BAB II MEDIA GAMBAR SEBAGAI UPAYA MELATIH DAYA INGAT

advertisement
BAB II
MEDIA GAMBAR SEBAGAI UPAYA MELATIH DAYA INGAT
DALAM PENGAJARAN MEMBACA PERMULAAN
BAGI
ANAK TUNARUNGU
A. Konsep Ketunarunguan.
1. Pengertian Tunarungu.
Istilah tunarungu diambil dari “Tuna” dan “Rungu”. Tuna artinya kurang dan Rungu
artinya pendengaran (Depdikbud, 1996 : 26). Orang atau anak dikatakan tunarungu apabila ia
tidak mampu mendengar atau kurang mampu mendengar suara.
Berbagai pengertian tunarungu menurut para ahli pada umumnya ada kesamaan yakni
dapat ditinjau dari segi medis, pendidikan, dan semuanya sudah merupakan suatu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan.
Amin (1984: 3) mendefinisikan anak tunarungu sebagai berikut: Dalam pendidikan luar
biasa yang disebut tuli adalah hanya yang tidak dapat mendengar suara sama sekali, sekalipun
dibantu dengan alat bantu dengar. Sedangkan orang yang masih dapat mendengar suara
(sekalipun dengan suara keras atau dengan alat bantu dengar) disebut kurang dengar.
Salim (1984: 8) meninjau pengertian dari dua segi, segi medis dan pedagogis. Kedua
batasan tersebut disesuaikan dengan tujuan dalam dunia pendidikan, yaitu untuk memudahkan
dalam memberikan pelayanan penedidikan. Batasan tersebut adalah sebagai berikut: Secara
medis, tunarungu berarti kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan
oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat-alat pendengaran. Secara
pedagogis : “Tunarungu berarti kekurangan atau kehilangan pendengaran yang mengakibatkan
hambatan dalam perkembangan bahasa sehingga memerlukan bimbingan
khusus.
dan pendidikan
Sedangkan menurut Andreas Dwijosumanto (1990: 1) seseorang yang tidak atau kurang
mampu mendengar suara dikatakan tunarungu. Ketunarunguan dibedakan menjadi dua katagori
yaitu: Tuli (deaf) dan kurang dengar (hard of hearing). Tuli adalah mereka yang indera
pendengarannya mengalami kerusakan, dalam taraf berat sehingga tidak berfungsi lagi.
Sedangkan kurang dengar adalah mereka yang indera pendengarannya mengalami kerusakan,
tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar baik dengan alat maupun tanpa alat Bantu dengar
(hearing aid).
Dari batasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian tunarungu adalah
seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian
atau keseluruhan yang diakibatkan karena tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat
pendengaran, sehingga ia tidak dapat menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupan
sehari-hari.
2. Klasifikasi Tunarungu
Klasifikasi menurut taraf pendengaran anak tunarungu sangat efektif dilakukan bagi
seorang pendidik, untuk memudahkan dalam pemberian layanan pendidikan bagi anak tunarungu
sesuai dengan taraf ketunarunguannya. Salim (1984: 2) mengklasifikannya sebagai berikut:
a. Mereka yang kehilangan pendengaran antara 40-60 dB.
Gejala umum ialah kurang mampu menangkap percakapan sehingga timbul
kesalahpahaman. Ucapannya sering tidak mengerti dan susunan bahasanya terbatas. Sebaiknya
pelayanan di SLB/ B berkisar pada latihan bicara, latihan mendengar. Bimbingan khusus
pemakaian bahasa lisan atau tertulis hendaknya dilakukan sehingga anak bisa belajar bahasa.
b. Mereka yang kehilangan pendengaran antara 60-70 dB.
Gejala umum ialah hanya mendengar suara dalam jarak dekat. Spontanitas bahasa tidak
dapat berkembang. Dapat membedakan vokal, tetapi konsonan tidak dapat dibedakan.
Kebutuhan pelayanan pendidikan adalah latihan bicara, latihan membaca ujaran serta
penggunaan alat bantu dengar perlu diberikan didahului dengan latihan mendengar.
c. Mereka yang kehilangan pendengaran antara 75 sampai dengan tanpa reaksi terhadap bunyi.
Klasifikasi tunarungu menurut Samuel A. Kirk dalam Somad dan Hernawati (1995:
27):
a. 0 dB
: Menunjukkan pendengaran yang optimal.
b. 0-26 dB
:
Menunjukkan
seseorang
masih
mempunyai
pendengaran
yang
normal.
c. 27-40 dB :Mempunyai kesulitan mendengar bunyi-bunyi yang jauh, membutuhkan tempat
duduk yang strategis letaknya dan memerlukan terapi bicara
(tergolong
tunarungu ringan)
d. 41-55 dB : Mengerti bahasa percakapan, tidak dapat mengikuti diskusi kelas,
membutuhkan alat Bantu dengar dan terapi bicara (tergolong tunarungu sedang).
e. 56-70 dB : Hanya bisa mendengar suara dari jarak yang dekat, masih mempunyai sisa
pendengaran untuk belajar bahasa dan bicara dengan menggunakan alat bantu
mendengar serta dengan cara yang khusus (tergolong tunarungu agak berat).
f. 71-90 dB : Hanya bisa mendengar bunyi yang sangat dekat, kadang-kadang dianggap tuli,
membutuhkan pendidikan luar biasa intensif, membutuhkan alat bantu dengar dan
latihan bicara secara khusus (tergolong tunarungu berat).
g. 91 keatas : Mungkin sadar akan adanya bunyi atau suara dan getaran, banyak
tergantung pada penglihatan daripada pendengaran untuk proses
menerima informasi, dan yang bersangkutan dianggap tuli (dianggap tunarungu
berat sekali).
Sedangkan klasifikasi ketunarunguan menurut Empu Driyanto, Taufik Boesorie, Tatang
S (1981: 3), yang dikutip oleh Edja Sadja’ah dan Dardjo Sukardja (1995: 46-47) adalah sebagai
berikut:
a. Cacat dengar ringan (Mild hearing loss), yaitu derajat cacat dengar dengan hitungan dalam dB
antara 26-40 dB.
b. Kelompok cacat debgar sedang (Moderate hearing loss) yaitu kelompok cacat dengar dengan
derajat antara 41-55 dB.
c. Cacat dengar sedang berat (Moderate severe hearing loss) yaitu kelompok cacat dengar
dengan derajat antara 56-70 dB.
d. Cacat dengar berat (Severe hearing loss) yaitu kelompok cacat dengar dengan derajat antara
71-98 dB.
e. Cacat dengar terberat (Profound hearing loss) yaitu kelompok cacat dengar dengan derajat
diatas 91 dB.
Diatas 91 dB biasanya disebut tuli, sedangkan yang mencapai batas tanpa reaksi disebut
tuli total. Gejala umum adalah bahasa dan ucapannya tidak berkembang, tanpa pembinaan yang
intensif. Latihan membaca ujaran sangat diutamakan sebagai alat penerima pendidikan dan
pembantukan ucapan dilatihkan menurut kesanggupan anak.
