Kualitas Pelayanan Aparatur SKPD

advertisement
ANALISIS KEMAMPUAN KERJA DAN JIWA KEWIRAUSAHAAN
TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PRIMA APARATUR
SKPD DI KOTA BANDA ACEH
Amiruddin Idris
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Almuslim Bireuen, dan
Dosen Pascasarjana Magister Manajemen STIE Kebangsaan
ABSTRACT
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang fenomena yang didukung oleh bukti
empiris dan menemukan kejelasan serta kesimpulan tentang hubungan antara factor kemampuan kerja
dan jiwa kewirausahaan terhadap kualitas pelayanan Aparatur SKPD di kota Banda Aceh, Provinsi
Aceh. Kajian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan teori organisasi dan
teori manajemen SDM, khususnya tentang tata kelola pemerintahan, kinerja dinas-dinas yang
berkaitan dengan pelayanan publik. Penelitian menggunakan teknik proporsionale stratistified random
sampling, dengan jumlah sampel sebanyak 50 responden, menggunakan metode verifikatif. Sedangkan
alat analisis yang digunakan adalah Analisis Jalur (Path Analysis). Hasil penelitian memperlihatkan
besaran total pengaruh langsung dan tidak langsung dari variable kemampuan kerja dan Jiwa
kewirausahaan terhadap kualitas pelayanan Aparatur sebesar 48,67 persen. Sehingga dapat
disimpulkan terdapat pengaruh yang signifikan dari factor kemampuan kerja dan Jiwa kewirausahaan
terhadap kualitas pelayanan prima Aparatur SKPD.
Kata Kunci: SKPD, Kemampuan kerja, Jiwa kewirausahaan, Kualtas Pelayanan Publik
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
Manajemen sumber daya manusia (MSDM) harus menjadi penggerak perubahan praktek manajemen
dalam organisasi, karena MSDM mempunyai peran strategis dalam menyusun struktur organisasi,
membangun budaya organisasi, menyusun strategi staffing, menyusun program pelatihan dan
pengembangan, menyusun sistem penilaian pegawai dan penghargaan pegawai.
Terdapat tiga alasan yang menyebabkan MSDM harus menjadi pendorong peningkatan kinerja, yakni;
(1) Persaingan yang makin intensif menuntut organisasi untuk dapat menurunkan biaya dan kecepatan.
Penurunan biaya dan kecepatan dapat dilakukan dengan menghilangkan non-value added work. Selama
ini Departemen Sumber Daya Manusia lebih banyak melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya
administratif. Pekerjaan administratif merupakan non-value added work yang membutuhkan banyak
tenaga kerja dan menyita waktu cukup banyak. (2) Persaingan yang makin intensif menuntut organisasi
untuk memberikan kualitas pelayanan yang lebih tinggi. Kualitas layanan yang lebih tinggi harus
didukung oleh peningkatan kualitas layanan di semua bagian organisasi. Departemen Sumber Daya
Manusia harus menyediakan layanan dengan cepat dan tepat kepada Departemen lain dalam organisasi,
dan (3) Praktek manajemen tradisional yang cenderung bersifat birokratis harus dirubah untuk
mendukung kesuksesan transformasi organisasional. Manajemen tradisional menekankan pengendalian,
konsistensi, dan kepastian. Semua perencanaan yang dibuat menekankan pencapaian tujuan finansial
dan resiko adalah hal yang harus dihindari oleh manajemen.
Dalam kondisi lingkungan yang penuh ketidakpastian dan cepat berubah, praktek manajemen yang
sifatnya langsung dan informal diperlukan untuk fleksibilitas organisasi menghadapi lingkungan yang
cepat berubah, tetapi praktek manajemen yang sifatnya formal dan menekankan disiplin juga diperlukan
untuk koordinasi. Artinya, praktek manajemen yang fleksibel harus menekankan keseimbangan antara
fleksibilitas dan koordinasi dalam organisasinya. Oleh karena itu cara yang dipilih organisasi untuk
menjadi lebih kompetitif dan lebih fleksibel adalah dengan merombak struktur organisasi, atau dengan
kata lain organisasi harus melakukan transformasi organisasional. Akibatnya muncul bentuk-bentuk
1
organisasi baru, antara lain: boundaryless organization, virtual organization, empowered organization,
high -performing work teams, dan process reengineered organization.
Di lingkungan Pemerintah Daerah, dalam suatu Pemerintahan Negara, peranan pegawai baik secara
individu maupun kelompok adalah sangat penting dan menentukan. Karena pegawai sebagai asset dan
unsur utama yang menggerakkan aktivitas dalam pencapaian tujuan organisasi. Dalam setiap
aktivitasnya haruslah tepat waktu dan dapat diterima sesuai rencana kerja yang ditetapkan atau dengan
kata lain mempunyai efektivitas dan kinerja yang tinggi. Tanpa kinerja aparatur yang baik, sulit bagi
suatu organisasi dalam proses pencapaian tujuannya. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Steers (1985)
bahwa tanpa kinerja yang baik disemua tingkat organisasi, pencapaian tujuan dan keberhasilan
organisasi menjadi sesuatu yang sangat sulit dan bahkan mustahil. Adapun prasyarat untuk menciptakan
sumber daya aparatur yang ideal, menurut Idrus (1998) adalah aparatur yang berpengetahuan tinggi,
profesional, visi jauh ke depan, berwawasan luas, bertanggung jawab, bersih dan berwibawa, berdisiplin
tinggi, berdedikasi tinggi, kreatif dan inovatif serta mempunyai jiwa kewirausahaan.
Pengembangan sumber daya aparatur sangat penting karena dapat meningkatkan kemampuan aparatur
baik kemampuan profesionalnya, meningkatkan kemampuan wawasannya, kemampuan leadership
maupun kemampuan pengabdiannya sehingga pada akhirnya akan meningkatkan kinerja seorang
aparatur (Notoatmojo, 2003).
Tuntutan yang terasa kuat untuk melakukan pengembangan sumber daya manusia baik oleh organisasi
pemerintah maupun swasta adalah disebabkan oleh hal-hal seperti: (1) Tingkat pengetahuan dan
kemampuan sumber daya manusia masih relatif rendah, (2) Suasana kerja yang kurang menyenangkan
atau adanya kejenuhan karena terlalu lama bekerja pada suatu tempat, (3) Adanya tuntutan organisasi
terhadap perubahan, dan (4) Adanya perkembangan zaman yang sangat pesat.
