BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Masalah warisan budaya (cultural heritage) belakangan ini semakin mendapat perhatian baik oleh pemerintah, akademisi, maupun kalangan organisasi nonpemerintah. Perhatian terhadap masalah warisan budaya juga dilakukan dunia internasional, seperti badan dunia PBB UNESCO dan beberapa NGO internasional seperti World Monuments Fund, ICOMOS, dan New7Wonder yang berkomitmen bagi penyelamatan terhadap warisan budaya (cultural heritage) dan warisan alam (natural heritage). Mengacu dari Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia tahun 2003 dinyatakan bahwa cultural heritage secara definisi diartikan sebagai hasil cipta, rasa, karsa dan karya yang istimewa dari lebih 500 suku bangsa di tanah air Indonesia, secara sendiri-sendiri sebagai kesatuan bangsa Indonesia dan dalam interaksinya dengan budaya lain sepanjang sejarah keberadaannya (Suhartono, 2015). Ironisnya ancaman terhadap keberadaan warisan budaya semakin hari semakin mengkhawatirkan. Pembangunan dan modernisasi adalah salah satu penyebab terancamnya eksistensi warisan budaya. Istilah warisan budaya, secara konseptual dapat ditelusuri dan diturunkan dari konsepsi tentang kebudayaan. Menurut Koentjaraningrat (1996), kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Batasan konsep kebudayaan budaya tersebut secara implisit mengungkap adanya 3 wujud kebudayaan yang tercakup di dalamnya, yakni: (1) konsep tentang nilai-nilai, ide atau gagasan atau budaya nonfisik (intangible); (2) konsep tentang tingkah laku; (3) konsep tentang hasil karya atau budaya fisik (tangible). Dari defenisi kebudayaan yang diberikan oleh Koentjaraningrat (1994), jelas bahwa konsep warisan budaya tercakup di dalamnya, yang meliputi budaya fisik (tangible) dalam wujud hasil karya dan budaya nonfisik (intangible) berupa nilai, ide dan 1 gagasan. Keduanya merupakan bagian yang sangat penting dan tak terpisahkan dalam sebuah konsep kebudayaan. Dengan demikian warisan budaya sesungguhnya adalah bagian integral dari kebudayaan itu sendiri (Koentjaraningrat, 1996). Kota Solo merupakan salah satu kerajaan penting yang berkedudukan di Jawa Tengah pada masa lampau. Sebagai sebuah kerajaan, tentu banyak budaya-budaya yang diwariskan kepada generasi berikutnya. Salah satu budaya fisik (tangible) yang saat ini masih eksis adalah jemparingan. Jemparingan berasal dari bahasa Jawa yang artinya panahan atau bermain panah. Jemparingan sendiri sudah ada sejak jaman dahulu kala, yang fungsinya untuk peperangan. Namun seiring berkembangnya jaman, kegiatan tersebut berubah menjadi suatu olah raga yang dapat dinikmati berbagai kalangan dan umur (Anonim, 2016/ koranjitu.com). Pada dasarnya jemparingan merupakan olahraga yang tidak mudah, memang sekilas jika dilihat olahraga jemparingan tidak membutuhkan tenaga yang cukup banyak. Namun pada kenyataannya dibutuhkan ketangkasan, kekuatan, dan juga fokus yang baik. Maka untuk menguasai olahraga ini dengan baik dibutuhkan banyak latihan untuk bisa lincah dan menguasai penuh, dan tentu perlu juga diketahui teknik atau tata caranya secara benar (Anonim, 2016/ koranjitu.com). Bukti eksistensi dipertahankannya pasukan jemparingan tersebut dapat dilihat dengan masih pemanah di Puri Mangkunegaran hingga saat ini. Eksistensi jemparingan ini juga dapat dilihat dari masih banyaknya masyarakat yang tertarik melakukan kegiatan ini sebagai olah raga. Kegiatan tersebut dapat dilihat secara umum setiap hari di belakang Taman Sriwedari Solo (Anonim, 2016). Selain itu, juga banyak lomba-lomba jemparingan yang tetap digelar selama ini. Baik yang diadakan oleh komunitas sendiri, maupun dalam rangka menyambut acara-acara tertentu, misal dalam rangka menyambut HUT TNI Angkatan Udara ke 69 yang dilaksanakan di Kayon Resort Boyolali. Sementara lomba rutin yang diadakan oleh komunitas jemparingan ini dapat disaksikan pada setiap sabtu legi di belakang Taman Sriwedari Solo. Lomba jemparingan dengan tradisi budaya mataram dilakukan dengan pakaian ala adat jawa dengan belangkon jarik (Anonim, 2016). 