tinjauan pustaka

advertisement
8
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Ubi Jalar (Ipomea batatas) Cilembu
Ubi jalar (Ipomea batatas) merupakan komoditi yang memiliki prospek
baik untuk dikembangkan. Menurut data BPS (2009), produksi ubi jalar di
Indonesia mencapai 1.947.311 ton dengan luas lahan tanam mencapai 181.183
Ha. Melihat potensi tersebut, ubi jalar dapat dijadikan pangan yang dapat
menyediakan kebutuhan karbohidrat harian untuk masyarakat.
Menurut Flach dan Rumawas (1996) dalam Haryanti (2006), ubi jalar
diklasifikasikan sebagai berikut;
Famili
: Convolvulaceae
Genus
: Ipomoea L.
Species
: Ipomoea batatas (L.) Lamk
Salah satu jenis ubi jalar yang populer di masyarakat adalah ubi jalar
cilembu. Ubi cilembu adalah kultiyar ubi jalar yang merupakan ras lokal asal
Desa Cilembu, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Ubi
cilembu memiliki keistimewaan daripada umbi lainnya yaitu bila dipanggang akan
mengeluarkan sejenis cairan lengket seperti madu, sehingga masyarakat juga
mengenal ubi cilembu sebagai ubi madu. Selain rasa yang lebih manis dibanding
umbi jenis lainnya, ubi cilembu memiliki tekstur daging yang lembut dan
berwarna lebih menarik, yaitu berwarna merah emas saat masak (setelah
dipanggang) dengan warna kulit krem. Salah satu kelebihan lainnya adalah
kandungan vitamin A 7100 RA, dimana nilai ini jauh lebih tinggi kandungannya
dibanding dengan ubi jenis lainnya. Selain itu, ubi cilembu juga memiliki
kandungan kalsium hingga 46 mg per 100 g, vitamin B-1 0,08 mg, vitamin B-2
0,05 mg, dan niacin 0,9 mg, serta vitamin C 20 mg (Direktorat Jenderal Bina
Produksi Tanaman Pangan 2002).
Menurut Suriawiria dalam Haryanti (2006), budidaya ubi cilembu dapat
dikategorikan mudah dan sederhana. Proses budidaya yang pertama harus
dilakukan adalah penyiapan tanah berupa gundukan, kemudian bagian
permukaannya ditanami batang atau bagian ujung batang. Beberapa minggu
kemudian, bibit akan tumbuh tunas, dan pada usia 1 bulan batang akan
mengeluarkan tunas yang berjalar, serta dibagian akar akan tumbuh umbi. Kurun
waktu 3 hingga 6 bulan, tergantung jenis ubi jalar, bentuk dan sifat tanah, serta
9
musim, ubi dapat dipanen dengan hasil rata-rata antara 20 hingga 35 ton per
hektar.
Panen ubi cilembu dapat dilakukan 25 minggu sejak penanaman,
sehingga usia ubi tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua. Secara konvensional,
ubi cilembu dipanen dengan cara pembabatan daun dan mencongkel ubi.
Kemudian ubi disimpan dalam rak atau digantung. Semakin lama ubi disimpan
akan semakin manis ubi jika diolah (Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman
Pangan 2002).
Menurut Suriawiria dalam Haryanti (2006), kelebihan ubi cilembu
dibandingkan dengan ubi jalar lainnya adalah rasa yang lebih manis. Hal tersebut
diduga disebabkan oleh jenis dan sifat tanah. Selain karena faktor genetika,
proses pemeraman yaitu sekitar 2 minggu setelah pemanenan juga dapat
mempengaruhi tingkat kemanisan ubi cilembu. Penyimpanan ubi cilembu biasa
dilakukan pada ruangan bertemperatur 27°C - 30°C. Proses pemeraman ini akan
mengakibatkan terjadinya pemecahan pati pada daging ubi menjadi gula yang
lebih sederhana.