Senada dengan hal tersebut diatas, Siagian (2002), Handoko (2006), Martoyo (2000) menyatakan
terdapat beberapa masalah atau alasan utama mengapa perlu diadakannya pengembangan sumber daya
manusia apartur pemerintahan, yaitu : (1) Adanya pegawai/aparatur baru yang diterima tidak
mempunyai kemampuan secara penuh untuk melaksanakan tugasnya, (2) Pengetahuan pegawai /aparatur
yang perlu pemuktahiran, (3) Selalu terjadi perubahan, tidak hanya karena perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi akan tetapi juga karena pergeseran nilai-nilai sosial budaya, (4)
Kemungkinan perpindahan pegawai, dan (5) Pegawai/aparatur yang sudah berpengalamanpun perlu
belajar dan menyesuaikan dengan organisasi, kebijaksanaan dan prosedur-prosedurnya (guna
meningkatkan mutu pelaksanaan tugasnya sekarang maupun masa datang).
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Republik Indonesia (UU-RI) No. 22 Tahun 1999, yang
disempurnakan oleh UUU-RI No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, maka organisasi
Pemerintah Pusat maupun Daerah harus disusun kembali disesuaikan dengan urusan dan kewenangan
yang diserahkan oleh pusat maupun yang diterima oleh Daerah. Penyerahan urusan dan kewenangan
tersebut oleh pusat telah disertai dengan personil, perlengkapan dan pembiayaannya sehingga
mengakibatkan aparat Pemerintah Daerah akan meningkat jumlahnya. Demikian pula, dalam bagian isi
UU-RI No. 33/2004, tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah pusat dan daerah, menyatakan
bahwa Satuan Kerja Perangakat Daerah (SKPD), bisa Badan, Dinas, Kantor dan unit lainnya, harus
menyusun Rencana Kerja dan Anggaran SKPD yang kemudian disebut RKA SKPD. Realisasi APBD,
RKA SKPD merupakan basis bagi manajer (pimpinan aparatur) SKPD dalam menjalankan tanggung
jawab kinerjanya.
Satuan Kerja Perangka Daerah (SKPD) merupakan instrumen manajemen pembangunan daerah yang
dipimpin oleh seorang kepala SKPD. Aspek-aspek dalam manajemen pembangunan daerah terwadahi
dalam satu atau beberapa SKPD. Penyusunan kebijakan dan koordinasi diwadahi dalam sekretariat,
pengawasan diwadahi oleh inspektorat, perencanaan diwadahi dalam bentuk badan, unsur pendukung
dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik diwadahi dalam lembaga
teknis daerah, sedangkan aspek pelaksana urusan daerah diwadahi dalam dinas daerah. Kinerja
manajemen dan pelayanan yang dilaksanakan SKPD menentukan kinerja pada tiap aspek manajemen
pembangunan daerah, yang pada gilirannya, menentukan kinerja daerah.
Pembentukan Dinas-Dinas di daerah atau Unit-unit instansi baru akan membawa pengaruh terhadap
aparatur Pemerintah Daerah, dimana jumlah aparatur akan meningkat seiring banyak dan besarnya
lembaga dinas daerah yang didirikan sehingga otonomi daerah akan menjadi bumerang jika tidak
2
disertai dengan persiapan matang. Pemerintah Daerah akan mengalami kesulitan jika kemampuan
aparatnya tidak memadai.
Penetapan UU No. 32 tahun 2004 dan UU No. 33 tahun 2004. mengenai Pemerintah Daerah dan
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, berimplikasi pada tuntutan otonomi yang
lebih luas dan akuntabilitas pelayanan pada publik. (Halim, 2001). Dengan demikian Kedua undangundang tersebut telah merubah akuntabilitas atau pertanggungjawaban pemerintah daerah dari
pertanggungjawaban vertikal (kepada pemerintah pusat) ke pertanggung jawaban horisontal (kepada
masyarakat melalui DPRD).
Jika dinilai dari Indeks Pembangunan Manusia yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS)
Republik Indonesia (di akses 24 Januari 2010), selama tahun 1997-2010, IPM Provinsi Aceh berkisar
antara 65 sampai 71. Hal ini berarti masih dalam kategori rendah, terlebih-lebih Aceh setelah dilanda
bencana gempa bumi dan Tsunami yang maha dahsyat, dan adanya konflik yang sangat lama.
Berdampak hebat pada kesiapan dan kemampuan aparatur dalam melayani dan melaksanakan
pembangunan.
Berkaitan dengan status ke khususan Aceh sekarang dan kedepan serta upaya percepatan proses
pembangunan, maka legalitas pemerintahan daerah Aceh, disamping menggunakan landasan UU No.
32 tahun 2004 dan UU No. 33 tahun 2004. maka diberlakukan pula Undang – Undang Republik
Indonesia Nomor 11 tahun 2006, tentang Pemerintahan Aceh. Dimana Provinsi Aceh adalah daerah di
Republik Indonesia yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberikan
kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendirin urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat. Adapun keistimewaan lainya adalah pelaksanaan Syariat Islam dalam tatanan
pemerintahan dan kemasyarakatan. Berdasarkan keistimewaan tersebut, maka terdapat beberapa
perbedaan yang mendasar dalam tata kelola manajemen pemerintahan daerah.
Dalam era globalisasi yang diperlihatkan oleh adanya persaingan yang ketat dan peningkatan ekspektasi
masyarakat yang tinggi, maka pihak pemerintah, di tuntut untuk lebih mengambil inisiatif dalam
peningkatan perannya dalam pelaksanaan pembangunan dan lebih memberikan pelayanan kepada publik
yang lebih baik, sehingga mampu menangani masalah-masalah pembangunan ekonomi, seperti;
penciptaan lapangan pekerjaan dan pengurangan pengangguran, peningkatan daya beli masyarakat, dan
meningkatnya kepuasan masyarakat atas pelayanan. Dalam optimalisasi aktivitas pembangunan, suatu
instansi, diperlukan suatu sistem yang dapat mejalankan aktivitas pembangunan dan menunjang
pelayanan terhadap masyarakat.
Oleh karena pelayanan dari pemerintah terhadap publik merupakan suatu hak publik yang harus
disediakan dan dipenuhi oleh pemerintah seoptimal mungkin, maka penelitian ini hanya ingin meneliti
faktor yang berhubungan langsung maupun tak langsung dengan terciptanya kualitas pelayanan prima
dari Aparatur SKPD, dengan mengambil kasus penelitian di Ibukota Provinsi Aceh, Banda Aceh.
1.2. Batasan Masalah
Mengingat luasnya topik tentang analisis faktor-faktor yang berhubungan bahkan berkepangaruh
langsung maupun tak langsung terhadap kualitas pelayanan prima Aparatur Pemerintah (pegawai
SKPD), maka dalam penelitian ini penulis membatasi kajian pada analisis faktor kemampuan kerja, dan
jiwa kewirausahaan yang diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan secara prima pegawai kepada
masyarakat di Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh.
