Chapter I

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk sosial yaitu makhluk yang selalu membutuhkan
sesamanya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menjalankan kehidupannya
manusia selalu berkomunikasi dengan sesamanya. Komunikasi memiliki peranan
yang penting dalam kehidupan manusia. Wilbur Schramm menyebutnya bahwa
berkomunikasi dan masyarakat adalah dua kata kembar yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lainnya. Sebab tanpa komunikasi tidak mungkin masyarakat
terbentuk, sebaliknya tanpa masyarakat maka manusia tidak mungkin dapat
mengembangkan komunikasi (Cangara, 2006: 1-2).
Richard West dan Lynn Turner mendefinisikan komunikasi adalah proses
sosial dimana individu menggunakan simbol-simbol untuk menciptakan dan
menginterpretasikan makna dalam lingkungan mereka (West, 2009 :5). Jumlah
simbol-simbol yang dipertukarkan tentu tak bisa dihitung dan dikelompokkan
secara spesifik kecuali bentuk simbol yang dikirim, verbal dan non verbal.
Memahami komunikasi pun seolah tak ada habisnya. Mengingat komunikasi
sebagai suatu proses yang tiada henti melingkupi kehidupan manusia, salah
satunya mengenai komunikasi antarbudaya.
Edward T. Hall mengatakan budaya dan komunikasi tidak dapat
dipisahkan. Konsekuensinya kebudayaan merupakan landasan berkomunikasi.
Charley H. Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi
komunikasi yang mewakili pribadi, antar pribadi, kelompok dengan tekanan pada
1
Universitas Sumatera Utara
perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi
para peserta, sedangkan Sitaram berpendapat bahwa komunikasi antarbudaya
sendiri bermakna sebagai sebuah seni untuk memahami dan saling pengertian
antara khalayak yang berbeda kebudayaan (Liliweri, 2004: 11).
Penggunaan budaya dalam proses komunikasi menjadi perhatian yang
cukup menarik jika dilihat dalam perspektif Indonesia sebagai bangsa. Bangsa
Indonesia merupakan bangsa multikultur. Banyak suku bangsa dengan bahasa dan
identitas kultural berbeda yang tersebar di tanah air. Diperkirakan Indonesia
memiliki lebih dari 300 suku bangsa besar maupun kecil. Setiap suku bangsa
tersebut memiliki identitas dalam diri mereka.
Perbedaan budaya pada masyarakat Indonesia, memiliki potensi konflik
yang cukup besar. Fenomena ini bisa kita lihat dari banyaknya konflik antar etnis
yang terjadi di Indonesia. Konflik antarbudaya terjadi di hampir seluruh wilayah
nusantara. Setiap provinsi semisal Aceh, Kalimantan Barat, Sulawesi bahkan di
ibukota negara yakni Jakarta konflik antar etnis kerap kali terjadi. Banyak hal
yang menjadi penyebab konflik antarbudaya, namun sesuai dengan keilmuan,
peneliti memfokuskan pada komunikasi antarbudaya.
Komunikasi antarbudaya akan berkesan apabila setiap orang yang terlibat
dalam proses komunikasi mampu meletakkan dan memfungsikan komunikasi di
dalam suatu konteks kebudayaan tertentu. Selain itu, komunikasi antarbudaya
sangat ditentukan oleh sejauhmana manusia mampu mengecilkan salah faham
yang dilakukan oleh komunikator dan komunikan antarbudaya (Liliweri, 2004:
256). Pernyataan ini seringkali tidak terdapat pada masyarakat yang berkonflik.
Masing-masing pihak yang terlibat dalam komunikasi antarbudaya sering
Universitas Sumatera Utara
menonjolkan budaya mereka dalam masyarakat. Hal ini yang sering memicu
terjadinya konflik antar etnis.
Kota Medan sebagai salah satu kota metropolitan didiami oleh berbagai
etnis. Mayoritas penduduk Kota Medan sekarang ialah suku Jawa dan suku-suku
dari Tapanuli (Batak, Mandailing, Karo). Kota Medan banyak pula orang
keturunan India dan Tionghoa. Medan salah satu kota di Indonesia yang memiliki
populasi orang Tionghoa cukup banyak.