Menurut Ballantyne (1970), ditinjau dari lokasi terjadinya ketunarunguan, klasifikasi
anak tunarungu dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut :
a. Tunarungu Konduktif
Ketunarunguan tipe konduktif ini terjadi karena beberapa organ yang berfungsi sebagai
penghantar suara di telinga luar, seperti liang telinga, selaput gendang serta ketiga tulang
pendengaran yang terdapat di telinga bagian dalam dan dinding-dinding labirin mengalami
gangguan. Ada beberapa kondisi yang menghalangi masuknya getaran suara atau bunyi ke organ
yang berfungsi sebagai penghantar, yaitu tersumbatnya liang telinga oleh kotoran telinga atau
kemasukan benda-benda asing lainnya; mengeras, pecah, berlubang pada selaput gendang telinga
dan ketiga tulang pendengaran (malleus,incus dan stapes) sehingga efeknya dapat menyebabkan
hilangnya daya hantaran organ tersebut. Oleh karena itu tipe tunarungu ini disebut tunarungu
konduktif
b. Tunarungu Perseptif
Ketunarunguan tipe perseptif disebabkan terganggunya organ-organ pendengaran yang terdapat
di belahan telinga bagian dalam. Sebagaimana diketahui, organ telinga di bagian dalam memiliki
fungsi sebagai alat persepsi dari getaran suara yang dihantarkan oleh organ-organ pendengaran di
belahan telinga bagian luar dan tengah. Ketunarunguan perseptif ini terjadi jika getaran suara
yang diterima oleh telinga bagian dalam (terdiri dari rumah siput, serabut saraf pendengaran,
corti) yang bekerja mengubah rangsang mekanis menjadi rangsang elektris, tidak dapat
diteruskan ke pusat pendengaran di otak . Oleh karena itu, tunarungu tipe ini disebut juga
tunarungu saraf karena saraflah yang berfungsi untuk mempersepsi bunyi atau suara
c. Tunarungu campuran
Ketunarunguan tipe campuran ini sebenarnya untuk menjelaskan bahwa pada telinga yang sama,
rangkaian organ-organ telinga yang berfungsi sebagai penghantar dan menerima rangsangan
suara mengalami gangguan, sehingga yang tampak pada telinga tersebut telah terjadi campuran
antara ketunarunguan konduktif dan ketunarunguan perpektif.
3. Karakteristik Tunarungu
Gangguan yang tidak tampak pada anak kebutuhan khusus dalam hal ini gangguan
pendengaran, sebab secara fisik anak ini tidak kelihatan mengalami gangguan. Hanya saja
sebagai akibat ketunarunguannya anak ini memiliki karakteristik yang khas. Ada beberapa
karakteristik anak tunarungu yang berarti menunjukkan kekhasannya sebagai berikut:
a. Karakteristik dalam hal inteligensi.
Kecerdasan seseorang seringkali dihubungkan dengan prestasi akademis sehingga
orientasi akademis tertentu yang dicapai seseorang merupakan gambaran riil kecerdasannya.
Gambaran tentang tingkat kecerdasan itu sendiri secara spesifik hanya dapat diketahui melalui
tes kecerdasan.
Distribusi kecerdasan yang dimiliki anak tunarungu sebenarnya tidak berbeda dengan
anak normal umumnya. Hal ini disebabkan anak tunarungu ada yang memiliki tingkat
kecerdasan di atas rata-rata (superior), rata-rata (average), maupun di bawah rata-rata
(subnormal). Namun, untuk menggambarkan secara riil keragaman kecerdasan anak tunarungu
seringkali mengalami kesulitan. Untuk mengetahui kondisi kecerdasan anak tunarungu
memerlukan cara yang agak berbeda dibandingkan dengan anak normal umumnya.
Kehilangan pendengaran yang dialami anak tunarungu berdampak pada kemiskinan
kosa kata, kesulitan berbahasa dan berkomunikasi, efeknya dapat menyebabkan perbedaan
sangat signifikan tentang apa yang tidak dapat dan apa yang dapat dilakukan oleh anak
tunarungu maupun anak normal. Tanpa memerhatikan kenyataan ini, jelas akan mengakibatkan
kekeliruan dalam mengambil kesimpulan tentang kondisi kecerdasan anak tunarungu. Atas dasar
itulah dalam menyajikan perangkat tes apapun terhadap anak tunarungu, hendaknya
mempergunakan perintah-perintah yang akurat dan mudah dipahami anak tunarungu. Hal ini
disebabkan tidak mustahil kekeliruan seorang tester dalam menyampaikan perintah tes kepada
anak tunarungu berdampak pada kesesatan interpretasi terhadap kondisi kecerdasan anak
tunarungu yang sebenarnya.
Cruickshank (1980) mengemukakan bahwa anak tunarungu seringkali memperlihatkan
keterlambatan dalam belajar dan kadang-kadang tampak terbelakang. Kondisi ini tidak hanya
disebabkan oleh derajat gangguan pendengaran yang dialami oleh anak, melainkan juga
tergantung kepada potensi kecerdasan yang dimilikinya. Rangsangan mental serta dorongan dari
lingkungan sekitar dapat memberikan kesempatan bagi anak tunarungui untuk mengembangkan
kecerdasannya.
Pintner, seorang psikolog yang bekerja pada lembaga pendidikan anak
tunarungu mengemukakan bahwa anak tunarungu hanya dapat menunjukkan kemampuan dalam
bidang motorik dan mekanik, serta intelegensi konkret, tetapi memiliki keterbatasan dalam
intelegensi verbal dan kemampuan akademik (Siregar, 1981).
b. Karakteristik bicara dan bahasa.
Terdapat kecenderungan bahwa seseorang yang mengalami tunarungu seringkali diikuti
pula dengan tunawicara. Kondisi ini tampaknya sulit dihindari, karena keduanya dapat menjadi
suatu rangkaian sebab dan akibat. Seseorang penderita tunarungu, terutama jika terjadi pada
sebelum bahasa dan bicaranya terbentuk, dapat dipastikan bahwa akibat berikut yang terjadi
pada diri penderita adalah kelainan bicara (tunawicara). Namun tidak demikian halnya seorang
penderita tunawicara, tidak ditemukan rangkaian langsung dengan kondisi tunarungu. Kasuskasus seperti penderita gagap (stuttering), dan kekacauan artikulasi (cluthering) adalah contoh-
contoh kelainan bicara yang sebenarnya kecil kemungkinannya berkaitan dengan kondisi
ketunarunguan.
Ada dua hal penting yang menjadi ciri khas hambatan anak tunarungu dalam aspek
kebahasaannya. Pertama, konsekuensi akibat kelainan pendengaran (tunarungu) berdampak pada
kesulitan dalam menerima segala macam rangsang bunyi atau peristiwa bunyi yang ada
disekitarnya. Kedua, akibat keterbatasannya dalam menerima rangsang bunyi pada gilirannya
penderita akan mengalami kesulitan dalam memproduksi suara atau bunyi bahasa yang ada
disekitarnya. Kemunculan kedua kondisi tersebut pada anak tunarungu, secara langsung dapat
berpengaruh terhadap kelancaran perkembangan bahasa dan bicaranya.
Anak tunarungu tidak bisa mendengar bahasa, kemampuan bahasanya bila tidak dilatih
atau tidak dididik secara khusus akibat dari ketidakmampuannya dibandingkan dengan anak
yang mendengar dengan usia yang sama, maka dalam perkembangan bahasanya akan jauh
tertinggal. Kemampuan berbicara dan bahasa anak tunarungu berbeda dengan anak yang
mendengar hal ini disebabkan karena perkembangan bahasa erat kaitannya dengan kemampuan
mendengar.
Perkembangan bahasa dan bicara pada anak tunarungu sampai masa meraban tidak
mengalami hambatan karena meraban merupakan kegiatan alami pernapasan dan pita suara.
Setelah masa meraban perkembangan bahasa dan bicara anak tunarungu terhenti. Pada masa
meniru anak tunarungu terbatas pada peniruan yang sifatnya visual yaitu gerak dan isyarat.
Bahasa adalah alat berfikir dan sarana utama seseorang untuk berkomunikasi,
menyampaikan ide dan perasaannya, termasuk untuk mengetahui makna kata serta kaidah bahasa
dan penerapannya. Kemampuan membaca, menulis, berbicara dan mendengar merupakan alat
komunikasi bahasa. Pada anak tunarungu kemampuan berbicara akan berkembang dengan jalan
latihan dan bimbingan secara terus-menerus, walaupun hasilnya tidak akan seperti anak normal
yang mendengar.
c. Karakteristik emosi dan sosial.
