunjukkan bahwa
pendekatan model penyuluhan dialogis, dan model komunikasi konvergen secara
12
signifikan lebih efektif untuk meningkatkan kemandirian petani dibanding dengan
model penyuluhan yang sentralistik, top down (transfer of technologi) dengan
komunikasi linier. Terkait dengan hal tersebut, Wilbur Schramm (1954) dalam
West dan Turner (2008) menjelaskan bahwa komunikasi dua arah/interaksional
terjadi dari pengirim kepada penerima dan dari penerima kepada pengirim. Proses
ini terjadi secara melingkar atau memusat. Proses ini mengilustrasikan bahwa
seseorang dapat menjadi pengirim maupun penemrima dalam suatu interaksi
tetapi tidak dapat menjadi keduanya sekaligus.
Setiap komunikasi yang dilakukan pasti memiliki tujuan. Menurut Effendy
(2006), tujuan komunikasi adalah a) mengubah sikap (to change the attitude), b)
mengubah opini pendapat atau pandangan (to change the opinion), c) mengubah
perilaku (to change the behavior) dan d) mengubah masyarakat (to change the
society). Selanjutnya Berlo (1960) mengatakan bahwa tujuan komunikasi terdiri
atas tiga yakni memberi informasi (informatif ), untuk membujuk (persuasif) dan
untuk tujuan menghibur (entertainment). Sedangkan fungsi komunikasi itu sendiri
adalah a) menginformasikan (to inform), b) mendidik (to educate), c) menghibur
(to entertain) dan d) mempengaruhi (to influence).
Bagian terpenting dalam komunikasi menurut Rakhmat (2005) ialah
bagaimana cara agar suatu pesan yang disampaikan komunikator itu menimbulkan
dampak atau efek tertentu pada komunikan. Dampak yang ditimbulkan dapat
diklasifikasikan menjadi:
a. Dampak kognitif yaitu dampak yang timbul yang menyebabkan menjadi tahu
atau meningkatkan intelektualitasnya.
b. Dampak afektif yaitu supaya komunikan tergerak hatinya dan menimbulkan
perasaan tertentu.
c. Dampak konatif yaitu dampak yang timbul dalam bentuk perilaku, tindakan
atau kegiatan.
Berdasarkan pengertian, tujuan dan fungsi komunikasi, ternyata
komunikasi memiliki peranan penting dalam membentuk sikap dan perilaku
seseorang. Dengan kata lain bahwa komunikasi dapat menentukan baik dan
buruknya sikap dan perilaku seseorang. Karena dengan komunikasi yang efektif
maka dapat mencapai tujuan akhir dari suatu komunikasi adalah perubahan
pengetahuan, sikap dan perilaku. Oleh karena itu Rogers (1983) mendefinisikan
komunikasi sebagai pemindahan ide-ide baru dari sumber dengan harapan akan
merubah perilaku para penerima.
Berdasarkan pernyataan dan definisi tersebut di atas dapat dikemukakan
secara umum bahwa komunikasi adalah proses pernyataan antara manusia
mengenai isi pikiran dan perasaannya untuk memperoleh persamaan makna.
Mengungkapkan isi pikiran dan perasaan tersebut apabila diaplikasikan secara
benar dengan etika yang tepat akan memberikan manfaat terhadap individu
maupun kelompok. Komunikasi memiliki peranan penting dalam membentuk
sikap dan perilaku seseorang. Dengan kata lain, komunikasi menentukan baik dan
buruknya sikap dan perilaku seseorang.
Demikian pula komunikasi yang terjadi dalam Sekolah Lapang-P2KP.
Dalam Sekolah Lapang-P2KP, komunikasi dilakukan melalui berbagai macam
proses komunikasi dapat menyusun serangkaian metode untuk meningkatkan
komunikasi dengan memperhatikan unsur-unsur komunikasi seperti sumber,
pesan, dan saluran media yang digunakan sehingga dapat membentuk sikap dan
13
perilaku masyarakat sebagai anggota kelompok wanita tani (KWT). Jika proses
komunikasi yang dilakukan efektif maka akan mempengaruhi pengetahauan rasa
kepuasan yang kemudian berpengaruh terhadap tingkat perilaku terhadap program
P2KP
Komunikasi Pembangunan
Komunikasi pembangunan telah menjadi multi-fase, multi-dimensi dan
partisipatif, dan harus dilihat dalam konteks sosial-politik, ekonomi dan budaya
agar relevan untuk
masyarakat yang dituju. Pada intinya, komunikasi
pembangunan adalah tentang pengembangan masyarakat.
Peningkatan komunikasi pembangunan sangat penting untuk
meningkatkan program-program pembangunan. Pengembangan komunikasi
pembangunan ini perlu dilakukan dengan mengubah paradigma komunikasi
pembangunan dari yang berciri linier (searah dari atas ke bawah) ke pola
komunikasi yang berciri konvergen. Agar program yang akan dilaksanakan sesuai
dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat.
Menurut Effendy (2001), komunikasi pembangunan merupakan proses
penyebaran pesan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada khlayak guna
mengubah sikap, pendapat dan perilakunya dalam rangka meningkatkan kemajuan
lahiriah dan kepuasan batiniah, yang dalam keselarasannya dirasakan secara
merata oleh seluruh rakyat. Komunikasi pembangunan ini merupakan suatu
strategi yang menekankan pada perlunya sosialisasi pembangunan kepada seluruh
para pelaku pembangunan daerah dan masyarakat secara umum melalui berbagai
media strategis.
Hal ini seiring dengan pendapat Nasution (2002), yang membedakan
komunikasi dalam arti luas dan sempit. Dalam arti luas, komunikasi pembangunan
adalah suatu aktivitas pertukaran pesan secara timbal balik (peran dan fungsi
komunikasi) di antara semua pihak yang terlibat dalam usaha pembangunan;
terutama antara masyarakat dengan pemerintah, sejak dari proses perencanaan,
pelaksanaan, dan penilaian terhadap pembangunan. Sedangkan dalam arti sempit,
komunikasi pembangunan adalah segala upaya dan cara, serta teknik
penyampaian gagasan, dan keterampilan-keterampilan pembangunan yang berasal
dari pihak yang memprakarsai pembangunan dan ditujukan kepada masyarakat.
Komunikasi pembangunan harus dilihat sebagai suatu proses menyeluruh,
termasuk pemahaman terhadap khalayak serta kebutuhan-kebutuhannya,
perencanaan komunikasi disekitar strategi-strategi yang terpilih, pembuatan
pesan-pesan, penyebaran, penerimaan, umpan balik terhadap pesan-pesan itu dan
bukan hanya kegiatan langsung satu arah dari komunikator kepada penerima yang
pasif.
Effendy (2006) mendefinisikan bahwa komunikasi pembangunan
sebagai proses penyebaran pesan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada
khalayak guna mengubah sikap, pendapat, dan perilakunya dalam rangka
meningkatkan kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah. Pada komunikasi
pembangunan proses interaksi seluruh warga masyarakat (aparat pemerintah,
penyuluh, tokoh masyarakat, LSM, individu atau kelompok/organisasi sosial)
ditujukan untuk menumbuhkan kesadaran dan menggerakkan partisipasi melalui
14
proses perubahan terencana demi tercapainya kualitas hidup secara
berkesinambungan.
Menurut Dilla (2007), komunikasi pembangunan sebagai komunikasi yang
berisi pesan-pesan (message) pembangunan. Komunikasi pembangunan ini ada
pada segala macam tingkatan, dari seorang petani sampai pejabat, pemerintah dan
negara, termasuk juga di dalamnya dapat berbentuk pembicaraan kelompok,
musyawarah pada lembaga formal dan non formal. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa komunikasi pembangunan merupakan suatu inovasi yang
diterima oleh masyarakat melalui proses komunikasi. Banyak proses
pembangunan tidak mencapai sasarannya hanya karena rendahnya frekuensi
informasi dan komunikasi kepada masyarakat sehingga tidak menimbulkan
tingkat partisipasi yang memadai. Padahal partisipasi masyarakat sangat
diperlukan bagi usaha pencapaina tujuan pembangunan.
Secara sederhana, pembangunan dapat diartikan sebagai perubahan
berencana yang dikehendaki. Perubahan tersebut menyangkut perubahan struktur
komunitas dan perubahan kebudayaan. Salah satu penyebab perubahan tersebut
adalah karena adanya penemuan baru (inovasi). Inovasi tersebut bisa saja berupa
alat dan bisa pula berupa ide baru. Seringkali, suatu inovasi baru ditemukan
setelah melalui proses pertukaran pikiran dan diskusi yang panjang. Dalam hal
inilah, komunikasi menjadi wadah penemuan inovasi. Demikianlah, komunikasi
berperan untuk menfasilitasi penemuan (invention) dan menyebarkan inovasi
tersebut ke sistem sosial yang lebih luas. Ringkasnya komunikasi sangat
bermanfaat untuk pembangunan (Lubis et al., 2009).
Dalam penelitian ini, yang dimaksud komunikasi pembangunan adalah
proses interaksi dan penyebaran informasi secara timbal balik antara pihak-pihak
yang terlibat dalam proses pembangunan (pemerintah, masyarakat, dan lembaga
kemasyarakatan) sejak tahap perencanaan, pelaksanaan hingga penilaian
pembangunan. Komunikasi pembangunan dilakukan untuk menumbuhkan
kesadaran dan partisipasi masyarakat.
Pola Komunikasi
Pengertian pola menurut kamus bahasa Indonesia (1994) adalah pattern
yang artinya model atau sistem yang berulang. Sehingga dapat dikatakan bahwa
pola komunikasi adalah model komunikasi yang dilakukan secara individu atau
kelompok secara berulang. Pola komunikasi dapat terbentuk dari komunikasi
antar individu ataupun kelompok
Pola merupakan ciri khas bagi tiap kegiatan akibat pengaruh lingkungan
dan tingkah laku orang yang melakukan kegiatan secara terus-menerus baik dalam
pekerjaan, pergaulan dan aktifitas kehidupan lainnya. Pada umumnya pola
komunikasi terdiri dari dua bagian, yaitu pola komunikasi intern vertikal
horisontal dan pola komunikasi ekstern (Departemen Penerangan, 1979).
Menurut Bintarti (2003), yang meneliti hubungan pola komunikasi
dengan prestasi belajar pada mahasiswa Universitas Terbuka, pola komunikasi
tidak terbentuk dengan sendirinya, tetapi merupakan hasil interaksi antara
karakteristik pelaku, media komunikasi yang digunakan, hasil dan tujuan yang
ingin dicapai oleh sasaran. Sedangkan Retnowati (2007) mengartikan pola
komunikasi orang tua dan anak sebagai komunikasi antar pribadi antara orang tua
15
dan anaknya, di mana masing-masing dapat memilih fungsi baik sebagai
komunikator maupun sebagai komunikan yang mempunyai hubungan mantap dan
jelas, artinya hampir tidak terhindarkan selalu ada hubungan antara kedua orang
tersebut. Seorang komunikator dalam berkomunikasi membawa pengalaman,
kepercayaan, nilai-nilai dan sikap tertentu yang diperoleh dan dipelajari dari
interaksinya dengan orang lain dan lingkungan sekitar (Retnowati 2007).
Sementara itu Arif (2004) dalam penelitiannya tentang pola komunikasi pengelola
Taman Nasional dalam meningkatkan kesadaran konservasi pengunjung
menyatakan bahwa akses media, ketersediaan sumber informasi, kemudahan
mengakses sumber informasi, cara berkomunikasi dengan sesama pengunjung,
dan frekuensi komunikasi verbal dan nonverbal berpengaruh terhadap pola
komunikasi yang dilakukan Taman Nasional.
Berdasarkan tiga penelitian terdahulu mengenai pola komunikasi, maka
dalam penelitian ini disimpulkan unsur yang mempengaruhi pola komunikasi
yakni melihat pada model komunikasi, bahasa yang digunakan, dan sumber
informasi. Oleh karena itu, pesan komunikasi yang harus dikomunikasikan di
dalam proses komunikasi haruslah sesuai dengan tujuan memberdayakan dan
mensejahterakan masyarakat serta mendorong berlangsungnya perubahanperubahan ke arah yang lebih baik lagi, sekaligus memiliki sifat inovatif dalam
pembangunan.
Model Komunikasi
Model merupakan representasi sederhana dari proses komunikasi. Model
diartikan sebagai gambaran yang didesain untuk mempresentasikan realita, dan
merupakan representasi fisik atau verbal dari suatu objek atau proses (DeVito
1997). Model merupakan suatu maksud untuk menunjukkan hal yang fundamental
dalam sebuah studi (Sereno & Budaken 1975).
Saat ini, pembangunan banyak mempergunakan pendekatan partisipatif
yang melibatkan seluruh warga dalam proses penunjang pembangunan, yaitu
sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, evaluasi sampai ke tahap menikmati hasil
pembangunan. Pada pendekatan ini, proses komunikasi pembangunan memegang
peranan yang sangat penting dalam menumbuhkan partisipasi masyarakat. Dalam
hal ini pendekatan komunikasi yang dipakai untuk pembangunan adalah model
komunikasi dengan pendekatan partisipasi masyarakat. Model komunikasi yang
dibutuhkan adalah model yang memungkinkan adanya pertukaran informasi antar
komponen dalam proses komunikasi dengan banyak dimensi.
Menurut Melkote (2001) pendekatan model komunikasi dalam
pembangunan dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar yakni
kelompok paradigma Dominan (Modernisasi) dan kelompok Paradigma alternatif
(Pemberdayaan). Teori-teori dan intervensi dalam paradigma dominan
(modernisasi). Teori-teori ini dikembangkan oleh Lerner (1958) dan Schramm
(1964) dan studi lainnya yang berkembang pada tahun 1950-an dan tahun 1960-an.
Selanjutnya Mefalopulos (2008) menyatakan bahwa dalam mengenal ruang
lingkup pembangunan dan komunikasi terdapat dua model utama komunikasi
yaitu komunikasi monologis dan komunikasi dialogis.
16
Monologis Model: Satu Arah (One-Way)
Modus monologis terkait dengan perspektif komunikasi pembangunan
dikenal sebagai "difusi." Hal ini didasarkan pada aliran satu arah informasi untuk
tujuan menyebarkan informasi dan pesan untuk mendorong perubahan. Beltran
Salmón [2000] dan Pasquali [2003] menyatakan bahwa tujuan utama dari model
monologis (satu arah) dapat dibagi menjadi dua jenis aplikasi: (1) komunikasi
untuk menginformasikan (atau hanya "informasi," dan menyebutnya), dan (2)
komunikasi untuk membujuk. "Komunikasi untuk menginformasikan" biasanya
melibatkan transmisi linier informasi, biasanya dari pengirim ke banyak penerima.
Hal ini digunakan ketika meningkatkan kesadaran atau memberikan pengetahuan
tentang isu-isu tertentu dianggap cukup untuk mencapai tujuan yang dimaksud
(misalnya, menginformasikan masyarakat tentang kegiatan sebuah project atau
menginformasikan kepada masyarakat tentang reformasi jangka berlakunya).
Dalam banyak kasus, pendekatan untuk membujuk masih mengandalkan gagasan
klasik yang satu arah komunikasi.
Tujuan utamanya adalah pengirim dapat membujuk penerima tentang
perubahan dimaksud. Dalam model ini umpan balik adalah semacam sebuah lagu
yang dinyanyikan, memungkinkan pengirim untuk memperbaiki pesan persuasif
(Beltran Salmón2000). Secara umum pendekatan terkait erat dengan mode ini,
yang sering digunakan dalam prakarsa pembangunan adalah strategis komunikasi
untuk mendukung manajemen tujuan pembangunan tertentu.
Komunikasi sebagai tindakan satu arah
yaitu suatu pemahaman
komunikasi sebagai penyampaian pesan searah dari seseorang (lembaga) kepada
seseorang (sekelompok orang) lainnya, baik secara langsung (tatap muka) ataupun
melalui media. Komunikasi dianggap sebagai sesuatu tindakan yang disengaja
untuk menyampaikan pesan guna memenuhi kebutuhan komunikator seperti,
menjelaskan sesuatu kepada orang lain atau membujuk untuk melakukan sesuatu.
Kejadian ini sesuai dengan ide dasar pembuatan model linear yang didesain
berdasar sistem telepon (model Claude Shanon dan Warren, 1949) dikutip oleh
Mulyana (2003). Selain Claude Shannon, model linier juga dijelaskan oleh Harold
D. Laswell dan Aristoteles. Model Laswell menjelaskan proses satu arah,
sehingga mengabaikan faktor tanggapan balik.
Elemen kunci pada model linier adalah sebuah sumber (source) yang
mengirimkan pesan (message) kepada penerima (receiver) yang akan menerima
pesan tersebut. Model komunikasi ini lebih tepat digunakan menyampaikan
informasi yang lebih bersifat instruksi.
Dialogis Model: Dua Arah Komunikasi Interaksional
Modus dialogis dikaitkan dengan munculnya paradigma partisipatif. Di
sisi lain, model komunikasi dua arah didasarkan pada menciptakan lingkungan
yang konstruktif di mana stakeholder dapat berpartisipasi dalam menyelesaikan
masalah dan menemukan solusi. Tujuan utama model ini dapat dibagi menjadi
dua jenis aplikasi yang luas: (1) komunikasi untuk menilai, dan (2) komunikasi
untuk memberdayakan. Komunikasi untuk menilai digunakan sebagai penelitian
dan alat analisis, yang sifatnya interdisipliner dan lintas sektoral, dapat digunakan
secara efektif untuk menyelidiki masalah apapun. Kekuatan komunikasi dialogis
diterapkan untuk melibatkan para pemangku kepentingan mengungkap, dan
menilai isu-isu kunci, peluang, dan risiko dari kedua teknis dan alam politik.
17
Sebagai ilustrasi, mengambil inisiatif di permukaan yang tidak
membutuhkan komunikasi, seperti membangun jembatan untuk menghubungkan
dua daerah dan masyarakat dipisahkan oleh sungai. Sebuah penilaian berbasis
komunikasi sebelum proyek akan menyelidiki pengetahuan, persepsi, dan posisi
pemangku kepentingan lokal atas prakarsa dimaksudkan. Kecuali diperiksa
melalui komunikasi dua arah, kursus teknis diidentifikasi mungkin mengabaikan
aspek penting yang dapat menyebabkan masalah atau konflik, misalnya dengan
nelayan setempat yang melihat mata pencaharian mereka terancam.
Ini menggunakan komunikasi dua arah melibatkan para ahli dan pemangku
kepentingan di masalah-analisis dan pemecahan masalah proses menuju
perubahan. Aktif mendengarkan menjadi sama pentingnya dengan berbicara. Di
satu sisi, dapat dikatakan bahwa dialogis komunikasi tidak digunakan untuk
menginformasikan tetapi untuk benar-benar "berkomunikasi"yaitu, untuk berbagi
persepsi dan menciptakan pengetahuan baru.
Ife (1995) menyatakan bahwa pemberdayaan merupakan sebuah proses
dalam komunitas/kelompok dengan sumber daya, kesempatan, pengetahuan dan
keahlian untuk meningkatkan kapasitas komunitas/kelompok sehingga dapat
berpartisipasi untuk menetukan kehidupan masa depan mereka. Proses
pemberdayaan melibatkan peran aktif keterlibatan masyarakat dalam menyusun
langkah-langkah program yang harus diselesaikan. Langkah-langkah tersebut
adalah
mengurutkan
untuk
mencapai
tujuan
yang
dikehendaki,
mengimplementasikan aktivitas komunikasi pertahapan dan melakukan
monitoring dan evaluasi dalam program.
Tujuan keseluruhan dari modus dialogis adalah untuk memastikan saling
pengertian dan membuat penggunaan terbaik dari semua pengetahuan yang
mungkin dalam menilai situasi, membangun konsensus, dan mencari solusi yang
tepat. Di sisi lain, komunikasi dua arah yang lebih ditunjukkan dalam mencapai
saling pengertian, membangun kepercayaan, dan mengungkap dan menghasilkan
pengetahuan, yang mengarah ke hasil yang lebih baik (Mefalopolus, 2008).
Komunikasi berlangsung dalam proses dua arah (two-way) maupun
proses peredaran atau perputaran arah (cyclical proses), sedangkan setiap
partisipan memiliki peran ganda, di mana pada satu waktu bertindak sebagai
sender, sedangkan pada waktu lain berlaku sebagai receiver, terus seperti itu
sebaliknya (Bungin, 2008). Model interaksional menurut Wilbur Schramm (1954)
dalam West dan Turner (2008) menekankan pada proses komunikasi dua arah,
yaitu dari pengirim kepada penerima dan dari penerima kepada pengirim. Proses
interaksi terjadi secara melingkar (Gambar 1). Proses ini mengilustrasikan bahwa
seseorang dapat menjadi pengirim maupun penerima dalam sebuah interaksi,
tetapi tidak dapat menjadi keduanya sekaligus.
18
Gangguan
Pesan
Gangguan
Bidang
Pengalaman
Gangguan
Penerima
Pengirim
m
Umpan Balik
Bidang
Pengalaman
Umpan Balik
Saluran
Gangguan
Gambar 1 Model komunikasi interaksional
Sumber : West dan Turner (2008)
Freire menegaskan bahwa dialog merupakan hal esensial pada proses
penyadaran. Fraire menggarisbawahi potensi yang luas darii dialog dan dengan
bersemangat mempertahankan kekuatan bahasa sebagai alat yang mampu
menananmkan dominasi maupun kebebasan.
Tufte dan Mefalopulos (2009) menyatakan bahwa fokus dari komunikasi
partisiapsi adalah diaolog, suara, media didik, aksi-refleksi. Dialog merupakan
suatu prinsip komunikasi partisipasi, dimana peserta akan mengungkapkan usulan
dengan aksi-refleksi-aksi dan komunikasi horizontal. Dalam dialog proses yang
terjadi diawali dengan defenisi program dimana terjadi kesenjangan informasi.
Tipe masalah yang terjadi dapat berupa sosial dan ekonomi masyarakat atau issu
kemiskinan dan ketidakadilan. Dengan demikian strategi komunikasi yang
digunakan adalah merangkum isu yang general untuk memperoleh gambaran yang
terjadi dan dapat merangkum solusi yang ada.
Model komunikasi yang dibutuhkan adalah model yang memungkinkan
adanya pertukaran informasi antar komponen dalam proses komunikasi dengan
banyak dimensi. Pendekatan ini sering disebut dengan model partisipasi
(participatory model) atau model interaktif (interaktif model). Komunikasi dua
arah adalah model komunikasi interaksional, merupakan kelanjutan dari
pendekatan linier. Pada model ini terjadi komunikasi umpan balik (feedback)
gagasan. Ada pengirim (sender) yang mengirimkan informasi dan ada penerima
(receiver) yang melakukan seleksi, interpretasi dan memberikan respons balik
terhadap pesan dari pengirim (sender). Dengan demikian, komunikasi
berlangsung dalam proses dua arah (two way) maupun proses peredaran atau
19
perputaran arah (cyclical process), sedangkan setiap partisipan memiliki peran
ganda, di mana pada satu waktu bertindak sebagai sender, sedangkan pada waktu
lain berlaku sebagai receiver, terus seperti itu sebaliknya (Bungin, 2009).
Model
partisipatori
membutuhkan
komunikator
pembangunan
menambahkan dimensi baru pada aturan tradisional, contohnya inisiator,
fasilitator, negositor, dan mediator. Komunikator pembangunan akan mencari
keduanya, sumber dan penerima pesan, menambahkan kontak langsung, dan
interaksi penerima sebagimana juga sumber. Proses partisipatori pada dasarnya
akan transaksional (Nair dan White 2004).
Komunikasi transaksional bukanlah merupakan proses persuasi satu arah.
Itu merupakan dialog dimana pengirim dan penerima pesan berinteraksi dalam
periode waktu tertentu, datang dan berbagi pemahaman. Sebagai contoh, ide baru
atau praktek lebih disukai diadopsi jika penerima terlibat dalam dialog dan diskusi
tentang kebutuhan mereka, alternatif tindakan, dan penerimaan dalam sumbersumber untuk memyelesaikan tujuan pembangunan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada pemberdayaan
masyarakat, komunikasi pembangunan merupakan alat atau jalan mencapai
partisipasi masyarakat dan juga merancang pesan pembangunan yang diperlukan
dalam proses perubahan perilaku masyarakat yaitu memiliki pengetahuan, sikap
dan tindakan untuk berperilaku menerapkan pesan-pesan pembangunan (ide-ide
atau teknologi) yang terpilih guna mencapai perbaikan mutu hidup yang
diharapkan melalui komunikasi dua arah yang berlangsung terus menerus hingga
tercapai kesamaan makna pesan.
Komunikasi partisipatif dalam program SL-P2KP merupakan desain
pesan komunikasi yang dapat menciptakan keberdayaan, peningkatan kesadaran
partisipasi pembangunan dengan melakukan pendekatan persuasif melibatkan
peran serta anggota kelompok wanita tani (KWT), tokoh masyarakat, aparat
pemerintah/penyuluh, menciptakan suasana komunikasi yang dapat mendorong
petani berani mengeluarkan pendapat atau ide pembangunan dan memanfaatkan
saluran komunikasi penunjang pembangunan yang berfungsi sebagai saluran
pesan yang akrab serta mampu mengembangkan komunikasi partisipatoris dalam
pelaksanaan kegiatan SL-P2KP.
Memahami model penyampaian komunikasi berarti memahami kondisi
penerima pesan atau komunikan sehingga tidak terjadi kesalahan dalam
pemberian informasi atau pesan. Banyak model komunikasi yang telah
diungkapkan oleh para ahli komunikasi.
Keragaan model komunikasi pada kelompok wanita tani dalam
penelitian ini dilihat dari arah komunikasi yang digunakan, cara menyampaikan
informasi dan saluran yang digunakan.
Cara Komunikasi
Cara menyampaikan komunikasi dapat dilakukan secara langsung maupun
tidak langsung. Komunikasi secara langsung yakni penyampaian informasi atau
pesan yang dilakukan secara langsung (tatap muka) seperti; presentase, pidato dan
lainya. Komunikasi tidak langsung adalah informasi atau pesan yang disampaikan
menggunakan media seperti telepon, koran, poster dan lainnya.
20
Arah Komunikasi
Arah komunikasi sebagai sesuatu yang bergerak dari satu tempat ke
tempat lain, komunikasi dapat juga dimaknai sebagai suatu proses atau aliran.
Dengan kata lain, komunikasi yang tidak efektif akan menghambat, bahkan
menjadi rintangan aliran yang ada dalam organisasi tersebut. Sebagai proses
transfer gagasan dan pemikiran dalam bentuk pesan agar tercipta persamaan
persepsi, proses komunikasi dalam kepemimpinan tidak begitu berbeda dengan
proses komunikasi dalam konteks lain. Komunikasi yang memiliki dampak positif
dalam arti pesan yang disampaikan dapat dipahami untuk kemudian dapat
diketahui umpan-baliknya. Dalam disiplin kepemimpinan khususnya, perlu
diperhatikan arah komunikasi dapat mengalir secara vertikal atau lateral (menyisi).
Komunikasi ke atas. Komunikasi yang mengarah ke atas adalah
komunikasi yang mengalir ke suatu tempat (obyek) yang lebih tinggi dalam
kelompok atau organisasi dimana proses kepemimpinan itu berlangsung.
Komunikasi jenis ini biasanya digunakan untuk memberikan umpan-balik kepada
atasan, menginformasikan mereka tentang kemajuan tujuan, dan meneruskan
masalah-masalah yang ada, komunikasi ke atas menyebabkan para pemimpin,
yang dalam hal ini adalah manajer, menyadari perasaan orang-orang yang
dipimpinnya terhadap pekerjaannya, rekan atau bahkan lingkungan organisasi
secara menyeluruh.
Komunikasi ke bawah. Pola ini adalah pola yang paling sering
terbayang dalam benak setiap orang ketika membayangkan komunikasi dalam
kepemimpinan. Komunikasi ke bawah adalah suatu bentuk komunikasi yang
mengalir kepada tingkat (obyek) yang lebih rendah dalam suatu kelompok atau
organisasi. Selain itu ada komunikasi satu arah dan komunikasi dua arah atau
komunikasi timbal balik.
