Sejarah Perkembangan Ajaran Trinitas

advertisement
Sejarah Perkembangan Ajaran Trinitas
http://mcb.swaramuslim.net/index.php?section=19&page=-1
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah dengan semakin berkembangnya pemikiran manusia dari masa ke masa, generasi ke
generasi, semakin tampak pula keautentikan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lampau pada
generasi manusia masa kini. Hal ini tentu merupakan hasil usaha keras para ilmuwan yang telah
mencurahkan segala dayanya untuk menyatakan hal-hal yang sesungguhnya ke hadapan umat
manusia
yang
berakal
sehat
dan
mencintai
ilmu.
Buku Sejarah Perkembangan Ajaran Trinitas karangan L. Berkhof, yang judul aslinya adalah "The History of
Christian Doctrines," diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Drs. H. Thoriq A. Hindun, di dalamnya
mengungkapkan perdebatan yang pernah terjadi di kalangan para pakar keagamaan gereja tentang Trinitas.
Hal ini disebabkan karena para bapak gereja dahulu tidak memiliki konsepsi yang gamblang tentang Trinitas.
Sekelompok dari mereka membenarkan bahwa logos adalah sebagai reason, sementara yang lain
memandang bahwa dia sebagai manusia yang koeternal dengan bapak yang memiliki sifat esensi kekekalan,
sedangkan yang lainnya lagi menganggapnya sebagai subordination (suruhan) yang kedudukannya berada di
bawah
bapak.
Hal lainnya lagi yang menarik dalam buku ini adalah pembicaraan mengenai bahwa Kristus sebagai putra
Allah (Allah anak) konsubstansial dengan father (Allah Bapak), karena itu merupakan very God. Dengan
demikian menimbulkan pertanyaan mengenai hubungan antara ketuhanan dan kemanusiaan dalam diri
Kristus.
Untuk lebih jelasnya silakan baca buku ini, mudah-mudahan bermanfaat bagi para pembaca sehingga dapat
menambah wawasan pengetahuan tentang agama-agama yang dianut oleh mayoritas manusia di dunia ini.
Isi buku ini semata-mata mengungkapkan perbedaan pandangan di kalangan para pakar keagamaan gereja,
dan hal seperti ini sudah merupakan hal yang lumrah dalam suatu penganut agama.
SAMBUTAN
PEMBANTU DEKAN I BIDANG AKADEMIK
FAKULTAS USHULUDDIN IAIN "SGD" BANDUNG
Alhamdulillah dengan terbitnya buku "Sejarah Perkembangan Ajaran Trinitas" karangan L. Berkhof yang
diterjemahkan oleh Drs. H. Thoriq A. Hindun telah menambah buku referensi bagi Fakultas Ushuluddin,
jurusan Perbandingan Agama. Karena di antara mata kuliah yang diajarkan pada Fakultas tersebut adalah;
Sejarah agama-agama alam semesta, Kristologi, dan perkembangan Teologi Kristen Modern.
Kami anjurkan kepada setiap mahasiswa Fakultas bersangkutan untuk memilikinya, karena amat membantu
bagi pendalaman dan pengembangan ilmu tersebut.
KONTROVERSI TRINITAS
1. Latar Belakang
Kontroversi Trinitas, yang menimbulkan pertentangan pendapat antara Arius dan Athanasius berakar pada
masa lampau. Seperti diketahui bahwa para Bapak Gereja dulu, tidak mempunyai konsepsi yang jelas
tentang Trinitas. Sebagian di antara mereka membenarkan Logos sebagai "akal nonmanusiawi" (impersonal
reason), yang menjadi manusiawi pada saat penciptaan, sementara yang lain memandang Dia sebagai
manusia yang ko-eternal dengan Bapak yang memiliki sifat esensi kekekalan, dan sebagian lagi
memandangnya sebagai suruhan (subordination) atau kedudukannya di bawah Bapak Roh Kudus tidak
mendapat tempat penting dalam pembicaraan mereka. Mereka membicarakan Dia (Yesus Kristus) dalam
kaitannya dengan pekerjaan penebusan jiwa dan hidup manusia. Sebagian orang memandang Dia sebagai
"yang tunduk" bukan hanya kepada Bapak tetapi juga kepada Anak. Tertullian
adalah orang pertama yang secara gamblang menyatakan tri-personalitas Tuhan serta mempertahankan
pendapat tentang keesaan substansial ketiga person tersebut. Namun dia belum mampu menerangkan
dengan jelas tentang doktrin Trinitas.
