BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nelayan
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) secara menyeluruh dapat dijelaskan
bahwa setiap pekerja berhak memperoleh pelayanan keselamatan dan kesehatan kerja
terlepas dari status sektor industri formal atau informal, besar kecilnya perusahaan,
dan jenis pekerjaan. Perkembangan dan pertumbuhan kedua sektor industri tersebut
selalu diiringi dengan masalah besar kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja
(Dharmawirawan dan Modjo, 2012). Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) juga
dibutuhkan oleh nelayan. Pelayanan keselamatan dan kesehatan kerja pada nelayan
dapat berupa pembuatan pos upaya kesehatan kerja (UKK), pelatihan pemahaman
tentang K3 untuk nelayan, peningkatan sarana dan prasarana berupa media penyuluhan
(buku tentang K3), pelampung, alat pelindung diri pada nelayan selama melaut. Upaya
kesehatan kerja (UKK) yang perlu dilakukan antara lain: pembentukan kader UKK
bidang perikanan dan kelautan, penyuluhan kesehatan kerja tentang risiko pekerjaan,
pencegahan kecelakaan kerja, penggunaan alat pelindung diri, dan kesehatan
lingkungan kerja. Kegiatan upaya kesehatan kerja (UKK) pada nelayan yang bisa
dikembangkan antara lain; pemeriksaan kesehatan sebelum kerja, berkala dan khusus,
pemantauan kesehatan lingkungan, dan pengobatan penyakit akibat kerja (Martiana
dan Wilujeng, 2006). Dilihat dari aspek kesehatan, nelayan berisiko terhadap
munculnya masalah kesehatan seperti kekurangan gizi, dermatitis, diare, dan infeksi
saluran pernafasan atas (ISPA) yang disebabkan karena persoalan lingkungan seperti
sanitasi, air bersih, dan indoor pollution (Cahyawati, 2010). Dalam proses
pekerjaannya nelayan merupakan pekerjaan yang dilakukan di luar gedung serta
8
9
terpapar langsung dengan sinar matahari sehingga nelayan adalah salah satu pekerjaan
yang berisiko untuk mengalami katarak (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2013).
2.2
Nelayan
2.2.1 Pengertian nelayan
Nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya bergantung
langsung dari hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budidaya.
Mereka pada umumnya tinggal di pinggir pantai, sebuah lingkungan pemukiman yang
dekat dengan lokasi kegiatannya (Fargomeli, 2014). Mata pencaharian nelayan adalah
segala sesuatu yang berhubungan dengan perikanan, berupa proses penyediaan rumah
ikan, peralatan penangkapan, proses penangkapan, penjualan, dan seterusnya (Saidi,
2014). Dari bangunan struktur sosial, kelompok nelayan terdiri atas komunitas yang
heterogen dan homogen. Komunitas nelayan terdiri dari orang-orang yang berbeda
dari latar belakang pendidikannya, namun mereka berasal dari daerah yang sama
sehingga mereka membentuk suatu komunitas/kelompok nelayan. Ciri-ciri komunitas
nelayan menurut Rohman (2015) antara lain:
a.
Dari segi mata pencaharian, nelayan adalah mereka yang segala aktivitasnya
berkaitan dengan lingkungan laut dan pesisir.
b.
Dari segi cara hidup, komunitas nelayan adalah komunitas gotong royong dan
saling tolong menolong.
c.
Dari segi keterampilan, nelayan merupakan pekerjaan berat namun mereka
hanya memiliki keterampilan sederhana. Pekerjaan nelayan kebanyakan
10
merupakan pekerjaan yang diturunkan oleh orang tua, bukan dipelajari secara
professional.
