bab ii motor induksi tiga phasa - USU-IR

advertisement
BAB II
MOTOR INDUKSI TIGA PHASA
II.1
Umum
Motor induksi merupakan motor arus bolak – balik ( AC ) yang paling luas
digunakan dan dapat dijumpai dalam setiap aplikasi industri maupun rumah
tangga. Penamaannya berasal dari kenyataan bahwa arus rotor motor ini bukan
diperoleh dari sumber tertentu, tetapi merupakan arus yang terinduksi sebagai
akibat adanya perbedaan relatif antara putaran rotor dengan medan putar (rotating
magnetic field) yang dihasilkan arus stator.
Motor ini memiliki konstruksi yang kuat, sederhana, handal, serta berbiaya
murah. Di samping itu motor ini juga memiliki effisiensi yang tinggi saat
berbeban penuh dan tidak membutuhkan perawatan yang banyak. Akan tetapi
jika dibandingkan dengan motor DC, motor induksi masih memiliki kelemahan
dalam hal pengaturan kecepatan. Dimana pada motor induksi pengaturan
kecepatan sangat sukar untuk dilakukan, sementara pada motor DC hal yang sama
tidak dijumpai.
II.2
Konstruksi Motor Induksi Tiga Phasa
Secara umum motor induksi terdiri dari rotor dan stator. Rotor merupakan
bagian yang bergerak, sedangkan stator bagian yang diam. Diantara stator dengan
rotor ada celah udara yang jaraknya sangat kecil. Konstruksi motor induksi dapat
dilihat pada gambar 2.1.
Universitas Sumatera Utara
Rotor
Stator
Gambar 2.1. Penampang rotor dan stator motor induksi
Komponen stator adalah bagian terluar dari motor yang merupakan bagian
yang diam dan mengalirkan arus phasa. Stator terdiri atas tumpukan laminasi inti
yang memiliki alur yang menjadi tempat kumparan dililitkan yang berbentuk
silindris. Alur pada tumpukan laminasi inti diisolasi dengan kertas (Gambar
2.2.(b)). Tiap elemen laminasi inti dibentuk dari lembaran besi (Gambar 2.2 (a)).
Tiap lembaran besi tersebut memiliki beberapa alur dan beberapa lubang pengikat
untuk menyatukan inti. Tiap kumparan tersebar dalam alur yang disebut belitan
phasa dimana untuk motor tiga phasa, belitan tersebut terpisah secara listrik
sebesar 120o. Kawat kumparan yang digunakan terbuat dari tembaga yang dilapis
dengan isolasi tipis. Kemudian tumpukan inti dan belitan stator diletakkan dalam
cangkang silindris (Gambar 2.2.(c)). Berikut ini contoh lempengan laminasi inti,
lempengan inti yang telah disatukan, belitan stator yang telah dilekatkan pada
cangkang luar untuk motor induksi tiga phasa.
(a)
(b)
Universitas Sumatera Utara
(c)
Gambar 2.2. Menggambarkan komponen stator motor induksi tiga phasa,
(a) Lempengan inti,
(b) Tumpukan inti dengan kertas isolasi pada beberapa alurnya.
(c) Tumpukan inti dan kumparan dalam cangkang stator.
Rotor motor induksi tiga phasa dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu
rotor sangkar (squirrel cage rotor) dan rotor belitan (wound rotor). Rotor sangkar
terdiri dari susunan batang konduktor yang dibentangkan ke dalam slot – slot
yang terdapat pada permukaan rotor dan tiap – tiap ujungnya dihubung singkat
dengan menggunakan shorting rings.
(a)
(b)
Gambar 2.3. Rotor sangkar, (a) Tipikal rotor sangkar
(b) Bagian – bagian rotor sangkar
Universitas Sumatera Utara
Sementara itu pada rotor belitan, rotornya dibentuk dari satu set belitan
tiga phasa yang merupakan bayangan dari belitan statornya. Biasanya belitan tiga
phasa dari rotor ini terhubung Y dan kemudian tiap - tiap ujung dari tiga kawat
rotor tersebut diikatkan pada slip ring yang berada pada poros rotor. Pada motor
induksi rotor belitan, rangkaian rotornya dirancang untuk dapat disisipkan dengan
tahanan eksternal, yang mana hal ini akan memberikan keuntungan dalam
memodifikasi karakteristik torsi – kecepatan dari motor.
