Aspek Pengemudi pada Kecelakaan Metromini Melok Roro Kinanthi

advertisement
Aspek Pengemudi pada Kecelakaan Metromini
Melok Roro Kinanthi
Fakultas Psikologi Universitas YARSI
[email protected]
Mengutip pemberitaan di sejumlah media massa, sejumlah Metromini tak laik jalan
telah dikandangkan oleh Pemprov dan Dinas Perhubungan DKI Jakarta pada Desember 2015
ini. Metromini yang dikandangkan tersebut adalah yang tidak memperbarui izin trayek,
mengalami kerusakan dan tidak lolos uji kir,
serta tidak memenuhi kelengkapan surat.
Seperti yang dikutip dari situs berita Kompas Online (17/12/15), tindakan mengandangkan
Metromini itu dilakukan menyusul kecelakaan berturut-turut yang melibatkan Metromini
ugal-ugalan.
Salah satu kecelakaan yang melibatkan Metromini yang menarik perhatian khalayak
baru-baru ini adalah tertabraknya Metromini jurusan Kota-Kalideres di Perlintasan Tubagus
Angke, Jakarta Barat. Saksi mata melaporkan, pengemudi Metromini menerobos palang
perlintasan kereta api yang telah ditutup melalui celah yang tidak tertutup. Pengemudi tidak
menghiraukan peringatan sejumlah orang agar tidak nekat melintas.
Dalam upayanya mengatasi kecelakaan yang melibatkan Metromini (dan juga
angkutan umum lainnya), kebijakan yang diambil oleh pemerintah selama ini masih
menitikberatkan pada hal-hal teknis dan fisik kendaraan, semata, seperti pemeriksaan uji kir,
kelengkapan surat, kelaikan kendaraan hingga penataan trayek. Berbagai upaya tersebut
tentunya tidak keliru, hanya saja perlu dilengkapi dengan upaya lain yang menitikberatkan
pada aspek yang selama ini kurang menjadi fokus, yakni pengemudi Metromini itu sendiri.
Dalam bukunya yang berjudul The Psychology of Driving, Graham Hole (1997)
mengemukakan mayoritas kecelakaan di jalan raya terjadi karena kesalahan manusia
(termasuk pengemudi) dan bukan karena hal mekanik. Pengemudi merupakan aktor utama
dan pengambil keputusan dalam berkendara.
Persepsi terhadap Resiko
Perilaku mengemudi pengemudi Metromini yang ugal-ugalan kerap dituding sebagai
penyebab kecelakaan. Dalam kajian psikologi berkendara, perilaku ugal-ugalan yang
ditunjukkan pengemudi Metromini tersebut memiliki keterkaitan dengan persepsi pengemudi
terhadap resiko. Wilde (1987) mengemukakan ketika individu mempersepsikan telah terjadi
perubahan tingkat resiko pada suatu hal (misalnya dari tinggi ke rendah), secara tidak sadar ia
akan melakukan upaya untuk membuat tingkat resiko tersebut kembali ke posisi semula.
Mengacu pada teori Wilde (1987) tersebut, kebijakan pemerintah yang berorientasi teknis
semata (misal peremajaan angkutan), yang bertujuan meningkatkan kelaikan kendaraan,
kiranya kurang efektif untuk menekan angka kecelakaan Metromini. Asumsinya, kendaraan
yang prima akan menjadikan pengemudi merasa aman. Rasa aman tersebut membuat
pengemudi mempersepsikan tingkat resiko kecelakaan menjadi lebih rendah sehingga secara
tidak sadar ia akan menaikkan kembali tingkat resiko ke titik semula dengan cara mengemudi
secara sembrono dan tidak hati-hati.
Tokoh lain, Groeger dan Brown (1989), mengatakan sejauh mana perilaku pengemudi
akan menghasilkan resiko kecelakaan tergantung pada persepsi pengemudi tentang
kemampuan mereka dalam menghadapi potensi bahaya. Pengemudi yang meremehkan
bahaya atau terlalu percaya diri dengan kemampuannya mengatasi resiko bahaya, lebih rentan
mengalami kecelakaan. Dalam kasus tertabraknya Metromini oleh KRL beberapa waktu lalu,
pengemudi menganggap enteng potensi bahaya yang mungkin terjadi akibat menerobos
palang perlintasan yang sudah tertutup sekaligus merasa percaya diri bahwa ia dapat
menyebrang rel sebelum KRL melintas. Perilaku sembrono tersebut bisa diperoleh dari
pembelajaran sosial dan keyakinan yang keliru dalam balutan bias optimis. Dalam hal ini,
individu mengamati keberhasilan pengemudi lain dalam menerobos palang perlintasan kereta
api dan karenanya menirunya; sementara itu adanya pemberitaan mengenai kasus tertabrak
KRL tidak mempengaruhi intensinya karena ia meyakini (secara keliru) bahwa hal buruk
hanya akan menimpa orang lain dan bukan dirinya (bias optimis).
Faktor Lain
Faktor lain yang juga berperan dalam terciptanya perilaku ugal-ugalan pengemudi
Metromini dalam berkendara adalah kurangnya kesadaran mereka terhadap pentingnya
keselamatan penumpang. Dengan alasan harus memenuhi jumlah setoran, dalam menjalankan
tugasnya para pengemudi ini cenderung berorientasi pada mengejar materi daripada orientasi
pelayanan publik. Orientasi yang demikian menjadi lebih dapat dipahami jika kita menilik
pada teori Hirarki Kebutuhan dari Maslow, yakni manusia cenderung memenuhi kebutuhan
yang lebih rendah dulu (dalam hal ini pemenuhan materi) sebelum memenuhi kebutuhan
yang lebih tinggi (melayani masyarakat). Untuk itu, upaya memperbaiki teknis kendaraan
perlu dibarengi upaya lain diantaranya mengubah orientasi pengemudi (dari semata-mata
mengejar keuntungan menjadi pelayanan publik) agar mendapatkan hasil yang efektif.
Sebagus dan seprima apapun kondisi kendaraan, jika orientasi pengemudi melulu mengejar
materi, maka perilaku ugal-ugalan tetap akan terjadi.
Lantas apa yang perlu dilakukan pemerintah? Yang perlu dilakukan adalah mengikut
sertakan penanganan terhadap faktor non teknis dalam mengatasi masalah Metromini.
Pemerintah perlu lebih fokus membenahi sumber daya manusia dengan melakukan
pembinaan terhadap pengemudi Metromini. Pembinaan diantaranya dapat dilakukan dengan
perlahan mengubah kerangka berpikir mereka terkait dengan persepsi resiko dan orientasi
dalam bekerja. Di saat yang sama, pemerintah perlu juga memperbaiki sistem pengelolaan
transportasi publik, misalnya dengan mengubah sistem setoran menjadi sistem pengupahan
bagi pengemudi Metromini.
Download