MIMBAR, Vol. 31, No. 2 (Desember, 2015): 351-358 Model Piranti Olah Pikir-Emosi untuk Menumbuhkembangkan Cinta Budaya Bangsa Siswa Sekolah Dasar 1) H.M. ZAINUDDIN, 2) I.M. HAMBALI KSDP, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Malang email: [email protected] Abstract. This article is to create thought-emotion processing device model in the form of CD that is ready to be applied by teachers in order to to develop of love toward national culture of elementary school students. Short-term goal of drafting a model in the form of CD as well as information on the effect of the application of psycho-educational thought-emotion processing device toward love of national. In the first year, designing psycho education models thought-emotion processing device that can increase primary students’ character of love toward national culture. In the second year, the researcher conduct experiment activity to test the effect of thought-emotion processing device model of national culture love in 3 areas that could represent primary student characteristic in Indonesia. This research is usefull for teacher to implement character-based learning comprehensively in the classical style in order to increase the character of love toward national culture. The usage is teachers can implement by themselves with a manner and steps which is recommended in learning guide based on this character education. Key words: love, culture, model, thought-emotion processing Abstrak. Tulisan ini untuk membuat model psikoedukasi piraanti olah pikir-emosi dalam bentuk CD yang siap diterapkan para guru dalam rangka menumbuhkembangkan cinta budaya bangsa siswa Sekolah Dasar. Tujuan jangka pendek tersusunnya model dalam bentuk CD serta informasi tentang pengaruh penerapan model psiko-edukasi piranti olah pikir-emosi terhadapcinta budaya bangsa. Pada tahun pertama,melakukan rancang bangun model psikoedukasi Piranti olah pikir-emosiyang dapat menumbuh kembangkan karakter cinta budaya bangsa siswa Sekolah Dasar.Pada tahun kedua peneliti melakukan kegiatan eksperimen untuk menguji pengaruh model psikoedukasi piranti olah pikir-emosi Cinta budaya bangsa di 3 wilayah yang dapat mewakili kerakteristik siswa SD di Indonesia.Hasil penelitian ini bermanfaat bagi guru untuk melaksanakan program pembelajaran berbasis karakter yang komprehensif secara klasikal dalam rangka menumbuh kembangkan karakter cinta budaya bangsa. Penggunaannya guru dapat melakukan upaya sendiri dengan cara dan langkah yang dianjurkan dalam panduan pembelajaran berbasis pendidikan karakter ini. Kata kunci:cinta, budaya , model, olah pikir-emosi Pendahuluan Dalam satu dekade belakangan ini, nurani kita digelisahkan oleh maraknya aksi kekerasan yang terjadi di berbagai lapis dan lini masyarakat. Aksi-aksi vandalisme dan premanisme dengan berbagai macam bentuk dan variannya menjadi fenomena tragis yang amat mudah disaksikan di atas panggung sosial negeri ini. Perkara-perkara sepele yang seharusnya bisa diselesaikan dengan cara yang arif dan dewasa, tak jarang dituntaskan di atas ladang kekerasan yang berbuntut darah dan air mata. Dalam keadaan semacam itu, nilai-nilai kearifan dan keluhuran budi yang dulu dimuliakan dan diagung-agungkan sebagai karakter dan jatidiri bangsa telah merusak karakter anak bangsa. Kekerasan agaknya telah menjadi kebiasaan dan sulit dihilangkan dari negeri ini. Jalan penyelesaian masalah berbasiskan Received: 12 Juni 2015, Revision: 6 Oktober 2015, Accepted: 20 Desember 2015 Print ISSN: 0215-8175; Online ISSN: 2303-2499. Copyright@2015. Published by Pusat Penerbitan Universitas (P2U) LPPM Unisba Terakreditasi SK Kemendikbud, No.040/P/2014, berlaku 18-02-2014 s.d 18-02-2019 ‘Terakreditasi’ SK Kemendikbud, No.040/P/2014, berlaku 18-02-2014 s.d 18-02-2019 351 H. M ZAINUDDIN, DKK. Model Piranti Olah Pikir-Emosi untuk Menumbuhkembangkan Cinta Budaya Bangsa kejernihan nurani dan kepekaan akal budi telah tertutup oleh keangkuhan dan kemunafikan. Kekuatan fisik lebih dikedepankan ketimbang akal.Tawuran antarkampung berujung maut, mudah emosi hanya gara-gara senggolan dalam pentas dangdut.Bentrok antara petugas Satpol PP dan warga tak