Fungsi emosi diartikan sebagai persepsi seseorang tentang dirinya, dan fungsi sosial
adalah sebagai persepsi tentang hubungan dirinya dengan orang lain dalam situasi sosial
(Boothroyd, 1982). Selanjutnya dikatakan bahwa pendengaran memegang peran yang berarti
(signifikan) dalam perkembangan awal emosi-sosial namun bukan esensial. Sedangkan pada
tahap perkembangan yang lebih lanjut bahasalah yang memegang peran berarti dan esensial.
Anak tunarungu mengetahui akan kehadiran atau kasih sayang ibunya hanya kalau ada
kontak visual atau taktil, sedangkan anak mendengar memiliki pula kontak melalui pendengaran.
Kontak melalui pendengaran yaitu nada suara ibu, menurut Marschark (1993), bahkan sudah
dimulai sejak bayi dalam kandungan. Janin yang berpendengaran normal akan mampu
mendengar suara ibu dan rupanya relasi ibu-anak sudah mulai berkembang sejak itu. Setelah
lahir, suara ibu merupakan sesuatu yang dikenal dan menentramkannya atau menyejukkan
hatinya, dengan daya tarik yang lebih besar daripada suaru manusia lainnya. Dengan demikian
bayi tunarungu kehilangan suatu komponen berarti yang berkaitan dengan konteks sosial yang
bermakna. Hal ini telah terbukti membawa konsekuensi dalam bidang perilaku dan emosi. Dalam
kasus dimana orang tua sudah menyadari bahwa anak mereka tunarungu , keadaan itu dapat
dikompensasi dengan memberikan rasa aman melalui perabaan (belaian, sentuhan), melalui
penglihatan, dan ekspresi muka yang nyata. Bila orang tua belum menyadari ketunarunguan
anak, kompensasi seperti itu tidak terjadi dan ini kemungkinan besar mengakibatkan suatu
kendala atau keterlambatan dalam pembentukan perilaku sinkron/selaras antara ibu dan anak.
Sinkron dalam hal ini menunjuk pada terjalinnya pola perilaku ibu dan anak yang menyatu pada
suatu interaksi yang khas dalam kegiatan rutin sehari-hari. Ikatan antara ibu dan bayi
menyebabkan mereka saling tanggap, mengembangkan suatu pola interaksi timbal balik yang
biasanya berbeda dari hubungan antara bayi dan orang lain. Bagi orang tua yang mengikuti
program intervensi dini dimana konseling dan penyuluhan orang tua merupakan unsur penting,
seorang ibu telah diberi kesempatan untuk membangun kembali relasi sosial dengan anaknya,
yaitu setelah mereka melalui masa-masa guncangan emosiaonal yang ditimbulkan sebagai akibat
diterimanya diagnosa tentang ketunarunguan anak. Marschark mengamati manfaat yang dapat
dipetik orang tua anak tunarungu yang mengikuti program seperti itu dibandingkan dengan
mereka yang tidak mengikutinya, yaitu baik dalam relasi orang tua-anak maupun interaksi sosial
anak sewaktu di pra-sekolah.
Dalam berbagai teori tentang perkembangan kepribadian dan sosial ditekankan pada
pengalaman seseorang semasa kecil yang memberi pengaruh dalam membentuk perilaku dan
penyesuaian diri dalam hidup di kemudian hari.
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan secara kontinu, Van Uden (1971) berhasil
mencatat beberapa sifat kepribadian anak tunarungu, antara lain:
1. Egosentris (sifat keakuan) yang melebihi anak normal.
Daerah pengamatan anak tunarungu lebih sempit jika dibandingkan dengan anak yang
mendengar. Daerah unsur penglihatan jauh lebih sempit jika dibandingkan dengan daerah
pengamatan pendengaran, kalau melihat hanya ada pada bagian depan saja yang terlihat,
sedangkan pendengaran bisa ada disekelilingnya. Oleh karena itu bagi anak tunarungu dunia
menjadi sepi dan amat kecil. Jadi semakin sempit perhatiannya, egonya semakin menutup dan
mempersempit kesadarannya. Karena besarnya peran penglihatan dalam pengamatan maka anak
tunarungu menjadi sifat “sangat ingin tahu” seolah-olah mereka selalu haus untuk melihat dan
hal ini semakin menambah besar egosentrisme karena anak tunarungu sebagai pemata, sifatnya
selalu ingin menarik kedekatannya apa-apa yang mau dilihatnya, kadang-kadang mereka ingin
memilikinya bahkan bisa merebut dari tangan orang lain.
2. Mempunyai perasaan takut menghadapi lingkungan yang lebih luas.
Hal ini disebabkan karena sering merasa kurang menguasai keadaan yang diakibatkan oleh
pendengarannya yang terganggu, sehingga ia sering merasa khawatir dan menimbulkan
ketakutan.
3. Ketergantungan terhadap orang lain.
Sikap ketergantungannya terhadap orang lain atau terhadap orang yang sudah dikenalnya dengan
baik, merupakan gambaran bahwa mereka mudah putus asa dan selalu mencari bantuan serta
bersandar pada orang lain.
4. Perhatiannya lebih sukar dialihkan.
Suatu hal yang biasa terjadi pada anak tunarungu ialah menunjukkan keasyikan bila mengerjakan
sesuatu, apabila ia menyukai benda atau pandai mengerjakan sesuatu. Alam pikiran tunarungu
selamanya tertuju pada hal-hal yang konkrit. Jadi jalan pikiran anak tunarungu tidak mudah
berfikir ke hal-hal lain yang tidak atau belum nyata.
5. Mereka umumnya memiliki sifat yang polos, sederhana, dan tanpa banyak masalah.
Karena kemiskinan dalam mengekspresikan perasaan dalam berbagai cara seakan-akan tidak
mempunyai beban, dianggap mudah menyampaikan perasaan tanpa memikirkan baik buruknya
terhadap orang lain. Contoh: Temanku mencuri penghapus, padahal hanya meminjam sebentar.
Hal ini bisa disampaikan dengan cara yang halus tidak perlu dengan cara yang kasar. Anak
tunarungu hampir tidak menguasai suatu ungkapan dengan baik, sehingga ia akan mengatakan
langsung apa yang dimaksudnya. Contoh: Saya haus sekali, anak tunarungu akan mengatakan
“saya minum”.
6.
Mereka lebih mudah marah dan cepat tersinggung, tetapi juga bisa baik hati. Seringnya
mengalami kekecewaan yang timbul dari kesukaran menyampaikan perasaan dan pikiran kepada
orang lain dan sulitnya mengerti apa yang disampaikan orang lain kepadanya, bisa menimbulkan
salah pengertian yang memicu kemarahan .
Semakin luas bahasa yang mereka miliki semakin mudah pula mereka berbicara serta semakin
mudah memahami maksud orang lain, sehingga mereka akan lebih komunikatif dan dapat
menguasai diri. Sifat pengendalian diri ini dikombinasikan dengan perasaan anak tunarungu
yang lebih halus dapat menyebabkan mereka bersifat lebih ramah dan lembut terhadap orang
lain.
Sebagai bagian yang integral dari masyarakat yang mendengar, anak tunarungu tidak dapat
lepas dari nilai sosial yang berlaku dan harus dilaksanakan. Oleh karena itu, penerimaan nilainilai sosial bagi anak tunarungu merupakan jembatan dalam pengembangan kematangan sosial
sebab kematangan sosial merupakan salah satu syarat yang harus dimiliki oleh setiap individu
dalam penyesuaian sosial di masyarakat.