1.4. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian, maka pernyataan masalah dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Seberapa besar pengaruh parsial dari variabel kemampuan pengetahuan dan keahlian, dan Jiwa
kewirausahaan terhadap kualitas pelayanan prima aparatur SKPD.
2. Seberapa besar pengaruh simultan dari variabel kemampuan pengetahuan dan keahlian, dan
Jiwa kewirausahaan terhadap kualitas pelayanan prima aparatur SKPD di Kota Banda Aceh.
2. Landasan Teori
SKPD
Disamping melaksanakan Undang-undang Pemerintah Daerah (UU No.32/2004), Undang-undang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU No. 33/2004), dan Undang-undang
3
Pemerintahan Aceh (UU-PA No. 11/2006), maka dalam pelaksanaan peningkatan pelayanan kepada
publik telah diterbitkan UU. No. 25/ 2009 tentang pelayanan publik yang mengatur dan membangun
kepercayaan masyarakat atas layanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara pelay-nan publik, agar
penyediaan layanan publik menjadi berkualitas serta memberi perlindungan kepada pengguna layanan,
sesuai dengan norma dan asas hukum secara jelas. Oleh karena itu pelayanan dari pemerintah terhadap
publik merupakan suatu hak publik yang harus disediakan dan dipenuhi oleh pemerintah seoptimal
mungkin. Berdasarkan Undang-ndang bahwa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), bisa Badan,
Dinas, Kantor dan unit lainnya, harus menyusun Rencana Kerja dan Anggaran SKPD yang kemudian
disebut RKA SKPD. Realisasi APBD, RKA SKPD merupakan basis bagi manajer (pimpinan aparatur)
SKPD dalam menjalankan tanggung jawab kinerjanya.
Menurut Walker (1990, 60): ”Semakin tinggi pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuan SDM
membuat hubungan kerja semakin bersifat kemitraan. Perencanaan karir bersifat semakin transparan
sehingga perlu penerapan sistem manajemen yang lebih terbuka”. Sedangkan Noe, Hollenbeck,
Gerhart dan Wright (2010;8-9), menyatakan para profesional SDM harus memiliki enam kompetensi.
Keenam kompetensi tersebut telah diidentifikasi Human Resource Competency Studi, yakni: (1)
Aktivitas SDM yang dapat dipercaya, terdiri atas menyampaikan hasil-hasil kerjanya dengan integritas,
berbagi informasi, membangun hubungan yang dapat dipercaya, mempengaruhi orang lain, memberi
observasi yang terus terang, dan mengambil resiko yang tepat, (2) Pengelola Budaya Organisasi, yakni
memfasilitasi perubahan, mengembangkan dan menghargai budaya organisasi, membantu karyawan
untuk mengemudikan budaya organisasi, dalam hal menemukan makna dari pekerjaan mereka,
mengelola keseimbangan pekerjaan, (3) Manajer Bakat atau Perancang Organisasi, yakni
mengembangkan bakat, merancang sistem-sistem penghargaan, dan membentuk organisasi, (4) Arsitek
Strategis, yaitu mengenal tren-tren bisnis dan dampaknya bagi perusahaan, SDM berbasis bukti, dan
mengembangkan strategi karyawan yang berkontribusi terhadap strategi bisnis, (5) Mitra Bisnis, yakni
memahami cara bisnis dan bahasa bisnis, dan (6) Pelaksana operasional, yakni menerapkan kebijakankebijakan di tempat kerja, memajukan teknologi SDM, dan menghadministrasikan pekerjaan.
Pelayanan Publik
Kegiatan pelayanan umum merupakan perwujudan dan penjabaran dari tugas dan fungsi pegawai
pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan. Pegawai
pemerintah ditempatkan untuk menjalankan fungsi di samping abdi negara, juga sebagai abdi
masyarakat (public servant). Oleh karena itu, untuk mewujudkan tugas dan fungsi tersebut, maka
dijabarkan dalam penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat oleh unit-unit pelayanan.
Penyelenggaraan dimaksud baik meliputi kegiatan mengatur, membina, dan mendorong maupun dalam
memenuhi kebutuhan atau kepentingan segala aspek kegiatan masyarakat terutama partisipasi
masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan.
Pelayanan umum timbul karena adanya kewajiban sebagai suatu proses penyelenggaraan kegiatan
organisasi. Pelayanan umum adalah “kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang
dengan faktor material melalui system, prosedur dan metode tertentu dalam rangka usaha memenuhi
kepentingan orang lain sesuai dengan haknya” (Moenir, 2002:26-27).
Menurut Kotler (1997:227) pelayanan adalah sebagai berikut: A service is any act or performance that
one party can offer to another that is essentially intangible and doses not result in the ownership for of
anything. Its production may or may not be tied to physical product.
Dari beberapa definisi tersebut dapat diketahui bahwa pengertian pelayanan yaitu suatu kinerja
penampilan, tidak berwujud dan cepat hilang, lebih dapat dirasakan dari pada dimiliki serta pelanggan
dapat lebih berpartisipasi aktif dalam proses mengkonsumsi jasa atau pelayanan. Dengan demikian
hakekat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan
perwujudan kewajiban pegawai pemerintah sebagai abdi masyarakat. Selain itu hal penting yang sering
dijadikan argument perlunya otonomi daerah adalah bahwa dimensi pelayanan publik yang semakin
terdesentralisasi pada tingkat lokal. Hal ini sejalan dengan fungsi pokok pemerintah daerah (local
government) John Stewart dan Michael Clarke (dalam Skelcher, 1992:3) yaitu: 1). Fungsi pelayanan
masyarakat (public service function) yang terdiri atas 1.1. pelayanan lingkungan (environment service),
1.2. pelayanan personal (personal service). 2). Fungsi pelaksanaan pembangunan (development
function), 3). Fungsi perlindungan (protective function).
Untuk melaksanakan fungsi-fungsi tersebut pegawai pemerintah daerah harus dapat menindaklanjuti
4
atau menjabarkan dalam penyelenggaraan pelayanan umum/pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan
fungsi masing-masing unit layanan.
Skelcher (1992:4) mengungkapkan tujuh prinsip dalam pelayanan kepada masyarakat, yaitu:
(1). Standard, yaitu adanya kejelasan secara eksplisit mengenai tingkat elayanan, termasuk pegawai
dalam melayani masyarakat;
(2). Openness, yaitu menjelaskan bagaimana pelayanan masyarakat dilaksanakan, berapa biayanya, dan
apakah suatu pelayanan sudah sesuai dengan standar yang ditentukan;
(3). Information, yaitu informasi yang menyeluruh dan mudah dimengerti tentang suatu pelayanan;
(4). Choice, yaitu memberikan konsultasi dan pilihan kepada masyarakat sepanjang diperlukan;
(5). Non discrimination, yaitu pelayanan diberikan tanpa membedakan ras dan jenis kelamin;
(6). Accessibility, pemberian pelayanan harus mampu menyenangkan pelanggan atau memberikan
kepuasan kepada pelanggan;
(7). Redress, adanya sistem publikasi yang baik dan prosedur penyampaian komplain yang mudah.
