tingkat pengetahuan mengenai trichuris trichiura

advertisement
TINGKAT PENGETAHUAN MENGENAI TRICHURIS
TRICHIURA
DAN HUBUNGANNYA DENGAN KARAKTERISTIK
DEMOGRAFI SANTRI DI PESANTREN X, JAKARTA TIMUR
Adwin Haryo Indrawan Sumartono
Saleha Sungkar
Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran
[email protected]
Abstrak
Judul
:
Tingkat Pengetahuan Mengenai Trichuris trichiura dan Hubungannya dengan
Karakteristik Demografi Santri di Pesantren X, Jakarta Timur
Trikuriasis merupakan masalah kesehatan masyarakat di daerah tropis. Di Jakarta prevalensi
trikuriasis tergolong tinggi dengan prevalensi tertinggi di Jakarta Timur (41,7%). Di Jakarta
Timur, terdapat pesantren dengan kepadatan santri yang tinggi dan fasilitas sanitasi terbatas
sehingga diperlukan penyuluhan agar terhindar trikuriasis. Agar diterima dengan baik, penyuluhan
harus diberikan sesuai pengetahuan yang dimiliki dan karakteristik santri. Karena itu penelitian ini
bertujuan mengetahui tingkat pengetahuan santri mengenai T. trichiura dan hubungannya dengan
karakteristik santri. Penelitian dilakukan di Pesantren X, Jakarta Timur dengan desain crosssectional. Data diambil tanggal 22 Januari 2011 dengan memberikan kuesioner berisi pertanyaan
mengenai T. trichiura kepada semua santri. Data diolah dengan program SPSS versi 16 dan
dianalisis dengan uji chi square dan Kolmogorov-Smirnov. Hasilnya menunjukkan santri yang
memiliki tingkat pengetahuan baik 9 orang (5,8%), cukup 28 orang (18,2%), dan pengetahuan
rendah 117 orang (76%). Tidak terdapat perbedaan bermakna antara tingkat pengetahuan dengan
pendidikan dan sumber informasi paling berkesan (Kolmogorov-Smirnov, p>0,05), jumlah
informasi (chi square, p=0,183), namun terdapat perbedaan bermakna (chi square, p<0,05) antara
tingkat pengetahuan mengenai T. trichiura dengan jenis kelamin.
Disimpulkan tingkat
pengetahuan mengenai T. trichiura tidak berhubungan dengan tingkat pendidikan, jumlah
informasi dan sumber informasi paling berkesan tetapi berhubungan dengan jenis kelamin.
Kata kunci: Trichuris trichiura, tingkat pengetahuan, karakteristik, santri
Universitas Indonesia
Tingkat Pengetahuan..., Adwin Haryo Indrawan Sumartono, FK UI, 2014
Abstract
Title
: The Level of Knowledge on Trichuris trichiura and its Association
with Demographic Characteristics of Students in Pesantren X, East
Jakarta
Trichuriasis has become a public health problem in the tropics. In Jakarta, trichuriasis
prevalence is high with the highest prevalence in East Jakarta (41.7%). In East Jakarta, there
are boarding schools with students who are highly populated with limited sanitation facilities so
that it is necessary to give health promotions to avoid trichuriasis. Education should be given with
appropriate level of knowledge and demographic characteristics of students.Therefore this
study aims to determine the level of knowledge students on T. trichiura and its relation to the
characteristics of students. The study was conducted in Pesantren X, East Jakarta with crosssectional design. Data was taken on January 22, 2011 by distributing questionnaire which had
questions about T. trichiura to all students. Data was processed with SPSS version 16
and analyzed by chi square and Kolmogorov-Smirnov tests. The results showed that students have
a good level of knowledge were 9 people (5.8%), fair 28 people (18.2%), and poor knowledge 117
people (76%). There were no significant differences between the level of knowledge with their
grades, information sources most memorable (Kolmogorov-Smirnov, p> 0.05), and the amount of
information (chi square, p = 0.183), but there were significant differences between the level of
knowledge on T. trichiura with their sex (chi square, p< 0.05). Therefore, level of knowledge
about T. trichiura was not associated with level of education, the amount of information and most
memorable information sources but was associated with their sex.
Keywords : Trichuris trichiura, level of knowledge, characteristics, students
Universitas Indonesia
Tingkat Pengetahuan..., Adwin Haryo Indrawan Sumartono, FK UI, 2014
Pendahuluan
Infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah (soil-transmitted helminths/STH) merupakan
salah satu penyakit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat terutama di negara tropis.
Diperkirakan lebih dari satu miliar orang di seluruh dunia terinfeksi STH.1 Di Indonesia prevalensi
STH berkisar 60-90%.2 STH banyak menginfeksi balita dan anak usia sekolah yang biasanya
dibawah 5 tahun karena anak-anak lebih sering kontak dengan tanah dibandingkan orang dewasa.
Cacing yang termasuk STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, cacing
tambang, dan Strongyloides stercoralis namun di daerah dengan kondisi tanah berjenis tanah liat,
STH yang paling sering ditemukan adalah A. lumbricoides dan T. trichiura. STH banyak terdapat
di daerah padat penduduk dengan higiene dan sanitasi yang kurang baik serta keadaan sosial
ekonomi yang rendah.
DKI Jakarta adalah daerah yang kondisi tanahnya adalah tanah liat sehingga infeksi yang
disebabkan T. trichiura (trikuriasis) sering ditemukan. Prevalensi trikuriasis pada murid SD di
DKI Jakarta tergolong tinggi yaitu 48,1%. Di Jakarta Timur prevalensi T. trichiura pada murid SD
adalah 41,7%, Jakarta Selatan 31,6%, Jakarta Barat 25,3%, dan Jakarta Utara 20%.2
Prevalensi trikuriasis paling tinggi di Jakarta Timur karena daerah tersebut sering mengalami
banjir. Pada saat banjir, telur cacing yang terdapat di saluran pembuangan air (got) dan sungai
akan mencemari tanah di lingkungan warga. Selanjutnya jika anak-anak bermain di tanah maka
telur akan melekat di tangan dan jika anak makan tanpa mencuci tangan maka mereka akan
terinfeksi trikuriasis.