2.2.2 Proses kerja nelayan
Proses penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan dibagi menjadi tiga
tahapan umum menurut Dharmawirawan dan Modjo (2012), yaitu:
1. Tahapan persiapan
Tahapan persiapan dilakukan oleh nelayan pada saat menuju lokasi
penangkapan, kegiatan yang dilakukan pada tahap persiapan ini meliputi kegiatan
pengecekan alat tangkap (jaring), pengecekan terhadap mesin perahu serta
memindahkan perahu yang semula berada di tepi pantai yang akan digunakan untuk
melaut. Pada aktivitas persiapan ini terdapat bahaya (hazard) ergonomi yang timbul
karena nelayan mengangkat perahu secara manual. Selain itu, terdapat hazard
kebisingan yang bersumber dari suara mesin perahu.
2. Tahapan penangkapan ikan
Pada proses penangkapan ikan, terdapat beberapa kegiatan yang dilakukan oleh
nelayan, antara lain: pemasangan alat tangkap/menurunkan jaring ke laut serta
penggiringan ikan dan pengangkatan jaring. Pada proses pemasangan jaring serta
pengangkatan jaring terdapat hazard ergonomi karena nelayan bekerja dengan posisi
berdiri bertumpu pada kedua kaki untuk menahan keseimbangan badan disertai dengan
posisi membungkuk. Beban akan bertambah ketika kondisi laut sedang berombak
besar. Selain itu, selama proses melaut terdapat pula hazard kebisingan yang
bersumber dari suara mesin perahu serta hazard fisik berupa cuaca kerja panas.
11
3. Tahapan penanganan hasil tangkapan
Tahapan penanganan hasil tangkapan merupakan tahap akhir dari proses kerja
nelayan. Pada tahap ini dilakukan aktivitas penyortiran terhadap hasil tangkapan
secara manual. Pada tahap ini terdapat hazard biologi yang berasal dari ikan, nelayan
banyak yang tergigit atau tertusuk duri ikan. Selain itu, terdapat hazard ergonomi pada
proses ini karena proses penyortiran dilakukan secara manual yaitu dengan cara
memisahkan satu per satu hasil tangkapan sesuai dengan ukuran ikan.
Dalam proses kerjanya, terdapat tiga pola penangkapan ikan yang dilakukan
nelayan menurut Trisnawati dkk (2013) yaitu:
a.
Pola penangkapan lebih dari satu hari
Penangkapan ikan yang dilakukan pada pola ini merupakan penangkapan ikan
lepas pantai dan besar kecilnya perahu menentukan lamanya melaut.
b.
Pola penangkapan ikan satu hari
Pada pola ini nelayan biasanya berangkat melaut sekitar pukul 14.00 serta
kembali pada pukul 09.00 hari berikutnya.
c.
Pola penangkapan ikan tengah hari
Nelayan pada pola ini berangkat melaut pada pukul 03.00 dini hari atau setelah
subuh dan kembali pada pukul 09.00 pagi.
Nelayan “Putra Samudra” adalah kelompok nelayan yang ada di Desa Lebih
Kabupaten Gianyar yang berdiri pada tahun 1972. Terdapat dua pola penangkapan
ikan pada nelayan “Putra Samudra” yaitu dari pukul 05.00 subuh hingga pukul 15.00
serta dari pukul 18.00 hingga pukul 08.00. Nelayan “Putra Samudra” biasanya
berangkat melaut pukul 05.00 subuh hingga pukul 15.00. Para nelayan berangkat
melaut secara berkelompok yang terdiri dari empat orang setiap perahu.
12
Pada saat nelayan melaut pukul 05.00 subuh sampai dengan pukul 15.00 sore,
nelayan akan terpapar oleh sinar matahari langsung yang menurut Tana (2006) paparan
sinar matahari pada pukul 10.00-14.00 perlu dihindari karena merupakan faktor risiko
dari katarak.
