III. TINJAUAN PUSTAKA 3.1. Pengertian Regional Sebelum membahas teori pertumbuhan dan pembangunan ekonomi daerah, ada baiknya dibahas pengertian daerah atau regional terlebih dahulu. Pengertian daerah berbeda-beda tergantung pada aspek tinjauannya. Dari aspek ekonomi, daerah memiliki tiga pengertian (Arsyad, 1999) yaitu : 1. Suatu daerah dianggap ruang dimana kegiatan ekonomi terjadi dan di dalam berbagai plosok ruang tersebut terdapat sifat-sifat yang sama. Kesamaan sifatsifat tersebut antara lain dari segi pendapatan per kapitanya, sosial budaya, geografisnya, dan lain sebaginya. Daerah dalam pengertian seperti ini disebut daerah homogen. 2. Daerah dianggap sebagai suatu ekonomi ruang yang dikuasai oleh satu atau beberapa pusat kegiatan ekonomi. Daerah seperti ini disebut sebagai daerah nodal. 3. Suatu daerah adalah suatu ruang kegiatan ekonomi yang berada di bawah satu administrasi tertentu, seperti provinsi, kabupaten, kecamatan dan lain sebagainya. Jadi pengertian daerah disini didasarkan pada pembagian administrasi suatu negara. Daerah dalam pengertian seperti ini disebut sebagai daerah perencanaan atau daerah administrasi. Dalam praktek sehari-hari, jika membahas perencanaan pembangunan ekonomi daerah maka pengertian yang ketiga tersebut di atas yang lebih banyak digunakan, karena: (1) dalam melaksanakan kebijaksanaan dan rencana pembangunan daerah diperlukan tindakan–tindakan berbagai lembaga pemerintah. Oleh karena itu, akan lebih praktis jika suatu negara dipecah menjadi beberapa 45 daerah ekonomi berdasarkan satuan administratif yang ada, dan (2) daerah yang batasannya ditentukan secara administratif lebih mudah dianalisis, karena biasanya pengumpulan data diberbagai daerah dalam suatu negara, pembagiannya didasarkan pada satuan administratif. Pengertian pertumbuhan ekonomi (economic growth) dan pembangunan ekonomi (economic development) masih sering jadi perdebatan para ekonom. Menurut Djojohadikusumo (1994), pengertian pertumbuhan ekonomi pada dasarnya terkait dengan proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam suatu daerah perekonomian. Pertumbuhan menyangkut perkembangan berdimensi tunggal dan diukur dengan meningkatnya hasil produksi (output) dan pendapatan. Menurut Arsyad ( 1999) yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi daerah adalah pertambahan pendapatan masyarakat yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah (added value) yang terjadi di wilayah terbsebut. Pertambahan pendapatan tersebut di ukur dalam nilai riil, artinya dinyatakan dalan harga konstan. Identifikasi pertumbuhan ekonomi menurut Kuznet dalam Djojohadikusumo (1985), yang memiliki beberapa ciri-ciri seperti: (1) laju pertumbuhan pendapatan perkapita dalam arti nyata, (2) distribusi angkatan kerja menurut sektor kegiatan produksi yang menjadi sumber nafkahnya, dan (3) pola persebaran penduduk. Selanjutnya, disebutkan pula faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu wilayah (Sukirno, 1985): (1) tanah dan kekayaan alam, (2) jumlah dan kualitas penduduk dan tenaga kerjanya, (3) barang modal dan tingkat teknologi, (4) sistem sosial dan sikap masyarakat, dan (5) luas pasar sebagai sumber pertumbuhan. Sedangkan menurut Todaro (1991), komponen- 46 komponen pertumbuhan ekonomi yang penting dalam masyarakat, meliputi: (1) akumulasi modal termasuk semua investasi baru dalam bentuk tanah, peralatan fisik dan sumberdaya alam, (2) perkembangan pendududuk, khususnya yang menyangkut pertumbuhan angkatan kerja, dan (3) kemajuan teknologi. Berbeda dengan pertumbuhan ekonomi, pembangunan ekonomi mengandung arti lebih luas dan mencakup perubahan pada tata susunan ekonomi masyarakat secara menyeluruh, Analisis yang menekankan pada pertumbuhan ekonomi semata, sering dianggap kurang sempurna. Hal ini disebabkan karena bila terjadi peningkatan output dan pendapatan daerah belum tentu meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakatnya. Sukirno (1985) mendefinisikan pembangunan ekonomi sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang. Dari definisi di atas, tersirat bahwa pembangunan ekonomi mempunyai tiga sifat penting, yaitu: (1) suatu proses, yang berarti terjadi perubahan terus menerus, (2) usaha untuk menaikkan tingkat pendapatan per kapita, dan (3) kenaikkan pendapatan perkapita itu harus terus berlangsung dalam jangka panjang. Demikian pula Arsyad (1999) yang juga mengatakan pembangunan ekonomi adalah suatu proses. Proses yang dimaksud meliputi: proses pembentukan institusi-institusi baru, pembangunan industriindustri alternatif, perbaikan kapasitas tenaga kerja yang ada untuk menghasilkan produk dan jasa yang lebih baik, identifikasi pasar-pasar baru alih ilmu pengetahuan, dan pengembangan perusahan-perusahan baru. Setiap upaya pembangunan daerah memiliki tujuan utama untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah. Dalam 47 upaya untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah daerah dan masyarakatnya harus secara bersama-sama mengambil inisiatif pembangunan daerah. 3.2. Ruang Lingkup Ilmu Ekonomi Regional Ilmu ekonomi regional (wilayah) merupakan suatu cabang ilmu ekonomi, yang dalam pembahasannya memasukkan unsur perbedaan potensi wilayah satu dengan wilayah lainnya. Ilmu ekonomi regional tidak membahas kegiatankegiatan ekonomi secara individual melainkan menganalisis suatu wilayah secara keseluruhan atau melihat berbagai potensi wilayah yang beragam dan bagaimana mengatur suatu kebijakan yang dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut (Tarigan, 2004). Ilmu ekonomi regional berbeda dengan ilmu bumi ekonomi meskipun ke dua ilmu ini mengenal dan menggunakan beberapa istilah yang sama, seperti wilayah homogen, wilayah nodel, wilayah pusat (core) dan pinggiran (periphery), namun dengan pendekatan yang berbeda. Ilmu bumi ekonomi pada dasarnya mempelajari keberadaan suatu kegiatan di suatu lokasi dan bagaimana wilayah sekitar bereaksi terhadap kegiatan tersebut. Ilmu bumi ekonomi mempelajari gejala-gejala dari suatu kegiatan yang berkaitan dengan lokasi hingga ditemukan prinsip-prinsip penggunaan ruang (space) yang berlaku umum. Prinsip-prinsip ini dapat dipakai dalam membuat kebijakan tata-ruang yang efektif dan efisien berdasarkan tujuan umum yang hendak dicapai. Dengan demikian, sesungguhnya ilmu bumi ekonomi lebih terfokus pada sisi kegiatan individual. Pemikiran ke arah ekonomi regional sebenarnya telah dirintis oleh Von Thunen (1826), Weber (1929), Ohlin (1939) dan Losh (1939), namun pemikiran mereka masih merupakan penggalan-penggalan dari ilmu ekonomi regional. Pada 48 tahun 1956, disetasi Walter Isard di Harvard University yang berjudul Location and Space Economics diterbitkan dengan itu dia dipandang sebagai orang pertama yang meletakkan landasan ilmu ekonomi regional yang kompak. Kerangka landasan ilmu ekonomi regional yang dibangun Walter Isard pada dasarnya berkaitan dengan penerapan prinsip-prinsip ekonomi untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi antarwilayah yang memiliki potensi yang berbeda. Ahli ekonomi pada umumnya, secara implisit menganggap bahwa prinsipprinsip ekonomi yang telah digariskan akan berlaku umum disegala tempat, baik di kota ataupun di desa, di daerah yang telah maju atau di daerah yang terkebelakang. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa kondisi tiap-tiap daerah berbeda, antara lain potensi ekonomi, tingkat kemajuan industri, ketersedian prasarana, keterampilan tenaga kerja, kepadatan penduduk, dan lain sebagainya. Ilmu ekonomi regional tidak mungkin dilepas dari induknya (makroekonomi dan ekonomi pembangunan). Namun sangat naïf apabila seluruh materi ilmu ekonomi umum dimasukkan ke dalam pembahasan ilmu ekonomi regional. Oleh karena itu di dalam pembahasan ekonomi regional, materi-materi ilmu ekonomi umum perlu dimodifikasi dan dikembangkan hingga sesuai dengan karakteristik ilmu ekonomi regional. Misalnya dalam makroekonomi, Ferguson (1965) menyatakan bahwa tujuan utama kebijakan ekonomi adalah (1) fullemployment, (2) economic growth, dan (3) price stability. Ke tiga tujuan kebijakan ekonomi ini tidak mungkin seluruhnya dimasukkan ke dalam kajian ekonomi regional, apabila kajian tersebut berkaitan dengan wilayah di dalam suatu negara tertentu. Dalam hal ini, yang dapat dimasukkan ke dalam kajian 49 ekonomi regional suatu negara hanyalah full-employment dan economic growth, sedangkan price stability di luar jangkauan pemerintah daerah, mengingat instrument kebijakan price stability ada pada pemerintah pusat. Selain dua tujuan tersebut, ada beberapa tujuan pokok lainnya yang dapat dikelola oleh pemerintah daerah secara lebih baik dibandingkan bila dikelola oleh pemerintah pusat. Tujuan pokok kebijakan yang dimaksud meliputi (Tarigan, 2004): (1) penetapan sektor unggulan wilayah, (2) membuat keterkaitan antarsektor yang lebih serasi, bersinergi dan berkesinambungan di dalam wilayah, (3) pemerataan pembangunan dalam wilayah, (4) pemenuhan kebutuhan pangan wilayah, dan (5) terjaganya kelestarian lingkungan hidup. Modifikasi variable-variabel makroekonomi banyak dilakukan oleh para pakar dan peneliti ekonomi regional. Richardson (1977) misalnya, melakukan modifikasi variable-variabel makroekonomi ketika membahas pendapatan regional dan pertumbuhan ekonomi regional pada wilayah homogen. Demikian halnya dengan Hoover (1977) ketika menganalisis potensi ekonomi wilayah dan hubungan ekonomi antarwilayah. Analisis ekonomi regional dengan menggunakan pendekatan makroekonomi atau menerapkan model-model pendapatan nasional dan modelmodel pertumbuhan nasional dapat dinamakan sebagai makroekonomi antarwilayah (interregional macroeconomics). Satu hal yang perlu dicatat bahwa di dalam penerapan model-model makroekonomi, setiap daerah merupakan perekonomian terbuka, dimana arus barang, arus modal, dan arus tenaga kerja antar daerah (wilayah) mengalir tanpa hambatan. Dengan demikian, persoalanpersoalan pokok seperti perdagangan dan arus factor interregional, perubahan 50 pendapatan regional, konjuktur, dan determinan-determinan pertumbuhan regional dapat dianalisis berdasarkan kerangka makroekonomi. 3.3. Pembangunan Ekonomi Regional Untuk melihat kinerja perekonomian suatu wilayah atau suatu provinsi biasanya digunakan indikator-indikator makroekonomi, seperti peningkatan pendapatan masyarakat, peningkatan lapangan kerja dan pemerataan pendapatan (Tarigan, 2004). Dalam konteks analisis input-output regional dan tampilan struktur ekonomi daerah dalam tabel input-output regional, maka beberapa pengertian yang dianggap layak untuk dibahas dalam rangka menganalisis kinerja perekonomian suatu daerah atau provinsi adalah: (1) pertumbuhan ekonomi ekonomi daerah atau regional, (2) pendapatan daerah berupa produk domestik regional bruto (PDRB), dan (3) distribusi pendapatan. 3.3.1. Pertumbuhan Ekonomi Regional Seperti sudah disinggung dalam bab sebelumnya, pengertian pertumbuhan ekonomi pada dasarnya terkait dengan proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam suatu perekonomian. Pertumbuhan menyangkut perkembangan berdimensi tunggal dan diukur dengan meningkatnya hasil produksi (output) dan pendapatan. Sedangkan pembangunan ekonomi, mengandung arti lebih luas dan mencakup perubahan pada tata susunan ekonomi masyarakat secara menyeluruh. Pendapatan daerah atau pendapatan regional menunjukkan tingkat kegiatan ekonomi yang dicapai oleh suatu daerah pada tahun tertentu. Sedangkan pertumbuhan ekonomi daerah menunjukkan perubahan tingkat kegiatan ekonomi daerah yang terjadi dari tahun ketahun. Oleh karena itu, untuk dapat mengetahui 51 tingkat pertumbuhan ekonomi daerah kita harus membandingkan pendapatan daerah tersebut dari tahun ke tahun. Dalam membandingkan besarnya nilai pendapatan daerah di suatu daerah, haruslah diketahui bahwa perubahan nilai pendapatan daerah yang terjadi dari tahun ke tahun tersebut, dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu: (1) perubahan tingkat kegiatan ekonomi, dan (2) perubahan harga-harga. Oleh karena itu, untuk mengetahui apakah suatu perekonomian mengalami pertumbuhan dan perberkembangan, perlu diidentifikasi penyebab perubahan pada nilai pendapatan daerah. Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan atau perkembangan jika tingkat kegiatan ekonominya meningkat atau lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dengan kata lain, perkembangannya baru terjadi jika jumlah barang dan jasa secara fisik yang dihasilkan perekonomian tersebut bertambah besar pada tahun-tahun berikutnya. Oleh karena itu, untuk melihat peningkatan jumlah barang yang dihasilkan maka pengaruh perubahan harga-harga terhadap nilai pendapatan daerah pada berbagai tahun harus dihilangkan. Caranya adalah dengan melakukan perhitungan pendapatan daerah didasarkan atas harga konstan. Kalau perhitungan pendapatan daerah menggunakan tingkat harga yang berlaku pada waktu tersebut, hasil perhitungannya adalah pendapatan daerah menurut harga yang berlaku pada tahun bersangkutan. Jadi perhitungan pendapatan daerah dapat menggunakan harga konstan (pendapatan riil), dapat pula menggunakan harga yang berlaku saat itu (pendapatan nominal). 52 Perhitungan pendapatan daerah riil bisa diperoleh dengan cara mendeflasikan pendapatan daerah nominal (menurut harga yang berlaku), yaitu dengan menilainya kembali berdasarkan atas harga-harga pada tahun dasar tertentu (base year). Cara yang paling mudah untuk mendeflasikan pendapatan regional atau pendapatan daerah adalah dengan menggunakan indeks harga konsumen (IHK). IHK ini merupakan indeks yang menunjukkan perubahan hargaharga dari berbagai barang yang dikonsumsi masyarakat dari waktu ke waktu. Angka indeks pada tahun dasar (base year) selalu dinyatakan dengan angka 100. Berdasarkan pada perbandingan tingkat harga pada tahun dasar tersebut dengan tingkat harga pada tahun-tahun sebelumnya atau sesudahnya, maka angka indeks pada tahun-tahun lainnya akan bisa diperoleh. Dengan menggunakan IHK, pendapatan riil suatu daerah dapat ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Yt = 100 xY bt IHK t ............................................................................. (3.1) dimana: Yt : pendapatan daerah riil pada tahun t Yb t : pendapatan daerah menurut harga yang berlaku pada tauhn t IHK t : indeks harga konsumen pada tahun t Setelah nilai riil pendapatan daerah berbagai tahun bisa diperoleh, maka tingkat pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun bisa ditentukan. Laju pertumbuhan ekonomi pada suatu tahun tertentu dapat dihitung dengan menggunakan rumus di bawah ini : Gt = Yrt − Yrt −1 x100% .......................................................................... (3.2) Yrt −1 53 dimana: Gt : tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah (%) Yr t : pendapatan daerah riil pada tahun t Yr t-1 : pendapatan daerah riil pada tahun t-1 Setelah mengetahui tingkat pendapatan daerah untuk berbagai tahun, maka perhitungan pendapatan daerah per kapita bisa juga dilakukan. Pendapatan per kapita adalah pendapatan rata-rata penduduk. Oleh karena itu, untuk mendapatkan pendapatan per kapita suatu daerah pada satu tahun tertentu bisa diperoleh dengan cara membagi pendapatan daerah dengan jumlah penduduk daerah tersebut pada tahun yang sama. Selain pendapatan perkapita daerah dapat juga diukur pendapatan pertumbuhan perkapita. Untuk memperoleh tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita dari tahun ke tahun dapat ditentukan dengan cara yang sama dengan perhitungan pertumbuhan pendapatan rii suatu daerah, yaitu : gt = YPt − YPt −1 x100% YPt −1 ............................................................................ (3.3) dimana: gt : pertumbuhan pendapatan per kapita suatu daerah pada tahun t (%) YP t : pendapatan per kapita pada tahun t YP t-1 : pendapatan perkapita pada tahun t-1 Disamping dengan cara di atas, cara lain yang dapat digunakan untuk menghitung laju pertumbuhan pendapatan perkapita adalah dengan cara mengurangkan laju pertumbuhan pendapatan daerah riil dikurangi dengan laju pertumbuhan penduduk. 54 3.3.2. Pendapatan Regional Pendapatan regional didefinisikan sebagai nilai produksi barang-barang dan jasa-jasa yang diciptakan dalam suatu perekonomian di dalam suatu wilayah selama satu tahun (Sukirno, 1985). Sedangkan menurut Tarigan (2004), pendapatan regional adalah tingkat pendapatan masyarakat pada suatu wilayah analisis. Tingkat pendapatan regional dapat diukur dari total pendapatan wilayah ataupun pendapatan rata-rata masyarakat pada wilayah tersebut. Beberapa istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan pendapatan regional, diantaranya adalah : 1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) PDRB adalah jumlah nilai tambah bruto (gross value added) yang timbul dari seluruh sektor perekonomian di suatu wilayah atau provinsi. Pengertian nilai tambah bruto adalah nilai produksi (output) dikurangi dengan biaya antara (intermediate cost). Komponen-komponen nilai tambah bruto mencakup komponen-komponen faktor pendapatan (upah dan gaji, bunga, sewa tanah dan keuntungan), penyusutan dan pajak tidak langsung netto. Jadi dengan menghitung nilai tambah bruto dari dari masing-masing sektor dan kemudian menjumlahkannya akan menghasilkan produk domestik regional bruto (PDRB). 