Trikuriasis pada anak dapat menimbulkan berbagai gejala. Pada infeksi ringan biasanya
asimtomatis sedangkan pada infeksi berat dapat terjadi mual, muntah, diare, sindrom disentri,
malnutrisi, dan anemia.3 Diare dan sindrom disentri secara sering dapat mengakibatkan prolapsus
rekti. Berbagai gejala tersebut pada akhirnya mengakibatkan pertumbuhan fisik terhambat,
penurunan kualitas hidup dan kecerdasan anak.4
Berdasarkan uraian di atas perlu dilakukan upaya pencegahan trikuriasis pada anak
dengan cara memberikan penyuluhan mengenai trikuriasis. Lokasi kegiatan yang dipilih adalah
Pesantren X di Jakarta Timur karena santri yang tinggal di Pesantren X cukup banyak dan hidup
dalam lingkungan yang padat dengan sanitasi kurang memadai. Selain itu, umumnya santri berasal
dari keluarga dengan status ekonomi yang rendah.
Agar kegiatan memberikan hasil yang baik maka penyuluhan harus disesuaikan dengan
tingkat pengetahuan yang telah dimiliki dan karakteristik santri. Oleh karena itu perlu dilakukan
survei tingkat pengetahuan santri mengenai cacing T. trichiura, gejala klinis, pengobatan,
pencegahan, dan karakteristik, namun karena keterbatasan penelitian survei difokuskan hanya pada
tingkat pengetahuan santri mengenai T. trichiura.
Universitas Indonesia
Tingkat Pengetahuan..., Adwin Haryo Indrawan Sumartono, FK UI, 2014
Tinjauan Teoritis
T. trichiura mempunyai bentuk menyerupai cambuk atau whip, sebab bentuknya tipis
pada bagian anterior dan lebih tebal atau lebar pada bagian posterior.5 Cacing dewasa betina jenis
ini memiliki panjang tubuh 35-50 mm dan memiliki bentuk kepala yang tebal dan lurus. Cacing
jantan, memiliki panjang 30-45 mm dan kepala berujung melengkung. Ukuran telur cacing ini
adalah 50 x 22 mikron dan mempunyai bentuk menyerupai laras.6 T. trichiura menginfeksi usus
kecil manusia dengan memakan jaringan sekresi dengan cara memasukkan atau menguburkan
bagian tubuhnya yang tipis pada bagian anterior. Cacing itu umumnya menyerang bagian sekum
dan kolon pada manusia akan tetapi, pada orang yang terkena infeksi berat, T trichiura lebih sering
ditemukan pada rektum.6
Seekor cacing T. trichiura betina memproduksi telur sebanyak 2 000 sampai 10 000 butir
telur perhari bahkan, terkadang dalam kondisi tertentu dapat mencapai 20 000 butir telur perhari.
Telur ini berada pada feses manusia, lalu ketika dibuang akan mengalami embrionisasi dalam
tanah, yaitu ketika telur yang masih dalam keadaan tidak infektif berubah menjadi infektif. Dalam
keadaaan normal, proses tersebut terjadi pada saat minggu ketiga setelah feses dibuang.
Telur T. trichiura mempunyai bentuk seperti barel dengan sumbatan pada kedua ujung
polarnya. Pada bagian tengah, terdapat struktur granular yang merupakan bagian dari ovum yag
belum tersegmentasi. Ukuran dari telur ini sekitar 50-54 mikron panjang dan 22-23 mikron lebar.7
Warna telur T. trichiura yang biasa ditemukan adalah kuning keemasan. Perkembangan telur T.
trichiura membutuhkan 10 hingga 14 hari pada tanah lembab untuk bermaturasi dan melakukan
embrionisasi.8 Pada kasus dimana pasien trikuriasis telah diobati dengan mebendazol, telah
ditemukan perubahan bentuk telur berupa distorsi pada seluruh permukaan. Telur yang telah
terdistorsi memiliki ukuran yang cenderung lebih besar dari telur biasa.
Secara umum, T. trichiura sudah menjadi parasit di negara dengan curah hujan dan
kelembaban tinggi, seperti negara tropis yang mencakup benua Asia, Afrika, dan Amerika
Selatan.9 Di Latin Amerika sendiri, sebanyak 114 juta anak usia belum sekolah dan 233 juta usia
anak bersekolah telah terinfeksi oleh telur T. trichiura.10 T. trichiura sendiri sudah menyebar
hingga mencapai angka 604-794 juta diseluruh dunia.5 Bethony et al1 mengatakan bahwa infeksi
T. trichiura
mencapai 350 juta orang, dengan 3,2 miliar individu yang tergolong berisiko.
Menurut Ryan et al11 mengatakan infeksi T. Trichiura telah mencapai satu miliar orang. Usaha
untuk menekan angka tersebut sudah dilakukan dibeberapa negara seperti Sri Lanka dan Afrika
Selatan walaupun belum ada hasil yang signifikan.12, 13
T. trichiura sering ditemukan pada anak berumur 5-15 tahun dan mudah berkembang
biak pada anak dengan kebersihan buruk. Oleh karena itu, T. trichiura lebih dominan ditemukan
di negara berkembang karena sanitasi yang buruk dan penduduknya yang lebih sering bertempat
Universitas Indonesia
Tingkat Pengetahuan..., Adwin Haryo Indrawan Sumartono, FK UI, 2014
tinggal di pedesaan. Hal tersebut menyebabkan mereka mendapatkan kontak dengan tanah lebih
mudah yang pada akhirnya akan menjadi faktor pendukung terjadi infeksi T. trichiura.14
Siklus hidup dimulai pada saat telur yang tidak berisi embrio yaitu telur tidak dalam
keadaan menginfeksi, keluar bersama feses manusia. Untuk berkembang ke tahap selanjutnya,
telur tersebut harus berada dalam tanah lembab selama 14-21 hari, lalu telur tersebut berkembang
ke tahap 2 sel atau 2 cell-stage, lalu ke tahap advanced cleavage, dan terakhir ke tahap telur yang
beriisi embrio.7 Pada tahap ini telur cacing sedang dalam tahap berpotensi menginfeksi. Tahap
selanjutnya adalah ketika telur ditelan oleh manusia (dengan tangan kotor yang terkena tanah
berisi telur atau makanan tidak bersih).
Ketika tertelan oleh manusia dan memasuki sistem pencernaan, telur menetas di usus
kecil. Selanjutnya larva keluar dari telur dan menginfeksi vili usus halus dengan cara penetrasi.