Saluran Komunikasi
Saluran Komunikasi adalah media yang dilalui pesan. Jarang sekali
komunikasi berlangsung melalui hanya satu saluran, kita menggunakan dua, tiga,
atau empat saluran yang berbeda secara simultan. Sebagai contoh, dalam interaksi
tatap muka kita berbicara dan mendengarkan (saluran suara), tetapi kita juga
memberikan isyarat tubuh dan menerima isyarat ini secara visual (saluran visual).
Kita juga memancarkan dan mencium bau-bauan (saluran olfaktori). Seringkali
kita saling menyentuh, ini pun komunikasi (saluran taktil). (Modul kuliah).
Saluran komunikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah komunikasi
kelompok dan menggunakan media komunikasi, yakni media komunikasi cetak.
Bahasa
Bahasa menurut Sassaure dalam Littlejohn dan Foss (2009) adalah sebuah
sistem baku yang dapat dianalisis terpisah dari kegunaannya dalam kehidupan
sehari-hari. Sedangkan pengucapan adalah kegunaan sebenarnya dari bahasa
untuk mencapai tujuan.Selanjutnya Berlo (1960) mengartikan kode pesan bagi
setiap kelompok simbol-simbol yang dapat distrukturkan dengan cara tertentu
sehingga bermakna bagi sejumlah orang. Bahasa adalah kode pesan yang utama
dalam komunikasi antar pribadi. Setiap kode bahasa memiliki sekelompok elemen
seperti kosa kata dan prosedur untuk memgkombinasikan elemen-elemen tersebut
sehingga bermakna. Sebagaimana diketahui keefektifan komunikasi akan
21
ditentukan oleh kemampuan dalam memilih: a) kode atau bahasa yang akan
digunakan, b) elemen-elemen apa yang akan digunakan, serta c) metode apa yang
akan dipakai dalam menstrukturkan elemen-elemen apa yang telah dipilih.
Bahasa dan perilaku seringkali tidak bekerja bersama, sehingga tanda
nonverbal merupakan hal penting dalam interaksi. Tanda nonverbal adalah
kumpulan perilaku yang digunakan untuk menyampaikan arti. Judee Burgon
dalam Littlejohn dan Foss (2009) menggolongkan sistem nonverbal memiliki
beberapa sifat. Pertama, tanda nonverbal cenderung analog daripada digital.
Sinyal digital mempunyai ciri tersendiri, seperti huruf dan angka, sedangkan
analog berkesinambungan, membentuk sebuah tingkatan atau spektrum seperti
volume dan intensitas cahaya. Oleh karena itu, tanda nonverbal, seperti ekspresi
wajah dan intonasi suara tidak dapat dengan sederhana digolongkan menjadi
kategori yang mempunyai ciri-ciri tersebut. Sistem kode nonverbal sering
digolongkan menurut jenis aktivitas yang digunakan dalam kode.
Sumber
Sumber/komunikator adalah pelaku utama/pihak yang mempunyai
kebutuhan untuk berkomunikasi atau yang memulai suatu komunikasi, bisa
seorang individu, kelompok, organisasi, maupun suatu negara sebagai
komunikator. Gerald R. Miller dalam Mulyana (2007) menjelaskan bahwa
“komunikasi terjadi ketika suatu sumber menyampaikan suatu pesan kepada
penerima dengan niat yang disadari untuk mempengaruhi perilaku penerima”.
Sumber informasi berperan penting bagi seseorang dalam menentukan
sikap atau keputusan bertindak. Sehingga dapat dikatakan bahwa komunikator
memegang peranan yang sangat penting terutama dalam mengendalikan jalannya
komunikasi. Untuk itu seorang komunikator harus terampil berkomunikasi, dan
juga kaya ide serta penuh daya kreatifitas. Soekartawi (2005) menyebutkan faktorfaktor yang menentukan kredibilitas seorang komunikator adalah:
1. Titel yang dimiliki, terdapat kesan bahwa sumber yang mempunyai gelar
kesarjanaan memiliki kredibilitas tinggi dibandingkan dengan sumber yang
tidak menyandang gelar kesarjanaan.
2. Pangkat atau jnjang kepegawaian, sumber yang telah mempunyai
kepangkatan kepegawaian yang lebih tinggi sering dianggap mempunyai
kredibilitas lebih baik.
3. Status sosial, banyak juga dijumpai bahwa yang mempunyai status sosial
yang tinggi sekalipun tidak ada kaitannnya dengan kepangkatan atau titel
yang dimiliki, dinilai memiliki kredibilitas tinggi.
4. Penampilan dalam melakukan komunikasi, terlepas dari komunikator tersebut
seorang sarjana atau bukan, tetapi jika dinilai mampu melakukan komunikasi
yang baik, maka komunikan menganggap bahwa sumber tersebut mempunyai
kredibilitas tinggi.
Paul Lazarfeld dalam Mulyana (2007), menyebutnya sebagai “pengaruh
personal”; yang ditunjukkan dalam teori two step flow of communication
(komunikasi dua tahap). Dalam teori tersebut dikatakan bahwa informasi bergerak
menuju orang-orang yang sering memperhatikan media massa; dan selanjutnya
dari mereka tersebut informasi menuju pada khalayak.
22
Intensitas komunikasi
Intensitas merupakan serapan dari bahasa Inggris intensity yang
mempunyai arti maksud, hebat, lebih. Seseorang yang melakukan suatu tindakan
tertentu pada kurun waktu tertentu pula bisa dikatakan mempunyai intensitas yang
tetap. Artinya pada kurun waktu tersebut seseorang melakukan suatu usaha
tindakan dengan kuantitas yang sama. Efisiensi waktu dalam menjalin terciptanya
intensitas komunikasi menjadi hal yang penting manakala lingkungan mempunyai
sentiment negatif terhadap hal yang dianggap baru.
Intensitas komunikasi sangat penting dalam menumbuhkan budaya
keterbukaan dan menanamkan rasa saling percaya antara pribadi yang satu dengan
lainnya. Menurut Djamarah, 2004 dalam Ihsan (2009) intensitas komunikasi
merupakan tingkat kedalaman penyampaian pesan dari individu sebagai anggota
keluarga kepada yang lainnya. Intensitas komunikasi mencakup aspek-aspek
seperti: kejujuran, keterbukaan, pengertian, percaya, yang mutlak diantara kedua
belah pihak dan dukungan, Intensitas komunikasi dapat diukur dari apa-apa dan
siapa yang dibicarakan, pikiran, perasaan, obyek tertentu, orang lain atau dirinya
sendiri.
Devito (2009) menyatakan intensitas komunikasi merupakan istilah atau
terminology yang disarikan dari social penetration theory. Teori ini menjelaskan
bahwa diri individu terdiri dari sejumlah lapisan seperti pengalaman, pengetahuan,
ide, sikap, pemikiran dan tingkah laku. Sementara itu defenisi intensitas
komunikasi yaitu tingkat kedalaman dan keluasan pesan yang muncul dalam
aktivitas komunikasi yang dilakukan antar individu. Untuk dapat mengukur
intensitas komunikasi antar individu dapat ditinjau dari enam aspek yaitu: (1)
Frekuensi berkomunikasi terkait dengan tingkat keseringan seseorang dalam
melakukan aktivitas komunikasi, (2) Durasi yang digunakan dalam berkomunikasi
merujuk pada lamanya waktu yang digunakan pada saat melakukan aktivitas
komunikasi, (3) Perhatian yang diberikan saat berkomunikasi, diartikan sebagai
fokus yang dicurahkan oleh partisipan komunikasi pada saat berkomunikasi, (4)
Keteraturan dalam berkomunikasi, menunjukkan kesamaan sejumlah aktivitas
komunikasi yang dilakukan secara rutin dan teratur, (5) Tingkat keluasan pesan
saat berkomunikasi dan jumlah orang yang diajak berkomunikasi, artinya ragam
topic maupun pesan yang dibicarakan pada saat berkomunikasi dan jumlah orang
yang diajak untuk berkomunikasi pada saat melakukan komunikasi, (6) Tingkat
kedalaman pesan saat berkomunikasi, merujuk pada pertukaran pesan secara lebih
detail yang ditandai dengan kejujuran, keterbukaan dan sikap saling percaya antar
partisipan pada saat berkomunikasi.
Komunikasi adalah kendaraan atau alat yang digunakan untuk bertingkah
laku dan untuk memahami serta memberi makna terhadap segala sesuatu di sekitar
kita (Morissan dan Wardhany 2009). Komunikasi melibatkan pemahaman tentang
bagaimana orang-orang bersikap dalam menciptakan, menukar dan mengartikan
pesan-pesan. Oleh karena itu dengan komunikasi yang intens seseorang dapat
berinteraksi dengan orang lain.
Intensitas komunikasi berlangsung antara sekurang-kurangnya dua pihak
yang berinteraksi. Berinteraksi membutuhkan kontak satu sama lain dan juga
komunikasi antar orang yang melakukan kontak (Suharman 2010). Menurut van
den Ban dan Hawkins (1999), proses saling mempengaruhi dan bersifat timbal-
23
balik dari suatu tindakan berbagai individu atau kelompok tani, biasanya
dilakukan dengan komunikasi. Intensitas komunikasi berlangsung antara
sekurang-kurangnya dua pihak yang berinteraksi. Dua pihak yang intens
berkomunikasi di dalam pelaksanaan SL-P2KP adalah antara peserta dengan
petugas penyuluh lapang. Dengan demikian yang di maksud dengan intensitas
komunikasi antara peserta dengan petugas penyuluh lapang adalah frekuensi
usaha yang dilakukan dalam berkomunikasi dengan baik dalam bentuk
penyampaian informasi, sinyal, atau pesan individu kepada individu yang lain
dengan konsekuensi umpan balik yang diterima secara langsung sehingga terjadi
hubungan timbal balik atau komunikasi dua arah antara kedua individu tersebut.
Hasil penelitian Mohamad Ihsan (2009) menunjukkan faktor intensitas
komunikasi petani pada variabel intensitas komunikasi dengan pengelola taman
nasional, intensitas komunikasi dengan media massa dan intensitas komunikasi
dengan penyuluhan memberikan pengaruh yang nyata terhadap perilaku petani
dalam melakukan konservasi tanah dan air secara berkelanjutan di daerah
penyangga kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP).
Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan intensitas komunikasi dalam
pelaksanaan SL-P2KP adalah kedalaman dan keluasan komunikasi yang dilihat
dari (1) frekuensi kehadiran petani pada kegiatan SL-P2KP, (2) peran penyuluh,
(3) Intensitas pembicaraan petani dengan penyuluh didalam pertemuan SL-P2KP,
(4) Intensitas pembicaraan petani dengan sesama (5) Intensitas pembicaraan
petani dengan penyuluh di luar pertemuan SL-P2KP (6) Frekuensi pertemuan
petani dengan penyuluh dalam pertemuan SL-P2KP dan (7) Frekuensi pertemuan
petani dengan penyuluh diluar pertemuan SL-P2KP.
Efektivitas Komunikasi
Efektivitas berasal dari kata efektif yang berarti tercapai keberhasilan
yang telah ditetapkan. Menurut Tubbs dan Moss (2005) efektivitas komunikasi
erat kaitannya dengan tujuan, yang biasanya menghasilkan pemahaman,
kesenangan, mempengaruhi sikap, memperbaiki hubungan dan tindakan. DeVito
(1997) menjelaskan bahwa komunikasi selalu mempunyai efek atau dampak atas
satu atau lebih orang yang terlibat dalam tindak komunikasi. Efek tersebut adalah
dampak intelektual, dampak perubahan sikap (afektif) dan dampak perilaku
(psikomotorik). Vardiansyah (2008) Selanjutnya Effendy (2001) mengemukakan
bahwa komunikasi dikatakan efektif bila menimbulkan dampak: 1) kognitif, yakni
meningkatnya pengetahuan komunikan. 2) afektif, yaitu perubahan pandangan
komunikan, karena hatinya tergerak akibat komunikasi dan 3) behavioral yaitu
perubahan perilaku atau tindakan yang terjadi pada komunikan.
Menurut Berlo (1960), dalam proses komunikasi terdapat unsur-unsur
komunikasi yang akan mempengaruhi atau menentukan kejelasan komunikasi
yakni:
1) Sumber (source), adalah pihak yang menciptakan pesan, bila diklasifikasikan
maka sumber dapat berbentuk lembaga atau organisasi dan personal orang.
Sumber informasi memproduksi sebuah pesan untuk dikomunikasikan.
2) Pesan (message), adalah sesuatu yang disampaikan oleh sumber kepada
penerima dengan kata lain sebagian produk fisik aktual dari komunikator-
24
komunikan. Pesan dapat disampaikan dengan cara tatap muka atau melalui
media komunikasi. Pesan tersebut dapat terdiri dari kata-kata lisan atau tulisan,
musik, gambar, dan lain-lain.
3) Saluran (channel), Saluran adalah alat yang digunakan untuk memindahkan
pesan dari sumber kepada penerima. Terdapat beberapa pendapat mengenai
saluran atau media, misalnya dalam komunikasi antarpribadi panca indera
dianggap sebagai media komunikasi. Selain indera manusia, ada juga saluran
komunikasi seperti telepon, surat dan telegram yang digolongkan sebagai
media komunikasi antarpribadi. Media digunakan dalam komunikasi apabila
komunikan berada di tempat yang jauh dari komunikator dan atau jumlahnya
banyak (Effendy, 1992). Saluran (channel) adalah media yang menyalurkan
isyarat dari pemancar kepada penerima (receiver)
4) Penerima (receiver) Komunikan sering disebut juga sebagai penerima pesan.
Penerima adalah pihak yang menjadi sasaran pesan yang dikirim oleh sumber.
Penerima bisa terdiri dari satu orang atau lebih, bisa dalam bentuk kelompok,
organisasi dan lain sebagainya.
5) Efek (effect). efek adalah tanggapan, respon atau reaksi dari komunikan ketika
menerima pesan dari komunikator, dan jawaban lisan atau tertulis dari
individu yang memberi respon (tanggapan) ini oleh Sunarjo (1997) di sebut
opini.
Secara umum komunikasi dinilai efektif bila rangsangan yang disampaikan
dan dimaksudkan oleh pengirim atau sumber, berkaitan erat dengan rangsangan
rangsangan yang ditangkap dan dipahami oleh penerima. Semakin besar kaitan
antara yang dimaksud oleh komunikator dengan yang dipahami komunikan, maka
semakin efektif pula komunikasi yang dilaksanakan.
Untuk dapat mencapai komunikasi yang efektif, umpan balik diperlukan.
Namun umpan balik tidak selalu memberikan hasil positif, karena adakalanya
umpan balik ada gangguan. Seringkali saat kita melakukan umpan balik dalam
berkomunikasi, namun kemudian tidak memberi respon untuk mendorong
timbulnya penerimaan dari umpan balik tersebut. Dengan demikian, diantara
orang yang bekomunikasi haruslah tercapai kesamaan pengertian tentang hal yang
dikomunikasikan yang berarti berjalan efektif.
Komunikasi akan menjadi efektif apabila adanya pemahaman bersama
(mutual understanding). Pemahaman bersama (mutual understanding) yang
merupakan tujuan dan fungsi utama komunikasi adalah proses pengambilan
keputusan bersama yang berdasarkan pada ketidakpastian. Saling mengerti dan
persetujuan tentang informasi simbolik yang dibentuk dan dibagi adalah sebuah
prasyarat untuk aktivitas sosial dan kolektif lainnya (Rogers & Kincaid 1981).
Agar pihak-pihak yang terlibat dalam proses komunikasi dapat saling
memahaminya dan karenanya berkomunikasi dengan efektif, mereka harus
memiliki sesuatu yang kurang lebih sama dengan latar belakang dan pengalaman.
Istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan keadaan yang sama antara
pihak-pihak pelaku komunikasi ini adalah homofili. Menurut Rogers (20003),
homophily adalah derajat dimana sepasang individu atau lebih yang
berkomunikasi dengan cara yang sama. Kesamaan ini bisa saja pada atribut
tertentu, misalnya kepercayaan, pendidikan, status sosial, tempat tinggal, etnis,
ekonomi dan kesukaannya.
25
Komunikasi akan berjalan efektif apabila ketepatannya dapat ditingkatkan
dan gangguannya dapat diperkecil. Oleh karena itu, meningkatkan ketepatan dan
mengurangi gangguan harus terjadi pada setiap unsur komunikasi. Unsur-unsur
komunikasi tersebut harus dapat memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. Seorang komunikator harus memiliki keterampilan berkomunikasi
(communication skills), pengetahuan yang luas mengenai apa yang dibahasnya
(knowledge), sikap jujur dan bersahabat (attitude), serta mampu beradaptasi
dengan sistem sosial dan budaya (social and cultural system).
2. Seorang komunikan harus memiliki kemampuan berkomunikasi, bersikap
positif kepada komunikator dan pesan yang disampaikan, memahami isi
pesan yang disampaikan, serta perilaku kebiasaan dalam menerima dan
menafsirkan pesan.
3. Pesan yang disampaikan harus memenuhi persyaratan kode atau bahasa pesan,
kesesuaian isi pesan dengan tujuan komunikasi, serta pemilihan dan
pengaturan bahasa dan isi pesan.
4. Media komunikasi harus sesuai denga tujuan yang hendak dicapai, sesuai
dengan isi pesan sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat, serta efisien
dalam memilih media. Prinsip media harus dapat dilihat, didengar, disentuh,
dicium dan dirasakan.
Komunikasi dapat dinilai efektif apabila pendengar atau pembaca
mengikuti pandangan seorang komunikator, karena ia memiliki daya tarik dalam
hal kesamaan (similarity), dikenal baik (familiarity), disukai (liking) dan fisiknya
(physic). Kesamaan dimaksudkan bahwa orang bisa terarik pada komunikator
karena adanya kesamaan demografik, seperti bahasa, agama, suku, daerah asal,
partai atau ideologi. Komunikator yang dikenal baik lebih cepat diterima oleh
khalayak daripada mereka yang tidak dikenal. Komunikator yang sudah dikenal
kepiawaiannya akan mudah diterima, sebab khalayak tidak akan ragu terhadap
kemampuan dan kejujurannya. Selain itu, komunikator juga harus disukai oleh
khalayak. Penampilan fisik dan postur badan dinilai penting karena fisik yang
cacat bisa menimbulkan ejekan sehingga menganggu jalannya komunikasi
(Cangara 2004).
Dari penjelasan di atas maka secara umum, didefinisikan efektivitas
komunikasi adalah suatu proses komunikasi dimana keempat unsur komunikasi
harus berfungsi secara sinergi pada saat proses komunikasi berlangsung, baik
dalam konteks fisik/ruang dan waktu, serta diharapkan dari proses komunikasi
tersebut muncul efek komunikasi, dan juga menimbulkan gangguan-gangguan
(noise) yang dapat memperlancar proses komunikasi itu.
Kondisi Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya masyarakat, yaitu hal-hal yang terdapat atau
berhubungan erat dalam kehidupan baik sebagai individu maupun dalam
bermasyarakat. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang diteliti meliputi;
lingkungan sosial, lingkungan ekonomi dan norma yang berlaku dalam kehidupan
masyarakat.
Lingkungan Sosial yaitu kebiasaan yang masih berlaku dalam
masyarakat yang meliputi: norma yang ada, organisasi kemasyarakatan yang ada
dan tingkat interaksi dengan masyarakat luar.keberadaannya dapat mendorong
26
atau menghambat responden dalam menjalin kerjasama dalam pelaksanaan SLP2KP. Sedangkan lingkungan ekonomi; yaitu kekuatan-kekuatan ekonomi yang
ada dalam masyarakat di lokasi penelitian yang secara langsung keberadaannya
dapat mendorong atau menghambat responden dalam mengolah hasil
usahataninya. Sebagai contoh petani mau menanam tanaman jika ada manfaat dan
dapat menghasilkan sehingga meningkatkan pendapatan keluarga.
Menurut Muhammad (2009) norma adalah satu set asumsi atau
harapan yang dipegang oleh anggota kelompok atau organisasi mengenai tingkah
laku yang benar atau yang salah, baik atau buruk, cocok atau tidak cocok,
diizinkan atau tidak diizinkan. Kelompok dapat menetapkan secara eksplisit dan
implisit norma-norma mereka, norma kelompok sesungguhnya adalah
membimbing dan mengkoordinasikan anggota kelompok agar kelompok dapat
mencapai tujuannya. Seperti yang DeVito (1997) katakan bahwa pada umumnya
kelompok mengembangkan norma atau peraturan mengenai perilaku yang
diinginkan, norma dapat bersifat eksplisit maupun implisit yang berlaku bagi
anggota perorangan maupun kelompok secara keseluruhan. Walgito (2007)
mengatakan bahwa norma kelompok adalah pedoman-pedoman yang mengatur
sikap dan perilaku atau perbuatan anggota kelompok. Diperkuat oleh Goldberg
dan Larson (2006) yang menjelaskan bahwa norma-norma mengatur tingkah laku
anggota kelompok. Norma terdiri dari gambaran (nations) tentang bagaimana
seharusnya mereka bertingkah laku. Norma terbagi dalam pola-pola dan menjadi
aspek-aspek yang dapat diperkirakan dari kegiatan maupun segi pandangan
kelompok. Kecenderungan suatu kelompok untuk selalu menekan anggotanya
untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma dan pedoman kelompok, anggota
yang menyimpang dari norma-norma kelompok akan didorong untuk merubah
tingkah lakunya yang tidak mentaati akan dihukum.
Adopsi Inovasi
Adopsi. Pada hakekatnya dapat diartikan sebagai proses penerimaan inovasi dan
atau perubahan perilaku baik yang berupa; pengetahuan (cognitive), sikap
(affective) maupun keterampilan (psychomotoric) pada diri seseorang setelah
menerima “inovasi” yang disampaikan Fasilitator oleh Penerima manfaatnya.
(Mardikanto, 2010). Penerimaan di sini mengandung arti tidak sekedar “tahu”
atau “mau”, tetapi sampai benar-benar melaksanakan atau menerapkannya dengan
benar serta menghayatinya dalam kehidupannya, sehingga tetap berlangsung dan
berkelanjutan. Selain itu, proses adopsi inovasi juga dapat didekati dengan
pemahaman bahwa proses adopsi inovasi itu sendiri merupakan proses yang
diupayakan secara sadar demi tercapainya tujuan pembangunan.
Hasil penelitian Maksum (1984) menunjukkan bahwa faktor utama petani
mengadopsi teknologi embung adalah ekonomi, kemudian teknis dan terakhir
budaya. Karakteristik individu yang memiliki hubungan yang cukup kuat dengan
adopsi teknologi embung adalah pendidikan, luas pemilikan lahan, kontak dan
komunikasi dengan sumber-sumber informasi seperti petani lain, penyuluh dan
kelompok tani.
Adopsi inovasi di bidang pertanian merupakan hasil dari kegiatan suatu
komunikasi peranian dan karena komunikasi itu melibatkan interaksi sosial di
27
antara masyarakat, maka proses adopsi inovasi terkait dengan pengaruh
interaksi antar
individu, antar kelompok, angota masyarakat atau
kelompok masyarakat, juga dipengaruhi oleh interaksi antar kelompok dalam
masyarakat. Proses adopsi inovasi yang terjadi pada kelompok tani pada
prinsipnya adalah kumlatif dari adopsi individual, sehingga tahapantahapan adopsi inovasi individual juga berlaku bagi tahapan adopsi inovasi
kelompok (Soekartawi, 2005).
Ibrahim et al (2003) menyebutkan adopsi adalah proses yang terjadi sejak
pertama kali seseorang mendengar hal yang baru sampai orang tersebut
mengadopsinya. Petani sasaran mengambil keputusan setelah melalui beberapa
tahapan dalam proses adopsi. Beberapa tahapan yang harus dilalui yaitu tingkat
adopsi sangat dipengaruhi tipe keputusan untuk menerima atau menolak inovasi.
Dengan melihat tipe keputusan adopsi inovasi, proses adopsi dapat melalui empat
tahap yaitu: tahap mengetahui (knowledge), persuasi (persuasion), pengambilan
keputusan (decision) dan konfirmasi (confirmation).
Tahapan adopsi
Secara konseptual, sebelum masyarakat mau menerima/ menerapkan
dengan keyakinannya sendiri, proses adopsi selalu melalui tahapan-tahapan
meskipun selang waktu antar satu tahapan dengan yang lainnya itu tidak selalu
sama, tergantung sifat inovasi, karakteristik penerima manfaat, keadaan
lingkungan (fisik maupun sosial), dan aktivitas/kegiatan yang dilakukan oleh
fasilitator. Menurut Rogers (1983) menyatakan proses adopsi inovasi terdiri dari
lima tahap, yaitu:
a. Awareness atau tahap kesadaran. Petani mulai sadar tentang adanya sesuatu
yang baru, mulai terbuka akan perkembangan dunia luarnya, sadar apa yang
sudah ada dan apa yang belum.
b. Interest atau tumbuhnya tahap minat. Tahap ini ditandai oleh adanya kegiatan
mencari keterangan-keterangan tentang hal-hal yang baru diketahuinya.
c. Evaluation atau tahap penilaian. Setelah keterangan yang diperlukan diperoleh,
mulai timbul rasa menimbang-nimbang untuk kemungkinan melaksanakannya
sendiri.
d. Trial atau tahap mencoba. Jika keterangan sudah lengkap, minat untuk meniru
besar, dan jika ternyata hasil penilaiannya positif, maka dimulai usaha
mencoba hal baru yang sudah diketahuinya.
e. Adoption atau tahap adopsi. Petani sudah mulai mempraktekkan hal-hal baru
dengan keyakinan akan berhasil.
Inovasi. Menurut Rogers (2003), inovasi adalah gagasan, tindakan, atau barang
yang dianggap baru oleh seseorang. Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara
subyektif menurut pandangan individu yang menerimanya. Jika suatu ide
dianggap baru oleh seseorang, maka ide tersebut adalah inovasi untuk orang
tersebut. Konsep ‟baru‟ dalam ide yang inovatif tidak harus baru sama sekali.
Inovasi adalah sesuatu ide, perilaku, produk, informasi, dan praktekpraktek baru yang belum banyak diketahui, diterima dan digunakan/diterapkan,
dilaksanakan oleh sebagian besar warga masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu,
yang dapat digunakan atau mendorong terjadinya perubahan-perubahan di segala
aspek kehidupan masyarakat demi selalu terwujudnya perbaikan-perbaikan mutu
28
hidup setiap individu dan seluruh warga masyarakat yang bersangkutan
(Mardikanto, 1993).
Inovasi adalah suatu gagasan, metode, atau objek yang dapat dianggap
sebagai sesuatu yang baru, tetapi tidak selalu merupakan hasil dari penelitian
mutakhir. Inovasi sering berkembang dari penelitian dan juga dari petani (Van den
Ban dan H.S. Hawkins, 1985). Segala sesuatu ide, cara-cara baru, ataupun obyek
yang dioperasikan oleh seseorang sebagai sesuatu yang baru adalah inovasi. Baru
di sini tidaklah semata-mata dalam ukuran waktu sejak ditemukannya atau
pertama kali digunakannya inovasi tersebut. Hal yang penting adalah kebaruan
dalam persepsi, atau kebaruan subyektif hal yang dimaksud bagi seseorang, yang
menentukan reaksinya terhadap inovasi tersebut. Dengan kata lain, jika sesuatu
dipandang baru bagi seseorang, maka hal itu merupakan inovasi.
Rogers (1983) mengemukakan lima karakteristik inovasi yakni:
1. Keunggulan relatif (relative advantage), adalah merupakan tingkatan dimana
suatu ide sebagai suatu ide yang lebih baik dari ide-ide sebelumnya dan
secara ekonomi menguntungkan
2. Kompatibilitas (compatibility), adalah sejauh mana masa lalu suatu inovasi
dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman masa lalu, dan
kebutuhan adopter (penerima). Oleh karena itu inovasi yang tidak kompatibel
dengan ciri-ciri sistem sosial yang menonjol akan tidak diadopsi secepat ide
yang kompatibel.
3. Kerumitan (complexity), adalah suatu tingkatan dimana suatu iinovasi
dianggap relative sulit dimengerti dan digunakan. Kesulitan untuk dimengerti
dan digunakan, akan merupakan hambatan bagi proses kecepatan adopsi
inovasi
4. Kemungkinan untuk dicoba (trialability) adalah suatu tingkatan dimana
suatu inovasi dalam skala kecil. Ide baru yang dapat dicoba dalam skala
kecil biasanya diadopsi lebih cepat daripada inovasi yang tidak dapat dicoba
lebih dahulu
5. Kemampuan diamati (observability), adalah suatu tingkat hasil-hasil suatu
inovasi dapat dengan mudah dilihat sebagai keuntungan teknis ekonomis,
sehingga mempercepat proses adopsi.
