BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Institusi keluarga sampai

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Institusi keluarga sampai saat ini masih dipercaya sebagai sarana pembentengan
diri anak dari pengaruh negatif. Kenyataannya, institusi keluarga pun memiliki
problematikanya sendiri, sehingga terjadi disfungsional pada peran keluarga. Rendahnya
kemampuan keluarga untuk melakukan fungsinya mengakibatkan tingginya level tekanan
psikologis pada orangtua, tingginya permasalahan perilaku anak, dan rendahnya sikap
prososial pada anak. Keluarga seharusnya berfungsi sebagai penjaga atau pembatas
sekaligus sebagai fasilitastor anak dalam menghadapi sistem sosialnya yang berlapis-lapis
(Bradshaw, et.al., 2007).
Kasus-kasus keluarga yang sedang banyak terjadi dewasa ini adalah banyaknya
kasus perceraian. Dilansir dari riau.kemenag.go.id Indonesia adalah salah satu Negara
dengan tingkat perceraian yang tinggi, sebagian besar penyebab perceraian adalah karena
masalah ketidakharmonisan, tidak bertanggungjawab dan masalah ekonomi. Data
rekapitulasi BPA tahun 2010 menunjukkan bahwa dari 285.184 perceraian, 91.841 kasus
karena ketidakharmonisan (perselingkuhan, masalah komunikasi, dsb) dan 78.407 kasus
karena tidak bertanggungjawab serta 67.891 karena masalah ekonomi (Musdalifah, 2012).
Selain kasus perceraian, kasus kekerasan dalam rumah tangga pun banyak
ditemukan. Badan Keluarga Berencana, Pemberdayaan Masyarakat, dan Pemberdayaan
Perempuan (KBPMPP) Sleman mencatat adanya peningkatan kasus kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT) per September 2014 lalu. Peningkatannya sebanyak 76 kasus.
Kasus-kasus itu adalah yang ditangani Pusat Pelayanan Terpadu Penanganan Prempuan
dan Anak Sleman (radarjogja.co.id, 2014)
1
2
Dunia ini akan terus berubah dan menuruti perkembangan zamannya, maka
diperlukan tempat pijakan yang tidak mudah goyah, sebagai tempat berlindung dan
pemberi rasa aman, di situlah peran keluarga yakni sebagai tempat berlindung dan berpijak
individu (Tris dan Setiono, dalam Setiono, 2011). Pijakan ini menjadi penting bagi
individu untuk berkembang dengan nilai-nilai yang luhur. Melihat pentingnya peran
keluarga terhadap perkembangan individu, namun realitanya banyak pula kasus yang ada
dalam keluarga itu sendiri maka menjadi penting untuk berfokus pada perbaikan fungsi
keluarga. Solusinya ialah dengan mewujudkan keluarga sejahtera.
Pengertian keluarga menurut George Murdock dalam struktur sosial adalah
sebuah kelompok sosial yang memiliki karekteristik tinggal bersama, terdapat kerjasama
ekonomi dan terjadi proses reproduksi. Weigert dan Thomas menambahkan bahwa
keluarga didasarkan pada pentingnya budaya yang ditransmisikan pada generasi berikutnya
guna menumbuhkan anak menjadi manusia yang mampu menjalankan fungsinya (dalam
Lestari, 20012).
Sejahtera sendiri memiliki arti dalam UU No 52 tahun 2009. Dalam Undangundang dispesfikan pada kesejahteraan sosial, yaitu kondisi terpenuhinya
material, spiritual, dan sosial warga
kebutuhan
negara agar dapat hidup layak dan mampu
mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan
fungsi sosialnya. Kesejahteraan
sendiri erat kaitannya dengan konsep kesehatan. Menurut WHO kesehatan adalah suatu
kondisi terpenuhinya kebutuhan fisik, psikologis, dan sosial dan tidak adanya penyakit atau
kelemahan tertentu. Maka dapat disimpulkan bahwa keluarga sejahtera adalah keluarga
yang mampu melaksanakan fungsinya dan tercukupinya kebutuhan fisik dan psikis serta
memiliki lingkungan sosial yang baik.
Dewasa ini, banyak ditemui berbagai kasus remaja yang terlibat dalam hal-hal
negatif. Beberapa diantaranya seperti adanya kasus kehamilan di luar nikah, tawuran antar
3
pelajar, geng motor, begal, narkoba, dan lain sebagainya. Data Komisi Nasional Anak
mencatat, jumlah pengaduan kekerasan anak meningkat 60 persen dari 2012-2013. Secara
spesifik, 58 persen diantaranya adalah kekerasan seksual. Tak hanya itu, pergaulan bebas
di kalangan remaja masih terjadi dan ujung-ujungnya remaja nekat melakukan aborsi. Data
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukkan bahwa
dari 2,4 juta aborsi pada tahun 2012, dilakukan remaja usia pra nikah atau tahap SMP dan
SMA (Syarifah, 2014).
