iii. tinjauan pustaka

advertisement
III. TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Pengertian Regional
Sebelum membahas teori pertumbuhan dan pembangunan ekonomi
daerah, ada baiknya dibahas pengertian daerah atau regional terlebih dahulu.
Pengertian daerah berbeda-beda tergantung pada aspek tinjauannya. Dari aspek
ekonomi, daerah memiliki tiga pengertian (Arsyad, 1999) yaitu :
1. Suatu daerah dianggap ruang dimana kegiatan ekonomi terjadi dan di dalam
berbagai plosok ruang tersebut terdapat sifat-sifat yang sama. Kesamaan sifatsifat tersebut antara lain dari segi pendapatan per kapitanya, sosial budaya,
geografisnya, dan lain sebaginya. Daerah dalam pengertian seperti ini disebut
daerah homogen.
2. Daerah dianggap sebagai suatu ekonomi ruang yang dikuasai oleh satu atau
beberapa pusat kegiatan ekonomi. Daerah seperti ini disebut sebagai daerah
nodal.
3. Suatu daerah adalah suatu ruang kegiatan ekonomi yang berada di bawah satu
administrasi tertentu, seperti provinsi, kabupaten, kecamatan dan lain
sebagainya. Jadi pengertian daerah disini didasarkan pada pembagian
administrasi suatu negara. Daerah dalam pengertian seperti ini disebut sebagai
daerah perencanaan atau daerah administrasi.
Dalam praktek sehari-hari, jika membahas perencanaan pembangunan
ekonomi daerah maka pengertian yang ketiga tersebut di atas yang lebih banyak
digunakan, karena: (1) dalam melaksanakan kebijaksanaan dan rencana
pembangunan daerah diperlukan tindakan–tindakan berbagai lembaga pemerintah.
Oleh karena itu, akan lebih praktis jika suatu negara dipecah menjadi beberapa
45
daerah ekonomi berdasarkan satuan administratif yang ada, dan (2) daerah yang
batasannya ditentukan secara administratif lebih mudah
dianalisis, karena
biasanya pengumpulan data diberbagai daerah dalam suatu negara, pembagiannya
didasarkan pada satuan administratif.
Pengertian pertumbuhan ekonomi (economic growth) dan pembangunan
ekonomi (economic development) masih sering jadi perdebatan para ekonom.
Menurut Djojohadikusumo (1994), pengertian pertumbuhan ekonomi pada
dasarnya terkait dengan proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam suatu
daerah perekonomian. Pertumbuhan menyangkut perkembangan berdimensi
tunggal dan diukur dengan meningkatnya hasil produksi (output) dan pendapatan.
Menurut Arsyad ( 1999) yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi daerah
adalah pertambahan pendapatan masyarakat yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu
kenaikan seluruh nilai tambah (added value) yang terjadi di wilayah terbsebut.
Pertambahan pendapatan tersebut di ukur dalam nilai riil, artinya dinyatakan dalan
harga konstan. Identifikasi pertumbuhan ekonomi menurut
Kuznet dalam
Djojohadikusumo (1985), yang memiliki beberapa ciri-ciri seperti: (1) laju
pertumbuhan pendapatan perkapita dalam arti nyata, (2) distribusi angkatan kerja
menurut sektor kegiatan produksi yang menjadi sumber nafkahnya, dan (3) pola
persebaran penduduk.
Selanjutnya,
disebutkan
pula
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi suatu wilayah (Sukirno, 1985): (1) tanah dan kekayaan
alam, (2) jumlah dan kualitas penduduk dan tenaga kerjanya, (3) barang modal
dan tingkat teknologi, (4) sistem sosial dan sikap masyarakat, dan (5) luas pasar
sebagai sumber pertumbuhan. Sedangkan menurut Todaro (1991), komponen-
46
komponen pertumbuhan ekonomi yang penting dalam masyarakat, meliputi: (1)
akumulasi modal termasuk semua investasi baru dalam bentuk tanah, peralatan
fisik dan sumberdaya alam, (2) perkembangan pendududuk, khususnya yang
menyangkut pertumbuhan angkatan kerja, dan (3) kemajuan teknologi.
Berbeda
dengan
pertumbuhan
ekonomi,
pembangunan
ekonomi
mengandung arti lebih luas dan mencakup perubahan pada tata susunan ekonomi
masyarakat secara menyeluruh, Analisis yang menekankan pada pertumbuhan
ekonomi semata, sering dianggap kurang sempurna. Hal ini disebabkan karena
bila terjadi peningkatan output dan pendapatan daerah belum tentu meningkatkan
taraf hidup dan kesejahteraan masyarakatnya.
Sukirno (1985) mendefinisikan
pembangunan ekonomi sebagai suatu
proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu masyarakat
meningkat dalam jangka panjang. Dari definisi di atas, tersirat bahwa
pembangunan ekonomi mempunyai tiga sifat penting, yaitu: (1) suatu proses,
yang berarti terjadi perubahan terus menerus, (2) usaha untuk menaikkan tingkat
pendapatan per kapita, dan (3) kenaikkan pendapatan perkapita itu harus terus
berlangsung dalam jangka panjang. Demikian pula Arsyad (1999) yang juga
mengatakan pembangunan ekonomi adalah suatu proses. Proses yang dimaksud
meliputi: proses pembentukan institusi-institusi baru, pembangunan industriindustri alternatif, perbaikan kapasitas tenaga kerja yang ada untuk menghasilkan
produk dan jasa yang lebih baik, identifikasi pasar-pasar baru alih ilmu
pengetahuan, dan pengembangan perusahan-perusahan baru.
Setiap upaya pembangunan daerah memiliki tujuan utama untuk
meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah. Dalam
47
upaya untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah daerah dan masyarakatnya
harus secara bersama-sama mengambil inisiatif pembangunan daerah.
3.2. Ruang Lingkup Ilmu Ekonomi Regional
Ilmu ekonomi regional (wilayah) merupakan suatu cabang ilmu ekonomi,
yang dalam pembahasannya memasukkan unsur perbedaan potensi wilayah satu
dengan wilayah lainnya. Ilmu ekonomi regional tidak membahas kegiatankegiatan ekonomi secara individual melainkan menganalisis suatu wilayah secara
keseluruhan atau melihat berbagai potensi wilayah yang beragam dan bagaimana
mengatur suatu kebijakan yang dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi
wilayah tersebut (Tarigan, 2004).
Ilmu ekonomi regional berbeda dengan ilmu bumi ekonomi meskipun ke
dua ilmu ini mengenal dan menggunakan beberapa istilah yang sama, seperti
wilayah homogen, wilayah nodel, wilayah pusat (core) dan pinggiran (periphery),
namun dengan pendekatan yang berbeda. Ilmu bumi ekonomi pada dasarnya
mempelajari keberadaan suatu kegiatan di suatu lokasi dan bagaimana wilayah
sekitar bereaksi terhadap kegiatan tersebut. Ilmu bumi ekonomi mempelajari
gejala-gejala dari suatu kegiatan yang berkaitan dengan lokasi hingga ditemukan
prinsip-prinsip penggunaan ruang (space) yang berlaku umum. Prinsip-prinsip ini
dapat dipakai dalam membuat kebijakan tata-ruang yang efektif dan efisien
berdasarkan tujuan umum yang hendak dicapai. Dengan demikian, sesungguhnya
ilmu bumi ekonomi lebih terfokus pada sisi kegiatan individual.
Pemikiran ke arah ekonomi regional sebenarnya telah dirintis oleh Von
Thunen (1826), Weber (1929), Ohlin (1939) dan Losh (1939), namun pemikiran
mereka masih merupakan penggalan-penggalan dari ilmu ekonomi regional. Pada
48
tahun 1956, disetasi Walter Isard di Harvard University yang berjudul Location
and Space Economics diterbitkan dengan itu dia dipandang sebagai orang pertama
yang meletakkan landasan ilmu ekonomi regional yang kompak. Kerangka
landasan ilmu ekonomi regional yang dibangun Walter Isard pada dasarnya
berkaitan dengan penerapan prinsip-prinsip ekonomi untuk mempercepat
pertumbuhan ekonomi antarwilayah yang memiliki potensi yang berbeda.
Ahli ekonomi pada umumnya, secara implisit menganggap bahwa prinsipprinsip ekonomi yang telah digariskan akan berlaku umum disegala tempat, baik
di kota ataupun di desa, di daerah yang telah maju atau di daerah yang
terkebelakang. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa kondisi tiap-tiap
daerah berbeda, antara lain potensi ekonomi, tingkat kemajuan industri,
ketersedian prasarana, keterampilan tenaga kerja, kepadatan penduduk, dan lain
sebagainya.
Ilmu
ekonomi
regional
tidak
mungkin
dilepas
dari
induknya
(makroekonomi dan ekonomi pembangunan). Namun sangat naïf apabila seluruh
materi ilmu ekonomi umum dimasukkan ke dalam pembahasan ilmu ekonomi
regional. Oleh karena itu di dalam pembahasan ekonomi regional, materi-materi
ilmu ekonomi umum perlu dimodifikasi dan dikembangkan hingga sesuai dengan
karakteristik ilmu ekonomi regional. Misalnya dalam makroekonomi, Ferguson
(1965) menyatakan bahwa tujuan utama kebijakan ekonomi adalah (1) fullemployment, (2) economic growth, dan (3) price stability. Ke tiga tujuan
kebijakan ekonomi ini tidak mungkin seluruhnya dimasukkan ke dalam kajian
ekonomi regional, apabila kajian tersebut berkaitan dengan wilayah di dalam
suatu negara tertentu. Dalam hal ini, yang dapat dimasukkan ke dalam kajian
49
ekonomi regional suatu negara hanyalah full-employment dan economic growth,
sedangkan price stability di luar jangkauan pemerintah daerah, mengingat
instrument kebijakan price stability ada pada pemerintah pusat. Selain dua tujuan
tersebut, ada beberapa tujuan pokok lainnya yang dapat dikelola oleh pemerintah
daerah secara lebih baik dibandingkan bila dikelola oleh pemerintah pusat. Tujuan
pokok kebijakan yang dimaksud meliputi (Tarigan, 2004): (1) penetapan sektor
unggulan wilayah, (2) membuat keterkaitan antarsektor yang lebih serasi,
bersinergi dan berkesinambungan di dalam wilayah, (3) pemerataan pembangunan
dalam wilayah, (4) pemenuhan kebutuhan pangan wilayah, dan (5) terjaganya
kelestarian lingkungan hidup.
Modifikasi variable-variabel makroekonomi banyak dilakukan oleh para
pakar dan peneliti ekonomi regional. Richardson (1977) misalnya, melakukan
modifikasi variable-variabel makroekonomi ketika membahas pendapatan
regional dan pertumbuhan ekonomi regional pada wilayah homogen. Demikian
halnya dengan Hoover (1977) ketika menganalisis potensi ekonomi wilayah dan
hubungan ekonomi antarwilayah.
Analisis
ekonomi
regional
dengan
menggunakan
pendekatan
makroekonomi atau menerapkan model-model pendapatan nasional dan modelmodel
pertumbuhan
nasional
dapat
dinamakan
sebagai
makroekonomi
antarwilayah (interregional macroeconomics). Satu hal yang perlu dicatat bahwa
di dalam penerapan model-model makroekonomi, setiap daerah merupakan
perekonomian terbuka, dimana arus barang, arus modal, dan arus tenaga kerja
antar daerah (wilayah) mengalir tanpa hambatan. Dengan demikian, persoalanpersoalan pokok seperti perdagangan dan arus factor interregional, perubahan
50
pendapatan regional, konjuktur, dan determinan-determinan pertumbuhan regional
dapat dianalisis berdasarkan kerangka makroekonomi.
3.3. Pembangunan Ekonomi Regional
Untuk melihat kinerja perekonomian suatu wilayah atau suatu provinsi
biasanya digunakan indikator-indikator makroekonomi, seperti peningkatan
pendapatan masyarakat, peningkatan lapangan kerja dan pemerataan pendapatan
(Tarigan, 2004). Dalam konteks analisis input-output regional dan tampilan
struktur ekonomi daerah dalam tabel input-output regional, maka beberapa
pengertian yang dianggap layak untuk dibahas dalam rangka menganalisis kinerja
perekonomian suatu daerah atau provinsi adalah: (1) pertumbuhan ekonomi
ekonomi daerah atau regional, (2) pendapatan daerah berupa produk domestik
regional bruto (PDRB), dan (3) distribusi pendapatan.
3.3.1. Pertumbuhan Ekonomi Regional
Seperti sudah disinggung dalam bab sebelumnya, pengertian pertumbuhan
ekonomi pada dasarnya terkait dengan proses peningkatan produksi barang dan
jasa dalam suatu perekonomian. Pertumbuhan menyangkut perkembangan
berdimensi tunggal dan diukur dengan meningkatnya hasil produksi (output) dan
pendapatan. Sedangkan pembangunan ekonomi, mengandung arti lebih luas dan
mencakup perubahan pada tata susunan ekonomi masyarakat secara menyeluruh.
Pendapatan daerah atau pendapatan regional
menunjukkan tingkat
kegiatan ekonomi yang dicapai oleh suatu daerah pada tahun tertentu. Sedangkan
pertumbuhan ekonomi daerah menunjukkan perubahan tingkat kegiatan ekonomi
daerah yang terjadi dari tahun ketahun. Oleh karena itu, untuk dapat mengetahui
51
tingkat pertumbuhan ekonomi daerah kita harus membandingkan pendapatan
daerah tersebut dari tahun ke tahun.
Dalam membandingkan besarnya nilai pendapatan daerah di suatu daerah,
haruslah diketahui bahwa perubahan nilai pendapatan daerah yang terjadi dari
tahun ke tahun tersebut, dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu: (1) perubahan
tingkat kegiatan ekonomi, dan (2) perubahan harga-harga. Oleh karena itu, untuk
mengetahui
apakah
suatu
perekonomian
mengalami
pertumbuhan
dan
perberkembangan, perlu diidentifikasi penyebab perubahan pada nilai pendapatan
daerah.
Suatu
perekonomian
dikatakan
mengalami
pertumbuhan
atau
perkembangan jika tingkat kegiatan ekonominya meningkat atau lebih tinggi jika
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dengan kata lain, perkembangannya
baru terjadi jika jumlah barang dan jasa secara fisik yang dihasilkan
perekonomian tersebut bertambah besar pada tahun-tahun berikutnya. Oleh karena
itu, untuk melihat peningkatan jumlah barang yang dihasilkan maka pengaruh
perubahan harga-harga terhadap nilai pendapatan daerah pada berbagai tahun
harus dihilangkan. Caranya adalah dengan melakukan perhitungan pendapatan
daerah didasarkan atas
harga konstan. Kalau perhitungan pendapatan daerah
menggunakan tingkat
harga yang
berlaku
pada waktu tersebut, hasil
perhitungannya adalah pendapatan daerah menurut harga yang berlaku pada
tahun bersangkutan. Jadi perhitungan pendapatan daerah dapat menggunakan
harga konstan (pendapatan riil), dapat pula menggunakan harga yang berlaku saat
itu (pendapatan nominal).
52
Perhitungan pendapatan daerah riil bisa diperoleh dengan cara
mendeflasikan pendapatan daerah nominal (menurut harga yang berlaku), yaitu
dengan menilainya kembali berdasarkan atas harga-harga pada tahun dasar
tertentu (base year). Cara yang paling mudah untuk mendeflasikan pendapatan
regional atau pendapatan daerah adalah dengan menggunakan indeks harga
konsumen (IHK). IHK ini merupakan indeks yang menunjukkan perubahan hargaharga dari berbagai barang yang dikonsumsi masyarakat dari waktu ke waktu.
Angka indeks pada tahun dasar (base year) selalu dinyatakan dengan angka 100.
Berdasarkan pada perbandingan tingkat harga pada tahun dasar tersebut dengan
tingkat harga pada tahun-tahun sebelumnya atau sesudahnya, maka angka indeks
pada tahun-tahun lainnya akan bisa diperoleh.
Dengan menggunakan IHK, pendapatan riil suatu daerah dapat ditentukan
dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Yt =
100
xY bt
IHK t
............................................................................. (3.1)
dimana:
Yt
: pendapatan daerah riil pada tahun t
Yb t : pendapatan daerah menurut harga yang berlaku pada tauhn t
IHK t : indeks harga konsumen pada tahun t
Setelah nilai riil pendapatan daerah berbagai tahun bisa diperoleh, maka tingkat
pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun bisa ditentukan. Laju pertumbuhan
ekonomi pada suatu tahun tertentu dapat dihitung dengan menggunakan rumus di
bawah ini :
Gt =
Yrt − Yrt −1
x100% .......................................................................... (3.2)
Yrt −1
53
dimana:
Gt
: tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah (%)
Yr t : pendapatan daerah riil pada tahun t
Yr t-1 : pendapatan daerah riil pada tahun t-1
Setelah mengetahui tingkat pendapatan daerah untuk berbagai tahun, maka
perhitungan pendapatan daerah per kapita bisa juga dilakukan. Pendapatan per
kapita adalah pendapatan rata-rata penduduk. Oleh karena itu, untuk mendapatkan
pendapatan per kapita suatu daerah pada satu tahun tertentu bisa diperoleh dengan
cara membagi pendapatan daerah dengan jumlah penduduk daerah tersebut pada
tahun yang sama.
Selain pendapatan perkapita daerah dapat juga diukur pendapatan
pertumbuhan perkapita. Untuk memperoleh tingkat pertumbuhan pendapatan per
kapita dari tahun ke tahun dapat ditentukan dengan cara yang sama dengan
perhitungan pertumbuhan pendapatan rii suatu daerah, yaitu :
gt =
YPt − YPt −1
x100%
YPt −1
............................................................................ (3.3)
dimana:
gt
: pertumbuhan pendapatan per kapita suatu daerah pada tahun t (%)
YP t : pendapatan per kapita pada tahun t
YP t-1 : pendapatan perkapita pada tahun t-1
Disamping dengan cara di atas, cara lain yang dapat digunakan untuk menghitung
laju pertumbuhan pendapatan perkapita adalah dengan cara mengurangkan laju
pertumbuhan pendapatan daerah riil dikurangi dengan laju pertumbuhan
penduduk.
54
3.3.2. Pendapatan Regional
Pendapatan regional didefinisikan sebagai nilai produksi barang-barang
dan jasa-jasa yang diciptakan dalam suatu perekonomian di dalam suatu wilayah
selama satu tahun (Sukirno, 1985). Sedangkan menurut Tarigan (2004),
pendapatan regional adalah tingkat pendapatan masyarakat pada suatu wilayah
analisis. Tingkat pendapatan regional dapat diukur dari total pendapatan wilayah
ataupun pendapatan rata-rata masyarakat pada wilayah tersebut. Beberapa istilah
yang sering digunakan untuk menggambarkan pendapatan regional, diantaranya
adalah :
1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
PDRB adalah jumlah nilai tambah bruto (gross value added) yang timbul
dari seluruh sektor perekonomian di suatu wilayah atau provinsi. Pengertian nilai
tambah bruto adalah nilai produksi (output) dikurangi dengan biaya antara
(intermediate cost). Komponen-komponen nilai tambah bruto mencakup
komponen-komponen faktor pendapatan (upah dan gaji, bunga, sewa tanah dan
keuntungan), penyusutan dan pajak tidak langsung netto. Jadi dengan menghitung
nilai
tambah
bruto
dari
dari
masing-masing
sektor
dan
kemudian
menjumlahkannya akan menghasilkan produk domestik regional bruto (PDRB).
