TINGKAT PENGETAHUAN MENGENAI TRICHURIS TRICHIURA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KARAKTERISTIK DEMOGRAFI SANTRI DI PESANTREN X, JAKARTA TIMUR Adwin Haryo Indrawan Sumartono Saleha Sungkar Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran [email protected] Abstrak Judul : Tingkat Pengetahuan Mengenai Trichuris trichiura dan Hubungannya dengan Karakteristik Demografi Santri di Pesantren X, Jakarta Timur Trikuriasis merupakan masalah kesehatan masyarakat di daerah tropis. Di Jakarta prevalensi trikuriasis tergolong tinggi dengan prevalensi tertinggi di Jakarta Timur (41,7%). Di Jakarta Timur, terdapat pesantren dengan kepadatan santri yang tinggi dan fasilitas sanitasi terbatas sehingga diperlukan penyuluhan agar terhindar trikuriasis. Agar diterima dengan baik, penyuluhan harus diberikan sesuai pengetahuan yang dimiliki dan karakteristik santri. Karena itu penelitian ini bertujuan mengetahui tingkat pengetahuan santri mengenai T. trichiura dan hubungannya dengan karakteristik santri. Penelitian dilakukan di Pesantren X, Jakarta Timur dengan desain crosssectional. Data diambil tanggal 22 Januari 2011 dengan memberikan kuesioner berisi pertanyaan mengenai T. trichiura kepada semua santri. Data diolah dengan program SPSS versi 16 dan dianalisis dengan uji chi square dan Kolmogorov-Smirnov. Hasilnya menunjukkan santri yang memiliki tingkat pengetahuan baik 9 orang (5,8%), cukup 28 orang (18,2%), dan pengetahuan rendah 117 orang (76%). Tidak terdapat perbedaan bermakna antara tingkat pengetahuan dengan pendidikan dan sumber informasi paling berkesan (Kolmogorov-Smirnov, p>0,05), jumlah informasi (chi square, p=0,183), namun terdapat perbedaan bermakna (chi square, p<0,05) antara tingkat pengetahuan mengenai T. trichiura dengan jenis kelamin. Disimpulkan tingkat pengetahuan mengenai T. trichiura tidak berhubungan dengan tingkat pendidikan, jumlah informasi dan sumber informasi paling berkesan tetapi berhubungan dengan jenis kelamin. Kata kunci: Trichuris trichiura, tingkat pengetahuan, karakteristik, santri Universitas Indonesia Tingkat Pengetahuan..., Adwin Haryo Indrawan Sumartono, FK UI, 2014 Abstract Title : The Level of Knowledge on Trichuris trichiura and its Association with Demographic Characteristics of Students in Pesantren X, East Jakarta Trichuriasis has become a public health problem in the tropics. In Jakarta, trichuriasis prevalence is high with the highest prevalence in East Jakarta (41.7%). In East Jakarta, there are boarding schools with students who are highly populated with limited sanitation facilities so that it is necessary to give health promotions to avoid trichuriasis. Education should be given with appropriate level of knowledge and demographic characteristics of students.Therefore this study aims to determine the level of knowledge students on T. trichiura and its relation to the characteristics of students. The study was conducted in Pesantren X, East Jakarta with crosssectional design. Data was taken on January 22, 2011 by distributing questionnaire which had questions about T. trichiura to all students. Data was processed with SPSS version 16 and analyzed by chi square and Kolmogorov-Smirnov tests. The results showed that students have a good level of knowledge were 9 people (5.8%), fair 28 people (18.2%), and poor knowledge 117 people (76%). There were no significant differences between the level of knowledge with their grades, information sources most memorable (Kolmogorov-Smirnov, p> 0.05), and the amount of information (chi square, p = 0.183), but there were significant differences between the level of knowledge on T. trichiura with their sex (chi square, p< 0.05). Therefore, level of knowledge about T. trichiura was not associated with level of education, the amount of information and most memorable information sources but was associated with their sex. Keywords : Trichuris trichiura, level of knowledge, characteristics, students Universitas Indonesia Tingkat Pengetahuan..., Adwin Haryo Indrawan Sumartono, FK UI, 2014 Pendahuluan Infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah (soil-transmitted helminths/STH) merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat terutama di negara tropis. Diperkirakan lebih dari satu miliar orang di seluruh dunia terinfeksi STH.1 Di Indonesia prevalensi STH berkisar 60-90%.2 STH banyak menginfeksi balita dan anak usia sekolah yang biasanya dibawah 5 tahun karena anak-anak lebih sering kontak dengan tanah dibandingkan orang dewasa. Cacing yang termasuk STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, cacing tambang, dan Strongyloides stercoralis namun di daerah dengan kondisi tanah berjenis tanah liat, STH yang paling sering ditemukan adalah A. lumbricoides dan T. trichiura. STH banyak terdapat di daerah padat penduduk dengan higiene dan sanitasi yang kurang baik serta keadaan sosial ekonomi yang rendah. DKI Jakarta adalah daerah yang kondisi tanahnya adalah tanah liat sehingga infeksi yang disebabkan T. trichiura (trikuriasis) sering ditemukan. Prevalensi trikuriasis pada murid SD di DKI Jakarta tergolong tinggi yaitu 48,1%. Di Jakarta Timur prevalensi T. trichiura pada murid SD adalah 41,7%, Jakarta Selatan 31,6%, Jakarta Barat 25,3%, dan Jakarta Utara 20%.2 Prevalensi trikuriasis paling tinggi di Jakarta Timur karena daerah tersebut sering mengalami