Dr. H. M. Amir HM., M.Ag. MEMBUMIKAN KONSEP PENDIDIKAN QUR’ANI: Dari Teosentris ke Antroposentris Copyright@penulis 2016 Penulis Dr. H. M. Amir HM., M.Ag. Editor Muhammad Rusydi Tata Letak Mutmainnah vi+190 halaman 15,5x23cm Cetakan I : November 2016 ISBN: 978-602-328-209-8 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang memperbanyak seluruh atau sebagian isi buku ini tanpa izin tertulis penerbit Alauddin University Press Kampus I : Jalan Sultan Alauddin No. 63 Makassar Kampus II : Jalan Sultan Alauddin No. 36 Samata – Gowa ii | Segala puji bagi Allah swt., Tuhan seluruh alam yang senantiasa mencurahlkan rahmat dan nikmat-Nya diseluruh alam. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad saw. Yang telah menegakkan agama Islam, sebagai agama yang akan mengantarkan manusia memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Buku “Membumikan Konsep Pendidikan Qur’ani: Dari Teosentris ke Antroposentris”, dimaksudkan sebagai upaya membumikan sebagian kecil nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam al-Qur’an. Sebagai perwujudan bahwa al-Qur’an mencakup segala kebutuhan manusia, termasuk kebutuhan tentang pendidikan, sehingga keyakinan bahwa al-Qur’an merupakan sumber normatif pendidikan Islam, tidak hanya dalam ranah konsepsional, tetapi menjadi bagian dari konstruksional dan kontekstual pendidikan. Pendidikan yang dimaksud dalam buku ini adalah pendidikan yang berorientasi pada pengintegrasian beberapa dimensi kecerdasan yang dalam hal ini adalah kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual, sehingga mewujudkan manusia yang sehat jasmani yang ditandai dengan kemampuannya berkreativitas untuk melakukan perubahan yang bersifat rasional-empiris yang ditandai dengan kemampuannya berkomunikasi dengan Tuhannya melalui sudut vertikal-kordinatif ibadah dan kemampuannya berkomunikasi dengan sesama manusia dalam bentuk horizontal-subordinatif muamalah yang kemudian dijabarkan dalam dimensi makrokosmos | iii berupa interaksi dengan alam sekitarnya dalam bentuk tanggung jawab dan kasih sayang. Penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada semua pihak yang telah berpartisipasi atas keberadaan buku ini, terutama Saudara Muhammad Rusydi yang bersedia meluangkan waktu untuk mengeditnya. Semoga usaha ini bermanfaat dalam rangka mencerdasakan kehidupan bangsa baik dalam konteks kekinian demikian pula pada masa-masa mendatang dalam spektrum ibadah kepada Allah swt. Sebagai sebuah kajian ilmah, tentu di dalamnya terdapat keterbatasan dan kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik yang sifatnya korektif-konstruktif sehingga nilai-nilai ilmiahnya tetap terpelihara dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Semoga Allah swt. senantiasa melimpahkan rahmat dan nikmat-Nya kepada kita semuanya, dalam melaksanakan tugas keseharian kita sebagai khalifah dan sekaligus sebagai pemakmur dalam kehidupan di dunia ini. Amin. Watampone, 07 Oktober 2016 Penulis, H. M. Amir HM iv | أ ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص Ā/ā Ī/ī Ū/ū a b t ṡ j ḥ kh d ż r z s sy ṣ = A/ a panjang, contoh = I/ i panjang, contoh = U/u panjang, contoh ḍ ṭ ẓ ‘ G F Q K L M N W H Y ض ط ظ ع غ ف ق ك ل م ن و ه ي المــالك الـرحـيـم الـغـعـور |v Kata Pengantar ......................................................................... iii Pedoman Transliterasi ............................................................. v Daftar Isi .................................................................................. vi I. Pendahuluan ................................................................. 1 II. Pengertian, Fungsi, Nama dan Kemu’jizatan Al-Qur’an 7 A. Pengertian al-Qur’an ................................................... 7 B. Fungsi al-Qur’an ........................................................ 10 C. Nama-nama Al-Qur’an ................................................ 18 D. Kemu’jizatan al-Qur’an .............................................. 26 III. Konsep Dasar Pendidikan Islam .................................... 37 A. Pengertian Pendidikan Islam ..................................... 37 B. Tujuan Pendidikan Islam ........................................... 39 C. Fungsi Pendidikan Islam ............................................ 41 D. Dasar Pendidikan Islam ............................................. 44 E. Sumber Pendidikan Islam .......................................... 58 F. Landasan Pendidikan Islam ....................................... 68 IV. Membumikan Konsep Pendidikan Qur’ani: Dari Teosentris ke Antroposentris ......................................................... 73 A. Tujuan Pendidikan Qur’ani ...................................... 73 B. Fungsi Pendidikan Qur’ani ....................................... 84 C. Materi Pendidikan Qur’ani ....................................... 91 D. Metode Pendidikan Qur’ani ..................................... 103 E. Membumikan Konsep Pendidikan Qur’ani melalui Pendidikan Karakter ...................................... 132 F. Membumikan Konsep Pendidikan Qur’ani melalui Pendidikan Keluarga ..................................... 168 Daftar Pustaka .................................................................... 179 Identitas Penyusun .............................................................. 187 vi | Pendidikan hingga kini masih dipercaya sebagai media yang sangat ampuh dalam membangun kecerdasan sekaligus kepribadian anak manusia menjadi yang lebih baik. Oleh karena itu, pendidikan dibangun dan dikembangkan secara terus menerus agar proses pelaksanaannya menghasilkan generasi yang dapat bertanggung jawab, baik terhadap Allah swt., sesama manusia maupun lingkungannya, terutama dalam menghadapi zaman yang terus berkembang di era kecanggihan teknologi dan komunikasi. Oleh karena itu, upaya menyiapkan sumber daya manusia yang cerdas, terampil, mandiri dan berakhlak mulia adalah sesuatu keniscayaan yang terus menerus dilakukan melalui proses pendidikan.1 Dengan demikian, proses pendidikan harus terus menerus dievaluasi dan diperbaiki, sehingga dapat menghasilkan peserta didik yang diharapkan, yakni peserta didik yang memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Ketiga kecerdasan ini, pada dasarnya, merupakan potensi sekaligus kelengkapan yang terdapat dalam diri manusia. Potensi intelektual dijelaskan oleh Allah swt. antara lain dalam QS. AlBaqarah/2: 31 1 Akhmad Muhaimin Azzet, Urgensi Pendidikan Karakter di Indonesia (Cet. I; Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 9 |1 . . . Terjemahnya: Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya .. 2 . Potensi emosional dijelaskan oleh Allah swt., antara lain dalam QS. Al-Māidah/5: 2 sebagai berikut; . . . Terjemahnya: Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. . . 3 Potensi spiritual dijelaskan oleh Allah swt. antara lain dalam QS. Aż-Żāriyāt/51: 56 sebagai berikut; Terjemahnya: Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.4 Allah swt. menciptakan manusia dan melengkapinya dengan berbagai potensi sesuai dengan kebutuhan hidupnya sehingga ia dapat menata kehidupannya di muka bumi dengan baik. Potensi-potensi tersebut berkembang sesuai dengan perkembangan usia, pengalaman, lingkungan dan pendidikan. 2 Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2002), h. 6 2| 3 Ibid., h. 142 4 Ibid., h. 756 Potensi yang diberikan oleh Allah swt. kepada manusia, bersifat aktif dan dinamis, namun tidak akan berkembang dengan sendirinya secara sempurna tanpa adanya bantuan dari pihak lain. Potensi kemanusiaan ini akan bergerak terus menerus sesuai dengan pengaruh yang melingkupinya. Hanya saja intensitas pengaruh itu sangat bervariasi sesuai dengan kemauan dan kesempatan yang diperolehnya yang dapat menentukan pengalaman dan kedewasaan masing-masing. Maka dari itu, manusia sering disebut sebagai makhluk yang dapat dididik dan mendidik atau makhluk pendidikan.5 Secara ideal, pendidikan yang selama ini dikembangkan di tengah-tengah masyarakat melalui para ulama, para guru para cedikiawan, mencerminkan nilai-nilai yang diwariskan oleh Nabi Muhammad saw., namun kenyataannya proses pendidikan yang dilakukan selama ini, baik jalur pendidikan formal, nonformal maupun informal belum sepenuhnya berhasil membangun manusia yang berkualitas yang ditandai dengan banyakanya lulusan sekolah, pesantren dan sarjana yang cerdas secara intelektual, namun tidak bermoral yang tangguh dan tidak berprilaku yang sesuai dengan tujuan mulia pendidikan. Dalam implementasinya, pendidikan memerlukan koreksi menyeluruh, baik secara kelembagaan, maupun individu terhadap proses pelaksaan pendidikan dengan kembali merujuk kepada nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam al-Qur’an sebagai sumber normatif pendidikan Islam, yang boleh jadi masih terdapat nilai-nilai di dalamnya terabaikan penjabarannya di kalangan umat Islam, sehingga al-Qur’an tidak berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia,6 sebagai obat dan rahmat,7 sebagai pemberi peringatan,8 5 Syahidin, Menelusuri Metode Pendidikan dalam al-Qur’an (Cet. I; Bandung: Al-Fabeta, 2009), h. 23. 6 QS. Al-Baqarah/2: 185 7 QS. al-Isra’/17: 82 |3 sebagai petunjuk dan rahmat,9 sebagai peraturan yang benar,10 sebagai pembeda antara yang benar dan yang batil,11 dan sebagai petunjuk kepada orang yang bertakwa.12 Hal tersebut secara esensial tidak menjadi kenyataan dalam kehidupan umat manusia, karena kelalaian 13 atau ketidak mampuan umat manusia mangkaji, memahami dan mengamalkan isi al-Qur’an, sehingga berimplikasi terhadap kurangnya kecintaan terhadap al-Qur’an. Kecintaan terhadap al-Qur’an tidak hanya sebatas kemauan membaca huruf demi huruf dengan fasih, walaupun hal itu penting, tetapi juga tidak kalah pentingnya adalah kemampuan memahami makna-makna yang tersirat di dalam al-Qur’an itu. “Karena ia turun untuk berdialog dengan setiap umat yang ditemuinya, sekaligus menawarkan pemecahan terhadap peroblema tersebut, kapan dan di mana pun mereka berada”14 Hal ini dipertegas lagi oleh Ibrahim Eldeeb, bahwa ada lima kewajiban umat Islam terhadap al-Qur’an, yaitu: Pertama, mengetahui ilmu-ilmu al-Qur’an untuk mengikis kebodohan terhadapnya. Kedua, membaca al-Qur’an dengan baik dan benar. Ketiga, memahami makna dan tafsir al-Qur’an serta berusaha untuk menyelami nilai-nilainya. Keempat, berakhlak dengan 8 QS. al-Qalam/68: 52 9 QS. al-A’raf/7: 203 10 QS. al-Ra’d/13: 37 11 QS. al-Furqan/25: 1 12 QS. al-Baqarah/2: 2 13 Bentuk-bentuk kelalaian terhadap al-Qur’an adalah membaca tanpa memahami makna dan tafsirnya, tidak berakhlak dengan akhlak al-Qur’an dan tidak berusaha meninggikannya. Ibrahim Eldeeb, be Living Qur’an. Diterjemahkan oleh Faruq Zaini dengan judul “Petunjuk Praktis Penerapan ayatayat al-Qur’an dalam Kehidupan sehari-hari (Cet. I; Ciputat: Lentera Hati, 2009), h. 11 14 Said Agil Husin Al Munawar, Al-Qur’an, Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (Cet. IV; Jakarta: Ciputat Press, 2004), h, xii. 4| akhlak al-Qur’an. Kelima, berusaha mengukuhkan al-Qur’an di muka bumi.15 Salah satu usaha untuk mewujudkan hal tersebut adalah melalui dengan pendidikan. Oleh karena itu, al-Qur’an ketika menginformasikan tentang pendidikan selalu berorientasi kepada pembentukan dan pengembangan manusia seutuhnya sehingga materi-materi yang disajikan al-Qur’an selalu menyentuh jiwa, akal dan raga manusia.16 Buku ini berusaha mengkaji nilai-nilai17 pendidikan dalam al-Qur’an dengan membumikan pendidikan qur’ani dengan melihatnya sebagai suatu isyarat normatif dari dimensi teosentris yang melangit ke untuk kemudian turun menyapa manusia pada dimensi antroposentris yang membumi. Dalam implementasinya, al-Qur’an telah menawarkan berbagai nilai pendidikan yang memungkinkan manusia memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menyelami atau mendalami dan sekaligus sebagai langkah untuk mereaktualisasikan nilai-nilai pendidikan yang terpendam dalam al-Qur’an. 15 Ibrahim Eldeeb, loc. cit. 16 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Cet. VII; Bandung: Mizan, 1994), h. 175. 17 Secara filosofis, nilai sangat terkait dengan masalah etika, yang menjadi tolok ukur tindakan dan prilaku manusia. Dalam berbagai aspek kehidupannya. Sumber-sumber etika boleh jadi dari hasil pemikiran, adat istiadat atau tradisi, idiologi bahkan dari agama. Dalam konteks etika pendidikan dalam Islam, maka sumber etika atau nilai-nilai yang paling sahih adalah al-Qur’an dan Sunnah yang kemudian dikembangkan oleh hasil ijtihad para ulama. Nilai-nilai yang bersumber dari adat istiadat atau tradisi dan idiologi sangat rentan dan situasional. Sedangkan nilai-nilai yang bersumber dari al-Qiur’an adalah kuat, kerena ajaran al-Qur’an bersifat mutlak dan universal. Lihat Said Agil Husin al-Munawwar, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani Dalam Sistem Pendidikan Islam (Cet. II; Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005), h. 3 |5 6| A. Pengertian al-Qur’an Term Qur'an berasal dari bahasa Arab yakni قـرأberakar kata dari huruf qaf,ra dan harf al-illat yang berarti menghimpun atau mengumpulkan,18 yang oleh M. Quraish Shihab kata tersebut dapat berarti; “menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-cirinya dan sebagainya, kesemuanya dapat dikembalikan kepada hakikat "menghimpun".19 Ketika seseorang merangkai kata demi kata lalu membacanya berarti dia menghimpun kata-kata itu. Dari kata dasar يـقـرأ، قـرأterbentuklah ism al-masdar قـرأنlalu menjadi nama dari kitab yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. yakni الـقـرأن. Dinamakan demikian, karena di dalamnya terhimpun hukum-hukum, kisah-kisah dan lain-lainya).20 Menurut al-Lihyan (w.215 H). Seperti yang dikutip oleh Said Agil Husin bahwa term al-Qur’an adalah bentuk mashdar dari kata kerja qara’a, berarti ‘bacaan.” Kata ini selanjutnya, berarti 18 Abī al-Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, Maqāyis al-Lugah., jilid V (Bairūt: Dār al-Jīīi, 1420 H./1999 M.), h. 78 19 M. Quraish Shihab, Membumikan, op. cit., h.S 167 20 Abī al-Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, op. cit., Juz V, h. 79 |7 kitab suci yang diturunkan oleh Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. Masih dalam kutipan Said Agil Husin menurut al-Zujjaj (w. 311 H.). term Qur’an adalah kata sifat dari al-qar’u yang bermakna al-jam’u (kumpulan). Selanjutnya kata ini digunakan sebagai salah satu nama bagi kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., karena al-Qur’an terdiri dari sekumpulan surah dan ayat, memuat kisah-kisah, perintah dan larangan, dan mengumpulkan intisari dari kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya. Menurut Imam Syafi’i (w. 204 H.) juga masih kutipan Said Agil Husin, term al-Qur’an adalah isim alam, bukan kata bentukan dan sejak awal digunakan umat Islam sebagai kitab sucinya.21 Dari ketiga pendapat yang dikutip oleh Said Agil Husin tersebut, penulis lebih cenderung kepada pendapat pertama (alLihyan) karena dilihat dari bentuk katanya (qur’anun) adalah ism al-mashdar, dan setiap ism al-mashdar pasti berdasar dari fi’il madi (qara’a). Hal ini sesuai dengan firman Allah swt. dalam QS. al-Qiyamah/75: 18 Terjemahnya: Apabila Kami telah selesai membacanya, maka ikutilah bacaannya.22 Dari segi terminologi, terdiri dari berbagai pendapat antara lain: 1. Menurut Muhammad Ali al-Ṣābūnī, al Qur'an adalah “Kalamullah yang diturunkan kepada Muhammad saw. dengan perantaraan malaikat Jibril yang disampaikan kepada umatnya secara mutawatir, dan membacanya atau 21 22 8| Said Agil Husin Al Munawar, Al-Qur’an, op. cit., h. 4-5 Departemen Agama RI., op. cit., h. 854 mempelajarinya merupakan suatu ibadah, dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al Nass.”23 2. Menurut Mannā’ al-Qaṭṭan, al-Qur’an adalah : “Kalamullah yang diturunkan kepada Muhammad saw. dan membacanya adalah ibadah.”24 3. Menurut Ṣubhī al-Ṣālīḥ, al-Qur’an adalah “firman Allah swt. yang merupakan mu’jizat diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., ditulis dalam mushhaf, dinukilkan secara mutawatir, dan membacanya merupakan ibadah.”25 4. Menurut al-Zarkānī, al-Qur’an adalah “lafal yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang dimulai dengan surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah alNas.”26 Dari beberapa pengertian al-Qur’an secara terminologi tersebut, dari segi redaksinya terdapat perbedaan, namun dari segi makna dan tujuannya pada dasarnya sama yakni, bahwa al-Qur’an itu makna dan lafalnya dari Allah yang disampaikan oleh malikat yang ditugaskan oleh Allah swt. (Jibril) kepada Nabi Muhammad saw. atau disampaikan langsung oleh Allah swt. seperti melalui mimpi, sekaligus menjadi mu’jizat baginya. dan ketika membacanya akan memperoleh pahala atau menjadi ibadah yang tersusun dari surah al-Fatihah sampai surah al-Nas. 23 Muhammad Ali al-Ṣābūnī, Al-Tibyān fi 'Ulūm al-Qur'ān Libanon: Dār Al Irsyād, 1970), h. 8 (Bairūt- 24 Mannā al-Qaṭṭān, Mabāḥis fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Bairūt: al-Syarikah al-Muṭṭaḥidaḥ li al-Taūziiī’, 1957), h. 15 25 Ṣubḥu al-Ṣalih, Mabāḥis fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Bairūt: Dār. al-Ilm lil Malayaīn, 1977), h. 15 26 Muhammad ‘Abd. Al-‘Aẓīm al-Zarqānī, Manāḥil al-Irfān fī ūlūm al- Qur’ān ., jilid I, (Bairūt Dār al-Fikr, 1988), h. 27. |9 B. Fungsi al-Qur’an Al-Qur’an merupakan sumber ajaran Islam yang pertama dan utama, sekaligus menjadi sumber nilai dan norma bagi umat Islam yang terbagi kepada 30 juz, 114 surah lebih dari 6000 ayat, 74,499 kata atau 325.345 huruf, atau lebih tepat dikatakan 325.345 suku kata,27 memiliki fungsi yang amat berharga bagi kehidupan umat manusia antara lain: 1. Al-Qur’an Sebagai petunjuk bagi umat manusia, sebagaimana firman Allah swt. dalam QS. al-Baqarah/2: 185 ... Terjemahnya: Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasanpenjelasan mengenai petunjuk itu . . . 28 Term ( هـد يhudan) berakar kata huruf ha, dal dan harf almu’tal yang berarti ( الـتـقــد م لال ر شادtampil kedepan memberi petunjuk) dan ( بـعـثـة لـطـفmenyampaikan dengan lemah lembut).29 Sehingga ayat tersebut dipahami bahwa al-Qur’an merupakan petunjuk bagi umat manusia dengan segala kefasihan bahasa dan kelembutan maknanya menjadikan manusia terpesona dan sadar menerima petunjuknya. Menurut M. Quraish Shihab bahwa alQur’an berfungsi sebagai petunjuk bagi umat manusia, karena al27 Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam (Cet. 12; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011), h. 93. 10 | 28 Departemen Agama RI.,op. cit, h. 35 29 Abī Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, op. cit., jilid VI, h. 42. Qur’an adalah kitab yang maha agung, memuat nilai-nilai universal, namun nilai-nilai itu dilengkapi dengan penjelasanpenjelasan yakni keterangan dan rinciannya. Wujud Tuhan dan keesaan-Nya dijelaskan sebagai nilai pertama dan utama bersama dengan rinciannya, tidak hanya yang menyangkut dalil pembuktiannya, tetapi sifat-sifat dan nama-nama yang wajar disandang-Nya. Demikian pula tentang keadilan, al-Qur’an tidak hanya memerintahkan dan mewajibkannya, tetapi al-Qur’an telah menetapkan rincian dan penjelasan-penjelasannya, misalnya dalam kehidupan berumah tangga.30 Dari keterangan di atas, dipahami bahwa sungguh mulia dan agung al-Qur’an yang di dalamnya terdapat berbagai petunjuk umat manusia untuk menata kehidupannya baik untuk kemaslahatan hidup di dunia, maupun untuk kemaslahatan hidup di akhirat. Hanya saja, manusia memiliki keterbatasan untuk menyelami dan memahaminya bahkan mengamalkannya. Karena itu, manusia dituntut agar bersunguh-sungguh menggali isi kandungan al-Qur’an, sehingga makna-makna baik yang tersurat maupun yang tersirat secara berlahan-lahan tetapi pasti dapat diwujudnyatakan oleh umat manusia dalam kehidupan keseharian mereka. 2. Al-Qur’an berfungsi sebagai obat dan rahmat, sebagaimana firman Allah swt. dalam QS. Al-Isra’/17: 82 30 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Volume 1 (Cet. VI, Ciputat: Lentera Hati, 2006), h. 403-404. | 11 Terjemahnya: Dan Kami turunkan dari al-Qur’an (sesuatu) yang menjadi penawar dan rahmat bagi umat yang beriman, sedangkan bagi orang yang zalim (al-Qur’an itu) hanya akan menambah kerugian.31 Menurut M. Quraish Shihab, bahwa yang dimaksud dengan شـفـاءadalah kesembuhan atau obat, keterbatasan dari kekurangan atau ketiadaan rintangan dalam memperoleh manfaat.32 Al-Marāgī ketika menafsirkan ayat tersebut mengemukakan bahwa Allah swt. menurunkan kepada Muhammad saw. dari al-Qur’an itu sesuatu yang dapat menyembuhkan orang dari kebodohan, kesesatan dan menjauhkan mereka dari penyakit-penyakit keragu-raguan dan kemunafikan, penyelewengan dan pengingkaran terhadap Tuhan. Bahkan al-Qur’an selalu menambah kerugian orang-orang zhalim, setiap kali mendengarkan satu ayat dari al-Qur’an, mereka semakin bertambah jauh dari iman dan semakin mengingkari Allah swt. karena hati mereka telah tertutup, sehingga mereka tidak dapat memahami al-Qr’an itu.33 3. Al-Qur’an berfungsi sebagai pemberi peringatan, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Qalam/68: 52 Terjemahnya: Padahal al-Qur’an itu tidak lain adalah peringatan bagi seluruh alam.34 31 Departemen Agama RI., op. cit, h. 396. 32 M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., Volume VII, h. 532. 33 Aḥmad Mushṭafā al-Marāgī, Tafsir al-Marāgī, juz 15 (Cet. I; Mesir: Syarikatun wa Maṭbaatun Musṭafā al-Bābī al-Ḥalabī wa Aulāduh, 1365 H./ 1946 M.), h. 86. 34 12 | Departemen Agama RI., op. cit, h. 830 M. Quraish Shihab, menjelaskan bahwa al-Qur’an itu tidak lain hanyalah peringatan, nasihat dan pengajaran bagi seluruh alam yakni bagi seluruh makhluk hidup yang berakal.35 Al-Qur’an memberi peringatan, dan penjelasan tentang berbagai urusan agama yang dibutuhkan oleh umat manusia.36 Dengan demikian, fungsi al-Qur’an mencakup seluruh hajat hidup umat manusia terutama umat Islam, baik yang berkaitan dengan urusan keduniaan maupun urusan akhirat, material maupun spiritual, atau jasmani dan rohani. Salah satu kandungan al-Qur’an yang mencakup tentang nasihat , pelajaran atau peringatan adalah masalah kisah, yang menurut Manna’ al-Qaṭṭan kisah dalam alQur’an terbagi kepada tiga macam, yakni; Pertama, kisah tentang para nabi yang mencakup dakwah mereka kepada kaumnya beserta tahapan dakwah dan perkembangannya, mu’jizat yang menyertainya, sikap para pembangkan, akibat bagi mereka yang membangkan dakwahnya. Kedua, kisah tentang peristiwa pada masa lampau (sebelum Rasulullah saw.) termasuk sosok selain para nabi. Ketiga, kisah yang terjadi pada masa Rasulullah saw.37 Muhammad Qutub, juga membagi kisah dalam al-Qur’an kepada tiga; 1), kisah yang ditunjukkan tempat, tokoh, dan gambaran peristiwanya, misalnya kisah-kisah para nabi rasul dalam menegakkan kebenaran. 2), kisah dengan menunjukkan peristiwa tertentu dari pelaku sejarah tanpa menyebut nama dan tempat kejadiannya. Ketiga, kisah dalam bentuk dialog.38 Dari beberapa keterangan di atas, menginformasikan bahwa kisah-kisah dalam al-Qur’an menjadi bahan perenungan dan perbandingan bagi umat manusia. Kisah-kisah itu diturunkan 35 M.Quraoish Shihab, Tafsir, op. cit., Volume 14, h. 402-403. 