TINJAUAN PUSTAKA Poli(asam laktat) (PLA) Poli(asam laktat) (polylactic acid, PLA) adalah polimer biodegradabel dan bioresorbable (dapat diuraikan oleh sistem hayati). Sifat bioresorbable ini memiliki peran penting dalam aplikasi sistem penyampaian obat melalui pelepasan obat secara terus-menerus (sustained release). Kemampuan mekanisme dan absorpsinya menjadikan PLA calon ideal untuk implantasi tulang atau jaringan-jaringan lunak (seperti ortopedi, ortodontis, pelepasan obat anti kanker) dan benang bedah. Mekanisme, farmakologi dan bioabsorpsi PLA bergantung pada parameter-parameter pengendali seperti komposisi kimia dan bobot molekulnya. PLA akan terbiodegradasi menjadi air, karbon dioksida dan material organik (Balkcom et al. 2002). PLA tersusun dari monomer-monomer asam laktat yang disatukan secara langsung dari asam laktat maupun secara tidak langsung melalui pembentukan laktida (dimer asam laktat). Asam laktat adalah senyawa asam hidroksi yang paling sederhana yang memiliki atom karbon asimetris. Asam ini bisa dihasilkan dari fermentasi karbohidrat oleh bakteri dalam bentuk asam L-laktat dan asam Dlaktat (Hartman 1998, diacu dalam Touminen 2003) (Gambar 1). O O HO HO C H3C OH H D(-)laktat C H OH CH3 L(-)laktat Gambar 1 Stereokimia asam D (-) laktat dan L (+) laktat Polimerisasi asam laktat menjadi PLA pada dasarnya dapat dikerjakan dengan dua cara, yaitu polimerisasi langsung dari monomer asam laktat (polikondensasi) atau melalui pembukaan cincin laktida (ring opening polymerization, ROP) (Gambar 2). Polimerisasi melalui pembukaan cincin laktida memang secara luas dipraktikkan di industri (Dutkiwicz et al. 2003), namun cara ini memerlukan peralatan yang rumit. Polikondensasi dapat dilakukan secara curah, tetapi memiliki kelemahan berupa terjadinya reaksi pesaing, yaitu pembentukan laktida dan secara bersamaan juga dengan proses degradasinya. Oleh sebab itu, polikondensasi sebaiknya dilakukan dalam larutan (Enomoto et al. 1994, Ohta et al. 1996). O CH3 O CH3 PbO O O 100-300 oC O OH HO H3C CH3 O n n O O CH3 Laktida O Poli(asam laktat) Gambar 2 Reaksi pembentukan poli(asam laktat) Keberadaan gugus hidroksil dan karboksil pada asam laktat membuat asam laktat dapat diubah secara langsung menjadi poliester melalui reaksi polikondensasi konvensional. Namun, reaksi polimerisasi polikondensasi konvensional asam laktat ini memerlukan waktu lama untuk memperoleh bobot molekul yang tinggi. Reaksi esterifikasi sendiri merupakan reaksi kesetimbangan sehingga molekul air yang terbentuk harus disingkirkan agar reaksi polikondensasi dapat terus berjalan ke kanan. Ketidaksempurnaan penyingkiran molekul air bahkan dapat menyebabkan terhidrolisisnya PLA yang terbentuk. Reaksi polikondensasi konvensional menghasilkan PLA yang getas (brittle) (Södergård & Stolt 2002). Metode ROP ditemukan oleh Carother et al. pada tahun 1932. Metode dualangkah ini menghasilkan polimer dengan bobot molekul tinggi. Laktida sebagai hasil antara, merupakan dimer asam laktat siklik, yang dibentuk pada langkah pertama melalui kondensasi menghasilkan air yang kemudian diuapkan saat berlangsungnya reaksi oligomerasi. L-asam laktat, D-asam laktat, atau campuran keduanya membentuk oligomer PLA dengan bobot molekul rendah, yang kemudian didepolimerisasi melalui reaksi internal esterifikasi. Selama depolimerisasi, laktida dalam ketiga bentuk stereoisomer, L-laktida, D-laktida, DL-laktida (50:50 campuran isomer L dan D), atau monomer meso-laktida diubah menjadi poliester dengan bobot molekul tinggi melalui polimerisasi ROP. CH3 O CH3 O OH HO O n O CH3 O Gambar 3 Struktur kimia PLA Hasil sintesis PLA melalui reaksi polikondensasi azeotropik memiliki ciri fisik dan kimia, terdapat pada Tabel 1. Tabel 1 Ciri fisik dan kimia PLA melalui reaksi polikondensasi azeotropik* Bobot molekul Absorbans (nm) Pelarut Ciri fisik Nilai Tm (oC) Nilai Tg (oC) * Hasibuan (2006) 22000 242 kloroform serbuk putih kekuning-kuningan 146.4 40–60 Mikrosfer Mikrosfer ialah partikel kecil berbentuk bola dengan ukuran 0.5–100 µm, yang terbuat dari bahan kaca, keramik, atau polimer sebagai pengungkung gas, larutan, maupun padatan dalam bentuk senyawa organik atau anorganik (Dagani 1994). Saat ini, mikrosfer radioaktif yang telah digunakan dalam kedokteran nuklir terbuat dari kaca sebagai bahan pengungkung dan itrium-90 atau fosforus32 sebagai radionuklida yang dikungkung. Akan tetapi, bahan pengungkung yang terbuat dari kaca ini akan tetap tertinggal dalam waktu yang lama sekalipun proses radioterapi telah selesai, karena tidak dapat diserap oleh tubuh. Mikrosfer dapat dibuat dengan berbagai metode, seperti emulsifikasi, pemisahan fase, dan pengering semprot (spray drying). Pembuatan mikrosfer dengan metode emulsifikasi mempunyai keuntungan lebih, yaitu akan mendapatkan mikrosfer dengan diameter sesuai dengan yang diinginkan sehingga dapat digunakan sebagai pengungkung obat, diilustrasikan pada Gambar 4. Gambar 4 Ilustrasi struktur mikrosfer sebagai pengungkung obat (Puri 2007) Pencirian mikrosfer yang dihasilkan dari berbagai metode pembuatan di atas, di antaranya dapat dilakukan dengan menggunakan scanning electron microscope (SEM) untuk mengetahui diameter mikrosfer yang dihasilkan, difraktometer Sinar-Ray (XRD) untuk mengetahui kristalinitas mikrosfer, differential scanning calorimetry (DSC) untuk analisis termal, kromatografi permeasi gel (GPC) yang merupakan teknik standar untuk mengukur massa molar rerata dan distribusi massa molar dari polimer, dan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) untuk menentukan konsentrasi asam laktat yang terbentuk dari degradasi polilaktat. Bergantung pada jenis dan sifat zat pengungkung dan zat yang dikungkung, mikrosfer memiliki aplikasi yang luas dalam bidang kedokteran, pertanian, dan industri. Mikrosfer juga dapat dimanfaatkan sebagai DDS dalam tubuh (Ogawa 1995). Khusus untuk aplikasi pembawa obat, mikrosfer mempunyai kemampuan unik, antar lain karena ukurannya yang relatif kecil (lebih kecil dari ukuran sel darah) sehingga dapat diberikan langsung secara oral atau melalui jaringan darah langsung menuju pusat sakit. Keunggulan lain adalah sifat lepasan obatnya dalam tubuh dengan jumlah yang tetap sehingga cocok untuk membawa obat-obat yang dibutuhkan bagi tubuh yang sakit dalam jumlah yang tetap dan terus menerus seperti hormon. Saat ini penggunaan mikrosfer sebagai DDS telah banyak diaplikasikan. Contohnya untuk enkapsulasi vaksin tetanus taksoid (Xing et al. 1999), penggunaan dalam sistem lepasan protein dalam tubuh (Park 1995). Penggunaan polimer biodegradabel seperti poli(asam laktat) (polylactic acid, PLA), poli(asam glikolat) (poyiglycolic acid, PGA), dan derivatnya sedang dikembangkan, karena memiliki banyak keuntungan, seperti dapat didegradasi oleh proses hidrolisis dalam tubuh dan