banjir. Pada saat banjir, telur cacing yang terdapat di saluran pembuangan air (got) dan sungai akan mencemari tanah di lingkungan warga. Selanjutnya jika anak-anak bermain di tanah maka telur akan melekat di tangan dan jika anak makan tanpa mencuci tangan maka mereka akan terinfeksi trikuriasis. Trikuriasis pada anak dapat menimbulkan berbagai gejala. Pada infeksi ringan biasanya asimtomatis sedangkan pada infeksi berat dapat terjadi mual, muntah, diare, sindrom disentri, malnutrisi, dan anemia.3 Diare dan sindrom disentri secara sering dapat mengakibatkan prolapsus rekti. Berbagai gejala tersebut pada akhirnya mengakibatkan pertumbuhan fisik terhambat, penurunan kualitas hidup dan kecerdasan anak.4 Berdasarkan uraian di atas perlu dilakukan upaya pencegahan trikuriasis pada anak dengan cara memberikan penyuluhan mengenai trikuriasis. Lokasi kegiatan yang dipilih adalah Pesantren X di Jakarta Timur karena santri yang tinggal di Pesantren X cukup banyak dan hidup dalam lingkungan yang padat dengan sanitasi kurang memadai. Selain itu, umumnya santri berasal dari keluarga dengan status ekonomi yang rendah. Agar kegiatan memberikan hasil yang baik maka penyuluhan harus disesuaikan dengan tingkat pengetahuan yang telah dimiliki dan karakteristik santri. Oleh karena itu perlu dilakukan survei tingkat pengetahuan santri mengenai cacing T. trichiura, gejala klinis, pengobatan, pencegahan, dan karakteristik, namun karena keterbatasan penelitian survei difokuskan hanya pada tingkat pengetahuan santri mengenai T. trichiura. Universitas Indonesia Tingkat Pengetahuan..., Adwin Haryo Indrawan Sumartono, FK UI, 2014 Tinjauan Teoritis T. trichiura mempunyai bentuk menyerupai cambuk atau whip, sebab bentuknya tipis pada bagian anterior dan lebih tebal atau lebar pada bagian posterior.5 Cacing dewasa betina jenis ini memiliki panjang tubuh 35-50 mm dan memiliki bentuk kepala yang tebal dan lurus. Cacing jantan, memiliki panjang 30-45 mm dan kepala berujung melengkung. Ukuran telur cacing ini adalah 50 x 22 mikron dan mempunyai bentuk menyerupai laras.6 T. trichiura menginfeksi usus kecil manusia dengan memakan jaringan sekresi dengan cara memasukkan atau menguburkan bagian tubuhnya yang tipis pada bagian anterior. Cacing itu umumnya menyerang bagian sekum dan kolon pada manusia akan tetapi, pada orang yang terkena infeksi berat, T trichiura lebih sering ditemukan pada rektum.6 Seekor cacing T. trichiura betina memproduksi telur sebanyak 2 000 sampai 10 000 butir telur perhari bahkan, terkadang dalam kondisi tertentu dapat mencapai 20 000 butir telur perhari. Telur ini berada pada feses manusia, lalu ketika dibuang akan mengalami embrionisasi dalam tanah, yaitu ketika telur yang masih dalam keadaan tidak infektif berubah menjadi infektif. Dalam keadaaan normal, proses tersebut terjadi pada saat minggu ketiga setelah feses dibuang. Telur T. trichiura mempunyai bentuk seperti barel dengan sumbatan pada kedua ujung polarnya. Pada bagian tengah, terdapat struktur granular yang merupakan bagian dari ovum yag belum tersegmentasi. Ukuran dari telur ini sekitar 50-54 mikron panjang dan 22-23 mikron lebar.7 Warna telur T. trichiura yang biasa ditemukan adalah kuning keemasan. Perkembangan telur T. trichiura membutuhkan 10 hingga 14 hari pada tanah lembab untuk bermaturasi dan melakukan embrionisasi.8 Pada kasus dimana pasien trikuriasis telah diobati dengan mebendazol, telah ditemukan perubahan bentuk telur berupa distorsi pada seluruh permukaan. Telur yang telah terdistorsi memiliki ukuran yang cenderung lebih besar dari telur biasa. Secara umum, T. trichiura sudah menjadi parasit di negara dengan curah hujan dan kelembaban tinggi, seperti negara tropis yang mencakup benua Asia, Afrika, dan Amerika Selatan.9 Di Latin Amerika sendiri, sebanyak 114 juta anak usia belum sekolah dan 233 juta usia anak bersekolah telah terinfeksi oleh telur T. trichiura.10 T. trichiura sendiri sudah menyebar hingga mencapai angka 604-794 juta diseluruh dunia.5 Bethony et al1 mengatakan bahwa infeksi T. trichiura mencapai 350 juta orang, dengan 3,2 miliar individu yang tergolong berisiko. Menurut Ryan et al11 mengatakan infeksi T. Trichiura telah mencapai satu miliar orang. Usaha untuk menekan angka tersebut sudah dilakukan dibeberapa negara seperti Sri Lanka dan Afrika Selatan walaupun belum ada hasil yang signifikan.12, 13 T. trichiura sering ditemukan pada anak berumur 5-15 tahun dan mudah berkembang biak pada anak dengan kebersihan buruk. Oleh karena itu, T. trichiura lebih dominan ditemukan di negara berkembang karena sanitasi yang buruk dan penduduknya yang lebih sering bertempat Universitas Indonesia Tingkat Pengetahuan..., Adwin Haryo Indrawan Sumartono, FK UI, 2014 tinggal di pedesaan. Hal tersebut menyebabkan mereka mendapatkan kontak dengan tanah lebih mudah yang pada akhirnya akan menjadi faktor pendukung terjadi infeksi T. trichiura.14 Siklus hidup dimulai pada saat telur yang tidak berisi embrio yaitu telur tidak dalam keadaan menginfeksi, keluar bersama feses manusia. Untuk berkembang ke tahap selanjutnya, telur tersebut harus berada dalam tanah lembab selama 14-21 hari, lalu telur tersebut berkembang ke tahap 2 sel atau 2 cell-stage, lalu ke tahap advanced cleavage, dan terakhir ke tahap telur yang beriisi embrio.7 Pada tahap ini telur cacing sedang dalam tahap berpotensi menginfeksi. Tahap