Keberhasilan dalam melaksanakan prinsip dari hakekat pelayanan yang berkualitas sangat tergantung
pada proses pelayanan publik yang dijalankan. Proses pelayanan publik pada dua pihak yaitu birokrasi
(pelayan) dan masyarakat (yang dilayani). Oleh karena itu, untuk melihat kualitas pelayanan publik yang
dimaksud perlu diperhatikan dan dikaji dua aspek pokok yaitu: aspek proses internal organisasi
(pelayan); serta aspek eksternal organisasi yakni kemanfaatan yang dirasakan oleh masyarakat
pelanggan. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkap Skelcher (1992:10) membagi pelanggan dalam
pelayanan publik menjadi dua bagian, yaitu pelanggan internal dan eksternal. Dan perhatian pelayanan
sering difokuskan pada pelanggan eksternal, yaitu masyarakat sebagai stakeholder.
Menurut Indiahono (2009: 164-165), bahwa birokrasi pemerintah paling tidak bergerak minimal pada
dua jalan, pertama yakni responsip kepada keinginan publik dan kedua adalah jalan menuju kepentingan
pemerintah. Pelayanan publik yang prima dalam era governance sekarang ini diarahkan menuju pada
kepuasan publik sebagai pemilik pemerintah. Sehingga Lenvine (1990) dalam Indiahono (2009:164)
menyatakan ciri pelayanan publik pada negara demokratis adalah akuntabilitas. karena akuntabilitas
adalah suatu ukuran yang menunjukkan sebera besar proses penyelenggaraan pelayanan sesuai dengan
kepentingan stakeholder dan norma-norma yang berkembang dalam masyarakat.
Pemerintah dalam era sekarang pun dituntut untuk benar-benar memperhatikan kepuasan publik dalam
mengakses pelayanan publik. Pemerintah harus bertanggung jawab atas fasilitas umum dan pelayanan
publik yang berada didalamnya. Kementerian Pendayaan Aparatur Negara mendefinisikan kepuasan
pelayanan sebagai hasil pendapat dan penilaian masyarakat terhadap kinerja pelayanan yang diberikan
oleh aparatur penyelenggaraan pelayanan publik. Widodo (2001: 271) menyebutkan bahwa pelayanan
publik diartikan sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh Instansi
Pemerintah di Pusat dan di Daerah di Lingkungan BUMN, BUMD dalam bentuk barang dan jasa, baik
dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat, maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
Pemerintah yang demokratis lahir untuk melayani warganya. Dan oleh karena itu tugas pemerintah
adalah mencari cara untuk menyenangkan warganya (David Osbom, 1997:192). Pelayanan Umum
seperti di kemukakan oleh R.E Lonsdale yang di kutip oleh Jatjat Wirijadinata: ”Something made
availeble to the whole of the population, and it involves things which people cannot normail provode
themselves, but collectively (merupakan segala sesuatu yang tidak mungkin di sediakan oleh masyarakat
melainkan harus di lakukan secara kolektif).
Tinggi rendahnya mutu pelayanan masyarakat sebagian besar bergantung pada kinerja aparat pelayanan.
Secara mendasar, sering terjadi keluhan tentang rendahnya kinerja dan kualitas pelayanan terhadap
masyarakat di berbagai bidang dimana hal ini membuktikan masih rendahnya kepuasan yang di terima
masyarakat. Pelayanan prima merupakan terjemahan dari Excellent Service yang secara harfiah berarti
pelayanan yang sangat baik atau pelayanan yang terbaik.Hal hal yang perlu diperhatikan dalam
pelayanan prima (Soetopo:1999) adalah:
a. Apabila dikaitkan dengan tugas pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat maka
pelayanan prima adalah pelayanan yang terbaik dari pemerintah kepada masyarakat.
b. Pelayanan prima bisa ada manakala ada standar pelayanan.
c. Untuk instansi yang sudah mempunyai standar pelayanan, maka pelayanan prima adalah apabila
pelayanan menuhi Standarnya.
5
d.
Apabila pelayanan selama ini sudah memenuhi standar maka pelayanan prima berarti adanya
terobosan baru yaitu pelayanan yang melebihi standarnya.
e. Untuk instansi yang belum mempunyai standar pelayanan, maka pelayanan prima adalah pelayanan
yang dianggap terbaik oleh instansi yang bersangkutan. Usaha selanjutnya adalah menyusun
standar pelayanan.
Pelanggan pemerintah adalah masyarakat. Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen/Kota
memberikan pelayanan kepada masyarakat. Baik internal maupun Eksternal. Pelayanan internal
pemerintah adalah pelayanan suatu instansi pemerintah kepada instansi pemerintah lainya, sedangkan
pelayanan eksternal adalah pelayanan suatu instansi pemerintah kepada masyarakat.
Banyak yang berpendapat bahwa pelayanan kepada masyarakat hanya dilakukan oleh perusahaanperusahaan yang memproduksi barang dan jasa. Pendapat tersebut kurang tepat karena pada ekonomis
dalam arti pengenaan biaya dalam pelayanan umum harus ditetapkan secara umum, ketentuan
perundang undangan yang berlaku.
a) Keadilan yang merata dalam arti cakupan/jangkauan pelayanan umum harus di usahakan seluas
mungkin dengan reteribusi yang merata dan diperlakukan secara adil.
b) Ketetapan waktu, dalam arti pelaksanaan umum dapat di selesaikan dalam waktu yang telah
ditentukan.
Era globalisasi ini misi pemerintahan tidak lagi tertumpu pada pengaturan (regulating), Akan tetapi
telah bergeser kepada pelayanan, dimana pemerintah tidak lagi mengatur dan menciptakan prosedurprosedur akan tetapi lebih pada pemberian pelayanan yang baik. Penyelenggaraan pemerintah telah
mengalami pergeseran dari fungsi pemerintah yang tradisional menjadi fungsi negara modern, Ryaas
Rasyid (1997:11): menyatakan; Tujuan utama dibentuknya suatu pemerintah adalah untuk menjaga
suatu sistem ketertiban di dalam, dimana masyarakat bisa menjalani kehidupannya secara wajar.
Pemerintah modern, dengan kata lain, pada hakikatnya adalah pelayanan kepada masyarakat.
Pemerintah tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat,
menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan
kreativitasnya demi kemajuan bersama.