Siregar (1981) berpendapat untuk mencapai kematangan sosial, anak tunarungu setidaknya
memiliki :
1. Pengetahuan yang cukup mengenai nilai-nilai sosial dan kebiasaan-kebiasaan
di masyarakat,
2. Mempunyai kesempatan yang banyak untuk menerapkan pengetahuan-pengetahuan tersebut,
3. Cukup mendapat kesempatan mengalami berbagai macam bentuk hubungan
sosial,
4. Mempunyai dorongan untuk mencari pengalaman di atas,
5. Struktur kejiwaan yang sehat dapat mendorong motivasi yang baik.
Dengan memahami karakteristik kepribadian anak tunarungu secara spesifik
dalam kaitannya dengan proses penyesuaian sosial, maka harus diupayakan lang
kah-langkah untuk mengeliminasi masalah-masalah yang akan menghambat anak tunarungu
dalam melakukan penyesuaian sosial secara akurat. Masalah penyesuaian sosial anak tunarungu
memang tidak lepas dari saat dimulainya intervensi dan diagnosisnya. Semakin dini diketahui
letak kelainan dan karakteristiknya, maka akan semakin baik pelaksanaan intervensi
habilitasinya.
B. Kemampuan Membaca Permulaan Anak Tunarungu
Membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk
memperoleh pesan, yang hendak disampaikan oleh penulis melalui media kata-kata atau bahasa
tulis. Dan membaca dapat pula dianggap sebagai suatu proses untuk memahami yang tersirat
dalam tersurat melihat pikiran yang terkandung di dalam kata-kata yang tertulis (Henri Guntur
Tarigan, 1986:7).
Membaca permulaan adalah menuturkan lambang-lambang tulisan yang bermakna,
Wardani (1995;24) mengemukakan, membaca permulaan adalah menyuarakan tulisan tetapi
yang dibaca haruslah bermakna. Sedangkan menurut Purwanto dan Alim (1977;29)
mengemukakan suatu proses yang dipergunakan oleh pembaca untuk mengubah rangkaianrangkaian huruf menjadi rangkaian-rangkaian bunyi yang bermakna dan melancarkan teknik
membaca pada anak-anak.
Membaca permulaan apabila diperhatikan dari pernyataan di atas, merupakan langkah
awal dalam mengingat (memahami) huruf dan merangkaikannya menjadi sesuatu yang bermakna
serta menyuarakannya.
Kemampuan membaca yang diperoleh pada membaca permulaan akan sangat
berpengaruh terhadap kemampuan membaca lanjut. Sebagai kemampuan yang mendasari
kemampuan berikutnya maka kemampuan membaca permulaan benar-benar memerlukan
perhatian guru. Jika tidak, maka dalam membaca lanjut siswa akan mengalami kesulitan
sehingga kemampuan membaca tidak memadai.
Membaca permulaan pada anak-anak tunarungu secara umumnya tidak berbeda dengan
anak-anak pada umumnya (anak mendengar) yaitu merupakan tahap menerima dan memahami
informasi melalui lambang-lambang tulisan yang telah dikuasai maknanya dalam bentuk
lambang lisan atau bentuk lainnya atau merupakan transfer informasi bentuk-bentuk lambang
bunyi ujaran atau bentuk-bentuk lainnya yang telah difahami dan dikuasainya ke dalam bentuk
informasi lambang tulisan. Untuk itu, bahan-bahan bacaan atau materi pembelajaran harus
merupakan materi yang telah dikuasai isinya (maknanya).
Dalam membaca permulaan disamping dituntut kemampuan-kemampuan yang
berkaitan dengan cara-cara mengakses bunyi, juga dituntut kemampuan mengingat dan
memahami sistem lambang bunyi serta cara-cara memproduksi bunyi bahasa. Tetapi karena
gangguan dalam fungsi pendengaran menjadikan anak tunarungu memiliki keterbatasan dalam
ingatan auditori yang diperlukan untuk memahami
sistem lambang bunyi dan dalam
memproduksi bunyi bahasa, akibatnya dalam hal membaca permulaan mereka banyak
mengalami kesulitan.
Kekurangmampuan anak tunarungu dalam mengakses bunyi bahasa melalui
pendengarannya akan mempengaruhi kemampuan mengingat dan memehami lambang bunyi
serta kemampuan menirukan (memproduksi) bunyi bahasa, karena ketunarunguan dan
kemampuan mengingat memiliki korelasi yang kuat. Uden dalam Somad dan Hernawati (1996 :
12) mengemukakan bahwa : “Data auditif lebih diingat karena bersifat ritmis (berirama). Data
dapat dinyanyikan atau dibaca dengan berirama, penekanan secara ritmis pada bagian-bagian
tertentu dapat menunjang ingatan”.
Bertitik tolak pentingnya kemampuan mengingat dalam belajar membaca permulaan,
maka dalam membantu anak-anak tunarungu belajat membaca permulaan, tampaknya perlu
dicari suatu strategi tertentu yang mampu meningkatkan kemampuan anak dalam mengingat.
Dengan meningkatnya kemampuan ingatan anak tersebut, diharapkan dapat memberikan
kemudahan pada anak dalam mengingat dan memahami sistem lambang bunyi dan dalam
memproduksi bunyi bahasa, yang berarti memberikan kemudahan pada anak dalam belajar
membaca.
C. Pengajaran Membaca Permulaan.
Membaca pada dasarnya merupakan upaya untuk mengerti dan dan menafsirkan pikiran,
kehendak, dalam bentuk lisan. Bagian yang tersulit dalam pelajaran membaca adalah membaca
permulaan, sulit karena merupakan pelajaran yang paling banyak menuntut sistematika. Dalam
kegiatan belajar membaca ini sering dibedakan antar membaca permulaan dengan membaca
lanjut. Membaca lanjut dilakukan setelah membaca permulaan.
Membaca permulaan adalah menuturkan lambang-lambang tulisan yang bermakna, Wardani
(1995: 24) mengemukakan, membaca permulaan adalah menyuarakan tulisan, tetapi yang dibaca
haruslah bermakna. Sedangkan menurut Purwanto & Alim (1977: 29) mengemukakan, suatu
proses yang dipergunakan oleh pembaca untuk mengubah rangkaian-rangkaian bunyi yang
bermakna dan melancarkan teknik membaca pada anak-anak.
Membaca permulaan apabila diperhatikan dari pernyataan di atas, merupakan langkah awal
dalam mengingat (memahami) huruf dan merangkaikannya menjadi sesuatu yang bermakna serta
menyuarakannya.
Kemampuan membaca yang diperoleh pada membaca permulaan akan sangat berpengaruh
terhadap kemampuan membaca lanjut. Sebagai kemampuan yang mendasari kemampuan
berikutnya maka kemampuan membaca permulaan benar-benar memerlukan perhatian guru.
Jika tidak , maka dalam membaca lanjut siswa akan mengalami kesulitan sehingga kemampuan
membaca tidak memadai.
Ada beberapa metode membaca permulaan, namun pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga
bagian yaitu metode sintesis , metode analisis, dan metode Fernald
1). Dalam metode sintesis yang mula-mula diajarkan adalah unsur-unsur seperti huruf dan
bunyinya, kemudian rangkaian-rangkaiannya. Dalam metode ini sering dikenal dengan” metode
abjad, metode suara, dan metode suku kata.
a. Metode Abjad
Dalam metode ini bukan mengajarkan huruf-huruf satu demi satu dari a sampai z,
melainkan mengajar huruf-huruf sebagaimana bunyinya dalam abjad, bunyi T dibaca “te” dan
sebagainya. Perihal urutan tergantung kebutuhan, Jika anak sudah menguasai beberapa huruf
bentuklah menjadi suku kata dan kata.Huruf yang pertama disodorkan hendaknya terdiri dari
huruf vokal dan konsonan agar mudah ketika merangkainya menjadi suku kata atau kata. Hurufhuruf baru diajarkan sejalan dengan melatih rangkaian huruf- huruf tadi..
b. Metode Suara
Di lihat dari urutannya metode suara sama dengan metode abjad, hanya saja huruf-huruf
yang dibunyikan tidaklah sama sebagaimana yang dibunyikan pada abjad melainkan lepas dari
bunyi vocal, misalnya bunyi”s” tidak dibunyikan menjadi “es” melainkan seperti bunyi “s” pada
kata “ lepasss”. Dalam membunyikan huruf melalui metode ini dialami kesulitan ketika akan
membunyikan huruf konsonan.