terelakkan hanya lantaran kesalahpahaman.Ormas berbasis primordialisme sempit pun tak jarang ambil peran membuat keributan dan keresahan warga di ranah publik. Belum lagi aksi para preman yang mempertontonkan tindakan fasis dan brutal di tengah-tengah keramaian penduduk. Pembakaran, perusakan, dan penganiayaan pun marak terjadi di berbagai tempat.Budaya kekerasan agaknya benarbenar telah berada pada titik nazir peradaban, sehingga menenggelamkan karakter anak bangsa ini yang telah lama ditahbiskan sebagai bangsa yang cinta damai, santun, ramah, dan berperadaban tinggi. H a l ya n g m e nye d i h k a n , b u d aya kekerasan dinilai juga telah bergeser ke dalam ranah dunia pendidikan kita.Hal ini dapat dilihat pada perilaku-perilaku para pelajar.Tas yang mereka tenteng ke sekolah bukannya sarat dengan buku-buku teks bermutu, tetapi penuh dengan benda tajam. Gunting, obeng, tang, belati, atau bendabenda tumpul lainnya tak jarang memenuhi tas mereka. Bukan untuk praktik keterampilan vokasional, melainkan untuk memuaskan naluri dan budaya agresivitas mereka. Persoalan pribadi antarpelajar sering kali membesar menjadi pertaruhan gengsi dan nama baik sekolah, sehingga tawuran massal antarpelajar tak bisa dihindarkan. Mereka tidak lagi mempertontonkan kesantunan dan kearifan dalam melakukan rivalitas di bidang keilmuan dan intelektual, tetapi bersaing memperlihatkan kepiawaian memainkan pentungan dan senjata tajam. Kaum remajapelajar kita, khususnya yang hidup di kotakota besar, tidak lagi akrab dengan nilai-nilai kearifan dan keluhuran budi, tetapi lebih suka menggunakan kekerasan, pesta, dan seks bebas. Maraknya perilaku anomali sosial di kalangan kaum remaja-pelajar kita belakangan ini sejatinya tidak lahir begitu saja. Karakter itu lahir di tengah situasi peradaban yang dinilai jauh dari persoalanpersoalan moral dan budi pekerti. Dunia pendidikan yang seharusnya menjadi benteng yang kokoh bagi para pelajar dari gerusan aksi kekerasan dan vandalisme dinilai telah mengalami kemandulan. Pendidikan tidak diarahkan untuk membentuk karakter 352 manusia secara utuh dan paripurna, tetapi lebih diorientasikan untuk mempertahankan jargon dan kepentingan kekuasaan semata. Pendidikan karakter yang notabene bisa dioptimalkan sebagai media yang strategis untuk mengembangkan, menyuburkan, dan mengakarkan nilai-nilai keluhuran budi dan kemanusiaan justru dikebiri dan disingkirkan melalui proses pendidikan yang serba dogmatis, indoktrinatif, dan instruksional. Selama mengikuti proses pendidikan, anakanak bangsa negeri ini hanya menjadi objek dan subjek lmu pengetahuan yang serba pendiam dan penurut, sehingga kehilangan daya kreatif dan sikap kritis. Hasil pembelajaran yang kurang kondusif bisa mengubah pola berpikir peserta didik menyempit dan mengarah pada sikapsikap fasisme, bahkan menyuburkan mental yang menghambat kemajuan bangsa. Erat berhubungan dengan itu, timbullah suatu ketidakwajaran dalam relasi sikap terhadap kebenaran. Mental membual, berbohong, dan perilaku semu, seolah-olah semakin meracuni kehidupan kultural bangsa. Kejujuran dan kewajaran selalu dikalahkan. Keserasian antara yang dikatakan dan yang dikerjakan semakin timpang. Sikap-sikap fasis yang menafikkan keluhuran akal budi tampaknya sudah menjadi fenomena yang mewabah dalam masyarakat kita. Aksi-aksi kekerasan makin marak terjadi ketika kran reformasi terbuka pada tahun 1998. Setiap orang merasa mendapatkan angin segar untuk menuntaskan kebebasan yang selama ini terpasung. Seperti terbebas dari sekapan rezim yang represif dan menekan, warga masyarakat terbuai dalam euforia reformasi yang memungkinkan mereka bebas berbuat dan berkehendak sesuai dengan selera dan kepentingannya. Ruang-ruang publik pun jadi ingar-bingar. Pada titik peristiwa dan momen tertentu, ratusan, bahkan ribuan massa mengusung slogan-slogan demonstratif dan meneriakkan yel-yel tertentu untuk membakar emosi massa. Sejauh tidak diikuti dengan tindakan anarkhi, brutal, atau destruktif, gerakan demonstrasi secara besar-besaran dan masif sekalipun masih bisa ditoleransi dan dimaklumi. Bentuk-bentuk penyampaian pendapat di muka umum seperti itu tetap perlu dihormati dan dihargai sebagai hak setiap warga negara untuk mengekspresikan aspirasinya. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa demonstrasi yang berlangsung pasca- ISSN 0215-8175 | EISSN 2303-2499 MIMBAR, Vol. 31, No. 2 (Desember, 2015): 351-358 reformasi tak jarang diwarnai dengan perilaku bakar membakar, perusakan, vulgar, dan destruktif.Bahkan, fasilitas-fasilitas publik yang telah dibangun dengan susah-payah pun sering jadi sasaran amuk dan amarah. Nilainilai kesantunan, keramahan, dan kearifan telah menguap dan berubah menjadi sikapsikap kanibal yang menodai keluhuran budi manusia sebagai makhluk yang bermartabat. Hampir empat belas tahun era reformasi bergulir, negeri ini bukannya mendapatkan jalan terang menuju bangsa yang beradab dan berbudaya, melainkan justru makin tersungkur ke dalam kubangan dekadensi moral dan involusi kultural. Bangsa ini menjadi demikian gampang kalap dan rentan terhadap konflik dan kekerasan. Jika kondisi semacam itu terus berlangsung, bukan tidak mungkin budaya kekerasan yang amat tidak menguntungkan bagi kemajuan peradaban bangsa itu makin mengakar ke dalam jiwa dan kepribadian anak-anak bangsa. Lebih dari itu, apabila dicermati secara mendalam, sistem pendidikan di Indonesia secara umum masih dititikberatkan pada kecerdasan kognitif.Hal ini dapat dilihat dari orientasi sekolah sekolah yang ada masih disibukkan dengan ujian, mulai dari ujian midle, ujian akhir, hingga ujian nasional.Ditambah latihan-latihan soal harian dan pekerjaan rumah untuk memecahkan pertanyaan di buku pelajaran yang biasanya tak relevan dengan kehidupan sehari hari para siswa. Saatnya para pengambil kebijakan, para pendidik, orangtua dan masyarakat senantiasa memperkaya persepsi bahwa ukuran keberhasilan tak melulu dilihat dari prestasi angka angka.Hendaknya institusi sekolah menjadi tempat yang senantiasa menciptakan pengalaman-pengalaman bagi siswa untuk membangun dan membentuk karakter unggul. Pada kenyataannya, permasalahan pendidikan bangsa ini tidak pernah selesai. Ada berbagai gejala yang negatif dalam dunia pendidikan ini, mulai dari perkelahian antar siswa, siswa yang terlibat kasus narkoba, sampai siswa yang memperkosa temannya sendiri, dan masih banyak lagi permasalahan pendidikan yang sedang berlangsung. Hal ini ditambah dengan berbagai persoalan yang terjadi pada lulusan pendidikan yang terjebak pada pengangguran atau para pelaku korupsi intelek yang menjadi-jadi. Fenomena kriminalitas yang terjadi dalam realitas kehidupan semuanya hampir bersentuhan dengan pendidikan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Avip Saefullah bahwa lembaga pendidikan di Indonesia ternyata gagal berperan sebagai pranata sosial yang mampu membangun karakter bangsa Indonesia sesuai dengan nilai-nilai normatif kebangsaan yang dicitacitakan. Justru, yang terbangun saat ini adalah perilaku-perilaku elite negeri yang bertolak belakang dengan nilai sosial dan kehendak masyarakat. Lebih parah lagi, model perilaku paradoksal inilah yang berkembang menjadi spirit nasional dan terkesan menjadi karakter bangsa. Saefullah menilai bahwa, lembaga pendidikan di Indonesia tidak mampu menegakkan nilai-nilai demokratis dan menyiapkan masyarakat yang kritis dengan basis pengetahuan dan kompetensi. Akumulasi dari perilaku itu kemudian juga membuat kemunduran bangsa, baik dari segi pembangunan ekonomi maupun pengembangan kualitas sumber daya manusianya (http:// staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian). Lebih dari tiga dasawarsa pendidikan berjalan apa adanya dengan out-put yang seadanya bahkan terkesan pendidikan kita telah mencetak manusia intelektual, alim tapi kurang bermoral. Dengan kata lain, bangsa kita saat ini sedang mengalami krisis moral baik di tingkat penguasa maupun rakyat. Sementara itu, bila dicermati lebih mendalam, pendidikan agama, budi pekerti, dan Pancasila yang dilakukan sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi, bahkan pendidikan Pancasila yang juga telah ditatarkan pada pejabat tinggi negara, pegawai negeri pada segala tingkatan hingga organisasi kemasyarakatan, ternyata gagal membawa masyarakat kita ke arah yang lebih