Sebelum menjadi populer dengan “merek dagang” ubi cilembu pada
tahun 1980, ubi ini dikenal dengan nama ubi nirkum. Ubi cilembu mulai dikenal
setelah dijual menyebar di daerah Jawa Barat dan Jabodetabek, bahkan
diekspor sampai Singapura dan Malaysia hingga puncak penjualannya pada
tahun 1985. Namun, sekitar tahun 1990 penjualan ubi cilembu merosot karena
pemalsuan yang dilakukan sejumlah pedagang (Fatonah 2002).
Ubi cilembu dapat ditanam di daerah lain, namun karakteristik rasanya
akan berbeda karena unsur hara dalam tanah dan udara. Mayastuti dalam
Fatonah (2002) menjelaskan bahwa penanaman ubi cilembu pernah dilakukan di
daerah Garut dan Padalarang, hasilnya pun berbeda pada rasa dan kadar
“madu” yang terkandung dalam kedua ubi cilembu tersebut. Informasi komposisi
proksimat berbagai varietas ubi jalar disajikan pada Tabel 1.
10
Tabel 1 Komposisi proksimat berbagai varietas ubi jalar
Air
Energi
Lemak
KH
Serat
Protein
(%)
(Kal)
(%)
(%)
(%)
(%)
Ubi jalar putih
72,3
108
0,3
25,6
0,8
1,0
Ubi jalar putih (rebus)
62,2
149
0,4
35,8
0,6
0,6
Ubi jalar kuning
70,7
115
0,3
27,1
0,8
1,2
Ubi jalar kuning (rebus)
68,1
126
0,6
29,4
0,6
1,0
Ubi jalar merah
68,5
123
0,7
27,9
-
1,8
Jenis ubi jalar
Sumber: Kadarisman dan Sulaeman (1992)
Indeks Glikemik (IG) Pangan
Indeks Glikemik (IG) pertama dikembangkan pada tahun 1981 oleh Dr.
David Jenkins, seorang Profesor Gizi di Universitas Toronto, Kanada, untuk
membantu menentukan pangan yang paling baik bagi penderita diabetes. Pada
masa itu, diet bagi penderita diabetes didasarkan pada sistem porsi karbohidrat.
Konsep ini menganggap bahwa semua pangan berkarbohidrat menghasilkan
pengaruh yang tidak sama pada kadar glukosa darah (Rimbawan & Siagian
2004).
IG pangan adalah tingkatan pangan menurut efeknya terhadap kadar gula
darah. Sebagai perbandingannya, IG glukosa murni adalah 100. Berdasarkan
respon IG-nya, pangan dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu pangan berIG rendah (IG<55), IG sedang (IG: 55 – 70), dan IG tinggi (IG>70) (Wirakusumah
2007). IG merupakan cara ilmiah untuk menentukan makanan bagi penderita
diabetes, orang yang sedang berusaha menurunkan berat badan tubuh, dan
olahragawan (Rimbawan & Siagian 2004)
Penentuan IG pangan
Indeks glikemik didefinisikan sebagai nilai yang didapatkan dari
perbandingan kurva respon glukosa darah dari 50 g glukosa murni dengan
jumlah glukosa yang setara pada pangan acuan terhadap satu subjek yang
sama. Pangan acuan yang biasa digunakan adalah glukosa murni (D-glucose
unhydrous) atau roti putih (white bread) yang memiliki nilai IG 100. Namun,
menurut Brouns et. al (2005), pangan acuan yang disarankan adalah glukosa
murni karena setiap daerah mungkin memproduksi roti putih dengan komposisi
dan metode mengolah yang berbeda-beda.
11
Nilai indeks glikemik diperoleh melalui perhitungan rata-rata respon
kenaikan kadar glukosa darah dari sekurang-kurangnya 10 orang (FAO/World
Health
Organization
[WHO]
dalam
Udani,
Singh,
Barret,
&Preuss
2009).Perhitungan indeks glikemik dilakukan menggunakan metode area under
curve (AUC) (Wolever et.al. 2008).
Teknik dalam pengambilan darah prick-test pada jari perlu diperhatikan.