Di Yogya sendiri, khususnya di Gunung Kidul, seperti yang dilansir oleh
jogja.tribunnews.com, sepanjang 2014 terdapat 135 anak di bawah umur yang tersangkut
masalah hukum di wilayah Gunung Kidul dan Bantul. Jumlah tersebut, 103 di antaranya
berakhir di balik jeruji besi, sisanya 32 anak mendapatkan sanksi pembinaan. Melihat hal
tersebut Ketua Badan Kemasyarakatan Kelas II Wonosari menyatakan bahwa
perkembangan teknologi memberikan andil yang besar terhadap kenakalan anak. Dia pun
tidak menampik kasus asusila yang terjadi dikarenakan makin mudahnya anak memperoleh
informasi.
Selain data yang didapat tersebut, pada tanggal 18 februari 2015 lalu, peneliti
berkesempatan menjadi peer conselor bagi pelajar SMA yang terlibat dalam beberapa
kasus kenakalan remaja, seperti tawuran, geng-geng sekolah, vandalisme, judi, dan lain
sebagainya. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta bersama
salah satu biro psikologi. Kegiatan ini memang ditujukan agar anak-anak yang dilabel
negatif tersebut diberikan wadah untuk berproses hingga muncul kesadaran untuk
mengubah diri dan meraih mimpinya.
Peneliti sebagai peer conselor melakukan penggalian data mengenai latar
belakang siswa tersebut dengan media ―Sungai Kehidupan‖. Dimaksudkan agar para
pelajar SMA yang bermasalah ini menceritakan secara runtut apa yang melatarbelakangi
4
kehidupan mereka, hingga mereka sampai pada titik ini. Peneliti berkesempatan menggali
data dari tiga orang siswa SMA yang pada saat itu duduk di kelas 2. Ketiganya adalah lakilaki dari keluarga menengah keatas. Data yang relevan dengan penelitian ini ada pada dua
orang siswa yang telah digali dan diajak ngobrol. Selanjutnya, siswa SMA ini disebut
sebagai AA dan GA.
AA mengungkapkan bahwa dia menjadi anak nakal –dia menyebut dirinya
demikian, setelah dia mulai masuk SMA. Saat SMP, AA bersekolah di pondok pesantren.
Ketika sudah lulus, dia merasa dirinya bebas dan saat akan masuk SMA, AA dijanjikan
oleh ayahnya sebuah Mobil baru. Singkatnya, AA masuk SMA dan mendapatkan mobil
dari ayahnya. Kesempatan yang diberikan itu disalahgunakan oleh AA untuk mulai
mengenal dunia malam. AA akhirnya mulai nongkrong, mulai merokok, minum, bahkan
berjudi. Saat ditanya dia pernah mendapatkan hasil berjudi hingga delapan belas juta
rupiah, untuk taruhannya sendiri dia menggadaikan motor tanpa sepengetahuan
orangtuanya. AA pun mengaku bahwa dia merasa sangat dimanjakan sebelum dia menjadi
seperti saat ini. Apa yang dia inginkan selalu terpenuhi. Setelah mengetahui kenakalan AA,
ayahnya mencabut semua fasilitas dan menjadi pemarah pada AA. Melihat perbedaan
ayahnya AA mengaku kaget dan menjadi frustasi, dampaknya AA menjadi lebih negatif
lagi.
Lain AA, lain pula dengan GA. GA adalah anak yang berada di keluarga yang
harmonis pada mulanya, dia memiliki dua adik perempuan. Namun, ketika GA beranjak
remaja, kondisi keluarganya berubah. Keharmonisan keluarga menjadi retak ketika
ayahnya berselingkuh. Hingga akhirnya orangtuanya bercerai dan GA serta adiknya
menjadi anak korban broken home. Hal ini membuat GA sedih dan marah pada perempuan
selingkuhan ayahnya. GA akhirnya mencari pelampiasan dengan berkumpul bersama
teman-temannya dan mulai mencicipi rokok serta minuman keras.
5
Banyaknya kasus problematika dalam keluarga dan adanya kerusakan pada
generasi remaja yang dilihat dari berbagai kasus kenakalan remaja ini menimbulkan
pertanyaan tersendiri, apakah ada kaitannya antara disfungsi keluarga yang terjadi dengan
pada perilaku bermasalah remaja. Kedua kasus yaang didapat dengan interviu pun
menunjukkan adanya permasalahan dalam keluarga yang berdampak pada perilaku anak
dalam keluarga itu.