baik dalam hal membentuk karakter bangsa. Sulitnya memberantas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN); sulitnya mencari pimpinan sebagai panutan, dibiarkannya berbagai pelanggaran hak asasi manusia, rendahnya sensitivitas sosial dan lingkungan seperti eksploitasi sumber daya alam yang cenderung mengabaikan dampak sosial dan lingkungan, dan sisi negatif lainnya, merupakan beberapa contoh yang tidak dapat dielakkan dalam kehidupan masyarakat kita. Apabila dikaitkan dengan pembangunan karakter bangsa, pendidikan bisa diartikan secara lebih sempit sebagai suatu cara membangun dalam berkehidupan bersama. Dalam skala tataran antar komunitas, tanpa melihat etnis, suku, agama, ras dan sebagainya, berkehidupan bersama berarti ‘Terakreditasi’ SK Kemendikbud, No.040/P/2014, berlaku 18-02-2014 s.d 18-02-2019 353 H. M ZAINUDDIN, DKK. Model Piranti Olah Pikir-Emosi untuk Menumbuhkembangkan Cinta Budaya Bangsa telah sepakat secara sadar untuk melakukan ikatan bagi anggotanya menjadi suatu komunitas yang dilakukan dalam wilayah yang pasti dan sah, serta diakui komunitas masyarakat lainnya. Dari sudut pandang inilah kemudian timbul berbagai teori tentang bangsa dan negara. Karakter bangsa muncul dari komunitas-komunitas yang memiliki ikatan dan aturan yang jelas. Dalam hal ini, pendidikan berperan penting membangun persamaan persepsi antar komunitas sehingga terjalin komunitas yang memiliki karakter yang jelas dan kuat. Jika pendidikan gagal dalam membangun persepsi antarkomunitas maka yang akan terjadi adalah perpecahan dan perbedaan serta akan memudarkan nilainilai kebangsaan dan akan berdampak pada hilangnya karakter bangsa. Kondisi bangsa sudah sedemikian rapuh, masyarakat Indonesia seperti kehilangan jati diri sementara pendidikan belum mampu bahkan dianggap gagal dalam membangun karakter bangsa. Akan tetapi, sebenarnya dan pada hakikatnya, hanya pendidikanlah yang merupakan jalan tercepat yang dapat membangun kembali karakter kebangsaan ini, hanya saja pendidikan yang telah berlangsung selama ini perlu ada peninjauan atas keberhasilan dan kekurangannya. Output pendidikan selama ini tidak semuanya dalam kondisi yang baik, sehingga dibutuhkan pembenahan dan perbaikan pada sisi-sisi yang lemah, perlu ada reorientasi atas visi pendidikan nasional, sehingga bisa dikatakan bahwa krisis karakter kebangsaan saat ini menjadi tanggung jawab sepenuhnya dunia pendidikan. Peneliti mengajukan konseptual tentang kemungkinan efektifnya penerapan Model Piranti Olah Pikir Emosi (Model POP-E) Hambali, 2012 dipadukan dengan teori regulasi emosi (Tim dan Power, 1999) sebagai model pasikoedukasi untuk membantu proses menumbuhkembangkan karakter cinta budaya bangsa siswa Sekolah Dasar. Tu l i s a n i n i d i m a k s u d k a n u n t u k mengembangkan Model Piranti Olah Pikir Emosi (Model POP-E) untuk diterapkan di sekolah guna membantu karakter cinta budaya bangsa siswa Sekolah Dasar. Cinta budaya bangsa seperti gotong royong, saling menghormati satu sama lain, tanpa memandang asal suku dan latar belakang keluarga serta ras dan agama merupakan bagian dari pengembangan karakter anak negeri yang hidup dalam sebuah negara pluralis yang terkenal memiliki ragam 354 kultur yang baik. Nama model psikoedukasi yang dikembangkan dalam hal ini Model Piranti Olah Pikir Emosi (Model POP-E). Permasalahan umum penelitian ini ialah; Apakah model psikoedukasi Model Piranti Olah Pikir Emosi (Model POP-E) layak dan efektif untuk membantu mengembangkan karakter cinta budaya bangsa. Masalah yang bersifat umum tersebut selanjutnya dijabarkan. Tujuan umum tulisan ini adalah untuk melihat efektivitas model psikoedukasi Model Piranti Olah Pikir Emosi (Model POP-E) untuk membantu mengembangkan kesadaran multikultural siswa Sekolah Dasar. Sesuai dengan Taksonomi Bloom bahwa ada 3 aspek dominan yang harus dikembangkan dalam diri setiap individu yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Pendidikan karakter akan mengenalkan individu kepada nilai-nilai serta norma ke dalam wilayah kognitif. Kemudian, nilai-nilai serta norma tersebut secara bertahap akan diarahkan untuk dihayati dan diresapi kedalam wilayah