1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perairan Teluk Kendari merupakan perairan semi tertutup yang dikelilingi oleh daratan kota Kendari. Oleh karena itu, perairan ini banyak dipengaruhi oleh aktivitas yang berlangsung di daratan seperti permukiman penduduk, pertambakan, industri pengolahan hasil perikanan, penambangan pasir di sekitar daerah aliran sungai, dan pertanian di sepanjang beberapa sungai besar dan kecil yang bermuara ke Teluk Kendari. Sejalan dengan meningkatnya pembangunan, aktivitas manusia di sekitar perairan Teluk Kendari semakin meningkat yang diperkirakan dapat mengakibatkan perubahan kondisi ekologis perairan tersebut seperti kualitas air, struktur komunitas fitoplankton, zooplankton, dan organisme bentik. Perubahan kondisi ekologis tersebut selanjutnya dapat memengaruhi struktur komunitas ikan yang hidup di dalamnya seperti yang terjadi di perairan lain (Orpin et al., 2004, Karakassis et al., 2005, Jaureguizar & Milessi, 2008). Sejak adanya larangan pengoperasian alat tangkap ikan (bagan, sero, jaring, bahan peledak dan beracun) dalam kawasan Teluk Kendari berdasarkan SK Gubernur Sulawesi Tenggara No. 930 tahun 1995, kegiatan penangkapan ikan berkurang di perairan ini. Menurunnya kegiatan penangkapan tersebut membawa konsekuensi yaitu perubahan sumber daya ikan seiring perubahan struktur komunitas ikan yang beradaptasi dengan habitat yang menerima beban masukan antropogenik. Apabila jenis ikan yang menghuni perairan Teluk Kendari tidak mampu memanfaatkan makanan alami yang tersedia maka keberadaannya cenderung punah. Untuk mengantisipasi keadaan tersebut maka diperlukan suatu strategi pengelolaan sumber daya ikan di perairan ini agar tetap produktif dan berkelanjutan. Salah satu informasi yang dibutuhkan untuk upaya tersebut yaitu adanya informasi tentang jejaring makanan komunitas ikan yang didasarkan pada interaksi trofik. Sejauh ini penelitian yang mengungkapkan hal tersebut belum pernah dilakukan di perairan Teluk Kendari. Penelitian yang pernah dilakukan berkelindan dengan satu aspek tertentu seperti status pencemaran (Pangerang, 1994; Afu, 2005; Rahmania, 2005); sedimentasi (Bappeda & PSL Unhalu, 1998; Bappeda, 2000; Salnuddin, 2005); distribusi ikan (Asriyana, 2004); makrozoobentos (Emiyarti, 2004); dan pemanfaatan ruang (Paliawaludin, 2004). Fluktuasi biomassa organisme karena masuknya beban antropogenik maupun alami dan perubahan interaksi antara mangsa dan pemangsa dapat diketahui melalui 2 interaksi trofik (Velasco & Castello, 2005). Selain itu dapat juga diketahui fluktuasi biomassa spesies ikan yang akan dimanfaatkan berdasarkan tingkat trofiknya. Interaksi trofik merupakan keterkaitan antar organisme perairan dalam suatu jejaring makanan. Keterkaitan tersebut dapat dipadukan dengan informasi sumber daya makanan dalam pendekatan ekosistem untuk memperoleh suatu upaya pengelolaan sumber daya ikan secara berkelanjutan. Oleh karena itu penelitian mengenai interaksi trofik komunitas ikan dilakukan di perairan ini yang hasilnya dapat digunakan untuk menunjang upaya pengelolaan sumber daya ikan tersebut. B. Perumusan Masalah Masalah yang dihadapi di perairan Teluk Kendari adalah menurunnya jumlah jenis, individu, dan rataan bobot ikan. Upaya eksploitasi sumber daya ikan di perairan telah berkurang tetapi sumber daya ikan membutuhkan waktu yang panjang untuk pulih kembali. Hal ini berkenaan dengan pertumbuhan ikan yang rendah. Sumber penyebab terjadinya masalah tersebut adalah pemanfaatan materi energi/makanan alami yang tersedia antar jenjang trofik komunitas ikan tidak efisien. Jenis ikan dari trofik tertentu semakin dominan mengakibatkan