Banyaknya tindakan negatif, kriminal dan asusila yang mengaitkan remaja,
menjadi cerminan tersendiri mengenai lingkungan remaja yang rentan. Lingkungan remaja
yang rentan tersebut seharusnya mampu dibentengi oleh nilai yang dibawa oleh remaja itu
sendiri. Dengan demikian penanaman nilai pada remaja sangatlah penting. Berbicara
mengenai penanaman nilai dan sosialisasinya, maka institusi paling kecil dan paling dekat
dengan remaja lah yang seharusnya mengambil peran. Institusi terebut adalah keluarga. Ira
Reis (dalam Lestari, 2012) menyatakan bahwa ciri spesifik keluarga adalah adanya proses
sosisalisasi yang disertai dukungan emosi yang disebut dengan sosialisasi pemeliharaan
atau disebut nurturant socialization.
Idealnya, rumah menjadi sebuah tempat sosialisasi nilai kehidupan bagi remaja,
untuk diinternalisasi kemudian diaplikasikan sebagai bekal masa depannya yang lebih
baik. Oleh sebab itu, keluarga khususnya orangtua harus menciptakan atmosfer keluarga
yang mendukung sarana belajar tersebut. Hal ini sesuai dengan fungsi edukasi yang
diungkapkan oleh Berns (dalam Lestari, 2012), yaitu keluarga menjadi sarana untuk
transmisi nilai, keyakinan, sikap, pengetahuan, keterampilan dan teknik dari generasi
sebelumnya ke generasi yang lebih muda. Keluarga seharusnya juga memiliki peran yang
besar dalam pengembangan personal (personal growth). Ada beberapa unsur penting
dalam diri individu yang perlu dikembangkan dalam keluaga. Di antaranya adalah
intelektualitas yang berorientasi pada kebudayaan, moral keagamaan, kemandirian,
6
orientasi pada prestasi dan produkvitivitas, serta kemandirian (Faturochman, 2001). Maka
menjadi penting untuk melihat bagaimana kesejahteraan sebuah keluarga, dengan secara
sederhana melihat kesejahteraan anak dalam keluarga tersebut. Terdapat tiga kluster yang
dipertimbangkan dalam mendeteksi kesejahteraan anak, yaitu struktur keluarga,
hubungannya dengan orangtua dan hubungan dengan teman (Bradshaw, Hoelscher, &
Richardson, 2007). Berdasarkan pada tiga kluster pertimbangan kesejahteraan anak
khsususnya dalam keluarga tersebut, keluarga hendaknya dilihat dari sistem keluarga yang
ada di dalamnya. Menurut White dan Klein (1996) sistem tersebut adalah seperti adanya
subsistem persaudaraan dalam keluarga tersebut, sub sistem pernikahan dan sub sistem
orangtua-anak. Sub sistem orangtua-anak menjadi salah satu yang penting, karena
disanalah terjadinya proses sosialisasi nilai dari orangtua pada anak yang kemudian
diinternalisasi oleh anak tersebut.
Di Indonesia, sering digaungkan semboyan Asah-Asih-Asuh dalam proses
pengasuhan dari orangtua pada anak. Semboyan tersebut merupakan sebuah konsep yang
terlahir karena adanya kearifan lokal di Indonesia tentang pengasuhan. Maksud semboyan
adalah pengasuhan bertujuan untuk meningkatkan atau mengembangkan kemampuan anak
dan dilakukan dengan dilandasi rasa kasih sayang tanpa pamrih (Lestari, 2012). Melihat
fungsi yang telah dipaparkan tersebut, maka jelas peran orangtua dalam pengasuhan tidak
dapat tergantikan. Orangtua pun harus memiliki seperangkat nilai yang mereka pegang
sebagai acuan dalam mendidik anak.
