BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penulisan sejarah Indonesia mengenai sengketa tanah dan permasalahan sosialnya di wilayah Riau pada periode Orde Baru adalah salah satu tema yang menarik untuk dikaji. Berawal dari anjloknya harga minyak di pasaran internasional, kemudian diikuti dengan berubahnya arah kebijakan ekonomi nasional, yang semula bergantung pada ekspor migas, menjadi ekspor nonmigas,1 menyebabkan berubah pula prioritas penggunaan lahan di 1 Penurunan pendapatan dari minyak bumi mendorong pemerintah mengaktifkan eksport non-migas sebagai upaya peningkatan pendapatan negara. Harga minyak bumi merosot di pasaran internasional secara drastis, dari harga tertinggi US$ 35 per barrel pada Januari 1981, ketitik terendah sebesar US$ 9.83 per barrel pada Agustus 1986. Bahkan penurunan secara tajam terjadi dalam waktu yang sangat singkat, yakni dalam waktu 7 bulan harga turun dari US$ 25.13 per barrel di bulan Januari 1986 mejadi US$ 9.83 di bulan Agustus 1986. Padahal, RAPBN 1986/1987 dirumuskan berdasarkan perhitungan harga ekspor minyak US$ 25 per barrel. Maka, penurunan secara drastis praktis menginvalidasikan asumsi pembangunan pada waktu itu. Kalau setiap penurunan ekspor minyak bumi US$ 1 per barrel mengakibatkan turunnya pendapatan negara sebesar Rp. 300 milyard, maka penurunan US$ 25 per barrel menjadi US$ 15 per barrel di tahun 1986/1987 akan menurunkan pendapatan nasional sebesar Rp. 3 triliyun. Untuk mengatasi “boom minyak” itulah pemerintah mulai menggalakkan sektor non-migas. Salah satu andalan ekspor non-migas Indonesia adalah produk perkebunan, khususnya ekspor minyak sawit dan karet. Lihat dalam Noer Fauzi, Petani dan Penguasa; Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia, (Yogyakarta; INSIST, 1999), hlm. 185186. 1 provinsi Riau, yang semula merupakan wilayah industri pertambangan, menjelma menjadi kantong-kantong perkebunan baru diatas tanah pertambangan yang sebelumnya telah dikembangkan industri perminyakan.2 Kebijakan ini tentu saja menimbulkan implikasi sosial bagi perkembangan kehidupan sosial politik dan ekonomi masyarakat Riau. Implikasi sosial politik dan ekonomi itu antara lain menyebabkan munculnya sengketa tanah sebagai akibat dari ekspansi perusahaan-perusahaan perkebunan baik milik asing, pribumi maupun milik negara. Masuknya investasi non migas ini membawa masalah besar bagi masyarakat, terutama pencaplokan tanah perkebunan rakyat, yang telah menjadi mata pencaharian rakyat selama ini.3 Di mana pada masa Orde Baru, konflik yang 2 Salah satu contoh kasus yang terjadi di Riau adalah pembukaan PIR-BUN Sungai Garo di Kabupaten Kampar yang dikelola oleh PTP V. Perusahaan membangun kebun plasma kelapa sawit seluas 7.000 ha yang dipersiapkan untuk 3.500 KK petani dan kebun inti seluas 2.251 ha. setelah kebun selesai dibangun dan rumah-rumah pemukiman juga telah selesai dibuat, ternyata sebagian areal itu merupakan “jalur merah” yang diklaim oleh PT. Caltex Pasific Indonesia. Dalam hal ini, tentu saja perkebunan harus mundur, karena “prioritas utama” pemanfaatan lahan ini ada pada pertambangan. Namun demikian, perkebunan dalam hal ini PTP V tidak begitu saja mengalah karena sudah menanam modal yang besar untuk pembangunan kebun tersebut. 3 Loekman Sutrisno, “Masalah Tanah” dalam Mubyarto, dkk; Riau Menatap Masa Depan. (Yogyakarta: Aditya Media, 1993), hlm. 33. 2 terjadi menjadi lebih tajam karena negara berada dibalik perkebunan (swasta). Keberpihakan negara ini bahkan tak jarang dengan memanfaatkan aparat keamanan dan preman untuk mendukung dan menjaga kepentingan mereka (negara dan pengusaha). Aparat keamanan sipil 4 menjadi senjata pengusaha dan penguasa untuk mendapatkan tanah rakyat. Selain untuk menjaga keamanan, polisi juga berfungsi mengintimidasi masyarakat dalam suasana ketakutan.5 Modus pembangunan Orde Baru yang seperti itu jelas lebih menguntungkan kelas borjuis dan birokrat, dan bias kepentingan para pemilik modal. Hal ini dibuktikan dengan arah kebijakan pemerintah pada waktu itu yang hanya terfokus pada industrialisasi pertanian dengan mengabaikan aspek struktur penguasaan tanah. Pemerintah meneruskan program pembangunan perkebunan-perkebunan berskala besar dengan pembukaan tanah-tanah perkebunan yang luas, namun tidak melakukan kerangka kebijakan agraria yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat. 4 Polisi, TNI, Pamong Praja, Satpam Perkebunan, Swakarsa (oknum pengaman yang dibentuk oleh perusahaan) bahkan preman. 5 Suhartono W. Pranoto, Bandit Berdasi: Korupsi Berjamaah, (Yogyakarta: Impulse dan Kanisius, 2008), hlm.166. 3 Politik agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang kapitalistik dijalankan Orde Baru secara sentralistik, otoritarian dan sektoral sepanjang 32 tahun. Pilihan model pembangunan semacam itu menyebabkan terciptanya berbagai bentuk ketidakadilan sosial yang kronis, kesemerawutan tata penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam, kerusakan lingkungan dan konflik agraria yang berkepanjangan.6 Kesemua praktik ketidakadilan agraria dan lingkungan itu kian diperhebat dengan menggunakan cara penanganan yang unit militer setempat untuk tak jarang menekan setiap gerakan protes yang berhubungan dengan konflik tanah pada komunitas lokal. 7 Berhasil memang diredam, hanya sesaat, situasi ini diibaratkan seperti api dalam sekam yang sewaktu-waktu dapat juga membakar. Hal tersebut dibuktikan dengan merebaknya dikalangan rakyat dan pimpinan lokal di banyak daerah sikap sentimen anti-negara, sebagai proksi dari anti praktik rezim Orde Baru, dan merebaknya etno-nasionalisme. 