interpretasi karyawan pt. krakatau steel pabrik hot strip mill

advertisement
INTERPRETASI KARYAWAN PT. KRAKATAU STEEL
PABRIK HOT STRIP MILL (PABRIK LEMBARAN BAJA PANAS)
DALAM MEMAKNAI BUDAYA KESEHATAN DAN KESELAMATAN
KERJA (K3)
Ari Putri Beatrix Septiani
[email protected]
Abstract
This study discusses how employee’s interpretation in meaning of Safety
and Health Occupation’s Culture. This research is qualitative by descriptive
design. Problems is started when by expand fast its industry pushes the usage of
machine, job or activity equipments, and chemistry materialses in course of
production growing mounts. Science and technology progress can give amenity in
course of production, increasing of work productivity, and increasing of
occupational activity total power. There also many problem arising out
occupational is entered problem of health and working safety. This condition in
turn affect to human, community and business.
This risk can befall labour anytime and anywhere until require special
attention from interconnected many parties like entrepreneur, labour and
management. For health and safety issues is not solely a government
responsibility. The program must be supported by each other employees where
employees are involved in problem solution, service instruction making, this
inspection activity and involvement training are conducted in order to company
knows and understands things that required employees.
Keyword : Occupational Health and Safety, industry, culture, company,
awareness.
Perkembangan pesat industri mendorong penggunaan mesin, peralatan
kerja, dan bahan-bahan kimia dalam proses produksi semakin meningkat
(Soekidjo, 2007). Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat memberikan
kemudahan dalam proses produksi, meningkatnya produktivitas kerja, dan
meningkatnya jumlah tenaga kerja. Dengan demikian banyak pula masalah
ketenagakerjaan yang timbul termasuk masalah Kesehatan dan Keselamatan kerja
(K3), seperti meningkatnya jumlah dan ragam sumber bahaya di tempat kerja,
peningkatan jumlah maupun tingkat keseriusan kecelakaan kerja, penyakit akibat
Interpretasi Karyawan..., Ari Putri B Septiani, FISIP UI, 2012
kerja, dan pencemaran lingkungan. Penggunaan berbagai alat dan mesin yang
semakin modern menyebabkan karyawan tidak akan terlepas dari resiko yang
menyangkut keselamatan dan kesehatan kerja. Resiko ini dapat menimpa tenaga
kerja kapan dan dimana saja, sehingga membutuhkan perhatian khusus dari
berbagai pihak yang berkaitan seperti pengusaha, tenaga kerja dan manajemen.
Penyebab dari masalah keselamatan dan kesehatan kerja bukan semata-mata
tanggung jawab pemerintah.
Bekerja dengan tubuh dan lingkungan yang sehat, aman serta nyaman
merupakan hal yang di inginkan oleh semua pekerja. Lingkungan fisik tempat
kerja dan lingkungan organisasi merupakan hal yang sangat penting dalam
mempengaruhi sosial,mental dan phisik dalam kehidupan pekerja. Kesehatan
suatu lingkungan tempat kerja dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap
kesehatan pekerja, seperti peningkatan moral pekerja, penurunan absensi dan
peningkatan produktifitas. Sebaliknya tempat kerja yang kurang sehat atau tidak
sehat (sering terpapar zat yang bahaya mempengaruhi kesehatan) dapat
meningkatkan angka kesakitan dan kecelakaan, rendahnya kualitas kesehatan
pekerja, meningkatnya biaya kesehatan dan banyak lagi dampak negatif lainnya.
Pada
umumnya
kesehatan
tenaga
pekerja
sangat
mempengaruhi
perkembangan ekonomi dan pembangunan nasional. Hal ini dapat dilihat pada
negara-negara yang sudah maju. Secara umum bahwa kesehatan dan lingkungan
dapat mempengaruhi pembangunan ekonomi. Dimana industrilisasi banyak
memberikan
dampak
positif
terhadap
kesehatan,
seperti
meningkatnya
penghasilan pekerja, kondisi tempat tinggal yang lebih baik dan meningkatkan
pelayanan, tetapi kegiatan industrilisasi juga memberikan dampak yang tidak baik
juga terhadap kesehatan di tempat kerja dan masyarakat pada umumnya.