Sementara itu muncullah aliran Monarkianisme yang menekankan keesaan Tuhan dan sifat ketuhanan
Kristus, yang meliputi penyangkalan Trinitas (jadi Trinitas tidak diartikan seperti yang terkandung dalam arti
kata tersebut). Tertullian dan Hippolytus memperjuangkan pandangan-pandangan mereka di Barat
sementara Origen menentangnya habis-habisan di Timur. Mereka membela kedudukan kaum trinitarian
sebagaimana diperlihatkan dalam keyakinan rasul (Kisah Rasul). Walaupun demikian, pandangan Origen
tentang Trinitas tidak seluruhnya memuaskan. Dia berkeyakinan kuat bahwa baik Bapak maupun anak
merupakan hipostases abadi (kekal) atau personal subsistence di dalam Tuhan. Sementara dia adalah orang
pertama yang menerangkan hubungan Bapak dengan anak dengan menggunakan ide eternaI generation, dia
menganggap hal ini meliputi subordinasi orang kedua (second person) terhadap orang pertama (first person)
dalam kaitannya dengan esensi. Bapak berkomunikasi dengan anak dan anak adalah sebagai spesies
sekunder kekekalan, yang dinamakan Theos, tetapi bukan Ho Theos. Bahkan anak kadang-kadang dipanggil
sebagai Theos Deuteros. Ini merupakan cacat paling radikal dalam doktrin Origen tentang Trinitas dan
memberikan batu loncatan bagi Arius. Cacat lain yang terdapat dalam pendapatnya bahwa, penciptaan anak
bukanlah perbuatan perlu (necessary act) dari Bapak tetapi bersumber pada kehendak-Nya yang berdaulat.
Akan tetapi dia tidak melontarkan ide suksesi temporal. Dalam doktrinnya tentang Roh Kudus dia masih
mengesampingkan representasi Kitab Injil. Dia bukan nanya menempatkan Roh Kudus sebagai "bawahan"
terhadap anak, tetapi dia juga mengartikannya sebagai ciptaan anak. Bahkan salah satu pernyataannya
berimplikasi bahwa Dia hanyalah sebagai suata ciptaan belaka.
2. Hakikat Kontroversi
a. Arius dan Arianisme
Perselisihan pendapat terbesar di kalangan pemikir Trinitas adalah kontroversi pandangan Arius, karena
pandangan-pandangan "anti-trinitas" yang dilontarkan Arius, seorang presbyter Alexandrux yang daya
debatnya besar walaupun jiwanya atau imannya diragukan. Ide dominan Arius adalah asas monoteistis aliran
Monarkianisme bahwa hanya ada satu Tuhan (tidak mempunyai anak). Ada yang tidak mempunyai asal usul,
tanpa keberadaan sebelumnya. Dia membedakan antara Logos yang tetap ada di dalam Tuhan, yang
merupakan kekuatan yang kekal dengan Anak atau Logos yang pada akhirnya berinkarnasi. Anak atau Logos
terakhir ini diciptakan oleh Bapak yang dalam pandangan Arius berarti bahwa dia diciptakan. Dia diciptakan
sebelum alam semesta ini diciptakan, dan dengan alasan ini berarti dia bukanlah esensi yang kekal. Dia
hanyalah yang terbesar dan pertama di antara ciptaan-ciptaan lainnya dan melalui dialah alam semesta ini
diciptakan. Karena itu dia dapat diganti, tetapi dia dipilih Tuhan demi keselamatan umat manusia, dan dia
dinamakan anak Tuhan. Dalam pengangkatannya sebagai anak
dialah yang disembah oleh manusia.