Agar tidak terlalu banyak mengalami kesulitan jika huruf konsonan yang akan diberikan,
maka konsonan seperti m, n, s, r, yang disodorkan lebih awal. Huruf huruf tadi akan terasa lebih
lama dibunyikan tanpa vocal, coba rasakan, mmmmmmm,nnnnnnn,sssssss,rrrrrrrr, tetapi jika
anak itu cadel maka konsonan “r”dapat diberikan kemudian.
c. Metode Suku kata.
Dalam metode ini yang mula-mula diajarkan adalah suku kata, setelah anak menguasai
beberapa suku kata, selanjutnya anak diajarkan untuk merangkaikan menjadi kata. Hal penting
yang harus disadari oleh pemakai metoda ini, bahwa murid harus menyadari adanya unsur suku
kata dalam setiap kata dan harus melihat bahwa suku kata yang sama bunyinya mempunyai
tulisan yang sama pula, dan yang berbeda bunyinya mempunyai tulisan yang berbeda pula. Perlu
diingat pula bahwa suku kata itu berbeda-beda, ada yang terdiri dari konsonan-vokal, dan vokal–
konsonan atau satu vokal diapit dua konsonan (i-tu). Menurut Abdullah Ambary ada 4 pola
umun suku kata Yaitu:
1. Vokal
: a-nak, i-tu, ma-u
2. Vokal- konsonan
: om-bak, in-ti
3. Konsonan-vokal
: ma-in, pa-rit
4. Konsonan-vokal-konsonan: pin-ta, ma-lang
Untuk metoda suku kata, mungkin baik didahulukan konsonan-vokal, bagi huruf
konsonan yang tidak dapat dibunyikan tanpa vocal seperti:t (to-pi) akan sulit dibunyikan tanpa
vokal. Dalam menggunakan metoda ini perlu diperhatikan huruf mana yang akan diperkenalkan.
Sebaiknya perkenalan pada anak dengan huruf yang terbatas, namun dapat melahirkan kombinasi
suku kata atau kata yang bermacam-macam.
Ada kalanya metoda ini dimulai dari kata yang mengandung suku kata yang sama,
sehingga ada kesan sebagai metode kata lembaga, di Indonesia sering ditemukan kata, yang suku
katanya sama seperti: kaka, kaki,kuku.
Metode ini dianggap cocok di Indonesia karena sesuai dengan struktur bahasa Indonesia, dimana
struktur bahasa Indonesia terbentuk dari suku kata.
2). Dalam metode analisis, yang pertama diajarkan adalah keseluruhan(kalimat atau
kata)kemudian unsur-unsurnya. Dengan metode ini sering dikenal dengan istilah metode kata,
dan metode kalimat, atau dengan sebutan SAS/structural analisis sintesis (Lovitt,1989).
a. Metode Kata.
Metode kata ini berlawanan dengan ketiga metode di atas. Dalam metode kata anak
langsung diperkenalkan kepada kata dan pengertiannya. Setelah anak dapat membaca beberapa
kata, selanjutnya anak dilatih untuk merangkaikan kata-kata tersebut menjadi kalimat. Anak
harus melihat bahwa kata-kata itu dapat berubah tempatnya tetapi bunyinya tetap sama dan yang
berubah hanyalah tempatnya.Anak juga harus menyadari bahwa perubahan tempat adakalanya
mengubah arti yang dikandungnya, misalnya: “dia makan ikan “menjadi “ikan makan dia ”.”ini
buku dia” menjadi “ buku dia ini”. Pada kalimat pertama terjadi perubahan makna, sedangkan
pada kalimat ke dua tidak.
Agar segera dibuat kalimat, kata-kata yang mula-mula disodorkan hendaknya meliputi
berbagai jenis kata(kata benda, kata kerja, nama orang) dan sebagainya. Untuk kata kerja
sebaiknya tidak langsung diperkenalkan kata kerja yang memakai awalan atau akhiran, seperti:
makan, tidur, main dll. Sebaiknya kata-kata yang diperkenalkan adalah kata-kata yang digunakan
dalam percakapan anak sehari-hari.
Sambil berlatih membaca kata-kata dan kalimat-kalimat tadi, perkenalkan kepadanya
kata-kata baru, selanjutnya langkah ini disusul dengan memperkenalkan kepada unsur-unsur
seperti suku kata dan huruf dari masing-masing kata yang dipelajarinya. . Langkah ini disusul
dengan penggabungan baru sehingga terjadi kata-kata dan kalimat-kalimat baru sekaligus
perkenalan dengan kata-kata dan huruf-huruf yang terkandung didalamnya. Hal lain yang harus
diperhitungkan guru adalah mempertimbangkan huruf-huruf mana yang harus diajarkan lebih
awal, mana yang diajarkan sesudahnya. Begitupula halnya jika bermaksud merangkai kata-kata
menjadi kalimat, maka buatlah dalam kalimat yang sederhana dan pendek, hindari pula kata-kata
asing yang tidak akan dimengerti anak.
Keunggulan dari metode ini sesuai dengan ilmu jiwa Gestalt dan anak tidak hanya diajak
untuk mengenal tanda-tanda melainkan memahami apa yang ada dibalik tanda-tanda tadi
sehingga kata atau kalimat yang dipelajari langsung dimengerti anak. Sedangkan yang menjadi
kelemahan metode ini dalam kenyataan anak menjadi sering menerka-nerka, sehingga menjadi
kurang teliti dalam membaca.
b. Metode kalimat
Metode ini terkenal dengan sebutan metode SAS (structural analisis sintesis), sesuai
dengan sifatnya maka yang mula-mula diperkenalkan tidak langsung segera kepada unsur-unsur
seperti huruf, melainkan keseluruhan yaitu “kalimat”. Sehubungan dengan hal ini anak harus
tahu bahwa gugus ini dibaca begini, dan gugus itu dibaca begitu sesuai dengan bacaannya. Bila
gugus tadi dirubah, maka susunan kata ikut berubah. Secara singkat urutan dari metode ini
sebagai berikut:
- Sodorkan kalimat kepadanya
- Pecah kalimat tadi menjadi unsur kalimat (kata)
- Kata-kata tadi dipecah menjadi unsur kata (suku kata)
- Selanjutnya suku kata tadi dipecah lagi menjadi huruf kemudian dikembalikan
lagi
kepada kalimat sebagaimana urutan semula. Contoh:
1. ini bapak budi
2. ini bapak budi
3. i-ni ba-pak bu-di
4. I n i b a p a k b u d i
3. i-ni ba-pak bu-di
2. ini bapak budi
1. ini bapak budi
Metode ini memusatkan perhatian murid pada isi bacaan. Yang perlu diperhatikan
adalah kalimat yang disodorkan kepadanya. Perkenalkan kalimat yang sederhana dan dipahami
anak, jangan diselipkan kata-kata asing yang tidak atau kurang dimengerti anak sebab isi kalimat
menjadi tidak bermakna. Jika hal ini terjadi tujuan dari metode ini menjadi gagal.
3). Metode Fernald
Fernald telah mengembangkan suatu metode pengajaran membaca multisensoris yang
sering dikenal pula dengan metode VAKT (Visual,Auditory,Kinesthetic, dan Tactile). Metode ini
menggunakan materi bacaan yang dipilih dari kata-kata yang diucapkan oleh anak, dan tiap kata
diajarkan secara utuh.
Metode ini memiliki empat tahapan :
Tahapan pertama, guru menulis kata yang hendak dipelajari di atas kertas dengan krayon.
Selanjutnya anak menelusuri tulisan tersebut dengan jarinya (Tactile and Kinesthetic). Pada saat
menelusuri tulisan tersebut, anak melihat tulisan (Visual), dan mengucapkannya dengan keras
(Auditory). Proses semacam ini diulang-ulang sehingga anak dapat menulis kata tersebut dengan
benar tanpa melihat contoh. Jika anak telah dapat menulis dan membaca dengan benar, bahan
bacaan tersebut disimpan.