Riset yang dilakukan badan dunia ILO menghasilkan kesimpulan, setiap
hari rata-rata 6.000 orang meninggal, setara dengan satu orang setiap 15 detik atau
2,2 juta orang per tahun akibat sakit atau kecelakaan yang berkaitan dengan
pekerjaan mereka (Noegroho, 2009). Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
seharusnya menjadi prioritas utama dalam suatu perusahaan. Potensi kerugian
perusahaan akibat lemahnya implementasi K3 sangat besar diantaranya adalah
Interpretasi Karyawan..., Ari Putri B Septiani, FISIP UI, 2012
terganggunya proses produksi dan perbaikan alat produksi yang rusak karena
kecelakaan kerja serta perusahaan kehilangan kesempatan mendapatkan
keuntungan karena rendahnya produktivitas kerja karyawan. Perusahaan yang
baik adalah perusahaan yang benar-benar menjaga keselamatan dan kesehatan
karyawannya dengan membuat aturan tentang keselamatan dan kesehatan kerja
yang dilaksanakan oleh seluruh karyawan dan pimpinan perusahaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari jumlah kecelakaan kerja yang
terjadi, secara umum dapat dikualifikasi bahwa yang disebabkan oleh kesalahan
manusia (unsafe action) sebesar 78%, yang disebabkan kondisi berbahaya dari
peralatan (unsafe condition) sebesar 20%, dan faktor lainnya sebesar 2%. Hasil
penelitian itu membuktikan bahwa perilaku manusia merupakan penyebab utama
terjadinya kecelakaan di tempat kerja. Padahal, kecelakaan kerja yang terjadi
dapat mengakibatkan korban jiwa, cacat, kerusakan peralatan, menurunnya mutu
dan hasil produk, terhentinya proses produksi, kerusakan lingkungan, yang pada
akhirnya akan merugikan semua pihak. Dalam skala besar, akibat kecelakaan
kerja yang banyak terjadi dan besarnya jumlah kerugian yang diderita perusahaan,
secara kumulatif akan pula merugikan perekonomian sosial. (Fathoni, 2008).
Mengingat begitu pentingnya K3 seharusnya tidak terpinggirkan oleh hakhal strategis pekerja lainnya seperti nilai gaji yang layak, dan hak-hak lainnya.
Yang terpenting adalah pekerja disini adalah objek dan sekaligus sebagai subjek
dari regulai K3 itu sendiri, sehingga jika K3 dilaksanakan dengan baik maka
pekerja itu sendiri akan menerima effek positifnya dan begitu juga untuk keadaan
sebaliknya. Penerapan dengan baik akan regulasi keselamatan dan kesehatan kerja
bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi juga tanggung jawab semua elemen
yang terlibat di dalamnya seperti pihak perusahaan atau wirausaha, pekerja, dan
masyarakat secara keseluruhan.
Semboyan bahwa “keselamatan harus dimulai dari atas” menunjukkan
secara tegas pentingnya peranan pimpinan perusahaan bagi keberhasilan program
keselamatan. Pimpinan atau pengawas kelompok tenaga kerja, ahli keselamatan,
dan staf lainnya tidak pernah berhasil banyak apabila pimpinan perusahaan tidak
mengambil tugas kepemimpinan dalam meningkatkan dan mempertahankan
Interpretasi Karyawan..., Ari Putri B Septiani, FISIP UI, 2012
standar keselamatan yang tinggi. Pengaruh pimpinan perusahaan harus menjadi
kenyataan pada segenap kegiatan yang bertalian dengan lingkungan kerja dan
pengelolaan tenaga kerja di perusahaan. Jika perhatian pimpinan perusahaan
terhadap keselamatan besar, hal itu sangat baik. Perhatian tersebut jangan
menunggu sampai adanya kewajiban perbaikan keselamatan dari pengawas
keselamatan kerja atau adanya desakan dari serikat buruh.
Permasalahan Penelitian
Lingkungan kerja yang penuh resiko kecelakaan seperti PT. Krakatau
Steel akan menjadi potensi tersembunyi berupa ancaman kerugian dari berbagai
sisi, terutama terkait dengan finansial, serta berkurangnya tingkat produktivitas,
dan kepercayaan pelanggan, timbulnya gugatan pelanggan, sampai penyakit yang
dapat mengakibatkan kematian. Permasalahan yang paling penting adalah
membangun budaya keselamatan (safety culture) atas dasar iklim K3 (safety
climate) di lingkungan kerja yang dapat memberi kepastian untuk mendukung dan
selalu mempromosikan perilaku pencegahan kecelakaan setiap saat.