Faktor-Faktor yang mempengaruhi adopsi inovasi
Tergantung kepada proses perubahan perilaku yang diupayakan, proses
pencapaian tahapan adopsi dapat berlangsung secara cepat atau lambat. Jika
proses tersebut melalui “pemaksaan” (coersion), biasanya dapat berlangsung
secara cepat, tetapi jika melalui “bujukan” (persuasive) atau “pendidikan”
(learning), proses adopsi tersebut dapat berlangsung lebih lambat (Soewardi,
1987). Menurut Soekartawi (2005) cepat tidaknya proses adopsi inovasi, juga
akan ditentukan oleh faktor internal petani dan faktor luar yang terkait dengan
kegiatan usahatani dimana teknologi tersebut digunakan. Karakteristk individu
petani adalah cici-ciri atau sifat-sifat yang dimiliki oleh seseorang yang
ditampilkan melalui pola pikir, pola sikap dan pola tindakan terhadap lingkungan
hidupnya berdasarkan karakteristik internal petani sebagai adopter. Beberapa
faktor internal petani sebagai karakteristik individu antara lain:umur, pendidikan,
keberanian mengambil resiko, pola hubungan, sikap terhadap perubahan, motivasi
29
berkarya, aspirasi, fatalisme, sistem kepercayaan tertentu dan karakteristik
psikologi. Lionberger dan Gwin (Anas 2003) mengungkapkan peubah-peubah
yang penting dalam mengkaji masyarakat lokal diantaranya adalah peubah
karakteristik.
Karakateristik individu meliputi: usia, tingkat pendidikan dan ciri
psikologis. Hasil penelitian Utami (2007), menyimpulkan bahwa beberapa aspek
karakteristik individu yang memiliki pengaruh besar terhadap perilaku wirausaha
dan tingkat kemandirian adalah pendidikan, motivasi berusaha, dan aspek gender
melalui intensitas komunikasi dan pemenuhan kebutuhan. Selanjutnya hasil
penelitian Manjar (2002), Suwanda (2003), Djunaedi (2003) dan Nugraha
menunjukkan terdapat hubungan nyata antara karakteristik individu dengan
efktivitas komunikasi. Karakteristik individu tersebut adalah umur, jenis kelamin,
pendidikan formal, pendidikan non formal, pendapatan, status kepemilikan lahan,
pengalaman menerima bantuan, motivasi dalam berusahatani dan status dalam
kelompok. Berdasarkan penjelasan tentang karakteristik individu merupakan ciri
kepribadian seseorang yang ada sejak lahir dan berkembang sesuai perkembangan
lingkungan.
Menurut Far-Far (2011), karakteristik individu merupakan salah satu
faktor penting untuk diketahui dalam rangka mengetahui kecenderungan perilaku
seseorang atau masyarakat dalam kehidupannya. Kemampuan atau potensi yang
dimiliki petani dapat dipelajari melalui karakteristik yang melekat pada diri petani
itu sendiri. Karakteristik individu tersebut meliputi: umur, pendidikan, pendapatan,
pengalaman dan luas lahan petani merupakan karakteristik yang berhubungan
nyata dan sangat nyata dengan perilaku komunikasi interpersonal. Hubungan
tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi umur, pendidikan, pendapatan dan
luas lahan yang dimiliki petani, cenderung komunikasi interpersonal semakin
tinggi dan baik. Selanjutnya Rogers dan Shoemaker (1971) menyatakan proses
pengambilan keputusan para petani apakah menerima atau menolak suatu inovasi
tergantung pada sikap mental (sikap terhadap pengubahan), situasi intern dan
situasi ekstern. Situasi intern individu dipengaruhi antara lain oleh usia, tingkat
pendidikan formal dan pendidikan nonformal, pengalaman bertani padi,
keberanian mengambil resiko dan tingkat kekosmopolitan. Disamping
karakteristik individu petani terdapat karakteristik usahatani atau faktor
situasional yang akan mempengaruhi proses adopsi inovasi teknologi pertanian
oleh petani. Peubah yang terdapat pada karakter usahatani antara lain adalah: luas
pengelolaan lahan, biaya pengolahan lahan, produktivitas lahan dan harga jual
gabah perkilogram dapat mempengaruhi tingkat kecepatan adopsi inovasi
teknologi oleh petani.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa untuk dapat melakukan
aktivitas komunikasi, seseorang mempunyai karakteristik tertentu. Sehubungan
dengan penelitian ini, karakteristik individu anggota KWT yang akan diamati
adalah umur, tingkat pendidikan, pemilikan lahan, pemanfaatan lahan, tingkat
keterlibatan dalam kelompok.
30
Kerangka Pemikiran
Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP)
merupakan kegiatan baru guna mendukung anjuran pemerintah untuk menjaga
dan menjamin ketahanan pangan melalui pemberdayaan kelompok wanita tani. Di
Kecamatan Prambanan dan di Kabupaten Sleman. Mengenai program utama
P2KP terbagi dalam empat bidang yaitu pemberdayaan kelompok wanita tani
melalui optimalisasi pemanfaatan pekarangan (OPP), pengembangan pangan lokal,
sosialisasi dan promosi penganekaragaman konsumsi pangan, dan pengembangan
rumah pangan lestari (RPL).
Implementasi gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi
Pangan (P2KP) pada tahun 2012 merupakan keberlanjutan dari tahun 2010 dan
2012 yang dilaksanakan dalam bentuk kegiatan Pemberdayaan kelompok wanita
tani melalui optimalisasi pemanfaatan pekarangan (OPP) dan pemanfaatan pangan
lokal sebagai sumber karbohidrat, dilaksanakan dalam bentuk sekolah lapangP2KP.
SL- P2KP adalah model pelatihan yang dilaksanakan secara bertahap
dan berkesinambungan, proses berlatih melatih dilaksanakan melalui kegiatan
belajar sambil mengerjakan dan belajar untuk menemukan atau memecahkan
masalah dalam suatu kelompok. Sasaran pelaksanaan kegiatan lebih difokuskan
kepada kelompok wanita tani. Kelompok wanita tani terdiri dari ibu-ibu yang
terlibat dalam kelompok PKK atau dasa wisma. Tujuan kegiatan dilakukan
sebagai upaya untuk mengembangkan pola pikir kelompok wanita tani tentang
konsumsi pangan beragam, bergizi, seimbang dan aman melalui kegiatan
optimalisasi pemanfaatan pekarangan (OPP).
Pola komunikasi kelompok wanita tani meliputi; model komunikasi
(arah, saluran/media yang digunakan, dan cara penyampaian), penggunaan bahasa,
dan sumber yang berlangsung dalam proses belajar. Proses belajar mengajar
sekolah lapang-P2KP tidak berhasil begitu saja karena dipengaruhi oleh faktor
karakteristik individu. Di sisi lain faktor penting yang mempengaruhi yaitu faktor
dari luar (eksternal) meliputi kondisi sosial budaya masyarakat.
Efektivitas komunikasi Kelompok Wanita Tani diukur dari dengan
melihat aspek pegetahuan, aspek afeksi dan aspek perilaku yang dapat mengarah
pada perubahan perilaku penganekaragaman konsumsi pangan. Perubahan
perilaku dilihat dari pola konsumsi/kebiasaan makan, pola pemanfaatan lahan
pekarangan/pola menanam dan efektivitas komunikasi yang terjadi saat
penyampaian informasi setelah mengikuti SL-P2KP kepada anggota keluarga dan
masyarakat sekitar.
Berdasarkan uraian tersebut, maka secara sederhana alur penelitian
tentang Sekolah Lapang Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (SLP2KP) Sebagai Media Komunikasi di kecamatan Prambanan Kabupaten Sleman
dapat dilihat pada gambar 2.
31
Karakteristik Individu
1. Umur
2. Tingkat Pendidikan
3. Kepemilikan dan
pemanfaatan lahan
4. Keterlibatan dalam
kelompok
Kondisi Sosial Budaya
Masyarakat
Intensitas Komunikasi
Dalam Pelaksanaan
SL-P2KP
Pola Komunikasi
SLP2KP
1. Model Komunikasi
2. Bahasa
3. Sumber informasi
Efektivitas Komunikasi
- Tingkat Pengetahuan
- Tingkat Afeksi
Perubahan Perilaku
Gambar 2. Alur Berpikir Mengenai Pola Komunikasi dalam kegiatan SL-P2KP.
Keterangan:
: Analisis kuantitatif
: Deskripsi kualitatif
Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini hipotesis adalah:
1.
Ada hubungan antara intensitas komunikasi dalam SL-P2KP dengan
efektifitas komunikasi (perubahan pengetahun, afeksi dan perilaku) pada
masyarakat.
2.
Ada hubungan antara tingkat pengetahuan dan tingkat afeksi tentang SLP2KP dengan tingkat perilaku pelaksanaan Optimalisasi Pemanfaatan
Pekarangan dalam masyarakat.
32
Definisi Operasional
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner yang
berisi daftar pertanyaan yang berhubungan dengan peubah-peubah yang dikaji
meliputi; karakteristik responden, kondisi sosial budaya masyarakat, pola komunikasi,
efektivitas komunikasi dan intensitas komunikasi yang telah disiapkan sebelumnya.
Instrumen pengumpulan data adalah alat bantu yang digunakan peneliti dalam kegiatan
mengumpulkan data agar kegiatan penelitian menjadi sistematis dan mudah
(Kriyantono 2008).
1. Karakteristik anggota kelompok wanita tani adalah ciri kepribadian yang ada pada
individu sejak lahir dan berkembang sesuai dengan kondisi lingkungan.
Karakteristik responden meliputi; umur, tingkat pendidikan, luas lahan
pekarangan dan pemanfaatannya, dan keterlibatan dalam kelompok.
a. Umur adalah jumlah tahun usia responden yang dihitung sejak kelahirannya
sampai waktu penelitian dilakukan, skala pengukuran yang digunakan adalah
ordinal dikategorikan:
1. 20-34 tahun adalah usia muda
2. 35-54 tahun usia dewasa
3. 55 tahun keatas adalah usia tua
b. Tingkat p e ndidikan adalah j e n j a n g p e n d i d i k a n f o r m a l yang pernah
diikuti oleh responden sampai dengan waktu penelitian dilakukan, skala
pengukuran yang digunakan adalah ordinal dan dikategorikan;
1. Tidak sekolah – SD rendah dengan skor 1
2. SMP sedang skor 2
3. SMA ke atas tinggi dengan skor 3
c. Luas lahan adalah satuan luas lahan pekarangan yang diperuntukkan kepada
setiap petani dengan kategori;
1. Sempit kurang dari 100 m2 skor 1
2. Sedang 100-300m2 skor 2
3. Luas lebih dari 300m2 skor 3
d. Pemanfaatan lahan pekarangan adalah satuan luas lahan pekarangan yang
dimanfaatkan oleh petani dengan kategori;
1. Sempit (kurang dari 100 m2) skor 1
2. Sedang (100-300m2) skor 2
3. Luas (lebih dari 300m2) skor 3.
e. Keterlibatan dalam kelompok yaitu keterlibatan seseorang dalam kelompok dan
yang mendorongnya untuk memberikan kontribusi bagi kelompok, seperti;
status dalam kelompok, kehadiran, keaktifan dalam menjalankan kewajibannya.
Indikator yang diukur adalah: jangka waktu lama terlibat dengan kategori:
1. Baru saja skor 1 (kurang dari 3 tahun)
2. Sedang skor 2 (5 tahun)
3. Lama skor 3 (lebih dari 7 tahun)
status dalam kelompok: pengurus dan anggota, serta kehadiran dalam
pertemuan yang dikategorikan:
1. Selalu skor 3
2. Kadang-kadang skor 2
3. Tidak pernah skor 1
2. Kondisi sosial budaya masyarakat merupakan deskripsi rinci mengenai dasar
33
3.
4.
untuk menentukan strategi yang dapat digunakan untuk pelaksanaan program.
Kondisi sosial budaya masyarakat terdiri dari; lingkungan sosial, lingkungan
ekonomi dan norma atau aturan adat dalam masyarakat.
1. Lingkungan sosial yaitu lingkungan masyarakat disekeliling responden
yang keberadaannya dapat mendorong atau menghambat responden dalam
menjalin kerjasama dalam pelaksanaan SL-P2KP.
2. Lingkungan ekonomi, yaitu kekuatan-kekuatan ekonomi yang ada dalam
masyarakat di lokasi penelitian yang secara langsung keberadaannya dapat
mendorong atau menghambat responden dalam mengolah hasil
usahataninya. Sebagai contoh petani mau menanam tanaman jika dapat
menghasilkan sehingga meningkatkan pendapatan keluarga.
3. Norma atau aturan adalah harapan yang dipegang oleh anggota kelompok
atau organisasi mengenai tingkah laku yang benar atau yang salah, baik
atau buruk, cocok atau tidak cocok, suka atau tidak suka. Norma
sesungguhnya adalah membimbing dan mengkoordinasikan anggota
kelompok agar kelompok dapat mencapai tujuannya.
Pola komunikasi SL-P2KP adalah komunikasi yang terjadi diantara pemberi
informasi (penyuluh) dan penerima informasi (anggota kemlompok wanita tani)
saat sekolah lapang berlangsung atau setelah sekolah lapang. Pola komunikasi
terdiri dari; model komunikasi (meliputi; cara, arah, dan saluran), bahasa yang
digunakan, dan sumber.
a. Model komunikasi merupakan bagian dari proses komunikasi yang terjadi
dalam pelaksanaan SL-P2KP. Model komunikasi dapat dilihat dari:
1) Cara atau metode yang digunakan menyampaikan informasi kegiatan SLP2KP seperti diskusi, ceramah pertemuan kelompok dan praktek lapang,
gambar poster dengan pilihan cara mana yang paling sering atau disukai
petani
2) Arah komunikasi yang digunakan dalam kegiatan SL-P2KP yakni:
banyak arah skor 1, satu arah skor 2; dan dua arah skor 3. skala yang
digunakan adalah ordinal; rendah, sedang dan tinggi;
3) Saluran/media komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan
informasi kegiatan SL-P2KP ini adalah papan pengumuman, poster/alat
peraga, Televisi (TV) dan surat edaran/undangan dengan pilihan mana
yang disukai petani responden.
b. Bahasa yang dimaksud adalah bahasa apa yang digunakan oleh PPL/THL
ketika mensosialisasikan kegiatan SL-P2KP. Bahasa Indonesia skor 1, bahasa
Jawa dengan skor 2 dan bahasa campuran (bahasa Jawa dan Indonesia)
dengan skor 3.
c. Sumber adalah siapa dan bagaimana informasi disampaikan kepada anggota
KWT yakni; kontak tani, penyuluh, pendamping P2KP dan sesama anggota
dengan pilihan mana yang paling banyak digunakan dan paling banyak
disukai petani.
Intensitas komunikasi adalah seberapa sering atau frekuensi waktu yang
digunakan dalam berkomunikasi seperti yang dilakukan diantara petani dengan
penyuluh dan di antara sesama anggota. Intensitas komunikasi yang diteliti dalam
penelitian ini terdiri dari: kehadiran penyuluh dalam pertemuan SL-P2KP, peran
dari penyuluh, pembicaraan di dalam dan diluar pertemuan diantara petani dengan
penyuluh, pembicaraan diantara sesama anggota KWT dan frekuensi bertemu
34
yang dilakukan oleh penyuluh kepada anggota KWT baik di dalam maupun di
luar pertemuan untuk membicarakan tentang kegiatan SL-P2KP.
a. Kehadiran penyuluh adalah jumlah waktu penyuluh hadir dan memberikan
materi dalam kegiatan Sekolah Lapang-P2KP. Intensitas diukur dengan
kategori; tidak pernah skor 1, kadang-kadang skor 2, dan selalu skor 3.
a. Pembicaraan petani dengan penyuluh di dalam pertemuan adalah frekuensi
membicarakan tentang kegiatan terkait kegiatan Sekolah Lapang-P2KP.
Intensitas komunikasi di ukur dengan kategori; tidak pernah skor 1, kadangkadang skor 2, dan selalu dengan skor 3.
b. Pembicaraan di antara sesama petani adalah frekuensi membicarakan tentang
kegiatan terkait kegiatan Sekolah Lapang-P2KP. Intensitas komunikasi di
ukur dengan kategori; tidak pernah skor 1, kadang-kadang skor 2, dan selalu
dengan skor 3.
c. Pembicaraan petani dengan penyuluh di luar pertemuan adalah frekuensi
membicarakan tentang kegiatan terkait kegiatan Sekolah Lapang-P2KP.
Intensitas komunikasi di ukur dengan kategori; tidak pernah skor 1, kadangkadang skor 2, dan selalu dengan skor 3.
d. Petani dan penyuluh bertemu di dalam SL-P2KP. Intensitas komunikasi di
ukur dengan kategori; tidak pernah skor 1, kadang-kadang skor 2, dan selalu
dengan skor 3.
e. Petani dan penyuluh bertemu di luar SL-P2KP. Intensitas komunikasi di ukur
dengan kategori; tidak pernah skor 1, kadang-kadang skor 2, dan selalu
dengan skor 3.
5. Efektivitas komunikasi adalah perubahan yang terjadi dalam diri responden
sebagai akibat dari proses komunikasi, yang mana perubahan tersebut meliputi;
peningkatan pengetahuan, perubahan afeksi dan perubahan perilaku. Dalam
penelitian ini efektivitas yang dikaji adalah;
a. Pengetahuan yakni mengenai kegiatan SL-P2KP adalah perubahan dalam diri
responden sebagai akibat dari proses komunikasi, perubahan yang terjadi
adalah peningkatan pengetahuan atau memahami konsep program P2KP
(tujuan, sasaran dan manfaat bagi masyarakat). Diukur dengan menggunakan
skala ordinal; rendah, dan tinggi.
b. Tingkat Afeksi adalah pandangan petani untuk mengikuti dan atau
mengabaikan materi pendampingan dan kegiatan-kegiatan P2KP yang
dilaksanakan. Diukur dengan menggunakan skala ordinal dan hasilnya
dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu tidak mendukung, dan mendukung.
c. Tingkat perilaku adalah perubahan perilaku atau tindakan yang terjadi pada diri
petani, sebagai akibat dari proses komunikasi, dimana perubahan dimaksud
adalah menyangkut keterlibatan aktif untuk melaksanakan program P2KP
sesuai prosedur atau panduan yang berlaku. Diukur dengan menggunakan skala
ordinal dan hasilnya dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu tidak sesuai,
dan sesuai.
35
3 METODOLOGI PENELITIAN
Desain Penelitian
Penelitian ini dirancang sebagai metode penelitian survei yang bersifat
deskriptif dan inferensial. Sebagaimana yang dikatakan oleh Faisal (2001),
penelitian deskriptif dimaksudkan untuk eksplorasi dan klarifikasi mengenai sesuatu
fenomena atau kenyataan sosial dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel
yang berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti. Sementara itu, menurut
Singarimbun dan Effendi (2010) desain penelitian survei adalah penelitian yang
mengambil contoh dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat
pengumpulan data yang pokok. Pada penelitian ini mencoba mencermati secara
mendalam fenomena-fenomena intensitas komunikasi yang terjadi di dalam
Sekolah Lapang-P2KP dan hubungannya dengan efektivitas komunikasi (tingkat
pengetahuan, tingkat afeksi dan perilaku).
Peubah yang diamati dalam penelitian ini terdiri dari peubah bebas dan
peubah terikat. Peubah bebas adalah Karakteristik Individu, Kondisi sosial budaya
masyarakat, Pola komunikasi SL-P2KP, serta intensitas komunikasi dan peubah
terikat yakni Efektivitas Komunikasi.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Desa Sumberharjo dan Desa Madurejo
Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman - Yogyakarta. Pemilihan lokasi
dilakukan secara sengaja (purposive). Alasan pemilihan lokasi karena Desa
Sumberharjo dan Desa Madurejo adalah sebagai penerima kegiatan Percepatan
Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) berbasis sumber daya lokal. Secara
geografis Kecamatan Prambanan berada agak jauh dari pusat kota (39,4 km),
tetapi dapat ditempuh dengan kendaraan. Pelaksanaan penelitian dilaksanakan
pada bulan Juli- September 2012.
Populasi dan Responden Penelitian
Populasi merupakan keseluruhan objek atau fenomena yang diteliti.
Kriyantono (2008) menyebut populasi sebagai wilayah generalisasi yang terdiri
dari obyek atau subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh periset untuk dipelajari. Populasi dapat berupa orang, organisasi,
kata-kata dan kalimat juga simbol-simbol non verbal. Menurut Arikunto populasi
adalah keseluruhan subyek penelitian. Apabila seseorang ingin meneliti semua
elemen yang ada di wilayah penelitian, maka penelitiannya merupakan penelitian
populasi.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pengurus dan anggota
kelompok wanita tani, baik sebagai koordinator, sekretaris, bendahara, ketua
bidang pendidikan, ketua bidang humas, ketua bidang ekonomi di Kecamatan
Prambanan, Kabupaten Sleman sesuai data BPKP tahun 2012. Jumlah populasi
36
peserta SL-P2KP adalah 164 orang dari 2 kelompok wanita tani. Daftar namanama kelompok wanita tani di Kecamatan Prambanan Kabupaten Sleman secara
lengkap dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Nama kelompok wanita tani di Kecamatan Prambanan
Nama Kelompok
Desa
Mawar
Sumberharjo*
Murih Mulyo
Wukirharjo
Girikarto
Gayamharjo
Margo Waluyo
Sambirejo
Perintis
Madurejo*
Bokoharjo
Bokoharjo
Jumlah
Total
29
20
34
20
31
30
164
Sumber: Laporan PPL Desa Penerima kegiatan SL-P2KP
Di kecamatan Prambanan terdapat enam kelompok wanita tani
(KWT) di enam desa yakni; kelompok wanita tani Mawar, kelompok wanita tani
Perintis, kelompok wanita tani Murih Mulyo, kelompok wanita tani Margo
Waluyo, kelompok wanita tani Sambirejo, dan kelompok wanita tani Bokoharjo.
Namun demikian kondisi di lapang, hasil survey awal adalah dua kelompok
wanita tani (KWT Mawar dan Perintis) yang terpilih sebagai penerima SL-P2KP.
Dalam penelitian ini teknik pengambilan responden dilakukan dengan
metode sensus. Responden yang diambil merupakan peserta sekolah pelatihan SLP2KP yang berjumlah 60 orang di Desa Sumberraja dan desa Maduraja
Kecamatan Prambanan Kabupaten Sleman.
Data dan Pengumpulan Data
Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan
data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan panduan
kuisioner dan observasi langsung ke lapangan. Data sekunder diperoleh dari hasilhasil penelitian sebelumnya dan dari berbagai instansi yang terkait dangan
penelitian ini.
Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan terhadap petani yang merupakan anggota
kelompok wanita tani (KWT) peserta SL-P2KP sesuai dengan data Kantor Badan
Ketahanan Pangan Penyuluh Pertanian Kabupaten Sleman pada tahun 2012 di
wilayah Kecamatan Prambanan. Pengumpulan data tersebut dilakukan dengan
cara mengajukan butir-butir pertanyaan atau pernyataan kepada petani dan
penyuluh melalui, wawancara terstruktur dengan menggunakan kuesioner,
informan dengan panduan pertanyaan untuk melengkapi data penelitian dan
observasi secara langsung di lapangan untuk memperoleh gambaran umum
wilayah, situasi dan kondisi penelitian.
Menurut Wimmer dan Sendjaya (Kriyantono 2008) menjelaskan
metode pengumpulan data adalah teknik atau cara-cara yang dapat digunakan
peneliti untuk mengumpulkan data. Dalam riset kuantitatif dikenal metode
37
pengumpulan data berupa kuisioner, wawancara dan dokumentasi. Data yang
dikumpulkan menggunakan metode survey. Agar data lebih akurat maka dalam
penelitian dilengkapi dengan data kualitatif untuk menjelaskan kondisi di
lapangan.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Data yang terkumpul diolah kemudian dianalisis sesuai dengan
kebutuhan untuk menjawab rumusan masalah dan tujuan penelitian serta untuk
menguji hipotesis penelitian. Teknik pengolahan data digunakan analisis
kuantitatif dan untuk mendukung dan mempertajam analisis kuantitatif dilengkapi
dengan informasi berdasarkan data kualitatif.
Analisis data kuantitatif dalam penelitian ini berupa: (1) analisis
statistik deskriptif, dan (2) analisis statistik inferensial berupa analisis uji Chi
Square.
1) Analisis statistik deskriptif digunakan untuk menganalisis data peubah (a)
karakteristik individu, (b) kondisi lingkungan sosial budaya, (c) pola
komunikasi secara umum. Analisis statistik deskriptif berupa frekuensi,
persentase, rataan skor, total skor dan tabulasi silang. Analisis statistik
deskriptif berupa tabel frekuensi, persentase, dan tabulasi silang.
2) Analisis statistik inferensial digunakan untuk menganalisis sejauh mana hasil
yang diperoleh berhubungan dengan analisis data pada sampel untuk
penggeneralisasian pada suatu populasi. Untuk melihat hubungan antara
intensitas komunikasi dengan efektivas komunikasi yang meliputi aspek
kognitif (pengetahuan), afeksi, dan konatif (perilaku), dan hubungan antara
aspek pengetahuan dan afeksi dengan perilaku dianalisis menggunakan
metode Chi-Square (Khi Kuadrat) dengan rumus:
X2= ∑ (f0 – fe)2
Fe
Di mana:
χ2: Nilai khi-kuadrat
f0: Nilai yang diamati
fe: Nilai yang diharapkan
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Luas Wilayah Kabupaten Sleman adalah 57.482 Ha atau 574,82 Km2
atau sekitar 18% dari luas Propinsi Daerah Istimewa Jogjakarta 3.185,80 Km2,
dengan jarak terjauh Utara – Selatan 32 Km, Timur – Barat 35 Km. Geografis
Kabupaten Sleman terletak diantara 107° 15′ 03″ dan 107° 29′ 30″ Bujur Timur,
38
7° 34′ 51″ dan 7° 47′ 30″ Lintang Selatan. Secara administratif terdiri 17 wilayah
Kecamatan, 86 Desa, dan 1.212 Dusun.
Topografi wilayah Kabupaten Sleman keadaan tanahnya dibagian selatan
relatif datar kecuali daerah perbukitan dibagian tenggara Kecamatan Prambanan
dan sebagian di Kecamatan Gamping. Makin ke utara relatif miring dan dibagian
utara sekitar Lereng Merapi relatif terjal serta terdapat sekitar 100 sumber mata air.
Hampir setengah dari luas wilayah merupakan tanah pertanian yang subur dengan
didukung irigasi teknis di bagian barat dan selatan. Topografi dapat dibedakan
atas dasar ketinggian tempat dan kemiringan lahan (lereng). Ketinggian wilayah
Kabupaten Sleman berkisar antara kurang dari 100 sampai dengan lebih dari 1000
m dari permukaan laut.
Iklim Kabupaten Sleman termasuk beriklim tropis basah dengan musim
hujan antara bulan Nopember-April dan musim kemarau antara bulan MeiOktober. Pada tahun 2000 banyaknya hari hujan 25 hari terjadi pada bulan Maret,
namun demikian rata-rata banyaknya curah hujan terdapat pada bulan Februari
sebesar 16,2 mm dengan banyak hari hujan 20 hari. Adapun kelembaban nisbi
udara pada tahun 2000 terendah pada bulan Agustus sebesar 74 % dan tertinggi
pada bulan Maret dan November masing-masing sebesar 87 %, sedangkan suhu
udara terendah sebesar 26,1 derajad celcius pada bulan Januari dan Nopember dan
suhu udara yang tertinggi 27,4 derajad celcius pada bulan September .
Kecamatan Prambanan adalah salah satu Kecamatan di Kabupaten
Sleman berada di sebelah Timur Laut dari Ibukota Kabupaten Sleman. Jarak
Ibukota Kecamatan ke Pusat Pemerintahan (Ibukota) Kabupaten Sleman adalah 25
Km. Lokasi ibu kota kecamatan Prambanan berada di 7.756„ LS dan 110.49„ BT.
Kecamatan Prambanan mempunyai luas wilayah 1.559 Ha.