2.3
Katarak
2.3.1 Pengertian katarak
Katarak berasal dari bahasa Yunani katarrhakies, Inggris cataract, dan Latin
cataracta yang berarti air terjun. Dalam bahasa Indonesia katarak disebut bular dimana
penglihatan seperti tertutup air terjun akibat lensa yang keruh. Katarak merupakan
setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan)
lensa, denaturasi protein lensa terjadi akibat kedua-duanya. Katarak dapat ditemukan
dalam keadaan tanpa adanya kelainan mata atau sistemik (katarak senil, juvenil,
herediter) atau kelainan kongenital mata (Ilyas dan Yulianti, 2014).
2.3.2 Patogenesis dan patofisiologi katarak
Patogenesis katarak masih belum dapat sepenuhnya dimengerti, akan tetapi
penuaan merupakan faktor yang paling berperan. Lensa yang mengalami katarak
mengalami agregasi protein yang berujung pada penurunan transparansi, perubahan
warna menjadi kuning atau kecoklatan, ditemukannya vesikel antara lensa dan
pembesaran sel epitel. Perubahan lain yang juga muncul adalah perubahan fisiologi
kanal ion, absorpsi cahaya, dan penurunan aktivitas anti-oksidan dalam lensa juga
dapat menyebabkan katarak. Sejumlah faktor yang diduga turut berperan dalam
terbentuknya katarak, antara lain kerusakan oksidatif (dari proses radikal bebas), sinar
ultraviolet, dan malnutrisi. Hingga kini belum ditemukan pengobatan yang dapat
13
memperlambat atau membalikkan perubahan-perubahan kimiawi yang mendasari
pembentukan katarak (Eva dan Whitcher, 2010).
2.3.3 Tanda dan gejala katarak
Katarak mungkin terjadi tanpa gejala dan ditemukan secara kebetulan pada saat
pemeriksaan mata, katarak biasanya tumbuh secara perlahan dan tidak menimbulkan
rasa sakit tetapi mengganggu penglihatan seperti menjadi kabur, penglihatan bagian
sentral hilang sampai menjadi buta. Salah satu keluhan dini katarak adalah keluhan
silau atau tidak tahan terhadap cahaya terang, seperti sinar matahari langsung atau
sinar dari lampu kendaraan bermotor dari arah depan. Keluhan silau bervariasi
tergantung lokasi dan besarnya kekeruhan pada lensa. Kekeruhan kecil yang terjadi di
daerah pupil akan dirasakan sangat mengganggu. Keluhan lain dapat berupa
penglihatan berkabut, penglihatan warna menjadi tumpul, dan penglihatan ganda.
Akibat perubahan opasitas lensa, terdapat berbagai gangguan pada penglihatan
menurut Tanto, dkk (2014) yaitu:
1.
Penurunan tajam penglihatan,
2.
Penurunan sensitivitas kontras yaitu pasien mengeluh sulit melihat benda
di luar ruangan pada cahaya terang,
3.
Pergeseran ke arah myopia, normalnya pasien usia lanjut akan
mengeluhkan perubahan hyperopia, akan tetapi pasien katarak mengalami
perubahan miopia karena perubahan indeks refraksi lensa.
4.
Diplopia monocular, hal ini dikarenakan adanya perbedaan indeks refraksi
antara satu bagian lensa yang mengalami kekeruhan dengan bagian lensa
lainnya.
14
5.
Sensasi silau (glare), opasitas lensa mengakibatkan rasa silau karena
cahaya dibiaskan akibat perubahan indeks refraksi lensa.
2.3.4 Jenis-jenis katarak
Menurut Ilyas dan Yulianti (2014), katarak dapat dibagi menjadi beberapa jenis:
1.
Katarak kongenital
Katarak kongenital adalah katarak yang mulai terjadi sebelum atau segera
setelah lahir dan pada bayi yang berumur kurang dari 1 tahun. Katarak
kongenital merupakan penyebab kebutaan pada bayi yang cukup berarti
terutama akibat penanganannya yang kurang tepat.
2.
Katarak rubela
Rubela pada ibu dapat mengakibatkan katarak pada lensa fetus. Terdapat
dua bentuk kekeruhan yaitu kekeruhan sentral dengan perifer jernih seperti
mutiara atau kekeruhan di luar nuklear yaitu korteks anterior dan posterior
atau total.
