Prof. Tatiek Sri Djatmiati, Tax Amnesty Harus Dilandasi Asas Keadilan UNAIR NEWS – Untuk ketiga kalinya dalam sejarah Indonesia (setelah 1964 dan 1984), pemerintah kembali mencanangkan program tax amnesty (pengampunan pajak) bagi masyarakat Indonesia. Berbagai tanggapan telah terlontar dari para ahli, salah satunya dari Prof. Dr. Tatiek Sri Djatmiati, SH., MS., dalam acara Gelar Inovasi Guru Besar Seri II bertajuk “Tax amnesty : Antara Harapan dan Kenyataan” di Ruang Kahuripan 300, Gedung Manajemen UNAIR Kampus C, Selasa (27/9). Dalam kesempatan tersebut, Prof. Tatiek membahas program tax amnesty dari segi keahlian dibidangnya yakni Hukum Administrasi. Menurut Guru Besar Fakultas Hukum UNAIR tersebut, banyak masyarakat yang menyatakan kontra akan program tersebut dan dengan dilandasi kecemburuan. “Banyak sekali orang yang cemburu. Mereka beranggapan, kita sudah taat membayar pajak, nah ini yang tidak bayar pajak malah dapat pengampunan,” jelas Prof. Tatiek. Prof. Tatiek mengungkapkan, selayaknya program tax amnesty ini tidak menimbulkan diskriminasi atau ketidakadilan, sehingga dapat meminimalisir pro dan kontra. “Tax amnesty seharusnya gak terus-terusan dilakukan. Masa iya, orang gak bayar pajak diampuni terus,” serunya. Kendati demikian, mengutip dari pasal 2 UU No 11 tahun 2016, Prof. Tatiek membeberkan beberapa tujuan dari dilaksanakannya program tax amnesty. “Selain mempercepat pertumbuhan restrukturisasi ekonomi, TA (tax amnesty, –red) juga mendorong reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan,” jelasnya. Sayangnya, sebagaimana yang dijelaskan Prof. Tatiek, masih ada problem yuridis dalam pelaksanaan pengampunan pajak, yaitu adanya pro kontra yang berkaitan dengan pemahaman asas keadilan. Menurut Prof. Tatiek, hal tersebut terjadi karena adanya pemahaman yang belum sesuai antara internal Dirjen Pajak dengan pemahaman tax amnesty yang dipahami oleh masyarakat pada umumnya. “Dalam Pasal 2 UU No 11 Tahun 2016 disebutkan tentang asas dan tujuan TA, yaitu pengampunan pajak dilaksanakan atas asas kepastian hukum, keadilan, kemanfaatan, dan kepentingan nasional,”ungkapnya. Terkait penegakan hukum dalam konteks hukum administrasi, Prof. Tatiek menyebut ada dua unsur yang melandasi, yaitu pengawasan dan pemberian sanksi. “Pejabat yang memiliki wewenang harus melakukan pengawasan dalam pelaksanaan pengampunan pajak, oleh karena dari instrument pengawasan ini, sanksi berupa administrasi baru dapat diterapkan apabila terdapat pelanggaran,” jelasnya. Prof. Tatiek menghimbau, agar pemerintah selaku pengelola pajak dan masyarakat Indonesia harus saling percaya. Agar reformasi sistem perpajakan tersebut dapat berjalan untuk Indonesia yang lebih baik.(*) Penulis : Dilan Salsabila Editor : Nuri Hermawan