(a)
(b)
Gambar 2.4. (a) Rotor belitan
(b) Motor induksi rotor belitan
II.3
Medan Putar
Perputaran motor pada mesin arus bolak – balik ditimbulkan oleh adanya
medan putar ( fluks yang berputar ) yang dihasilkan dalam kumparan statornya.
Medan putar ini terjadi apabila kumparan stator dihubungkan dalam fasa banyak,
umumnya fasa 3. Hubungan dapat berupa hubungan bintang atau delta.
Misalkan kumparan a – a; b – b; c – c dihubungkan 3 fasa, dengan beda
fasa masing – masing 1200 ( gambar 2.5a ) dan dialiri arus sinusoid. Distribusi
arus ia, ib, ic sebagai fungsi waktu adalah seperti gambar 2.5b. Pada keadaan t1, t2,
Universitas Sumatera Utara
t3, dan t4, fluks resultan yang ditimbulkan oleh kumparan tersebut masing –
masing adalah seperti gambar 2.6c, d, e, dan f.
Pada t1 fluks resultan mempunyai arah sama dengan arah fluks yang
dihasilkan oleh kumparan a – a; sedangkan pada t2, fluks resultannya mempunyai
arah sama dengan arah fluks yang dihasilakan oleh kumparan c – c; dan untuk t3
fluks resultan mempunyai arah sama dengan fluks yang dihasilkan oleh kumparan
b – b. Untuk t4, fluks resultannya berlawanan arah dengan fluks resultan yang
dihasilkan pada saat t1 keterangan ini akan lebih jelas pada analisa vektor.
Gambar 2.5. (a) Diagram phasor fluksi tiga phasa
(b) Arus tiga phasa setimbang
(b) Arus tiga phasa setimbang
Gambar 2.6. Medan putar pada motor induksi tiga phasa
Universitas Sumatera Utara
Dari gambar c, d ,e, dan f tersebut terlihat fluks resultan ini akan berputar
satu kali. Oleh karena itu untuk mesin dengan jumlah kutub lebih dari dua,
kecepatan sinkron dapat diturunkan sebagai berikut :
ns =
120. f
p
ns = kecepatan sinkron ( rpm )
f = frekuensi ( Hz )
p = jumlah kutub
II.3.1 Analisis Secara Vektor
Analisis secara vektor didapatkan atas dasar:
1. Arah fluks yang ditimbulkan oleh arus yang mengalir dalam suatu
lingkar sesuai dengan perputaran sekrup ( gambar 2.7 ).
Gambar 2.7. Arah fluks yang ditimbulkan oleh arus yang mengalir
dalam suatu lingkar
2. Kebesaran fluks yang ditimbulkan ini sebanding dengan arus yang
mengalir.
Notasi yang dipakai untuk menyatakan positif atau negatifnya arus yang
mengalir pada kumparan a – a, b – b, dan c – c yaitu: harga positif, apabila tanda
silang (x) terletak pada pangkal konduktor tersebut ( titik a, b, c ), sedangkan
Universitas Sumatera Utara
negatif apabila tanda titik ( . ) terletak pada pangkal konduktor tersebut (gambar
2.8 ). Maka diagram vektor untuk fluks total pada keadaan t1, t2, t3, t4, dapat
dilihat pada gambar 2.8.
Gambar 2.8. Diagram vektor untuk fluks total pada keadaan t1, t2, t3, t4
Dari semua diagram vektor di atas dapat pula dilihat bahwa fluks resultan
berjalan (berputar).
II.4
Prinsip Kerja Motor Induksi Tiga Phasa
Pada keadaan beban nol ketiga phasa stator yang dihubungkan dengan
sumber tegangan tiga phasa yang setimbang menghasilkan arus pada tiap belitan
phasa. Arus pada tiap phasa menghasilkan fluksi bolak-balik yang berubah-ubah.
