BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam kurun waktu 40 tahun terakhir ini bangsa Indonesia telah mengalami berbagai macam konflik berkepanjangan di berbagai daerah, baik itu akibat isu sentimen agama, etnis maupun kepentingan-kepentingan politis yang seringkali tumpang tindih satu dengan yang lain. Ada begitu banyak kesedihan dan kehancuran yang dialami oleh masyarakat daerah konflik tersebut, baik dalam hal materi maupun non materi, contohnya seperti yang terjadi pada masyarakat keluarga korban tragedi 1965.1 Mereka harus kehilangan tempat tinggal, sebagian besar dari harta benda dan yang lebih parah lagi, mereka harus kehilangan anggota keluarga mereka dalam tragedi 1965. Tragedi 1965 adalah sebuah realita dari sejarah kelam bangsa Indonesia yang masih menjadi kontroversi dan penuh misteri. Berbagai versi muncul berkaitan dengan siapakah dalang peristiwa 19652 namun versi resmi “Orde Baru” yang telah memvonis PKI sebagai dalang satu-satunya di balik peristiwa 1965, masih terus membelenggu memori kolektif sebagian besar masyarakat Indonesia. Akibatnya bangsa ini terus “terpenjara” dalam ingatan sejarah masa silam yang kelam dan terus menerus hidup dalam sebuah relasi yang “sakit”. Gagasan “Rekonsiliasi untuk Korban 1965” sampai saat ini tidak mudah untuk dilakukan. Hambatan untuk merealisasikan rekonsiliasi tersebut adalah karena masih adanya pemahaman bahwa komunis itu ateis dan representasi dari semua hal yang jahat serta kejam. Pemahaman ini terbentuk di dalam masyarakat karena adanya semacam 1 Korban peristiwa tragedi 1965 diperkirakan ratusan ribu yang tewas selam kurun waktu 1965-1966 ditambah dengan ribuan orang yang ditahan di kamp-kamp Tapol tanpa proses pengadilan. lih Olaf Schumann Agama-agama dan Rekonsiliasi dalam Einar M. Sitompul (Ed), Agama-Agama dan Rekonsiliasi Bidang Marturia-PGI Jakarta 2005 hlm 18-19 bdk Robert Cribb.(ed), The Indonesian Killings, Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966. Yogyakarta: Mata Bangsa,2003. 2 Banyak sebutan dalam peristiwa 1965 yaitu Gestok (Gerakan Satu Oktober), G 30 S/PKI bdk Admadji Sumarkidjo, mendung diatas Istana Merdeka (Jakarta : Mitra Hardhasuma ) hlm 15-22. 1 stigmatisasi dan pengajaran yang dilakukan oleh rejim ORBA.3 Di samping itu, faktor budaya juga mempunyai peranan yang dominan. Budaya yang dimaksud di sini adalah budaya yang terkesan menutup-nutupi masalah dan menyembunyikan masa lalu yang dianggap tidak baik. Hal ini menurut penulis dikarenakan dalam beberapa wacana rekonsiliasi di kalangan masyarakat Indonesia berkonotasi negatif karena berhubungan dengan adanya dendam masa lalu yang belum disembuhkan.4 Karena rekonsiliasi memberi prioritas kepada penderitaan korban sehingga menurut Wahid hal ini dianggap oleh sebagian masyarakat memutarbalikkan fakta, membangkitkan dosa lama, mencuci tangan dari dosa sendiri dan memanfaatkan keadaan untuk membela diri. Pandangan di atas sebenarnya keliru karena rekonsiliasi dalam arti yang paling sederhana dapat diartikan sebagai pemulihan hubungan antar sesama manusia; perbuatan menyelesaikan perbedaan ; menetapkan perbedaan antara akun-akun yang berbeda agar tercapai kesepakatan.5 Sedangkan menurut Ismartono6 rekonsiliasi secara sederhana berarti upaya membangun kembali tatanan kehidupan yang telah rusak, menuju perdamaian dan kerukunan sejati dalam aras pembaharuan (transformasi). Bertolak dari pengertian tersebut, maka dapat dikatakan rekonsiliasi mengandung makna penyatuan dan pemulihan. Penyatuan dan pemulihan karena telah terjadi pemisahan atau rusaknya tatanan kebersamaan. Dengan demikian, rekonsiliasi lebih sebagai suatu proses perbaikan dan penyempurnaan dari apa yang telah rusak dan hancur. Lebih tajam Robert J. Schreiter menyebutkan bahwa rekonsiliasi adalah suatu hal yang sangat penting dalam relasi dengan sesama manusia.7 Menjadi sangat penting karena rekonsiliasi adalah wujud tanggung jawab manusia untuk merefleksikan anugerah keselamatan yang telah diberikan Tuhan kepada manusia. Karena itu, dalam rekonsiliasi 3 Budiawan, Mematahkan Pewarisan Ingatan Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Soeharto (Jakarta : Elsam, 2004), hlm 22-24. 