8 Akibat dari apa yang pernah mereka alami, baik secara langsung maupun tidak langsung dari sengketa tanah yang terus terjadi 6 Minako Sakai, “Solusi Sengketa Tanah di Era Reformasi Politik Desentralisasi Indonesia”, google.com. diakses juni 2011. 7 Minako Sakai, “Solusi Sengketa Tanah di Era Reformasi Politik Desentralisasi Indonesia”, google.com. diakses juni 2011. 8 Andi Achdian, Tanah Bagi Yang Tak Bertanah, Landreform Pada Masa Demokrasi Terpimpin 1960-1965 (Bogor; Kekal Press, 2009), hlm. 26. 4 tanpa pernah ada penyelesaian yang memutuskan mata rantai konflik segitiga ini. Di Riau, jauh sebelum proyek Sijori diberlakukan, kasus sengketa tanah mulai muncul dari masuknya perusahaan- perusahaan konsesi hutan dan perkebunan di tahun 1970an. Walaupun jauh sebelum itu, ketika peruntukkan penggunaan lahan diprioritaskan untuk penggunaan pertambangan minyak bumi, kasus sengketa tanah antara masyarakat dengan pertambangan pernah terjadi. Namun, sengketa tanah yang terjadi secara masif ditandai ketika adanya ekspansi besar-besaran perusahaan konsesi hutan dan perkebunan sawit. 9 Ekspansi perkebunan kelapa sawit ini secara besar-besaran mulai masuk ke Riau ketika proyek segitiga perekonomian SIJORI 10 mulai digalakkan. Sejak realisasi segitiga pertumbuhan ekonomi dengan Singapura dan Malaysia (Sijori), Propinsi Riau yang 9 Hal ini dapat dikatakan karena pada masa perkebunan karet, nyaris tidak pernah terdengar adanya konflik atau sengketa tanah yang melibatkan investor dan petani karet, karena hampir sebagian besar perkebunan karet adalah milik rakyat. 10 Sejak Tahun 1988, Pemerintah Pusat “menciptakan” lagi sebuah pusat pertumbuhan baru, kali ini di wilayah Kepulauan Riau yaitu yang berhadapan langsung dengan Singapura dan Malaysia. Jika pada zaman penjajahan dan pada tahun-tahun awal kemerdekaan sampai pada masa konfrontasi 1963-1966, ekonomi Riau kepulauan “menyatu” dengan ekonomi Singapura dan Malaysia, maka perkembangan Batam dengan SIJORI-nya diharapkan akan mengembalikan hubungan ekonomi yang amat erat tersebut yang telah terbina lebih dari satu abad sebelumnya. 5 memiliki sumber minyak yang kaya, hutan yang luas, dan tenaga kerja yang murah menjadi daya tarik penanaman modal asing dan nasional. Namun, alokasi tanah dan sumber daya tidak hanya dipengaruhi oleh keperluan lokal, tetapi juga agenda luar. Arus penanaman modal asing dalam skala luas, industrialiasi, dan urbanisasi yang pesat menimbulkan banyak masalah sosial, termasuk orang-orang yang tersingkir dari tempat tinggalnya serta ganti rugi yang murah atas tanah milik pribadi yang dipakai untuk kepentingan pembangunan (perkebunan).11 Ekspansi perkebunan kelapa sawit tersebut jelas saja membutuhkan tanah yang luas untuk area perkebunan sebagai faktor produksi awal bagi keberlanjutan usaha perkebunan tersebut. Walaupun persediaan lahan cukup luas, namun apabila proses “alih fungsi” lahan dari hutan atau ladang ke perkebunan tidak mengikuti aturan yang berlaku, hal ini dapat menimbulkan konflik. Pada umumnya pembukaan “kebun baru” dilakukan pada kawasan hutan konversi atau lahan rakyat yang sudah ditanami dengan tanaman perkebunan lain seperti tanaman karet. Dimana tak jarang kawasan tersebut juga menjadi tempat tinggal masyarakat setempat. Disinilah asal mula timbulnya konflik antara rakyat dengan pengelola perkebunan besar. Sebagai contoh, kasus yang terjadi di Kabupaten Indragiri Hulu, desa Pauh Ranap, Semelinang Tebing, Punti Kayu, Pesajian, 11 Yoon Hee Kang, Untaian Kata Leluhur : Marjinalitas, Emosi, dan Kuasa Kata-kata Magi dikalangan Orang Petalangan Riau. (Pekanbaru: Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan Unri, 2005), hlm. 7. 6 dan Pematang di Kecamatan Peranap, masyarakat merasa dirugikan karena pembukaan perkebunan kelapa sawit oleh PT. Regunas Agri Utama (RAU). Ladang mereka dan kebun karet yang sudah menghasilkan dan menjadi tulang punggung ekonomi keluarga “terkena” pembukaan lahan untuk perkebunan itu. Namun rakyat tetap bertahan dan tidak bersedia menyerahkan lahan mereka kepada perusahaan karena perusahaan tidak mau memberikan ganti rugi yang layak seperti yang mereka inginkan. Sebaliknya, bagi pihak perusahaan, mereka merasa telah mengeluarkan dana yang cukup besar untuk mendapatkan HGU lahan tersebut memaksa rakyat harus menyerahkan tanahnya karena dianggap berada didalam wilayah konsesi perusahaan.12 Selain dari itu corak lain dari permasalahan tanah adalah dalam pembangunan perkebunan pola PIR. 13 Karena tanah penduduk yang terkena proyek PIR tidak mendapat ganti rugi, maka mereka mendapat prioritas menjadi petani peserta PIR. Permasalahan yang timbul disini tidak menyangkut masalah 12 Laporan Walhi, 1999. 13 PIR = Pola Perusahaan Inti Rakyat adalah pola Pelaksanaan Pengembangan Perkebunan dengan menggunakan perkebunan besar sebagai inti yang membantu dan membimbing perkebunan rakyat disekitarnya sebagai plasma dalam suatu sistem kerjasama yang saling menguntungkan, utuh dan kesinambungan. Program pembangunan perkebunan melalui pola PIR ini didasarkan pada Kepres No. 1 tahun 1986. 