Menurut Snell (2006), secara anatomi aliran darah arteri ulnaris mengalir pada
jari kelingking dan arteri radialis mengalir pada ibu jari (Gambar 1). Proses
pengambilan darah disarankan tidak dilakukan pada jari kelingking dan ibu jari
untuk menghindari terjadinya infeksi yang bersifat sistemik.
Sumber: Snell (2006)
Gambar 1 Anatomi jari tangan manusia
Faktor yang Mempengaruhi IG
Pengolahan
Pengolahan makanan bertujuan untuk menyiapkan bahan pangan agar
dapat dikonsumsi oleh manusia (International Food Information Council
Foundation,
2010).
Selain
itu,
pengolahan
pada
dasarnya
sangat
mempertimbangkan perubahan pada kualitas karakteristik sensorinya: tekstur,
rasa, aroma, bentuk, dan warna (Fellows 2000). Pengolahan juga bertujuan
12
mengubah kandungan zat gizi yang terdapat pada pangan untuk keperluan yang
disengaja atau tidak disengaja.
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi IG pangan adalah proses
pengolahan. Menurut Astawan dan Widowati (2005), IG ubi jalar yang digoreng
sebesar 47, dikukus sebesar 62, dan dipanggang sebesar 80. Hal demikian
diikuti oleh faktor lain yang mempengaruhi IG, yaitu kandungan lemak dalam
pangan. Rendahnya IG pada ubi jalar yang digoreng dikarenakan kandungan
lemak dari minyak. Pangan yang berlemak cenderung akan memperlambat laju
pengosongan lambung, sehingga penyerapan di dalam usus akan lambat.
Proses pengolahan dapat menyebabkan meningkatnya kadar IG pangan
dibandingkan dengan IG pangan dari pangan yang tidak diolah karena melalui
proses pengolahan struktur pangan menjadi lebih mudah dicerna dan diserap
sehingga dapat mengakibatkan kadar gula naik dengan cepat. Selain itu ukuran
partikel yang semakin kecil sehingga memudahkan terjadinya degradasi oleh
enzim juga dapat menyebabkan IG semakin meningkat. Proses pemasakan atau
pemanasan akan menyebabkan terjadinya gelatinisasi pada pati. Dengan
adanya proses pecahnya granula pati ini molekul pati akan lebih mudah dicerna
karena enzim pencerna pada usus mendapatkan tempat bekerja yang lebih luas.
Hal inilah yang menyebabkan proses pemasakan atau pemanasan dapat
menyebabkan terjadinya kenaikan IG pangan (Rimbawan & Siagian 2004).
Kukus.
Terdapat metode blanching yang sering digunakan dalam
pengolahan bahan pangan; steam blanching dan water blanching (Fellowss
2000). Perbedaan dari kedua metode tersebut terdapat pada interaksi bahan
olahan dengan media air, yaitu pada steam blanching, bahan pangan dimasak
pada uap air mendidih bersuhu 100oC, sedangkan pada water blanching, bahan
pangan dimasak pada rendaman air pada kisaran suhu 70oC hingga 100oC
(Reyes De Corcuera, Cavalieri, & Powers 2004).
Steam blanching digunakan sebagai metode blanching yang lebih
menguntungkan dibanding water blanching, karena pada proses ini kehilangan
komponen larut air akan berkurang dibanding dengan metode hot-water
blanching (Fellowss 2000). Selain itu, steam blanching lebih efisien terhadap
energi serta menghasilkan BOD (biological oxigen demand) dan hydraulic loads
yang lebih rendah dibandingkan water blanching (Reyes De Corcuera, Cavalieri,
& Powers 2004).
13
Panggang.
Memanggang merupakan pemasakan yang melibatkan
proses transfer panas dari permukaan dan suhu pada peralatan pemanggangan
ke makanan. Transfer panas yang terjadi dalam interaksi oven dengan makanan
merupakan proses konveksi dari perputaran udara panas dan konduksi yang
terjadi pada loyang sebagai tempat makanan dipanggang. Kebanyakan pada
proses pemanggangan, transfer panas yang sering kali mempengaruhi
kematangan produk adalah panas dari proses konduksi. Konduksi pada loyang
akan meningkatkan perbedaan yang nyata pada permukaan atas dan alas
makanan yang dipanggang. Ukuran makanan yang akan dipanggang merupakan
faktor penting yang mempengaruhi waktu panggang karena berhubungan
dengan kemampuan penetrasi panas hingga bagian paling tengah pada
makanan. Proses pada pemanggangan akan menyebabkan Kandungan air
bahan pangan terevaporasi karena adanya tekanan udara panas oleh oven.