2. Produk Domestitk Regional Netto (PDRN) PDRN dapat diperoleh dengan cara mengurangi PDRB dengan penyusutan. Penyusutan yang dimaksud disini adalah nilai susut (aus) atau pengurangan nilai barang-barang modal (mesin-mesin, peralatan, kendaraan dan yang lain-lainnya) karena barang modal tersebut dipakai dalam proses produksi. Jika nilai susut barang-barang modal dari seluruh sektor ekonomi dijumlahkan, 55 hasilnya merupakan penyusutan keseluruhan. Tetapi bila PDRN di atas dikurangi dengan pajak tidak langsung netto, maka akan diperoleh PDRN atas dasar biaya faktor. Dalam perhitungan pendapatan regional dengan pendekatan nilai produksi, perlu dicermati agar tidak terjadi penghitungan ganda (double counting). Menurut Tarigan (2004) pendapatan masyarakat di suatu wilayah atau provinsi paling mudah dilihat dari nilai tambah suatu kegiatan produksi atau jasa yang meliputi upah atau gaji, laba, sewa tanah, bunga uang yang dibayarkan (berupa bagian dari biaya), penyusutan, dan pajak tidak langsung netto. 1. Upah dan gaji Upah dan gaji mencakup semua balas jasa dalam bentuk uang maupun barang dan jasa kepada tenaga kerja yang ikut dalam kegiatan produksi selain pekerja keluarga yang tidak dibayar. 2. Laba Laba atau keuntungan adalah total nilai penjualan dikurangi dengan biayabiaya yang dikeluarkan. Laba merupakan pendapatan bagi pengusaha. 3. Sewa Tanah Sewa tanah adalah balas jasa yang diberikan kepada pemilik tanah atau lahan tempat dilakukannya proses produksi. 4. Bunga uang Bunga uang adalah balas jasa terhadap modal yang digunakan dalam proses produksi. 56 5. Penyusutan Pengertian penyusutan disini adalah penyusutan barang-barang modal tetap yang digunakan dalam proses produksi. Penyusutan merupakan nilai penggantian terhadap penurunan nilai barang modal tetap yang digunakan dalam proses produksi. 6. Pajak tidak langsung netto Pajak tidak langsung (indirect tax) adalah pajak yang dikenakan atau dibebankan oleh pemerintah terhadap produsen berkenaan dengan produksi, penjualan, pembelian atau penggunaan barang dan jasa yang mereka kenakan pada pada pembiayaan produksi. Sedangkan pajak tidak langsung netto diperoleh dengan cara mengurangi pajak tidak langsung dengan subsidi. Metode perhitungan pendapatan regional secara garis besarnya dapat dibedakan menjadi dua metode, yaitu metode langsung dan tidak langsung. Metode langsung adalah perhitungan dengan menggunakan data daerah atau data asli yang menggambarkan kondisi daerah dan digali dari sumber data yang ada di daerah itu sendiri. Sedangkan metode tidak langsung menggunakan data yang bersumber dari data nasional yang dialokasikan ke masing-masing daerah. Ada tiga pendekatan yang dapat dilakukan untuk menghitung pendapatan regional dengan menggunakan metode langsung (Soediyono, 1992; Tarigan, 2004), sebagai berilut : 1. Pendekatan Pengeluaran Pendekatan pengeluaran adalah cara penentuan pendapatan regional dengan cara menjumlahkan seluruh nilai penggunaan akhir dari barang dan jasa yang diproduksi di dalam negeri. Kalau dilihat dari segi penggunaan maka total 57 penyediaan atau produksi barang dan jasa itu digunakan untuk : konsumsi rumah tangga; konsumsi lembaga swasta yang tidak mencari untung; konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap bruto (investasi), perubahan stok, dan ekspor netto (total ekspor dikurangi dengan total impor). Total penyediaan (total barang dan jasa yang tersedia) di dalam negeri adalah total barang yang diproduksi ditambah impor dikurangi ekspor, karena yang akan dihitung hanyalah nilai barang dan jasa yang diproduksi di dalam negeri saja, maka total konsumsi harus dikurangi dengan nilai impor kemudian ditambah dengan nilai ekspor. Penjumlahan keenam unsur di atas disebut sebagai produk domestik regional bruto (PDRB). 2. Pendekatan Produksi Perhitungan pendapatan regional berdasarkan pendekatan produksi dilakukan dengan cara menjumlahkan nilai produksi yang diciptakan oleh tiaptiap sektor produksi yang ada dalam perekonomian. Untuk memudahkan perhitungan dan ketersediaan data, sektor-sektor produksi ini biasanya dikelompokkan berdasarkan Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia (KLUI) atau Klasifikasi Komoditi Indonesia (KKI). Dalam konteks penyusunan neraca I-O atau SAM, sektor-sektor produksi bisa dipecah menjadi 11 sektor, 66 sektor atau 172 sektor, sesuai dengan kebutuhannya. Untuk menghitung pendapatan regional berdasarkan pendekatan produksi, maka pertama-tama yang harus dilakukan adalah menentukan nilai produksi yang diciptakan oleh tiap-tiap sektor di atas. Pendapatan regional diperoleh dengan cara menjumlahkan nilai produksi yang tercipta dari tiap-tiap sektor. 58 Dalam menghitung PDRB dengan cara ini, yang dijumlahkan hanyalah nilai tambah produksi atau value added yang diciptakan masing-masing sektor. Dengan cara ini dapat dihindarkan perhitungan double counting. Disamping itu, dengan cara ini juga akan menunjukkan sumbangan yang sebenarnya dari tiap-tiap sektor dalam menciptakan produksi regional. Dalam konteks analisis I-O, perhitungan PDRB dapat dilihat pada kwadran III, dan secara matematika dapat disajikan dalam persamaan berikut : PDRB = VA 1 + VA 2 + VA 3 ………… + VA n, atau n PDRB = ∑ VAi i =1 .......................................................................................... (3.4) dimana : VA : nilai tambah sektor produksi regional i : jumlah sektor produksi regional Dengan memasukkan kondisi lingkungan dalam model ini, maka persamaannya akan menjadi : n PDRD = ∑ VAi + ( NBZ ) i i =1 .......................................................................... (3.5) NBZ adalah manfaat bersih dari situasi lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan produksi. Manfaat bersih ini bisa bernilai negatif atau positif, tergantung dari apakah kegiatan produksi tersebut menimbulkan biaya lingkungan yang lebih besar atau lebih kecil apabila dibandingkan dengan manfaat yang dihasilkannya. 3. Pendekatan Penerimaan Dengan cara ini pendapatan regional dihitung dengan cara menjumlahkan pendapatan faktor-faktor produksi yang digunakan dalam memproduksi barang- 59 barang dan jasa-jasa. Jadi yang dijumlahkan adalah: upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan, dan pajak tidak langsung netto. Perhitungan metode pendapatan regional dengan cara tidak langsung dilakukan dengan cara mengalokasikan pendapatan nasional (produk domestik bruto/PDB) ke masing-masing bagian wilayah, misalnya mengalokasikan PDB Indonesia ke setiap provinsi dengan menggunakan alokator tertentu. Alokator yang dapat digunakan adalah: nilai produksi bruto atau netto setiap sektor/ sub sektor, jumlah produksi fisik, tenaga kerja, penduduk, dan alat ukur tidak langsung. 3.4. Teori Kutub Pertumbuhan Pada dasawarsa pertama pertengahan abad ke 20 (dekade 50-an) muncul teori-teori yang menyatakan pentingnya peranan pusat-pusat pertumbuhan, diantaranya adalah: (1) teori kutub pertumbuhan (growth pole theory) oleh François Perroux, (2) teori kutub pembangunan yang terlokalisasi (localized development theory) oleh Boudeville, dan (3) teori titik pertumbuhan (growth point theory) oleh Albert Hirschman Kutub pertumbuhan didefinisikan sebagai suatu gugus industri yang mampu membangkitkan pertumbuhan ekonomi yang dinamis dalam suatu sistem ekonomi tertentu, mempunyai kaitan yang kuat melalui hubungan input–output di sekitar leading industry (propulsive industry atau industrial matrik). Menurut Perroux dalam Adisasmita (2005), terdapat elemen yang sangat menentukan dalam konsep pertumbuhan, yaitu pengaruh yang tidak dapat dielakkan dari suatu unit ekonomi terhadap unit-unit ekonomi lainnya. Perroux menganggap bahwa industri pendorong sebagai titik awal dan merupakan elemen 60 esensial untuk pembangunan selanjutnya. Ada tiga ciri pokok yang mendasari industri pendorong, yakni : 1. Industri pendorong harus relatif besar kapasitasnya agar mempunyai pengaruh yang kuat, baik langsung maupun tidak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi. 2. Industri pendorong harus merupakan sektor yang berkembang cepat. 3. Jumlah dan intensitas hubungannya dengan sektor-sektor lainnya harus penting, sehingga besarnya pengaruh yang ditimbulkan dapat diterapkan kepada unit-unit ekonomi lainnya. Peranan kutub pertumbuhan dalam pembangunan wilayah adalah sebagai penggerak pertumbuhan, yakni menyebarkan hasil-hasil pembangunannya ke wilayah pengaruh. Namun pengalaman dibeberapa negara menunjukkan bahwa peranan kutub pertumbuhan ini mengalami kegagalan, karena wilayah pusat pertumbuhan berada di kota-kota besar yang merupakan pusat konsentrasi penduduk dan berbagai kegiatan ekonomi dan sosial, memiliki daya tarik yang cukup kuat bagi urbanisasi. Akibatnya, terjadi dampak negatif terhadap wilayah pengaruh, yang oleh Myrdal disebut backwash effect. Teori Kutub Pertumbuhan merupakan teori yang menjadi dasar dalam strategi dan kebijaksanaan pembangunan industri daerah yang banyak dijalankan diberbagai negara. Pada awalnya, konsep ini dianggap penting karena memberikan kerangka rekonsialiasi antara pembangunan ekonomi regional di wilayah pusat (kota) dan hinterland-nya Tetapi dalam praktek tidak seperti yang diharapkan karena wilayah pusat dampak tetesan (trickle down effect) kepada wilayah hinterland-nya ternyata jauh lebih kecil dari pada dampak polarisasi 61 (backwash effect) sehingga pengurasan sumberdaya hinterland oleh pusat menjadi sangat menonjol. Gunnar Myrdal (1957) mengemukakan bahwa besarnya backwash effect yang lebih besar daripada spread effect akan menyebabkan ketimpangan antardaerah. Backwash effect disebabkan oleh adanya migrasi tenaga kerja dan modal dari daerah miskin ke daerah kaya. Sedangkan spread effect disebabkan oleh meningkatnya market share dari produk pertanian dan akan merangsang ke arah kemajuan teknik. Pendapat Myrdal didukung oleh Hirchman (1968) bahwa terjadinya trickle down effect dari daerah core ke daerah periphery yang lebih kecil daripada polarization effect akan menyebabkan semakin tingginya ketimpangan pendapatan antaradaerah. 3.5. Pertumbuhan Regional Pertumbuhan regional pada dasarnya menggunakan konsep-konsep pertumbuhan ekonomi secara agregat. Hanya saja titik tekanan analisis pertumbuhan regional lebih diletakkan pada perpindahan faktor (factor movements). Arus modal dan tenaga kerja yang mengalir dari satu daerah ke daerah lain membuka peluang bagi perbedaan tingkat pertumbuhan antar daerah. Dalam analisis dinamik, tingkat pertumbuhan suatu daerah dapat jauh lebih tinggi daripada tingkat normal yang dicapai oleh perekonomian nasional ataupun sebaliknya. Dalam kaitan factor movement antarwilayah, model pertumbuhan Harrod-Domar dapat digunakan untuk analisis pertumbuhan regional. Asumsi-asumsi khusus yang mendasari model Harrod-Domar adalah: hasrat menabung (s), tingkat pertumbuhan penduduk (n), dan koefisien-koefisien dalam produksi adalah konstan. Untuk mencapai pertumbuhan mantap (steady 62 growth), ke dua macam input tersebut harus memenuhi syarat-syarat keseimbangan, yakni: tingkat pertumbuhan modal (k) dan tingkat pertumbuhan penduduk (n) harus sama dengan tingkat pertumbuhan output (g) atau (g = k = n). Dalam keseimbangan, tabungan yang direncanakan harus terus menerus sama dengan investasi yang direncanakan. Berkaitan dengan k dapat dirumuskan sebagai berikut: I S S Y s = = ⋅ = K K Y K v ................................................................................. (3.6) dimana v adalah rasio modal-output. Pertumbuhan mantap tercapai apabila dipenuhi syarat g = n = s/v. Karena s, v, dan n ditentukan secara independent maka pertumbuhan mantap hanya dapat tercapai secara kebetulan. Ekonomi regional bukanlah ekonomi tertutup melainkan ekonomi terbuka (open economic). Ini berarti, perekonomian suatu daerah adalah perekonomian terbuka, dimana impor dan tabungan merupakan kebocoran (leakages), sedangkan ekspor dan investasi merupakan suntikan (injection). Kelebihan produksi dan tabungan suatu daerah dapat disalurkan ke daerah-daerah lain, yang tercermin dari net-ekspor. Selanjutnya, jika penduduk suatu daerah mengalami pertumbuhan yang terlalu cepat dibandingkan dengan daya serap tenaga kerja pada tingkat pertumbuhan yang sedang berlangsung, maka migrasi netto dapat membantu menyeimbangkan n dan g. Syarat keseimbangan bagi perekonomian terbuka adalah: S + M = I + X ................................................................................... (3.7) dapat dirumuskan kembali menjadi (s + m)Y = I + X atau 63 X I = ( s + m) − Y Y ............................................................................... (3.8) Ekspor suatu daerah (X i ) dapat dirumuskan sebagai impor daerah-daerah lain, sebagai berikut: X = ∑ M ij = ∑ mij Y j j =1 j =1 ........................................................................(3.9) dengan demikian, persamaan pertumbuhan suatu daerah dapat dirumuskan kembali menjadi: gi = si + mi − (∑ mijYi ) / Yi j =1 ...............................................................(3.10) vi Walaupun tabungan suatu daerah cenderung lebih besar dari investasi, namun tingkat pertumbuhan modalnya dapat tetap sama dengan tingkat pertumbuhan ourput, asalkan selisih tabungan dan investasi tersebut diimbangi oleh surplus ekspor. Kelebihan tenaga kerja dapat diserap melalui migrasi-keluar dan kekurangan tenaga kerja dapat dipenuhi melalui migrasi-masuk. Syarat keseimbangannya adalah: g i = n i ± r i ........................................................................................ (3.11) dimana r adalah tingkat migrasi yang merupakan jumlah netto dari migrasi-keluar dan migrasi-masuk dalam tiap periode waktu sebagai persentase dari jumlah penduduk daerah yang bersangkutan. Dari sudut pandang sistem, sebagai keseluruhan, dapat dirumuskan sebagai berikut: R r= i = Pi ∑R j =1 Pi ij ...............................................................................(3.12) dimana: r = tingkat migrasi R = migrasi masuk dan keluar P = jumlah penduduk. 64 Walaupun syarat-syarat pertumbuhan mantap dalam suatu daerah agak kurang restriktif, namun pertumbuhan mantap mungkin masih tetap, lebih merupakan pengecualian daripada merupakan kelaziman. Selanjutnya, pencapaian syarat-syarat keseimbangan di suatu daerah dapat mengubah syarat-syarat keseimbangan di daerah-daerah lain dan hal ini akan menimbulkan pantulanpantulan lebih lanjut terhadap tingkat pertumbuhannya sendiri. Pertumbuhan mantap disetiap daerah yang merupakan komponen dari sistem yang bersangkutan tidak dapat diprediksi dari model seperti itu. Ada atau tidaknya tendensi ke arah pertumbuhan mantap (steady state) tergantung pada apakah arus modal dan tenaga kerja antarwilayah (interregional) bersifat menyeimbangkan atau tidak dan hal-hal ini tidaklah ditentukan di dalam model tersebut. Selain model Harrod-Domar, model-model pertumbuhan neoklasik juga telah digunakan secara luas dalam analisis regional, yang antara lain oleh Borts (1960), Borts dan Stein (1964), dan Romans (1965). Namun demikian, beberapa diantara asumsi-asumsi mereka tidak tepat. Asumsi tentang full employment yang terus-menerus seringkali tidak dapat diterapkan dalam sistem multiregional dimana persoalan-persoalam regional timbul karena adanya perbedaan-perbedaan geografis dalam tingkat penggunaan sumberdaya. Asumsi persaingan sempurna tidak dapat diterapkan dalam perekonomian ruang (space economy) dimana oligopoli, monopoli murni, atau persaingan monopolistik adalah tipe-tipe struktur pasar yang lebih lazim (Richardson, 2001). Model neoklasik menarik perhatian ahli-ahli teori ekonomi regional karena model tersebut mengandung teori tentang mobilitas faktor disamping teori pertumbuhan. Implikasi dari persaingan 65 sempurna adalah bahwa modal dan tenaga kerja akan berpindah apabila balas jasa faktor tersebut berbeda-beda. Syarat-syarat pertumbuhan mantap dalam model neoklasik relatif kurang restriktif dibanding model Horrad-Domar. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya kemungkinan subsitusi antara modal dan tenaga kerja, yang berarti adanya fleksibilitas dalam rasio modal-output. Tingkat pertumbuhan barsumber dari: (1) akumulasi modal, (2) pertumbuhan penawaran tenaga kerja, dan (3) residu, yang dapat diartikan sebagai kemajuan teknologi, tetapi yang mencakup segala sesuatu yang meningkatkan efisiensi dari sumber-sumber yang stoknya sudah tertentu. Apabila diasumsikan bahwa tingkat kemajuan teknologi adalah fungsi dari waktu, maka fungsi produksinya adalah: Y i = fi (K, L, t)…………………………………………………………(3.13) Persamaan (3.13) dapat diderivasi menjadi: Y i = α i k i + (1 – α i )n i + T ………………………………………………(3.14) Dimana, Y, k, n, dan T masing-masing adalah tingkat pertumbuhan output, tingkat pertumbuhan modal, tingkat pertumbuhan tenaga kerja, dan kemajuan teknologi. Sedangkan α adalah bagian yang dihasilkan oleh faktor modal dan (1 – α) adalah bagian yang dihasilkan oleh faktor di luar modal. Model neoklasik menghendaki pertumbuhan kapasitas penuh. Untuk itu diperlukan suatu mekanisme untuk menyamakan investasi dengan tabungan dalam kondisi full employment. Dengan demikian, syarat pertumbuhan mantap adalah: MPK i = α Yi = p ……………………………………………………(3.15) Ki 66 dimana, MPK = marginal productivity of capital. Jika p sudah tertentu dan α konstan maka Y dan K harus tumbuh dengan tingkat yang sama. Syarat keseimbangan bagi keseluruhan sistem adalah: ∑I = ∑S i =1 i i =1 i ................................................................................... (3.16) sekalipun demikian tabungan yang dihasilkan suatu daerah secara individual tidak mesti sama dengan investasinya; sebab suatu daerah akan mengimpor modal jika tingkat pertumbuhan modalnya lebih kecil dari rasio tabungan domestik terhadap modal. Sebagaimana telah diutarakan di atas bahwa analisis pertumbuhan regional neoklasik mengandung teori mobilitas faktor. Cara untuk menjelaskan hal ini secara tepat adalah dengan komparatif statik. Asumsikan bahwa dua daerah menghasilkan output homogen, biaya transportasi nol, pasar tenaga kerja sudah tertentu dan tidak ada kemajuan teknologi, fungsi produksi identik dan increasing retur to scale. Dengan asumsi tersebut maka produk marginal tenaga kerja (MPL i ) adalah fungsi langsung tetapi besifat terbalik dari produk marginal modal (MPK i ). Hal ini bisa dilihat dari rasio modal tenaga kerja (K/L). Dengan asumsi persaingan sempurna, MPL adalah sama dengan upah riil. Karena tiap daerah menghasilkan output yang homogen dan dengan fungsi produksi yang identik, maka di daerah dimana K/L lebih tinggi terdapat upah riil yang lebih tinggi dan MPK yang lebih rendah. Adapun daerah yang K/L nya rendah terdapat upah riil yang rendah tetapi MPK yang tinggi. Akibatnya modal akan mengalir dari daerah yang upahnya tinggi ke daerah yang upahnya rendah, karena akan memberikan balas jasa terhadap modal yang lebih ringgi. Sebaliknya, tenaga kerja akan mengalir dari 67 daerah yang upahnya rendah ke daerah yang upahnya tinggi. Mekanisme ini pada akhirnya menciptakan balas jasa faktor-faktor produksi yang sama di semua daerah. Implikasinya, pendapatan per kapita regional akan mengalami proses konvergensi. Sejalan dengan ini, prediksi dari Harrod-Domar menyatakan bahwa apabila syarat-syarat pertumbuhan mantap tidak dipenuhi, akibat yang paling mungkin terjadi adalah perbedaan-perbedaan tingkat pertumbuhan regional akan semakin bertambah besar. Kelemahan teori mobilitas faktor adalah: apabila asumsi-asumsi komparatif statik dilepas maka prediksinya tidak dapat dipastikan akan berlaku. Dalam analisis dinamik, perbedaan-perbedaan regional dalam tingkat pertumbuhan penawaran tenaga kerja dan kemajuan teknologi haruslah diperhitungkan. Pertumbuhan alamiah yang cepat di daerah-daerah upah rendah dapat mencegah kenaikan pendapatan dan bergesernya fungsi MPK ke kanan di daerah-daerah upah-tinggi, sehingga dapat mengakibatkan mengalirnya modal ke dalam (capital inflows) di daerah-daerah tersebut, dan bukannya mengalir keluar. Bahkan di dalam kerangka model komparatif statik pun, daerah-daerah upahtinggi masih tetap dapat tumbuh paling cepat apabila asumsi-asumsi identiknya fungsi produksi regional dan komuditas tunggal dilepas. Kesukaran-kesukaran lainnya adalah: (1) kemungkinan bahwa perbedaan-perbedaan hasil sektor tidak mendorong berpindahnya faktor-faktor, terutama faktor tenaga kerja atau berpindahnya faktor itu karena kekuatan-kekuatan lain, dan (2) mobilitas faktor tidak dapat dianalisis secara komprehensif di dalam kerangka model dua faktor. Dengan demikian, konvergensi dalam pertumbuhan regional masih tetap merupakan persoalan yang belum terjawab (Richardson, 2001). 68 3.6. Teori Basis Ekspor Teori basis ekspor (export base theory) merupakan bentuk model pendapatan regional yang paling sederhana. Sekalipun sederhana, namun teori ini dapat memberikan kerangka teoretis yang berguna bagi banyak studi empirik mengenai multiplier regional. Asumsi pokok dari teori ini adalah bahwa ekspor merupakan satu-satunya unsur otonom dalam pengeluaran; semua komponen pengeluaran lainnya dianggap sebagai fungsi dari pendapatan. Selain itu diasumsikan pula bahwa fungsi pengeluaran dan fungsi impor tidak mempunyai intersep tetapi bertolak dari titik nol. Dengan demikian, untuk daerah i dapat ditulis : Y i = (E i – M i ) + X i …………………………………………………….(3.17) Dimana, Yi adalah pendapatan daerah i, (E i – M i ) adalah pengeluaran domestik daerah i, dan Xi adalah ekspor daerah i. E i = e i Yi ………………………………………………………………(3.18) M i = m i Yi ……………………………………………………………(3.19) Χ i = Χ i (eksogen) Persamaan (2), (3), dan (4) disubsitusikan ke persamaan (1) menjadi: Yi = eiYi − miYi + X i ........................................................................ (3.20) Dengan demikian, Υi = Χi ………………………………………………………(3.21) 1 − ei + mi Jadi, pendapatan regional adalah kelipatan dari ekspor jika hasrat marginal untuk membelanjakan (marginal propensity to expenditure) secara lokal (e + m) lebih kecil daripada satu. 69 Para pengeritik teori basis kadang-kadang menyatakan bahwa rasio ekspor terhadap pendapatan total hanya digunakan sebagai suatu perkiraan rasio marginal dalam taksiran multiplier. Tetapi menurut teori ini, khususnya asumsi yang mendasarinya, tidak ada unsur-unsur eksogen lainnya selain dari ekspor, rasio rata-rata adalah sama dengan rasio marginal. Kelemahan lain dari model ini yang sering dikemukakan adalah bahwa besarnya basis ekspor adalah fungsi terbalik dari besarnya suatu daerah. Artinya daerah yang besar cenderung mempunyai basis ekspor yang lebih kecil tetapi juga mempunyai m yang rendah, sehingga nilai multiplier menjadi tinggi. Sebaliknya, daerah kecil tidak hanya mempunyai ekspor yang tinggi tetapi juga m yang tinggi, dan keduanya cenderung menurunkan nilai multiplier (Richardson, 1977). Selanjutnya, teori basis ini disempurnakan dengan cara mengubah asumsiasumsi teori ini. Perubahan penting yang dilakukan adalah bahwa ekspor bukan lagi merupakan satu-satunya unsur pengeluaran otonom, melainkan pengeluaran konsumsi, investasi, dan pengeluaran pemerintah juga merupakan unsur otonom. Dengan demikian, model pendapatan regional yang telah disempurnakan dari teori basis adalah: Y i = C i + I i + G i + X i – M i ………………………………………… (3.22) dimana, Y i adalah pendapatan regional wilayah wilayah i, C i adalah pengeluaran konsumsi wilayah i, I i adalah investasi swasta wilayah i, G i adalah pengeluaran pemerintah wilayah i, dan (X i – M i ) adalah net ekpor wilayah i. Selanjutnya, fungsi pengeluaran konsumsi adalah : Ci = ai + ci Υid .......................................................................................(3.23) 70 dimana, Υid = disposiable income wilayah i dan c i = hasrat konsumsi marginal (marginal propensity to consumption) wilayah i I i = I Ι i ……………………………………………………………… (3.24) GI = GI ………………………………………………………………(3.25) X i = ∑ M ij = ∑ Mij Yd j ……………………………………………… (3.26) M i = ∑ M ij Yd j …………………………………………………………(3.27) Yd i = Yi – T i ………………………………………………………… (3.28) T i = t i Yi ………………………………………………………………(3.29) dimana, t adalah tingkat pajak marginal (marginal rate of taxation) Ai = ai + I i + Gi ....................................................................................(3.30) dimana Ai adalah pengeluaran otonom total wilayah i. Apabila persamaan (8) samapai dengan (14) disubsitusikan ke dalam persamaan (7) dan menata kembali hasilnya, maka persamaan pendapatan regional dapat dirumuskan sebagai berikut (Richadson, 2001): Yi = Ai + ∑ mi Yi (1 − t i ) j =1 1 − (ci − ∑ mij )(1 − t i ) ………………………………………… (3.31) j =1 Dengan demikian, pendapatan daerah i terdiri atas penjumlahan pengeluaranpengeluaran otonom dikalikan multiplier (Richardson, 2001). Model ini dapat menunjukkan sumber-sumber perubahan pendapatan suatu daerah, misalnya daerah i, yang meliputi: (1) perubahan pengeluaran-pengeluaran otonom daerah i, (2) perubahan tingkat pendapatan suatu wilayah lain di dalam suatu sistem yang berkaitan, yang akan terlihat dalam perubahan ekspor daerah i, dan (3) berubahnnya salah satu di antara parameter-parameter model (mpc, koefisien perdagangan interregional atau tingkat pajak marginal). 71 Selanjutnya, Richardson (2001) memandang bahwa model pendapatan regional dapat juga digunakan untuk menganalisis kebijakan stabilitas regional. Hal ini dimungkinkan karena pengeluaran pemerintah merupakan salah satu dari variabel-variabel pengeluaran otonom. Syarat-syarat stabilitas bagi sistem yang bersangkutan dan pantulan-pantulan yang ditimbulkan oleh perubahan-perubahan persebaran regional dari pengeluaran otonom adalah sangat penting dalam kerangka kebijakan stabilitas. Jika hasrat konsumsi marginal (mpc) di semua daerah lebih kecil dari satu, maka sistem yang bersangkutan adalah stabil. Sebaliknya, jika hasrat konsumsi marginal lebih besar dari satu, maka sistem yang bersangkutan tidak stabil. Jika c i = c j bagi semua daerah (i, j, ……….., n) maka multiplier regional akan sama dengan multiplier nasional. Ini berarti bahwa dengan hasrat konsumsi marginal yang sama, perubahan alokasi regional dari pengeluaran pemerintah tidak akan mengubah pendapatan nasional. Akan tetapi jika c i ≠ c j , maka perubahan alokasi regional dari pengeluaran akan mengakibatkan berubahnya tingkat pendapatan nasional. Jika diasumsikan bahwa kapasitas regional tidak merupakan pembatas (kendala), maka kenaikan pendapatan regional akan maksimum jika kenaikan pengeluaran pemerintah dipusatkan di daerah-daerah di mana c paling tinggi biasanya daerah-daerah yang paling terkebelakang (Chipman, 1950 dalam Richardson, 2001). Kelebihan pendapatan dan kemungkinan pantulan-pantulan ekspor sekunder adalah sifat-sifat yang paling istimewa dari model-model pendapatan interregional. Suatu injeksi investasi di daerah i tidak hanya meningkatkan pendapatan (menaikkan A i ) di daerah yang bersangkutan, tetapi juga meyebarkan 72 kekuatan pendorong pada semua daerah-daerah lainnya melalui kenaikan M i (ΣM ij ). Dalam kondisi keseimbangan neraca pembayaran, kenaikan impor ini akan mengakibatkan kemerosotan neraca pembayaran daerah i. Namun demikian, hal ini belum merupakan efek netto yang terakhir. Kenaikan pendapatan di daerah-daerah lain akan memperbesar ekspor daerah i. Hal ini dapat dirumuskan sebagai berikut: ∑m j =1 ij ∆Yi (1 − ti ) ∆Αi ............................................................................(3.32) Efek keseluruhan terhadap neraca pembayaran daerah i, tergantung pada sejauhmana perubahan primer (impor terdorong) dapat diimbangi oleh perubahan sekunder (kenaikan ekspor). Dalam kebanyakan hal, kenaikan sekunder tidak akan cukup untuk mencegah kemundurun neraca pembayaran daerah i. Ketidakseimbangan sementara neraca pembayaran suatu daerah dapat diatasi dengan arus jangka pendek (umpamanya, melalui transfer internasional di antara cabang-cabang bank). Akan tetapi dalam banyak hal, mungkin diperlukan tambahan mekanisme-mekanisme penyesuaian. Hal ini meliputi efek harga dan efek pendapatan, transfer pemerintah dan pengeluaran pemerintah di daerahdaerah terkebelakang, arus modal dan tenaga kerja. Efek harga agaknya tidak begitu efektif, karena mayoritas produsen lebih mementingkan pasar nasional daripada pasar regional dan harga yang mereka tetapkan cenderung untuk berlaku dimana saja. Efek pendapatan juga mungkin tidak cukup kuat untuk memulihkan keseimbangan, tetapi mungkin lebih efektif daripada perekonomian internasional karena m biasanya lebih besar bagi daerah-daerah daripada bagi bangsa. Tindakan-tindakan fiskal dapat juga membantu proses penyeimbangan melalui 73 stabilisator-stabilisator yang bersifat built-in atau melalui pengeluaran langsung bagi pemerintah di daerah-daerah yang mengalami kelesuan. Sekalipun dana pemerintah yang masuk ke daerah-daerah yang mengalami kelesuan akan memperbesar impor, namun bagaimanapun juga dana tersebut akan ikut membantu mengurangi defisit pembayaran, dengan syarat c + m < 1 (Scitovsky, 1958 dalam Richardson, 2001). Mekanisme-mekanisme penyesuain tersebut didasarkan atas asumsi bahwa yang menimbulkan defisit neraca pembayaran adalah kekurangan ekspor. Di sisi lain, defisit yang dialami oleh suatu daerah adalah bersumber dari kenaikan pendapatan seperti model pendapatan interregional, sehingga makanismemekanisme inipun cenderung untuk menyimpang dari keseimbangan. Perbedaan antara ke dua sumber defisit neraca pembayaran ini sangat penting bila hendak mempertimbangkan peranan arus faktor (factor flows). Modal cenderung mengalir ke daerah-daerah yang memberikan profit yang lebih tinggi, akan tetapi hal ini hanya akan menyeimbangkan jika model yang relevan adalah model dimana yang menyebabkan defisit adalah proses kenaikan pendapatan, dan jika daerah-daerah makmur mengalami surplus impor. 3.7. Peranan Investasi Infrastruktur Publik Terdapat sebuah pandangan umum dalam proses pembangunan, investasi untuk infrastruktur publik memegang peranan yang sangat penting menunjang pertumbuhan ekonomi nasional, regional dan lokal. Besarnya dampak investasi infrastruktur sangat tergantung dari jenis, nilai investasi dan cakupan wilayah dimana infrastruktur tersebut dibangun. 74 Dampak yang akan ditimbulkan oleh investasi skala besar dan berskala nasional akan mempunyai dampak total yang lebih besar jika dibandingkan dengan dampak regional atau urban. Gambaran deskriptif tentang dampak yang ditimbulkan oleh investasi infrastruktur menurut cakupan skala besar atau nasional dan regional atau urban, dapat dilihat Tabel 16 dan Tabel 17. Tabel 16. Dampak Menyeluruh Penanaman Investasi Publik Dampak Efek Menyeluruh Efek Insidental 1 2 3 Dampak terhadap perekonomian nasional Penawaran atas fasilitas-fasilitas (faktor) produksi Meningkatkan kualitas lingkungan hidup • Kenaikan terhadap pertumbuhan industri-industri pelengkap di kawasan penyangga. • Persebaran kegiatan-kegiatan industri memusat pada daerah perkotaan besar. • Peningkatan terhadap sistem logistik dan menghidupkan kegiatan ekonomi regional • Mempopulerkan penggunaan kendaraan bermotor Menaikkan nilai investasi dan memperluas investasi • Meningkatkan status keuangan area perumahan dengan meningkatnya harga tanah • Menarik investasi dari perusahaanperusahaan asing • Menghidupkan kegiatan ekonomi regional • Meningkatkan pelayanan publik dengan meningkatkan hubungan antara daerah perkotaan dan daerah lokal Pengembangan regional dan territorial Memantapkan sistem transportasi Pengembangan komplek industri dan situs pariwisata Pengembangan daerah tertinggal Memantapkan sistem permukiman Memantapkan jaringan jalan yang sistematik Menghilangkan hambatan lalu lintas akibat “bottleneck” Sumber: Setjen Dept. PU (2007) • Membentuk proses metropolisasi • Membentuk urban area yang luas • Mengamankan jalan sesuai dengan skala prioritasnya • Penekanan pada aksesiblitas dan penggabungan dari fasilitas transportasi yang lain • Mengetahui berbagai dampak lain dari terjaganya kondisi lalu lintas yang berjalan normal 75 Pada Tabel 17 memperlihatkan bahwa di dalam cakupan yang bersifat spasial dampak investasi infrastruktur dapat dilihat dari kacamata makro dan mikro. Dampak makro secara nasional antara lain dilihat dari pertumbuhan output nasional, sementara dari aspek mikro antara lain dapat dilihat dari meningkatnya nilai tanah, berkurangnya waktu tempuh atau berkurangnya biaya produksi. Tabel 17. Jenis-jenis dari Dampak Penanaman Investasi Publik Standar Klasifikasi Proses Proyek Cakupan Spasial Perhitungan Jenis Dampak Keterangan Dampak saat tahap perencanaan Efek pertunjukan, ekonomi dan pengajaran Dampak saat tahap konstruksi Meningkatkan permintaan pada material konstruksi, kebutuhan tenaga kerja, pengembangan teknologi konstruksi jalan Dampak saat tahap pemanfaatan Efek langsung seperti pengurangan waktu tempuh dan biaya dan diikuti oleh dampak-dampak tak langsung Dampak mikroskopis Dampak pada region sekitar lokasi