selanjutnya adalah ketika telur ditelan oleh manusia (dengan tangan kotor yang terkena tanah berisi telur atau makanan tidak bersih). Ketika tertelan oleh manusia dan memasuki sistem pencernaan, telur menetas di usus kecil. Selanjutnya larva keluar dari telur dan menginfeksi vili usus halus dengan cara penetrasi. Proses penetrasi usus halus dilakukan dengan bagian anterior dari tubuhnya sedangkan bagian posterior tubuh tetap di lumen usus halus. Bagian anterior tubuh cacing yang tipis ini mudah memasuki kelenjar usus (crypts of Lieberkuhn) dan ketika mencapai seminggu, cacing berpindah mempenetrasi epitelium dari villi usus. Dengan ini, larva dengan estimasi ukuran 260 x 15 mikron terus berkembang dalam usus halus selama 3-10 hari.5 Pada akhirnya, larva akan memantapkan dan mengakhiri perkembangan menjadi cacing dewasa ketika berpindah kebagian sekum, yaitu memakan waktu selama 30-90 hari. Cacing dewasa bisa hidup di dalam manusia dalam jangka waktu 1-2 tahun, tergantung dari usaha individu tersebut untuk mengobati baik dari dalam tubuh atau luar. Selama itu, cacing dewasa betina akan mulai bertelur ketika sudah 60-70 hari setelah infeksi dan dapat bertelur sampai 20 000 telur per hari. Telur yang baru atau sering disebut dengan telur imatur pada akhirnya melewati kolon dan anus lalu keluar bersama feses. T. trichiura menyebabkan penyakit yang disebut trikuriasis. Trikuriasis ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis yang jelas atau sama sekali tanpa gejala. Pada infeksi berat terutama pada anak, cacing tersebar di seluruh kolon dan rektum sehingga dapat menimbulkan prolapsus rekti akibat penderita mengejan dengan kuat yaitu sering pada waktu defekasi. Selain itu penderita dapat mengalami diare yang diselingi sindrom disentri atau kolitis kronis, sehingga berat badan turun. Bagian anterior cacing yang masuk ke dalam mukosa usus menyebabkan trauma yang menimbulkan peradangan dan perdarahan. T. trichiura juga mengisap darah hospes, sehingga mengakibatkan anemia. Pada lumen apendiks yang berisi begitu banyak cacing mengakibatkan iritasi dan inflamasi yang mengakibatkan apendisitis. Selain itu, pemeriksaaan lebih lanjut dengan kolonoskopi membuktikan bahwa dinding sekum dan traktus asenden dari kolon dengan parah mengalami hiperemik dan timbul edema.15 Hal tersebut mengakibatkan perdarahan usus dan ulserasi akibat dari aktivitas konsumsi cacing dewasa. Banyaknya pengeluaran darah diperkirakan sebanyak 0,005 ml per cacing per hari. Universitas Indonesia Tingkat Pengetahuan..., Adwin Haryo Indrawan Sumartono, FK UI, 2014 Berkurangnya prevalensi trichuriasis pada akhir umur remaja serta hasil dari beberapa eksperimen terakhir mengenai pertahanan tubuh terhadap infeksi cacing merujuk pada kenyataan bahwa terdapat kemungkinan kecil akan tumbuhnya pertahanan dalam sistem tubuh untuk menghadapi trikuriasis.11 Keberadaan IgE sebagai respon pertahanan tubuh dari infeksi sudah pernah di terbuktikan, walaupun keberadaan imunoglobulin tersebut kurang signifikan sehingga tidak cukup untuk penghancuran permanen. Keberadaan IgE didukung dengan meningkatnya keberadaan T-helper 2 cells (Th2) ketika seseorang terinfeksi oleh salah satu jenis cacing perut (T. trichiura, A. lumbricoides dll).4 Secara umum, infeksi ringan yang trichuriasis merupakan asimptomatik atau tidak adanya gejala. Akan tetapi ketika sudah mencapai tingkat tinggi, penderita dapat mengalami diare kronis, yang biasanya timbul darah atau lendir. Prolapsus rekti juga merupakan salah satu manifestasi klini pada penderita dengan infeksi tingkat tinggi, yaitu dimana rektum dari seseorang menyelinap keluar dari tubuh, biasanya pada saat mengejan ketika defekasi. Selain itu, infeksi T. trichiura yang paling sering ditemukan adalah gangguan pada pencernaan seperti nyeri pada abdomen, kembung pada perut, mual, muntah, gangguan pada rektum, defekasi tidak teratur, dan rasa sakit pada perut. Gejala yang sering ditemukan pada anak adalah kekurangan gizi, penurunan berat badan, terhambatnya pertumbuhan, anemia serta anorexia.3, 4 Beberapa ahli mengatakan bahwa adanya hubungan dengan penyakit seperti HIV/AIDS, malaria, dan tuberkulosis walaupun masih belulm ada kepastian mengenai hal tersebut karena perbedaan pendapat.16, 17 Obat untuk mengatasi infeksi T. trichiura adalah mebendazol, albendazol dan oksantel pirantel pamoat.18, 19 Mebendazol digunakan dengan dosis tunggal 500 mg, albendazol 400 mg dan oksantel pirantel pamoat 15 mg/kg BB. Pada infeksi berat obat diberikan 3 hari berturut-turut. Prinsip pencegahan trikuriasis adalah memutuskan rantai penularan dan mencegah tertelannya telur infektif. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan buang air besar di WC dan menghindari pencemaran tanah dengan telur T. trichiura. Selain itu, menghindari penelanan materi yang telah terkontaminasi dengan tanah yaitu dengan mencuci tangan serta mengkonsumsi hidangan yang bersih. Ketika memasak makanan mentah dianjurkan dibersihkan terlebih dahulu, walaupun ketika dimasak telur cacing biasanya mati. Setelah itu, peminuman air yang tidak terfiltrasi tidak dianjurkan. Biasakan air yang diminum telah difiltrasi atau direbus terlebih dahulu sebelum dikonsumsi.4 Pencegahan sekunder terkait dengan pencegahan infeksi cacingan adalah edukasi yang cukup untuk membekali seseorang, terutama anak kecil, agar tidak terinfeksi T trichiura. Edukasi dapat disampaikan dalam berbagai cara, yaitu dapat secara formal maupun secara informal. Penyampaian di sekolah atau di lembaga pendidikan lainnya termasuk penyampaian formal, akan tetapi, terkadang pencegahan sekunder tidak cukup hanya formal, tetapi juga dibantu dengan edukasi informal yaitu ketika diberikan dirumah oleh orangtua ataupun oleh anggota keluarga lainnya. Universitas Indonesia Tingkat Pengetahuan..., Adwin Haryo Indrawan Sumartono, FK UI, 2014 Metode Penelitian Penelitian dilakukan dengan metode cross-sectional dengan pengkajian analitik. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara tingkat pengetahuan T. trichiura dengan santri yang sedang menjalani pendidikan setara dengan SMP dan SMA. Penelitian tentang hubungan antara tingkat pengetahuan T. trichiura dengan santri dilakukan pada 22 Januari 2011, di Pesantren X, Jakarta Timur. Populasi target penelitian ini adalah santri pesantren. Populasi terjangkau penelitian ini adalah santri Pesantren X, Jakarta Timur. Seluruh santri Pesantren X dijadikan subjek penelitian (total sampling). Tidak ada kriteria inklusi dan eksklusi pada penelitian ini karena semua santri diikutsertakan. Peneliti menggunakan metode total sampling karena seluruh santri dijadikan subjek penelitian. Variabel dependen penelitian ini adalah tingkat pengetahuan mengenai T. trichiura. Variabel independen penelitian ini adalah karakteristik santri. Lalu variabel perancu yang dipakai adalah keadaan sosial ekonomi dan pendidikan orangtua. Sebelum pelaksanaan pengambilan data, peneliti menjelaskan kepada santri mengapa melakukan penelitian dan apa yang akan dilakukan. Setelah itu, peneliti meminta izin kepada santri subjek untuk melakukan penelitian. Setelah mendapat persetujuan, peneliti memberikan kuesioner kepada subjek yang berisi pertanyaan mengenai T. trichiura. Selain itu, kuesioner juga berisi pertanyaan data demografi berupa jenis kelamin, tingkat pendidikan, jumlah informasi, dan sumber informasi paling berkesan. Soal kuesioner 6-10 mengenai pengetahuan T. trichiura merupakan pertanyaan pilihan ganda. Penilaian terhadap tiap soal tergantung dari pilihan jawaban responden pada soal yang terkait. Tiap soal disediakan 4 pilihan jawaban dengan beberapa pilihan bernilai 0, 1, 4, dan 5 tergantung pada soal yang terkait. Subjek diberi waktu mengisi kuesioner hingga terisi lengkap. Setelah pengisian selesai, kuesioner dikumpulkan dan diperiksa kelengkapannya. Apabila terdapat subjek yang mengosongkan satu nomor atau lebih pertanyaan dalam kuesioner, subjek diminta untuk mengisi kembali hingga lengkap. Pengolahan data penelitian ini akan menggunakan program SPSS for Windows version 16. Setelah dilakukan pengolahan data, data tersebut disajikan dalam bentuk tabel. Data yang didapatkan dari pengisian kuesioner akan diperiksa kelengkapan dan kesesuaiannya segera setelah pengambilan data selesai. Setelah dipastikan lengkap dan sesuai, data yang diperoleh diklasifikasikan sesuai dengan skala pengukurannya masing-masing yaitu numerik, ordinal, dan nominal. Karakteristik santri diklasifikasikan ke dalam skala ordinal. Akumulasi nilai pengetahuan Universitas Indonesia Tingkat Pengetahuan..., Adwin Haryo Indrawan Sumartono, FK UI, 2014 responden tentang T. trichiura akan diklasifikasikan ke dalam skala ordinal. Data yang termasuk skala ordinal maupun nominal akan diolah dengan distribusi frekuensi. Setelah itu dilakukan uji statistik komparatif untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara pengetahuan mengenai T. trichiura dengan santri Pesantren X, Jakarta Timur. Selain itu, analisis variabel yang dilakukan adalah uji chi square dan uji Kolmogorov-Smirnov. Penyajian data dilakukan dalam bentuk tabel yang dilengkapi dengan penjelasan deskriptif. Selain itu, karakteristik santri yang mencakup jenis kelamin, tingkat pendidikan, jumlah sumber informasi, sumber informasi paling berkesan, dan tingkat pengetahuan mengenai T. trichiura disajikan dalam tabel distribusi frekuensi. Santri dimintakan persetujuannya secara lisan untuk mengikuti penelitian ini. Jika santri bersedia mereka diikutsertakan dan jika tidak bersedia mereka tidak diikutsertakan. Data yang diperoleh untuk kepentingan penelitian ini peneliti akan dijaga kerahasiaan dan kebenarannya. Setelah pengambilan data selesai, peneliti memberikan souvenir sebagai tanda terima kasih. Data yang tersedia kemudian akan dimasukkan dan diolah menggunakan SPSS for Windows version 16 melalui editing, coding, cleaning, dan entry. Analisis univariat digunakan untuk melihat penyajian distribusi frekuensi dari analisis distribusi variabel dependen dan variabel independen.Analisis bivariat digunakan untuk melihat hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Universitas Indonesia Tingkat Pengetahuan..., Adwin Haryo Indrawan Sumartono, FK UI, 2014 Hasil Penelitian ini dilakukan di Pesantren X yang merupakan institusi pendidikan Islam yang berada di daerah Jakarta Timur dan terdiri dari madrasah tsanawiyah dan madrasah aliyah. Pesantren ini memiliki luas tanah 12 500 m2 dan luas bangunan 7 050 m2. Pesantren tersebut memiliki fasilitas asrama putra dengan 6 kamar, asrama putri dengan 2 rumah tanpa kamar, 1 masjid, 1 aula, 1 perpustakaan, 2 bangunan sekolah, 1 wartel, 1 lapangan utama, 1 lapangan bawah, 1 laboratorium komputer, 1 kantin, 1 pos kesehatan pesantren, dan 