KEBERADAAN CACING PARASITIK DAN

advertisement
KEBERADAAN CACING PARASITIK DAN BAKTERI
PADA INSANG SERTA SALURAN PENCERNAAN IKAN
NILA Bogor Enhanced Strain Tilapia (Oreochromis niloticus)
NURHAYATI SUWARTIANI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Keberadaan
Cacing Parasitik dan Bakteri pada Insang dan Saluran Pencernaan Ikan Nila
Bogor Enhanced Strain Tilapia (Oreochromis niloticus) adalah karya saya dengan
arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, September 2012
Nurhayati Suwartiani
B04080038
ABSTRACT
NURHAYATI SUWARTIANI. Presence of Parasitic Worm and Bacteria on
Gills and Gigestive Tract of Bogor Enhanced Strain Tilapia Fish
(Oreochromis niloticus). Under direction RISA TIURIA and USAMAH AFIFF.
This study aimed to identify the type of a parasitic worms and bacteria in
gills and digestive tract of Bogor Enhanced Strain Tilapia Fish
(Oreochromis niloticus) by conventional methods. A group of 10 fishes of sample
BEST tilapia were used, each gills and digestive tract was collected. The parasitic
worms were colored with KOH and clove oil for nematode worm, and Semichon’s
Acetocarmine staining for trematode worms. Differentiations and
characterizations of variants isolate were based on biochemical reactions and
Gram staining technique. Parasitic worms that can be identified from gills were
Dactylogyrus sp. and Pseudodactylogyrus sp., while parasitic worm from
digestive tract was Anisakis sp. The bacteria result shows that the gills and
digestive tract of BEST tilapia were predominantly contaminated with Aeromonas
sp. and followed by Staphylococcus epidermidis and Streptococcus sp.
Keywords: Fish of Bogor Enhanced Strain Tilapia, Parasitic worm, Bacteria,
Gills, Digestive tract.
RINGKASAN
NURHAYATI SUWARTIANI. Keberadaan Cacing Parasitik dan Bakteri pada
Insang serta Saluran Pencernaan Ikan Nila Bogor Enhanced Strain Tilapia
(Oreochromis niloticus). Dibimbing oleh RISA TIURIA dan USAMAH AFIFF.
Peranan ikan sebagai sumber pangan yang semakin besar menuntut
peningkatan produksi perikanan. Kementerian Kelautan dan Perikanan
mencanangkan Indonesia sebagai produsen penghasil produk perikanan dan
kelautan terbesar di tahun 2015. Pencapaian target produksi perikanan tersebut
terus diupayakan dengan peningkatan produksi nasional terutama pada perikanan
budidaya sebesar 353%.
Salah satu varietas yang menjadi komoditas unggulan untuk mencapai target
peningkatan produksi perikanan budidaya nasional adalah ikan nila
(Oreochromis niloticus). Banyak strain ikan nila telah dikembangkan di
Indonesia. Salah satu strain ikan nila yang berpotensi untuk dikembangkan adalah
Ikan nila Bogor Enhanched Strain Tilapia (BEST). Ikan nila BEST
dikembangkan dari generasi ke-6 ikan nila GIFT hasil evaluasi Balai Riset
Perikanan Budidaya Air Tawar (BRPBAT) dalam kurun waktu 2004-2008. Hasil
pengujian menunjukkan bahwa ikan nila BEST lebih unggul dan hasilnya lebih
baik dibandingkan dengan ikan nila jenis lainnya. Ikan nila BEST memiliki
tingkat produksi, pertumbuhan, dan daya tahan terhadap lingkungan dan penyakit
yang lebih baik.
Keberadaan cacing parasitik menyebabkan kerugian secara ekonomi
terutama pada penurunan kualitas hasil perikanan dan dapat merugikan kesehatan
manusia. Parasit dapat menyebabkan penyakit dengan cara melukai inang,
mengambil nutrisi di dalam tubuh inang, meracuni inang, dan memfasilitasi
masuknya mikroorganisme patogen ke dalam tubuh inang (Latama 2002).
Populasi bakteri pada ikan yang banyak akan menimbulkan penyakit bahkan
kematian.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keberadaan cacing parasitik
dan bakteri pada insang dan saluran pencernaan ikan nila BEST
(Oreochromis niloticus) Selanjutnya, penelitian ini diharapkan dapat menjadi
informasi mengenai jenis cacing dan parasitik sehingga dapat melakukan
pencegahan terhadap infeksi yang ditimbulkan oleh cacing parasitik maupun
bakteri.
Penelitian ini dilakukan dengan metode identifikasi konvensional. Sejumlah
sepuluh ikan nila BEST (Oreochromis niloticus) digunakan dalam penelitian ini.
Cacing parasitik kelas trematoda diwarnai dengan pewarnaan permanen
mengunakan pewarna acretomicine, sedangkan cacing nematoda diwarnai dengan
pewarnaan semi permanen menggunakan KOH dan minyak cengkeh. Identifikasi
bakteri Gram positif dilakukan uji katalase, glukosa mikroaerofilik, dan
penanaman pada agar MSA. Sedangkan bakteri yang bersifat Gram negatif
dilakukan uji oksidase, TSIA, Indol, MRVP, Sitrat, Urea, dan Fermentasi
Karbohidrat.
Jumlah cacing parasitik yang ditemukan pada insang dan saluran
pencernaan ikan nila BEST sebanyak tiga spesies, yaitu Dactylogyrus sp.,
Gyrodactylus sp., dan Anisakis sp. Sementara itu, jumlah bakteri yang ditemukan
sebanyak 7 spesies yaitu Aeromonas sp., Staphylococcus epidermidis.,
Streptococcus sp., Pseudomonas flourescens, Bacillus sp., Escherichia coli, dan
Edwardsiella tarda. Bakteri yang ditemukan ada yang bersifat patogen pada ikan,
misalnya Aeromonas sp. yang paling banyak ditemukan.
Kata Kunci: Cacing Parasitik, Bakteri, Insang, Saluran Pencernaan, Ikan Nila
BEST (Oreochromis niloticus)
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KEBERADAAN CACING PARASITIK DAN BAKTERI
PADA INSANG SERTA SALURAN PENCERNAAN IKAN
NILA Bogor Enhanced Strain Tilapia (Oreochromis niloticus)
NURHAYATI SUWARTIANI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Judul Skripsi : Keberadaan Cacing Parasitik dan Bakteri pada Insang serta Saluran
Pencernaan
Ikan
Nila
Bogor
Enhanced
Strain
Tilapia
(Oreochromis niloticus)
Nama
: Nurhayati Suwartiani
NIM
: B04080038
Disetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. drh. Risa Tiuria, MS.
NIP. 19630430 198703 2 001
drh. Usamah Afiff, M.Sc.
NIP. 19600624 198703 1 001
Diketahui,
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan - IPB
drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet
NIP. 19630810 198803 1 004
Tanggal lulus:
KATA PENGANTAR
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena hanya dengan
limpahan rahmat, izin, dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan
skripsi yang berjudul “Keberadaan Cacing Parasitik dan Bakteri pada Insang dan
Saluran
Pencernaan
Ikan
Nila
Bogor
Enhanced
Strain
Tilapia
(Oreochromis niloticus)" yang merupakan syarat kelulusan Sarjana Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor.
Dengan segala kerendahan hati, penulis juga ingin mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. drh. Risa Tiuria, MS selaku pembimbing
pertama dan drh. Usamah Afiff, M.Sc. selaku pembimbing kedua atas bimbingan,
ilmu, dorongan, motivasi, nasehat, dan waktu yang telah diluangkan selama
penelitian hingga selesainya skripsi ini, serta drh. Budhy Jasa Widyananta, MS.
Selaku pembimbing akademik yang telah memberikan saran dan motivasi.
Apa, Ibu, Fitri, dan Iki yang luar biasa selalu memberikan cinta, kasih
sayang, waktu, dukungan, tenaga, dan doanya selama ini. Teman-teman
sepenelitian dan seperjuangan, Anit, Ismi, dan Hafiz atas kerjasama, motivasi, dan
dukungannya. Seluruh staf dan pegawai laboratorium Helmintologi dan
laboratorium Mikrobiologi yang telah banyak membantu mulai dari awal hingga
selesainya penelitian ini dengan lancar. Sahabat-sahabat terbaikku, Ayu, Icha,
Vevi, Uni dan teman-teman Avenzoar FKH 45 atas dorongan semangat dan
seluruh bantuannya. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu-persatu
yang telah banyak membantu untuk keberhasilan penulis.
Penulis menyadari banyaknya kekurangan dalam penulisan skripsi ini,
oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan dan penulis
berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak termasuk penulis
pribadi.
Bogor, September 2012
Nurhayati Suwartiani
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sumedang, Jawa Barat pada tanggal 5 Agustus 1990.
Penulis merupakan anak pertama dari pasangan drs. Oman Suwarman dan Yanti
Suryantini SKM.
Penulis menyelesaikan pendidikan di Taman Kanak-Kanak Murai Sejahtera,
Sumedang pada tahun 1995 dan masuk ke Sekolah Dasar Negeri (SDN)
Sukamaju, Sumedang pada tahun 1996. Penulis melanjutkan studi ke Sekolah
Menengah Pertama Negeri (SMPN) 2 Sumedang pada tahun 2002 dan lulus
Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Sumedang pada tahun 2008. Penulis
diterima sebagai Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
melalui seleksi USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada tahun 2008.
Selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Kedokteran Hewan, penulis
pernah mengikuti beberapa kepanitiaan dan organisasi. Penulis tercatat pernah
menjadi pengurus BEM FKH IPB departemen kominfo kabinet Katalis periode
tahun 2009-2010, sekretaris Majalah Vet-zone FKH IPB periode tahun 20092010, anggota Himpunan Minat dan Profesi Ruminansia FKH IPB, dan anggota
Organisasi Mahasiswa Daerah WAPEMALA.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xiv
PENDAHULUAN
Latar Belakang ....................................................................................... 1
Tujuan Penelitian .................................................................................. 2
Manfaat Penelitian ................................................................................. 2
TINJAUAN PUSTAKA
Ikan Nila BEST (Oreochromis niloticus) .............................................. 3
Morfologi ..................................................................................... 3
Anatomi ........................................................................................ 4
Habitat .......................................................................................... 5
Cacing Parasitik pada Insang dan Saluran Pencernaan Ikan ................. 5
Jenis-Jenis Cacing Parasitik pada Insang ...................................... 6
Dactylogyrus sp. ................................................................. 6
Gyrodactylus sp .................................................................. 7
JenisJenis Cacing Parasitik pada Saluran Pencernaan .................. 8
Nematoda ............................................................................ 9
Cestoda ............................................................................... 11
Digenea ............................................................................... 11
Bakteri pada Insang dan Saluran Pencernaan Ikan ................................ 12
Jenis-Jenis Bakteri pada Insang dan Saluran Pencernaan ............ 13
Aeromonas sp. ..................................................................... 13
Pseudomonas sp. ................................................................. 14
Edwardsiella tarda ............................................................ 15
Vibrio sp. ............................................................................. 15
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempet Penelitian................................................................. 17
Alat dan Bahan Penelitian ...................................................................... 17
xii
Metode Penelitian
Pengambilan Sampel Ikan Nila BEST .......................................... 17
Pemeriksaan Cacing Parasitik ...................................................... 18
Pemeriksaan Bakteri ...................................................................... 19
HASIL DAN PEMBAHASAN
Cacing Parasitik pada Ikan Nila BEST (Oreochromis niloticus) ......... 26
Jenis Cacing Parasitik yang ditemukan pada Insang .................... 26
Dactylogyrus sp. .................................................................. 26
Pseudodactylogyrus sp. ...................................................... 28
Jenis Cacing Parasitik yang ditemukan pada Saluran
Pencernaan ................................................................................... 29
Anisakis sp. ......................................................................... 29
Bakteri pada Ikan Nila BEST (Oreochromis niloticus) ....................... 31
Jenis Bakteri yang ditemukan pada Insang dan Saluran
Pencernaan ................................................................................... 32
Pseudomonas flourescens ................................................... 32
Edwarsiella tarda ................................................................ 33
Aeromonas sp. ..................................................................... 34
Streptococcus sp. ................................................................ 36
Bacillus sp. .......................................................................... 37
Staphylococcus epidermidis ................................................ 38
Escherichia coli .................................................................. 40
PENUTUP
Simpulan............................................................................................... 42
Saran .................................................................................................... 42
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 43
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Hasil Identifikasi Cacing Parasitik dan Bakteri pada Ikan Nila BEST … 25
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
Ikan Nila Bogor Enhanced Strain Tilapia (Oreochromis niloticus) .......
3
2
Dactylogyrus sp .......................................................................................
7
3
Gyrodactylus sp. ......................................................................................