Dalam mendukung pandangan-pandangannya, Arius mencari; sejumlah ayat Alkitab yang memperlihatkan
anak berkedudukan di bawah atau inferior terhadap Bapak seperti "Prov 8:22, Mateus 28:18, Markus 13:32,
Lukas 18:19, Johannes 5:19;14:28,1 Korintus 15:28."
b. Bantahan terhadap Arianisme
Arius mendapat bantahan pertama dari bishop Alexander yang meyakini sifat ketuhanan yang sesungguhnya
dimiliki anak dan dalam waktu yang sama mempertahankan doktrin anak kekal yang diciptakan. Akan tetapi
sesuai dengan perjalanan waktu, penentangnya ternyata adalah uskup Alexandria sendiri, yakni Athanasius,
yang dalam sejarah dikenal sebagai tokoh kebenaran yang tegar, kukuh, dan tidak pernah ragu-ragu,
Seeberg mengemukakan tiga kekuatan atau kelebihan utama Athanasius, yakni:
1. Keteguhan dan keaslian atau kemurnian karakternya;
2. Landasannya yang pasti di atas mana dia susun konsepsi tentang keesaan Tuhan;
3. Kebijaksanaannya dalam menerangkan kepada umatnya agar
mengakui hakikat dan makna Kristus.
Dia berpendapat bahwa memandang Kristus sebagai ciptaan sama dengan menyangkal pandangan bahwa
iman terhadap dia membawa keselamatan bagi umat manusia.
Dia sangat menekankan keesaan Tuhan dan mau mengakui doktrin Trinitas yang tidak membahayakan
konsep keesaan ini. Sementara bapak dan anak sama-sama memiliki sifat atau esensi kekekalan yang sama,
sesungguhnya tidak ada pembagian atau pemisahan dalam The essential being of God, dan adalah salah bila
disebutkan Theos Deuteros. Tetapi di samping menekankan keesaan Tuhan, dia juga mengakui adanya tiga
hipostases dalam Tuhan. Dia menolak untuk meyakini "Anak yang diciptakan sebelum yang lain diciptakan"
seperti yang dianut Arius dan mempertahankan eksistensi kekal dan independen anak. Dalam waktu yang
sama dia berpendapat bahwa ketiga hipostases dalam Tuhan jangan dilihat sebagai hal yang sendiri-sendiri,
karena jika demikian, bisa bermuara
kepada politeisme. Menurut dia, keesaan Tuhan maupun perbedaan-perbedaan dalam keberadaan-Nya paling
tepat dinyatakan dengan "keesaan esensi." Ini berarti bahwa anak mempunyai substansi sama dengan
substansi Bapak, tetapi juga berarti bahwa keduanya bisa berbeda dalam aspek lain, misalnya dalam
personal subsistensinya. Seperti Origen, dia mengajarkan bahwa anak adalah hasil penciptaan (begotten by
generation), tetapi berbeda dari Origen, dia menerangkannya penciptaan ini merupakan tindakan
kerahasiaan Tuhan, bukan sebagai tindakan yang semata-mata bergantung kepada kedaulatan Tuhan.
3. Dewan Nicaea
Dewan Nicaea dibentuk tahun 325 untuk memecahkan pertentangan pandangan ini. Persoalan atau
kontroversi ini diperjelas agar pembahasannya lebih mudah. Pengikut Arius menolak pandangan tentang
penciptaan eternal (penciptaan yang bebas dari dimensi waktu), sementara Athanasius mempertahankannya.
Pengikut Arius mengatakan bahwa anak diciptakan dari tidak ada, sementara Athanasius mengatakan bahwa
dia diciptakan dari esensi Bapak. Pengikut Arius berpendapat bahwa anak tidak sama substansinya dengan
Bapak sementara Athanasius berpendapat bahwa anak adalah homoousios dengan Bapak.
