1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pertumbuhan linear pada anak usia dini dianggap sebagai penanda
pertumbuhan yang baik, yang berkaitan dengan risiko kesakitan dan kematian
jangka pendek, kejadian penyakit tidak menular ketika dewasa, penurunan
kemampuan belajar, serta rendahnya produktivitas kerja (McDonald et al., 2013).
Seorang anak dikatakan stunting apabila panjang atau tinggi badan menurut usia
berada di bawah -2 standar deviasi (SD) median menurut standar baku rujukan
pertumbuhan anak (WHO, 2010).
Terdapat 165 juta anak di bawah lima tahun mengalami stunting dan
90% berada di Afrika dan Asia. Target global adalah menurunkan stunting
sebanyak 40% pada tahun 2025 (WHA, 2014). Indonesia termasuk dalam kategori
negara dengan prevalensi stunting yang cukup tinggi, yaitu 30 – 39%. Indonesia
menempati peringkat kelima dunia dengan jumlah anak stunting terbanyak
(Trihono et al., 2015). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013
menunjukkan bahwa secara nasional prevalensi stunting pada tahun 2013 sebesar
37,2% yang terdiri dari 18,0% sangat pendek dan 19,2% pendek. Angka prevalesi
tersebut menunjukkan adanya peningkatan jika dibandingkan dengan angka
prevalensi nasional tahun 2010 (35,6%) dan tahun 2007 (36,8%). Peningkatan
terutama terjadi pada prevalensi pendek yaitu dari dari 18,0% pada tahun 2007
menjadi 19,2% pada tahun 2013, sedangkan prevalensi sangat pendek
menunjukkan penurunan, dari 18,8% tahun 2007 dan 18,5% tahun 2010 menjadi
18,0% pada tahun 2013 (Kemenkes 2013). Prevalensi stunting tertinggi berada
pada anak usia 24–59 bulan (Fikadu et al., 2014).
Faktor-faktor penyebab stunting sangat kompleks dan multifaktorial,
antara lain faktor genetik, sosial ekonomi yang rendah, kurangnya pendidikan dan
pengetahuan orang tua, serta jumlah keluarga yang banyak (Senbanjo et al.,
2011). Meskipun potensi genetik yang diwarisi oleh orang tua adalah penentu
utama pertumbuhan tulang pada anak, pemberian zat gizi yang optimal tetap
1
berperan sebagai landasan yang berinteraksi kuat untuk mencapai potensi
pertumbuhan (Khairy et al., 2010).
Studi-studi saat ini menunjukkan bahwa anak stunting sangat berhubungan
dengan prestasi pendidikan yang buruk, lama pendidikan yang menurun dan
pendapatan yang rendah saat dewasa. Anak stunting menghadapi kemungkinan
yang lebih besar untuk tumbuh menjadi dewasa yang kurang pendidikan, miskin,
kurang sehat, dan lebih rentan terhadap penyakit tidak menular. Anak stunting
juga merupakan prediktor buruknya kualitas sumber daya manusia yang diterima
secara luas, yang selanjutnya menurunkan kemampuan produktif suatu bangsa di
masa yang akan datang (Trihono et al., 2015).
Penyebab utama terhambatnya pertumbuhan bayi dan anak-anak adalah
rendahnya kualitas makanan. Anak membutuhkan makanan tidak hanya untuk
pemeliharaan jaringan tubuh, tetapi juga untuk pertumbuhan. Pertumbuhan tinggi
badan merupakan interaksi antara faktor genetik, zat gizi makro dan zat gizi mikro
selama periode pertumbuhan (Stewart et al., 2013). Kalsium merupakan mineral
sebagai zat gizi mikro yang penting dalam proses pembentukan tulang. Konsumsi
kalsium dalam jumlah yang cukup harus terpenuhi selama masa kanak-kanak dan
remaja untuk pertumbuhan dan perkembangan tulang yang sehat (Prentice et al.,
2012). Anak-anak yang kekurangan kalsium dapat mengalami stunting, dan pada
bayi dapat mengakibatkan menderita rakhitis (Peacock, 2010). Adaptasi
pembentukan tulang dikendalikan oleh faktor-faktor hormon seperti hormon
pertumbuhan, hormon tiroid, kalsitonin, hormon paratiroid (PTH), dan hormon
kelamin (androgen dan estrogen), serta faktor zat gizi yang penting untuk
pertumbuhan dan perkembangan tulang yang sempurna meliputi kalsium, fosfor,
vitamin A dan vitamin D (Sloane, 2003).