4 Salahuddin Wahid, Rekonsiliasi dengan Korban 1965 Kompas, Jumat, 01 Oktober 2004 5 Departemen Pendidikan Nasional , Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta 2005 halaman 942 6 L. Ismartono “Rekonsiliasi menurut Perspektif Katolik” dalam A. Widyhadi Seputra, Rekonsiliasi Menciptakan Hidup Damai dan Sejahtera, Tinjauan Perspektif Religius, Komisi PSE/APP-KAJ LDD-KAJ: Jakarta 2002 hlm 79 7 Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi, Membangun Tatanan Masyarakat Baru (NTT : Nusa Indah 2000), hlm 47. 2 pertanyaannya bukan bagaimana saya sebagai korban mengampuni si pelaku, tetapi bagaimana saya menemukan rahmat Tuhan yang timbul dalam kehidupan sendiri dan kasih itu menuntun kemana.8 Rekonsiliasi adalah wujud tanggung jawab seluruh manusia kepada sesamanya, sehingga hal ini menuntut keseriusan berpikir dan bertindak oleh manusia demi masa depan yang lebih baik dan luput dari tragedi kemanusiaan yang lain. Keseriusan berpikir dan bertindak dalam menghadapi permasalahan di atas, seharusnya juga dilakukan oleh Gereja. Mengapa? Pertama, karena Gereja merupakan bagian integral dari umat manusia (masyarakat). Kedua, karena rekonsiliasi merupakan hal mendasar dalam pewartaan iman Gereja bagi kehidupan umat manusia demi terwujudnya Kerajaan Allah di bumi. Ketiga, warta iman-keselamatan Gereja adalah keyakinan bahwa melalui karya penebusan Kristus, relasi-relasi (manusia dengan Allah, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan alam) yang rusak akibat dosa, telah dipulihkan.9 Konteks Gereja adalah masyarakat yang berada di sekitarnya termasuk segala permasalahan di dalam masyarakat. Sebagai kawan sekerja Allah, Gereja terpanggil untuk melayani konteksnya yaitu masyarakat dengan segala pergumulannya.10 Gereja Kristen Jawa (GKJ) sebagai salah satu Gereja yang mempunyai jemaat korban tragedi 1965, juga mengamini panggilannya untuk mewartakan kasih, kebenaran, keadilan, damai sejahtera bagi masyarakat, bangsa dan negara sebagai wujud penyelamatan Allah kepada manusia.11 Dengan keterpanggilannya itu maka GKJ bersifat dinamis dalam berkarya sebagai kawan sekerja Allah. Di sinilah penulis melihat bahwa Gereja (secara khusus GKJ) harusnya memiliki peran dalam kehidupan masyarakat demi tercapainya kehidupan bersama yang lebih baik. 8 Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi, Membangun Tatanan Masyarakat Baru, hlm.47 J. Muller, Kaum Religius Sebaiknya Cuci Tangan Terhadap Politik?, dalam Eduard Dopo Keprihatinan Sosial Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm 142. 10 Emanuel Gerrit Singgih, Reformasi dan Transformasi Pelayanan Gereja Menyongsong Abad ke- 21, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), hlm. 24 - 28 11 Lih. Bab Penyelamatan Allah dalam Pokok-pokok Ajaran Gereja GKJ, (Salatiga: Sinode GKJ, Edisi 2005), hlm. 10-13 9 3 B. PERUMUSAN MASALAH Di antara elemen-elemen bangsa yang mendorong perlu dilakukannya rekonsiliasi dengan eks-PKI (seperti NU12 dengan membentuk Syarikat Indonesia dan permintaan maaf yang disampaikan oleh Gus Dur sewaktu menjabat Presiden terhadap korban 1965 dan keluarga; elemen Katolik dengan mendirikan Soegyopranoto Syndycate), suara Gereja Kristen hampir tidak ada khususnya Gereja Kristen Jawa. Hal ini menimbulkan pertanyaannya bagi penulis; yaitu : apa pandangan gereja tentang rekonsiliasi dengan korban 1965? Karena setiap tindakan yang dilakukan oleh manusia pastilah