8
4
Siklus hidup langsung cacing nematoda ................................................. 10
5
Siklus hidup tidak langsung nematoda .................................................... 10
6
Morfologi umum digenea ........................................................................ 12
7
Pewarnaan Gram Aeromonas sp. ............................................................ 14
8
Pewarnaan Gram Pseudomonas sp. ........................................................ 14
9
Diagram alir pengujian bakteri ................................................................ 24
10 Dactylogyrus sp. ....................................................................................... 27
11 Pseudodactylogyrus sp. .......................................................................... 29
12 Morfologi Anisakis sp. ............................................................................. 30
13 Anisakis sp................................................................................................. 30
14 Uji biokimia bakteri Pseudomonas flourescens ....................................... 32
15 Uji biokimia bakteri Edwarsiella tarda ................................................... 34
16
Uji TSIA, Urea, dan Sitrat bakteri Aeromonas sp ................................... 35
17
Uji fermentasi bakteri Aeromonas sp. ..................................................... 35
18
Pewarnaan Gram Streptococcus sp. ........................................................ 37
19
Pewarnaan Gram Bacillus sp. ................................................................. 38
20
Pewarnaan Gram Staphylococcus epidermidis ....................................... 39
21
Pembentukan zona merah pada agar MSA ............................................. 39
22
Uji indol, sitrat, urea, dan TSIA Eschericia Coli .................................... 41
23 Uji fermentasi karbohidrat Eschericia Coli ............................................. 41
PENDAHULUAN
Latar belakang
Peranan ikan sebagai sumber pangan yang semakin besar menuntut
peningkatan produksi perikanan. Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010),
mencanangkan Indonesia sebagai produsen penghasil produk perikanan dan
kelautan terbesar di tahun 2015. Pencapaian target produksi perikanan tersebut
terus diupayakan dengan peningkatan produksi nasional terutama pada perikanan
budidaya sebesar 353%.
Salah satu varietas yang menjadi komoditas unggulan untuk mencapai target
peningkatan
produksi
perikanan
budidaya
nasional
adalah
ikan
nila
(Oreochromis niloticus). Banyak strain ikan nila telah dikembangkan di
Indonesia. Salah satu strain ikan nila yang berpotensi untuk dikembangkan adalah
Ikan nila Bogor Enhanched Strain Tilapia (BEST). Ikan nila BEST
dikembangkan dari generasi ke-6 ikan nila GIFT hasil evaluasi Balai Riset
Perikanan Budidaya Air Tawar (BRPBAT) dalam kurun waktu 2004-2008. Hasil
pengujian menunjukkan bahwa ikan nila BEST lebih unggul dan hasilnya lebih
baik dibandingkan dengan ikan nila jenis lainnya. Ikan nila BEST memiliki
tingkat produksi, pertumbuhan, dan daya tahan terhadap lingkungan dan penyakit
yang lebih baik (Gustiano et al. 2008).
Penurunan kualitas ikan, baik ikan segar maupun ikan olahan dipengaruhi
oleh banyak faktor. Salah satu faktor penyebab utama penurunan kualitas ikan
adalah stres akibat kualitas perairan yang buruk. Ikan stres merupakan kondisi
yang dapat meningkatkan perkembangbiakan cacing parasitik dan bakteri yang
cenderung menyerang organ insang dan saluran pencernaan ikan (William dan
John 1993). Keberadaan cacing parasitik menyebabkan kerugian secara ekonomi
terutama pada penurunan kualitas hasil perikanan dan dapat merugikan kesehatan
manusia. Parasit dapat menyebabkan penyakit dengan cara melukai inang,
mengambil nutrisi di dalam tubuh inang, meracuni inang, dan memfasilitasi
masuknya mikroorganisme patogen ke dalam tubuh inang (Latama 2002).
Populasi bakteri pada ikan yang banyak akan menimbulkan penyakit bahkan
kematian.
2
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi jenis cacing
parasitik dan bakteri pada sistem pencernaan dan insang ikan nila BEST.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi dan data tentang
cacing parasitik dan bakteri yang ditemukan pada insang serta saluran pencernaan
ikan nila BEST (Oreochromis niloticus), sehingga dapat melakukan pencegahan
infeksi yang disebabkan oleh cacing parasitik ataupun bakteri pada ikan.
Penelitian ini juga dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan penelitian di
tingkat selanjutnya untuk mengetahui hubungan antara keberadaan cacing
parasitik dan bakteri.
TINJAUAN PUSTAKA
Ikan Nila BEST (Oreochromis niloticus)
Ikan nila merupakan jenis ikan konsumsi air tawar yang berasal dari Sungai
Nil dan danau-danau sekitarnya. Nila adalah nama khas Indonesia yang diberikan
oleh Pemerintah melalui Direktur Jenderal Perikanan. Ikan nila BEST (Gambar 1)
merupakan varietas baru ikan nila (Oreochromis niloticus) yang dikembangkan
dari generasi ke-6 ikan nila GIFT hasil evaluasi BRPBAT dalam kurun waktu
2004-2008. Ikan nila BEST baru dirilis oleh BRPBAT Bogor pada tahun 2009
(Gustiano et al. 2008). Klasifikasi ikan nila BEST menurut Trewavas (1982),
termasuk ke dalam filum Chordata, kelas Osteichtyes, ordo Perchomorphi, famili
Chiclidae, genus Oreochromis, spesies Oreochromis niloticus.
a
h
b
C
g f
e
d
Keterangan a. Mata, b. Spiny dorsal fin, c. Soft dorsal fin, d. Caudal fin,
e. Anal fin, f. Pelvic fin, g. Pectoral fin, h. Operkulum
Gambar 1 Ikan Nila BEST (Arifin 2009).
Morfologi
Morfologi ikan nila BEST hampir menyerupai ikan nila hitam pada
umumnya. Ikan nila BEST berwarna hitam kehijauan dan semakin ke arah perut
semakin terang. Ikan nila BEST memiliki garis vertikal 9-11 buah berwarna hijau
kebiruan. Sirip bagian kaudal (ekor) terdapat 16-18 garis melintang ujungnya
4
berwarna kemerah-merahan yang dapat digunakan sebagai indikasi kematangan
gonad.
Keunggulan ikan nila BEST dibandingkan dengan ikan nila varietas lainnya
adalah mampu menghasilkan telur dan benih yang lebih banyak. Produksi 1.500
sampai 2.800 butir telur per ekor dengan berat induk antara 280-400 gram.
Ukuran telurnya relatif lebih besar dan seragam dibandingkan dengan ikan nila
yang ada di masyarakat. Ikan nila BEST juga mampu memproduksi anakan 3-5
kali lebih banyak dibandingkan varietas lainnya. Selama 40 hari, larva ikan nila
BEST mampu tumbuh sebesar 87,5 kali dari bobot awal. Nila lain hanya mampu
tumbuh sebesar 17 kali dibandingkan bobot awal (Widiastuti et al. 2008).
Menurut Aththar (2010), ikan nila BEST memiliki tingkat kelangsungan
hidup dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan ikan nila hitam yang berasal
dari Kuningan dan ikan nila lokal merah yang berasal dari Bogor pada salinitas
15 ppt. Kelangsungan hidup ikan nila BEST sebesar 57.5% dan ikan nila lain
hanya sebesar 37.5 %. Kelangsungan hidup ikan nila BEST lebih besar 140%
dibandingkan ikan nila jenis lain pada uji tentang ketahanan penyakit
Streptococcus sp. (Taufik et al. 2008).
Anatomi
Organ-organ internal ikan nila BEST adalah jantung, sistem pencernaan,
alat reproduksi, kandung kemih, dan ginjal. Alat pencernaanya terdiri atas mulut,
rongga mulut, faring, esofagus, lambung, pilorus, usus, rektum, pankreas, dan
hati. Organ-organ yang berada dalam tubuh ikan tersebut biasanya diselubungi
oleh jaringan pengikat yang halus dan lunak yang disebut peritoneum. Peritoneum
merupakan selaput (membran) yang tipis berwarna hitam.
Jenis kelamin ikan nila BEST yang masih kecil belum tampak dengan jelas.
Perbedaannya dapat diamati dengan jelas setelah bobot badannya mencapai 50
gram. Tanda-tanda ikan nila jantan adalah warna badan lebih gelap dari ikan
betina, alat kelamin berupa tonjolan (papila) di belakang lubang anus, dan tulang
rahang melebar ke belakang. Tanda-tanda ikan nila betina adalah alat kelamin
berupa tonjolan di belakang anus yang terdiri dari 2 lubang. Lubang yang di depan
untuk mengeluarkan telur dan lubang belakang untuk mengeluarkan air seni. Perut
5
nila betina akan tampak membesar saat mengandung telur yang masak
(Suyanto 2004).
Habitat
Habitat ikan nila BEST menurut Rukmana (1997), adalah di perairan tawar
seperti sungai, danau, waduk, rawa, dan dapat beradaptasi di perairan air payau
dengan menggunakan teknik adaptasi bertahap. Ikan nila lebih cepat tumbuh besar
saat dipelihara di kolam air dangkal daripada di kolam air yang dalam. Kolam
yang airnya dangkal akan mempengaruhi kecepatan pertumbuhan tanaman air
atau pakan alami bagi ikan nila (Amri dan Khairuman 2003).
Lingkungan
tumbuh
yang
paling
ideal
bagi
ikan
nila
BEST
(Oreochromis niloticus) adalah perairan air tawar yang memiliki suhu antara 1438 °C dengan suhu optimal 25-32 °C. Keadaan suhu yang rendah yaitu suhu
kurang dari 14 °C atau suhu yang terlalu tinggi di atas 30 °C akan menghambat
pertumbuhannya. Ikan nila BEST memiliki toleransi tinggi terhadap perubahan
lingkungan hidup. PH optimal untuk pertumbuhan dan perkembangbiakkan
adalah 6.5-8.5 (SNI 7550-2009). Ikan nila BEST dapat dibudidayakan untuk
perbesaran di perairan payau, tambak dan perairan laut karena ikan nila masih
dapat tumbuh dalam keadaan air asin pada salinitas 0-35 ppt (Rukmana 1997).
Cacing Parasitik pada Insang dan Saluran Pencernaan Ikan
Menurut Noble dan Noble (1989), parasit adalah organisme yang hidupnya
dapat menyesuaikan diri dengan inang definitif dan merugikan organisme yang
ditempelinya. Timbulnya penyakit kecacingan pada ikan sangat dipengaruhi oleh
kondisi tubuh ikan itu sendiri. Menurut Daelami (2001), parasit adalah hewan atau
tumbuhan yang hidup di dalam tubuh ikan yang mendapat perlindungan dan
memperoleh makanan untuk kelangsungan hidupnya.
Jenis parasit yang diketahui dalam dunia kedokteran hewan adalah
endoparasit dan ektoparasit. Parasit yang hidup pada bagian permukaan tubuh
ikan (kulit, sirip, dan insang) disebut ektoparasit sedangkan parasit yang hidup
pada tubuh internal ikan dan otot daging disebut endoparasit (Irawan 2004).
Menurut Kabata (1985), parasit yang dapat menginfeksi ikan air tawar adalah dari
6
golongan Metazoa. Golongan Metazoa tersebut dibagi menjadi beberapa filum
yaitu filum Plathyhelminthes, Nemathelminthes dan Acanthocephala. Cacing
parasitik ikan pada umumnya cenderung menyerang organ insang dan saluran
pencernaan ikan.
Jenis-Jenis Cacing Parasitik yang Terdapat di Insang
Cacing parasitik yang biasa menempel di insang atau di permukaan tubuh
ikan adalah cacing monogenea. Monogenea adalah cacing pipih yang tidak
bersegmen dengan organ perlekatan berbentuk sucker (batil isap) atau cakram
perlekatan. Hampir semua spesies dari subkelas Monogenea berperan sebagai
ektoparasit ikan, hanya sebagian kecil yang hidup sebagai endoparasit. Menurut
Nabib dan Pasaribu (1989), Monogenea parasit ikan yang terpenting secara
ekonomis di perairan tawar antara lain adalah famili Dactylogyridae dan
Gyrodactylidae.
Dactylogyrus sp.
Dactylogyrus sp. menginfeksi insang semua jenis ikan air tawar terutama
ukuran benih. Dactylogyrus sp. (Gambar 2) termasuk cacing tingkat rendah
(trematoda) yang digolongkan dalam filum Platyhelminthes, ordo Monogenea,
dan famili Dactylogyridae. Bagian posterior tubuh cacing terdapat haptor
(opisthaptor) sebagai alat penempel. Haptor atau yang sering juga disebut sebagai
posterior sucker tidak memiliki struktur tegumen tetapi memiliki 1-2 pasang kait
besar dan 14 kait marginal yang terdapat pada bagian posterior. Kepala
Dactylogyrus sp. terdiri dari 4 lobus dengan 2 pasang mata yang terletak di daerah
pharynx (Gusrina 2008).
Perpindahan cacing dari ikan ke ikan dapat terjadi melalui kontak langsung.