afektif siswa. Sedangkan di dalam pengejawantahan di dalam pribadi siswa, di setiap harinya siswa akan menerapkan di dalam masyarakat di mana siswa mampu berinteraksi dan bersosialisasi secara langsung. Proses kontak serta interaksi inilah yang akan menuntun aspek psikomotorik siswa untuk menerapkan nilai yang telah difahami dalam wilayah kognitif dan afektif. Di dalam mendedikasikan pendidikan karakter ini diperlukan suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter yang meliputi komponen-komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai luhur baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. Dalam pendidikan karakter di sekolah perlu dilibatkan semua komponan stakeholders, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, seperti kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan sekolah, serta ethos kerja seluruh lingkungan sekolah. Melalui pendidikan karakter, anak akan terlatih untuk bersikap mandiri. Kemandirian anak di sekolah dapat ditunjukkan melelui sikap anak untuk berusaha dalam mengerjakan suatu pekerjaan yang baik dan benar sesuai dengan kapasitas yang ada dalam dirinya. Kemampuan berusaha yang dimaksudkan adalah perolehan kemampuan yang mencakup pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang direfkleksikan dengan adanya nilai tambah dari keadaan sebelumnya. Latar ISSN 0215-8175 | EISSN 2303-2499 MIMBAR, Vol. 31, No. 2 (Desember, 2015): 351-358 belakang perolehan kemampuan berusaha adalah sebagai upaya belajar yang dilakukan pada waktu sebelum menjadi warga belajar yang melakukan usaha sendiri. Di samping itu, faktor pengalaman dalam pekerjaan akan sangat berperan dalam melaksanakan suatu pekerjaan, sebab pengalaman itu sendiri. Tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subjek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Menurut Foerster (dalam Zainuddin, 2010), karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi diukur. Metode Penelitian Dalam penelitian ini, diterapkan desain penelitian randomized controlled trials design (RCTs). Dengan rancangan tersebut, peneliti melakukan uji coba sistematis dengan menggunakan Model Piranti Olah PikirEmosi (POP-E) sebagai variabel bebas secara sistematis dan logis, mengamati pengaruhnya terhadap variabel tergantung yaitu cinta budaya bangsa, memperkecil kemungkinan terjadinya kontaminasi pengaruh variabel yang lain dengan cara membuat kelompok kontrol, serta melakukan random assignment terhadap calon partisipan yang ada dan menentukan kelompok-kelompok yang menerima perlakukan (treatment) berbeda. Di samping menghadirkan kelompok kontrol, peneliti melakukan uji coba di sejumlah tempat sebagai upaya untuk meningkatkan validitas eksternal. Tempat yang dipilih untuk melaksanakan eksperimen juga memiliki karakteristik yang sama, sehingga perbedaan yang terjadi dalam eksperimen bukan akibat perbedaan tempat. Sebuah desain dipilih atas dasar seberapa potensi yang dimiliki oleh desain untuk dapat memberikan hasil yang paling akurat terkait dengan validitas internal sekaligus menghindari adanya potensi sumber yang menyebabkan validitas internal rendah. Oleh karena itu, potensi-potensi tersebut menjadi pertimbangan utama yang dapat mengarahkan peneliti memilih sebuah desain, (Jaddad & Enkin MD,2007). Dalam penelitian ini, metode desain eksperimen dengan RCTs dipilih karena penentuan kelompok-kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dilakukan secara acak, sementara pemilihan partisipan secara acak memiliki potensi untuk menhindarkan ekseprimen dari adanya kematangan partisipan dalam hal variabel cinta budaya bangsa, kelompok eksperimen diberikan perlakuan pendekatan pendidikan karakter Rational Emotive Behavior Therapy yang menggunakan model Piranti Olah Pikir-Emosi (POP-E Model) sedangkan kelompok kontrol diberikan perlakuan pendekatan bimbingan Rational Emotive Behavior Therapy yang tidak menggunakan model Piranti Olah Pikir- Emosi (POP-E Model) yang berarti dalam desain telah disediakan kelompok kontrol sebagai upaya peningkatan validitas internal. Sebelum dan sesudah diberikan perlakuan, kelompok (baik kontrol maupun eksperimen) diberikan pretes dan