36 Ahmad Muṣṭafā al-Marāgī, op. cit., juz 29, h. 48 37 Mannā’ al-Qaṭṭān, op. cit., h. 306. 38 Muḥammad Qutub, Manḥaj al-Tarbiyyah al-Islāmiyah (t.d: 1967,), h. 235-236. | 13 sebagai media penyampaian pesan kepada umat manusia tentang perlunya usaha terus menerus meningkatkan harkat dan martabatnya sebagai ciptaan Ilahi. 39 Menurut al-Syatibi seperti yang dikutip oleh Ahmad al-Syirbasi, bahwa kisah-kisah dalam alQur’an tidak bermaksud sebagai suatu uraian sejarah yang utuh dan lengkap mengenai kehidupan suatu bangsa atau tokoh tertentu, melainkan sebagai suatu bahan pelajaran bagi umat manusia.40 Kisah-kisah dalam al-Qur’an dalam berbagai bentuk dan coraknya, baik kisah para nabi, orang-orang saleh maupun orang yang durhaka kepada Allah swt. pada dasarnya mengandung makna pelajaran yang amat berharga, kisah yang baik yang sesuai dengan ajaran agama, tentunya dijadikan pelajaran untuk diikuti, tetapi kisah yang tidak baik yang bertentangan ajaran agama dijadikan pelajaran untuk ditinggalkan, seperti kisahnya Fir’aun. 4. Al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang yang beriman, sebagaimana firman Allah swt. dalam QS. Al-A’raf/7: 203 .. . Terjemahnya: (Al-Qur’an) ini adalah bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu, petunjuk dan rahmat bagi orang yang beriman.41 Menurut al-Marāgī yang dimaksud dengan بـصـائرadalah keterangan-keterangan yang nyata dan bukti-bukti yang diterima akal pikiran untuk membuktikan keesaan Allah swt., kenabian Muhammad saw. Serta adanya hari akhirat. Sedangkan هـدي 39 Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban, Membangun Makna dan Relevansi Doktrim Islam dalam Sejarah (Jakarta: Parmadina, 1995), h. 53. 40 Ahmad al-Syirbasi, Sejarah Tafsir Alqur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985), h, 59. 41 14 | Departemen Agama RI., op. cit, h. 237. berarti al-Qur’an itu merupakan petunjuk kepada jalan yang benar untuk memperoleh kebenaran. Adapun ورحـمـــة لقـوم يـؤمـنـونberarti juga menjadi rahmat di dunia dan di akhirat bagi mereka yang beriman kepada Allah swt.42 M. Quraish Shihab mengemukakan bahwa maksud ayat tersebut adalah bahwa Allah swt. telah menurunkan kepada umat manusia (al-Qur’an) yang merupakan bukti yang nyata dari Tuhan, juga merupakan petunjuk yakni penjelasan menyangkut kebahagiaan di dunia dan di akhirat sekaligus menjadi rahmat bagi orang yang beriman.43 Dari keterangan di atas dipahami bahwa ayat tersebut setidaknya menggambarkan tiga fungsi al-Quran yang harus digali, dipahami dan diaplikasikan oleh umat manusia, sehingga benarbenar memperoleh kemaslahatan dalam hidupnya baik di dunia maupun di akhirat. Ketiga fungsi al-Qur’an dimaksud adalah sebagai bukti kebenaran, petunjuk dan rahmat bagi umat beriman. 5. Al-Qur’an berfungsi sebagai peraturan yang benar, sebagaimana firman Allah swt. dalam QS. AlRa’d/13:37. . . . Terjemahnya: Dan demikianlah Kami telah menurunkan (al-Qur’an ) sebagai peraturan yang benar dalam bahasa Arab.44 Term حـكـمـاadalah ism al-masdar dari fi’i al-mādi yaitu حـكـمberakar kata dari huruf ha, kaf dan mim yang berati المـنـع من ( الـظـلـمmencegah dari kezhaliman).45 Kemudian diartikan dengan hukum, karena pada dasarnya penetapan suatu hukum berarti suatu 42 Ahmad Muṣṭafā al-Marāgī, op. cit., juz 9, h. 153 43 M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., Volume V , h. 361. 44 45 Departemen Agama RI., op. cit, h 343. Abī ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, op. cit., jilid II, h. 91 | 15 bentuk pencegahan dari kesewenang-wenangan mengambil tindakan yang tidak benar. Oleh karena itu, al-Qur’an dinamakan hukm karena di dalamnya mengandung penjelasan tentang ketetapan yang benar (haq) dan yang salah, yang halal dan yang haram. Bahkan al-Qur’an mengatur segala sesuatu yang diperlukan oleh orang-orang mukallaf untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.46 Menurut M. Quraish Shihab, ayat tersebut menyifati al-Qur’an dengan dua sifat, Pertama, kandungannya mampu memberi putusan bagi segala perselisihan dan kemusykilan yang dihadapi umat manusia. Kedua, Keistimewaannya pada kata-kata dan susunan redaksinya yang menggunakan bahasa Arab.47 Karena dengan susunan bahasa Arab yang demikian serasinya, sehingga mudah dimengerti oleh Nabi Muhammad saw. dan para sahabatnya, bahkan orang-orang yang bukan bangsa Arab pun dapat memahaminya. 6. Al-Qur’an berfungsi sebagai pembeda antara yang benar dan batil, antara yang haram dan yang halal, sebagaimana firman Allah swt. QS. Baqarah/2: 185 ... Terjemahnya: Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasanpenjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil . . .48 46 Ahmad Muṣṭafā al-Marāgī, op. cit., juz 13, h. 113. 47 48 16 | M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., Volume 6, h. 615. Departemen Agama RI., op. cit, h. 35 Term الـفـرقـانism al-mashdar dari fi’il al-Madi فـرقyang berakar kata dari huruf fa, ra dan qaf yang berarti تـمـيـيز بين شـيـئـين وتـز يـيـلmembedakan atau memisahkan di antara dua masalah(.49 Patron kata yang digunakan ayat ini yakni penambahan alif dan nun pada akhir katanya, mengandung makna kesempurnaan, sewazan dengan ( الـرحـمنyang Maha Sempurna). Al-Qur’an dinamakan al-Furqan karena ia turun terpisah-pisah dalam waktu 22 tahun 2 bulan 22 hari. Juga berfungsi memisahkan dan membedakan antara kebenaran dan kebatilan, dalam arti bahwa alQur’an secara keseluruhan adalah haq (kebenaran), karena kebatilan tidak dapat dipisahkan kecuali dengan haq. Ketika haq menjadi jelas, maka pasti kebatilan akan segera sirna. Menurut Sayyid Qutub, seperti yang dikutip oleh M. Quraish Shihab bahwa term al-Furqan berarti memisahkan antara yang benar dan yang batil, antara petunjuk dan kesesatan, Juga pemisah antara sistem kehidupan yang satu dengan kehidupan yang lain, antara satu masa kemanusiaan dengan masa yang lain, al-Qur’an menggambarkan tentang bentuk kehidupan seluruhnya dalam jiwa manusia serta bentuknya dalam kenyataan, suatu sistem yang tidak bercampur dengan sistem yang lain yang pernah dikenal sebelumnya oleh umat manusia. Al-Qur’an adalah pemisah, yang memisahkan masa kekanak-kanakan manusia dengan masa kedewasaan Ia pemisah antara masa kemu’jizatan indrawi material dengan kemu’jizatan rasional, ia pemisah antara masa kenabian yang bersifat lokal dan temporal dengan masa kenabian yang umum dan universal agar menjadi peringatan bagi seluruh manusia.50 Dari keterangan di atas, dipahami bahwa sungguh mulia alQur’an, karena dengan kandungannya, manusia dapat membedakan yang harus dilakukan dan yang harus ditinggalkan, 49 50 Abī ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, op. cit., jilid IV, h. 493. M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., Volume 9, h. 416-417 | 17 yang boleh dimakan dan yang haram dimakan, serta yang boleh dipakai dan yang tidak boleh dipakai, demi kemaslahatan mereka di dunia dan diakhirat. C. Nama-nama al-Qur’an Al-Qur’an merupakan kitab Allah swt. yang berdimensi banyak dan berwawasan luas meliputi seluruh kebutuhan umat manusia dan memiliki nilai dasar yang menyentuh lubuk hati manusia, sehingga siapa pun yang membaca dan mendengarnya dengan tekun pasti mendapatkan kesejukan hati. Karena demikian luasnya dimensi dan wawasan al-Qur’an, sehingga memiliki beberapa nama antara lain: 1. Dinamakan al-Qur’an yang berarti “bacaan”51 misalnya, QS. Yunus/10: 15 Terjemahnya: Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami dengan jelas, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata, “Datangkanlah kitab selain al-Qur’an ini atau gantilah.” Katakanlah (Muhammad), “Tidaklah pantas bagiku menggantinya atas kemaunku sendiri. Aku hanya mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku. Aku benarbenar takut akan azab hari yang besar (Kiamat) jika mendurhakai Tuhanku.”52 51 QS. Al-Baqarah/2: 185, Al-An’am/6: 19, Yunuf/10: 15 dan Yusuf/12:3 52 18 | Departemen Agama RI., op. cit, h. 281 Menurut al-Marāgī, ayat tersebut menjelaskan bahwa ketika orang-orang musyrik dibacakan ayat-ayat yang diturunkan kepadamu (Muhammad) yang demikian terang penjelasannya, serta menunjukkan kebenaran disertai dengan hujjah atau alasanalasan pembenarannya, mereka berkata kepada yang membacakan ayat-ayat itu (Muhammad saw.) “Datangkanlah al-Qur’an selain yang engkau baca itu atau gantilah” Artinya mereka menginginkan agar al-Qur’an yang dibaca Muhammad saw. diganti dengan kitab atau bacaan lain yang tidak memuat hal-hal yang mereka tidak percayai, misalnya tentang kebangkitan, balasan amal perbuatan, kecaman terhadap berhala kami serta larangan untuk menyembahnya.53 Hal ini sejalan dengan pandangan M. Quraish Shihab ketika menafsirkan potongan ayat I’eti bi Qur’ānin ghairi hāżā au baddalahū, menyatakan bahwa “Datangkanlah al-Qur’an yakni bacaan yang lain dari ini” Seperti bacaan dan kisah-kisah yang diperkenalkan oleh orang-orang India, Persia yang tidak mengandung tuntunan seperti tuntunan yang engkau baca itu.54 Dari keterangan di atas, dipahami bahwa pengertian term biqur’aanin pada ayat tersebut ialah bacaan atau sesuatu yang baca. Dengan demikian semakin jelaslah bahwa salah satu nama al-Qur’an itu adalah bacaan. 2. Dinamakan al-Kitab yang berarti “Kitab atau buku” 55 misalnya QS/ al-Baqarah/2:2 Terjemahnya: Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.56 53 Ahmad Muṣṭafā al-Marāgī, op. cit., juz 11, h. 78 54 M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., Volume 6, h. 39 55 QS. Al-Baqarah/2: 2, al-Nahl/16: 64, al-A’raf/7: 52, al-Nahl/16: 89 | 19 Menurut M. Quraish Shihab ayat tersebut menggunakan isyarat ذالكyang berarti jauh untuk menunjuk al-Qur’an. berbeda halnya kalau ayat menunjuk kepada firman dengan nama al-Qur’an ditunjuk dengan isyarat dekat ()هـذا الـقـران. Penggunaan isyarat jauh ( )ذالكbertujuan memberi kesan bahwa kitab suci ini berada dalam kedudukan yang amat tinggi dan sangat jauh dari jangkauan makhluk, karena dia bersumber dari Allah Yang Maha Tinggi. Sedangkan penggunaan isyarat هــذاuntuk menunjuk betapa dekat tuntunannya pada fitrah manusia.57 Dari keterangan di atas dipahami term al-Kitab pada ayat di atas tidak lain yang dimaksud adalah al-Qur’an. Term al-Kitab adalam bentuk isim (kata benda) yang berarti tulisan, karena alQur’an wujud dalam bentuk tulisan. Oleh karena itu, menurut alMarāgi penggunaan kalimat ذالـك الـكـتـابmenjadi suatu isyarat bahwa Nabi Muhammad saw. tidak diperintahkan menulis sesuatu selain al-Qur’an.58 3. Dinamakan al-Furqan (pembeda antara yang baik dan yang buruk)59 misalnya, QS. Al-Furqan/25: 1 Terjemahnya: Maha Suci Allah yang telah menurunkan al-Furqan (alQur’an) kepada hamba-Nya Muhammad, agar agar dia m emberi peringatan kepada seluruh alam (jin dan manusia).60 Term al-Furqān berasal dari kata faraqa yang berakar kata dari huruf fa, ra dan qaf berarti membedakan di antara dua 20 | 56 Departemen Agama RI., op. cit, h. 2 57 M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., Volume 1, h. 87-88 58 Ahmad Muṣṭafā al-Marāgī, op. cit., juz 1, h. 38. 59 QS. Al-Baqarah/2: 185 dan al-Furqan/25: 1 60 Departemen Agama RI., op. cit, h. 502 hal.61 Karena itu, makna al-Furqan “adalah sesuatu yang membedakan antara kebenaran dan kebatilan”62 Pada ayat ini, Allah swt. tidak menyebutkan al-Qur’an tetapi al-Furqan sebagai penegasan bahwa al-Qur’an itu pembeda yang hak dan yang batil antara petunjuk dan kesesatan.63 Patron kata yang digunakan ayat ini yakni penambahan huruf alif dan nun pada akhir katanya, mengandung makna kesempurnaan. Oleh karena itu, al-Qur’an dinamakan al-Furqaān sebab ia turun terpisah-pisah dalam waktu 22 tahun lebih, atau ia berfungsi memisahkan dan membedakan antara kebenaran dan kebatilan, pemisahan yang demikian sempurna.64 Dari keterangan di atas dipahami bahwa Allah swt. menggunakan term al-Furqān, bukan al-Qur’an, sekalipun yang dimaksudkan itu adalah al-Qur’an memberi kesan bahwa al-Qur’an memiliki makna pembeda antara yang baik dan yang buruk, antara yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, sehingga bagi manusia yang mendapat hidayah al-Qur’an dapat memilih yang positif demi kemaslahatan hidupnya di dunia dan di akhirat. 4. Dinamakan al-Dzikr (peringatan).65 Misalnya QS. AlHijr/15: 9 Terjemahnya: Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an, dan pasti kami (pula) yang memeliharanya.66 61 Abī Husain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, op. cit., jilid IV, h. 493 62 Departemen Agama RI., Al-Qur’;an dan Tafsirnya, jilid 6 (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), h. 650. 63 Ibid., h. 651 64 M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., Volume 9, h. 416 65 QS. Al-Hijr/15: 6 dan 9, al-Nahl/1: 44. | 21 Menurut M. Qurash Shihab kata al-Ẓikr dapat berarti sesuatu yang dilafalkan/diucapkan, dapat juga berarti sesuatu yang terlintas dalam benak. Al-Qur’an dinamakan al-Ẓikr karena ia ucapan yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. untuk dibaca dan diingat-ingat, atau karena dia adalah peringatan tentang keesaan Allah swt. dan keniscayaan hari kemudian, atau karena dengan mengikuti tuntunannya seseorang akan diingat dan diperlakukan dengan baik di hari kemudian, bukan seperti orang yang diabaikan dan dilupakan.67 Al-Marāgī mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan al-Ẓikr pada ayat tersebut adalah alQur’an.68 Ayat tersebut merupakan peringatan keras bagi mereka yang mengabaikan al-Qur’an dan tidak percaya bahwa al-Qur’an itu diturunkan Allah swt. kepada Rasulullah saw. Sikap mereka yang demikian itu, tidak mempengaruhi sedikit pun terhadap kemurnian dan kesucian al-Qur’an karena “Kamilah” yang menurunkannya dan “Kamilah” yang memelihara al-Qur’an itu dari segala macam usaha untuk mengotorinya, berusaha menambah, mengurangi dan merubah ayat-ayatnya. “Kami” akan memelihara dari segala bentuk campur tangan manusia terhadapnya.69 Dari keterangan tersebut, dipahami bahwa salah satu nama al-Qur’an adalah al-Żikr karena al-Qur’an pada dasarnya memuat berbagai peringatan bagi umat manusia dalam menata kehidupannya, baik peringatan terhadap ke Maha Besaran dan Maha Agungan Allah swt. menciptakan alam semesta ini, maupun 22 | 66 Departemen Agama RI., op. cit, h. 355 67 M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., Volume 7, h. 92 68 Ahmad Muṣṭafā al-Marāgī, op. cit., juz XIIII, h. 7 69 Departemen Agama RI., Al-Qur’;an dan Tafsirnya, jilid 5, h. 209 peringatan terhadap balasan Allah swt.kepada hamba-Nya di hari kemudian. 5. Dinamakan Mau>iẓah (pelajaran), Syifa> (obat) dan Hudan (petunjuk) serta Rahmah (rahmat) misalnya QS. Yunus/10: 57 Terjemahnya: Wahai manusia sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (alQur’an) dari Tuhanmu penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman.70 Dari ayat tersebut ditemukan tiga nama lain al-Qur’an yaitu: 1)Mau>iẓah. Term ini berasal dari kata wa’aẓa yang berakar kata dari huruf wau, ain dan ẓa yang berarti al-Takhwīfu yakni menakutkan,71 atau “Peringatan menyangkut kebaikan yang menggugah hati serta menimbulkan rasa takut”.72 Peringatan yang dimaksud pada ayat ini adalah peringatan yang bersumber dari Allah swt. Hal ini dipahami dari term min rabbikum (dari Tuhanmu) yang terdapat sesudah term mauẓah. Sehingga peringatan yang dimaksud adalah peringatan Allah swt. yang terdapat dalam al-Qur’an. Karena itu, salah satu fungsi al-Qur’an memberi peringatan kepada manusia agar selalu berhati-hati melakukan kegiatan, khususnya kegiatan-kegiatan yang memungkinkan manusia keluar dari rel-rel kebenaran, karena akan dibalas oleh Allah swt. sesuai dengan perbuatan yang mereka 70 Departemen Agama RI., op. cit, h. 299 71 Abī ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, op. cit., jilid 6, h. 126 72 M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., Volume 6, h. 102 | 23 lakukan. 2) al-Syifā’ (obat) bentuk ism al-maṣdar dari fi’il māḍi yaitu syafā yang berakar kata dari huuf syin, fa dan hamzah yang berati al-isyrafu alā al-Syai’ (pengawasan terhadap sesuatu).73 kemudian diartikan dengan obat, karena obat berfungsi mengawasi seseorang dari penyakitnya. Al-Qur’an dinamakan syifāun karena al-Qur’an mengawasi seseorang sehingga terbebas dari penyakitnya, baik penyakit jasmani dan rohani. (QS. Al-Isrā/17: 82). Sedangkan ayat ini lebih menekankan pada penyakit rohani. Hal ini dipahami dari term limā fi al-Ṣudūri yang disebutkan setelah term syifāun. 3) Ḥudan (petunjuk), bentuk ism al-Maṣdar dari fi’il al-Mādi yakni ḥadā yang berakar kata dari huruf ḥa, dal dan ya yang berati al-irsyād (petunjuk),74 Dengan demikian alQur’an dinamakan al-syifā karena memberi petujuk kejalan yang lurus yang menyelamatkan manusia dari pemahaman dan keyakian yang salah, kepada keyakinan yang benar. Membimbing manusia agar beramal saleh dengan ikhlas dan menjauhi perbuatan yang tidak benar. Bahkan al-Qur’an memberi petunjuk kepada manusia perbuatan yang boleh dilakukan dan perbuatan yang tidak boleh dilakukan, sehingga mereka selamat di dunia dan di akhirat. 4) Rahmatan. Al-Qur’an dinamakan rahmah, karena mencakup berbagai karunia kebjikan dan keberkahan yang disediakan oleh Allah swt. bagi mereka yang menghayati dan mengamalkan nilainilai yang diamanatkan al-Qur’an.75 Ayat ini diakhiri dengan term lil Mukminīn memberi pemahaman bahwa mereka yang akan mendapat nasehat yang bisa melepaskan mereka dari kesesatan, serta menjadi obat, terutama obat penyakit hati seperti dengki, iri hati, putus harapan, menuruti hawa nafs. Dan sebagainya. Memberi hidayah dan rahmah, hanya 73 74 75 24 | Abī ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, op. cit., jilid III, h. 199. Ibid., jilid VI, h. 42. M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., Volume 6, h. 104. kepada orang-orang mukmin, karena merekalah yang mengamalkan al-Qur’an. 6. Dinamakan Bayyinah (penjelasan) misalnya, QS. AlAn’am/: 6: 157 ... Terjemahnya: Sungguh telah datang kepadanya penjelasan yang nyata (alQur’an) petujunk dan rahmat dari Tuhanmu. Siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dan berpaling kepadanya?, Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang berpaling dari ayat-ayat Kami dengan azab yang keras karena mereka selalu berpaling.76 Term bayyinah adalah bentuk ism al-maṣdar dari fi’il almāḍi ruba>’i yaitu bayyana yang berarti menjelaskan, menerangkan.77 Al-Qur’an dinamakan bayyinah atau al-Tabyīn karena ia merupakan keterangan yang jelas tentang kebenaran Nabi Muhammad saw. Melalui mu’jizat al-Qur’an.78 Term bayyinah dirangkai dengan term min Rabbikum menunjukkan bahwa bukti-bukti kebenaran Nabi Muhammad saw. itu, berasal dari Allah swt. melalui firman-Nya yang tertulis dalam al-Qur’an. 76 Departemen Agama RI., op. cit, h. 200-201 77 Ahmad Warson Munawwi, Kamus Arab Indonesia Pondok Pesantren “Al-Munawwir”, 1994), h. 135 78 (Yogyakarta: M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., Volume 4, h. 356 | 25 D. Kemu’jizatan al-Qur’an Kata mu’jizah berasal dari bahasa Arab ‘( عــجــزajaza) berakar kata dari huru ‘ain, jim dan zain dari segi etimologi yang berarti al-da’fu (lemah).79 Sedangkan dari segi terminologi mu’jizat ialah “Sesuatu yang luar biasa yang diperlihatkan Allah swt. Melalui para nabi dan rasul-Nya, sebagai bukti atas kebenaran pengakuan kenabian dan kerasulan,” 80 atau sesuatu yang luar biasa yang melemahkan manusia baik sendiri atau kolektif untuk mendatangkan sesuatu yang menyerupai dan hanya diberikan kepada nabi dan rasul.81 Dari keterangan di atas dipahami bahwa mu’jizat adalah sesuatu yang luar bisa yang hnya diberikan kepada nabi dan rasul tidak kepada orang lain termasuk pada umatnya masing-masing, baik sesuatu yang luar biasa itu dapat dijangkau oleh panca indra, atau pun hanya dapat diajngkau melalui perenungan yang mendalam atau akal pikiran. Oleh karena itu, as-Suyūti membagi mu’jizat kepada dua macam yaitu; Pertama, mu’jizat hissiyah yakni segala sesuatu yang dapat ditangkap oleh panca indra, seperti unta Nabi Shālih dan tongkat Nabi Mūsā. Kedua, mu’jizat ‘aqliyah yakni sesuatu yang hanya dapat ditangkap oleh nalar manusia,82 misalnya kemu’jizatan al-Qur’an. Karena mu’jizat merupakan sesuatu yang terjadi di luar kebiasaan, maka baru dinamakan mu’jizat kalau memilki setidaknya lima syarat, yaitu; 1. Mu’jizat adalah sesuatu yang tidak sanggup dilakukan atau diciptakan siapa pun selain Allah swt. 79 Abī ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, op. cit., jilid IV, h. 232 80 Said Agil Husin al-Munawwar, Al-Qur’an, op. cit., h. 30. 81 Abd. Djalal H. A., Ulumul Quar’an (Cet. III: Surabaya: Dunia Ilmu, 2008), h. 268. 82 ‘Abdu al-Rahmā Jalāl al-Dīn al-Suyūtī, Al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’an, Jilid II (Cet. III; Kairo: Mujtabā al-Bābī al-Halabī, t.th), h. 311 26 | 2. Tidak sesuai dengan kebiasaan dan berlawanan dengan hukum alam. 3. Mu’jizat harus berupa hal yang dijadikan saksi oleh orang yang mengaku membawa risalah ilahi sebagai bukti kebenaran pengakuannya. 4. Terjadi bertepatan dengan pengakuan nabi yang mengajak bertanding menggunakan mu’jizat tersebut. 5. Tidak ada seorangpun yang dapat membuktikan dan membandingkan pertandingan tersebut.83 Kalau kelima unsur tersebut tidak terpenuhi, maka tidak dapat dikategorikan sebagai mu’jizat dan tidak boleh dijadikan sebagai dalil pembenaran terhadap orang yang mengaku pemilik mu’jizat tersebut. Al-Qur’an dinamakan mu’jizat bagi Nabi Muhammad saw. karena diyakini memenuhi persyaratan tersebut. Menurut alZarkānī kemu’jizatan al-Qur’an terdiri dari; (1) makna dan lafalnya dan (2) ketidakmampuan manusia mendatangkan/ membuat sesuatu yang serupa dengannya.84 Sedangkan Naqiyah Mukhtar mengemukakan bahwa kemu’jizatan meliputi I’jāzbayānī wal adabī (kemujizatan dari segi bahasa dan sastra), I’jāz Tasyrī’ (kemu’jizatan dari segi pensyariatan hukum), dan dari segi kandungannya, seperti berita gaib dan ilmu pengetahuan.85 Syekh Abd.Aẓīm al-Zarqānī seperti yang dikutip oleh Abdul Djalal86 mengemukakan bahwa kemu’jizatan al-Qur’an setidaknya dapat dilihat dari tujuh segi: 83 Said Agil Husin al-Munawwar, Al-Qur’an, op. cit., h. 31 84 Badr al-Dīn Muḥammad bin Abdullah al-Zarkasyī, Al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, jilid II (Bairut-Libanon: Dār al-Fikr, 1988 M.), h. 103 85 Naqiyah Mukhtar, Ulumul Qur’an (Cet. I; Purwokwrto: STAIN Press, 2013), h. 80 86 Abdul Djalal, op. cit., h. 285-292. | 27 Pertama; keindahan bahasa dan uslubnya, sehingga mengherankan bahkan dapat melemahkan manusia yang mendengarkannya, bahkan betapa banyak orang masuk Islam karena mendengar bacaan al-Qur’an dan tidak seorangpun yang dapat menandinginya sekalipun seorang ahli penyair dan sastra, ahli sihir dan dongeng. Oleh karena itu, al-Qur’an menantang mereka: 1. Mereka ditantang agar membuat seperti al-Qur’an secara keseluruhan QS. Al-Tūr/52: 34 Terjemahnya: Maka cobalah mereka membuat yang semisal dengannya (alQur’an) jika mereka orang orang yang benar.87 2. Karena mereka tidak ada yang mampu mendatangkan alQur’an secara keseluruhan, maka tantangan adalah agar mereka membuat karang yang dapat menyamai 10 surah al-Qur’an, sebagaimana yang dijelaskan dalam QS. Hūd/11: 13 Terjemahnya: Bahkan mereka mengatakan “Dia (Muhammad) telah membuat-buat al-Qur’an, “Katakanlah, “Kalau demikian), datangkanlah sepuluh surha semisal denganya (al-Qur’an) yang dibuat-buat, dan ajaklah siapa saja di antara kamu yang sanggup selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.88 87 Departemen Agama RI., op. cit., h. 760. 