Parasit mempunyai siklus hidup secara langsung atau hidup tanpa inang antara.
Cacing dewasa bersifat haemaprodit, yaitu masing-masing memiliki 2 alat
reproduksi (jantan dan betina). Dactylogyrus sp. juga bersifat ovipar. Telur
dilepaskan ke dalam air kemudian menetas menjadi larva dan berkembang
sebelum menemukan inang baru.
7
Penyakit
yang
disebabkan
oleh
parasit
Dactylogyrus sp.
adalah
Dactylogylosis atau Gill Flukes dengan gejala klinis insang ikan rusak, luka,
perdarahan, sirip ikan menguncup, kadang terjadi kerontokan pada sirip ekor, kulit
berlendir, dan berwarna pucat. Irawan (2004) menyebutkan bahwa ikan yang
terserang Dactylogyrus sp. biasanya kurus, berenang tersendat-sendat, operkulum
tidak dapat menutup dengan sempurna karena insangnya rusak, dan kulit ikan
terlihat kusam.
Gambar 2 Dactylogyrus sp. (Abdullah 2009).
Gyrodactylus sp.
Gyrodactylus sp. merupakan salah satu genus cacing parasit yang
menginfeksi insang ikan air tawar. Menurut David (2010), cacing Gyrodactylus
sp. termasuk anggota dari filum Platlyhelmintes, kelas Trematoda, ordo
Monogenea, dan famili Gyrodactylidae. Cacing yang memiliki panjang tubuh 0.50.8 mm memiliki bentuk tubuh bilateral simetris, dorsal ventral pipih
dan memiliki ophishaptor (Gambar 3). Gyrodactylus sp. dewasa memiliki
ophisthaptor yang tidak mengandung batil isap tetapi memiliki sederet kait-kait
kecil berjumlah 16 buah di sepanjang tepinya dan kait besar di tengah-tengah
(Gusrina 2008).
Siklus hidup Gyrodactylus sp. bersifat langsung dan tidak memerlukan
inang antara (Lasee 2004). Telur dikeluarkan oleh cacing dewasa kemudian
menetas menjadi larva yang berambut dengan kulit yang halus. Larva tersebut
setelah menetas bergerak bebas untuk memperoleh inang baru. Larva berubah
menjadi cacing dewasa di tubung inang baru. Gyrodactylus sp. bersifat
haemaprodit dan vivipar yang menghasilkan larva lengkap dengan sistem
reproduksi. Sistem reproduksi Monogenea jantan terdiri dari testis dan
8
saluran vasdeferent. Sistem reproduksi betina terdiri dari ovari yang berisi telur
dan uterus sebagai saluran keluar telur.
Ikan yang terinfeksi Gyrodactylus sp. akan menunjukan gejala seperti ikan
berenang lemah, berenang di permukaan air untuk mengambil oksigen jika yang
diserang adalah insang. Sirip juga akan berbintik merah (darah), tubuh akan
menghasilkan lendir yang berlebih sehingga warna tubuh ikan akan tampak
kusam, dan perdarahan pada kulit akibat luka yang disebabkan oleh
opishaptornya.
Kepal
a
Mul
ut
Farin
Usus
g
Embrio
II
Embrio
I
Kait
Embrio
Haptor
Posterior
Anchor
Kait Tepi
Gambar 3 Gyrodactylus sp. (Anonim 2012).
Jenis-Jenis Cacing Parasitik yang Terdapat di Saluran Pencernaan
Cacing parasitik yang biasa terdapat dalam saluran pencernaan diantaranya
adalah
cacing
dari
filum
Plathyhelminthes,
Nemathelminthes,
dan
Acanthocephala. Filum Platyhelminthes memiliki batil hisap atau kait atau
keduanya untuk menempel pada inang. Cacing yang termasuk dalam filum
Platyhelminthes pada saluran pencernaan ikan adalah kelas Trematoda dan kelas
Cestoda.
Karakteristik filum Nemathelminthes adalah simetris bilateral, tidak
memiliki segmen yang sesungguhnya. Cacing gilig atau yang disebut juga
9
nematoda merupakan cacing dari filum Nemathelminthes yang biasa ditemukan
pada saluran pencernaan ikan (Storer 1968). Cacing Acanthocepala memiliki
banyak kait-kait mirip duri pada probosis yang berbentuk bulat dan silindris.
Probosis dilengkapi juga dengan barisan kait atau spina yang membengkok dan
berguna untuk melekatkan tubuh cacing pada inangnya.
Nematoda
Nematoda dikenal juga dengan sebutan round worm atau cacing gilig.
Nematoda dewasa biasanya ditemukan dalam saluran pencernaan ikan. Semua
stadium cacing nematoda dapat ditemukan hampir di seluruh bagian dari tubuh
ikan termasuk pada organ dalam seperti gelembung renang, kulit, otot, dan insang
(Yanong 2002).
Menurut Buchmann dan Bresciani (2001), nematoda berbentuk panjang,
ramping, silindris, tidak bersegmen dengan kedua ujung meruncing, mempunyai
mulut serta anus (saluran pencernaan yang lengkap). Mulutnya dikelilingi oleh
bibir primitif yang berjumlah 6 (2 subdorsal, 2 lateral, dan 2 subventral).
Nematoda juga memiliki rongga tubuh semu yang disebut pseudoselom.
Identifikasi nematoda dilakukan berdasarkan bentuk kepala, ekor, susunan daerah
peralihan antara esofagus, usus, dan posisi lubang ekskresi.
Yanong (2002) membagi siklus hidup nematoda pada ikan menjadi dua
kategori utama, yaitu siklus hidup langsung (Gambar 4) dan tidak langsung
(Gambar 5). Ikan bertindak sebagai inang definitif bagi nematoda pada siklus
hidup langsung. Nematoda tidak memerlukan inang antara, sehingga infeksi dapat
langsung disebarkan secara langsung dari satu ikan ke ikan lain melalui telur atau
larva infektif yang termakan.
10
Gambar 4 Siklus hidup langsung cacing nematoda (Yanong 2002).
Ikan dapat menjadi inang definitif dan inang antara pada siklus hidup tidak
langsung. Cacing nematoda akan mengalami tahap perkembangan di dalam
invertebrata air sebagai inang antara pada saat ikan menjadi inang definitifnya.
Selanjutnya, nematoda akan mencapai kematangan kelamin dan bereproduksi
dalam ikan sebagai inang definitifnya. Nematoda menggunakan ikan sebagai
inang antara saat ikan menjadi perantara sebelum nematoda memasuki inang
definitifnya yaitu organisme lain pemakan ikan seperti ikan yang lebih besar,
burung, dan mamalia air lainnya (Yanong 2002).
Gambar 5 Siklus hidup tidak langsung nematoda (Yanong 2002).
11
Cestoda
Cestoda atau cacing pita pada ikan ditemukan sebagai larva maupun cacing
dewasa. Larva cacing pita hidup bebas dan ditemukan dalam rongga perut atau
alat tubuh internal seperti hati dan otot. Cacing pita dewasa selalu ditemukan
dalam usus ikan. Menurut Natadisastra dan Agoes (2005), cestoda memiliki
bentuk tubuh panjang, pipih seperti pita yang terdiri atas 3 daerah kepala yang
terdapat scolex sebagi alat pelekat pada inang definitif. Scolex tersebut dilengkapi
dengan kait-kait, organ penghisap, atau keduanya. Stuktur scolex terdiri atas
proglotida dengan tingkat kematangan yang berbeda pada tiap segmen. Proglotida
yang semakin jauh dari leher semakin matang atau dewasa (Levine 1990).
Cestoda tidak memiliki saluran pencernaan dan sistem peredaran darah
sehingga pengambilan makanan langsung melalui tegumen ke sistem ekseresi.
Cestoda merupakan cacing haemafrodit yaitu memiliki kelamin jantan juga
kelamin betina. Setiap proglotid mengandung organ kelamin jantan (testis) dan
organ kelamin betina (ovarium). Tiap proglotid dapat terjadi fertilisasi sendiri.
Proglotid yang dibuahi terdapat di bagian posterior tubuh cacing.
Cestoda membutuhkan inang antara dalam proses siklus hidupnya. Ikan
dapat menjadi inang perantara kedua atau dapat pula menjadi inang definitif.
Larva cestoda akan menembus dari saluran pencernaan untuk perkembangan lebih
lanjut dan menunggu ikan definitif memakan inang antara cacing tersebut. Cacing
dewasa akan hidup dalam saluran pencernaan ikan sebagai inang definitif dan
tidak terlalu menimbulkan banyak kerugian. Menurut Afrianto dan Liviawaty
(1992), kehadiran cacing dewasa pada saluran cerna dapat menyebabkan
penurunan berat badan dan perut menjadi kurus.
Digenea
Digenea ditemukan pada ikan dalam bentuk larva ataupun dewasa. Stadium
larva digenea berbentuk kista sebagai metaserkaria dalam jaringan bawah kulit
atau di dalam alat tubuh internal (saluran gastrointestinal) dan jarang pada insang
atau darah (Nabib dan Pasaribu 1989). Digenea (Gambar 6) memiliki bentuk
klasik seperti daun oval yang tebal. Menurut Noble dan Noble (1989), digenea
merupakan cacing parasit yang memiliki batil hisap berbentuk mangkuk dan
12
lubang ekskretoris posterior. Batil hisap digenea ada dua yaitu batil hisap anterior
atau batil hisap mulut dan asetabulum yang terletak di tengah tubuh cacing.
Gambar 6 Morfologi umum digenea (Anonim 2008).
Siklus hidupnya di dalam tubuh ikan sebagai inang definitif terjadi secara
seksual dengan pembentukan telur. Telur digenea yang menetas menjadi larva
bersilia (mirasidium) akan dimakan oleh inang perantara pertama (siput).
Mirasidium tersebut akan berubah menjadi sebuah sporosist. Setiap sporosist
parasit aseksual menghasilkan banyak larva (redia) yang pada gilirannya
menghasilkan larva infektif (serkaria) kemudian akan berenang meninggalkan
siput. Serkaria akan menginfeksi inang antara kedua dan menjadi metaserkaria.
Metasersaria akan berkembang menjadi cacing dewasa jika menemukan inang
definitif (Noga 2000).
Bakteri pada Insang dan Saluran Pencernaan Ikan
Bakteri menurut Dwidjoseputro (1998), adalah mikroorganisme bersel satu,
berkembangbiak dengan pembelahan diri, dan berukuran sangat kecil sehingga
hanya tampak dengan mikroskop. Kebanyakan bakteri berukuran kecil, biasanya
hanya berukuran 0.5-5 µm dengan diameter antara 0.5-2.5 µm (Pelczar dan Chan
1986). Bakteri memiliki sel prokariot yang khas, tanpa inti sel, sitoskeleton, dan
organel lain seperti mitokondria dan kloroplas. Bakteri dapat dibagi atas tiga
golongan berdasarkan bentuk morfologinya yaitu basil, kokus, dan spiral.
13
Jenis-Jenis Bakeri yang Terdapat di Insang dan Saluran Pencernaan Ikan
Kontaminasi bakteri terhadap ikan konsumsi yang hidup di perairan harus
mempertimbangkan ekologi perairan. Bakteri yang biasanya ditemukan pada ikan
adalah jenis Pseudomonas spp., Edwarsiella tarda, Vibrio spp., dan Aeromonas
sp. (Noga 2000).
Aeromonas sp.
Bakteri Aeromonas sp. merupakan organisme akuatik yang dapat ditemukan
di air tawar. Aeromonas termasuk famili Vibrionaceace dalam kelas
Gammaproteobakteria dan ordo Aeromonadales. Genus ini terdiri dari 14 spesies
yang telah diketahui berhubungan dengan munculnya penyakit. Spesies yang
paling penting adalah A. hydrophila, A. caviae, dan A. veronii.
Morfologi koloni Aeromonas sp. permukaannya agak menonjol, berbentuk
bulat, mengkilat, krim, dan diameter 2-3 mm. Aeromonas sp. termasuk Gram
negatif berbentuk batang dengan ukuran panjang 2-3 µm dan bersifat fakultatif
anaerob (Gambar 7). Ciri Aeromonas lainnya adalah tidak berspora, bersifat motil
kerena mempunyai flagela, hidup pada suhu 15-30 °C dan pH 5.5-9.0 (Afrianto
dan Liviawaty 1992). Karakteristik Aeromonas diantaranya adalah oksidase
positif, memproduksi gas dari glukosa, mengasamkan maltosa dan manitol, tidak
mengasamkan
laktosa,
memfermentasikan
sukrosa
dan
ada
yang
memfermentasikan salicin. Aeromonas tidak menghasilkan indol dan urease. Uji
fermentasi dapat dilakukan untuk membedakan setiap spesies.