3.
Katarak juvenile
Katarak juvenile adala katarak yang lembek dan terdapat pada orang muda
yang mulai terbentuknya pada usia kurang dari 9 tahun dan lebih dari 3
bulan. Katarak juvenile merupakan kelanjutan dari katarak kongenital
(Mutiarasari dan Handayani, 2011).
4.
Katarak senil
Katarak senil adalah semua kekeruhn lensa yang terdapat pada usia lanjut,
yaitu umur di atas 50 tahun. Secara klinik, katarak senil dibagi menjadi 4
stadium, yaitu:
15
a.
Katarak insipien yaitu pada stadium ini akan terlihat kekeruhan
mulai dari tepi ekuator berbentuk jeriji menuju korteks anterior dan
posterior.
b.
Katarak imatur yaitu sebagian lensa keruh atau katarak. Katarak
belum mengenai seluruh lapisan lensa.
c.
Katarak matur yaitu kekeruhan telah mengenai seluruh masa lensa.
d.
Katarak hipermatur yaitu katarak yang mengalami proses degenerasi
lanjut, dapat menjadi keras atau lembek dan mencair.
Perbedaan stadium katarak senil dapat dilihat pada Tabel 2.1
Tabel 2.1 Perbedaan stadium katarak senil
Kekeruhan
Cairan lensa
Iris
Bilik mata
depan
Sudut bilik
mata
Shadow test
Penyulit
Insipien
Ringan
Normal
Imatur
Sebagian
Bertambah
(air masuk)
Matur
Seluruh
Normal
Normal
Normal
Terdorong
Dangkal
Normal
Normal
Hipermatur
Masif
Berkurang
(Air+masa
lensa keluar)
Tremulans
Dalam
Normal
Sempit
Normal
Terbuka
Negatif
-
Positif
Glaukoma
Negatif
-
Pseudopos
Uveitis +
Glaukoma
Sumber: Ilyas dan Yulianti (2014)
5.
Katarak komplikata
Katarak komplikata merupakan katarak akibat penyakit mata lain seperti
radang, dan proses degenerasi.
6.
Katarak diabetes
Katarak diabetik merupakan katarak yang terjadi akibat adanya penyakit
diabetes mellitus.
16
7.
Katarak sekunder
Katarak sekunder terjadi akibat terbentuknya jaringan fibrosis pada sisa
lensa yang tertinggal, paling cepat keadaan ini terlihat sesudah 2 hari
EKEK (Ekstraksi Katarak Ekstra Kapsular).
2.3.5 Faktor risiko katarak
Faktor risiko katarak antara lain:
1.
Umur
Usia dikatakan merupakan faktor risiko utama terjadinya katarak. Katarak
senilis dikatakan sebagai suatu penyakit idiopatik yang umum terjadi pada
usia di atas 50 tahun, prevalensinya cenderung meningkat sesuai dengan
bertambahnya usia. Risiko terjadinya katarak pada seseorang yang berusia
55 tahun ke atas 30,6 kali lebih tinggi dibandingkan seseorang yang
berusia 30-54 tahun (Tana dkk, 2007).
2.
Jenis kelamin
Perempuan lebih berisiko untuk menderita katarak lebih banyak
dibandingkan dengan laki-laki. Hal tersebut dikarenakan usia harapan
hidup perempuan lebih lama dibandingkan laki-laki. Penelitian yang
dilakukan Arimbi (2012) menemukan perempuan lebih berisiko katarak
sebesar 1,31 kali dibanding laki-laki, namun secara statistik hal tersebut
tidak bermakna karena nilai p>0,05.
3.