7 pemilikan tanah tetapi masalah kecemburuan “psikologis”. Petani yang sebelum dibukanya proyek PIR memiliki lahan yang luas merasa “iri” kepada petani yang memiliki lahan yang sempit atau yang tidak memiliki lahan, karena pada akhirnya setelah menjadi petani plasma mereka mempunyai hak yang sama dengan pemilik kebun seluas 2 ha. Di pihak lain, ada petani yang sebelum dibangunnya proyek PIR memiliki lahan yang letaknya strategis merasa kecewa setelah menjadi petani plasma, jika ia mendapatkan lahan yang letaknya “di pelosok”. Selain dari itu pengingkaran janji perusahaan kepada petani peserta plasma dalam sistem bagi hasil yang tidak sesuai dengan janji awal juga memicu terjadinya sengketa atas tanah perkebunan. Contoh-contoh diatas adalah sebagian kecil dari penyebab timbulnya sengketa tanah di Riau sebagai akibat dari pembangunan perkebunan kelapa sawit. Dengan demikian banyak pro dan kontra yang timbul akibat pembangunan perkebunan kelapa sawit tersebut. Diantaranya yang menyangkut protes terhadap pemberian izin pembukaan lahan baru untuk perkebunan kelapa sawit yang tidak dipungkiri telah banyak melanggar hak-hak rakyat, hak tanah ulayat dan sebagainya. Sengketa antara perkebunan besar dan masyarakat setempat, khususnya mengenai kompensasi atas ganti rugi tanah yang dibebaskan untuk pemakaian perkebunan, tidak jelasnya 8 batas-batas hak ulayat suatu tanah yang dimaksud yang disebabkan berbedanya perspektif hak ulayat menurut negara, rakyat setempat dan perkebunan, dan sistem bagi hasil yang tidak sesuai dengan kesepakatan awal, serta tumpang tindihnya pemanfaatan lahan mengingat peraturan perundang-undangan yang digunakan agraria tapi tidak juga hanya menggunakan undang-undang undang-undang pertambangan semakin menambah kesemerautan masalah sengketa tanah yang ada. Perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau merupakan perkebunan yang terluas di Indonesia dengan luas areal mencapai 1.302.000 ha, dengan produksi kelapa sawit menempati peringkat pertama yakni sebesar 2.722.000 t. Tidak berlebihan jika Riau merupakan sentra pengembangan kelapa sawit nasional. 14 Padahal sebelum tahun 1979 hanya ada satu perkebunan kelapa sawit di Riau yang dikelola oleh PT. Plantagen, yang kini menjadi PT. Tunggal Perkasa dengan luas kebun hanya sekitar 10.174 ha.15 Sengketa tanah yang terjadi tentu saja bukan hanya melibatkan masyarakat setempat dengan perkebunan kelapa 14 Tempo, 10 Agustus 2007. 15 Mubyarto, dkk, Permasalahan dan Prospek Perkebunan, Riau Dalam Kancah Perubahan Ekonomi Global, (P3PK UGM; Aditya Media; 1992), hlm. 82. 9 sawit, namun ada juga sengketa tanah yang melibatkan masyarakat setempat dengan perusahaan konsesi hutan, dan pertambangan, walaupun dengan skala perbandingan yang tidak sebanyak dengan yang terjadi antara masyarakat dengan perkebunan kelapa sawit Kompleksnya permasalahan serta adanya konflik kepentingan atas penggunaan tanah jika selalu dalam keadaan pembiaran seperti yang terjadi saat ini, maka tidak mungkin tidak akumulasi sengketa tanah akan terus mengalami peningkatan. Hal ini antara lain disebabkan oleh; a). Meningkatnya jumlah penduduk dan kegiatan pembangunan yang berhadapan dengan terbatasnya jumlah lahan tanah yang tersedia; b). Tiadanya kebijaksanaan tata ruang dan tata guna tanah yang mengakomodasikan berbagai kepentingan atas penggunaan tanah yang harus dilaksanakan secara konsisten (taat asas); c). Mekanisme pembebasan tanah dan pencabutan hak atas tanah yang tidak memberikan akses kepada warga masyarakat untuk turut serta di dalam proses pengambilan keputusan, terutama yang berkenaan dengan penentuan penggunaan tanah dan bentuk serta jumlah ganti rugi yang wajar diterima oleh mereka warga 10 masyarakat yang tanahnya diambil untuk keperluan pembangunan.16 Hal tersebut juga pernah dikatakan oleh Thomas Maltus pada akhir abad ke-18 yang telah memperkirakan bahwa pada akhirnya tidak dapat dihindarkan lagi kemampuan tanah dalam menjamin kepentingan hidup manusia akan jauh berada dibawah kemampuan berkembangnya jumlah penduduk dunia, dimana dalam keadaan demikian akan timbul banyak masalah.17 Persoalan tanah di Riau adalah persoalan yang kompleks, karena masalahnya tidak hanya menyangkut masalah ganti rugi saja. 18 Akan tetapi, konflik kepentingan, pihak- pihak yang bersengketa, dan tumpang tindihnya regulasi yang ada turut memperparah pemecahan masalah ini. B. Perumusan Masalah Permasalahan pokok studi ini adalah tentang sengketa tanah yang terjadi antara rakyat, perkebunan dan pertambangan yang melibatkan negara dalam sengketa-sengketa tanah yang 16 “Lembaga Pembebasan Tanah dalam Tinjauan Hukum dan Sosial”, Prisma, NO.4 Tahun XVIII, 1989. 17 Setiady Kartasaputra, Hukum Tanah Jaminan UUPA Bagi Keberadaan Pendayagunaan Tanah, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991), hlm. 1. 18 Riau Dalam Kancah Perubahan Ekonomi Global, P3PKUGM, (Yogyakarta: Aditya Media, 1992), hlm. 33. 11 terjadi. Pembahasan akan difokuskan pada pola-pola sengketa tanah, keterlibatan negara dalam bentuk regulasi dan pemberian perizinan serta unsur-unsur sosial politik lain yang berkaitan dengan sengketa-sengketa tersebut. Untuk memudahkan dalam melakukan analisis, dirumuskan beberapa pertanyaan pokok penelitian, yakni sebagai berikut ini; 1. Mengapa Terjadi sengketa tanah di Provinsi Riau pada Masa Orde Baru? 2. Bagaimana negara terlibat dalam sengketa tanah tersebut? 3. Bagaimana reaksi masyarakat ? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berangkat dari upaya memahami persoalan sengketa tanah itu pula yang memperkuat argumen kami untuk memilih Riau sebagai lokasi penelitian. Tujuan penulisan ini adalah mengungkapkan fenomena historis dari permasalahan sengketa tanah yang seolah- olah tidak pernah terselesaikan dengan menganalisis dampak dari kebijakankebijakan ekonomi yang dikeluarkan Orde Baru terhadap masalah agraria. Mengidentifikasi beberapa jenis sengketa tanah yang pernah terjadi di Riau. Sehingga menghasilkan suatu kebijakan 12 yang berguna untuk penataan kembali struktur penguasaan, pengelolaan, dan pemanfaatan tanah. Agar tujuan dari adanya investasi perkebunan untuk mendatangkan kesejahteraan baik bagi masyarakat setempat maupun pelaku kegiatan tersebut benar-benar dapat terwujud dengan nyata. Kajian ini diharapkan mampu melengkapi data-data tentang sengketa tanah di Riau. Dengan demikian diharapkan akan timbul kesadaran bagi masyarakat, negara dalam hal ini pemerintah, dan pengusaha untuk mengerti dan memahami hak dan kewajibannya masing-masing. Dengan demikian tidak akan ada lagi kasus- kasus penyerobotan lahan 19 yang diklaim oleh masing-masing pihak. Bagi peneliti, kajian ini mampu memberikan masukan sebagai bahan perbandingan dalam mengkaji dan memahami suatu permasalahan anomali fungsi negara bagi rakyatnya. Selain itu uraian tentang sengketa tanah akan membuka sisi lain dari sejarah Riau, dimana jaringan konflik antara negara, perusahaan dalam hal ini perkebunan dan pertambangan dan rakyat terbentuk. 