pembangunan Dampak makroskopis Dampaknya terhadap ekonomi nasional dan pengembangan wilayah Dampak pada pengguna Mengurangi waktu tempuh dan biaya, meningkatkan tingkat keselamatan dan kenyamanan Dampak pada non pengguna Meningkatkan kesejahteraan dan penjualan dari meningkatnya harga tanah Dampak terhitung Mengurangi biaya transportasi dan waktu tempuh, meningkatkan akses antar region dan menciptakan lapangan kerja dan lain-lain. Sumber: Setjen Dept. PU, 2007 76 Terkait dengan besar kecilnya dampak investasi infrastruktur, Gambar 17 memberikan ilustrasi tentang besar kecil atau luasnya dampak yang ditimbulkan sesuai dengan jenis investasi dan cakupan wilayah. Investasi infrastruktur berskala nasional akan memberikan dampak menyeluruh lebih besar dibandingkan dengan investasi skala regional, demikian pula investasi skala regional yang memberikan dampak lebih besar dibandingkan skala urban. Pengukuran dampak merupakan salah satu langkah untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi baik dampak positif maupun negatif. Dalam konteks spasial, analisis dampak menjadi bermanfaat untuk memperkecil kemungkinan terjadinya ketimpangan pembangunan sosial ekonomi antardaerah yang lebih besar, selain tentu saja untuk memaksimumkan manfaat positif melalui kebijakan pembangunan infrastruktur. Investasi Publik Tingkat Perkotaa Tingkat Regional Tingkat Nasional Sempit Luas Sangat Luas Antardaerah/ Antarkota Antar dan dalam Tingkat Regional Antarregional/ Tingkat Nasional Sumber : Achjar, 2009 Gambar 17. Klasifikasi Investasi Publik Lokasi/Klasifikasi Investasi Dampak yang dihasilkan Jangkauan Keruangan 77 3.8. Distribusi Pendapatan Dalam suatu studi distribusi pendapatan, maka sebaiknya perlu terlebih dahulu memahami mengenai pendapatan serta pemilihan konsep pendapatan yang secara teoritis dapat diterima dan diterapkan secara praktis. Ilmu ekonomi mikro dan makro telah banyak mengupas konsep-konsep dasar mengenai pendapatan, baik itu pendapatan individu, perusahaan dan pemerintah untuk mengetahui aliran ke tiga pendapatan tersebut, maka dapat ditelusuri melalui arus perputaran kegiatan ekonomi (circulair flow of economic activity) lihat Gambar 18. Gambar 18 menunjukkan bagaimana arus perputaran pendapatan itu terjadi dalam suatu perekonomian. Rumahtangga menerima pendapatan dari perusahaan atas penawaran faktor-faktor produksinya, kemudian rumahtangga akan mengeluarkan pendapatannya untuk belanja barang dan jasa, untuk ditabung dan untuk membayar pajak kepada pemerintah. Selain pendapatan faktor-faktor produksi, terdapat transfer pemerintah, yaitu pendapatan rumahtangga yang berasal dari pemerintah. Belanja barang dan jasa yang dilakukan rumahtangga dan pemerintah, merupakan pendapatan bagi perusahaan. Selanjutnya perusahaan akan mengeluarkan pendapatannya tersebut untuk membayar penggunaan faktor-faktor produksi, membayar pajak pada pemerintah dan untuk dana investasi. Pemerintah memperoleh pendapatan dari rumahtangga dan perusahaan atas pembayaran pajak. Pendapatan pemerintah tersebut kemudian dikeluarkan sebagian untuk membeli barang dan jasa, serta untuk transfer ke rumahtangga, jika pengeluaran pemerintah ternyata lebih banyak dari pendapatan, pemerintah akan meminjam dari pasar keuangan untuk menutupi defisit tersebut. 78 Pendapatan Pasar untuk faktor produksi Tabungan rumahtangga Pembayaran Investasi swasta Pasar Keuangan Defisit pemerintah Rumahtangga Pemerintah Transfer pemerintah Pembayaran Perusahaan Pajak Pembayaran Pasar untuk barang dan jasa Sumber : Mankiw (2000) Gambar 18. Arus Uang Melalui Perekonomian Bigstein (1992) dalam Varina (2000) menyatakan bahwa berdasarkan claims concept (konsep tuntutan) dari Hicks, pendapatan sama dengan jumlah uang yang dapat dibelanjakan oleh seseorang atau satu keluarga selama kurun waktu tertentu, sementara nilai kekayaannya tetap utuh. Jumlah ini harus sama dengan jumlah penerimaan, keuntungan dari penjualan aktiva, nilai tunjangan tambahan dan produksi untuk konsumsi keluarga dan sewa yang diperoleh. Gemmell (1994) menyebutkan bahwa dalam prakteknya untuk mengukur pendapatan, paling tidak harus ada tiga pendekatan yaitu (1) pendapatan bruto, (2) pendapatan sesudah dipotong pajak, kemana transfer dapat ditambahkan, dan (3) pendapatan yang dapat dibelanjakan. 79 Setelah konsep pendapatan ditetapkan, berikutnya akan dibahas mengenai distribusi pendapatan. Pembahasan mengenai distribusi pendapatan pada dasarnya dapat digolongkan menjadi dua, yakni distribusi pendapatan fungsional atau distribusi balas jasa dan distribusi pendapatan antarrumahtangga. Konsep distribusi pendapatan fungsional berusaha menjelaskan pembagian pendapatan yang diterima oleh masing-masing faktor produksi, misalnya antara pendapatan yang diterima pekerja, pemilik modal dan kekayaan. Konsep ini mengacu pada teori keseimbangan neo klasik, yang diturunkan dari solusi pasar persaingan sempurna (Yotopoulus dan Nuggent, 1976). Pada prinsipnya distribusi pendapatan dengan pendekatan fungsional dapat dijabarkan dengan menggunakan fungsi produksi, contohnya sebagai berikut. Y = f (K , L) ................................................................................... (33) dimana: Y K L = output fisik, = kapital = tenaga kerja. Melalui derivasi persamaan (1) kita akan memperoleh produk marginal faktor produksi tenaga kerja (MP L ) dan produk marginal faktor produksi kapital (MP K ). Dengan mengetahui besamya MP L dan MP K akan dapat ditentukan pembagian pendapatan atau output fisik yang dihasilkan oleh masing-masing faktor produksi menurut harga pasar. Pada Gambar 19 memberikan suatu ilustrasi yang sederhana mengenai distribusi pendapatan dengan pendekatan fungsional. Anggaplah sekarang hanya ada dua faktor produksi, yaitu modal dan tenaga kerja. Dengan kurva penawaran tenaga kerja neo klasik (S L ) dan kurva permintaan tenaga kerja (D L ), maka tingkat upah pada keseimbangan pasar tenaga 80 kerja adalah sebesar OW dan tingkat pekerjaan sebesar OL. Jumlah output nasional digambarkan dengan daerah OREL. Pendapatan nasional ini kemudian dibagi dalam dua bagian, yaitu OWEL untuk tenaga kerja dalam bentuk upah dan WRE merupakan keuntungan pemiliki modal. Disini kelihatan bagaimana pendapatan nasional itu dibagi-bagi menurut fungsi upah dan modal. Tingkat Upah R Keuntungan bagi pemilik modal SL E W Penghasilan upah bagi tenaga kerja DL = MPL Tingkat Pekerjaan O L Sumber : Todaro (2000) Gambar 19. Distribusi Pendapatan dengan Pendekatan Fungsional Kelemahan yang sering dijumpai dengan pendekatan ini terletak pada asumsi yang menyertainya. Misalnya, asumsi adanya pasar persaingan sempuma, motif mendapatkan keuntungan maksimum, penalaran dan informasi sempuma. Asumsi-asumsi tersebut sangat mudah diungkapkan dalam teori, namun dalam kenyataannya sangat sulit dijumpai (Insukrindo, 1990). Berikutnya adalah distribusi pendapatan rumahtangga, distribusi pendapatan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu distribusi pendapatan absolut 81 atau mutlak dan distribusi pendapatan relatif. Konsep yang disebut pertama berkaitan dengan proporsi jumlah rumahtangga yang pendapatannya dapat mencapai suatu tingkat tertentu atau lebih kecil dari itu, dan biasanya dikaitkan dengan jumlah penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan (relatif atau absolut). Sedangkan distribusi pendapatan relatif menunjukkan perbandingan pendapatan yang diterima oleh berbagai kelas penerima pendapatan. Pada umumnya pembicaraan mengenai distribusi pendapatan lebih ditekankan pada pengertian atau konsep distribusi pendapatan relatif. Misalkan, 40% penduduk berpendapatan rendah menerima 17% dari jumlah pendapatan, baik itu jumlah pendapatan yang diterima maupun jumlah penduduk, kedua-duanya dinyatakan dalam bentuk persentase (Esmara, 1996). Selain distribusi pendapatan antarrumahtangga, distribusi pendapatan relatif dapat juga dikaji dengan tolok ukur lain, misalnya distribusi menurut sumber pendapatan, menurut kelompok, menurut klasifikasi pekerjaan atau menurut jenis pekerjaan. Meskipun distribusi antarperorangan atau rumahtangga adalah salah satu yang terpenting ditinjau dari segi kesejahteraan, klasifikasi lain mungkin lebih penting ditinjau dari segi kebijakan (Gemmell, 1994). Kakwani (1987) dalam studinya tentang distribusi pendapatan di Australia membedakan unit penerima pendapatan menjadi tiga yaitu individu, keluarga dan rumahtangga. Menurut Sutomo dan Sulistini (1987) penerimaan individu maupun rumahtangga dapat bersumber dari (1) pendapatan dari faktor produksi tenaga kerja berupa upah, gaji dan keuntungan, yaitu keuntungan yang diperoleh dari usaha rumahtangga yang tidak berbadan hukum, (2) pendapatan yang bersumber dari faktor produksi bukan tenaga kerja, yaitu pendapatan dari harta kekayaan 82 yang meliputi bunga, sewa dan deviden, dan (3) transfer (hibah) yang diperoleh dari rumahtangga lain, perusahaan pemerintah dan luar negeri. Pendapatan yang diperoleh individu dan rumahtangga atau keluarga dapat berupa pendapatan yang diperoleh dari pasar kerja (earning), transfer, warisan, hadiah dan lain sebagainya. Pendapatan yang diperoleh ini dapat digunakan untuk berbagai keperluan guna memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraannya. Menurut Gittelman dan Joyce (1999) pendapatan yang terbesar diperoleh individu atau keluarga adalah pendapatan yang diperoleh dari pasar kerja. Pendapatan yang diperoleh dari pasar kerja antara satu individu dengan individu yang lain akan berbeda-beda. Besarnya tingkat pendapatan ini dipengaruhi oleh produktivitas tenaga kerja tersebut. Pemahaman mengenai distribusi pendapatan ini sangat penting, terutama bila ingin mengkaji keberhasilan suatu pembangunan ekonomi. Untuk melihat berhasil atau tidaknya suatu pembangunan ekonomi, tidak dapat hanya diukur berdasarkan laju pertumbuhan ekonomi dan kenaikan pendapatan per kapita saja. Apalah artinya jika pertumbuhan ekonomi tinggi dan pendapatan per kapita meningkat, sedangkan distribusi pendapatan yang terjadi sangat timpang dimana penduduk kaya yang berjumlah sedikit lebih banyak menikmati kenaikan pendapatan tersebut, sementara penduduk miskin yang jumlahnya lebih banyak hanya sedikit mengalami perbaikan pendapatan. Dengan kata lain, dalam kondisi ketimpangan semacam itu penduduk yang merasakan kenaikan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita tersebut, hanyalah penduduk kaya yang jumlahnya sedikit saja, sementara penduduk miskin yang jumlah lebih banyak tidak mengalami perbaikan pendapatan. 83 Dalam teori ekonomi distribusi pendapatan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) distribusi pendaptan institusional atau distribusi pendapatan personal, adalah distribusi pendapatan yang terjadi antarinstitusi maupun antarkelompok rumahtangga, dan (2) distribusi pendapatan fungsional atau distribusi pendapatan faktorial, adalah distribusi pendapatan yang diterima oleh masing-masing faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi (Semaoen, 1992) 3.8.1. Distribusi Pendapatan Personal atau Institusional Distribusi pendapatan personal atau institusional adalah merupakan ukuran yang paling umum digunakan oleh para ekonom. Ukuran ini hanya berkaitan dengan masing-masing individu atau satu kelompok masyarakat dan jumlah penghasilan yang mereka terima. Besarnya pendapatan personal yang diterima oleh masing-masing individu atau kelompok masyarakat, sangat tergantung dari kepemilikan faktor produksi. Individu dapat memberikan jasa tenaga kerja, keterampilan (manajemen), dan modal yang dimilikinya dalam suatu proses produksi. Imbalan terhadap digunakannya faktor produksi milik individu atau kelompok masyarakat itulah yang diterima sebagai pendapatan personal (Semaoen, 1992). Imbalan yang diterima oleh setiap individu atau kelompok masyarakat, dapat berupa: (1) upah atau gaji, sebagai balas jasa atas penggunaan faktor produksi dalam suatu proses produksi, (2) laba, deviden, bunga, sewa dan lain sebagainya, atas imbalan penggunaan modal atau kapital, dan (3) pendapatan lain, atas imbalan yang dibayarkan untuk kepemilikan faktor produksi lainnya. Selanjutnya Todaro (1991) dan Yotopolus dan Nugent (1976), menggunakan Kurva Lorenz dan Koefisien Gini untuk mengukur distribusi 84 pendapatan. Kurva Lorenz dapat menjelaskan distribusi pendapatan secara grafis, sedangkan Koefisien Gini mengukur ketimpangan pendapatan yang terjadi dengan melihat hubungan antara jumlah penduduk dengan distribusi pendapatan dalam bentuk persentase komulatif. 3.8.2. Distribusi Pendapatan Fungsional atau Faktorial Distribusi pendapatan fungsional atau distribusi pendapatan faktorial ini menjelaskan distribusi pendapatan yang diterima oleh masing-masing faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi. Besarnya kecilnya pendapatan ini tergantung dari seberapa besar atau seberapa banyak faktor produksi yang digunakan, selain juga ditentukan oleh faktor harga pada faktor produksi. Dalam melakukan analisis distribusi pendapatan faktorial ini, produksi total dibagi habis dalam faktor produksi yang digunakan. Dalam konteks analisis SAM, ada dua faktor produksi yang digunakan yaitu modal dan tenaga kerja. Perubahan dalam pemakaian faktor produksi akan menyebabkan perubahan dalam distribusi pendapatan faktorial atau fungsional. Selanjutnya, pendapatan yang diterimakan kepada masing-masing faktor produksi tersebut akan diterima oleh pemilik faktor produksi. Semaoen (1992) mengatakan bahwa pengukuran distribusi pendapatan dapat dilakukan dengan metode akuntansi dan dengan menggunakan fungsi produksi guna memperoleh andil faktor (factor share) dari setiap faktor produksi yang digunakan. Metode akuntansi dalam menghitung andil faktor setiap masukan (faktor produksi) memerlukan data mengenai jumlah faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi dan balas jasa yang diterima oleh setiap faktor tersebut. Distribusi Fungsional Pemilik Faktor Produksi Gol. Penduduk Perdesaan Tanah yang diolah Tuan Tanah Tuan Tanah Modal tetap selain tanah Pemilik lahan Keluarga non pertanian Management Pertani dan keluarganya Petani: Pemilik penyekap dan penyewa Tenaga kerja Buruh tani Petani bukan pemilik lahan Sarana produksi non pertanian Pemilik modal lancar Produksi Pertanian 69 Distribusi Personal Lahan Pertanian 85 Produksi Total Gol. Pendapatan Gol. masyarakat pendapatan tinggi Gol. masyarakat pendapatan menengah Gol. masyarakat berpendapatan rendah Sektor Non Pertanian 75 Gambar 20. Distribusi Pendapatan Fungsional, Distribusi Pendapatan Personal, dan Golongan Penduduk Pedesaan di Indonesia 86 Dalam perhitungannya, nilai produksi dialokasikan kepada setiap faktor produksi sebagai balas jasa dari penggunaan faktor produksi tersebut. Balas jasa terhadap faktor produksi ini, merupakan pendapatan dari masing-masing faktor tersebut atau yang disebut sebagai pendapatan faktorial. Sebagai ilustrasi, pada Gambar 20 disajikan ilustrasi contoh mengenai penerimaan personal dan fungsional yang diterima oleh rumahtannga petani pedesaan di Indonesia. Wie (1981) menyatakan negara yang semata-mata hanya menekankan pada pertumuhan ekonomi, tanpa memikirkan pendistribusian pendapatan tersebut, akan memunculkan ketimpangan-ketimpangan diantaranya adalah : 1. Ketimpangan pendapatan antargolongan atau ketimpangan relatif Ketimpangan yang terjadi antargolongan ini sering kali diukur dengan menggunakan koefisien Gini. Kendati koefisien Gini bukan merupakan indikator yang ideal mengenai ketimpangan pendapatan antar berbagai golongan, namun sedikitnya angka ini dapat memberikan gambaran mengenai kecenderungan umum dalam pola distribusi pendapatan. 2. Ketimpangan pendapatan antara masyarakat pedesaan dan perkotaan Ketimpangan dalan distribusi pendapatan dapat juga ditinjau dari segi perbedaan pendapatan antara masyarakat desa dengan masyarakat perkotaan (urban-rural income disparities). Untuk membedakan hal ini, digunakan dua indikator: (1) perbandingan antara tingkat pendapatan per kapita di daerah perkotaan dan pedesaan, dan (2) disparitas pendapatan daerah perkotaan dan daerah pedesaan (perbedaan pendapatan rata-rata antara kedua daerah sebagai persentase dari pendapatan nasional rata-rata). Menurut Bank Dunia, pola pembangunan Indonesia memang memperlihatkan suatu urban bias dengan 87 tekanan berat pada sektor industri, yang merupakan landasan bagi ketimpangan distribusi pendapatan dikemudian hari. 3. Ketimpangan distribusi pendapatan antardaerah Satu lagi sisi lain dalam melihat ketimpangan distribusi pendapatan nasional, adalah ketimpangan dalam perkembangan ekonomi antar berbagai daerah di Indonesia, yang mengakibatkan pula terjadinya ketimpangan pendapatan per kapita antardaerah (regional income disparities). Ketimpangan pendapatan seperti ini disebabkan oleh karena penyebaran sumberdaya alam yang tidak merata serta perbedaan dalam laju pertumbuhan antardaerah, dan belum berhasilnya usaha-usaha pembangunan yang merata antardaerah di Indonesia. Perlu diperhatikan bahwa ketimpangan ini hanya menyajikan gambaran makro mengenai ketimpangan dalam tingkat pendapatan rata-rata antar berbagai daerah atau provinsi di Indonesia, dan tidak memperlihatkan pola distribusi pendapatan antara berbagai golongan masyarakat di dalam satu daerah atau provinsi. Selanjutnya Arif (1978), ada delapan proses yang telah menimbulkan ketimpangan yang pada suatu wilayah (pada level provinsi ataupun negara), diantaranya: 1. Pertambahan penduduk yang tinggi yang mengakibatkan menurunnya pendapatan per kapita. 