1 toko buku. Melihat fasilitas yang beragam tersebut, Pesantren X merupakan pesantren yang cukup memadai. Kondisi bangunan di Pesantren X tergolong cukup baik, terutama masjidnya. Ketika mengambil data penelitian, pusat kegiatan ditujukan pada masjid dikarenakan penyuluhan dan pemberian latar belakang mengapa melakukan penelitian dilakukan masjid tersebut. Selain masjid, aula juga merupakan tempat penting ketika Pesantren X kedatangan tamu, seperti ketika pengambilan data penelitian ini. Aula tersebut juga digunakan untuk memberikan pengobatan massal kepada santri. Fasilitas lainnya seperti laboratorium komputer digunakan santri hanya pada saat pembelajaran berlangsung, bukan untuk rekreasi di waktu luang. Walaupun demikian, santri tetap mendapatkan akses menonton televisi. Selain itu, Pesantren X kedatangan dokter tiap bulannya yang memeriksa keluhan santri. Pemeriksaan tersebut hanya sebatas pemeriksaaan ringan tanpa melakukan penyuluhan kepada santri. Tempat penginapan santri perempuan merupakan sebuah ruangan tanpa sekat yang berkapasitas 30 anak, sementara di asrama laki-laki terdapat ruangan bersekat. Santri saling meminjam perlengkapan tidur seperti bantal dan selimut. Pesantren X memiliki 120 santri madrasah tsanawiyah dan 100 santri madrasah aliyah. Jumlah guru pesantren berjumlah 36 orang dan pengurus pesantren berjumlah 15 orang. Saat penelitian, sebagian santri pulang kerumah sehingga jumlah santri yang diikutsertakan dalam penelitian sebanyak 154 orang. Di Pesantren X banyaknya jumlah laki-laki adalah 91 orang (59,1%) dan perempuan 63 orang (40,9%). Selain itu, lebih dominan santri dengan tingkat pendidikan tsanawiyah yakni, 81 orang (52,6%) dibandingkan santri aliyah, yakni 73 orang (47,4%). Tabel 4.2.1 menunjukkan responden paling banyak mendapatkan jumlah sumber informasi sebanyak 3 sumber (50%) yang diikuti oleh jumlah sumber informasi sebanyak 4 sumber (21,4%). Universitas Indonesia Tingkat Pengetahuan..., Adwin Haryo Indrawan Sumartono, FK UI, 2014 Tabel 4.2.1 Sebaran Responden Berdasarkan Jumlah Informasi Jumlah Sumber Informasi Jumlah Persentase Tidak Ada 0 0 1 Sumber Informasi 1 0,6 2 Sumber Informasi 26 16,9 3 Sumber Informasi 77 50 4 Sumber Informasi 33 21,4 5 Sumber Informasi 11 7,1 6 Sumber Informasi 4 2,6 7 Sumber Informasi 1 0,6 8 Sumber Informasi 1 0,6 Tabel 4.2.2 menunjukkan bahwa sumber informasi paling berkesan terbanyak berasal dari dokter (51,9%). Setelah itu diikuti dengan informasi dari orangtua (27,3%) lalu dari guru (12,3%). Tabel 4.2.2 Sebaran Responden Berdasarkan Informasi Paling Berkesan Sumber Informasi Paling Berkesan Jumlah Persentase Guru 19 12,3 Dokter 80 51,9 Teman 1 0,6 Orangtua 42 27,3 Internet 6 3,9 Radio 0 0 TV 5 3,2 Koran 1 0,6 Majalah 0 0 Universitas Indonesia Tingkat Pengetahuan..., Adwin Haryo Indrawan Sumartono, FK UI, 2014 Lain-lain 0 0 Di Pesantren X terdapat 9 santri (5,8%) memiliki tingkat pengetahuan mengenai T. trichiura yang baik, 28 santri (18,2%) memiliki pengetahuan cukup, serta 117 santri (76%) memiliki pengetahuan rendah. Berdasarkan tabel 4.2.3, dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smornov didapatkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna (p>0,05) antara tingkat pengetahuan T. trichiura dengan tingkat pendidikan dan informasi paling berkesan. Uji chi square memberikan hasil bahwa tidak ada perbedaan bermakna (p>0,05) antara tingkat pengetahuan T. trichiura dengan jumlah sumber informasi, namun berbeda bermakna (p<0,05) dengan jenis kelamin. Variabel Kategori Tingkat Pengetahuan Cacingan P Uji Kurang Jenis Kelamin Tingkat Cukup Baik Laki-laki 59 23 9 Perempuan 58 5 0 Tsanawiyah 63 15 3 0 chi- square 1 Kolmogorov- Universitas Indonesia Tingkat Pengetahuan..., Adwin Haryo Indrawan Sumartono, FK UI, 2014 Pendidikan Aliyah 54 13 6 Jumlah Sumber Informasi ≤3 83 17 4 >3 34 11 5 Informasi Paling Berkesan No Sumber Langsung 105 28 9 6 Smirnov 0,183 0,44 Media Pertanyaan Cacing cambuk paling banyak ditemukan pada... Skor 12 Jumlah 0 Persentase 0 58 37,7 1 53 34,4 4 43 27,9 0 Skor total 225 Skor maks 770 chi- square KolmogorovSmirnov Persentase Skor 29,2 Tabel 4.2.3 Tingkat Pengetahuan Responden Mengenai Trichuris trichiura dengan Karakteristik Demografi Santri Universitas Indonesia Tingkat Pengetahuan..., Adwin Haryo Indrawan Sumartono, FK UI, 2014 7 8 9 10 Cacing yang bentuknya seperti cambuk disebut... 0 105 68,2 5 49 31,8 Cacing cambuk hidup di... 0 78 50,6 5 76 49,4 Manusia dapat terinfeksi cacing cambuk dengan cara... 0 71 46,1 5 83 53,9 Cacing cambuk memperoleh makanan dengan cara... 0 65 42,2 1 30 19,5 4 59 38,3 245 770 31,8 380 770 49,4 415 770 53,9 226 770 29,3 Tabel 4.2.4 menunjukkan sebaran responden berdasarkan skor pada soal 6-10. Hasil menunjukkan bahwa hanya pada soal nomor 9 sebagian besar responden mendapatkan skor paling tinggi (skor 5), yakni sebesar 53,9 %. Lain halnya pada nomor 7, yang merupakan soal dimana responden paling banyak salah menjawab pertanyaan (skor 0), yakni sebesar 68,2%. Tabel 4.2.4 Sebaran Responden Berdasarkan Skor Soal Kuesioner Pembahasan Manusia dalam bertindak akan didasarkan oleh suatu pengetahuan atau kognitif. Jika pengetahuan merupakan basis dari kesadaran seseorang untuk bertindak, maka kesadaran tersebut akan bertahan lama. Di sisi lain, apabila tindakan tidak berdasarkan oleh pengetahuan maka tidak akan berlangsung