19 Sengketa tanah yang berawal dari penyerobotan lahan yang dklaim oleh masing-masing pihak sebagai miliknya, perlu diteliti ulang, apakah disebabkan oleh kebijakan mengenai masalah tanah yang tumpang tindih, lemahnya hukum dalam hal ini hukum pidana bila memang sudah berperkara, ada yang salah dengan pelaksanaan UUPA, atau mental masyarakat kitakah yang bermental penyerobot. Untuk itulah kajian ini dibuat. 13 D. Tinjauan Pustaka Penelitian tentang sengketa tanah di Riau secara khusus belum banyak dilakukan. Sedikitnya karya-karya historiografi yang mengkaji permasalahan sengketa tanah yang terjadi di Riau pada kurun periode Orde Baru dan keterbatasan penulis baik dari segi pengetahuan dan pemahaman kesejarahan penulis sebagai pemula maupun dari sisi akses informasi yang dimiliki, menyebabkan penggunaan data-data dari organisasi-organisasi masyarakat yang peduli dengan permasalahan sengketa lahan sangat banyak digunakan. Hal ini terasa perlu dilakukan dan dirasa sangat berguna untuk menjadi sebuah model penulisan atau sumber-sumber ide mengenai permasalahan sengketa tanah antara negara, rakyat, dan perusahaan yang terjadi di Riau. Karya-karya yang mengkaji masalah seputar sengketa tanah khususnya masalah perkebunan juga dapat dijadikan sebagai pembentuk pemahaman seputar kasus sengketa tanah. Salah satu karya yang dirasa sangat berharga untuk pemahaman mengenai permasalahan tanah, adalah karya Anu Leonela dan R. Yando Zakaria,20 buku ini berisi berbagai tulisan dari penulis yang memiliki latar belakang studi yang berbeda dengan kajian yang kaya seputar permasalahan tanah di Indonesia. Khususnya yang 20 Anu Leonela & R. Yando Zakaria, Berebut Tanah; Beberapa Kajian Perspektif Kampus dan Kampung, (Yogyakarta; INSIST PRESS, 2002). 14 berhubungan dengan hak-hak atas tanah dan sumber daya alam oleh masyarakat lokal (petani maupun masyarakat adat). Konflik vertikal yang sering muncul sejak kapitalisasi tanah dan masuknya perusahaan- perusahaan dengan modal asing di Indonesia adalah sebuah proses liberalisasi ekonomi yang saat ini terjadi dalam bentuk yang agak berbeda. Negara sering bekerja sama dengan pemilik modal untuk meningkatkan pendapatannya dan dalam waktu bersamaan mengatur hak- hak masyarakat atas sumber daya alam dan tanah. Pengaturan ini tentu saja dengan asumsi bahwa yang punya kuasa mutlak atas tanah (hutan atau tanah tak berguna) adalah Negara, yang pada akhirnya akan dimanfaatkan atas nama pembangunan dan ekonomi negara. Pembangunan ekonomi ini dikatakan oleh rezim Orde Baru akan membawa keuntungan untuk semua lapisan masyarakat. Namun kenyataannya, pembangunan ini lebih banyak dijadikan alat negara dan perusahaan untuk mengeksploitasi tanah dan sumber daya alam serta hak- hak masyarakat adat dan petani. Buku ini lebih menjelaskan secara umum bagaimana peran negara dalam mengatur hak-hak masyarakat untuk mengakses tanah menjadi sumber pendapatan mereka. Akan tetapi, pembahasan mengenai Riau tidak ditemukan didalam kajiannya. 15 Noer Fauzi, 21 yang berisi mengenai politik agraris yang menerangkan pasang surut nasib petani dari zaman ke zaman dengan berbagai kebijakan- kebijakan agraria yang pernah berlaku di Indonesia dari penguasa satu ke penguasa lainnya. Salah satu poin penting yang terdapat dalam karya ini adalah perubahan penguasa politik Orde Lama ke Orde Baru yang berakibat pada berhentinya pelaksanaan kebijakan populisme dan dimulainya skenario politik agraria yang baru. Perkembangan selanjutnya adalah berubahnya seluruh sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Retorika 'revolusi' dan praktek politik agraria populis yang terjadi sebelumnya digantikan secara drastis dan dramatis oleh retorika “pembangunan” dan praktek politik agraria kapitalis. Dimana kebijakan pertanahan Orde Baru merupakan akibat dari proses adaptasi penguasa terhadap strategi kebijakan ekonomi global. Karl J. Pelzer,22 Toean Keboen dan Petani, Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatra Timur 1863- 1947. Buku ini dicetak pertama kali tahun 1985 oleh penerbit Sinar Harapan, 21 Noer Fauzi, Petani dan Penguasa; Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia, (Yogyakarta; Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, 1999). 22 Karl J. Pelzer, Toean Keboen dan Petani, Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatra Timur 1863- 1947, (Jakarta; Sinar Harapan, 1985). 16 kemudian dicetak kembali oleh CV. Muliasari. Karl melakukan penelitian terinspirasi dari ketegangan yang terjadi antara tiga kelompok penting yang terdapat di Sumatra Timur yakni: para pengusaha perkebunan, sultan-sultan Indonesia dan Pemerintah Hindia Belanda. Ketegangan tersebut lebih menyangkut urusan tanah yang diduduki oleh usaha-usaha Onderneming atas dasar perjanjian sistem pinjam-sewa. Di lain pihak, para sultan kehilangan hak mereka atas tanah-tanah tersebut. Dalam buku ini Karl meneliti sistem agraria yang berlaku di Sumatra Timur, salah satu contoh yang diambil dalam penelitiannya ialah melihat etnis Batak Toba dan Jawa. Dua etnis ini merupakan orang-orang yang termasuk ke dalam kelompok tak bertanah. Dalam buku ini juga ada disinggung mengenai Riau dan Siak tapi tidak ada kajian yang mendalam tentang dua daerah tersebut. Penggunaan Tanah dan Tenaga Kerja: Jawa di Masa Kolonial oleh Jan Breman, 23 banyak menjelaskan aspek-aspek dalam masalah tanah, antara lain masalah tanam paksa, perubahan hak atas tanah, perekonomian para petani, politik kolonial tentang tanah dan masalah tenaga kerja. Dimana Jan menyimpulkan bahwa politik kolonial tentang tanah dan aspek- 23 Jan Breman, Penggunaan Tanah dan Tenaga Kerja: Jawa di Masa Kolonial, (Jakarta; LP3ES, 1986). 