88 28 | Ibid., h. 299 3. Karena mereka tidak ada yang dapat membuat semisal alQur’an sepuluh surah, maka al-Qur’an menantang lagi mereka agar membuat satu surah yang sama dengan alQur’an, sebagaimana yang dijelaskan dalam QS. Yūnus/10: 38 Terjemahnya: Apakah pantas mereka mengatakan dia (Muhammad) yang telah membuat-buatnya.? Katakanlah, “Buatlah sebuah surah yang semisal dengan surah (al-Qur’an), dan ajaklah siapa saja di antara kamu orang-orang yang mampu (membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.89 4. Karena tidak ada di antara mereka yang dapat mendatangkan satu surahpun yang seperti al-Qur’an, maka mereka ditantang lagi oleh al-Qur’an dengan mendatangkan sebagian dari surah al-Qur’an, sebagaimana yang dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah/2: 23 Terjemahnya; Dan jika kami meragukan (al-Qur’an) yang Kami turunkan kepada haba Kami (Muhammad), maka buatlan satu surah 89 Ibid., h. 286. | 29 semisal dengannya, dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.90 Penggunaan term من مـثـلـهdidahului dengan huruf jar مـن bermakna li al-tabidhiyah (sebagian) sehingga ayat tersebut bermakna sebagian dari satu surah, itu pun tidak ada di antara manusia yang dapat membuatnya, sejak masa Nabi Muhammad saw. sampai akhir zaman. Dari berbagai ayat tersebut, merupakan keterangan yang otentik bahwa al-Qur’an dari segi uslub bahasanya merupakan mu’jizat bagi Nabi Muhammad saw. karena terbukti tidak satu orang yang dapat menandinginya sekali pun mereka ahli bahasa. Musailamah al-Kadzdzab, suatu ketika ingin membuktikan bahwa dia mampu membuat kalimat seperti al-Qur’an misalnya firman Allah swt. dalam QS. Al-Kautsar/108: 1-3 Terjemahnya: Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang besar. Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah). Sungguh orang-orang yang membencimu dialah yang terputus dari rahmat Allah)91 Kalimat yang dibuat Musailmah al-Kadzdzab adalah إنـا أعـطـيـنـا ك الـجـواهـيـر فـصـل لـربـك وجـاهـر إ ن شـانـئـك هـو الـكافـر “Sesungguhnya kami telah memberimu minuman keras, maka shalatlah karena Tuhanmu dan keraskanlah suaramu, 30 | 90 Ibid., h. 6. 91 Ibid., h. 918 sesungguhnya orang-orang yang membencimu adalah orang-orang yang kafir.92 Kalimat yang dibikin oleh Musailamah al-Kadzdzab tersebut, dari segi uslub dan bahasanya tidak dapat menyentuh akal dan hati para pembacanya, lain halnya dengan kalimat pertama yang murni dari Allah swt. selain menyentuh akal juga menyentuh hati para pembacanya. Semua itu membuktikan bahwa al-Qur’an mu’jizat bagi Nabi Muhammad saw. karena tidak ada satu orang pun yang memiliki kemampuan membuat seperti kalimat al-Qur’an. Kedua; Penyusunan bahasanya yang tertib dan saling berkaitan antara satu dengan yang lannya, baik dari segia susunan ayatnya maupun surahnya, meski al-Qur’an itu diturunkan berangsurangsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari yang sering dibulatkan menjadi 23 tahun. Ketiga; Berisi berbagai dasar ilmu pengetahuan untuk kemaslahatan hidup umat manusia di dunia dan diakhirat. AlQur’an bagaikan lautan sumber ilmu pengetahuan yang tidak pernah kering sepanjang zaman, berbeda dengan buku/kitab yang terbatas isi dan masa berlakunya. Secanggih apa pun yang dicapai ilmu pengetahuan dan teknologi pada dasarnya al-Qur’an telah memberikan isyarat tentang hal tersebut. Keempat; Memenuhi segala kebutuhan manusia, baik berupa petunjuk dari berbagai segi kehidupan manmusia, maupun tuntunan dalam berbagai macam peribadatan, yang menuntun manusia menjalani kehidupan di dunia, dan persiapan hidup di akhirat. Hal ini tidak pernah terjadi di dalam kitab suci yang lain ataupun agama yang lain. Kelima; Cara-cara al-Qur’an mengadakan perbaikan dan kemaslahatan bagi umat manusia yang meliptui: 92 Naqiyah Mukhtar, op. cit., h. 78 | 31 1. Al-Qur’an turun berangsur-angsur, berbeda dengan cara turunnya kitab-kitab suci lainnya yang sekaligus. 2. Al-Qur’an ketika melarang sesuatu perbuatan ditempuh secara bertahap, sehingga mudah dikerjakan, seperti larangan larangan minuman kerasa dan riba. 3. Al-Qur’an tidak seperti kitab-kitab lain yang terbagi dalam bab-bab, pasal-pasal, ayat-ayat dan sebagainya, melainkan al-Qur’an terbagi dalam juz, surah dan ayat. 4. Al-Qur’an dalam menanamkan pesan dan perintah serta petunjuk melalui ungkapan yang indah, menarik dan mempesona, sehingga manusia tidak merasa diperintah, ditekan ataupun dipaksa. 5. Al-Qur’an dalam menumbuhkan kesadaran terhadap kebajikan, keutamaan dan kemuliaan budi pekerti diungkapkan melalui kisah-kisah yang berulang-ulang, namun struktur kalimat yang berbeda, sehingga tidak membosankan, bahkan menambah kesan yang mendalam bagi pembacanya. 6. Al-Qur’an dalam menyadarkan umat, selalu menggunakan dalil-dalil yang diterima akal pikiran, penalaran yang sehat disertai bukti-bukti yang rasional. 7. Al-Qur’an memberi tuntunan terhadap jiwa dan raga manusia secara bersamaan sehingga harus menyatu dengan kepentingan hidup jasmaniah dan rohaniah dalam proses kehidupan manusia. 8. Al-Qur’an ketika menginformasikan tentang kehidupan dunia dan akhirat selalu dalam posisi yang sama, tidak pernah mengutamakan salah satunya lalu mengabaikan yang lain, sehingga sasaran utamanya adalah terwujudnya keseimbangan kepentingan hidup dunia dan akhirat. 9. Al-Qur’an menjelaskan aturan-aturan hukum dengan menggunakan metode rukhsah (dispensasi), menghilangkan kesempitan serta memberi fleksibilitas 32 | (kelonggaran) dalam pelaksanaannya. Suatu hukum diterapkan sesuai asalnya bagi yang sehat, diberi keringatan bagi yang sakit atau yang berhalangan, dan dibebaskan bagi yang belum mukallaf atau pikun.93 Keenam; Berita-berita gaib yang diungkapkan dalam al-Qur’an terjadi berates ribu tahun yang lalu, seperti kisah para nabi dan rasul bersama umat yang tidak disaksikan oleh Nabi Muhammad saw. di antaranya kisah Nabi Musa yang digambarkan oleh Allah swt. dalam QS. Al-Qashash /28: 44-45 Terjemahnya: Dan engkau (Muhammad) tidak berada di sebelah barat (lembah suci Tuwa) ketika Kami menyampaikan perintah kepada Musa, dan engkau tidak (pula) termasuk orang-orang yang menyaksikan (kejadian itu), tetapi Kami telah menciptakan beberapa umat, dan telah berlalu atas mereka masa yang panjang, dan engkau (Muhammad) tidak tinggal bersama-sama penduduk Madyan dengan membacakan ayatayat Kami kepada mereka, tetapi Kami telah mengutus rasulrasul.94 Al-Qur’an juga menceritakan berita gaib yang belum terjadi, tetapi kemudian betul-betul terjadi, seperti yang 93 Abdul Dalal H.A., op. cit., h. 285-287. 94 Departemen Agama RI., op. cit., h. 550 | 33 digambarkan oleh Allah swt. di antaranya dalam QS. Al-Rum/30: 1-4 Terjemahnya: Alif lām mīm, Bangsa Rumawi telah dikalahkan, di negeri yang terdekat dan mereka setelah kekalahannya itu akan menang, dalam beberapa tahun (lagi) Bagi Allah-lah urusan sebelum dan setelah (mereka menang). Dan pada hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang berima.95 Ayat tersebut menjelaskan bahwa bangsa Rumawi akan memperoleh kemenangan terhadap bangsa Persia, setelah Rumawi dikalahkan oleh Persia. Kemenangan bangsa Rumawi itu belum terjadi, waktu ayat ini diturunkan. Sesuai dengan keterangan ayat 4 bahwa bangsa Rumawi akan memperoleh kemenangan dalam waktu 2-9 tahun, ramalan al-Qur’an tersebut tepat karena tidak sampai 9 tahun bangsa Rumawi dapat mengalahkan bangsa Persia, sehingga kaum muslimin merasa senang dan bangga. Keterangan tersebut menunjukkan bukti kemu’jizatan al-Qur’an, karena tidak mungkin seorang nabi dapat mengetahuinya apalagi menginformasikannya peristiwa yang telah lalu atau yang akan datang, kalau bukan wahyu dari Allah swt. Ketujuh; Adanya ayat-ayat teguran kepada Muhammad saw. terkadang teguran itu secara tegas , juga terkadang secara lunak dan lemah lembut. Namun semua itu menunjukkan 95 34 | Ibid., h. 570. kemu’jizatan al-Qur’an. Seandainya Qur’an adalah bikinan Muhammad saw. tentu tidak mungkin beliau menegur dirinya sendiri karena pada perinsipnya setiap orang ingin membela dirinya, bukan justru memperlihatkan kesalahannya.96 Sebagai contoh teguran yang tegas kepada Muhammad saw. adalah QS. ‘Abasa/80: 1-11. Terjemahnya: Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling, karena seorang buta telah datang kepadanya (Abdullah bin Maktum). Dan tahukah engkau (Muhammad) barangkali dia ingin menyucikan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, yang memberi manfaat kepadanya?. Adapun ornag yang merasa dirinya serba cukup (pembesar-pembesar Quraisy), maka engkau Muhammad memberi perhatian kepadanya, padahal tidak ada (cela) atasmu kalau dia tidak menyucikan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang takut (kepada Allah), engkau Muhammad malah mengabaikannya. Sekali-kali jangan begitu! Sungguh, (ajaranajaran Allah) itu suatu peringatan.97 96 Abdul Dalal H.A., op. cit., h 290 97 Departemen Agama RI., op. cit., h. 871 | 35 Penggunaan term ‘abasah watawaalā yakni menyebutkan sifat yang tidak diinginkan, padahal yang dimaksudkan adalah larangan agar tidak melakukan sifat itu, merupakan salah satu bukti kemu’jizatan bahasa al-Qur’an, karena bahasa manusia, lazimnya menggunakan struktur kalimat larangan, ketika suatu perbuatan tidak diperkenankan untuk dilakukan. Contoh teguran yang secara lunak dan lemah lembut, seperti teguran dalam QS. Al-Taubah/10: 43 Terjemaahnya: Allah memaafkanmu (Muhammad) mengapa engkau memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar-benar (berhalangan) danm sebelum engkau mengetahui orang-orang yang berdusta?98 Ayat ini menggambarkan keluarbiasaan bahasa al-Qur’an yang demikian indah dan balagahnya, sekalipun bermakna teguran, tetap diawali dengan term ‘afā (pemaafan) atas kesalahan yang menyebabkan timbulnya teguran itu. Sulit dibayangkan bagaimana hal tersebut terwujud dalam bahasa manusia biasa. Semua itu membuktikan bahwa selain makna yang terkandung dalam alQur’an, juga struktur bahasanya mengandung kemu’jizatan yang luar biasa. 98 36 | Ibid., h. 261. A. Pengertian Pendidikan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa pendidikan adalah “proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan”,99 atau proses bimbingan manusia dari kegelapan, kebodohan, kecerdasan pengetahuan.100 Hasan Langgulung, mengemukakan bahwa pendidikan adalah “suatu proses yang mempunyai tujuan yang biasanya diusahakan untuk menciptakan pola-pola tingkah laku tertentu pada kanak-kanak atau orang yang sedang dididik”.101 Menurut Rasyid Ridha pendidikan adalah bimbingan daya manusia baik jasmani, akhlak maupun jiwa yang menjadikannya tumbuh dan berkembang serta bergerak sehingga sampai kepada kesempurnaan dirinya.102 Ambo Enre Abdullah mengutip UU No. 20/2003 mengemukakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses 99 Depertemen Pendidikan Nasiona, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga (Jakarta: Palai Pustaka, 2002), h. 263. 100 Hasan Sadily (ed), Ensiklopedia Indonesia, jilid V (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1984), h. 2626. 101 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan (Jakarta: Pustaka alHasana, 1986), h. 32 102 Rasyid Ridha, al-Tarbiyah al-Islāmiyah al-Ta’līm al-Islamiah, XXXIV No. 7 (t. t : al-Manar, 1935), h. 544-545. | 37 pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.103 Sedangkan menurut M. Ngalim Purwanto pendidikan adalah “segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anakanak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohani kearah kedewasaan.104 Definisi ini menggambarkan bahwa pergaulan menjadi bagian dari proses pendidikan. Sedangkan yang dimaksud pendidikan Islam adalah sebuah proses yang dilakukan untuk menciptakan manusiamanusia yang seutuhnya; beriman dan bertakwa kepada Allah swt. serta mampu mewujudkan eksistensinya sebagai khalifah Allah swt. di muka bumi, yang berdasarkan kepada ajaran al-Qur’an dan sunnah,105 Dalam Kurikulum 2004 seperti yang dikutip oleh Ramayulis, pendidikan Islam adalah uapaya sadar dan terencana, dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani, bertakwa, berakhlak mulia, mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci al-Qur’an dan Hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan., serta penggunaan pengajaran.,106 Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa pendidikan adalah suatu proses untuk merubah dan mengembangkan potensi dasar yang terdapat dalam diri manusia, baik potensi jasmaniah, 103 Ambo Enre Abdullah, Pendidikan di Era Otonomi Daerah (Yogyakarta: Pustaka Timur, 2005), h. 80-81. 104 M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis (Cet. XIX; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset, 2009), h. 11. 105 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Cet. I; Ciputat: Ciputat Pres, 2002), h. 15. 106 Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam (Cet. V, Jakarta: Kalam Mulia, 2008), h. 21 38 | maupun rohaniah guna memperoleh kesempurnaan dirinya sebagai khalifah Allah swt. untuk membangun dan memakmurkan dunia, sekaligus sebagai hambah Allah swt. untuk beribadah kepada-Nya. B. Tujuan Pendidikan Islam Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tujuan berarti arah, haluan (jurusan), yang dituju, maksud, tuntutan (yang dituntut).107 Dalam bahasa Arab “tujuan diistilahkan dengan ghāyat, ahdāf, maqāṣid. Sementara dalam bahasa Inggris diistilahkan dengan goal, purpose, objectives atau aim.108 Menurut Zakiyah Daradjat, tujuan adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah sebuah usaha atau kegiatan selesai.109 Dengan demikian, semua aktivitas manusia termasuk pendidikan harus ada tujuan yang ingin dicapai sehingga semua proses yang berkaitan dengannya memiliki arah serta haluan yang jelas. Untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas terdapat enam faktor yang saling berhubungan., Keenam faktor yang dimaksud adalah, 1) faktor tujuan110 2) faktor pendidik yang meliputi; a. Pendidik menurut kodratnya, yaitu orang tua dan b) pendidik menurut jabatan, yaitu guru. 3) Faktor peserta didik 4) Faktor materi yang harus sesuai dengan tujuan pendidikan dan kebutuhan peserta didik. 5) Faktor metode pendidikan, 6) Faktor situasi lingkungan.111 Menurut Herbart, 107 Departemen Pendidikan Nasiona, op. cit., h. 12-16 108 Armai Arief, op. cit., h. 15. 109 Zakiyah Daradjat, dkk., Ilmu Pendidikan Islam (Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 29 110 Tujuan pendidikan tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan intelektual saja, tetapi juga perlu penghayatan, pengamalan, serta pengaplikasian dalam kehidupan dan sekaligus menjadi pegangan hidup. LIhat Akmal Hawi, Kompotensi Guru Pendidikan Agama Islam (Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), h. 20. 111 Fuad Hasan, Dasar-Dasar Pendidikan Komponen MKDK (Cet. VI; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2010), h. 7-10 | 39 tujuan pendidikan adalah peningkatan intelektualitas peserta didik yang berorientasi pada ranah kognitif (penalaran, kreativitas, dan inteligensia), sedangkan kemampuan afektif (minat dan sikap agama) serta psikomotorik (keterampilan) tidak menjadi tujuan utama.112 Pendidikan yang dimaksudkan oleh Herbart tersebut adalah pendidikan yang hanya bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan intelektual semata, tampa harus dibarengi kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Ketika pemikiran seperti ini yang menjadi sasaran pendidikan, maka sangat boleh jadi akan melahirkan manusia-manusia yang mementingkan kehidupan dunia atau (naturaslisme), mengutamakan kepentingan materi (materialisme), bahkan pengingkaran terhadap adanya Allah swt. (atheisme), yang berdampak pada lahirnya manusia-manusia yang cemerlang akal pikirannya, tetapi hampa spiritualnya. Oleh karena itu, tujuan pendidikan yang sesungguhnya adalah; 1) mengenalkan manusia akan perannya di antara sesama makhluk dan tanggung jawab pribadinya dalam kehidupan ini, 2) mengenalkan manusia akan hubungannya dengan lingkungan sosialnya dan tanggung jawabnya dalam kehidupan bermasyarakat, 3) mengenalkan manusia dengan alam ini dan mengetahui hikmah-hikmah diciptakannya, serta mampu mengambil manfaat atas segala anugrah dari Allah swt., 4) Mengenalkan manusia dengan pencipta alam (Allah swt.) dan memerintahkan untuk beribadah kepadaNya.113 Oleh karena itu, pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang dapat menjadikan generasi muda sebagai generasi potensial dengan kepribadian luhur, sikap, dan prilaku yang baik sehingga mampu menjadikan dirinya sebagai manusia seutuhnya. Itulah 112 Herbart, The Science of Education (Boston: DC. Heath, 1963), h. 133 113 Moh. Fadhil al-Jamali, Falsafah Pendidikan dalam al-Qur’an, terj. Junaidi al-Falasany (Surabaya: Bina Ilmu, 2002), h. 49. 40 | yang dikenal dengan realitas diri (self realization).114 Manusia seutuhnya adalah manusia yang sehat jasmani dan rohani, sehat mental dan spiritual, sehingga mereka mampu mensingkronkan antara kepentingan kehidupan di dunia dan di akhirat. Itulah sebabnya sehingga yang menjadi tujuan akhir pendidikan termasuk pendidikan Islam adalah terbentukanya pribadi-pribadi yang berakhlak mulia yang menjadi nilai dasar bagi peserta didik, sehingga menjadi kebiasaan bagi mereka dalam semua tingkah lakunya dan selalu mengedepankan nilai-nilai moral dari pada kepentingan material.115 Pembentukan akhlak yang mulia (alakhlak al-karimah) menjadi penekanan pada definisi ini. Hal tersebut disebabkan karena bagi mereka yang bagus akhlaknya tentu bagus pula akhlaknya terhadap Allah swt. dalam bentuk ibadah, bagus akhlaknya terhadap sesama manusia dalam bentuk muamalah dan bagus akhlaknya terhadap makhluk lain dalam bentuk kasih sayang. Mareka yang mampu mewujudkan ketiga akhlak tersebut yang akan mendapat predikat al-Insan al-Kamilah (manusia paripurna). C. Fungsi Pendidikan Islam Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia fungsi berarti antara lain, keguanaan suatu hal.116 Oleh karena itu, fungsi pendidikan pada dasarnya memiliki relevansi dengan kebutuhan manusia dalam mengoptimalkan segenap potensi yang dimilikinya guna memperoleh prestasi dan pristise yang lebih baik. Menurut Fuad Hasan, secara mikro, fungsi pendidikan adalah untuk membantu perkembangan jasmani dan rohani peserta didik. Sedangkan secara makro fungsi pendidikan sebagai; 1) pengembangan pribadi, 2) 114 Muhammad Takdir Ilahi, Revitalisasi Pendidikan Berbasis Moral (Cet. I; Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), h. 45-46 115 Mohammad Aṭiyah al-Abrasī, Rūh al-Tarbiyyāt wa al-Ta’līm (Qairo: Isa al-Babī al-Halabī, 1969), h. 23-24. 116 Departemen Pendidikan Nasional., op. cit., h. 322 | 41 pengembangan warga negara, 3) pengembangan kebudayaan, 4) pengembangan bahasa.117 Pada dasarnya, keempat unsur tersebut terdapat dalam diri seseorang sebagai potensi untuk berkembang, dan secara beransuransur mengalami pertumbuhan dan perkembangan, bila mendapat dorongan atau pertolongan dari luar. Salah satunya adalah pendidikan. Oleh karena itu, fungsi pendidikan menjadi jalan alternatif untuk memberikan motivasi kepada anak didik agar mempunyai pemahaman tentang makna pendidikan yang sebenarnya. Motivasi tersebut berdampak positif terhadap upaya penumbuhan dan pengembangan tiga komponen yang merupakan landasan fundamental dalam memahami kebutuhan anak didik demi mencapai cita-cita mereka. Ketiga komponen dimaksud adalah; 1) aspek kognitif, 2) aspek psikomotorik, 3) aspek afektif.118 1. Aspek kognitif Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kognitif berarti berhubungan dengan atau melibatkan kognisi (kegiatan atau proses memperoleh pengetahuan), berdasar kepada pengetahuan faktual yang empiris.119 Oleh karena itu, aspek kognisi berfungsi untuk mengembangkan wacana intelektual anak didik yang dilandasi dengan pembentukan kecerdasan secara propesional melalui latihan reading (membaca), listening (mendengar), writing (menulis) and speaking (dan berbicara).120 Dengan demikian, aspek kognitif nampaknya lebih menekankan pada peningkatan daya nalar manusia atau kemampuannya memperoleh ilmu pengetahuan, sehingga melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas dari segi intelektual. 42 | 117 Fuad Hasan, op. cit., h. 11 118 Muhammad Takdir Ilahi, op. cit., h. 31 119 Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 579 120 Muhammad Takdir Ilahi, op. cit., h. 31. 2. Aspek psikomotorik Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan psikomotorik adalah sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas fisik yang berkaitan proses mental dan psikologi.121 Oleh karena itu, aspek psikomotorik berarti kemampuan anak didik dalam mengembangan potensi kreativitas dan keterampilan yang dimilikinya sebagai latihan dalam mengasah kemampuan berkarya secara nyata. Kemampuan dalam kreativitas, sangat terkait dengan konsistensi dan komitmen anak didik untuk terus berupaya mengembangkan potensi lahiriah agar berkembang secara maksimal. Dalam pengembangan potensi anak didik, diperlukan adanya dukungan moral dan materi, terutama dari kedua orang tua yang merupakan lembaga pertama dan utama dalam peningkatan kemampuan anak. Keluarga berkewajiban menyiapkan sarana dan prasarana yang dibutuhkan anak didik demi pengembangan segala potensi dan skil yang dimilikinya. Peningkatan kreativitas dan keterampilan dalam dunia pendidikan merupakan sesuatu yang amat penting dalam mencapai tujuan pendidikan yang benar-benar memberi pengaruh pada perkembangan anak didik.122 3. Aspek afektif. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan afektif adalah; 1) sesuatu yang berkenaan dengan perasaan seperti takut, cinta, dan semacamnya), 2) mempengaruhi keadaan perasaan dan emosi, 3) mempunyai gaya atau makna yang menunjukkan perasaan (tt. gaya bahasa atau makna). 123Dengan demikian, fungsi pendidikan yang berwawasan afektif merupakan salah satu unsur dalam dunia pendidikan yang amat penting dalam pembentukan kepribadian anak dan tingkah laku anak didik. Oleh 121 Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 901. 122 Muhammad Takdir Ilahi, op. cit., h.31-32. 