4 TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Wortel Taksonomi Tanaman Wortel Dalam taksonomi tumbuhan, wortel diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan) Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji) Sub-divisi : Angiospermae (berbiji tertutup) Kelas : Dicotyledone (biji berkeping dua) Ordo : Umbelliferales Famili : Umbelliferae (Apiaceae) Genus : Daucus Spesies : Daucus corata L. Dari suku pegagan-pegagan (Umbelliferae) ini, kerabat dekat wortel adalah seledri (Apium graveolens L.) dan petroseli atau Parsley (petroselinum crispum Mill.). Seledri dan petroseli sudah dibudidayakan secara komersial di beberapa negara di dunia sebagai sayuran daun. Di Indonesia wortel dikenal dengan nama daerah, di antaranya disebut bortol (Sunda, Priangan), wertel, wertol atau bortol (Jawa), dan ortel (Madura) (Pitojo 2006). Morfologi Tanaman Wortel Susunan tubuh tanaman wortel terdiri atas daun dan tangkainya, batang dan akar. Secara keseluruhan sosok tanaman wortel merupakan tumbuhan terna tahunan atau setahun, yang tumbuh tegak setinggi 30-100 cm atau lebih. Daun wortel bersifat majemuk menyirip ganda dua atau tiga, anak-anak daunnya berbentuk lanset atau garis dengan bagian pinggirnya bercanggap melekat pada tangkai daun yang ukurannya agak panjang. Batangnya sangat pendek seolah-olah tidak tampak. Sementara akar tunggangnya dapat berubah bentuk dan fungsinya sebagai penyimpan cadangan makanan atau disebut “umbi”. Bentuk umbi wortel sangat bervariasi, tergantung varietas atau kultivarnya. Meskipun demikian bentuk umbi wortel runcing, bulat panjang dengan ujung tumpul, dan bentuk peralihan dari kedua bentuk umbi tadi. Warna kulit dan daging umbi pada umumnya kuning 5 atau jingga. Secara alami tanaman wortel dapat berbunga dan berbuah (berbiji). Bunga wortel berbentuk payung berganda. Kuntum-kuntum bunganya terletak pada bidang lengkung yang sama, warnanya putih atau merah jambu agak pucat. Bunga-bunga wortel dapat menghasilkan buah dan biji yang ukurannya kecil-kecil dan berbulu. Biji-biji ini dapat digunakan sebagai alat (bahan) perbanyakan wortel secara generatif (Pitojo 2006). Varietas Wortel Wortel memiliki banyak varietas, karena tiap tahun perusahaanperusahaan benih di dunia kontinu menghasilkan varietas baru. Meskipun demikian dari ragam varietas tersebut, Sunarjono (1984) mengelompokkan jenis wortel berdasarkan bentuk umbinya ke dalam 3 golongan, yaitu : 1. Tipe Imperator, yaitu golongan wortel yang bentuk umbinya bulat panjang dengan ujung runcing, hingga mirip bentuk kerucut. 2. Tipe Chantenay, yaitu golongan wortel yang bentuk umbinya bulat panjang dengan ujung tumpul dan tidak berakar serabut. 3. Tipe Nantes, yaitu golongan wortel yang mempunyai bentuk umbi tipe peralihan antara tipe Imperator dan Chantenay. Syarat Tumbuh Tanaman Wortel Tanaman wortel membutuhkan lingkungan tumbuh yang suhu udaranya dingin dan lembab. Di negara-negara sub-tropis perkecambahan benih wortel membutuhkan suhu udara antara 9o C – 20o C, sedangkan pada pertumbuhan dan produksi umbi optimal membutuhkan suhu udara antara 15.6o C – 21.1o C. Keadaan tanah yang cocok untuk tanaman wortel adalah subur, gembur, banyak mengandung bahan organik (humus), tata udara dan tata airnya berjalan baik (tidak menggenang), keasaman tanah (pH) antar 5.5 – 6.5 atau hasil optimal pada pH 6.0 – 6.8. Jenis tanah yang paling baik adalah Andosol. Jenis tanah demikian pada umumnya terdapat di daerah dataran tinggi (pegunungan) (Pitojo 2006). 