Menurut
Cipriano
dan
Bullock
(2001),
motil
Aeromonas
dapat
menyebabkan kondisi patologis yang berbeda-beda. Kondisi patologi yang
diakibatkan oleh motil Aeromonas mencakup pemborokan pada lapisan dermal,
pembusukan pada sirip, pemborokan mata, dan hemoragi pada kulit (red sore
disease).
14
Gambar 7 Pewarnaan Gram Aeromonas sp.
(Chamberlain 2012).
Pseudomonas sp.
Pseudomonas sp. masuk ke dalam famili Pseudomonadaceae dengan filum
Proteobacteria dan ordo Pseudomonadales. Pseudomonas sp. merupakan
kelompok bakteri yang memiliki habitat cukup beragam. Bakteri berbentuk batang
(Gambar 8) ini dapat ditemukan di tanah, perairan tawar maupun laut, bunga, dan
buah (Krueger dan Sheikh 1987). Pseudomonas sp. berukuran 0.5-0.8 µm x 1-3
µm,
bersifat
Gram
negatif,
mempunyai
flagela
tipe
polar,
aerobik,
kemoorganotrof, dan tidak berkapsul. Bakteri Pseudomonas sp. hanya
dapat
menguraikan glukosa tetapi dapat tumbuh pada semua jenis media, hasil positif
pada uji katalase dan oksidase.
Serangan bakteri Pseudomonas sp. membuat tubuh ikan borokan, sisik
terkelupas, sirip rusak, perut menggembung, mata rusak, dan insang rusak dengan
warna putih kebiruan. Granuloma ditemukan dalam ginjal, hati, dan jantung ikan.
Bakteri yang sama telah dilaporkan menyebabkan kematian pada tilapia fry.
Gambar 8 Pewarnaan Gram Pseudomonas sp.
(Chamberlain 2012).
15
Edwardsiella tarda
Edwardsiella tarda adalah spesies pertama kali yang berhasil diidentifikasi
dari genus Edwardsiella. Menurut Afrianto dan Liviawaty (1992), E. tarda hidup
pada perairan tercemar atau mengandung urin. Morfologi E. tarda adalah gram
negatif dengan bentuk basil. E. tarda memiliki banyak sifat yang merupakan ciri
khas dari banyak bakteri enterobacteria seperti E. coli, yaitu anaerob fakultatif dan
motil dengan peritrichous flagella. Ciri lain yaitu positif pada fermentasi glukosa,
negatif pada fermentasi laktosa dan tidak mampu tumbuh pada manitol atau
sorbitol, sitokrom oksidase negatif, mereduksi nitrat dan nitrit, indol positif, TSI
Agar hasilnya asam pada slant dan basa pada butt (Bergey 1974).
E. tarda biasa ditemukan dalam usus normal ikan dan dapat
menjadi
patogen oportunistik pada manusia. Menurut Narwiyani (2011), gejala klinis
umumnya sama pada semua ikan berupa anoreksia, berenang lambat, serta lesi
kemerahan pada kulit dan pangkal sirip. Salah satu penyakit yang paling umum
pada ikan air tawar adalah septicemia hemoragik atau edwardsiellosis yang
biasanya menyebabkan kematian ikan.
Vibrio sp.
Vibrio sp. termasuk famili Vibrionaceae dengan genus Vibrio. Vibrio sp.
merupakan bakteri yang dapat menyebabkan penyakit pada ikan air laut, air
payau, dan air tawar. Vibrio sp. banyak terdistribusi di air bersih, air terpolusi, air
laut kecuali yang salinitasnya tinggi, dan merupakan mikroflora dalam usus, ginjal
dan darah ikan. Bakteri ini berbentuk batang berukuran 0.5-2.0 µm dan bersifat
gram negatif. Vibrio sp. juga mempunyai kemampuan untuk bergerak karena
mempunyai 2-3 flagela polar (Duijn 1973).
Menurut Feliatra (1999), Vibrio merupakan patogen oportunistik yang
dalam keadaan normal ada dalam lingkungan pemeliharaan, kemudian
berkembang dari sifat yang saprofit menjadi patogenik jika kondisi lingkungannya
memungkinkan. Vibrio anguillarum merupakan salah satu vibrio yang menyerang
ikan. Infeksi Vibrio anguillarum hampir menyerupai infeksi oleh Aeromonas
salmonicida. Bakteri sangat ganas dan dapat masuk ke dalam tubuh ikan dalam
16
waktu 30 menit sejak kontak. Sifat fisik dan biokimia dari bakteri adalah berwarna
krem sampai coklat muda, bentuk bulat konveks, tetapi rata dan tanpa pigmen.
Bakteri sering menimbulkan masalah serius pada ikan dan dapat
menimbulkan kematian masal dalam waktu yang relatif singkat. Penyakit yang
ditimbulkan oleh bakteri Vibrio sp. adalah vibrosis. Gejala klinis penyakit
vibriosis bentuk akut pada ikan dewasa ditandai dengan warna kulit kusam
disertai hilang nafsu makan, hemoragi dipangkal sirip (kerusakan kulit dengan
tepi merah atau putih karena infeksi sekunder jamur).
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2011 sampai Maret 2012 di
Laboratorium Helmintologi Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan dan
Laboratorium Bakteriologi Bagian Mikrobiologi Medis, Departemen Ilmu
Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB.
Alat dan Bahan Penelitian
Alat-Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya aquarium
berukuran 1 x 0.5 x 0.5 m3, timbangan digital, alas bedah berupa gabus yang
dilapisi plastik hitam, seperangkat alat bedah (dissecting kit), cawan petri, pinset,
kait, pipet tetes, gunting, botol kaca, spidol, label nama, gelas objek dan kaca
penutup, kulkas 4 °C, lap, kaca pembesar, mikroskop cahaya, mikroskop stereo,
dan video mikrometer, tabung reaksi, ose, needle, inkubator, dan bunsen.
Bahan-Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya sampel ikan
Nila BEST (Oreochromis niloticus) yang diambil bagian insang dan ususnya,
NaCl fisiologis, alkohol bertingkat 70%, 85%, 95%, dan 100%, agar Mac Conkey,
agar darah, agar nutrien, agar MSA, kaldu MR-VP (Methyl Red- Voges
Proskauer), larutan H2O2 3%, biakan indol, larutan Ehrlich-Bohme, media TSIA,
agar sitrat, agar urea, media gula-gula (maltosa, manitol, laktosa, sukrosa, dan
glukosa), kalium hidroksida 10%, pewarna Semichon’s Acetocarmine, entelan,
xylol, pewarna giemsa10%, alkohol, aquades, kristal violet, lugol, safranin, KOH
10%, minyak cengkeh, dan laktofenol.
Metode Penelitian
Pengambilan Sampel Ikan Nila BEST (Oreochromis niloticus)
Pengambilan sampel ikan nila BEST dilakukan dari peternak daerah Parung.
Sebanyak 10 ekor sampel ikan diambil secara acak yang memiliki bobot badan
18
sekitar 200-250 gram. Sampel ikan dimasukkan ke dalam kantong plastik yang
telah ditambah air dan oksigen secukupnya. Sampel selanjutnya dimasukan ke
dalam aquarium di laboratorium.
Pemeriksaan Cacing Parasitik
Pengambilan Cacing Parasitik dari Insang dan Saluran Pencernaan
Sampel ikan dimatikan terlebih dahulu dengan cara memotong medulla
oblongatanya. Ikan kemudian ditimbang dengan timbangan digital. Ikan dibedah
dengan cara dibuat sayatan pada bagian ventral ikan. Sayatan dimulai dari
operkulum untuk mengeluarkan insang terlebih dahulu kemudian dilanjutkan ke
arah posterior sampai arah kloaka untuk mengeluarkan saluran pencernaan (usus).
Insang dan saluran pencernaan ikan dipisahkan dari organ tubuh ikan lainnya.
Bagian insang dan saluran pencernaan yang digunakan untuk pemeriksaan cacing
diletakkan dalam cawan petri yang berisi NaCl fisiologis 0.9%. Saluran
pencernaan ikan disayat terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam cawan
petri berisi NaCl fisiologis 0.9%. Cawan tersebut disimpan dalam kulkas 4 °C
minimal 10 jam agar cacing dapat berelaksasi sehingga cacing tersebut lepas dari
organ insang dan saluran pencernaan ikan (Soulsby 1982).
Cacing dari insang dan saluran pencernaan di cawan petri dikoleksi dengan
menggunakan mikroskop stereo. Cacing yang ditemukan pada kedua organ
tersebut dipindahkan ke dalam NaCl fisiologis pada cawan petri yang berbeda.
Spesimen yang didapatkan diawetkan dengan alkohol 70% untuk dianalisis lebih
lanjut dengan pewarnaan permanen untuk trematoda dan pewarnaan semi
permanen untuk nematoda (Yamaguti 1958).
Metode Pewarnaan Cacing Parasitik
Pewarnaan Permanen
Spesimen cacing terlebih dahulu direndam dengan pewarnaan Acetocarmine
selama 30 menit hingga 3 jam sampai spesimen menyerap warna merah cerah.
Larutan Acetocarmine terdiri dari 100 ml aquades dicampur dengan 100 ml asam
asetat glasial dan ditambahkan bubuk lithium carmine hingga menjadi jenuh.
19
Larutan tersebut dipanaskan pada suhu 90 °C selama 15 menit dan ditambahkan
etanol 70% sebanyak 200 ml.
Spesimen cacing selanjutnya dibilas dengan etanol 70% dan direndam
dengan larutan asam alkohol yang merupakan 99 bagian etanol 70% dan 1
bagian HCl selama 5-7 menit hingga menjadi warna merah. Spesimen cacing
direndam dengan alkohol bertingkat yaitu etanol 70%, 85%, 95% dan alkohol
absolut selama masing-masing 5 menit. Perendaman dengan alkohol bertingkat
dilakukan bertujuan untuk dehidrasi. Spesimen cacing dibersihkan dari sisa
larutan etanol dengan laktofenol. Selanjutnya, cacing direndam dengan xylol
untuk membuat spesimen cacing transparan sehingga memperjelas organ cacing
dan direkatkan dengan entelan sebagai media fiksasinya (Yamaguti 1958).
Pewarnaan semi permanen
Pewarnaan struktur morfologi cacing nematoda menggunakan KOH 10%
dan minyak cengkeh. Spesimen cacing direndam dalam KOH 10% selama 1-3
menit terlebih dahulu. Perendaman dengan KOH 10% bertujuan untuk menipiskan
lapisan kutikula dan epikutikula (tegumen) agar cacing nematoda dapat terlihat
transparan. Sampel kemudian dimasukkan ke dalam wadah yang berisi minyak
cengkeh selama 30 detik sampai 1 menit. Selanjutnya, sampel cacing yang sudah
diwarnai dimasukkan ke dalam alkohol bertingkat, yakni ke dalam alkohol 70%,
85%, 95%, dan alkohol absolut masing-masing selama 15-30 detik. Cacing
kemudian difiksasi dengan entelan (Soulsby 1982).
Identifikasi Cacing Parasitik
Identifikasi cacing parasitik dilakukan setelah pewarnaan selesai. Spesimen
cacing diamati dengan menggunakan mikroskop stereo dan video mikrometer
serta dilakukan identifikasi cacing parasitik terhadap famili hingga genus.
Pemeriksaan Bakteri
Persiapan Bahan
Contoh berupa insang dan digesti dari saluran pencernaan yang berasal dari
ikan diambil dan diberi perlakuan. Insang yang berasal dari ikan tersebut diletakan
20
dalam cawan petri steril, dipotong kecil-kecil dan digerus dalam mortar untuk
membebaskan bakteri dari tenunan insang ikan. Saluran pencernaan ikan dibagi
menjadi 2 bagian, isi dari saluran pencernaan dimasukkan ke dalam mortar dan
digerus. Aquades steril dapat ditambahkan pada gerusan. Suspensi hasil gerusan
ditanam di atas media agar darah dan agar Mac-conkey untuk menumbuhkan
koloni dengan teknik goresan T. Media yang telah digores kemudian diinkubasi
selama 24-48 jam pada suhu 37 ºC. Pengerjaannya dilakukan secara aseptis.
Isolasi Bakteri
Koloni terpisah yang tumbuh pada agar darah dan agar Mac-Conkey
dikarakterisasi berdasarkan morfologis, yaitu ukuran, warna, bentuk, tepi
permukaan, dan transparansi. Koloni bakteri yang berbeda diambil dan dibiakkan
pada agar nutrient sebagai isolat murni pada suhu 37 °C selama 24-48 jam dan
dilakukan pewarnaan Gram untuk mengetahui sifat Gram dan morfologi bakteri.
Menurut Lay (1994), teknik pewarnaan Gram yaitu spesimen ditetesi kristal violet
selama 1 menit dibilas dengan aquades. Setelah itu, spesimen diberi larutan lugol
selama 1 menit dan ditetesi dengan larutan pemucat (alkohol) selama 10-20 detik.
Tahap terakhir ialah spesimen ditetesi safranin selama 1 menit
dibilas dengan
aquades serta dikeringkan.