ada nilai dan paham tertentu yang melatar belakanginya. Setelah kita mengetahui pemikiran Gereja muncul pertanyaan apa yang terjadi dengan korban 1965 di Jatinom? Karena sebagian jemaat di GKJ adalah juga korban 1965, setelah mengetahui keadaan korban 1965 hal ini menimbulkan pertanyaan bagaimana proses rekonsiliasi yang tuntas dan menyeluruh? Untuk menjawab permasalahan tersebut penelitian ini akan juga menyajikan landasan biblis tentang rekonsiliasi agar penelitian ini berguna bagi jemaat di GKJ Jatinom. C. JUDUL Demi merangkum pertanyaan-pertanyaan dalam perumusan masalah, maka penulis merangkum judul dari skripsi sebagai berikut: GERAKAN REKONSILIASI KORBAN 1965 SEBAGAI TANTANGAN ETIS – TEOLOGIS BAGI GEREJA D. Alasan Pemilihan Judul Pemilihan terhadap upaya rekonsiliasi dikarenakan peristiwa kekerasan seperti menjadi budaya hampir di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kekerasan dan balas dendam telah menjadi fenomena umum yang menimpa seluruh masyarakat Indonesia. Akibat yang ditimbulkan oleh kekerasan dan balas dendam adalah dengan 12 Di kalangan NU sendiri diberbagai tempat didirikan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk mewujudkan Rekosiliasi untuk Korban 1965 antara lain : Lakspedam(Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Masyarakat), LKTS (Lembaga Kajian untuk Transformasi Sosial) dan lainnya masih berusaha mewujudkan gagasan rekonsiliasi dengan korban 1965. 4 semakin banyaknya peristiwa kekerasan di negeri ini sehingga menyengsarakan kehidupan manusia itu sendiri. Artinya, budaya kekerasan dan upaya balas dendam sudah menjadi masalah yang mengancam kehidupan umat manusia. Akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kekerasan dan balas dendam tersebutlah yang mengundang keprihatinan penulis untuk membuat refleksi atas upaya rekonsiliasi terhadap korban kekerasaan khususnya pada tragedi 1965. Dengan pemilihan upaya rekonsiliasi sebagai obyek kajian dalam skripsi ini, penulis bermaksud untuk memberikan perhatian terhadap permasalahan-permasalahan yang melatarbelakangi ”pasifnya” Gereja dalam gerakan ini ditinjau dari perspektif teologi rekonsiliasi Kristen. Karena teologi yang dipakai untuk membuat tinjauan adalah teologi Kristen maka dalam judul tersebut penulis menyebutkan: Gerakan Rekonsiliasi untuk korban 1965 Sebagai Tantangan Etis-Teologis Bagi Gereja. E. Penjelasan Judul 1. Yang akan digali dalam skripsi ini adalah permasalahan-permasalahan yang melatarbelakangi pasifnya Gereja dan jemaat kristen dibandingkan elemen bangsa yang lain dalam upaya gerakan rekonsiliasi korban tragedi 1965. Korban 1965 di sini yang dimaksud adalah yang dituduh sebagai PKI dan organisasi pengikutnya. Baik yang berstatus Tapol (Tahanan Politik), Narapidana Politik (Napol) berserta keluarganya.13 Gereja dalam artian tulisan ini adalah Majelis dan jemaat GKJ Jatinom yang bukan korban 1965. 2. Adapun etis yang dimaksudkan di sini adalah etika rekonsiliasi. Sama seperti etika lainnya, etika rekonsiliasi bertolak dari refleksi mengenai perilaku manusia. Adapun teologi yang dimaksudkan adalah teologi Kristen. Penyebutan etis-teologis dimaksudkan penulis untuk menunjukkan keterkaitan antara teologi dengan etika demikian juga sebaliknya. Dengan pengkajian secara teologis akan nampak relasi rekonsiliasi dengan panggilan 13 Sebagian besar korban 1965 tidak mendapatkan kepastian hukum yang semestinya, namun hanya berdasarkan tuduhan dan dihukum secara paksa dengan kekerasaan yang mereka alami. Lih Baskara T. Wardaya, Makalah Untuk Seminar “Rekonsiliasi dan Rekontruksi Tragedi 1965-1966 di Pusdep Universitas Sanata Dharma, 22 Oktober 2005. 