2. Produk Domestitk Regional Netto (PDRN)
PDRN dapat diperoleh dengan cara mengurangi PDRB dengan
penyusutan. Penyusutan yang dimaksud disini adalah nilai susut (aus) atau
pengurangan nilai barang-barang modal (mesin-mesin, peralatan, kendaraan dan
yang lain-lainnya) karena barang modal tersebut dipakai dalam proses produksi.
Jika nilai susut barang-barang modal dari seluruh sektor ekonomi dijumlahkan,
55
hasilnya merupakan penyusutan keseluruhan. Tetapi bila PDRN di atas dikurangi
dengan pajak tidak langsung netto, maka akan diperoleh PDRN atas dasar biaya
faktor.
Dalam perhitungan pendapatan regional dengan pendekatan nilai produksi,
perlu dicermati agar tidak terjadi penghitungan ganda (double counting). Menurut
Tarigan (2004) pendapatan masyarakat di suatu wilayah atau provinsi paling
mudah dilihat dari nilai tambah suatu kegiatan produksi atau jasa yang meliputi
upah atau gaji, laba, sewa tanah, bunga uang yang dibayarkan (berupa bagian dari
biaya), penyusutan, dan pajak tidak langsung netto.
1. Upah dan gaji
Upah dan gaji mencakup semua balas jasa dalam bentuk uang maupun barang
dan jasa kepada tenaga kerja yang ikut dalam kegiatan produksi selain pekerja
keluarga yang tidak dibayar.
2. Laba
Laba atau keuntungan adalah total nilai penjualan dikurangi dengan biayabiaya yang dikeluarkan. Laba merupakan pendapatan bagi pengusaha.
3. Sewa Tanah
Sewa tanah adalah balas jasa yang diberikan kepada pemilik tanah atau lahan
tempat dilakukannya proses produksi.
4. Bunga uang
Bunga uang adalah balas jasa terhadap modal yang digunakan dalam proses
produksi.
56
5. Penyusutan
Pengertian penyusutan disini adalah penyusutan barang-barang modal tetap
yang digunakan dalam proses produksi. Penyusutan merupakan nilai
penggantian terhadap penurunan nilai barang modal tetap yang digunakan
dalam proses produksi.
6. Pajak tidak langsung netto
Pajak tidak langsung (indirect tax) adalah pajak yang dikenakan atau
dibebankan oleh pemerintah terhadap produsen berkenaan dengan produksi,
penjualan, pembelian atau penggunaan barang dan jasa yang mereka kenakan
pada pada pembiayaan produksi.
Sedangkan pajak tidak langsung netto
diperoleh dengan cara mengurangi pajak tidak langsung dengan subsidi.
Metode perhitungan pendapatan regional secara garis besarnya dapat
dibedakan menjadi dua metode, yaitu metode langsung dan tidak langsung.
Metode langsung adalah perhitungan dengan menggunakan data daerah atau data
asli yang menggambarkan kondisi daerah dan digali dari sumber data yang ada di
daerah itu sendiri. Sedangkan metode tidak langsung menggunakan data yang
bersumber dari data nasional yang dialokasikan ke masing-masing daerah.
Ada tiga pendekatan yang dapat dilakukan untuk menghitung pendapatan
regional dengan menggunakan metode langsung (Soediyono, 1992; Tarigan,
2004), sebagai berilut :
1. Pendekatan Pengeluaran
Pendekatan pengeluaran adalah cara penentuan pendapatan regional
dengan cara menjumlahkan seluruh nilai penggunaan akhir dari barang dan jasa
yang diproduksi di dalam negeri. Kalau dilihat dari segi penggunaan maka total
57
penyediaan atau produksi barang dan jasa itu digunakan untuk : konsumsi rumah
tangga; konsumsi lembaga swasta yang tidak mencari untung; konsumsi
pemerintah, pembentukan modal tetap bruto (investasi), perubahan stok, dan
ekspor netto (total ekspor dikurangi dengan total impor).
Total penyediaan (total barang dan jasa yang tersedia) di dalam negeri
adalah total barang yang diproduksi ditambah impor dikurangi ekspor, karena
yang akan dihitung hanyalah nilai barang dan jasa yang diproduksi di dalam
negeri saja, maka total konsumsi harus dikurangi dengan nilai impor kemudian
ditambah dengan nilai ekspor. Penjumlahan keenam unsur di atas disebut sebagai
produk domestik regional bruto (PDRB).
2. Pendekatan Produksi
Perhitungan pendapatan regional berdasarkan pendekatan produksi
dilakukan dengan cara menjumlahkan nilai produksi yang diciptakan oleh tiaptiap sektor produksi yang ada dalam perekonomian. Untuk memudahkan
perhitungan dan ketersediaan data, sektor-sektor produksi ini biasanya
dikelompokkan berdasarkan Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia (KLUI) atau
Klasifikasi Komoditi Indonesia (KKI). Dalam konteks penyusunan neraca I-O
atau SAM, sektor-sektor produksi bisa dipecah menjadi 11 sektor, 66 sektor atau
172 sektor, sesuai dengan kebutuhannya. Untuk menghitung pendapatan regional
berdasarkan pendekatan produksi, maka pertama-tama yang harus dilakukan
adalah menentukan nilai produksi yang diciptakan oleh tiap-tiap sektor di atas.
Pendapatan regional diperoleh dengan cara menjumlahkan nilai produksi yang
tercipta dari tiap-tiap sektor.
58
Dalam menghitung PDRB dengan cara ini, yang dijumlahkan hanyalah
nilai tambah produksi atau value added yang diciptakan masing-masing sektor.
Dengan cara ini dapat dihindarkan perhitungan double counting. Disamping itu,
dengan cara ini juga akan menunjukkan sumbangan yang sebenarnya dari tiap-tiap
sektor dalam menciptakan produksi regional. Dalam konteks analisis I-O,
perhitungan PDRB dapat dilihat pada kwadran III, dan secara matematika dapat
disajikan dalam persamaan berikut :
PDRB = VA 1 + VA 2 + VA 3 ………… + VA n, atau
n
PDRB = ∑ VAi
i =1
.......................................................................................... (3.4)
dimana :
VA : nilai tambah sektor produksi regional
i
: jumlah sektor produksi regional
Dengan memasukkan kondisi lingkungan dalam model ini, maka persamaannya
akan menjadi :
n
PDRD = ∑ VAi + ( NBZ ) i
i =1
.......................................................................... (3.5)
NBZ adalah manfaat bersih dari situasi lingkungan yang diakibatkan oleh
kegiatan produksi. Manfaat bersih ini bisa bernilai negatif atau positif, tergantung
dari apakah kegiatan produksi tersebut menimbulkan biaya lingkungan yang lebih
besar atau lebih kecil apabila dibandingkan dengan manfaat yang dihasilkannya.
3. Pendekatan Penerimaan
Dengan cara ini pendapatan regional dihitung dengan cara menjumlahkan
pendapatan faktor-faktor produksi yang digunakan dalam memproduksi barang-
59
barang dan jasa-jasa. Jadi yang dijumlahkan adalah: upah dan gaji, surplus usaha,
penyusutan, dan pajak tidak langsung netto.
Perhitungan metode pendapatan regional dengan cara tidak langsung
dilakukan dengan cara mengalokasikan pendapatan nasional (produk domestik
bruto/PDB) ke masing-masing bagian wilayah, misalnya mengalokasikan PDB
Indonesia ke setiap provinsi dengan menggunakan alokator tertentu. Alokator
yang dapat digunakan adalah: nilai produksi bruto atau netto setiap sektor/ sub
sektor,
jumlah produksi fisik, tenaga kerja, penduduk,
dan alat ukur tidak
langsung.
3.4. Teori Kutub Pertumbuhan
Pada dasawarsa pertama pertengahan abad ke 20 (dekade 50-an) muncul
teori-teori yang menyatakan pentingnya peranan pusat-pusat pertumbuhan,
diantaranya adalah: (1) teori kutub pertumbuhan (growth pole theory) oleh
François Perroux, (2) teori kutub pembangunan yang terlokalisasi (localized
development theory) oleh Boudeville, dan (3) teori titik pertumbuhan (growth
point theory) oleh Albert Hirschman
Kutub pertumbuhan didefinisikan sebagai suatu gugus industri yang
mampu membangkitkan pertumbuhan ekonomi yang dinamis dalam suatu sistem
ekonomi tertentu, mempunyai kaitan yang kuat melalui hubungan input–output di
sekitar leading industry (propulsive industry atau industrial matrik).
Menurut Perroux dalam Adisasmita (2005), terdapat elemen yang sangat
menentukan dalam konsep pertumbuhan, yaitu pengaruh yang tidak dapat
dielakkan dari suatu unit ekonomi terhadap unit-unit ekonomi lainnya. Perroux
menganggap bahwa industri pendorong sebagai titik awal dan merupakan elemen
60
esensial untuk pembangunan selanjutnya. Ada tiga ciri pokok yang mendasari
industri pendorong, yakni :
1.
Industri pendorong harus relatif besar kapasitasnya agar mempunyai
pengaruh yang kuat, baik langsung maupun tidak langsung terhadap
pertumbuhan ekonomi.
2.
Industri pendorong harus merupakan sektor yang berkembang cepat.
3.
Jumlah dan intensitas hubungannya dengan sektor-sektor lainnya harus
penting, sehingga besarnya pengaruh yang ditimbulkan dapat diterapkan
kepada unit-unit ekonomi lainnya.
Peranan kutub pertumbuhan dalam pembangunan wilayah adalah sebagai
penggerak pertumbuhan, yakni menyebarkan hasil-hasil pembangunannya ke
wilayah pengaruh. Namun pengalaman dibeberapa negara menunjukkan bahwa
peranan kutub pertumbuhan ini mengalami kegagalan, karena wilayah pusat
pertumbuhan berada di kota-kota besar yang merupakan pusat konsentrasi
penduduk dan berbagai kegiatan ekonomi dan sosial, memiliki daya tarik yang
cukup kuat bagi urbanisasi. Akibatnya, terjadi dampak negatif terhadap wilayah
pengaruh, yang oleh Myrdal disebut backwash effect.
Teori Kutub Pertumbuhan merupakan teori yang menjadi dasar dalam
strategi dan kebijaksanaan pembangunan industri daerah yang banyak dijalankan
diberbagai negara. Pada awalnya, konsep ini dianggap penting karena
memberikan kerangka rekonsialiasi antara pembangunan ekonomi regional di
wilayah pusat (kota) dan hinterland-nya Tetapi dalam praktek tidak seperti yang
diharapkan karena wilayah pusat dampak tetesan (trickle down effect) kepada
wilayah hinterland-nya ternyata jauh lebih kecil dari pada dampak polarisasi
61
(backwash effect) sehingga pengurasan sumberdaya hinterland oleh pusat menjadi
sangat menonjol.
Gunnar Myrdal (1957) mengemukakan bahwa besarnya backwash effect
yang lebih besar daripada spread effect akan menyebabkan ketimpangan
antardaerah. Backwash effect disebabkan oleh adanya migrasi tenaga kerja dan
modal dari daerah miskin ke daerah kaya. Sedangkan spread effect disebabkan
oleh meningkatnya market share dari produk pertanian dan akan merangsang ke
arah kemajuan teknik. Pendapat Myrdal didukung oleh Hirchman (1968) bahwa
terjadinya trickle down effect dari daerah core ke daerah periphery yang lebih
kecil daripada polarization effect akan menyebabkan semakin tingginya
ketimpangan pendapatan antaradaerah.
3.5. Pertumbuhan Regional
Pertumbuhan regional pada dasarnya menggunakan konsep-konsep
pertumbuhan ekonomi secara agregat. Hanya saja titik tekanan analisis
pertumbuhan regional lebih diletakkan pada perpindahan faktor (factor
movements). Arus modal dan tenaga kerja yang mengalir dari satu daerah ke
daerah lain membuka peluang bagi perbedaan tingkat pertumbuhan antar daerah.
Dalam analisis dinamik, tingkat pertumbuhan suatu daerah dapat jauh lebih tinggi
daripada tingkat normal yang dicapai oleh perekonomian nasional ataupun
sebaliknya. Dalam kaitan factor movement antarwilayah, model pertumbuhan
Harrod-Domar dapat digunakan untuk analisis pertumbuhan regional.
Asumsi-asumsi khusus yang mendasari model Harrod-Domar adalah:
hasrat menabung (s), tingkat pertumbuhan penduduk (n), dan koefisien-koefisien
dalam produksi adalah konstan. Untuk mencapai pertumbuhan mantap (steady
62
growth), ke dua macam input tersebut harus memenuhi syarat-syarat
keseimbangan, yakni: tingkat pertumbuhan modal (k) dan tingkat pertumbuhan
penduduk (n) harus sama dengan tingkat pertumbuhan output (g) atau (g = k = n).
Dalam keseimbangan, tabungan yang direncanakan harus terus menerus sama
dengan investasi yang direncanakan. Berkaitan dengan k dapat dirumuskan
sebagai berikut:
I
S
S Y s
=
= ⋅ =
K K Y K v ................................................................................. (3.6)
dimana v adalah rasio modal-output. Pertumbuhan mantap tercapai apabila
dipenuhi syarat g = n = s/v. Karena s, v, dan n ditentukan secara independent maka
pertumbuhan mantap hanya dapat tercapai secara kebetulan.
Ekonomi regional bukanlah ekonomi tertutup melainkan ekonomi terbuka
(open economic). Ini berarti, perekonomian suatu daerah adalah perekonomian
terbuka, dimana impor dan tabungan merupakan kebocoran (leakages), sedangkan
ekspor dan investasi merupakan suntikan (injection). Kelebihan produksi dan
tabungan suatu daerah dapat disalurkan ke daerah-daerah lain, yang tercermin dari
net-ekspor. Selanjutnya, jika penduduk suatu daerah mengalami pertumbuhan
yang terlalu cepat dibandingkan dengan daya serap tenaga kerja pada tingkat
pertumbuhan yang sedang berlangsung, maka migrasi netto dapat membantu
menyeimbangkan n dan g.
Syarat keseimbangan bagi perekonomian terbuka adalah:
S + M = I + X ................................................................................... (3.7)
dapat dirumuskan kembali menjadi
(s + m)Y = I + X
atau
63
X
I
= ( s + m) −
Y
Y
............................................................................... (3.8)
Ekspor suatu daerah (X i ) dapat dirumuskan sebagai impor daerah-daerah lain,
sebagai berikut:
X = ∑ M ij = ∑ mij Y j
j =1
j =1
........................................................................(3.9)
dengan demikian, persamaan pertumbuhan suatu daerah dapat dirumuskan
kembali menjadi:
gi =
si + mi − (∑ mijYi ) / Yi
j =1
...............................................................(3.10)
vi
Walaupun tabungan suatu daerah cenderung lebih besar dari investasi,
namun tingkat pertumbuhan modalnya dapat tetap sama dengan tingkat
pertumbuhan ourput, asalkan selisih tabungan dan investasi tersebut diimbangi
oleh surplus ekspor. Kelebihan tenaga kerja dapat diserap melalui migrasi-keluar
dan kekurangan tenaga kerja dapat dipenuhi melalui migrasi-masuk. Syarat
keseimbangannya adalah:
g i = n i ± r i ........................................................................................ (3.11)
dimana r adalah tingkat migrasi yang merupakan jumlah netto dari migrasi-keluar
dan migrasi-masuk dalam tiap periode waktu sebagai persentase dari jumlah
penduduk daerah yang bersangkutan. Dari sudut pandang sistem, sebagai
keseluruhan, dapat dirumuskan sebagai berikut:
R
r= i =
Pi
∑R
j =1
Pi
ij
...............................................................................(3.12)
dimana:
r = tingkat migrasi
R = migrasi masuk dan keluar
P = jumlah penduduk.
64
Walaupun syarat-syarat pertumbuhan mantap dalam suatu daerah agak
kurang restriktif, namun pertumbuhan mantap mungkin masih tetap, lebih
merupakan pengecualian daripada merupakan kelaziman. Selanjutnya, pencapaian
syarat-syarat keseimbangan di suatu daerah dapat mengubah syarat-syarat
keseimbangan di daerah-daerah lain dan hal ini akan menimbulkan pantulanpantulan lebih lanjut terhadap tingkat pertumbuhannya sendiri. Pertumbuhan
mantap disetiap daerah yang merupakan komponen dari sistem yang bersangkutan
tidak dapat diprediksi dari model seperti itu. Ada atau tidaknya tendensi ke arah
pertumbuhan mantap (steady state) tergantung pada apakah arus modal dan tenaga
kerja antarwilayah (interregional) bersifat menyeimbangkan atau tidak dan hal-hal
ini tidaklah ditentukan di dalam model tersebut.
Selain model Harrod-Domar, model-model pertumbuhan neoklasik juga
telah digunakan secara luas dalam analisis regional, yang antara lain oleh Borts
(1960), Borts dan Stein (1964), dan Romans (1965). Namun demikian, beberapa
diantara asumsi-asumsi mereka tidak tepat. Asumsi tentang full employment yang
terus-menerus seringkali tidak dapat diterapkan dalam sistem multiregional
dimana persoalan-persoalam regional timbul karena adanya perbedaan-perbedaan
geografis dalam tingkat penggunaan sumberdaya. Asumsi persaingan sempurna
tidak dapat diterapkan dalam perekonomian ruang (space economy) dimana
oligopoli, monopoli murni, atau persaingan monopolistik adalah tipe-tipe struktur
pasar yang lebih lazim (Richardson, 2001). Model neoklasik menarik perhatian
ahli-ahli teori ekonomi regional karena model tersebut mengandung teori tentang
mobilitas faktor disamping teori pertumbuhan. Implikasi dari persaingan
65
sempurna adalah bahwa modal dan tenaga kerja akan berpindah apabila balas jasa
faktor tersebut berbeda-beda.
Syarat-syarat pertumbuhan mantap dalam model neoklasik relatif kurang
restriktif dibanding model Horrad-Domar. Hal ini mungkin disebabkan oleh
adanya kemungkinan subsitusi antara modal dan tenaga kerja, yang berarti adanya
fleksibilitas dalam rasio modal-output. Tingkat pertumbuhan barsumber dari: (1)
akumulasi modal, (2) pertumbuhan penawaran tenaga kerja, dan (3) residu, yang
dapat diartikan sebagai kemajuan teknologi, tetapi yang mencakup segala sesuatu
yang meningkatkan efisiensi dari sumber-sumber yang stoknya sudah tertentu.
Apabila diasumsikan bahwa tingkat kemajuan teknologi adalah fungsi dari waktu,
maka fungsi produksinya adalah:
Y i = fi (K, L, t)…………………………………………………………(3.13)
Persamaan (3.13) dapat diderivasi menjadi:
Y i = α i k i + (1 – α i )n i + T ………………………………………………(3.14)
Dimana, Y, k, n, dan T masing-masing adalah tingkat pertumbuhan output, tingkat
pertumbuhan modal, tingkat pertumbuhan tenaga kerja, dan kemajuan teknologi.