pemanfaatan makanan alami menjadi tidak efisien. Untuk mengatasi masalah tersebut maka perlu dilakukan upaya pengelolaan agar sumber daya ikan dapat memanfaatkan daya dukung perairan secara optimal. C. Kerangka Pemikiran Beban antropogenik seperti sedimentasi, bahan organik, dan substansi toksik dapat menyebabkan perubahan ekosistem perairan Teluk Kendari. Adanya proses hidrodinamika menyebabkan beban masukan tersebut memengaruhi ketersediaan unsur N dan P di perairan (Gambar 1). Ketersediaan unsur N dan P sebagai nutrien utama yang dibutuhkan oleh fitoplankton untuk tumbuh dan berkembang akan menentukan produksi dan pembentukan biomassa bagi fitoplankton. Ketersediaan fitoplankton di perairan menunjang produksi dan biomassa zooplankton yang berperan besar dalam menjembatani transfer energi dari produser primer (fitoplankton) ke jasad hidup yang berada pada tingkat trofik yang lebih tinggi. Selain fitoplankton dan zooplankton, bentos juga berperan besar dalam menjembatani transfer energi dalam bentuk makanan bagi organisme ikan. Sumber daya 3 ikan yang dapat memanfaatkan makanan alami yang tersedia di perairan akan mempunyai peluang tumbuh maksimal sehingga sumber daya ikan berkembang menjadi produktif. D. Kebaruan Kebaruan yang ditemukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Informasi mengenai komunitas ikan di perairan Teluk Kendari seperti kekayaan jenis dan spektra ukuran. 2. Informasi mengenai interaksi trofik antar populasi ikan di perairan Teluk Kendari. 3. Alternatif pengelolaan sumber daya ikan di perairan semi tertutup dengan pendekatan interaksi trofik. E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis interaksi trofik antar populasi ikan, dan untuk menyusun alternatif pengelolaan sumber daya ikan di perairan Teluk Kendari. Hasil penelitian bermanfaat sebagai dasar pertimbangan dalam pengelolaan sumber daya ikan secara berkelanjutan di perairan Teluk Kendari. 4 Beban Antropogenik Sedimentasi Bahan Organik Substansi Toksik Hidrodinamik ? Unsur N&P + Produksi & Biomassa Fitoplankton Kualitas Air Fitoplankton Produksi & Biomassa Zooplankton Zooplankton Produksi & Biomassa Bentos Bentos Ikan Input Adaptasi & Distribusi ? Pola + Pemanfaatan Efisien ? Pertumbuhan (G) maksimal - + Perkembangan Sumber Daya Ikan Produktif - Struktur Komunitas Proses Gambar 1. Diagram alir pendekatan pemecahan masalah Output 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Morfometrika dan Hidrodinamika Teluk Kendari Perairan Teluk Kendari diperkirakan memiliki luas 1.084 hektar berbentuk pantai melingkar dan melebar ke arah daratan yang ada di bagian barat sedangkan mulut teluk menyempit dan menghadap perairan Laut Banda. Pada bagian mulut teluk terdapat pulau kecil Bungkutoko, sehingga bentuk perairan Teluk Kendari menjadi relatif tertutup (Gambar 2). Secara umum kontur kedalaman perairan mengikuti pola garis pantai teluk dengan kedalaman yang bervariasi antara 0–23 m. Di bagian barat teluk, kontur dasar perairan melandai dan perairan relatif dangkal dengan kedalaman kurang dari 5 m (Dishidros, 2001). Air tawar yang mengalir ke perairan Teluk Kendari bersumber dari empat sungai utama (Sungai Mandonga, Wanggu, Kambu, dan Kadia) dan beberapa sungai kecil. Sungai utama tersebut mengalir sepanjang tahun dengan debit aliran diperkirakan lebih dari 3 m3 det.-1, sedangkan aliran sungai-sungai kecil bersifat musiman karena hanya mengalir pada musim hujan dengan debit diperkirakan kurang dari 1 m3 det.