2 Melihat antusiasme masyarakat yang tinggi untuk melakukan olah raga ini, memberikan kesadaran kepada sekelompok masyarakat Kota Solo untuk mendirikan sebuah wadah atau organisasi dengan nama SIPAS (SEMUT IRENG POP ARCHERY SRIWEDARI) tepatnya bulan September 2015 yang tujuannya adalah memperkuat eksistensi olahraga ini sebagai warisan nenek moyang dengan mengenalkan olahraga ini dikalangan yang lebih luas, mulai dari TK, SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi, bahkan dikalangan masyarakat secara umum. Sebagai bukti kepeduliannya terhadap eksistensi budaya warisan nenek moyang tersebut, tepatnya pada tanggal 23 Maret 2016, SIPAS mendapat penghargaan dari LMS (Lembaga Sosial Swadaya) pemerhati pelestari budaya jawa tengah. Pemberian penghargaan ini tentu dilakukan dengan dasar penilaian tertentu terhadap peran yang dilakukan oleh SIPAS dalam upayanya ikut serta untuk melestarikan tradisi jemparingan. Keberhasilan SIPAS sendiri dalam ikut andil dalam melestarikan tradisi jemparingan di Kota Solo tersebut tentu tidak dapat dilakukan tanpa adanya strategi komunikasi yang baik yang dibangun dalam komunitas SIPAS itu sendiri. Komunikasi sendiri oleh Sikula didefinisikan sebagai suatu proses penyampaian pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain yang berupa instruksi-instruksi, petunjuk, sarana yang menggunakan bahasa atau isyarat (Mangkunegara, 2007). Sedang menurut Kenneth dan Gary, komunikasi adalah sebagai penyampaian informasi antara dua orang atau lebih yang juga meliputi pertukaran informasi antara manusia dan mesin. Dengan demikiam secara secara singkat dapat dikatakan bahwa komunikasi merupakan proses pemberitahuan dari satu pihak ke pihak lain yang berupa rencana, instruksi, petunjuk, sarana dan sebagainya (Umar, 2003). Komunikasi sebagai salah satu aspek penting bagi anggota organisasi memerlukan perhatian dan perencanaan yang tepat dari manajemen puncak. Oleh sebab itu, perlu adanya pegelolaan infomasi yang baik dengan strategi komunikasi yang tepat sebagai langkah mencapai tujuan organisasi. Pentingnya strategi untuk organisasi khususnya pada aspek komunikasi membentuk eksistensi baik organisasi 3 dimata anggota organisasi dan masyarakat, karena semua rencana atau program dilakukan dengan baik mengacu pada langkah-langkah yang ditetapkan pimpinan untuk kemajuan organisasi atau lembaga. Kebutuhan untuk mencapai tujuan yang baik biasanya dimiliki organisasi yang ingin terus berkembang. Oleh sebab itu, perlu adanya perencanaan yang matang dan siap mengendalikan tantangan (A.B. Susanto, 1997). Terdapat beberapa jaringan komunikasi baik yang satu arah maupun banyak arah yang dapat digunakan organisasi sebagai strategi untuk membantu proses komunikasi yang terkendali tergantung kebutuhan yang dibutuhkan individu, organisasi maupun lembaga untuk mencapai tujuan. Ketercapaian tujuan organisasi adalah tanggung jawab seluruh stakeholder yang terlibat di dalam organisasi dan yang bertanggung jawab memimpin pun harus memperhatikan kesejahteraan anggotanya sebagai pelaku strategi komunikasi (Susanto, 1997). Melihat pentingnya strategi komunikasi untuk membantu perkembangan organisasi yang melibatkan seluruh stakeholder dalam mencapai visi dan misi dari lembaga tersebut. Maka komunikasi yang efektif harus terjalin antara seluruh aspek yang terlibat dalam organisasi untuk menjalin kerjasama. Dalam kehidupan organisasi termasuk dalam organisasi kemasyarakatan (Komunitas SIPAS), komunikasi dikatakan efektif jika terdapat jalinan pengertian yang sama antara pihak yang satu dengan pihak yang lain, sehingga apa yang dikomunikasikan dapat dimengerti, dipikirkan dan akhirnya dilaksanakan. Menurut Anoraga dan Suyatni (2001), komunikasi dikatakan efektif apabila mencakup hal-hal sebagai berikut : mudah dimengerti, lengkap, tepat waktu dan tepat sasaran, terdapat landasan saling kepercayaan, dan memperhatikan situasi kondisi. Apabila organisasi tidak dapat melaksanakan komunikasi secara baik, maka semua rencana-rencana, instruksi-instruksi, petunjuk-petunjuk, sasaran-sasaran, motivasi-motivasi dan sebagainya, hanya akan tinggal di atas kertas saja. Dengan kata lain, tanpa adanya komunikasi yang baik pekerjaan akan menjadi simpang siur dan kacau balau yang ditandai dengan timbulnya sentimen-sentimen, timbulnya 4 prasangka-prasangka dan ketegangan-ketegangan dikalangan anggota organisasi, dan konflik-konflik diantara bermacam-macam tingkatan dalam organisasi tersebut, sehingga tujuan organisasi kemungkinan tidak akan tercapai (Anoraga dan Suyatni, 2001). Dijelaskan oleh Anoraga dan Suyatni (2001) adalah tugas pimpinan untuk menjadikan komunikasi dalam organisasi berjalan secara baik dan lancar. Berpijak dari pernyataan tersebut, maka penting bagi pihak-pihak yang terlibat dalam manajemen kepungurusan untuk memperhatikan kualitas komunikasi dengan anggotanya, sehingga komunikasi yang terjadi dapat berjalan secara baik dan lancar. Kondisi tersebut pada akhirnya akan meningkatkan efektivitas pencapaian tujuan yang