Di samping kedua pihak yang bertentangan itu masih ada pihak tengah yang merupakan mayoritas yang
dipimpin oleh ahli sejarah gereja, yakni Eusebius dari Caesarea, dan juga dikenal sebagai pihak Origenistik
dan landasan pandangannya adalah asas-asas yang dikemukakan Origen. Pihak ini condong kepada pihak
Arius dan menentang doktrin bahwa anak sama substansinya dengan Bapak (homoousios). Pihak ini
mengajukan suatu pernyataan yang telah diketengahkan Eusebius, yang menyerahkan segala sesuatunya
kepada pihak Alexander dan Athanasius dengan satu pengecualian yakni doktrin di atas; dan menyatakan
bahwa istilah homoousios hendaknya diganti
dengan homoiousios; jadi mereka mengajarkan bahwa anak sama substansinya dengan Bapak. Setelah
melalui perdebatan yang panjang akhirnya pihak Athanasius berhasil memenangkannya. Dewan Nicaea
akhirnya mengeluarkan pernyataan: Kita percaya kepada Tuhan Yang Esa, Bapak yang Mahabisa, Pencipta
yang tampak maupun tidak tampak. Dan percaya pada satu tuhan Yesus Kristus yang sama substansinya
(homoousios) dengan Bapak dan seterusnya. Ini merupakan pernyataan yang tegas, dimana esensi anak
dinyatakan identik dengan esensi Bapak;
sama tingginya dengan Bapak serta mengakui Kristus sebagai autotheos.
4. Akibat-akibatnya
a. Dampak negatif keputusan tersebut
Keputusan yang dihasiIkan Dewan Nicaea tidak menyelesaikan kontroversi Trinitas, bahkan ternyata
merupakan awal dari kontroversi tersebut. Penyelesaian yang diberlakukan Gereja dengan dukungan
kerajaan tidaklah memuaskan dan juga diragukan tidak akan bertahan lama. Hal ini berakibat penentuan
keimanan orang Kristen bergantung kepada pandangannya atau kekuasaan kerajaan dan bahkan bergantung
kepada intrik-intrik pengadilan. Athanasius sendiri, walaupun memenangkan perdebatan, tidak puas dengan
cara atau metode pemecahan masalah kegerejaan atau kerohanian seperti itu. Dia cenderung berusaha
meyakinkan para penentangnya dengan kekuatan argumen-argumen yang diajukan karena dari kenyataan di
atas nyatalah bahwa pergantian kaisar atau raja, perubahan suasana, bisa mengubah seluruh aspek
kontroversi tersebut. Pihak yang dimenangkan sekarang bisa menjadi pihak yang dikalahkan atau
dipersalahkan di kemudian hari oleh kerajaan. Dan inilah yang sering terjadi dalam sejarah selanjutnya.
b. Para penganut temporer semi-arianisme dalam Gereja Timur
Figur sentral terbesar dalam masalah kontroversi Trinitas pasca-Nicaea adalah Athanasius. Dia merupakan
tokoh terbesar pada zaman tersebut; dia seorang cendekiawan yang pintar, karakternya teguh, dan teguh
terhadap keyakinannya, serta rela mati atau menderita demi kebenaran. Gereja semakin cenderung
menerima pandangan Arianisme, tetapi masih didominasi pandangan semi-arianisme, dan penguasa
(kerajaan) biasanya berpihak kepada pandangan kaum mayoritas, sehingga akibatnya timbullah pernyataan
atau desas-desus Unus Athanasius contra orbem yang artinya "Satu Athanasius melawan dunia." Lima kali
hamba Tuhan ini mendapat hukuman pengasingan serta mendapat perlakuan-perlakuan buruk, serta
dikucilkan dari gereja.
Tantangan terhadap Pernyataan Nicaea (Nicene Creed) berasal dari beberapa pihak yang berbeda. Ujar
Cunningham: "Para pengikut Arius yang lebih ekstrim mengatakan bahwa anak adalah heteroousios,
substansinya tidak sama dengan substansi Bapak; yang lain menyatakan bahwa anak adalah anomoios, tidak
seperti Bapak, dan sebagian lagi, yang biasanya dinamakan semi-arianisme menyatakan bahwa: dia adalah
homoiousios, artinya substansinya mirip substansi Bapak; tetapi mereka semuanya menolak fraseologi
Nicaea karena mereka menentang doktrin Nicaea tentang ketuhanan anak dan mereka melihat serta
berkeyakinan bahwa fraseologi tersebut secara akurat dan tegas menyatakan hal itu, walaupun mereka
kadang-kadang menambah-nambahkan keberatan lain terhadap pemakaian fraseologi tersebut (lihat
Historical Theology I halaman 290). Aliran semi-arianisme mendapat pengikut di daerah Timur wilayah
Gereja. Akan tetapi, daerah Barat mempunyai pandangan yang berbeda tentang masalah tersebut, dan
mereka setia kepada Dewan Nicaea. Hal ini terutama dapat kita lihat dari kenyataan bahwa sementara
Gereja Timur didominasi oleh pandangan Origen bahwa anak lebih rendah daripada Bapak, Gereja Barat
sebagian besar dipengaruhi oleh pandangan Tertullian serta mengembangkan suatu jenis teologi yang lebih
serasi dengan pandangan-pandangan yarg diperjuangkan oleh Athanasius. Akan tetapi, di samping itu
persaingan atau rivalitas antara Roma dan Konstantinopel hendaknya diperhitungkan juga. Pada waktu
Athanasius diusir dari Timur, dia diterima dengan tangan terbuka di Barat; dan Dewan Roma (341) dan
Sardica (343) secara tanpa syarat mengesahkan doktrin yang diperjuangkan oleh Athanasius.