-1 (Bappeda & Unhalu, 1999). Menurut hasil analisis data gerakan pasang, perairan ini mengalami pasang tipe campuran mengarah ke semidiurnal. Kisaran maksimum tinggi pasang terbesar adalah 1,1 meter dan kisaran tinggi pasang kedua adalah 0,4─0,7 meter (Dishidros, 2008). Pergerakan arus relatif seragam yang bergerak dari mulut ke dalam teluk pada saat pasang naik atau sebaliknya pada saat surut dengan kecepatan mencapai 13 km jam-1. Ketinggian gelombang pada musim barat dan timur berkisar 0,3─1,0 meter. Gelombang besar pada bagian luar mulut teluk terjadi di sekitar Pulau Bungkutoko pada musim timur (bulan Juni─Agustus) yaitu antara 1,0─1,5 meter. Ketinggian gelombang relatif lebih besar bila dibandingkan dengan musim barat (bulan Desember─Februari) yaitu 0,5─1,0 meter. Namun demikian pada perairan di dalam Teluk Kendari, ketinggian gelombang tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar musim. Kondisi gelombang relatif lebih tenang dengan ketinggian gelombang rata-rata 0,3 meter (Bappeda, 2000). Dengan bentuk yang relatif tertutup, perairan Teluk Kendari tidak banyak dipengaruhi oleh arus pasang surut, sehingga sedimen yang masuk melalui muara beberapa sungai di sekitar teluk dengan cepat mengendap. Sedimen yang terjadi di Sungai Wanggu adalah 2.591.583 t th-1 atau 1.969.603 m3 th-1 (Bappeda & PSL Unhalu, 1998). 6 Indikasi ini dapat dilihat dari penurunan luas Teluk Kendari dari 1.186,166 ha pada tahun 1987 menjadi 1.084,671 ha pada tahun 2000 (Bappeda, 2000). Wilayah pantai Teluk Kendari mempunyai morfologi yang beragam yaitu permukiman penduduk di bagian utara, pertambakan di bagian selatan, dan ekosistem mangrove di bagian barat. Kerapatan mangrove pada wilayah ini relatif tipis (20 hingga 100 meter) dan bahkan pada lokasi tertentu ada yang sudah hilang sama sekali sebagai akibat konversi menjadi tambak secara total. Kerapatan mangrove cukup maksimum banyak dijumpai di lokasi yang dilewati oleh aliran sungai (di sekitar muara Sungai Wanggu, Kambu dan Kadia) (Bappeda & PSL Unhalu, 1998). Komunitas ikan di perairan Teluk Kendari tahun 1994 dilaporkan terdiri atas 12 jenis ikan yaitu kembung (Rastrelliger sp.), layang (Decapterus ruselli), selar (Selaroides sp.), ekor kuning (Caesio erythrogaster), tembang (Sardinella fimbriata), pisang pisang (Caesio sp.), teri (Stolephorus sp.), julung-julung (Hemiramphus sp.); dan ikan perairan pantai dan muara sungai seperti; beronang (Siganus virgatus), bandeng (Chanos chanos), belanak (Mugil sp.), dan mujair (Oreochromis sp.) (Pangerang 1994). Tahun 2004 dilaporkan tiga jenis yang ditemukan yaitu ikan layur (Lepturacanthus savala), tembang, dan belanak (Asriyana, 2004). Perbedaan komposisi jenis ikan tersebut berhubungan dengan penggunaan alat tangkap yang berbeda. B. Lingkungan Perairan Hubungan antara distribusi spesies dan variabel lingkungan dapat dipahami melalui identifikasi proses ekologi yang mengatur populasi dan komunitas. Perubahan kondisi lingkungan menyebabkan banyak spesies berubah habitatnya sesuai dengan perkembangan stadia hidupnya (ontogeny) atau ritme musiman. Hal ini berarti bahwa hubungan antar spesies dengan lingkungan atau habitatnya merupakan suatu dinamika spasial dan musiman (Kennish, 2000; Morrison et al., 2002; Kanou et al., 2005). Keberadaan organisme perairan sangat dipengaruhi keadaan lingkungannya dalam skala ruang dan waktu. Parameter kualitas air utama yang berperan dalam menentukan distribusi ikan di perairan teluk dan estuari adalah salinitas (Kennish, 2000; Girling et al., 2003; Pombo et al., 2005; Greenwood, 2007), suhu (Wootton, 1992; 1994; Kennish, 2000; Pombo et al., 2005), kekeruhan (Blaber & Blaber, 1980; Blaber, 1997), pH dan oksigen terlarut (Kennish, 2000; Smith & Able, 2003; Boesch et al., 2007; França et al., 2008). Karakteristik sedimen serta adanya vegetasi akan berpengaruh