Tabel 1.1
Perbandingan etnis di Kota Medan pada tahun
1930, 1980 dan 2000
No
Etnis
Tahun 1930
Tahun1980
Tahun 2000
1
Jawa
24,89%
29,41%
33,03%
2
Batak
2,93%
14,11%
20,93%*
3
Tionghoa
35,63%
12,8%
10,65%
4
Mandailing
6,12%
11,91%
9,36%
5
Minangkabau
7,29%
10,93%
8,6%
6
Melayu
7,06%
8,57%
6,59%
7
Karo
0,19%
3,99%
4,10%
8
Aceh
--
2,19%
2,78%
9
Sunda
1,58%
1,90%
--
10
Lain-lain
14,31%
4,13%
3,95%
Sumber: 1930 dan 1980: Usman Pelly, 1983; 2000: BPS Sumut
*Catatan: Data BPS Sumut tidak menyenaraikan "Batak" sebagai suku bangsa, total Simalungun
(0,69%), Tapanuli/Toba (19,21%), Pakpak (0,34%), dan Nias (0,69%) adalah 20,93%
Data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik di atas menggambarkan Kota
Medan sebagai kota multietnis. Kondisi ini memunculkan potensi untuk terjadinya
Universitas Sumatera Utara
konflik di kota ini, terutama berkaitan dengan pribumi dan non pribumi. Pribumi
berarti penghuni asli, orang yang berasal dari tempat yang bersangkutan, dalam
hal ini adalah nusantara atau lebih kita kenal Indonesia. Sedangkan di luar dari
definisi tersebut, kita mengenal mereka sebagai non pribumi.
Polemik sering sekali terjadi antara pribumi dan non pribumi di wilayah
nusantara, khusus yang berkaitan dengan etnis Tionghoa. Kita dapat melihat
sejarah polemik tersebut dari zaman kolonial hingga saat ini. Kebijakan
pemerintah Indonesia menyangkut persoalan etnis Tionghoa dari masa ke masa,
terutama masa Orde Baru dengan proyek kebijakan asimilasi dan masa pasca
rezim Soeharto ditandai dengan penghapusan pilar-pilar kebudayaan Tionghoa
(termasuk penutupan sekolah Tionghoa, pembubaran organisasi etnis Tionghoa
dan pemberedelan media massa Tionghoa) serta simbol-simbol dan adat-istiadat
etnis Tionghoa.
Pada waktu itu, sejumlah orang Tionghoa telah dibaur dan tidak merasa
sebagai Tionghoa lagi. Kelompok etnis Tionghoa tidak lenyap dan jumlahnya
masih sangat besar di Indonesia. Kemudian dengan berubahnya kebijakan
pemerintah menjadi lebih akomodatif, kebangkitan identitas diri etnis Tionghoa
bukan hal yang tidak mungkin.
Kesulitan juga dirasakan oleh etnis Tionghoa yaitu tidak dapat diterima
oleh kaum nasionalis Indonesia sebagai bagian dari Indonesia. Masyarakat
kolonial membeda-bedakan penduduk Indonesia berdasarkan ras/suku bangsa
yang mempengaruhi pemikiran nasionalis Indonesia, sehingga mengakibatkan
terpisahnya
peranakan
Tionghoa
dari
pergerakan
nasional
Indonesia.
Nasionalisme Tionghoa timbul lebih awal dari nasionalisme Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Nasionalisme Tionghoa termasuk peranakan, tumbuh terpisah dari dan
dikehendaki pemerintah Indonesia rezim Orde Baru dengan kebijakan
asimilasinya. Di satu sisi kecenderungan untuk mempertahankan identitas
etnisnya terdapat pada sebagian warga etnis Tionghoa, sedangkan di sisi lain,
mereka telah merasa menjadi bagian dari masyarakat Indonesia.
Nasionalisme Indonesia dikonstruksi berdasarkan konsep “kepribumian”
dan etnis Tionghoa dikategorikan sebagai orang asing yang dianggap bukan
merupakan bagian dari Indonesia. Nasionalis Indonesia didefinisikan sebagai
“milik” bangsa pribumi, yaitu kelompok yang mempunyai daerah mereka sendiri.
Selanjutnya, konsep pribumi sebagai tuan rumah telah berakar di bumi Indonesia.
Etnis Tionghoa dianggap sebagai non-pribumi dan pendatang baru yang tidak bisa
diterima sebagai suku bangsa sebelum mereka mengasimilasi diri.
Pribumi memiliki persepsi bahwa etnis Tionghoa merupakan sebuah
kelompok etnis yang menduduki tangga ekonomi lebih tinggi dan terpisah dari
pribumi. Implikasinya, konsep masyarakat majemuk yang menekankan pada
pentingnya kesukubangsaan, akan selalu menempatkan posisi etnis Tionghoa
sebagai orang asing, walaupun mereka tersebut berstatus WNI. Secara tidak
langsung, etnis Tionghoa yang non-pribumi itu harus membaur menjadi pribumi
kalau ingin diterima sebagai orang Indonesia.