Proses penetrasi usus halus dilakukan dengan bagian anterior dari tubuhnya sedangkan bagian
posterior tubuh tetap di lumen usus halus. Bagian anterior tubuh cacing yang tipis ini mudah
memasuki kelenjar usus (crypts of Lieberkuhn) dan ketika mencapai seminggu, cacing berpindah
mempenetrasi epitelium dari villi usus. Dengan ini, larva dengan estimasi ukuran 260 x 15
mikron terus berkembang dalam usus halus selama 3-10 hari.5
Pada akhirnya, larva akan memantapkan dan mengakhiri perkembangan menjadi cacing
dewasa ketika berpindah kebagian sekum, yaitu memakan waktu selama 30-90 hari. Cacing
dewasa bisa hidup di dalam manusia dalam
jangka waktu 1-2 tahun, tergantung dari usaha
individu tersebut untuk mengobati baik dari dalam tubuh atau luar. Selama itu, cacing dewasa
betina akan mulai bertelur ketika sudah 60-70 hari setelah infeksi dan dapat bertelur sampai 20
000 telur per hari. Telur yang baru atau sering disebut dengan telur imatur pada akhirnya melewati
kolon dan anus lalu keluar bersama feses.
T. trichiura menyebabkan penyakit yang disebut trikuriasis. Trikuriasis ringan biasanya
tidak memberikan gejala klinis yang jelas atau sama sekali tanpa gejala. Pada infeksi berat
terutama pada anak, cacing tersebar di seluruh kolon dan rektum sehingga dapat menimbulkan
prolapsus rekti akibat penderita mengejan dengan kuat yaitu sering pada waktu defekasi. Selain itu
penderita dapat mengalami diare yang diselingi sindrom disentri atau kolitis kronis, sehingga berat
badan turun. Bagian anterior cacing yang masuk ke dalam mukosa usus menyebabkan trauma yang
menimbulkan peradangan dan perdarahan. T. trichiura juga mengisap darah hospes, sehingga
mengakibatkan anemia.
Pada lumen apendiks yang berisi begitu banyak cacing mengakibatkan iritasi dan
inflamasi yang mengakibatkan apendisitis. Selain itu, pemeriksaaan lebih lanjut dengan
kolonoskopi membuktikan bahwa dinding sekum dan traktus asenden dari kolon dengan parah
mengalami hiperemik dan timbul edema.15 Hal tersebut mengakibatkan perdarahan usus dan
ulserasi akibat dari aktivitas konsumsi cacing dewasa. Banyaknya pengeluaran darah diperkirakan
sebanyak 0,005 ml per cacing per hari.
Universitas Indonesia
Tingkat Pengetahuan..., Adwin Haryo Indrawan Sumartono, FK UI, 2014
Berkurangnya prevalensi trichuriasis pada akhir umur remaja serta hasil dari beberapa
eksperimen terakhir mengenai pertahanan tubuh terhadap infeksi cacing merujuk pada kenyataan
bahwa terdapat kemungkinan kecil akan tumbuhnya pertahanan dalam sistem tubuh untuk
menghadapi trikuriasis.11 Keberadaan IgE sebagai respon pertahanan tubuh dari infeksi sudah
pernah di terbuktikan, walaupun keberadaan imunoglobulin tersebut kurang signifikan sehingga
tidak cukup untuk penghancuran permanen. Keberadaan IgE didukung dengan meningkatnya
keberadaan T-helper 2 cells (Th2) ketika seseorang terinfeksi oleh salah satu jenis cacing perut (T.
trichiura, A. lumbricoides dll).4
Secara umum, infeksi ringan yang trichuriasis merupakan asimptomatik atau
tidak
adanya gejala. Akan tetapi ketika sudah mencapai tingkat tinggi, penderita dapat mengalami diare
kronis, yang biasanya timbul darah atau lendir. Prolapsus rekti juga merupakan salah satu
manifestasi klini pada penderita dengan infeksi tingkat tinggi, yaitu dimana rektum dari seseorang
menyelinap keluar dari tubuh, biasanya pada saat mengejan ketika defekasi. Selain itu, infeksi T.
trichiura yang paling sering ditemukan adalah gangguan pada pencernaan seperti nyeri pada
abdomen, kembung pada perut, mual, muntah, gangguan pada rektum, defekasi tidak teratur, dan
rasa sakit pada perut. Gejala yang sering ditemukan pada anak adalah kekurangan gizi, penurunan
berat badan, terhambatnya pertumbuhan, anemia serta anorexia.3, 4 Beberapa ahli mengatakan
bahwa adanya hubungan dengan penyakit
seperti HIV/AIDS,
malaria,
dan tuberkulosis
walaupun masih belulm ada kepastian mengenai hal tersebut karena perbedaan pendapat.16, 17
Obat untuk mengatasi infeksi T. trichiura adalah mebendazol, albendazol dan oksantel
pirantel pamoat.18, 19 Mebendazol digunakan dengan dosis tunggal 500 mg, albendazol 400 mg dan
oksantel pirantel pamoat 15 mg/kg BB. Pada infeksi berat obat diberikan 3 hari berturut-turut.
Prinsip pencegahan trikuriasis adalah memutuskan rantai penularan dan mencegah
tertelannya telur infektif. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan buang air besar di WC dan
menghindari pencemaran tanah dengan telur T. trichiura.
Selain itu, menghindari penelanan materi yang telah terkontaminasi dengan tanah yaitu
dengan mencuci tangan serta mengkonsumsi hidangan yang bersih. Ketika memasak makanan
mentah dianjurkan dibersihkan terlebih dahulu, walaupun ketika dimasak telur cacing biasanya
mati. Setelah itu, peminuman air yang tidak terfiltrasi tidak dianjurkan. Biasakan air yang
diminum telah difiltrasi atau direbus terlebih dahulu sebelum dikonsumsi.4
Pencegahan sekunder terkait dengan pencegahan infeksi cacingan adalah edukasi yang
cukup untuk membekali seseorang, terutama anak kecil, agar tidak terinfeksi T trichiura. Edukasi
dapat disampaikan dalam berbagai cara, yaitu dapat secara formal maupun secara informal.
Penyampaian di sekolah atau di lembaga pendidikan lainnya termasuk penyampaian formal, akan
tetapi, terkadang pencegahan sekunder tidak cukup hanya formal, tetapi juga dibantu dengan
edukasi informal yaitu ketika diberikan dirumah oleh orangtua ataupun oleh anggota keluarga
lainnya.