Riwayat penyakit keturunan
Katarak yang disebabkan oleh riwayat penyakit keturunan biasanya terjadi
pada anak-anak. Katarak anak-anak dibagi menjadi 2 kelompok yaitu
katarak kongenital (infantilis) yang terdapat sejak lahir dan katarak didapat
17
yang timbul yang timbul belakangan dan biasanya berkaitan dengan sebabsebab spesifik (Eva dan Whitcher, 2010). Ulandari (2014) menemukan
riwayat penyakit katarak tidak terbukti secara statistik menjadi faktor
risiko katarak.
4.
Pekerjaan
Pekerjaan dalam hal ini berhubungan dengan paparan sinar ultraviolet,
dimana sinar ultraviolet merupakan faktor risiko katarak. Penelitian yang
dilakukan oleh Wahyudi, dkk., (2013) menemukan pada kelompok pekerja
lapangan dengan tingkat kematangan katarak matur persentasenya lebih
tinggi (62%) dibanding dengan kelompok pekerja ruangan (41,9%)
demikian juga untuk tingkat kematangan katarak imatur. Hal tersebut
sejalan dengan penelitian Arimbi (2012) yang menemukan responden pada
kategori pekerjaan di luar ruangan mempunyai risiko untuk menderita
katarak sebanyak 2,9 kali dibandingkan dengan responden kategori
pekerjaan di dalam ruangan.
5.
Pendidikan
Ulandari (2014) menyebutkan prevalensi katarak lebih tinggi pada
kelompok yang berpendidikan rendah. Pendidikan rendah mempunyai
risiko 25 kali untuk terjadi katarak dibandingkan dengan responden yang
berpendidikan tinggi. Penelitian yang dilakukan Hutasoit (2009)
menemukan penderita katarak dua mata ataupun satu mata dengan
pendidikan terakhir sekolah dasar. Arimbi (2012) menemukan kategori
pendidikan rendah berisiko untuk menderita katarak sebanyak 2,9 kali
dibandingkan dengan kategori pendidikan tinggi.
18
6.
Pendapatan
Katarak berhubungan dengan sosial ekonomi yang rendah. Seseorang yang
mempunyai penghasilan yang rendah tidak mampu dalam memenuhi
kebutuhan nutrisinya. Pendapatan yang rendah juga berhubungan dengan
rendahnya tingkat pengetahuan seseorang yang ada kaitannya dengan
kemauan untuk mencari informasi mengenai katarak. Penelitian yang
dilakukan Ulandari (2014) mendapatkan 53,8% responden yang menderita
katarak memiliki penghasilan yang rendah. Penghasilan rendah
mempunyai risiko 18 kali untuk terjadinya katarak dibandingkan dengan
responden berpenghasilan tinggi. Hal tersebut juga sejalan dengan
penelitian yang dilakukan Arimbi (2012) yang menemukan penghasilan
rendah mempunyai risiko untuk menderita katarak sebanyak 0,4 kali
dibandingkan dengan responden penghasilan tinggi.
7.
Nutrisi
Nutrisi merupakan salah satu faktor risiko katarak. Kejadian diare berat
yang terjadi sekali atau berulang kali sudah cukup menimbulkan
perubahan pada lensa. Diare berat berperan sebagai penyebab timbulnya
asidosis, dehidrasi, dan peningkatan konsentrasi urea plasma. Adanya
ketidakseimbangan osmotik dan faktor lainnya akan meningkatkan urea
plasma pada protein lensa (Tana, 2006). Selain itu, menurut Hutasoit
(2009) multivitamin, vitamin A, vitamin C, vitamin E, niasin, tiamin,
riboflavin, beta karoten, dan peningkatan protein mempunya efek protektif
terhadap perkembangan katarak.
19
8.