posttest. Dalam meningkatkan validitas internal dalam penggunaan desain ini dilakukan langkah-langkah, antara lain dipilih kelompok partisipan penelitian yang relatif memiliki karakteristik yang sama, dilakukan teknik randomized partisipant terhadap kelompok partisipan. Sebelum dimasukkan ke dalam kelompok eksperimen maupun kontrol, partisipan diberikan tes awal sebagai upaya melihat karakteristik terkait variabel cinta budaya bangsa sebelum eksperimen dilakukan. Tulisan yang menggunakan rancangan RCTs ini memilah format teknik pendidikan karakter menjadi dua kategori yaitu teknik pendidikan karakter dengan memasukkan pesan virtual (vitual message) dan teknik pendidikan karakter tradisional dengan menjadikan pesan-pesan verbal dan pesan imaginal (imaginal message) sebagai metode utama baik dalam olah pikir, maupun perilaku. Sementara itu variabel bergantung terdiri atas cinta budaya bangsa (ranah kognitif, emosi dan tingkah laku. RCTs adalah salah satu alat penelitiaan paling sederhana, kuat, dan bersifat revolusioner.Pada intinya, RCTs adalah studi di mana orang dialokasikan ‘secara acak’ untuk menerima salah satu dari beberapa perlakuan.Orang-orang yang masuk terlibat dalam RCTs disebut partisipan. Orang yang masuk dalam kriteria partisipan tidak harus orang yang memang sudah sakit dan bermasalah, bahkan orang sehat dapat dimasukkan sebagai partisipan tergantung apa yang hendak diuji-cobakan. Sedangkan materi dalam RCTs dapat berupa tindakan bervariati (tergantung peneliti) termasuk tindakan perlakuan olah pikir, emosi dan ‘Terakreditasi’ SK Kemendikbud, No.040/P/2014, berlaku 18-02-2014 s.d 18-02-2019 355 H. M ZAINUDDIN, DKK. Model Piranti Olah Pikir-Emosi untuk Menumbuhkembangkan Cinta Budaya Bangsa perilaku maupun jenis variabel lainnya. RCTs termasuk dalam kategori eksperimen, karena para peneliti dapat memengaruhi jumlah dan jenis perlakuan atau intervensi.Hal ini berbeda dengan penelitian jenis lain seperti observasi, di mana peristiwa dalam observasi tidak dipengaruhi oleh para peneliti. Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa RCTs adalah penelitian kuantitatif perbandingan di mana dua atau lebih jenis intervensi diberlakukan kepada partisipan di mana partisipan terlibat dan masuk ke dalam kelompok secara acak. Karena RCTs digunakan untuk membandingkan dua atau lebih intervensi, RCTs dianggap sebagai studi komparatif. Biasanya, salah satu intervensi dianggap sebagai’kontrol’ perbandingan, dan kelompok peserta yang menerima disebut kelompok eksperimen. Inilah sebabnya mengapa RCTs disebut sebagai percobaan acak terkontrol. Kelompok kontrol ini bisa dikenakan padanya cara-cara konvensional, atau tidak ada perlakuan sama sekali. Sedangkan kelompok lain disebut sebagai kelompok eksperimen. Dalam hal ini, kelompok eksperimen adalah kelompok yang menerima pendidikan karakter REBT model POP-E, sedangkan kelompok kontrol adalah kelompok partisipan yang menerima pendidikan karakter REBT caracara konvensional. Ada 4 elemen dasar yang terkandung dalam RCTs ini yakni: (1) pengacakan, (2) sayap ganda saling tidak tahu, (3) pengendalian (kontrol) dan (4) pengukuran sebelum dan sesudah eksperimen (Jaddad & Enkin MD, 2007). Randomized adalah sebuah tindakan yang dilakukan oleh peneliti di mana orangorang yang dipilih sebagai partisipan diambil secara acak di setiap tingkatan. Pengambilan acak ini ditujukan kepada sekelompok populasi yang sebelumnya diketahui memiliki karakter sama sesuai dengan variabel apa yang menjadi pusat perhatian dalam eksperimen. Double Blinde adalah sebuah cara peneliti untuk mengurangi degradasi validitas internal akibat adanya harapan-harapan, baik oleh pelaksana (dalam hal ini guru pelaksana) maupun oleh partisipan sendiri karena mereka mengetahui secara pasti tujuan apa yang ingin dicapai oleh peneliti. Double Blinde berarti peneliti menempatkan dua kelompok guru dimana satu diberi tugas untuk menerapkan model yang dikembangkan, dan satu lagi diberikan tugas untuk menerapkan model 356 yang memang sudah lazim dilaksanakan, yang masing-masing tidak mengetahui kalau dirinya kontrol ataukah eksperimen.Di samping itu, peneliti juga merahasiakan