Universitas Indonesia
Tingkat Pengetahuan..., Adwin Haryo Indrawan Sumartono, FK UI, 2014
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan metode cross-sectional dengan pengkajian analitik. Penelitian
ini dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara tingkat pengetahuan T. trichiura
dengan santri yang sedang menjalani pendidikan setara dengan SMP dan SMA.
Penelitian tentang hubungan antara tingkat pengetahuan T. trichiura dengan
santri
dilakukan pada 22 Januari 2011, di Pesantren X, Jakarta Timur. Populasi target penelitian ini
adalah santri pesantren. Populasi terjangkau penelitian ini adalah santri Pesantren X, Jakarta
Timur. Seluruh santri Pesantren X dijadikan subjek penelitian (total sampling). Tidak ada kriteria
inklusi dan eksklusi pada penelitian ini karena semua santri diikutsertakan.
Peneliti menggunakan metode total sampling karena seluruh santri dijadikan subjek
penelitian.
Variabel dependen penelitian ini adalah tingkat pengetahuan mengenai T. trichiura. Variabel
independen penelitian ini adalah karakteristik santri. Lalu variabel perancu yang dipakai adalah
keadaan sosial ekonomi dan pendidikan orangtua.
Sebelum pelaksanaan pengambilan data, peneliti menjelaskan kepada santri mengapa
melakukan penelitian dan apa yang akan dilakukan. Setelah itu, peneliti meminta izin kepada
santri subjek untuk melakukan penelitian. Setelah mendapat persetujuan, peneliti memberikan
kuesioner kepada subjek yang berisi pertanyaan mengenai T. trichiura. Selain itu, kuesioner juga
berisi pertanyaan data demografi berupa jenis kelamin, tingkat pendidikan, jumlah informasi, dan
sumber informasi paling berkesan.
Soal
kuesioner
6-10 mengenai pengetahuan T. trichiura merupakan pertanyaan
pilihan ganda. Penilaian terhadap tiap soal tergantung dari pilihan jawaban responden pada soal
yang terkait. Tiap soal disediakan 4 pilihan jawaban dengan beberapa pilihan bernilai 0, 1, 4, dan 5
tergantung pada soal yang terkait. Subjek diberi waktu mengisi kuesioner hingga terisi lengkap.
Setelah pengisian selesai, kuesioner dikumpulkan dan diperiksa kelengkapannya. Apabila terdapat
subjek yang mengosongkan satu nomor atau lebih pertanyaan dalam kuesioner, subjek diminta
untuk mengisi kembali hingga lengkap.
Pengolahan data penelitian ini akan menggunakan program SPSS for Windows version 16.
Setelah dilakukan pengolahan data, data tersebut disajikan dalam bentuk tabel.
Data yang
didapatkan dari pengisian kuesioner akan diperiksa kelengkapan dan kesesuaiannya segera setelah
pengambilan data selesai. Setelah dipastikan lengkap dan sesuai, data yang diperoleh
diklasifikasikan sesuai dengan skala pengukurannya masing-masing yaitu numerik, ordinal, dan
nominal. Karakteristik santri diklasifikasikan ke dalam skala ordinal. Akumulasi nilai pengetahuan
Universitas Indonesia
Tingkat Pengetahuan..., Adwin Haryo Indrawan Sumartono, FK UI, 2014
responden tentang T. trichiura akan diklasifikasikan ke dalam skala ordinal. Data yang termasuk
skala ordinal maupun nominal akan diolah dengan distribusi frekuensi. Setelah itu dilakukan uji
statistik komparatif untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara pengetahuan mengenai T.
trichiura dengan santri Pesantren X, Jakarta Timur. Selain itu, analisis variabel yang dilakukan
adalah uji chi square dan uji Kolmogorov-Smirnov.
Penyajian data dilakukan dalam bentuk tabel yang dilengkapi dengan penjelasan deskriptif.
Selain itu, karakteristik santri yang mencakup jenis kelamin, tingkat pendidikan, jumlah sumber
informasi, sumber informasi paling berkesan, dan tingkat pengetahuan mengenai T. trichiura
disajikan dalam tabel distribusi frekuensi.
Santri dimintakan persetujuannya secara lisan untuk mengikuti penelitian ini. Jika santri
bersedia mereka diikutsertakan dan jika tidak bersedia mereka tidak diikutsertakan. Data yang
diperoleh untuk kepentingan penelitian ini peneliti akan dijaga kerahasiaan dan kebenarannya.
Setelah pengambilan data selesai, peneliti memberikan souvenir sebagai tanda terima kasih.
Data yang tersedia kemudian akan dimasukkan dan diolah menggunakan SPSS for Windows
version 16 melalui editing, coding, cleaning, dan entry.
Analisis univariat digunakan untuk melihat penyajian distribusi frekuensi dari analisis
distribusi variabel dependen dan variabel independen.Analisis bivariat digunakan untuk melihat
hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen.
Universitas Indonesia
Tingkat Pengetahuan..., Adwin Haryo Indrawan Sumartono, FK UI, 2014
Hasil
Penelitian ini dilakukan di Pesantren X yang merupakan institusi pendidikan Islam yang
berada di daerah Jakarta Timur dan terdiri dari madrasah tsanawiyah dan madrasah aliyah.
Pesantren ini memiliki luas tanah 12 500 m2 dan luas bangunan 7 050 m2. Pesantren tersebut
memiliki fasilitas asrama putra dengan 6 kamar, asrama putri dengan 2 rumah tanpa kamar, 1
masjid, 1 aula, 1 perpustakaan, 2 bangunan sekolah, 1 wartel, 1 lapangan utama, 1 lapangan
bawah, 1 laboratorium komputer, 1 kantin, 1 pos kesehatan pesantren, dan 1 toko buku. Melihat
fasilitas yang beragam tersebut, Pesantren X merupakan pesantren yang cukup memadai.
Kondisi bangunan di Pesantren X tergolong cukup baik, terutama masjidnya. Ketika
mengambil data penelitian, pusat kegiatan ditujukan pada masjid dikarenakan penyuluhan dan
pemberian latar belakang mengapa melakukan penelitian dilakukan masjid tersebut. Selain masjid,
aula juga merupakan tempat penting ketika Pesantren X kedatangan tamu, seperti ketika
pengambilan data penelitian ini. Aula tersebut juga digunakan untuk memberikan pengobatan
massal kepada santri.