Sedangkan α adalah bagian yang dihasilkan oleh faktor modal dan (1 – α) adalah
bagian yang dihasilkan oleh faktor di luar modal.
Model neoklasik menghendaki pertumbuhan kapasitas penuh. Untuk itu
diperlukan suatu mekanisme untuk menyamakan investasi dengan tabungan dalam
kondisi full employment. Dengan demikian, syarat pertumbuhan mantap adalah:
MPK i = α
Yi
= p ……………………………………………………(3.15)
Ki
66
dimana, MPK = marginal productivity of capital. Jika p sudah tertentu dan α
konstan maka Y dan K harus tumbuh dengan tingkat yang sama.
Syarat keseimbangan bagi keseluruhan sistem adalah:
∑I = ∑S
i =1
i
i =1
i
................................................................................... (3.16)
sekalipun demikian tabungan yang dihasilkan suatu daerah secara individual tidak
mesti sama dengan investasinya; sebab suatu daerah akan mengimpor modal jika
tingkat pertumbuhan modalnya lebih kecil dari rasio tabungan domestik terhadap
modal.
Sebagaimana telah diutarakan di atas bahwa analisis pertumbuhan regional
neoklasik mengandung teori mobilitas faktor. Cara untuk menjelaskan hal ini
secara tepat adalah dengan komparatif statik. Asumsikan bahwa dua daerah
menghasilkan output homogen, biaya transportasi nol, pasar tenaga kerja sudah
tertentu dan tidak ada kemajuan teknologi, fungsi produksi identik dan increasing
retur to scale. Dengan asumsi tersebut maka produk marginal tenaga kerja (MPL i )
adalah fungsi langsung tetapi besifat terbalik dari produk marginal modal (MPK i ).
Hal ini bisa dilihat dari rasio modal tenaga kerja (K/L). Dengan asumsi persaingan
sempurna, MPL adalah sama dengan upah riil. Karena tiap daerah menghasilkan
output yang homogen dan dengan fungsi produksi yang identik, maka di daerah
dimana K/L lebih tinggi terdapat upah riil yang lebih tinggi dan MPK yang lebih
rendah.
Adapun daerah yang K/L nya rendah terdapat upah riil yang rendah tetapi
MPK yang tinggi. Akibatnya modal akan mengalir dari daerah yang upahnya
tinggi ke daerah yang upahnya rendah, karena akan memberikan balas jasa
terhadap modal yang lebih ringgi. Sebaliknya, tenaga kerja akan mengalir dari
67
daerah yang upahnya rendah ke daerah yang upahnya tinggi. Mekanisme ini pada
akhirnya menciptakan balas jasa faktor-faktor produksi yang sama di semua
daerah. Implikasinya, pendapatan per kapita regional akan mengalami proses
konvergensi. Sejalan dengan ini, prediksi dari Harrod-Domar menyatakan bahwa
apabila syarat-syarat pertumbuhan mantap tidak dipenuhi, akibat yang paling
mungkin terjadi adalah perbedaan-perbedaan tingkat pertumbuhan regional akan
semakin bertambah besar.
Kelemahan teori mobilitas faktor adalah:
apabila asumsi-asumsi
komparatif statik dilepas maka prediksinya tidak dapat dipastikan akan berlaku.
Dalam
analisis
dinamik,
perbedaan-perbedaan
regional
dalam
tingkat
pertumbuhan penawaran tenaga kerja dan kemajuan teknologi haruslah
diperhitungkan. Pertumbuhan alamiah yang cepat di daerah-daerah upah rendah
dapat mencegah kenaikan pendapatan dan bergesernya fungsi MPK ke kanan di
daerah-daerah upah-tinggi, sehingga dapat mengakibatkan mengalirnya modal ke
dalam (capital inflows) di daerah-daerah tersebut, dan bukannya mengalir keluar.
Bahkan di dalam kerangka model komparatif statik pun, daerah-daerah upahtinggi masih tetap dapat tumbuh paling cepat apabila asumsi-asumsi identiknya
fungsi produksi regional dan komuditas tunggal dilepas. Kesukaran-kesukaran
lainnya adalah: (1) kemungkinan bahwa perbedaan-perbedaan hasil sektor tidak
mendorong berpindahnya faktor-faktor, terutama faktor tenaga kerja atau
berpindahnya faktor itu karena kekuatan-kekuatan lain, dan (2) mobilitas faktor
tidak dapat dianalisis secara komprehensif di dalam kerangka model dua faktor.
Dengan demikian, konvergensi dalam pertumbuhan regional masih tetap
merupakan persoalan yang belum terjawab (Richardson, 2001).
68
3.6. Teori Basis Ekspor
Teori basis ekspor (export base theory) merupakan bentuk model
pendapatan regional yang paling sederhana. Sekalipun sederhana, namun teori ini
dapat memberikan kerangka teoretis yang berguna bagi banyak studi empirik
mengenai multiplier regional. Asumsi pokok dari teori ini adalah bahwa ekspor
merupakan satu-satunya unsur otonom dalam pengeluaran; semua komponen
pengeluaran lainnya dianggap sebagai fungsi dari pendapatan. Selain itu
diasumsikan pula bahwa fungsi pengeluaran dan fungsi impor tidak mempunyai
intersep tetapi bertolak dari titik nol. Dengan demikian, untuk daerah i dapat
ditulis :
Y i = (E i – M i ) + X i …………………………………………………….(3.17)
Dimana, Yi adalah pendapatan daerah i, (E i – M i ) adalah pengeluaran domestik
daerah i, dan Xi adalah ekspor daerah i.
E i = e i Yi ………………………………………………………………(3.18)
M i = m i Yi ……………………………………………………………(3.19)
Χ i = Χ i (eksogen)
Persamaan (2), (3), dan (4) disubsitusikan ke persamaan (1) menjadi:
Yi = eiYi − miYi + X i
........................................................................ (3.20)
Dengan demikian,
Υi =
Χi
………………………………………………………(3.21)
1 − ei + mi
Jadi, pendapatan regional adalah kelipatan dari ekspor jika hasrat marginal untuk
membelanjakan (marginal propensity to expenditure) secara lokal (e + m) lebih
kecil daripada satu.
69
Para pengeritik teori basis kadang-kadang menyatakan bahwa rasio ekspor
terhadap pendapatan total hanya digunakan sebagai suatu perkiraan rasio marginal
dalam taksiran multiplier. Tetapi menurut teori ini, khususnya asumsi yang
mendasarinya, tidak ada unsur-unsur eksogen lainnya selain dari ekspor, rasio
rata-rata adalah sama dengan rasio marginal. Kelemahan lain dari model ini yang
sering dikemukakan adalah bahwa besarnya basis ekspor adalah fungsi terbalik
dari besarnya suatu daerah. Artinya daerah yang besar cenderung mempunyai
basis ekspor yang lebih kecil tetapi juga mempunyai m yang rendah, sehingga
nilai multiplier menjadi tinggi. Sebaliknya, daerah kecil tidak hanya mempunyai
ekspor yang tinggi tetapi juga m yang tinggi, dan keduanya cenderung
menurunkan nilai multiplier (Richardson, 1977).
Selanjutnya, teori basis ini disempurnakan dengan cara mengubah asumsiasumsi teori ini. Perubahan penting yang dilakukan adalah bahwa ekspor bukan
lagi merupakan satu-satunya unsur pengeluaran otonom, melainkan pengeluaran
konsumsi, investasi, dan pengeluaran pemerintah juga merupakan unsur otonom.
Dengan demikian, model pendapatan regional yang telah disempurnakan dari teori
basis adalah:
Y i = C i + I i + G i + X i – M i ………………………………………… (3.22)
dimana, Y i adalah pendapatan regional wilayah wilayah i, C i adalah pengeluaran
konsumsi wilayah i, I i adalah investasi swasta wilayah i, G i adalah pengeluaran
pemerintah wilayah i, dan (X i – M i ) adalah net ekpor wilayah i. Selanjutnya,
fungsi pengeluaran konsumsi adalah :
Ci = ai + ci Υid .......................................................................................(3.23)
70
dimana, Υid = disposiable income wilayah i dan c i = hasrat konsumsi marginal
(marginal propensity to consumption) wilayah i
I i = I Ι i ……………………………………………………………… (3.24)
GI = GI ………………………………………………………………(3.25)
X i = ∑ M ij = ∑ Mij Yd j ……………………………………………… (3.26)
M i = ∑ M ij Yd j …………………………………………………………(3.27)
Yd i = Yi – T i ………………………………………………………… (3.28)
T i = t i Yi ………………………………………………………………(3.29)
dimana, t adalah tingkat pajak marginal (marginal rate of taxation)
Ai = ai + I i + Gi ....................................................................................(3.30)
dimana Ai adalah pengeluaran otonom total wilayah i.
Apabila persamaan (8) samapai dengan (14) disubsitusikan ke dalam persamaan
(7) dan menata kembali hasilnya, maka persamaan pendapatan regional dapat
dirumuskan sebagai berikut (Richadson, 2001):
Yi =
Ai + ∑ mi Yi (1 − t i )
j =1
1 − (ci − ∑ mij )(1 − t i )
………………………………………… (3.31)
j =1
Dengan demikian, pendapatan daerah i terdiri atas penjumlahan pengeluaranpengeluaran otonom dikalikan multiplier (Richardson, 2001).
Model ini dapat menunjukkan sumber-sumber perubahan pendapatan suatu
daerah, misalnya daerah i, yang meliputi: (1) perubahan pengeluaran-pengeluaran
otonom daerah i, (2) perubahan tingkat pendapatan suatu wilayah lain di dalam
suatu sistem yang berkaitan, yang akan terlihat dalam perubahan ekspor daerah i,
dan (3) berubahnnya salah satu di antara parameter-parameter model (mpc,
koefisien perdagangan interregional atau tingkat pajak marginal).
71
Selanjutnya, Richardson (2001) memandang bahwa model pendapatan
regional dapat juga digunakan untuk menganalisis kebijakan stabilitas regional.
Hal ini dimungkinkan karena pengeluaran pemerintah merupakan salah satu dari
variabel-variabel pengeluaran otonom. Syarat-syarat stabilitas bagi sistem yang
bersangkutan dan pantulan-pantulan yang ditimbulkan oleh perubahan-perubahan
persebaran regional dari pengeluaran otonom adalah sangat penting dalam
kerangka kebijakan stabilitas. Jika hasrat konsumsi marginal (mpc) di semua
daerah lebih kecil dari satu, maka sistem yang bersangkutan adalah stabil.
Sebaliknya, jika hasrat konsumsi marginal lebih besar dari satu, maka sistem yang
bersangkutan tidak stabil.
Jika c i = c j bagi semua daerah (i, j, ……….., n) maka multiplier regional
akan sama dengan multiplier nasional. Ini berarti bahwa dengan hasrat konsumsi
marginal yang sama, perubahan alokasi regional dari pengeluaran pemerintah
tidak akan mengubah pendapatan nasional. Akan tetapi jika c i ≠ c j , maka
perubahan alokasi regional dari pengeluaran akan mengakibatkan berubahnya
tingkat pendapatan nasional. Jika diasumsikan bahwa kapasitas regional tidak
merupakan pembatas (kendala), maka kenaikan pendapatan regional akan
maksimum jika kenaikan pengeluaran pemerintah dipusatkan di daerah-daerah di
mana c paling tinggi biasanya daerah-daerah yang paling terkebelakang
(Chipman, 1950 dalam Richardson, 2001).
Kelebihan pendapatan dan kemungkinan pantulan-pantulan ekspor
sekunder adalah sifat-sifat yang paling istimewa dari model-model pendapatan
interregional. Suatu injeksi investasi di daerah i tidak hanya meningkatkan
pendapatan (menaikkan A i ) di daerah yang bersangkutan, tetapi juga meyebarkan
72
kekuatan pendorong pada semua daerah-daerah lainnya melalui kenaikan M i
(ΣM ij ). Dalam kondisi keseimbangan neraca pembayaran, kenaikan impor ini
akan mengakibatkan kemerosotan neraca pembayaran daerah i. Namun demikian,
hal ini belum merupakan efek netto yang terakhir. Kenaikan pendapatan di
daerah-daerah lain akan memperbesar ekspor daerah i. Hal ini dapat dirumuskan
sebagai berikut:
∑m
j =1
ij
∆Yi
(1 − ti )
∆Αi
............................................................................(3.32)
Efek keseluruhan terhadap neraca pembayaran daerah i, tergantung pada
sejauhmana perubahan primer (impor terdorong) dapat diimbangi oleh perubahan
sekunder (kenaikan ekspor). Dalam kebanyakan hal, kenaikan sekunder tidak akan
cukup
untuk
mencegah
kemundurun
neraca
pembayaran
daerah
i.
Ketidakseimbangan sementara neraca pembayaran suatu daerah dapat diatasi
dengan arus jangka pendek (umpamanya, melalui transfer internasional di antara
cabang-cabang bank). Akan tetapi dalam banyak hal, mungkin diperlukan
tambahan mekanisme-mekanisme penyesuaian. Hal ini meliputi efek harga dan
efek pendapatan, transfer pemerintah dan pengeluaran pemerintah di daerahdaerah terkebelakang, arus modal dan tenaga kerja. Efek harga agaknya tidak
begitu efektif, karena mayoritas produsen lebih mementingkan pasar nasional
daripada pasar regional dan harga yang mereka tetapkan cenderung untuk berlaku
dimana saja.
Efek pendapatan juga mungkin tidak cukup kuat untuk memulihkan
keseimbangan, tetapi mungkin lebih efektif daripada perekonomian internasional
karena m biasanya lebih besar bagi daerah-daerah daripada bagi bangsa.
Tindakan-tindakan fiskal dapat juga membantu proses penyeimbangan melalui
73
stabilisator-stabilisator yang bersifat built-in atau melalui pengeluaran langsung
bagi pemerintah di daerah-daerah yang mengalami kelesuan. Sekalipun dana
pemerintah yang masuk ke daerah-daerah yang mengalami kelesuan akan
memperbesar impor, namun bagaimanapun juga dana tersebut akan ikut
membantu mengurangi defisit pembayaran, dengan syarat c + m < 1 (Scitovsky,
1958 dalam Richardson, 2001).
Mekanisme-mekanisme penyesuain tersebut didasarkan atas asumsi bahwa
yang menimbulkan defisit neraca pembayaran adalah kekurangan ekspor. Di sisi
lain, defisit yang dialami oleh suatu daerah adalah bersumber dari kenaikan
pendapatan seperti model pendapatan interregional, sehingga makanismemekanisme inipun cenderung untuk menyimpang dari keseimbangan. Perbedaan
antara ke dua sumber defisit neraca pembayaran ini sangat penting bila hendak
mempertimbangkan peranan arus faktor (factor flows). Modal cenderung mengalir
ke daerah-daerah yang memberikan profit yang lebih tinggi, akan tetapi hal ini
hanya akan menyeimbangkan jika model yang relevan adalah model dimana yang
menyebabkan defisit adalah proses kenaikan pendapatan, dan jika daerah-daerah
makmur mengalami surplus impor.
3.7.
Peranan Investasi Infrastruktur Publik
Terdapat sebuah pandangan umum dalam proses pembangunan, investasi
untuk infrastruktur publik memegang peranan yang sangat penting menunjang
pertumbuhan ekonomi nasional, regional dan lokal. Besarnya dampak investasi
infrastruktur sangat tergantung dari jenis, nilai investasi dan cakupan wilayah
dimana infrastruktur tersebut dibangun.
74
Dampak yang akan ditimbulkan oleh investasi skala besar dan berskala
nasional akan mempunyai dampak total yang lebih besar jika dibandingkan
dengan dampak regional atau urban. Gambaran deskriptif tentang dampak yang
ditimbulkan oleh investasi infrastruktur menurut cakupan skala besar atau
nasional dan regional atau urban, dapat dilihat Tabel 16 dan Tabel 17.
Tabel 16. Dampak Menyeluruh Penanaman Investasi Publik
Dampak
Efek Menyeluruh
Efek Insidental
1
2
3
Dampak terhadap
perekonomian
nasional
Penawaran atas
fasilitas-fasilitas
(faktor) produksi
Meningkatkan kualitas
lingkungan hidup
• Kenaikan terhadap pertumbuhan
industri-industri pelengkap di kawasan
penyangga.
• Persebaran kegiatan-kegiatan industri
memusat pada daerah perkotaan besar.
• Peningkatan terhadap sistem logistik
dan menghidupkan kegiatan ekonomi
regional
• Mempopulerkan penggunaan
kendaraan bermotor
Menaikkan nilai
investasi dan
memperluas investasi
• Meningkatkan status keuangan area
perumahan dengan meningkatnya
harga tanah
• Menarik investasi dari perusahaanperusahaan asing
• Menghidupkan kegiatan ekonomi
regional
• Meningkatkan pelayanan publik
dengan meningkatkan hubungan antara
daerah perkotaan dan daerah lokal
Pengembangan
regional dan
territorial
Memantapkan
sistem
transportasi
Pengembangan
komplek industri dan
situs pariwisata
Pengembangan daerah
tertinggal
Memantapkan sistem
permukiman
Memantapkan jaringan
jalan yang sistematik
Menghilangkan
hambatan lalu lintas
akibat “bottleneck”
Sumber: Setjen Dept. PU (2007)
• Membentuk proses metropolisasi
• Membentuk urban area yang luas
• Mengamankan jalan sesuai dengan
skala prioritasnya
• Penekanan pada aksesiblitas dan
penggabungan dari fasilitas
transportasi yang lain
• Mengetahui berbagai dampak lain dari
terjaganya kondisi lalu lintas yang
berjalan normal
75
Pada Tabel 17 memperlihatkan bahwa di dalam cakupan yang bersifat
spasial dampak investasi infrastruktur dapat dilihat dari kacamata makro dan
mikro. Dampak makro secara nasional antara lain dilihat dari pertumbuhan output
nasional, sementara dari aspek mikro antara lain dapat dilihat dari meningkatnya
nilai tanah, berkurangnya waktu tempuh atau berkurangnya biaya produksi.
Tabel 17. Jenis-jenis dari Dampak Penanaman Investasi Publik
Standar
Klasifikasi
Proses Proyek
Cakupan Spasial
Perhitungan
Jenis Dampak
Keterangan
Dampak saat tahap
perencanaan
Efek pertunjukan, ekonomi dan
pengajaran
Dampak saat tahap
konstruksi
Meningkatkan permintaan pada
material konstruksi, kebutuhan tenaga
kerja, pengembangan teknologi
konstruksi jalan
Dampak saat tahap
pemanfaatan
Efek langsung seperti pengurangan
waktu tempuh dan biaya dan diikuti
oleh dampak-dampak tak langsung
Dampak
mikroskopis
Dampak pada region sekitar lokasi
pembangunan
Dampak
makroskopis
Dampaknya terhadap ekonomi
nasional dan pengembangan wilayah
Dampak pada
pengguna
Mengurangi waktu tempuh dan biaya,
meningkatkan tingkat keselamatan
dan kenyamanan
Dampak pada non
pengguna
Meningkatkan kesejahteraan dan
penjualan dari meningkatnya harga
tanah
Dampak terhitung
Mengurangi biaya transportasi dan
waktu tempuh, meningkatkan akses
antar region dan menciptakan
lapangan kerja dan lain-lain.