Batas-batas wilayah administratif Kecamatan Prambanan sebelah utara
berbatasan dengan Kecamatan Kalasan, sebelah Timur berbatasan dengan
Kecamatan Prambanan Klaten Jawa Tengah, sebelah Selatan berbatasan dengan
Kecamatan Piyungan dan sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Berbah.
Kecamatan Prambanan berada di dataran rendah. Ibukota
Kecamatannya berada pada ketinggian 149 meter diatas permukaan laut.
Kecamatan Prambanan beriklim seperti layaknya daerah dataran rendah di daerah
tropis. Suhu tertinggi yang tercatat di Kecamatan Prambanan adalah 33ºC dengan
suhu terendah 22ºC. Bentangan wilayah di Kecamatan Prambanan berupa tanah
yang datar, berombak dan sebagian berupa perbukitan.
Wilayah Kecamatan Prambanan dihuni oleh 13.214 KK. Jumlah
keseluruhan penduduk Kecamatan Prambanan adalah 45.244 orang dengan jumlah
penduduk laki-laki 21.723 orang dan penduduk perempuan 23.521 orang dengan
kepadatan penduduk mencapai 1.063 jiwa/km2. Sebagian besar penduduk
Kecamatan Prambanan adalah Petani. Dari data monografi Kecamatan tercatat
12.960 orang atau 28.65 % penduduk Kecamatan Prambanan bekerja di sektor
pertanian. Secara administratif Kecamatan Prambanan terdiri dari 6 desa, dan 68
Padukuhan. Distribusi luas wilayah di sajikan pada Tabel 2.
39
Tabel 2 Distribusi nama dan luas desa di wilayah Kecamatan Prambanan
Tahun 2010
Desa
Luas Area (Km2)
Sumberharjo*
9,17
Wukirharjo
4,75
Gayamharjo
6,55
Sambirejo
8,39
Madurejo*
7,09
Bokoharjo
5,40
Total
41,35
* lokasi penelitian
Sumberdaya Manusia (SDM)
Sumber daya manusia memegang peranan penting dalam
pembangunan. Oleh karena itu dalam melaksanakan pembangunan suatu wilayah
perlu diketahui keadaan sumber daya manusia yang ada di wilayah tersebut.
Semakin lengkap dan tepat data mengenai sumber daya manusia yang tersedia,
semakin mudah dan tepat pula perencanaan pembangunan yang di buat. Sumber
daya manusia di Kecamatana Pramabanan dilihat dari potensi penduduk yang
bekerja menurut kelompok umur dan jumlah penduduk menurut jenis pekerjaan.
Potensi sumberdaya manusia di Kecamatan Prambanan secara terperinci disajikan
pada Tabel 3.
Tabel 3 Jumlah penduduk Kecamatan Prambanan yang Bekerja menurut
Kelompok Umur dan Jenis Kelamin (2010)
Kelompok Umur (Tahun)
Jenis Kelamin
15-19
20 -24
25-34
>35
Jumlah
Laki-laki
794
3.213
3.762
5.770
13.539
Perempuan
589
2.837
1.928
3.201
8.555
Total
1.380
6.050
8.971
22.094
5.690
Sumber : BPS Kabupaten Sleman, 2010
Tabel 3 menunjukkan bahwa dari segi jumlah, penduduk Kecamatan
Prambanan yang bekerja didominasi oleh mereka yang berusia 35 tahun ke atas
yakni 8.971 orang, kemudian mereka yang berusia 20 – 24 tahun, diikuti mereka
yang berusia 25 – 34 tahun dan selanjutnya usia 15 – 19 tahun. Berkaitan dengan
upaya pengembangan bidang pertanian di wilayah tersebut, gambaran jumlah
penduduk di atas cukup mendukung. Hal ini dapat dilihat juga pada jumlah
sebaran penduduk Kecamatan Prambanan menurut pekerjaan, yang mana hampir
sebagian penduduk bekerja sebagai petani.
Jumlah penduduk menurut jenis pekerjaan Pegawai Negeri Sipil (PNS),
TNI/POLRI, Swasta, petani, tukang, dan lainnya (sopir, tukang ojek) dan yang
tidak bekerja di Kecamatan Prambanan dapat dilihat pada Tabel 4.
40
Tabel 4 Jumlah Penduduk menurut Pekerjaan Utama di Kecamatan Prambanan
Tahun 2010
Pekerjaan Utama
Desa
PNS TNI Swasta Tani
Tukang Lain2
Tdk kerja
Sumberharjo*
457
134
532
5.462
747
Wukirharjo
29
4
61
1.821
153
Gayamharjo
127
7
423
2.317
592
Sambirejo
14
8
178
3.382
352
Madurejo*
351
120
162
8.201
892
Bokoharjo
547
61
172
6.247
634
Kecamatan
1.525
334
1.528
27.430
3.370
Sumber : BPS Kabupaten Sleman, 2010 *lokasi penelitian
2.409
427
1.094
1.103
1.932
2.376
9.341
1.679
52
163
62
262
332
2.640
Data Tabel 4 menggambarkan bahwa penduduk Desa Sumberharjo (5.462)
dan Desa Madurejo (8.201) lebih banyak yang bermata pencaharian sebagai petani
dari pekerjaan lain. Secara ekonomi mata pencaharian penduduk lebih banyak
bersumber dari bidang pertanian dan perkebunan. Dengan demikian diharapkan
potensi pertanian dapat diterapkan melalui penerapan teknologi inovasi pertanian
di pedesaan, serta dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat
di kecamatan Prambanan.
Potensi Pertanian
Pertanian di Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman adalah kegiatan
usaha yang meliputi budi daya tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan
perikanan, kehutanan dan peternakan.
Tanaman pangan meliputi padi dan palawija. Tanaman palawija
mencakup komoditas jagung, ubi jalar, ubi kayu, kacang tanah, kedelai serta
kacang hijau. Hortikultura meliputi sayur-sayuran, buah-buahan, tanaman hias dan
tanaman obat-obatan. Secara terperinci data produksi dan rata-rata tanaman
pangan dan hortikultura di sajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Produksi dan rata-rata produksi tanaman pangan dan hortikultura di
Kecamatan Prambanan, 2008 – 2010
Komoditas
Padi
Ubi Kayu
Jagung
Ubi jalar
Kacang Tanah
Kedelai
Melinjo
Cabe
Petsai/Sawi
Luas Panen
(Ha)
2,354
505
761
13
705
315
26.936
29
14
Produksi
(Ton)
14,567
9,391
4.775
147
696
547
6.024
1.612
1.325
Rata-Rata Produksi
(Kw/ha)
61,88
185,96
62,74
113,39
9,87
17,36
22,36
55,59
94,64
Sumber : BPS Kabupaten Sleman, 2010
Tabel 5 menunjukkan produksi padi sawah dan padi ladang Kecamatan
Prambanan 14.567 ton. Tanaman palawija dilihat dari segi produksi di dominasi
41
oleh ubi kayu yang mencapai 9.391 ton, jagung 4,775 ton, produksi ubi jalar
sebanyak 147 ton. Produksi kacang tanah 696 ton dan kedelai 547 ton. Untuk
produksi tanaman sayuran, yang relatif menonjol produksinya adalah melinjo,
disusul cabe merah dan petsai/sawi.
Pengembangan wilayah pertanian tidak lepas dari kebutuhan akan lahan,
baik itu lahan sawah atau lahan pekarangan. Peruntukkan luas lahan secara
terperinci seperti: sawah 1.485 ha (35,91%), tegal 945 ha (22,85%), pekarangan
1.145 ha (27,69%) dan lahan seluas 560 ha (13,54%) diperuntukkan untuk lainnya.
Kajian ini lebih
pada penggunaan atau pemanfaatan lahan pekarangan
(optimalisasi pekarangan), sehingga dapat dideskripsikan bahwa wilayah
Kecamatan Prambanan dapat dicirikan masyarakat pedesaan yang berbasis
pertanian, dengan luasnya areal persawahan yang menjadi sumber mata
pencaharian masyarakat setempat. Luas lahan dan peruntukannya di Kecamatan
Prambanan di lihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Luas Lahan dan peruntukannya di kecamatan Prambanan Tahun
2010
Peruntukan Lahan
Luas (ha)
Persentase (%)
Sawah
1.485
35,91
Tegal
945
22,85
Pekarangan
1.145
27,69
Lainnya
560
13,54
Total
4.135
100,00
Sumber : BPS Kabupaten Sleman, 2010
Lahan pekarangan berada di sekitar rumah tinggal dan juga sebagai
lahan yang dimanfaatkan sebagai alternatif dalam menanggulangi kenaikan harga
bahan pangan segar akibat adanya fenomena anomali iklim.
Pemanfaatan pekarangan di sekitar pemukiman (rumah tinggal)
meliputi; menanam bahan pangan keluarga, mendukung penyediaan bahan pangan
untuk keluarga dan pemenuhan sumber gizi keluarga serta menciptakan usaha
ekonomi produktif untuk meningkatkan pendapatan keluarga sekaligus menjaga
dan memelihara kelestarian lingkungan. Kegiatan pemanfaatan pekarangan
ditujukan lebih kepada para ibu yang tergabung dalam kelompok wanita tani.
Kecamatan Prambanan memiliki beberapa kelompok tani dan
kelompok wanita tani yang aktif, sampling responden untuk penelitian ini diambil
dari dua kelompok wanita tani yang mengikuti SL-P2KP khususnya pada kegiatan
pemanfaatan pekarangan/optimalisasi pekarangan yaitu kelompok wanita tani
Mawar dan kelompok wanita tani Perintis.
Kelompok tani (dewasa, wanita) adalah suatu kumpulan petani yang
tumbuh berdasarkan kesamaan kepentingan, kondisi lingkungan (ekonomi, sosial)
dan keakraban untuk bekerjasama dalam meningkatkan dan mengembangkan
hasil produksi usahatani dalam suatu wilayah (desa) yang dibentuk oleh para
anggota dengan didukung oleh pemerintah terkait seperti petugas penyuluh lapang
(PPL) serta aparat desa.
42
Pelaksanaan SL-P2KP di Kecamatan Prambanan
SL-P2KP adalah suatu tempat pendidikan non formal bagi masyarakat
untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam pengembangan
pemanfaatan pekarangan dalam rangka penganekaragaman konsumsi pangan
sesuai sumber daya lokal. Sekolah Lapang-P2KP dilaksanakan dalam rangka
optimalisasi pemanfaatan pekarangan dan dikembangkan atas dasar pemikiran
bahwa sistem pelatihan tersebut harus mampu mengubah sasaran dari sikap
“ketergantungan” (dependent) ke arah “kemandirian” (independent) kearah kerja
dalam kelompok; dari sikap kerja berdasarkan kebiasaan atau petunjuk ke arah
sikap kerja rasional; atau dari sekedar bisa bekerja ke arah bekerja secara
profesional (ahli).
Secara umum tujuan dari pelaksanaan Sekolah Lapang (SL) yakni
untuk meningkatkan kopetensi kerja dan perilaku sasaran pelatihan, dengan
demikian dapat mempercepat proses alih teknologi dari sumber/perekayasa
teknologi sampai ke kelompok perempuan. Tujuan khusus dari pelaksanaan
Sekolah Lapang P2KP adalah (a) Membudayakan pemanfaatan pekarangan dalam
mendukung penganekaragaman konsumsi pangan di tingkat masyarakat. (b)
mempercepat penerapan pengetahuan tentang penganekaragaman konsumsi
pangan, sehingga dapat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran dalam
mengelola pekarangan. (c) meningkatkan motivasi dan partisipasi masyarakat
dalam pengembangan penganekaragaman konsumsi pangan melalui pemanfaatan
pekarangan.
Sekolah Lapang P2KP berfungsi sebagai media pembelajaran bagi
kelompok perempuan, juga sebagai tempat pengambilan keputusan dan sebagai
percontohan bagi kawasan lain. Dengan demikian diharapkan bahwa kelompok
SL-P2KP akan mampu mengambil keputusan dalam baik secara teknis maupun
ekonomis dalam setiap kegiatan pengembangan pemanfaatan pekarangan serta
mampu mengaplikasikan pengetahuan, keterampilan sehingga dapat
meningkatkan kualitas konsumsi pangan keluarga dan pendapatannya.
SL-P2KP tidak terikat dengan ruang kelas, sehingga belajar dapat
dilakukan di saung pertemuan, balai desa atau tempat-tempat lain yang berdekatan
dengan lahan belajar. Dalam SL-P2KP terdapat satu demplot/kebun kelompok
yang merupakan tempat bagi anggota kelompok melaksanakan seluruh kegiatan.
Dalam pelaksanaan SL-P2KP, kelompok dibimbing oleh penyuluh pendamping
dan tenaga harian lepas setempat sesuai dengan karakteristik daerah masingmasing. Kelompok wanita tani dan petugas penyuluh lapangan, keduanya
merupakan mata rantai pemanfaatan teknologi yang saling ketergantungan, saling
mendukung, saling menguatkan, dan tak dapat dipisahkan
Kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan dilaksanakan dengan
metode Sekolah Lapang (SL). Metode ini menggunakan pendekatan praktek
langsung dalam pengembangan pekarangan mulai dari aspek budidaya hingga
pengolahan hasil pekarangan dengan tetap memperhatikan kebutuhan gizi
keluarga sehari-hari dan kelestarian lingkungan. Pendekatan dilakukan dengan
mengembangkan pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) mengutamakan
pemanfaatan sumber daya lokal dan pengetahuan lokal (local wisdom) agar tetap
menjaga kelestarian lingkungan. Metode pemberdayaan kelompok wanita
optimalisasi pemanfaatan pekarangan adalah Sekolah Lapang (SL) melalui
43
pendampingan Penyuluh P2KP desa bekerjasama dengan Penyuluh Pendamping
P2KP Kabupaten/Kota serta dikoordinasikan oleh aparat Kabupaten/Kota.
Pemberdayaan kelompok perempuan dilaksanakan melalui kegiatan
optimalisasi pemanfaatan pekarangan di 5.700 desa pada 358 kabupaten/kota di
33 provinsi dan pengembangan usaha rumah tangga (Pedumn P2KP, 2012).
Berdasarkan kajian identifikasi Calon Penerima dan Calon Lokasi (CP/CL) dari
Pusat Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan Badan Ketahanan
Pangan Kementerian Pertanian RI melalui Badan Ketahanan Pangan dan
Penyuluhan Kabupaten. Dengan demikian dapat diartikan bahwa untuk
keberlanjutan dari pengembangan kegiatan produktif masyarakat tidak hanya
terbatas produksi pekarangan ke meja makan/dikonsumsi (from farm to table),
tetapi dapat berkembang dari pekarangan menuju pasar/dijual (from farm to
market) dan memberikan nilai tambah.
Kegiatan sekolah lapang-P2KP dilaksanakan pada kelompok wanita
tani Mawar di Padukuhan Daleman desa Sumberharjo dan pada kelompok wanita
tani Perintis di Padukuhan Madurejo desa Gangsiran yang dilaksanakan melalui
proses pemilihan desa yang dilakukan berdasarkan identifikasi Calon Penerima
dan Calon Lokasi (CP/CL) sesuai dengan kriteria, yaitu; a) Memiliki kelompok
yang sudah eksis namun bukan penerima bansos lainnya dan b) Memiliki
pekarangan baik kelompok maupun anggota.
Kelompok Wanita Tani (KWT) Mawar
Kelompok wanita tani (KWT) Mawar terletak di kampung Daleman
desa Sumberharjo berlokasi di RW 03/ RT 01. Lingkup RW 03 terdiri dari RT 01,
RT 02, dan RT 03. Kelompok wanita tani Mawar di bentuk berdasarkan berita
acara pembentukan kelompok yang ditandatangani oleh kepala desa sejak tahun
2005 dan masih berlangsung hingga sekarang. Struktur organisasi kelompok
wanita tani Mawar terdiri dari tujuh orang pengurus; Ketua, Sekretaris dan
Bendahara. Anggota kelompok wanita tani mawar tidak semua bekerja sebagai
petani ada juga yang pegawai negeri (PNS). Jumlah keseluruhan anggota 29 orang.
(Data terlampir).
Kegiatan sekolah lapang P2KP di laksanakan pada akhir bulan Juni
dan awal bulan Juli tahun 2012. Saat penelitian pertemuan sekolah lapang-P2KP
baru lima (5) kali dilakukan. Waktu pelaksanaan tiap hari selasa jam 10.00 sampai
11.00 waktu setempat. Untuk waktu disesuaikan dengan aktivitas ibu-ibu di
rumah. Tiap pertemuan materi yang diberikan satu sampai dua topik. Materi
disiapkan oleh petugas penyuluh lapang (PPL). Lama waktu penyampaian materi
satu sampai dua jam tiap pertemuan dengan materi yang disiapkan tetapi juga
terkadang disesuaikan dengan kebutuhan petani.
Kelompok wanita tani Mawar memiliki kebun bibit kelompok yang
ditanami dengan tanaman sayuran, seperti; kangkung cabut, sawi, cabe besar,
tomat, seledri dan terung. Selain sayuran juga ada buah-buahan seperti Jambu,
jeruk purut, papaya, belimbing, pisang dan rambutan. Kelompok juga memiliki
ternak ikan lele. Kelompok tani Mawar telah memiliki satu demplot dan kebun
bibit yang berlokasi di halaman rumah ketua kelompok. Untuk ternak lele
bertempat di halaman rumah koordinator humas, sementara untuk pengolahan
pangan bertempat di rumah Bendahara.
44
Kelompok Wanita Tani (KWT) Perintis
Kelompok wanita tani Perintis terletak di Dukuh/Kampung Gangsiran
Desa Madurejo dibentuk pada tanggal 05 Januari 2005 yang ditandatangani oleh
kepala desa. Nama Perintis di gunakan karena kelompok tani ini merupakan
kelompok pertama yang merupakan perintis dalam melakukan berbagai kegiatan
untuk perempuan, pula sebagai perintis yang mengikuti kegiatan baik di tingkat
desa maupun tingkat Kecamatan. Kelompok wanita tani Perintis pada tanggal 22
Juni 2012 dengan mengacu pada Piagam Pengakuan Kelas Pemula dikukuhkan
sebagai kelompok penerima pelaksana SL-P2KP. Struktur organisasi kelompok
wanita tani Perintis terdiri dari tujuh orang pengurus; Ketua, Sekretaris dan
Bendahara. Anggota kelompok wanita tani Perintis terdiri dari ibu rumah tangga,
pegawai negeri, dan pedagang. Jumlah keseluruhan anggota 31 orang. (Data
terlampir).
Pelaksanaan Sekolah Lapang Percepatan Penganekaragaman
Konsumsi Pangan (SL-P2KP) dilaksanakan di RW 09/ RT 04 dukuh Gangsiran,
Desa Madurejo. Lingkup RW 09 terdiri dari RT 01, RT 02, RT 03 dan RT 04.
Kegiatan sekolah lapang P2KP di laksanakan minggu ke dua bulan Juni tahun
2012. Saat penelitian pertemuan sekolah lapang-P2KP baru empat (4) kali
dilakukan. Waktu pelaksanaan tiap hari Rabu jam 13.00 sampai 14.30 waktu
setempat. Untuk waktu disesuaikan dengan aktivitas ibu-ibu. Tiap pertemuan
materi yang diberikan satu sampai dua topik. Materi disiapkan oleh petugas
penyuluh lapang (PPL). Lama waktu penyampaian materi satu sampai dua jam
tiap pertemuan dengan materi yang disiapkan tetapi juga terkadang disesuaikan
dengan kebutuhan petani. Sementara tempat pelaksanaan kadang di halaman
rumah ibu ketua kadang di halaman rumah sekretaris yang mempunyai halaman
luas. Dalam pelaksanaan sekolah lapang-P2KP setelah materi dilanjutkan dengan
kegiatan praktek, misalnya pada pertemuan ke empat topik materi yang diberikan
pembuatan pupuk organik. Setelah menerima materi langsung praktek pembuatan
pupuk organik. Kegiatan sekolah lapang-P2KP tidak dilaksanakan pada bulan
Agustus karena berkenaan dengan hari raya keagamaan (bulan puasa). Menurut
ibu ketua:
“sekolah lapang-P2KP ndak ada karena puasa, lah ibu-ibu
ngatur waktune susah mba, ya ada yang ngurus anak yang masih
kecil dirumah, ada juga yang mesti nganter jemput anak. Jadi untuk
waktu disesuaikan dengan aktivitas ibu-ibu di rumah.
Hal senada diungkapkan petugas penyuluh lapang (PPL) yang mendampingi
selama proses sekolah ;apang berlangsung bahwa kegiatan sekolah lapang akan
dilaksanakan pada bulan Juni karena dana yang terlambat diberikan kepada
kelompok. Bantuan dana tersebut digunakan untuk menyiapkan bahan dan alat
seperti; bibit dan juga pupuk. Begitu pula dengan materi yang disesuaikan dengan
kebutuhan dan aktivitas ibu-ibu.
Kelompok wanita tani Perintis telah memiliki demplot dan kebun
bibit kelompok yang ditanami dengan tanaman sayuran, seperti; kangkung cabut,
cabe besar, tomat, seledri, wortel dan terung. Kebun bibit terletak di halaman
rumah ibu sekretaris. Kebun bibit kelompok diresmikan pada tanggal 12 Januari
2012. Selain sayuran juga ada buah-buahan seperti papaya belimbing, pisang,
kelengkeng dan ternak ikan lele.
45
Komunikasi yang dilakukan baik di KWT Mawar maupun KWT
Perintis antara pengurus dan anggota menggunakan surat undangan, demikian
pula untuk mengumpulkan anggotanya dalam suatu pertemuan. Dalam proses
penyampaian informasi atau kegiatan SL-P2KP menggunakan undangan sebagai
salah satu bentuk komunikasi bermedia, yang menyebutkan:
“Selama ini kami menggunakan undangan saja mbak, nggak
ada yang lain kalau mau pertemuan atau ngumpulin anggota ntar
kalau ada yang belum ngerti bisa bertanya dalam pertemuan
kelompok ” (pernyataan pengurus).
Pertemuan yang dilakukan selain sekolah lapang-P2KP adalah
pertemuan kelompok wanita tani. Pertemuan kelompok dilakukan 2-4 kali dalam
satu kali musim tanam. Jika itu pertemuan formal yang diundang pengurus, tetapi
kalau ada anggota yang mau ikut atau hadir dibolehkan agar dapat menambah
wawasan dan pengalaman. Jika itu pertemuan informal maka disampaikan secara
lisan dan atau menggunakan telpon seluler untuk anggota yang lainnya. Namun
demikian jika ada undangan dari kelurahan atau instansi untuk menghadiri
pertemuan atau mengikuti kegiatan maka penyampaiannya secara lisan atau dari
mulut ke mulut, sebagai contoh ketika penulis membuat janji dengan salah satu
pengurus yang kebetulan datang juga petugas yang membawa undangan perihal
surat pertemuan di kantor Balai Wanita dalam rangka sosialisasi ketahanan
pangan lokal.
“Undangan akan diteruskan ke anggota dengan cara
mendatangi dari rumah ke rumah, kalau yang mempunyai telepon
seluler akan di sms.“
Jumlah pertemuan dalam pelaksanaan Sekolah Lapang-P2KP sepuluh
kali namun yang dilakukan di KWT Mawar dan KWT Perintis baru lima kali
pertemuan. Rata-rata responden menghadiri pertemuan tersebut. Dalam
pelaksanaan ada sepuluh topik, satu kali pertemuan diberikan satu sampai dua
materi yang dilanjutkan dengan praktek lapang. Lama waktu pelaksanaan 2-3 jam.
Penyampaian kegiatan sosialisasi SL-P2KP berupa materi dan praktek
lapang disampaikan dalam pertemuan kelompok. Dalam SL-P2KP petugas
penyuluh lapang (PPL) yang lebih banyak menyampaikan materi, juga selalu
diberi kesempatan tanya jawab untuk petani jika belum memahami apa yang
disampaikan. Namun demikan ada anggota yang belum atau tidak dapat
menyampaikan pertanyaan. Menurut pengakuan responden kadang-kadang saya
tidak berani bertanya atau takut salah, ada juga responden yang tidak bertanya
karena usia lanjut (70-80 tahun). Informasi yang diterima responden lebih banyak
pada saat sekolah lapang P2KP, selain daripada itu tidak ada.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, data dan keterangan dari
semua pihak yang terlibat (petani, petugas lapang/ PPL) bahwa pelaksanaan
program kegiatan SL-P2KP belum optimal. Secara teknis transfer teknologi dan
sosialisasi dari petugas penyuluh lapang (PPL) ke kelompok wanita tani
berlangsung dengan baik, namun tidak semua paket materi (jadwal) yang
dianjurkan dalam program SL-P2KP dapat diaplikasikan oleh kelompok wanita
tani (KWT), disebabkan oleh beberapa faktor seperti; petani cenderung aktif di
sawah dan ladang dan adanya kegiatan atau program dari instansi selain Badan
Ketahanan Pangan (BKP) sehingga untuk mengatur waktu sedikit susah. Faktor
46
lain yang mempengaruhi jadwal pelaksanaan yang dijadwalkan Mei-Juli ternyata
baru terlaksana di bulan Juni akhir.
Saat penelitian di bulan Juni-Juli dua kelompok tani Sekolah LapangP2KP masih berlangsung, namun tidak efektif hal ini tejadi karena bertepatan
dengan hari raya (waktu puasa dan perayaan Idul Fitri) sehingga tidak
dilaksanakan SL-P2KP. Demikian dengan waktu disesuaikan dengan pekerjaan
para ibu, seperti di KWT Mawar terjadwal jam 10.00 pagi baru dilaksanakan jam
11 dan atau jam 12.00. Begitu juga di KWT Perintis terjadwal jam 13.00 baru di
laksanakan jam 14.00. Selain itu hari yang disepakati bisa tertunda ketika para
petani tidak hadir. Alasan tidak hadir karena kegiatan lain atau urusan keluarga
maka petugas akan membiarkan dengan alasan bahwa petani jika mempunyai
kesibukan. Tidak boleh dipaksa untuk mengikuti kegiatan karena akan
menyebabkan kurangnya peserta dan pada pertemuan berikutnya petani tidak mau
datang.
Karakteristik Responden Penelitian
Karakteristik petani merupakan sifat-sifat atau ciri-ciri yang dimiliki
seseorang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dan lingkungannya.
Karakteristik tersebut terbentuk oleh faktor-faktor biologis dan faktor
sosiopsikologis. Karakteristik individu dianggap sebagai salah satu unsur penting
yang menentukan tingkat partisipasi serta efektivitas komunikasi sebagai sasaran
akhir. Karakteristik anggota KWT yang dikaji dalam penelitian ini adalah umur,
tingkat pendidikan, luas lahan pekarangan, dan keterlibatan dalam kelompok.
Umur
Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa manusia dapat
beraktivitas secara maksimal pada kisaran umur 15-55 tahun (umur produktif)
sedangkan umur di bawah 15 tahun disebut umur belum produktif dan di atas 55
tahun adalah umur tidak produktif pada kegiatan tertentu. Usia yang lanjut
menurut Robbins (2002) menyatakan bahwa semakin tua tenaga kerja maka
produktivitas akan menurun. Sementara Lionberger (1960), mengemukakan usia
lanjut akan cenderung melakukan usahataninya secara tradisional dan mereka
pada umumnya sangat selektif dalam bertindak untuk menggunakan teknologi.
Ditinjau dari segi umur, rata-rata petani responden termasuk ke dalam usia
produktif (33-54 tahun) usia responden yang paling tua yaitu 80 tahun dan yang
paling muda yaitu 20 tahun. Karakteristik responden (petani) dikelompokkan
menjadi tiga kategori. Secara terperinci penggolongan umur responden disajikan
pada Tabel 7.
Tabel 7 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat umur
Kelompok Umur (tahun)
Jumlah (orang)
Persentase (%)
20-35
12
20
35-54
33
55
55 ke atas
15
25
Total
60
100
47
Tabel 7 menggambarkan umur anggota kelompok wanita tani (KWT)
berkisar antara 20 sampai lebih dari 55 tahun dan sebagian besar berada pada
umur dewasa 35-54 tahun (55%), di mana dapat dikatakan termasuk dalam usia
produktif. Responden dengan umur tersebut akan dapat melakukan usahatani dan
aktivitas lainnya secara produktif. Golongan umur produktif adalah merupakan
modal dan potensi yang sangat penting dalam berusahatani yang bermakna dalam
kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan jika dipersentasekan sebesar 25
persen, yang diantaranya umur muda 20-34 tahun (20%). Dominasi anggota yang
berumur dewasa merupakan salah satu sintesa yang memperkuat asumsi bahwa
anggota KWT di Kecamatan Prambanan merupakan anggota yang masih
produktif untuk terus berkiprah di berbagai kegiatan SL-P2KP. Keadaan ini
menunjukkan kemampuan pengetahuan dan perilaku/tindakan yang masih kuat,
sehingga dapat dengan mudah menyesuaikan dan dapat berperan serta dalam
semua kegiatan.