Pada rezim Soeharto, pilar-pilar kebudayaan Tionghoa dipulihkan
kembali, pembukaan sekolah Tionghoa ala pemerintahan Sukarno, meskipun
masih tidak diizinkan kebebasan menggunakan bahasa Tionghoa, bahkan
perayaan festival etnis Tionghoa juga telah diizinkan oleh negara. Walaupun
diskriminasi etnis belum terkikis habis, namun minoritas etnis mendapat jaminan,
Universitas Sumatera Utara
sekurang-kurangnya dari sudut hukum, dan seiring dengan menguatnya persoalan
identitas ke-etnis-an, nasionalisme bisa terancam menjadi nasionalisme suku
bangsa yang sempit.
Persoalan mengenai keberadaan etnis Tionghoa menarik minat banyak
peneliti terutama di Kota Medan. Penelitian Agustrisno (2007: 47), yang berjudul
“Respon Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di
Kota Medan”, menyatakan bahwa:
“Didapati bahwa integrasi sosial antara etnis di Kota Medan masih
diwarnai adanya unsur-unsur prasangka sosial, streotip sehingga
menimbulkan jarak sosial dan ini menjadi penghambat dalam
pembangunan di Kota Medan”
Fenomena ini pernah terjadi pada tahun 1998 di mana akibat reformasi
menjatuhkan Presiden Soeharto, etnis Tionghoa di Kota Medan menjadi korban
pengrusakan serta penjarahan dari kaum pribumi. Penelitian lain yang berfokus
pada etnis Tionghoa di Kota Medan yang dilakukan Subanindyo Hadiluwih
(2006: 26) yang berjudul “Konflik Etnis di Indonesia : Penelitian Kasus di Kota
Medan” menyatakan bahwa:
“Tidak terdapat dominasi etnis dan budaya tertentu dan fenomena
berbagai budaya di Medan Sumatera Utara merupakan suatu hal yang
unik. Budaya asli seperti Melayu dan Batak Karo berkecenderungan
menghilang. Komunitas etnis Tionghoa dan atau keturunannya
sebenarnya terbentuk kemudian. Meskipun masyarakat etnis Tionghoa
tidak juga dominan, tetapi mereka mampu membentuk budaya yang
signifikan pengaruhnya bagi masyarakat Kota Medan. Interaksi antara
etnis Tionghoa dengan pribumi masih sukar berlangsung hingga kini di
Medan. Ciri-ciri nyata ialah adanya kecenderungan yang kuat daripada
setiap etnis untuk mempertahankan identitasnya seperti dalam
penggunaan bahasa daerah apabila berjumpa dengan kelompok etnisnya,
merasa etnisnya lebih baik berbanding etnis lain. Masing-masing etnis
berkecenderungan memandang norma dan nilai-nilai kelompok
budayanya (organisasi sosialnya) sebagai sesuatu yang mutlak dan dapat
digunakan sebagai acuan untuk mengukur dan bertindak terhadap
kelompok kebudayaan lain”.
Universitas Sumatera Utara
Etnis Tionghoa telah bermukim di kepulauan Nusantara dan sebagian
besar di antara mereka telah hidup seperti etnis lain serta melangsungkan aktivitas
budayanya dan di setiap daerah mereka membaur dengan kebudayaan setempat.
Namun dalam perjalanan waktu itu mereka senantiasa mengalami berbagai
gejolak sosial yang membuat mereka selalu melakukan perubahan dalam
kehidupannya agar bisa diterima secara sosial, budaya dan politik.
Menurut Suryadinata pada era akhir Orde Lama dan masa berkuasanya
Orde Baru ada lebih 60 peraturan dan perundang-undangan yang telah membuat
etnis Tionghoa merasa tidak nyaman sebagai warga negara karena undang-undang
dan peraturan pemerintah tersebut berbau diskriminasi rasial (Bahrum,2008:3).
Peraturan dan perundang-undangan itu telah melakukan pelanggaran dan
pembatasan ruang gerak mereka dalam menjalani kehidupannya.