Sumber: Setjen Dept. PU, 2007
76
Terkait dengan besar kecilnya dampak investasi infrastruktur, Gambar 17
memberikan ilustrasi tentang besar kecil atau luasnya dampak yang ditimbulkan
sesuai dengan jenis investasi dan cakupan wilayah. Investasi infrastruktur berskala
nasional akan memberikan dampak menyeluruh lebih besar dibandingkan dengan
investasi skala regional, demikian pula investasi skala regional yang memberikan
dampak lebih besar dibandingkan skala urban.
Pengukuran dampak merupakan salah satu langkah untuk mengantisipasi
kemungkinan-kemungkinan yang terjadi baik dampak positif maupun negatif.
Dalam konteks spasial, analisis dampak menjadi bermanfaat untuk memperkecil
kemungkinan terjadinya ketimpangan pembangunan sosial ekonomi antardaerah
yang lebih besar, selain tentu saja untuk memaksimumkan manfaat positif melalui
kebijakan pembangunan infrastruktur.
Investasi Publik
Tingkat
Perkotaa
Tingkat
Regional
Tingkat
Nasional
Sempit
Luas
Sangat
Luas
Antardaerah/
Antarkota
Antar dan dalam
Tingkat Regional
Antarregional/
Tingkat Nasional
Sumber : Achjar, 2009
Gambar 17. Klasifikasi Investasi Publik
Lokasi/Klasifikasi
Investasi
Dampak yang
dihasilkan
Jangkauan
Keruangan
77
3.8. Distribusi Pendapatan
Dalam suatu studi distribusi pendapatan, maka sebaiknya perlu terlebih
dahulu memahami mengenai pendapatan serta pemilihan konsep pendapatan yang
secara teoritis dapat diterima dan diterapkan secara praktis. Ilmu ekonomi mikro
dan makro telah banyak mengupas konsep-konsep dasar mengenai pendapatan,
baik itu pendapatan individu, perusahaan dan pemerintah untuk mengetahui aliran
ke tiga pendapatan tersebut, maka dapat ditelusuri melalui arus perputaran
kegiatan ekonomi (circulair flow of economic activity) lihat Gambar 18.
Gambar 18 menunjukkan bagaimana arus perputaran pendapatan itu
terjadi dalam suatu perekonomian. Rumahtangga menerima pendapatan dari
perusahaan atas penawaran faktor-faktor produksinya, kemudian rumahtangga
akan mengeluarkan pendapatannya untuk belanja barang dan jasa, untuk ditabung
dan untuk membayar pajak kepada pemerintah. Selain pendapatan faktor-faktor
produksi, terdapat transfer pemerintah, yaitu pendapatan rumahtangga yang
berasal dari pemerintah.
Belanja barang dan jasa yang dilakukan rumahtangga dan pemerintah,
merupakan
pendapatan
bagi
perusahaan.
Selanjutnya
perusahaan
akan
mengeluarkan pendapatannya tersebut untuk membayar penggunaan faktor-faktor
produksi, membayar pajak pada pemerintah dan untuk dana investasi. Pemerintah
memperoleh pendapatan dari rumahtangga dan perusahaan atas pembayaran
pajak. Pendapatan pemerintah tersebut kemudian dikeluarkan sebagian untuk
membeli barang dan jasa, serta untuk transfer ke rumahtangga, jika pengeluaran
pemerintah ternyata lebih banyak dari pendapatan, pemerintah akan meminjam
dari pasar keuangan untuk menutupi defisit tersebut.
78
Pendapatan
Pasar untuk
faktor produksi
Tabungan
rumahtangga
Pembayaran
Investasi swasta
Pasar Keuangan
Defisit
pemerintah
Rumahtangga
Pemerintah
Transfer
pemerintah
Pembayaran
Perusahaan
Pajak
Pembayaran
Pasar untuk
barang dan jasa
Sumber : Mankiw (2000)
Gambar 18. Arus Uang Melalui Perekonomian
Bigstein (1992) dalam Varina (2000) menyatakan bahwa berdasarkan
claims concept (konsep tuntutan) dari Hicks, pendapatan sama dengan jumlah
uang yang dapat dibelanjakan oleh seseorang atau satu keluarga selama kurun
waktu tertentu, sementara nilai kekayaannya tetap utuh. Jumlah ini harus sama
dengan jumlah penerimaan, keuntungan dari penjualan aktiva, nilai tunjangan
tambahan dan produksi untuk konsumsi keluarga dan sewa yang diperoleh.
Gemmell (1994) menyebutkan bahwa dalam prakteknya untuk mengukur
pendapatan, paling tidak harus ada tiga pendekatan yaitu (1) pendapatan bruto, (2)
pendapatan sesudah dipotong pajak, kemana transfer dapat ditambahkan, dan (3)
pendapatan yang dapat dibelanjakan.
79
Setelah konsep pendapatan ditetapkan, berikutnya akan dibahas mengenai
distribusi pendapatan. Pembahasan mengenai distribusi pendapatan pada dasarnya
dapat digolongkan menjadi dua, yakni distribusi pendapatan fungsional atau
distribusi balas jasa dan distribusi pendapatan antarrumahtangga. Konsep
distribusi pendapatan fungsional berusaha menjelaskan pembagian pendapatan
yang diterima oleh masing-masing faktor produksi, misalnya antara pendapatan
yang diterima pekerja, pemilik modal dan kekayaan. Konsep ini mengacu pada
teori keseimbangan neo klasik, yang diturunkan dari solusi pasar persaingan
sempurna (Yotopoulus dan Nuggent, 1976). Pada prinsipnya distribusi pendapatan
dengan pendekatan fungsional dapat dijabarkan dengan menggunakan fungsi
produksi, contohnya sebagai berikut.
Y = f (K , L) ................................................................................... (33)
dimana:
Y
K
L
= output fisik,
= kapital
= tenaga kerja.
Melalui derivasi persamaan (1) kita akan memperoleh produk marginal
faktor produksi tenaga kerja (MP L ) dan produk marginal faktor produksi kapital
(MP K ). Dengan mengetahui besamya MP L dan MP K akan dapat ditentukan
pembagian pendapatan atau output fisik yang dihasilkan oleh masing-masing
faktor produksi menurut harga pasar. Pada Gambar 19 memberikan suatu ilustrasi
yang sederhana mengenai distribusi pendapatan dengan pendekatan fungsional.
Anggaplah sekarang hanya ada dua faktor produksi, yaitu modal dan
tenaga kerja. Dengan kurva penawaran tenaga kerja neo klasik (S L ) dan kurva
permintaan tenaga kerja (D L ), maka tingkat upah pada keseimbangan pasar tenaga
80
kerja adalah sebesar OW dan tingkat pekerjaan sebesar OL. Jumlah output
nasional digambarkan dengan daerah OREL. Pendapatan nasional ini kemudian
dibagi dalam dua bagian, yaitu OWEL untuk tenaga kerja dalam bentuk upah dan
WRE merupakan keuntungan pemiliki modal. Disini kelihatan bagaimana
pendapatan nasional itu dibagi-bagi menurut fungsi upah dan modal.
Tingkat Upah
R
Keuntungan
bagi pemilik
modal
SL
E
W
Penghasilan upah bagi
tenaga kerja
DL = MPL
Tingkat Pekerjaan
O
L
Sumber : Todaro (2000)
Gambar 19. Distribusi Pendapatan dengan Pendekatan Fungsional
Kelemahan yang sering dijumpai dengan pendekatan ini terletak pada
asumsi yang menyertainya. Misalnya, asumsi adanya pasar persaingan sempuma,
motif mendapatkan keuntungan maksimum, penalaran dan informasi sempuma.
Asumsi-asumsi tersebut sangat mudah diungkapkan dalam teori, namun dalam
kenyataannya sangat sulit dijumpai (Insukrindo, 1990).
Berikutnya
adalah
distribusi
pendapatan
rumahtangga,
distribusi
pendapatan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu distribusi pendapatan absolut
81
atau mutlak dan distribusi pendapatan relatif. Konsep yang disebut pertama
berkaitan dengan proporsi jumlah rumahtangga yang pendapatannya dapat
mencapai suatu tingkat tertentu atau lebih kecil dari itu, dan biasanya dikaitkan
dengan jumlah penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan (relatif atau
absolut). Sedangkan distribusi pendapatan relatif menunjukkan perbandingan
pendapatan yang diterima oleh berbagai kelas penerima pendapatan. Pada
umumnya pembicaraan mengenai distribusi pendapatan lebih ditekankan pada
pengertian atau konsep distribusi pendapatan relatif. Misalkan, 40% penduduk
berpendapatan rendah menerima 17% dari jumlah pendapatan, baik itu jumlah
pendapatan yang diterima maupun jumlah penduduk, kedua-duanya dinyatakan
dalam bentuk persentase (Esmara, 1996).
Selain distribusi pendapatan antarrumahtangga, distribusi pendapatan
relatif dapat juga dikaji dengan tolok ukur lain, misalnya distribusi menurut
sumber pendapatan, menurut kelompok, menurut klasifikasi pekerjaan atau
menurut jenis pekerjaan. Meskipun distribusi antarperorangan atau rumahtangga
adalah salah satu yang terpenting ditinjau dari segi kesejahteraan, klasifikasi lain
mungkin lebih penting ditinjau dari segi kebijakan (Gemmell, 1994).
Kakwani (1987) dalam studinya tentang distribusi pendapatan di Australia
membedakan unit penerima pendapatan menjadi tiga yaitu individu, keluarga dan
rumahtangga. Menurut Sutomo dan Sulistini (1987) penerimaan individu maupun
rumahtangga dapat bersumber dari (1) pendapatan dari faktor produksi tenaga
kerja berupa upah, gaji dan keuntungan, yaitu keuntungan yang diperoleh dari
usaha rumahtangga yang tidak berbadan hukum, (2) pendapatan yang bersumber
dari faktor produksi bukan tenaga kerja, yaitu pendapatan dari harta kekayaan
82
yang meliputi bunga, sewa dan deviden, dan (3) transfer (hibah) yang diperoleh
dari rumahtangga lain, perusahaan pemerintah dan luar negeri. Pendapatan yang
diperoleh individu dan rumahtangga atau keluarga dapat berupa pendapatan yang
diperoleh dari pasar kerja (earning), transfer, warisan, hadiah dan lain sebagainya.
Pendapatan yang diperoleh ini dapat digunakan untuk berbagai keperluan guna
memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraannya.
Menurut Gittelman dan Joyce (1999) pendapatan yang terbesar diperoleh
individu atau keluarga adalah pendapatan yang diperoleh dari pasar kerja.
Pendapatan yang diperoleh dari pasar kerja antara satu individu dengan individu
yang lain akan berbeda-beda. Besarnya tingkat pendapatan ini dipengaruhi oleh
produktivitas tenaga kerja tersebut.
Pemahaman mengenai distribusi pendapatan ini sangat penting, terutama
bila ingin mengkaji keberhasilan suatu pembangunan ekonomi. Untuk melihat
berhasil atau tidaknya suatu pembangunan ekonomi, tidak dapat hanya diukur
berdasarkan laju pertumbuhan ekonomi dan kenaikan pendapatan per kapita saja.
Apalah artinya jika pertumbuhan ekonomi tinggi dan pendapatan per kapita
meningkat, sedangkan distribusi pendapatan yang terjadi sangat timpang dimana
penduduk kaya yang berjumlah sedikit lebih banyak menikmati kenaikan
pendapatan tersebut, sementara penduduk miskin yang jumlahnya lebih banyak
hanya sedikit mengalami perbaikan pendapatan. Dengan kata lain, dalam kondisi
ketimpangan semacam itu penduduk yang merasakan kenaikan pertumbuhan
ekonomi dan pendapatan per kapita tersebut, hanyalah penduduk kaya yang
jumlahnya sedikit saja, sementara penduduk miskin yang jumlah lebih banyak
tidak mengalami perbaikan pendapatan.
83
Dalam teori ekonomi distribusi pendapatan dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu: (1) distribusi pendaptan institusional atau distribusi pendapatan personal,
adalah distribusi pendapatan yang terjadi antarinstitusi maupun antarkelompok
rumahtangga, dan (2) distribusi pendapatan fungsional atau distribusi pendapatan
faktorial, adalah distribusi pendapatan yang diterima oleh masing-masing faktor
produksi yang digunakan dalam proses produksi (Semaoen, 1992)
3.8.1. Distribusi Pendapatan Personal atau Institusional
Distribusi pendapatan personal atau institusional adalah merupakan ukuran
yang paling umum digunakan oleh para ekonom. Ukuran ini hanya berkaitan
dengan masing-masing individu atau satu kelompok masyarakat dan jumlah
penghasilan yang mereka terima. Besarnya pendapatan personal yang diterima
oleh masing-masing individu atau kelompok masyarakat, sangat tergantung dari
kepemilikan faktor produksi. Individu dapat memberikan jasa tenaga kerja,
keterampilan (manajemen), dan modal yang dimilikinya dalam suatu proses
produksi. Imbalan terhadap digunakannya faktor produksi milik individu atau
kelompok masyarakat itulah yang diterima sebagai pendapatan personal
(Semaoen, 1992).
Imbalan yang diterima oleh setiap individu atau kelompok masyarakat,
dapat berupa: (1) upah atau gaji, sebagai balas jasa atas penggunaan faktor
produksi dalam suatu proses produksi, (2) laba, deviden, bunga, sewa dan lain
sebagainya, atas imbalan penggunaan modal atau kapital, dan (3) pendapatan lain,
atas imbalan yang dibayarkan untuk kepemilikan faktor produksi lainnya.
Selanjutnya Todaro (1991) dan Yotopolus dan Nugent
(1976),
menggunakan Kurva Lorenz dan Koefisien Gini untuk mengukur distribusi
84
pendapatan. Kurva Lorenz dapat menjelaskan distribusi pendapatan secara grafis,
sedangkan Koefisien Gini mengukur ketimpangan pendapatan yang terjadi dengan
melihat hubungan antara jumlah penduduk dengan distribusi pendapatan dalam
bentuk persentase komulatif.
3.8.2. Distribusi Pendapatan Fungsional atau Faktorial
Distribusi pendapatan fungsional atau distribusi pendapatan faktorial ini
menjelaskan distribusi pendapatan yang diterima oleh masing-masing faktor
produksi yang digunakan dalam proses produksi. Besarnya kecilnya pendapatan
ini tergantung dari seberapa besar atau seberapa banyak faktor produksi yang
digunakan, selain juga ditentukan oleh faktor harga pada faktor produksi.
Dalam melakukan analisis distribusi pendapatan faktorial ini, produksi
total dibagi habis dalam faktor produksi yang digunakan. Dalam konteks analisis
SAM, ada dua faktor produksi yang digunakan yaitu modal dan tenaga kerja.
Perubahan dalam pemakaian faktor produksi akan menyebabkan perubahan dalam
distribusi pendapatan faktorial atau fungsional. Selanjutnya, pendapatan yang
diterimakan kepada masing-masing faktor produksi tersebut akan diterima oleh
pemilik faktor produksi.
Semaoen (1992) mengatakan bahwa pengukuran distribusi pendapatan
dapat dilakukan dengan metode akuntansi dan dengan menggunakan fungsi
produksi guna memperoleh andil faktor (factor share) dari setiap faktor produksi
yang digunakan. Metode akuntansi dalam menghitung andil faktor setiap masukan
(faktor produksi) memerlukan data mengenai jumlah faktor produksi yang
digunakan dalam proses produksi dan balas jasa yang diterima oleh setiap faktor
tersebut.
Distribusi Fungsional
Pemilik Faktor Produksi
Gol. Penduduk
Perdesaan
Tanah yang diolah
Tuan Tanah
Tuan Tanah
Modal tetap
selain tanah
Pemilik lahan
Keluarga non pertanian
Management
Pertani dan
keluarganya
Petani:
Pemilik penyekap
dan penyewa
Tenaga kerja
Buruh tani
Petani bukan
pemilik lahan
Sarana produksi
non pertanian
Pemilik modal
lancar
Produksi
Pertanian
69
Distribusi Personal
Lahan Pertanian
85
Produksi Total
Gol. Pendapatan
Gol. masyarakat
pendapatan tinggi
Gol. masyarakat
pendapatan menengah
Gol. masyarakat
berpendapatan rendah
Sektor Non Pertanian
75
Gambar 20. Distribusi Pendapatan Fungsional, Distribusi Pendapatan Personal, dan Golongan Penduduk Pedesaan di Indonesia
86
Dalam perhitungannya, nilai produksi dialokasikan kepada setiap faktor
produksi sebagai balas jasa dari penggunaan faktor produksi tersebut. Balas jasa
terhadap faktor produksi ini, merupakan pendapatan dari masing-masing faktor
tersebut atau yang disebut sebagai pendapatan faktorial. Sebagai ilustrasi, pada
Gambar 20 disajikan ilustrasi contoh mengenai penerimaan personal dan
fungsional yang diterima oleh rumahtannga petani pedesaan di Indonesia. Wie
(1981) menyatakan negara yang semata-mata hanya menekankan pada
pertumuhan ekonomi, tanpa memikirkan pendistribusian pendapatan tersebut,
akan memunculkan ketimpangan-ketimpangan diantaranya adalah :
1. Ketimpangan pendapatan antargolongan atau ketimpangan relatif
Ketimpangan yang terjadi antargolongan ini sering kali diukur dengan
menggunakan koefisien Gini. Kendati koefisien Gini bukan merupakan indikator
yang ideal mengenai ketimpangan pendapatan antar berbagai golongan, namun
sedikitnya angka ini dapat memberikan gambaran mengenai kecenderungan
umum dalam pola distribusi pendapatan.
2. Ketimpangan pendapatan antara masyarakat pedesaan dan perkotaan
Ketimpangan dalan distribusi pendapatan dapat juga ditinjau dari segi
perbedaan pendapatan antara masyarakat desa dengan masyarakat perkotaan
(urban-rural income disparities). Untuk membedakan hal ini, digunakan dua
indikator: (1) perbandingan antara tingkat pendapatan per kapita di daerah
perkotaan dan pedesaan, dan (2) disparitas pendapatan daerah perkotaan dan
daerah pedesaan (perbedaan pendapatan rata-rata antara kedua daerah sebagai
persentase dari pendapatan nasional rata-rata). Menurut Bank Dunia, pola
pembangunan Indonesia memang memperlihatkan suatu urban bias dengan
87
tekanan berat pada sektor industri, yang merupakan landasan bagi ketimpangan
distribusi pendapatan dikemudian hari.
3. Ketimpangan distribusi pendapatan antardaerah
Satu lagi sisi lain dalam melihat ketimpangan distribusi pendapatan
nasional, adalah ketimpangan dalam perkembangan ekonomi antar berbagai
daerah di Indonesia, yang mengakibatkan pula terjadinya ketimpangan pendapatan
per kapita antardaerah (regional income disparities). Ketimpangan pendapatan
seperti ini disebabkan oleh karena penyebaran sumberdaya alam yang tidak
merata serta perbedaan dalam laju pertumbuhan antardaerah, dan belum
berhasilnya usaha-usaha pembangunan yang merata antardaerah di Indonesia.