Pada tahapan kedua, anak tidak terlalu lama diminta menelusuri tulisan-tulisan dengan jari,
tetapi mempelajari tulisan guru dengan melihat guru menulis sambil mengucapkannya.
Pada tahapan ketiga, anak-anak mempelajari kata-kata baru dengan melihat tulisan yang
ditulis di papan tulis atau tulisan cetak , dan mengucapkan kata tersebut sebelum menulis. Pada
tahapan ini anak mulai membaca tulisan dari buku.
Pada tahapan keempat anak mampu mengingat kata-kata baru berdasarkan kesamaan katakata tersebut dengan kata-kata yang dicetak atau bagian-bagian dari kata yang telah dipelajari.
Setelah mempelajari ketiga metode pembelajaran di atas, maka metode yang sangat cocok
dalam pengajaran membaca permulaan bagi anak tunarungu adalah Metode Fernald atau metode
VAKT, karena pada metode ini pemahaman anak terhadap materi yang diberikan lebih
mendalam sehingga daya ingat anak lebih lama dan ini cocok dengan karakteristik anak
tunarungu yang memerlukan pemahaman bahasa yang mendalam dan daya ingat yang lebih lama
untuk menunjang kemampuan bahasanya.
D. Kemampuan Daya Ingat.
Daya ingat merupakan bagian dari suatu proses perolehan informasi yang berhubungan
dengan kemampuan berfikir seseorang dalam melaksanakan tugas pemecahan masalah. Proses
ini umumnya terdiri dari suatu rangkaian yang dimulai dari kegiatan menangkap informasi,
menyimpannya, dan mengungkapkannya kembali.
Sumadi Suryabrata (1987) menyatakan bahwa ingatan yang baik mempunyai sifat-sifat
: Cepat atau mudah mencamkan; setia, teguh, dan luas dalam menyimpan; dan siap atau sedia
dalam memproduksi kesan-kesan. Kemampuan individu untuk menyimpan informasi dapat
bersifat permanent atau temporer tergantung pada kebutuhan. Adakalanya penyimpanan tersebut
hanya berlangsung dalam beberapa detik atau bahkan kurang, atau dapat pula disimpan
sepanjang kehidupan.
Pengertian ingatan di atas sekaligus menunjukkan bagaimana
proses ingatan itu
berlangsung. Pada umumnya para ahli membagi proses ingatan dalam tiga tahapan yaitu :
(1) Tahap pemasukan pesan (informasi) dalam ingatan (mencamkan, encoding, reseptif,
registratif, atau acquisition), (2) Tahap penyimpanan informasi (storage, preservasi, retention,
atau menahan), dan (3) Tahap mengingat kembali atau reproduksi kesan-kesan (retrieving, recall,
atau reproduksi).
Dilihat dari tingkatannya (ada juga yang menyebut jenis ingatannya), pada umumnya
ingatan anak tuna rungu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1.Daya ingat jangka pendek anak tuna rungu
Blair (1957) meneliti daya ingat jangka pendek dengan menggunakan materi non verbal
(tidak berupa gambar) , menemukan bahwa bila pembelajaran anak tuna rungu tidak
menggunakan media gambar benda-benda sekitar, maka anak tuna rungu mudah lupa dan
perkembangan bahasanya terhambat.
2. Daya ingat jangka panjang anak tunarungu
Myklebust (1963) berpandangan bahwa bila kemampuan verbal-simbolik anak tuna rungu
dapat ditingkatkan maka kemampuan mengabstraksipun akan meningkat, dan ini membawa
implikasi bahwa para pendidik dapat memanfaatkan daya ingat mereka yang kuat untuk data
visual-serempak dengan banyak menyuguhkan bentuk tulisan, sehingga daya ingat jangka
panjang mereka akan bertahan lama.
Pada anak normal, membaca permulaan sebaiknya diajarkan pada tahap operasional
konkret (usia 7-11 tahun) karena anak sudah mampu melakukan tugas konservasi, mereka sudah
mampu pula menyusun benda-benda menurut dimensi tertentu (misal :
menyusun benda
menurut ukuran/sifat tertentu seperti dari pendek sampai panjang, kecil sampai besar dan
sebagainya). Kemampuan ini dinamakan kemampuan seriasi, kemudian mengelompokkan benda
menurut klasifikasi/ kelompok/ golongan tertentu seperti kelompok warna, angka, bentuk dan
sebagainya. Ciri lain yang menandai tahap ini adalah terbentuknya paham reversibilitas, yaitu
anak memahami bahwa sesuatu dapat ditambah atau dikurangi, dan dapat
membalik arah
pemikiran mereka. Tahap ini dinamakan konkret karena operasi itu diterapkan terhadap objekobjek yang tampil secara konkret atau hadir secara fisik.
Furth (1966) menyimpulkan bahwa anak tuna rungu mampu mencapai tahap operasi
konkret namun menunjukkan keterlambatan 2-4 tahun dibandingkan anak mendengar.
Keterlambatan anak tuna rungu dalam bidang kognitif merupakan akibat kemiskinan bahasanya,
karena bahasa akan mempermudah anak dalam memahami konsep-konsep. Anak tunarungu
dapat menunjukkan kesamaan prestasi dengan anak mendengar bila tugas-tugas itu menuntut
perhatian visual dan persepsi seperti misalnya seriasi. Namun bila tugas itu melibatkan lebih dari
satu dimensi (seperti pada tugas konservasi) maka ketergantungan pada persepsi visual akan
mengakibatkan kurangnya konseptualisasi. Apalagi dalam tahap operasional konkret dan formal
pada tugas yang menuntut daya abstraksi dan penalaran di mana diperlukan kemampuan bahasan
yang memadai, prestasi mereka akan makin memprihatinkan. Untuk meningkatkan
perkembangan bahasa anak tuna rungu terutama persepsi visualnya maka digunakan media
gambar benda-benda yang ada di sekitarnya untuk meningkatkan daya ingatnya, dan prestasi
belajarnya sehingga anak tuna rungu mampu mengingat apa-apa yang telah dipelajari dan tidak
cepat lupa.
Apakah hasil belajar itu bersipat permanen? Morison (Whiterington, 1952:187) dalam
Abin (1996:117) berpendapat bahwa memang hasil belajar yang merupakan perubahan sungguhsungguh dalam perilaku dan pribadi seseorang dapat bersipat permanen. Apalagi kalau sudah
menjadi pola-pola kebiasaan, meskipun kita mungkin kurang menyadari lagi terutama hasil-hasil
belajar yang berkaitan dengan proses dan hasil perkembangan (berjalan, menulis, bicara dan
sebagainya).
Di dalam kenyataan memang banyak hal yang telah dipelajari sukar sekali bahkan tidak
dapat lagi diproduksikan dari daya ingatan kita. Peristiwa ini yang disebut lupa, ada hal yang
begitu cepat kita lupakan, ada pula hal yang baru setelah beberapa lama muncul lagi dalam daya
ingatan kita. Whiterington melaporkan secara singkat beberapa kali hasil studi menunjukkan
bahwa hal-hal yang bersipat hapalan (substansial-material) mudah cepat dilupakan dibandingkan
hasil proses mental (fungsional-struktural) yang lebih tinggi.Atau hasil-hasil pengalaman praktek
yang berarti (meaningfull) sedangkan hal-hal yang kurang berarti (nama-nama, fakta) atau less
meaningfull mudah cepat dilupakan.
Faktor –faktor yang dapat membawa gangguan dalam daya ingat , atau menjurus
beberapa kelupaan, antara lain:
1. Kalau hasil belajar yang baru mengganggu untuk merecall hasil terdahulu (retroactive
inhibition).