Amplitudo fluksi yang dihasilkan berubah secara sinusoidal dan arahnya tegak
lurus terhadap belitan phasa. Akibat fluksi yang berputar timbul ggl pada stator
motor yang besarnya adalah
e1 = − N 1
dΦ
( Volt )...................................(2.1)
dt
Universitas Sumatera Utara
e1 = 4,44 fN 1Φ ( Volt )..................................(2.2)
atau
Penjumlahan ketiga fluksi bolak-balik tersebut disebut medan putar yang
berputar dengan kecepatan sinkron ns, besarnya nilai ns ditentukan oleh jumlah
kutub p dan frekuensi stator f yang dirumuskan dengan
ns =
120 × f
p
( rpm ).....................................(2.3)
Fluksi yang berputar tersebut akan memotong batang konduktor pada
rotor. Akibatnya pada kumparan rotor timbul tegangan induksi (ggl) sebesar E2
yang besarnya
E 2 = 4,44 fN 2 Φ m ( Volt )...............................(2.4)
dimana :
E2 = Tegangan induksi pada rotor saat rotor dalam keadaan diam (Volt)
N2 = Jumlah lilitan kumparan rotor
Фm = Fluksi maksimum(Wb)
Karena kumparan rotor merupakan rangkaian tertutup, maka ggl tersebut
akan menghasilkan arus I2. Adanya arus I2 di dalam medan magnet akan
menimbulkan gaya F pada rotor. Bila kopel mula yang dihasilkan oleh gaya F
cukup besar untuk memikul kopel beban, rotor akan berputar searah medan putar
stator. Perputaran rotor akan semakin meningkat hingga mendekati kecepatan
sinkron. Perbedaan kecepatan medan stator (ns) dan kecepatan rotor (nr) disebut
slip (s) dan dinyatakan dengan
s=
ns − n r
× 100% ........................................(2.5)
ns
Universitas Sumatera Utara
Pada saat rotor dalam keadaan berputar, besarnya tegangan yang
terinduksi pada kumparan rotor akan bervariasi tergantung besarnya slip.
Tegangan induksi ini dinyatakan dengan E2s yang besarnya
E 2s = 4,44 sfN 2 Φ m ( Volt )..........................(2.6)
dimana :
E2s = tegangan induksi pada rotor dalam keadaan berputar (Volt)
f2
= s.f = frekuensi rotor (frekuensi tegangan induksi pada rotor dalam
keadaan berputar)
Bila ns = nr, tegangan tidak akan terinduksi dan arus tidak akan mengalir
pada kumparan rotor, karenanya tidak dihasilkan kopel. Kopel ditimbulkan jika nr
< ns
II.5
Rangkaian Ekivalen Motor Induksi
II.5.1 Rangkaian Ekivalen Stator
Untuk mempermudah analisis motor induksi, digunakan metoda rangkaian
ekivalen per – fasa. Motor induksi dapat dianggap sebagai transformator dengan
rangkaian sekunder berputar. Rangkaian ekivalen statornya dapat digambarkan
sebagai berikut :
R1
I2
X1
I0
I1
V1
Rc
Ic X m I m
E1
Gambar 2.9. Rangkaian ekivalen stator motor induksi
Universitas Sumatera Utara
dimana :
V1 = tegangan terminal stator ( Volt )
E1 = ggl lawan yang dihasilkan oleh fluks celah udara resultan ( Volt )
I1 = arus stator ( Ampere )
R1 = tahanan efektif stator ( Ohm )
X1 = reaktansi bocor stator ( Ohm )
Arah positif dapat dilihat pada rangkaian Gambar 2.9.
Arus stator terbagi atas 2 komponen, yaitu komponen arus beban dan komponen
arus penguat I0. Komponen arus penguat I0 merupakan arus stator tambahan yang
diperlukan untuk menghasilkan fluksi celah udara resultan, dan merupakan fungsi
ggm E1.
Komponen arus penguat I0 terbagi atas komponen rugi – rugi inti IC yang
sefasa dengan E1 dan komponen magnetisasi IM yang tertinggal 900 dari E1.