Kelipatan dari terjadinya situasi kondisi tidak aman (unsafe condition)
tersebut diatas, seperti halnya gunung es, dampak lanjutan yang tak segera
nampak, akan lebih besar dan tak terukur. Tingginya biaya yang akan ditanggung
bila terjadi kecelakaan kerja, telah membuat perusahaan mengembangkan
program bagaimana mencegah dan mereduksi resiko potensi sumber bahaya,
antara lain diantisipasi dengan menggunakan berbagai intervensi teknologi,
termasuk alat atau bahan pelindung diri, sistem kontrol dan otomasi serta robotik,
didukung dengan berbagai prosedur terstandar dan dan sistem manajemen K3.
Kesadaran akan hal ini masih sangat rendah baik itu mulai dari pekerja
hingga perusahaan atau pemilik usaha. Regulasi ini sangat penting untuk
dilaksanakan dan dipatuhi dalam dunia kerja karena dapat mendatangkan manfaat
yang positif untuk meningkatkan produktivitas pekerja dan mampu meningkatkan
usia kerja karyawan dari suatu perusahaan menjadi lebih panjang. Dari awal
permasalahan tersebut menimbulkan pertanyaan menarik, yaitu bagaimana
interpretasi karyawan mengenai budaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di
PT. Krakatau Steel dalam tindakan mereka yang berhubungan dengan pekerjaan
Interpretasi Karyawan..., Ari Putri B Septiani, FISIP UI, 2012
dan bagaimana karyawan memaknai safety dalam lingkungan kerja dengan resiko
yang tinggi di PT. Krakatau Steel.
Kerangka Pemikiran
Dalam memberikan
tentang
penjelasan
bagaimana
interpretasi
karyawan Pabrik Hot Strip Mill (Lembaran Baja Panas) dalam memaknai budaya
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) peneliti menggunakan kerangka berpikir.
Kerangka pemikiran dimulai dari konsep interpretasi, proses pemberian makna
berdasarkan pengalaman seorang individu, konsep dialektis antara pengalaman
dan ekspresi, konsep organisasi, kebudayaan perusahaan, dan budaya K3.
Interpretasi
Kebudayaan menurut Geetrz (1992) dilihat sebagai jaringan makna simbol
yang dalam penafsirannya perlu dilakukan suatu pendeskripsian yang sifatnya
mendalam (thick description), artinya pendekatan kebudayaan melalui penafsiran
sistem-sistem simbol makna kultural secara mendalam dan menyeluruh dari
perspektif para pelaku kebudayaan itu sendiri. Geertz menfokuskan konsep
kebudayaan kepada nilai-nilai budaya yang menjadi pedoman masyarakat untuk
bertindak dalam menghadapi berbagai permasalahan hidupnya, sehingga pada
akhirnya konsep budaya lebih merupakan sebagai pedoman penilaian terhadap
gejala-gejala yang dipahami oleh si pelaku kebudayaan tersebut.
Makna berisi penilaian-penilaian pelaku yang ada dalam kebudayaan
tersebut. Dalam kebudayaan, makna tidak bersifat individual tetapi publik, ketika
sistem makna kemudian menjadi milik kolektif dari suatu kelompok. Kebudayaan
menjadi suatu pola makna yang diteruskan secara historis terwujud dalam simbolsimbol. Kebudayaan juga menjadi suatu sistem konsep yang diwariskan yang
terungkap
dalam
bentuk-bentuk
simbolik
yang
dengannya
manusia
berkomunikasi, melestarikan, dan memperkembangkan pengetahuan mereka
tentang kehidupan dan sikap-sikap terhadap kehidupan (Geertz: 1992).
Lebih lanjut mengenai makna, Geertz berpendapat bahwa makna dalam
kebudayaan
bersifat
publik,
dan
kembali
kepada
konteks
masyarakat
pendukungnya, karena mereka saling berbagi konteks makna dalam kebudayaan
Interpretasi Karyawan..., Ari Putri B Septiani, FISIP UI, 2012
tersebut, sehingga menurutnya, secara sosial kebudayaan terdiri dari strukturstruktur makna berupa sekumpulan tanda yang dengannya masyarakat melakukan
suatu tindakan, mereka dapat hidup di dalamnya, ataupun menerima celaan atas
makna tersebut dan kemudian menghilangkannya. Dengan demikian, kebudayaan
menemukan artikulasinya melalui alur tingkah laku, atau melalui tindakan sosial.