2. Kalau hasil belajar terdahulu mengganggu untuk merecall hasil belajar yang baru.
3. Recency effect, hal-hal yang secara mendadak kita hapalkan menjelang memproduksi lagi
( misalnya:beberapa saat sebelum ujian)
Peristiwa lain yang sering kita alami juga, ialah seakan-akan kita merasakan bahwa
hasil belajar itu tidak ada kemajuan (mapan) untuk beberapa waktu tertentu. Kita mengatakan
sebagai kejenuhan dalam belajar, tidak mampu lagi daya ingatan kita mengkomodasikan
informasi atau pengalaman baru.
Kalau digambarkan dalam sebuah kurva kemajuan hasil belajar, akan tampak sebagai
garis mendatar yang disebut learning palateu. Kemudian dalam belajar ini terjadi biasanya
bersumber pada faktor keletihan, physiological limits (batas-batas kemampuan fisik kita),
kejenuhan atau kebosanan (boring).
Berpikir dapat diartikan sebagai suatu proses memanipulasikan tanggapan-tanggapan
yang telah ada dalam diri individu untuk menghadapi dan memecahkan masala-masalah baru (C.
Rakhmat, 2006:53). Jika individu dihadapkan kepada suatu situasi pemecahan masalah, maka ia
akan menggunakan tanggapan-tanggapan yang telah ada dalam dirinya, baik yang berupa
pengertian, hukuman, generalisasi, maupun fakta-fakta untuk menghadapi dan memecahkan
masalah.
Maestropieri dan Sruggs (1998) mengajukan beberapa prosedur atau teknik-teknik
untuk meningkatkan daya ingat .
1. Tingkatkan perhatian ; Seperti mengintensifkan pengajaran, mengajar dengan antusias,
menggunakan lebih banyak alat-alat bantu dan aktivitas visual, dan menekankan kehadiran.
2. Tingkatkan ingatan eksternal ; Banyak hal yang perlu dihafal dapat ditulis, suatu latihan
yang dikenal sebagai ingatan eksternal. Latihan-latihan seperti menjaga buku tugas dan
memelihara kalender siswa dapat membantu dalam mengingatkan untuk melakukan sesuatu.
3. Tingkatkan kebermaknaan ; Carilah cara untuk menggabungkan konten yang sedang
dibahas dengan pengetahuan awal siswa. Tarik sejajar terhadap kehidupan siswa sendiri.
Bawalah dalam bentuk yang nyata.
4. Gunakan gambar ; Gambar dapat memberikan keuntungan ingatan, gunakan gambargambar di papan tulis atau pada OHP, bawalah foto-foto atau ilustrasi lainnya. Tunjukkan
gambar konkrit pada kaset atau video, bila memadai. Jika gambar tidak tersedia, mintalah siswa
untuk menciptakan bayangan atau “gambar di kepala mereka.”
5. Perkecil gangguan ; Hindari penyimpangan dan tekanan hanya pada ciri-ciri kritis dari
suatu topic baru. Yakinkan seluruh contoh berhubungan secara langsung dengan konten yang
diliput.
6. Tingkatkan manipulasi aktif ;
Siswa mengingat dengan lebih baik bila mereka
mengalaminya sendiri (Bakken & Brigham, 1993).
7. Tingkatkan penalaran aktif ; Siswa mengingat dengan lebih baik jika
mereka secara aktif
berfikir melalui informasi baru, daripada secara sederhana mengulang-ulang.
8. Perbanyak jumlah latihan; Siswa mengingat informasi dengan lebih baik, jika mereka
sering berlatih menggunakannya.
E. Penggunaan media gambar benda-benda di sekitarnya.
Kata “media” berasal dari bahasa Latin “medius” yang berarti tengah, perantara, atau
pengantar. Gerlach & Ely (1971) mengatakan bahwa media apabila dipahami secara garis besar
adalah manusia, materi, atau kejadian yang membangun kondisi yang membuat siswa mampu
memperoleh pengetahuan, keterampilan atau sikap. Dalam pengertian ini, guru, buku teks dan
lingkungan sekolah merupakan media. Secara lebih khusus, pengertian media dalam proses
belajar mengajar cenderung diartikan sebagai alat-alat grafis, fotografis atau elektronik untuk
menangkap, memproses dan menyusun kembali informasi visual atau verbal. Menurut Gagne
dan Briggs (1975) media pembelajaran meliputi alat yang secara fisik digunakan untuk
menyampaikan isi materi pengajaran yang antara lain terdiri dari : tape recorder, kaset, video
kamera, video recorder, film, slide, foto, gambar, grafik, televisi dan komputer. Media adalah
komponen sumber belajar atau wahana fisik yang mengandung materi instruksional di
lingkungan siswa yang dapat merangsang siswa untuk belajar.
Pengertian media dalam proses belajar mengajar cenderung diartikan sebagai alat
gambar untuk menangkap, memproses dan menyusun kembali informasi visual atau verbal.
Media adalah alat yang menyampaikan pesan-pesan pengajaran.
Levie & Lentz (1982) mengemukakan empat fungsi media pengajaran, khususnya
media visual yaitu :
1. Fungsi atensi
Fungsi atensi media visual merupakan inti, yaitu menarik dan mengarahkan perhatian siswa
untuk berkonsentrasi kepada isi pelajaran yang berkaitan dengan makna visual yang menyertai
teks materi pelajaran. Media gambar dapat menenangkan dan mengarahkan perhatian mereka
kepada pelajaran yang akan mereka terima. Dengan demikian, kemungkinan untuk memperoleh
dan mengingat isi pelajaran semakin besar.
2. Fungsi afektif
Media visual dapat terlihat dari tingkat kenikmatan siswa ketika belajar aatau membaca teks
yang bergambar. Gambar atau lambang visual dapat menggugah emosi dan sikap siswa.
3. Fungsi kognitif
Media visual terlihat dari temuan-temuan penelitian yang mengungkapkan bahwa lambang
visual atau gambar memperlancar pencapaian tujuan untuk memahami dan mengingat informasi
atau pesan yang terkandung dalam gambar.
4. Fungsi kompensatoris
Media pengajaran terlihat dari hasil penelitian bahwa media visual yang memberikan konteks
untuk memahami teks membantu siswa yang lemah dalam membaca untuk mengorganisasikan
informasi dalam teks dan mengingatnya kembali. Dengan kata lain, media pengajaran berfungsi
untuk mengakomodasi siswa yang lemah dan lambat menerima dan memahami isi pelajaran
yang disajikan dengan teks atau disajikan secara verbal.
Menurut Bruner (1966) pada pengalaman yang diberi gambar, kata “sapu” dipelajari
dari gambar, meskipun siswa belum pernah membuat sapu, mereka dapat mempelajari dan
memahaminya dari gambar. Selanjutnya pada tingkatan simbol, siswa membaca kata “sapu” dan
mencocokannya dengan “sapu’ pada image mental atau mencocokannya dengan pengalamannya
membuat gambar “sapu”.
Levie & Levie (1975) yang mereview hasil- hasil penelitian tentang belajar melalui
stimulus gambar (terutama gambar benda-benda disekitar) dan stimulus kata atau visual dan
verbal menyimpulkan bahwa visual membuahkan hasil belajar yang lebih baik untuk tugas-tugas
seperti mengingat, mengenali, mengingat kembali, dan menghubung-hubungkan fakta dan
konsep. Di lain pihak, stimulus verbal memberi hasil belajar yang lebih apabila pembelajaran itu
melibatkan ingatan yang berurutan (sequensia) terutama dengan gambar benda-benda sekitar.
Menurut pendapat Woodcock, Clark, dan Davies (1979) dalam bukunya “The Peabody
Rebus Reading Program” pendekatan kata bergambar
melibatkan penggunaan kata bergambar.
untuk kesiapan membaca awal
Materi bacaan menggunakan gambar, bukan kata
tertulis karena tiap gambar hanya mempunyai satu arti yang jelas, membaca cukup mudah.