123 Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 11. | 43 karena itu, aspek afektif dalam dunia pendidikan berperan penting dalam pengembangan mental dan prilaku anak didik, ia dapat mengarahkan pola pikir anak yang terlalu mengedepankan aspek kognitif dan psikomotorik.124 Dengan demikian, ketiga aspek pendidikan tersebut, harus terintegrasi dalam jiwa peserta didik sehingga pendidikan benarbenar dapat berfungsi untuk membentuk manusia yang unggul, baik dari segi intelektual, keterampilan dan kepribadian yang mantap. Seperti yang dikatakan oleh Kamreni Buseri bahwa pendidikan merupakan upaya untuk menumbuhkembangkan potensi peserta didik ke arah yang lebih positif melalui ranah kognitif, psikomotorik dan afektif.125 Ketiga ranah (aspek) pendidikan ini, harusnya terintegrasi dalam sebuah proses pendidikan, sehingga pada gilirannya dapat mewujudkan peserta didik yang mampu memadukan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual. D. Sumber Pendidikan Islam Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa sumber berarti; 1) tempat keluar, 2) asal, 3) segala sesuatu baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang digunakan untuk mencari hasil, msl. Peralatan, sediaan, waktu, dan tenaga; daya alam (potensi alam) yang dapat dikembangkan untuk proses produksi, daya manusia potensi manusia yang dapat dikembangkan untuk proses produksi; daya mineral yang ada di alam, hukum; segala sesuatu yang berupa tulisan, dokumen, naskah, dan sebagainya.126 Oleh karena itu, pada dasarnya, kata “sumber” dapat diartikan sebagai pijakan yang dari padnya 124 Muhammad Takdir Ilahi, op. cit., h. 32. 125 Karmeni Buseri, Antologi Pendidikan Islam dan Dakwah; Pemikiran Teoritis Praktis Kontemporer (Yogyakarta: UII Press, 2003), h. 69. 126 44 | Departemen Pendidikan Nasiona, op. cit., h. 1102 bersandar segala gerak, ide dan rancangan sesuatu yang ingin dicapai. Dengan demikian, sumber pendidikan Islam adalah pijakan munculnya berbagai ide, konsep dan rumusan tentang pendidikan Islam, sehingga dalam pengembangan dan pengoprasionalannya selalu terarah pada suatu titik tujuan yang hendak dicapai yaitu assa’adutu fi al-Daraini (kebahagiaan dunia dan akhirat). Dengan demikian, sumber pindidikan Islam adalah sesuatu yang telah diyakni dan telah teruji kevalidan keotentikannya dari waktu ke waktu dalam mengawal semua aktivitas pendidikan. Oleh karena itu, menurut Abdul Mujib dan Yusuf Muzakkir sumber pendidikan Islam memiliki fungsi yang sangat penting dan strategis, antara lain: 1. Mengarahkan tujuan pendidikan Islam yang ingin dicapai, 2. Membingkai seluruh kurikulum yang dilakukan dalam proses belajar mengajar, yang di dalamnya termasuk materi, metode, media, sarana dan evaluasi. 3. Menjadi standar dan tolok ukur dalam evaluasi, apakah kegiatan pendidikan telah mencapai dan sesuai dengan apa yang diharapkan atau belum.127 Selain itu, sumber pendidikan Islam juga berfungsi memasok bahan-bahan yang dibutuhkan guna menyusun konsep pendidikan Islam dengan berbagai aspeknya; visi, misi, tujuan kurikulum, proses belajar mengajar dan sebagainya.128 Demikian luasnya fungsi sumber pendidikan Islam, maka selain al-Qur’an dan al-Hadis sebagai sumber primer, juga nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan alHadis yang diyakni kebenarannya dan mendatangkan 127 Abdul Mujib dan Jusuf Muzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: Kencana, 2006), h. 31. 128 Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: Kencana, 2010), h. 75. | 45 kemaslahatan dan menjauhkan kemudaratan bagi kehidupan manusia.129 Juga tidak kalah pentingnya adalah warisan pemikiran dari pemikir atau cendekiawan muslim yang berkembang dari waktu ke waktu seiring perkembangan dan kebutuhan pendidikan yang kemudian dikenal dengan ijtihad. Oleh karena itu, menurut Hasan Langgulung seperti yang dikutip oleh Abuddin Nata bahwa sumber pendidikan Islam yaitu al-Qur’an, al-Hadis, Perbuatan, perkataan dan sikap sahabat (Mazhab Ṣahābi), kemaslahatan umat (mashalih al-mursalah), tradisi atau adat istiadat yang sudah dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat (al-‘urf), dan hasil ijtihad pada ahli. 130 Sumber pendidikan Islam tersebut harus dimanfaatkan secara berturut turut maksudnya, diawali dengan al-Qur’an, kemudian dilanjutkan sumber berikutnya secara berurutan, dengan mengacu pada sumber pendidikan yang dikemukakan oleh Abdul Mujib dsan Jusuf Mudzakkir. Secara runtut dapat dilihat sebagai berikut: 1. Al-Qur’an Al-Qur’an merupakan firman Allah swt.yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. sebagai pedoman bagi manusia dalam menata kehidupannya, agar memperoleh kebahagiaan lahir ban batin, dunia dan akhirat. Konsep-konsep yang dibawa alQur’an selalu relevan dengan problema yang dihadapi umat manusia karena ia turun untuk berdialog dengan setiap umat yang ditemuinya, sekaligus menawarkan pemecahan setiap problema tersebut kapan dan di manapun mereka berada.131 Dengan demikian, al-Qur’an merupakan sumber inspirasi bagi umat manusia untuk mewujudkan fungsi kekhalifaannya di 129 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 9 46 | 130 Abuddin Nata, loc. cit. 131 Said Agil Husin al-Munawwar, Al-Qur’an, op. cit., xii atas persada bumi,132 sekaligus sebagai pemakmur.133 Oleh karena itu, al-Qur’an menjadi penuntun bagi umat manusia agar dapat melaksanakan amanah dan memenuhi janjinya kepada Allah swt. Itulah sebabnya, al-Qur’an menjadi pusat kehidupan umat Islam sekaligus dunia di mana seorang muslim hidup,134 yang di dalamnya terdapat tiga jenis petunjuk, yakni; Pertama, petujuk tentang karakteristik yang mengatur bagaimana manusia berbakti kepada Allah swt., bermuamalah dengan sesama manusia dan menabur kasih sayang kepada makhluk Allah swt., petunjuk tentang hukum menjadi dasar syariat yang mengatur kehidupan manusia, juga mengandung petunjuk tentang metafisika, kosmologi, pembahasan hari akhirat. Kedua, petunjuk memahami sejarah manusia, kedudukan dan peran manusia (rakyat biasa, raja, orang suci dan para nabi sepanjang zaman) dan segala problematika kehidupan mereka. Ketiga, petunjuk tentang hal-hal yang bersifat gaib.135 Al-Qur’an bukanlah kitab ilmiah yang tersusun secara sistimatis sebagaimana kitab-kitab lain, tetapi al-Qur’an menjadi sember inspirasi dari berbagai ilmu pengetahuan merupakan baik yang berkaitan dengan kemasalahatan dunia maupun kemaslahatan hidup di akhirat. Menurut ‘Ali ‘Abd. Al-‘Aẓīm seperti yang dikutip oleh M. Taufiq bahwa al-Qur’an merupakan kitab yang sangat komprehensif yang mencakup persoalan- persoalan filsafat, penalaran ilmiah, problematika sosial, dengan kemampuannya mengkombinasikan urusan dunia dan akhirat, mengaitkan ritus dengan perbuatan konkret serta menghubungkan realisme dan 132 QS. Al-Baqarah/2: 30 133 QS. Hūd/11: 61 134 S.H. Nasr, Islam dalam Cita dan Fakta, terj. Abdurrahman Wahid dan Hashim Wahid (Jakarta; LEPPENAS, 1981), h. 21. 135 Ibid., h. 27-28 | 47 idealisme. Islam menganjurkan pemeluknya hidup di bumi berkomunikasi dengan yang ada di langit.136 Al-Qur’an tidak hanya menajadi petunjuk bagi umat tertentu dan untuk periode tertentu, melainkan menjadi petunjuk yang universal dan sepanjang zaman. Petunjuknya sangat luas seperti luasnya ruang bumi yang ditempati umat manusia dan meliputi seluruh aspek kehidupannya. Di samping itu, bukan saja ilmu keislaman yang digali secara langsung dari al-Qur’an, seperti ilmu tafsir, fikih, akhlak dan tauhid, akan tetapi al-Qur’an juga menjadi sumber ilmu pengetahuan dan teknologi, karena banyak sekali isyarat-isyarat al-Qur’an yang membicarakan persoalanpersoalan sanis dan teknoligi dan bidang keilmuan lainnya.137 Mengacu pada wahyu pertama sekali turun kepada Rasulullah saw. (QS. Al-‘Alaq/96: 1-5). Allah swt. memotivasi umat manusia agar mencari dan menggali ilmu pengetahuan. Hal ini dipahami dari penggunaan term iqra’ pada ayat pertama dan ketiga, kemudian diikuti dengan term al-qalam pada ayat keempat yang berati kalam atau pena yang menjadi lambang ilmu pengetahuan dan diakhiri dengan pernyataan dari Allah swt. bahwa “Dia mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya” pada ayat kelima, sehingga dipahami dari ayat kelima ini bahwa Allah swt. memotivasi umat manusia agar mencari ilmu pengetahuan karena Allah swt. akan mengajar manusia apa yang belum diketahuinya. Ilmu yang dimaksud dalam al-Qur’an mencakup segala macam pengetahuan yang berguna bagi manusia dalam 136 “M. Taufiq, Kreativitas Jalan Baru Pendidikan Islam (Cet. I; Yogayakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2012), h. 46 137 48 | Said Agil Husin Al-Munawar, Aktualisasi, op. cit., h. 5 kehidupannya, baik untuk kebutuhan masa kini maupun yang akan datang, fisika maupun metafisika.138 a. Al-Qur’an memotivasi umat manusia agar mempelajari ilmu falak, karena erat kaitannya dengan penetapan waktu, hari, tanggal, bulan dan tahun. Untuk menetapkan arah kiblat, mengetahui buruj, terjadinya gerhana bulan dan matahari, melakukan hisab dan rukya, dan sebagai pedoman menyusun penanggalan atau kalender,139 ayat yang mengungkap hal ini antara lain (QS. Yunus/10: 5). b. Al-Qur’an memotivasi manusia memiliki ilmu yang berkaitan dengan pertambangan, agar mereka mengeluarkan dan memproses benda-benda yang terpendam dalam perut bumi, seperti logam, besi, emas, perak, batu bara serta minyak dan sebagainya untuk dimanfaatkan. Salah satu bahan tambang dimaksud adalah besi yang dalam bahasa al-Qur’an disebut alḥadīd. Demikian besar peranan besi bagi kehidupan manusia, sehingga Allah swt. menjadikan salah satu nama surah dalam al-Qur’an. Term al-hadid terulang sebanyak 7 kali dan hadidan satu kali dalam al-Qur’an140 Allah swt. menciptakan besi yang mempunyai kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia. Ayat yang membicarakan hal ini antara lain (QS. AlHadid/57: 25) c. Al-Qur’an memotivasi manusia agar memahami ilmu fisika. Fisika termasuk bagian dari ilmu alam yang membahas bumi dan antariksa, mengetahui planet dan tata surya, jagat raya serta isinya, matahari, bulan, bintang-bintang dan segala 138 Nanang Gojali, Tafsir Hadis Tentang Pendidikan (Cet. I; Bandung: CV Putaka Setia, 2013), h. 164. 139 M. Ali Chasan Umar, Al-Qur’an dan Pembangunan Nasional (Cet. I, Semarang: t.th.), h. 64 140 Muhammad Fuad Abd. Baqī,Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ alQur’an al-Karīm (t.t: Angkasa, t.th.), h. 248 | 49 permasalahannya, vulkanisme, gempa bumi, kemagnitan bumi, swt. atmosfer, dan pembahasan lainnya141 Allah memerintahkan kepada umat manusia agar memperhatikan alam sekitarnya guna memperoleh ilmu pengetahuan baik melalui dengan binatang, langit, gunung dan bumi, ayat yang mengungkap hal ini antara lain (QS. Al-Gasyiyah/88: 17-20. d. Al-Qur’an dan Ilmu Metafisika. Metafisika merupakan bagian dari ilmu hikmah dan ilsafat, sebagaimana ilmu logika, ilmu alam, dan ilmu pasti juga masuk dalam lingkup ilmu hikmah dan filsafat. Maka metafisika adalah filsafat mengenai segala sesuatu yang di luar alam biasa, yang di dalamnya tercakup antara lain Tuhan, jiwa (roh), jin, malaikat dan sebagainya, 142 Al-Qur’an menganjurkan umat manusia mempelajari metafisika, karena terdapat berbagai ayat yang mengajarkan agar mempercayai hal-hal yang gaib yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindera, di antara ayat dimaksud adalah, bahwa al-Qur’an tidak mengandung keraguan sedikit pun dan menjadi petujuk bagi orang-orang yang bertakwa, yaitu mereka yang beriman kepada yang gaib, ayat yang mengungkap hal ini antara lain (QS. Al-Baqarah/2: 2-3) 2. Al-Hadis/Al-Sunnah Dari segi bahasa Hadiṡ berarti jadīd (baru), qarīb (dekat) dan khabar (berita)143. Sedangkan dari segi istilah hadiṡ adalah ucapan, perbuatan dan takrir (sesuatu yang dilakukan oleh sahabat lalu Nabi Muhammad saw. tidak melarang dan juga tidak memerintahkan). Oleh karena itu, hadiṡ merupakan sumber ajaran 141 M. Ali Chasan Umar, op. cit., h. 65 142 143 Ibid., h. 128. Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Edisi Ketiga (Cet. VIII; Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2013), h. 3 50 | Islam setelah al-Qur’an,144 yang berfungsi terhadap al-Qur’an sebagai: a. Bayān al-Taqrir, disebut juga dengan bayān al-Ta’kid dan bayān al-Iṣbāt. Dalam posisi ini, hadis berfungsi menetapkan dan memperkuat/memperkokoh apa telah diterangkan dalam al-Qur-an. b. Bayān al-Tafsīr. Bahwa kehadiran hadis berfungsi untuk memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat alQur’an yang masih bersifat global (mujmal), memberikan persyaratan/batasan (taqyīd) ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan (takhisis) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat umum. c. Bayān al-Tasyri’, yakni mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak secara dijelas terungkap alam alQur’an atau hanya maslah poko-pokok saja yang terungkap dalam al-Qur’an.145 Adapun al-sunnah dari segi bahasa berarti jalan atau yang dijalani. Sedangkan dari segi istilah muhaddisun (ahli-ahli hadiṣ) ialah segala yang dinukilkan dari Nabi Muhammad saw. baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrīr, pengajaran, sifat, perilaku, perjalanan hidup Nabi Muhammad saw. sebelum diangkat menjadi rasul maupun sesudahnya.146 Oleh karena itu, perbedaan pengertian al-Hadis dan al-asunnah hanya dari segi waktu. Sehingga yang dikategorikan sebagai al-Hadis terhitung sejak pelantikan nabi menjadi rasul yaitu ketika berumur 40 tahun sampai meninggal. Sedangkan al-Sunnah sejak Nabi Muhammad saw. lahir sampai meninggal. Dalam kaitan dengan pendidikan 144 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadiṡ Nabi (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h, 3 145 Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Edisi Revisi (Cet. VII: Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2011), h. 58-64. 146 Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, op. cit., h. 6-7 | 51 Islam, sunnah Nabi Muhammad saw. banyak yang menjadi dasar pendidikan Islam, mislanya; mengembala kambing sejak usia muda, berdagang, perkawinannya dengan hadijah, peletakkan Hajar Aswad setelah perombakan Ka’bah.147 Dengan demikian, baik dalam posisi hadis amupun sunnah menjadi sumber pendidikan Islam setelah al-Qur’an. Rasulullah saw. sebagai seorang guru dan pendidik. Beliau menggunakan rumah al-Arqam bin Abī al-Arqam sebagai pusat lembaga pendidikan. Beliau memanfaatkan tawanan perang untuk mengajarkan tulis baca kepada umat Islam. Beliau mengirim para sahabat ke berbagai daerah yang baru memeluk agama Islam,148 karena tugas mereka selain belajar harus mengajar orang lain, itulah yang ditegaskan oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya; .أن رسـول اللــه صـل اللــه عـلـيـه وسـلـم قـال خـيـركـم من تـعـلـم الـقـرأن وعـلـمـه وعـلـم الـقـرأن فى.قـال أبـوا عـبـد الـرحـمـن فـذ اك الـذي أقـعـجـد ني مـقـعـدي هـذا .زمـن عـثـمـان حـتى بـلـغ الـحـجـاج بـن يـوســف Artinya: Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, sebaik-baik kamu adalah yang belajar dan mengajarkan al-Qur’an. Abu Abdurrahman inilah yang membuat kedudukanku seperti ini. Ia mengajar al-Qur’an pada masa khalifah Usman hingga masa al-Hajjaj bin Yusuf. 147 Setelah hajar Aswad akan ditempatkan kembali pada tempat semula, maka terjadilah peselisihan di kalangan orang-orang Quraisy yang semuanya berambisi meletakkan batu itu pada tempat semula. Setelah terjadi perselisihan yang sangat sengit, Muhammad meminta sehelai kain baru batu itu diletakkan di atas kain dan semua kabilah diperintahkan mesing-masing memegang sudut kain lalu mereka bersama-sama mengangkatnya, kemudian Muhammad mangambil batu tersebut dan meletakkannya pada tempatnya semula. Lihat Muhammad Husain Haekal Ḥayāt Muḥammad, diterjemahkan oleh Ali Audah dengan judul Sejarah Hidup Muhammad (Cet. XXX; Jakarta: PT. Mitra Kerjaya Indonesia, 2006), h. 71 148 Wajidi Sayadi, Hadis Tarbawy Pesan-Pesan Nabi Tentang Pendidikan (Cet. III; Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2011), h. 16 52 | Risalah kenabian Rasulullan saw. terdiri dari dua fase, yaitu fase Makkiyah yang berlangsung selama 13 tahun (610-623 M.), dan pase Madaniyyah yang berlangsung selama 10 tahun (623-633 M.). Pendidikan yang ditekankan oleh Nabi Muhammad saw. pada fase Makkiyah adalah keimanan, akhlak dan ibadah. Sedangkan pendidikan yang ditekankan pada pase Madaniyyah keimanan, akhlak, ibadah, kesehatan fisik dan kemasyarakatan (muamalah). Karena itu, materi pendidikan pada masa Rasulullah melipuati; membaca dan menulis, sastra dan bahasa, sejarah, seni tempur, hukum dan perundang-undangan dan sosial-politik.149 Dengan demikian, pendidikan yang dikembangkan oleh Rasulullah saw. melalui dengan hadis beliau tidak hanya meliputi aspek akidah, ibadah dan muamalah, tetapi juga masalah seni bela diri, kesehatan jasmani, tehnik peperangan serta cara menguasai suatu wilayah tertentu. 3. Perbuatan, perkataan dan sikap sahabat (Mazhab Ṣahābi) Sahabat adalah orang yang hidup bersama dengan Nabi Muhammad saw. dan mengimani ajarannya dan mati dalam keadaan Islam. Oleh karena itu, perbuatan, perkataan dan sikap para sahabat juga menjadi dasar pendidikan Islam selama tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis/sunnah yang merupakan dasar normatif pendidikan Islam. Selain dari keduan dasar ini, posisinya hanya merupakan dasar tambahan, termasuk mazhab sahabi. Perkataan dan sikap sahabat yang dapat dijadikan sebagai dasar pendidikan dalam Islam di antaranya adalah; a. Pidato Abu Bakar al-Ṣiddiq setelah dilantik menjadi khalifah sebagai berikut: “Hai manusia, saya telah diangkat untuk mengendalikan urusanmu, padahal aku bukan yang terbaik di antara kamu. Jika aku menjalankan tugasku dengan baik, ikutilah aku, tetapi jika 149 Nanang Gojali, op. cit., h. 225. | 53 aku berbuat salah, betulkanlah aku, hendaklah kamu taat kepadaku, selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi jika aku menjalankan kebijakan yang bertentangan dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya, maka janganlah kalian mentaati aku.150 b. Umar bin Khattab terkenal dengan sikapnya jujur, adil, cakap dan berjiwa demokrasi yang disaksikan dan dirasakan oleh masyarakat ketika itu, sehinggah dijadikan sebagai panutan. Sifat-sifat yang dicontohkan oleh Umar, hendaknya dimiliki oleh seorang pendidik karena di dalamnya terkandung nilai-nilai pedagogis dan keteladanan yang baik untuk ditiru dan dikembangkan. c. Usaha-usaha para sahabat dalam pendidikan Islam sangat menentukan bagi perkembangan pendidilkan Islam hingga sekarang di antaranya: 1) Abu Bakar melakukan kodefikasi al-Qur’an 2) Umar bin Khattab sebagai bapak reaktuator terhadap ajaran Islam yang dapat dijadikan sebagai prinsip strategis pendidikan Islam. 3) Usman bin Affan sebagai bapak pemersatu sistimatika penulisan Ilmiah melalui upaya mempersatukan sistematika penulisan al-Qur’an 4) Ali bin Abi Thalib sebagai perumus konsep-konsep pendidikan.151 Salah satu wasiat Ali bin Abi Thalib tentang ilmu: Ilmu adalah sebaik-baik perbendaharaan. Ringan dibawa, namun besar manfaatnya. Di tengah-tengah orang banyak menjadi indah, sedangkan dalam kesendirian ia menghibur.152 150 Jarji Zaidan, Tarikh al-Taddun al-Islami (t.tp. Dār al-Maktabah alHayāt, t.th), h. 67. 151 Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam Analisis Filosofis Sistem pendidikan Islam (Cet. IV: Jakarta: Radar Jaya Offset, 2015), h. 168-170 54 | 4. Kemaslahatan Umat/sosial (Maṣāil al-Mursalah) Pada dasarnya tujuan pendidikan adalah untuk kemaslahatan kehidupan manusia, baik di dunia maupun di akhirat serta untuk menghindari mafsadah (kerusakan) bagi kehidupan di dunia dan di akhirat. Karena itu, yang dimaksud Maṣāil alMursalah dalam kaitan dengan pendidikan adalah penetapan hukum atau undang-undang serta peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pendidikan yang tidak jelas nasnya baik dari alQur’an, hadis mapun dalam mazhab sahābi, namun diyakini ketika ditarapkan akan memberi dampak positif atau kemaslahatan, dan ketika diabaikan akan berdampak negatif atau mengakibatkan kemafsadatan dalam dunia pendidikan. Maṣāil Mursalah harus dilihat kepentingan secara umum, bukan kepentingan orang perorangan. Para ahli pendidik berhak menentukan undang-undang atau peraturan-peraturan pendidikan Islam sesuai dengan kondisi lingkungan di mana mereka berada. Ketentuan yang dicetuskan berdasarkan Maṣāil al-Mursalah paling tidak memiliki tiga kriteria: a. Apa yang dicetuskan benar-benar membawa kemaslahatan dan menolak kemafsadatan setelah melalui tahap observasi dan analisis yang mendalam; misalnya membuat tanda tamat (ijazah) dengan foto pemiliknya, b. Kemaslahan yang diambil merupakan kemaslahatan yang bersifat universal, yang mencakup seluruh lapisan masyarakat, tanpa adanya diskriminasi; misalnya, perumusan UndangUndang Sistem Pendidikan Nasional di negara Islam atau di negara yang mayoritas pendidiknya beragama Islam. 152 Syekh Fadlullah al-Ha’iri, Al-Imām Ali al-Mukhtār min Bayānihī wa Hikamihī, diterjemahkan oleh Tholib Anis dengan judl “Tanyalah Aku Sebelum Kau Kehilangan Aku, (Cet. VII; Bandung : Putaka Hidayah, 2009), h. 99. | 55 c. Keputusan yang diambil tidak bertentangan dengan nilai dasar al-Qur’an dan Hadis/sunnah; misalnya perumusan tujuan pendidikan tidak menyalahi fungsi kehambaan dan kekhalifaan manusia di muka bumi.153 Tradisi atau Adat Kebiasaan Masyarakat (‘Urf) Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tradisi berarti adat kebiasaan turun temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat; penelitian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar.154 Juga dapat berarti segala sesuatu yang biasa dijalankan orang pada umumnya, baik perbuatan maupun perkataan.155 Atau “kebiasaan masyarakat, baik berupa perkataan maupun perbuatan yang dilakukan secara kontinu dan sekan-akan merupakan hukum tersendiri, sehingga jiwa merasa tenang dalam melakukannya karena sejalan dengan akal dan diterima oleh tabiat yang sejahtera.156 Oleh kareba itu, nilai tradisi setiap masyarakat merupakan realitas yang multi-kompleks dan dialektis. Nilai-nilai itu mencerminkan kekhasan masyakarat sekaligus sebagai pengejawantahan nilai-nilai universal manusia. Nilai-nilai tradisi yang tidak dapat mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan, maka manusia akan kehilangan martabatnya.157 Dengan demikian, tradisi merupakan suatu kebiasaan yang dipertahankan secara turun temurun pada suatu masyarakat tertentu, sekaligus menjadi jati diri mereka, yang membedakannya 5. 153 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, op .cit., h. 41. 154 Departemen Pendidikan Nasional op. cit., h. 1209. 155 A. Djazuli dan Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam (Cet. I; Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2000), h. 186 156 157 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, op .cit., h. 42 Frans Magnis Suseno, Berfilsafat dan Konteks (Jakarta: Gramedia, 1991), h. 86-87 56 | dengan masyarakat lainnya, sekalipun mereka memiliki kesamaan agama, kesamaan ras, bahkan kesamaan negara atau wilayah. Misalnya, adat perkawinan di Sulawesi berbeda dengan adat perkawinan di Jawa dan juga berbeda adat perkawinan di Sumatra dan lain-lain. Namun semua itu memiliki nilai edukasi yang sangat bermaksna bagi perkembangan anak cucu mereka. Oleh karena itu, tradisi yang telah mengakar pada suatu masyarakat dapat dijadikan dasar dalam pendidikan Islam selama tidak bertentangan dengan akal sehat dan nilai-nilai dasar normatif pendidikan Islam (al-Qur’an dan hadis/sunnah). 