Mendidik anak kerap disebut dengan istilah parenting. Berns menyatakan bahwa
gaya pengasuhan memiliki dampak terhadap perilaku anak, seperti perkembangan
kompetensi, perilaku prososial, motivasi berprestasi, pengaturan diri, dan kelekatan pada
orangtua. Parenting, menurut beberapa ahli, ada bermacam-macam tipe. Gaya pengasuhan
yang paling banyak dikenal adalah gaya pengasuhan yang dirumuskan oleh Baumrind pada
7
tahun 1983. Terdapat empat gaya pengasuhan, yaitu authoritative, authoriatrian, permisive
dan uninvolved. Authoritarian adalah ketika orangtua lebih banyak menyuruh dan
melarang anak melakukan suatu hal. Orangtua juga tidak responsif pada anak, sehingga
orangtua tidak pernah menjelaskan alasan atas perintah dan larangannya. Autoritative, gaya
pengasuhan yang lebih demokratis dan responsif pada anak. Selanjutnya, permisive,
orangtua tidak banyak memberikan apa yang orantua inginkan dari anak, sehingga
orangtua terlalu berbaik hati pada anaknya, dan cenderung menghindari konfrontasi
dengan anak akhirnya orangtua mengizinkan apa yang anak inginkan. Pada gaya
pengasuhan uninvolved, orangtua sama sekali tidak responsif pada anak. Orangtua sangat
jarang mengungkapkan apa yang diinginkan terhadap anaknya, selain itu komunikasi yang
terjalin sangat rendah (dalam Cherry, 2016)
Cherry (dalam Lestari, 2012) mengungkapkan bahwa alasan potensial yang
menyebabkan adanya perbedaan gaya pengasuhan anatara orangtua satu dengan yang
lainnya dikarenakan adanya perbedaan budaya yang dianut, kepribadian dari orangtua,
ukuran keluarga (Nuclear atau Extended Family), parental background, status ekonomi
dan sosial, tingkat pendidikan dan agama.
Menguatkan dari alasan yang mempengaruhi gaya pengsuhan orangtua yang
dinyatakan oleh Cherry, Lestari dalam bukunya mengungkapkan bahwa spiritualitas dan
keimanan merupakan dimensi yang paling kuat bagi pengalaman manusia. Akhirnya,
keyakinan spiritual yang dimiliki oleh pasangan (orangtua) menjadi landasan yang penting
bagi nilai yang dipegang dan perilaku. Dalam sebuah konsep kekukuhan keluarga yang
diungkapkan DeFrain dan Stinnet dalam poin mengembangkan spiritualitas, ikatan
spiritual memberikan arahan, tujuan dan perspektif bagi keluarga tersebut untuk tetap kuat
dan kukuh. Dikatakan bahwa keluarga yang sering melakukan ritual doa bersama akan
meningkatkan rasa kebersamaan (dalam Lestari, 2012).
8
Agama Islam memandang keluarga adalah sebuah wadah yang sangat penting
untuk membentuk umat yang baik. Dalam membentuk keluarga pun Islam memiliki
aturan-aturan tersendiri, seperti pemilihan pasangan hidup yang baik dengan agama
sebagai pertimbangan utama (Ulwan, 2002). Islam mengatur hal ini agar keluarga menjadi
keluarga yang taat kepada Allah. Usaha pemilihan pasangan adalah bentuk primsip
pendidikan anak dalam islam yang pertama. Beberapa tujuan keluarga bagi seorang
muslim menurut beberapa Hadits adalah untuk memperbanyak jumlah kaum muslim yang
akan dibanggakan oleh Rasulullah (HR. Abu Dawud dan An-Nasa‘i), untuk menjaga dan
mendekatkan diri kepada Allah (HR. Muslim, An-Nasa‘i dan Ahmad) , untuk membangun
generasi muslim (HR. Abu Hurairah) dan untuk kelangsungan hidup manusia (HR. AthThabrani). Dalam Islam, keluarga merupakan unit yang menginspirasi dan menjadi inti
dari hal tersebut adalah pernikahan (Dhami & Sheikh, 2000).
Islam memandang keluarga memiliki peran yang penting dalam mendidik
individu serta menyiapkannya menjadi individu yang baik, bahkan tidak hanya kehidupan
duniawi, namun juga di kehidupan yang kekal (baca: akhirat). Maka melindungi keluarga
serta menciptakan keadaan yang kondusif bagi tempat berkembang menjadi penting. Hal
ini termaktub dalam Kitab Suci Al-Qur‘an, yang artinya
―Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manuasi dan batu; penjaganya malaikat-makaliakat
kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan‖ (Q.S. At-tahrim (66): 6).
Terlebih dalam mendidik anak, Islam memiliki keyakinan bahwa anak adalah
amanah dari Allah SWT. Seperti yang diungkapkan oleh Imam Al-Ghazali (dalam Ulwan,
1999) ;
Anak-anak adalah amanah bagi kedua orangtuanya dan hatinya yang suci adalah
permata yang sangat mahal harganya. Karenanya jika dibiasakan pada kebaikan dan
9
diajarkan kebaikan padanya, maka ia akan tumbuh pada kebaikan tersebut, dan akan
berbahagialah di dunia dan akhirat.