Oleh karenanya menurut Geertz, tidak akan mungkin ditarik teori umum
(generalisir) tentang kebudayaan seluruh manusia, karena analisis kebudayaan,
bukanlah sains eksperimental yang ingin menemukan suatu hukum, melainkan
penafsiran
yang
ingin
menemukan
makna-makna,
sehingga
interpretasi
kebudayaan tidak akan pernah selesai, dan tidak akan ada benar dan salah secara
absolut.
Pengalaman
Pengalaman menurut Bruner bukan hanya berupa rasa, data, atau ingatan,
tetapi juga berupa perasaan dan harapan. Pengalaman menjadi acuan bagi manusia
untuk memahami dunianya, atau seperti kata Dilthey yang dikutip Bruner
“kenyataan diberikan oleh pengalaman” (Bruner, 1986:4). Pengalaman tersebut
tidak semata-mata rangkaian tindakan-tindakan itu saja, tetapi juga emosi,
perasaan, dan harapan-harapan tentang hal tersebut. Menurut Dithley, pengalaman
hanya dapat dipahami dengan menginterpretasi ekspresi pemilik pengalaman itu
(1976:230).
Bruner mengatakan, ada hubungan dialektik antara pengalaman dan
ekspresi (Bruner, 1986). Pengalaman membentuk ekspresi, contohnya seperti
karyawan yang melakukan kegiatan K3 menggunakan pengalamannya tentang
kegiatan K3 saat bekerja sebagai acuan dalam bertindak. Sebaliknya ekspresi
membentuk pengalaman, contohnya karyawan yang sudah melakukan kegiatan
K3 itu akan menggunakan ekspresinya dalam ruang kerja untuk menambah dan
memperkaya pengalamannya tentang proses bekerja. Dalam konteks kehidupan
suatu masyarakat, ada juga ekspresi-ekspresi yang dimiliki bersama oleh
masyarakat tersebut, salah satu contohnya ada dalam organisasi.
Interpretasi Karyawan..., Ari Putri B Septiani, FISIP UI, 2012
Organisasi dan Kebudayaan Organisasi
Organisasi adalah kesatuan sosial yang dikoordinasikan secara sadar,
dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang bekerja atas dasar
yang relatif terus menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama atau kelompok
tujuan (Robbins 1994:4). Robbins memberikan gambaran bahwa organisasi
merupakan tempat berkumpulnya orang-orang yang memiliki keinginan yang
sama dalam mencapai sebuah tujuan yang telah disepakati sebelumnya. Manusia
adalah salah satu faktor penting dalam organisasi. Kinerja organisasi sangat
tergantung pada kinerja individu yang ada di dalamnya. Pada akhirnya, organisasi
sama dengan masyarakat karena organisasi pun mempuyai kebudayaan sebagai
acuan untuk berperilaku dan bertindak. Kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan
pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan
menginterprestasikan
lingkungan
yang
dihadapi
untuk
mendorong
dan
menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukan.
Kebudayaan organisasi perusahaan merupakan suatu dasar penting bagi
perusahaan-perusahaan di dunia saat ini dan diartikan sebagai kepribadian
perusahaan yang memengaruhi seluruh kegiatan perusahaan, yaitu bagaimana
mereka bekerja, cara memandang suatu pekerjaan, bekerja dengan kolega, dan
melihat masa depan (Gibson, 2005). Di sisi lain dalam sebuah perusahaan, budaya
adalah sesuatu yang dibangun bersama-sama mulai dari pimpinan puncak hingga
karyawan bawah, dan ini berbeda dari satu perusahaan ke perusahaan lain.
Budaya K3
Budaya K3 merupakan kombinasi dari attitude, beliefs, norms, dan
persepsi dari para pekerja organisasi tertentu yang terkait dengan iklim K3, serta
perilaku sehat dan selamat secara praktis (Clarke, 2000). Definisi yang paling
banyak digunakan adalah berdasarkan pendapat Cooper (2004) yang kemudian
diadaptasi, menyatakan bahwa budaya K3 merupakan bagian dari budaya
organisasi yang dipengaruhi oleh sikap (attitudes) dan nilai-nilai yang diyakini
(beliefs) dari setiap anggotanya dalam kerangka performansi K3 (health and
safety performance). Lebih lanjut, Cooper memperjelas bahwa istilah budaya K3
Interpretasi Karyawan..., Ari Putri B Septiani, FISIP UI, 2012
(safety culture) mengacu kepada aspek perilaku (behavioral aspect) yang merujuk
kepada norma kelompok, misalnya sikap dan tindakan apa yang dilakukan secara
kelompok, serta aspek situasional (situational aspect) seperti halnya apa yang
dimiliki atau difasilitasi oleh organisasi.