Proses kehilangan Kandungan air ini tergantung pada karakteristik bahan
pangan, mobilitas udara pada oven serta tingkat panas pada oven (Fellowss
2000).
Goreng. Goreng merupakan salah satu metode yang umum dilakukan
untuk meningkatkan kualitas bahan pangan. Jumlah kalori makanan meningkat
setelah digoreng. Jenis makanan yang digoreng tidak mudah dicerna oleh tubuh
karena keberadaan lemak pada makanan (Winarno 1999). Karakteristik minyak
yaitu memiliki titik didih yang lebih tinggi dari air, berkisar antara 160°C - 205°C,
tergantung jenis minyak yang digunakan. Karena alasan tersebut, minyak untuk
menggoreng dipilih dari jenis minyak yang memiliki titik asap tinggi. Oleh karena
itu, minyak yang telah menimbulkan asap tidak baik lagi untuk digunakan untuk
menggoreng (Winarno 1999).
Kisaran temperatur penggorengan yang normal adalah 163°C - 196°C,
tergantung jenis makanan yang digoreng. Penggunaaan suhu rendah dapat
mempertahankan stabilitas minyak tetapi dibutuhkan waktu penggorengan yang
lebih lama. Faktor lain yang mempengaruhi proses penggorengan adalah alat
penggoreng, jenis minyak dan stabilitasnya, serta struktur makanan goreng.
Selain itu, jenis penggorengan yang baik adalah penggorengan yang terbuat dari
stainless steel atau carbon steel lebih baik dibandingkan dengan penggorengan
besi, karena penggorengan besi dapat merangsang terjadinya oksidasi lemak,
selain itu besi juga bersifat pro-oksidan (Ketaren 1986).
14
Metode menggoreng yang dikenal di masyarakat untuk mengolah bahan
pangan antara lain, pan frying, deep frying, dan vacuum frying. Pan frying adalah
metode menggoreng yang paling umum dilakukan masyarakat dalam mengolah
bahan pangan. Metode ini merupakan metode menggoreng sederhana, yaitu
mengoleskan minyak goreng pada penggorengan atau bahan pangan yang akan
diolah. Minyak goreng yang digunakan pada metode ini relatif sedikit
dibandingkan dengan metode deep frying. Selain itu, pada metode ini hanya
sebagian bahan pangan yang terendam dalam minyak goreng (Guellar-Castillon,
et al. 2007). Pada metode ini, bahan pangan akan langsung berinteraksi dengan
permukaan penggorengan yang menyebabkan lebih cepatnya terjadi reaksi
browning Maillard (Ayu 2009).
Deep frying merupakan metode menggoreng yang menggunakan banyak
minyak sehingga bahan pangan yang diolah akan terendam seluruhnya dalam
minyak goreng. Proses pada metode menggoreng ini menggunakan suhu tinggi
yaitu temperatur antara 175-190°C. Deep frying yang dilakukan dengan baik
akan menghasilkan olahan yang renyah dan kering, karena cairan pada bahan
pangan akan teroksidasi selama proses penggorengan, sehingga bahan pangan
tidak terlihat berminyak (Guellar-Castillon, et al. 2007).
Salah satu produk hasil menggoreng adalah keripik. Keripik merupakan
olahan berupa irisan atau potongan-potongan tipis dari suatu bahan pangan.
Walaupun pada umumnya keripik diolah menggunakan metode penggorengan,
namun dapat dijumpai pula keripik hasil pengeringan dan penjemuran.
Kandungan amilosa dan amilopektin
Amilosa merupakan struktur pati gula sederhana yang tidak bercabang.