Diabetes mellitus
Seseorang yang menderita diabetes mellitus mempunyai risiko untuk
menderita katarak sebanyak 4,9 kali dibandingkan yang tidak menderita
diabetes mellitus (Arimbi, 2012). Diabetes mellitus dapat mempengaruhi
kejernihan lensa, indeks refraksi, dan amplitude akomodatif. Dengan
meningkatnya kadar gula darah, maka meningkat pula kadar glukosa
dalam akous humor. Pada mata terlihat meningkatnya insidens maturasi
katarak yang lebih pada pasien diabetes. Pada lensa akan terlihat tebaran
salju subkapsular yang sebagian jernih dengan pengobatan. Beberapa
pendapat menyatakan bahwa pada keadaan hiperglikemia terdapat
penimbunan sorbitol dan fruktosa di dalam lensa (Ilyas dan Yulianti,
2014).
9.
Trauma mata
Trauma mata seperti pukulan keras, tembusan luka sayatan, panas tinggi
atau bahan kimia dapat mengakibatkan kerusakan pada lensa mata yang
dapat mengakibatkan katarak pada semua umur (Arimbi, 2012).
10.
Obat-obatan
Arimbi (2012) menyebutkan obat-obatan yang meningkatkan risiko
katarak adalah kortikostteroid, fenotiazin, miotikum, kemoterapi, diuretic,
obat penenang, dan obat rematik.
11.
Konsumsi alkohol
Peminum alkohol kronis mempunyai risiko terkena berbagai penyakit
mata termasuk katarak. Alkohol akan secara langsung bekerja pada protein
lensa dan secara tidak langsung dengan cara mempengaruhi penyerapan
nutrisi penting pada lensa (Hutasoit, 2009). Seseorang yang pernah
20
mengonsumsi alkohol berisiko menderita menyakit katarak 0,8 kali
dibandingkan dengan yang todak pernah mengonsumi alkohol (Arimbi,
2012)
12.
Merokok
Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya katarak adalah faktor
merokok. Rokok berperan dalam pembentukan katarak dengan dua cara
yaitu paparan asap rokok yang bersal dari tembakau dapat merusak
membran sel dan serat-serat yang ada pada mata, serta merokok
menyebabkan antioksidan dan enzim-enzim di dalam tubuh mengalami
gangguan sehingga dapat merusak mata. Penelitian Arimbi (2012)
menemukan responden kategori merokok berisiko menderita katarak
sebesar 1,47 kali kali dibandingkan dengan responden kategori tidak
merokok. Penelitian tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan
Tana, dkk., (2007) yang mendapatkan seseorang yang merokok berisiko
mengalami katarak 2,17 kali lebih tinggi dibandingkan seseorang yang
bukan perokok. Makin berat derajat merokok maka katarak yang terjadi
makin tinggi. Makin banyak jumlah rokok yang dihisap, maka risiko
terjadi katarak makin tinggi.
13.
Paparan asap
Penggunaan bahan bakar padat pada dapur yang tidak mempunyai saluran
asap berhubungan dengan peningkatan risiko katarak. Penggunaan bahan
bakar gas dan listrik menghasilkan asap yang relatif rendah dibandingkan
dengan penggunaan bahan bakar kayu api, arang, dan minyak tanah.
Jumlah asap yang lebih rendah akan meminimalkan risiko katarak.
Katarak pada seseorang yang menggunakan bahan bakar minyak tanah
21
meningkat 1,4 kali dibandingkan dengan yang menggunakan bahan bakar
gas (Tana dkk, 2009).
14.
Paparan sinar ultraviolet (UV)
Sinar ultraviolet yang berasal dari matahari akan diserap oleh protein lensa
dan kemudian akan menimbulkan reaksi fotokimia sehingga terbentuk
radikal bebas atau spesies oksigen yang bersifat sangat reaktif. Reaksi
tersebut akan mempengaruhi struktur protein lensa, selanjutnya akan
menyebabkan kekeruhan pada lensa (Wahyudi, dkk., 2013). Berdasarkan
penelitian dari Ulandari (2014), pekerjaan di luar gedung merupakan
faktor risiko terhadap terjadinya katarak. Pada analisis multivariat, faktor
pekerjaan di luar gedung lebih dari 4 jam mempunyai risiko 13 kali untuk
terjadi katarak dibandingkan dengan pekerjaan yang dilakukan di luar
gedung kurang dari 4 jam. Pada analisis bivariate, responden yang terpapar
sinar matahari ≥ 4 jam mempunyai risiko 12 kali untuk terjadi katarak
dibandingkan responden yang < 4 jam terpapar sinar matahari.