Islam memandang anak sebagai sesuatu yang sangat berharga bahkan dalam Qur‘an
surat Al-kahfi (ayat 46), dinyatakan bahwa harta dan anak-anak adalah perhiasan bagi
kehidupan dunia. Dalam sebuah doa yang termaktub didalam surat Al-Furqon (ayat 74),
memandang bahwa anak menjadi penyejuk mata bagi orangtuanya. Anak sesungguhnya
juga merupakan investasi untuk amal perbuatan ketika orangtua telah meninggal dunia,
dinyatakan dalam Hadits riwayat Muslim bahwa Rasulullah bersabda;
―Apabila seseorang meninggal dunia, terputuslah seluruh amal perbuatannya selain
dari tiga perkara yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholih yang
mendoakannya.‖
Sedemikian berharganya seorang anak dalam islam bagi orangtua, maka penting
untuk bisa menjaga amanat Allah ini dengan sebaik-baiknya karena di akhirat nanti
orangtua akan dimintai pertanggungjawaban atas keluarganya.
―Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban kepada setiap
pemimpin apa yang dipimpinnya; apakah dia menjaganya atau melalaikannya,
sampai pertanggungjawaban terhadap seseroang atas anggota keluarganya.‖ (HR.
An-Nasa‘i dan Ibnu Hibban)
Dalam pernikahan suami istri memiliki kewajiban bekerjasama dalam membina
rumah tangga. Istri mengerjaan tugasnya sesuai kodratnya yaitu mengurus rumah dan
mendidik anak-anak, sedangkan suami mengerjakan tugasnya sebagai laki-laki yaitu
bekerja untuk keluarga, mengerjakan pekerjaan berat, serta melindungi keluarga dari
ancaman (Ulwan, 2002). Menjadi orangtua artinya memiliki tanggung jawab atau amanah
yang dimandatkan oleh Allah (Akin, 2012).
Orangtua memiliki tanggungjawab atas anak-anaknya, salah satunya adalah
tanggungjawab pendidikan yang merupakan fungsi utama dari pengasuhan. Pendidikan
dalam pengasuhan Islam bertujuan untuk menjauhkan keluarga dari siksa api neraka.
10
Pengasuhan dalam syariat Islam menyatakan bahwa membimbing dan mendidik anak
merupakan suatu kewajiban bagi seorang muslim karena anak merupakan amanat yang
harus dipertanggungjawabkan oleh orangtuanya di akhirat (Suwaid, 2013).
Dalam Islamic parenting, dinyatakan bahwa pengasuhan merupakan sebuah
paradigma yang holistik yang berdasarkan pada hak dan kewajiban milik orangtua dan
anak. Hak dan kewajiban ini erat kaitannya dengan peran yang diemban. Dalam
pengasuhan pada anak, bagiaman caranya, nilai apa saja yang ditanamkan serta lingkungan
seperti apa yang dikondisikan kepada anak semua telah termaktub dalam Al-Qur‘an dan
Hadits dengan Rasulullah Muhammad sebagai teladannya. Inti dari pengasuhan islami
adalah mengajarkan anak untuk memiliki pedoman hidup dan meneladani Rasulullah, tidak
hanya berorientasi pada kehidupan dunia semata.
Melihat permasalahan remaja yang ada kemudian mengingat bahwa keluarga
hendaknya mengambil peran dalam perkembangan remaja, khususnya pada orangtua
dalam mensosialisasi nilai pada anaknya. Hingga mempertimbangkan adanya faktor
spiritualitas keluarga yang juga berpengaruh terhadap kekukuhan keluarga tersebut. Maka,
dapat menjadi tolok ukur kesejahteraan keluarga. Penelitian ini hendak mempelajari
gambaran tentang kesejahteraan keluarga ditinjau dari pola asuh Islami yang telah
diterapkan oleh orangtua.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan pola asuh islami
dalam mewujudkan kesejahteraan anak dan keluarga
C. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah
1.
Penelitian ini, secara umum diharapkan mampu menambah khasanah ilmu
pengetahuan di bidang psikologi keluarga, terutama pada subjek kajian pola asuh dan
11
kesejahteraan anak. Secara khusus, sebagai salah satu kontribusi ilmu pada
pengembangan ilmu psikologi Islam dalam bidang pola asuh.
2.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi saran bagi orangtua dalam
mendidik anak dengan menggunakan dasar pola asuh Islami guna mewujudkan
kesejahteraan keluarga dan kesejahteraan anak itu sendiri di keluarga.
3.
Penelitian ini diharapkan mampu dikembangkan menjadi modul dalam pelatihan para
praktisi dan profesional yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga
dimulai dari pola asuh yang berbasis Islami.
Download