Salah satu peraturan yang membatasi ruang gerak Etnis Tionghoa adalah
Keputusan Presiden No. 127/U/Kep/12/1966 tentang peraturan orang Cina atau
Tionghoa diharuskan mengganti nama lahir mereka yang menggunakan nama
Cina atau Tionghoa menjadi nama-nama yang mengindonesia, seperti Darmawan,
Wijaya, Sentosa, Kurniawan, Setiawan, Jayasuprana dan Suparman. Selain itu
peraturan pemerintah No 10 Tahun 1959 yang melarang etnis Tionghoa tinggal
jauh di pedalaman dan harus berada di kota, sehingga sangat jarang ditemukan
etnis Tionghoa menjadi petani atau nelayan di pedalaman. Etnis Tionghoa
terkonsentrasi di kota-kota besar menjadi pedagang dan pengusaha dalam
berbagai bidang.
Etnis Tionghoa di Kota Medan sering bermukim pada satu wilayah saja.
Seperti di Taman Mega Emas yang berada di kawasan Asia, Komplek Perumahan
Universitas Sumatera Utara
Cemara Hijau di kawasan Pulau Brayan, Komplek perumahan Sunggal di
Kampung Lalang dan Komplek perumahan Setia Budi Indah di Tanjung Sari
(observasi 2013). Pengelompokkan tempat tinggal pada satu wilayah ini
dimungkinkan karena etnis Tionghoa masih sulit beradaptasi dengan lingkungan
sekitarnya.
Namun, fakta ini tidak menutup kemungkinan etnis Tionghoa untuk
berbaur dengan penduduk Pribumi. Komplek Puri Katelia Indah di Kecamatan
Medan Johor misalnya, etnis Tionghoa pada wilayah komplek ini justru menjadi
minoritas. Data yang dikeluarkan pengelola komplek menyebutkan bahwa 15
keluarga dari 60 keluarga yang mendiami komplek tersebut adalah etnis
Tionghoa.
Etnis Tionghoa dan masyarakat pribumi di komplek Puri Katelia Indah ini
sudah terbiasa hidup berdampingan. Pada beberapa kegiatan keagamaan, hampir
setiap warga komplek ikut terlibat dalam kegiatan tersebut. Berdasarkan uraian di
atas, peneliti merasa tertarik untuk meneliti ‘proses komunikasi antar budaya etnis
Tionghoa dan pribumi pada komplek Puri Katelia Indah Kecamatan Medan
Johor”.
1.2
Perumusan Masalah
Guna memudahkan pelaksanaan penelitian, peneliti merumuskan rumusan
permasalahan. Adapun permasalahan yang akan diteliti sebagai berikut:
1. Bagaimana proses komunikasi antarbudaya etnis Tionghoa dan pribumi di
Komplek Puri Katelia Indah Kecamatan Medan Johor Kota Medan ?
Universitas Sumatera Utara
2. Faktor-faktor apa yang berpengaruh terhadap proses komunikasi
antarbudaya etnis Tionghoa dan pribumi di Komplek Puri Katelia Indah
Kecamatan Medan Johor Kota Medan ?
1.3
Batasan Masalah
Guna
menghindari
ruang
lingkup
yang
terlalu
luas
sehingga
dapatmengaburkan penelitian, maka peneliti perlu merumuskan masalah yang
akan diteliti. Adapun batasan yang akan diteliti adalah sebagai berikut:
1. Penelitian ini terbatas pada proses komunikasi antar budaya etnis Tionghoa
dan etnis Pribumi.
2. Objek penelitian adalah etnis Tionghoa dan pribumi penduduk komplek Puri
Katelia Indah Kecamatan Medan Johor Kota Medan.
3. Penelitian ini dilakukan mulai bulan April 2014, dengan lama penelitian yang
disesuaikan dengan tingkat kebutuhan.
1.4
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Penelitian ini bertujuan mengetahui proses komunikasi antarbudaya etnis
Tionghoa dan pribumi Komplek Puri Katelia Indah Kecamatan Medan Johor
Kota Medan.
2. Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh dalam
proses komunikasi antarbudaya etnis Tionghoa dan pribumi Komplek Puri
Katelia Indah Kecamatan Medan Johor Kota Medan.
Universitas Sumatera Utara
1.5
Manfaat Penelitian
1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah
penelitian dan sumber bacaan kepada mahasiswa Departemen Ilmu
Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera
Utara.
2. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan berguna untuk menambah ilmu
pengetahuan dan wawasan peneliti mengenai komunikasi, khususnya
komunikasi antarbudaya.
3. Secara praktis, penelitian ini dapat memberikan masukan kepada penduduk
Komplek Puri Katelia Indah Kecamatan Medan Johor.
Universitas Sumatera Utara
Download