6 Hama Utama Tanaman Wortel Hyposidra sp.. Spesies ini termasuk famili Geometridae dari genus Hyposidra. Serangga ini bertubuh kecil, berukuran panjang 40 mm, dan memiliki pelindung kulit berwarna abu-abu terang, seperti kulit kayu. Di bagian punggung terdapat bintik-bintik kecil, dan memiliki dua pasang kaki belakang dan tiga pasang kaki depan. Larva Hyposidra bersifat polifag, memakan daun muda dan bunga tanaman. Tanaman inangnya antara lain tanaman sayuran, termasuk tanaman wortel. Pupa (kepompong) berada di dekat permukaan tanah dan setelah beberapa hari berubah menjadi ngengat. Ngengat berukuran kecil, lembut, bertubuh ramping, bersayap agak lebar, dan ditandai dengan adanya garis bergelombang. Ujung antena tidak menggelembung, ngengat Hyposidra tertarik pada cahaya, terbang lemah, dan aktif pada malam hari. Gejala serangan yang ditimbulkan oleh hama ini adalah terdapat luka gigitan serangga pada daun muda (Pitojo 2006). Heliothis assulta Gn.. Spesies Heliothis assulta termasuk ordo Lepidoptera, famili Noctuidae, dan genus Heliothis. Hama ini dikenal sebagai ulat pupus. Telur ulat diletakkan secara tunggal di atas permukaan daun, sehingga pada satu tanaman biasanya hanya terdapat satu ulat. Warna larva beragam, tetapi kebanyakan hijau dengan strip membujur. Larva muda agak berambut. Ulat bersifat kanibal dan fitofag. Stadium larva berlangsung antara 2-3 minggu, sementara daur hidup berlangsung selama 4 minggu. Ngengat berupa kupu kecil, suka menghisap madu bunga, dan mampu memproduksi telur sebanyak 500-2000 butir. Tanaman inang Heliothis assulta relatif terbatas dibandingkan dengan Heliothis armigera. Beberapa tanaman inang hama ini yaitu tembakau, ceplukan, jagung, sorgum, kapas, kentang, jarak, dan kedelai. Gejala serangan yang ditimbulkan oleh hama ini adalah terdapat kerusakan pucuk tanaman karena ulat memakan pucuk daun yang mengakibatkan pertumbuhan daun salah bentuk. Daun-daun muda berlubang (Pitojo 2006). Agrotis sp.. Ulat tanah termasuk ordo Lepidoptera, famili Noctuidae, dan genus Agrotis. Hama ini dikenal dengan nama cut worm. Ulat tanah berukuran panjang sekitar 4-5 cm dan berwarna kelabu, cokelat, atau hitam. Pada siang hari larva bersembunyi di sekitar batang tanaman. Larva bersifat folifag. Stadium larva 7 berlangsung selama 18 hari, stadium pupa 6-7 hari, dan stadium telur hingga imago sekitar 45 hari. Tanaman inang hama ini antara lain jagung, kacangkacangan, dan tanaman sayuran. Hama ini menyerang bagian pucuk tanaman muda hingga putus sehingga tanaman layu dan terkulai (Pitojo 2006). Nezara viridula. Hama ini termasuk ordo Hemiptera, famili Pentatomidae, genus Nezara, dan spesies Nezara viridula. Kepik berwarna hijau polos, bagian kepala dan pronotum berwarna jingga atau kuning keemasan. Induk mampu menghasilkan telur sekitar 250 butir. Telur berwarna putih, diletakkan secara berkelompok 10-50 butir. Telur yang akan menetas berwarna merah bata. Nimfa mengalami pergantian kulit sebanyak 5 kali. Nimfa instar 1 dan 2 berwarna hitam dan berbintik-bintik putih. Instar 3, 4, dan 5 masing-masing berwarna hijau, berbintik-bintik