Pemerintah menurut pendapat Taliziduhu Ndraha (1990:41) tidak hanya bertugas memelihara ketertiban
dan menegakkan hukum tetapi lebih dari pada itu bertugas untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat. Dari kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam upaya mewujudkan
kesejahteraan masyarakat, dituntut adanya suatu pemerintah yang bersifat modern yaitu pemerintah
yang mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat dan membuka kesempatan bagi seluruh
masyarakat untuk berpatisipasi secara aktif dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah.
Faktor-faktor Peningkatan Kualitas Pelayanan
Era globalisasi ini misi pemerintahan tidak lagi tertumpu pada pengaturan (regulating), Akan tetapi
telah bergeser kepada pelayanan, dimana pemerintah tidak lagi mengatur dan menciptakan prosedurprosedur akan tetapi lebih pada pemberian pelayanan yang baik. Penyelenggaraan pemerintah telah
mengalami pergeseran dari fungsi pemerintah yang tradisional menjadi fungsi negara modern, Ryaas
Rasyid (1997:11): menyatakan; “Tujuan utama dibentuknya suatu pemerintah adalah untuk menjaga
suatu sistem ketertiban di dalam, dimana masyarakat bisa menjalani kehidupannya secara wajar.
Pemerintah modern, dengan kata lain, pada hakikatnya adalah pelayanan kepada masyarakat.
Pemerintah tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat,
menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan
kreativitasnya demi kemajuan bersama”.
Pemerintah menurut pendapat Taliziduhu Ndraha (1990:41) tidak hanya bertugas memelihara ketertiban
dan menegakkan hukum tetapi lebih dari pada itu bertugas untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat. Dari kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam upaya mewujudkan
kesejahteraan masyarakat, dituntut adanya suatu pemerintah yang bersifat modern yaitu pemerintah
yang mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat dan membuka kesempatan bagi seluruh
masyarakat untuk berpatisipasi secara aktif dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah.
Kaho (1997:60) berpendapat tentang faktor faktor yang sangat mempengaruhi dan sangat menentukan
penyelenggaraan otonomi daerah antara lain: Sumber Daya Manusia dan Kemampuan aparatur serta
partisipasi masyarakat, Keuangan yang stabil, peralatan yang lengkap, organisasi dan manajemen yang
baik. Dari beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kinerja otonomi daerah tersebut, maka aspek
kemampuan aparatur pemerintah daerah memiliki peran yang sangat penting dalam menjalankan
6
aktivittas otonomi daerah tersebut. Sumber daya aparatur yang profesional dan bertanggung jawab
merupakan syarat utama yang diperlukan dalam mewujudkan penyelenggaraan pemerintah daerah agar
terwujud birokrsi yang berpotensi terhadap pelayanan sebagaimana yang di harapkan oleh masyarakat
sebagai pemilik kedaulatan. Hal yang sama dikemukakan Kaho (1997:80)” Bagaimana juga
keberhasilan atau ketidak berhasilan suatu kegiatan yang dilaksanakan, dalam hal ini pelaksanaan
aktivitas otonomi daerah akan sangat tergantung pada sumber daya manusia sebagai pelaksana atau
aparatur pemerintah itu sendiri”.
Lebih jauh lagi, sumber daya manusia sekarang telah diakui sebagai modal sumber keunggulan
kompetitif (Randall dan Susan, 1999). Dukungan sistem informasi menjadi mitra strategis mengelola
perubahan organisasi, membantu merespon tuntutan pekerja untuk menentukan apa yang dibutuhkan
oleh karyawan dan apa yang diperlukan untuk peningkatan kemampuan (Randall dan Susan, 1999;
Dessler, 2007; Gates, 1999; Scoot, 1997; Becker 1994; Drucker 1995).
Faktor Kewirausahaan
Wirausaha yang sering di istilahkan dengan jiwa entrepreneur, berarti orang yang memulai (the
originator) sesuatu usaha bisnis baru, atau seorang manajer yang berupaya memperbaiki sebuah unit
keorganisasian melalui serangkaian perubahan-perubahan produiktif (Winardi, 2003; 71).
Menurut Stevenson dan Gumpert, yang dikutip oleh james F Stoner dan R. Edward Freeman dalam
buku mereka berjudul Management, menulis kultur entrepreneurial adalah kultur korporat yang
memusatkan perhatian pada munculnya peluang-peluang baru, alat-alat untuk mengkapitalisasinya, dan
pembentukan struktur yang tepat untuk melaksanakan upaya-upaya tersebut. Disamping itu juga
mengemukakan konsep kultur administratif. Kultur administratif, menurut mereka adalah kultur
korporat yang memusatkan perhatian pada peluang-peluang yang ada, struktur-struktur keorganisasian
dan prosedur-prosedur pengawasan (Winardi, 2003; 99).
Menurut Steinhoff dan John F. Burgess (1993:35) pada hakekatnya pengembangan wirausaha
diorientasikan agar orang tersebut mampu mengorganisir suatu aktivitas, mampu mengelola dan berani
menanggung resiko untuk menciptakan usaha baru dan peluang berusaha, sehingga secara esensial dapat
memiliki suatu sikap mental, pandangan, wawasan serta pola pikir dan pola tindak seseorang terhadap
tugas-tugas yang menjadi tanggungjawabnya dan selalu berorientasi kepada pelanggan. Atau dapat juga
diartikan sebagai semua tindakan dari seseorang yang mampu memberi nilai terhadap tugas dan
tanggungjawabnya. Dengan demikian kewira-usahaan merupakan sikap mental dan sifat jiwa yang
selalu aktif dalam berusaha untuk memajukan karya baktinya dalam rangka upaya meningkatkan
pendapatan di dalam kegiatan usahanya.
Hornaday (1982) dalam Winardi (2003; 27) menyatakan hasil riset tentang karakteristik entrepreneur,
telah memusatkan perhatian pada sejumlah sifat yang umumnya dimiliki oleh mayoritas individu, yakni
terdaat 22 ciri, yang antara lain: 1) kepercayaan pada diri sendiri (self confidence), 2) penuh energi, dan
bekerja dengan cermat (diligence), 3) kemampuan untuk menerima risiko yang diperhitungkan, 4)
memiliki kreativitas, 5) memiliki fkeksibilitas, 6) memiliki reaksi positif terhadap tantangan-tantangan
yang dihadapi, 7) memiliki jiwa dinamis dan kepemimpian, 8) memiliki kemampuan untuk bergaul
dengan orang-orang, 9) memiliki kepekaan untuk menerima saran, 10) memiliki kepekaan terhadap
kritik-kritik yang dilontarkan terhadapnya, 11) memiliki pengetahuan pasar, 12) memiliki keuletan dan
kebulatan tekad untuk mencapai sasaran (pressverance, determination), 13) memiliki banyak akal, 14)
memiliki ransangan berprestasi, dan 15) memiliki inisiatif.