2. Inflasi dimana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara proporsional dengan pertambahan produksi barang-barang. 3. Ketidakmerataan pembangunan antar sub wilayah (atau derah yang lebih kecil). 88 4. Investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang intensif modal, sehingga persentase pendapatan dari harta bertambah besar dibandingkan dengan persentase pendapatan yang berasal dari kerja, sehingga pengangguran bertambah. 5. Rendahnya mobilitas sosial. 6. Pelaksanaan kebijaksanaan substitusi impor industri yang menyebabkan kenaikan harga barang-barang hasil industri untuk melindungi golongan kapitalis. 7. Memburuknya term of trade bagi wilayah (daerah atau negara) yang sedang berkembang dalam perdagangan dengan wilayah maju (daerah atau negara) sebagai akibat ketidak elastisan permintaan wilayah maju. 8. Hancurnya industri-industri rakyat seperti: pertukangan, industri rumahtangga, dan lain-lainnya. Selanjutnya masih menurut Wie (1981), upaya dalam menanggulangi ketimpangan ini adalah dengan strategi campur tangan pemerintah. Hal ini diupayakan pembagian yang merata dari sumberdaya-sumberdaya yang ada kepada golongan masyarakat termiskin, sehingga kesejahteraan mereka dapat meningkat. Ada 3 cara untuk menanggulangi atau melakukan redistribusi ketimpangan pendapatan, yaitu : 1. Redistribusi Non-Incremental, hal ini menyangkut kebijaksanaan redistribusi harta yang ada, seperti : pemungutan pajak pendapatan secara progresif. 2. Redistribusi Inkremental, cara ini digunakan dalam pemungutan pajak bagi golongan yang berpendapatan tinggi, yang selanjutnya dibagikan langsung 89 kepada mereka yang kurang mampu. Kebijaksanaan ini biasanya dianut oleh negara-negara sosialis. 3. Redistribusi melalui pertumbuhan. Kebijaksanaan ini bertujuan untuk menaikkan laju pertumbuhan pendapatan golongan masyarakat miskin, dengan tidak mengurangi secara absolut pendapatan total. Ada beberapa hal yang terkandung dalam kebijaksanaan ini, seperti: (1) mempertahankan laju pertumbuhan yang tinggi, (2) menstabilkan penghasilan golongan paling kaya, (3) menyalurkan sebagian pendapatan golongan kaya sebagai hasil pertumbuhan ke dalam berbagai bentuk investasi, dan (4) mengalokasikan investasi ke dalam bentuk yang lebih bermanfaat bagi golongan masyarakat termiskin. Pada sisi lain redistribusi melalui pertumbuhan ini dapat digunakan untuk menganalisis potensi jangka panjang pembangunan ekonomi, khususnya yang menyangkut kesenjangan (trade-off). Sehingga paling tidak ada empat pendekatan untuk meningkatkan kesejahteraan golongan masyarakat paling miskin: (1) meningkatkan laju pertumbuhan pendapatan daerah sampai tingkat maksimal dengan jalan meningkatkan tabungan dan mengalokasikan sumberdaya secara lebih efektif dan efisien, (2) mengalihkan investasi kepada golongan masyarakat miskin dalam bentuk pendidikan, kesehatan, penyediaan kredit dan fasilitas umum, (3) melakukan redistribusi pendapatan kepada golongan masyarakat miskin melalui sistem fiskal, atau mengalokasikan barang-barang konsumsi secara langsung, dan (4) pengalihan harta yang sudah ada kepada golongan masyarakat miskin, misalnya melalui land reform. 90 3.9. Ketimpangan Pendapatan Masalah ketimpangan pendapatan sering disebut dengan kesenjangan, baik itu antara individu, rumahtangga, kelompok, sektor maupun wilayah merupakan masalah yang selalu ada disetiap negara dan tidak terkecuali Indonesia, tidak mungkin dalam suatu negara semua pendapatan penduduknya sama besar. Ketimpangan itu terjadi akibat adanya perbedaan umur, pendidikan, lapangan pekerjaan, jenis kelamin dan sebagainya. Meskipun ketimpangan pendapatan itu tidak dapat dihindari, bukan berarti hal tersebut boleh dibiarkan terus menerus tinggi. Ketimpangan yang tinggi dapat membawa dampak buruk terhadap kestabilan ekonomi dan kestabilan politik. Sebab itu perlu diupayakan ketimpangan yang terjadi jangan terlalu besar, atau perkembangan ketimpangan sedapat mungkin jangan sampai membesar, akan tetapi usaha untuk menciptakan pemerataan atau mengurangi ketimpangan pendapatan dalam suatu proses pembangunan ekonomi sangatlah sulit, terutama disebabkan karena adanya trade off antara ketimpangan pendapatan dengan laju pertumbuhan ekonomi, sebagaimana yang disebutkan dalam Kuznets Hypothesis. Dikatakan dalam hipotesis ini bahwa dalam jangka pendek ada korelasi positif antara pertumbuhan pendapatan per kapita dengan ketimpangan pendapatan, namun dalam jangka panjang hubungan keduanya menjadi korelasi yang negatif. Artinya dalam jangka pendek meningkatnya pendapatan akan diikuti dengan meningkatnya ketimpangan pendapatan, namun dalam jangka panjang peningkatan pendapatan akan diikuti dengan penurunan ketimpangan pendapatan. Fenomena ini dikenal dengan nama Kurva U terbalik dari Hipotesis Kuznets (Deutsch dan Silber, 2000), hal ini dapat dilihat lihat pada Gambar 21. 91 Ketimpangan pendapatan Periode Tingkat Pendapatan Per kapita Sumber : Deutsch and Silber (2000) Gambar 21. Kurva U Terbalik (Hipotesis Kuznets) Sejak periode 1970-an hingga sekarang sudah banyak studi empiris yang mencoba menguji hipotesis Kuznets ini, sebagian ada yang menerima hipotesis tersebut dan sebagian lagi ada yang menolak. Lebih lanjut lagi, masalah pro dan kontra mengenai hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan dapat kita temukan pula dalam perdebatan yang membenarkan adanya ketimpangan pendapatan dalam mengejar pertumbuhan ekonomi dan ada juga yang menyalahkannya (Todaro, 2000; Kangas, 2001). Argumen dasar yang membenarkan ketimpangan-ketimpangan dalam pendapatan, adalah pendapatan individu dan pendapatan kelompok merupakan necessary condition (kondisi yang perlu) untuk menabung yang memungkinkan penanaman modal dan menumbuhkan ekonomi melalui suatu mekanisme seperti model Harrod-Domar. Jika orang kaya menabung dan menanamkan modalnya dalam proporsi yang cukup besar dalam penghasilannya, sedangkan Si miskin 92 membelanjakan semua penghasilannya untuk barang-barang konsumsi dan jika tingkat pertumbuhan GNP (Gross National Product) secara langsung berhubungan dengan tabungan nasional, maka jelas kelihatan perekonomian yang ditandai dengan ketimpangan pendapatan dapat menabung lebih banyak dan berkembang lebih cepat daripada perekonomian dengan pemerataan pendapatan yang adil. Sementara itu, disisi lain ada yang beranggapan bahwa pemerataan pendapatan yang adil dalam negara-negara sedang berkembang sebenarnya dapat menjadi kondisi pertumbuhan ekonomi yang ditopang dan dijaga sendiri. Mereka tidak percaya dan menyalahkan argumentasi di atas. Alasan-alasan mereka dapat disampaikan secara singkat sebagai berikut. Pertama, di dalam negara-negara sedang berkembang umumnya orangorang kaya (pemilik modal, pengusaha, politisi dan golongan-golongan elit lainnya) mempunyai sifat pemboros. Mereka banyak menghabiskan uangnya hanya untuk membeli barang-barang mewah, pesiar ke luar negeri, membeli emas dan permata, membuka rekening pada bank-bank asing dan berspekulasi dalam pasar uang. Kegiatan konsumtif, tabungan dan investasi semacam ini jelas tidak akan menambah sumber-sumber produktif nasional, yang berarti tidak dapat menaikkan pertumbuhan ekonomi. Kedua, rendahnya penghasilan dan tingkat kehidupan yang tercermin pada kesehatan, gizi dan pendidikan sangat buruk dapat merendahkan produktifitas ekonomi, yang kemudian secara langsung atau tidak langsung menyebabkan lambatnya pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu strategi-strategi pembangunan untuk menaikkan penghasilan penduduk yang berpendapatan rendah, tidak hanya 93 akan meningkatkan taraf hidup penduduk miskin saja, namun juga menaikkan produktifitas dan penghasilan ekonomi secara keseluruhan. Ketiga, mengangkat pendapatan masyarakat miskin cenderung akan menaikkan konsumsi kebutuhan pokok yang diproduksi dalam negeri secara keseluruhan, seperti makanan, minuman dan pakaian. Sebaliknya, jika pendapatan orang kaya yang naik, cenderung konsumsi meningkat lebih banyak kepada barang-barang mewah yang diimpor. Adanya perbedaan pola konsumsi semacam itu, akhirnya menyebabkan peningkatan penghasilan pada orang miskin lebih baik untuk menstimulasi produktifitas, lapangan pekerjaan dan penanaman modal, yang selanjutnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Keempat, pemerataan pendapatan yang lebih adil yang telah dicapai melalui pengurangan kemiskinan dapat merangsang perluasan ekonomi secara sehat dengan cara memberikan insentif yang berupa material ataupun immaterial untuk menyebarkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan ekonomi. Sebaliknya, ketimpangan pendapatan yang besar dan substansial dapat menyebabkan disinsentif secara material atau immaterial bagi kemajuan ekonomi. Sementara itu, Cramer (2001) dalam studinya menemukan bahwa ketimpangan pendapatan menyebabkan pula terjadinya konflik sosial dalam masyarakat, meskipun hal itu bukan hanya disebabkan oleh faktor ekonomi tetapi juga faktor-faktor lainnya yang tidak dapat dipisahkan seperti kehidupan sosial, politik, kebudayaan dan sejarah. Contoh yang nyata dapat kita lihat di Indonesia, dimana ketimpangan pendapatan menyebabkan pula munculnya manifestasi ketidakpuasan rakyat, yang menimbulkan konflik horisontal, serta ketidakpuasan daerah, yang memunculkan konflik vertikal (Tadjoeddin et al., 2001). 94 Ada sejumlah cara untuk mengukur tingkat ketimpangan dalam distribusi pendapatan yang dapat dibagi ke dalam dua kelompok pendekatan, yakni axiomatic approach dan stochastic dominance (Tambunan, 2000). Namun ada juga yang membagi pendekatan tersebut menjadi pendekatan statistik dan pendekatan empiris (Esmara, 1996). Sementara Foldvary (2000) mengatakan ukuran ketimpangan itu dapat merupakan ukuran ordinal atau kardinal. Terlepas dari berbagai jenis pendekatan di atas, pada umumnya dalam setiap studi tentang ketimpangan pendapatan biasa digunakan alat ukur ketimpangan, yaitu (1) Lorenz curve, yang mengukur ketimpangan berdasarkan bentuk kurva distribusi pendapatan, (2) Gini ratio, yang mengukur ketimpangan berdasarkan luas kurva Lorenz, (3) Generalized entropy measure yang disingkat GEM, namun orang lebih banyak menyebutnya Theil index karena ukuran ketimpangan ini pada dasarnya dikembangkan dari model ketimpangan yang diperkenalkan oleh Theil pertama kali pada tahun 1967, (4) L index yang merupakan pengembangan dari Theil index, dan (5) Williamson index yang sebenarnya sama dengan ukuran ketimpangan secara statistik koefisien variasi. Tiga metode yang pertama sudah sangat dikenal dan digunakan secara luas oleh para peneliti dalam mengukur ketimpangan pendapatan rumahtangga. Metode-metode tersebut memenuhi beberapa prasyarat bagi pengukuran ketimpangan kesejahteraan yang efektif, yaitu independen terhadap rataan (mean independent or income-zerohomogeneity), independen terhadap replikasi populasi (the principle of population replication or population-size independence) dan memenuhi prinsip transfer Pigou Dalton (Shorrocks, 1980 dalam Tajoeddin et al., 2001). Sementara ukuran ketimpangan L-index dan Williamson index, lebih 95 dikenal dan populer digunakan dalam mengukur ketimpangan pendapatan regional, khususnya pendapatan dalam pengertian PDRB per kapita. Di Indonesia, studi tentang ketimpangan pendapatan pernah dilakukan oleh beberapa peneliti, diantaranya Thorbecke (1991) yang meneliti proses pemerataan dan penyesuaiannya untuk negara Indonesia. Kemudian studi yang dilakukan oleh Tadjoeddin et al. (2001), yang mengamati bagaimana dampak ketimpangan pendapatan tersebut menimbulkan konflik horisontal dan vertikal di negara Indonesia. Selain itu ada juga Akita et al. (1999), Uppal dan Boediono (1986), mereka mengamati sekaligus ketimpangan pendapatan dan pembangunan wilayah di Indonesia. Terakhir Arief (1998) yang mengukur ketimpangan pendapatan di Indonesia berdasarkan sektor-sektor ekonomi. Khusus di provinsi Papua, Umar (2003) dalam studinya mengenai ketimpangan pendapatan di kawasan Teluk Cenderawasih (Biak, Yapen Waropen, Manokwari dan Nabire) memaparkan bahwa dalam kelompok masyarakat asli Papua ketimpangan pendapatan cukup rendah yang ditandai dengan nilai indeks gini sebesar 0.33, sehingga distribusi pendapatan yang terjadi dalam kelompok ini dikatakan merata, namun pemerataannya adalah merata dalam kemiskinan. Sedangkan pada kelompok masyarakat non Papua atau pendatang, distribusi pendapatan yang terjadi tidak merata dan mengarah kepada kategori ketimpangan pendapatan yang sangat tinggi menurut kriteria Bank Dunia yakni sebesar 0.40. Secara keseluruhan angka-angka pembagian pendapatan yang telah dihitung Umar (2003) menggambarkan bahwa ketimpangan pendapatan masih berlangsung di provinsi Papua dimana yang lebih banyak menikmati pembagian pendapatan adalah kelompok kaya sebesar 38.92% yang seharusnya terus diupayakan 96 mengalami penurunan mendekati 20% atau 18.92 poin yang dalam pengalaman pembangunan selama 10 tahun terakhir (periode 1990-2001) hanya menunjukkan perbaikan sebesar 2.55 poin. Studi mengenai dampak ketimpangan atau kesenjangan sosial di Papua pernah dilakukan Ahmad (2004), dimana dalam studinya tersebut menemukan adanya dominasi ekonomi oleh pendatang di Papua telah menimbulkan kesenjangan sosial ekonomi, kecemburuan sosial dan reaksi agresif dari masyarakat Papua. Akibatnya orang Papua menuntut lepas dari Republik Indonesia dengan mengobarkan pemberontakan fisik yang mengancam disintegrasi Republik Indonesia. Ukuran ketimpangan yang selalu dipakai dalam semua studi pendapatan rumahtangga adalah Theil index. Dibandingkan alat ukur ketimpangan lain memang Theil index ini mempunyai satu kelebihan, yaitu ukuran ketimpangan pada Theil index dapat didekomposisi menjadi ketimpangan dalam kelompok rumahtangga itu sendiri dan ketimpangan antarkelompok rumahtangga. Dengan cara demikian kita dapat mengamati dengan jelas bagaimana fenomena ketimpangan itu terjadi dalam suatu distribusi pendapatan. Dapat juga ketimpangan itu tidak terjadi antarkelompok rumahtangga tetapi dalam kelompok rumahtangga itu sendiri atau terjadi antarkelompok rumahtangga namun tidak terjadi dalam kelompok rumahtangga sendiri atau kemungkinan terjadi pula ketimpangan secara keseluruhan. Berkat kemampuannya mendekomposisi ukuran ketimpangan tersebut akhirnya Theil index banyak dipakai dalam berbagai studi ketimpangan dan distribusi pendapatan. 