hitam dan putih, serta berukuran semakin besar. Stadium imago maksimal berlangsung selama 47 hari, stadium telur 6 hari, dan stadium nimfa 23 hari. Gejala serangan hama ini berupa bintik coklat pada kulit batang muda dan daun (Pitojo 2006). Coccinella spp.. Kumbang Coccinella bertubuh besar dan berbentuk oval mendekati bulat. Kepala tersembunyi di bawah pronotum dan memiliki antena pendek. Serangga dewasa berwarna cerah, yaitu kuning, orange, atau merah dengan noda-noda hitam, kuning, atau merah. Serangga dewasa bertelur setelah kawin. Telur berwarna kuning, diletakkan pada permukaan daun dengan posisi berdiri. Larva berwarna gelap dan ada yang bebercak kuning. Coccinella memakan mesofil daun, meninggalkan daun berlubang seperti jendela kecil. Selain menyerang daun, serangga ini juga memakan tangkai daun (Pitojo 2006). Chrysodeixis chalcites. Serangga hama ini dikenal dengan ulat jengkal atau green semilooper, termasuk ordo Lepidoptera, famili Noctuidae dan mempunyai daerah penyebaran di Indonesia. Telur C. chalcites diletakkan pada daun, berwarna keputihan. Stadium telur 3-4 hari. Larvanya berwarna hijau dengan stadium larva 14-19 hari. Pupanya di daun dengan stadium 6-11 hari. Ngengat berwarna coklat tua. Daun yang terserang C. chalcites akan tampak tinggal epidermis dan tulang daunnya (Harnoto 1981) . 8 Pengendalian Hama Terpadu Pengendalian Hama Terpadu (PHT) merupakan konsep sekaligus strategi penanggulangan hama dengan pendekatan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang berwawasan lingkungan yang terlanjutkan. Ini berarti bahwa pengendalian hama harus terkait dengan pengelolaan ekosistem secara keseluruhan. Pengelolaan ekosistem dimaksudkan agar tanaman dapat tumbuh sehat sehingga memiliki ketahanan ekologis yang tinggi terhadap hama. Untuk itu, petani harus melakukan pemantauan lapang secara rutin. Dengan demikian, perkembangan populasi dan faktor-faktor penghambat lainnya dapat diatasi/diantisipasi dan faktor-faktor pendukung dapat dikembangkan. Apabila dengan pengelolaan ekosistem tersebut masih terjadi peningkatan populasi dan serangan hama, langkah selanjutnya adalah tindakan pengendalian. Smith (1983) mendefinisikan Pengendalian Hama Terpadu sebagai pengendalian hama yang menggunakan semua teknik dan metode yang sesuai dalam cara-cara yang seharmonis-harmonisnya dan mempertahankan populasi hama di bawah tingkat yang menyebabkan kerusakan ekonomi di dalam keadaan lingkungan dan dinamika populasi spesies hama yang bersangkutan. Pengendalian Hama Terpadu bertujuan untuk membatasi penggunaan pestisida sesedikit mungkin tetapi sasaran kualitas dan kuantitas produksi pertanian masih dapat dicapai. Oleh karena itu PHT tersebut secara global telah memperoleh penerimaan dan tanggapan yang positif dari para pengambil keputusan, para petani, dan tentunya para konsumen produk pertanian di seluruh dunia yang merindukan bahan makanan yang bebas residu (Untung 1993). Penggunaan pestisida masih diperbolehkan dalam PHT, tetapi aplikasinya menjadi alternatif terakhir apabila cara-cara pengendalian lainnya tidak mampu mengatasi peledakan hama atau penyakit. Pestisida yang dipilih pun harus yang efektif dan diizinkan (Sabirin & Elfahmi 2010). Penggunaan pestisida dilakukan apabila populasi hama meningkat dan berada di atas suatu