lama. Dalam konteks penelitian ini, pengetahuan mengenai T. trichiura yang Universitas Indonesia Tingkat Pengetahuan..., Adwin Haryo Indrawan Sumartono, FK UI, 2014 semakin baik akan memicu kesadaran yang semakin baik tentang bahaya trikuriasis. Albright et al29 menyampaikan bahwa siswa SD di Jawa Tengah yang telah ditingkatkan pengetahuannya mengenai STH melalui penyuluhan memiliki upaya pencegahan infeksi yang jauh lebih baik. Berdasarkan data diatas, upaya peningkatan tingkat pengetahuan mengenai T. trichiura perlu dilakukan agar infeksi dapat dihindari. Pemberian penyuluhan diutamakan kepada masyarakat dengan faktor risiko yang tinggi, seperti target penyuluhan pada penelitian ini yaitu santri di pesantren. Pengetahuan Responden Mengenai Trichuris trichiura Pengetahuan mengenai T. trichiura meliputi banyak hal diantaranya, morfologi, epidemiologi, siklus hidup, serta patogenesis. Berdasarkan hasil penelitian ini, sebagian besar responden memiliki tingkat pengetahuan mengenai T. trichiura yang rendah yaitu 76%. Selain itu masih terdapat 18,2% yang memiliki pengetahuan mengenai T. trichiura cukup serta 5,8% memiliki tingkat pengetahuan baik. Sebelumnya telah ditetapkan bahwa pengetahuan responden akan memenuhi standar jika melebihi 80%. Dari hasil penelitian terlihat bahwa standar yang ditetapkan tersebut masih sangat jauh. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kesadaran mengenai T. trichiura pada Pesantren X masih sangat kurang. Rendahnya tingkat pengetahuan mengenai T. trichiura dapat disebabkan oleh berbagai hal. Salah satu penyebabnya adalah di dalam kurikulum pesantren mata pelajaran biologi tsanawiyah tidak diajarkan pengetahuan mengenai T. trichiura. Selain itu, santri madrasah aliyah berasal dari program studi ilmu pengetahuan sosial (IPS). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Subahar30 di Duren Sawit, Jakarta Timur yang juga menyatakan bahwa tingkat pengetahuan responden mengenai cacingan adalah rendah (93,05%). Di sisi lain, penelitian Sekartini et al31 mendapatkan hasil sebagian besar responden (59,6%) yang merupakan ibu yang memiliki anak usia SD di Pisangan Baru, Jakarta Timur memiliki tingkat pengetahuan baik mengenai cacingan. Perbedaan hasil tersebut dikarenakan perbedaan responden penelitian. Pada penelitian Sekartini et al31 mengikutsertakan ibu rumah tangga sebagai responden sedangkan penelitian ini dan Subahar30 mengikutsertakan murid sekolah. Berdasarkan hasil penelitian ini, pada soal nomor 6 sebagian besar santri menjawab pertanyaan dengan salah atau mendapatkan skor 0 (37,7%), sedangkan 34,4% dapat skor 1, dan 27,9% dapat skor 4. Selain itu, jumlah skor total seluruh santri adalah 225 dari maksimal 770. Dengan demikian persentase skor pada soal nomor 6 sebesar 29,2%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar responden belum mengerti bahwa cacing cambuk paling banyak ditemukan di anak usia kurang dari 5 tahun. Begitu pula dengan soal nomor 7, dimana sebagian besar santri (68,2%) menjawab soal dengan salah. Selain itu, persentase skor pada nomor 7 sebesar 31,8% Hal itu menunjukkan responden belum paham nama lain dari cacing cambuk, yakni Trichuris trichiura. Universitas Indonesia Tingkat Pengetahuan..., Adwin Haryo Indrawan Sumartono, FK UI, 2014 Pada soal nomor 8, responden yang menjawab soal dengan benar sebesar 49,4% sedangkan yang menjawab salah sebesar 50,6%. Dengan demikian, selisih persentase antara jawaban benar dan salah hanya 12%, tetapi sebagian besar responden tetap menjawab pertanyaan dengan salah. Selain itu, responden juga menunjukkan perbaikan skor dibandingkan dengan nomor sebelumnya yaitu sebesar 49,4% Walaupun demikian, hasil tersebut tetap menunjukkan bahwa responden mengetahui masih belum mengetahui bahwa cacing cambuk dewasa hidup di usus besar. Pada nomor 10, sebagian besar responden salah menjawab soal atau mendapat skor 0 (42,2%), 19,5% mendapat skor 1, dan 38,3% dapat skor 4. Persentase skor pada nomor 10 cukup rendah yakni sebesar 29,3% sehingga menunjukkan bahwa responden belum mengetahui cacing cambuk menginfeksi manusia dengan cara menghisap zat gizi. Dari empat nomor mayoritas responden menjawab salah, pada nomor 9 sebagian besar responden menjawab benar yakni 53,9%. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar responden sudah mengerti bahwa manusia terinfeksi cacing cambuk dengan masuknya telur cacing cambuk. Dari lima soal yang menanyakan T. trichiura hanya satu soal yang sebagian besar responden menjawab dengan benar yaitu soal nomor 9. Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan santri mengenai T. trichiura tergolong rendah. Tingkat Pengetahuan Responden dengan Jenis Kelamin Pada penelitian ini, pengetahuan laki-laki lebih baik dibandingkan dengan perempuan dikarenakan terdapat 9 santri laki-laki dengan pengetahuan baik sedangkan tidak ada santri perempuan yang memiliki pengetahuan baik. Pada uji chi square terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan T. trichiura dengan jenis kelamin responden. Penelitian ini sesuai dengan laporan Oktarina32 yang menyatakan terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan mengenai HIV/AIDS dengan jenis kelamin. Di sisi lain, penelitian Benthem et al (dikutip dari Fadhlan33) yang meniliti tingkat pengetahuan masyarakat di Thailand Utara bertolak belakang dengan penelitian ini karena menunjukkan