siapa pelaksana perlakuan standar (konvensional) dan siapa pelaksana model baru yang sedang dicobakan.Kerahasiaan tetap dalam batas di mana perlakuan diberikan secara klasikal. Pengendalian atau kontrol adalah upaya untuk mengendalikan dan mengontrol pengaruh-pengaruh eksternal di luar pengaruh model yang dicobakan. Dalam tulisan ini, kontrol dilakukan dengan membentuk dua kelompok (kelas) yang dimasukkan padanya partisipan yang acak.Kepadanya diberikan perlakuan pendidikan karakter REBT model konvensional, di mana model tersebut memang telah berjalan selama ini dan dilaksanakan oleh para guru di sekolah. Oleh karena itu, para partisipan kelompok kontrol tidak mengetahui kalau mereka adalah kelompok pembanding. Premeasurement-postmeasurement yaitu pemberian instrumen skala cinta budaya bangsa kepada seluruh partisipan, baik yang masuk dalam kategori kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol. Mereka diukur alat yang sama sebelum dan sesudah eksperimen. Pengukuran sebelum dan sesudah eksperimen ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh langsung yang ditimbulkan oleh perlakuan Model POP-E kepada peningkatan cinta budaya bangsa.Perbedaan yang bersifat meningkat antara sebelum perlakuan dan setelah perlakuan, atau tes akhir lebih tinggi dari pada tes awal, merupakan indikator yang memberi pengertian bahwa model yang dicobakan adalah efektif.Di samping itu, pengukuran sebelum dan perlakuan juga diberikan kepada kelompok partisipan yang masuk dalam kategori kontrol. Penerapan teknik yang dimaksudkan dalam hal ini ialah upaya penemuan teknik pendidikan karakter yang dapat meningkatkan ke e f e k t i f a n p e n c a p a i a n h a s i l b e r u p a peningkatan cinta budaya bangsa. Teknik yang dimaksud dalam pengembangan ini ialah teknik Model POP-Eyang secara khusus dirancang untuk seting pendidikan karakter melalui pendekatan Rational Emotive Behavior Therapy. Penerapan teknik dilaksanakan dengan menyunsun skenario rencana tindakan konkret teknik untuk pendidikan karakter melalui pendekatan (Rational Emotive Behavior Therapy). Menetapkan tindakan yang telah disusun, observasi, membuat analisis dan menilai keefektifan ISSN 0215-8175 | EISSN 2303-2499 MIMBAR, Vol. 31, No. 2 (Desember, 2015): 351-358 dan menyusun rekomendasi berikutnya. Uji keefektifan dilaksanakan dengan metode penelitian eksperimen dengan menggunakan desain eksperimenRandomized Controlled Trials Design, analisis uji beda (t-student). Budaya Kerjasama Siswa kelas 3 di SD Magetan, siswa senang sekali,dan ketika ditanya perlunya kerja sama ,anak –anak menjawab serempak pekerjaan lebih mudah.Setelah ditanya agar anak-anak menceriterakan kembali isi tayangan,tidak ada yang berani,tetapi cerita bersama –sama.Adapun tanggapan guru mengatakan siswa senang dan menikmati. Guru juga menceriterakan tayangan budaya kerja sama dapat diterima siswa,dan siswa sangat antusias serta konsentrasi dalam melihat tayangan video dengan tema tadi. Siswa kelas 3 SDN Malang,siswa senang sekali, ketika ditanya perlunya kerja sama anak menjawab pekerjaan menjadi ringan dan lebih mudah serta cepat selesai. Ketika ditanya untuk menceritakan kembali ada siswa yang cerita,orang-orang yang sedang melakukan sesuatu dengan cara bekerja sama agar pekerjaan lebih mudah dan lebih ringan.Tanggapan guru tayangan video ini dapat diterima siswa dan mampu menceriteran kembali isi dari video tadi. Siswa SD kelas 3 Surabaya, siswa memahami isi tayangan,dan senang dengan isi tayangannya. guru bertanya bolehkah kita bersikap egois ,tidak peduli, siswa menjawab serentak tidak boleh. Tanggapan guru terhadap tayangan tadi siswa antusias dan serta siswa mampu menceriterakan lagi isi video tadi. Budaya Tolong-Menolong Siswa SDN Magetan,siswa memahami video yang ditayangkan,dan senang dengan isi tayangan. Budaya tolong menolong perlu sekali diterapkan sejak dini, khususnya kelass rendah.Guru bertanya, perlukah kita peduli terhadap teman-teman kita yang perlu bantuan, siswa serentak menjawab perlu sekali. Ketika ada orang menolong,dengan cara bagi hasil,tetapi tiba-tiba kudanya diambil paksa,siswa sontak merasa sedih. Tanggapan guru siswa