Fasilitas lainnya seperti laboratorium komputer digunakan santri hanya pada saat
pembelajaran berlangsung, bukan untuk rekreasi di waktu luang. Walaupun demikian, santri tetap
mendapatkan akses menonton televisi. Selain itu, Pesantren X kedatangan dokter tiap bulannya
yang memeriksa keluhan santri. Pemeriksaan tersebut hanya sebatas pemeriksaaan ringan tanpa
melakukan penyuluhan kepada santri.
Tempat penginapan santri perempuan merupakan sebuah ruangan tanpa sekat yang
berkapasitas 30 anak, sementara di asrama laki-laki terdapat ruangan bersekat. Santri saling
meminjam perlengkapan tidur seperti bantal dan selimut.
Pesantren X memiliki 120 santri madrasah tsanawiyah dan 100 santri madrasah aliyah.
Jumlah guru pesantren berjumlah 36 orang dan pengurus pesantren berjumlah 15 orang. Saat
penelitian, sebagian santri pulang kerumah sehingga jumlah santri yang diikutsertakan dalam
penelitian sebanyak 154 orang.
Di Pesantren X banyaknya jumlah laki-laki adalah 91 orang (59,1%) dan perempuan 63
orang (40,9%). Selain itu, lebih dominan santri dengan tingkat pendidikan tsanawiyah yakni, 81
orang (52,6%) dibandingkan santri aliyah, yakni 73 orang (47,4%).
Tabel 4.2.1 menunjukkan responden paling banyak mendapatkan jumlah sumber
informasi sebanyak 3 sumber (50%) yang diikuti oleh jumlah sumber informasi sebanyak 4
sumber (21,4%).
Universitas Indonesia
Tingkat Pengetahuan..., Adwin Haryo Indrawan Sumartono, FK UI, 2014
Tabel 4.2.1 Sebaran Responden Berdasarkan Jumlah Informasi
Jumlah Sumber Informasi
Jumlah
Persentase
Tidak Ada
0
0
1 Sumber Informasi
1
0,6
2 Sumber Informasi
26
16,9
3 Sumber Informasi
77
50
4 Sumber Informasi
33
21,4
5 Sumber Informasi
11
7,1
6 Sumber Informasi
4
2,6
7 Sumber Informasi
1
0,6
8 Sumber Informasi
1
0,6
Tabel 4.2.2 menunjukkan bahwa sumber informasi paling berkesan terbanyak berasal dari
dokter (51,9%). Setelah itu diikuti dengan informasi dari orangtua (27,3%) lalu dari guru (12,3%).
Tabel 4.2.2 Sebaran Responden Berdasarkan Informasi Paling Berkesan
Sumber Informasi Paling Berkesan
Jumlah
Persentase
Guru
19
12,3
Dokter
80
51,9
Teman
1
0,6
Orangtua
42
27,3
Internet
6
3,9
Radio
0
0
TV
5
3,2
Koran
1
0,6
Majalah
0
0
Universitas Indonesia
Tingkat Pengetahuan..., Adwin Haryo Indrawan Sumartono, FK UI, 2014
Lain-lain
0
0
Di Pesantren X terdapat 9 santri (5,8%) memiliki tingkat pengetahuan mengenai T.
trichiura yang baik, 28 santri (18,2%) memiliki pengetahuan cukup, serta 117 santri (76%)
memiliki pengetahuan rendah.
Berdasarkan tabel 4.2.3, dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smornov didapatkan
bahwa tidak ada perbedaan bermakna (p>0,05) antara tingkat pengetahuan T. trichiura dengan
tingkat pendidikan dan informasi paling berkesan. Uji chi square memberikan hasil bahwa tidak
ada perbedaan bermakna (p>0,05) antara tingkat pengetahuan T. trichiura dengan jumlah sumber
informasi, namun berbeda bermakna (p<0,05) dengan jenis kelamin.
Variabel
Kategori
Tingkat Pengetahuan Cacingan
P
Uji
Kurang
Jenis
Kelamin
Tingkat
Cukup
Baik
Laki-laki
59
23
9
Perempuan
58
5
0
Tsanawiyah
63
15
3
0
chi- square
1
Kolmogorov-
Universitas Indonesia
Tingkat Pengetahuan..., Adwin Haryo Indrawan Sumartono, FK UI, 2014
Pendidikan
Aliyah
54
13
6
Jumlah
Sumber
Informasi
≤3
83
17
4
>3
34
11
5
Informasi
Paling
Berkesan
No
Sumber Langsung
105
28
9
6
Smirnov
0,183
0,44
Media
Pertanyaan
Cacing cambuk paling
banyak ditemukan
pada...
Skor
12
Jumlah
0
Persentase
0
58
37,7
1
53
34,4
4
43
27,9
0
Skor
total
225
Skor
maks
770
chi- square
KolmogorovSmirnov
Persentase
Skor
29,2
Tabel 4.2.3 Tingkat Pengetahuan Responden Mengenai Trichuris trichiura dengan Karakteristik
Demografi Santri
Universitas Indonesia
Tingkat Pengetahuan..., Adwin Haryo Indrawan Sumartono, FK UI, 2014
7
8
9
10
Cacing yang bentuknya
seperti cambuk
disebut...
0
105
68,2
5
49
31,8
Cacing cambuk hidup
di...
0
78
50,6
5
76
49,4
Manusia dapat terinfeksi
cacing cambuk dengan
cara...
0
71
46,1
5
83
53,9
Cacing cambuk
memperoleh makanan
dengan cara...
0
65
42,2
1
30
19,5
4
59
38,3
245
770
31,8
380
770
49,4
415
770
53,9
226
770
29,3
Tabel 4.2.4 menunjukkan sebaran responden berdasarkan skor pada soal 6-10. Hasil
menunjukkan bahwa hanya pada soal nomor 9 sebagian besar responden mendapatkan skor paling
tinggi (skor 5), yakni sebesar 53,9 %. Lain halnya pada nomor 7, yang merupakan soal dimana
responden paling banyak salah menjawab pertanyaan (skor 0), yakni sebesar 68,2%.