hasil bahwa tingkat pengetahuan mengenai DBD tidak berhubungan dengan jenis kelamin responden. Tingkat Pengetahuan Responden dengan Tingkat Pendidikan Pada penelitian ini tingkat pengetahuan mengenai T. trichiura pada murid aliyah lebih tinggi dibandingkan tsanawiyah namun pada uji Kolmogorov Smirnov tidak berbeda bermakna yang berarti tidak berhubungan dengan tingkat pendidikan. Hal itu disebabkan, santri hidup di lingkungan yang sama dan bersekolah di tempat yang pula. Hasil penelitian sesuai dengan Universitas Indonesia Tingkat Pengetahuan..., Adwin Haryo Indrawan Sumartono, FK UI, 2014 penelitian Ismid,34 yang mendapatkan tingkat pengetahuan mengenai cacingan pada ibu yang mempunyai balita tidak berhubungan dengan tingkat pendidikan ibu. Tingkat Pengetahuan Responden dengan Jumlah Informasi Sumber informasi yang didapatkan oleh seseorang tentu ada pengaruhnya terhadap kehidupan orang tersebut. Jika seseorang menerima informasi yang banyak, maka pengetahuan orang tersebut semakin banyak juga. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Marini (dikutip dari Sari35), yang menyatakan bahwa semakin banyak jumlah informasi yang didapatkan seseorang, baik melalui media langsung maupun tidak langsung, maka pengetahuan mereka akan canderung lebih baik. Dalam konteks penelitian ini, sumber informasi mengenai cacingan dengan jumlah banyak secara langsung menambah wawasan orang yang menerima informasi tersebut sehingga menimbulkan kesadaran akan bahaya cacingan. Dari paparan teori diatas, hasil pada penelitian ini tidak cocok dengan teori tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan responden mengenai T. trichiura dengan jumlah informasi. Hal tersebut mungkin terjadi karena jumlah informasi yang banyak bukan berarti kualitas baik. Terkadang santri mendapatkan informasi dari satu sumber tetapi tidak teruji kebenarannya sehingga mungkin bagi santri untuk mendapatkan pengetahuan yang salah. Tingkat Pengetahuan Responden dengan Informasi Paling Berkesan Teknologi yang berkembang sangat cepat, khususnya teknologi informasi dan komunikasi, merupakan ujung tombak dari proses globalisasi. Segelintir dari teknologi informasi merupakan media cetak (koran, majalah) dan media elektronik (TV, Internet, radio). Hal ini sesuai oleh pernyataan Suharyono (dikutip dari Sari35) yang mengatakan bahwa dewasa ini media informasi sudah banyak mengalami perkembangan sehingga masyarakat sangat mudah mendapatkan informasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan responden dengan informasi paling berkesan yang mereka peroleh. Hasil dari sebaran menunjukkan informasi paling berkesan menurut responden bukan berasal dari media, melainkan dari sumber langsung yakni informasi dari dokter (51.9%). Selain itu, informasi orangtua (27.3%) juga dianggap berkesan oleh responden. Hal tersebut mungkin disebabkan informasi dari dokter jarang diberikan kepada santri karena dokter hanya datang satu kali tiap bulan. Dengan demikian, walaupun informasi paling berkesan berasal dari dokter, tetapi karena kurangnya pertemuan antara dokter dengan santri maka tidak terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan mengenai T. trichiura. Kesimpulan Universitas Indonesia Tingkat Pengetahuan..., Adwin Haryo Indrawan Sumartono, FK UI, 2014 1. Di Pesantren X, 117 santri (76%) memiliki tingkat pengetahuan mengenai T. trichiura yang rendah, 28 santri (18,2%) cukup, dan 9 santri (5,8%) baik. 2. Karakteristik Pesantren X, Jakarta Timur adalah 59,1% laki-laki, 40,1% perempuan, 52,6% murid tsanawiyah dan 47,4% murid aliyah. 3. Tingkat pengetahuan santri mengenai T. trichiura berhubungan dengan jenis kelamin tetapi tidak berhubungan dengan tingkat pendidikan, jumlah sumber informasi dan sumber informasi yang paling berkesan. Saran 1. Tingkat pengetahuan santri mengenai T. trichiura harus ditingkatkan dengan memberikan edukasi berupa penyuluhan dengan memperhatikan jawaban salah pada kuesioner agar tidak mengulangi kesalahan. 2. Penyuluhan diberikan pada semua santri dengan memperhatikan jenis kelamin tetapi tidak memperhatikan tingkat pendidikan dan sumber informasi. 3. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui perilaku santri dalam mencegah trikuriasis. Universitas Indonesia Tingkat Pengetahuan..., Adwin Haryo Indrawan Sumartono, FK UI, 2014 Daftar Referensi 1.Bethony J, Brooker S, Albonico M, Geiger SM, Loukas A, Diement D, et al. Soil-transmitted helminth infections: ascariasis, trichuriasis, and hookworm. Lancet. 2006; 367: 1520-4. 2. Mardiana, Djarismawati. Prevalensi cacing usus pada murid sekolah dasar wajib belajar pelayanan gerakan terpadu pengentasan kemiskinan daerah kumuh. Jurnal Ekologi Kesehatan. 2008:7( 2):769-74. 3. Diniz-Santos DR, Jambeiro J, Mascarenhas RR, Silva LR. Massive T. trichiura infection as a cause of chronic bloody diarrhea in a child. J Trop Pediatr. 2006 Feb;52(1):66-8. 4. Muller R, Wakelin D. Worms and human diseases. CABI Publishing: New York; 2002. 5. Menholrn, H. Encyclopedic reference of parasitology: Trichuris trichiura. 2001; Part 20, 652. Diunduh dari: DOI: 10.1007/3-540-29834-7_1493 [cited 2011 Jan 17] 6. Ok K, Kim Y, Song J, Lee H, Ryu S, Lee J, et.al. Trichuris trichiura infection diagnosed by colonoscopy: case reports and review of literature. Korean J Parasitol. 2009;47(3): 275-90. 7. Diaz, J. Trichuriasis. Stanford University. 