Diadopsi menurut Cooper (2004) penggunaan istilah iklim K3 (safety
climate) cenderung merujuk kepada karakteristik kepribadian pekerja, seperti apa
yang dipikirkan orang terkait dengan K3 dalam suatu organisasi, termasuk dalam
hal ini adalah sikap dan perilaku individual. Dengan kata lain budaya K3 adalah
nilai-nilai yang melekat pada diri pribadi yang mempengaruhi sikap, mental serta
aktivitas individu dalam bekerja untuk selalu peduli terhadap keselamatan dan
kesehatan diri pribadi, orang lain dan lingkungannya.
Pembahasan
Interpretasi yang berbeda terhadap budaya organisasi dapat terjadi pada
pegawai-pegawai yang berada dalam suatu organisasi. Hal ini dapat terjadi karena
adanya spesialisasi kerja yang menyebabkan dua atau beberapa kelompok tersebut
terdiferensiasi dalam struktur organisasi, khususnya diferensiasi horizontal.
Diferensiasi horizontal mempertimbangkan tingkat pemisahan horizontal di antara
unit-unit maksudnya adalah, diferensiasi antara unit-unit berdasarkan orientasi
para anggotanya, sifat dari tugas yang mereka laksanakan, dan tingkat pendidikan
serta pelatihannya (Robbins, 1994: 91 – 92). Dalam menafsirkan nilai-nilai harus
dapat dilihat secara saksama mengenai apa yang seharusnya dan apa yang mereka
benar-benar inginkan untuk kepentingannya sendiri.
Pola pikir dan tindakan tiap-tiap unit yang berbeda dapat dengan mudah
memunculkan interpretasi yang berbeda terhadap suatu nilai dalam perusahaan.
Setiap individu pada dasarnya mempunyai cara berpikir, dan bertindak yang
berbeda karena itu terdapat nilai-nilai yang kemudian dapat membatasi tindakan
mereka, namun terkadang nilai-nilai yang ada tidak serta merta diinterpretasikan
sama antara satu individu dengan individu lainnya. Perbedaan interpretasi budaya
organisasi perusahaan ini dapat dilihat dalam fenomena pekerja dan manajemen.
Interpretasi Karyawan..., Ari Putri B Septiani, FISIP UI, 2012
Di lapangan banyak ditemukan berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh
karyawan, namun setelah didalami pelanggaran itu timbul karena ketidakpuasaan
karyawan terhadap pihak manajemen. Perasaan tidak puas berpangkal dari tidak
terpenuhinya kebutuhan individu atau suatu kelompok yang pada akhirnya
menimbulkan pertentangan. Konflik pada hakikatnya adalah segala sesuatu
interaksi antara dua pihak atau lebih. Konflik organisasi adalah ketidaksesuaian
antara dua atau lebih anggota-anggota atau kelompok-kelompok organisasi yang
timbul karena adanya kenyataan bahwa mereka harus membagi sumber dayasumber daya yang terbatas atau kegiatan-kegiatan kerja dan atau karena kenyataan
mereka mempunyai perbedaan status, tujuan, atau nilai. (Rivai, 2003). Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa konflik adalah pertentangan dalam hubungan
kemanusiaan antara satu pihak dengan pihak yang lain dalam mencapai suatu
tujuan, yang timbul akibat adanya perbedaan kepentingan, emosi/psikologi, dan
nilai. Mirisnya, banyak karyawan menyadari bahwa lingkungan kerjanya
merupakan lingkungan yang berbahaya tetapi menganggap penggunaan APD (alat
pelindung diri) menjadi penghambat pekerjaan mereka. Sebagai faktor penyebab,
sering terjadi karena kurangnya kesadaran pekerja dan kualitas serta keterampilan
pekerja yang kurang memadai.