17 aspek lainnya cenderung mengucilkan petani marginal dan buruh tani yang tidak mempunyai tanah. Yahya Muhaimin, Bisnis dan Politik Orde Baru,24 buku ini menjelaskan bagaimana sistem kebijakan perekonomian pada masa Orde Baru. Pemerintah Orde Baru pada tanggal 1 Januri 1967 memberlakukan Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Atas nama pembangunan dibutuhkanlah modal dan teknologi yang diharapkan dapat memberikan implikasi trikcle down effect bagi masyarakat. Penyebaran pertumbuhan sosial dan ekonomi secara spontan melalui penanaman modal itu memberi arti bahwa pemerintah harus menumbuhkan dan melindungi borjuis nasional dan asing. Segala kebijakan-kebijakan negara yang dikeluarkan, disesuaikan untuk ‘menarik’ dan mendorong investasi datang ke Indonesia dengan fokus utama investasi modal asing, salah satunya dengan merancang kebijakan negara untuk mengintegrasikan kembali perekonomian Indonesia kedalam struktur kapitalisme dunia. Riau Menatap Masa Depan, kumpulan tulisan mengenai Riau yang ditulis oleh Mubyarto, dkk. Buku ini banyak menjelaskan mengenai pembangunan Riau yang tidak hanya 24 Yahya Muhaimin, Bisnis dan Politik Orde Baru, (Jakarta; LP3ES, 1991). 18 berskala nasional tapi juga bersifat internasional dengan dibuatnya kebijakan yang dikenal dengan pembangunan SIJORI.25 Tidak hanya menjelaskan perkembangan Riau dari segi industrialisasi akibat penetapan kawasan SIJORI, tapi juga menampilkan tulisan-tulisan yang menjelaskan akibat- akibat yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut, seperti masalah kedatangan tenaga kerja dari luar daerah, tidak meratanya pembangunan, semakin sempitnya akses masyarakat terhadap tanah ulayatnya dan lain-lain. E. Ruang Lingkup Penelitian Studi ini memilih persoalan sengketa tanah yang melibatkan negara, rakyat, dan perusahaan (perkebunan dan pertambangan) pada masa Orde Baru tahun 1967-1998 di Riau. Permasalahan pokok studi ini adalah tentang sengketa tanah yang terjadi antara rakyat, perkebunan dan pertambangan serta keterlibatan negara dalam sengketa-sengketa yang terjadi tersebut. Pembahasan akan difokuskan pada pola-pola sengketa tanah, keterlibatan negara dalam bentuk regulasi dan pemberian perizinan serta unsur-unsur sosial politik lain yang berkaitan dengan sengketa-sengketa tersebut. 25 Mubyarto, dkk. Riau Menatap Masa Depan. (Yogyakarta: Aditya Media, 1993), hlm. 43. 19 Lingkup permasalahan dibatasi pada perkebunan- perkebunan besar swasta dan nasional dan pertambangan dalam hal ini minyak bumi yang terdapat di wilayah Riau yang terlibat konflik sengketa tanah dengan masyarakat setempat ataupun antara perkebunan dan pertambangan. Lingkup spasial adalah Riau pada masa Orde Baru khususnya di wilayah-wilayah yang mengalami konflik. Dengan menganalisis beberapa perkebunan besar swasta dan nasional pada beberapa titik kantong-kantong perkebunan yang terdapat di wilayah Riau. Sekaligus pertambangan minyak bumi yang juga mengklaim hak konsersi penggunaan lahan diatas tanah perkebunan yang sudah ada. Pemilihan wilayah Riau yang dikenal sebagai wilayah bekas Kerajaan Melayu, seperti Siak Sri Indrapura26 , Bintan, Tumasik, 26 Secara etimologis terdapat berbagai pendapat tentang asal-usul kata “Siak”. Ada yang beranggapan bahwa kata Siak berarti penjaga mesjid (gharim; dari bahasa Arab) dan juga berarti orang yang mengetahui tentang seluk beluk agama Islam. Pendapat lain menyatakan bahwa Siak berasal dari kata “Lasiak” (bahasa Batak) yang artinya lada. Menurut cerita rakyat, suatu ekspedisi Batak pernah ke Siak, dalam perjalanan mengaliri sungai Siak mereka melihat bnyak pohon lada dipinggir-pinggir sungai Siak. Ada juga yang mengatakan bahwa Siak berasal dari kata “Suak”, yaitu suatu tempat/ kampung yang dialiri oleh anak sungai kecil yang banyak terdapat disepanjang sungai Siak. Pendapat lain menyebutkan bahwa Siak berasal dari kata “Siaksiak”, nama sejenis tumbuhan rumput-rumputan yang akar dan buahnya oleh penduduk banyak dijadikan sebagai obat. Muchtar Lutfi, Sejarah Riau, (Pekanbaru; Penerbit Riau, 1977), hlm. 14. 20 Melaka, Kandis, Kuantan, Keritang, Indragiri, Gasib, Rokan, Segati, Pekan Tua, serta Andiko Nan 44 atau Kampar dikarenakan wilayah ini secara historis memiliki peranan yang sangat penting baik pada masa pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan terutama pada masa Orde Baru. Peranan tersebut dapat dilihat dari sumbangsih Riau dalam meningkatkan pendapatan negara, khususnya melalui ekonomi minyak. Tidak kurang dari 50 tahun anggaran pendapatan negara (APBN) republik ini telah bersandar pada hasil minyak bumi dari Riau. Hasil minyak bumi Riau telah memberikan 60% lebih dari total devisa negara untuk kepentingan ekonomi Indonesia. 27 Ini belum lagi jika diukur dari hasil tambang lainnya, seperti bauksit di Bintan, timah di Singkep dan gas alam di Natuna serta hasilhasil sektor lainnya, seperti perkebunan dan perikanan. Lingkup spasial adalah Riau pada masa Orde Baru khususnya di wilayah-wilayah yang mengalami konflik sengketa tanah. Lingkup temporal difokuskan pada tahun 1967-1998. Lingkup ini meliputi masa pemerintahan Soeharto pada kurun Repelita I-Repelita V. Dimana pada masa Orde Baru itulah lahir 27 Mubyarto, dkk, Permasalahan dan Prospek Perkebunan, Riau Dalam Kancah Perubahan Ekonomi Global, (Yogyakarta: P3PK UGM; Aditya Media; 1992), hlm. 157. 