Menurut Broughton (1978) keterampilan terhadap aksara merupakan suatu kemampuan
untuk mengenal gambar benda-benda di sekitar.
Menurut Stephanie Muller ( 2005) dalam buku “Panduan Belajar Membaca dengan
Benda-benda di Sekitar” perkembangan membaca dan menulis berawal dari tulisan-tulisan
konkrit melalui gambar benda-benda yang ada di sekitar.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan media gambar bagi anak tunarungu
adalah :
1. Gambar benda-benda yang ada di sekitarnya sudah dikenal anak
2. Gambar benda-benda yang ada disekitarnya disenangi oleh anak
3. Gambar benda-benda yang ada disekitarnya tetap,tidak berubah-ubah.
4. Gambar benda-benda yang ada disekitarnya dianggap sederhana
5. Gambar benda-benda yang ada disekitarnya mudah dilihat dan diingat
6. Gambar benda-benda yang ada disekitarnya kalau dibaca kalau di baca kata-katanya
pendek.
Gambar benda-benda sekitar yang dimaksud di sini adalah gambar-gambar benda yang
ada di sekitar anak (di dalam kelas dan di rumah) yang biasa dilihat anak tuna rungu sehariharinya.
Benda – benda yang ada di dalam kelas misalnya : buku, kursi, meja, pinsil , peta,
pulpen, sapu, tas, komputer, lemari , penghapus, papan tulis, taplak meja, vas bunga dan
sebagainya.
Benda – benda yang ada di rumah misalnya : baju, boneka, celana, dasi, gorden,
handuk, jaket, kompor, lampu, televisi dan sebagainya.
F. Prosedur Pembelajaran Membaca Permulaan Menggunakan Media
Anak Tunarungu
Gambar pada
Pembelajaran adalah kegiatan guru yang direncanakan dalam rancangan pengajaran, untuk
membuat siswa belajar secara aktif yang menekankan kepada sumber belajar (Rusyani,
1998:12).
Pembelajaran membaca permulaan
adalah kegiatan guru yang direncanakan dalam
memberikan pengalaman belajar menuturkan tulisan yang bermakna kepada siswa.
Menurut Wardani (1995 : 24) menyatakan “membaca permulaan yakni menyuarakan tulisan,
tetapi yang dibaca haruslah bermakna.”
Gangguan dalam fungsi pendengaran pada anak tunarungu menyebabkan mereka mengalami
kesulitan dalam memahami sistem lambang bunyi dan dalam memproduksi bunyi bahasa. Untuk
itu diperlukan metode pengajaran yang materinya sudah dikuasai isinya (maknanya), dan metode
yang paling cocok diajarkan dengan menggunakan metode Fernald (VAKT) karena pada metode
ini anak dituntut untuk menguasai materi sebelum dilanjutkan pada pelajaran berikutnya.
Kekurangmampuan anak tunarungu dalam mengakses bunyi bahasa melalui pendengarannya
akan mempengaruhi kemampuan mengingat dan memahami lambang bunyi serta kemampuan
menirukan (memproduksi ) bunyi bahasa, karena ketunarunguan dan kemampuan mengingat
memiliki korelasi yang kuat.
Untuk meningkatkan daya ingat pada anak tunarungu maka guru perlu memasukkan media
gambar benda-benda yang ada di dalam kelas dan di dalam rumah dalam pengajaran membaca
permulaan karena benda-benda tersebut sudah dikenal anak, sering dilihat anak, sehingga anak
tunarungu akan mampu mengingat lebih lama suatu kata yang baru dipelajari dan juga anak lebih
mudah menerima dan memahami kata-kata tersebut.
Prosedur pembelajaran membaca permulaan menggunakan media gambar pada anak Anak
tunarungu adalah sebagai berikut :
1.
Melakukan percakapan
Kegiatan percakapan yang dilakukan yaitu percakapan tentang nama-nama benda yang
terdapat di dalam kelas, dan di dalam rumah, karena benda-benda ini sering dilihat anak dan
sudah dikenal dalam kehidupan sehari-hari.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengkondisikan siswa agar siap untuk belajar dan untuk
mengetahui seberapa banyak kosa kata yang telah diketahui siswa tentang bahan-bahan yang
akan diajarkan.
2.
Memunculkan dan Meningkatkan Daya Ingat
Dalam kegiatan ini, siswa dituntun untuk mengingat kembali kosa kata yang telah
diketahui bendanya (benda-benda yang ada di dalam kelas dan di dalam rumah yang selalu
teramati dalam kehidupan sehari-harinya ) tetapi belum diketahui nama dan lambang tulisannya.
Benda-benda yang ada di dalam kelas dan di dalam rumah (yang sudah dikenal dan
dilihat anak) dimunculkan melalui gambar-gambar dan diberi nama (disebutkan lambang
bunyinya). Penamaan benda-benda tersebut merupakan kosakata baru bagi anak, digunakan
untuk memunculkan dan meningkatkan daya ingat siswa.
Contoh :
Guru menggambarkan benda-benda yang ada di dalam kelas dan di dalam rumah kemudian
menuliskan nama benda-benda itu di papan tulis (lihat lampiran).
3.
Mengamati Lambang Tulis
Dalam kegiatan ini, siswa mengamati bentuk-bentuk tulisan dari benda-benda yang
dilafalkan pada butir 2. Guru dalam kegiatan ini menampilkan gambar benda-benda dan disertai
lambang-lambang tulisannya, kemudian siswa disuruh mengamati lambang-lambang tulisannya
dan menelusurinya dengan jari (Tactile & Kinestetic). Pada saat menelusuri tulisan tersebut, anak
melihat tulisan (Visual)
4.
Melafalkan atau mengucapkan
Siswa diminta mengucapkan dengan keras (Auditory) nama-nama benda yang sudah
diajarkan dalam kegiatan di atas yang ditunjukkan guru . Koreksi kesalahan pengucapan nama
benda-benda yang sudah diajarkan , dilakukan pada saat itu juga secara langsung dengan
memberikan contoh-contoh pelafalan (ujaran). Proses semacam ini diulang-ulang sehingga anak
dapat mengucapkan dan menuliskan kata tersebut dengan benar tanpa melihat contoh. Jika anak
telah dapat menulis dan membaca dengan benar, bahan bacaan tersebut disimpan.
5.
Mempelajari tulisan dan cara pengucapannya
Anak tidak terlalu lama diminta menelusuri tulisan-tulisan dengan jari, tetapi
mempelajari tulisan guru dengan melihat guru menulis sambil mengucapkannya.
6.
Mempelajari kata-kata baru
Anak-anak mempelajari kata-kata baru dengan melihat tulisan yang ditulis di papan
tulis, dan mengucapkan kata tersebut sebelum menulis. Pada tahapan ini anak mulai membaca
tulisan dari buku.
7.
Mengingat kata-kata baru
Pada tahapan ini anak mampu mengingat kata-kata baru berdasarkan kesamaan katakata tersebut dengan kata-kata yang dicetak atau bagian-bagian dari kata yang dipelajari.
8.
Penilaian
Prosedur penilaian dilakukan sebelum (awal) kegiatan pembelajaran, selama proses
pembelajaran dam setelah kegiatan pembelajaran, sedangkan jenis penilaian yang digunakan :
Tes perbuatan, lisan, lembar pengamatan dan tulisan dengan alat yang digunakan tes dan non tes.
Dalam pembelajaran biasanya dibagi dalam tiga tahapan, yaitu tahapan prainstruksional, instruksional, dan tahapan evaluasi. Tahapan pra-instruksional merupakan tahapan
awal , dalam tahapan ini biasanya dilakukan kegiatan apersepsi, pre-test dan memberikan
stimulus-stimulus. Tahapan instruksional sering disebut sebagai tahapan kegiatan inti, dan
tahapan ketiga yaitu tahapan penilaian (evaluasi) dan tindak lanjut.
Langkah-langkah di atas dijabarkan dalam bentuk Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran /RPP
(lihat lampiran).
Download