Perlu diperhatikan bahwa ketimpangan ini hanya menyajikan gambaran
makro mengenai ketimpangan dalam tingkat pendapatan rata-rata antar berbagai
daerah atau provinsi di Indonesia, dan tidak memperlihatkan pola distribusi
pendapatan antara berbagai golongan masyarakat di dalam satu daerah atau
provinsi. Selanjutnya Arif (1978), ada delapan proses yang telah menimbulkan
ketimpangan
yang pada suatu wilayah (pada level provinsi ataupun negara),
diantaranya:
1. Pertambahan penduduk yang tinggi yang mengakibatkan menurunnya
pendapatan per kapita.
2. Inflasi dimana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara
proporsional dengan pertambahan produksi barang-barang.
3. Ketidakmerataan pembangunan antar sub wilayah (atau derah yang lebih
kecil).
88
4. Investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang intensif modal,
sehingga persentase pendapatan dari harta bertambah besar dibandingkan
dengan persentase pendapatan yang berasal dari kerja, sehingga pengangguran
bertambah.
5. Rendahnya mobilitas sosial.
6. Pelaksanaan kebijaksanaan substitusi impor industri yang menyebabkan
kenaikan harga barang-barang hasil industri untuk melindungi golongan
kapitalis.
7. Memburuknya term of trade bagi wilayah (daerah atau negara) yang sedang
berkembang dalam perdagangan dengan wilayah maju (daerah atau negara)
sebagai akibat ketidak elastisan permintaan wilayah maju.
8. Hancurnya industri-industri rakyat seperti: pertukangan, industri rumahtangga,
dan lain-lainnya.
Selanjutnya masih menurut Wie (1981), upaya dalam menanggulangi
ketimpangan ini adalah dengan strategi
campur tangan pemerintah. Hal ini
diupayakan pembagian yang merata dari sumberdaya-sumberdaya yang ada
kepada golongan masyarakat termiskin, sehingga kesejahteraan mereka dapat
meningkat.
Ada 3 cara untuk menanggulangi atau melakukan redistribusi ketimpangan
pendapatan, yaitu :
1. Redistribusi Non-Incremental, hal ini menyangkut kebijaksanaan redistribusi
harta yang ada, seperti : pemungutan pajak pendapatan secara progresif.
2. Redistribusi Inkremental, cara ini digunakan dalam pemungutan pajak bagi
golongan yang berpendapatan tinggi, yang selanjutnya dibagikan langsung
89
kepada mereka yang kurang mampu. Kebijaksanaan ini biasanya dianut oleh
negara-negara sosialis.
3. Redistribusi melalui pertumbuhan. Kebijaksanaan ini bertujuan untuk
menaikkan laju pertumbuhan pendapatan golongan masyarakat miskin,
dengan tidak mengurangi secara absolut pendapatan total. Ada beberapa hal
yang terkandung dalam kebijaksanaan ini, seperti: (1) mempertahankan laju
pertumbuhan yang tinggi, (2) menstabilkan penghasilan golongan paling kaya,
(3) menyalurkan sebagian pendapatan golongan kaya sebagai hasil
pertumbuhan ke dalam berbagai bentuk investasi, dan (4) mengalokasikan
investasi ke dalam bentuk yang lebih bermanfaat bagi golongan masyarakat
termiskin.
Pada sisi lain redistribusi melalui pertumbuhan ini dapat digunakan untuk
menganalisis potensi jangka panjang pembangunan ekonomi, khususnya yang
menyangkut kesenjangan (trade-off). Sehingga paling tidak ada empat pendekatan
untuk meningkatkan kesejahteraan golongan masyarakat paling miskin: (1)
meningkatkan laju pertumbuhan pendapatan daerah sampai tingkat maksimal
dengan jalan meningkatkan tabungan dan mengalokasikan sumberdaya secara
lebih efektif dan efisien, (2) mengalihkan investasi kepada golongan masyarakat
miskin dalam bentuk pendidikan, kesehatan, penyediaan kredit dan fasilitas
umum, (3) melakukan redistribusi pendapatan kepada golongan masyarakat
miskin melalui sistem fiskal, atau mengalokasikan barang-barang konsumsi secara
langsung, dan (4) pengalihan harta yang sudah ada kepada golongan masyarakat
miskin, misalnya melalui land reform.
90
3.9. Ketimpangan Pendapatan
Masalah ketimpangan pendapatan sering disebut dengan kesenjangan, baik
itu antara individu, rumahtangga, kelompok, sektor maupun wilayah merupakan
masalah yang selalu ada disetiap negara dan tidak terkecuali Indonesia, tidak
mungkin dalam suatu negara semua pendapatan penduduknya sama besar.
Ketimpangan itu terjadi akibat adanya perbedaan umur, pendidikan, lapangan
pekerjaan, jenis kelamin dan sebagainya.
Meskipun ketimpangan pendapatan itu tidak dapat dihindari, bukan berarti
hal tersebut boleh dibiarkan terus menerus tinggi. Ketimpangan yang tinggi dapat
membawa dampak buruk terhadap kestabilan ekonomi dan kestabilan politik.
Sebab itu perlu diupayakan ketimpangan yang terjadi jangan terlalu besar, atau
perkembangan ketimpangan sedapat mungkin jangan sampai membesar, akan
tetapi usaha untuk menciptakan pemerataan atau mengurangi ketimpangan
pendapatan dalam suatu proses pembangunan ekonomi sangatlah sulit, terutama
disebabkan karena adanya trade off antara ketimpangan pendapatan dengan laju
pertumbuhan ekonomi, sebagaimana yang disebutkan dalam Kuznets Hypothesis.
Dikatakan dalam hipotesis ini bahwa dalam jangka pendek ada korelasi
positif antara pertumbuhan pendapatan per kapita dengan ketimpangan
pendapatan, namun dalam jangka panjang hubungan keduanya menjadi korelasi
yang negatif. Artinya dalam jangka pendek meningkatnya pendapatan akan diikuti
dengan meningkatnya ketimpangan pendapatan, namun dalam jangka panjang
peningkatan pendapatan akan diikuti dengan penurunan ketimpangan pendapatan.
Fenomena ini dikenal dengan nama Kurva U terbalik dari Hipotesis Kuznets
(Deutsch dan Silber, 2000), hal ini dapat dilihat lihat pada Gambar 21.
91
Ketimpangan
pendapatan
Periode
Tingkat Pendapatan Per kapita
Sumber : Deutsch and Silber (2000)
Gambar 21. Kurva U Terbalik (Hipotesis Kuznets)
Sejak periode 1970-an hingga sekarang sudah banyak studi empiris yang
mencoba menguji hipotesis Kuznets ini, sebagian ada yang menerima hipotesis
tersebut dan sebagian lagi ada yang menolak. Lebih lanjut lagi, masalah pro dan
kontra mengenai hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan
pendapatan dapat kita temukan pula dalam perdebatan yang membenarkan adanya
ketimpangan pendapatan dalam mengejar pertumbuhan ekonomi dan ada juga
yang menyalahkannya (Todaro, 2000; Kangas, 2001).
Argumen dasar yang membenarkan ketimpangan-ketimpangan dalam
pendapatan, adalah pendapatan individu dan pendapatan kelompok merupakan
necessary condition (kondisi yang perlu) untuk menabung yang memungkinkan
penanaman modal dan menumbuhkan ekonomi melalui suatu mekanisme seperti
model Harrod-Domar. Jika orang kaya menabung dan menanamkan modalnya
dalam proporsi yang cukup besar dalam penghasilannya, sedangkan Si miskin
92
membelanjakan semua penghasilannya untuk barang-barang konsumsi dan jika
tingkat
pertumbuhan
GNP
(Gross
National
Product)
secara
langsung
berhubungan dengan tabungan nasional, maka jelas kelihatan perekonomian yang
ditandai dengan ketimpangan pendapatan dapat menabung lebih banyak dan
berkembang lebih cepat daripada perekonomian dengan pemerataan pendapatan
yang adil.
Sementara itu, disisi lain ada yang beranggapan bahwa pemerataan
pendapatan yang adil dalam negara-negara sedang berkembang sebenarnya dapat
menjadi kondisi pertumbuhan ekonomi yang ditopang dan dijaga sendiri. Mereka
tidak percaya dan menyalahkan argumentasi di atas. Alasan-alasan mereka dapat
disampaikan secara singkat sebagai berikut.
Pertama, di dalam negara-negara sedang berkembang umumnya orangorang kaya (pemilik modal, pengusaha, politisi dan golongan-golongan elit
lainnya) mempunyai sifat pemboros. Mereka banyak menghabiskan uangnya
hanya untuk membeli barang-barang mewah, pesiar ke luar negeri, membeli emas
dan permata, membuka rekening pada bank-bank asing dan berspekulasi dalam
pasar uang. Kegiatan konsumtif, tabungan dan investasi semacam ini jelas tidak
akan menambah sumber-sumber produktif nasional, yang berarti tidak dapat
menaikkan pertumbuhan ekonomi.
Kedua, rendahnya penghasilan dan tingkat kehidupan yang tercermin pada
kesehatan, gizi dan pendidikan sangat buruk dapat merendahkan produktifitas
ekonomi, yang kemudian secara langsung atau tidak langsung menyebabkan
lambatnya pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu strategi-strategi pembangunan
untuk menaikkan penghasilan penduduk yang berpendapatan rendah, tidak hanya
93
akan meningkatkan taraf hidup penduduk miskin saja, namun juga menaikkan
produktifitas dan penghasilan ekonomi secara keseluruhan.
Ketiga, mengangkat pendapatan masyarakat miskin cenderung akan
menaikkan konsumsi kebutuhan pokok yang diproduksi dalam negeri secara
keseluruhan, seperti makanan, minuman dan pakaian. Sebaliknya, jika pendapatan
orang kaya yang naik, cenderung konsumsi meningkat lebih banyak kepada
barang-barang mewah yang diimpor. Adanya perbedaan pola konsumsi semacam
itu, akhirnya menyebabkan peningkatan penghasilan pada orang miskin lebih baik
untuk menstimulasi produktifitas, lapangan pekerjaan dan penanaman modal,
yang selanjutnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Keempat, pemerataan pendapatan yang lebih adil yang telah dicapai
melalui pengurangan kemiskinan dapat merangsang perluasan ekonomi secara
sehat dengan cara memberikan insentif yang berupa material ataupun immaterial
untuk menyebarkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan ekonomi.
Sebaliknya, ketimpangan pendapatan yang besar dan substansial dapat
menyebabkan disinsentif secara material atau immaterial bagi kemajuan ekonomi.
Sementara itu, Cramer (2001) dalam studinya menemukan bahwa
ketimpangan pendapatan menyebabkan pula terjadinya konflik sosial dalam
masyarakat, meskipun hal itu bukan hanya disebabkan oleh faktor ekonomi tetapi
juga faktor-faktor lainnya yang tidak dapat dipisahkan seperti kehidupan sosial,
politik, kebudayaan dan sejarah. Contoh yang nyata dapat kita lihat di Indonesia,
dimana ketimpangan pendapatan menyebabkan pula munculnya manifestasi
ketidakpuasan rakyat, yang menimbulkan konflik horisontal, serta ketidakpuasan
daerah, yang memunculkan konflik vertikal (Tadjoeddin et al., 2001).
94
Ada sejumlah cara untuk mengukur tingkat ketimpangan dalam distribusi
pendapatan yang dapat dibagi ke dalam dua kelompok pendekatan, yakni
axiomatic approach dan stochastic dominance (Tambunan, 2000). Namun ada
juga yang membagi pendekatan tersebut menjadi pendekatan statistik dan
pendekatan empiris (Esmara, 1996). Sementara Foldvary (2000) mengatakan
ukuran ketimpangan itu dapat merupakan ukuran ordinal atau kardinal.
Terlepas dari berbagai jenis pendekatan di atas, pada umumnya dalam
setiap studi tentang ketimpangan pendapatan biasa digunakan alat ukur
ketimpangan, yaitu (1) Lorenz curve, yang mengukur ketimpangan berdasarkan
bentuk kurva distribusi pendapatan, (2) Gini ratio, yang mengukur ketimpangan
berdasarkan luas kurva Lorenz, (3) Generalized entropy measure yang disingkat
GEM, namun orang lebih banyak menyebutnya Theil index karena ukuran
ketimpangan ini pada dasarnya dikembangkan dari model ketimpangan yang
diperkenalkan oleh Theil pertama kali pada tahun 1967, (4) L index yang
merupakan pengembangan dari Theil index, dan (5) Williamson index yang
sebenarnya sama dengan ukuran ketimpangan secara statistik koefisien variasi.
Tiga metode yang pertama sudah sangat dikenal dan digunakan secara luas
oleh para peneliti dalam mengukur ketimpangan pendapatan rumahtangga.
Metode-metode tersebut memenuhi beberapa prasyarat bagi pengukuran
ketimpangan kesejahteraan yang efektif, yaitu independen terhadap rataan (mean
independent or income-zerohomogeneity), independen terhadap replikasi populasi
(the principle of population replication or population-size independence) dan
memenuhi prinsip transfer Pigou Dalton (Shorrocks, 1980 dalam Tajoeddin et
al., 2001). Sementara ukuran ketimpangan L-index dan Williamson index, lebih
95
dikenal dan populer digunakan dalam mengukur ketimpangan pendapatan
regional, khususnya pendapatan dalam pengertian PDRB per kapita.
Di Indonesia, studi tentang ketimpangan pendapatan pernah dilakukan
oleh beberapa peneliti, diantaranya Thorbecke (1991) yang meneliti proses
pemerataan dan penyesuaiannya untuk negara Indonesia. Kemudian studi yang
dilakukan oleh Tadjoeddin et al. (2001), yang mengamati bagaimana dampak
ketimpangan pendapatan tersebut menimbulkan konflik horisontal dan vertikal di
negara Indonesia. Selain itu ada juga Akita et al. (1999), Uppal dan Boediono
(1986), mereka mengamati sekaligus ketimpangan pendapatan dan pembangunan
wilayah di Indonesia. Terakhir Arief (1998) yang mengukur ketimpangan
pendapatan di Indonesia berdasarkan sektor-sektor ekonomi.
Khusus di provinsi Papua, Umar (2003) dalam studinya mengenai
ketimpangan pendapatan di kawasan Teluk Cenderawasih (Biak, Yapen Waropen,
Manokwari dan Nabire) memaparkan bahwa dalam kelompok masyarakat asli
Papua ketimpangan pendapatan cukup rendah yang ditandai dengan nilai indeks
gini sebesar 0.33, sehingga distribusi pendapatan yang terjadi dalam kelompok ini
dikatakan merata, namun pemerataannya adalah merata dalam kemiskinan.
Sedangkan pada kelompok masyarakat non Papua atau pendatang, distribusi
pendapatan yang terjadi tidak merata dan mengarah kepada kategori ketimpangan
pendapatan yang sangat tinggi menurut kriteria Bank Dunia yakni sebesar 0.40.
Secara keseluruhan angka-angka pembagian pendapatan yang telah dihitung Umar
(2003) menggambarkan bahwa ketimpangan pendapatan masih berlangsung di
provinsi Papua dimana yang lebih banyak menikmati pembagian pendapatan
adalah kelompok kaya sebesar 38.92% yang seharusnya terus diupayakan
96
mengalami penurunan mendekati 20% atau 18.92 poin yang dalam pengalaman
pembangunan selama 10 tahun terakhir (periode 1990-2001) hanya menunjukkan
perbaikan sebesar 2.55 poin.
Studi mengenai dampak ketimpangan atau kesenjangan sosial di Papua
pernah dilakukan Ahmad (2004), dimana dalam studinya tersebut menemukan
adanya dominasi ekonomi oleh pendatang di Papua telah menimbulkan
kesenjangan sosial ekonomi, kecemburuan sosial dan reaksi agresif dari
masyarakat Papua. Akibatnya orang Papua menuntut lepas dari Republik
Indonesia
dengan
mengobarkan
pemberontakan
fisik
yang
mengancam
disintegrasi Republik Indonesia.
Ukuran ketimpangan yang selalu dipakai dalam semua studi pendapatan
rumahtangga adalah Theil index. Dibandingkan alat ukur ketimpangan lain
memang Theil index ini mempunyai satu kelebihan, yaitu ukuran ketimpangan
pada Theil index dapat didekomposisi menjadi ketimpangan dalam kelompok
rumahtangga itu sendiri dan ketimpangan antarkelompok rumahtangga. Dengan
cara demikian kita dapat mengamati dengan jelas bagaimana fenomena
ketimpangan itu terjadi dalam suatu distribusi pendapatan. Dapat juga
ketimpangan itu tidak terjadi antarkelompok rumahtangga tetapi dalam kelompok
rumahtangga itu sendiri atau terjadi antarkelompok rumahtangga namun tidak
terjadi dalam kelompok rumahtangga sendiri atau kemungkinan terjadi pula
ketimpangan secara keseluruhan. Berkat kemampuannya mendekomposisi ukuran
ketimpangan tersebut akhirnya Theil index banyak dipakai dalam berbagai studi
ketimpangan dan distribusi pendapatan.
97
3.10. Konsep dan Aplikasi Model SAM
Social Accounting Matrix (SAM) atau Sistem Neraca Sosial Ekonomi
(SNSE) adalah suatu sistem data yang memuat data-data sosial dan ekonomi
dalam sebuah perekonomian. Sumber-sumber data untuk membuat SNSE adalah
dari tabel input-output (tabel I-O), statistik pendapatan nasional serta statistik
pendapatan dan pengeluaran rumahtangga. Oleh karena itu SNSE kelihatan lebih
lengkap dibandingkan tabel I-O dan statistik pendapatan nasional, dengan
menunjukkan berbagai jenis transaksi dalam suatu perekonomian. Tabel I-O
hanya merekam transaksi ekonomi tanpa menunjukkan latar belakang sosial dari
pelaku transaksi tersebut. Sementara SNSE berupaya melakukan klasifikasi
berbagai institusi berdasarkan latar belakang sosial ekonomi pada suatu
perekonomian atau aktivitas fungsional.
Sadoulet dan de Janvry (1995) juga mengungkapkan bahwa model SNSE
ini sesungguhnya merupakan perluasan dari input-output model (model I-O).
Ruang lingkup pemotretannya jauh lebih luas dan terperinci dibandingkan dengan
model I-O. Dalam model I-O yang dipaparkan hanyalah arus transaksi ekonomi
dari sektor produksi ke sektor faktor-faktor produksi, rumahtangga, pemerintah,
perusahaan dan luar negeri. Sedangkan dalam model SNSE hal tersebut
didisagregasi secara lebih rinci. Misalnya, rumahtangga dapat didisagregasi
berdasarkan tingkat pendapatan atau kombinasi dari tingkat pendapatan dan lokasi
pemukiman dan seterusnya. Disamping itu, dalam model SNSE dapat di
masukkan beberapa variabel makroekonomi, seperti pajak, subsidi, modal dan
sebagainya. model SNSE dapat menggambarkan seluruh transaksi makroekonomi,
sektoral dan institusi secara utuh dalam sebuah neraca, perhatikan Tabel 18.