Tabel 4.2.4 Sebaran Responden Berdasarkan Skor Soal Kuesioner
Pembahasan
Manusia dalam bertindak akan didasarkan oleh suatu pengetahuan atau kognitif. Jika
pengetahuan merupakan basis dari kesadaran seseorang untuk bertindak, maka kesadaran tersebut
akan bertahan lama. Di sisi lain, apabila tindakan tidak berdasarkan oleh pengetahuan maka tidak
akan berlangsung lama. Dalam konteks penelitian ini, pengetahuan mengenai T. trichiura yang
Universitas Indonesia
Tingkat Pengetahuan..., Adwin Haryo Indrawan Sumartono, FK UI, 2014
semakin baik akan memicu kesadaran yang semakin baik tentang bahaya trikuriasis. Albright et
al29 menyampaikan bahwa siswa SD di Jawa Tengah yang telah ditingkatkan pengetahuannya
mengenai STH melalui penyuluhan memiliki upaya pencegahan infeksi yang jauh lebih baik.
Berdasarkan data diatas, upaya peningkatan tingkat pengetahuan mengenai T. trichiura
perlu dilakukan agar infeksi dapat dihindari. Pemberian penyuluhan diutamakan kepada
masyarakat dengan faktor risiko yang tinggi, seperti target penyuluhan pada penelitian ini yaitu
santri di pesantren.
Pengetahuan Responden Mengenai Trichuris trichiura
Pengetahuan mengenai T. trichiura meliputi banyak hal diantaranya, morfologi,
epidemiologi, siklus hidup, serta patogenesis. Berdasarkan hasil penelitian ini, sebagian besar
responden memiliki tingkat pengetahuan mengenai T. trichiura yang rendah yaitu 76%. Selain itu
masih terdapat 18,2% yang memiliki pengetahuan mengenai T. trichiura cukup serta 5,8%
memiliki tingkat pengetahuan baik. Sebelumnya telah ditetapkan bahwa pengetahuan responden
akan memenuhi standar jika melebihi 80%. Dari hasil penelitian terlihat bahwa standar yang
ditetapkan tersebut masih sangat jauh. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kesadaran
mengenai T. trichiura pada Pesantren X masih sangat kurang.
Rendahnya tingkat pengetahuan mengenai T. trichiura dapat disebabkan oleh berbagai
hal. Salah satu penyebabnya adalah di dalam kurikulum pesantren
mata pelajaran biologi
tsanawiyah tidak diajarkan pengetahuan mengenai T. trichiura. Selain itu, santri madrasah aliyah
berasal dari program studi ilmu pengetahuan sosial (IPS).
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Subahar30 di Duren Sawit, Jakarta Timur
yang juga menyatakan bahwa tingkat pengetahuan responden mengenai cacingan adalah rendah
(93,05%). Di sisi lain, penelitian Sekartini et al31 mendapatkan hasil sebagian besar responden
(59,6%) yang merupakan ibu yang memiliki anak usia SD di Pisangan Baru, Jakarta Timur
memiliki tingkat pengetahuan baik mengenai cacingan. Perbedaan hasil tersebut dikarenakan
perbedaan responden penelitian. Pada penelitian Sekartini et al31 mengikutsertakan ibu rumah
tangga sebagai responden sedangkan penelitian ini dan Subahar30 mengikutsertakan murid sekolah.
Berdasarkan hasil penelitian ini, pada soal nomor 6 sebagian besar santri menjawab
pertanyaan dengan salah atau mendapatkan skor 0 (37,7%), sedangkan 34,4% dapat skor 1, dan
27,9% dapat skor 4. Selain itu, jumlah skor total seluruh santri adalah 225 dari maksimal 770.
Dengan demikian persentase skor pada soal nomor 6 sebesar 29,2%. Hasil tersebut menunjukkan
bahwa sebagian besar responden belum mengerti bahwa cacing cambuk paling banyak ditemukan
di anak usia kurang dari 5 tahun. Begitu pula dengan soal nomor 7, dimana sebagian besar santri
(68,2%) menjawab soal dengan salah. Selain itu, persentase skor pada nomor 7 sebesar 31,8%
Hal itu menunjukkan responden belum paham nama lain dari cacing cambuk, yakni Trichuris
trichiura.
Universitas Indonesia
Tingkat Pengetahuan..., Adwin Haryo Indrawan Sumartono, FK UI, 2014
Pada soal nomor 8, responden yang menjawab soal dengan benar sebesar 49,4%
sedangkan yang menjawab salah sebesar 50,6%. Dengan demikian, selisih persentase antara
jawaban benar dan salah hanya 12%, tetapi sebagian besar responden tetap menjawab pertanyaan
dengan salah. Selain itu,
responden juga menunjukkan perbaikan skor dibandingkan dengan
nomor sebelumnya yaitu sebesar 49,4% Walaupun demikian, hasil tersebut tetap menunjukkan
bahwa responden mengetahui masih belum mengetahui bahwa cacing cambuk dewasa hidup di
usus besar.
Pada nomor 10, sebagian besar responden salah menjawab soal atau mendapat skor 0
(42,2%), 19,5% mendapat skor 1, dan 38,3% dapat skor 4. Persentase skor pada nomor 10 cukup
rendah yakni sebesar 29,3% sehingga menunjukkan bahwa responden belum mengetahui cacing
cambuk menginfeksi manusia dengan cara menghisap zat gizi.
Dari empat nomor mayoritas responden menjawab salah, pada nomor 9 sebagian besar
responden menjawab benar yakni 53,9%. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar
responden sudah mengerti bahwa manusia terinfeksi cacing cambuk dengan masuknya telur cacing
cambuk.
Dari lima soal yang menanyakan T. trichiura hanya satu soal yang sebagian besar
responden menjawab dengan benar yaitu soal nomor 9. Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan
bahwa pengetahuan santri mengenai T. trichiura tergolong rendah.
Tingkat Pengetahuan Responden dengan Jenis Kelamin
Pada penelitian ini, pengetahuan laki-laki lebih baik dibandingkan dengan perempuan
dikarenakan terdapat 9 santri laki-laki dengan pengetahuan baik sedangkan tidak ada santri
perempuan yang memiliki pengetahuan baik. Pada uji chi square terdapat hubungan antara tingkat
pengetahuan T. trichiura dengan jenis kelamin responden. Penelitian ini sesuai dengan laporan
Oktarina32 yang menyatakan terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan mengenai HIV/AIDS
dengan jenis kelamin.