2005. Diunduh dari: http://www.stanford.edu/group/parasites/ParaSites2005/Trichuris/Untitled-12.htm [cited 10 Jan. 2011] 8. Donkor K, Lundberg S. Trichuris trichiura. olive view internal medicine, University of California Los Angeles Medical Center. 2009. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/788570-overview [cited 10 Jan. 2011] 9. Mwambete KD, Kalison N. Prevalence of intestinal helminthic infection among underfives and knowledge on helminthiases among mothers of the underfices in Dar Es Salaam, Tanzania. East African Journal of Public Heath. 2006; (3)1:8-11. 10. Tanner S, Leonard WR, McDade TW, Reyes-Garcia V, Godoy R, Huanca T. Influence of helminth infection on childhood nutritional status in Lowland Bolivia. American Journal of Human Biology. 2009; 21:651–6. 11. Ryan KJ, Ray CG, Ahmad N, Drew WL, Plorde JJ. Sherris medical microbiology 5th edition. Philadelhia: McGraw-Hill Companies; 2010. 12. de Silva N, Brooker S, Hotez P, Montresor A, Engels D, Savioli L. Soil-transmitted helminthic infections: updating the global picture. Disease Control Priorities Project. 2003; 40-4. 13. Montresor A, Gyorkos TW, Crompton DWT, Bundy DAP, Savioli L. Monitoring Helminths Control Programmes. WHO. 2009; 36-42 14. Gai L, Ma X, Fu Y, Huang D. Relationship between the rate of parasitic infection and the knowledge of prevention. Shanghai Municipal Institute of Parasitic Disease Control and Research. 1995;13(4):269-72. 15. Chang CW, Chang WH, Shih SC, Wang TE, Lin SC, Bair MJ. Accidental diagnosis of Trichuris trichiura by colonoscopy. Gastrointest Endosc. 2008 Jul;68(1):154. Universitas Indonesia Tingkat Pengetahuan..., Adwin Haryo Indrawan Sumartono, FK UI, 2014 16. Nimir AR, Aziz MS, Tan GC, Shaker AR. Massive lower gastrointestinal bleeding attributable to heavy whipworm infection and Salmonella typhi co-infection: a case report. Cases J. 2009 Sep; 16(2):8285 17. Mascarini-Serra LM, Telles CA, Prado MS, Mattos SA, Strina A, Alcantara-Neves NM, et al. Reductions in the prevalence and incidence of geohelminth infections following a city-wide sanitation program in a Brazilian Urban Centre.” PLoS Neglected Tropical Diseases. 2010 Feb 2; 4(2):588 18. Legesse M, Erko B, Medhin G. Comparative efficacy of albendazole and three brands of mebendazole in the treatment of ascariasis and trichuriasis. East Afr Med J. 2004 Mar; 81(3):134-8. 19. Keiser J, Utzinger J. Efficacy of current drugs against soil-transmitted helminth infections: systematic review and meta-analysis. JAMA. 2008 Apr 23;299(16):1937-48 20. Dictionary (2010). Age- Definition. Diunduh dari: http://dictionary.reference.com/browse/age [cited 17 Jan 2011] 21. Merriam-Webster Dictionary (2010). Age- the Definition. Diunduh dari: http://www.merriamwebster.com/dictionary/hyper- [cited 17 Jan 2011] 22. WHO. What do we mean by "sex" and "gender"?. 2011. Diunduh dari: http://www.who.int/gender/whatisgender/en/index.html. [cited 17 Jan 2011] 23. Dictionary (2010). Source- Definition. Diunduh dari: http://dictionary.reference.com/browse/source [cited 17 Jan 2011] 24. Merriam-Webster Dictionary (2010). Information- the Definition. Diunduh dari: http://www.merriam- webster.com/dictionary/information [cited 17 Jan 2011] 25. Chandra SS, Sharma RK. Principles of education. New York: Atlantic Publishers & Distributors ; 2004; pg: 77-79 26. United States Department of Education. Commission reports: a national dialogue: the secretary of education's commission on the future of higher education. 2006 27. UNESCO. Education for all monitoring report net enrollment rate in primary education. 2008 28. Lukens-Bull, R. A peaceful jihad: negotiating identity and modernity in muslim Java. New York: Palgrave McMillian; 2005. Pg. 44-45 29. Albright JW, Hidayati NR, Basaric-Keys J. Behavioral and hygienic characteristics of primary schoolchildren which can be modified to reduce the prevalence of geohelminth infections: a study in Central Java, Indonesia. Washington DC: International Relief and Development,;2005; 36(3): 10-12 30. Subahar R, Susanto L. A. Lumbricoides eggs and human-intestinal protozoan cysts found in river water of Angke River, Jakarta. Makara Kesehatan; 2008; 12: 83-5 31. Sekartini R, Wawolumaya C, Kesume W, Memy YD, Yulianti, Syihabul S et al. Pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu yang memiliki anak usia sd tentang penyakit cacingan di Kelurahan Pisangan Baru, Jakarta Timur. Jakarta: FKUI; 2001 Universitas Indonesia Tingkat Pengetahuan..., Adwin Haryo Indrawan Sumartono, FK UI, 2014 32. Oktarina, Hanafi S, Budisuari MA. Hubungan antara karakteristik responden, keadaan wilayah dengan pengetahuan, sikap terhadap HIV/AIDS pada masyarakat Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. 2009; 12(4):362-9 33. Fadhlan A. Tingkat pengetahuan siswa Madrasah Tsanaiyah Negeri Bayah mengenai pemberantasan sarang nyamuk DBD setelah penyluhan [skripsi]. Jakarta. Universitas Indonesia; 2010 34. Ismid IS, santoso B, Rushwandi, Mulyadi. Pengetahuan mengenai askariasis pada ibu yang mempunyai anak balita. Seminar Parasitologi Nasional, Bogor;1998 35. Sari A. Tingkat pengetahuan ibu rumah tangga yang telah mendapatkan penyuluhan mengenai gejala DBD di Paseban Timur, Jakarta Pusat [skripsi]. Jakarta. Universitas Indonesia; 2010 Universitas Indonesia Tingkat Pengetahuan..., Adwin Haryo Indrawan Sumartono, FK UI, 2014