Tingkat Pendidikan
Pendidikan yang cukup dan memadai yang dimiliki oleh seorang petani
diharapkan mampu memahami tentang kemampuan dan ketersediaan sumber daya
alam yang ada di sekelilingnya (lingkungan sekitarnya) yang dapat mendukung
kelangsungan hidupnya, baik terhadap sumberdaya yang dapat diperbaharui
(renewable) dan yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable). Tingkat
pendidikan petani responden yang tertinggi adalah Sekolah Menengah Atas
(SMA) dan tingkat pendidikan terendah adalah Sekolah Dasar (SD). Adapun
sebaran tingkat pendidikan petani responden secara terperinci disajikan pada
Tabel 8.
Tabel 8 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan
Jumlah
Persentase
Tidak Sekolah/SD
34
56,66
SMP
13
21,67
SMA ke atas
13
21,67
Total
60
100,00
Data Tabel 8 terlihat bahwa petani peserta sekolah lapang-P2KP
hampir sebagian besar memiliki tingkat pendidikan rendah. Hal ini menunjukkan
bahwa kualitas sumber daya manusia (SDM) di daerah penelitian dapat
dikategorikan pada tingkat pendidikan yang (rendah) dengan kondisi tingkat
pendidikan masyarakat relatif rendah, maka diharapkan upaya-upaya yang
strategis guna meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani dalam
berusahatani. Dengan tingkat pengetahuan yang memadai diharapkan petani peka
dan tanggap terhadap hal-hal baru dalam berusahatani yang bermakna optimalisasi
pemanfaatan pekarangan (OPP) pada kegiatan SL-P2KP secara berkelanjutan.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Soehardjo dan Patong (dalam Setiani.
dkk,1996) bahwa tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap cara berpikir
dalam melakukan usahatani. Semakin tinggi tingkat pendidikan, akan semakin
responsif terhadap teknologi inovasi. Tingkat pendidikan anggota kelompok
wanita tani yang mengikuti kegiatan SL-P2KP berada pada jenjang Sekolah Dasar
(SD) atau dapat dipersentasekan 56,66 persen. Menurut petani, sebagian dari
48
mereka hanya dapat mencapai tingkat pendidikan pada jenjang SD-SMP (saat
mereka bersekolah), disebabkan karena keadaan sosial ekonomi pada masa lalu
yang belum memungkinkan. Di sisi lain mereka tidak memiliki motivasi untuk
mengubah hidup dengan pendidikan dan pasrah menerima keadaan dengan alasan
kurangnya biaya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Menurut Tasmara (1997) salah satu fungsi pendidikan adalah proses
untuk menguak potensi individu dan cara manusia untuk mampu mengontrol
potensi yang telah dikembangkan agar bermanfaat bagi peningkatan kualitas
hidupnya. Selanjutnya, kondisi tersebut akan berkontribusi terhadap kemampuan
adaptif seseorang dalam merespon dan menerima inovasi. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa pendidikan anggota kelompok wanita tani yang mengikuti
kegiatan SL-P2KP relatif berpendidikan rendah, secara teoritis diketahui bahwa
kemampuan seseorang untuk menerima suatu inovasi dipengaruhi oleh tingkat
pendidikannya.
Kepemilikan Luas Lahan Pekarangan
Lahan dalam kegiatan pertanian merupakan faktor penting dalam
produksi dan budidaya pertanian. Kepemilikan luas lahan yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah pemilikan luas lahan pekarangan. Lahan pekarangan bila
dikelola secara optimal dan terencana dapat memberikan manfaat yang sangat
besar dalam menunjang kebutuhan gizi keluarga di samping sekaligus untuk
keindahan (estetika). Lahan pekarangan dapat dikembangkan sebagai apotik hidup
dengan menanami tanaman obat keluarga dan gizi hidup dengan menanam
berbagai buah-buahan dan sayuran. Dalam mengelola lahan pekarangan sebaiknya
kita menyusun suatu perencanaan penataan lahan pekarangan sehingga areal lahan
yang akan dikelola dapat dimanfaatkan secara optimal dan produktif secara
berkelanjutan.
Strategi implementasi P2KP terkait luas lahan pekarangan yang
dimiliki petani peserta SL-P2KP dikelompokkan menjadi tiga strata (spesifik
lokasi) oleh Badan Penyuluh Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BP3K
Parambanan) yaitu; (a) luas pekarangan kurang dari 100 m2 hanya teras; (b) luas
pekarangan 100-300 m2 dan; luas lahan pekarangan lebih dari 300 m2. Secara rinci
luas lahan pekarangan disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Jumlah dan persentase responden berdasarkan luas lahan yang dimiliki
Luas lahan yang dimiliki
Kurang 100 m2
100-300 m2
Lebih 300 m2
Total
Jumlah (orang)
Persentase (%)
29
18
13
60
48
22
30
100
Tabel 9 menunjukkan bahwa umumnya petani memiliki luas lahan
pekarangan kurang dari 100 m2 atau dapat dikatakan berada pada kategori sempit,
dengan jumlah 29 petani atau sebesar 48 persen. Artinya, dengan kondisi ini
maka petani sangat sulit untuk menerapkan nilai-nilai optimalisasi pemanfaatan
pekarangan dalam SL-P2KP, sedangkan yang masuk kategori memiliki lahan
sedang sebanyak 22 persen dengan kisaran lahan yang dimiliki antara 100 - 300
49
m2 dan sisanya 30 persen petani berada pada kategori luas dengan luasan lebih
dari 300 m2.
Pemanfaatan Lahan Pekarangan
Lahan pekarangan bila dikelola secara optimal dan terencana dapat
memberikan manfaat yang sangat besar dalam menunjang kebutuhan gizi
keluarga di samping sekaligus untuk keindahan (estetika). Lahan pekarangan
dapat dikembangkan dengan menanam jenis tanaman yang dapat dimanfaatkan
secara berkelanjutan. Pemanfaatan lahan pekarangan dikelompokkan menjadi tiga
(secara spesifik) yakni; lahan sempit kurang dari 100 m2, lahan sedang (100-300
m2) dan lahan pekarangan luas lebih dari 300 m, disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10 Jumlah dan persentase responden berdasarkan luas lahan yang di
manfaatkan
Luas lahan yang dimanfaaatkan
Kurang dari 100 m
100-300 m2
Lebih dari 300 m2
Total
2
Jumlah (orang)
Persentase (%)
40
15
5
60
66,67
25,00
8,33
100
Pada tabel 10 nampak bahwa rata-rata petani (66,67 persen)
memanfaatkan lahan pekarangan kurang dari 100 m2. Pemanfaatan lahan
pekarangan mengarah pada jenis tanaman yang disesuaikan dengan kondisi
halaman dan lingkungan tempat tinggal. Jenis tanaman tersebut adalah tanaman
pangan hortikultura yang digunakan sehari-hari. Namun data Tabel 10
menggambarkan petani yang memanfaatkan lahan pekarangan lebih dari 300 m2
sangat kecil atau 8,33 persen artinya petani di kecamatan ini mungkin memandang
lahan pekarangan belum begitu penting untuk dilakukan kegiatan optimalisasi
pemanfaatan pekarangan. Kondisi ini didukung dengan sebagian petani
memanfaatkan lahan pekarangan untuk usaha meubel dan garasi kendaraan roda
empat.
Keterlibatan Petani dalam Kelompok
Status responden dalam struktur keanggotaan dan keterlibatan dalam
kelompok berhubungan dengan tugas dan kewajibannya serta keaktifannya dalam
kelompok maupun dalam kegiatan SL-P2KP. Keterlibatan responden dalam
kelompok ada yang menjadi pengurus dan ada juga yang menjadi anggota. Jumlah
anggota yang terlibat sebagai pengurus berjumlah sembilan belas (19) orang dan
jumlah anggota empat puluh satu (41) orang. Artinya dengan jumlah sembilan
belas orang (32 persen) pengurus sudah cukup untuk membantu anggotanya
dalam menyampaikan informasi tentang kegiatan-kegiatan P2KP sertelah
pertemuan.
Dalam kegiatan organisasi kelompok wanita tani terbagi dalam tiga
kategori yakni; kurang dari tiga tahun, lima tahun dan lebih dari tujuh tahun.
sebagian besar anggota terlibat lebih dari tujuh tahun (45 persen), ini dapat
dijelaskan bahwa rata – rata responden telah mengetahui akan tugas dan tanggung
50
jawabnya dalam kelompok tani dan juga mengetahui tentang kegiatannya.
Berkaitan dengan keterlibatan petani dalam pertemuan kelompok, sebagian besar
anggota kelompok wanita tani (58,33 persen) menyatakan selalu menerima
undangan dan 61,67 persen anggota selalu menghadiri pertemuan yang dilakukan
dalam kelompok.
Artinya bahwa pengurus KWT jika akan melakukan suatu kegiatan
dalam kelompok selalu menyebarkan undangan kepada pengurus dan anggota
KWT. Anggota KWT yang menerima undangan selalu hadir dalam kegiatan yang
dilakukan dalam kelompok, mereka (anggota KWT) telah berpartisipasi dalam
setiap pertemuan yang dilakukan. Jumlah dan persentase responden disajikan
dalam Tabel 11.
Tabel 11. Jumlah dan persentase responden berdasarkan status dan keterlibatan
dalam kelompok
Keterlibatan
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Status ibu dalam kelompok
Pengurus
19
32,67
Anggota
41
68,33
Total
60
100,00
Lama waktu terlibat
Kurang dari 3 tahun
17
28,33
5 tahun
16
26,67
Lebih dari 7 tahun
27
45,00
Total
60
100,00
Menerima undangan rapat
Selalu
35
58,33
Kadang-kadang
24
40,00
Tidak pernah
1
1,67
Total
60
100,00
Menghadiri undangan rapat
Selalu
37
61,67
Kadang-kadang
23
38,33
Tidak pernah
0
0
Total
60
100,00
Pada Tabel 11 dapat dikatakan bahwa kelompok wanita tani yang telah
lama terlibat dengan selalu menerima undangan serta selalu hadir dan aktif dalam
setiap pertemuan kelompok, diharapkan akan aktif dalam mengikuti kegiatan SLP2KP. Dengan semakin banyaknya anggota kelompok wanita tani yang terlibat
dalam kegiatan SL-P2KP
harapkan akan semakin meningkatnya tingkat
penerapan kaidah-kaidah optimalisasi pemanfataan pekarangan (OPP) dan
diversifikasi pangan secara berkelanjutan. Dengan demikian dapat menghasilkan
komunikasi yang baik dan meningkatkan perubahan pada aspek pengetahuan,
afeksi dan perilaku pada kegiatan optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan di
Kecamatan Prambanan.
51
Kondisi Sosial Budaya Masyarakat
Kondisi sosial budaya yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu faktorfaktor yang mendukung usahatani yang bermakna SL-P2KP secara berkelanjutan,
adapun faktor lingkungan yang dimaksud yaitu kondisi lingkungan sosial
ekonomi masyarakat, norma (peran aparat desa/kecamatan).
Keterlibatan masyarakat dan anggota kelompok wanita tani dalam
kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan dalam SL-P2KP akan menjadi
kunci kesuksesan dari setiap program yang dicanangkan oleh pemerintah serta
lembaga-lembaga lainnya. Tanpa melibatkan masyarakat dan anggota kelompok
wanita tani akan mengalami kesulitan yang berarti. Faktor pendukung seperti
tersedianya lahan pekarangan, air, peralatan pertanian dan lainnya. Kegiatan pada
bidang lingkungan yang telah dilakukan oleh masyarakat RW 03 dan RW 09
Kecamatan Prambanan sebelum adanya kegiatan sekolah lapang-P2KP, sebagian
warga juga sudah memanfaatkan lahan pekarangan, ini terlihat dari kegiatan
“tabulapot” (tanaman buah dalam pot) dan tanaman jangka panjang seperti
rambutan, klengkeng, jambu dan sukun di halaman rumah tinggal. Tanaman ini
ada yang dibeli ada juga yang berupa bantuan dari dinas pertanian. Aktifitas
budidaya (menanam) tanaman dan mengolah secara kontinu telah dilakukan
petani baik di lahan sawah maupun lahan pekarangan. Sehingga bukan merupakan
hal baru bagi petani ketika menerima introduksi kegiatan sekolah lapang P2KP.
Tingkat pengetahuan petani terhadap usaha tani tidak terlepas dari banyaknya
pihak yang terlibat dalam mengkampanyekan upaya-upaya pemanfataan lahan
pekarangan dan adanya program yang melibatkan petani seperti program Gerakan
Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) melalui sekolah lapang
(SL).
Kegiatan ekonomi yang ada di Kecamatan Prambanan tepatnya di RW
03 yaitu pembuatan aneka kue dari ubi telo. Kegiatan pembuatan aneka kue ini
sudah dilakukan sejak tahun 2010 sebelum ada kegiatan SL-P2KP di RW 03desa
Sumberharjo. Awal terbentuknya kelompok pengolahan pangan ini karena
sebelumnya ibu Wulan suka membuat aneka camilan yang diperoleh dari
membaca majalah kartini dan mencoba resep. Kemudian desa Sumberharjo
mendapatkan kesempatan untuk diberikan pelatihan mengenai pembuatan roti telo,
brownis telo, dan crimping telo. Menurut penjelasan Ibu Wulan, setelah pelatihan
kelompoknya diberi perlengkapan masak seperti penggorengan besar, dan mesin
parut singkong agar dapat mempraktekkan apa yang telah didapatkan di pelatihan
sehingga dapat mengembangkan sendiri.
“norma atau aturan yang mengatur dan atau larangan terhadap
bahan makanan pokok di dalam masyarakat tidak ada, seperti ibu
hamil tidak boleh makan ganyong atau ubi pendem” (Jen).
Hal senada juga disampaikan oleh kepala desa. Sementara kebiasaan
mengkonsumsi pangan khas daerah setempat hampir sebagian warga tidak
mengkonsumsi sebagai menu utama.
Dalam pelaksanaan kegiatan SL-P2KP di desa, peran kepala desa
bersama-sama dengan penyuluh pendamping, kelompok wanita, melakukan
koordinasi dalam melaksanakan setiap kegiatan P2KP. Kepala desa berperan
sebagai penghubung antara masyarakat dengan aparat pemerintah. Penuturan
52
salah satu pengurus KWT mengenai peran kepala desa dalam kegiatan Sekolah
Lapang-P2KP yakni:
“Kepala desa ada Pak Sn, beliau sifatnya ya hadir saat awal
kegiatan karena diundang aparat Kecamatan, aparat desa dan dari
dinas. Setelah itu kegiatan Sekolah Lapang - P2KP berlangsung
itupun hanya pertemuan peserta dengan para pengajar, jarang
sekali sebetulnya” (Surti).
Demikian pula dengan perangkat kecamatan hanya merupakan faktor
pendorong percepatan keberhasilan pembangunan khususnya di tingkat desa
dalam wilayah kecamatan.
Peranan perangkat kecamatan adalah memfasilitasi pelaksanaan kegiatan
diwilayahnya. Perangkat kelurahan sesuai dengan pedoman kerja yang berlaku
berkewajiban untuk mengkoordinasikan kepala desa dalam pelaksanaan kegiatan
P2KP di wilayahnya, membantu aparat provinsi dan kabupaten dalam proses
penetapan lokasi. Peran dari pihak aparat kecamatan hampir mirip dengan kepala
desa yakni datang saat pembukaan kegiatan dilakukan, selanjutnya kegiatan
terlaksana yang hadir adalah pengurus KWT, anggota peserta SL-P2KP dan PPL
(para pengajar). Hal ini menunjukkan bahwa peran dari kepala desa belum
optimal, misalnya dalam menjawab pertanyaan tentang berapa jumlah kelompok
wanita tani dan jumlah anggota yang mengikuti kegiatan sekolah lapang-P2KP
hanya dijawab itu kegiatan ibu-ibu jadi nanti dapat bertanya kepada pengurus atau
PPL.
Suatu inovasi teknologi baru yang dipersepsi erat kaitannya terhadap
kondisi lingkungan (agro-ekosistem) dan tingkat kesulitan untuk menerapkan
teknologi tersebut. Penilaian terhadap tingkat kesulitan inovasi teknologi itu
merupakan faktor-faktor internal individu dalam mempersepsikan kemampuan
diri sendiri untuk melakukan tindakan atau penerapan sebagai pola perilakunya.
Faktor-faktor eksternal meliputi norma-norma, kebiasaan, komunikasi
sosial, interaksi sosial, dan belajar sosial individu petani dalam sistem sosial.
Perubahan sikap petani terhadap adopsi teknologi dipengaruhi oleh proses
interaksi dan komunikasi dalam sistem sosial. Untuk memperoleh informasi
seorang individu petani selalu mengadakan interaksi, komunikasi, dan belajar
sosial tentang suatu teknologi yang dibutuhkan.
Nilai-nilai sosial budaya masyarakat yang dimaksud adalah pandangan
dan nilai-nilai serta adat istiadat yang menyangkut tentang pola hubungan antara
masyarakat dengan alamnya, aturan-aturan adat menyangkut pola pengetahuan
tentang mengkonsumsi pangan lokal seperti ubi-ubian (kearifan lokal). Norma
atau adat budaya yang berhubungan dengan pantangan terhadap makanan
misalnya pangan lokal di lokasi penelitian, menurut informan tidak ada. Jawaban
informan bahwa:
“kalo larangan untuk makanan yo ndak ada apa lagi untuk ibu
hamil atau menyusui itu di sini ndak ada mba. Makanan itu yo di
makan supaya ibune jadi kuat waktu lahiran atau asinya bagus”.
Hal senada disampaikan oleh petugas lapang bahwa “mungkin dulu
ada mba tapi sekarang ini kalau larangan mengenai makanan
apalagi yang berkarbohidart (pangan lokal) itu tidak ada
larangan”.
53
Artinya dari kedua jawaban ini dapat dikatakan bahwa dilokasi penelitian
adat larangan atau tabu terhadap konsumsi pangan lokal tidak ada.
Pola Komunikasi anggota KWT dalam Pelaksanaan SL-P2KP
Pola komunikasi yang dimaksud adalah bagaimana sebuah proses
komunikasi yang berlangsung atau yang digunakan secara terus menerus yang
dapat mengubah baik si pemberi pesan maupun yang menerima pesan tersebut.
Pola komunikasi anggota kelompok wanita tani dalam pelaksanaan SL-P2KP
meliputi; model komunikasi (meliputi; cara komunikasi, arah yang digunakan
saluran yang digunakan), bahasa yang digunakan, dan sumber komunikasi.
Model Komunikasi
Model komunikasi angggota kelompok wanita tani diartikan sebagai
sebuah proses yang dapat mengubah pihak-pihak yang berkomunikasi.
Komunikasi yang terjadi diantara kedua belah pihak (penyampai pesan dan
penerima pesan pesan) maka harus ada komunikasi dua arah atau komunikasi
timbal balik, untuk itu diperlukan adanya kerja sama yang diharapkan untuk
mencapai tujuan bersama dalam kelompok/organisasi. Pihak-pihak yang secara
aktif melakukan komunikasi dapat menggunakan alat atau saluran agar apa yang
hendak disampaikan dapat diterima. Sedangkan untuk menginformasikan pesan
tentang suatu kegiatan maka dapat disampaikan dengan cara penyampaian secara
individu maupun dalam kelompok.
Model komunikasi dalam penelitian ini pembahasannya meliputi cara
komunikasi, arah komunikasi, dan saluran komunikasi; bahasa yang digunakan
dan sumber informasi. Cara komunikasi yang digunakan dalam kegiatan SL-P2KP
meliputi diskusi, ceramah, pertemuan kelompok dan praktek lapang dengan
gambar dan poster.
Tabel 12 Jumlah dan persentase responden berdasarkan cara penyampaian
informasi dalam kegiatan SL-P2KP
Cara komunikasi
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Diskusi
47
78,33
Ceramah
30
50,00
Pertemuan Kelompok
45
75,00
Praktek lapang, Gambar poster,
9
15,00
Tabel 12 memperlihatkan bahwa cara penyampaian informasi yang
digunakan dalam pelaksanaan Sekolah Lapang-P2KP adalah diskusi 78,33 persen.
Artinya bahwa diskusi yang dilakukan dalam pertemuan dapat meningkatkan
pengetahuan dan terjadi komunikasi yang efektif antara PPL (pemberi materi) dan
anggota KWT sebagai peserta. Diskusi dilaksanakan dalam pertemuan berupa
tanya jawab yang dilakukan anggota KWT dan juga diberikan kesempatan untuk
bertanya oleh PPL (pemberi materi). Pertemuan kelompok adalah media yang
digunakan penyuluh maupun anggota untuk melakukan tanya jawab. Selain itu
cara yang dilakukan oleh pengurus KWT melalui ceramah dalam perkumpulan
54
pengajian ibu-ibu. Praktek lapang dengan gambar poster kecil presentasinya
hanya 15 persen artinya anggota KWT sebagai peserta SL-P2KP mungkin merasa
kurang waktu untuk praktek juga bila dikaitkan dengan tugas dan peran para ibu
dalam rumah tangga.
Arah komunikasi yang digunakan dalam pelaksanaan SL-P2KP terdiri
dari komunikasi banyak arah, satu arah dan komunikasi dua arah. Secara rinci
jumlah dan persentase responden dapat dilihat padda Tabel 13.
Tabel 13. Jumlah dan persentase responden berdasarkan arah komunikasi yang
digunakan
Arah Komunikasi
Jumlah
Persentase
Banyak arah
0
0
Satu arah
23
38,33
Dua arah
37
61,67
Total
60
100,00
Pada Tabel 13 arah komunikasi yang terjadi dalam kegiatan sekolah
lapang-P2KP adalah dua arah (61,67 persen). Arah komunikasi yang dimaksud
adalah komunikasi yang dilakukan PPL (pembawa materi) menyampaikan materi
kepada peserta dan peserta diberi kesempatan untuk bertanya jika ada materi yang
belum dimengerti atau menyampaikan saran. Pelaksanaan SL-P2KP selalu terjadi
tanya jawab antara pemateri dan peserta. Sebagian besar responden menyatakan
bahwa pemberi materi memberikan kesempatan kepada responden untuk bertanya.
Dalam pelaksanaan Sekolah Lapang-P2KP terjadi tanya diantara PPL dengan
anggota KWT (peserta/responden). Jumlah dan persentase responden berdasarkan
tanya jawab yang dilakukan disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tanya jawab yang
dilakukan
Tanya jawab dalam SL-P2KP
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Selalu
39
65
Kadang-kadang
21
35
Tidak pernah
0
0
Total
60
100
Data Tabel 14 menunjukkan bahwa selalu terjadi tanya jawab antara
PPL dan peserta (65 persen). Artinya dalam pelaksanaan Sekolah Lapang-P2KP
selalu terjadi tanya jawab. Dengan tanya jawab yang terjadi diharapkan dapat
meningkatkan partisipasi dan efektivitas komunikasi. Namun demikian ada juga
responden yang menyatakan bahwa kadang-kadang saja bertanya (35 persen). Ini
menjelaskan bukan karena tidak ada ruang dan waktu, kemungkinan karena malu
atau takut salah. Menurut pengakuan salah seorang peserta:
“saya kadang-kadang saja bertanya, ya takut salah terus malu
sama yang lain”. Ada juga yang tidak bertanya itu disebabkan
karena sudah berusia lanjut (umur 70 – 80 tahun).
Saluran media komunikasi sangat mempengaruhi anggota KWT sebagai
sasaran pelaksanaan kegiatan SL-P2KP dalam menerima informasi yang diterima.
Jenis saluran media komunikasi yang digunakan terkait dengan pelaksanaan SL-
55
P2KP yakni TV, papan pengumuman, poster, dan undangan / surat edaran. Secara
terperinci jumlah dan persentase responden berdasarkan saluran komunikasi
dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15 Jumlah dan persentase responden berdasarkan saluran komunikasi
Saluran Media informasi
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Papan pengumuman
24
40,00
Poster/alat peraga
38
63,33
TV
14
23,33
Surat edaran
44
73,33
Data Tabel 15 memperlihatkan bahwa saluran media komunikasi yang
digunakan pengurus untuk mengundang anggotanya adalah menggunakan surat
edaran (73,33 persen) untuk mengikuti sosialisasi dalam kegiatan SL-P2KP.
Sementara media poster (63,33 persen) disukai responden karena digunakan untuk
menyampaikan kegiatan di lapang. Poster dan alat peraga digunakan oleh PPL
untuk menyampaikan kegiatan terkait P2KP. Sebagian responden menyatakan
untuk mengetahui kegiatan melalui gambar-gambar poster yang ditempel di
tempat pertemuan atau dirumah ketua.
Menurut ketua KWT
“untuk mengundang anggota biasanya diantar langsung surat
undangannya kalau tidak mereka tidak datang, kalau yang punya HP
bisa saya hubungi tetapi di desa tidak semua punya HP”.
Sementara itu agar anggota dapat mengetahui cara kerja suatu kegiatan
misalnya informasi dapat di lihat pada poster yang ditempel di dinding tempat
pertemuan atau di rumah ketua. Poster di peroleh dari dinas BP3K Kabupaten
Sleman bidang bina produksi.
Bahasa
Bahasa merupakan salah satu unsur penting dalam pelaksanaan
kegiatan SL-P2KP. Bahasa mempunyai peranan penting dalam proses adopsi dan
difusi inovasi pertanian. Menurut Benjamin Whorf tentang teori relatifitas
linguistik. Teori ini mengatakan bahwa bahasa dan budaya menentukan perilaku
dan kebiasaan pemikiran dalam budaya. Hipotesis Whorf tentang penggunaan
bahasa mengatakan bahwa: (1) Dalam dunia aktivitas sosial biasanya dipahami
dari penguasaan bahasa tertentu yang menjadi medium komunikasi masyarakat.
(2) Bahasa adalah suatu alat pemecahan permasalahan komunikasi spesifik. (3)
Fakta dari perihal pekerjaan riil tanpa disadari bahwa kontruksi berdasarkan pada
kebiasaan bahasa dari kelompok. (4) Kebiasaan bahasa masyarakat mempengaruhi
aneka pilihan interpretasi (Littlejohn, 1999). Jumlah dan persentase petani
berdasarkan bahasa disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16 nampak bahwa bahasa yang digunakan baik ketika
melakukan sosialisasi SL-P2KP ataupun sewaktu menyampaikan materi kepada
peserta anggota KWT serta kehadiran petani sebagai peserta berpengaruh terhadap
pemahaman petani tentang kegiatan SL-P2KP. Dalam menyampaikan informasi
kegiatan P2KP lebih banyak digunakan bahasa campuran (bahasa Jawa dan
56
bahasa Indonesia) sebesar 50 persen petani, dengan tingkat pemahaman 86,67
persen. Ini menjelaskan bahwa hampir semua petani mengerti bahasa yang
digunakan.
Tabel 16 Jumlah dan persentase responden berdasarkan bahasa dalam kegiatan
SL- P2KP
Bahasa dan tingkat pemahaman dalam
Jumlah (orang)
Persentase
SL-P2KP
(%)
Bahasa yang digunakan
Indonesia
19
31,67
Jawa
11
18,33
Campuran
30
50,00
Total
60
100,00
Tingkat pemahaman bahasa
Mengerti
52
86,67
Sedikit mengerti
8
13,33
Tidak mengerti
0
0
Total
60
100,00
Dengan demikian diharapkan dapat meningkatkan partisipasi petani
peserta SL-P2KP, terciptanya komunikasi yang efektif dan intens sehingga dapat
terjadi peningkatan pengetahuan tentang P2KP yang mengarah kepada
peningkatan perubahan perilaku petani pada pelaksanaan kegiatan optimalisasi
pemanfaatan pekarangan.