2.3.6 Pekerja yang berisiko
Pekerja yang berisiko untuk menderita katarak adalah pekerja yang terpajan oleh
faktor-faktor yang merupakan faktor risiko katarak di lingkungan kerjanya. Pekerja
yang terpajan radiasi sinar pengion antara lain adalah pekerja bidang energi atom,
awak pesawat terbang, operator elektron mikroskop, industri radiografi, dokter gigi,
ahli radiologi. Pekerja di luar gedung dan terpapar radiasi ultraviolet B dari sinar
matahari yang merupakan faktor yang berhubungan dengan berkembangnya katarak.
Pekerja yang terpajan radiasi ultraviolet intensitas tinggi terutama terjadi akibat bunga
api yang berasal dari proses pengelasan. Pekerja yang terpapar radiasi inframerah
22
seperti pekerja pembuatan batu bata dan tanah liat, proses pemanasan cat, pengelas,
dan penempaan besi (Tana, 2006). Menurut buku seri pedoman tatalaksana penyakit
akibat kerja bagi petugas kesehatan tentang penyakit mata akibat kerja, kelompok
pekerja yang berisiko mengalami katarak akibat kerja antara lain petani, nelayan,
tukang las, supir, pekerja di pabrik gelas.
Untuk menetapkan diagnosis katarak akibat kerja perlu diperhatikan adanya
hubungan pajanan sinar ultraviolet, sinar infrared, gelombang mikro di tempat kerja
dengan diagnosis klinis. Peranan faktor individu seperti riwayat genetik, umur,
diabetes mellitus juga dapat menimbulkan katarak. Selain itu perlu juga mengetahui
besaran pajanan yang terdiri dari frekuensi pajanan setiap hari, lama terpajan, masa
kerja yang mempengaruhi jumlah atau besar pajanan yang menimbulkan katarak
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011).
2.3.7 Upaya pencegahan katarak
Upaya pencegahan katarak yang harus dilakukan adalah mengurangi pajanan
terhadap faktor perusak antara lain faktor-faktor ekstrinsik seperti faktor lingkungan,
merokok, dan sinar matahari. Pencegahan yang dapat dilakukan adalah menghindari
sinar matahari langsung, tidak merokok, dan menghindari paparan asap, menghindari
pemakaian obat-obatan steroid, dan mengurangi minum alkohol. Hal lain yang bisa
dilakukan adalah mengonsumsi vitamin dan mineral yang mengandung B1, vitamin C,
vitamin E, beta karoten, dan lainnya. Pencegahan secara khusus pada pekerja yaitu
dengan memberikan perlindungan pada mata dan wajah untuk mencegah mata terkena
trauma langsung. Untuk mencegah cedera mata karena radiasi sinar ultraviolet maka
dilakukan pembatasan pajanan radiasi ultraviolet di dalam dan di luar ruang kerja.
Pembatasan pajanan sinar matahari di daerah tropis dilakukan dengan menganjurkan
23
pekerja yang bekerja di luar ruangan untuk melindungi matanya dengan cara memakai
topi yang mempunyai pinggiran lebar dan kacamata dengan lensa yang dapat
mengabsorpsi ultraviolet B. Pajanan terhadap cahaya matahari pada jam-jam tertentu
perlu dihindari yaitu sinar matahari pada pukul 10.00-14.00 siang (Tana, 2006).
2.3.8 Diagnosis katarak
Sebagian besar katarak tidak dapat dilihat oleh pengamat awam sampai
kekeruhan cukup padat, yaitu pada tingkat matur atau hipermatur yang menyebabkan
kebutaan. Secara klinis tingkatan katarak ditentukan oleh uji tajam penglihatan dengan
Snellen, dilakukan juga dengan pemeriksaan oftalmoskop, dan lampu celah (slit lamp)
dengan pupil dilebarkan.