21 kebijakan yang bersifat non migas yang membawa perubahan yang sangat signifikan dalam kehidupan masyarakat Riau. F. Pendekatan dan Kerangka Analitis Pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini adalah pendekatan multidimensional (multidimensional approach), 28 yang berarti bahwa penilaian atas sumber- sumber data yang diperoleh ditentukan oleh berbagai aspek, sehingga memunculkan pemahaman utuh mengenai Sengketa Tanah yang terjadi di Riau. Pendekatan etnohistoris, ilmu sosial, ekonomi dan kebudayaan juga digunakan untuk memecahkan permasalahan yang ada. Hal ini tentu saja sangat berguna mengingat keterkaitan antara dunia sosial dan kultural dengan dunia ekonomi berkenaan dengan permasalahan sengketa tanah yang terjadi antara negara, rakyat, dan perusahaan dalam kurun 1967- 1998 pada masa Orde Baru dapat membantu menganalisis atas berbagai fenomena yang ada, sehingga hasilnya dapat sesuai dengan yang diharapkan. Berdasarkan judul tulisan diatas, kerangka analisis yang digunakan sebagai peta kerja adalah tanah, pola pemilikan tanah, sengketa tanah dan ketimpangan kepentingan antara negara, rakyat dan perusahaan yang melahirkan konflik sengketa tanah. 28 Sartono Kartodirdjo. Pendekatan Ilmu-ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 28. 22 Tanah merupakan hal yang mendasar yang paling dibutuhkan oleh manusia, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Selain dimanfaatkan untuk kepentingan bercocok tanam, tanah juga memiliki nilai religi bagi masyarakat yang ada diatasnya. Dengan tanah, manusia bisa tumbuh, hidup dan berkembang. Karena diatas tanahlah semua aktivitas-aktivitas mendasar manusia dilakukan. Penjelasan dalam ensiklopedia tanah adalah campuran bagian-bagian batuan dengan material serta bahan organik yang merupakan sisa kehidupan yang tebal pada permukaan bumi akibat erosi dan pelapukkan karena proses waktu. 29 Menurut Fiederich Fallon, seorang ahli geologi tanah, tanah adalah lapisan bumi teratas yang terbentuk dari batu-batuan yang telah lapuk. Sedangkan menurut E. Saifudin Sarief, tanah adalah benda alami yang terdapat dipermukaan bumi yang tersusun dari bahan-bahan mineral sebagai hasil pelapukkan batuan dan bahan organik (pelapukkan sisa tumbuhan dan hewan), yang merupakan medium pertumbuhan tanaman dengan sifat-sifat tertentu yang terjadi akibat gabungan dari faktor-faktor alami, iklim, bahan 29 Lihat ezafauzinotes.blogspot.com/2012 diakses pada tanggal 22 Oktober 2012 jam 12.10 WIB. 23 induk, jasad hidup, bentuk wilayah dan lamanya waktu pembentukkan.30 Konsep tanah apabila dikaitkan dengan usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan memanfaatkan dan mengelola tanah, perkebunan. maka tanah Perkebunan tidak adalah bisa segala dipisahkan dari kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat.31 Pembukaan perkebunan yang luas untuk kebutuhan investor membutuhkan ketersediaan tanah yang luas pula. Selain, menggunakan modal asing untuk membiayai sebagian investasi perkebunan, negara juga turut terlibat didalam mengembangkan industri perkebunan berskala besar. Akses pengelolaan tersebut dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara. Badan Usaha Milik 30 http://fransischa09.blogspot.com/2012/05/pengertiantanah,html. Diakses tanggal 5 Oktober 2012 jam 12.10 WIB. 31 Mengacu pada UU No. 18 Tahun 2004 mengenai Perkebunan serta Buku Konsep dan Defenisi Baku Statistik Pertanian (BPS) dalam Pusat Informasi Pertanian dan Perkebunan, Pembakuan Statistik Perkebunan Berbasis. Diakses tanggal 4 Mei 2015 jam 12.15 WIB. 24 Negara (PTP II, IV, V dan VI) menjadi pelopor pembangunan perkebunan di Riau, baik menggunakan modal pemerintah maupun modal perusahaan sendiri sejak tahun 1979. Namun kemudian, modal pemerintah perindustrian perkebunan, menggalakkan investor tidak cukup akibatnya asing. Demi kuat menopang pemerintah kebijakan mulai tersebut, disiapkanlah lahan yang luas untuk para investor menanamkan modalnya diperkebunan. Dengan berbagai kemudahan khususnya dalam pemberian izin usaha perkebunan, mulailah alih fungsi hutan dan penguasaan tanah dilakukan, dimana jauh sebelumnya telah ada penduduk asli yang mendiami wilayah atau lahan yang termasuk kedalam konsesi lahan perkebunan tersebut dan ada juga yang merupakan lahan perkebunan rakyat dan hutan larangan dalam tanah ulayat. Akibatnya, muncullah ketidaksenangan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai terlalu mementingkan kepentingan investor dan mengabaikan kepentingan masyarakat pada umumnya yang pada akhirnya melahirkan sengketa tanah. Sengketa adalah sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertengkaran, atau perbantahan. 32 Sengketa merupakan proses di mana terjadi dua pandangan terhadap satu 32 Kartini Muljadi, Hak-hak atas Harta Kekayaan; Hak-hak atas Tanah, (Jakarta: PT. Kencana Prenada, 2008), hlm. 64. 