Hubungan antara tegangan yang diinduksikan pada rotor sebenarnya (
Erotor ) dan tegangan yang diinduksikan pada rotor ekivalen ( E2S ) adalah :
E2S
N
= 1 =a
N2
E rotor
atau
E2S = a Erotor ……………………………... ( 2.7 )
dimana a adalah jumlah lilitan efektif tiap fasa pada lilitan stator yang banyaknya
a kali jumlah lilitan rotor.
Bila rotor – rotor diganti secara magnetik, lilitan – ampere masing –
masing harus sama, dan hubungan antara arus rotor sebenarnya Irotor dan arus I2S
pada rotor ekivalen adalah :
Universitas Sumatera Utara
I2S =
I rotor
………………………………. ( 2.8 )
a
sehingga hubungan antara impedansi bocor frekuensi slip Z2S dari rotor ekivalen
dan impedansi bocor frekuensi slip Zrotor dari rotor sebenarnya adalah :
Z2S =
E2S
a 2 E rotor
=
= a 2 Z rotor …………( 2.9 )
I 2S
I rotor
Nilai tegangan, arus dan impedansi tersebut diatas didefinisikan sebagai nilai yang
referensinya ke stator.
Selanjutnya persamaan ( 2.9 ) dapat dituliskan :
E2S
= Z 2 S = R2 + jsX 2 ………………...( 2.10 )
I 2S
dimana :
Z2S =
impedansi bocor rotor frekuensi slip tiap fasa dengan referensi ke
stator ( Ohm ).
R2
=
sX2 =
tahanan efektif referensi ( Ohm )
reaktansi bocor referensi pada frekuensi slip X2 didefinisikan
sebagai harga reaktansi bocor rotor dengan referensi frekuensi
stator ( Ohm ).
II.5.2 Rangkaian Ekivalen Rotor
Reaktansi yang didapat pada persamaan (2.10) dinyatakan dalam cara
yang demikian karena sebanding dengan frekuensi rotor dan slip. Jadi X 2
didefinisikan sebagai harga yang akan dimiliki oleh reaktansi bocor pada rotor
dengan patokan pada frekuensi stator.
Universitas Sumatera Utara
Pada stator ada gelombang fluks yang berputar pada kecepatan sinkron.
Gelombang fluks ini akan mengimbaskan tegangan pada rotor dengan frekuensi
slip sebesar E 2 s dan ggl lawan stator E1 . Bila bukan karena efek kecepatan,
tegangan rotor akan sama dengan tegangan stator, karena lilitan rotor identik
dengan lilitan stator. Karena kecepatan relatif gelombang fluks terhadap rotor
adalah s kali kecepatan terhadap stator, hubungan antara ggl efektif pada stator
dan rotor adalah:
E 2 s = sE1 …………………………...…….(2.11)
Gelombang fluks magnetik pada rotor dilawan oleh fluks magnetik yang
dihasilkan komponen beban I 2 dari arus stator, dan karenanya, untuk harga
efektif
I 2 s = I 2 .......................................................(2.12)
Dengan membagi persamaan (2.11) dengan persamaan (2.12) didapatkan:
E2S
sE
= 1 ………………………………..(2.13)
I 2S
I2
Didapat hubungan antara persamaan (2.12) dengan persamaan (2.13), yaitu
E2S
sE
= 1 = R2 + jsX 2 ……..........……....(2.14)
I 2S
I2
Dengan membagi persamaan (2.14) dengan s, maka didapat
E1 R2
=
+ jX 2 …………….………...……(2.15)
I2
s
Dari persamaan (2.15) dapat dibuat rangkaian ekivalen untuk rotor.
Universitas Sumatera Utara
Dari persamaan (2.10) , (2.11) dan (2.15) maka dapat digambarkan rangkaian
ekivalen pada rotor sebagai berikut :
R2
E2 s
I2
R2
X2
I2
sX 2
R2
s
E1
X2
I2
1
R2 ( − 1)
s
E1
Gambar 2.10. Rangkaian ekivalen pada rotor motor induksi.
R
R2
= 2 + R2 - R2
s
s
1
R2
= R2 + R2 ( − 1) ………………...........(2.16)
s
s
Dari penjelasan mengenai rangkaian ekivalen pada stator dan rotor di atas,
maka dapat dibuat rangkaian ekivalen motor induksi tiga fasa pada masing –
masing fasanya. Perhatikan gambar di bawah ini.