6. Hasil Pemikiran para Ahli dalam Islam (Ijtihād) Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh yang dilakukan para ahli agama untuk mencapai suatu putusan (simpulan) hukum syarak mengenai kasus yang penyelesaiannya belum tertera dalam al-Qur’an dan Sunnah.158 Menurut Ramayulis, ijtihad adalah “penggunaan akal pikiran oleh para fuqaha’ Islam untuk menetapkan suatu hukum yang belum ada ketetapannya dalam al-Qur’an atau hadis dengan syarat-syarat tertentu”.159 Dalam penggunaannya, ijtihad meliputi seluruh aspek ajaran Islam termasuk juga aspek pendidikan. Kaitannya dengan pendidikan, ijtihad terasa sangat diperlukan karena nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis/Sunnah hanya berupa prinsip-prinsip pokok saja yang penjabarannya secara terinci diperlukan kesungguhan dari para pemikir tentang pengembangan pendidikan, sehingga secara konsepsional dan oprasional, pendidikan selalu berkembangan seiring dengan perkembangan dan kebutuhan umat manusia. Misalnya tentang proses, tujuan, materi dan metode pandidikan, terutama tentang perubahan kurikulum. Selama ijtihad itu tidak menyalahi nilainilai dasar tujuan pendidikan Islam yakni mengantar manusia 158 Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 418 159 Ramayulis, Filsafat, op. cit., h. 172 | 57 memahami tujuan hidupnya sebagai khalifah Allah swt. untuk memakmurkan dunia dan sebagai hamba Allah swt. untuk mengabdi kepada-Nya. E. Dasar-Dasar Pendidikan Islam Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Dasar memiliki banyak arti antara lain; 1) tanah yang ada di bawah air, 2) bagian yang terbawah, 3) lantai rumah, 4) latar (alat yang menjadi alas gambar, 5) lapisan yang paling bawah, 6) bakat atau pembawaan sejak lahir, 7) alas atau pondasi, 8) pokok atau pangkal suatu pendapat.160 Dalam bahasa Arab, kosa kata dasar semakna dengan aṣlun atau asāsun yang berarti asal, sumber, asas, dasar, basis, fondasi, kelompok atom dalam proses kimia, keaslian, permulaan keturunan nasab, naskah asli.161 Dengan demikian, kosakata dasar memiliki beberapa pengertian yang dapat digunakan sesuai dengan peruntukannya, baik yang bersifat fisik maupun non fisik. Dalam hal ini, diarahkan pengertiannya pada yang bersifat non fisik yakni dasar operasional pendidikan Islam yang oleh Abuddin Nata dengan mengutip pandangan Hasan Langgulung yang membagi dasar oprasional pendidikan Islam kepada enam macam, yaitu dasar historis, sosiologis, ekonomi, politik dan administrasi, psikoloigi dan filosifis.162 Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakkir menggambarkan bahwa penetapan dasar operasional pendidikan Islam tersebut agaknya sekuler, selain tidak memasukkan dasar religius (agama), juga menjadikan filsafat induk dari segala dasar. Dalam Islam, 160 Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 238 161 Atabik Ali, Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia (Cet. III; Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996), h. 145. 162 58 | Abuddin Nata, op. cit., h. 90 dasar oprasional segala sesuatu adalah agama sebab agama harusnya menjadi roh dari segala aktivitas yang bernuansa keislaman, termasuk pendidikan, sehingga semua aktivitas pendidikan akan lebih bermakna dan bernilai ubudiyyah. Oleh karena itu, dasar operasional pendidikan Islam yang enam tersebut, perlu ditambah menjadi tujuh yaitu agama,163 yang rinciannya sebagai berikut; 1. Dasar historis Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, historis berarti; 1) berkenaan dengan sejarah, bertalian atau ada hubungannya dengan masa lampau, 2) bersejarah.164 Dengan demikian sejarah merupakan catatan yang berhubungan dengan kejadian-kejadian masa silam yang diabadikan dalam laporan-laporan tertulis dan dalam ruang lingkup yang luas.165 Menurut Abuddin Nata, sejarah adalah ilmu yang mempelajari tentang berbagai peristiwa masa lalu, baik dari segi waktu, tempat, pelaku, latar belakang tujuan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, yang disusun secara sistimatik, didukung oleh data dan fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan dan valid.166 Dari beberapa pengertian tentang sejarah, maka dapat dipahami bahwa sejarah adalah peristiwa masa lalu yang diyakini kebenarannya, dapat dipertanggungjawabkan dan ada hubungannya masa sekarang serta memungkinkan dikembangkan pada masa yang akan datang. Dengan demikian pendidikan Islam memiliki nilai-nilai historis atau sejarah, karena pendidikan Islam telah eksis pada masa Rasulullah saw. dan diteruskan pada masa sahabat, tabi’īn dan tabi’tabīn sampai sekarang bahkan seterusnya 163 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, op .cit., h. 44 164 Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 405 165 Zuahirini dkk., Sejaran Pendidikan Islam (Cet. XII; Jakarta: Bumi Aksara, 2013), h. 1-2 166 Abuddin Nata, op. cit., h. 96-97 | 59 sampai akhir zaman. Oleh karena itu, pendidikan Islam yang tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan kehidupan umat manusia, seyogianya tidak bisa melepaskan nilai-nilai dasar pendidikan Islam, demikian pula nilai-nilai yang telah berkembang pada suatu masyarakat, misalnya suatu masyarat yang telah memiliki keterampilan atau seni, maka kurikulum harus menyesuaikan selama tidak bertentang dengan nilai-nilai dasar pendidikan Islam, sehingga kehadiran pendidikan Islam dirasakan memberi kontribusi terhadap kehidupan mereka. 2. Dasar sosiologis Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sosiologis, mengenai sosilogi, bermakna sosiologi yang berarti pengetahuan atau ilmu tentang sifat, perilaku dan perkembangan masyarakat; ilmu tentang struktur sosial, proses sosial, dan perubahannya.167 Sosiologi berasal dari kata socious dan logos. Socious berasal dari bahasa latin yang artinya “teman”, sedangkan logos berasal dari bahasa Yunani yang artinya “kata, perkataan atau pembicaraan”. Jadi sosiologi adalah ilmu kemasyarakatan yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat, dan menyelidiki ikatan-ikatan antar manusia yang menguasai kehidupan.168 Dengan demikian, ketika berbicara sosiologi tidak bisa terlepas dari kondisi suatu masyarakat khususnya dari segi interaksi sosial antara mereka karena tidak ada manusia yang bisa hidup secara individu, tanpa adanya hubungan atau bantuan dari manusia lain. Bahkan suatu masyarakat yang hidup dalam suatu komunitas tertentu tidak mungkin bisa hidup dengan baik tanpa adanya hubungan dengan masyarakat yang lain. Oleh karena itu, dalam merumuskan suatu kebijakan tentang pendidikan harus memperhatikan kebutuhan masyarakat sebagai makhluk yang 167 168 Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 1085-1086. Abdullah Idi, Sosiologi RajaGrafindo Persada, 2011), h. 6-7 60 | Pendidikan (Cet. II; Jakarta: PT memiliki potensi dasar selalu berinteraksi dengan yang lainnya, sehingga tujuan pandidikan yang diinginkan tercapai dengan maksimal, baik dalam posisi mereka sebagai subjek maupun objek pendidikan. Inilah yang dimaksud Prof. DR. Damsar bahwa “masyarakat mempengaruhi pendidikan, juga sebaliknya pendidikan mempengaruhi masyarakat”.169 Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang tidak kehilangan konteks atau tercerubut dari akar masyarakat. Prestasi pendidikan hampir tidak berguna jika prestasi itu merusak tatanan masyarakat. Demikian pula, masyarakat yang baik akan menyelenggarakan format pendidikan yang baik pula.170 3. Dasar ekonomi Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ekonomi berarti, 1) ilmu mengenai asas-asas produksi, distribusi, dan pemakaian barang-barang serta kekayaan (keuangan, pendistribusian, dan perdagangan), 2) pemanfaatan uang, tenaga waktu dan sebagainya. 3) tata kehidupan perekonomian (suatu negara), 4) cak urusan keuangan rumah tangga (organisasi, negara).171 Oleh karena itu, dasar ekonomi yang dimaksud adalah dasar yang memberi perspektef tentang potensi-potensi manusia, keuangan, materi, persiapan yang mengatur sumber-sumber keuangan dan bertanggung jawab terhadap anggaran pembelanjaan.172 Dalam kaitan dengan pendidikan, ekonomi memegang peranan penting. Peningkatan kualitas dan kesejahtraan pendidik, pembangunan sarana dan prasarana pendidikan bahkan kualitas peserta didik pun hampir dapat dipastikan tidak akan bisa terwujud dengan baik, tanpa didukung dengan ekonomi, bahkan di 169 Damsar, Pengantar Sosilogi Pendidikan (Cet. I; Jakarta: Kencana Prenada Media Gruf, 2011), h. 9 170 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, op .cit., h. 45. 171 Departemen Pendidikan Nasional RI., Kamus Besar, op. cit., h. 287 172 Ramayulis, op. cit., h. 173. | 61 kalangan masyarakat tertentu, meyakini bahwa semakin mahal pembayaran biaya sekolah pada suatu lembaga pendidikan, semakin berkualitas, sekalipun pembayarannya mahal tetap menjadi rebutan bagi mereka yang mampu. Hal ini menjadi indikasi bahwa ekonomi menjadi dasar pendidikan. Oleh karena itu, sebuah lembaga pendidikan dapat bertahan ketika pengelolanya memiliki kemampuan yang baik, terutama dari segi keuangannya. Akan tetapi, kemampuan bukan hanya dilihat dari segi kemampuan mengelola dan mempertanggungjawabkan keuangan tersebut, tetapi juga mereka harus memperhatikan dari segi sumbernya, yang dalam bahasa Islam halal, syubhat atau haram karena segala sesuatu yang bersumber dari syubhat apalagi kalau haram akan berdampak negatif terhadap proses pelaksanaan pendidikan. Tidak hanya yang dimaksudkan kepada pengelola pendidikan, tetapi juga orang tua agar berhati-hati tentang sumber pembiayaah anak-anaknya agar menghindari sumber-sumber yang tidak jelas kehalalannya. 4. Dasar politik dan administrasi Politik berasal dari bahasa Yunani, polis yang artinya negara-kota, Pada masa Yunani, dalam negara kota, setiap orang saling berinteraksi satu sama lain untuk mencapai kesejahtraan hidupnya. Saat manusia berusaha untuk menentukan posisinya dalam masyarakat, ia berusaha meraih kesejateraan pribadi melalui sumber yang ada, atau berupaya mempengaruhi orang lain agar menerima pendapatnya.173 Dalam Kamus Bahasa Indonesia, Politik berarti 1) pengetahuan mengenai ketatanegaraan (sistem pemerintahan, dasar pemerintahan); bersekolah diakademi, 2) segala urusan dan tindakan (kebijaksaan, siasat) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain, 3) cara bertindak (dalam menghadapi atau 173 Muslim Mufti, Teori-Teori Politik (Cet. I; Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), 17 62 | menangani suatu masalah).174 Sedangan kosakata adminstrasi berarti; 1) usaha dan kegiatan yang meliputi penetapan tujuan serta penetapan cara-cara penyelenggaraan pembinaan organisasi, 2) usaha dan kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan kebijakan untuk mencapai tujuan, 3) kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan, 4) kegiatan kantor dan tata usaha.175 Dengan demikian, dasar pilitik menjadi salah satu dasar pendidikan Islam, karena salah satu tujuan pendidikan adalah mengantar manusia memperolah kesejahtreaan hidup, baik secara kelompok mapun individu melalui dengan tatanan atau aturan yang telah disepakati, dan dalam bingkai ideologi (akidah) dasar yang digunakan sebagai tempat bertolak untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan dan rencana yang telah dibuat.176 Dasar politik juga untuk menentukan kebijakan umum dalam rangka mencapai kemaslahatan bersama, bukan kemaslahatan untuk golongan dan kelompok tertentu.177 Dasar Administrasi juga sangat penting bagi pengembangan pendidikan, karena sebuah lembaga pendidikan yang dikelola dengan sistem admintrasi yang baik akan memudahkan mengontrol pelaksanaan proses belajar mengajar, kinerja pendidik, peserta didik dan karyawan menjadi lebih tertata, dan disiplin, sehingga proses belajar mengajar lebih lancar dan saran yang ingin dicapai menjadi nayata, dan semua data dapat dipertanggung jawabkan. Itulah sebabnya dalam Islam sistem administrasi atau pencatatan menjadi penting, sehingga Allah swt. menyatakan apabila terjadi perjanjian atau utang piutang di 174 175 Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 886 Ibid., h. 9 176 Ramayulis, lo. cit. 177 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, op .cit., h. 46. | 63 kalangan umat manusia pada waktu yang ditentukan, mereka diperintahkan agar menulisnya.178 5. Dasar psikologis Psikologi berasal dari bahasa Yunani psyche yang artinya jiwa dan logos yang artinya ilmu. Dari kedua kata tersebut, psikologi diartikan sebagai ilmu jiwa. 179 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, psikologis berkaitan dengan psikologi yakni ilmu yang berkaitan dengan proses mental, bersifat kejiwaan.180 Dengan demikian, dasar psikologi dalam pendidikan menjadi sangat penting, karena dalam proses pendidikan kejiwaan seseorang menjadi penentu keberhasilannya, baik dalam posisinya sebagai pendidik maupun peserta didik. Seorang pendidik harus memahami benar kondisi kejiwaannya maupun kejiwaan peserta didiknya, sebagai dasar untuk menentukan kebijakan, baik dalam penerapan metode pembelajaran, penetapan kurikulum, menyusun buku teks dan buku pegangan guru, mengatur kegiatan kokurikuler dan sebagainya.Oleh karena itu, menurut Abdul Mujib dan Jusuf Muzakki dasar psikologis adalah dasar yang memberikan informasi tentang bakat, minat, watak, karakter, motivasi dan inovasi peserta didik, pendidik, tenaga administrasi dan sumber tenaga manusia lainnya, agar mereka mampu meningkatkan prestasi dan komptensi dengan cara yang baik dan sehat, sehingga tercapai suasana batin yang damai dan tenang di lingkungan pendidikan, yang pada akhirnya akan berkontribusi terhadap pengembangan sebuah lembaga pendidikan.181 178 QS. Al-Baqarah/2: 282. 179 Purwa Atmaja Prawira, Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Baru (Cet. I; Jokjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), h. 14. 64 | 180 Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 901. 181 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, lo. cit. 6. Dasar filsafat Filsafat berasal dari bahasa Yunani philosophia, terdiri dari dua kata yakni philos yang berarti cinta atau suka, kata sophia yang berarti bijksana. Oleh karena itu, philosophia secara etimologi berarti cinta kepada kebijaksanaan. Orangnya disebut dengan philosophier,182 yang oleh Fuād al-Ahwānī diistilahkan dengan falosuf.183 Filsafat merupakan induk dari segala ilmu pengetahuan termasuk ilmu pendidikan, sehingga filsafat dan pendidikan memiliki keterkaitan fungsional yang melahirkan istilah filsafat pendidikan Islam. Pendidikan merupakan sebuah proses yang berkembangan bersama dengan perkembangan yang berlangsung dalam kehidupan manusia yang secara khusus berkaitan peningkatan kualitas umat manusia memerlukan pemikiran yang runtut, sistimatis, universal dan radikal dan spekulatif yang merupakan bagian dari cara berpikir filosofis. Oleh karena itu, gagasan-gagasan yang dihasilkan oleh pemikiran filosofis ikut membantu lahirnya berbagai teori dalam pendidikan Islam.184 Filsafat dan pendidikan memiliki objek kajian material yang sama seperti halnya dengan ilmu-ilmu lain, yakni semua yang ada maupun yang akan ada yang pada garis besarnya meliputi, Tuhan, manusia dan alam, hanya berbeda dari objek formalnya, karena objek formal hanya dimiliki oleh filsafat, 185 karena filsafat ingin menggali sesuatu sedalam-dalamnya, sampai menemukan hakikat sesuatu. 182 Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika Suatu Pengantar (Bandung: Yayasan Piara, 1997), h. 1 183 Muhammad Fuād al-Ahwānī, al-Falsafat al-Islāmiyah (Qairo: Dār al-Qalam, t.th.), h. 19 184 Jalaluddin, Filsafat Pendidikan Islam Telaah Pemikirannya (Cet. II; Jakarta: Kalam Mulia, 2012), h. 52 Sejarah dan 185 Asmoro Ahmad, Filsafat Umum (Cet. IV; Jakarta: PT. Raja Grapindo, 2012), h. 9 | 65 Tuhan sebagai objek filsafat, sehingga kajian-kajian Tuhan terutama dari segi sifat-sifat dan perbuatannya-Nya serta hubungannya dengan sifat-sifat-saifat dan perbuatan manusia. Juga diurai sifat-sifat kesempurnaan dan kemustahilannya bersifat dengan segala sifat-sifat kekurangan. Sifat-sifat Allah swt. seharusnya diimplentasikan oleh guru dan murid sesui dengan kesanggupannya masing-masing. Selain Tuhan, filsafat juga mengkaji tentang alam raya yang beranekaragam sebagi bukti tentang adanya Allah swt. Yang Maha Kuasa Pencipta segala sesuatu. Kajian filsafat seperti ini merupakan kajian yang haras dipelajari oleh setiap manusia, agar setiap melihat alam yang berneka ragam ini, berimplikasi terhadap pemahaman dan keyakinan mereka terhadap kemaha besaran Allah swt. Dalam kaitan dengan manusia, filsafat membahas eksistensi dan esensi manusia sebagai makhluk Allah swt. yang paling sempurna, terdiri dari dua unsur, yakni unsur jasmani dan rohani, serta berbagai potensi, bakat dan kecenderungannya serta memiliki sifat kehilafan dan kesalahan dan kekurangan. Tugas utama manusia adalah menjadi khalifah di muka bumi dalam rangka berbakti kepada Allah swt. agar tugas kekhalifaan terwujud dengan baik, maka manusia harus dididik dengan baik pula, yakni dibina jasmani dan rohani, potensi bakat dan kecenderungan.186 7. Dasar religius Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, religius berarti bersifat religi, bersifat keagamaan, yang bersangkut paut dengan religi.187 Dalam bahasa Inggris disebut dengan religious yang artinya 1) sesuatu yang berhubungan dengan agama, beragama, 66 | 186 Abuddin Nata, op. cit., h. 92-93 187 Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 944 beriman, instrumen pelajaran agama, 2) saleh.188 Dalam bahasa Arab disebut dengan al-Dīn berasal dari data dayana, yadinu berakar kata dari huruf dal, ya dan nun. Yang artinya ketundukan, kerendahan hati dan ketaatan.189 Dari beberapa pengertian tentang religius dan yang semakna dengannya, dipahami bahwa demikian pentingnya nilainilai agama mendasari semua dimensi pendidikan, sehingga dapat mengantar mereka memahami tujuan hidup mereka yakni untuk beribadah,190 sekaligus menjadi pemakmur di muka bumi ini. 191 Oleh karena itu, Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, mengatakan dasar religius adalah dasar yang diturunkan dari ajaran agama. Dasar ini menjadi penting dalam pendidikan Islam, sebab dengan dasar ini, maka semua kegiatan pendidikan jadi bermakna.192 Kehadiran agama pada diri seseorang ataupun pada suatu kelompok masyarakat, senantiasa mendampingi mereka dalam menghadapi berbagai masalah yang dihadapi setiap saat, antara lain; masalah sosial, ekonomi, politik budaya, ilmu pengetahuan.193 Oleh karena itu, M. Quraish Shihab mengemukakan bahwa “dalam hubungan dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, agama sesungguhnya sangat berperan terutama kalau manusia ingin jadi manusia”.194 Hal ini 188 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggeri Indonesia (Cet. XXIV; Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 476. 189 Abī al-Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, op. cit., Jilid II, h. 190 QS. Al-Zāryāt/51: 56 191 QS. Hūd/11: 61 192 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, op .cit., h. 47 319 193 Abuddin Nata, Urgensi Pendidikan Agama di Era Globalisasi dalam buku Kamaruddin Hidaya dkk., Mereka Bicara Pendidikan Islam Sebuah Bunga Rampai (Cet. I; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), h. 54. 194 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Cet. III; Bandung: Mizan, 1996), h. 377. | 67 mengisyaratkan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi tidak bermakna dalam kehidupan ini apabila tidak didasari dengan nilainilai agama. Boleh jadi dengan ilmu pengetahuan dan teknologi itu menjadikan manusia sombong dan takabbur, bahkan lupa terhadap pemilik yang sesungguhnya ilmu pengetahuan dan teknologi itu, yakni Allah swt. F. Landasan Pendidikan Islam 1. Tauhid Term Tauhid berasal dari bahasa Arab tauhīdun berasal dari fi’il al-mādi rubā’ī waḥḥada dari fi’il al-mādi ṣulāṣi yaitu waḥada berakar kata dari huruf wau, ha dan dal yang berarti almunfaridu (sendirian).195 Dalam Kamus Bahasa Indonesia, tauhid berarti keesaan Allah: kuat-nya, kuat kepercayaannya bahwa Allah swt. hanya satu.196 atauamengesakan Allah swt.197 Kemudian berkembangan menjadi Ilmu Tauhid yang berarti ilmu yang membahas segala kepercayaan keagamaan dengan menggunakan dalil-dalil yang meyakinkan, yang menurut Syekh Muhammad Jamaluddin rahasia dan ruh ilmu tauhid yaitu menetapkan keimanan kepada Allah swt., yakni meyakinkan dalam hati akan wujud keesaan Allah swt., berikut sifat-sifat kemuliaannya.198 Tugas manusia memahami dan meyakini serta mengaplikasikan makna tauhid tersebut dalam kehidupan seharihari sehingga apa pun yang dilakukan selalu berlandaskan dan bertujuan dengan nilai-nilai tauhid, termasuk kegiatan pendidikan yang menjadi dasar utama untuk mengembangkan potensi diri 195 Abī al-Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, op. cit., Jilid VI, h. 90 196 Departemen Pendidikan Nasional., op. cit., h. 1149 197 M. Amin Rais, Cakrawala Islam antara Cita dan Fakta (Bandung; Mizan, 1991), h. 13 198 Syekh Muhammad Jamaluddin al-Dārimī al-Dimisykī, Dalīl al- Tauhīd (Cet. I; Qairo: Maktabah al-Ṡiqāfah al-Diniyyah, 1986), h. 12 68 | manusia, yang menurut para ahli ilmu jiwa di dalam jiwa manusia terdapat enam rasa/potensi yang harus dikembangkan, yaitu; agama, intelektual, sosial, susila, harga diri dan seni.199 Menurut M. Quraish Shihab, terdapat empat daya dalam diri manusia. Pertama, daya tubuh yang mengantarkan manusia berkekuatan fisik. Organ tubuh dan pancaindera berasal dari daya ini. Kedua, daya hidup yang menjadikannya memiliki kemampuan mengembangkan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan serta mempertahankan hidupnya dalam menghadapi tantangan. Ketiga, daya akal yang memungkinkan memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi. Keempat, daya kalbu yang memungkinkanya bermoral, merasakan keindahan, kelezatan, dan kehadiran Allah swt.200 Potensi dan daya tersebut akan berfungsi dan berkembang apabila diarahkan dengan berbagai usaha, salah satunya adalah pendidikan yang berlandaskan dengan tauhid. Ketika pendidikan tidak berlandaskan dengan nilai-nilai tauhid, pendidikan akan melahirkan peserta didik yang sombong, congkak dan takabbur. Oleh karena itu, pendidikan seharusnya tidak hanya diarahkan kepada pembentukan manusia yang cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas spritualnya, terutama keyakinannya terhadap ke Maha Besaran, ke Maha Kuasaan serta ke Maha Agungan Allah swt. Hal ini diperoleh seseorang ketika memahami dengan sungguh-sungguh makna ketauhidan itu kepada Allah swt. Oleh karena itu, Muhammad Fazlur Rahman Ansari seperti yang dikutip oleh Ramayulis, bahwa tauhid sebagai falsafah dan pandangan hidup umat Islam meliputi konsep ketuhidan Allah swt., ketuhidan alam semesta, dalam hubungan Allah swt. dengan kosmos, ketauhidan kehidupan, ketauhidan natural dan supranatural, 199 Syahminan Zaini dan Anton Kusuma Seta, Ciri Khas Manusia (Cet. I; Jakarta Kalam Mulia, 1986), h. 38. 