aras populasi hama yang dinamakan sebagai Ambang Ekonomi (AE). Sasaran PHT adalah: 1) Produktivitas pertanian mantap tinggi, 2) Penghasilan dan kesejahteraan petani meningkat, 3) Populasi hama dan kerusakan 9 tanaman karena serangannya tetap berada pada tingkatan yang secara ekonomis tidak merugikan, dan 4) Pengurangan resiko pencemaran lingkungan akibat penggunaan pestisida. Strategi PHT adalah memadukan secara kompatibel semua taktik atau metode pengendalian hama. Taktik PHT, terutama adalah: 1) Pemanfaatan proses pengendalian alami dengan mengurangi tindakan-tindakan yang dapat merugikan atau mematikan perkembangan musuh alami, 2) Pengelolaan ekosisem melalui usaha bercocok tanam, yang bertujuan untuk membuat lingkungan tanaman menjadi kurang sesuai bagi perikehidupan hama serta mendorong berfungsinya agensia pengendali hayati, 3) Pengendalian fisik dan mekanis yang bertujuan untuk mengurangi populasi hama, mengganggu aktivitas fisiologis hama yang normal, serta mengubah lingkungan fisik menjadi kurang sesuai bagi kehidupan dan perkembangan hama, dan 4) Penggunaan pestisida secara selektif untuk mengembalikan populasi hama pada tingkat keseimbangannya. Selektivitas pestisida didasarkan atas sifat fisiologis, ekologis, dan cara aplikasi. Penggunaan pestisida diputuskan setelah dilakukan analisis ekosistem terhadap hasil pengamatan dan ketetapan ambang kendali. Pestisida yang dipilih harus yang efektif dan direkomendasikan. Ada empat prinsip yang harus dilaksanakan dalam penerapan PHT, yaitu pembudidayaan tanaman sehat, pelestarian musuh alami, pemantauan secara rutin, dan pengambilan keputusan pengendalian oleh petani (Arifin 1999). Budidaya Tanaman Sehat Pengelolaan ekosistem melalui budidaya tanaman sehat bertujuan untuk membuat lingkungan pertanaman menjadi kurang sesuai bagi kehidupan, pertumbuhan, dan perkembangbiakan hama, serta mendorong berfungsinya agensia pengendalian hayati. Tujuan akhirnya adalah tingkat produksi yang maksimal dan aman dari gangguan hama. Oleh karena itu, budidaya tanaman sehat menjadi bagian penting dalam program pengendalian hama. Tanaman yang sehat mempunyai ketahanan ekologis yang tinggi terhadap gangguan hama. Beberapa macam teknik budidaya tanaman yang dianjurkan adalah: 10 a. Penanaman varietas tahan Penanaman varietas tahan sebagai salah satu komponen sistem PHT berfungsi sebagai cara pengendalian utama dan juga sebagai tambahan terhadap cara pengendalian lain. Penggunaan varietas tahan memiliki keunggulan, antara lain bersifat spesifik, kumulatif, persisten, murah, dan kompatibel dengan cara pengendalian lain, khususnya pengendalian hayati. Kelemahan penggunaan varietas tahan adalah kemungkinan terjadinya perkembangan biotipe serangga yang mampu menyerang varietas tahan. b. Penanaman benih/bibit sehat Benih/bibit yang akan ditanam dipilih berdasarkan kriteria: bersertifikat dan sehat, unggul, dan tahan hama. Benih/bibit yang sehat apabila ditanam akan tumbuh lebih cepat dan lebih tahan terhadap gangguan hama. Untuk itu, jangan menggunakan benih/bibit yang berasal dari pertanaman yang terserang hama. c. Sanitasi Sisa-sisa tanaman, gulma, dan tanaman inang lainnya di sekitar pertanaman merupakan tempat bertahan hidup hama. Oleh karena itu, pemusnahannya perlu dilakukan untuk memperkecil sumber inokulum