di dalam 7 ketersediaan makanan bagi ikan dan untuk perlindungan terhadap predator (Blaber, 1997). Perubahan salinitas akan memengaruhi keberadaan ikan dalam suatu perairan sehingga ikan akan melakukan penyesuaian tekanan osmotik antara sitoplasma dari selsel dalam tubuh ikan dengan salinitas lingkungan (Blaber, 1997; Kennish, 2000; Girling et al., 2003; Pombo et al., 2005; Greenwood, 2007). Organisme cenderung untuk mendiami daerah yang hampir dapat diprediksi gradien salinitasnya, karena toleransinya terhadap salinitas (Kennish, 2000; Greenwood, 2007) atau karena kondisi habitat dan makanan yang menguntungkan (Kennish, 2000; Pombo et al., 2005; Islam et al., 2006; Greenwood, 2007). Struktur komunitas ikan di Teluk Barnegat dan Tampa menunjukkan perubahan berdasarkan sebaran gradien salinitas (Kennish, 2000; Cardona, 2006; Greenwood, 2007). Sebaran salinitas tersebut sangat menentukan komposisi spesies, kelimpahan dan distribusi ikan di perairan tersebut. Fluktuasi kelimpahan dan biomassa ikan di Caeté Estuary, Brazilia utara mengalami peningkatan di awal musim hujan dan menurun kembali setelah musim hujan berakhir (Barletta et al., 2003). Hal ini berkaitan dengan meningkatnya limpasan air (runoff) dari daratan ke dalam estuari yang kaya akan makanan dan adanya tempat perlindungan untuk berbagai jenis ikan. Sebagian besar ikan menggunakan perairan ini untuk mencari makanan dan tumbuh karena perairan ini memberikan perlindungan dan ketersediaan makanan yang cukup tinggi bagi spesies ikan laut dan juvenil ikan (Kuo et al., 2001). Suhu perairan memengaruhi laju metabolisme, aktivitas mencari makan (Wootton, 1984; Kennish, 2000), pertumbuhan (Effendie, 1997), reproduksi ikan (Wootton, 1992) dan sangat penting dalam menentukan distribusi kelimpahan ikan di perairan Teluk Bengal Sri Lanka (Blaber, 1997) dan Terminos Lagoon (Kennish, 2000). Kekeruhan perairan merupakan faktor yang memengaruhi distribusi juvenil dan ikan dewasa di Teluk Moreton (Blaber & Blaber, 1980). Kekeruhan terutama dipengaruhi oleh bahan-bahan tersuspensi seperti: lumpur, pasir, bahan organik, plankton serta organisme mikroskopis lainnya. Kekeruhan memengaruhi kecepatan pengejaran ikan dalam mencari makanannya (Barrett et al., 1992; Valdimarsson & Metcalfe, 2001; Nurminen & Horppila, 2006); komposisi spesies dan kelimpahan ikan (Blaber, 1997); pembatas dari interaksi hubungan mangsa-pemangsa dengan mengurangi resiko 8 pemangsaan bagi mangsa (Grecay & Timothy, 1996; Abrahams & Kattenfeld, 1997), dan densitas makanan (Sirois & Dodson, 2000a). Konsentrasi makanan yang lebih tinggi pada daerah yang keruh (banyak plankton) meningkatkan laju pertemuan ikan dengan mangsanya. Hal tersebut merupakan faktor yang menentukan dalam kesuksesan mencari makanan untuk ikan yang mempunyai kemampuan renang dan ketajaman penglihatan yang terbatas, larva dan juvenil ikan (Shoji et al., 2005) dan meningkatkan pertumbuhan larva ikan estuari rainbow smelt Osmerus mordax (Sirois & Dodson, 2000b). Kelarutan oksigen di perairan sangat berpengaruh terhadap kehidupan organisme perairan khususnya ikan. Konsentrasi oksigen terlarut sekurang-kurangnya 3 mg L-1 masih dapat mendukung kehidupan organisme perairan (Pingguo, 1989). Kekurangan oksigen mengganggu fungsi ekosistem yang normal seperti memengaruhi siklus nutrien dan material lain dalam ekosistem (Odum, 1998; Breitburg et al., 1997), menyebabkan stres dan kematian pada biota (Breitburg et al., 1997; Smith & Able, 2003; Boesch et al., 2007; ESA, 2009), perubahan habitat (Smith & Able, 2003) dan perubahan interaksi antara predator dan mangsanya (Breitburg et al., 1997; Smith & Able, 2003; França et