Identifikasi Bakteri
Pengamatan mikroskopik dengan pewarnaan Gram dilakukan kembali untuk
memperjelas bentuk dan sifat Gram dari suatu bakteri. Bakteri yang bersifat Gram
positif dengan bentuk batang terbagi menjadi dua, yaitu batang besar memiliki
spora dan tidak berspora. Batang berspora secara umum terdiri dari genus
Bacillus sp. (aerob) dan Clostridium (anaerob). Bakteri yang berbentuk batang
yang tidak memiliki spora secara umum dibedakan dengan bakteri yang tahan
asam yaitu Mycobacterium dan tidak tahan asam yaitu Corynobacterium dan
Listeria.
Koloni dengan hasil Gram positif yang berbentuk coccus, selanjutnya diuji
dengan uji katalase. Katalase adalah enzim yang mengkatalisiskan H2O2 menjadi
air dan oksigen. Penentuan adanya katalase diuji dengan penambahan 3% H2O2
21
pada koloni terpisah. Uji ini dilakukan untuk membedakan antara bakteri
kelompok Micrococcaceae dan Streptococcaceae (Lay 1994). Kelompok
Streptococcaceae bersifat katalase negatif, sedangkan kelompok Microcaccaceae
bersifat katalase positif. Bakteri yang bersifat katalase positif akan terlihat
pembentukan gelembung udara di sekitar koloni. Reaksi kimiawi yang
dikatalisasikan oleh enzim katalase terlihat berikut:
H2O2
Katalase
H2O + ½ O2
Bakteri dengan sifat katalase positif selanjutnya dilakukan uji glukosa
mikroaerofilik. Hasil negatif uji glukosa mikroarofilik menunjukkan bakteri
Micrococcus, sedangkan hasil positif menunjukkan bakteri Staphylococcus.
Bakteri dengan hasil positif kemudian dilakukan uji pada agar Manitol Salt Agar
(MSA) yang mengandung kadar NaCl tinggi, sehingga akan menghambat
pertumbuhan bakteri selain Staphylococcus. Media ini terutama digunakan untuk
membedakan kelompok Staphylococcus yang berifat patogen dan non-patogen.
S. aureus pada umumnya bersifat patogen dan menghasilkan warna kuning pada
agar. S. epidermidis bersifat tidak patogen dan membentuk zona merah pada agar.
Warna kuning disebabkan oleh fermentasi manitol disertai pembentukan asam,
sedangkan warna merah disebabkan manitol yang tidak difermentasikan.
Uji Oksidase berfungsi untuk menentukan adanya oksidase sitokrom pada
mikroorganisme. Uji ini berguna dalam identifikasi mikroorganisme patogen
seperti Neisseria gonoprhoea dan Pseudomonas aeruginosa yang menunjukkan
hasil positif terhadap uji oksidase. Reagen uji oksidase terdiri dari 1:1 (vol/vol)
laruran 1% alpha-naphtol dan 1% dimetil-p-fenillendiamin oksalat. Tahapan
dalam uji oksidase ialah dengan pencampuran koloni terpisah dengan reagen.
Hasil oksidase positif ditunjukkan dengan warna koloni yang berubah menjadi
hitam setelah 30 menit. Hal ini disebabkan oksidase sitokrom mengoksidasikan
larutan reagen (Lay 1994). Hasil uji oksidasi positif dapat dilanjutkan dengan
proses identifikasi menggunakan media Triple Sugar Iron Agar (TSIA), indol,
MRVP (Methyl Red–Voges proskauer), sitrat, urea, uji fermentasi karbohidrat.
Uji TSIA dilakukan dengan menggunakan Triple Sugar Iron Agar . Media
mengandung tiga macam gula yaitu glukosa, laktosa, dan sukrosa, selain itu media
juga mengandung indikator merah fenol dan FeSO4 untuk memperlihatkan
22
pembentukan H2S yang ditunjukkan dengan adanya endapan hitam. Konsentrasi
glukosa adalah 1/10 dari konsentrasi laktosa atau sukrosa agar fermentasi glukosa
dapat terlihat. Media TSIA terdiri dari dua bagian yaitu butt (bawah) dan slant
(atas). Tahapan uji TSIA yaitu koloni bakteri diambil dengan menggunakan
needle, kemudian ditusukkan pada bagian tengah butt dan langsung dilanjutkan
dengan penggoresan di bagian slant. Setelah itu media diinkubasi pada suhu 37 °C
selama 24-48 jam (Lay 1994).
Reaksi yang dapat terlihat pada media TSIA adalah bagian butt bersifat
asam dan berwarna kuning sedangkan bagian slant bersifat basa dan berwarna
merah akibat dari fermentasi glukosa. Keseluruhan media terjadi pembentukan
asam sehingga seluruh media berwarna kuning akibat fermentasi laktosa atau
sukrosa atau keduanya. Adanya pembentukan gas pada bagian butt sehingga
media terpecah akibat pembentukan gas seperti H2 dan CO2. Seluruh media
berwarna merah karena ketiga jenis glukosa tidak difermentasikan (Lay 1994).
Uji indol dilakukan dengan menggunakan media indol yang kaya akan
triptofan. Koloni bakteri yang telah diambil dengan menggunakan needle
ditusukkan ke bagian tengah media kemudian diinkubasi pada suhu 37 °C selama
24-48 jam. Reaksi uji indol dilakukan dengan penambahan reagen Erlich-Bohme
sebanyak 2-3 tetes dan ditunggu selama 2-3 menit. Hasil uji positif terlihat dengan
terbentuknya warna merah pada permukaan media. Media indol berbentuk semi
padat sehingga dapat digunakan untuk mengetahui pergerakan bakteri. Bakteri
yang bersifat motil terlihat pertumbuhan koloni di sekitar tusukan dan di
permukaan media.
Uji Methyl Red digunakan untuk menentukan adanya fermentasi asam
campuran. Fermentasi asam campuran ditentukan dengan cara menumbuhkan
mikroorganisme dalam kaldu yang mengandung glukosa dan menambahkan
reagens Methyl Red ke dalam kaldu setelah masa inkubasi pada suhu 37 °C
selama 24-48 jam. Kaldu biakan akan berubah menjadi merah jika terjadi
fermentasi asam campuran, namun kaldu akan tetap berwarna kuning atau jingga
jika tidak terjadi fermentasi asam campuran. Uji ini sangat berguna dalam
mengidentifikasi kelompok bakteri yang menempati saluran pencernaan.
23
Uji Voges Prokauer digunakan untuk mengidentifikasi mikroorgnisme
yang memfermentasi 2,3-butanadiol yang mengakibatkan penumpukan bahan
dalam pertumbuhan. Penambahan 10 tetes 40% KOH dan 15 tetes 5% larutan
alphanapthol dalam etanol dapat menentukan adanya asetoin (asetilmetilkarbinol),
yaitu suatu senyawa pemuka dalam sintesis 2,3-butanadiol. Keberadaan asetoin
ditunjukkan oleh perubahan warna kaldu menjadi merah muda. Hasil reaksi dapat
terlihat paling lambat setelah 30 menit. Perubahan warna kaldu biakan akan lebih
jelas pada bagian yang berhubungan dengan udara karena sebagian 2,3-butanadiol
dioksidasikan kembali menjadi asetoin sehingga memperjelas hasil reaksi.
Uji sitrat dilakukan dengan menggunakan media Simmon’s citrate yang
berbentuk padat dan berwarna hijau. Media sitrat merupakan medium sintetik
dengan Na sitrat sebagai satu-satunya sumber karbon, NH4+ sebagai sumber N dan
brom thymol blue sebagai indikator pH. Koloni bakteri yang telah diambil dengan
menggunakan ose kemudian digoreskan pada permukaan media dan diinkubasi
pada suhu 37 °C selama 24-48 jam. Hasil uji positif diperlihatkan dengan
perubahan warna media dari warna hijau menjadi biru. Hal ini menunjukan
kemampuan dari bakteri yang diuji dalam menggunakan sitrat dari media sebagai
satu-satunya sumber karbon (Lay 1994).
Uji urea dilakukan dengan menggunakan media urea yang berbentuk padat
dan berwarna merah-jingga. Koloni bakteri digoreskan pada permukaan media
dan diinkubasi pada suhu 37 °C selama 24-48 jam. Hasil uji positif terlihat dengan
perubahan warna media dari merah-jingga menjadi merah-ungu karena terjadinya
proses hidrolisis urea (Lay 1994).
Uji fermentasi karbohidrat dilakukan dengan menggunakan media kaldu
karbohidrat yaitu glukosa, sukrosa, laktosa, maltosa, dan manitol yang
mengandung indikator merah fenol dan di dalam tabung terdapat tabung durham
sebagi indikator pembentukan gas. Koloni bakteri yang telah diambil dengan
menggunakan ose diinokulasi ke dalam media kemudian diinkubasi pada suhu 37
°C selama 24-48 jam. Hasil positif uji fermentasi karbohidrat diperlihatkan
dengan perubahan warna media dari merah menjadi kuning. Pembentukan gas
dapat terlihat dengan adanya gelembung gas pada tabung durham.
24
Diagram Alir Pemeriksaan Bakteri
Sampel digerus
Pewarnaan Gram
Agar darah
Agar Mac Conkey
Koloni terpisah
Isolat Murni pada agar nutrient
Pewarnaan Gram
Positif (+)
Negatif (-)
Coccus
Batang
Batang
Coccus
Uji Oksidase
Neisseria
Negatif (-)
berspora
Positif
tidak berspora
Enterobactericeae
Aerob
Non-enterobacteria
Anaerob
Bacillus sp.
Clostridium sp.
Fermentasi Laktosa (Agar Mac-Conkey)
TSIA
Indol
MRVP
Sitrat
Urea
Fermentasi Karbohidrat
Katalase
(+)
(-)
Microcaccaceae
Streptococcaceae.
Uji glukosa mikroaerofilik
Tahan asam
Tidak tahan asam
Mycobacterium
(-)
Corynebacterium
Listeria
Erysipilothrix
(+)
Micrococcus
Staphylococcus
MSA
(+)
S. aureus
(-)
S. epidermidis
Gambar 9 Diagram alir identifikasi bakteri (Lay 1994).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi cacing parasitic yang ditemukan pada insang dan saluran
pencernaan ikan nila BEST mengacu pada Woo (2006), Noga (2000) dan
Hoffman (1967), sedangkan identifikasi bakteri mengacu pada Jang et al. (1976),
Cowan (1974), dan Lay (1994). Hasil identifikasi cacing parasitik dan bakteri
pada ikan nila dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Hasil Identifikasi Cacing Parasitik dan Bakteri pada Ikan Nila BEST
Cacing (Jumlah)
Bakteri
Ikan
Insang
Saluran
Pencernaan
1
Dactylogyrus sp. (21)
Pseudodactylogyrus sp. (11)
2
-
3
Pseudodactylogyrus sp. (7)
4
5
-
Dactylogyrus sp. (22)
6
.-
Insang
Saluran
Pencernaan
-
Aeromonas sp.
Staphylococcus
epidermidis
Aeromonas sp.
Staphylococcus
epidermidis
Bacillus sp.
-
Streptococcus sp.
Aeromonas sp.
-
Staphylococcus
epidermidis
Escherichia coli
Aeromonas sp.
Escherichia coli
-
Staphylococcus
epidermidis
Sterptococcus sp.
Escherichia coli
Staphylococcus
epidermidis
Streptococcus sp.
-
Staphylococcus
epidermidis
Edwardsiella tarda
Escherichia coli
Edwardsiella tarda
-
Aeromonas sp.
Staphylococcus
epidermidis
Streptococcus sp.
Escherichia coli
Staphylococcus
epidermidis
Streptococcus sp.
Aeromonas sp.
Aeromonas sp.
Streptococcus sp.
7
Dactylogyrus sp. (25)
-
8
Dactylogyrus sp. (17)
Anisakis sp. (1)
9
.
-
Aeromonas sp.
Staphylococcus
epidermidis
Streptococcus sp.
Escherichia coli
Pseudomonas
flourescens
Aeromonas sp.
10
Pseudodactylogyrus sp. (9)
-
Aeromonas sp.
Escherichia coli
Escherichia coli
26
Cacing Parasitik pada Ikan Nila BEST (Oreochromis niloticus)
Hasil penelitian yang dilakukan pada 10 sampel ikan nila BEST
(Oreochromis niloticus) menunjukkan ikan yang terinfeksi cacing parasitik pada
insang sebanyak 6 ekor, sedangkan ikan yang terinfeksi cacing parasitik pada
saluran pencernaan hanya 1 ekor. Jumlah cacing parasitik yang ditemukan pada
insang berjumlah lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pada saluran
pencernaan. Hal tersebut dapat terjadi karena saluran pencernaan memiliki kondisi
berbeda dengan kondisi insang. Parasit yang mampu hidup pada saluran
pencernaan memiliki kemampuan untuk resisten terhadap mekanisme pencernaan
baik fisik maupun proses kimiawi, tahan melawan respon imunitas dari inang, dan
mampu bertahan di dalam usus yang memperoleh suplai oksigen sedikit (Bryant
dan Carolyn 1989).