antusias menyimak tayangan video tadi.Untuk SDN malang,siswa memahi isi tayangan dan senang melihatnya. Siwa merasa perlu budaya tolong-menolong dilakukan,apalagi ada teman yang butuh pertolongan.Guru bertanya siapa siswa yang berani menceritakan lagi,siswa berani dan bersemangat. Tanggapan guru tayangan ini bisa menarik motivasi siswa.Untuk SDN Surabaya sama dengan SDN Malang, hanya siswa lebih antusias saat mengulas isi tayangan. Budaya Sopan Santun Di SDN Magetan,siswa telah memahami isi video dan senang sekali.Menurut siswa budaya sopan santun perlu diterapkan dalam kehidupan kita.Siswa bisa menceriterakan isi video,setelah makan tidak dirapikan,waktunya belajar malah tidur ini namanya tidak sopan. Guru bertanya lagi, apalagi, kita harus patuh dan sopan kepada orang tua. Tanggapan guru siswa antusias,karena videonya sesuai dengan pengalamannya. SDN Malang, siswa memahami isi tayangan, dan budaya sopan santun perlu dirapkan dalam kehidupan kita. Guru bertanya pada siswa siswa menjawab, kita harus sopan santun dengan siapa saja dan dimanapun tempatnya, dan kita tidak boleh menghina teman, tidak boleh sombong dan harus saling menghormati. Tanggapan Guru,siswa senang dan antusias mengikutinya. SDN Surabaya intinya sama, mereka antusias ketika diajak diskusi isi tayangan tadi. Budaya Semangat Kerja Di SDN Magetan,siswa memahami isi video dan senang sekali.Guru bertanya apa yang kalian simpulkan isi video tadi, siswa menjawab, untuk meraih cita-cita harus semangat belajar. Ketika guru menyuruh siswa menceriterakan kembali siswan tidak berani.Untuk SDN Malang, siswa memahami isi cerita video dan senang sekali. SDN Surabaya, siswa antusias dan ingin tayangan diulang lagi. Tanggapan Guru, siswa merasa senang melihat video pendidikan karakter semangat juang. Simpulan dan Saran Pembentukan karakter cinta budaya bangsa siswa sangat efektif melalui cerita yang ditayangkan dilayar video. Disini siswa dikenalkan tentang arti hidup bersama orang lain yang sesuai dengan kaidah nilai, etika orang banyak (masyarakat). Arti hidup bersama orang lain yang tidak sesuai dengan kaidah nilai, etika orang banyak (masyarakat). Memilah dan memilih contoh tindakan bersama orang lain yang sesuai dan yang tidak sesuai dengan kaidah nilai, etika orang banyak (masyarakat). mengidentifikasi pikiran irrasional atau pikiran yang tidak menyesuaikan diri, keyakinan, atau self- ‘Terakreditasi’ SK Kemendikbud, No.040/P/2014, berlaku 18-02-2014 s.d 18-02-2019 357 H. M ZAINUDDIN, DKK. Model Piranti Olah Pikir-Emosi untuk Menumbuhkembangkan Cinta Budaya Bangsa talk yang tidak dapat menyesuaikan diri (maladaptive). Memahami dan menghayati pentingnya tindak-an yang sesuai dengan kepentingan diri sendiri dan orang lain. Kepercayaan diri sendiri tentang arti hidup bersama orang lain. Kepercayaan diri setiap orang yang harus dibangun terkait tentang arti hidup bersama orang lain. Membuat perbandingan antara kepercayaan diri sendiri dengan kepercayaan diri setiap orang lain atas arti hidup bersama orang. Daftar Pustaka Avip. (2003). Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik: Konsep Landasan Teoritis-Praktis dan Implementasinya. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. Hambali, (2012). Sekolah Hanya Fokus IQ, EQ dan SQ Terlewatkan, (online), (http://www.koranpendidikan.com/?pilih=news&aksi=lihat&id=231) Jaddad & enkin.Melejitkan IQ, IE, dan IS. Depok: Inisiasi Press. 358 Sia, Tjundjing, (2001). Hubungan Antara IQ, EQ, dan QA dengan Prestasi Studi Pada Siswa SMU. Jurnal Anima Vol.17 no.1. Tilaar, H.A.R., (1998). Manajemen Pendidikan Nasional: Kajian Pendidikan Masa depan, Bandung: Remaja Rosdakarya. www.educationplanner.org, diakses pada tanggal 10 Agustus 2010. www.antaranews.com/.../mendiknas-penerapan-pendidikan-karakter- diakses pada tanggal 10 Agustus 2010. Zainuddin, HM. (2010).Membentuk Karakter Anak melalui Pendidikan IPS. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang. Zainuddin.(2014).Mimbar ,vol 30.no.1:11-17,Terakreditaswi SK Dikti No.64a/DIKTI/KEP/2010 Zainuddin.(2013). .Mimbar ,vol 29.. no.1:69-76,Terakreditaswi SK Dikti No.64a/ DIKTI/KEP/2010 ISSN 0215-8175 | EISSN 2303-2499