97 3.10. Konsep dan Aplikasi Model SAM Social Accounting Matrix (SAM) atau Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) adalah suatu sistem data yang memuat data-data sosial dan ekonomi dalam sebuah perekonomian. Sumber-sumber data untuk membuat SNSE adalah dari tabel input-output (tabel I-O), statistik pendapatan nasional serta statistik pendapatan dan pengeluaran rumahtangga. Oleh karena itu SNSE kelihatan lebih lengkap dibandingkan tabel I-O dan statistik pendapatan nasional, dengan menunjukkan berbagai jenis transaksi dalam suatu perekonomian. Tabel I-O hanya merekam transaksi ekonomi tanpa menunjukkan latar belakang sosial dari pelaku transaksi tersebut. Sementara SNSE berupaya melakukan klasifikasi berbagai institusi berdasarkan latar belakang sosial ekonomi pada suatu perekonomian atau aktivitas fungsional. Sadoulet dan de Janvry (1995) juga mengungkapkan bahwa model SNSE ini sesungguhnya merupakan perluasan dari input-output model (model I-O). Ruang lingkup pemotretannya jauh lebih luas dan terperinci dibandingkan dengan model I-O. Dalam model I-O yang dipaparkan hanyalah arus transaksi ekonomi dari sektor produksi ke sektor faktor-faktor produksi, rumahtangga, pemerintah, perusahaan dan luar negeri. Sedangkan dalam model SNSE hal tersebut didisagregasi secara lebih rinci. Misalnya, rumahtangga dapat didisagregasi berdasarkan tingkat pendapatan atau kombinasi dari tingkat pendapatan dan lokasi pemukiman dan seterusnya. Disamping itu, dalam model SNSE dapat di masukkan beberapa variabel makroekonomi, seperti pajak, subsidi, modal dan sebagainya. model SNSE dapat menggambarkan seluruh transaksi makroekonomi, sektoral dan institusi secara utuh dalam sebuah neraca, perhatikan Tabel 18. Tabel 18. Structure of Social Accounting Matrix PENGELUARAN Pendapatan 1 2 Aktivitas Komoditi Tenaga Kerja 4 Modal Rumahtangga Perusahaan Penjualan Dalam Negeri 1. Aktivitas 2. Komoditi 3 Intermediate Demand 5 Pemerintah Subsidi Ekspor Konsumsi Pemerintah Konsumsi Rumahtangga Modal 6 7 Rest of World Jumlah Ekspor Produksi Permintaan Daerah Investasi 3. Faktor-faktor Tenaga Gaji Modal Pinjaman Factor Income from Abroad GNP Biaya Produksi 4. Institusi Labor Income Rumahtangga Perusahaan Pemerintah Pertambahn Nilai Pajak Pajak tidak langsung Pajak Keamanan Sosial Distribusi Keuntungan Bukan Distribusi Keuntungan Transfer Antarrumahtangga Pajak Keuntungan Pajak Langsung Pajak Simpanan Rumahtangga Simpanan Perusahaan 5. Modal 6. Rest of World Jumlah Impor Produksi Permintaan Dalam Negeri Transfer Transfer Pendapatan Rumahtangga Transfer Transfers From Abroad Transfer Pendapatan Pemerintah Simpanan Pemerintah Transfer Modal Faktor Pmbyran Faktor luar Pendapatan Perusahaan Jumlah Simpanan Impor Pengeluaran Rumahtangga Pengeluaran Perusahaan Pengeluaran Pemerintah Jumlah Investasi Foreign Exchange Earning Sumber : Sadoulet dan de Janvry (1995) 98 99 SNSE pada dasarnya merupakan sebuah matrik berbentuk bujur sangkar yang menggambarkan arus moneter dari berbagai transaksi ekonomi. Kolomnya menjelaskan pengeluaran (expenditure), baris menunjukkan penerimaan (receipt). Salah satu karakteristik yang fundamental dan menjadi ciri khas dari SNSE adalah kemampuannya untuk menyajikan dan mengungkapkan secara komprehensif dan konsisten mengenai hubungan-hubungan ekonomi pada tingkatan produksi, faktor-faktor dan institusi, yang terdiri dari pemerintahan, rumahtangga dan swasta. Dengan demikian SNSE dapat menggambarkan seluruh transaksi, sektoral dan institusi secara utuh dalam sebuah neraca (Chulu dan Wobst, 2001). Ada enam tipe neraca dalam sebuah matrik SNSE yang lengkap, yaitu (1) aktivitas, (2) komoditas (commodities), (3) faktor-faktor produksi (tenaga kerja dan modal), (4) institusi domestik yang terdiri dari rumahtangga (household), perusahaan (firms) dan pemerintah (government), (5) modal, dan (6) rest of the world (Sadoulet dan de Janvry, 1995; Thiele dan Piazolo, 2001), hal ini dapat dilihat pada Tabel 18. Neraca-neraca yang ada dapat dikelompokkan menjadi neraca endogen dan eksogen. Pada lima neraca pertama dikelompokkan sebagai neraca endogen, sedangkan neraca keenam menjadi neraca eksogen yang dapat mempengaruhi besar kecilnya perubahan peningkatan atau penurunan neraca endogen pada saat dilakukan atau diberikan suatu injeksi pada neraca tersebut. Sedangkan dalam kerangka dasar SNSE Indonesia terdapat 4 neraca utama, yaitu (1) neraca faktor produksi, (2) neraca institusi, (3) neraca sektor produksi, dan (4) neraca eksogen yang terdiri dari neraca modal dan rest of the world (ROW) (Daryanto, 2001). Masing-masing neraca tersebut menempati lajur baris dan kolom. Perpotongan antara suatu neraca dengan neraca lainnya memberikan arti tersendiri lihat Tabel 19. 100 Tabel 19. Kerangka Dasar SNSE Indonesia Pengeluaran Neraca Endogen Faktor 1 Penerimaan Neraca Endogen Faktor Produksi Institusi Sektor Produksi Neraca Eksogen Jumlah 1 2 Neraca Eksogen Institusi 2 Sektor 3 T 13 Alokasi nilai tambah ke faktor produksi 0 0 T 21 Alokasi pendapatan faktor ke institusi T 22 Transfer antarinstitusi 4 T 14 Pendapatan faktor produksi dari luar negeri 5 Y1 Distribusi pendapatan faktorial T 24 Transfer dari luar negeri Y2 Distribusi pendapatan institusional 0 T 32 Penerimaan domestik T 33 Penerimaan antara T 34 Ekspor dan investasi Y3 Total output menurut sektor produksi Y4 Total penerimaan neraca lainnya 3 0 I2 Tabungan pemerintah swasta dan rumahtangga I3 Impor dan pajak tak langsung I4 Transfer lainnya 4 I1 Alokasi pendapatan faktor ke luar negeri Y’ 1 Distribusi pengeluaran faktor Y’ 2 Distribusi pengeluaran institusi Y’ 3 Total input Y’ 4 Total pengeluaran lainnya 5 Jumlah Sumber : Daryanto (2001) Neraca faktor-faktor produksi, termasuk didalamnya adalah tenaga kerja dan modal. Dibaca secara baris neraca ini memperlihatkan penerimaanpenerimaan yang berasal dari upah dan sewa, selain itu juga menggambarkan pendapatan remitance dan pendapatan modal. Sedangkan secara kolom menunjukkan adanya revenue yang didistribusikan ke rumahtangga sebagai pendapatan tenaga kerja, distribusi ke perusahaan dan keuntungan yang bukan dari perusahaan, serta keuntungan perusahaan setelah dikurangi pembayaran pemerintah, pemerintahan. neraca institusi mencakup rumahtangga, perusahaan dan 101 Dalam hal ini rumahtangga akan didisagregasi ke dalam kelompokkelompok sosial ekonomi yang saling berbeda tingkatannya. Penerimaan rumahtangga antara lain datang dari pendapatan faktor-faktor produksi, berbagai macam bentuk transfer seperti transfer pendapatan diantara rumahtangga itu sendiri, pendapatan dari pemerintah dan dari perusahaan (biasanya berupa asuransi) atau dari luar negeri. Sementara itu pengeluaran rumahtangga ditujukan untuk konsumsi barang-barang dan pajak pendapatan, serta sebagian dimasukan untuk saving dalam neraca modal. Pada perusahaan, penerimaannya berasal dari keuntungan yang diperoleh dan sebagian dari transfer, sedangkan pengeluarannya kepada pembayaran pajak dan transfer, untuk pemerintah pengeluarannya berupa subsidi, konsumsi barang dan jasa, transfer ke rumahtangga dan perumahan sebagian juga berupa saving, di sisi lain penerimaannya berasal dari pajak dan transfer pendapatan dari luar negeri. Neraca aktivitas (activity) atau sektor produksi (production) merupakan neraca yang menjelaskan tentang transaksi pembelian bahan-bahan mentah, barang-barang antara dan sewa untuk memproduksi suatu komoditi. Dibaca secara kolom semua transaksi tersebut merupakan pengeluaran yang meliputi permintaan antara, upah, sewa dan value added dari pajak. Sedangkan pada baris semua transaksi dianggap sebagai penerimaan yang meliputi penjualan domestik, subsidi ekspor dan penerimaan. Neraca terakhir adalah neraca eksogen yang memuat neraca modal dan transaksi luar negeri atau rest of world. Dalam neraca modal sisi penerimaan (secara baris) berupa pemasukan dalam bentuk tabungan rumahtangga, swasta dan 102 pemerintah. Sementara sisi pengeluaran (secara kolom), berupa neraca komoditi berupa investasi. Transaksi antara domestik dengan luar negeri juga dicatat dalam neraca terakhir yang memuat segala penerimaan yang berhubungan dengan luar negeri yang datang dari ekspor, transfer pendapatan institusi dari luar negeri, transfer pendapatan dari faktor-faktor produksi dan pemasukan modal dari luar negeri. Sedangkan pengeluarannya berupa impor, pembayaran faktor-faktor produksi dan transfer ke luar negeri. Jumlah pengeluaran dan penerimaan pada masing-masing neraca haruslah sama, hal ini menunjukkan bahwa dalam tabel SNSE selalu terdapat keseimbangan dari masing-masing neraca. Dalam membangun sebuah struktur SNSE banyak dibutuhkan data, secara umum data-data tersebut dapat diperoleh dari Biro Pusat Statistik (BPS) masingmasing negara. Kemudian, untuk melakukan disagregasi pada setiap neraca yang berbeda kita membutuhkan tiga kumpulan data. Pertama, neraca aktivitas dan komoditi, biasanya dapat diambil dari tabel transaksi input-output. Kedua, disagregasi value added dari pendapatan tenaga kerja dan keuntungan perusahaan, yang diperoleh melaui survei tenaga kerja dan sensus sektoral. Kesulitan yang paling tinggi adalah sewaktu mengukur sektor-sektor aktivitas yang informal, namun sebenarnya dapat diidentifikasikan melalui survei industri. Ketiga, penentuan pendapatan dan pengeluaran institusi perusahaan dan rumahtangga, hal ini merupakan pekerjaan yang paling sulit juga sewaktu membentuk struktur SNSE. Dari sisi pengeluaran kita mendapatkannya melalui survei konsumsi yang ada dan pajak yang tersedia pada anggaran belanja negara, akan tetapi untuk penerimaan harus melakukan survei rumahtangga. Jika hal ini tidak tersedia, maka 103 dapat dikompromikan dengan menggunakan data-data survei pengeluaran keluarga atau distribusi pendapatan penduduk kota dan pedesaan serta survei angkatan kerja dengan ketentuan survei tersebut juga memasukkan karakteristik anggota rumahtangga. Penerimaan dan pengeluaran perusahaan secara agregat biasanya terdapat dalam neraca nasional, transfer antara pemerintah dan perusahaan, tersedia di statistik pemerintahan (Sadoulet dan de Janvry, 1995). McGrath (1987) mengungkapkan bahwa salah satu tujuan menyusun sebuah matrik SNSE adalah memperluas gambaran sistem pendapatan nasional atau System of National Account (SNA), melalui cara penggabungan SNA dengan data distribusi pendapatan. SNSE memberikan sebuah metode yang dapat mengubah SNA dari statistik produksi menjadi statistik pendapatan, dengan cara demikian akhirnya SNSE itu lebih terfokus kepada pembahasan mengenai tingkat kesejahteraan dari kelompok-kelompok sosial ekonomi yang berbeda. Dalam Gambar 22 dapat kita lihat bagaimana sirkulasi pendapatan itu terjadi dalam suatu perekonomian, yang sering disebut pula sebagai bentuk makro dari SNSE. Berdasarkan gambar ini sumber pendapatan bagi perusahaan dan rumahtangga (di luar transfer pemerintah) pada intinya berasal dari dua pasar yaitu pasar komoditi dan pasar faktor produksi. Perusahaan memperoleh pendapatan dari pasar komoditi dan rumahtangga dari pasar faktor serta pemerintah memperoleh pendapatannya dari pajak. Model SNSE menjadi alat analisis yang penting karena model tersebut mampu membangun skematis arus pendapatan dari sektor produksi ke kelompokkelompok rumahtangga dan disini terbukti SNSE merupakan alat yang paling jelas mengamati hubungan antara distribusi pendapatan dengan aktivitas produksi. 104 Hal ini sudah banyak ditunjukkan dalam berbagai studi yang menggunakan model SNSE, misalkan studi yang dilakukan oleh Thiele dan Piazolo (2002). Penambahan nilai Simpanan Faktor Market Pajak Rumahtangga Aktivitas Enterprises Pemerintah Modal Penjualan Intermediate Consumption Transfer Pasar komoditas Impor Final goods Ekspor Current external balance Transfer Rest of World Tarif Pajak tak langsung Sumber : Chung-I Li (2002) Gambar 22. The Economy-Wide Circular Flow of Income Mereka telah membangun SNSE untuk negara Bolivia dengan fokus pada aspek pendapatan. Dalam studi ini analisis SNSE dikaji melalui dua komponen yaitu distribusi pendapatan faktor-faktor produksi dan redistribusi pendapatan antara kelompok-kelompok institusi. Hasil studinya menunjukkan bahwa (1) 105 smallholders dan urban informals keduanya menguasai kurang lebih dua pertiga angkatan kerja, namun pendapatan totalnya kurang dari seperempat, (2) kelompok rumahtangga yang kaya (employer’s) sedikitnya mempunyai pendapatan sepuluh kali lipat dibandingkan pendapatan untuk kelompok rumahtangga yang miskin (smallholders), (3) terjadi ketimpangan distribusi kekayaan yang cukup besar, dimana tenaga kerja yang terampil dan ahli (employer's) memiliki aset yang lebih banyak dibandingkan buruh (smallholders) pada pasar faktor, dan (4) kelompok rumahtangga yang miskin mempunyai empat karakteristik, yaitu tabungannya rendah, investasi rendah dan partisipasinya rendah dalam sistem keuangan. Studi yang dilakukan oleh Llop dan Manresa (2002) juga menggunakan SNSE di dalam menganalisis distribusi pendapatan regional antara agen-agen ekonomi (institusi) di Catlan. Multiplier SNSE mereka gunakan sebagai dasar untuk menggambarkan proses pembentukan pendapatan (process of income generation). Dengan teknik dekomposisi mereka juga melakukan identifikasi perubahan-perubahan posisi agen-agen ekonomi, salah satu temuan penting dari studi ini adalah institusi pemerintah memang mempunyai pengaruh yang positif terhadap proses distribusi pendapatan konsumen. Namun dalam sistem produksi pengaruhnya dapat negatif terhadap distribusi pendapatan. Iqbal dan Siddiqui (1999) dengan menggunakan SNSE melakukan studi tentang dampak penerapan SAP (Structural Adjustment Program) terhadap ketimpangan pendapatan di Pakistan. Studi ini bermaksud untuk menganalisis dampak kebijakan fiskal yang berkaitan dengan subsidi produksi dan konsumsi serta subsidi kesehatan dan pendidikan pada berbagai tingkat pendapatan rumahtangga pedesaan dan perkotaan di Pakistan. Kesimpulan dari studi ini 106 adalah (1) pengurangan subsidi akibat penerapan SAP memberikan pengaruh yang sangat merugikan kepada kelompok rumahtangga yang berpendapatan tinggi, kemudian disusul oleh kelompok rumahtangga miskin, baik di perkotaan maupun di perdesaan, (2) kontraksi pengeluaran pemerintah berdampak pada penurunan pendapatan seluruh kelompok rumahtangga baik di perkotaan maupun perdesaan, dan (3) penurunan subsidi pemerintah di sektor pendidikan dan kesehatan menurunkan aktivitas pendidikan dan kesehatan. Kelompok rumahtangga yang paling menderita dengan penurunan pengeluaran pemerintah pada kedua sektor ini adalah kelompok rumahtangga miskin baik yang ada di perkotaan maupun perdesaan. Studi lainnya yang menarik pula untuk dilihat adalah studi dari Townsend dan McDonald (1997) yang menggunakan SNSE untuk mengkaji kebijakankebijakan yang mendukung sektor pertanian dan distribusi pendapatan di negara Afrika Selatan. Hasil studinya menunjukkan bahwa reformasi kebijakan-kebijakan pertanian di negara Afrika Selatan selain sangat potensial untuk menstimulasi aktivitas sektor-sektor ekonomi lainnya, juga dapat menunjang program-program pemerintah didalam mengurangi ketimpangan pendapatan. Kesimpulan yang hampir sama seperti di atas juga diutarakan oleh Bautista (2000) yang mempelajari tentang strategi pembangunan berbasis pertanian (agriculture based development strategy) di wilayah Vietnam Pusat, selanjutnya akan menggunakan analisis multiplier SNSE untuk mengamati dampak pembangunan pertanian terhadap distribusi pendapatan. Di sini studi tersebut menunjukan bahwa pembangunan sektor pertanian pengaruhnya lebih besar terhadap rumahtangga yang berpendapatan rendah dibandingkan terhadap 107 rumahtangga yang berpendapatan tinggi, baik itu di daerah perdesaan maupun perkotaan. Pada akhir studinya didapat kesimpulan bahwa penerapan strategi pembangunan yang berbasis pertanian di Vietnam Pusat sangat relevan, mengingat wilayah ini sarat dengan sektor pertanian. Di bawah strategi pembangunan semacam itu, kenaikan sumberdaya masyarakat dapat dialokasikan ke sektor pertanian dan pedesaan yang nantinya akan meningkatkan produktifitas sektor pertanian dan menaikkan pendapatan rumahtangga perdesaan, yang selanjutnya akan menciptakan kekuatan permintaan terhadap barang-barang produksi non pertanian dalam pasar lokal. Kemudian Nokkala (2000), dalam studinya menggunakan analisis SNSE untuk mengkaji secara khusus terhadap kebijakan Agricultural Sector Investment Program (ASIP) yang telah dikeluarkan oleh negara Zambia pada tahun 1992. Studi ini menelaah empat alternatif pola pengeluaran dana invetasi sektor pertanian. Setiap pola dipresentasikan sebagai suatu skenario atau suatu eksperimen kebijakan, sehingga ada empat skenario yang digunakan yaitu, (1) skenario implementasi aktual, (2) skenario implementasi optimal, (3) skenario full expenditure pada pertanian non komersial, dan (4) skenario half expenditure pada pertanian komersial dan pertanian non komersial. Hasil studinya secara umum menunjukkan bahwa kebijakan ASIP mampu meningkatkan produksi di sektor pertanian. Investasi yang lebih besar terhadap sektor pertanian komersial lebih signifikan untuk menaikan produksi pertanian secara keseluruhan. Sementara untuk distribusi pendapatan kebijakan investasi terhadap pertanian non komersial lebih tinggi pengaruhnya terhadap kenaikan pendapatan penduduk di perdesaan, khususnya bagi tenaga kerja yang tidak terlatih (unskilled). 