Beberapa diantara karakteristik yang berkaitan dengan persoalan entrepreneurship dapat dipelajari,
tetapi ada pula yang sulit dipelajari. Ada sepuluh karakteristik yang dapat dipelajari (Winardi, 2003; 38),
yakni: 1). Komitmen dan determinasi yang tiada batas, 2) Dorongan untuk mencapai prestasi, 3)
Orientasi kearah peluang-peluang serta tujuan-tujuan, 4) Fokus pengendalian internal, 5) Toleransi
terhadap ambiguitas, 6) Keterampilan dalam hal menerima risiko yang diperhitungkan, 7) Kurang
dirasakan kebutuhan akan status dan kekuasaan, 8) Kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah,
9) Kebutuhan tinggi untuk mendapatkan umpan-balik (feedback), 10) Kemampuan untuk menghadapi
kegagalan secara efektif.
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan secara teoritis serta kondisi riil yang ada, maka muncul paradigma
penelitian tersebut di atas, maka peneliti menetapkan hipotesis penelitian sebagai berikut :
7
1) Terdapat pengaruh yang signifikan secara parsial dari variabel Kemampuan, dan Jiwa kewirausahaan
terhadap Kualitas pelayanan prima Aparatur SKPD.
2) Terdapat pengaruh yang signifikan secara simultan dari variabel Kemampuan, dan Jiwa
kewirausahaan terhadap Kualitas pelayanan prima aparatur SKPD.
3. Metodologi Penelitian
Sampel Penelitian
Penelitian dilakukan terhadap pegawai tetap yang melaksanakan pelayanan kepada masyarakat, dalam
hal ini ingin mengukur kualitas pelayanan pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) kota Banda
Aceh, propinsi Aceh. Oleh karena itu yang menjadi sampel penelitian ini adalah pegawai dari SKPD
yang banyak melakukan fungsi pelayanan pada masyarakat. Dalam hal ini peneliti menetapkan 5 ( lima )
SKPD, sebagai berikut : 1). Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, 2). Dinas Kesehatan. 3) Dinas Sosial,
4). Dinas Kependudukan, 5). Kantor Pelayanan dan Perijinan Terpadu (KP2T). Disamping itu untuk
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pelayanan aparat SKPD di pemerintahan kota
Banda Aceh Provinsi Aceh, penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Data yang dianalisis
adalah data dari kuesioner yang diisi oleh aparat SKPD, dari tingkat Kepala Dinas, Kepala Bidang,
Kasub. Bagian, sampai Pegawai yang bertugas melaksanakan pelayanan kepada Publik (masyarakat)
yang selanjutnya disebut SKPD. Informasi tentang kualitas layanan hanya dilihat berdasarkan persepsi
pegawai yang memberikan pelayanan pada publik. Metode penarikan sampel yang dipakai yaitu
Proporsionale stratistified random sampling method. Sampel yang ditetapkan oleh peneliti. Peneliti
menetapkan jumlah responden yang sebanyak 50 responden. Adapun penetapan responden tersebut,
yang terdiri dari setingkat Kepala Dinas sebanyak 5 responden, Sekretaris Dinas sebanyak 5 responden,
Kepala Bagian sebanyak 10 responden, setingkat Kepala Sub Bagian sebanyak 10 responden, dan
Setingkat Kepala Seksi sebanyak 10 responden serta Staf sebanyak 10 responden.
Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode survey penjelasan (explanatory
survey method), yaitu survey yang mencoba menghubung-hubungkan variabel dan menguji variabelvariabel yang diteliti. Penerapan metode penelitian survey dalam operasional, diperlukan suatu desain
penelitian yang sesuai kondisi kedalaman penelitian yang akan dilakukan. Disamping itu untuk
mengetahui variabel penelitian yang mempengaruhi kinerja pelayanan aparat SKPD Kota Banda Aceh,
penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Data yang dianalisis adalah data dari kuesioner yang
diisi oleh masyarakat sebagai penerima layanan pada SKPD kota Banda Aceh. Kualitas layanan hanya
dilihat berdasarkan persepsi pegawai.
Variabel dan Model Penelitian
Penelitian ini mengetahui pengaruh kemampuan dan jiwa kewirausahaan aparatur terhadap Kualitas
pelayanan prima Aparatur. Dengan model rancangan penelitiannya sebagai berikut:
Kemampuan Kerja
- Konseptual
- Teknikal
- Manajemen
- Interaksi dan
komunikasi
Jiwa
Kewirausahaan
- Melakukan
perubahan
- Kreativitas
inovasi
- Tindakan proaktif
- Mengelola risiko
Kualitas
Pelayanan
- Komitmen
- daya tanggap
- Empati
- Kehandalan
- kepastian
Gambar 1. Model Rancangan Penelitian
8
Definisi Variabel Penelitian
Variabel penelitian ini terdiri dari variabel bebas: Kemampuan Kerja (X1), dan Jiwa Kewirausaan (X2).
Variabel terikat: Kualitas Pelayanan prima Aparatur (Y). Berdasarkan konsep teori, hasil penelitian
sebelumnya, dan ketentuan yang berlaku, maka operasional variable penelitiannnya sebagai berikut:
Variabel
Sub-Variabel
1. Kemampuan konseptual
2. Kemampuan teknikal
Kemampuan
pengetahuan dan
keahlian
( X4 ),
3. Kemampuan Manajemen
4. Kemampuan interaksi dan
komunikasi
1.
Melakukan perubahan
2. Adanya kreativitas dan inovasi
Jiwa kewirausahaan
3. Tindakan proaktif
( X2 ).
4. Kemampuan mengelola risiko
1.
Komitmen terhadap tugas
2. Aspek Daya tanggap
Kualitas Pelayanan
Prima Kepada Publik
( Y ).
3. Aspek Berwujud,
4. Aspek Empati,
5. Aspek Kehandalan
6. Aspek Kepastian
1)
2)
1)
2)
1)
2)
3)
1)
2)
3)
4)
1)
2)
1)
2)
3)
1)
2)
3)
4)
1)
2)
3)
1)
2)
1)
2)
3)
1)
2)
1)
2)
1)
2)
1)
2)
3)
Indikator
Pemahaman visi, misi dan Renstra
Tujuan lembaga
Tupoksi dan Program kerja
Teknis pelayanan
Perencanaan
Pengorganisasian
Pelaksanaan
Pengendalian
Melakukan terobosan
Pengelolaan manajemen risiko
Tingkat pengalaman
Kemauan dan Keberanian
Kemampuan
Keberanian
Kemampuan
Dukungan lingkungan
Keberanian
Kemampuan
Aksesibilitas pasar
Aksesibilitas informasi
Keberanian
Kemampuan penguasaan
Manajemen resiko
Dukungan pimpinan & lembaga
Taat asas
Etika profesi
Memahami Konsumen
Ketanggapan
Penangan segera
Dukungan sarana - prasarana
Dukungan alat kerja
Kepedulian dan Toleran
Sikap melayani
Kecepatan, dan Ketepatan
Kemanfaatan
Sesuai dengan Aturan
kepuasan Layanan
Pelayanan langsung
Rancangan Analisis
Berdasarkan paradigma dan hipotesis penelitian yang telah disajikan sebelumnya, maka metode analisis
data yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah analisis jalur (path analysis). Analisis jalur ini
mengikuti pola struktural atau disebut model struktural (Kusnendi, 2005). Model struktural dengan
persamaan sebagai berikut : Y = f (X1, X2).