Oleh karena itu, struktur tersebut akan terikat kuat sehingga sulit tergelatinisasi
dan sulit dicerna tubuh. Molekul amilosa terdiri atas 50-500 unit glukosa,
sedangkan amilopektin merupakan struktur pati gula sederhana yang bercabang,
memiliki struktur molekul yang terbuka, dan berukuran lebih besar, sehingga
dapat dicerna lebih baik dibanding pangan yang memiliki kandungan amilosa
lebih banyak. Molekul amilopektin terdiri dari lebih 100.000 unit glukosa.
Struktur amilosa dan amilopektin yang berbeda menyebabkan daya cerna
yang berbeda pula pada sistem pencernaan tubuh. Pangan dengan kandungan
amilosa lebih tinggi dibanding Kandungan amilopektin akan menyebabkan
respon gula darah lebih rendah dibanding pangan yang memiliki Kandungan
15
amilopektin lebih tinggi, begitu pula sebaliknya (Miller et al. 1992 & Behall et al.
1988).
Kandungan lemak dan protein
Pangan yang mengandung kandungan lemak dan protein tinggi
cenderung memperlambat laju pengosongan lambung, sehingga laju pencernaan
makanan di usus halus juga diperlambat. Oleh karena itu, pangan berkadar
lemak dan protein tinggi cenderung memiliki IG yang lebih rendah dibanding
dengan pangan sejenis yang memiliki Kandungan lemak dan protein lebih
rendah. Namun, hal tersebut tidak lepas dari faktor pengolahan yang turut
mempengaruhi IG suatu pangan (Rimbawan & Siagian 2004).
Menurut Wolever dan Bolognesi (1996), lemak dalam jumlah besar (50
gram lemak) dapat menurunkan respon glukosa darah dan respon insulin.
Menurut Wolever (1994) dalam Wolever dan Bolognesi (1996), penambahan 22
gram lemak pada jagung dapat menunda peningkatan respon glukosa darah, tapi
secara keseluruhan tidak mempengaruhi terhadap perhitungan luas kurva respon
glikemik.
Menurut Nuttall et al. (1994) dalam Wolever dan Bolognesi (1996),
konsumsi 50 gram protein pada subjek NIIDM (Non Insulin Dependent Diabetes
Mellitus) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap respon glukosa darah.
Namun, pada subjek yang normal, pemberian 16 gram protein saja sudah dapat
mempengaruhi respon glukosa darah dan insulin (Spiller et al. 1987 dalam
Wolever 1996).
Struktur asam amino atau gugus peptida pada protein yang terdapat pada
pangan sangat rentan berubah pada proses pengolahan. Reaksi yang sering kali
terjadi pada proses pengolahan adalah browning reaction atau non-enzymatic
Maillard Reaction. Reaksi Maillard merupakan reaksi yang melibatkan protein
(gugus peptida pada asam amino) dan karbohidrat (Fellows 2000). Menurut
Malec et.al. (2002) dalam Fellows (2000), reaksi Maillard merupakan reaksi yang
dapat menyebabkan perubahan kualitas zat gizi terutama pada tingkat daya
cerna protein pada produk olahan. Oleh karena itu, bahan pangan yang
mengandung protein dan atau terdegradasi akibat reaksi Maillard dapat
menunda respon glukosa darah.
Kompleks amylose-lipid diduga juga dapat mempengaruhi IG. Kompleks
amylose-lipid merupakan amilosa yang terjadi akibat struktur lipida terikat pada
struktur helical pada amilosa (Godel et.al. 1993 dalam Shanita, Hasana, & Khoo
16
2011) setelah dilakukan ekstraksi lemak pada produk olahan (Kwas’niewskaKarolak et.al. 2008 dalam Shanita, Hasana, & Khoo 2011). Kompleks amyloselipid dapat menurunkan respon gula darah (Radhika et.al. 2008 dalam Shanita,
Hasana, & Khoo 2011).