ditetapkan dalam organisasi. Penjelasan tersebut setidaknya memberikan penegasan, bahwa untuk mencapai komunikasi yang efektif dan terarah, pemimpin organisasi harus mampu menetapkan arah dan tujuan organisasi khususnya dalam komunikasi. Semakin intensif komunikasi di dalam organisasi akan membentuk budaya organisasi dan kerjasama yang baik, dan untuk mencapai itu semua memerlukan seorang pemimpin yang professional sebagai pemilik otoritas tertinggi di dalam organisasi. Pendapat Anoraga dan Suyatni (2001) tersebut setidaknya sejalan dengan beberapa hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Halim (2009) yang menunjukkan bahwa adanya pelaksanaan strategi komunikasi yang baik memberikan banyak manfaat bagi karyawan dalam memahami dan melaksanakan progam kerja yang diberikan. Pimpinan fakultas harus lebih mengoptimalkan hubungan komunikasi terhadap karyawan agar dapat berjalan baik dan efektif dalam lingkungan kerja karyawan Fisipol UMY. Penelitian Satlita (2005) juga menunjukkan hal sama, bahwa melalui strategi komunikasi yang handal, ketidakpastian, konflik kepentingan, keterlibatan emosional, opini publik yang berkembang dapat dinetralisir sehingga tidak sampai menjurus pada ketidakpercayaan publik yang dapat menghancurkan organisasi. 5 Berpijak dari penjelasan tersebut, maka keberhasilan komunitas SIPAS yang dinilai memiliki peran signifikan untuk ikut andil dalam pelestarian tradisi jemparingan di Kota Solo Jawa Tengah tentu tidak terlepas dari strategi komunikasi efektif yang tercipta dalam komunitas tersebut. Untuk mengetahui strategi komunikasi yang dibangun dalam komunitas tersebut tentu perlu penelitian yang lebih mendalam. Untuk itu judul yang diajukan dalam penelitian ini adalah “Strategi Komunikasi Komunitas SIPAS Dalam Pelestarian Tradisi Jemparingan Di Kota Solo Jawa Tengah”. 1.2. Permasalahan Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah “Bagaimana strategi komunikasi yang dibangun komunitas SIPAS dalam rangka mendukung pelestarian tradisi jemparingan di Kota Solo Jawa Tengah?”. 1.3.Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan strategi komunikasi yang dibangun komunitas SIPAS dalam rangka mendukung pelestarian tradisi jemparingan di Kota Solo Jawa Tengah. 1.4.Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Dengan melakukan penelitian, penulis berkesempatan memperdalam dan menerapkan teori melalui praktek lapangan, melatih untuk berfikir secara ilmiah dalam mengidentifikasi, menganalisa suatu masalah dengan dasar mengolah data yang diperoleh, khususnya terkait dengan ilmu komunikasi yang berkenaan dengan strategi komunitas yang dibangun komunitas SIPAS dalam rangka mendukung pelestarian tradisi jemparingan di Kota Solo Jawa Tengah. 6 Secara teori hasil penelitian ini juga bermanfaat memberikan tambahan referensi bagi ilmu komunikasi, khususnya berkenaan dengan pola komunikasi dalam kelompok-kelompok yang peduli tentang pelestarian tradisi lokal. 2. Manfaat Praktis Melalui hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan khususnya bagi komunitas SIPAS dalam upaya memperbaiki strategi komunikasi yang dijalankan selama ini, sehingga misi sebagai agen pelestari tradisi jemparingan dapat berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Selain itu, secara praktis hasil penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai referensi kajian pustaka untuk penelitian selanjutnya yang tertarik untuk meneliti masalah yang sama dengan kajian yang berbeda. 1.5. Batasan Masalah Perhatian yang besar terhadap tradisi lokal oleh komunitas tertentu, merupakan suatu hal yang patut dihargai. Sebab selain komunitas tersebut langka keberadaannya, komunitas tersebut juga dinilai telah mampu memberikan kontribusi yang positif terhadap upaya melestarikan tradisi masa lalu. Komunitas SIPAS adalah sekumpulan masyarakat penggemar olahraga jemparingan yang berada di Kota Solo Jawa Tengah. Komunitas ini dinilai oleh LMS (Lembaga Sosial Swadaya) pemerhati pelestari budaya jawa tengah sebagai komunitas yang memiliki peran penting dalam memberikan kontribusi terhadap pelestarian tradisi jemparingan. Keberhasilan kelompok ini dalam ikut berperan dalam pelestarian tradisi jemparingan tentu tidak dapat dilepaskan dari strategi komunikasi yang baik yang dibangun oleh komunitas tersebut. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas maka batasan dalam penelitian ini adalah strategi komunikasi yang dibangun komunitas SIPAS sehingga mampu memberikan dukungan pada pelestarian tradisi jemparingan di Kota Solo Jawa Tengah. 7