108 Untuk negara Indonesia sendiri, studi yang membahas tentang pendapatan dengan kajian SNSE pernah dilakukan oleh Bautista et al. (1999). Studi ini secara khusus mengkaji tentang tiga alternatif pembangunan industri untuk negara Indonesia yaitu, (1) agrcultural demand-led, (2) food processing-based, dan (3) ligth manufacturing-based. Kesimpulan akhir dari studi ini adalah pembangunan industri yang berbasis pertanian (agricultural demand-led) ternyata pengaruhnya lebih tinggi dan signifikan terhadap kenaikan GDP riil Indonesia, dibandingkan dengan pembangunan industri yang berorientasi pada pengolahan makanan dan industri ringan. Selain itu distribusi pendapatan pada kelompok rumahtangga yang berpendapatan rendah memiliki pengaruh lebih besar terhadap kenaikan GDP. Kemudian James dan Khan (1993) mengamati tentang kapasitas penyerapan tenaga kerja dalam program-program redistribusi pendapatan di Indonesia. Analisisnya berdasarkan SNSE tahun 1975 yang dipublikasikan oleh BPS, kesimpulan studinya adalah redistribusi pendapatan yang terjadi dalam kelompok rumahtangga miskin akan menghasilkan pengaruh (secara langsung atau tidak langsung) terhadap pendapatan tenaga kerja, baik itu berdasarkan analisis secara agregasi maupun disagregasi. Akan tetapi, secara keseluruhan, pengaruhnya lebih besar dalam analisis tingkat disagregasi. Studi yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian IPB (2002) yang mencoba merumuskan tentang Structural Adjustment Program (SAP) dan model pembangunan pertanian di Indonesia, telah menggunakan kerangka SNSE sebagai salah satu alat analisisnya. Melalui analisis multiplier SNSE berhasil dibuat rumusan tentang model pembangunan pertanian di Indonesia, yaitu model pembangunan Agriculture Based Development (ABD) pada sektor tanaman 109 pangan khususnya perkebunan dan sektor pertanian secara umum, termasuk agribisnis dan agroindustri. Di bawah strategi ini maka pertumbuhan ekonomi dapat dipacu lebih tinggi dan selain itu upaya untuk mengurangi ketimpangan pembagian pendapatan melalui peningkatan pendapatan penduduk di pedesaan dapat terlaksana dengan baik. Dalam konteks kedaerahan Sutomo (1995) melakukan analisis kemiskinan rumahtangga dan pembangunan ekonomi yang terjadi di dua provinsi, yaitu Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Riau, untuk melakukan hal tersebut, Sutomo menggunakan perangkat SNSE sebagai kerangka kerja dan analisis. Hasil studinya ditemukan bahwa golongan rumahtangga bukan buruh di sektor pertanian merupakan golongan rumahtangga paling miskin dalam ukuran relatif, baik di NTT maupun Riau. Selain itu distribusi pendapatan di kedua provinsi tersebut dalam keadaan yang sangat tidak merata. Sementara itu Ropingi (1999) yang juga menggunakan SNSE mencoba melakukan analisis keragaan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat di kabupaten Boyolali. Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan, terungkap bahwa untuk meningkatkan pendapatan buruh tani adalah dengan memberikan injeksi pada sektor tanaman padi, tanaman jagung, kehutanan, tanaman sayuran dan buah-buahan serta sektor tanaman pertanian lainnya. Kelima alternatif tersebut baik dilihat secara absolut dampaknya terhadap pendapatan buruh tani maupun secara relatif sebagai pangsa kenaikan pendapatan rumahtangga memberikan nilai terbesar, dibandingkan dengan sektor produksi lainnya. Sementara itu Adelman dan Ralston (1992) dalam Daryanto (2001) dengan membangun SNSE untuk provinsi Jawa Barat, mereka telah melakukan 110 pengamatan tentang implikasi pertumbuhan dan distribusi pendapatan terhadap perubahan-perubahan market-oriented dan program-program pemerintah. Hasil studinya menunjukkan bahwa saat kebijakan-kebijakan perubahan marketoriented menghasilkan tingkat pertumbuhan dan pendapatan rumahtangga yang tinggi di Jawa Barat, ketimpangan pendapatan antara rumahtangga yang berpendapatan rendah (diukur dalam kalori) dan rumahtangga yang berpendapatan tinggi juga semakin meningkat. Dakila dan Mizokami (2006) menyatakan bahwa pilihan lokasi investasi infrastruktur transportasi menjadi variabel yang penting dalam pengambilan keputusan pada tingkat makro, bila akan menginvestasi dalam jumlah yang besar pada proyek-proyek infrastruktur transportasi di negara berkembang yang mempunyai keterbatasan sumber dana seperti Filipina. Manfaat pada pilihan investasi tersebut relatif terhadap biaya harus dapat terlihat, sehingga keputusan yang dihasilkan optimal. Penelitian yang dilakukan untuk mengamati perihal tersebut yaitu dengan melakukan: (1) konstruksi Social Accounting Matrix (SAM) lima wilayah sebagai database untuk guncangan simulasi kebijakan. Sebelumnya, juga dibangun SAM single region dan bi-region SAM, (2) membangun first transport-oriented Spatial Computed General Equilibrium (SCGE) model untuk Filipina. Model Ini akan digunakan untuk mengenerate perkiraan kuantitatif keuntungan investasi infrastruktur transportasi seluruh region dan rumah tangga, dan (3) pengenalan fungsi impedansi, yang mengintegrasikan konsep-konsep dalam teknik transportasi dan ekonomi di dalam suatu model. 111 Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa keuntungan investasi infrastruktur transportasi menyebar ke daerah lain dan tidak terbatas pada daerah asal investasi dibuat. Ada spillover signifikan dan efek ekuitas intervensi kebijakan seperti peningkatan kapasitas transportasi dan teknologi perbaikan di sektor transportasi. intervensi tersebut mempengaruhi pola spasial ekonomi manfaat, nilai manfaat ekonomi di seluruh sektor produksi, dan distribusi manfaat antara kelompok pendapatan rumah tangga. Sebagai kesimpulan, penelitian ini menunjukkan bahwa perencanaan tata ruang yang tepat mencakup pilihan lokasi dan jenis investasi infrastruktur transportasi yang memiliki dampak luas terhadap interindustry dan interhousehold hubungan antara wilayah. Akibatnya, perbaikan efisiensi interrregional dan ekuitas dapat dicapai. Dakila (2007) dalam tesisnya mengkaji dampak investasi infrastruktur transportasi pada keseluruhan manfaat ekonomi yang dihasilkan termasuk kesejahteraan regional yang lebih tinggi, peningkatan ekuitas interregional, tingkat output yang lebih tinggi, pendapatan faktor, arus antarwilayah dan permintaan akhir. Di sisi lain, akan disajikan efek negatif meliputi impedansi yang lebih tinggi dalam pergerakan, polusi, dan inefisiensi yang terkait dengan distorsi harga karena ketidakmampuan untuk menekan biaya eksternal intensitas transportasi. Metodologi yang dipakai dalam studi ini adalah dengan Pendekatan Keseimbangan Umum Berbasis Social Accounting Matrix (SAM). Dari hasil studi ini disimpulkan berupa saran sebuah paket kebijakan ekonomi transportasiintegratif darat. dengan penekanan khusus pada investasi infrastruktur transportasi Petunjuk kebijakan tentang cara untuk mengangkat kelompok berpenghasilan rendah ke kelompok berpenghasilan menengah juga akan 112 dirumuskan melalui lokasi yang optimal investasi infrastruktur transportasi. Selain itu, juga dibahas trade-off antara pertumbuhan output yang lebih tinggi ditambah dengan intensitas transportasi dan impedansi rendah dalam pergerakan serta biaya kerusakan lingkungan. Resosudarmo et al. (2009) menyatakan bahwa kesenjangan dalam pembangunan telah lama menjadi isu penting di Indonesia. Dalam struktur baru pemerintah Indonesia, adalah penting untuk menentukan apakah harus melakukan desentralisasi anggaran lebih lanjut, dan jika demikian, apa konsekuensinya terhadap perekonomian nasional secara keseluruhan. Dalam penelitiannya menggunakan alat ekonomi Interregional Social Accounting Matrix (IRSAM) multiplier - untuk menganalisis dampak kebijakan desentralisasi fiskal pemerintah terhadap kinerja perekonomian regional dan nasional. Dari simulasi menunjukkan hasil sebagai berikut. Pertama, mengurangi kesenjangan antara ekonomi regional dan meningkatkan perekonomian nasional melalui strategi transfer fiskal yang lebih tinggi mungkin tidak mencapai tujuan yang sama, yaitu menyediakan transfer yang lebih tinggi untuk daerah yang tertinggal (Sulawesi dan Indonesia Timur) akan sangat mungkin mengurangi kesenjangan antara daerah ekonomi, tetapi bisa berdampak negatif terhadap perekonomian nasional secara keseluruhan. Kedua, secara umum, sistem fiskal lebih terdesentralisasi akan menguntungkan rumah tangga di Sulawesi dan Timur Indonesia, sedangkan yang sama tidak dapat dikatakan untuk Jawa-Bali, Sumatera, dan Kalimantan. Ketiga, dampak dari transfer fiskal lebih lanjut pada pendapatan tenaga kerja bervariasi tergantung pada daerah dan jenis tenaga kerja. 113 3.11. Studi Empirik dengan Model IRSAM Studi empirik yang berkaitan dengan ekonomi regional baik di mancanegara maupun di Indonesia telah dilakukan oleh banyak pihak dengan berbagai model dan pendekatan. Namun, dalam pembahasan ini lebih di fokuskan pada studi-studi yang menggunakan model Social Accounting Matrix (SAM). Pilihan ini didasarkan pada pertimbangan kesamaan model yang akan digunakan dalam studi ini, serta kemiripan issue yang akan dikaji. Studi yang berkaitan dengan disparitas pendapatan telah dilakukan oleh antara lain Alim (2006), Hadi (2001), Achjar, Hewings dan Sonis (2003), serta Rahman dan Utama (2003) Alim (2006) dalam disertasinya menganalisis penyebab makin melebarnya kesenjangan ekonomi antara Jawa dan Sumatera selama masa pembangunan ekonomi. Model Interregional Social Accounting Matrix Jawa dan Sumatera yang diberi nama Samijasum 2002, dibangun berdasarkan data sekunder dalam bentuk matrik 59x59 dan menggunakan teknik cross entrophy untuk balancing. Struktur ekonomi Jawa pada awal pembangunan ekonomi (Pelita I) adalah sektor jasa, pertanian, industri pengolahan dan pertambangan. Selama masa pembangunan ekonomi jangka panjang tahap pertama (PJPT-I), sektor jasa dan sektor industri pengolahan secara bertahap mengalami penguatan dan kemudian menjadi dominan dalam perekonomian Jawa. Sebaliknya, pada periode yang sama struktur ekonomi Sumatera berubah secara acak. Dimana peranan sektor pertambangan dan sektor industri melemah, sedangkan sektor jasa dan sektor pertanian menguat. Hasil analisis yang didasarkan pada Samijasum 2002 menunjukkan bahwa (1) neraca perdagangan antara Jawa dan Sumatera lebih 114 menguntungkan Jawa, dimana perekonomian Sumatera mengalami defisit neraca perdagangan, (2) keterkaitan sektor-sektor produksi di Sumatera terhadap berbagai sektor produksi di Jawa sangat kuat, sedangkan sebaliknya memiliki keterkaitan yang lemah, dan (3) spillover effect dari Sumatera ke Jawa lebih besar daripada spillover effect dari Jawa ke Sumatera, sehingga setiap guncangan (shock) ekonomi pada sektor manapun pada ke dua wilayah akan mengakibatkan ekonomi Jawa meningkat jauh lebih cepat daripada ekonomi Sumatera. Dalam kondisi ini, apabila pembangunan ekonomi dikonsentrasikan ke Sumatera, maka pertumbuhan ekonomi kedua wilayah akan lebih tinggi dan terdistribusikan secara lebih berimbang, sehingga kesenjangan ekonomi antara kedua wilayah secara bertahap akan menyempit. Hadi (2001) melakukan studi tentang disparitas pendapatan antara KBI dan KTI, dalam studinya mengelompokan semua provinsi yang berada di pulau Jawa dan Sumatera ke dalam KBI dan semua provinsi-provinsi di luar Jawa dan Sumatera dimasukkan ke dalam kelompok KTI. Dengan menggunakan model Sistem Neraca Sosial Ekonomi–Antarregional (SNSE-AR) dan basis data tahun 1993, Hadi menelaah hal-hal berikut: (1) ketimpangan pembangunan wilayah antara KBI dan KTI, (2) keterkaitan antara sektor-sektor ekonomi intra maupun antara KBI dengan KTI, (3) dampak perubahan kebijakan pembangunan terhadap disparitas KBI dengan KTI, dan (4) merumuskan strategi percepatan pembangunan KTI dalam mewujudkan keseimbangan pembangunan antarwilayah KBI dengan KTI. Analisis keterkaitan ditunjukkan oleh koefisien input neraca sektor ekonomi dalam SNSE-AR, KBI-KTI tahun 1993. Hasil pendugaan menunjukkan 115 bahwa sektor-sektor ekonomi di KTI mempunyai ketergantungan yang lebih besar terhadap sektor-sektor ekonomi di KBI dari pada sebaliknya. Sektor-sektor ekonomi KTI memerlukan input dari sektor-sektor ekonomi KBI rata-rata 29.0% dari total input yang dibutuhkan oleh sektor-sektor ekonomi KTI yang terdiri dari sektor primer 32.1%, industri 28.6% dan jasa-jasa sebesar 26.4%. Sedangkan sebaliknya, sektor-sektor ekonomi KBI memerlukan input dari sektor-sektor ekonomi KTI rata-rata 4.80% dari total input yang dibutuhkan oleh sektor-sektor ekonomi KBI yang terdiri dari sektor primer 6.40%, industri 5.30% dan jasa-jasa sebesar 2.80%. Hal ini menggambarkan bahwa terdapat suatu kendala investasi di KTI yaitu ketergantungan KTI terhadap bahan baku hasil industri di KBI. Hasil pendugaan keterkaitan langsung sektor-sektor ekonomi KBI dan KTI tahun 1993 menunjukkan bahwa 39.1% total output sektor industri KBI dijual ke KTI, namun sebaliknya tidak ada hasil industri KTI yang mengalir ke KBI. Hasil sektor primer KTI yang mengalir ke KBI sebanyak 12.2% dan sebaliknya hanya sebesar 3.4%. Sektor jasa-jasa yang mengalir dari KBI ke KTI sebanyak 9.3% dan sebaliknya hanya 3.0%. Selanjutnya diungkapkan pula bahwa input yang diperlukan KBI yang berasal dari KTI sebagian besar berbentuk bahan baku primer, yakni sebanyak 92.9% untuk input sektor primer, 89.3% untuk input sektor industri dan 48.0% untuk input sektor jasa-jasa di KBI. Sebaliknya, aliran input dari KBI ke KTI sebagian besar berbentuk bahan baku hasil industri, yaitu 89.7% untuk input sektor primer, 89.9% untuk input sektor industri dan 86.6% untuk input sektor jasa-jasa di KTI. Dari sisi keterkaitan output (forward linkage) menunjukkan bahwa aliran output (barang dan jasa) dari sektor-sektor ekonomi KBI ke sektor-sektor 116 ekonomi KTI sebagian besar untuk input sektor-sektor industri di KTI, yang terdiri dari 85.4% output sektor primer untuk input sektor industri, 51.8% output sektor industri untuk input sektor industri. Sedangkan bagian terbesar dari output sektor jasa-jasa KBI yang mengalir ke KTI digunakan sebagai input sektor jasajasa, yaitu sebesar 42.7%. Sebaliknya, bagian terbesar dari output sektor primer KTI yang mengalir ke KBI digunakan untuk input sektor industri yakni sebesar 58.5%. Bagian terbesar dari output sektor jasa-jasa KTI yang mengalir ke KBI digunakan untuk input sektor jasa-jasa yakni sebesar 51.1%, sedangkan output sektor industri KTI tidak ada yang mengalir ke KBI. Analisis keterkaitan output (forward linkage) dan keterkaitan input (backward linkage) menunjukkan bahwa dari tiga sektor ekonomi secara agregat terdapat keterkaitan yang lebih tingggi di sektor industri antara kedua wilayah. Artinya sektor industri di kedua wilayah membutuhkan input bahan baku baik primer, industri sendiri, maupun dari sektor jasa-jasa yang dihasilkan masingmasing (kecuali sektor industri dari KTI). Selain itu, terdapat ketimpangan aliran barang dan jasa pada perdagangan domestik antara kedua wilayah. Temuan lain dari Hadi adalah bahwa struktur pemilikan faktor produksi antarwilayah yang tidak seimbang menyebabkan struktur penerimaan institusi antarwilayah menjadi tidak seimbang. Penerimaan antarwilayah rumahtangga pedesaan KBI jauh lebih besar dibanding penerimaan antarwilayah rumahtangga perdesaan KTI. Hal yang sama juga berlaku bagi golongan rumahtangga perkotaan di kedua wilayah, dari sisi struktur pengeluaran rumahtangga antarwilayah, tampak bahwa pengeluaran rumahtangga perdesaan KBI hanya membelanjakan 5.0% dari total pengeluarannya atas output sektor produksi KTI 117 dan sebaliknya pengeluaran rumahtangga pedesaan KTI membelanjakan 32.4% dari total pengeluarannya atas output sektor produksi KBI. Hasil analisis pengganda menunjukkan bahwa nilai pengganda dari ke tiga neraca endogen (faktor produksi, institusi dan sektor produksi) di KBI hampir dua kali lebih besar di banding KTI. Sedangkan analisis keterkaitan menunjukkan nilai tambah dari dampak penambahan 1 rupiah neraca eksogen di KTI akan kembali ke KBI rata-rata 31.4% dari total nilai tambah setiap sektor. Sebaliknya penambahan 1 rupiah neraca eksogen di KBI, maka nilai tambah yang mengalir ke KTI rata-rata hanya 4.9% dari total nilai tambah setiap sektor. Akhirnya Hadi merekomendasikan bahwa upaya percepatan pembangunan KTI hanya mungkin terjadi apabila pemerintah pusat melakukan desentralisasi dan memberikan otonomi bagi pemerintah daerah untuk melaksanakan pembangunan sesuai dengan aspirasi dan potensi daerah serta perkembangan pasar internasional. Model Interregional Social Accounting Matrix (IRSAM) juga digunakan oleh Achjar et al. (2003) untuk menyelidiki sifat ketergantungan interregional dengan menggunakan metoda Interregional Block Structural Path Analysis. Mereka menggunakan IRSAM lima pulau tahun 1995 yang telah dibangun untuk pertama kali bagi Indonesia. Wilayah yang diliput adalah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan lainnya (Other Island) yang merupakan wilayah makro. Sedangkan klasifikasi IRSAM lima pulau 1995 meliputi 5 jenis faktor produksi (4 jenis tenaga kerja dan 1 jenis modal), 5 jenis institusi (3 jenis rumahtangga, perusahaan dan pemerintah masing-masing 1 jenis) dan 9 jenis aktivitas produksi. 