awal (Arifin 1999). Pelestarian Musuh Alami Di dalam ekosistem pertanian terdapat kelompok makhluk hidup yang tergolong predator, parasitoid, dan patogen. Ketiga kelompok yang disebut musuh alami tersebut mampu mengendalikan populasi hama. Tanpa bekerjanya musuh alami, hama akan memperbanyak diri dengan cepat sehingga dapat merusak tanaman. Predator merupakan kelompok musuh alami yang sepanjang hidupnya memakan mangsanya. Predator memiliki bentuk tubuh yang relatif besar sehingga mudah dilihat. Contoh predator penting adalah tungau Amblyseius deleoni yang memangsa tungau jingga, Brevipalpus phoenicis pada teh. Parasitoid memiliki inang yang spesifik berukuran relatif kecil, sehingga sulit dilihat. Umumnya, parasitoid hanya memerlukan seekor serangga inang. Parasitoid meletakkan telurnya secara berkelompok atau individual di dalam atau di sebelah luar tubuh inangnya. Bila sebutir telur parasitoid menetas dan berkembang menjadi dewasa, 11 maka inangnya akan segera mati. Parasitoid dapat menyerang telur, larva, nimfa, pupa atau imago inang. Contoh parasitoid penting adalah lebah Cephalonomia stephanoderis yang memarasit kumbang penggerek buah kopi, Hypothenemus hamperi. Berbagai jenis patogen serangga dapat menyebabkan infeksi pada inangnya. Kelompok patogen serangga utama adalah cendawan, virus, dan bakteri. Contoh patogen serangga penting adalah cendawan Beauveria bassiana yang menginfeksi kumbang penggerek buah kopi, virus Baculovirus oryctes yang menginfeksi kumbang nyiur, Oryctes rhinoceros, dan bakteri Bacillus thuringiensis. Patogen serangga dapat diproduksi secara massal dengan biaya relatif murah dalam bentuk cairan atau tepung yang dalam pelaksanaannya di lapang dapat disemprotkan seperti halnya dengan pestisida (Arifin 1999). Usaha melestarikan musuh alami dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain: 1) Pendayagunaan teknik budidaya tanaman sehat yang mendorong berperannya musuh alami, misalnya penanaman varietas tahan, sanitasi selektif dan penanaman dengan sistem tumpangsari, 2) Pengumpulan dan pemeliharaan kelompok telur. Parasitoid telur yang muncul dibiarkan lepas ke pertanaman, sedangkan telur yang menetas menjadi ulat, dimusnahkan, 3) Penggunaan pestisida secara bijaksana. Pestisida digunakan secara selektif, sebagai pilihan terakhir apabila populasi hama tidak dapat dikendalikan dengan cara lain dan apabila berdasarkan hasil pemantauan, populasi hama telah melampaui ambang kendali (Arifin 1999). Serangga Predator Predator adalah golongan serangga atau binatang yang memangsa serangga lain. Ukuran tubuh predator umumnya lebih besar dibandingkan ukuran mangsanya, dan memerlukan mangsa lebih dari satu ekor untuk memenuhi kebutuhan hidupnya supaya dapat berkembang dengan normal. Sering kali fase larva dan dewasa sebagai pemangsa (predator) pada mangsa yang sama. Namun ada pula jenis predator yang fase larva dan dewasanya membutuhkan mangsa yang berlainan (Rahadian et al. 2009). Beberapa predator bersifat kanibal, terutama bila terjadi kekurangan makanan. Pada keadaan makanan yang terbatas, individu yang lemah akan dimangsa oleh individu yang kuat. Imago kumbang 12 Coccinellidae akan memakan telurnya sendiri yang baru diletakkan bila mangsanya yang berupa kutu-kutu tanaman tidak ditemukan (Borror et al. 1989).