R1
I2
X1
IΦ
I1
V1
sX 2
Rc
Ic
X m Im
I2
E1
sE 2
R2
Gambar 2.11. Rangkaian ekivalen motor induksi tiga phasa
Universitas Sumatera Utara
Untuk mempernudah perhitungan maka rangkaian ekivalen pada gambar
2.11 diatas dapat dilihat dari sisi stator, rangkaian ekivalen motor induksi tiga fasa
akan dapat digambarkan sebagai berikut.
R1
I '2
X1
'
I0
I1
V1
X2
E1
Rc
Xm
Im
R2
s
'
Ic
Gambar 2.12. Rangkaian ekivalen dilihat dari sisi stator motor induksi
Atau seperti gambar berikut :
R1
I '2
X1
'
R'2
I0
I1
V1
X2
Xm
Rc
Im
E1
' 1
R2 ( − 1)
s
Ic
Gambar 2.13. Rangkaian ekivalen dilihat dari sisi stator motor induksi
Dimana:
X '2 = a 2 X 2
R ' 2 = a 2 R2
Universitas Sumatera Utara
Dalam teori transformator-statika, analisis rangkaian ekivalen sering
disederhanakan dengan mengabaikan seluruh cabang penalaran atau melakukan
pendekatan dengan memindahkan langsung ke terminal primer. Pendekatan
demikian tidak dibenarkan dalam motor induksi yang bekerja dalam keadaan
normal, karena adanya celah udara yang menjadikan perlunya suatu arus
peneralan yang sangat besar (30% sampai 40% dari arus beban penuh) dan karena
reaktansi bocor juga perlu lebih tinggi. Untuk itu dalam rangkaian ekivalen Rc
dapat dihilangkan (diabaikan). Rangkaian ekivalen menjadi gambar berikut.
R1
I '2
X1
'
R'2
I0
I1
V1
X2
Xm
E1
' 1
R2 ( − 1)
s
Gambar 2.14. Rangkaian ekivalen lain dari motor induksi
II.6
Aliran Daya Motor Induksi
Pada motor induksi, tidak ada sumber listrik yang langsung terhubung ke
rotor, sehingga daya yang melewati celah udara sama dengan daya yang
diinputkan ke rotor. Daya total yang dimasukkan pada kumparan stator (Pin)
dirumuskan dengan
Pin = 3V1 I 1 cos θ ( Watt )........................( 2.17 )
Universitas Sumatera Utara
dimana :
V1
= tegangan sumber (Volt)
I1
= arus masukan(Ampere)
θ
= perbedaan sudut phasa antara arus masukan dengan tegangan
sumber.
Daya listrik disuplai ke stator motor induksi diubah menjadi daya mekanik
pada poros motor. Berbagai rugi – rugi yang timbul selama proses konversi energi
listrik antara lain :
1.
rugi – rugi tetap ( fixed losses ), terdiri dari :

rugi – rugi inti stator ( Pi )
2
Pi =
3 . E1
( Watt ) ……………………..( 2.18 )
RC
 rugi – rugi gesek dan angin
2. rugi – rugi variabel, terdiri dari :
 rugi – rugi tembaga stator ( Pts )
Pts = 3. I12. R1 ( Watt ) ………………….( 2.19 )
 rugi – rugi tembaga rotor ( Ptr )
Ptr = 3. I22. R2 ( Watt ) …………………..( 2.20 )
Daya pada celah udara ( Pcu ) dapat dirumuskan dengan :
Pcu = Pin – Pts – Pi ( Watt ) ………………( 2.21 )
Jika dilihat pada rangkaian rotor, satu – satunya elemen pada rangkaian
ekivalen yang mengkonsumsi daya pada celah udara adalah resistor R2 / s. Oleh
karena itu daya pada celah udara dapat juga ditulis dengan :
Universitas Sumatera Utara
Pcu = 3. I22.