dalam waktu sekitar satu bulan akan diserap sehingga tidak meracuni tubuh (biocompatible). Pengembangan mikrosfer masih terus dalam proses penelitian agar dapat diaplikasikan dan diproduksi oleh industri. Penelitian tentang mikrosfer akan terus berkembang sampai ditemukan mikrosfer yang benar-benar efektif mengungkung formula obat sampai ke target sasaran tanpa efek samping, proses sintesis yang mudah dan cepat, serta dengan peralatan dan biaya yang murah. Polimer Biodegradabel Biodegradasi merupakan peristiwa terurainya senyawa menjadi senyawasenyawa lain yang lebih sederhana yang terjadi karena sebab-sebab alami, seperti proses fotodegradasi (degradasi yang melibatkan cahaya dan kalor), degradasi kimiawi (hidrolisis), degradasi oleh bakteri dan jamur, degradasi enzimatik, dan degradasi mekanik (angin, abrasi), atau gabungan dari beberapa sebab. Polimer yang berasal dari alam maupun sintetik dapat terdegradasi dalam tubuh melalui reaksi hidrolisis secara enzimatik, non-enzimatik atau gabungan keduanya tanpa menghasilkan dampak yang merugikan dan pada akhirnya akan musnah melalui jalur eksresi biasa. Berbagai jenis polimer biodegradabel baik yang berasal dari alam maupun sintetik telah dikaji untuk sistem penyampaian obat dalam waktu yang lama. Hanya sedikit di antaranya yang benar-beanr biokompatibel. Polimer biodegradabel alami seperti serum albumin sapi (BSA), serum albumin manusia (HSA), kolagen, gelatin, dan hemoglobin telah dipelajari untuk digunakan dalam sistem penyampaian obat. Akan tetapi, penggunaan bahan-bahan tersebut masih sangat terbatas dan harganya relatif mahal, serta masih diragukan kemurniannya (Jalil & Nixon 1990). Para peneliti mulai mengalihkan perhatiannya untuk meneliti polimer sintetik yang dapat digunakan untuk menggantikan penggunaan polimer alam, seperti poliamida, poliortoester, poli(asam poliuretan, dan amino), polialkil-α-sianoakrilat, poliakrilamida. Polimer sintetik poliester, memiliki keuntungan lebih besar di antaranya, sifatnya dapat dimodifikasi, lebih dapat diprediksi, lebih seragam, dan bebas dari masalah immunogenisitas. Di antara polimer tersebut, polilaktat (PLA), poliglikolat (PGA), khususnya polilaktatglikolat (PLGA) paling disukai dan telah diproduksi secara besar karena keistimewaan sifat biodegradabel dan biokompatibelnya. Arthritis Reumatoid Rhematoid arthritis (RA) adalah penyakit autoimun yang menyerang persendian, karena sel-sel pada sistem kekebalan tidak berfungsi dengan baik. RA (rematik) dapat menyerang persendian tubuh, tetapi terutama pada bagian pergelangan tangan, jari tangan, dan kaki. RA adalah penyakit inflamasi pada persendian yang bersifat progresif, sistemik dan cenderung menjadi kronik, ditandai dengan pembengkakan, sakit, dan kemerahan pada daerah sendi (Gambar 5). Pembengkakan dapat terjadi juga di jaringan sekitar sendi yaitu tendon, ligament, dan otot. Gambar 5 Sendi normal dan RA Penderita RA memiliki autoantibodi yaitu suatu immunoglobulin M (IgM) yang timbul setelah rangsangan antigen primer, dan terakhir menghilang pada masa menjadi tua. RA memiliki faktor reumatik, merupakan salah satu antibodi dari kelas IgM. Rasa sakit atau nyeri sendi sering menjadi penyebab gangguan aktivitas sehari-hari penderita. Hal ini mengundang penderita untuk segera mengatasinya apakah dengan upaya farmakoterapi, fitoterapi, dan atau pembedahan. Farmakoterapi untuk RA adalah penggunaan