Salah satu kebijakan perusahaan untuk meminimalisir kecelakaan yang
terjadi adalah melakukan kegiatan inspeksi lapangan. Inspeksi ini dilakukan oleh
tim yag terdiri dari divisi K3LH, Damkar, Perusahaan Mitra Kerja, Plant
Inspector pabrik Hot Strip Mill, Manager Pabrik Hot Strip Mill, dan Kadis serta
Supervisor dari dinas-dinas yang terdapat di pabrik Hot Strip Mil, namun yang
menarik dari inspeksi ini, hampir seluruh karyawan mengetahui kapan inspeksi itu
berlangsung. Hal ini berdampak pada ketidakefektifan dari kegiatan inspeksi ini.
Selain inspeksi, perusahaan juga mengadakan pelatihan untuk memberikan
pengetahuan kepada karyawan mengenai K3, namun pengetahuan tentang K3 itu
tidak dibarengi dengan sikap dan tindakan untuk mengaplikasikan pengetahuan
mereka. Terlebih lagi mereka menyadari bahwa lingungan pekerjaan mereka
beresiko tinggi, namun tidak jarang rekan kerja mereka atau bahkan mereka
sendiri mengalami kecelakaan kerja.
Interpretasi Karyawan..., Ari Putri B Septiani, FISIP UI, 2012
Banyak pekerja yang meremehkan risiko kerja, sehingga tidak
menggunakan alat-alat pengaman walaupun sudah tersedia.Padahal, kecelakaan
kerja yang terjadi dapat mengakibatkan korban jiwa, cacat, kerusakan peralatan,
menurunnya mutu dan hasil produk, terhentinya proses produksi dan kerusakan
lingkungan, yang pada akhirnya akan merugikan semua pihak. Dalam skala besar,
akibat kecelakaan kerja yang banyak terjadi dan besarnya jumlah kerugian yang
diderita perusahaan, secara kumulatif akan pula merugikan perekonomian sosial.
Karyawan harus menyadari betapa pentingnya K3 bagi dirinya, keluarganya, dan
bagi perusahaan. Kesadaran ini hendaknya diwujudkan dalam sikap dan perilaku
positif (positive safety attitude) keseharian di lingkungan tempat kerja, yaitu
dengan pemahaman mengenai lost time injury dimana karyawan harus mendapat
penyuluhan jangka panjang bahwa kecelakaan sekecil apapun akan berakibat tidak
baik bagi diri pribadi, keluarga, dan perusahaan.
Sebenarnya, semakin cukup kuantitas dan kualitas fasilitas keselamatan
dan kesehatan kerja, maka semakin tinggi pula mutu kerja karyawannya. Dengan
demikian perusahaan akan semakin diuntungkan dalam upaya pencapaian
tujuannya. Pihak manajemen perusahaan seharusnya mampu mengakomodasi
persoalan karyawan sejauh yang terkait dengan kepentingan perusahaan.
Pertimbangannya adalah bahwa unsur keselamatan dan kesehatan karyawan
memegang peranan penting dalam peningkatan mutu kerja karyawan.
Permasalahan awal yang timbul antara karyawan dan manajemen adalah
terjadinya ketidaklancaran komunikasi yang berlanjut pada interaksi keduanya
dalam melaksanakan kegiatan bisnis. Permasalahan tersebut berkembang dari
kepentingan-kepentingan antara pekerja dan manajemen akibat perbedaan
pemaknaan dan kepentingan. Hambatan-hambatan dari interaksi yang terjadi
akibat proses komunikasi yang buruk di antara karyawan dan manajemen
membawa mereka pada pemaknaan yang berbeda mengenai suatu situasi tertentu,
dalam hal ini pelaksanaan program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3).
Interpretasi Karyawan..., Ari Putri B Septiani, FISIP UI, 2012
Kesimpulan
Pada dasarnya, manajemen dan karyawan merupakan satu kesatuan dalam
perusahaan yang tidak bisa dipisahkan karena satu sama lain saling berkaitan.
Kedua bagian ini terbagi atas spesialisasi kerja yang berbeda yang menciptakan
pola pikir dan tindakan yang juga berbeda. Perbedaan interpretasi di antara
manajemen dan karyawan berdampak pada tindakan mereka dalam menjalankan
pekerjaannya dan menginterpretasi serta mengimplementasi budaya K3.
Perbedaan tersebut kemudian memunculkan konflik-konflik kecil yang dilakukan
karyawan karena proses interaksi di antara mereka yang kurang harmonis.
Komunikasi yang tidak berjalan sebagaimana mestinya dalam perusahaan
mempertajam perbedaan antara mereka dan menjadi salah satu alasan
ketidaksepahaman mereka dalam menjalankan pekerjaan masing-masing.