Keberadaan dan jumlah cacing parasitik dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor instrinsik berasal dari kondisi
tubuh ikan seperti kekebalan tubuh ikan, umur ikan, dan jenis kelamin. Faktor
ekstrinsik adalah faktor yang berasal dari lingkungan ikan misalnya manajemen
pemeliharaan ikan kurang baik, yaitu kepadatan ikan dalam kolam tinggi dan
fluktuasi kualitas air pada saat penelitian dilakukan.
Menurut Noga (2000), tingkat stres ikan dapat mengganggu mekanisme
hemeostatik. Faktor musim dan suhu pada saat dilakukan penelitian juga sangat
berpengaruh terhadap pola persebaran parasit pada tubuh ikan. Suhu
mempengaruhi kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air. Kecepatan
metabolisme akan meningkat jika suhu meningkat dan suhu yang terlalu rendah
menyebabkan daya tahan tubuh ikan berkurang sehingga ikan akan mudah
terinfeksi.
Jenis Cacing Parasitik yang Ditemukan pada Insang Ikan Nila BEST
(Oreochromis niloticus)
Dactylogyrus sp.
Dactylogyrus sp. adalah genus terbesar dari parasit monogenea. Famili
Dactylogyridae tidak kurang dari 7 genus dan lebih dari 150 spesies yang banyak
terdapat di air tawar. Cacing Dactylogyrus sp. yang ditemukan pada insang ikan
27
nila BEST (Oreochromis niloticus) memiliki panjang berturut turut (Gambar 10)
adalah 0.432 mm dan 0.4342 mm, masih termasuk ke dalam kisaran normal
panjang tubuh cacing Dactylogyrus sp. yaitu 0.3-2 mm (Noga 2000). Cacing yang
memiliki bentuk pipih seperti daun ini memiliki lekukan-lekukan, kelenjar kepala,
dan 4 spot mata pada bagian anterior. Lekukan-lekukan yang disertai oleh kelenjar
kepala berfungsi sebagai perekat (Paperna 1996). Cacing Dactylogyrus sp.
memiliki juga 16 kait pada bagian posterior tubuhnya yang terdiri dari 14 kait tepi
dan sepasang kait utama.
Siklus hidup cacing parasitik ini adalah langsung dan bersifat ovipar. Cacing
menghasilkan telur yang akan menetas sekitar 2-3 hari dan berkembang menjadi
onkomirasidium (fase infektif) selama kurang dari 24 jam. Larva-larva tersebut
harus menemukan inang baru untuk tumbuh menjadi cacing dewasa (Noga 2000).
A
B
A
F
B
C
C
D
E
Keterangan: A. Bagian Kepala, B. Spot mata (4 mata), C. Vitelaria, D. Kait
utama (2 buah), E. Kait tepi (14 buah), dan F. Faring.
Gambar 10 Dactylogyrus sp. pada pembesaran 40x (penelitian)
Dactylogyrus sp. sering menyerang ikan di kolam dengan kepadatan tinggi
dan ikan yang kekurangan pakan (Irawan 2004). Penyakit ikan yang disebabkan
28
cacing Dactylogyrus sp. disebut Dactylogyrosis dengan gejala klinis diantaranya
adalah pembengkakan pada insang, penonjolan operkulum, dan perubahan warna
pada insang. Dactylogyrus sp. memiliki kemampuan memproduksi cairan kental
berupa lendir yang berlebihan untuk penempelan maupun pergerakan cacing.
Lendir tersebut dapat menyebabkan rusaknya insang sehingga akan mengganggu
pertukaran gas oleh insang. Menurut Siregar (1995), perkembangan cacing
Dactylogyrus sp. dapat dicegah dengan meningkatkan kualitas air, memberikan
pakan yang cukup dan bermutu baik, menggunakan peralatan yang bersih, dan
melakukan pengendapan serta penyaringan air yang masuk ke dalam kolam.
Pseudodactylogyrus sp.
Pseudodactylogyrus sp. adalah salah satu cacing parasitik monogenea yang
menyerang insang dan banyak menimbulkan masalah pada ikan budidaya
(Hoffman 1977). Genus Pseudodactylogyrus termasuk ordo Dactylogyridea dan
famili Pseudodactylogyridae. Cacing parasitik yang ditemukan pada ikan nila
BEST memiliki panjang 1.017 mm (Gambar 11), masih termasuk ke dalam
kisaran panjang Pseudodactylogyrus sp. yaitu 1-1.5 mm (Noga 2000). Cacing
yang memiliki 4 spot mata ini memiliki bentuk dan ciri yang hampir sama dengan
genus Dactylogyrus. Psedodactylogyrus sp. memiliki opishaptor yang lengkap
dengan 14 kait tepi dan 2 kait utama yang terletak lebih ventral dibandingkan
dengan Dactylogyrus sp. (Hoffman 1977).
Cacing monogenea seperti Pseudodactylogyrus sp. memiliki siklus hidup
sedernana yang terdiri dari telur, larva, dan cacing dewasa. Menurut Noga (2000),
temperatur optimum untuk siklus hidup Psedodactylogyrus sp. antara 25-30 °C.
Psedodactylogyrus sp. juga bersifat ovipar dan dapat menghasilkan telur hingga
24 telur per hari. Telur cacing akan menetas menjadi larva (onkomirasidium) dan
berenang bebas mencari inang definitif untuk berkembang menjadi cacing dewasa
(Buchmann dan Bresciani 2001).
29
A
C
B
Keterangan: A. 4 Spot mata, B. 2 kait utama, dan C. Kait tepi.
Gambar 11 Pseudodactylogyrus sp. pada pembesaran 40x (Penelitian).
Cacing memakan sel-sel epitel mukosa yang dapat menyebabkan hiperplasia dan
pendarahan pada insang. Mekanisme perusakan insang juga dapat disebabkan
akibat kait yang merusak struktur insang ikan. Ikan yang terinfeksi cacing ini
memperlihatkan gejala klinis berupa pembengkakan, hiperplasia pada insang, dan
warna insang berubah menjadi pucat. Pengobatan pada ikan yang terinfeksi dapat
dilakukan dengan perendaman ikan oleh beberapa jenis obat seperti mebendazole
(1 ppm) atau praziquantel (10 ppm). Penggunaan predator telur parasit dan
onkomirasidium oleh Tubellaria telah dikembangkan menjadi strategi alternatif
untuk mengontrol keberadaan cacing parasitik (Noga 2000).
Jenis Cacing Parasitik yang Ditemukan pada Saluran Pencernaan Ikan Nila
BEST (Oreochromis niloticus)
Anisakis sp.
Anisakis sp. adalah genus dari parasit kelas nematoda dengan ordo Ascaridida dan
famili Anisakidae (Anderson 2000). Cacing Anisakis sp. (Gambar 12) dapat
menginfeksi berbagai jenis ikan baik ikan laut ataupun ikan air tawar seperti ikan
nila BEST (Oreochromis niloticus). Cacing yang ditemukan di saluran pencernaan
ikan nila BEST (Oreochromis niloticus) memiliki tubuh bulat panjang berwarna
putih transparan dan tampak jelas memiliki bagian kepala yang khas dilapisi oleh
30
lapisan kutikula pada ujung anterior tubuhnya. Lapisan kutikula berfungsi
melindungi
tubuhnya
dari
enzim-enzim
pencernaan
di
dalam
usus
(Lorenzo 2000).
Gambar 12 Morfologi Anisakis sp.
(Nuchjangreed et al. 2006)
A
B
Keterangan: A. Bagian anterior dan B. Bagian posterior
Gambar 13 Anisakis sp. pada pembesaran 10x (Penelitian).
Anisakidae memiliki siklus hidup yang kompleks. Cacing dewasa ditemukan di
dalam saluran pencernaan ikan. Produksi telur parasit dewasa dilepaskan keluar
melalui feses. Telur parasit yang dikeluarkan tersebut menetas di air. Larva
31
stadium kedua yang keluar dari telur akan ditelan oleh inang antara pertama
kemudian berkembang menjadi larva stadium ketiga awal. Inang antara pertama
dimakan oleh inang antara kedua dan kemudian masuk ke dalam usus. Inang
antara kedua selanjutnya dimakan kembali oleh ikan yang lebih besar, mamalia
laut, atau manusia dan tumbuh menjadi cacing dewasa (Parker dan Parker 2002).
Infeksi Anisakis sp. dapat menyebabkan penyakit yang disebut anisakiasis.
Ikan terinfeksi cacing Anisakis sp. dapat disebabkan akibat memakan ikan yang
lebih kecil yang mengandung larva Anisakis sp. Gejala klinis ikan yang terserang
parasit ini diantaranya, berenang tidak normal, sisik tampak pucat, frekuensi
pernafasan lebih cepat dan memproduksi mukus berlebihan. Pada manusia
penyakit anisakiasis menimbulkan gejala yang tidak spesifik bahkan sering tidak
terdiagnosa, namun pada saluran pencernaan manusia telah terbentuk ulkus akibat
memakan larva hidup cacing Anisakis sp. Tindakan pencegahan kejadian
anisakiasis yang paling efektif adalah mencegah penularan dari ikan terinfeksi
larva Anisakis yang akan dikonsumsi ke manusia, antara lain tidak memakan ikan
yang mentah, pemanasan ikan yang akan dimakan minimal hingga suhu 60 °C,
pembekuan hingga suhu -20 °C selama 24 jam, dan penggaraman pada larutan
garam pekat selama 10 hari.
Identifikasi Bakteri pada Ikan Nila BEST (Oreochromis niloticus)
Hasil yang didapatkan dari isolasi dan identifikasi bakteri pada sampel ikan nila
BEST
(Oreochromis
niloticus)
menunjukkan
seluruh
ikan
nila
BEST
(Oreochromis niloticus) terinfeksi bakteri pada insang dan saluran pencernaannya.
Beberapa jenis bakteri yang ditemukan diantaranya ada yang bersifat patogen dan
bersifat non patogen pada ikan. Bakteri patogen merupakan bakteri yang dapat
menimbulkan penyakit. Bakteri non-patogen merupakan bakteri yang tidak
menimbulkan penyakit tetapi dapat hidup pada organisme lain dan tidak
menghambat kehidupan inangnya. Menurut Pelczar dan Chan (1986), faktor yang
dapat mempengaruhi patogenitas suatu mikroorganisme yaitu kemampuan untuk
masuk ke dalam tubuh inang, kekebalan tubuh inang, dan derajat kemampuan
untuk menimbulkan penyakit.
32
Jenis Bakteri yang Ditemukan pada Insang dan Saluran Pencernaan Ikan
Nila BEST (Oreochromis niloticus)
Pseudomonas flourescens
Bakteri Pseudomonas flourescens termasuk Gram negatif yang dapat ditemukan
secara luas baik di tanah, air laut, atau air tawar. Menurut Goto (1992),
Pseudomonas fluorescens termasuk ke dalam ordo Pseudomonadales dan famili
Pseudomonadaceae.
Bakteri
Pseudomonas
flourescens
sering
ditemukan
berasosiasi dengan tanaman maupun hewan sebagai bakteri flora normal atau
sebagai agen penyakit (Todar 2004).
Gambar 14 Uji biokimia bakteri (indol, sitrat, urea, laktosa, sukrosa, maltosa,
glukosa, dan manitol) Pseudomonas flourescens (Penelitian).
Bakteri Pseudomonas flourescens menyerang ikan yang masih muda dan ikan
yang sudah dewasa. Bakteri ditemukan hanya pada insang ikan nila BEST
(Oreochromis niloticus). Gambaran dan sifat bakteri yang dihasilkan dari uji-uji
identifikasi menunjukan hasil yang sama dengan gambaran dan sifat
Pseudomonas flourences pada umumnya. Morfologi sel tunggal berbentuk batang
dan bersifat motil dengan bantuan dari flagella yang polar. Bakteri tidak
memproduksi H2S, gas, indol, dan urea, namun sitrat menunjukkan hasil positif
dan glukosa, manitol, laktosa, dan maltosa, dan sukrosa dapat difermentasikan
(Gambar 14)
33
Penyakit ikan yang disebabkan oleh Pseudomonas flourescens adalah penyakit
merah (red sore diseases). Serangannya sangat ganas hingga dapat menimbulkan
kematian. Kerugian yang ditimbulkan sangat besar. Penularannya dapat melalui
air, alat-alat, bagian tubuh ikan yang telah terinfeksi, hewan lain, dan melalui
tumbuhan air. Faktor-faktor yang menunjang berkembangnya penyakit adalah
kualitas perairan yang buruk, kandungan bahan organik yang tinggi, dan
perubahan musim kering ke musim hujan.