Di sisi lain, penelitian Benthem et al (dikutip dari Fadhlan33) yang meniliti tingkat
pengetahuan masyarakat di Thailand Utara bertolak belakang dengan penelitian ini karena
menunjukkan hasil bahwa tingkat pengetahuan mengenai DBD tidak berhubungan dengan jenis
kelamin responden.
Tingkat Pengetahuan Responden dengan Tingkat Pendidikan
Pada penelitian ini tingkat pengetahuan mengenai T. trichiura pada murid aliyah lebih
tinggi dibandingkan tsanawiyah namun pada uji Kolmogorov Smirnov tidak berbeda bermakna
yang berarti tidak berhubungan dengan tingkat pendidikan. Hal itu disebabkan, santri hidup di
lingkungan yang sama dan bersekolah di tempat yang pula. Hasil penelitian sesuai dengan
Universitas Indonesia
Tingkat Pengetahuan..., Adwin Haryo Indrawan Sumartono, FK UI, 2014
penelitian Ismid,34 yang mendapatkan tingkat pengetahuan mengenai cacingan pada ibu yang
mempunyai balita tidak berhubungan dengan tingkat pendidikan ibu.
Tingkat Pengetahuan Responden dengan Jumlah Informasi
Sumber informasi yang didapatkan oleh seseorang tentu ada pengaruhnya terhadap
kehidupan orang tersebut. Jika seseorang menerima informasi yang banyak, maka pengetahuan
orang tersebut semakin banyak juga. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Marini (dikutip dari
Sari35), yang menyatakan bahwa semakin banyak jumlah informasi yang didapatkan seseorang,
baik melalui media langsung maupun tidak langsung, maka pengetahuan mereka akan canderung
lebih baik. Dalam konteks penelitian ini, sumber informasi mengenai cacingan dengan jumlah
banyak secara langsung menambah wawasan orang yang menerima informasi tersebut sehingga
menimbulkan kesadaran akan bahaya cacingan.
Dari paparan teori diatas, hasil pada penelitian ini tidak cocok dengan teori tersebut. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan responden
mengenai T. trichiura dengan jumlah informasi. Hal tersebut mungkin terjadi karena jumlah
informasi yang banyak bukan berarti kualitas baik. Terkadang santri mendapatkan informasi dari
satu sumber tetapi tidak teruji kebenarannya sehingga mungkin bagi santri untuk mendapatkan
pengetahuan yang salah.
Tingkat Pengetahuan Responden dengan Informasi Paling Berkesan
Teknologi yang berkembang sangat cepat, khususnya teknologi informasi dan
komunikasi, merupakan ujung tombak dari proses globalisasi. Segelintir dari teknologi informasi
merupakan media cetak (koran, majalah) dan media elektronik (TV, Internet, radio). Hal ini sesuai
oleh pernyataan Suharyono (dikutip dari Sari35) yang mengatakan bahwa dewasa ini media
informasi sudah banyak mengalami perkembangan sehingga masyarakat sangat mudah
mendapatkan informasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan
responden dengan informasi paling berkesan yang mereka peroleh. Hasil dari sebaran
menunjukkan informasi paling berkesan menurut responden bukan berasal dari media, melainkan
dari sumber langsung yakni informasi dari dokter (51.9%). Selain itu, informasi orangtua (27.3%)
juga dianggap berkesan oleh responden.
Hal tersebut mungkin disebabkan informasi dari dokter jarang diberikan kepada santri
karena dokter hanya datang satu kali tiap bulan. Dengan demikian, walaupun informasi paling
berkesan berasal dari dokter, tetapi karena kurangnya pertemuan antara dokter dengan santri maka
tidak terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan mengenai T. trichiura.
Kesimpulan
Universitas Indonesia
Tingkat Pengetahuan..., Adwin Haryo Indrawan Sumartono, FK UI, 2014
1.
Di Pesantren X, 117 santri (76%) memiliki tingkat pengetahuan mengenai T. trichiura
yang rendah, 28 santri (18,2%) cukup, dan 9 santri (5,8%) baik.
2.
Karakteristik Pesantren X, Jakarta Timur adalah 59,1% laki-laki, 40,1% perempuan,
52,6% murid tsanawiyah dan 47,4% murid aliyah.
3.
Tingkat pengetahuan santri mengenai T. trichiura berhubungan dengan jenis kelamin
tetapi tidak berhubungan dengan tingkat pendidikan, jumlah sumber informasi dan
sumber informasi yang paling berkesan.
Saran
1.
Tingkat pengetahuan santri mengenai T. trichiura harus ditingkatkan dengan memberikan
edukasi berupa penyuluhan dengan memperhatikan jawaban salah pada kuesioner agar
tidak mengulangi kesalahan.
2.
Penyuluhan diberikan pada semua santri dengan memperhatikan jenis kelamin tetapi
tidak memperhatikan tingkat pendidikan dan sumber informasi.
3.
Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui perilaku santri dalam mencegah trikuriasis.
Universitas Indonesia
Tingkat Pengetahuan..., Adwin Haryo Indrawan Sumartono, FK UI, 2014
Daftar Referensi
1.Bethony J, Brooker S, Albonico M, Geiger SM, Loukas A, Diement D, et al. Soil-transmitted helminth
infections: ascariasis, trichuriasis, and hookworm. Lancet. 2006; 367: 1520-4.
2. Mardiana, Djarismawati. Prevalensi cacing usus pada murid sekolah dasar wajib belajar pelayanan gerakan
terpadu pengentasan kemiskinan daerah kumuh. Jurnal Ekologi Kesehatan. 2008:7( 2):769-74.
3. Diniz-Santos DR, Jambeiro J, Mascarenhas RR, Silva LR. Massive T. trichiura infection as a cause of chronic
bloody diarrhea in a child. J Trop Pediatr. 2006 Feb;52(1):66-8.
4. Muller R, Wakelin D. Worms and human diseases. CABI Publishing: New York; 2002.
5. Menholrn, H. Encyclopedic reference of parasitology: Trichuris trichiura. 2001; Part 20, 652. Diunduh dari:
DOI: 10.1007/3-540-29834-7_1493 [cited 2011 Jan 17]
6. Ok K, Kim Y, Song J, Lee H, Ryu S, Lee J, et.al. Trichuris trichiura infection diagnosed by colonoscopy:
case reports and review of literature. Korean J Parasitol. 2009;47(3): 275-90.