Akan tetapi, kehadirannya di Barat diperlemah serta dihambat oleh naiknya posisi Marcellus dan Ancyra
dalam tokoh-tokoh teologi Nicaea. Dia kembali meyakini perbedaan antara eternal Logos dan impersonal
Logos yang terdapat dalam hakikat Tuhan, yang menyatakan diri di dalam bentuk kekuatan kekal (divine
energy) dalam pekerjaan penciptaan, dan Logos menjadi personal pada saat reinkarnasi; menyangkal bahwa
istilah generation (kelahiran) dapat diterapkan terhadap Logos yang tidak ada sebelumnya (pre-existent
Logosi) dan karena itu membatasi penggunaan nama "Anak Tuhan" hanya kepada Logos yang berinkarnasi;
dan berkeyakinan bahwa pada akhir masa hidup inkarnasinya, Logos akan kembali kepada hubungan
premundanenya (premundane relation) dengan Bapak.
Teorinya ini jelas membenarkan tindakan para pengikut atau penganut paham Origenis atau Eusebius dalam
menghadapi pandangan sabellianisme, dan karena itu juga merupakan faktor yang memperlebar perbedaan
antara Barat (Roma) dengan Timur (Konstantinopel).
Ada berbagai usaha yang telah dilakukan untuk menyelesaikan perbedaan pendapat atau perselisihan
tersebut. Berbagai Dewan telah mengadakan persidangan di Antiokia; yaitu dewan-dewan yang mengakui
definisi-definisi yang dikeluarkan Dewan Nicaea, walaupun dengan dua pengecualian penting. Mereka
mengakui konsepsi homoiousios dan kelahiran anak sebagai perbuatan kehendak Bapak. Hal ini, sudah tentu
tidak memuaskan pihak Barat. Sinode-sinode dan Dewan-dewan lain mengikut, di mana pengikut Eusebius
mencari pengakuan Barat
akan deposisi Athanasius, dan membentuk mazhab-mazhab lain sebagai perantara. Tetapi, semua usaha ini
sia-sia sampai naiknya Constantius sebagai kaisar tunggal dan dengan berbagai taktik cerdik dalam menarik
para bishop Barat ke garis Eusebius pada Sinode di Arles dan Milan (355).
c. Pembalikan pasang
Sekali lagi terbukti bahwa kemenangan adalah hal yang berbahaya jika landasan kemenangan itu adalah
keburukan. Ternyata hal serupa merupakan sinyal atau pertanda bagi kekacauan pihak anti-Nicene
(penentang doktrin Nicaea). Unsur-unsur heterogen yang membentuk pihak ini, dipersatukan oleh sikap
menentang mereka terhadap pihak Nicene (Nicaea). Tetapi, segera setelah tekanan-tekanan dari luar
mereda, kelemahannya; yakni tidak adanya kesatuan intern menjadi semakin nyata dan menonjol. Penganut
paham Arianisme dan semi-arianisme mulai berselisih, sementara kelompok terakhir ini sendiri tidak mampu
bersatu. Pada Dewan Sirmium (357) ada usaha untuk mempersatukan semua pihak dengan
mengesampingkan masalah-masalah penggunaan istilah-istilah tertentu seperti ousia, homoousios, dan
homoiousios, dengan menyatakannya sebagai di luar jangkauan pengetahuan manusia.