Pencegahan penyakit yang disebabkan bakteri Pseudomonas flourescens dapat
dilakukan dengan sanitasi
perairan, pemberian pakan yang baik (mutu dan
jumlahnya), desinfektan peralatan, vaksinasi, dan program karantina ikan yang
baru datang sebelum ditebarkan ke kolam budidaya. Pengobatan untuk ikan yang
telah terinfeksi dapat dilakukan dengan perendaman dalam larutan kalium
permanganate (PK) 10 ppm-20 ppm selama 30-60 menit. Pengobatan juga dapat
dilakukan dengan pemberian pakan pellet yang dicampur oxytetracycline 30
mg/kg ikan yang diberikan setiap kali selama 7-10 hari atau dengan suntikan
oxytetracycline HCL 25 mg-30 mg/kg ikan diberikan sebanyak 3 kali setiap 3 hari
sekali (Cahyono 2001).
Edwardsiella tarda
Bakteri E. tarda adalah bakteri yang dapat menyebabkan penyakit pada ikan dan
manusia dan berpotensi fatal jika tidak segera diobati. E. tarda biasanya
ditemukan
dalam
usus
normal
ikan
dan
manusia,
namun
bersifat
patogen oportunistik yang dapat menyebabkan gastroenteritis dan diare (Verjan et
al. 2005).
Bakteri ditemukan di kedua tempat isolasi yaitu insang dan saluran pencernaan
ikan nila BEST (Oreochromis niloticus). Keberadaan bakteri pada insang ikan
dapat disebabkan akibat kontaminasi dari perairan yang terinfeksi. Bakteri
E. tarda termasuk bakteri Gram negatif dengan karakteristik anaerob fakultatif,
berbentuk batang, motil oleh peritrichous flagella, positif pada fermentasi
glukosa, tetapi negatif pada fermentasi laktosa (Gambar 15).
34
Gambar 15 Uji biokimia (TSIA, indol, sitrat, urea, laktosa, sukrosa, manitol,
glukosa, maltosa) Edwardsiella tarda (Penelitian).
E. tarda merupakan penyebab penyakit Edwarsiellosis. Serangan E. tarda pada
ikan dalam tahap infeksi ringan hanya menampakkan luka-luka kecil,
perkembangan penyakit lebih lanjut dapat berupa luka bernanah yang berkembang
dalam otot rusuk. Luka bernanah secara cepat bertambah dengan berbagai ukuran
pada fase akut, kemudian luka-luka terisi gas dan terlihat bentuk cembung
menyebar ke seluruh tubuh dan akan tercium bau busuk hasil dari hydrogen
sulfide (H2S) (Noga 2000). Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mencegah
infeksi bakteri. E. tarda masih sangat rentan terhadap banyak antibiotik,
termasuk ampisilin,
antifolates,
kloramfenikol,
siprofloksasin,
kanamisin,
sebagian besar β-laktam, dan nitrofurantoin (Stock dan Wiedemann 2001).
Aeromonas sp.
Bakteri dari genus Aeromonas merupakan organisme akuatik yang dapat
ditemukan pada air tawar terutama yang mengandung kadar bahan organik, feses,
dan lumpur yang tinggi. Aeromonas sp. merupakan mikroorganisme patogen
oportunistik dari berbagai hewan air dan darat termasuk manusia. Beberapa
spesies dari Aeromonas sp. merupakan mikroorganisme patogen bagi ikan, katak,
dan kura-kura diantaranya adalah Aeromonas hydrophilla dan Aeromonas
punctata.
Hasil pembiakan morfologi bakteri Aeromonas sp. adalah bentuknya seperti
batang dan bersifat Gram negatif. Bakteri ditemukan pada insang dan saluran
35
pencernaan ikan nila BEST (Oreochromis niloticus). Ciri Aeromonas sp. lain yang
ditemukan adalah tidak berspora, bersifat motil karena mempunyai satu flagela
(monotrichus flagella). Aeromonas sp. juga dapat memproduksi gas, indol, uji VP
dengan hasil positif dan TSIA asam pada slant dan butt (Gambar 16). Isolat
dari Aeromonas sp. yang diteliti juga menghasilkan asam dari glukosa, maltosa,
manitol, dan sukrosa (Gambar 17).
Gambar 16 Uji TSIA, urea, dan sitrat Aeromonas sp. (Penelitian).
Gambar 17 Uji fermentasi karbohidrat (glukosa, maltosa, manitol, laktosa, dan
sukrosa) Aeromonas sp. (Penelitian).
Motil Aeromonas dapat menyebabkan kondisi patologi yang berbeda-beda.
Kehebatan penyakit yang ditimbulkan dipengaruhi oleh sejumlah faktor seperti
virulensi bakteri, tingkat stres, kondisi fisiologis dari inang, dan tingkatan
resistensi genetik dari ikan tersebut (Cipriano dan Bullock 2001). A. hydrophila
menyebabkan motil aeromonas septicemia (MAS) yang merupakan penyakit
terbesar yang mempengaruhi keberhasilan budidaya ikan di seluruh dunia. Ekor
36
dan sirip ikan membusuk dan terjadi hemoragik
septisemia. Hemoragik
septisemia dikarakteristikkan oleh kemunculan dari luka kecil pada permukaan
(yang memacu pengeringan lendir pada sisik), mata menonjol keluar, hemoragik
lokal biasanya terdapat pada insang dan anus, terjadi borok (ulcers), abses, dan
penggelembungan perut (Noga 2000).
Pencegahan terhadap infeksi Aeromonas sp. dapat dilakukan melalui penyediaan
lingkungan yang optimal untuk pertumbuhan ikan, diantaranya adalah desinfeksi
peralatan dan menjaga sanitasi air kolam, karantina untuk menghindari
penyebaran penyakit, dan pemberian kekebalan dini. Pengobatan dapat dilakukan
melalui penyuntikan Oxytetracycline 25-30 mg/kg ikan atau perendaman dalam
larutan Oxytetracycline 5-10 ppm selama 24 jam, dan pemberian Oxytetracycline
50 mg/kg ikan melalui pakan yang diberikan setiap hari selama 7-10 hari.
Streptococcus sp.
Bakteri Streptococcus masuk ke dalam ordo Lactobacillales dan famili
Streptococcaceae. Infeksi bakteri Streptococcus sp. sangat banyak ditemukan pada
ikan
nila
dan
(Chang dan Plumb
menyebabkan
1996).
penyakit
Beberapa
yang
spesies
disebut
bakteri
Streptococcosis
Streptococcus
yang
menyerang ikan antara lain S. agalactiae, S. dysgalactiae, S. faccium, S. pyogenes,
S. faecalis, dan S. zooepidemicus. S. agalactiae tipe non-hemolitik merupakan
spesies
yang
paling
banyak
menimbulkan
penyakit
pada
ikan
nila
(Hardi et al. 2011).
Genus Streptococcus pada penelitian ditemukan pada insang dan saluran
pencernaan ikan nila BEST (Oreochromis niloticus). Bentuk koloni pada agar
darah kasar dan kecil, rantai pendek (tersusun atas 2-3 sel bakteri), dan tumbuh
lambat (Gambar 18). Bakteri berbentuk bulat, Gram positif, non motil, tidak
berspora, dan negatif pada uji katalase.
37
Gambar 18 Pewarnaan Gram Streptococcus sp. (Penelitian).
Proses patogenisitas dari serangan bakteri Streptococcus sp. terhadap ikan
belum diketahui dan dipelajari, namun sering ditemukan pada otak yang
menyebabkan ikan berenang dengan tidak biasa kemudian bakteri menyebar ke
seluruh tubuh ikan dan menimbulkan gejala klinis. Perubahan pada mata (mata
mengkerut, pupil mata mengecil, mata seperti berkabut (opacity), purulens hingga
sebelah mata dapat hilang). Pembengkakan mata atau eksoptalmia yang disertai
dengan pendarahan juga dapat ditemui pada mata ikan yang terinfeksi. perubahan
warna yang menghitam, ulcer, abses pada perut dan perubahan pola renang
(whirling dan gasping) dapat menjadi indikasi adanya infeksi (Hardi et al. 2011).
Manajemen kesehatan ikan terpadu (inang, lingkungan, dan agen patogen) dapat
dijadikan metode pengobatan ikan terserang oleh Streptococcus sp. pemberian
Erythromycine 50-100 mg/kg ikan/hari melalui pakan selama 21 hari atau
Oxytetracycline 50-75 mg/kg ikan/hari melalui pakan selama 10 hari, atau
Tetracycline 75-100 mg/kg ikan/hari melalui pakan selama 14 hari.
Bacillus sp.
Bakteri Bacillus sp. tersebar luas pada bermacam-macam habitat namun biasanya
banyak ditemukan di tanah. Bacillus sp. merupakan bakteri Gram positif dengan
sel batang yang tersusun rantai (Gambar 19) dan bersifat motil karena memiliki
peritrichous flagella. Bacillus sp. dibedakan dari anggota famili Bacillaceae
lainnya berdasarkan sifat-sifatnya yaitu keseluruhannya merupakan pembentuk
spora. Bacillus sp. bersifat aerob sampai anaerob fakultatif. Hasil penelitian
38
bakteri Bacillus sp. ditemukan hanya pada saluran pencernaan ikan nila BEST
(Oreochromis niloticus).
Sedikit spesies dari bakteri Bacillus sp. yang patogen terhadap vertebrata atau
invertebrata. Menurut Feliatra et al. (2004), bakteri Bacillus sp. dapat
dimanfaatkan sebagai bakteri probiotik pada beberapa ikan dan dapat
memperbaiki kualitas air dengan menyeimbangkan populasi mikroba. Bakteri
Bacillus sp. juga dapat dimanfaatkan sebagai penghambat tumbuhnya bakteri
Vibrio harveyi pada udang (Rusmana dan Widianto 2009). Bakteri Bacillus sp.
jika dipanaskan akan membentuk endospora, yaitu bentuk dorman sel vegetatif
sebagai bentuk pertahanan diri yang muncul saat kondisi ekstrim yang tidak
menguntungkan bagi bakteri.
Gambar 19 Pewarnaan Gram Bacillus sp. (Penelitian).
Staphylococcus epidermidis
Staphylococcus epidermidis menurut Jodi (2008) adalah salah satu spesies dari
famili Micrococcacea dan genus Staphylococcus yang merupakan flora normal
pada mukosa manusia dan hewan. Bakteri biasanya bersifat non patogen, namun
kadang-kadang dapat bersifat patogen oportunistik bagi inangnya. Bakteri akan
menyebabkan penyakit pada inang jika pertahanan tubuh inang sedang menurun.
Keberadaan Staphylococcus di lingkungan akuatik biasanya sebagai indikator
kontaminasi feses terhadap air (Pelczar dan Chan 1986).
Bentuk sel yang ditemukan pada insang dan saluran pencernaan ikan nila BEST
(Oreochromis niloticus) adalah coccus, bersifat Gram positif, bergerombol
39
(Gambar 20). Bakteri S. epidermidis memproduksi enzim katalase yang dapat
memecah H2O2 menjadi H2 dan O2 karena H2O2 dapat menjadi racun bagi bakteri,
selain itu proses tersebut merupakan mekanisme pernafasan dari bakteri tersebut.
Karakteristik bakteri ini juga ditunjukan oleh hasil penanaman pada agar MSA
yang membentuk zona merah (Gambar 21). Zona merah yang terbentuk
menunjukan bahwa manitol pada agar tidak di fermentasikan.
Gambar 20 Pewarnaan Gram Staphylococcus sp. (Penelitian).
Z
M
Z
M
Z
M
Z
M
Z
M
Gambar 21 Pembentukan Zona Merah pada Agar MSA (Penelitian).
Infeksi jenis Staphylococcus pada ikan jarang terjadi, namun pada penelitian yang
dilakukan Sutrisno dan Purwandari (2004), infeksi buatan Staphylococcus sp.
40
pada ikan nila air tawar dapat menimbulkan angka kematian tinggi hingga 80%.
Lesi makroskopik pada ikan nila yang diinfeksi oleh Staphylococcus sp. berupa
pembesaran abdomen akibat timbunan cairan eksudat dan proses peradangan pada
rongga peritoneum, insang pucat karena sirkulasi minimal ke daerah lamella,
nekrosis pada sirip ekor, dan erosi pada kulit daerah dorsal. Perubahan nekrosis
pada sirip ekor dan erosi kulit dapat terjadi sebagai akibat aktivitas toksin,
terutama eksotoksin yang dihasilkan (Sutrisno dan Purwandari 2004)
Escherichia coli
Escherichia coli adalah salah satu jenis bakteri yang secara normal hidup dalam
saluran pencernaan baik manusia maupun hewan yang sehat. E. coli menurut
Dwidjoseputro (1998), masuk ke dalam ordo Eubacteriales dengan famili
Enterobacteriaceae dan genus Escherichia. E. coli tersebar dengan bebas pada air
yang tercemar feses atau urin yang terinfeksi sehingga dapat dengan mudah
berada dan menular pada ekosistem perairan termasuk ikan nila BEST
(Oreochromis niloticus) yang hidup pada perairan.