Tabel 18. Structure of Social Accounting Matrix
PENGELUARAN
Pendapatan
1
2
Aktivitas
Komoditi
Tenaga
Kerja
4
Modal
Rumahtangga
Perusahaan
Penjualan
Dalam Negeri
1. Aktivitas
2. Komoditi
3
Intermediate
Demand
5
Pemerintah
Subsidi
Ekspor
Konsumsi
Pemerintah
Konsumsi
Rumahtangga
Modal
6
7
Rest of
World
Jumlah
Ekspor
Produksi
Permintaan
Daerah
Investasi
3. Faktor-faktor
Tenaga
Gaji
Modal
Pinjaman
Factor
Income
from
Abroad
GNP Biaya
Produksi
4. Institusi
Labor
Income
Rumahtangga
Perusahaan
Pemerintah
Pertambahn
Nilai Pajak
Pajak tidak
langsung
Pajak
Keamanan
Sosial
Distribusi
Keuntungan
Bukan
Distribusi
Keuntungan
Transfer Antarrumahtangga
Pajak
Keuntungan
Pajak
Langsung
Pajak
Simpanan
Rumahtangga
Simpanan
Perusahaan
5. Modal
6. Rest of World
Jumlah
Impor
Produksi
Permintaan
Dalam Negeri
Transfer
Transfer
Pendapatan
Rumahtangga
Transfer
Transfers
From
Abroad
Transfer
Pendapatan
Pemerintah
Simpanan
Pemerintah
Transfer
Modal
Faktor
Pmbyran
Faktor luar
Pendapatan
Perusahaan
Jumlah
Simpanan
Impor
Pengeluaran
Rumahtangga
Pengeluaran
Perusahaan
Pengeluaran
Pemerintah
Jumlah
Investasi
Foreign
Exchange
Earning
Sumber : Sadoulet dan de Janvry (1995)
98
99
SNSE pada dasarnya merupakan sebuah matrik berbentuk bujur sangkar
yang menggambarkan arus moneter dari berbagai transaksi ekonomi. Kolomnya
menjelaskan pengeluaran (expenditure), baris menunjukkan penerimaan (receipt).
Salah satu karakteristik yang fundamental dan menjadi ciri khas dari SNSE adalah
kemampuannya untuk menyajikan dan mengungkapkan secara komprehensif dan
konsisten mengenai hubungan-hubungan ekonomi pada tingkatan produksi,
faktor-faktor dan institusi, yang terdiri dari pemerintahan, rumahtangga dan
swasta. Dengan demikian SNSE dapat menggambarkan seluruh transaksi, sektoral
dan institusi secara utuh dalam sebuah neraca (Chulu dan Wobst, 2001).
Ada enam tipe neraca dalam sebuah matrik SNSE yang lengkap, yaitu
(1) aktivitas, (2) komoditas (commodities), (3) faktor-faktor produksi (tenaga
kerja dan modal), (4) institusi domestik yang terdiri dari rumahtangga
(household), perusahaan (firms) dan pemerintah (government), (5) modal, dan (6)
rest of the world (Sadoulet dan de Janvry, 1995; Thiele dan Piazolo, 2001), hal ini
dapat dilihat pada Tabel 18.
Neraca-neraca yang ada dapat dikelompokkan menjadi neraca endogen
dan eksogen. Pada lima neraca pertama dikelompokkan sebagai neraca endogen,
sedangkan neraca keenam menjadi neraca eksogen yang dapat mempengaruhi
besar kecilnya perubahan peningkatan atau penurunan neraca endogen pada saat
dilakukan atau diberikan suatu injeksi pada neraca tersebut.
Sedangkan dalam kerangka dasar SNSE Indonesia terdapat 4 neraca
utama, yaitu (1) neraca faktor produksi, (2) neraca institusi, (3) neraca sektor
produksi, dan (4) neraca eksogen yang terdiri dari neraca modal dan rest of the
world (ROW) (Daryanto, 2001). Masing-masing neraca tersebut menempati lajur
baris dan kolom. Perpotongan antara suatu neraca dengan neraca lainnya
memberikan arti tersendiri lihat Tabel 19.
100
Tabel 19. Kerangka Dasar SNSE Indonesia
Pengeluaran
Neraca Endogen
Faktor
1
Penerimaan
Neraca Endogen
Faktor
Produksi
Institusi
Sektor
Produksi
Neraca
Eksogen
Jumlah
1
2
Neraca
Eksogen
Institusi
2
Sektor
3
T 13
Alokasi nilai
tambah ke faktor
produksi
0
0
T 21
Alokasi
pendapatan
faktor ke
institusi
T 22
Transfer antarinstitusi
4
T 14
Pendapatan
faktor
produksi dari
luar negeri
5
Y1
Distribusi
pendapatan
faktorial
T 24
Transfer dari
luar negeri
Y2
Distribusi
pendapatan
institusional
0
T 32
Penerimaan
domestik
T 33
Penerimaan
antara
T 34
Ekspor dan
investasi
Y3
Total output
menurut
sektor
produksi
Y4
Total
penerimaan
neraca
lainnya
3
0
I2
Tabungan
pemerintah
swasta dan
rumahtangga
I3
Impor dan pajak
tak langsung
I4
Transfer
lainnya
4
I1
Alokasi
pendapatan
faktor ke luar
negeri
Y’ 1
Distribusi
pengeluaran
faktor
Y’ 2
Distribusi
pengeluaran
institusi
Y’ 3
Total input
Y’ 4
Total
pengeluaran
lainnya
5
Jumlah
Sumber : Daryanto (2001)
Neraca faktor-faktor produksi, termasuk didalamnya adalah tenaga kerja
dan modal. Dibaca secara baris neraca ini memperlihatkan penerimaanpenerimaan yang berasal dari upah dan sewa, selain itu juga menggambarkan
pendapatan remitance dan pendapatan modal. Sedangkan secara kolom
menunjukkan adanya revenue yang didistribusikan ke rumahtangga sebagai
pendapatan tenaga kerja, distribusi ke perusahaan dan keuntungan yang bukan
dari perusahaan, serta keuntungan perusahaan setelah dikurangi pembayaran
pemerintah,
pemerintahan.
neraca
institusi
mencakup
rumahtangga,
perusahaan
dan
101
Dalam hal ini rumahtangga akan didisagregasi ke dalam kelompokkelompok sosial ekonomi yang saling berbeda tingkatannya. Penerimaan
rumahtangga antara lain datang dari pendapatan faktor-faktor produksi, berbagai
macam bentuk transfer seperti transfer pendapatan diantara rumahtangga itu
sendiri, pendapatan dari pemerintah dan dari perusahaan (biasanya berupa
asuransi) atau dari luar negeri.
Sementara itu pengeluaran rumahtangga ditujukan untuk konsumsi
barang-barang dan pajak pendapatan, serta sebagian dimasukan untuk saving
dalam neraca modal. Pada perusahaan, penerimaannya berasal dari keuntungan
yang diperoleh dan sebagian dari transfer, sedangkan pengeluarannya kepada
pembayaran pajak dan transfer, untuk pemerintah pengeluarannya berupa subsidi,
konsumsi barang dan jasa, transfer ke rumahtangga dan perumahan sebagian juga
berupa saving, di sisi lain penerimaannya berasal dari pajak dan transfer
pendapatan dari luar negeri.
Neraca aktivitas (activity) atau sektor produksi (production) merupakan
neraca yang menjelaskan tentang transaksi pembelian bahan-bahan mentah,
barang-barang antara dan sewa untuk memproduksi suatu komoditi. Dibaca secara
kolom semua transaksi tersebut merupakan pengeluaran yang meliputi permintaan
antara, upah, sewa dan value added dari pajak. Sedangkan pada baris semua
transaksi dianggap sebagai penerimaan yang meliputi penjualan domestik, subsidi
ekspor dan penerimaan.
Neraca terakhir adalah neraca eksogen yang memuat neraca modal dan
transaksi luar negeri atau rest of world. Dalam neraca modal sisi penerimaan
(secara baris) berupa pemasukan dalam bentuk tabungan rumahtangga, swasta dan
102
pemerintah. Sementara sisi pengeluaran (secara kolom), berupa neraca komoditi
berupa investasi. Transaksi antara domestik dengan luar negeri juga dicatat dalam
neraca terakhir yang memuat segala penerimaan yang berhubungan dengan luar
negeri yang datang dari ekspor, transfer pendapatan institusi dari luar negeri,
transfer pendapatan dari faktor-faktor produksi dan pemasukan modal dari luar
negeri. Sedangkan pengeluarannya berupa impor, pembayaran faktor-faktor
produksi dan transfer ke luar negeri. Jumlah pengeluaran dan penerimaan pada
masing-masing neraca haruslah sama, hal ini menunjukkan bahwa dalam tabel
SNSE selalu terdapat keseimbangan dari masing-masing neraca.
Dalam membangun sebuah struktur SNSE banyak dibutuhkan data, secara
umum data-data tersebut dapat diperoleh dari Biro Pusat Statistik (BPS) masingmasing negara. Kemudian, untuk melakukan disagregasi pada setiap neraca yang
berbeda kita membutuhkan tiga kumpulan data. Pertama, neraca aktivitas dan
komoditi, biasanya dapat diambil dari tabel transaksi input-output. Kedua,
disagregasi value added dari pendapatan tenaga kerja dan keuntungan perusahaan,
yang diperoleh melaui survei tenaga kerja dan sensus sektoral. Kesulitan yang
paling tinggi adalah sewaktu mengukur sektor-sektor aktivitas yang informal,
namun sebenarnya dapat diidentifikasikan melalui survei industri. Ketiga,
penentuan pendapatan dan pengeluaran institusi perusahaan dan rumahtangga, hal
ini merupakan pekerjaan yang paling sulit juga sewaktu membentuk struktur
SNSE.
Dari sisi pengeluaran kita mendapatkannya melalui survei konsumsi yang
ada dan pajak yang tersedia pada anggaran belanja negara, akan tetapi untuk
penerimaan harus melakukan survei rumahtangga. Jika hal ini tidak tersedia, maka
103
dapat dikompromikan dengan menggunakan data-data survei pengeluaran
keluarga atau distribusi pendapatan penduduk kota dan pedesaan serta survei
angkatan kerja dengan ketentuan survei tersebut juga memasukkan karakteristik
anggota rumahtangga. Penerimaan dan pengeluaran perusahaan secara agregat
biasanya terdapat dalam neraca nasional, transfer antara pemerintah dan
perusahaan, tersedia di statistik pemerintahan (Sadoulet dan de Janvry, 1995).
McGrath (1987) mengungkapkan bahwa salah satu tujuan menyusun
sebuah matrik SNSE adalah memperluas gambaran sistem pendapatan nasional
atau System of National Account (SNA), melalui cara penggabungan SNA dengan
data distribusi pendapatan. SNSE memberikan sebuah metode yang dapat
mengubah SNA dari statistik produksi menjadi statistik pendapatan, dengan cara
demikian akhirnya SNSE itu lebih terfokus kepada pembahasan mengenai tingkat
kesejahteraan dari kelompok-kelompok sosial ekonomi yang berbeda.
Dalam Gambar 22 dapat kita lihat bagaimana sirkulasi pendapatan itu
terjadi dalam suatu perekonomian, yang sering disebut pula sebagai bentuk makro
dari SNSE. Berdasarkan gambar ini sumber pendapatan bagi perusahaan dan
rumahtangga (di luar transfer pemerintah) pada intinya berasal dari dua pasar
yaitu pasar komoditi dan pasar faktor produksi. Perusahaan memperoleh
pendapatan dari pasar komoditi dan rumahtangga dari pasar faktor serta
pemerintah memperoleh pendapatannya dari pajak.
Model SNSE menjadi alat analisis yang penting karena model tersebut
mampu membangun skematis arus pendapatan dari sektor produksi ke kelompokkelompok rumahtangga dan disini terbukti SNSE merupakan alat yang paling
jelas mengamati hubungan antara distribusi pendapatan dengan aktivitas produksi.
104
Hal ini sudah banyak ditunjukkan dalam berbagai studi yang menggunakan model
SNSE, misalkan studi yang dilakukan oleh Thiele dan Piazolo (2002).
Penambahan
nilai
Simpanan
Faktor
Market
Pajak
Rumahtangga
Aktivitas
Enterprises
Pemerintah
Modal
Penjualan
Intermediate
Consumption
Transfer
Pasar
komoditas
Impor
Final goods
Ekspor
Current
external
balance
Transfer
Rest of
World
Tarif
Pajak tak langsung
Sumber : Chung-I Li (2002)
Gambar 22. The Economy-Wide Circular Flow of Income
Mereka telah membangun SNSE untuk negara Bolivia dengan fokus pada
aspek pendapatan. Dalam studi ini analisis SNSE dikaji melalui dua komponen
yaitu distribusi pendapatan faktor-faktor produksi dan redistribusi pendapatan
antara kelompok-kelompok institusi. Hasil studinya menunjukkan bahwa (1)
105
smallholders dan urban informals keduanya menguasai kurang lebih dua pertiga
angkatan kerja, namun pendapatan totalnya kurang dari seperempat, (2) kelompok
rumahtangga yang kaya (employer’s) sedikitnya mempunyai pendapatan sepuluh
kali lipat dibandingkan pendapatan untuk kelompok rumahtangga yang miskin
(smallholders), (3) terjadi ketimpangan distribusi kekayaan yang cukup besar,
dimana tenaga kerja yang terampil dan ahli (employer's) memiliki aset yang lebih
banyak dibandingkan buruh (smallholders) pada pasar faktor, dan (4) kelompok
rumahtangga yang miskin mempunyai empat karakteristik, yaitu tabungannya
rendah, investasi rendah dan partisipasinya rendah dalam sistem keuangan.
Studi yang dilakukan oleh Llop dan Manresa (2002) juga menggunakan
SNSE di dalam menganalisis distribusi pendapatan regional antara agen-agen
ekonomi (institusi) di Catlan. Multiplier SNSE mereka gunakan sebagai dasar
untuk menggambarkan proses pembentukan pendapatan (process of income
generation). Dengan teknik dekomposisi mereka juga melakukan identifikasi
perubahan-perubahan posisi agen-agen ekonomi, salah satu temuan penting dari
studi ini adalah institusi pemerintah memang mempunyai pengaruh yang positif
terhadap proses distribusi pendapatan konsumen. Namun dalam sistem produksi
pengaruhnya dapat negatif terhadap distribusi pendapatan.
Iqbal dan Siddiqui (1999) dengan menggunakan SNSE melakukan studi
tentang dampak penerapan SAP (Structural Adjustment Program) terhadap
ketimpangan pendapatan di Pakistan. Studi ini bermaksud untuk menganalisis
dampak kebijakan fiskal yang berkaitan dengan subsidi produksi dan konsumsi
serta subsidi kesehatan dan pendidikan pada berbagai tingkat pendapatan
rumahtangga pedesaan dan perkotaan di Pakistan. Kesimpulan dari studi ini
106
adalah (1) pengurangan subsidi akibat penerapan SAP memberikan pengaruh
yang sangat merugikan kepada kelompok rumahtangga yang berpendapatan
tinggi, kemudian disusul oleh kelompok rumahtangga miskin, baik di perkotaan
maupun di perdesaan, (2) kontraksi pengeluaran pemerintah berdampak pada
penurunan pendapatan seluruh kelompok rumahtangga baik di perkotaan maupun
perdesaan, dan (3) penurunan subsidi pemerintah di sektor pendidikan dan
kesehatan
menurunkan
aktivitas
pendidikan
dan
kesehatan.
Kelompok
rumahtangga yang paling menderita dengan penurunan pengeluaran pemerintah
pada kedua sektor ini adalah kelompok rumahtangga miskin baik yang ada di
perkotaan maupun perdesaan.
Studi lainnya yang menarik pula untuk dilihat adalah studi dari Townsend
dan McDonald (1997) yang menggunakan SNSE untuk mengkaji kebijakankebijakan yang mendukung sektor pertanian dan distribusi pendapatan di negara
Afrika Selatan. Hasil studinya menunjukkan bahwa reformasi kebijakan-kebijakan
pertanian di negara Afrika Selatan selain sangat potensial untuk menstimulasi
aktivitas sektor-sektor ekonomi lainnya, juga dapat menunjang program-program
pemerintah didalam mengurangi ketimpangan pendapatan.
Kesimpulan yang hampir sama seperti di atas juga diutarakan oleh
Bautista (2000) yang mempelajari tentang strategi pembangunan berbasis
pertanian (agriculture based development strategy) di wilayah Vietnam Pusat,
selanjutnya akan menggunakan analisis multiplier SNSE untuk mengamati
dampak pembangunan pertanian terhadap distribusi pendapatan. Di sini studi
tersebut menunjukan bahwa pembangunan sektor pertanian pengaruhnya lebih
besar terhadap rumahtangga yang berpendapatan rendah dibandingkan terhadap
107
rumahtangga yang berpendapatan tinggi, baik itu di daerah perdesaan maupun
perkotaan. Pada akhir studinya didapat kesimpulan bahwa penerapan strategi
pembangunan yang berbasis pertanian di Vietnam Pusat sangat relevan,
mengingat wilayah ini sarat dengan sektor pertanian. Di bawah strategi
pembangunan semacam itu, kenaikan sumberdaya masyarakat dapat dialokasikan
ke sektor pertanian dan pedesaan yang nantinya akan meningkatkan produktifitas
sektor pertanian dan menaikkan pendapatan rumahtangga perdesaan, yang
selanjutnya akan menciptakan kekuatan permintaan terhadap barang-barang
produksi non pertanian dalam pasar lokal.
Kemudian Nokkala (2000), dalam studinya menggunakan analisis SNSE
untuk mengkaji secara khusus terhadap kebijakan Agricultural Sector Investment
Program (ASIP) yang telah dikeluarkan oleh negara Zambia pada tahun 1992.
Studi ini menelaah empat alternatif pola pengeluaran dana invetasi sektor
pertanian. Setiap pola dipresentasikan sebagai suatu skenario atau suatu
eksperimen kebijakan, sehingga ada empat skenario yang digunakan yaitu, (1)
skenario implementasi aktual, (2) skenario implementasi optimal, (3) skenario full
expenditure pada pertanian non komersial, dan (4) skenario half expenditure pada
pertanian komersial dan pertanian non komersial. Hasil studinya secara umum
menunjukkan bahwa kebijakan ASIP mampu meningkatkan produksi di sektor
pertanian. Investasi yang lebih besar terhadap sektor pertanian komersial lebih
signifikan untuk menaikan produksi pertanian secara keseluruhan. Sementara
untuk distribusi pendapatan kebijakan investasi terhadap pertanian non komersial
lebih tinggi pengaruhnya terhadap kenaikan pendapatan penduduk di perdesaan,
khususnya bagi tenaga kerja yang tidak terlatih (unskilled).
108
Untuk negara Indonesia sendiri, studi yang membahas tentang pendapatan
dengan kajian SNSE pernah dilakukan oleh Bautista et al. (1999). Studi ini secara
khusus mengkaji tentang tiga alternatif pembangunan industri untuk negara
Indonesia yaitu, (1) agrcultural demand-led, (2) food processing-based, dan (3)
ligth manufacturing-based. Kesimpulan akhir dari studi ini adalah pembangunan
industri yang berbasis pertanian (agricultural demand-led) ternyata pengaruhnya
lebih tinggi dan signifikan terhadap kenaikan GDP riil Indonesia, dibandingkan
dengan pembangunan industri yang berorientasi pada pengolahan makanan dan
industri ringan. Selain itu distribusi pendapatan pada kelompok rumahtangga yang
berpendapatan rendah memiliki pengaruh lebih besar terhadap kenaikan GDP.