R2
( Watt ) ………………..( 2.22 )
S
Apabila rugi – rugi tembaga dan rugi – rugi inti dikurangi dengan daya
input motor, maka akan diperoleh besarnya daya listrik yang diubah menjadi daya
mekanik.
Besarnya daya mekanik yang dibangkitkan motor adalah :
Pmek = Pcu – Ptr ( Watt ) …………………( 2.23 )
Pmek = 3. I22.
R2
- 3. I22. R2
S
Pmek = 3. I22. R2. (
Pmek = Ptr x (
1− s
)
s
1− s
) ( Watt ) ……………( 2.24 )
s
Dari persamaan ( 2.20 ) dan ( 2.22 ) dapat dinyatakan hubungan rugi – rugi
tembaga dengan daya pada celah udara :
Ptr = s. Pcu ( Watt ) ………………………( 2.25 )
Karena daya mekanik yang dibangkitkan pada motor merupakan selisih
dari daya pada celah udara dikurangi dengan rugi – rugi tembaga rotor, maka daya
mekanik dapat juga ditulis dengan :
Pmek = Pcu x ( 1 – s ) ( Watt ) ……………( 2.26 )
Daya output akan diperoleh apabila daya yang dikonversikan dalam
bentuk daya mekanik dikurangi dengan rugi – rugi gesek dan angin, sehingga
daya keluarannya :
Pout = Pmek – Pa&g – Pb ( Watt ) …………( 2.27 )
Universitas Sumatera Utara
Secara umum, perbandingan komponen daya pada motor induksi dapat
dijabarkan dalam bentuk slip yaitu :
Pcu : Ptr : Pmek = 1 : s : 1 – s.
Gambar 2.15 menunjukkan aliran daya pada motor induksi tiga phasa :
Energi listrik
konversi
Energi mekanik
Gambar 2.15. Diagram aliran daya motor induksi
II.7
Efisiensi Motor Induksi Tiga Phasa
Efisiensi dari suatu motor induksi didefenisikan sebagai
ukuran
keefektifan motor induksi untuk mengubah energi listrik menjadi energi mekanik
yang dinyatakan sebagai perbandingan / rasio daya output ( keluaran ) dengan
daya input ( masukan ), atau dapat juga dirumuskan dengan :
η (%) =
Pout
P − Ploss
Pout
x100% = in
x100% =
× 100% . …………….( 2.28 )
Pin
Pin
Pout + PLoss
Ploss = Pin + Pi + Ptr + Pa & g + Pb ……………………………………….( 2.29 )
Pin =
3 . V1. I1. Cos φ1 ……………………………………………………( 2.30 )
Universitas Sumatera Utara
Dari persamaan di atas dapat dilihat bahwa efisiensi motor tergantung
pada besarnya rugi – rugi. Pada dasarnya metode yang digunakan untuk
menentukan efisiensi motor induksi bergantung pada dua hal apakah motor itu
dapat dibebani secara penuh atau pembebanan simulasi yang harus digunakan.
Gambar 2.16. Efisiensi pada motor induksi
dimana :
Pcu = daya yang diinputkan ke rotor ( Watt )
Ptr = rugi – rugi tembaga rotor ( Watt )
Pmek = daya mekanik dalam bentuk putaran ( Watt )
Efisiensi dari motor induksi dapat diperoleh dengan melakukan pengujian
beban nol dan pengujian hubung singkat. Dari pengujian beban nol akan diperoleh
rugi – rugi mekanik dan rugi – rugi inti. Rugi – rugi tembaga stator tidak dapat
diabaikan sekalipun motor berbeban ringan maupun tanpa beban.
II.8
Disain Motor Induksi Tiga Phasa
Standard NEMA pada dasarnya mengkategorikan motor induksi ke dalam
empat kelas yakni disain A,B,C, dan D.