Tetapi perpecahan sudah terlanjur terjadi. Para penganut Arianisme sejati mulai memperlihatkan belangnya,
dan mereka memaksa penganut semi-arianisme yang paling konservatif ke dalam kamp Nicene.
Sementara itu muncullah suatu pihak baru di Nicene, yang terdiri atas orang-orang yang merupakan murid
Mazhab Origenis, tetapi cenderung dikelompokkan sebagai pengikut Athanasius dan Nicene Creed
(Pernyataan Nicaea) karena mereka mempunyai interpretasi yang lebih sempurna tentang kebenaran.
Tokoh-tokohnya antara lain adalah Tiga Bersaudara yaitu: Cappadocians, Basil yang Agung, Gregory dari
Nyssa, dan Gregory dari Nazianzus. Mereka melihat sumber kesalahpahaman di dalam pemakaian istilah
hipostases; istilah ini dianggap sinonim dengan ousia (esensi) maupun prosopon (person), dan karena itu
mereka membatasi penggunaan istilah ini hanya untuk arti personal subsistence dari Bapak dan anak
(personal subsistence of Father and Son). Tidak seperti Athanasius yang mengambil titik tolak keesaan ousia
abadi dari Tuhan (one divine ousia of God), mereka mencari titik tolak dari ketiga hipostases (person) dalam
ada-kekal (divine being), dan mereka berusaha memasukkannya di dalam konsepsi ousia kekal atau ousia
abadi (divine ousia). Gregory memperbandingkan hubungan ketiga person dalam Godhead dengan ada-kekal
dengan hubungan ketiga orang tersebut dan dengan humanitasnya.
Dengan penekanan mereka terhadap ketiga hipostases dalam ada-kekal nyatalah bahwa mereka
membebaskan doktrin Nicaea dari noda Sabellianisme di mata pengikut Eusebius, dan bahwa personalitas
Logos adalah cukup jelas. Bersamaan dengan itu dipertegas dan dipertahankannya ide keesaan ketiga person
tersebut di dalam Godhead serta mengilustrasikan pengertian ini dengan berbagai cara.
d. Perselisihan tentang roh kudus
Hingga kini, roh kudus belum banyak mendapat perhatian dan pembahasan, walaupun telah muncul berbagai
opini yang simpang-siur tentang subyek tersebut. Arius berpendapat bahwa roh kudus adalah sesuatu yang
pertama diciptakan oleh anak, suatu pendapat yang dalam banyak hal sesuai dengan pandangan Origen.
Athanasius berpendapat bahwa esensi roh kudus sama dengan esensi Bapak tetapi pernyataan Nicene hanya
mengeluarkan satu pernyataan yang tidak pasti tentang hal ini, "Dan (saya percaya) di dalam roh kudus."
Kelompok Cappadocian mengikuti atau menganut opini atau pandangan Athanasius dan dengan penuh
semangat mempertahankan opini yang menyatakan homoousios roh kudus. Hilary dari Poitiers di Barat
berpendapat bahwa roh kudus sebagai pencarian ke dalam Tuhan, bukanlah sesuatu yang di luar esensi
kekal (divine essence). Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Macedonius, bishop Kota Konstantinopel,
yang menyatakan bahwa roh kudus adalah suatu ciptaan yang lebih rendah (subordinate) daripada anak
(tunduk terhadap anak), akan tetapi pendapat ini pada umumnya dianggap heretik (berbau murtad), dan
para pengikutnya digelari aliran Pneumatokis (pneuma = spirit, machomai = ucapan iblis). Pada waktu
Dewan Umum Konstantinopel mengadakan pertemuan pada tahun 381, dewan ini mengumumkan bahwa
mereka mengakui pernyataan Nicaea, yang dipimpin Gregory dari Nazianzus menerima perumusan berikut
tentang roh kudus: "Dan kami percaya di dalam roh kudus, Tuhan Pemberi Kehidupan, yang berasal dari
Bapak yang akan dimenangkan oleh Bapak dan anak, dan yang berbicara melalui para nabi."