7. Diaz, J. Trichuriasis. Stanford University. 2005. Diunduh dari:
http://www.stanford.edu/group/parasites/ParaSites2005/Trichuris/Untitled-12.htm [cited 10 Jan. 2011]
8. Donkor K, Lundberg S. Trichuris trichiura. olive view internal medicine, University of California Los
Angeles Medical Center. 2009. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/788570-overview [cited
10 Jan. 2011]
9. Mwambete KD, Kalison N. Prevalence of intestinal helminthic infection among underfives and knowledge on
helminthiases among mothers of the underfices in Dar Es Salaam, Tanzania. East African Journal of Public
Heath. 2006; (3)1:8-11.
10. Tanner S, Leonard WR, McDade TW, Reyes-Garcia V, Godoy R, Huanca T. Influence of helminth infection
on childhood nutritional status in Lowland Bolivia. American Journal of Human Biology. 2009; 21:651–6.
11. Ryan KJ, Ray CG, Ahmad N, Drew WL, Plorde JJ. Sherris medical microbiology 5th edition. Philadelhia:
McGraw-Hill Companies; 2010.
12. de Silva N, Brooker S, Hotez P, Montresor A, Engels D, Savioli L. Soil-transmitted helminthic infections:
updating the global picture. Disease Control Priorities Project. 2003; 40-4.
13. Montresor A, Gyorkos TW, Crompton DWT, Bundy DAP, Savioli L. Monitoring Helminths Control
Programmes. WHO. 2009; 36-42
14. Gai L, Ma X, Fu Y, Huang D. Relationship between the rate of parasitic infection and the knowledge of
prevention. Shanghai Municipal Institute of Parasitic Disease Control and Research. 1995;13(4):269-72.
15. Chang CW, Chang WH, Shih SC, Wang TE, Lin SC, Bair MJ. Accidental diagnosis of Trichuris trichiura by
colonoscopy. Gastrointest Endosc. 2008 Jul;68(1):154.
Universitas Indonesia
Tingkat Pengetahuan..., Adwin Haryo Indrawan Sumartono, FK UI, 2014
16. Nimir AR, Aziz MS, Tan GC, Shaker AR. Massive lower gastrointestinal bleeding attributable to heavy
whipworm infection and Salmonella typhi co-infection: a case report. Cases J. 2009 Sep; 16(2):8285
17. Mascarini-Serra LM, Telles CA, Prado MS, Mattos SA, Strina A, Alcantara-Neves NM, et al. Reductions in
the prevalence and incidence of geohelminth infections following a city-wide sanitation program in a Brazilian
Urban Centre.” PLoS Neglected Tropical Diseases. 2010 Feb 2; 4(2):588
18. Legesse M, Erko B, Medhin G. Comparative efficacy of albendazole and three brands of mebendazole in the
treatment of ascariasis and trichuriasis. East Afr Med J. 2004 Mar; 81(3):134-8.
19. Keiser J, Utzinger J. Efficacy of current drugs against soil-transmitted helminth infections: systematic review
and meta-analysis. JAMA. 2008 Apr 23;299(16):1937-48
20. Dictionary (2010). Age- Definition. Diunduh dari: http://dictionary.reference.com/browse/age [cited 17 Jan
2011]
21. Merriam-Webster Dictionary (2010). Age- the Definition. Diunduh dari: http://www.merriamwebster.com/dictionary/hyper- [cited 17 Jan 2011]
22. WHO. What do we mean by "sex" and "gender"?. 2011. Diunduh dari:
http://www.who.int/gender/whatisgender/en/index.html. [cited 17 Jan 2011]
23. Dictionary (2010). Source- Definition. Diunduh dari: http://dictionary.reference.com/browse/source [cited 17
Jan 2011]
24.
Merriam-Webster Dictionary (2010). Information- the Definition. Diunduh dari: http://www.merriam-
webster.com/dictionary/information [cited 17 Jan 2011]
25. Chandra SS, Sharma RK. Principles of education. New York: Atlantic Publishers & Distributors ; 2004; pg:
77-79
26. United States Department of Education. Commission reports: a national dialogue: the secretary of education's
commission on the future of higher education. 2006
27. UNESCO. Education for all monitoring report net enrollment rate in primary education. 2008
28. Lukens-Bull, R. A peaceful jihad: negotiating identity and modernity in muslim Java. New York: Palgrave
McMillian; 2005. Pg. 44-45
29. Albright JW, Hidayati NR, Basaric-Keys J. Behavioral and hygienic characteristics of primary
schoolchildren which can be modified to reduce the prevalence of geohelminth infections: a study in Central
Java, Indonesia. Washington DC: International Relief and Development,;2005; 36(3): 10-12
30. Subahar R, Susanto L. A. Lumbricoides eggs and human-intestinal protozoan cysts found in river water of
Angke River, Jakarta. Makara Kesehatan; 2008; 12: 83-5
31. Sekartini R, Wawolumaya C, Kesume W, Memy YD, Yulianti, Syihabul S et al. Pengetahuan, sikap, dan
perilaku ibu yang memiliki anak usia sd tentang penyakit cacingan di Kelurahan Pisangan Baru, Jakarta Timur.
Jakarta: FKUI; 2001
Universitas Indonesia
Tingkat Pengetahuan..., Adwin Haryo Indrawan Sumartono, FK UI, 2014
32. Oktarina, Hanafi S, Budisuari MA. Hubungan antara karakteristik responden, keadaan wilayah dengan
pengetahuan, sikap terhadap HIV/AIDS pada masyarakat Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. 2009;
12(4):362-9
33. Fadhlan A. Tingkat pengetahuan siswa Madrasah Tsanaiyah Negeri Bayah mengenai pemberantasan sarang
nyamuk DBD setelah penyluhan [skripsi]. Jakarta. Universitas Indonesia; 2010
34. Ismid IS, santoso B, Rushwandi, Mulyadi. Pengetahuan mengenai askariasis pada ibu yang mempunyai anak
balita. Seminar Parasitologi Nasional, Bogor;1998
35. Sari A. Tingkat pengetahuan ibu rumah tangga yang telah mendapatkan penyuluhan mengenai gejala DBD di
Paseban Timur, Jakarta Pusat [skripsi]. Jakarta. Universitas Indonesia; 2010
Universitas Indonesia
Tingkat Pengetahuan..., Adwin Haryo Indrawan Sumartono, FK UI, 2014
Download