1.
Uji tajam penglihatan dengan Snellen
Secara umum, penurunan ketajaman penglihatan berhubungan langsung dengan
kepadatan katarak. Penegakan diagnosis katarak tidak selalu dinilai dengan uji
tajam penglihatan menggunakan Snellen. Pada pemeriksaan rutin, katarak
tingkat dini mungkin didapatkan penglihatan yang normal. Tajam penglihatan
umumnya turun secara langsung sebanding dengan kepadatan katarak. Uji tajam
penglihatan dianjurkan sebagai petunjuk terbaik untuk perlu tidaknya tindakan
bedah dengan memperhatikan fleksibilitas berkaitan dengan kebutuhan
fungsional dan visual spesifik dari penderita (Andriansah, 2011).
2.
Pemeriksaan dengan lampu celah (slit lamp)
Pemeriksaan dengan slit lamp memungkinkan pemeriksaan katarak secara rinci
dan identifikasi lokasi opasitas dengan tepat. Pemeriksaan slit lamp memiliki
kelebihan yaitu tidak hanya difokuskan untuk evaluasi opasitas lensa. Tapi dapat
juga struktur okular lain (konjungtiva, kornea, iris, bilik mata depan).
24
Kelemahannya yaitu pemeriksaan dengan slit lamp akan lebih sempurna bila
dilakukan di dalam kamar yang digelapkan serta pemeriksaan dengan slit lamp
membutuhkan biaya yang cukup mahal.
3.
Oftalmoskop
Oftalmoskop merupakan alat untuk melihat bagian dalam mata atau fundus
okuli. Terdapat dua macam oftalmoskop yaitu oftalmoskop langsung dan
oftalmoskop tidak langsung. Pemeriksaan dengan oftalmoskop dinamakan
oftalmoskopi yang bertujuan untuk menyinari bagian fundus okuli kemudian
bagian yang terang di dalam fundus okuli dilihat dengan satu mata melalui celah
alat pada oftalmoskopi langsung dan dengan kedua mata dengan oftalmoskopi
tidak langsung. Perbedaan antara oftalmoskopi langsung adalah pada
oftalmoskopi langsung daerah yang dilihat paling perifer sampai dengan daerah
ekuator, tidak stereoskopis, berdiri tegak atau tidak terbalik dan pembesaran 15
kali. Dengan oftalmoskopi tidak langsung akan terlihat daerah fundus okuli 8
kali diameter papil, dapat dilihat sampai daerah ora serata, karena dilihat dengan
dua mata maka terdapat efek stereoskopik, dan dengan pembesaran 2-4 kali.
Kelemahan pemeriksaan dengan oftalmoskop yaitu dilakukan di kamar gelap.
Pada inspeksi mata akan tampak pengembunan seperti mutiara keabuan pada
pupil sehingga retina tak akan tampak dengan oftalmoskop. Katarak terlihat
tampak hitam terhadap refleks fundus ketika mata diperiksa dengan oftalmoskop
langsung. Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis serta pemeriksaan
oftalmologi, dengan kriteria diagnosis adanya keluhan penglihatan berkabut,
penurunan ketajaman penglihatan, silau, adanya pajanan sinar UV, sinar infra
merah, gelombang mikro (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011).
25
Pada penelitian ini pemeriksaan mata nelayan atau untuk mendiagnosis katarak
pada nelayan akan dibantu oleh dokter mata, penulis memilih menggunakan
pemeriksaan mata dengan oftalmoskop langsung karena waktu yang dibutuhkan untuk
mendiagnosis katarak tidak lama, disamping itu biaya yang dibutuhkan untuk
melakukan pemeriksaan tidak begitu mahal serta alatnya mudah dibawa.
Download