e. Penyempurnaan doktrin Trinitas
Pernyataan Dewan Konstantinopel ternyata tidak lengkap dalam dua hal: pertama, istilah homoousios tidak
digunakan, sehingga konsubstansialitas roh dengan Bapak tidak dipastikan secara langsung; kedua,
hubungan roh kudus dengan kedua person lain tidak didefinisikan. Pernyataan ini berimplikasi bahwa roh
kudus berasal dari Bapak, sementara tidak ada sangkalan maupun pembenaran bahwa dia (roh kudus) juga
berasal dari anak. Tidak ada kesepakatan pendapat tentang masalah ini. Mengatakan bahwa roh kudus
berasal dari Bapak saja, seakan-akan menyangkal keesaan anak dengan Bapak; dan mengatakan roh kudus
juga berasal dari anak, bagaikan menempatkan roh kudus pada kedudukan yang lebih dependen daripada
kedudukan anak dan sekaligus merupakan sangkalan akan sifat ketuhanan roh kudus itu sendiri. Athanasius,
Basil dan Gregory dari Nyssa meyakini keberasalan roh kudus dari Bapak tanpa menentang doktrin bahwa
roh itu juga berasal dari anak. Tetapi Epiphanius dan Marcellus dari Ancyra secara positif membenarkan
doktrin ini.
Ahli-ahli teologi Barat meyakini bahwa roh kudus berasal dari Bapak dan anak; dan pada sinode di Toledo
pada tahun 589, filioque yang terkenal itu ditambahkan ke dalam lambang aliran Konstantinopel
(Constantinopolitan Symbol). Di Timur, perumusan akhir doktrin itu dibuat oleh Johannes dari Damascus
(John of Damascus). Menurut dia, hanya ada satu esensi kekal (divine essence), tetapi ada tiga person atau
hipostases. Ketiga hipostases atau person ini dipandang sebagai realitas dalam ada-kekal (divine being),
tetapi satu sama lain berhubungan tidak seperti tiga orang. Mereka (ketiga orang) tersebut adalah satu
dalam segala hal, kecuali dalam cara penampakannya (pola eksistensinya). Bapak dicirikan oleh nongeneration, anak dicirikan oleh generation dan roh kudus dicirikan oleh prosesi (procession). Hubungan
antarperson itu disebutkan sebagai satu mutual interprenetation (circumincession). Dengan tidak
menyangkal penolakannya atas pandangan subordinasionisme, Johannes dari Damascus masih menyebutkan
Bapak sebagai sumber Godhead, dan menggambarkan roh kudus sebagai yang dianugerahkan Bapak melalui
Logos. Ini masih tetap merupakan subordinasionisme dalam tafsir Yunani. Gereja Timur tidak pernah
memberlakukan filioque Sinode Toledo. Inilah sumber perbedaan pandangan antara gereja Timur dan Barat.
Konsepsi Barat tentang Trinitas mencapai fase akhir di tangan Augustine melalui karya besarnya yang
berjudul De Trinitate. Dia juga menekankan atau menitikberatkan keesaan esensi dan trinitas person
tersebut. Masing-masing person tersebut memiliki esensi keseluruhan dan sebegitu jauh identik dengan
esensi person lainnya. Mereka tidak seperti tiga manusia, karena masing-masing manusia hanya memiliki
sebagian dari sifat generik manusia. Lebih lanjut, satu person tidak, dan tidak akan pernah terpisah dari
person yang lain; hubungan kebergantungan di antara ketiga person tersebut adalah hubungan mutual.
Esensi kekal dimiliki ketiga person itu dilihat dari sudut yang berbeda; yakni sebagai yang menimbulkan,
yang ditimbulkan, atau yang diberi jiwa. Di antara ketiga hipostases tersebut terjalin suatu hubungan
interpenetrasi dan saling-pendiaman mutual. Istilah person menurut Augustine tidak cocok untuk
menyatakan hubungan di mana ketiga person itu ada saling menempati; dia tetap menggunakan istilah itu
bukan untuk menggambarkan hubungan itu, tetapi untuk tidak berdiam. Dalam konsepsi ini tentang Trinitas,
roh kudus diakui sebagai berasal (proceeding) bukan hanya dari Bapak, tetapi juga dari anak.
Download