25 objek, sehingga menyebabkan benturan kepentingan terhadap objek tersebut. Dalam sebuah persengketaan biasanya melibatkan 2 (dua) pihak atau lebih. Hal ini dilihat dari penyebab terjadinya sebuah sengketa. Sengketa bisa terjadi akibat klaim yang dilakukan oleh lebih dari satu pihak terhadap sesuatu objek yang menyebabkan perselisihan tersebut terjadi. Persengketaan model ini ditinjau dalam aspek hukum, cenderung bersifat perdata. Hal ini karena objek yang dipersengketaan berupa sesuatu barang, benda atau harta. Dalam hal ini, peran negara semakin besar sesuai dengan seberapa besar peran negara dalam mengatur urusan masyarakatnya. Kebanyakan kasus-kasus sengketa tanah yang terjadi merupakan sengketa tanah yang bersifat lokasi Hutan Tanaman Industri (HTI), kebun kelapa sawit, tanah telantar dan tanah pemerintah. Sumber sengketa diakibatkan oleh beberapa hal, yakni terutama kekurangan informasi, kesalahan informasi, perbedaan pandangan, interpretasi terhadap data dan perbedaan penafsiran terhadap prosedur yang telah ditetapkan mengenai penguasaan dan pengelolaan tanah. Sengketa atau konflik juga dapat terjadi karena perbedaan kepentingan stakeholders, misalnya satu pihak menginginkan 26 suatu wilayah dijadikan kawasan konservasi, sebaliknya pihak lainnya berfikir untuk kepentingan budi daya. Konflik juga dapat muncul karena komunikasi antar stakeholder yang kurang lancar, sehingga menyebabkan munculnya aksi-aksi protes yang mengarah kepada terjadinya konflik sosial. Konflik sosial dari kasus-kasus yang menyangkut sengketa di bidang pertanahan dapat dikatakan tidak pernah surut, bahkan mempunyai kecenderungan untuk meningkat kompleksitas permasalahannya maupun di dalam kuantitasnya seiring terjadinya dinamika dibidang ekonomi, sosial, politik. 33 Tanah sebagai hak ekonomi setiap orang rawan memunculkan konflik maupun sengketa. Sengketa pemilikan tanah dilihat dari bentuknya dapat diklasifikasikan menjadi dua. Pertama, sengketa pemilikan tanah melibatkan dua individu atau lebih terkait keabsahan pemilikan hak atas tanah. Sengketa pemilikan tanah model ini lebih bersifat parsial dan horizontal. Kedua, sengketa pemilikan tanah yang melibatkan pemerintah sebagai penyelenggara negara, sengketa pemilikan tanah penyelenggara model negara, ini melibatkan swasta pemerintah sebagai pengelola sebagai yang 33 Maria Soemardjono, Mediasi Sengketa Tanah (Potensi Penerapan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) Di Pertanahan (Jakarta : Penerbit Kompas, 2008), hlm. 56. 27 mendapatkan izin melalui kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dan masyarakat sebagai bagian integral dari negara, maka dari itu sengketa pemilikan tanah model ini lebih bersifat vertikal dan struktural.34 Tipologi kasus-kasus di bidang pertanahan secara garis besar dapat dipilah menjadi 5 kelompok,35 yakni sebagai berikut : 1. Kasus-kasus berkenaan dengan penggarapan rakyat atas tanah-tanah perkebunan, kehutanan, dan lain-lain. 2. Kasus-kasus berkenaan dengan pelanggaran peraturan landreform 3. Kasus-kasus berkenaan dengan ekses-ekses penyediaan tanah untuk pembangunan 4. Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah 5. Sengketa berkenaan dengan tanah ulayat. Sengketa kepemilikan tanah di Indonesia disebabkan oleh beberapa hal, pertama, perubahan sifat proyek pembangunan dari proyek perbaikan kehidupan sosial ekonomi masyarakat kepada proyek yang bertujuan meningkatkan kemampuan ekspor Negara. 34 H. Abdurrachman, Kedudukan Hukum Adat dalam Perundang-undangan Agraria Indonesia (Jakarta: Penerbit Akademika Pressindo, 1994). 35 Nurhasan Ismail, Mediasi Sengketa Tanah. (Jakarta: Penerbit Kompas, 2008), hlm. 48. 28 Kedua, adanya standar ganda di bidang administrasi pertanahan. 36 Di samping UUPA 1960 muncul juga berbagai undang-undang yang mengatur pemanfaatan dan penguasaan tanah yang dikeluarkan oleh berbagai departemen yang jiwa dari undang-undang itu bertentangan dengan jiwa UUPA 1960, seperti UU. Pertambangan, UU. No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, dan UU Transmigrasi serta undang-undang lainnya. Ekses yang sangat berpengaruh dalam menghambat pelaksanaan kerangka strategis kebijakan pemerintah dalam sektor agraria agar dapat terlaksana secara optimal adalah sengketa agraria yang bersifat struktural.37 Sengketa agraria yang bersifat struktural merupakan sengketa agraria yang diakibatkan oleh kebijakan pemerintah dalam bidang pertanahan. Kebijakan bidang agraria yang lebih memprioritaskan pembangunan perkebunan berskala besar yang hanya didominasi oleh segelintir 36 Maria Soemardjono, ibid, hlm. 56. 37 Usep Setiawan, Akhir Tahun Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) atas Dinamika Politik Agraria Tahun 2007 dan Proyeksi Tahun 2008 ; Antara Harapan dan Hambatan. 2007. http://serikat-tani-nasional.blogspot.com/2007/12/akhir-tahunkpa-atas-dinamika-politik.html (diakses tanggal 5 Januari 2010). 29 orang saja. 38 Hal ini mengakibatkan semakin sempitnya akses masyarakat terhadap penguasaan dan pengelolaan tanah. Akses masyarakat terhadap tanah merupakan indikator dalam membangun kedaulatan negara secara ekonomi, politik, sosial dan kebudayaan. Dalam kenyataannya, intensitas dan kompleksitas sengketa tidak dapat dengan mudah di simplifikasikan. Sering kali suatu sengketa, dilihat hubungan antara akar dan batang permasalahan yang bersifat kompleks. Walaupun pelaku yang berkonflik hanya dua pihak tetapi latar belakang sejarah, budaya dan politik lokal yang ada di suatu tempat dan waktu menyebabkan suatu konflik selalu bersifat kompleks. Dengan pendekatan studi sejarah ekonomi agraria kajian ini bukan saja membandingkan fakta tetapi juga mampu mendalami mengapa sejarah yang demikian terjadi. G. Metode Penelitian Sumber Studi ini adalah studi sejarah. Maka metode penelitian yang digunakan untuk penyusunan tulisan ini adalah metode 38 Joyo Winoto, Reforma Agraria dan Keadilan Sosial (Jakarta; Pusat Hukum dan Hubungan Masyarakat Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, 2008), hlm. 28. 