5 Gereja. Gereja (baik institusi maupun individual) mempunyai panggilan sebagai pembawa damai (Peacemaker) bagi dunia (Kis 10:36, band. Ibr 12:15); karena Allah sendiri melalui Yesus Kristus yang telah mendamaikan diri-Nya dengan manusia (2 Kor 5:16-19). Gereja dan realita sosialnya tidak pernah terpisahkan. Gereja senantiasa memiliki tugas dan panggilan untuk mewartakan imannya kepada umat dalam konteks sosialnya. Penulis menyebutkan Gereja dengan maksud bahwa Gerejalah yang menjadi subyek berteologi yaitu melalui pemahaman iman dan pelayanannya kepada realitas sosialnya. F. TUJUAN PENULISAN Skripsi ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui permasalahan-permasalahan yang melatarbelakangi jemaat kristen terkesan pasif dalam upaya rekonsiliasi untuk korban 1965. 2. Menggali mind-set (pola pikir, pandangan, nilai-nilai) Gereja dan jemaat berkenaan dengan rekonsiliasi untuk korban 1965. 3. Membuat refleksi teologis atas permasalahan-permasalahan yang melatarbelakangi kesulitan Gereja dalam melakukan rekonsiliasi untuk korban 1965 di Gereja daerah Klaten, secara khusus di wilayah Jatinom. G. METODE PENDEKATAN G.1. Penentuan Ruang Lingkup Penelitian Dalam pembahasan skripsi ini penulis akan membahas masalah rekonsiliasi korban 1965. Dengan membatasi pada upaya rekonsiliasi untuk korban 1965 tidak berarti bahwa permasalahan sekitar peristiwa tregedi 1965 yang lainnya tidak penting. Peristiwa tragedi 1965 selalu kait-mengait dan saling mempengaruhi. Berbicara tentang rekonsiliasi secara umum akan sangat luas dan kompleks, demi terfokusnya penulisan skripsi ini maka penulis membatasi pembahasan skripsi ini hanya kepada permasalahan-permasalahan yang menyebabkan Gereja terkesan pasif dalam 6 melakukan upaya rekonsiliasi dengan korban 1965. Rekonsiliasi korban tragedi 1965 yang menjadi obyek kajian skripsi ini menyangkut jemaat GKJ yang berstatus eksPKI14 di daerah Klaten – Jawa Tengah. Di daerah Klaten waktu peristiwa 1965/1966 sangat banyak korban yang berjatuhan. Kebanyakan mereka yang dicap PKI pindah agama masuk ke Gereja Kristen maupun Katolik begitu juga dengan tapol maupun napol yang dipenjara di sekitar Klaten dan pulau Buru.15 GKJ daerah Klaten yang dimaksud penulis adalah Gereja yang berada secara administratif di kabupaten Klaten secara khusus Gereja yang berada di wilayah kecamatan Karangdowo, Pedan, Ceper, Trucuk, Wedi, Tulung dan Jatinom. Penulis melakukan penelitian secara mendalam terhadap para korban dan keluarganya. Mengingat keterbatasan waktu dalam penulisan skripsi ini maka tidaklah mungkin untuk melakukan penelitian terhadap seluruh jemaat GKJ di Klaten. Demi terfokusnya penelitian ini pula maka penulis dalam melakukan penelitian membatasi tempat penelitian pada kecamatan Jatinom dan sekitarnya. Pemilihan kecamatan Jatinom disebabkan oleh beberapa hal antara lain: pertama kebanyakan korban tragedi 1965 dan keluarganya menjadi penganut agama Kristen atau Katolik.16 Kedua sampai saat ini belum terlihat uapaya kongkret terhadap para korban 1965 dari Gereja setempat hanya sebatas mengetahui keberadaan masa lalu jemaat eks-PKI. Ketiga masih kuatnya stigma di kalangan masyarakat Jatinom terhadap eks-PKI khususnya yang beragama Kristen. Kuatnya stigmatisasi masyarakat terhadap korban 1965 berpengaruh juga di dalam Gereja, hal ini diperkuat anggapan bahwa warga Kristen hanyalah golongan minoritas di negeri ini, pihak yang menentang komunis lebih besar dan posisinya mungkin benar.17 Hal ini tentu saja kontradiktif dengan tugas dan panggilan Gereja untuk mewartakan imannya kepada umat dalam konteks sosialnya bagaimanapun keadaan di sekitarnya. 14 Eks-PKI disini juga termasuk dengan korban salah tangkap dan dituduh PKI yang kemudian ditahan dengan atau tanpa proses pengadilan. 15 Berdasarkan keterangan Partinem warga non Kristen tinggal di Kec. Jatinom (mantan Gerwani) tanggal 12 Januari 2008 jam 12.30 16 Berdasarkan keterangan Siswo Diharjo (Sesepuh Pepanthan I) kepada penyusun tanggal 10 Januari 2008 17 Berdasarkan keterangan Sugiyanto (Sesepuh Pepanthan IV) kepada penyusun tangal 12 Februari 2008 7 G.2. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah dengan melakukan penelitian lapangan dan studi literatur. Studi literatur dilakukan penulis untuk mendapatkan informasi dasar sebelum dan sesudah melakukan penelitian lapangan. Studi literatur juga dimaksudkan untuk mencari data pembanding. Studi literartur ini dirasa perlu sebab pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan interdisipliner. Untuk dapat mengetahui berbagai teori dan pengetahuan yang dapat digunakan dalam melakukan analisa masyarakat tersebutlah maka penulis belajar dari karya para ahli. Adapun metode penelitian lapangan yang digunakan adalah penelitan kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan metode berganda dalam fokus yang melibatkan pendekatan interpretatif dan wajar terhadap setiap pokok permasalahan.18 Dengan metode ini diharapkan penulis dapat memahami, mendeskripsikan / memaparkan data yang diperlukan secara menyeluruh dan mendalam mengenai latar belakang historis korban 1965 dan Gereja dalam usaha – usaha yang dilakukan untuk menanamkan nilai – nilai rekonsiliasi dalam interaksi dengan masyarakat. Adapun metode pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis di lapangan adalah Penelitian di lapangan, selama ± 4 bulan yaitu mulai, dengan menggunakan tiga pendekatan, yaitu : a.1 Observasi-Partisipatif : Pendekatan ini dilakukan dengan cara mengamati dengan seksama dan juga berinteraksi langsung dengan subjek yang penulis jadikan sasaran penelitian.19 Penulis adalah warga jemaat GKJ Jatinom, hal ini memudahkan penulis untuk melihat secara lebih dekat bagaimana kehidupan jemaat GKJ Jatinom. a.2 Pendekatan Kualitatif : Pendekatan ini dilakukan dengan cara wawancara mendalam, dengan Pendeta jemaat GKJ Jatinom, majelis jemaat serta dengan beberapa anggota jemaat GKJ Jatinom.20 Pendekatan ini penting dilakukan guna 18 Agus Salim (peny.), Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), hlm. 5 John Mansford Prior, Meneliti Jemaat: Pedoman Riset Partisipatoris (Jakarta: Grasindo, 1997) 20 Beberapa Jemaat ini adalah korban 1965 dan bukan korban 1965. lih Asmadi Alsa, Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif Serta Kombinasinya dalam Penelitian Psikologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) 19 8 mengetahui penjelasan mengenai topik bahasan secara lebih mendalam dan terbuka. Pendekatan kualitatif memungkinkan penulis untuk menangkap makna dan nuansa yang lebih khas, luas dan detil serta terarah, tentang proses rekonsiliasi di GKJ Jatinom. Pendekatan kualitatif dapat menggali informasi lebih dalam dan bervariatif sebagai keterangan yang dibutuhkan terkait dengan praksis rekonsiliasi di GKJ Jatinom. Dengan interaksi langsung, penelitian ini dapat menghindarkan bahaya salah memahami jawaban sebab bisa langsung dikonfirmasi ulang. Guna mengetahui proses rekonsiliasi di GKJ Jatinom, penulis melakukan pengamatan agar bisa mengetahui konteks GKJ Jatinom, baik di lingkungan sosial maupun kehidupan bergereja. Penulis juga melakukan wawancara dengan pendeta jemaat GKJ Jatinom, Pdt. Wahyu Nirmala, S.Si. dan juga mantan pendeta konsulen GKJ Jatinom yaitu Pdt. Im. Harno Sakino, M.Th, serta seorang ketua majelis jemaat Bp. Wahyono Adiatmojo. Wawancara juga dilakukan dengan anggota jemaat GKJ Jatinom. Dalam penelitian ini, ada 3 cara yang penulis lakukan guna menggali data, yaitu : 1. Observasi-Partisipatori (pengamatan) Pengamatan dilakukan dengan melihat dan memperhatikan dengan seksama lingkungan sosial maupun dalam kehidupan bergereja jemaat. Secara khusus penulis juga mengikuti ibadah Minggu untuk mengamati kehidupan bergereja jemaat GKJ Jatinom. 