Pihak manajemen sebagai pihak yang mempunyai otoritas pembuatan
kebijakan mempunyai program inspeksi untuk menekan angka kecelakaan kerja,
salah satunya adalah inspeksi. Inspeksi K3 merupakan suatu bentuk kegiatan
pemeriksaan dan pemantauan mengenai segala sesuatu yang ada di tempat kerja
yang berkenaan dengan keselamatan dan kesehatan kerja yang bertujuan untuk
mengetahui sejauh mana suatu tempat kerja masih memenuhi ketentuan dan
persyaratan K3. Lingkup kerja yang diinspeksi ialah proses kerja, material yang
digunakan saat bekerja, lingkungan kerja, dan keadaan saat bekerja, namun
sayangnya kegiatan inspeksi tersebut tidak berjalan dengan optimal.
Makna tentang keselamatan ternyata dapat ditafsirkan secara berbeda oleh
para pekerja. Ada pekerja-pekerja yang merasa cukup aman dengan perlengkapan
yang tidak menurut kaidah keselamatan. Mereka merasa demikian karena
memang tidak ada kejadian-kejadian bahaya yang mengisi pengalaman mereka
selama bekerja dalam kondisi beresiko. Tetapi justru hal seperti ini yang
berpotensi mengarahkan mereka pada kecelakaan-kecelakaan. Penafsiran berbeda
tentang Budaya K3 ini harus disadari oleh pihak yang berwenang dalam
perusahaan, agar dapat diantisipasi dengan menciptakan program-program atau
latihan-latihan dan simulasi menghadapi bahaya karena simulasi tidak hanya
berguna yentang tindakan yang seharusnya mereka lakukan ketika terjadi
Interpretasi Karyawan..., Ari Putri B Septiani, FISIP UI, 2012
kecelakaan melainkan juga semacam peringatan bahwa keadaan lingkungan kerja
mereka yang mempunyai bahaya tinggi.
Dalam konteks sosialisasi dan implementasi budaya K3 perlu diupayakan
optimal
penyelarasan
interpretasi
oleh
seluruh
karyawan.
Kemudian
operasionalisasi di tingkat pimpinan perusahaan seperti manajer, direksi dan
bahkan CEO perlu senantiasa diwujudkan agar mereka dapat menjadi panutan
bagi para pegawai lain dalam melakukan interaksi dengan baik lintas divisi.
Apabila sosialisasi dan operasionalisasi tidak berhasil untuk menyelaraskan
interpretasi budaya K3, kemungkinan terjadinya konflik antar divisi menjadi
besar, sehingga proses dialog juga menjadi satu bagian penting dalam membuat
kebijakan atau kesepakatan yang ada dalam perusahaan agar setiap mekanisme
pengambilan keputusan sampai konflik dapat diselesaikan dengan kedua pihak
mendapat keuntungan dan tidak ada yang dirugikan.
Daftar Pustaka
Annanto Ghufron, A. Tjokrosanto, S
1993 “Government Official Knowledge and Attitude on Handling of
AIDS in Yogyakarta, The Journal of Indonesian Epidemiologi”. 2:
31-48.
Bird, Frank E, Jr. & George L. Germain
1990 Practical Loss Control Leadership. USA: Division of International
Loss Control Institute.
Bruner, Edward. M.
1986 Experience and Its Expressions, dalam The Anthropology of
Experience. Chicago: University of Illinois Press, hal 3-30.
Bungin, B.
2006 Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Prenada Media Group.
Cameron, Ian. T & Raghu Raman
2005 Process System Risk Management. Netherlands: Elsevier
Academic Press.
Clarke, JR
2000 Coastal Zone Management Handbook. Boca: Lewis/CRC Press.
Cooper, M. D
2004 Exploratory Analysis Of The SafetyClimate And Safety Behavior
Relationship. Kuala Lumpur: Universiti Sains Malaysia45.
Dewi, Indira
2001 Gambaran Budaya K3 Di Divisi Sarana Industri Pabrik Fabrikasi
Baja PT. Wijaya Karya. Skripsi pada Fakultas Kesehatan
Masyarakat Uinversitas Indonesia Depok.
Interpretasi Karyawan..., Ari Putri B Septiani, FISIP UI, 2012
Dilthey, Wilhelm
1976 Dilthey: Selected Writings. H. P Rickman, ed Cambridge:
Cambridge University Press, hal 230.