1. Kelas A : disain ini memiliki torsi start normal (150 – 170%) dari nilai
ratingnya) dan arus start relatif tinggi. Torsi break down nya merupakan
Universitas Sumatera Utara
yang paling tinggi dari semua disain NEMA. Motor ini mampu menangani
beban lebih dalam jumlah besar selama waktu yang singkat. Slip < = 5%
2. Kelas B : merupakan disain yang paling sering dijumpai di pasaran. Motor
ini memiliki torsi start yang normal seperti halnya disain kelas A, akan
tetapi motor ini memberikan arus start yang rendah. Torsi locked rotor
cukup baik untuk menstart berbagai beban yang dijumpai dalam aplikasi
industri. Slip motor ini
< =5 %. Effisiensi dan faktor dayanya pada saat
berbeban penuh tinggi sehingga disain ini merupakan yang paling populer.
Aplikasinya dapat dijumpai pada pompa, kipas angin/ fan, dan peralatan –
peralatan mesin.
3. Kelas C : memiliki torsi start lebih tinggi (200 % dari nilai ratingnya) dari
dua disain yang sebelumnya. Aplikasinya dijumpai pada beban – beban
seperti konveyor, mesin penghancur (crusher ), komperessor,dll. Operasi
dari motor ini mendekati kecepatan penuh tanpa overload dalam jumlah
besar. Arus startnya rendah, slipnya < = 5 %
4. Kelas D : memiliki torsi start yang paling tinggi. Arus start dan kecepatan
beban penuhnya rendah. Memiliki nilai slip yang tinggi ( 5 -13 % ),
sehingga motor ini cocok untuk aplikasi dengan perubahan beban dan
perubahan kecepatan secara mendadak pada motor. Contoh aplikasinya :
elevator, crane, dan ekstraktor.
Universitas Sumatera Utara
Karakteristik torsi – kecepatannya dapat dilihat pada gambar 2.17.
Gambar 2.17. Karakteristik torsi-kecepatan motor induksi pada berbagai disain
II.9
Penentuan Parameter Motor Induksi
Data yang diperlukan untuk menghitung performansi dari suatu motor
induksi dapat diperoleh dari hasil pengujian tanpa beban, pengujian rotor tertahan,
dan pengukuran tahanan dc lilitan stator.
II.9.1 Pengujian Tanpa Beban
Pengujian ini untuk mengukur rugi – rugi putaran dan arus magnetisasi.
Pada keadaan tanpa beban ( beban nol ), beban yang dipikul hanyalah rugi – rugi
angin dan gesekan. Adapun rangkaian pengujian tanpa beban adalah sebagai
berikut :
Universitas Sumatera Utara
P1
A
IR
V
IS
A
A
P2
Motor
IT
Gambar 2.18. Rangkaian pengujian tanpa beban motor induksi
Dari data instrumen ukur dapat ditentukan parameter – parameter ( per fasa ) :
Zbn =
Vbn
I bn
≈ X1
+ Xm ……………………………..( 2.31 )
Reaktansi magnetisasi ( Xm ) dapat dicari jika reaktansi primer X1 diketahui.
Ibn ( jala – jala ) =
I R + I S + IT
………...( 2.32 )
3
Slip yang terjadi umumnya sangat kecil ( ≤ 0,001 ), sehingga :
R2
(1 − s)
(1 − s)
> > R2 dan juga R2
> > X2'
s
s
maka I2 pada percobaan ini diabaikan.
R2
(1 − s)
(1 − s)
+ jX2 ≈ R2
s
s
Rugi rotor ini dianggap sebagai rugi angin dan gesekan, sedangkan rugi
tembaga stator dapat dicari sebagai :
Pts = I12 . R1……………………………...( 2.33 )
di mana I1 di sini sama dengan Ibn ( fasa ) dan R1 dicari lewat pengujian tahanan
stator arus searah.
Universitas Sumatera Utara
Dan persamaan daya :
Pin( bn ) = Pts + Prot ………………………..( 2.34 )
Prot = Pi + Pa & g + rugi lain – lain ………..( 2.35 )
di mana :
Prot
= daya yang hilang akibat adanya putaran ( Watt ).
Pi
= rugi inti ( Watt ).
Pa & g = rugi angin dan gesekan ( Watt )
II.9.2 Pengujian Tahanan Stator
Pengujian ini digunakan untuk mengetahui nilai parameter resistansi stator
( primer ) R1. Pada pengujian ini kumparan stator dialiri arus searah, sehingga
suhunya mencapai suatu nilai yang sama jika motor induksi beroperasi pada
kondisi operasi normal ( resistansi kumparan merupakan fungsi suhu ).