X1
ρ YX1
r x1x2
Y
X2
ρ YX2
Є1
Gambar 2. Analisis jalur Variabel penelitian
9
4. Analisis dan Pembahasan
a. Analisisis Deskriptif
Kemampuan pengetahuan dan keahlian di kalangan SKPD Kota Banda Aceh dalam memberikan
pelayanan pada publik sudah termasuk baik, hal ini memperlihatkan bahwa pihak dinas dan lembaga
sangat memperhatikan kemampuan pengetahuan dan keahlian pegawai. Namun demikian berdasarkan
jawaban responden, bahwa dalam kemampuan ataupun pengetahuan pegawai, masih terdapat beberapa
hal yang menjadi kelemahan. Di antaranya: lemahnya kemampuan konseptual dan kemampuan teknikal
yang dimiliki pegawai.
Jiwa kewirausahaan aparatur di lingkungan SKPD kota Banda Aceh terkait dalam pelayanan pada
publik masuk dalam kategori cukup baik. Namun dalam pengembangan jiwa kewirausahaan pegawai
yang berkaitan dengan aktivitas tugas, masih terdapat beberapa hal yang menjadi kekurangan atau
kelemahan, seperti kemauan untuk melakukan perubahan atau terobosan dan kemapuan untuk
melakukan kreativitas dan inovasi yang dimiliki pegawai, dianggap masih rendah.
b. Analisis Verifikatif
Berdasarkan jawaban setiap variabel pertanyaan dari 50 responden, dengan bobot skala 1 sampai 4,
maka setelah terlebih dahulu diperiksa asumsi/syarat analisis, baik validitas, reliabilitas, kenormalan
data, maka hasil olahan data dinyatakan hubungan variabel kemampuan (X1) dengan jiwa kewirausaan
(X2) diperoleh nilai koefisien korelasi yang sebesar 0,352 Hasil uji statistik mendukung adanya
hubungan yang positif dengan kriteria keeratan hubungan sedang. Sehingga analisis masalah yang
dikaji perlu dilakukan dengan pendekatan analisis jalur. Pengaruh Kemampuan dan Jiwa kewirausaan
terhadap Kualitas Pelayanan Prima Aparatur di SKPD Banda Aceh, melalui analisis secara statistik,
yakni pendekatan analisis jalur antara variabel dapat dijelas pada gambar 3. di bawah ini :
X1
ρ =0,511
r=0,352
Y
X2
ρ =0,328
Є
Gambar 3.
Pengaruh Kemampuan Kerja dan Jiwa Kewirausaan terhadap Kualitas pelayanan Prima Aparatur SKPD
Gambar diatas, menyatakan persamaan jalur, berbetuk Y = 0,511 X1 + 0,328 X2
Dari persamaan di atas dapat di artikan bahwa:
1) Terdapat hubungan asosiatif Keampuan Kerja dengan Kualitas Pelayanan Aparatur yang besarnya
0,511 ( ρ YX1 )
2) Terdapat hubungan asosiatif Jiwa Kewirausahaan dengan k Kualitas Pelayanan Aparatur yang
besarnya 0,329 (ρYX2 )
Adapun pengaruh langsung dan tidak langsung secara bersamaan Kemampuan kerja (X1) dan Jiwa
kewirausahaan (X2) terhadap Kualitas Pelayanan Aparatur (Y), adalah;
1). Besaran Pengaruh Langsung :
a. Kemampuan kerja (X1) mempunyai pengaruh langsung terhadap Kualitas Pelayanan Aparatur
(Y) sebesar 26,11 % (R2 yx1),
b. Jiwa kewirausahaan (X5) mempunyai pengaruh langsung terhadap Kualitas Pelayanan
Aparatur (Y) sebesar 10,76 % (R2 yx2)
2). Besaran Pengaruh Tidak langsung
a. Besaran pengaruh tidak langsung Kemampuan kerja (X1) melalui Jiwa kewirausahaan (X2)
terhadap Kualitas pelayanan prima aparatur (Y) sebesar 5,90 % ( R2 y x1x2 ).
b. Demikian pula besar pengaruh tidak langsung variabel Jiwa kewirausahaan (X2) terhadap
Kemampuan kerja (X1) terhadap Kualitas Pelayanan prima Aparatur (Y) sebesar 5,90 % ( R2 y
x2x1 ).
10
Berdasarkan keterangan di atas, dapat menjelaskan bahwa besaran pengaruh dari masing-masing
variabel Kemampuan kerja (X1) dan Jiwa kewirausahaan (X2) , sebagai berikut :
1) Besaran pengaruh parsial dari variabel Kemampuan kerja terhadap Kualitas Pelayanan prima
Aparatur, baik langsung maupun tidak langsung sebesar 32,01 % .
2) Adapun besaran pengaruh parsial dari variabel Jiwa Kewirausahaan terhadap Kualitas Pelayanan
prima Apartur, baik langsung maupun tidak langsung sebesar 16,66 % .
Pembahasan Hasil Analisis
Teoritikal dan Fenomenal
Secara analisis verifikatif dari analisis faktor yang diteliti terhadap Kualitas Pelayanan Aparatur untuk
kasus penelitian SKPD Kota Banda Aceh Provinsi Aceh pada tahun 2012, untuk selanjutnya peneliti
perlu melakukan pembahasan secara mendalam tentang kondisi dan fenomena yang berkaitan dengan
perencanaan, pengelolaan, pengembangan, pelayanan guna mampu meningkatkan kinerja aparatur dan
kelembagaan secara optimal. Sebagaimana diketahui bahwa pada era pembangunan sekarang ini
tuntutan terhadap pelayanan dari aparatur terhadap masyarakat semakin tinggi oleh karena itu perlu
adanya peningkatan kemampuan dan komitmen dari aparatur pelayanan. Disamping itu dalam
pembahasan ini akan menjelaskan secara menyeluruh dan komprehensif mengenai pengujian model
yang dibangun, keeratan hubungan di antara variabel bebas, dan besaran koefisien jalur dari variabel
bebas terhadap variabel terikat serta besaran pengaruh secara langsung maupun tidak langsung dari
masing variabel tersebut. Untuk selengkapnya dapat dijelaskan sebagai berikut :
Pengujian Kelayakan Model Penelitian.