Penelitian Khairy et al. (2010) menunjukkan bahwa kadar kalsium serum,
fosfor dan magnesium serta konsentrasi zink, selenium, dan tembaga pada anakanak stunting secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan kelompok
kontrol (p<0,05). Ejaz & Latif (2010) memaparkan bahwa kekurangan kalsium
terkait dengan kejadian gagal tumbuh. Sebanyak 42% anak penderita gizi buruk
juga mengalami stunting tingkat berat. Hasil penelitian Laillou et al. (2013)
2
menunjukkan bahwa hipokalsemia ringan ditemukan pada 97% dari seluruh
sampel anak-anak dengan prevalensi stunting sebesar 23,5%. Kekurangan kalsium
terutama disebabkan oleh asupan yang tidak memadai dan atau penyerapan
kalsium yang tidak optimal, hal ini mengakibatkan dampak merugikan pada
kekebalan tubuh dan kesehatan tulang.
Kalimantan Barat merupakan salah satu dari 20 provinsi dengan angka
stunting yang berada diatas prevalensi nasional. Berdasarkan hasil Riskesdas
tahun 2013, prevalensi stunting di Kalimantan Barat yaitu sebesar 38,6% yang
terdiri dari 22,5% sangat pendek dan 16,1% pendek. Prevalensi balita stunting di
Kota Pontianak pada tahun 2014 sebanyak 17,72%. Prevalensi tertinggi terdapat
di Kecamatan Pontianak Timur, yaitu sebesar 26,94%, diikuti Kecamatan
Pontianak Utara 25,56% (Profil Dinas Kesehatan Propinsi Kalimantan Barat,
2015).
Kecamatan Pontianak Timur dikategorikan sebagai daerah relatif tertinggal
(low growth and low income) dengan kondisi baik pertumbuhan ekonomi dan
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) perkapita berada dibawah Kota
Pontianak, dapat diartikan bahwa masyarakat di Kecamatan Pontianak Timur
dalam kondisi tingkat kesejahteraan yang berada dibawah kecamatan lainnya.
Kecamatan Pontianak Utara dikategorikan sebagai daerah berkembang (high
growth but low income), dengan kondisi pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dari
Kota Pontianak, namun nilai PDRB perkapita masih berada dibawah Kota
Pontianak karena jumlah penduduk relatif lebih besar dari kecamatan lainnnya
(Pemerintah Kota Pontianak, 2014). Mengingat bahwa belum pernah dilakukan
penelitian serupa di wilayah Indonesia, termasuk Kalimantan Barat, maka penulis
melakukan penelitian mengenai kadar kalsium serum pada anak stunting dan tidak
stunting usia 24-59 bulan di Kota Pontianak.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut: Apakah ada perbedaan kadar kalsium serum pada
anak stunting dan anak tidak stunting usia 24-59 bulan di Kota Pontianak?
3
C. Tujuan Penelitian
Menganalisis perbedaan kadar kalsium serum pada anak stunting dan tidak
stunting usia 24-59 bulan di Kota Pontianak.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Pemerintah Daerah
Memberikan masukan bagi para pembuat kebijakan di tataran
pemerintahan dalam menentukan kebijakan yang tepat dalam mengatasi
permasalahan stunting di Kalimantan Barat.
2. Bagi Dinas Kesehatan
Sebagai sarana untuk melaksanakan perencanaan program perbaikan gizi
secara menyeluruh khususnya untuk anak usia 24 – 59 bulan dalam mengatasi
permasalahan stunting.
3. Bagi Peneliti
Menambah wawasan peneliti mengenai permasalahan stunting yang
berkaitan dengan kadar kalsium serum.
E. Keaslian Penelitian
Beberapa penelitian yang relevan dengan topik penelitian ini adalah:
1. Khairy et al. (2010). Plasma micronutrient levels of stunted Egyptian school
age children. Variabel independen: kadar hemoglobin, serum vitamin A,
kalsium, fosfor, magnesium, selenium, seng dan tembaga. Variabel dependen:
stunting. Metode penelitian: Penelitian ini menggunakan desain cross
sectional study dengan subyek 100 anak stunting usia 6-18 tahun pada
kelompok kasus dan 100 anak normal pada kelompok kontrol dengan
matching usia dan jenis kelamin. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata kadar
kalsium serum lebih rendah pada kelompok stunting (7,55±1,46 mg/dL)
dibandingkan dengan kelompok kontrol (8,72±1,35 mg/dL) dengan perbedaan
yang signifikan (p<0,05). Perbedaan dengan penelitian ini adalah variabel
independen kadar hemoglobin, serum vitamin A, fosfor, magnesium,
selenium, seng dan tembaga. Persamaan dengan penelitian ini adalah variabel
4
independen kadar kalsium serum, variabel dependen stunting serta desain
penelitian cross sectional.