obat anti-inflamasi non-steroid (AINS) (Lelo et al. 2003). Obat AINS umumnya diberikan sejak masa dini penyakit ini, dimasudkan untuk mengatasi rasa nyeri sendi akibat inflamasi. Keterbatasan dalam penggunaan AINS adalah toksisitasnya. Toksisitas AINS yang paling sering dijumpai adalah efek samping gastrointestinal, terutama jika digunakan bersama obat lain, alkohol, kebiasaan merokok, atau dalam keadaan stres. Bagi pasien yang sensitif dapat digunakan preparat AINS dalam bentuk supositoria atau bentuk salut enterik. Preparat dalam bentuk ini, kurang berpengaruh pada mukosa lambung dibandingkan dengan preparat biasa. Obat AINS dalam bentuk ini seringkali dianggap kurang menyebabkan timbulnya iritasi saluran cerna (gastrointestinal) akibat kontak langsung dengan mukosa gastroduodenal. Umumnya obat dalam bentuk ini tetap memiliki efek sistemik terutama pasien yang telah memiliki gangguan gastroduodenal (http://www.cigp.org/index). Selekoksib Celebrex merupakan suatu obat anti-inflamasi non steroid, yang memiliki aktivitas antiinflamasi, analgesik, dan antipiretik. Mekanisme kerjanya adalah menghambat sintesa prostaglandin, terutama melalui penghambatan cyclooxygenase-2(COX-2). Di Indonesia produk ini mendapat persetujuan izin edar tahun 1999 setelah melalui proses evaluasi efikasi, keamanan dan mutu oleh Komite Nasional Penilai Obat Jadi (Komnas POJ) Badan POM. Indikasi yang disetujui adalah meringankan gejala osteoartritis (dosis 200 mg/hari dalam dosis tunggal atau dosis terbagi dua) dan rematoid artritis pada dewasa (dosis 100 sampai 200 mg, 2 kali per hari) sedangkan untuk indikasi mengurangi adenomatous colorectal polyps in familial adenomatous polyposis, nyeri akut, dan dismenore primer tidak disetujui (Badan Pengawas Obat dan Makanan 2005). Celebrex adalah nama dagang yang dipakai untuk obat atrtritis, mengandung selekoksib, pertama kali diperkenalkan oleh Pfizer (Wikipedia 2007). Selekoksib memiliki rumus kimia (IUPAC) 4-[5-(4-metilfenil)-3(trifluorometil)pyrazol-1-il]benzensulfonamida dengan rumus struktur kimia terlihat pada Gambar 6. Selekoksib digunakan secara luas sebagai obat reumatoid artritis dan osteoartritis. Selekoksib kurang larut dalam air (3-7 µL-1 pada suhu 40 o C dan pH 7) tetapi dapat larut dalam kloroform dan metanol. Kelarutannya rendah dalam cairan gastrointestinal yang membatasi tingkat penyerapan. Ciri fisik dan farmakokinetik dari selekoksib dapat dilihat pada Tabel 2. O H2N S O N N CF3 H3C Gambar 6 Struktur selekoksib (Wikipedia 2007) Tabel 2 Ciri fisik dan farmakokinetik selekoksib* Bobot molekul (g/mol) Bentuk fisik Titik leleh (oC) Waktu paruh (t ½) Pengikatan protein (%) Metabolisme Ekskresi 381.373 serbuk kristal berwarna kuning 157–168 11 jam 97 (terutama pada albumin) hati ginjal (27%) dan feses (57%) * Wikipedia, 10-2-2007 Spektrum inframerah selekoksib terlihat jelas di daerah bilangan gelombang 3160 dan 3260 cm-1, masing-masing untuk regangan –NH simetrik dan asimetrik. Ciri lain dari selekoksib ialah pita serapan dengan bilangan gelombang 1150 dan 1340 cm-1, regangan S=O simetrik dan asimetrik, gugus –NH pada bilangan gelombang 1560 cm-1, dan gugus –CH aromatik pada bilangan gelombang 780 cm-1. Puncak khas selekoksib berdasarkan hasil pengukuran XRD terdapat pada 14.8, 16.0, 21.6, 22.3, 23.5 dan 25.4o. Dari hasil pemeriksaan dengan SEM, selekoksib memperlihatkan struktur kristalin (Sinha et al. 2007).