Menurut Everett M. Rogers (2003), orang-orang yang sama lebih
mungkin berkomunikasi dan melakukan jika berada pada kelompok yang sama,
berdiam lebih berdekatan satu sama lain, sama etnis dan tertarik oleh satu
kepentingan yang sama. Kesamaan secara sosial ini menjurus ke homophily. Pada
kondisi ini komunikasi dan kesamaan pendapat akan lebih mudah terjadi
dibandingkan dalam keadaan heterophily (kondisi yang berbeda).
Sumber Informasi
Sumber informasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah dari mana
petani mendapat informasi dan siapa yang menyampaikan informasi tersebut.
Untuk mengetahui jumlah dan persentase responden dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17 Jumlah dan persentase responden berdasarkan sumber informasi
Sumber informasi yang digunakan
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Kontak Tani
6
10,00
Penyuluh/Pendamping
45
75,00
Pengurus KWT
35
58,33
Sesama anggota
37
61,67
Sumber informasi selain PPL juga anggota KWT memperoleh
informasi dari kontak tani, pengurus (sekretaris, bendahara dan koordinator) KWT
57
dan sesama anggota. Sumber utama dalam menyampaikan informasi adalah
penyuluh 75 persen artinya PPL sebagai pemateri telah mengikuti pelatihan
pendampingan dan bertugas untuk mendampingi dan menyampaikan materi.
Sedangkan pengurus selain mendampingi dan melengkapi kebutuhan dalam
pelaksanaan kegiatan juga sebagai peserta SL-P2KP. Selain penyuluh responden
peserta SL-P2KP juga sering bertanya kepada sesama anggota. Hal ini juga
ditegaskan oleh pengurus KWT, yang menyatakan bahwa;
“penyuluh yang menyiapkan materi dan sudah mengikuti
pelatihan, kami pengurus hanya membantu untuk kelancaran saja”.
Selain itu para anggota juga bertanya kepada sesama anggota, maksudnya
adalah sesama adalah petani yang berpengalaman. Namun demikian dalam
pelaksanaan kegiatan tetap saja ada salah seorang pengurus yang menjadi
pemandu acara dalam pertemuan kelompok untuk memgatur agar pertemuan
berjalan dengan lancar. Dalam pelaksanaan SL-P2KP PPL mempunyai peran
penting dalam menyampaikan informasi tentang P2KP dengan maksud dapat
meningkatkan pengetahuan anggota KWT juga afeksi yang kemudian mengarah
pada perubahan perilaku dalam kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan
(OPP)
Iktisar
Pola komunikasi pada pelaksanaan P2KP, penyuluh melakukan
diskusi dua arah (komunikasi interaksional) yang melibatkan peserta. Peserta
diberikan kesempatan bertanya apabila ada materi yang tidak dimengerti dan
peserta lain diberikan kesempatan memberikan masukan atau jika ada materi yang
ingin didiskusikan. Jawaban petani sebagian besar (78,33%) menyatakan bahwa
cara penyampaian informasi adalah melalui diskusi dan pertemuan kelompok
(75%). Saluran komunikasi yang digunakan dalam bentuk surat edaran dan poster.
Poster digunakan untuk menyampaikan pola hidup sehat dan diversifikasi pangan
yang ditempel di dinding tempat pertemuan dan rumah ibu ketua kelompok. Surat
edaran digunakan pengurus untuk mengundang ibu-ibu menghadiri pertemuan
baik ditingkat kelompok maupun tingkat desa atau kecamatan. Bahasa yang
digunakan di SL-P2KP adalah bahasa campuran Indonesia dan bahasa Jawa.
Menurut penyuluh “ karena peserta ada yang tidak bisa baca tulis dan ada yang
berusia lanjut (70-80 tahun) maka bahasa Jawa masih digunakan sebagai bahasa
pengantar”. Selanjutnya Everett M. Rogers (2003) orang-orang yang sama
(homophily) lebih mungkin termasuk kelompok etnis yang sama, dengan tempat
tinggal berdekatan satu sama lain, dan tertarik oleh kepentingan yang sama. Pada
kondisi ini komunikasi akan lebih mudah terjadi dibandingkan dalam keadaan
heterophily. Sumber informasi yang paling utama adalah penyuluh dan cukup
banyak dari sesama anggota. Petani banyak memperoleh informasi mengenai
kegiatan tersebut dari penyuluh karena dalam pertemuan Sekolah Lapang-P2KP
yang sering menyampaikan kegiatan P2KP adalah penyuluh. Pengurus KWT
hanya membantu dalam pelaksanaan pertemuan sekolah lapang dan melengkapi
dengan peralatan yang diperlukan atau melengkapi untuk kelancaran pada saat
pelaksanaan SL-P2KP saja.
58
Intensitas Komunikasi
Intensitas komunikasi yang dimaksud disini yaitu proses, frekuensi
dan intensitas komunikasi yang terjadi antara para petani dengan penyuluh
sehingga program SL-P2KP tetap berlangsung dan berkelanjutan. Pada konteks
ini intensitas komunikasi yang diteliti adalah kehadiran penyuluh dalam
pertemuan SL-P2KP, peran dari penyuluh, frekuensi pembicaraan didalam
pertemuan, frekuensi pembicaraan diluar pertemuan, frekuensi bertemu petani
dengan penyuluh dalam pertemuan dan frekuensi bertemu petani dangan
penyuluh diluar pertemuan SL-P2KP.
Kehadiran penyuluh dapat menjadi motivator bagi para petani dalam
mensukseskan target-target pembangunan sektor pertanian dan dapat memberi
kontribusi pada peningkatan pembangunan. Secara rinci mengenai jumlah dan
persentase petani berdasarkan kehadiran penyuluh dalam SL-P2KP disajikan pada
Tabel 18.
Tabel 18
Jumlah dan persentase petani berdasarkan kehadiran penyuluh pada
kegiatan SL-P2KP
Kehadiran pendamping
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Selalu
41
68,33
Kadang-kadang
17
28,33
Tidak pernah
2
3,34
Total
60
100,00
Pada tabel 18 tampak bahwa penyuluh selalu hadir dalam pertemuan
sekolah lapang-P2KP dengan jumlah responden 41 yang jika dipersentasekan
sebanyak 68,33 persen. Ini menjelaskan bahwa dengan kehadiran penyuluh yang
intens dalam pertemuan tersebut akan dapat meningkatkan komunikasi yang
efektif dengan demikian dapat mengarah pada peningkatan pengetahuan petani
tentang P2KP. Pertemuan di kedua kelompok tani baru dilakukan 4-5 kali.
Padahal dalam buku pedoman umum (Pedum 2012) pelaksanaan kegiatan SLP2KP mestinya dilakukan 10 kali. Artinya bahwa dalam pertemuan itu bisa
dilakukan dalam sebulan atau setahun disesuaikan dengan kondisi setempat.
Kondisi lapang saat penelitian sekolah lapang-P2KP diliburkan karena
bertepatan dengan hari raya keagamaan. Menurut ketua KWT sebagian besar
anggota KWT sedang menjalani ibadah puasa sehingga pelaksanaan Sekolah
Lapang-P2KP diliburkan sampai dengan akhir perayaan hari raya Idul Fitri yakni
pada bulan September. Hal ini juga disampaikan penyuluh bahwa kegiatan SLP2KP di tunda sampai petani siap mengikuti sekolah lapang-P2KP.
Dalam pelaksanaan kegiatan Sekolah Lapang-P2KP peran aktif
penyuluh selain menyampaikan materi kegiatan juga merencanakan, membimbing
dan memfasilitasi responden dalam kegiatan P2KP. Adapun peran penyuluh dapat
di lihat pada tabel 19.
59
Tabel 19 Jumlah dan persentase petani berdasarkan peran penyuluh
Penyuluh melakukan aktivitas
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Merencanakan
35
58,33
Membimbing
25
41,67
Memfasilitasi
0
0
Total
60
100,00
Data tabel di atas menggambarkan bahwa dalam pelaksanaan kegiatan
SL-P2KP yang diikuti petani lebih banyak (58,33 persen) menjawab bahwa
aktivitas yang dilakukan penyuluh antara lain merencanakan kegiatan berupa
penyampaian materi untuk pertemuan berikutnya. Selanjutnya bimbingan dari
PPL 41,67 persen. Artinya penyuluh membimbing petani terkait kegiatan P2KP
meliputi pemberdayaan kelompok wanita (optimalisasi pemanfaatan pekarangan
dan pengembangan pangan lokal). Sementara untuk peran penyuluh dalam
memfasilitasi tidak ada nilainya, mungkin tidak dianggap penting oleh petani
padahal memfasilitasi merupakan salah satu kriteria penting dalam mendampingi
dan memfasilitasi kelompok sasaran dalam menyusun Rencana Kegiatan dan
Kebutuhan Anggaran (RKKA) kelompok sesuai potensi wilayah.
Intensitas pembicaraan dalam pertemuan SL-P2KP yang dilakukan
ptani dengan penyuluh yang intens dapat meningkatkan pengetahuan petani yang
akan mengarah pada peningkatan pengetahuan yang mengarah pada perubahan
perilaku terkait kegiatan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan.
Intensitas pembicaraan antara petani dengan penyuluh disajikan pada tabel 20.
Tabel 20 umlah dan persentase petani berdasarkan intensitas komunikasi antar
petani dan penyuluh didalam pertemuan
Intensitas komunikasi
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Selalu
23
38,33
Kadang-kadang
26
43,33
Tidak pernah
11
18,33
Total
60
100,00
Pada tabel 20 memperlihatkan bahwa intensitas komunikasi antar petani
dan penyuluh yang dilakukan pertemuan Sekolah Lapang-P2KP yang kurang
hanya kadang-kadang (43,33 %) bahkan tidak pernah (18,33%). Hal ini
menggambarkan kurangnya materi yang dibicarakan belum sesuai Pedoman
Umum P2KP. Dalam pertemuan sekolah lapang tidak ternanyata penyuluh tidak
hanya membahas kegiatan P2KP namun juga membicarakan hal lain seperti bibit
unggul, hama penyakit, pembuatan pupuk dan racun tanaman. Padahal materi
yang perlu dibicarakan terkait kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan
adalah kegiatan diversifikasi pangan dan pengembangan pangan lokal. Hal ini
disebabkan karena ada diantara anggota yang berusia 55 tahun keatas dan ada
yang tidak mengerti bahasa Indonesia serta malu bertanya. Kondisi ini juga
terlihat pada intensitas pembicaraan tentang SL-P2KP yang dilakukan petani dan
penyuluh diluar pertemuan.
Intensitas komunikasi yang dilakukan antar sesama anggota kelompok
wanita tani (KWT) baik di dalam maupun diluar pertemuan. Intensitas komunikasi
60
yang dilakukan antar sesama anggota kelompok wanita tani dapat dilihat pada
Tabel 21.
Tabel 21 Jumlah dan persentase petani berdasarkan intensitas komunikasi yang
dilakukan antar sesama anggota tentang SL-P2KP
Intensitas komunikasi
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Selalu
17
28,33
Kadang-kadang
31
51,67
Tidak pernah
12
20,00
Total
60
100,00
Tabel 21 menunjukkan bahwa intensitas komunikasi petani dengan
sesama anggota KWT ternyata lebih dari pada dengan penyuluh. Lebih dari
setengah jumlah petani (51,67%) kadang-kadang membicarakannya bahkan
(28,33%) mengatakan selalu membicarakannya. Hal ini disebabkan karena ada
diantara anggota yang berusia 55 tahun keatas dan ada yang tidak mengerti bahasa
Indonesia serta malu bertanya. Kondisi ini juga terlihat pada intensitas komuniasi
tentang SL-P2KP yang dilakukan petani dan penyuluh diluar pertemuan.
Intensitas komunikasi tentang SL-P2KP secara rinci dapat dilihat pada Tabel 22.
Tabel 22 Jumlah dan persentase petani berdasarkan intensitas komunikasi yang
dilakukan dengan penyuluh tentang SL-P2KP di luar pertemuan
Intensitas komunikasi
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Selalu
24
40,00
Kadang-kadang
29
48,33
Tidak pernah
7
11,67
Total
60
100,00
Tabel 22 terlihat bahwa intensitas pembicaraan tentang SL-P2KP
antara petani dengan PPL diluar pertemuan ternyata lebih banyak dilakukan
walaupun tidak selalu. Menurut seorang petani kadang-kadang bahkan hampir
tidak pernah membicarakan tentang kegiatan Percepatan Penganekaragaman
Konsumsi Pangan (P2KP) karena tidak semua anggota KWT mempunyai waktu
yang sama untuk bertemu dengan penyuluh. Hal ini dikarenakan bahwa setiap
petani mempunyai aktivitas yang berbeda.
Frekuensi bertemunya petani dengan penyuluh yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah frekuensi atau jumlah bertemunya petani dengan penyuluh
dalam pertemuan SL-P2KP. Sebaran frekuensi pertemuan petani dengan penyuluh
disajikan pada Tabel 23.
Tabel 23. Jumlah dan persentase petani berdasarkan frekuensi pertemuan
penyuluh dengan petani dalam pertemuan
Frekuensi pertemuan
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Sering
35
58,33
Kadang-kadang
22
36,67
Tidak pernah
3
5,00
Total
60
100,00
61
Data Tabel diatas nampak bahwa frekuensi pertemuan antara penyuluh
dan petani sebagai peserta SL-P2KP lebih sering dilakukan (58,33%). Artinya
bahwa baik penyuluh (sumber pemateri) dan petani sering bertemu dapat
meningkatkan partisipasi aktif yang dilakukan melalui komunikasi yang intens
sehingga dapat meningkatkan efektivitas komunikasi pada kegiatan tersebut.
Frekuensi bertemu diluar pertemuan diantara petani dengan penyuluh,
diamati dari pertemuan yang dilakukan di luar pertemuan Sekolah LapangP2KP misalnya petani bertemu penyuluh di rumahnya, dan lainnya. Frekuensi
pertemuan penyuluh dengan petani dilihat pada Tabel 24.
Tabel 24 Jumlah dan persentase petani berdasarkan frekuensi pertemuan
penyuluh dengan petani dan petani di luar pertemuan
Frekuensi interaksi
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Sering
17
28,33
Kadang-kadang
28
46,67
Tidak pernah
15
25,00
Total
60
100,00
Tabel 24 menunjukkan bahwa frekuensi pertemuan petani dengan
penyuluh diluar hanya kadang-kadang dengan jumlah 28 orang (67%). Hal ini
dapat dikatakan bahwa jarangnya petani bertemu dengan penyuluh diluar
pertemuan maka informasi mengenai percepatan penganekaragaman konsumsi
pangan yang diperoleh petani juga sangat sedikit. Intensitas komunikasi yang
intens dapat meningkatkan partisipasi dan pengetahuan responden sebaliknya.
Secara keseluruhan intensitas komunikasi yakni frekuensi pembicaraan
yang dilakukan antara petani dengan penyuluh dan petani dengan sesama
anggota dalam pertemuan kelompok maupun diluar pertemuan sudah berjalan
dan berada pada kategori sedang. Jumlah dan persentase petani responden
berdasarkan intensitas komunikasi dalam SL-P2KP disajikan pada Tabel 25.
Tabel 25 Jumlah dan persentase responden berdasarkan intensitas komunikasi
dalam pelaksanaan SL-P2KP
Kriteria
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Rendah
38
63,3
Tinggi
22
36,7
Total
60
100,00
Data pada Tabel 25 nampak bahwa intensitas komunikasi yang
dilakukan diantara petani dan penyuluh baik dalam pertemuan maupun diluar
pertemuan dapat digolongkan rendah. Frekuensi pertemuannya tidak banyak dan
topik yang dibicarakan juga meluas sehingga sekali-sekali saja membahas topik
SL-P2KP. Jadi dalam pertemuan tidak hanya membicarakan tentang
optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan dan pengembangan pangan lokal
tetapi juga membicarakan tentang bibit unggul, pupuk dan lainnya.
62
Iktisar
Pertemuan penyuluh dengan petani lebih banyak di dalam pertemuan
daripada di luar pertemuan kelompok SL-P2KP. Penyuluh selalu hadir dalam
pertemuan untuk merencanakan kegiatan dan membimbing petani dalam
melakukan optimalisasi pemanfaatan pekarangan. Namun dalam pertemuan
dengan penyuluh topik P2KP kadang-kadang saja dibicarakan, secara khusus
biasanya diselingi dengan berbagai topik lain seperti tentang bibit unggul, hama
penyakit, pupuk dan racun tanaman. Demikian juga dalam pembicaraan antar
petani di dalam maupun di luar pertemuan tidak selalu membicarakan tentang
SL-P2KP. Dengan demikian intensitas komunikasi tentang P2KP tergolong
rendah.
Dapat dikatakan bahwa sosialisasi P2KP masih relatif kurang intensif
dilakukan baik oleh penyuluh maupun pengurus KWT. Pertemuan SL-P2KP
kurang teratur karena bertepatan dengan hari raya keagamaan ( puasa dan Idul
Fitri). Padahal seharusnya kegiatan ini berlangsung teratur selama 10 kali
dengan materi yang berbeda di setiap pertemuannya.Di sisi lain responden
hanya bertanya kepada penyuluh (pemberi materi) saat sekolah lapang-P2KP di
luar itu tidak ada karena sedikit sekali waktu pertemuan. Waktu pertemuan yang
seharusnya sepuluh kali baru dilaksanakan 4 sampai 5 kali pertemuan. Namun
demikian interaksi dengan penyuluh (pemberi materi) juga telah memberikan
pengaruh pada perubahan perilaku petani di pedesaan.
Efektivitas Komunikasi Dalam Kegiatan SL-P2KP
Aspek Pengetahuan
Aspek pengetahuan adalah kemampuan berpikir yang dilandasi oleh
pengetahuan dan wawasan seseorang dalam upaya mencari solusi atas
permasalahan yang dihadapi dan mengetahui atau memahami konsep program
P2KP (tujuan, sasaran, manfaat penting dan peruntukkan). Pada penelitian ini,
aspek pengetahuan ditentukan berdasarkan kriteria memiliki anggota KWT
memiliki pengetahuan yang luas tentang kegiatan, pengetahuan awal tentang cara
pemanfaatan lahan pekarangan, materi yang diterima dalam kegiatan SL-P2KP,
kegiatan yang masih diingat, alasan pentingnya pelaksanaan SL-P2KP, dan alasan
pelaksanaan kegiatan SL-P2KP hanya untuk perempuan. Jumlah dan persentase
petani berdasarkan tingkat pengetahuan dapat di lihat pada tabel 26.
Tabel 26. Jumlah dan persentase petani berdasarkan tingkat pengetahuan pada
kegiatan SL-P2KP
Pengetahuan
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Rendah
22
36,67
Tinggi
38
63,33
Total
60
100,00
63
Tabel 26 nampak bahwa sebagian besar petani (63,33 %) memiliki
tingkat pengetahuan yang tergolong dalam kategori tinggi dan (36,67 %) yang
tergolong rendah. Hal ini berarti bahwa pengetahuan petani tentang P2KP baik.
Walaupun cukup banyak yang menjawab dengan benar tapi masih banyak juga
yang belum dapat menjawab tentang manfaat dan tujuan dari kegitan P2KP
maupun SL-P2KP dan mengapa kegiatan ini ditujukan hanya untuk perempuan.
Petani (anggota KWT) yang mengikuti kegiatan SL-P2KP memiliki tingkat
pengetahuan cukup baik meskipun pada karakteristik individu nampak bahwa
tingkat pendidikan mereka (responden) rendah (56,67 persen). Namun dari sisi
kondisi sosial budaya diketahui bahwa sebagian besar petani sudah tahu tentang
bercocok tanam di lahan pekarangan sebelum adanya kegiatan SL-P2KP. Dapat
dikatakan bahwa pengetahuan mereka tentang budidaya di pekarangan sudah
cukup baik.
Aspek Afeksi
Aspek afeksi petani dilihat dari delapan pernyataan yang diberikan
dengan dua pilihan jawaban tidak setuju dan setuju. Kemudian setiap jawaban
tidak setuju diberi nilai satu dan setuju diberi nilai dua. Selanjutnya diberi nilai
rata-rata untuk setiap responden dan dikelompokkan menjadi dua yakni tidak
mendukung dan mendukung. Secara terperinci jumlah dan persentase petani
responden disajikan pada Tabel 27.
Tabel 27. Jumlah dan persentase reponden berdasarkan tingkat afeksi pada
kegiatan SL-P2KP
Afeksi
Jumlah (orang)
Persentase
(%)
Tidak Mendukung
1
1,7
Mendukung
59
98,3
Total
60
100,00
Data tabel 27 nampak bahwa hampir semua petani (98,3%)
mendukung SL-P2KP, karena dianggap mempermudah petani dalam melakukan
budidaya tanaman pangan di lahan pekarangan, mendorong perempuan untuk
memberikan beragam makanan pokok pada keluarga, kegiatan ini tidak sulit
dilakukan dalam keluarga, kegiatan ini tidak sulit dilakukan dalam keluarga. Oleh
karena itu kegiatan ini perlu dilakukan oleh seluruh masyarakat. Secara kelompok
tidak ada anggota yang tidak mendukung kegiatan SL-P2KP dan hanya satu orang
saja yang tidak mendukung dalam kegiatan ini. Hal ini dapat dijelaskan bahwa
sebagian besar masyarakat di Kecamatan Prambanan telah melakukan kegiatan
penanaman tanaman buah dalam pot (Tabulapot) sebelum kegiatan ini SL-P2KP
dilakukan mengacu pada kondisi sosial budaya masyarakat (hal 51).
64
Perilaku
Tingkat perilaku yang diamati berdasarkan jumlah dan persentase
yang dikelompokkan menjadi dua kategori, yakni kategori tidak sesuai dan sesuai
dengan kegiatan SL-P2KP. Pengukuran perilaku dilihat melalui kegiatan
pemanfaatan pekarangan, cara memanfaatkan dan cara mengkonsumsi pangan
sumber karbohidrat selain beras (singkong, ubi jalar, talas dan jagung). Secara
rinci jumlah dan persentase petani berdasarkan tingkat perilaku petani di sajikan
pada Tabel 28.
Tabel 28. Jumlah dan persentase petani berdasarkan tingkat perilaku pada
kegiatan SL-P2KP (Pemanfaatan Pekarangan)
Perilaku
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Tidak sesuai
5
11,67
Sesuai
55
88,33
Total
60
100,00
Sebagian besar petani (88,33%) menunjukkan perilaku pemanfaatan
pekarangan yang sesuai dengan apa yang sudah diajarkan dalam SL-P2KP
khususnya pada perilaku menanam (budidaya). Pada saat pelaksanaan SL-P2KP,
petani didampingi oleh penyuluh dan bibit tanaman yang diberikan adalah
tanaman semusim berupa sayur-sayuran dan buah-buahan.
Pemanfaatan dan cara mengkonsumsi pangan lokal selain beras ini
disajikan pada Tabel 29.
Tabel 29. Jumlah dan persentase petani berdasarkan tingkat perilaku pemanfaatan
sumber karbohidrat selain beras
Jenis Tanaman Makanan Utama
Makanan Selingan
Dijual
n
%
n
%
n
%
Ubi Jalar
5
8,33
43
71,67
5
8,33
Jagung
1
1,67
42
70
0
0
Singkong
15
25
36
60
0
0
Talas
0
0
60
100
0
0
Data Tabel 29 menunjukkan bahwa hampir sebagian besar petani 70
sampai 100 persen memanfaatkan tanaman pangan sumber karbohidrat selain
beras sebagai makanan selingan bukan makanan utama, yang biasa dikonsumsi
tanpa lauk-pauk. Makanan utama yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
petani mengkonsumsi jenis tanaman pangan lokal dalam satu hari selain
mengkonsumsi nasi dan atau diselingi nasi-ubi jalar-nasi. Jenis tanaman pangan
lokal seperti ubi jalar (ubi pendem), jagung, singkong/ubi kayu (telo) dan talas
merupakan sumber karbohidrat pengganti beras karena memiliki kandungan gizi
yang mendekati beras. Namun pemanfaatannya masih belum banyak dilakukan
oleh masyarakat seperti yang nampak pada tabel ubi kayu dijadikan sebagai
makanan utama sekitar 25 persen. Konsumsi ubi kayu sebagai pangan alternatif
pangan karena ketersediaannya cukup banyak dan mudah dibudidayakan pada
lahan subur maupun kurang subur sampai lahan marjinal. Ubi kayu dapat
65
langsung dikonsumsi dengan terlebih dahulu direbus, digoreng dan dibakar atau
difermentasi menjadi tape. Ubi jalar (ubi pendem) hanya 8,33 persen, disusul
tanaman jagung 1,67 persen. Sementara untuk makanan selingan seluruh
responden menyatakan talas 100 persen. Ini menjelaskan bahwa petani selain
mengkonsumsi pada waktu dan atau acara tertentu juga harga talas agak mahal
dan agak susah diperoleh. Tanaman ubi jalar 71,67 persen dikonsumsi pada acara
tertentu seperti arisan atau jika ada warga yang mempunyai hajatan ubi jalar
disajikan dalam bentuk kudapan atau aneka kue. Jagung sebanyak 70 persen dan
ubi kayu (singkong) sebanyak 60 persen. Selain dijadikan sebagai makanan
utama dan makanan selingan, ada petani yang memanfaatkan tanaman pangan
lokal untuk dijual. 8,33 persen petani menjawab tanaman talas dijual karena
tanaman ubi jalar bernilai ekonomis dan tahan lama jika disimpan serta memiliki
potensi peluang pasar.
Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa perubahan perilaku petani
walaupun tidak terlalu banyak tetapi sudah melakukan diversifikasi pangan dalam
kegiatan SL-P2KP.
Hubungan Antara Intensitas Komunikasi Dengan Efektivitas Komunikasi
Dalam SL-P2KP
Hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan nyata antara
intensitas komunikasi dalam SL-P2KP dengan efektivitas komunikasi. Peubah
efektivitas komunikasi yaitu, aspek pengetahuan, aspek afeksi dan aspek perilaku.
Untuk mengetahui tingkat hubungan antara intensitas komunikasi terhadap
efektivitas komunikasi dilakukan melalui tabulasi silang dan menggunakan
analisis uji Chi-Square.
Hubungan antara intensitas komunikasi dengan aspek pengetahuan petani
dalam kegiatan SL-P2KP
Dalam pembahasan ini, peubah yang merupakan bagian dari intensitas
komunikasi adalah kehadiran penyuluh, peran penyuluh, komunikasi di antara
sesama anggota KWT, komunikasi di antara penyuluh dan responden (anggota
KWT) di dalam maupun di luar pertemuan dan frekuensi bertemu antara penyuluh
dengan responden (anggota KWT) di dalam maupun di luar pertemuan, sedangkan
peubah dari efektivitas komunikasi adalah aspek pengetahuan.
Untuk mengetahui adanya hubungan antara intensitas komunikasi
terhadap efektivitas komunikasi aspek pengetahuan, dilakukan pengujian tabulasi
silang pada Tabel 30.
Tabel 30 Jumlah persentase petani menurut intensitas komunikasi dan tingkat
pengetahuan responden dalam pelaksanaan SL-P2KP
Intensitas komunikasi
Pengetahuan (%)
Jumlah
Rendah
Tinggi
Rendah
36,8
63,2
100
Tinggi
36,4
63,6
100
66
Tabel 30 menunjukkan bahwa petani yang memiliki intensitas komunikasi
rendah maupun tinggi relatif sama tingkat pengetahuannya. Petani yang intensitas
komunikasinya rendah maupun tinggi sebagian besar tingkat pengetahuannya
tergolong tinggi.
Untuk mengetahui hubungan antara intensitas komunikasi terhadap tingkat
pengetahuan, dilakukan pengujian statistik dengan menggunakan analisis uji chi
square.
Tabel 31 Hubungan antara intensitas komunikasi dengan tingkat pengetahuan
petani pada pelaksanaan SL-P2KP
Indikator
p-value
Sig
Keterangan
Intensitas komunikasi
0,001
0,970
Tidak Nyata
vs Tingkat Pengetahuan
Hasil uji pada tabel 31 menunjukkan intensitas komunikasi berhubungan
tidak nyata dengan tingkat pengetahuan dengan nilai signifikansi sebesar 0,970
lebih besar dari alpha 0.05. Hubungan tidak nyata antara intensitas komunikasi
dilihat dari frekuensi membicarakan tentang P2KP antar penyuluh dan antar
sesama petani yang hanya terjadi dalam pertemuan dan topiknya bukan hanya
P2KP saja. Pembicaraan diantara sesama petani kadang-kadang dilakukan,
frekuensi bertemu antara petani dan penyuluh hanya terjadi pada saat pertemuan
SL-P2KP sementara frekuensi bertemua diluar pertemuan jarang bahkan kurang.