Kemudian James dan Khan (1993) mengamati tentang kapasitas
penyerapan tenaga kerja dalam program-program redistribusi pendapatan di
Indonesia. Analisisnya berdasarkan SNSE tahun 1975 yang dipublikasikan oleh
BPS, kesimpulan studinya adalah redistribusi pendapatan yang terjadi dalam
kelompok rumahtangga miskin akan menghasilkan pengaruh (secara langsung
atau tidak langsung) terhadap pendapatan tenaga kerja, baik itu berdasarkan
analisis secara agregasi maupun disagregasi. Akan tetapi, secara keseluruhan,
pengaruhnya lebih besar dalam analisis tingkat disagregasi.
Studi yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian IPB (2002) yang mencoba
merumuskan tentang Structural Adjustment Program (SAP) dan model
pembangunan pertanian di Indonesia, telah menggunakan kerangka SNSE sebagai
salah satu alat analisisnya. Melalui analisis multiplier SNSE berhasil dibuat
rumusan tentang model pembangunan pertanian di Indonesia, yaitu model
pembangunan Agriculture Based Development (ABD) pada sektor tanaman
109
pangan khususnya perkebunan dan sektor pertanian secara umum, termasuk
agribisnis dan agroindustri. Di bawah strategi ini maka pertumbuhan ekonomi
dapat dipacu lebih tinggi dan selain itu upaya untuk mengurangi ketimpangan
pembagian pendapatan melalui peningkatan pendapatan penduduk di pedesaan
dapat terlaksana dengan baik.
Dalam konteks kedaerahan Sutomo (1995) melakukan analisis kemiskinan
rumahtangga dan pembangunan ekonomi yang terjadi di dua provinsi, yaitu Nusa
Tenggara Timur (NTT) dan Riau, untuk melakukan hal tersebut, Sutomo
menggunakan perangkat SNSE sebagai kerangka kerja dan analisis. Hasil
studinya ditemukan bahwa golongan rumahtangga bukan buruh di sektor
pertanian merupakan golongan rumahtangga paling miskin dalam ukuran relatif,
baik di NTT maupun Riau. Selain itu distribusi pendapatan di kedua provinsi
tersebut dalam keadaan yang sangat tidak merata.
Sementara itu Ropingi (1999) yang juga menggunakan SNSE mencoba
melakukan analisis keragaan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat di
kabupaten Boyolali. Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan, terungkap
bahwa untuk meningkatkan pendapatan buruh tani adalah dengan memberikan
injeksi pada sektor tanaman padi, tanaman jagung, kehutanan, tanaman sayuran
dan buah-buahan serta sektor tanaman pertanian lainnya. Kelima alternatif
tersebut baik dilihat secara absolut dampaknya terhadap pendapatan buruh tani
maupun secara relatif sebagai pangsa kenaikan pendapatan rumahtangga
memberikan nilai terbesar, dibandingkan dengan sektor produksi lainnya.
Sementara itu Adelman dan Ralston (1992) dalam Daryanto (2001)
dengan membangun SNSE untuk provinsi Jawa Barat, mereka telah melakukan
110
pengamatan tentang implikasi pertumbuhan dan distribusi pendapatan terhadap
perubahan-perubahan market-oriented dan program-program pemerintah. Hasil
studinya menunjukkan bahwa saat kebijakan-kebijakan perubahan marketoriented menghasilkan tingkat pertumbuhan dan pendapatan rumahtangga yang
tinggi di Jawa Barat, ketimpangan pendapatan antara rumahtangga yang
berpendapatan rendah (diukur dalam kalori) dan rumahtangga yang berpendapatan
tinggi juga semakin meningkat.
Dakila dan Mizokami (2006) menyatakan bahwa pilihan lokasi investasi
infrastruktur transportasi menjadi variabel yang penting dalam pengambilan
keputusan pada tingkat makro, bila akan menginvestasi dalam jumlah yang besar
pada proyek-proyek infrastruktur
transportasi di negara berkembang yang
mempunyai keterbatasan sumber dana seperti Filipina. Manfaat pada pilihan
investasi tersebut relatif terhadap biaya harus dapat terlihat, sehingga keputusan
yang dihasilkan optimal. Penelitian yang dilakukan untuk mengamati perihal
tersebut yaitu dengan
melakukan: (1) konstruksi Social Accounting Matrix
(SAM) lima wilayah sebagai
database untuk guncangan simulasi kebijakan.
Sebelumnya, juga dibangun SAM single region dan bi-region SAM, (2)
membangun first transport-oriented Spatial Computed General Equilibrium
(SCGE) model untuk Filipina. Model Ini akan digunakan untuk mengenerate
perkiraan kuantitatif keuntungan investasi
infrastruktur transportasi
seluruh
region dan rumah tangga, dan (3) pengenalan fungsi impedansi, yang
mengintegrasikan konsep-konsep dalam teknik transportasi dan ekonomi di dalam
suatu model.
111
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa keuntungan investasi
infrastruktur transportasi menyebar ke daerah lain dan tidak terbatas pada daerah
asal investasi dibuat. Ada spillover signifikan dan efek ekuitas intervensi
kebijakan seperti peningkatan kapasitas transportasi dan teknologi perbaikan di
sektor transportasi. intervensi tersebut mempengaruhi pola spasial ekonomi
manfaat, nilai manfaat ekonomi di seluruh sektor produksi, dan distribusi manfaat
antara kelompok pendapatan rumah tangga. Sebagai kesimpulan, penelitian ini
menunjukkan bahwa perencanaan tata ruang yang tepat mencakup pilihan lokasi
dan jenis investasi infrastruktur transportasi yang memiliki dampak luas terhadap
interindustry dan interhousehold hubungan antara wilayah. Akibatnya, perbaikan
efisiensi interrregional dan ekuitas dapat dicapai.
Dakila (2007) dalam tesisnya mengkaji dampak investasi infrastruktur
transportasi pada keseluruhan manfaat ekonomi yang dihasilkan termasuk
kesejahteraan regional yang lebih tinggi, peningkatan ekuitas interregional,
tingkat output yang lebih tinggi, pendapatan faktor, arus antarwilayah dan
permintaan akhir. Di sisi lain, akan disajikan efek negatif meliputi impedansi yang
lebih tinggi dalam pergerakan, polusi, dan inefisiensi yang terkait dengan distorsi
harga karena ketidakmampuan untuk menekan biaya eksternal intensitas
transportasi. Metodologi yang dipakai dalam studi ini adalah dengan Pendekatan
Keseimbangan Umum Berbasis Social Accounting Matrix (SAM). Dari hasil studi
ini disimpulkan berupa saran sebuah paket kebijakan ekonomi transportasiintegratif
darat.
dengan penekanan khusus pada investasi infrastruktur transportasi
Petunjuk
kebijakan
tentang
cara
untuk
mengangkat
kelompok
berpenghasilan rendah ke kelompok berpenghasilan menengah juga akan
112
dirumuskan melalui lokasi yang optimal investasi infrastruktur transportasi. Selain
itu, juga dibahas trade-off antara pertumbuhan output yang lebih tinggi ditambah
dengan intensitas transportasi dan impedansi rendah dalam pergerakan serta biaya
kerusakan lingkungan.
Resosudarmo et al. (2009) menyatakan bahwa kesenjangan dalam
pembangunan telah lama menjadi isu penting di Indonesia. Dalam struktur baru
pemerintah Indonesia, adalah penting untuk menentukan apakah harus melakukan
desentralisasi anggaran lebih lanjut, dan jika demikian, apa konsekuensinya
terhadap perekonomian nasional secara keseluruhan. Dalam penelitiannya
menggunakan alat ekonomi Interregional Social Accounting Matrix (IRSAM)
multiplier - untuk menganalisis dampak kebijakan desentralisasi fiskal pemerintah
terhadap kinerja perekonomian regional dan nasional. Dari simulasi menunjukkan
hasil sebagai berikut. Pertama, mengurangi kesenjangan antara ekonomi regional
dan meningkatkan perekonomian nasional melalui strategi transfer fiskal yang
lebih tinggi mungkin tidak mencapai tujuan yang sama, yaitu menyediakan
transfer yang lebih tinggi untuk daerah yang tertinggal (Sulawesi dan Indonesia
Timur) akan sangat mungkin mengurangi kesenjangan antara daerah ekonomi,
tetapi bisa
berdampak
negatif terhadap
perekonomian
nasional secara
keseluruhan. Kedua, secara umum, sistem fiskal lebih terdesentralisasi akan
menguntungkan rumah tangga di Sulawesi dan Timur Indonesia, sedangkan yang
sama tidak dapat dikatakan untuk Jawa-Bali, Sumatera, dan Kalimantan. Ketiga,
dampak dari transfer fiskal lebih lanjut pada pendapatan tenaga kerja bervariasi
tergantung pada daerah dan jenis tenaga kerja.
113
3.11. Studi Empirik dengan Model IRSAM
Studi empirik yang berkaitan dengan ekonomi regional baik di
mancanegara maupun di Indonesia telah dilakukan oleh banyak pihak dengan
berbagai model dan pendekatan. Namun, dalam pembahasan ini lebih di fokuskan
pada studi-studi yang menggunakan model Social Accounting Matrix (SAM).
Pilihan ini didasarkan pada pertimbangan kesamaan model yang akan digunakan
dalam studi ini, serta kemiripan issue yang akan dikaji. Studi yang berkaitan
dengan disparitas pendapatan telah dilakukan oleh antara lain Alim (2006), Hadi
(2001), Achjar, Hewings dan Sonis (2003), serta Rahman dan Utama (2003)
Alim
(2006)
dalam
disertasinya
menganalisis
penyebab
makin
melebarnya kesenjangan ekonomi antara Jawa dan Sumatera selama masa
pembangunan ekonomi. Model Interregional Social Accounting Matrix Jawa dan
Sumatera yang diberi nama Samijasum 2002, dibangun berdasarkan data sekunder
dalam bentuk matrik 59x59 dan menggunakan teknik cross entrophy untuk
balancing.
Struktur ekonomi Jawa pada awal pembangunan ekonomi (Pelita I) adalah
sektor jasa, pertanian, industri pengolahan dan pertambangan. Selama masa
pembangunan ekonomi jangka panjang tahap pertama (PJPT-I), sektor jasa dan
sektor industri pengolahan secara bertahap mengalami penguatan dan kemudian
menjadi dominan dalam perekonomian Jawa. Sebaliknya, pada periode yang sama
struktur ekonomi Sumatera berubah secara acak. Dimana peranan sektor
pertambangan dan sektor industri melemah, sedangkan sektor jasa dan sektor
pertanian menguat. Hasil analisis yang didasarkan pada Samijasum 2002
menunjukkan bahwa (1) neraca perdagangan antara Jawa dan Sumatera lebih
114
menguntungkan Jawa, dimana perekonomian Sumatera mengalami defisit neraca
perdagangan, (2) keterkaitan sektor-sektor produksi di Sumatera terhadap
berbagai sektor produksi di Jawa sangat kuat, sedangkan sebaliknya memiliki
keterkaitan yang lemah, dan (3) spillover effect dari Sumatera ke Jawa lebih besar
daripada spillover effect dari Jawa ke Sumatera, sehingga setiap guncangan
(shock) ekonomi pada sektor manapun pada ke dua wilayah akan mengakibatkan
ekonomi Jawa meningkat jauh lebih cepat daripada ekonomi Sumatera. Dalam
kondisi ini, apabila pembangunan ekonomi dikonsentrasikan ke Sumatera, maka
pertumbuhan ekonomi kedua wilayah akan lebih tinggi dan terdistribusikan secara
lebih berimbang, sehingga kesenjangan ekonomi antara kedua wilayah secara
bertahap akan menyempit.
Hadi (2001) melakukan studi tentang disparitas pendapatan antara KBI
dan KTI, dalam studinya mengelompokan semua provinsi yang berada di pulau
Jawa dan Sumatera ke dalam KBI dan semua provinsi-provinsi di luar Jawa dan
Sumatera dimasukkan ke dalam kelompok KTI. Dengan menggunakan model
Sistem Neraca Sosial Ekonomi–Antarregional (SNSE-AR) dan basis data tahun
1993, Hadi menelaah hal-hal berikut: (1) ketimpangan pembangunan wilayah
antara KBI dan KTI, (2) keterkaitan antara sektor-sektor ekonomi intra maupun
antara KBI dengan KTI, (3) dampak perubahan kebijakan pembangunan terhadap
disparitas KBI dengan KTI, dan (4) merumuskan strategi percepatan
pembangunan KTI dalam mewujudkan keseimbangan pembangunan antarwilayah
KBI dengan KTI.
Analisis keterkaitan ditunjukkan oleh koefisien input neraca sektor
ekonomi dalam SNSE-AR, KBI-KTI tahun 1993. Hasil pendugaan menunjukkan
115
bahwa sektor-sektor ekonomi di KTI mempunyai ketergantungan yang lebih besar
terhadap sektor-sektor ekonomi di KBI dari pada sebaliknya. Sektor-sektor
ekonomi KTI memerlukan input dari sektor-sektor ekonomi KBI rata-rata 29.0%
dari total input yang dibutuhkan oleh sektor-sektor ekonomi KTI yang terdiri dari
sektor primer 32.1%, industri 28.6% dan jasa-jasa sebesar 26.4%. Sedangkan
sebaliknya, sektor-sektor ekonomi KBI memerlukan input dari sektor-sektor
ekonomi KTI rata-rata 4.80% dari total input yang dibutuhkan oleh sektor-sektor
ekonomi KBI yang terdiri dari sektor primer 6.40%, industri 5.30% dan jasa-jasa
sebesar 2.80%. Hal ini menggambarkan bahwa terdapat suatu kendala investasi di
KTI yaitu ketergantungan KTI terhadap bahan baku hasil industri di KBI.
Hasil pendugaan keterkaitan langsung sektor-sektor ekonomi KBI dan KTI
tahun 1993 menunjukkan bahwa 39.1% total output sektor industri KBI dijual ke
KTI, namun sebaliknya tidak ada hasil industri KTI yang mengalir ke KBI. Hasil
sektor primer KTI yang mengalir ke KBI sebanyak 12.2% dan sebaliknya hanya
sebesar 3.4%. Sektor jasa-jasa yang mengalir dari KBI ke KTI sebanyak 9.3% dan
sebaliknya hanya 3.0%. Selanjutnya diungkapkan pula bahwa input yang
diperlukan KBI yang berasal dari KTI sebagian besar berbentuk bahan baku
primer, yakni sebanyak 92.9% untuk input sektor primer, 89.3% untuk input
sektor industri dan 48.0% untuk input sektor jasa-jasa di KBI. Sebaliknya, aliran
input dari KBI ke KTI sebagian besar berbentuk bahan baku hasil industri, yaitu
89.7% untuk input sektor primer, 89.9% untuk input sektor industri dan 86.6%
untuk input sektor jasa-jasa di KTI.
Dari sisi keterkaitan output (forward linkage) menunjukkan bahwa aliran
output (barang dan jasa) dari sektor-sektor ekonomi KBI ke sektor-sektor
116
ekonomi KTI sebagian besar untuk input sektor-sektor industri di KTI, yang
terdiri dari 85.4% output sektor primer untuk input sektor industri, 51.8% output
sektor industri untuk input sektor industri. Sedangkan bagian terbesar dari output
sektor jasa-jasa KBI yang mengalir ke KTI digunakan sebagai input sektor jasajasa, yaitu sebesar 42.7%. Sebaliknya, bagian terbesar dari output sektor primer
KTI yang mengalir ke KBI digunakan untuk input sektor industri yakni sebesar
58.5%. Bagian terbesar dari output sektor jasa-jasa KTI yang mengalir ke KBI
digunakan untuk input sektor jasa-jasa yakni sebesar 51.1%, sedangkan output
sektor industri KTI tidak ada yang mengalir ke KBI.
Analisis keterkaitan output (forward linkage) dan keterkaitan input
(backward linkage) menunjukkan bahwa dari tiga sektor ekonomi secara agregat
terdapat keterkaitan yang lebih tingggi di sektor industri antara kedua wilayah.
Artinya sektor industri di kedua wilayah membutuhkan input bahan baku baik
primer, industri sendiri, maupun dari sektor jasa-jasa yang dihasilkan masingmasing (kecuali sektor industri dari KTI). Selain itu, terdapat ketimpangan aliran
barang dan jasa pada perdagangan domestik antara kedua wilayah.
Temuan lain dari Hadi adalah bahwa struktur pemilikan faktor produksi
antarwilayah yang tidak seimbang menyebabkan struktur penerimaan institusi
antarwilayah menjadi tidak seimbang. Penerimaan antarwilayah rumahtangga
pedesaan KBI jauh lebih besar dibanding penerimaan antarwilayah rumahtangga
perdesaan KTI. Hal yang sama juga berlaku bagi golongan rumahtangga
perkotaan di kedua wilayah, dari sisi struktur pengeluaran rumahtangga
antarwilayah, tampak bahwa pengeluaran rumahtangga perdesaan KBI hanya
membelanjakan 5.0% dari total pengeluarannya atas output sektor produksi KTI
117
dan sebaliknya pengeluaran rumahtangga pedesaan KTI membelanjakan 32.4%
dari total pengeluarannya atas output sektor produksi KBI.
Hasil analisis pengganda menunjukkan bahwa nilai pengganda dari ke tiga
neraca endogen (faktor produksi, institusi dan sektor produksi) di KBI hampir dua
kali lebih besar di banding KTI. Sedangkan analisis keterkaitan menunjukkan
nilai tambah dari dampak penambahan 1 rupiah neraca eksogen di KTI akan
kembali ke KBI rata-rata 31.4% dari total nilai tambah setiap sektor. Sebaliknya
penambahan 1 rupiah neraca eksogen di KBI, maka nilai tambah yang mengalir
ke KTI rata-rata hanya 4.9% dari total nilai tambah setiap sektor.
Akhirnya Hadi merekomendasikan bahwa upaya percepatan pembangunan
KTI hanya mungkin terjadi apabila pemerintah pusat melakukan desentralisasi
dan memberikan otonomi bagi pemerintah daerah untuk melaksanakan
pembangunan sesuai dengan aspirasi dan potensi daerah serta perkembangan
pasar internasional.
Model Interregional Social Accounting Matrix (IRSAM) juga digunakan
oleh Achjar et al. (2003) untuk menyelidiki sifat ketergantungan interregional
dengan menggunakan metoda Interregional Block Structural Path Analysis.
Mereka menggunakan IRSAM lima pulau tahun 1995 yang telah dibangun untuk
pertama kali bagi Indonesia. Wilayah yang diliput adalah Sumatera, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi dan lainnya (Other Island) yang merupakan wilayah makro.
Sedangkan klasifikasi IRSAM lima pulau 1995 meliputi 5 jenis faktor produksi
(4 jenis tenaga kerja dan 1 jenis modal), 5 jenis institusi (3 jenis rumahtangga,
perusahaan dan pemerintah masing-masing 1 jenis) dan 9 jenis aktivitas produksi.