al., 2008). Ikan-ikan mempunyai variasi adaptasi untuk bertahan hidup pada habitat yang kekurangan oksigen melalui perubahan tingkah laku (meningkatkan laju respirasi, menghindari daerah yang kandungan oksigennya rendah dan mengurangi aktivitas) dan fisiologi (meningkatkan efisiensi respirasi di permukaan perairan). C. Jejaring Makanan Komunitas ikan sebagai satu kesatuan memiliki fungsi tertentu, struktur trofik, pola arus energi dan komposisi di dalam ekosistem (Jackson et al., 2001). Faktor biotik yang memengaruhi struktur komunitas ikan adalah hubungan pemangsaan dan kompetisi (Valiela, 1989; Odum, 1998; Winemiller & Jepsen, 1998; Kennish, 2000; Jennings et al., 2003; Labropoulou & Papaconstantinou, 2004). Kompetisi antar individu di dalam satu spesies atau antar spesies terjadi ketika organisme tersebut menggunakan suatu sumber daya yang sama dan terbatas ketersediaannya. Menurut Jaureguizar & Milessi (2008), aktivitas manusia seperti penangkapan dan modifikasi lingkungan memberi dampak yang besar terhadap ekosistem. Dampak tersebut menyebabkan perubahan terhadap kelimpahan, produktivitas, dan struktur komunitas seperti perubahan dominansi spesies, spektra ukuran, dan hasil tangkapan. Sebagai 9 akibatnya, hasil tangkapan perikanan secara bertahap berubah dari spesies yang berada di tingkat trofik atas menjadi spesies yang berada pada tingkat trofik bawah dalam jejaring makanan. Interaksi trofik memengaruhi hubungan antara keanekaragaman biologi dan stabilitas proses ekosistem. Keanekaragaman memengaruhi kekuatan interaksi spesies (kompetisi). Meningkatnya keanekaragaman dapat meningkatkan kompetisi, efek konsumer terhadap perubahan biomassa produser, dan keanekaragaman mangsa (Odum, 1998; Kennish, 2000; Bozec et al., 2005; Thĕbault & Loreau, 2005). Jejaring makanan menggambarkan hubungan keterkaitan antar organisme mulai tingkatan trofik terendah sampai dengan tingkatan trofik tertinggi. Di dalam jejaring makanan terdapat mekanisme saling memengaruhi antara tingkatan trofik paling atas terhadap tingkatan trofik di bawahnya (top down effect) dan sebaliknya dari tingkatan trofik paling bawah ke tingkatan trofik di atasnya (bottom up effect) (Chassot et al., 2005). Pemangsaan dapat memengaruhi kepadatan populasi pada tingkatan trofik berbeda (Valiela, 1989; Odum, 1998; Winemiller & Jepsen, 1998; Jennings et al., 2003), sedangkan ketersediaan makanan dapat memengaruhi tingkat trofik di atasnya (Valiela, 1989; Chassot et al., 2005). Berdasarkan beberapa definisi mengenai tingkat trofik (Gallopin, 1972; Odum, 1998; Kennish, 2000; Jennings et al., 2003; Widodo & Suadi, 2006), dapat disimpulkan bahwa tingkat trofik merupakan tahapan transfer material atau energi dari setiap jenjang atau kelompok ke jenjang berikutnya, yang dimulai dari produser primer (fitoplankton), jenjang berikutnya adalah konsumer primer (herbivora), kemudian sekunder, tersier, dan seterusnya yang diakhiri dengan predator puncak. Keterkaitan tingkat trofik ikan dan produktivitas primer di perairan dapat dilihat dalam model jejaring makanan. Dalam jejaring makanan, informasi mengenai kebiasaan makan ikan sangat penting diketahui. Kebiasaan makan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain ukuran dan umur ikan dalam memanfaatkan makanan yang tersedia (Rivera et al., 2000; Asriyana et al., 2004); habitat hidupnya (Nicolas et al., 1999; Goncçalves et al., 2002), kesukaan terhadap jenis makanan tertentu (Livingston, 1980; Weatherley & Gill, 1987); musim yang berkaitan dengan ketersediaan makanan di perairan (Popova, 1978; Asriyana et al., 2004); dan jenis kompetitor. Makanan merupakan kunci pokok bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan (Cowx, 1999). Produksi ikan merupakan hasil dari pertumbuhan. Untuk tumbuh, ikan harus mengambil makanan secara efektif dan mengkonversi makanan menjadi jaringan 10 tubuh setelah dikurangi pembelanjaan energi untuk fekal, metabolisme, dan urin (Jennings et al., 2003). Makanan merupakan faktor penentu bagi perkembangan populasi ikan (Odum, 1998) sehingga memengaruhi distribusi dan kelimpahan populasi di perairan. Distribusi kelompok ikan pelagis dengan kelimpahan yang tinggi sering terkonsentrasi pada daerah-daerah dengan produktivitas primer yang cukup tinggi (Nontji, 1993). Beberapa spesies tersebut khusus menggunakan makanan pada tingkat trofik yang paling rendah (fitoplankton atau detritus) (Day et al., 1989). D. Pengelolaan Sumber Daya Ikan Pengelolaan sumber daya ikan merupakan kesatuan proses yang dilakukan untuk menunjang keberlanjutan sumber daya ikan. Pengelolaan tersebut meliputi metode holistik, analitik, dan pendekatan ekosistem (King, 1995; Sparre & Venema 1998; Jennings et al., 2003; Widodo & Suadi, 2006). Model holistik merupakan model yang memperlakukan populasi sebagai biomassa yang homogen dan tidak memperhitungkan strukturnya (komposisi umur, ukuran, dan seks). Model ini sukar diterapkan pada perikanan tropis yang multi jenis dan beragam alat tangkap karena terdapat sejumlah kesulitan jika dikaitkan dengan ketersediaan data yang akurat dan dapat diandalkan (Widodo & Suadi, 2006). Model analitik merupakan model yang didasarkan pada deskripsi stok yang lebih rinci dan lebih banyak membutuhkan data masukan (kualitas dan kuantitas) seperti parameter pertumbuhan, rekrutmen, dan mortalitas. Metode ini lebih menekankan pada dinamika populasi dari spesies target saja, dan interaksi antara satu spesies dengan spesies lain tidak diperhatikan, padahal perikanan tropis merupakan multi jenis sehingga adanya penangkapan terhadap satu spesies memberikan dampak terhadap spesies lain (Valiela, 1989; Jennings et al., 2003; Widodo & Suadi, 2006). Pendekatan ekosistem merupakan pendekatan yang mengikutsertakan keseluruhan komponen utama ekosistem dan berbagai jasa yang diberikannya dalam perhitungan untuk memperoleh suatu upaya pengelolaan perikanan secara berkelanjutan (Jennings et al., 2003; Widodo & Suadi, 2006), serta dapat diterapkan pada perikanan multi jenis. Pendekatan tersebut memadukan berbagai informasi yang tersedia seperti produktivitas primer, sumber daya ikan, dan berbagai pola hubungan makan-memakan atau rantai dan jaring makanan, untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh dari proses dinamis yang terjadi pada ekosistem perairan. Pengelolaan dengan pendekatan ekosistem membutuhkan 11 informasi mengenai struktur sistem jaringan makanan untuk menentukan keterkaitannya dengan produktivitas perairan dan perikanan. Menurut Garcia et al. (2003), suatu pendekatan ekosistem mempertimbangkan interaksi antara komponen fisik, biologis dan manusia yang dapat menjamin kesehatan setiap komponen termasuk di dalamnya keberlanjutan spesies yang dikelola. Interaksi di dalam ekosistem memerlukan identifikasi empat kompartemen utama ekosistem yaitu: komponen non hayati, hayati, perikanan tangkap, dan komponen kelembagaan. Selanjutnya dinyatakan bahwa pengelolaan perikanan berbasis ekosistem membutuhkan pengelolaan yang mempertimbangkan semua interaksi stok ikan sasaran dengan pemangsaan, pesaing dan mangsa (Ward et al., 2002a dan 2002b; Garcia et al., 2003), efek dari cuaca dan iklim terhadap ekologi perikanan, interaksi yang kompleks antara ikan dan habitatnya, dan efek penangkapan terhadap stok ikan dan habitat (Scandol et al., 2005).