Fathoni, Muhammad
2008 Hubungan Antara Persepsi Karyawan Terhadap Program
Kesehatan dan Keselamatan Kerja Dengan Kepuasan Kerja
Karyawan. Skripsi pada Fakultas Psikologi Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Geertz, Clifford
1992 Tafsir kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Geotsch, David L
2008 Occupational Safety and Health: for Technologist Engineers, and
Manager, sixth edition. New Jersey: Prentice-Hall Inc.
Gershon, R. M., et al.
2000 Hospital Safety Climate and its Relationship With Safe Work
Practices and Workplace Exposure Incidents. American Journal of
Infection Kontrol, 28, 211-221.
Gibson, James L., et al.
2005 Organizations: Behaviour, Structure, Process, 11th Edition.
McGraw-Hill
Hamaideh, Shaher H.
2004 Safety Culture Instrument: A Psychometric Evaluation. University
of Cincinnati Hayes, BE., Perander, J., Smecko, T. & Trask, J.
(1998). Measuring perceptions of workplace safety: Development
and validation of the work safety scale. Journal of Safety Research,
Vol. 29, No.3. pp145-161.
Heinrich HW, et al.
1980 Industrial Accident Prevention, A Safety Management Approach.
Ed 5. New York: McGraw-Hill Book Company.
Hofstede, Geert
1991 Cultures and Organizations: Software of the Mind. Berkshire:
McGaw-Hill Book Company.
International Labour Organization (ILO)
2009 International Labour Conference 98th Session (Report III). 2009.
10 Februari 2010. http://www.ilo.org
Joedoatmodjo, Soekotjo
2000 Satu Abad K3: Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Di Indonesia
1900-2000. Jakarta: Dewan Keselamatan Dan Kesehatan Kerja
Nasional.
Kast, Rosenweig
1970 Organisasi dan Manajemen (Alih Bahasa Hasyim Ali). Jakarta:
Bumi Aksara.
Kusuma, Ibrahim Jati
2010 Pelaksanaan Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja PT.
Bitratex Industries Semarang. Skripsi pada Fakultas Ekonomi
Universitas Diponegoro Semarang.
Interpretasi Karyawan..., Ari Putri B Septiani, FISIP UI, 2012
Lestari, Trisna
2007 Hubungan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) Dengan
Produktivitas Kerja Karyawan (Studi Kasus : Bagian Pengolahan
PTPN VIII Gunung Mas, Bogor). Skripsi pada Fakultas Ekonomi
dan Manajemen Institut Pertanian Bogor.
Luthans, Fred
1995 Organizational Behavior. New York: McGraw-Hill Book
Company.
Noegroho, Muhammad
2009 Analis Hubungan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)
Karyawan Terhadap Kinerja Karyawan. Skripsi pada Fakultas
Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor.
Notoadmodjo, Soekidjo
2003 Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
2007 Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka Cipta.
Raresputi, Anggita
2010 Analisa Tingkat Risiko Keselamatan Kerja Pada Aktivitas
Produksi di Area Kerja Body Shop PT Isuzu Astra Motor Indonesia
Assembling Plant Pondok Ungu Bekasi tahun 2010. Skripsi pada
Fakultas Kesehatan Masyarakat Unversitas Indonesia Depok.
Rivai, Veithzal
2003 Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Robbins, Stephen P.
1994 Teori Organisasi: Strutur, Desain, dan Aplikasi. Jakarta: Arcan.
1996 Perilaku Organisasi – Kontroversi – Aplikasi. Jilid II. Edisi Bahasa
Indonesia. Jakarta: Prehallindo.
Santoso, G.
2004 Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: Prestasi
Pustaka.
Sarwono, S.
1993 Sosiologi Kesehatan Konsep Beserta Aplikasinya. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Suardi, Rudi.
2000 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta:
Tim PPKPT.
Sumakmur , P. K
1991 Keselamatan Kerja & Pencegahan Kecelakaan. Jakarta: Gunung
Agung.
1995 Keselamatan dan Pencegahan Keselamatan Kerja. Jakarta:
Gunung Agung.
1996 Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: Gunung Agung.
Turner, Victor W.
1985 Experience and Performance. Toward a New Prosessual
Anthropology dalam Edith L. B. Turner (ed). On the Edge of the
Bush: Anthropology as Experience. The University of Arizona
Press. Hal 212.
Interpretasi Karyawan..., Ari Putri B Septiani, FISIP UI, 2012
Download