118 Achjar et al. (2003) mengilustrasikan bahwa selama tiga dekade pembangunan ekonomi cenderung terpusat di Jawa, sehingga menghasilkan suatu fenomena core-periphery yang direfleksikan oleh ketergantungan kebanyakan wilayah kepada perekonomian Jawa. Pembahasan hasil dilakukan dalam tiga fragmen, yaitu (1) output dan pendapatan secara global (Global Output and Income), (2) injeksi terhadap institusi oleh wilayah makro (Injection of Institutions by Macro Region), dan (3) injeksi terhadap aktivitas oleh wilayah makro (Injection of Activities by Macro Region). Pada fragmen Global Output and Income ditemukan bahwa injeksi institusi menghasilkan nilai pendapatan institusi sebesar 17.7% dari total pendapatan institusi dalam suatu sistem. Sebagai perbandingan, injeksi pada aktivitas dalam sistem mengasilkan nilai pendapatan institusi sebesar 81.2% dari total pendapatan institusi dalam keseluruhan sistem ekonomi. Keseluruhan injeksi institusi hanya mengahasilkan permintaan output sebesar 8.2% dari total output, injeksi terhadap aktivitas menghasilkan 91.3% dari total output. Rata-rata injeksi terhadap institusi dan aktivitas secara bersama-sama menghasilkan hampir 99% dari total output dan pendapatan di Indonesia, tinggal 1% yang dikontribusikan oleh pendapatan faktorial. Injeksi di atas berasal dari blok matrik institusi dan aktivitas produksi secara simultan dalam keseluruhan sistem, hanya memberi suatu gambaran global mengenai share instiutsi dan aktivitas produksi terhadap hasil output global dalam suatu sistem ekonomi. Dengan demikian diperlukan suatu dekomposisi yang baru untuk memisahkan pengaruh institusi dan produksi dari masing-masing wilayah makro sehingga besar pengaruh dari satu wilayah ke wilayah lain dapat ditelusuri. 119 Dalam fragmen kedua (injection of institutions by macro region) ditemukan bahwa injeksi terhadap institusi di Sumatera menghasilkan 79.7% dari total pendapatan yang dihasilkan di Sumatera. Walaupun tidak ada keterkaitan langsung antara institusi di Sumatera dengan Jawa, akan tetapi injeksi institusi di Sumatera menghasilkan nilai pendapatan institusi di Jawa sebesar 18% dari total pendapatan di Sumatera sebagai hasil dari keterkaitan langsung antara aktivitas produksi kedua wilayah. Dibandingkan dengan empat wilayah lainnya, dampak dari injeksi terhadap wilayahnya sendiri, pulau Jawa memperoleh bagian tertinggi, yaitu 94.2% dari total pendapatan, Sumatera 79.7%, Kalimantan 74.9%, Sulawesi 75.5% dan Other Island 72.2%. Observasi lebih lanjut menunjukkan bahwa injeksi dari setiap empat wilayah tersebut lebih terkait dengan Jawa daripada tiga wilayah lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa perubahan pendapatan institusi akan merubah pola konsumsi yang kemudian meningkatkan permintaan terhadap output yang dihasilkan oleh sektor produksi di Jawa. Hal ini dapat ditunjukkan dari transformasi aktivitas sebagai hasil dari perubahan pendapatan institusi. Sebagai contoh, injeksi terhadap pendapatan institusi di Sumatera menghasilkan 88.8% dari aktivitas produksi di Sumatera dan sisinya diambil dari Jawa. Pola yang sama juga berlaku di Kalimantan dimana 17% dari total permintaan output datang dari Jawa. Keterkaitan pulau lain dengan Jawa sangat kuat dibandingkan keterkaitan antara pulau-pulau yang berdekatan seperti antara pulau lain dengan Sulawesi atau pulau lain dengan Kalimantan. Injeksi terhadap pendapatan institusi di pulau lain menghasilkan 21% pendapatan institusi di Jawa sedangkan dengan Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi hanya kurang dari 3%. Observasi terakhir dari rantai 120 reaksi atas dampak injeksi institusi oleh wilayah individu, secara keseluruhan menunjukan kuatnya keterkaitan antara Jawa dan Sumatera. Injeksi pendapatan institusi di Sumatera menghasilkan 17.9% dari output manufaktur berasal dari Jawa. Disamping itu, juga menghasilkan sekitar 17% dari jasa keuangan dan 17% dari sektor perdagangan, hotel dan restoran yang juga berasal dari Jawa. Dalam fragmen ketiga (injection of activities by macro region) mengungkapkan tentang output agregat sebagai hasil injeksi pada sektor aktivitas produksi setiap wilayah makro dan pengaruhnya terhadap wilayah lainnya. Pada tingkat agregat, injeksi aktivitas produksi di Sumatera menghasilkan 60.3% dari total output yang dihasilkan dalam wilayah sendiri (self-generating output) 35.8% berasal dari Jawa, sisanya yang jumlahnya sangat kecil berasal dari wilayah lain. Berlawanan dengan Kalimantan, 39% aktivitas berasal dari Jawa sedangkan yang dihasilkan sendiri (self-generating output) hanya memberikan kontribusi sebesar 49% dari total output. Analisis yang lebih rinci dalam fragmen ini menunjukkan perekonomian Sumatera dan Jawa memiliki keterkaitan relatif lebih kuat dibandingkan tiga wilayah makro lainnya, karena secara geografis kedua wilayah tersebut dekat dan infrastruktur transportasinya cukup untuk menghubungkan kedua wilayah. Sebagai contoh, injeksi aktivitas di Jawa menghasilkan 16.3% output pertanian berasal dari Sumatera, diikuti oleh Kalimantan (7%), Sulawesi (7%) dan pulau lain (3.64%). Selanjutnya diungkapkan bahwa transformasi aktivitas manufaktur di Sumatera menghasilkan sekitar 55% dari total output internal, selebihnya lebih dari 40% dihasilkan di Jawa dan proporsi yang sangat kecil berasal dari wilayah lainnya. Hasil ini menunjukkan bahwa ketergantungan 121 Sumatera terhadap Jawa sedemikian kuat berpusat pada hampir pada semua aktivitas ekonomi. Kesimpulan akhir dari analisis ini adalah bahwa injeksi institusi dan aktivitas produksi di Jawa tidak membutuhkan dorongan dari perubahan perekonomian wilayah lain dengan persentasi yang tinggi. Sebaliknya injeksi institusi atau aktivitas produksi pada wilayah selain pulau Jawa dapat menghasilkan hubungan asosiasi institusi, aktivitas dan pendapatan faktorial di Jawa melalui keterkaitan perdagangan. Proses asimetris ini merupakan problem utama dalam strategi pembangunan regional, yaitu usaha untuk mengurangi disparitas kesejahteraan antarwilayah. Suatu temuan penting dari analisis ini adalah bahwa struktur ekonomi regional Jawa mengandung self-generation dengan derajat yang tinggi, terutama dalam manufaktur dan beberapa jasa. Dengan self-influence yang tinggi dalam industri manufaktur dan sebagian besar aktivitas produksi di Jawa, permintaan yang berasal dari Jawa tidak sensitif terhadap perubahan output wilayah lain, kecuali sektor pertambangan. Analisis lebih lanjut mengungkapkan bahwa self-influence dari sektor barang lebih tinggi dari sektor jasa. Rahman dan Utama (2003) menganalisis dampak desentralisasi fiskal di Indonesia dengan mengunakan model IRSAM. Dalam model ini. Indonesia dikelompokkan ke dalam dua wilayah makro (macroregion), yaitu wilayah Jawa dan luar Jawa serta tujuh wilayah mikro (microregion) yakni Jawa Barat (termasuk Jakarta dan Banten), Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan pulau lainnya di Timur Indonesia. Dalam konstruksi model, Rahman 122 dan Utama melakukan update data IRSAM 1990 (102x102) yang dibangun oleh Wuryanto (1996) menjadi IRSAM 1999 (30x30). Analisis multiplier effect dari injeksi neraca pemerintah menunjukkan bahwa apabila arus pengeluaran pemerintah terjadi di Jawa, dampak pertumbuhan lebih di wilayah Jawa (77.93% berasal dari daerah dan 77.807% dari pusat). Dampak Spillover adalah sisanya (22.069% dari regional dan 22.192% dari pusat). Jika suntikan berasal dari luar Jawa, dampak distribusinya lebih berimbang antara Jawa dan luar Jawa. Perilaku dari multiplier effect di Jawa mencapai 45.066% dan sisanya di wilayah asal (origin region), pulau lain (54.933%). Datadata mengindikasikan bahwa ekonomi Indonesia demikian tergantung pada wilayah Jawa. Fenomena ini juga ditunjukkan oleh penggunaan tenaga kerja dan modal oleh luar Jawa yang kebanyakan datangnya dari Jawa. Bila diamati lebih jauh strategi terbaik (the best strategy) dalam injeksi neraca pemerintah melalui transfer antarpemerintah dari luar jawa, pengeluaran pemerintah lokal (current and investment) memiliki efek yang lebih besar daripada pengeluaran langsung pemerintah pusat. Keunggulan lain dari injeksi neraca pemerintah melalui lokal, umumnya pendapatan intraregional lebih baik. Dalam konteks output multiplier ditemukan bahwa efek multiplier dari belanja rutin (current account) pemerintah (pusat dan daerah) pada semua wilayah selalu lebih baik dari pengeluaran investasi (investment account) pemerintah. Dengan demikian, mirip kasus income multiplier, output multiplier dalam pengeluaran investasi pemerintah tidak dapat menangkap penambahan output yang dihasilkan oleh peningkatan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan datang 123 dari proyek-proyek investasi yang menyeluruh, yang memungkinkan perbaikan kapasitas produksi pada umumnya. Pengujian atas pengaruh injeksi pemerintah terhadap aktivitas produksi, disimpulkan bahwa pengaruh yang paling kuat dari pengeluaran rutin pemerintah (Jawa dan luar Jawa) selalu ditemukan pada sektor jasa. Bila pengeluaran berasal dari Jawa, multiplier effect mencapai 85.67% di Jawa dan sisanya di luar jawa sebesar 14.321%. Di pihak lain bila injeksi itu berasal dari luar Jawa, wilayah Jawa memperoleh 38.856% dari output multiplier. Analisis output multiplier juga menunjukkan bahwa output multiplier tidak tumbuh di wilayah asal, yang kebanyakan memberikan dampak tertinggi pada sektor manufaktur. Alasan utama mengapa sektor jasa memperoleh dampak multiplier tertinggi adalah karena kebanyakan dari komponen current expenditure adalah belanja rutin atau pembelian secara regular. Dalam term pengeluaran investasi pemerintah di kedua wilayah, nilai tertinggi dari output multiplier selalu ditemukan pada sektor manufaktur. Kondisi ini sama bagi pemerintah pusat maupun daerah. Ini terjadi karena kebanyakan dari pengeluaran investasi adalah untuk membeli barang modal yang digunakan untuk meningkatkan kapasitas produksi. Lebih jauh ditemukan fenomena yang sama, pengeluaran investasi yang berasal dari Jawa mempunyai spillover effect yang lebih kecil daripada pengeluaran yang berasal dari luar Jawa. Kondisi yang sama juga terjadi pada neraca investasi pemerintah pusat. Hal ini menunjukkan bahwa penawaran barang modal dan jasa (capital goods and services) di luar Jawa demikian tergantung pada industri-industri di Jawa. Dalam kaitan ini, Rahman dan Utama memandang 124 bahwa strategi yang baik dalam pengeluaran pemerintah adalah mengalokasikan dana investasi ke luar Jawa. Injeksi alokasi dana investasi ini akan mengurangi disparitas antarwilayah dan mempromosikan aktivitas manufaktur di luar Jawa. Observasi selanjutnya adalah menjelajahi dampak anggaran pemerintah daerah untuk tahun fiskal 2002 yang dibandingkan dengan matriks awal (the initial matrix) dari IRSAM 99. Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah alokasi anggaran pemerintah daerah tahun 2002 dapat menyeimbangkan pendapatan, mengurangi disparitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Keperluan ini digunakan sejumlah asumsi dalam simulasi sebagai berikut: (1) peubah shock menggunakan Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Perimbangan (DP) atau balancing finance dari fiskal tahun 2002, (2) semua pembayaran transfer didistribusikan pada belanja rutin dan investasi pemerintah daerah, (3) DAK harus dialokasikan pada sektorsektor infrastruktur (jalan dan irigasi), infrastruktur pemerintah, kesehatan dan pendidikan. Konsekuensinya, DAK hanya dapat digunakan melalui neraca pengeluaran investasi regional, (4) DAU adalah dana dimana pemerintah daerah memiliki otoritas untuk mengalokasinya. Berdasarkan definisi ini diasumsikan bahwa kebanyakan dana pengeluaran rutin bersumber dari DAU. Dengan asumsi ini, dalam studinya menetapkan 90% dari DAU akan dialokasikan ke dalam belanja rutin pemerintah daerah dan sisanya dialokasikan sebagai investasi, (5) dana perimbangan yang terdiri atas income sharing on tax dan natural resources yang tidak memiliki jadwal penerimaan yang tetap, juga pembayaran dana perimbangan tidak semuanya pada setiap tahun fiskal. Di bawah kondisi ini diasumsikan bahwa semua dana dialokasikan pada pengeluaran investasi daerah, 125 dan (6) neraca pemerintah pusat menggunakan data dari APBN. Proses distribusi terhadap daerah mengikuti proporsi distribusi DAK, DAU dan DP. Didasarkan pada data income multiplier dan output multiplier di atas, income multiplier selalu dibawah satu pada semua level yang berarti bahwa pendapatan rumahtangga aktual yang diterima selalu lebih rendah dari jumlah pengeluaran pemerintah atas itu. Dalam konteks output multiplier nilainya bervariasi dari di bawah satu dan di atas dua. Akumulasi dari multiplier belanja rutin dan investasi pemerintah selalu nilainya lebih besar dari satu. Hal ini menggambarkan bahwa penerimaan pendapatan aktual pada sektor-sektor produksi lebih besar daripada pengeluaran aktual yang dibelanjakan oleh pemerintah pada semua tingkat. Analisis dengan menggunakan peubah shock senantiasa memperhatikan income dan output multiplier di atas, kemudian analisis dibatasi pada skenario berikut ini: 1. Skenario satu, simulasi menggunakan peubah shock DAU, DAK dan DP lalu didistribusikan sebagai proporsi dari IRSAM 99. Di balik tujuan simulasi ini adalah untuk memperkirakan pendapatan aktual dari keseluruan perkonomian. Hal ini berarti juga bahwa pemerintah tidak memiliki otoritas mengubah perilaku alokasi terhadap preferensi sektor dan rumahtangga. 2. Skenario kedua, dalam pandangan ini pemerintah lokal mempunyai otoritas untuk mengubah alokasi anggaran. Skenario ini menyediakan anggaran terhadap sektor-sektor yang tergantung pada nilai pengaruh global (global influence). Tujuan dari simulasi ini adalah untuk mengoptimalkan pendapatan dari keseluruhan perekonomian dan untuk mengukur disparitas antarwilayah. 126 3. Dalam anggaran nasional (APBN) tidak menambah perubahan yang dipertimbangkan, karena tujuan dari simulasi difokuskan pada menangkap dampak peubah shock dari pemerintah lokal di bawah asumsi peubah-peubah lain dalan kondisi ceteris paribus. Dari simulasi di atas dapat disimpulkan bahwa disparitas diantara berbagai sektor sedemikian melebar. Dari data dapat dicatat bahwa semua distribusi pendapatan hanya berdampak pada wilayah itu sendiri. Pada simulasi kedua, ditemukan bahwa injeksi neraca Jawa kurang berpengaruh terhadap wilayah lain dibandingkan injeksi pada neraca luar Jawa. Bila injeksi belanja rutin berasal dari Jawa hanya memberikan pengaruh terhadap pendapatan luar Jawa sebesar 1.52%, tetapi bila berasal dari luar Jawa akan memberikan pengaruh terhadap distribusi pendapatan di Jawa sebesar 27.32%. Fenomena yang sama juga terjadi pada neraca investasi regional, bila injeksi dari Jawa hanya memberikan pengaruh terhadap penambahan output di luar Jawa sebesar 1.47% sedangkan sebaliknya sebesar 18.59%. Selanjutnya sektor manufaktur, jasa dan pertanian di Jawa merupakan sektor dominan dalam alokasi anggaran dan juga memperoleh porsi tertinggi dari output multiplier dari luar Jawa. Sektor jasa, manufaktur, pertambangan dan pertanian di luar Jawa merupakan sektor utama (prominent) yang banyak memberikan pengaruh terhadap keseluruhan perekonomian. Fenomena ini menunjukkan bahwa sektor manufaktur, jasa, pertanian dan pertambangan mempunyai keterkaitan inter dan intra yang luas pada berbagai sektor dan berbagai wilayah. Kesimpulan akhir dari studi Rahman dan Utama adalah bahwa perilaku perekonomian Indonesia demikian tergantung pada pulau Jawa. Dengan 127 demikian perencanaan pembangunan selayaknya diletakkan pada pemberdayaan potensi ekonomi luar Jawa. Analisis pendapatan rumahtangga dapat dicatat bahwa kekurangan kapasitas SDM di luar Jawa perlu ditingkatkan. Terakhir, desentralisasi fiskal memberikan peluang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan mengurangi disparitas diantara berbagai wilayah melalui transfer antarpemerintah lewat DAU, DAK dan DP. 3.12. Rekomendasi Kebijakan Alim (2006) merekomendasikan bahwa pembangunan ekonomi sebaiknya dikonsentrasikan ke Sumatera, maka pertumbuhan ekonomi Jawa dan Sumatera akan lebih tinggi dan terdistribusikan secara lebih berimbang, sehingga kesenjangan ekonomi antara Jawa dan Sumatera secara bertahap akan menyempit. Menurut Hadi (2001) upaya percepatan pembangunan KTI hanya mungkin terjadi apabila pemerintah pusat melakukan desentralisasi dan memberikan otonomi bagi pemerintah daerah untuk melaksanakan pembangunan sesuai dengan aspirasi dan potensi daerah serta perkembangan pasar internasional. Sedangkan menurut Rahman dan Utama (2003) perilaku perekonomian Indonesia demikian tergantung pada pulau Jawa. Dengan demikian perencanaan pembangunan selayaknya diletakkan pada pemberdayaan potensi ekonomi luar Jawa. Strategi terbaik dalam pengeluaran pemerintah adalah mengalokasikan dana investasi ke luar Jawa. Injeksi dan investasi ini akan mengurangi disparitas antarwilayah dan juga mempromosikan aktifitas manufaktur di luar Jawa, dan meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia (SDM) di luar Jawa.