200 M. Quraish Shihab, Lentera Hati Kisah dan Hikmah Kehdupan (Cet. I; Bandung: Mizan, 1994), h. 123-133. | 69 ketauhidan pengetahuan, ketauhidan iman dan rasio, ketauhidan kebenaran, ketauhidan agama, ketauhidan cita dan hukum, ketauhidan umat, ketauhidan jenis laki-laki den perempuan, ketauhidan kepribadian manusia, ketauhidan kebebasan dan diterminisme, ketauhidan dalam trerm politik, ketauhidan dalam kehidupan sosial, ketauhidan negara dan agama, ketauhidan dalam term ekonomi, ketauhidan dalam pendidikan, ketauhidan dalam dasar kebudayaan dan ketauhidan dalam dasar satu cita satu ideal.201 Tauhid merupakan landasan pendidikan dalam arti semua aktivitas manusia, baik aktivitas yang berorentasi kepada kemaslahatan hidup di dunia, yakni membangun tatanan kehidupan sebagai khalifah dan pemakmur di atas parsada bumi ini, maupun aktivitas yang berorientasi kepada kemaslahatan hidup di akhirat yakni ibadah kepada Allah swt. Agar pendidikan benar-benar berlandaskan pendidikan, maka tauhid harus dilihat dari dua segi, yakni; 1) Tauhid yang berorientasi pada keyakinan bahwa Allah swt. sebagai pencipta, pengatur dan pemelihara alam semesta ini yang dikenal dengan tauhid al-Rububiyyah. Sehingga apapun wujud kreativitas manusia, baik dalam posisinya sebagai pencipta, misalnya menciptakan kendaraan, mengatur pemakaiannya, memelihara perawatannya, tidak terlepas dari postur manusia sebagai khalifah Allah swt. 2) Tauhid yang beroientasi pada keyakinan manusia terhadap Allah swt. sebagai satu-satunya dzat yang wajib disembah dan dimintai pertolongan.202 Ketauhidan seperti menggiring menusia meyakini bahwa segala bentuk penyembahan dan permohonan harapan selain tertuju kepada Allah swt. adalah keyakinan yang tidak benar dan sama sekali tidak memberi dampak positif bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, Allah swt. memerintahkan Nabi 70 | 201 Ramayulis, Filsafat, op. cit., h. 174 202 QS. Al-Fātiḥa/1: 5 Muhammad saw. agar mengajak umat manusia ke jalan Allah swt. (ajaran tauhid) dengan keterangan yang jelas, serta mensucikan Allah swt. dari segala bentuk kemusyrikan.203 2. Akhlak/moral Term akhlak berasal dari bahasa Arab akhlāqun bentuk jama’ dari kata mufradnya al-khuluku yang berarti tabiat, budi pekerti dan kebiasaan.204 Dalam bahasa Inggris dikenal dengan moral.205 Menurut Ibnu Miskawaihi Akhlak adalah 206 الـخــلـق حـال للــنــفـس داعــيــة لـهـا إلي أفـعــالـهـا من غـيـر فــكــر والرويـــة Artinya: Kondisi dasar seseorang yang memotivasi untuk melakukan suatu perbuatan tanpa pemikiran dan perencanaan. Dari keterangan di atas, dipahami bahwa yang dimaksud akhlak oleh Ibnu Miskawaihi adalah tabiat seseorang yang sudah menjadi kebiasaan baginya, sehingga ketika mewujudkannya tidak memerlukan pemikiran dan perencanaan, misalnya seseorang yang menyedekahkan sebagian hartanya, lalu kegitan itu tidak berulangulang dilakukan, maka yang bersangkutan tidak boleh dikategorikan sebagai darmawan yang merupakan bagian dari akhlak terpuji, kecuali kalau sifat kedermawanan itu sudah menjadi kebiasaan baginya dan dilakukan secara berulang-ulang. Akhlak yang dimaksud adalah; 1) akhlak terhadap Allah swt. dalam bentuk ibadah, 2) akhlak terhadap sesama manusia dalam bentuk muamalah, 3) akhlak terhadap makhluk selain umat manusia dalam bentuk kasih sayang. Oleh karena itu, seseorang akan dianggap berakhlak ketika yang bersangkutan mampu 203 QS. Yusuf/12: 108 204 Ahmad Warson Munawwir, op. cit., h. 393 205 John M. Echols dan Hassan Shadily, op. cit.,, h. 385 206 Abī ‘Alī Ahmad bin Muhammad bin Miskawaih, Tahzib al-Akhlāq wa taṭhīr al-A’rāqi (t.kt), h. 18 | 71 mengintegrasikan ketiga pembagian akhlak tersebut yang dilakukan dengan kesadaran, tanpa adanya motivasi dari pihak mana pun dan dilakukan secara berulang-ulang. Setiap manusia pada dasarnya memiliki potensi memahami dan mewujudkan ketiga akhlak tersebut dalam kehidupannya, tetapi boleh jadi faktor internal (dari dalam dirinya sendiri) atau eksternal (lingkungan) yang menyebabkan potensi tersebut tidak berkembang, sehingga yang bersangkutan tidak dapat diketgorikan sebagai orang yang berakhlak baik. Sekalipun kecenderungan manusia kepada kebaikan memiliki kesamaan konsep-konsep akhlak pada setiap peradaban dan zaman. Kalau terjadi perbedaan, disebabkan penerapan atau pengertian yang tidak sempurna terhadap konsep akhlak yang diistilahkan ma’ruf dalam al-Qur’an. Tidak ada peradaban yang menganggap baik kebohongan, penipuan, keangkuhan dan tidak ada manusia yang menilai bahwa penghormatan kepada kedua orang tua adalah buruk, sekalipun cara penghormatan kepada keduanya berbeda-beda antara satu masyarakat pada generasi tertentu dengan masyarakat pada generasi yang lain.207 Secara teoretis, konsep tersebut merupakan konsep yang sangat ideal dan memiliki dampak positif bagi kehidupan umat manusia, tetapi tidak semua manusia memiliki strategi untuk mewujudkannya dalam kehidupan mereka. Salah satu strategi yang dimaksud adalah penguatan pendidikan yang berlandaskan akhlak. Ketika pendidikan tidak berlandaskan akhlak, maka boleh jadi akan melahirkan manusia-manusia yang congkak, sombong dan takabbur. 207 72 | M. Quraish Shihab, Wawasan op. cit., h. 255 A. Tujuan Pendidikan Qur’ani Berangkat dari tujuan pendidikan Islam seperti yang penulis kemukakan pada bab sebelumnya, maka tujuan pendidikan qurani sebagai bagian dari pendidikan Islam itu sendiri yang menjadikan al-Qur’an sebagai inspirasi normatifnya tidak terlepas dari pembentukan manusia seutuhanya yakni sehat jasmani dan rohani, memahami tugasnya sebagai hamba dari Allah swt. dan memahami fungsinya sebagai makhluk sosial, serta memahami peranannya sebagai makhluk yang harus menjaga kelestarain lingkungan hidup. Oleh karena itu, dalam al-Qur’an ditemukan beberapa tujuan pendidikan antara lain: 1. Peningkatan ketauhidan kepada Allah swt. Tauhid adalah berasal ari bahasa Arab تـوحــيــدا, يـوحــد,وحــد (wahhada, yuwahhidu, tauhidan yang berati mengesakan, mengimani bahwa tiada Tuhan selain Allah swt., mempersatukan, menyatukan. Kemudian dalam bentu Ism al-Masdar-nya (tauhidan) berarti keyakinan atas keesaan Allah.208 Oleh karena 208 Ahmad Warson Munawwir, op. cit., h. 1646-1647 | 73 itu, pendidikan hendaknya diarahkan peserta didik untuk memahami dan meyakini keesaan Allah swt. sebagaimana firmanNya dalam QS. Ali Imran/3: 2 sebagai berikut: Terjemahnya: Allah, tidak ada Tuhan selain Dia. Yang Mahahidup. Yang terus menerus mengurus (makhluk-Nya).209 Term ilāh berakar kata dari huruf hamzah, lam dan ha berarti sembahan. Kalau dikaitkan dengan Allah swt. menunjukkan bahwa Dialah yang berhak disembah.210 Term alhayyu berarti memiliki sifat hidup. 211 Bila dikaitkan dengan Allah swt., diartikan dengan Maha Hidup. Term al-Qayūm berasal dari kata qawama, berakar kata dari huruf qaf, wau dan mim yang mengandung pengertian terlaksananya sesuatu dengan sempurna. Allah swt. dinamakan Qayyum karena Dia yang mengatur segala sesuatu yang merupakan kebutuhan makhluk, sehingga terlaksana secara sempurna dan berkesinambungan.212 Dengan demikian, ayat tersebut memberi pemahaman bahwa Allah swt. adalah Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan selain Dia, Yang Maha Hidup tidak berawal dan tidak berakhir (mati), Yang Maha Kuasa, kekuasaan-Nya meliputi segala yang ada. Oleh karena itu, Dialah yang berhak disembah dimintai pertolongan segala kebutuhan. Keyakinan seperti ini, harus menjadi tujuan utama dalam proses pendidikan, sehingga nantinya setiap anak didik memiliki bekal untuk tidak bersifat angkuh dan takabbur 209 Depertemen Agama RI., op. cit., h. 62 210 Abī al-Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, op. cit., Jilid I, h., 211 M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 5 127 212 74 | Ibid., h. 6 karena pristasi dan pristise yang dimilikinya kelak setelah memperoleh ilmu pengetahuan. 2. Peningkatan keyakinan terhadap kebenaran agama Islam. Ajaran Islam meyakinkan kepada pemeluknya bahwa adalah suatu kealfaan ketika seseorang yang mencari agama selain Islam. Sebagaimana firman-Nya dalam QS. Ali-Imran/3: 19 sebagai berikut: Terjemahnya: Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang diberi kitab, kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barang siapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh Allah sangat cepat perhitungan-Nya.213 Term al-Dīn memiliki beberapa pengertian, antara lain; ketundukan, ketaatan, perhitungan, balasan, dan agama. Sedangkan term al-Islām menurut asy-Sya’rawi seperti yang dikutip oleh M. Quraish Shihab, bahwa pengertian Islam tidak terbatas hanya risalah yang dibawah oleh Muhammad saw. Tetapi Islam adalah ketundukan makhluk kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam ajaran yang dibawa oleh para rasul. Hanya saja, kata Islam untuk ajaran para nabi sebelum Muhammad saw. merupakan sifat, sedangkan umat Nabi Muhamamd saw. Memiliki keistimewaan 213 Depertemen Agama RI., op. cit., h. 65 | 75 dari segi kesinambungan sifat bagi agama umat Muhmmad sekaligus menjadi tanda dan nama baginya.214 Menurut Ibnu Kastir bahwa yang dimaksud potongan ayat inna al-Dīn ‘indallahi al-Islām (tidak ada agama yang diterima di sisi Allah swt. kecuali agama Islam), yaitu tidak ada di sisi-Nya yang diterima kecuali agama Islam yang merupakan agama oleh para rasul yang diutus oleh Allah swt. sampai ajaran mereka ditutup dengan kedatangan Muhammad saw. Dengan kehadiran beliau semua ajaran atau syariat yang berbeda dengan syariat Nabi Muhammad saw. beliau, tidak akan diterima di sisi Allah swt. 215 Dari keterangan di atas, dipahami bahwa semua agama yang dibawa oleh para rasul pada dasarnya adalah Islam dalam arti mengandung makna keselamatan, penyerahan diri dan ketundukkan kepada yang menciptakannya, karena semua agama mengandung ajaran tauhid. Tetapi makna Islam pada ajaran mereka hanya sebatas sifat, bukan nama sebagai agama. Apalagi kalau ditelusuri aya-ayat dalam al-Qur’an tidak ada yang ditemukan kata Islam yang menunjuk kepada suatu agama kecuali yang menyangkut tentang kesempurnaan ajaran Muhammad saw. Karena itu menurut M. Quraish Shihab, bukanlah suatu kekeliruan jika kata Islam pada ayat tersebut dipahami sebagai ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. karena baik dari segi agama maupun sosilogi, itulah nama yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. sehingga siapapun yang mendengar ayat ini dituntut menganut ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw., walaupun semua ajaran yang dibawa oleh para rasul sebelum Nabi Muhammad saw. adalah Islam, sehingga siapa pun yang tidak menganut ajaran yang dibawa oleh para rasul yang diutus kepada mereka, maka Allah swt. tidak akan menerimanya, seperti halnya 214 M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 40-41 215 Abī al-Fidāi Ismā’il ibn Kaṡir al-Qurasyī sl-Dimisyqī, Tafsir al- Qur’an al-Aẓīm, Juz I (Mesir: Dār al-Kutub, t.th.), h. 354. 76 | dengan umat Nabi Muhammad saw. tidak diterima agamanya kecuali agama Islam yang dibawa dan diajarkan oleh oleh Nabi Muhammad saw. sebagaimana firman Allah swt. dalam QS. Ali Imran/3: 85 sebagai berikut: Terjemahnya: Dan barang siapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.216 Dari ayat di atas, dipahami bahwa siapa pun yang mencari agama setelah kehadiran Nabi Muhammad saw. selain agama yang diajarkan oleh beliau yakni Islam, tidak akan diterima oleh Allah swt. Karena itu, makna al-Islām pada kedua ayat di atas, sebagai nama sebuah agama adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. dan berlaku sepanjang zaman. Walau diyakini bahwa semua agama yang datang sebulum Nabi Muhammad saw. juga dari segi pemaknaan mengandung makna Islam dan berimplikasi kepada ajaran tauhid, tetapi kebenarannya berlaku hanya sebatas setiap kurung waktu masing-masing para rasul-Nya. Salah satu tujuan pendidikan Islam, adalah terwujudnya manusia-manusia yang memperjuangkan keselamatan, ketaatan dan ketundukkan kepada khaliknya, yang dilandasi dengan keyakinan tentang kebenaran ajaran agama yang dibawah oleh Nabi Muhammas saw. yakni agama Islam, yang menangkal seluruh kebenaran agama yang datang sebelumnya. 3. Memotivasi untuk beribadah Term ibadah berasal dari bahasa Arab yakni ‘abada yang berarti beribadah, menyembah, mengabdi.217 Juga berarti menundukkan diri atau menampakkan kehinaan atau kerendahan 216 Depertemen Agama RI., op. cit., h. 76. 217 Ahmad Warson Munawwir, op. cit., h. 951 | 77 hati.218 Oleh karena itu, seorang hamba yang menyembah, pada dasarnya, menunjukkan kelemahan dan kerendahan diri serta ketundukkanya kepadaTuhannya. Sekaligus bentuk pernyataan sikap untuk selalu melaksanakan perintah dan menjauhi laranganNya. Itulah sebabnya Nabi Isā setelah menyampaikan kepada Banī Isrāīl tentang tugas-tugas yang diembangkan oleh Allah swt. kepadanya, di antaranya membenarkan Taurat,219 dan menghalalkan sebagian yang telah diharamkan dalam kitab Taurat, membawa mi’jizat,220 maka bertakwalah kepada-Nya dan taatilah aku. Kemudian beliau mengedukasi Bani Israil dengan menyatakan bahwa yang harus disembah adalah Tuhan kita yakni Allah swt., sebagaimana firman Allah swt. dalam QS. Ali ‘Imrān/3: 51. Terjemahnya; Sesungguhnya Allah itu Tuhanku dan Tuhanmu, karena itu sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus.221 Ayat ini, merupakan penyampaian Nabi Isa kepada kaumnya, bahwa Allah swt. adalah Tuhan mereka bersama-sama yang harus disembah, dengan pernyataan keesaan Allah swt. dan pengakuan bahwasanya Allah swt. itu adalah Tuhan semesta, 218 Tim Penyusun, Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosa kata, jilid I (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 323 219 Kitab yang diturunkan kepada Nabi Musa yang turun sekitar 1975 sebelum kelahiran Nabi Isa. M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 98 220 Sesuatu yang diberikan kepada dan tidak diberikan kepada yang lainnya. Mu’jizat Nabi Isā adalah menyembuhkan orang buta yang sejak lahir, sehingga dapat melihat denga normal, dan menyembuhkan penyakit buta, serta menghidupkan orang mati yakni yang telah berpisah roh dan jazadnya dengan izin Allah. Lhat Ibid., h. 96 221 78 | Depertemen Agama RI., op. cit., h. 71 karena itu sembahlah Dia.222 Penyampaian Nabi Isa, merupakan sebuah pernyataan sikap yang sungguh-sungguh bahwa dia bukan Tuhan, dan karenanya dia tidak berhak disembah, yang berhak disembah adalah Allah swt. dan dia juga akan menyembah-Nya. Penyembahan kepada Allah swt. dengan keyakinan Tauhidullah mengesakan Allah swt. memerlukan proses yang cukup dinamis karena pembentukan keyakinan dan ketaatan beribadah seseorang bisa terbentuk dari pengaruh lingkungan serta pemahaman terhadap agama. Itulah sebabnya pendidikan ibadah harusnya diajarkan dalam semua bentuk pendidikan, yakni pendidikan formal, informal dan nonformal serta semua jenjang pendidikan, yakni pendidikan TK/TPA sampai perguruan tinggi. Demikian pentingnya pendidikan ibadah bagi umat manusia, karena salah satu tujuan penciptaan mereka adalah untuk beribadah kepada Allah swt. sebagaimana yang dijelaskan oleah Allah swt. dalam QS. Al-Żāriyāt/51: 56 Terjemahnya: Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.223 Term liya’budū pada ayat ini adalah bentuk fi’il muḍari’ yang didahului dengan lam al-‘aqibah yang berarti kesudahan atau dampak dari sesuatu. Oleh karena itu, ibadah bukan sekedar ketaatan dan ketundukan, tetapi harus dibarengi rasa kekaguman dalam jiwa seseorang terhadap yang dia sembah, sebagai pemilik kekuasaan yang tidak terjangkau arti hakikatnya. 222 Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid I (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), h. 513. 223 Depertemen Agama RI., op. cit., h. 756. | 79 Ibadah terdiri dari ibadah maḥḍah (murni) dan ibadah ghairu maḥḍah (tidak murni). Ibadah maḥḍah adalah ibadah yang telah ditentukan oleh bentuk, kadar dan waktunya seperti shalat, zakat, puasa dan haji. Ibadah ghairu maḥḍah segala aktivitas yang dilakukan oleh manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. 224 Dari ayat ini dipahami bahwa salah satu tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah swt. Ibadah yang dimaksud adalah segala aktivitas manusia yang dilakukan dengan ikhlas karena Allah swt. Sebagai upaya untuk mendekatkan diri kepada-Nya demi memperoleh ridhah-Nya. 4. Memahami makna dan hakikat kekuasaan Istilah kekuasaan berasal dari kata kuasa, mendapat awalan ke dan akhiran an memiliki arti; 1) kuasa (mengurus, memerintah dsb.) 2) kemampuan, kesanggupan. 3) daerah (tempat yang dikuasai), 4) kemampuan orang atau golongan untuk menguasai orang atau golongan lain berdasarkan kewibawaan, wewenang, kharisma, atau kekuatan fisik, 5) hak, fungsi menciptakan dan memantapkan (keadilan) serta mencegah dan menindak ketidakdamaian dan ketidakadilan.225 Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kekuasaan pada dasarnya berarti kemampuan, kewenangan dan pengaruh. Apabila ketiga unsur kekuasaan ini terintegrasi dalam diri seseorang, maka yang bersangkutan memiliki potensi untuk berkuasa. Potensi ini akan terwujud kalau mendapat ransangan atau motivasi, baik dari internal (kekuatan dari dalam dirinya) yakni keinginan dan semangat, maupun eksternal (kekuatan dari luar dirinya), yakni masyarakat secara umum. Oleh karena itu, untuk memperoleh kekuasaan selain berbarengan antara keinginan dan semangat serta dukungan dari masyarakat yang boleh jadi diperoleh dengan usaha keras namun Islami, juga harus diyakini 80 | 224 M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 13, h 356 225 Departemen Pendidikan Nasional., op. cit., h 604 adanya kehendak atau keinginan Allah swt. yang berupa takdir bagi yang bersangkutan. Itulah yang dimaksudkan oleh Allah swt. dalam QS. Ali Imrān/3: 26 Terjemahnya; Katakanlah (Muhammad), “Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa pun yang engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh, Engkaulah Mahakuasa atas segala sesuatu.226 Term yuetī bentuk fi’il al-muḍāri’ dari fi’il māḍi yaitu atā yang berakar kata huruf alif, ta dan ya yang berarti antara lain; mendatangi, menghadiri, mengerjakan, melakukan, mengumpuli, menggauli, membinasakan, menghabiskan, berjalan melewati, menyetujui dan memberikan.227 Pengertian yang paling tepat pada ayat ini adalah memberikan. Sedangkan term tanzi’u bentuk fi’il muḍāri’ dari fi’il māḍi yakni naza’a berakar kata dari huruf nun, zain dan ‘ain yang berarti mencabut, meninggalkan,228 memberhentikan.229 226 Depertemen Agama RI., op. cit., h. 66 227 Ahmad Warson Munawwir, op. cit., h. 6 228 Abī al-Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin zakariyā, op. cit., jilid I, h., 415 229 Idris Abd. Rauf al-Marbawī, Kamus Idris al-Marbawī, juz I (Misr: Muṣṭafā al-Bābī al-Ḥalabī, 1350 H.), h. 310 | 81 Diriwayatkan oleh al-Wāḥidi dari Ibnu Abbas dan Anas bin Mālik, bahwa setelah Rasulullah menguasai kota Mekkah, beliau menerangkan bahwa kelak umat Islam akan menguasai Persia dan Roma (Rumawi). Maka orang-orang munafik dan Yahudi berkata “Muhammad sekali-kali tak akan menguasai Persia dan Roma. Mengapa Muhammad tidak merasa cukup dengan menguasai Mekah dan Madinah saja. Mengapa dia berambisi mengalahkan Persia dan Roma?” Maka Allah swt. menurunkan ayat ini.230 Ayat ini menjelaskan bahwa salah satu bukti kekuasaan Allah swt. adalah memberikan kekuasaan kepada siapa yang dikehendaki, namun pemberian itu bukan menjadi milik, tetapi pemberian yang bersifat sementara karena pada saat tertentu pemberian itu dapat diambil kembali, baik yang diberi rela atau tidak. Oleh karena itu, ketika seseorang enggang menyerahkannya, maka Allah swt. yang akan mencabut kembali dari siapa saja yang Dia kehendaki. Pemberian dan pencabutan itu melalui-faktorfaktor atau hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah, berlaku dalam kehidupan masyarakat, seperti halnya hukumhukum alam yang telah ditetapkan oleh Allah swt. dalam perjalanan alam raya ini.231 Engakulah memberikan kekuasaan kepada orang-orang yang kamu kehendaki dari hamba-hamba-Mu. Baik pemberian itu secara langsung seperti halnya dengan derajat kenabian sebagai sunnatullah, yang menuntut kearah itu, maupun mengikuti ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam suatu kelompok masyarakat/wilayah. Engkau pula yang mencabut kekuasaan dari tangan-tangan yang Engkau kehendaki, sebagaimana yang Engkau lakukan dari Bani Israil dan lainnya karena kezaliman dan kelalaian mereka.232 82 | 230 Departemen Agama RI., Tafsirnya,, op. cit., jilid I, h. 481. 231 M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 55-56 232 Aḥmad Muṣṭafā al-Marāgī, op. cit., Juz III, h. 126 Oleh karena itu, salah satu tujuan pendidikan yang harus ditanamkan pada diri anak, adalah pemahaman yang komprehensif tentang kekuasaan yang pada dasarnya tidak bisa terpishkan dari kehidupan manusia (sunnatullah). Mulai kekuasaan pada diri seseorang yakni penguasaaan atas hawa nafsunya, kekuasaan pada suatu kelompok masyarakat sampai kekuasaan pada suatu wilayah tertentu. Dengan pemahaman secara komprehensif tentang kekuasaan, akan menyadarkan mereka bahwa kekuasaan itu, tidak bisa diperoleh dengan hanya mengandalkan kekuatan serta usaha manusia, tetapi harus dibarengi keyakinan, bahwa penentu terakhir adalah kehendak Allah swt. Betapa banyak orang yang memiliki kecerdasan dan kecakapan, tetapi tidak mampu menguasai hawa nafsunya, sehingga apa yang mereka lakukan justru berdampak negatif baginya. Betapa banyak orang yang berusaha untuk berkuasa pada suatu masyarakat atau pada wilayah tertentu tidak berhasil. Demikian pula, betapa banyak orang yang ingin melanggengkan kekuasaanya, tetapi justru harus diganti dengan orang lain. Kesemuanya itu menjadi bukti nyata bahwa pada dasarnya kekuasaan itu adalah milik Allah swt. Dia akan memberikan kepada siapa yang dikehendaki dan akan mencabut dari orang yang tidak dikehendaki-Nya. Namun, kehendak Allah swt. Yang demikian rahasianya itu, tidak ada yang tahu kecuali diri-Nya, karena itu manusia, tetap memiliki ruang untuk berusaha mengembangkan potensi kekuasaan yang ada pada dirinya melalui dengan cara yang dibenarkan, berdasarkan aturan yang berlaku pada suatu masyarakat, selama aturan itu tidak bertentangan dengan agama. Tetapi, mereka hanya sebatas berusaha, finalisasi semua usaha manusia termasuk usaha merebut kekuasaan, tidak terlepas dari kehendak Allah swt. | 83 B. Fungsi Pendidikan Qur’ani Fungsi pendidikan qur’ani yang dimaksudkan di sini adalah terbentuknya peserta didik melalui bimbingan dan arahan, sehingga mereka memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual dalam menata kehidupannya berdasarkan dengan petunjuk agama. Dalam al-Qur’an, terdapat beberapa ayat yang berkaitan dengan fungsi pendidikan qur’ani sebagai suatu corak dari pendidikan Islam yang menjadikan alQur’an sebagai magnum opus-nya, antara lain: 1. Meningkatkan pengetahuan Bahwa mereka yang dapat memahami secara mendalam tentang makna-makna yang terdapat dalam al-Qur’an terutama ayat-ayat yang memerlukan penakwilan adalah mereka yang mendalam ilmu pengetahuannya, sebagaimana firman Allah dalam QS. Ali ‘Imran/3: 7 sebagai berikut: Terjemahnya: Dialah yang menurunkan kitab (al-Qur’an) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat muhkamah, itulah pokok kitab (al-Qur’an) dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang nutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, “Kami beriman kepadanya 84 | (al-Qur’an), semuanya dari sisi Tuhan kami,”tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.233 Term al-Ra>sikhu>na adalah bentuk plural dari kata tunggalnya al-Rasikh berasal dari fi’il al-ma>di yakni raskha berakar kata dari huruf ra, sin dan kha berarti atsabatu (tetap).234 Juga berarti kokoh pada tempatnya, menguatkan, berurat berakar.235 M. Quraish Shihab mengartikannya dengan sesuatu yang berat dan kekuatannya pada suatu tempat yang lunak. Seperti besi yang berat ditempatkan pada suatu tempat yang lunak (lembek), pasti besi itu masuk kedalam sehingga tidak mudah goyah. Bahkan boleh jadi besi tersebut tidak tampak di permukaan, kemudian di artikan dengan “mendalam.”Bagi mereka yang mendalam ilmunya semakin mantap dan kokoh keimanan dan ketakwaannya kepada Allah swt. Lebih lanjut beliau mengemukakan bahwa ada sifat yang harus disandang oleh mereka yang mendalam ilmunya, yaitu; 1) Takwa antara didirnya dengan Allah swt., 2) kerendahan hati antara dirinya dengan manusia, 3) zuhud yakni meninggalkan kenikmatan duniawi pada hal ia mampu memilikinya, karena ingin mendekatkan diri kepada Allah swt., dan 4) Mujahadah, kesungguhan mengolah dirinya menghadapi nafsunya.236 Dari keempat sifat tersebut, menunjukkan bahwa orang yang mendalam ilmunya berarti pada dasarnya mereka telah memiliki ketiga kecerdasar seperti yang telah disebutkan terdahulu 233 234 Ibid., h. 62-63 Abī al-Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin zakariyā, op. cit., jilid II, h., 395 235 Abidin Bisri dan Munawwir A. Fatah, Kamus Indonesia Arab, ArabIndonesia, (Cet. I; Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), h. 248. 