Kandungan serat pangan
Jenis serat berpengaruh terhadap IG pangan. Bentuk utuh serat dapat
bertindak sebagai penghambat fisik pada pencernaan. Akibatnya, IG cenderung
rendah (Miller et al. 1996). Serat terlarut dapat menurunkan respon glikemik
pangan secara nyata, sedangkat serat kasar mempertebal kerapatan campuran
makanan dalam saluran pencernaan dan menghambat pergerakan enzim,
proses pencernaan menjadi lambat, sehingga hasil akhir yang diperoleh adalah
respon gula darah akan lebih rendah (Brennan 2005). Menurut Nishimune et al.
(1991), serat terlarut dapat menurunkan respon gula darah secara signifikan.
Pangan berserat tinggi dapat meningkatkan distensi (pelebaran) lambung
yang juga berkaitan dengan peningkatan rasa kenyang. Serat terfermentasi juga
mendorong peningkatan hormon usus, seperti gluco-like peptide-1 yang
berkaitan dengan sinyal rasa lapar. Beberapa serat terutama yang mudah larut
dapat menurunkan seluruh lemak dan protein pada tubuh (Howarth et al. 2001).
Jenis gula dan daya osmotik
Beberapa jenis gula, baik jenis monosakarida atau disakarida memiliki IG
yang berbeda-beda. Sukrosa (gula meja) memiliki IG 65 (sedang), sedangkan
fruktosa memiliki IG 23 (kecil). Pangan yang mengandung gula meja dalam
jumlah besar memiliki IG mendekati 60. Gula meja tidak menaikkan kadar gula
darah lebih tinggi dibandingkan dengan karbohidrat kompleks lainnya, seperti
roti. Beberapa buah memiliki IG rendah (ceri 23), dan sebagian lainnya memiliki
IG tinggi (semangka 72). Tampaknya, semakin tinggi tingkat kekuatan osmotik
(jumlah molekul per milimeter larutan) suatu pangan dapat menyebabkan IG
menurun (Rimbawan & Siagian 2004).
Kandungan anti-gizi pangan
Zat anti-gizi pada pangan merupakan zat yang berpotensi menyebabkan
efek merugikan untuk tubuh. Beberapa pangan secara alamiah memiliki zat antigizi yang dapat menyebabkan keracunan jika dikonsumsi melebihi dosis yang
dianjurkan, seperti singkong yang mengandung asam sianida (HCN) yang
17
memiliki sifat beracun jika tidak diolah sampai benar-benar masak. Zat anti-gizi
tersebut secara tidak langsung dapat meperlambat laju pencernaan pada tubuh,
sehingga IG pangan akan menurun (Rimbawan & Siagian 2004).
Suhu pangan saat dikonsumsi
Penelitian oleh Bahado-Singh,
Riley, Wheatley,
& Lowe (2011)
menyatakan bahwa pemberian produk olahan ubi jalar dalam keadaan dingin
dapat mempengaruhi struktur pati ubi jalar, yaitu terjadi proses retrogradasi pati
yang menyebabkan ikatan hidrogen pada pati mengalami kristalisasi, sehingga
terjadi proses melambatnya penyerapan dan daya cerna pati pada tubuh yang
mengakibatkan IG produk olahan cenderung lebih rendah.
Faktor-faktor lain
Menurut Schulze et.al. (2004), tingginya IG pangan juga dikaitkan dengan
tingginya intik karbohidrat, tingginya beban glikemik, tingginya intik asam lemak
trans, rendahnya intik alkohol, rendahnya intik magnesium dan kafein, rendahnya
intik serat, serta rendahnya aktivitas fisik.
Menurut
Wolever
et.al.
(2008),
beberapa
faktor
lainnya
yang
mempengaruhi tingkat keakurasian dalam penentuan IG pangan, di antaranya,
(1) Error yang biasa ditemukan pada perhitungan AUC (50% percobaan); (2)
Tingkat kepercayaan melebihi nilai rataan (>2 SDs); (3) Perhitungan AUC pada
individu subjek; (4) Analisis glukosa; (5) Perlakuan terhadap subjek; (6)
Karakteristik fisiologi subjek; (7) Pangan uji yang diberikan.
Download