Hal ini dapat menyebabkan rendahnya tingkat pengetahuan petani. Petani yang
jarang bertemu dengan penyuluh tidak memberikan peningkatan pengetahuan
petani tentang optimalisasi pemanfaatan pekarangan dan penganekaragaman
pangan.
Hubungan antara intensitas komunikasi dengan aspek afeksi petani dalam
kegiatan SL-P2KP
Dalam pembahasan ini, peubah yang merupakan bagian dari intensitas
komunikasi adalah kehadiran penyuluh, peran penyuluh, pembicaraan di antara
sesama anggota KWT, pembicaraan di antara penyuluh dan responden (anggota
KWT) di dalam maupun di luar pertemuan dan frekuensi bertemu antara penyuluh
dengan responden (anggota KWT) di dalam maupun di luar pertemuan, sedangkan
peubah dari efektivitas komunikasi adalah aspek afeksi.
Untuk mengetahui adanya hubungan antara intensitas komunikasi
terhadap efektivitas komunikasi aspek afeksi, dilakukan pengujian tabulasi silang
pada Tabel 32.
Tabel 32 Jumlah persentase petani menurut intensitas komunikasi dan tingkat
afeksi dalam pelaksanaan SL-P2KP
Afeksi (%)
Intensitas
Jumlah
komunikasi
Tidak mendukung
Mendukung
Rendah
Tinggi
2,6
0
97,4
100,0
100
100
67
Pada Tabel 32 tampak bahwa sebagian besar petani yang melakukan
komunikasi secara intens maupun tidak ternyata semua mendukung program SLP2KP. Hal ini menjelaskan bahwa pada tingkat intensitas komunikasi rendah atau
tinggi, komunikasi terutama yang dilakukan antara penyuluh dengan petani dan
antara petani dengan petani, ternyata petani mendukung kegiatan optimalisasi
pemanfaatan pekarangan (OPP). Hampir seluruh petani mendukung kegiatan ini.
Karena sudah menjadi kebiasaan atau budaya petani yang melakukan kegiatan
penanaman tanaman dipekarangan rumah sebelum adanya program ini.
Untuk mengetahui tingkat hubungan antara intensitas komunikasi
terhadap tingkat afeksi, dilakukan pengujian statistik dengan menggunakan
analisis uji chi square.
Tabel 33. Hubungan antara intensitas komunikasi dengan tingkat afeksi petani
dalam pelaksanaan SL-P2KP
Indikator
Value
Sig
Keterangan
Intensitas komunikasi vs
0,589
0,443
Tidak Nyata
Tingkat afeksi
Hasil uji pada Tabel 33 dapat dikatakan antara intensitas komunikasi
dengan tingkat afeksi terdapat hubungan tidak nyata dengan nilai signifikansi
sebesar 0,443 lebih besar dari alpha 0.05. Hubungan tidak nyata antara intensitas
komunikasi dengan tingkat afeksi ini menjelaskan bahwa kegiatan optimalisasi
pemanfaatan pekarangan (OPP) bukan merupakan hal yang baru karena sudah
dilakukan oleh petani sebelum kegiatan SL-P2KP dilaksanakan. Aktivitas
menanam sudah dilakukan petani sejak lama, telah disinggung sebelumnya
dimuka bahwa pekerjaan utama di desa adalah bertani, sehingga kegiatan
memanfaatkan lahan pekarangan yang diprogramkan di dukung oleh masyarakat
setempat. Dengan demikan dapat dijelaskan bahwa intensitas komunikasi yang
dilakukan pada tingkat afeksi petani mendukung kegiatan SL-P2KP sehingga
terdapat hubungan tidak nyata dan atau hubungannya lemah.
Hubungan antara intensitas komunikasi dengan aspek perilaku petani dalam
kegiatan SL-P2KP
Dalam pembahasan ini, peubah yang merupakan bagian dari intensitas
komunikasi adalah kehadiran penyuluh, peran penyuluh, pembicaraan di antara
sesama anggota KWT, pembicaraan di antara penyuluh dan responden (anggota
KWT) di dalam maupun di luar pertemuan dan frekuensi bertemu antara penyuluh
dengan responden (anggota KWT) di dalam maupun di luar pertemuan, sedangkan
peubah dari efektivitas komunikasi adalah aspek perilaku.
Untuk mengetahui adanya hubungan antara intensitas komunikasi
dengan perubahan perilaku, dilakukan pengujian melalui tabulasi silang.
68
Tabel 34 Jumlah persentase petani menurut intensitas komunikasi dan perubahan
perilaku petani dalam pelaksanaan SL-P2KP
Intensitas
Perilaku (%)
Jumlah
komunikasi
Tidak sesuai
Sesuai
Rendah
13,2
86,8
100
Tinggi
0
100,0
100
Pada tabel 34 dapat dilihat bahwa petani yang sama-sama memiliki
tingkat pengetahuan rendah maupun tinggi memiliki perilaku sesuai. Ini
menjelaskan bahwa dari dulu petani sudah tahu tentang optimalsasi pemanfaatan
pekarangan dan sudah melakukan penanaman tanaman di lahan pekarangan.
Untuk mengetahui tingkat hubungan antara intensitas komunikasi
terhadap perubahan perilaku dilakukan dengan menggunakan uji chi square.
Tabel 35. Hubungan antara intensitas komunikasi dengan perubahan perilaku
petani dalam pelaksanaan SL-P2KP
Indikator
Value
Sig
Keterangan
Intensitas komunikasi vs
3,158
0,076
Tidak nyata
Perubahan Perilaku
Hubungan antara intensitas komunikasi dan perubahan perilaku tidak
nyata atau lemah, dengan nilai signifikansi sebesar 0,076 yang lebih besar dari
pada alpha 0,05. Artinya walaupun petani mengetahui tujuan dan manfaat
optimalisasi pemanfaatan pekarangan (OPP) atau tingkat pengetahuan tinggi
namun tidak ada peningkatan untuk mengkonsumsi pangan lokal, hal ini
disebabkan karena yang diberikan bibit tanaman sayuran dan buah-buahan bukan
bibit tanaman pangan sumber karbohidrat. Masyarakat memang makan sumber
pangan yang lain namun hanya untuk makanan selingan bukan sebagai pengganti
beras. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hipotesis satu tentang ada
hubungan antara intensitas komunikasi dalam SL-P2KP dengan efektivitas
komunikasi (pengetahun, afeksi dan perubahan perilaku) pada masyarakat ditolak.
Artinya intensitas komunikasi dalam kegiatan SL-P2KP belum mampu
meningkatkan efektivitas komunikasi.
Perubahan hanya sedikit terlihat pada aspek pengetahuan dan aspek
afektif sedangkan aspek perilaku masih belum terlihat perubahannya. Salah satu
penyebab belum terjadinya perubahan karena kondisi fisik lahan yang tidak
mendukung seperti lahan/tanah yang gersang dan tidak subur, berdebu, kurang air,
ketersediaan bibit yang terbatas, penyuluh kadang-kadang saja membahas atau
membicarakan tentang optimalisasi pemanfaatan pekarangan (OPP) dan kurang
intensifnya sosialisasi tentang program SL-P2KP ini.
Hubungan Pengetahuan dan Afeksi terhadap Perubahan Perilaku
Hubungan Pengetahuan terhadap perubahan perilaku
Hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan nyata antara aspek
pengetahuan dan aspek afeksi terhadap perubahan perilaku petani.
69
Untuk mengetahui adanya hubungan antara pengetahuan dan afeksi
terhadap perubahan perilaku petani, dilakukan pengujian melalui tabulasi silang
Tabel 36.
Tabel 36 Jumlah persentase petani menurut tingkat pengetahuan terhadap
perubahan perilaku dalam pelaksanaan SL-P2KP
Perilaku (%)
Pengetahuan
Jumlah
Tidak sesuai
Sesuai
Rendah
0
100,0
100
Tinggi
13,2
86,8
100
Pada tabel 36 tampak tingkat pengetahuan petani baik rendah maupun
tinggi perilakunya sesuai. Beberapa petani 13,2% memiliki tingkat pengetahuan
tinggi, memiliki perilaku sesuai dikarenakan selain sudah memiliki pengetahuan
tentang P2KP, lahan petani yang tersedia sempit, bibit terbatas (bukan bibit
tanaman pangan lokal) dan air yang kurang atau tidak tersedianya sumur serta
kondisi iklim kemarau panjang.
Untuk melihat hubungan antara pengetahuan terhadap perubahan
perilaku petani, dilakukan pengujian statistik dengan menggunakan uji chi square.
Tabel 37 Hubungan antara tingkat pengetahuan dengan perubahan perilaku petani
dalam pelaksanaan SL-P2KP
Indikator
Value
Sig
Keterangan
Pengetahuan vs Perubahan perilaku
3,178
0,076
Tidak Nyata
Tabel 37 nampak bahwa antara pengetahuan dengan perubahan
perilaku berhubungan tidak nyata, dengan nilai signifikansi sebesar 0,076 yang
lebih besar dari alpha 0,05. Ini menjelaskan semakin tinggi tingkat pengetahuan
petani, memiliki kecenderungan semakin sesuai perilaku petani sebaliknya
semakin rendah pengetahuan petani, memiliki kecenderungan semakin tidak
sesuai perilaku petani terhadap kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan
(OPP).
Hubungan tidak nyata tersebut dikarenakan petani memiliki sudah
memiliki pengetahuan tentang cara menanam tanaman di lahan pekarangan
berkaitan dengan apa yang disuluhkan oleh penyuluh. Pengetahuan tersebut
diperoleh melalui penyuluhan yang dilakukan dinas terkait (Dinas Pertanian)
sebelum adanya kegiatan SL-P2KP. Dengan demikian tanpa disuluhpun petani
telah melakukan penanaman di ladang dan di lahan pekarangan. Demikian pula
dalam hal makanan tanpa disuluh petani di wilayah kajian (Kecamatan
Prambanan) sudah terbiasa mengkonsumsi pangan lokal (ubi jalar, ubi kayu,
jagung, talas dan garut). Namun tidak semua mengkonsumsi sebagai makanan
utama.
Perilaku tidak sesuai dapat dijelaskan bahwa apa yang disuluhkan
oleh penyuluh belum sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh petani seperti
bagaimana pengolahan pangan lokal dijadikan sebagai penganekaragaman pangan
(diversifikasi) dan pangan lokal dapat diproduksi dan dikembangkan sesuai
dengan potensi sumber daya wilayah dan budaya setempat. Selain itu perlu
disesuaikan dengan kondisi iklim setempat.
70
Hubungan afeksi terhadap perubahan perilaku
Tingkat afeksi merupakan bagian yang akan dibahas dalam
hubungannya dengan perilaku petani pada pelaksanaan SL-P2KP. Untuk
mengetahui adanya hubungan antara afeksi terhadap perubahan perilaku petani,
dilakukan pengujian melalui tabulasi silang. Secara terperinci jumlah persentase
petani menurut tingkat afeksi terhadap perubahan perilaku disajikan pada Tabel
38.
Tabel 38. Jumlah persentase petani menurut tingkat afeksi terhadap perubahan
perilaku dalam pelaksanaan SL-P2KP
Perilaku (%)
Afeksi
Jumlah
Tidak sesuai
Sesuai
Tidak mendukung
8,5
91,5
100
Mendukung
0
100,0
100
Pada Tabel 38 terlihat bahwa hampir semua tingkat afeksi petani baik
mendukung atau tidak ternyata tingkat perilaku mereka sesuai. Karena petani
sudah sering melakukan kegiatan penanaman tanaman dipekarangan rumah
sebelum adanya program ini. Aktivitas menanam sudah merupakan kebiasaan
yang dilakukan oleh petani baik di kebun/ladang dan dilahan pekarangan.
Beberapa petani yang tidak mendukung namun perilakunya sesuai. Dikarenakan
kondisi lahan yang tidak mendukung (halaman rumah sempit), bibit yang
disediakan terbatas dan bukan bibit tanaman pangan lokal, ketersediaan air yang
kurang akibat kondisi iklim saat itu kemarau panjang.
Untuk melihat hubungan antara afeksi terhadap perubahan perilaku
petani, dilakukan pengujian statistik dengan menggunakan uji chi square.
Tabel
39. Hubungan antara tingkat afeksi dengan perubahan perilaku petani
dalam pelaksanaan SL-P2KP
Indikator
Value
Sig
Keterangan
Afeksi vs perubahan perilaku
0,092
0,761
Tidak Nyata
Tabel 39 terlihat bahwa antara afeksi dengan perubahan perilaku
berhubungan tidak nyata. Perilaku menanam tidak ada hubungan dengan afeksi.
Meskipun pada aspek perilaku lebih banyak yang mendukung daripada yang tidak
mendukung, dan lebih banyak yang berperilaku sesuai. Hal ini disebabkan bahwa
perilaku menanam memang sudah menjadi kebiasaan sejak sebelum adanya
program SL-P2KP sehingga tidak berhubungan lagi dengan masalah mendukung
atau tidak mendukung pada program tersebut. Masyarakat tidak mendukung
karena memang tidak ada sarana prasarana, budaya setempat seperti masyarakat
sudah biasa menanam baik di ladang maupun di lahan pekarangan, sehingga
pengetahuan maupun afeksi yang ditimbulkan oleh penyuluhan tidak berpengaruh
banyak terhadap perilaku menanam.
Perilaku tidak sesuai ini lebih mengarah pada pola makan makanan
lokal atau pemanfaatannya (lihat tabel 29) dimana pangan lokal belum dijadikan
sebagai makanan utama lebih banyak petani menjadikan pangan lokal sebagai
makanan selingan. Harga bahan baku pangan lokal masih belum stabil dan relatif
71
lebih tinggi daripada harga terigu, sehingga harga produk akhir juga cenderung
lebih tinggi. Semakin banyak permintaan dan penawaran sedikit, maka harga
bahan baku pangan lokal cenderung mahal, begitu pula sebaliknya. Pada musim
panen, harga cenderung turun. Kondisi ini menyebabkan fluktuasi harga yang
sangat signifikan dan merugikan petani. Di sisi lain perilaku tidak sesuai
disebabkan karena waktu pelaksanaan yang relatif singkat kegiatan ini baru
dilaksanakan pada awal bulan Juni 2012.
Dengan demikan hipotesis kedua tentang adanya hubungan antara
pengtahuan dan afeksi petani peserta SL-P2KP terhadap perubahan perilaku
ditolak.
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Hasil penelitian tentang kegiatan SL-P2KP di Kecamatan Prambanan dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Pola komunikasi dilaksanakan dalam SL-P2KP menggunakan model komunikasi
terdiri dari arah: dua arah atau interaksional; cara lebih banyak diskusi dan
pertemuan kelompok; saluran komunikasi menggunakan surat edaran dan alat
peraga atau poster. Bahasa yang digunakan bahasa campuran antara bahasa Jawa
dan Indonesia; dan sumber utama informasi adalah penyuluh dan petani yang
berpengalaman.
2. Intensitas komunikasi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap
Efektivitas komunikasi (perubahan pengetahuan, afeksi dan perilaku) petani
P2KP dalam SL-P2KP. Dalam pelaksanaan program ini dapat dikatakan bahwa
komunikasi bukan salah satu aspek penentu perubahan perilaku tetapi juga perlu
di lihat kondisi setempat seperti fasilitas dan iklim ikut menentukan perilaku
petani sehubungan dengan kegiatan SL-P2KP. Kondisi fisik lahan setempat
seperti keadaan tanah yang gersang dan berdebu, ketersediaan bibit yang terbatas,
dan kurang air. Kurang intensifnya sosialisasi tentang adanya kegiatan ini turut
menyebabkan kurang berhasilnya program P2KP.
3. Aspek pengetahuan dan afeksi tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan
perilaku petani dalam SL-P2KP. Masyarakat terbiasa makan nasi sebagai sumber
pangan utama, sumber karbohidrat lain seperti ubi jalar, singkong, jagung, talas,
dan garut masih diolah sebagai makanan camilan/ makanan selingan. Wanita tani
yang tingkat pengetahuan SL-P2KP rendah maupun tinggi ternyata hampir
semuanya berperilaku sesuai dengan apa yang disosialisasikan dalam P2KP. Hal
ini disebabkan petani sudah sering melakukan kegiatan penanaman tanaman di
pekarangan rumah yang sebenarnya sudah disosialisasikan pemerintah pada
kegiatan-kegiatan penyuluhan selama ini. Hal yang sama pada aspek afeksi.
Petani mendukung maupun tidak program ini, hampir semuanya berperilaku
sesuai.
72
Saran
1. Perlu ada dukungan dari pemerintah di tingkat desa dan kecamatan terhadap
pelaksanaan P2KP terutama dalam hal ketersediaan faktor-faktor pendukung
seperti fasilitas lahan pekarangan sebagai demplot, bibit tanaman dan sumur
alternatif yang dekat dengan rumah penduduk ketika terjadi perubahan iklim.
Untuk dapat mendorong keberhasilan suatu program perlu juga meningkatkan
komunikasi (sosialisasi) dan menyediakan sarana produksi yang digunakan dalam
pengermbangan penganekaragaman pangan.
2. Kondisi lingkungan dapat mempengaruhi sikap petani terhadap teknologi. Kondisi
lingkungan alam yang kurang baik seperti tanah yang kering, iklim yang tidak
tentu, ketresediaan air yang terbatas dapat menyebabkan petani kurang responsif
menerima inovasi. Pada daerah seperti ini, aspek penyuluhan yang diberikan lebih
ditekankan pada pola makanan yang Beragam, Bergizi, Seimbang dan Aman
(B2SA) yang berbasis kearifan/sumberdaya lokal atau bagaimana memupuk yang
aman dengan pestisida nabati. Dengan perkataan lain penyuluhan harus sesuai
dengan kebutuhan masyarakat dan kondisi ekosistem yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Angsari. PS. 2008. “Peranan Perguruan Tinggi dalam Pengembangan SDM
Pembangunan”. Dalam Pemberdayaan Manusia Pembangunan Yang
Bermartabat. Di edit oleh: Adjat Sudrajat dan Ida Yustina. Bogor, Syndex
Plus.
Astuti U. 2007. Hubungan Karakteristik Individu dan Aktivitas Komunikasi
dengan Perilaku Masyarakat dalam Mengembangkan Perkampungan
Budaya Betawi Situ Babakan [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Azwar S. 2003. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta (ID):
Liberty.
Ariani. T. 2006 Jurnal Pangan dan Gizi (Persagi) Analisis Konsumsi Pangan
Tingkat Masyarakat Mendukung Pencapaian. Socio-economic Survey
(SUSENAS) year 2005-2009 obtained from the Food Security Council,
2008. www.persagi.org/proses/proses.Makalah. Di akses tanggal 28
Agustus 2012
Berlo D.K. 1960. The Process of Communication. Hort, Rienhart and Winston.
New York
BPS (Badan Pusat Statistik) Kabupaten Sleman. 2010. Kabupaten Sleman dalam
Angka tahun 2010. Kerjasama Badan Pusat Statistik dengan BAPPEDA
Kabupaten Sleman.
Departemen Pertanian, 1980. ”Pembinaan Kelompok tani”. Pusat Penyuluhan
Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta.
Departemen Pertanian, 2007. Pedoman Penumbuhan, Pengembangan dan
Gabungan Kelompok tani, Permentan No: 273/Kpts/OT.160/4/2007
tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani.
73
DeVito, JA.1997. Komunikasi Antar Manusia. Agus, M penerjemah. Jakarta:
Proffesional Books.
Dilla S. 2007. Komunikasi Pembangunan: Pendekatan Terpadu (ID): Bandung:
Simbiosa Rekatama Media.
Effendy, O.U. 2000. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. PT. Citra Aditya Bakti.
Bandung
___________. 2001. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Ed.Ke-14. Bandung:
Rosdakarya.
___________. 2006. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung PT. Remaja
Rosdakarya.
___________.2007. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, Bandung: PT Citra
Aditya Bakti.
Faisal S. 2001. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Far-Far R. 2011. Hubungan Komunikasi Interpersonal dengan Perilaku Petani
dalam Bercocok Tanam Padi Sawah di Desa Waimital Kabupaten Seram
Bagian Barat. Jurnal Budidaya Pertanian. 7(2):100-106.
Ibrahim, J.T., Armand Sudiyono, dan Harpowo. 2003. Komunikasi dan
Penyuluhan Pertanian. Banyumedia Publishing. Malang.
Ichwanudin, 1988. Hubungan Perilaku Peserta Kelompok Penggerak Pariwisata
(Kompepar) dengan Adopsi Program Sapta Pesona di Kabupaten
Sukabumi. Tesis Sekolah Pasca Sarjana- Jurusan Komunikasi
Pembangunan Pertanian - Institut Pertanian Bogor (IPB). Bogor
Ife J. 1995. Community Development: Creating community Iternatives-vision,
analysis and practice. Australia (AU): Longman Pty Ltd.
Israel, Arturo. 1990. Pengembangan Kelembagaan; Pengalaman ProyekProyek
Bank Dunia. Jakarta. LP3ES.
Ihsan. M.2009. Intensitas Komunikasi Petani Daerah Penyangga Kawasan Taman
Nasional Dalam Melakukan Konservasi Tanah Dan Air Secara
Berkelanjutan. (Kasus pada empat desa binaan Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango, Provinsi Jawa Barat). Tesis Sekolah Pasca SarjanaJurusan Komunikasi Pembangunan Pertanian - Institut Pertanian Bogor
(IPB). Bogor
Jahi, amri. 1988. Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negaranegara Dunia Ketiga: Status Pengantar. Penerbit PT Gramedia, Jakarta.
Kaliky R. 2002. Intensitas Komunikasi dan Persepsi Peternak terhadap
Keberlanjutan Adopsi Teknologi Perbaikan Pakan Ternak Sapi Perah
Periode Kering di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman
Yogyakarta [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Krzanowski W 2007, Statiscal Principles and Techniques in Scientific and Social
Research. OXFORD University Press.
Lestari SB, Mindarti S, Ratnada M, Hardi J, Sidu D, Ramija K dan Gufroni LM.
2001. Manajemen dan komunikasi penyuluhan. Yogyakarta: Penyuluhan
dan komunikasi pertanian UGM.
Leeuwis C. 2009. Komunikasi Untuk Inovasi Pedesaan. Berpikir Kembali tentang
Penyuluhan Pertanian. Yogyakarta: Kanisius.
Levis LR. 1996. Komunikasi Penyuluhan. Bandung: Citra aditya Bakti.
Lionberger, H.F. and P.H Gwin, 1983. Communication Strategies Illinois: The
Interdtate Orienters & Publishers, Inc.
74
Little John. SW, Foss, KA. 2009. Teori Komunikasi; Theories of Human
Communication Eigth Edition. Mohammad YH, penerjemah. Jakarta; Salemba
Humanika
Lubis D.P. 2009. Dasar-Dasar Komunikasi. Bogor: Sains KPM IPB Press.
Margono Slamet, 1989. “Kumpulan Bacaan Penyuluhan Pertanian”.Institut Pertanian
Bogor.
Melky Koli Baran, 2010. Sebuah artikel Kedaulatan Pangan dalam Harian Umum
Flores Pos, Flores Timur, 2 November 2010)
Mulyana, D. 1996. Human Communication: Prinsip-prinsip Dasar. PT Remaja
Rosdakarya. Bandung.
__________. 2007. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung.PT Remaja
Rosdakarya
Mulyana D., Gembirasari, penerjemah. Bandung (ID): Remaja Rosdakarya. Terjemahan
dari: Human Communication
Martianto D, Briawan D, Ariani M, dan Yulianis N. 2009. Jurnal Pangan dan Gizi, hal
45. Percepatan Diversifikasi Konsumsi Pangan Berbasis Pangan Lokal :
Perspektif Pejabat Daerah Dan Strategi Pencapaiannya
Mefalopulos 2008. Development communication sourcebook : broadening the
boundaries of communication.
Mardikanto T. 2010. Komunikasi Pembangunan; Acuan bagi Akademisi, Praktisi dan
Peminat Komunikasi Pembangunan. Cet.I Surakarta. UNS Press.
…………, 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta: UNS-Press
Melkote SR, Leslie HS, 2001. Communication for Development in the Third World:
Theory and Practice for Empowerment (2nd ed.), Newe Delhi, Thousand
Oaks, CA and London: Sage
Nair KS, White. SA. 2004. Participatory Message Development: Conceptual
Framework dalam White, SA dan Nair, KS, Ascroft, Joseph. 2004 .
Participatory Communaication Working for Change and Development, New
Delhi (IN): Sage Publication India Pvt. Ltd
Nasution Z. 2002. Komunikasi Pembangunan: Pengenalan Teori dan Penerapannya.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Pedum 2012. Pusat Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan Badan
Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian RI.
Robins S.P. 2002. Prinsip-prinsip Perilaku Organisasi. Alih Bahasa Halida. Jakarta;
Erlangga
Rogers, EM and F.F Shoemaker. 1971. Communication of Innovetion; A Cross
Cultural Approach. The Free Press. New York
. 1976. Communication in Organization New York: The Free Press.
_______. 1983. Diffussion of Innovation”, (Canada: The Free Press of Macmillan
Publishing Co)
Roger. B. Ellis Robert,J Gates and Neil kenwarthy, Interpersonal communication in
Nursing Theory and Practice, Churcill Livingstone, 1995
Ruben BD., Steward LP. 2005. Communication and Human Behaviour. USA (US):
Allyn and Bacon.
Saleh A. 2010. Komunikasi Kelompok. Dalam Dasar-dasar Komunikasi, Bogor;
Departemen Sain KPM-Fema IPB.
Soekartawi.2005. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Jakarta; UI Press
75
Soewardi. 1987. Perkembangan Penyuluhan Pertanian di Indonesia. Makalah disajikan
dalam Kongres PERHIPTANI Ke I di Subang, tanggal 4-6 Juli 1987
Sears, D.O.J.L Freedman & L.A Peplau. 2004. Psikologi Sosial. Erlangga Jakarta
Sereno, KK Bodaken, EM 1975. Trans-Per Understanding Human Communication.
Boston: Houghton Mifflin Company.
Singarimbun, M dan Effendi. 2010. Metode Penelitian Survei. LP3S. Jakarta.
Susiasumantri, J.S. 1993. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan
Slamet, M. 2003. Membentuk Pola Perilaku Pembangunan. Yustina, I., dan A.
Sudradjat (Editor). Bogor: IPB Press.
Suharsimi arikunto, Prosedur Penelitian (Jakarta: PT Rieneka Cipta, 2006) hlm 130
Sumardjo. 1999. Transformasi Model Penyuluhan Pertanian Menuju Pembangunan
Kemandirian Petani: Kasus di Provinsi Jawa Barat [disertasi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Tasmara T. 1997. Komunikasi Dakwah. Jakarta; Gaya Media Pratama
Tuti Sri S, Maksum, Vivit w.R, Suni T dan Juznia A. 2011 Laporan penelitian. Korelasi
Antara Stratifikasi Sosial Ekonomi, Model Difusi Dengan Adopsi Padi
Varietas Mekongga Inovasi Dan Aktivitas Komunikasi Pusat Penelitian Dan
Penyebaran Teknologi Pertanian Badan Penelitian Dan Pengembangan
Pertanian Kementerian Pertanian.
Tubs S.L. Moss, S. 2005. Human Communication. Prinsip-prinsip dasar. Bandung;
Remaja Rosdakarya
Tufte T. Mefalopulos P. 2009 A. Practical Guide Participatory Communication.
Washington (US): The world Bank
Uphoff, Norman 1986. Local Institutional Development an Anatical Sourcebook With
Cases, West Hartford Connedictut Kumarian Press
Van den Ban dan Hawkins. 2007. Penyuluhan Pertanian.Yogyakarta: Kanisius
Walgito, Bimo.2003. Pengantar Psikologi Umum. Andi. Yogyakarta.
Wardhani. AC . 1994; Hubungan Karakteristik Demografis dan Motivasi Kognitif
Peternak Dengan Penggunanaan Sumber-sumber Informasi Tentang Ayam
Buras di Desa Cisontrol, Kab. Ciamis. Thesis Program Pasca Sarjana Institut
Pertanian Bogor.