2. Wawancara Wawancara yang penulis lakukan kepada pihak Gereja yaitu majelis Gereja mendapatkan kesulitan karena ada pembatasan terhadap proses penelitian ini. Anggapan bahwa topik peristiwa ’65 adalah masalah yang tabu adalah jawaban dari beberapa majelis yang penulis temui. Kendala ini menjadikan penulis lebih sering bertemu dengan para korban dibandingkan dengan pihak Gereja. Wawancara bisa dilakukan lebih dari 2 kali karena memang masalah ini berkaitan dengan ikatan masa lalu para korban. Tantangan dalam penelitian ini bagi penulis adalah memastikan bahwa narasumber bersedia untuk diwawancarai. Sebagai anak muda penulis harus 9 meyakinkan bahwa penelitian ini adalah untuk kepentingan bersama sehingga narasumber dengan murah hati mau membagikan pengalaman penderitaannya. Berbagi penderitaan memang bukan perkara mudah apalagi berbagi kepada orang yang usianya jauh lebih muda yang kemungkinan besar tak akan banyak membantu menyembuhkan luka itu. Tantangan yang kedua adalah penulis sadar sepenuhnya soal wawancara yang dilakukan tidak akan banyak tuntutan agar tidak ada kesan interogasi kembali kepada mereka. H. SISTEMATIKA PENULISAN BAB. I : PENDAHULUAN Bab ini berisi uraian tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, judul, batasan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan. BAB. II : KONTEKS GKJ JATINOM Bab II ini secara garis besar terbagi ke dalam tiga kelompok besar yaitu: pertama deskripsi konteks GKJ Jatinom yang meliputi: sejarah berdirinya Gereja, struktur geografis GKJ Jatinom serta kehidupan jemaatnya. Kehidupan jemaat GKJ Jatinom dikelompokkan dalam tiga bidang yaitu: bidang politik, bidang ekonomi, bidang sosialbudaya. Kedua deskripsi tentang konteks korban 1965 di GKJ Jatinom yang meliputi: sejarah korban 1965, kehidupan di dalam kegiatan Gereja dan masyarakat. Ketiga hubungan Gereja dengan korban 1965, hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang bagaimana interaksi historis dari Gereja dengan para korban 1965. BAB. III : LANDASAN BIBLIS TENTANG REKONSILIASI Bab ini membuat analisa sosial atas permasalahan pasifnya Gereja dalam gerakan rekonsiliasi korban 1965 di Jatinom. Analisa sosial tersebut berangkat dari pertanyaan: Apakah yang melatarbelakangi pemikiran Gereja dan korban 1965 dalam gerakan rekonsiliasi (permasalahan ekonomi, politik, sosio- budaya)? Apakah rekonsiliasi sudah ada dalam kehidupan bergereja di GKJ Jatinom? Bagaimana langkah-langkah 10 rekonsilasi seharusnya terhadap korban 1965? Diharapkan dari analisa itu akan diketahui apakah yang menjadi akar permasalahan yang menyebabkan jemaat dan Gereja ”enggan” terlibat dalam gerakan rekonsiliasi korban 1965. BAB. IV : KERANGKA TEORITIS PROSES REKONSILIASI YANG UTUH DAN MENYELURUH SERTA EVALUASI ATAS PEMAHAMAN DAN UPAYA REKONSILIASI DI GKJ JATINOM Berangkat dari akar permasalahan yang terdapat pada bab III maka pada bab ini penulis mencoba membuat refleksi teologis dari perspektif teologi rekonsiliasi Kristen. Dalam bab ini penulis akan memaparkan penilaian tentang rekonsiliasi dalam teologi Kristen. Adapun bagian pertama adalah dasar biblis dari rekonsiliasi, bagian selanjutnya penulis akan memaparkan tentang teologi rekonsiliasi dan yang terakhir pada bab ini adalah refleksi terhadap pemahaman Gereja dan korban 1965 tentang rekonsiliasi berdasarkan analisa bab III dan teologi rekonsiliasi yang penulis bangun dalam bab ini. BAB. V : KESIMPULAN Bab ini akan mencoba menarik kesimpulan dari seluruh pembahasan skripsi ini sehingga diharapkan dalam bab ini akan diketahui secara jelas permasalahan yang ada sehingga dapat memberikan saran bagi upaya gerakan rekonsiliasi untuk korban 1965. Setelah diambil kesimpulan dari seluruh Skripsi ini maka penulis memberikan saran terhadap Gereja di Indonesia umunya dan GKJ khususnya. 11