236 M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 16-17. | 85 dan sekaligus mewujudkan fungsi pendidikan yang harus terwujud dalam sebuah proses pendidikan. Dengan demkian, untuk memiliki ilmu pengetahuan yang mendalam seperti yang dimaksudkan pada potongan ayat warrāsikhūna fī al-‘ilmi memerlukan proses dan sistem yang tidak mudah, dan disinilah pendidikan harus berfungsi maksimal memberi bimbingan dan arahan kepada peserta didik dan pada gilirannya mereka menyandang predikat tersebut. Sehingga mereka memiliki wewenang dan kemampuan memahami ayat-ayat Allah swt., terutama ayat-ayat mutasyabih yakni ayat memiliki pengertian bersayap. Atau jika salah satu dari dua perkara mirif dengan yang lainnya sehingga tidak mampu dibedakan.237 Bagi mereka memilki pengetahuan yang kokoh dan mendalam tentu mereka peroleh melalui proses pendidikan, baik pendidikan formal. Informal maupun non formal juga adanya hidayah atau petunjuk dari Allah swt. 2. Peduli terhadap sesama umat manusia Salah satu tugas manusia sebagai khalifah Allah swt. di atas persada bumi, adalah menjaga kemaslahatan antara sesama umat manusia, antara lain dengan berwasiat kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Sebagaimana firman Allah swt. Dalam QS. Ali ‘Imran/3: 110 sebagai beriktu: Terjemahnya: 237 Muhammad Ali al-Hasan, Pengantar Ilmu-ilmu Al-Qur’an (Cet. I; Bogor: Pustaka Thariqul Izaah, 2007), h. 165. 86 | Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.238 Term kuntum berasal dari fi’il al-mādi yakni kāna berakar kata dari huruf kaf, harf al-‘Illah (al-wawu) dan nun yang berarti al-akhbāru ‘alā hudūtsi al-syai’i yakni berita tentang kejadian sesuatu.239 Karena itu, yang dimaksud pada ayat di atas adalah “kamu dijadikan atau diciptakan” 240 Sedangkan yang dimaksud dengan ummatun digunakan untuk semua kelompok yang dihimpun oleh sesuatu, seperti agama yang sama, waktu dan tempat yang sama, baik penghimpunannya secara terpaksa, maupun atas kehendak sendiri.241 Sedangkan yang dimaksud ummatun pada ayat di atas adalah umat Islam. Term ta’murūna adalah fi’il al-mudāri’ dari fi’il al-mādi yakni amara yanmg berakar kata dari huruf hamzah, mim dan ra berarti perintah tentang suatu persoalan, atau lawan dari larangan.242 juga berarti memerintahkan.243 Al-ma’rūf berarti sesuatu yang baik menurut pandangan umum suatu masyarakat selama sejalan dengan al-khair yakni nilai universal yang diajarkan oleh al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan al-mungkar adalah sesuatu 238 Depertemen Agama RI., op. cit., h. 80 239 Abī al-Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, op. cit., jilid VI, h. 148. 240 Ibid., jilid III, h. 28. 241 M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 185. 242 Abī al-Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, op. cit., jilid I, h. 137 243 M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 174 | 87 yang dinilai buruk oleh suatu masyarakat serta bertentangan dengan nilai-nilai Ilahi.244 Dengan demikian, ayat tersebut menggambarkan bahwa salah satu ciri umat (Islam) yang terbaik adalah mereka yang senantiasa memerintahkan kebaikan (al-ma’ruf) dan mencegah kemungkaran (al-mungkar). Mereka yang dapat melakukannya adalah yang beriman dengan benar. Ciri keberimanan mereka tampak di wajahnya dan dibuktikan dengan kreativitasnya yang selalu mengarah kepada kebaikan, dan menghindarkan dirinya dari perbuatan jelek yang bertentangan dengan ajaran agama. Padahal umat sebelum datangnya umat Islam, mereka hanya melakukan kejelekan, permusuhan di anatara mereka dan tidak mengindahkan perintah amar ma’ruf dan nahi mungkar.245 Kepedulian sosial pada diri suatu umat menjadi penting, seperti memberi bantuan baik material, maupun spiritual. Keinginan untuk saling membantu antara satu sama lain harusnya tumbuh pada diri seseorang sejak umur usia dini, sehingga sikap itu melekat dan perwujudannya menjadi kebiasaan bagi mereka. Hal ini dapat terwujud, ketika pendididkan dapat berfunsi secara maksimal terhadap pembentukan kepribadian anak. Karena salah satu fungsi pendidikan adalah merubah moralitas peserta didik dari yang tidak baik menjadi baik dan dari yang baik menjadi lebih baik. 3. Peningkatan pendekatan spiritual 244 245 Ibid., h. 175. Sikap tersebut cocok bagi mereka yang mendapatkan perintah pada masa permulaan Islam yakni pada masa Nabi Muhammad saw. dan para sahabat yang bersama beliau sewaktu al-Qur’an diturunkan. Pada masa sebelumnya mereka saling bermusuhan, kemudian mereka kembali bersatu dan berpegang kepada agama Allah (Islam) dan saling memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran, mereka yang lemah tidak takut kepada yang kuat, yang kecil tidak takut kepada yang besar, Karena iman mereka telah bersemi di dalam dadanya. Aḥmad Muṣṭafā al-Marāgī, op. cit,, juz 4 , h., 29 88 | Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia spiritual berati berhubungan atau bersifat kejiwaan (rohani, batin). 246 Kebutuhan manusia terhadap aspek spiritual merupakan kebutuhan fitrah yang pemenuhannya berkaitan langsung dengan kesempurnaan masa pertumbuhan dan kedewasaan kepribadian seseorang. 247Aspek spiritual terdiri dari; berpegang teguh kepada ketakwaan, mencintai kebaikan, kebenaran, keadilan, keindahan, dan membenci keburukan, kebatilan dan kezaliman.248 Hal ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan spiritual adalah suatu keadaan jiwa yang terdapat dalam diri manusia yang menyadarkannya tentang hubungan dirinya dengan penciptanya (Tuhan), sehingga muncul dalam dirinya bahwa segala sesuatu yang menjadi kebutuhannya sangat tergantung dengan kehendak dan ridhah dari Allah swt. sebagai pencipta, pengatur dan pemilik segala sesuatu termasuk dirinya. Sebagaimana firman Allah swt. dalam QS. Ali ‘Imran/3: 189 sebagai berikut: Terjemahnya: Dan milik Allahlah kerajaan langit dan bumi; dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.249 Hubungan ayat tersebut dengan ayat sebelumnya (ayat 188) dinamakan hubungan penegasan. Ayat sebelumnya menjelaskan bahwa banyak orang yang bangga atas kedurhakaan 246 Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 1087 247 G. Lindsay C.S. Hall, and R.F. Thompson, Psyckology (New York: Worth Publishers, Inc., 1976), h. 361 248 Muhammad Utsman Najit, Ilmu Jiwa dalam al-Qur’an (Cet. I: Jakarta: Pustaka Azzam, 2005), h. 35. 249 Departemen Agama RI., op. cit., h. 96 | 89 yang telah mereka lakukan, dan juga banyak orang yang bergembira kalau mendapat pujian sebagai orang yang bermoral terhadap perbuatan yang belum atau mereka tidak kerjakan. Atas sikap seperti itu, Allah swt. akan menyiksanya dengan siksaan yang pedih. Lalu ayat ini (189) menegaskan bahwa Allah swt. kuasa menyiksa mereka karena Allahlah pemilik segala yang ada di langit dan di bumi. Allah swt. mampu melaksanakan ancaman-Nya itu, karena milik Allah swt. kerajaan langit dan bumi, Dia yang menciptakan, memiliki dan mengaturnya, serta mengetahui segala rincian yang terjadi pada keduanya dan Allah swt. juga Maha Kuasa atas segala sesuatu.250 Karena Allah adalah pemilik segala yang ada di langit dan di bumi, maka kepada-Nyalah akan kembali segala sesuatu sebagaimana firman-Nya dalam QS. Ali ‘Imran/3: 109 sebagai berikut; Terjemahnya: Dan milik Allahlah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan hanya kepada Allah segala urusan dikembalikan.251 Bahwa Allah swt. adalah pemilik segala sesuatu, yang mengatur semua urusan mereka sesuai dengan sunnatullah yang sangat bijaksana, dan tidak berubah karena perubahan situasi dan kondisi252.Allah swt. menjelaskan bahwa Dialah pemilik segala yang ada. Karena Dia Pemilik maka Dia berhak penuh mengatur, mewujudkan dan meniadakannya. Kekuasaan Allah tidak ada yang dapat menandinginya, itulah sebabnya semua persoalan sekecil apapun pada akhirnya kembali kepada-Nya, dan tidak ada 90 | 250 M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 305 251 Depertemen Agama RI., op. cit., h. 80. 252 Aḥmad Muṣṭafā al-Marāgī, op. cit,, juz 4 , h., 27 yang tersembunyi bagi-Nya, sebagaimana firman Allah swt. dalam QS. Ali ‘Imran/3: 5 Terjemahnya: Bagi Allah tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi di bumi dan di langit.253 Bahwa Allah swt. mengatur makhluk-Nya, maka tentu saja tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya, baik makhluk yang berada di bumi, maupun makhluk yang berada di langit dengan seluruh tingkatannya.254 Kalau segala sesuatu termasuk aktivitas manusia tidak ada yang tersembunyi bagi Allah swt. maka seharusnya umat manusia ketika meniatkan atau pun melakukan sesuatu, menyadari dengan sungguh-sungguh bahwa ia dilihat dan diawasi serta dinilai, bahkan dibalas oleh Allah swt. Salah satu upaya agar keyakinan sepeti tersebut, melekat pada diri seseorang melalui dengan pendidikan. Oleh karena itu, salah satu fungsi pendidikan adalah memberi kesadaran kepada peserta didik tentang perlunya berkomunikasi dengan Allah swt. melalui dengan ibadah, sehingga pendekatan spiritual dalam pendidikan menjadi sesuatu yang sangat penting agar terwujud manusia yang sadar tentang keberadannya untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah swt. C. Materi Pendidikan Qur’ani Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kosa kata materi berarti; 1) benda, bahan, segala sesuatu yang tampak, 2) sesuatu yang menjadi bahan (untuk diujikan, dipikirkan, dibicarakan, dikarangkan dan sebagainya.255 Oleh karena itu, yang dimaksud 253 Depertemen Agama RI., op. cit., h. 62. 254 M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 9 255 Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 723 | 91 materi pendidikan adalah bahan yang telah dirancang atau disiapkan untuk disampaikan kepada peserta didik ketika terjadi proses belajar mengajar. Dalam kaitannya dengan materi pendidikan qur’ani, materi pendidikan yang dimaksud di sini adalah materi pendidikan yang terdapat dalam Al-Qur’an, antara lain; 1. Pengitegrasian antara dzikir dan pikir Semua materi yang diajarkan ketrika terjadi proses belajar mengajar, hendaknya terintegrasi antara dzikir dan pikir. Ketika materi tidak didasari kedua unsur tersebut, akan melahirkan manusia-manusia yang congkak, sombong dan takabbur atau boleh jadi melahirkan manusia-manusia yang cemerlang intelektulanya tetapi hampa spritualnya yang gambaran alegorisnya seperti sebuah obor di tangan pencuri. Itulah sebabnya materi pendidikan Islam diharapkan agar para peserta didik mampu mengintegrasikan antara pikir (kecerdasan intelektual) dengan dzikir (kecerdasan spiritual), serta kecerdasan emosional. Mereka yang mampu mengintergasikan ketiga hal tersebut, diberikan predikat khusus oleh Allah swt. dengan ( اولواالبابulū al-bāb) sebagaimana firman Allah dalam QS. Ali Imran/3: 190-191 sebagai berikut: Terjemahnya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang 92 | mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia: Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.256 Term al-bāb adalah bentuk jama dari mufradnya lubbun yang berakar kata dari huruf lam dan ba yang berarti tetap, murni keberadaannya.257 Juga berarti inti sari, bagian terbaik/terpenting, isi kelapa, isi/inti pembicaraan, akal dan hati. 258 Saripati sesuatu, isi kacang. ulū al-bab adalah orang yang memiliki akal yang murni, yang tidak diselubungi oleh kabut ide yang dapat menyebabkan kerancauan berpikir.259 Term yażkurūna berasala dari fi’i al-mādi yakni żakara yang berakar kata dari huruf żal, kaf dan ra yang berarti menyebut, mengucapkan (asma Allah), menuturkan menyebut maknanya, menjaga, mengerti dan mengingat.260 Sedangkan term yatafakkarūna adalah fi’il al-mudari’ rubā’i yang bentuk fi’il almādi-nya adalah fakkara sedangkan fi’il madi ṡulāṡi-nya adalah fakara yang berakar kata dari huruf fa, kaf dan ra yang bararti berulang-ulangnya hati terhadap sesuatu. 261 Juga berarti memikirkan, mengingat, mengenang.262 Dalam kaitannya dengan pengertian ayat tersebut, bahwa yang dimaksud dengan 256 Depertemen Agama RI., op. cit., h. 96 257 Abī al-Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, op. cit., Jilid V h. 258 Ahmad Warson Munawwir, op. cit., h. 1338. 199 259259 M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., Volume 2, h. 307 260 Ahmad Warson Munawwir, op. cit., h. 482 261 Abī al-Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, op. cit., Jilid IV, h., 262 Ahmad Warson Munawwir, op. cit., h. 1148 446 | 93 yatażakkarūna adalah senantiasa mengingat Allah swt. dalam semua waktu dan tempat atau dalam situasi dan kondisi apa pun, ia selau mencurahkan perasaan, perhatian dan ingatan kepada Allah swt. Sedangkan yang dimaksud dengan yatafakkarūna adalah selalu berpikir tentang ciptaan Allah swt. yang demikian berwarna-warni, bermacam-macam bentuk, kualitas dan kuantitasnya, sehingga dari hasil pemikiran itu,, mereka berkesimpulan bahwa kesemua yang ada ini tidak mungkin terwujud kalau tidak ada yang menciptakan. Oleh karena itu, hubungan kedua ayat tersebut (189 dan 190) dinamakan hubungan penjelasan, yakni ayat 190, menjelaskan dengan secara rinci tentang maksud ayat sebelumnya (ayat 189), terutama penafsiran term ulūl al-bāb bahwa yang dimksud dengan orang yang memiliki pemikiran yang mendalam adalah mereka yang selain berdzikir kepada Allah swt. juga berpikir tentang makhluk-Nya. Berpikir tentang makhluk Allah hasilnya tidak hanya menemukan jawaban tentang siapa yang menciptakan, tetapi juga harusnya terinspirasi bahwa apa yang diciptakan oleh Allah swt. tidak mungkin tanpa ada tujuan. Oleh karena itu, mereka harus berkeyakinan bahwa segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah swt harus dijaga, dipelihara, bahkan kalau memungkinkan harus berinteraksi dengan baik, terutama antara sesama umat manusia. Itulah makna fotongan ayat yang berbunyi: ر بـنا مـا خـلـقـت هـذا بـاطـال (Ya Tuhan kami tidaklah Kamu ciptakan semuanya ini dengan sia-sia). Dari potongan ayat tersebut, dipahami bahwa ayat 190 surah Ali ‘Imran itu juga mengandung kecerdasan intelektual kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional. Sehingga bagi mereka yang mampu mengintegrasikan ketiga kecerdasan tersebut, mereka itulah yang diberi predikat oleh Allah swt. ulu al- Bab (mereka yang memiliki pemikiran yang mendalam), dan sekaligus memperoleh ilmu pengetahuan berdasarkan isyarat normatif alQur’an. 94 | 2. Kedudukan orang yang berilmu pengetahuan. Salah satu materi pendidikan yang seharusnya menjadi perhatian dari pengelolah dalam semua jenjang pendidikan adalah yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Mulai dari segi urgensi, fungsi, peranan dan kedudukan atau kemuliaan orang yang berilmu pengetahuan. Sehingga para peserta didik sejak awal dan seterusnya termotivasi bersungguh-sungguh belajar dan mencintai ilmu pengetahuan. Pekerjaan yang dilakukan dengan bersunguhsungguh sekalipun tidak menggunakan waktu yang panjang, jauh lebih bermakna dan bermanfaat, dibanding dengan pekerjaan yang dilakukan dengan tidak bersungguh-sungguh sekalipun menggunakan waktu yang panjang. Oleh karena itu, kesungguhan belajar dan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan menjadi modal dasar meraih predikat ilmuan (orang yang berilmu pengetahuan). Mereka inilah yang memperoleh kedudukan yang mulia, baik di kalangan sesama umat manusia, maupun dari pandangan Allah swt., karena merekalah secara ideal akan mampu menegakkan kebenaran dan keadilan di atas bersada bumi ini, seperti halnya kamampuan malaikat berbuat adil dalam menjalankan tugasnya. Sebagaimana firman Allah swt. dalam QS. Ali ‘imran/3: 18 Terjemahnya: Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan selain Dia; (demikian pula para malaikat dan orang yang berilmu yang menegakkan keadilan, tidak ada Tuhan selain Dia, Yang Maha Perkasa dan, Maha Bijaksana.263 263 Depertemen Agama RI., op. cit., h. 65. | 95 Term al-‘Ilm berasal dari ism al-maṣdar dari fi’il al-Mādi ‘alima berakar kata dari huruf ‘ain, lam dan mim yang berarti bekas sesuatu yang membedakannya dengan yang lain.264 Oleh karena itu, orang yang memiliki ilmu pengetahuan, berarti dia mempunyai kelebihan yang bisa berbekas pada dirinya maupun kepada orang lain, misalnya seseorang yang mengajarkan ilmunya kepada orang lain akan dikenang sepanjang masa. Selain pengertian ‘alima yang dikemukakan oleh Abī Husain tersebut, juga dapat berarti; mengecap, memberi tanda, mengerti, memahami benar, mengetahui,265 maka yang dimaksud dengan ulu al-‘ilmi pada ayat di atas adalah mereka yang memiliki kemuliaan karena mereka dapat memahami dengan sungguh-sungguh tentang kemahaesaan Allah swt. sebagai pencipta dan pengatur alam ini. Pengetahuannya itu tidak hanya untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi mereka mengajarkan kepada orang lain dengan seadiladilnya, saehingga ilmunya berbekas bagi mereka yang menerimanya. Demikian tingginya kedudukan orang yang memiliki ilmu pengetahuan dan mampu mengaplikasikan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari, karena mereka mampu menegakkan keadilan seperti halnya malaikat, bahkan Allah swt. Sekalipun keadilan yang ditegakkan oleh Allah swt. berbeda keradilan yang ditegakkan oleh makhluk-Nya, karena Allah swt. adalah pemilik keadilan. Itulah salah satu makna yang tersirat dari potongan ayat tersebut yakni ( قـائـما بالقـسـطpenegak keadilan). Menurut M. Quraish Shihab Qāimūn berarti melaksanakan sesuatu secara sempurna dan berkesinambungan. Sedangkan al-Qist berarti adil dan menyenangkan semua pihak. Sebagai contoh kalau ada orang yang berselisih lalu setelah mendapat putusan dari yang 264 Abī al-Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, op. cit., Jilid IV, h., 265 Ahmad Warson Munawwir, op. cit., h., 1036 109 96 | berwenang, kedua belah pihak merasa nyaman dengan keputusan itu. Dengan demikian ayat tersebut berarti bahwa Allah swt., malaikat dan orang-orang yang bereilmu pengetahuan menyaksikan bahwa Allah swt. itu Maha Esa, dan menyakasikan pula bahwa Dia melaksanakan sesuatu atas dasar al-qist.266 Dari keterangan di atas, dipahami bahwa sungguh mulia orang-orang yang berilmu pengetahuan karena mempunyai fungsi yang sama dengan Allah swt., malaikat dalam menegakkan keadilan di muka bumi ini. Tentu penjabarannya tidak sama dengan Allah swt. Karena Dia adalah pencipta dan penggerak segala sesuatu. Sementara manusia diciptakan dan sekaligus digerakkan oleh Allah swt. Hanya saja esensi dari makna al-Qist orang-orang yang berilmu pengetahuan juga memiliki fungsi dan tanggung jawab untuk menegakkan keadilan. Oleh karena itu, bagi mereka yang berilmu pengetahuan memiliki kedudukan atau derajat yang tinggi, baik di sisi Allah swt., maupun sesama manusia. Hal ini sejalan dengan firman Allah swt. dalam QS. AlMujadalah/58: 11 sebagai berikut: Terjemahnya: Niscaya Allah swt. akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Teliti apa yang kamu kerjakan.267 Term yarfa’u adalah fi’il al-mudāri’ dari fi’il al-māḍi rafa’a yang berakar kata dari huruf ra, fa dan dal yang berarti 266 267 M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., Volume 2, h. 38-39 Depertemen Agama RI., op. cit., h. 793 | 97 perbedaan tempat,268 yakni terangkat. Juga berarti antara lain: mengangkat, menyimpang, membawa ke tempat yang paling tinggi dan menaikkan.269 Oleh karena itu, dari ayat tersebut dipahami bahwa mereka yang berilmu pengetahuan memiliki kedudukan atau derajat yang tinggi di sisi Allah swt. Walaupun Allah swt. tidak menyebutkan secara tegas bahwa Allah swt. akan meninggikan derajat orang-orang yang berilmu, tetapi Dia hanya menegaskan bahwa mereka memiliki derajat yang lebih tinggi dari yang sekedar iman. 270 Pengulangan ism al-maushul الـذ ين2 kali pada ayat tersebut memberi pemahaman bahwa orang-orang yang beriman yang dimaksud pada ayat tersebut terbagi kepada dua: Pertama, mereka yang hanya beriman dan beramal saleh. Kedua, mereka yang beriman, bermal saleh dan berilmu pengetahuan. Kelompok kedua inilah yang dimaksud pada ayat tersebut akan mendapatkan derajat yang tinggi, yakni kemuliaan di dunia dan di akhirat, karena ilmu yang mereka miliki tidak hanya sekedar kecerdasan intelektual, tetapi mereka mengamalkannya untuk kemaslahatan, baik untuk dirinya sendiri maupun sesama umat manusia, bahkan kepada seluruh makhluk yang didasari oleh iman kepada Allah swt. Oleh karena itu, integrasi antara iman, ilmu dan amal shaleh menjadi modal utama bagi umat manusia untuk memperoleh kemuliaan di dunia dan di akhirat. Dengan demikian, ilmu yang dimaksud pada ayat tersebut, bukan hanya ilmu agama saja, tetapi seluruh ilmu yang bermanfaat Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam QS. Fatir/35:27-28 sebagai berikut: 268 Abī al-Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, op. cit., Jilid II, h., 269 Ahmad Warson Munawwir, op. cit., h., 553 270 M. Quraish Shihab, Tafsir op. cit., Volume 2, h. 79 423 98 | Terjemahnya: Tidaklah engkau melihat bahwa Allah menurunkan air dari langit lalu dengan air itu Kami hasilkan buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan diantara gunung-gunung itu ada garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada pula yang hitam pekat. Dan demikian (pula) di antara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa dan hewan-hewan ternak ada bermacam-macam warnanya (dan jenisnya) di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. Sungguh, Allah Maha Perkasa, Maha Pengampun.271 Penggunaan kalimat innamā yakhsyallaha min ‘ibād al‘ulama pada ayat tersebut mengandung makna bahwa mereka yang diberi gelar ulama, bukan saja kepada mereka yang memiliki ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu yang lain, karena kedua ayat tersebut mengungkap berbagai fenomena alam, termasuk macam-macam jenis dan warnanya, yang harus dibaca dan dipahami oleh umat manusia. Mereka yang mendapat hidayah dari Allah swt. untuk membaca, baik ayat qauliyah (al-Qur’an) maupun ayat kauniyah (alam semesta), sehingga mereka mampu memahami dan mengaplikasikannya dalam semua gerak dan tindakannya dan semua niat dan kereativitasnya, yang didasari dengan takwa 271 Depertemen Agama RI., op. cit., h. 620 | 99 kepada Allah swt. mereka itulah yang dikategorikan sebagai ulama. 