2. Mikhail et al. (2013). Effect of nutritional status on growth pattern of stunted
preschool children in Egypt. Variabel independen: Kadar hemoglobin, serum
kalsium, seng, vitamin A, thyroid-stimulating hormone (TSH), thyroxine (T4),
triiodothyronine (T3) dan albumin, analisis tinja, dan asupan zat gizi. Variabel
dependen: stunting. Metode penelitian: Penelitian ini menggunakan desain
case control study, dengan subyek 100 anak stunting usia 2-<5 tahun pada
kelompok kasus dan 50 anak normal pada kelompok kontrol dengan matching
usia, jenis kelamin dan keadaan sosial ekonomi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kadar albumin, TSH, T3, T4, kalsium, seng, dan vitamin A secara
signifikan lebih rendah pada kelompok stunting. Rata-rata kadar kalsium
serum lebih rendah pada kelompok stunting (8,49±1,84 mg/dL) dibandingkan
dengan kelompok kontrol (9,66±1,26 mg/dL), dengan perbedaan yang
signifikan (p=0,0008). Perbedaan dengan penelitian ini adalah variabel
independen penilaian kadar hemoglobin, seng, vitamin A, TSH, T4, T3 dan
albumin, analisis tinja, dan asupan zat gizi serta desain penelitian case control.
Persamaan dengan penelitian ini adalah variabel independen kadar kalsium
serum dan variabel dependen stunting.
3. Amare et al. (2012). Micronutrient levels and nutritional status of school
children living in Northwest Ethiopia. Variabel independen: Kadar
magnesium, kalsium, besi, tembaga, seng, selenium dan molibdenum dalam
serum. Variabel dependen: status gizi. Metode penelitian: Penelitian ini
menggunakan desain cross sectional study, dengan subyek 100 anak usia
sekolah dasar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi stunting pada
anak sekolah sebesar 23%. Kadar kalsium serum pada seluruh sampel
tergolong normal dan tinggi. Rata-rata kadar kalsium serum pada anak severe
stunting yaitu 14,12±2,13 mg/dL, moderate stunting yaitu 15,32±2,00 mg/dL,
mild stunting yaitu 15,16±1,87 mg/dL, dan anak normal yaitu 15,59±2,34
mg/dL. Korelasi antara stunting dengan kadar kalsium serum tidak
menunjukkan nilai yang signifikan (p=0,161). Perbedaan dengan penelitian ini
5
adalah variabel independen kadar magnesium, besi, tembaga, seng dan
selenium dalam serum dan sampel penelitian pada anak sekolah. Persamaan
dengan penelitian ini adalah variabel independen kadar kalsium serum,
variabel dependen stunting serta desain penelitian cross sectional.
4. Ozmen et al. (2013). The levels of calcium and magnesium, and of selected
trace elements, in whole blood and scalp hair of children with growth
retardation. Variabel independen: Kadar besi, seng, tembaga, kalsium dan
magnesium dalam darah dan kulit kepala. Variabel dependen: Retardasi
pertumbuhan. Metode penelitian: Penelitian ini menggunakan desain
quantitative elemental analysis dengan subyek total 48 anak (27 anak dengan
retardasi pertumbuhan, 21 kontrol) usia 4-12 tahun di Kota Elazig, Turki
bagian timur. Rata-rata kadar kalsium serum pada anak dengan retardasi
pertumbuhan yaitu 11,57±3,91 mg/dL dan anak normal yaitu 12,43±0,73
mg/dL. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar kalsium serum tidak
berbeda secara signifikan antara anak dengan retardasi pertumbuhan dengan
anak normal (p=0,25). Perbedaan dengan penelitian ini adalah pemeriksaan
variabel independen yang juga dilakukan di rambut. Selain kalsium,
pemeriksaan juga dilakukan pada zat besi, seng, tembaga, dan magnesium.
Persamaan dengan penelitian ini adalah variabel independen kadar kalsium
serum, variabel dependen retardasi pertumbuhan.
6
Download