Hasil uji kelayakan model menunjukan bahwa model penelitian telah memenuhi the goodness of an
econometric model atau kerakteristik yang dapat diharapkan. Dari sisi theoretical plausibility, model
penelitian ini memperlihatkan bahwa hasil uji sesuai dengan ekspetasinya dan teori manajemen, prilaku
organisasi, kinerja aparatur menjadi dasar pemikirannya. Dari sisi accuracy of the estimates of the
parameters, model penelitian ini menghasilkan estimator koefisien jalur yang akurat atau tidak bias dan
signifikan. Asumsi analisis terpenuhi dan probabilitas kesalahan statistik dari model sangat rendah atau
p-value < 5 %. Sedangkan melalui explanatory ability, model penelitian ini memiliki kemampuan yang
tinggi dalam menjelaskan hubungan antar fenomena variabel manajemen yang dikaji. Karena standard
error lebih kecil daripada ½ kali nilai mutlak koefisien jalurnya (SE < ½ ρ i). Serta dari sisi forecasting
ability, model penelitian ini memiliki kemampuan prediksi yang cukup atas perilaku variabel terikat
sebagaimana ditunjukan oleh tingginya koefisien determinasi model yang melebih 1/3 dari total
pengaruh, dengan perincian bahwa besaran pengaruh dari variabel eksogenus (Kemampuan kerja an
Jiwa kewirausahaan) yang diteliti terhadap variable endogenus ditaksir sebesar 48,67%.
5. Simpulan
Hasil penelitian survey dengan kasus sampel Apartur SKPD Kota Banda Aceh, menyatakan semakin
baiknya Kemampuan kerja pelayanan, maka berdampak positif terhadap Kualitas Pelayanan prima
Aparatur. Hal ini juga senada dengan faktor adanya jiwa kewirausahaan dari aparatur, baik dalam hal
melakukan perubahan, adanya kreativitas dan inovasi, tindakan proaktif aparatur dalam pelayanan, dan
kemampuan mengelola risiko. Namun demikian dari besaran pengaruh tersebut, menandakan bahwa
kemampuan kerja yang ada selama ini dan jiwa kewirausahaan pada aparatur belum optimal, dalam
artian masih perlu adaya upaya peningkatan, sehingga tercapai peningkatan kualitas pelayanan yang
prima dari Aparatur SKPD Kota Banda Aceh.
Daftar Pustaka
Brownell, P. dan M. McInnes. 1986. “Budgetary Participation, Motivation, and Managerial
Performance”. The Acccounting Review. Vol. LXI(4). October: 587-600.
Dessler, Gary, 2007, Manajemen Sumber Daya Manusia, Alih Bahasa oleh Paramita Rahayu, Edisi ke10 Jilid-2. PT. Indeks, Jakarta.
Handoko, T. Hani. 2006. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia, Edisi Keempat,
Yogyakarta: BPFE
Idrus, M.S. 1999. Strategi Pengembangan Kewirausahaan (Entrepreneurship) dan Peranan Perguruan
Tinggi dalam Rangka Membangun Keunggulan Bersaing (Competitive Advantege) Bangsa
Indonesia pada Millenium Ketiga. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu
11
Manajemen Kuantitatif pada Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya.
Indiahono, Dwiyanto.2009. Kebijakan Publik Berbasis Dynamic Policy Analisys. Gaya Media,
Yogyakarta.
Indriantoro, N. dan B. Supomo. 2000. Metodologi Penelitian Bisnis Untuk Akuntansi dan Manajemen.
BPFE, Yogyakarta.
Kenis L. 1979. “The Effect of Budgetary Goal Characteristics on Managerial Attitudes and
Performance.” Accounting Review. October, p. 707-721.
Kotler. P. 1997. Manajemen Pemasaran. : Analisa, Perencanaan, Implikasi dan Kontrol, Jilid I. PT
Prenhallindo, Jakarta.
Lawrence, S. 1989. “Voice of Human Resources Experience”. Personnel Journal. April: 61-75.
Martoyo, Susilo. 2000. Manajemen Sum-berdaya Manusia, BPFE, Yogyakarta.
Moenir, HAS. 2002. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Bumi Aksara, Jakarta.
Ndraha, Taliziduhu. 1990. Pembangunan Masyarakat mempersiapkan Masyarakat Tinggal Landas.
Rineka Cipta, Jakarta.
Noe, Raymond A, Hollenbeck, John R, Gerhart, Barry, Wright, Patrick M. 2010. Manajemen Sumber
Daya Manusia: Mencapai Keunggulan Bersaing. Buku 1 Edisi 6, Salemba Empat, Jakarta.
Notoatmojo, Soekidjo. 2003. Pengembangan Sumber Daya Manusia, Edisi Revisi, Penerbit Rineka
Cipta, Jakarta.
Osborne, David and Gaebler, Ted. 1997. Mengusahakan Birokrasi (Mentransformasi Semangat
Wirausaha ke dalam Sektor Publik). PT. Pustaka Binaman Presido, Jakarta.
Randall dan Susan, 1999; Randall S. dan Susan J., 1999, Manajemen Sumber Daya Manusia,
Menghadapi Abad ke 21, Alih Bahasa
Rasyid, Ryaas. 1997. Makna Pemerintahan Tinjauan dari Segi Etika dan Kepemimpinan. PT. Yarsif
Watampone, Jakarta.
Schuller, R.S.1990. Repotitioning The Human Resources Function: Transforming or Demise, Academy
Management Excecutive, 4(3) : 49-59.
Siagian, Sondang P. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta.
Steers, Ricard M. 1985. Efektivitas Orga-nisasi (Kaidah Perilaku), Seri Manajemen No. 47, Erlangga,
Jakarta.
Steinhoff and Burgess,1993. Small Business Management Fundamentals, Sixth Ed, McGraw-Hill.
Skelcher, Chris, 1992, Managing for Service Quality, London: Longman Group, U.K.Lpd.
Soetopo. 1999. Pelayanan Prima. LANRI, Jakarta
Walker, RG. 1987.Australia‟s ASRB : A Case Study of Political Activity and Regulatory „Capture‟,
Accounting and Business Research, Vol. 17.
Widodo, J. 2001. Good Governance, Insan Cendekia, Surabaya.
Winardi, J. 2008. Entrepreneur dan Entrepreneurship. Cetakan ke-3, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta.
Wortzel, H.V., dan L.H. Wortzel. (1997). Strategic Management In the Global Economy. New York:
John Wiley & Sons, Inc.
UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Jakarta, Sinar Grafika, 2005.
UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Jakarta , Sinar Grafika, 2005
12
Download