118
Achjar et al. (2003) mengilustrasikan bahwa selama tiga dekade
pembangunan ekonomi cenderung terpusat di Jawa, sehingga menghasilkan suatu
fenomena core-periphery yang direfleksikan oleh ketergantungan kebanyakan
wilayah kepada perekonomian Jawa. Pembahasan hasil dilakukan dalam tiga
fragmen, yaitu (1) output dan pendapatan secara global (Global Output and
Income), (2) injeksi terhadap institusi oleh wilayah makro (Injection of
Institutions by Macro Region), dan (3) injeksi terhadap aktivitas oleh wilayah
makro (Injection of Activities by Macro Region).
Pada fragmen Global Output and Income ditemukan bahwa injeksi
institusi menghasilkan nilai pendapatan institusi sebesar 17.7% dari total
pendapatan institusi dalam suatu sistem. Sebagai perbandingan, injeksi pada
aktivitas dalam sistem mengasilkan nilai pendapatan institusi sebesar 81.2% dari
total pendapatan institusi dalam keseluruhan sistem ekonomi. Keseluruhan injeksi
institusi hanya mengahasilkan permintaan output sebesar 8.2% dari total output,
injeksi terhadap aktivitas menghasilkan 91.3% dari total output. Rata-rata injeksi
terhadap institusi dan aktivitas secara bersama-sama menghasilkan hampir 99%
dari total output dan pendapatan di Indonesia, tinggal 1% yang dikontribusikan
oleh pendapatan faktorial.
Injeksi di atas berasal dari blok matrik institusi dan aktivitas produksi
secara simultan dalam keseluruhan sistem, hanya memberi suatu gambaran global
mengenai share instiutsi dan aktivitas produksi terhadap hasil output global dalam
suatu sistem ekonomi. Dengan demikian diperlukan suatu dekomposisi yang baru
untuk memisahkan pengaruh institusi dan produksi dari masing-masing wilayah
makro sehingga besar pengaruh dari satu wilayah ke wilayah lain dapat ditelusuri.
119
Dalam fragmen kedua (injection of institutions by macro region)
ditemukan bahwa injeksi terhadap institusi di Sumatera menghasilkan 79.7% dari
total pendapatan yang dihasilkan di Sumatera. Walaupun tidak ada keterkaitan
langsung antara institusi di Sumatera dengan Jawa, akan tetapi injeksi institusi di
Sumatera menghasilkan nilai pendapatan institusi di Jawa sebesar 18% dari total
pendapatan di Sumatera sebagai hasil dari keterkaitan langsung antara aktivitas
produksi kedua wilayah. Dibandingkan dengan empat wilayah lainnya, dampak
dari injeksi terhadap wilayahnya sendiri, pulau Jawa memperoleh bagian tertinggi,
yaitu 94.2% dari total pendapatan, Sumatera 79.7%, Kalimantan 74.9%, Sulawesi
75.5% dan Other Island 72.2%. Observasi lebih lanjut menunjukkan bahwa
injeksi dari setiap empat wilayah tersebut lebih terkait dengan Jawa daripada tiga
wilayah lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa perubahan pendapatan institusi
akan merubah pola konsumsi yang kemudian meningkatkan permintaan terhadap
output yang dihasilkan oleh sektor produksi di Jawa. Hal ini dapat ditunjukkan
dari transformasi aktivitas sebagai hasil dari perubahan pendapatan institusi.
Sebagai contoh, injeksi terhadap pendapatan institusi di Sumatera menghasilkan
88.8% dari aktivitas produksi di Sumatera dan sisinya diambil dari Jawa. Pola
yang sama juga berlaku di Kalimantan dimana 17% dari total permintaan output
datang dari Jawa.
Keterkaitan pulau lain dengan Jawa sangat kuat dibandingkan keterkaitan
antara pulau-pulau yang berdekatan seperti antara pulau lain dengan Sulawesi atau
pulau lain dengan Kalimantan. Injeksi terhadap pendapatan institusi di pulau lain
menghasilkan 21% pendapatan institusi di Jawa sedangkan dengan Sumatera,
Kalimantan dan Sulawesi hanya kurang dari 3%. Observasi terakhir dari rantai
120
reaksi atas dampak injeksi institusi oleh wilayah individu, secara keseluruhan
menunjukan kuatnya keterkaitan antara Jawa dan Sumatera. Injeksi pendapatan
institusi di Sumatera menghasilkan 17.9% dari output manufaktur berasal dari
Jawa. Disamping itu, juga menghasilkan sekitar 17% dari jasa keuangan dan 17%
dari sektor perdagangan, hotel dan restoran yang juga berasal dari Jawa.
Dalam fragmen ketiga (injection of activities by macro region)
mengungkapkan tentang output agregat sebagai hasil injeksi pada sektor aktivitas
produksi setiap wilayah makro dan pengaruhnya terhadap wilayah lainnya. Pada
tingkat agregat, injeksi aktivitas produksi di Sumatera menghasilkan 60.3% dari
total output yang dihasilkan dalam wilayah sendiri (self-generating output) 35.8%
berasal dari Jawa, sisanya yang jumlahnya sangat kecil berasal dari wilayah lain.
Berlawanan dengan Kalimantan, 39% aktivitas berasal dari Jawa sedangkan yang
dihasilkan sendiri (self-generating output) hanya memberikan kontribusi sebesar
49% dari total output. Analisis yang lebih rinci dalam fragmen ini menunjukkan
perekonomian Sumatera dan Jawa memiliki keterkaitan relatif lebih kuat
dibandingkan tiga wilayah makro lainnya, karena secara geografis kedua wilayah
tersebut dekat dan infrastruktur transportasinya cukup untuk menghubungkan
kedua wilayah.
Sebagai contoh, injeksi aktivitas di Jawa menghasilkan 16.3% output
pertanian berasal dari Sumatera, diikuti oleh Kalimantan (7%), Sulawesi (7%) dan
pulau lain (3.64%). Selanjutnya diungkapkan bahwa transformasi aktivitas
manufaktur di Sumatera menghasilkan sekitar 55% dari total output internal,
selebihnya lebih dari 40% dihasilkan di Jawa dan proporsi yang sangat kecil
berasal dari wilayah lainnya. Hasil ini menunjukkan bahwa ketergantungan
121
Sumatera terhadap Jawa sedemikian kuat berpusat pada hampir pada semua
aktivitas ekonomi.
Kesimpulan akhir dari analisis ini adalah bahwa injeksi institusi dan
aktivitas produksi di Jawa tidak membutuhkan dorongan dari perubahan
perekonomian wilayah lain dengan persentasi yang tinggi. Sebaliknya injeksi
institusi atau aktivitas produksi pada wilayah selain pulau Jawa dapat
menghasilkan hubungan asosiasi institusi, aktivitas dan pendapatan faktorial di
Jawa melalui keterkaitan perdagangan. Proses asimetris ini merupakan problem
utama dalam strategi pembangunan regional, yaitu usaha untuk mengurangi
disparitas kesejahteraan antarwilayah. Suatu temuan penting dari analisis ini
adalah bahwa struktur ekonomi regional Jawa mengandung self-generation
dengan derajat yang tinggi, terutama dalam manufaktur dan beberapa jasa.
Dengan self-influence yang tinggi dalam industri manufaktur dan sebagian besar
aktivitas produksi di Jawa, permintaan yang berasal dari Jawa tidak sensitif
terhadap perubahan output wilayah lain, kecuali sektor pertambangan. Analisis
lebih lanjut mengungkapkan bahwa self-influence dari sektor barang lebih tinggi
dari sektor jasa.
Rahman dan Utama (2003) menganalisis dampak desentralisasi fiskal di
Indonesia dengan mengunakan model IRSAM. Dalam model ini. Indonesia
dikelompokkan ke dalam dua wilayah makro (macroregion), yaitu wilayah Jawa
dan luar Jawa serta tujuh wilayah mikro (microregion) yakni Jawa Barat
(termasuk Jakarta dan Banten), Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi dan pulau lainnya di Timur Indonesia. Dalam konstruksi model, Rahman
122
dan Utama melakukan update data IRSAM 1990 (102x102) yang dibangun oleh
Wuryanto (1996) menjadi IRSAM 1999 (30x30).
Analisis multiplier effect dari injeksi neraca pemerintah menunjukkan
bahwa apabila arus pengeluaran pemerintah terjadi di Jawa, dampak pertumbuhan
lebih di wilayah Jawa (77.93% berasal dari daerah dan 77.807% dari pusat).
Dampak Spillover adalah sisanya (22.069% dari regional dan 22.192% dari
pusat). Jika suntikan berasal dari luar Jawa, dampak distribusinya lebih berimbang
antara Jawa dan luar Jawa. Perilaku dari multiplier effect di Jawa mencapai
45.066% dan sisanya di wilayah asal (origin region), pulau lain (54.933%). Datadata mengindikasikan bahwa ekonomi Indonesia demikian tergantung pada
wilayah Jawa. Fenomena ini juga ditunjukkan oleh penggunaan tenaga kerja dan
modal oleh luar Jawa yang kebanyakan datangnya dari Jawa.
Bila diamati lebih jauh strategi terbaik (the best strategy) dalam injeksi
neraca pemerintah melalui transfer antarpemerintah dari luar jawa, pengeluaran
pemerintah lokal (current and investment) memiliki efek yang lebih besar
daripada pengeluaran langsung pemerintah pusat. Keunggulan lain dari injeksi
neraca pemerintah melalui lokal, umumnya pendapatan intraregional lebih baik.
Dalam konteks output multiplier ditemukan bahwa efek multiplier dari
belanja rutin (current account) pemerintah (pusat dan daerah) pada semua wilayah
selalu lebih baik dari pengeluaran investasi (investment account) pemerintah.
Dengan demikian, mirip kasus income multiplier, output multiplier dalam
pengeluaran investasi pemerintah tidak dapat menangkap penambahan output
yang dihasilkan oleh peningkatan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan datang
123
dari proyek-proyek investasi yang menyeluruh, yang memungkinkan perbaikan
kapasitas produksi pada umumnya.
Pengujian atas pengaruh injeksi pemerintah terhadap aktivitas produksi,
disimpulkan bahwa pengaruh yang paling kuat dari pengeluaran rutin pemerintah
(Jawa dan luar Jawa) selalu ditemukan pada sektor jasa. Bila pengeluaran berasal
dari Jawa, multiplier effect mencapai 85.67% di Jawa dan sisanya di luar jawa
sebesar 14.321%. Di pihak lain bila injeksi itu berasal dari luar Jawa, wilayah
Jawa memperoleh 38.856% dari output multiplier.
Analisis output multiplier juga menunjukkan bahwa output multiplier tidak
tumbuh di wilayah asal, yang kebanyakan memberikan dampak tertinggi pada
sektor manufaktur. Alasan utama mengapa sektor jasa memperoleh dampak
multiplier tertinggi adalah karena kebanyakan dari komponen current expenditure
adalah belanja rutin atau pembelian secara regular. Dalam term pengeluaran
investasi pemerintah di kedua wilayah, nilai tertinggi dari output multiplier selalu
ditemukan pada sektor manufaktur. Kondisi ini sama bagi pemerintah pusat
maupun daerah. Ini terjadi karena kebanyakan dari pengeluaran investasi adalah
untuk membeli barang modal yang digunakan untuk meningkatkan kapasitas
produksi.
Lebih jauh ditemukan fenomena yang sama, pengeluaran investasi yang
berasal dari Jawa mempunyai spillover effect yang lebih kecil daripada
pengeluaran yang berasal dari luar Jawa. Kondisi yang sama juga terjadi pada
neraca investasi pemerintah pusat. Hal ini menunjukkan bahwa penawaran barang
modal dan jasa (capital goods and services) di luar Jawa demikian tergantung
pada industri-industri di Jawa. Dalam kaitan ini, Rahman dan Utama memandang
124
bahwa strategi yang baik dalam pengeluaran pemerintah adalah mengalokasikan
dana investasi ke luar Jawa. Injeksi alokasi dana investasi ini akan mengurangi
disparitas antarwilayah dan mempromosikan aktivitas manufaktur di luar Jawa.
Observasi selanjutnya adalah menjelajahi dampak anggaran pemerintah
daerah untuk tahun fiskal 2002 yang dibandingkan dengan matriks awal (the
initial matrix) dari IRSAM 99. Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah
alokasi anggaran pemerintah daerah tahun 2002 dapat menyeimbangkan
pendapatan, mengurangi disparitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi
nasional. Keperluan ini digunakan sejumlah asumsi dalam simulasi sebagai
berikut: (1) peubah shock menggunakan Dana Alokasi Umum (DAU), Dana
Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Perimbangan (DP) atau balancing finance dari
fiskal tahun 2002, (2) semua pembayaran transfer didistribusikan pada belanja
rutin dan investasi pemerintah daerah, (3) DAK harus dialokasikan pada sektorsektor infrastruktur (jalan dan irigasi), infrastruktur pemerintah, kesehatan dan
pendidikan. Konsekuensinya, DAK hanya dapat digunakan melalui neraca
pengeluaran investasi regional, (4) DAU adalah dana dimana pemerintah daerah
memiliki otoritas untuk mengalokasinya. Berdasarkan definisi ini diasumsikan
bahwa kebanyakan dana pengeluaran rutin bersumber dari DAU. Dengan asumsi
ini, dalam studinya menetapkan 90% dari DAU akan dialokasikan ke dalam
belanja rutin pemerintah daerah dan sisanya dialokasikan sebagai investasi, (5)
dana perimbangan yang terdiri atas income sharing on tax dan natural resources
yang tidak memiliki jadwal penerimaan yang tetap, juga pembayaran dana
perimbangan tidak semuanya pada setiap tahun fiskal. Di bawah kondisi ini
diasumsikan bahwa semua dana dialokasikan pada pengeluaran investasi daerah,
125
dan (6) neraca pemerintah pusat menggunakan data dari APBN. Proses distribusi
terhadap daerah mengikuti proporsi distribusi DAK, DAU dan DP.
Didasarkan pada data income multiplier dan output multiplier di atas,
income multiplier selalu dibawah satu pada semua level yang berarti bahwa
pendapatan rumahtangga aktual yang diterima selalu lebih rendah dari jumlah
pengeluaran pemerintah atas itu. Dalam konteks output multiplier nilainya
bervariasi dari di bawah satu dan di atas dua. Akumulasi dari multiplier belanja
rutin dan investasi pemerintah selalu nilainya lebih besar dari satu. Hal ini
menggambarkan bahwa penerimaan pendapatan aktual pada sektor-sektor
produksi lebih besar daripada pengeluaran aktual yang dibelanjakan oleh
pemerintah pada semua tingkat. Analisis dengan menggunakan peubah shock
senantiasa memperhatikan income dan output multiplier di atas, kemudian analisis
dibatasi pada skenario berikut ini:
1.
Skenario satu, simulasi menggunakan peubah shock DAU, DAK dan DP lalu
didistribusikan sebagai proporsi dari IRSAM 99. Di balik tujuan simulasi ini
adalah
untuk
memperkirakan
pendapatan
aktual
dari
keseluruan
perkonomian. Hal ini berarti juga bahwa pemerintah tidak memiliki otoritas
mengubah perilaku alokasi terhadap preferensi sektor dan rumahtangga.
2.
Skenario kedua, dalam pandangan ini pemerintah lokal mempunyai otoritas
untuk mengubah alokasi anggaran. Skenario ini menyediakan anggaran
terhadap sektor-sektor yang tergantung pada nilai pengaruh global (global
influence). Tujuan dari simulasi ini adalah untuk mengoptimalkan
pendapatan dari keseluruhan perekonomian dan untuk mengukur disparitas
antarwilayah.
126
3.
Dalam anggaran nasional (APBN) tidak menambah perubahan yang
dipertimbangkan, karena tujuan dari simulasi difokuskan pada menangkap
dampak peubah shock dari pemerintah lokal di bawah asumsi peubah-peubah
lain dalan kondisi ceteris paribus.
Dari simulasi di atas dapat disimpulkan bahwa disparitas diantara berbagai
sektor sedemikian melebar. Dari data dapat dicatat bahwa semua distribusi
pendapatan hanya berdampak pada wilayah itu sendiri. Pada simulasi kedua,
ditemukan bahwa injeksi neraca Jawa kurang berpengaruh terhadap wilayah lain
dibandingkan injeksi pada neraca luar Jawa.
Bila injeksi belanja rutin berasal dari Jawa hanya memberikan pengaruh
terhadap pendapatan luar Jawa sebesar 1.52%, tetapi bila berasal dari luar Jawa
akan memberikan pengaruh terhadap distribusi pendapatan di Jawa sebesar
27.32%. Fenomena yang sama juga terjadi pada neraca investasi regional, bila
injeksi dari Jawa hanya memberikan pengaruh terhadap penambahan output di
luar Jawa sebesar 1.47% sedangkan sebaliknya sebesar 18.59%.
Selanjutnya sektor manufaktur, jasa dan pertanian di Jawa merupakan
sektor dominan dalam alokasi anggaran dan juga memperoleh porsi tertinggi dari
output multiplier dari luar Jawa. Sektor jasa, manufaktur, pertambangan dan
pertanian di luar Jawa merupakan sektor utama (prominent) yang banyak
memberikan pengaruh terhadap keseluruhan perekonomian. Fenomena ini
menunjukkan bahwa sektor manufaktur, jasa, pertanian dan pertambangan
mempunyai keterkaitan inter dan intra yang luas pada berbagai sektor dan
berbagai wilayah. Kesimpulan akhir dari studi Rahman dan Utama adalah bahwa
perilaku perekonomian Indonesia demikian tergantung pada pulau Jawa. Dengan
127
demikian perencanaan pembangunan selayaknya diletakkan pada pemberdayaan
potensi ekonomi luar Jawa. Analisis pendapatan rumahtangga dapat dicatat bahwa
kekurangan kapasitas SDM di luar Jawa perlu ditingkatkan. Terakhir,
desentralisasi fiskal memberikan peluang untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi nasional dan mengurangi disparitas diantara berbagai wilayah melalui
transfer antarpemerintah lewat DAU, DAK dan DP.
3.12. Rekomendasi Kebijakan
Alim (2006) merekomendasikan bahwa pembangunan ekonomi sebaiknya
dikonsentrasikan ke Sumatera, maka pertumbuhan ekonomi Jawa dan Sumatera
akan lebih tinggi dan terdistribusikan secara lebih berimbang, sehingga
kesenjangan ekonomi antara Jawa dan Sumatera secara bertahap akan menyempit.
Menurut Hadi (2001) upaya percepatan pembangunan KTI hanya mungkin
terjadi apabila pemerintah pusat melakukan desentralisasi dan memberikan
otonomi bagi pemerintah daerah untuk melaksanakan pembangunan sesuai
dengan aspirasi dan potensi daerah serta perkembangan pasar internasional.
Sedangkan menurut Rahman dan Utama (2003) perilaku perekonomian
Indonesia demikian tergantung pada pulau Jawa. Dengan demikian perencanaan
pembangunan selayaknya diletakkan pada pemberdayaan potensi ekonomi luar
Jawa. Strategi terbaik dalam pengeluaran pemerintah adalah mengalokasikan dana
investasi ke luar Jawa. Injeksi dan investasi ini akan mengurangi disparitas
antarwilayah dan juga mempromosikan aktifitas manufaktur di luar Jawa, dan
meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia (SDM) di luar Jawa.
Download