30 penelitian sejarah.39 Data-data yang digunakan dalam tulisan ini adalah sumber primer dan sumber sekunder.40 Langkah awal yang dilakukan ialah dengan mengumpulkan sumber (heuristik). Sumber yang dikumpulkan terdiri dari sumber primer dan sumber sekunder. Sumber yang digunakan dalam merekonstruksi sejarah sengketa tanah di Riau yang melibatkan negara, rakyat dan perusahaan pada masa Orde Baru diperoleh dari kantor Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Badan Arsip Daerah Provinsi Riau, Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Wilayah Provinsi Riau, Perpustakaan Universitas Gadjah Mada, Perpustakaan FIB-UGM, Perpustakaan Pasca-UGM, Perpustakaan Santo Ignatius, Monumen Pers Nasional Solo, Perpustakaan Universitas Riau, data-data dari LSM terkait dan jurnal- jurnal, surat kabar , serta artikel online yang bisa diakses lewat internet. Untuk menangkap memori kolektif masyarakat Riau dalam memandang permasalahan sengketa tanah yang dihadapi, maka sumber lisan juga ikut digunakan. Sumber lisan ini diperoleh melalui hasil wawancara dengan masyarakat setempat yang bergelut dengan persoalan sengketa tanah yang terjadi pada masa Orde Baru. Wawancara tersebut dilakukan terhadap para pelaku 40 Lihat, Louis Gottchalk, Mengerti Sejarah (terjemahan Nugroho Notosusanto) (Jakarta; UI Press, 1986), hlm. 18; lihat juga Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta; Benteng Budaya, 1995), hlm. 89. 31 yang terlibat langsung dari peristiwa-peristiwa seputar sengketa tanah yang terjadi. Sehingga, dengan demikian dapat mewakili perspektif sengketa tanah dari sisi masing-masing, agar hasil yang diperoleh tidaklah memihak pada siapapun. Sumber sekunder terdiri dari buku-buku, majalah, tesis, disertasi. Ditambah dengan sumber-sumber lokal yang didapat di perpustakaan Nasional RI, Perpustakaan Daerah Riau, Perpustakaan Pusat UGM. Langkah selanjutnya yang dilakukan adalah kritik terhadap sumber-sumber yang telah dikumpulkan, baik secara ekstren maupun intern, terutama terhadap sumber yang berupa arsip. Setelah ditemukan keotentikan sumber, dilanjutkan dengan melakukan kritik terhadap isi dokumen. Langkah ketiga adalah melakukan interpretasi atau analisis guna memperoleh sejumlah fakta yang terkandung didalam berbagai macam dokumen. Fakta-fakta tersebut kemudian dirangkai dengan logis dan sistematis menjadi cerita sejarah yang ditampilkan dalam bentuk penulisan yang disampaikan sedemikian rupa sehingga diperoleh suatu realita mengenai sengketa tanah yang melibatkan negara, rakyat dan perusahaan. Suatu karya sejarah tercitra secara baik tidak harus bergantung pada kemampuan dalam meniliti sumber serta mendeskripsikan faktanya, tetapi juga dibutuhkan 32 kemampuan imajinatif untuk menguraikan kisah historis secara terperinci.41 H. Sistematika Penulisan Penulisan ini akan dibagi menjadi 5 bab. Dimana setiap bab memiliki hubungan antara satu dan lainnya. Secara implisit akan terbagi menjadi 3 bagian yang menggambarkan sisi trialistis dalam penguasaan tanah oleh negara, rakyat dan swasta. Hal ini akan diuraikan seperti keterangan dibawah ini; Bab I pendahuluan, dimana dalam bab ini berisikan latar belakang masalah yang terdiri dari latar belakang historis dan berbagai alasan yang penulis kemukakan dalam memilih topik kajian ini dalam penelitian. Selanjutnya dijelaskan pula perumusan masalah yang berisi pertanyaan-pertanyaan awal untuk arah penelitian kedepannya. Selain itu, masih ada lagi pembahasan dalam bab I, pembatasan masalah harus juga dijelaskan, agar penelitian dan arah penulisan menjadi jelas. Tujuan penelitian dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, pendekatan dan kerangka teoritis, metode penelitian dan sumber yang penulis gunakan, serta sistematika penulisan menjadi bagian penting pada bab pertama ini. 41 Bambang Purwanto, Interpretasi dan Analisis Dalam Sejarah, (makalah pada penataran metodologi sejarah yang diselenggarakan oleh lembaga penelitian IKIP Negeri Yogyakarta), tanggal 16-26 Februari 1994, hlm. 7. 33 Bab II berisikan gambaran umum provinsi Riau pada masa Orde Baru yang didalam pembahasannya dibagi atas 3 bagian yaitu kondisi geografis dan ekologis Riau, tanpa meninggalkan keadaan struktur sosial, budaya dan ekonomi masyarakatnya serta penjelasan mengenai stratifikasi sosial masyarakat Riau, Kemudian diikuti uraian mengenai organisasi dan birokrasi pemerintahan di Riau pada masa Orde Baru. Pada bagian akhirnya membahas perspektif lokal Melayu-Riau dalam memandang tanah. Bab III menjelaskan proses kepemilikan dan penguasaan tanah pada masa Orde Baru terhadap hak ulayat Melayu- Riau. Pola penguasaan dan kepemilikan tanah pada masyarakat MelayuRiau pada tahun 1967-1998. Perubahan pola penguasaan dan kepemilikan tanah. Dominasi kepemilikan dan penguasaan tanah di Riau. Berikut penjelasan pembukaan luas tanah-tanah di Riau untuk para investor yang dilengkapi dengan sejumlah data perusahaan HPH yang terus meningkat tajam. Bab IV menjelaskan bagaimana sengketa tanah antara negara dan rakyat, negara dan perusahaan (perkebunan dan pertambangan, serta rakyat dan perusahaan (perkebunan dan pertambangan) terjadi lewat pemberian izin konsesi lahan yang dikeluarkan pemerintah sehingga memicu timbulnya perlawanan yang dilakukan masyarakat lokal dalam melawan dominasi 34 korporasi negara dan perusahaan yang ada di Riau. Dengan mejelaskan perlawanan dilakukan masyarakat sebagai perlawanan atas nama identitas serta senjata yang digunakan masyarakat untuk melawan dan bagaimana reaksi pemerintah atas perlawanan yang dilakukan masyarakat dan hasil dari perlawanan yang dilakukan tersebut. Bab V merupakan kesimpulan dari kajian ini yang berisi jawaban-jawaban terhadap pertanyaan yang telah diajukan pada perumusan masalah dan tinjauan terhadap argumentasi- argumentasi pada keseluruhan pembahasan dalam kajian ini. 35