Bakteri yang bersifat Gram negatif ditemukan pada insang dan saluran
pencernaan ikan nila BEST (Oreochromis niloticus). Koloni muncul di atas
permukaan media agar nutrient dan berwarna putih susu. Bakteri berbentuk
batang, tidak berspora, dan biasanya tunggal, berpasangan, atau berbentuk rantai
pendek. Uji TSIA menunjukan warna merah pada slant berubah dan kuning pada
butt (Gambar 22). E. coli bersifat anaerob fakultatif dengan suhu optimal
pertumbuhan adalah 37 °C. Bakteri ini teruji motil pada hasil uji indol dan uji
motilitas positif. Hasil uji sitrat yang diperoleh negatif ditandai dengan tidak
terjadinya perubahan warna. Uji fermentasi menunjukkan hasil positif pada semua
media (glukosa, laktosa, manitol, maltosa, dan sukrosa), namun pada beberapa
sampel bakteri hanya menunjukan hasil positif pada glukosa, maltosa, dan sukrosa
(Gambar 23)
41
Gambar 22 Uji indol, sitrat, urea, dan TSIA Escherichia coli (Penelitian).
Gambar 23 Uji fermentasi (glukosa, maltosa, manitol, laktosa, dan sukrosa)
Escherichia coli (Penelitian).
PENUTUP
Simpulan
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa keberadaa cacing parasitik yang
ditemukan pada insang jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pada
saluran pencernaan ikan nila BEST (Oreochromis niloticus). Hasil identifikasi
jenis cacing parasitik dan bakteri pada sampel ikan belum menunjukkan adanya
hubungan antara keberadaan jenis cacing tertentu dengan bakteri jenis tertentu
atau pun sebaliknya, namun keberadaan cacing parasitik dapat menjadi faktor
predisposisi infeksi yang disebabkan oleh bakteri atau pun juga sebaliknya.
Saran
Metode identifikasi yang lebih mendalam dan spesifik bahkan perlu
dilakukan untuk dapat memastikan jenis cacing dan bakteri hingga tingkat
spesies. Penelitian lanjutan mengenai kecacingan dan infeksi bakteri pada ikan
konsumsi khususnya ikan nila BEST (Oreochromis niloticus) dan dampaknya
terhadap kesehatan manusia juga perlu dilakukan. Pencegahan melalui perbaikan
sanitasi perairan, perbaikan pakan, dan kepadatan ikan yang cukup sangat
disarankan untuk mecegah infeksi baik bakteri maupun cacing. Pemasakan ikan
hingga benar-benar matang sebelum dikonsumsi juga penting untuk mencegah
penularan penyakit yang bersifat zoonosis dari ikan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah SMA. 2009. Additional records of Dactylogyrus (Monogenea) from
some cyprinid fishes from Darbandikhan Lake Iraq. Jordan J Biol Sci
2:145-150.
Afrianto E, Liviawaty E. 1992. Pengendalian Hama dan Penyakit Ikan.
Yogyakarta: Kanisius.
Amri K, Khairuman. 2003. Budidaya Ikan Nila secara Intensif. Jakarta:
Agromedia Pustaka.
Anderson RC. 2000. Nematode Parasit of Vertebrates: Their Development and .
2nd edition CAB. UK: International..
Anonim. 2008. Digenea [terhubung berkala] http://www.fishbase.org/Photo.php
[24 Maret 2012].
Anonim. 2012. A handbook of diseases of cultured Clarias (Pla Duk) in Thailand.
[terhubung berkala] http://www.fao.org/docrep/field/003/AB942E.htm
[24 Maret 2012]
Arifin OZ. 2009. NILA BEST (Bogor Enhanched Strain Tilapia). [terhubung
berkala] http://otongza.blogspot.com/2008/08/nila-best-bogor-enhanched
strain.html [14 April 2012].
Ath-thar M. 2010. Performa Ikan Nila Best Dalam Media Salinitas. Prosiding
Forum Inovasi Teknologi Akuakultur.
Badan Standarisasi Nasional. 2009. Standar Nasional Indonesia (SNI) 7550-2009.
[terhubung berkala] http//www. http://sisni.bsn.go.id [24 Maret 2012].
Bergey. 1974. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology. United States:
William and Wilkins Co Baltimore.
Bryant C, Carolyn B. 1989. Biochemical Adaptation of Parasite. London:
Chapman and Hall.
Buchmann K, Bresciani J. 2001. An Introduction to Parasitic Diseases of
Freshwater Trout. Denmark: DSR Pub.
Cahyono B. 2001. Budidaya Ikan di Perairan Umum. Yogyakarta: Kanisius.
Chamberlain NR. 2012. Pathogenic bacteria. [terhubung berkala].
http://www.atsu.edu/faculty/chamberlain/Website/gallery [30 April 2012].
44
Chang PH, Plumb JA. 1996. Histopathology of experimental Streptococcus sp.
Infection in tilapia Oreochromis niloticus L. and channel catfish Ichtalurus
punctatus refinesque. J Fish Dis 13: 251-253.
Cipriano RC, Bullock GL. 2001. Aeromonas hydrophilla and Motil
Aeromonas Septicemias of Fish. Washington DC: Fish and Wildlife
Service Division of Fishery Research.
Cowan ST, Steel’s. 1974. Manual for the Identification of Medical Bacteria
Second Edition. London: Cambridge University Pr.
Daelami D. 2001. Agar Ikan Sehat. Cianjur: Penebar Swadaya.
Duijn CV. 1973. Diseases of Fishes 3rd edition. US: Thomas (Springfield III).
Dwidjoseputro D. 1998. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Djambatan.
Feliatra. 1999. Identifikasi bakteri patogen (Vibrio sp.) di Perairan Nongsa Batam
Propinsi Riau. J Natur Indones 2: 28-33.
Feliatra, I Efendi, E Suyardi. 2004. Isolasi dan identifikasi bakteri probiotik dari
ikan kerapu macan (Ephinephelus fuscogatus) dalam upaya efisiensi
pakan ikan. J Natur Indones 6: 75-80.
Goto M. 1992. Fundamentals of Bacterial Plant Pathology. Sidney:
Academic Pr.
Gusrina. 2008. Budidaya Ikan Jilid 3. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah
Menengah Kejuruan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar
dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional.
Gustiano R, Arifin OZ, Nugroho E, 2008. Perbaikan pertumbuhan ikan nila
Oreochromis niloticus dengan seleksi famili: Balai Riset Perikanan
Budidaya Air Tawar. Media Akuakultur 3:18-27.
Hardi et al. 2011. Karakteristik dan patogenisitas Streptococcus agalactiae tipe
β-hemolitik dan non-hemolitik pada ikan Nila. J Vet 12:152-164.
Hoffman. 1977. Methods for The Diagnosis of Fish Diseases. Washington:
Amerind Publishing Co.
Irawan A. 2004. Menanggulangi Hama dan Penyakit Ikan. Solo: CV Aneka.
Jodi AL. 2008. Staphylococcus: molecular genetics. Caister Academic Pr.
978-1-904455-29-5
45
Jang SS, EL Biberstein, DC Hirsh. 1976. A Manual of Veterinary Clinical
Bacteriology and Mycology. Davis: university of California.
Kabata Z. 1985. Parasites and Diseases of Fish Cultured in The Tropics. London:
Taylor and Francis.
[KKP] Kemetrian Kelautan dan Perikanan. 2010. Target, Indonesia Penghasil
Ikan Terbesar di Dunia. Jakarta: Kementrian Kaelautan dan Perikanan
Republik Indonesia.
Krueger CL, Sheikh W. 1987. A new selective medium for isolating
Pseudomonas spp. from water. Appl Environ Microbiol 53:895-897
Lasee B. 2004. Parasitology chapter 8 on laboratory NWFHS procedures manual.
2nded. [terhubung berkala]. http://www.fws.gov/policy /aquatichandboo
[7 Maret 2012].
Latama G. 2002. Cestoda: Parasit Cacing Pada Ikan dan ke Manusia. Bogor:
Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Lay B. 1994. Analisis Mikroba di Laboratorium. Jakarta: Raja Gofindo Persada.
Levine ND. 1990. Buku Ajar Protozoologi Verteriner. Dalam: Ashadi G, editor.
Yogyakarta: Gajah Mada University Pr.
Lorenzo S. 2000. Usefulness of currently available methods for the diagnosis
anisakis simplex allergy 55: 627–633.
of
Nabib R, FH Pasaribu. 1989. Patalogi dan Penyakit Ikan. Bogor: Lembaga
Sumberdaya Informasi.
Narwiyani S. 2011. Studi Patogenisitas dan Molekul Isolat Edwardsiella tarda
pada Ikan Air Tawar di Indonesia. Yogyakarta: Universitas Gajah
Mada Pr.
Natadisastra D, Agoes R. 2005. Parasitologi kedokteran. Jakarta: EGC.
Noble ER, Noble GA. 1989. Parasitology: The Biology of Animal Parasites
Edisi ke-5. Dalam: Noerhajati Soeripto, editor. Yogyakarta: Gajah Mada
University Pr.
Noga EJ. 2000. Fish Diseases Diagnosis and Treatment. Iowa : Iowa State
University Pr.
Nuchjangreed C, Hamzah Z, Suntornthiticharoen P, Muntawarasilp PS. 2006.
Anisakid in Marine Fish from The Coast of Chon Buri Province, Thailand.
Dept of Med Sci 37 Suppl 3.
46
Pelczar MJ, Chan ECS. 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi I. Dalam: Hadioetomo,
et al., editor. Jakarta: Universitas Indonesia.
Paperna I. 1996. Parasites Infections and Diseases of Fishes in Africa. FAO
Fisheries Departement.
Parker JN, Parker PM. 2002. The Official Patient’s Sourcebook of Anisakiasis.
San Diego: ICON Health Publication.
Rukmana R. 1997. Ikan Nila Budidaya dan Prospek Agribisnis. Yogyakarta:
Kanisius.
sp.
Rusmana
I,
Widiyanto
T.
2009.
Seleksi Bacillus
biokontrol Vibrio harveyi di Tambak udang. Limnotek 16:56-63.
sebagai
Siregar AD. 1995. Penyakit Ikan dan Cara Pengendaliannya. Jakarta: Kanisius.
Soulsby EJL. 1982. Helmints, Antropods and Protozoz of Domesricated Animals,
Eds seven. London: Bailiere-Tindall.
Stock
I, Wiedemann B. 2001. Natural antibiotic susceptibilities of
Edwardsiella tarda, E. ictaluri, and E. hoshinae. Antimicrob Agents
Chemother 45: 2245-2255.
Storer et al. 1968. Elements of Zoology 3rd Edition. New York: McGraw Hill
Book Company.
Sutrisno B, Purwandari YK. 2004. Lesi patologik organ dan jaringan ikan nila
(Oreochromis niloticus) infected by Staphylococcus sp. J Sain Vet 22:
18-26.
Suyanto R. 2004. Nila. Jakarta: PT. Penebar Swadaya.
Taufik P, U Purwasih, D Sugiani, dan R Gustiano. 2008. Uji Ketahanan Penyakit
Streptococcosis dan Lingkungan pada Ikan Nila (Oleochromis niloticus)
Seleksi non seleksi. Dalam: Supriyadi H, editor. Pusat Riset Perikanan
Budi Daya.
Todar K. 2004. The Normal Bacterial Flora of Humans [Terhubung Berkala]
http://textbookofbacteriology.net/pseudomonas.html [2 Juni 2012].
Trewavas F. 1982. Tilapias: Taxonomi and Speciation . In R.S.V. Dullin and R.H
Low Mc. Connell ( Eds ). The Biology and Culture of Tilapias . ICLARM
Converence, Mamalia.
47
Verjan, Noel, I Hirono, and T Aoki. 2005. Genetic loci of major antigenic
protein genes of Edwardsiella tarda. Appl. Environ. Microbiol 71:
5654-658.
Widiastuti YR, J Subagja, R Gustiano. 2008. Reproduksi ikan nila
(Orechromis niloticus) seleksi dan non seleksi dengan pemijahan buatan:
karakter induk, telur, embrio, dan benih. J Iktio Indones 8:17-20.
William dan John. 1993. Parasitic worm of Fish. Sidney: Tailor and Francis
Publisher.
Woo PTK. 2006. Fish Diseases and Disorder Volume 1 Protozoan and Metazoan
Infection Second Eds. UK: Biddles, King’s Lynn.
Yamaguti S. 1958. Systema Helminthum. Volume ke-1. The digenetic Trematodes
of Fishes. New York: Intersciense Publishers Inc.
Yanong RPE. 2002. Nematode (roundworm) infection in fish. Sirkular
1:33570 3434.
Download