Gambar 2.19. Rangkaian pengujian tahanan stator arus searah motor induksi
Pada percobaan ini, jika kumparan stator terhubung bintang (gambar
2.19.a), maka arus akan mengalir melewati dua kumparan dengan resistansi
sebesar 2R1, sehingga :
V AS
= 2R1
I AS
Universitas Sumatera Utara
atau
R1 =
V AS
………………………………( 2.36 )
2 I AS
Sedangkan jika terhubung segitiga (gambar 2.19.b), maka arus akan
mengalir melewati ketiga kumparan tersebut yang besarnya secara ekivalen
terlukis pada gambar berikut, dengan resistansi total :
R1
R1
R1
Sehingga :
V AS
2
=
. Rt
3
I AS
atau
R1 =
3V AS
………………………………( 2.37 )
2 I AS
Nilai R1 yang didapat hanya merupakan nilai pendekatan, karena pada
kondisi operasi normal, motor induksi diberikan pasokan tegangan arus bolak –
balik yang dapat menimbulkan efek kulit ( skin effect ) yang mempengaruhi
besarnya nilai R1.
Universitas Sumatera Utara
II.9.3 Pengujian Rotor Tertahan
Pengujian ini pada prinsipnya adalah seperti pengujian hubung – singkat
pada transformator. Motor induksi dihubungkan dengan sumber daya listrik, serta
instrumen – instrumen ukur pada gambar berikut :
IR
P1
A
V
IS
fr = fj = f uji
IT
Motor
A
A
Rotor
Ditahan
P2
Gambar 2.20. Rangkaian rotor ditahan motor induksi
di mana :
fr = frekuensi rotor; fj = frekuensi jaringan listrik; fuji = frekunsi uji
Pada pengujian ini, rotor ditahan agar tidak berputar dan pada saat itu
nilai–nilai pada instrumen ukur dicatat. Pada pengujian ini ketika setelah
frekuensi dan tegangan diatur, serta rotor ditahan, arus yang mengalir pada motor
harus dengan segera disetel pada nilai nominalnya, data daya masukan, tegangan
dan arus yang terukur harus dengan segera dicatat sebelum rotor menjadi sangat
panas. Sumber daya yang digunakan adalah sumber daya yang tagangan dan
frekuensinya dapat disetel atau diatur ( adjustable ).
IRT ( jala – jala ) =
I R + I S + IT
3
≈ Inominal ………………(
2.38 )
Universitas Sumatera Utara
di mana :
IRT = arus rata – rata pada saat pengujian rotor ditahan.
Adapun nilai impedansi per fasa pada percobaan ini sebesar :
ZRT =
V ph
R RT
……………………………………………..( 2.39 )
di mana :
ZRT = RRT + jXRT' ………………………………………( 2.40 )
RRT = R1 + R2 …………………………………………...( 2.41 )
XRT' = X1' + X2'………………………………………….( 2.42 )
di mana :
R1 dan R2 adalah besarnya resistansi kumparan stator dan kumparan rotor.
X'1 dan X'2 adalah besarnya reaktansi kumparan stator dan rotor pada
frekuensi uji.
Sedangkan besarnya reaktansi kumparan stator dan rotor pada kondisi
operasi normal adalah :
XRT =
f no min al
. XRT' = X1 + X2 …………………………( 2.43 )
f uji
Adapun untuk menentukan besarnya nilai X1 dan X2 dapat dilihat pada
tabel berikut :
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1. Standar besarnya reaktansi berbagai jenis desain rotor.
Disain Rotor
X1
X2
Rotor belitan
0,5 XRT
0,5 XRT
Kelas A
0,5 XRT
0,5 XRT
Kelas B
0,4 XRT
0,6 XRT
Kelas C
0,3 XRT
0,7 XRT
Kelas D
0,5 XRT
0,5 XRT
Tabel di atas didasarkan pada percobaan yang telah dilakukan bertahun –
tahun lamanya dan dijadikan standar NEMA ( National Electrical Manufacturers
Association ).
Universitas Sumatera Utara
Download