Wijadja A.W. 1986. Komunikasi dan Hubungan Masyarakat. Jakarta; Bina Aksara
Wiryanto. 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta (ID): Gramedia Widiasarana
Indonesia.
West, R., Turner LH. 2008. Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi. Ed. 3. Maria
NDM, penerjemah
Yohanes G Bulu 2010. Sikap dan Perilaku Petani terhadap Adopsi Teknologi Pertanian.
(www.iptek.apjii.or.id.25 Desember 2010). Di akses 25 Januari 2012
Zamzaini. 2007. Makalah Seminar Refleksi Pembangunan Pertanian. Fakultas
Pertanian. UNS 3 Juli 2007.
76
Lampiran 1 Peta Lokasi Penelitian
77
Lampiran 2: Kuistioner Penelitian Petani
SEKOLAH LAPANG PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN
KONSUMSI PANGAN (SL-P2KP) SEBAGAI MEDIA KOMUNIKASI
KERAGAMAN PANGAN
Kuesioner ini dibuat dalam rangka penyusunan tugas akhir Mariana Ondikeleuw
(I352100091), mahasiswa Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan
Pedesaan (KMP), Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor (SPs-IPB).
Atas kesediaan Bpk/ibu/Sdr/I untuk mengisinya dengan tepat, disampaikan terima
kasih
IDENTITAS RESPONDEN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Nama lengkap
Alamat
Desa /Kecamatan
Umur
Pendidikan Terakhir
Jenis kelamin
Nama kelompok tani
Nomor Responden
:
:
:RT/RW
:
:
: L/P
:
:
(tahun)
MAYOR KOMUNIKASI PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN
PEDESAAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
78
Bagian I. Karakteristik Individu
Pertanyaan berikut berhubungan dengan karakteristik individu Ibu,
yaitu umur, tingkat pendidikan, status dalam kelompok tani, pengalaman bertani,
status kepemilikan dan luas lahan kekosmopolitan, dan keterlibatan dalam
kelompok tani.
Petunjuk pengisian: Ibu silahkan mengisi pertanyaan berikut dengan
jawaban yang benar, sedangkan untuk pertanyaan pilihan, Ibu silahkan melingkari
salah satu atau lebih (sesuai pertanyaan) jawaban yang tepat.
1. Apakah status ibu dalam kelompok wanita tani ? a. Ketua b. Pengurus c.
Anggota
2. Berapa luas lahan pekarangan yang ibu miliki?
…m2
3. Berapa luas (m2) yang ditanami tanaman pangan? (Ubi jalar, Jagung,
Ketela pohon/singkong, Talas, Sayuran)........m2
4. Sudah berapa tahun Ibu tergabung dalam kelompok wanita tani?
a. Kurang dari tiga tahun
b. Lima tahun
c. Lebih dari tujuh tahun
5. Apa saja kegiatan Kelompok Wanita tani yang ibu ketahui? Sebutkan
………
6. Apakah setiap rapat Ibu di undang?
a. Selalu
b. Kadang-kadang
c. Tidak
7. Apakah setiap diundang ibu hadir?
a. Selalu
b. Kadang-kadang
c. Tidak pernah
Bagian II. Pola Komunikasi SL-P2KP
Pertanyaan berikut berhubungan dengan pola komunikasi, yaitu
model komunikasi (arah, saluran dan cara), bahasa, sumber komunikasi dan
intensitas komunikasi yang digunakan PPL dan THL dalam menyampaikan
kegiatan SL-P2KP.
Petunjuk pengisian: Ibu silahkan mengisi jawabannya, dengan member
tanda silang (X) pada jawaban yang benar salah satu atau lebih (sesuai
pertanyaan) dan menjelaskan jawaban itu.
1. Bagaimana cara menyampaikan kegiatan SL-P2KP? (pilihan boleh lebih
dari satu)
a. Ceramah
b. Diskusi
c. Pertemuan Kelompok
d. Praktek lapang,Poster
79
2. Bagaimana arah komunikasi dalam sekolah lapang-P2KP?
a. Satu arah skor 2
b. Dua arah
skor 3
c. Banyak arah skor 1
3. Dalam kegiatan Sekolah Lapang-P2KP apakah ada tanya jawab?
a. Selalu
b. Kadang-kadang
c. Tidak pernah
4. Saluran komunikasi apa saja yang digunakan dalam menyampaikan
informasi kegiatan SL-P2KP? (pilihan boleh lebih dari satu)
Saluran
Papa
Poster/alat
Televisi
Su
Komunikasi
yang n
peraga
rat
digunakan
pengumu
edaran
man
1. saluran
apa
yang
digunakan
dalam
menyampaikan materi
kegiatan
5. Ketika menyampaikan materi bahasa apa yang digunakan pendamping
lapangan?
a. Indonesia
b. Jawa
c. Campuran (Indonesia/Jawa)
6. Apakah ibu mengerti bahasa yang digunakan pendamping lapangan?
a. Mengerti
b. Sedikit mengerti
c. Tidak mengerti
7. Berapa kali pertemuan SL-P2KP dilakukan? …… kali (deskripsikan)
8. Berapa jam SL-P2KP dilaksanakan dalam satu hari? (deskripsikan)
9. Ada berapa topik yang diberikan dalam SL-P2KP? (deskripsikan)
10. Satu kali pertemuan SL-P2KP berapa topik yang di bahas? (deskripsikan)
11. Dari mana Ibu mendapat informasi tentang kegiatan SL-P2KP ( lebih dari
satu)
a. Kontak tani
b. Penyuluh/Pendamping P2KP
c. Pengurus (sekretaris, bendahara, koordinator) KWT
d. Sesama anggota
80
Bagian III. Intensitas Komunikasi SL-P2KP
1. Intensitas pembicaraan yang dilakukan PPL/THL terhadap anggota KWT
dan inisiatif ibu bertemu PPL/THL dalam 3 bulan terakhir
Keterangan
2.
3.
selalu
Kadang
-kadang
Tidak
pernah
Apakah ada pendamping
yang
hadir
dalam
kegiatan SL-P2KP?
Apakah yang dilakukan oleh pendamping lapangan dalam SL-P2KP?
(pilihan boleh lebih dari satu)
a. Merencanakan kegiatan SL-P2KP
b. Membimbing dalam kegiatan SL-P2KP
c. Memfasilitasi kegiatan SL-P2KP
Intensitas pembicaraan yang dilakukan PPL/THL terhadap anggota KWT
didalam pertemuan resmi 3 bulan terakhir
Keterangan
selalu Kadang
Tidak
-kadang
pernah
Dalam pertemuan
sekolah
lapang dengan pendamping
lapangan,
apakah
ibu
membicarakan kegiatan P2KP?
4. Apakah ada pembicaraan diantara sesama anggota baik dalam pertemuan
dan atau setelah Sekolah Lapang-P2KP?
a. Selalu
b. Kadang-kadang
c. Tidak pernah
5. Intensitas pembicaraan yang dilakukan PPL/THL terhadap anggota KWT
diluar pertemuan resmi 3 bulan terakhir.
Keterangan
selalu
Kadang
Tidak
-kadang
pernah
Jika
bertemu
diluar
pertemuan sekolah lapang
dengan
pendamping
lapangan,
apakah
ibu
membicarakan kegiatan SLP2KP?
81
6.
Frekuensi bertemu diantara PPL/THL dengan anggota KWT didalam dan
diluar pertemuan resmi 3 bulan terakhir
Keterangan
selalu Kadang
Tidak
-kadang
pernah
1. Dalam pertemuan sekolah
lapang dengan pendamping
lapangan, apakah ibu selalu
bertemu?
2. Setelah pertemuan sekolah
lapang, apakah ibu selalu
bertemu
dengan
pendamping?
Bagian IV. Efektivitas Komunikasi SL-P2KP
1. Tingkat Pengetahuan
1. Apa saja materi yang diberikan materi yang diberikan dalam SL-P2KP
(Pilihan boleh lebih dari 1)
a. Pengenalan tentang kegiatan SL-P2KP
b. Pemanfaatan pekarangan sebagai sumber pangan dan gizi keluarga
c. Sosialisasi Pengembangan Pekarangan Kelompok (persiapan lahan,
pemilihan budidaya tanaman pangan dan sayuran)
d. Menyusun menu beragam, bergizi, berimbang dan aman bagi keluarga
2. Apakah Jenis kegiatan SL-P2KP yang masih ibu ingat? (pilihan boleh
lebih dari satu)
a. Pembuatan demplot pekarangan
b. Mengembangkan kebun bibit Kelompok
c. Pembuatan pupuk organik
d. Demonstrasi penyediaan pangan dan penyiapan makanan 3B
3. Menurut Ibu, untuk apa SL-P2KP diadakan didaerah ini?
Jelaskan………..
a. Menambah pengetahuan pertanian
b. Meningkatkan pendapatan, menambah
c. penghasilan keluarga, mengurangi pengeluaran
d. Memanfaatkan pekarangan
e. Diversifikasi pangan lokal, tanaman umbi- umbian pengganti nasi
4. Mengapa SL-P2KP diberikan hanya untuk perempuan saja?Jelaskan ........
a. Peningkatan pendapatan rumah tangga
82
b. Menambah kegiatan ibu rumah tangga
c. Memberdayakan ibu-ibu
d. Ibu yang mengurus, mengatur rumah tangga
II. Tingkat Afeksi
Silahkan ibu/sdr menanggapi pernyataan berikut dengan memberikan
tanda (√) pada pilihan jawaban yang telah disediakan
ST = Setuju
RR= Ragu-ragu
TS= Tidak Setuju
No
Pernyataan
Skor Jawaban
ST
RR
TS
1.
Penganekaragaman Konsumsi Pangan
harus segera dilakukan
2.
kegiatan
SL-P2KP
mendorong
perempuan untuk memberikan beragam
makanan pokok pada keluarga
3.
Penganekaragaman Konsumsi Pangan
sulit dilakukan dalam keluarga
4.
Penganekaragaman Konsumsi Pangan
belum waktunya dilakukan
5.
Penganekaragaman Konsumsi Pangan
harus dilakukan oleh seluruh masyarakat
6.
Penganekaragaman Konsumsi Pangan
menghemat pengeluaran Rumahtangga
7.
Penganekaragaman Konsumsi Pangan
membantu Pemerintah dalam mengatasi
krisis beras
8.
Penganekaragaman Konsumsi Pangan
menambah beban kerja ibu rumah
tangga
III. Tingkat Perilaku
1. Sejak kapan Ibu menanam tanaman pangan di pekarangan milik ibu ?
a. Sejak sebelum ikut SLP2KP
b. Setelah ikut SLP2KP
c. Baru saja: th…………………
2. Tanaman apa yang ibu tanam? (lingkari huruf dan pilihan boleh lebih dari
satu)
a. Ubi jalar
b. Jagung
c. Singkong
d. Talas
e. Sayuran:……………………………………….
f. Buah-buahan : ………………………………..
83
3. Hasil tanaman pangan dimanfaatkan untuk apa saja oleh Ibu?
Dijual
Jenis
Makanan
Acara
Selingan
Utama
Khusus
Ubi jalar
Jagung
Singkong
Talas
(makanan utama adalah makanan yang dimakan paling sedikit satu
kali dalam satu hari)
4. Bagaimana ibu mengkonsumsi jenis makanan di bawah ini?
Jenis
Tanpa Lauk
Lauk Biasa
Lauk Tertentu
Dengan sayur
Ubi jalar
Jagung
Singkong
Talas
5. Apakah di kemudian hari ibu akan melanjutkan kegiatan SL-P2KP ini
di pekarangan ibu?
a. Ya (alasannya:………………………………………)
b. Tidak (alasannya:…………………………………….)
6. Dari mana ibu memperoleh bibit?
a. Disediakan petugas lapang
b. Membibit sendiri
c. Membeli dari sesama anggota
d. Membeli daripetani lain.
7. Pupuk apa yang ibu pakai?
a. Pupuk hijau, kandang,kompos
b. Pupuk hijau, Urea
c. Urea
8. Dari mana ibu mempeoleh pupuk?
a. Disediakan petugas lapang
b. Membibit sendiri
c. Membeli dari sesama anggota
d. Membeli daripetani lain.
9. Racun tanaman apa yang ibu pakai?
a. Mikro Organisme Lokal/MOL (Urin,rempah-rempah, empon-empon)
b. Larutan tembako
c. Pestisida
10. Dari mana ibu memperoleh racun tanaman tersebut?
a. Disediakan petugas lapang
b. Membibit sendiri
c. Membeli dari sesama anggota
d. Membeli daripetani lain
84
11. Masalah-masalah apa yang ibu hadapi dalam melaksanakan yang
diajarkan dalam SL-P2KP ?
Pertanyaan Terbuka Pendamping Lapangan
Silahkan Bapak/Ibu mengisi jawaban yang telah disediakan sesuai dengan
keadaan sebenarnya.
1. Bagaimana Bapak/Ibu melakukan pendampingan pada kelompok Tani
Wanita di Kecamatan Prambanan?
2. Apakah Bapak/Ibu memberikan materi pada peserta Sekolah Lapang
sudah sesuai kesepakatan bersama peserta SL-P2KP? Atau hanya
mengikuti cara Bapak/Ibu
3. Bagaimana kehadiran peserta SL-P2KP?
4. Metode apa yang Bapak/Ibu gunakan dalam proses Sekolah Lapang bagi
peserta?
5. Apakah materi yang diberikan sesuai dengan metode yang digunakan atau
berbeda?
6. Bagaimana Bapak/Ibu menyiapkan materi?
7. Bahasa apa yang Bapak/ibu gunakan dalam menyampaikan materi dalam
SL-P2KP?
8. Bagaimana partisipasi peserta dalam mengikuti kegiatan SL-P2KP?
9. Apakah Bapak/Ibu mengukur kejelasan materi yang diterima peserta SLP2KP?
10. Apakah alat ukur yang Bapak/Ibu gunakan untuk mengukur kejelasan
materi peserta SL-P2KP?
11. Contoh-contoh apa yang dilakukan untuk memperjelas materi kepada
peserta SL-P2KP?
12. Menurut pendapat Bapak/Ibu bagaimana respon peserta terhadap
pelaksanaan SL-P2KP?
13. Menurut pendapat Bapak/Ibu bagaimana peserta SL-P2KP
mau
melakukan apa yang diajarkan?
14. Apa hambatan yang dihadapi peserta dalam melaksanakan kegiatan SLP2KP?
15. Apakah ada hasil dari apa yang dilaksanakan oleh peserta yang telah
mengikuti pelatihan SL-P2KP?
16. Apakah alumni SL-P2KP juga mendampingi peserta yang sedang
mengikuti SL-P2KP? Dalam bentuk apa? (misalnya melakukan kunjungan,
memberikan informasi mencari bibit dan lainnya)
17. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu terhadap kegiatan SL-P2KP?
18. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu sebelum ada kegiatan SL-P2KP dan
setelah kegiatan ini berjalan?
19. Apakah ada kunjungan setelah pelaksanaan SL-P2KP
20. Apakah ada hambatan-hambatan yang muncul pada saat Bapak/Ibu
melakukan pendampingan di lapangan?
21. Bagaimana cara Bapak/Ibu mengatasi hambatan-hambatan yang muncul
tersebut?
85
22. Menurut Bapak/Ibu, peserta SL-P2KP dapat menerima kegiatan yang
dilakukan?
23. Tindakan apa yang Bapak/Ibu lakukan jika peserta SL-P2KP tidak hadir
(mendatangi atau membiarkan saja) Berikan alasan ………
Lampiran 3: HUBUNGAN ANTAR PEUBAH
1. Hubungan antara Intensitas Komunikasi dengan Tingkat Pengetahuan
Crosstabs
Warnings
CORR statistics are available for numeric data only.
Case Processing Summary
Cases
Valid
Missing
N
Percent
N
Percent
Intensitas
Pengetahuan
*
60
100.0%
0
0.0%
N
Total
Percent
60
100.0%
Intensitas * Pengetahuan Crosstabulation
Pengetahuan
Rendah
Tinggi
Count
14
24
Expected Count
13.9
24.1
Rendah % within Intensitas
36.8%
63.2%
%
within
63.6%
63.2%
Pengetahuan
Intensitas
Count
8
14
Expected Count
8.1
13.9
Tinggi
% within Intensitas
36.4%
63.6%
%
within
36.4%
36.8%
Pengetahuan
Count
22
38
Expected Count
22.0
38.0
Total
% within Intensitas
36.7%
63.3%
%
within
100.0%
100.0%
Pengetahuan
Total
38
38.0
100.0%
63.3%
22
22.0
100.0%
36.7%
60
60.0
100.0%
100.0%
86
Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square
Continuity
Correctionb
Likelihood Ratio
df
.00
1a
.00
0
.00
1
Asymp. Sig.
(2-sided)
1
.970
1
1.000
1
.970
Exact Sig.
(2-sided)
Fisher's Exact Test
Exact Sig. (1sided)
1.000
.597
N of Valid Cases
60
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8.07.
b. Computed only for a 2x2 table
Symmetric Measuresa
Value
N of Valid Cases
60
a. Correlation statistics are
available for numeric data
only.
2. Hubungan antara Intensitas Komunikasi dengan Tingkat Afeksi
Crosstabs
Warnings
CORR statistics are available for numeric data only.
Case Processing Summary
Intensitas * Afeksi
N
60
Valid
Percent
100.0%
N
0
Cases
Missing
Percent
0.0%
N
60
Total
Percent
100.0%
Intensitas * Afeksi Crosstabulation
Rendah
Intensitas
Tinggi
Total
Count
Expected Count
% within Intensitas
% within Afeksi
Count
Expected Count
% within Intensitas
% within Afeksi
Count
Expected Count
% within Intensitas
% within Afeksi
Afeksi
Mendukung Tidak Me
37
1
37.4
6
97.4%
2.6%
62.7%
100.0%
22
0
21.6
0.4
100.0%
0.0%
37.3%
0.0%
59
1
59.0
1.0
98.3%
1.7%
100.0%
100.0%
Total
38
38.0
100.0%
63.3%
22
22.0
100.0%
36.7%
60
60.0
100.0%
100.0%
87
Chi -Square Tests
Pearson Chi-Square
Continuity Correction
Value
df
a
1
.589
b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2sided)
.443
.000
1
1.000
.923
1
.337
Fisher's Exact Test
Exact Sig. (2sided)
Exact Sig. (1sided)
1.000
.633
N of Valid Cases
60
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .37.
b. Computed only for a 2x2 table
Symmetric Measuresa
Value
N of Valid Cases
60
a. Correlation statistics are
available for numeric data only.
3. Hubungan antara Intensitas Komunikasi dengan Tingkat Perilaku
Crosstabs
Warnings
CORR statistics are available for numeric data only.
Case Processing Summary
Intensitas * Perilaku
N
60
Valid
Percent
100.0%
N
0
Cases
Missing
Percent
0.0%
N
60
Total
Percent
100.0%
Intensitas * Perilaku Crosstabulation
Rendah
Intensitas
Tinggi
Total
Count
Expected Count
% within Intensitas
% within Perilaku
Count
Expected Count
% within Intensitas
% within Perilaku
Count
Expected Count
% within Intensitas
% within Perilaku
Perilaku
Sesuai
Tidak se
33
5
34.8
3.2
86.8%
13.2%
60.0%
100.0%
22
0
20.2
1.8
100.0%
0.0%
40.0%
0.0%
55
5
55.0
5.0
91.7%
8.3%
100.0%
100.0%
Total
38
38.0
100.0%
63.3%
22
22.0
100.0%
36.7%
60
60.0
100.0%
100.0%
88
Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square
Continuity Correction
df
a
1
Asymp. Sig. (2sided)
.076
1.670
1
.196
4.828
1
.028
3.158
b
Likelihood Ratio
Exact Sig. (2sided)
Exact Sig. (1sided)
.148
.092
Fisher's Exact Test
N of Valid Cases
60
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.83.
b. Computed only for a 2x2 table
a
Symmetric Measures
Value
N of Valid Cases
60
a. Correlation
statistics
are
available for numeric data only.
4. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dengan Perubahan Perilaku
Crosstabs
Warnings
CORR statistics are available for numeric data only.
Case Processing Summary
Pengetahuan * Perilaku
N
60
Valid
Percent
100.0%
N
0
Cases
Missing
Percent
0.0%
N
60
Total
Percent
100.0%
Pengetahuan * Perilaku Crosstabulation
Rendah
Pengetahuan
Tinggi
Total
Count
Expected Count
% within Pengetahuan
% within Perilaku
Count
Expected Count
% within Pengetahuan
% within Perilaku
Count
Expected Count
% within Pengetahuan
% within Perilaku
Perilaku
Sesuai
Tidak se
22
0
20.2
1.8
100.0%
0.0%
40.0%
0.0%
33
5
34.8
3.2
86.8%
13.2%
60.0%
100.0%
55
5
55.0
5.0
91.7%
8.3%
100
100
.0%
.0%
Total
22
22.0
100.0%
36.7%
38
38.0
100.0%
63.3%
60
60.0
100.0%
100.0%
89
Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square
Continuity Correction
a
1
Asymp. Sig.
(2-sided)
.076
1.670
1
.196
4.828
1
.028
3.158
b
Likelihood Ratio
df
Exact Sig. (2sided)
Exact Sig. (1sided)
.148
.092
Fisher's Exact Test
N of Valid Cases
60
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.83.
b. Computed only for a 2x2 table
Symmetric Measuresa
Value
N of Valid Cases
60
a. Correlation statistics are
available for numeric data
only.
5. Hubungan antara ingkat Afeksi dengan Perubahan Perilaku
Crosstabs
Warnings
CORR statistics are available for numeric data only.
Case Processing Summary
Afeksi * Perilaku
N
60
Valid
Percent
100.0%
N
0
Cases
Missing
Percent
0.0%
N
60
Total
Percent
100.0%
Afeksi * Perilaku Crosstabulation
Mendukung
Afeksi
Tidak Me
Total
Count
Expected Count
% within Afeksi
% within Perilaku
Count
Expected Count
% within Afeksi
% within Perilaku
Count
Expected Count
% within Afeksi
% within Perilaku
Perilaku
Sesuai
Tidak se
54
5
54.1
4.9
91.5%
8.5%
98.2%
100.0%
1
0
.9
.1
100.0%
0.0%
1.8%
0.0%
55
5
55.0
5.0
91.7%
8.3%
100.0%
100.0%
Total
59
59.0
100.0%
98.3%
1
1.0
100.0%
1.7%
60
60.0
100.0%
100.0%
90
Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square
Continuity Correction
1
Asymp. Sig. (2sided)
.761
.000
1
1.000
.176
1
.675
.092
b
Likelihood Ratio
Fisher's Exact Test
df
a
Exact Sig. (2sided)
Exact Sig. (1sided)
1.000
.917
N of Valid Cases
60
a. 3 cells (75.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .08.
b. Computed only for a 2x2 table
Symmetric Measuresa
Val
ue
N of Valid
Cases
60
a. Correlation statistics
are available for numeric data
only.
91
Lampiran 4: Susunan Pengurus Kelompok Wanita Tani di Kecamatan
Prambanan
Kelompok Wanita Tani ” MAWAR ”
Alamat : Dusun Daleman, Sumberharjo, Prambanan, Sleman,
Yogyakarta
SUSUNAN PENGURUS
Pelindung
: Bp. Kadus Daleman
Pembina
: PPL
No
Nama
Jabatan dalam
.
kelompok
1
Ny. Parmo Suprapto
Ketua
2
Warsini
Wakil Ketua
3
Tri Winarni
Sekretaris I
4
Rubini
Sekretaris II
5
Nuryani Leastari
Bendahara I
6
Sri Mulat Handayani
Bendahara II
7
Trisno Wiyono
Seksi Usaha
8
Adi Wiyono
Seksi Pertanian
9
Sumiyati
Seksi Humas
10
Sumini
Seksi Humas
11
Titi Darmini
Anggota
12
WIdyo N
Anggota
13
Surtiasih
Anggota
14
Suratmi
Anggota
15
Hadi Harjo
Anggota
16
Tutik Pras
Anggota
17
Wasidah
Anggota
18
Tumini
Anggota
19
Jiwo S
Anggota
20
Mujiyem
Anggota
21
Suyatmi
Anggota
22
Warni
Anggota
23
Tuminah
Anggota
24
Tumini
Anggota
25
Tuminah
Anggota
26
Adi Arjo
Anggota
27 Yoso
Anggota
28
Ngatiyem
Anggota
29
Suwarni
Anggota
Alamat
Daleman, Sumberharjo
Daleman, Sumberharjo
Daleman, Sumberharjo
Daleman, Sumberharjo
Daleman,Sumberharjo
Daleman, Sumberharjo
Daleman, Sumberharjo
Daleman, Sumberharjo
Daleman, Sumberharjo
Daleman, Sumberharjo
Daleman, Sumberharjo
Daleman, Sumberharjo
Daleman, Sumberharjo
Daleman, Sumberharjo
Daleman, Sumberharjo
Daleman, Sumberharjo
Daleman, Sumberharjo
Daleman, Sumberharjo
Daleman, Sumberharjo
Daleman, Sumberharjo
Daleman, Sumberharjo
Daleman, Sumberharjo
Daleman, Sumberharjo
Daleman, Sumberharjo
Daleman, Sumberharjo
Daleman, Sumberharjo
Daleman, Sumberharjo
Daleman, Sumberharjo
Daleman, Sumberharjo
92
Kelompok Wanita Tani ” PERINTIS ”
Alamat : Dusun Gangsiran, Madurejo, Prambanan, Sleman,
Yogyakarta
SUSUNAN PENGURUS
Pelindung
Pembina
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
: Bp. Kadus Gangsiran
: PPL
Nama
Surati
Mulyani
Naning Purwanti
Siti Romlah
Sugiyanti
Mami Indarwati
Ny. Marsudi
Aminah
Sri Sukamti
Sudilah
Ny. Cipto
Sumaryati
Suharni
Supriyantini
Salinem
Kristin Astuti
Sumarni
Suchiyatmi
Murjiyah
J. Salinem
Kartimah
Aminah
Sri Widayati
Yayuk
Zubaedah
Titik Rahardjo
Yuliana Sriwiratmi
Tugiyah
Menuk Suyati
Sugiyati
Jiwo Sumarto
Jabatan dalam
kelompok
Ketua I
Ketua II
Sekretaris I
Sekretaris II
Bendahara I
Bendahara II
Seksi Usaha
Seksi Usaha
Seksi Usaha
Seksi Usaha
Seksi Humas
Seksi Humas
Seksi Humas
Seksi Humas
anggota
Anggota
Anggota
anggota
Anggota
anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Alamat
Gangsiran
Gangsiran
Gangsiran
Gangsiran
Gangsiran
Gangsiran
Gangsiran
Gangsiran
Gangsiran
Gangsiran
Gangsiran
Gangsiran
Gangsiran
Gangsiran
Gangsiran
Gangsiran
Gangsiran
Gangsiran
Gangsiran
Gangsiran
Gangsiran
Gangsiran
Gangsiran
Gangsiran
Gangsiran
Gangsiran
Gangsiran
Gangsiran
Gangsiran
Gangsiran
Gangsiran
93
FOTO-FOTO KEGIATAN SL-P2KP
a.
Kebun Kelompok, tanaman kering dan mati
b.
Tidak ada air tanaman cabe dan pisang kuning dan layu
c.
Wawancara di lahan petani
94
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kampung Harapan (kota Nikah) Sentani pada
tanggal 17 Februari 1973 dari ayah Soleman Ondikeleuw dan ibu Martha Ongge.
Penulis adalah putri ke empat dari sembilan bersaudara.
Tahun 1992 penulis lulus dari SMA Negeri I Jayapura dan pada tahun
yang sama lulus seleksi masuk Universitas Negeri Cenderawasih Jayapura serta
diterima pada Program Studi Antropology, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
dan menamatkannya tahun 1998. Penulis diterima menjadi staf peneliti pada
instansi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Provinsi Papua melalui
pengangkatan tenaga honorer/tenaga kontrak pada tahun 1999-2007, dan tahun
2007 penulis diangkat sebagai staf tetap/ Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tahun
2010 didukung oleh Pemerintah Provinsi Papua dan Beasiswa Petugas Belajar
Kementerian (LITBANG) Pertanian, penulis berkesempatan melanjutkan studi
Program Magister Pascasarjana pada Mayor Komunikasi Pembangunan Pertanian
dan Pedesaan, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor .
Download