3. Meyakini kehidupan sesudah mati Setelah manusia memperolah kedudukan yang mulia karena ilmu pengetahuannya, tentu lebih mulia lagi kalau ilmu yang dimiliki itu diaplikasikan dalam kehidupannya, untuk memperoleh kemaslahatan, yang tidak hanya untuk kehidupan di dunia, tetapi lebih utama adalah kehidupan diakhirat, karena di sanalah manusia akan hidup selama-lamanya, dan di sana pulalah manusia akan memperoleh balasan dari apa yang telah diperbuat di dunia. Ali bin Abi Thalib pernah berwasiat “Hari ini (dunia) adalah hari untuk tempat beramal, tetapi belum ada perhisaban. Hari esok (akhirat) adalah tempat perhisaban dan bukan lagi tempat beramal”. Dengan demikian, materi pendidikan yang memperkenalkan tentang adanya kehidupan sesudah mati, guna memperoleh balasan dari semua yang dilakukan di dunia, menjadi salah satu materi yang amat penting dan dikemas dalam materi pelajaran tauhid atau aqidah yang merupakan pondasi bagi semua agama termasuk agama Islam, sehingga peserta didik memahami dengan sungguh-sungguh makna dan hakikat kehidupan sesudah mati atau kehidupan di akhirat. Sebagaimana firman Allah swt. dalam QS. Ali ‘Imran/3: 25 Terjemahnya; Bagaimana jika (nanti) mereka Kami kumpulkan pada hari (kiamat) yang tidak diragukan terjadinya dan kepada setiap 100 | jiwa diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang telah dikerjakannya dan mereka tidak dizalim (dirugikan).272 Term jam’āhum berasal dari term jama’a (fi’il al-māḍi) yang berakar kata dari huruf jim, mim dan ‘ain yang berarti sesuatu yang terkumpul.273 Sedangkan term wuffiiyat berasal dar fi’il al-māḍi ṡulāṡi yaitu wafā berakar kata dari huruf wau, fa dan al-harf al-mu’tal (ya) yang berarti sempurna.274 Menurut al-Quṭubī, ayat ini menjelaskan bahwa demikian dahsyatnya kehidupan di hari kemudian, ketika semua manusia dikumpulkan dan dibalas semua perbuatannya.275 Manusia akan melihat semua apa yang mereka telah dikerjakan, baik dan buruk akan dihadapkan kepada mereka. Jika perbuatan itu baik akan dibalas dengan kebahagiaan, kesenangan. Jika amat perbuatan itu buruk, maka akan mendapatkan kesengsaraan. Pada hari kiamat itu, pembalasan Allah swt. sesuai dengan baik buruknya i’tikad atau keaykinan yang terkandung dalam hati, dan sesuai pula baik dan buruknya amal yang mereka lakukan.276 Dengan demikian , bahwa tidak satu orang pun yang dapat lolos dari jeratan hukum pada hari pembalasan nanti. Pada hari tersebut, semua perbuatan manusia melalui proses penimbangan. Kalau amal kebajikannya lebih berat, maka akan mendapatkan imbalannya di syurga, dan sekiranya timbangan amalnya buruk 272 273 274 Ibid., h. 66 Abī al-Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, op. cit., Jilid I, h. 479 Ibid., Jilid VI, h. 129. 275 Abī ‘Abdillah Muḥammad bin Aḥmad bin Abī Bakrin al-Qurṭubī, alJām’ al-Aḥkām al-Qur’ān al-Mubayyin limā Taḍammah min al-Sunnah wa Ayyin al-Qur’ān, Juz V (cet. I; Bairūt-Libanon: Muassasah al-Risālah, 1427 H./2006 M.), h. 79 276 DEpartemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, op. cit., jilid 1, h. 480. | 101 mereka lebih berat dibandingkan dengan amal baiknya, maka akan masuk ke dalam neraka. Karena keadaan hari kemudian itu merupakan wilayah iman, maksudnya sesuatu tidak bisa dijangkau oleh akal pikiran manusia dan sifatnya abstrak, tidak ada orang yang pernah melihatnya, serta tidak pernah ada orang yang telah mati kembali mencritrakan, sehingga materi pendidikan yang berkaitan dengan hari pembalasan trersebut, harus betul-betul menyentuh qalbu peserta didik, bukan hanya menyentuh akal pikiran manusia yang berpusat di kepala. Semua orang meyakini adanya kematian, karena semua orang pernah melihat orang mati, sehingga dapat dijangkau akal pikiran manusia, Tetapi tidak semua orang dapat meyakini hal ihwal atau keadaan seseorang setelah meninggal, termasuk kebangkitan kembali untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatan manusia ketika masih hidup di dunia, kecuali mereka yang beriman termasuk mengimani al-Qur’an sebagai pemberi informasi tetang hal itu sebagaimana yang dijelaskan pada ayat tersebut. Demikan pula dalam QS. Ali ‘Imran3: 30 Terjemahnya: Ingatlah pada hari (ketika) setiap jiwa mendapatkan (balasan) atas kebajikan yang telah dikerjakan dihadapkan kepadanya, (bagipula balasan) atas kejahatan yang telah dikerjakan. Dia berharap sekiranya ada jarak yang antara dia dengan (hari) itu. Dan Allah akan memperingatkan kamu 102 | akan diri (siksa)-Nya. Allah Maha penyayang terhadap hamba-hamba-Nya.277 Menurut M. Quraish Shihab, pada hari terjadinya peringatan atau sanksi dan ganjaran, maka setiap jiwa yang mukallaf, yakni yang dibebani tugas keagamaan, menemukan ganjaran segala apa yang telah dikerjakannya dari sedikit kebaikan pun dihadirkan dihadannya, bagi pelakunya menginginkan agar kebaikan tidak jauh darinya, dan apa yang telah dikerjakan dari sedikit pun kejahatan juga dihadirkan dihadapannya, dia ingin kalau kejahatan itu ada jarak yang jauh daripadanya, demikian tercekamnya hati mereka yang berbuat dosa,278 dan demikian senangnya hati bagi yang berbuat kebajikan, karena amalnya itu menjadi pembela baginya, sehingga tidak diingingkan amalnya itu jauh dari padanya. Berbicara tentang hari kemudian dan segala yang berkaitan dengannya adalah persoalan akidah yang harus melekat pada diri seseoran. Ketika akidah seseorang goyah, maka pondasi agamanya menjadi runtuh. Dinamakan persoalan akidah, karena tidak dapat dijangkau oleh pikiran, karenanya ia menjadi wilayah imaniah. Oleh karena itu, materi pendidikan yang berkaitan dengan akidah seyogianya menjadi perhatian khusus bagi seluruh pengelola pendidikan dan yang tidak kalah pentingnya adalah para pendidik yang setiap hari bertemu langsung dengan anak didiknya. D. Metode Pendidikan Qur’ani Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia metode berarti 1) cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna 277 Depertemen Agama RI., op. cit., h. 67 278 M. Quraish Shihab, Tafsir op. cit., Volume 2, h. 67. | 103 mencapai tujuan yang ditentukan.279 Dalam bahasa Arab, metode dikenal dengan istilah thariqah yang berarti langkah-langkah strategis dipersiapkan untuk melakukan sesuatu pekerjaan.280 Para ahli mendefinisikan metode, sebagaimana yang dikutip oleh Ramayulis sebagai berikut: 1. Hasan Langgulung mendefinisikan bahwa metode adalah cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan pendidikan. 2. Abd. Al-Rahman Ghunaimah mendefinisikan bahwa metode adalah cara-cara yang praktis dalam mencapai tujuan pengajaran 3. Al-Abra>syi mendefinisikan pula bahwa metode adalah jalan yang kita ikuti untuk memberikan pengertian kepada peserta didik tetang segala macam metode dalam berbagai pelajaran. 281 Dengan demikian, yang dimaksud dengan metode pendidikan dan pengajaran adalah suatu cara yang ditempuh oleh pendidik ketika terjadi proses belajar mengajar, sehingga tujuan pembelajaran tercapai secara maksimal sesuai dengan sasaran yang diinginkan. Dalam al-Qur’an, ditemukan berbagai metode pendidikan yang seharusnya menjadi landasan normatif dalam proses pendidikan qur’ani. Metode pendidikan yang dimaksud antara lain sebagai berikut: 1. Metode pemberian contoh Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia contoh berarti antara lain: 1) barang atau sebagian dari barang yang rupa, macam, dan keadaannya sama dengan semua barang yang ada, 2) sesuatu 279 Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 740 280 Ramayulis, Metodologi, op. cit., h. 2-3 281 104 | Ibid., yang akan atau yang disediakan untuk ditiru atau diikuti. 282 Sedangkan keteladanan, berasal dari teladan yang berarti sesuatu yang patut ditiru atau baik untuk dicontoh tentang perbuatan, kelakuan, sifat dan sebagainya.283 Kalau dicermati dengan mendalam tentang keberhasilan Rasulullah saw menyebarkan agama Islam, tidak terlepas dari sikap beliau yang menjadi contoh/teladan dalam semua hal, terutama dalam menyampaikan atau menyiarkan ajaran agama. Sikap keteladanan itulah yang membekas pada sahabat ketika itu, sehingga mereka mudah menerima ajaran agama yang disampaikan atau dicontohkan oleh Rasulullah saw. Oleh karena itu, keteladanan seorang pendidik menjadi penting, bahkan keberhasilan pendidikan tidak terlepas sikap keteladanan yang dimiliki seorang pendidik. Dalam al-Qur’an tersurat beberapa sikap keteladanan yang seharusnya dijadikan contoh oleh paserta didik, sebagimana firman Allah dalam QS. Ali ‘Imran/67-68 sebagai berikut: Terjemahnya: Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang lurus, muslim, dan dia tidaklah orang-orang yang musyrik. Orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang yang mengikutinya, dan Nabi ini 282 283 Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 219 Ibid., h. 1160 | 105 (Muhammad), dan orang-orang yang beriman. Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman.284 Term hanīhan berasal dari fi’il al-mādi yakni hanafa yang berakar kata dari huruf ha, nun dan fa yang berarti al-māil yang berarti condong,285 miring dan lurus.286 Sedangkan term musliman berasal dari fi’il al-mādi salima yang berakar kata dari hurus sin, lam dan mim yang berarti aṣṣaihatu wa al-āfiyatu (sehat dan afiyat),287 selamat dan bebas.288 Oleh karena itu, ayat tersebut menggambarkan bahwa Nabi Ibrahim bukan orang Yahudi sebagaimana pengakuan orang-orangYahudi dan bukan pula orang Nasrani sebagaimana pengakuan orang-orang Nasrani serta bukan pula orang-orang musyrik sebagaimana pengakuan orang-orang musyrik di Mekah yang mengaku mengikuti ajaran beliau, akan tetapi Nabi Ibrahim adalah nabi yang lurus di jalan Allah swt. yakni beragama tauhid (tidak mempersekutukan-Nya) dan selalu menyerahkan diri kepada-Nya. Sikap keteguhan dan keselamatan menempuh jalan Allah swt. sekali pun mendapat tantangan, harusnya menjadi ikutan bagi kita semua dalam mempertahankan agama Allah swt. Bahkan Allah swt. menyatakan bahwa orang-orang yang dekat kepada Nabi Ibrahim bukan dari segi keturunan dan agama tetapi yang mengikuti jejak-jejak beliau dalam mempertahankan agama Allah (tauhid).289. 284 Depertemen Agama RI., op. cit., h. 73 285 Abī al-Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, op. cit., jilid II, h., 110 286 Ahmad Warson Munawwir, op. cit., h.,328 287 Abī al-Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, op. cit., jilid III, h., 90 288 Ahmad Warson Munawwir, op. cit., h. 699 289 M. Quraish Shihab, op. cit., Volume 2, h. 118-119. ـ 106 | Nabi Ibrahim berhasil meluruskan agama Allah swt. di atas persada bumi ini, karena keteguhan, kelurusan dan ketulusan hati beliau mempertahankan agama Allah swt., tidak terpancing dengan godaan agama dan keturunan, sehingga beliau menjadi contoh bagi orang-orang yang datang sesudahnya, termasuk pengikut Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, seorang guru hendaknya berusaha menjadi contoh yang baik dari-muridnya dalam semua kondisi dan situasi, tidak hanya dalam kelas ketika mentransfer ilmunya dalam bentuk pendidikan formal, tetapi juga di luar kelas, baik cara bergaul, berbahasa, maupun dalam posisinya sebagai seorang pendidik. Metode pemberian contoh merupakan suatu metode yang sangat penting digunakan dalam pelaksanaan pendidikan agar tujuan pendidikan dapat terwujud dengan memberi contoh atau memberi perumpamaan kepada mereka yang menjadi objek pendidikan (peserta didik) agar mereka dapat berkembang, baik dari segi fisik maupun mental dan memiliki akhlak yang baik dan benar.290 Kepintaran secara intelektual dan kemampuan mentransfer ilmu kepada orang lain, tidak memberi jaminan keberhasilan pendidikan. Boleh jadi ia berhasil mengajar di kelas, tetapi tidak berhasil mendidik dengan baik. Karena sesungguhnya keberhasilan pendidik tidak hanya diukur keberhasilan yang diperoleh di kelas, tetapi keberhasilan yang sesungguhnya adalah ketika pendidik mampu menjadikan peserta didik berakhlak mulia. Untuk mewujudkan hal itu, sangat ditentukan kepribadian atau keteladanan seorang guru atau pendidik. Sungguh amat tercelah seorang pendidik yang hanya mampu memberikan teori atau mengajarkan sesuatu, tetapi dia sendiri tidak mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini diingatkan oleh Allah swt. dalam firman-Nya QS. al-Baqarah/2: 44 290 Armai Arif, op. cit., h, 119-120 | 107 Terjemahnya: Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca kitab (Taurat)? Tidakkah kamu mengerti.291 Ayat tersebut, mengingatkan kepada orang-orang yang terlibat dalam penyampaian kebenaran, termasuk para pendidik agar berhati-hati menyampaikan sesuatu yang mereka tidak dapat melakukannya, padahal sesungguhnya mereka memiliki kemampuan untuk melakukannya. Misalnya, sopan santun dalam perkataan dan pergaulan, dan beberapa akhlak terpuji lainnya. Dalam hal seperti ini, apabila terjadi perbedaan dari ucapan dan perbuatan, sungguh Allah swt. amat tidak menyukainya. Hal ini dipahami dari struktur ayat tersebut yang diawali dengan harf alistifham al ingkari yakni huruf hmazh pada term ataemurūna yang mengandung makna perintah, sehingga ayat secara tersirat bermaksud “jangan kamu menyampaian sesuatu kepada orang lain padahal kamu melupakan dirimu untuk mengerjakannya” 2. Metode dialog, diskusi dan tanya jawab Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dialog adalah; 1) percakapan dalam sandiwara, cerita, dan sebagainya 2) karya tulis yang disajikan dalam bentuk percakapan antara dua tokoh atau lebih.292 Sedangkan diskusi adalah pertemuan ilmiah untuk bertukar pikiran mengenai suatu masalah.293 Tanya jawab, terdiri dari dua kata yakni, tanya berarti permintaan keterangan, penjelasan dan sebagainya. Sedangkan jawab berarti soal jawab, 291 Depertemen Agama RI., op. cit., h. 8. 292 Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 261 293 108 | Ibid., h. 269 diskusi dan wawancara.294 Dengan demikian, yang dimaksud dengan tanya jawab adalah sebuah pertanyaan lalu mendapat jawab, boleh jadi penanya merasa puas kalau sudah mendapat jawaban dan boleh jadi berlanjut saling tukar pemikiran, sehingga berbentuk diskusi. Dalam pengertian yang umum, diskusi ialah suatu proses yang melibatkan dau atau lebih individu yang berinteraksi secara verbal dan saling berhadapan muka mengenai tujuan atau sasaran yang sudah tertentu melalui cara tukar menukar informasi (information sharing), mempertahankan pendapat (self maintenance), atau pemecahan masalah (problem sovling).295 Oleh karena itu, yang dimaksud metode dialog/diskusi adalah suatu metode yang dilakukan dengan bertukar pikiran antara guru dengan peserta didik atau antara sesama peserta didik dalam suatu tempat tertentu (di kelas) guna mengambil kesimpulan dari suatu masalah, atau guru memberi kesempatan kepada para peserta didik untuk mengadakan pembicaraan ilmiah guna mengambil kesimpulan atau membuat alternatif-alternatif pemecahan terhadap beberapa masalah yang harus dipecahkan berasma. Salah satu kandungan al-Qur’an adalah masalah dialog/diskusi, seperti yang dialami oleh Nabi Zakariya ketika berdialog/diskusi dengan Allah swt. tentang kemungkinannya memperoleh anak. Sebagaimana firman Allah swt. dalam QS. Ali ‘Imran/3: 41-42 dan 47 sebagai berikut; 294 295 Ibid., h. 1141 Ramayulis, Metodologi, op. cit., h. 289. | 109 Terjemahnya: Dia (Zakariya) berkata, “Ya Tuhanku, bagaimana aku bisa mendapatkan anak, sedang aku sudah sangat tua, dan istriku pun sudah mandul? Dia (Allah) berfirman, “Demikianlah Allah berbuat apa yang Dia kehendaki. Dia (Zakariya) berkata, “Ya Tuhanku berila aku suatu tanda, “Allah berfirman, tanda bagimu adalah bahwa engkau tidak berbicara dengan manusia selama tiga hari, kecuali dengan isyarat. Dan sebutlah (nama) Tuhanmu banyak-banyak dan bertasbihlah (memuji-Nya) pada waktu petang dan pagi”.296 Demikian pula dialog antara Allah swt. dengan Maryam tentang kemungkinannya memperolah anak, padahal kenyataannya tidak pernah tersentuh dengan seorang laki-laki, sebagamana firman Allah swt. dalam QS. Ali ‘Imran/3: 47. Terjemahnya: Dia (Maryam) berkata “Ya Tuhanku bagaimana mungkin aku akan mempunyai anak, padahal tidak seorang lak-laki pun yang menyentuhku?”Dia (Allah) berfirman “Demikianlah Allah menciptakan apa yang Dia kehendaki. Apabila Dia 296 110 | Depertemen Agama RI., op. cit., h. 69 hendak menciptakan sesuatu, Dia hanya kepadanya,“jadilah”maka jadilah sesuatu itu.297 berkata Ketiga ayat tersebut, memberikan gambaran tentang contoh metode dialog/diskusi yang ditunjukkan oleh Allah swt. untuk memberi pemahaman tentang sesuatu yang dimaksud kepada lawan berbicara, yakni Zakariya (ayat 40-41) dan Maryam (ayat 47), yang pada perinsipnya ketiga ayat tersebut membicarakan tentang kemungkinannya mereka memiliki anak, yang secara empirik tidak mungkin lagi mereka memilikinya. Zakariya dan istrinya sudah tua Sedangkan Maryan tidak ada lakilaki yang pernah menyentuhnya atau tidak memiliki suami. Dari hasil dialog mereka itu, Allah swt. memastikan kepada mereka bahwa tidak ada yang mustahil bagi-Nya kalau sekiranya Dia menghendakinya. Dengan demikian, metode dialog/diskusi perlu diterapkan dalam pembelajaran sebagai upaya untuk merangsang peserta didik berfikir atau mengeluarkan pendapatnya sendiri mengenai persoalan-persoalan yang dihadapi dan memerlukan pemecahaannya. Oleh karena itu, metode ini tidak hanya berorientasi pada percakapan dan debat, tetapi yang lebih penting adalah pemecahan masalah, seperti yang ditunjukkan oleh Allah swt dalam al-Qur’an. Sekalipun metode dialog/diskusi ini dirasakan manfaatnya, namun menurut Armai Arief memiliki kelebihan dan kekurangan. a. Kelebihannya adalah: Kelebihan/keunggulan metode didialog/diskusi antara lain: 1) Suasana kelas lebih hidup, semua peserta didik mengarahkan pekirannya pada suatu masalah yang didiskusikan. 297 Ibid., h. 70 | 111 2) Dapat meningkatkan prestasi kepribadian individu, seperti; sikap toleransi, demokrasi, berfikir kritis, sistematis, sabar, dan sebagainya, 3) Kesimpulan hasil diskusi mudah dipahami oleh peserta didik, karena mereka mengikuti proses berfikir sebelum sampai kepada suatu kesimpulan, 4) Siswa terlatih belajar untuk mengetahui peraturanperaturan dan tata tertib layaknya dalam suatu musyawarah. 5) Membantu sisiwa untuk mengambil keputusan yang lebih baik, 6) Tidak terjebak ke dalam fikiran individu yang terkadang salah, dan sempit.298 b. Kekurangannya adalah: Pada dasarnya setiap ada kelebihan, juga terdapat kekurangan. Kekurangan metode dialog/diskusi antara lain: 1) Kemungkinan ada peserta didik yang tidak ikut aktif, sehingga diskusi baginya hanyalah merupakan kesempatan untuk melepaskan tanggung jawab. 2) Sulit menduga hasil yang dicapai, karena waktu yang dipergunakan untuk diskusi cukup panjang.299 Dari keterangan di atas, dipahami bahwa sekalipun metode ini terdapat kelebihan dan kekurangan, tetapi tetap perlu diterapkan dalam pengajaran, terutama kalau keadaan memungkinkan, baik dari segi waktu maupun topik-topik yang dibahas ketika itu sekurang-kurangnya dalam bentuk tanya jawab. Seorang peserta didik yang mendapat kesempatan menanyakan suatu masalah yang dianggap penting, lalu mendapat jawaban yang memuaskan merupakan kesan yang sangat berharga baginya dan boleh jadi kesan tersebut tidak terlupakan selama-lamnya. 298 299 112 | Armai Arief, op. cit., h. 148-149 Ibid. 1. Metode pemberian hukuman Kata hukuman berasal dari kata hukum yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan; 1) peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan penguasa atau pemerintah, 2) Undang-undang, peraturan dan sebagainya. untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat, 3) patokan (kaedah, ketentuan) mengenai peristiwa, alam dan sebagainya yang tertentu, 4) kegunaan atau pertimbangan yang ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan), vonis.300 Setelah mendapat akhiranan jadilah hukuman yang berarti; 1) siksaan dan sebagainya. yang dikenakan kepada orang yang melanggar undang-undang dsb, 2) keputusan yang dijalankan oleh hakim, 3) hasil atau akibat menghukum.301 Dalam bahasa Arab kata hukuman sama dengan, al-‘iqāb, al-‘uqubah dan al-Qṣaṣ, 302 dan terkadang juga diartikan dengan balasan. Dalam hubungan dengan pendidikan Islam al-‘iqab berarti: a. Alat pendidikan preventif dan represif yang paling tidak menyenangkan b. Imbalan dari perbuatan yang tidak baik dari peserta didik. 303 Oleh karena itu, pemberian hukuman kepada peserta didik dimaksudkan sebagai balasan terhadap perbuatan mereka, dan tidak ada alternatif lain kecuali diberikan hukuman, agar mereka menyadari kesalahan yang mereka lakukan. Dalam pendidikan Islam, metode pemberian hukuman atau mengancam memberikan hukum kepada mereka yang melanggar adalah sesuatu tindakan yang dibenarkan selama dilakukan dengan motivasi mendidik 300 301 302 303 Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 410 Ibid., h. 411 Ahmad Warson Munawwir, op. cit., h. 1022 Armai Arief, op. cit., h. 130-131 | 113 bukan balas dendam dan sebagainya. Allah swt. mengancam orang yang mengingkari ajaran agama termasuk keyakinan terhadap keberadaan para Rasul, mereka akan mendapatkan hukuman yang tidak hanya diakhirat dirasakan, tetapi juga didunia. Sebagaimana firman Allah swt. dalam QS. Ali ‘Imran/3: 58 Terjemahnya: Maka adapun orang-orang yang kafir, maka akan Aku azab mereka dengan azab yang sangat keras di dunia dan di akhirat, sedang mereka tidak akan memperoleh penolong.304 Term u’aẓẓibuhum adalah bentuk fi’il muḍāri’ dari fi’il mādi rubā’ī yakni ‘aẓẓaba yang berakar kata dari huruf ‘ain, ẓal dan ba yang berarti antara lain menyiksa, menahan.305 Bagi mereka yang disiksa atau ditahan pada intinya adalah diberi hukuman. Oleh karena itu, ayat ini menerangkan bahwa orang-orang Yahudi yang mendustakan Muhammad saw. akan akan disiksa dengan siksaan yang pedih baik di dunia maupun di akhirat. Siksaan dunia yang akan menimpa mereka ialah ditawan serta dikuasai oleh bangsa-bangsa lain. Sedangkan siksaan di akhirat ialah siksaan Allah swt. di hari pembeaasan yang sangat pedih. Pada waktu itu, mereka tidak mendapat pertolongan dari siapa pun.306 Dari keterangan di atas, dipahami bahwa Allah swt. akan memberi siksaan atau hukuman kepada mereka yang tidak mau 304 Depertemen Agama RI., op. cit., h.71 305 Ahmad Warson Munawwir, op. cit., h. 975-976. 306 Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, op. cit., jilid 1, h. 518-519 114 | beriman kepada-Nya termasuk mengimani eksistensi Muhammad saw. sebagai Rasulnya. Ini merupakan suatu regulasi bagi pendidik memberi hukuman atau mengancam akan memberi hukuman kepada peserta didik yang melanggar merupakan salah satu metode yang seharusnya atau setidaknya masih layak diterapkan. Bahkan bukan saja bersifat ancaman, tetapi betul-betul dilaksanakan ketika mereka melanggar, agar tindakan itu menjadi pelajaran, tidak hanya bagi yang bersangkutan, tetapi juga kepada peserta didik lain. Namun demikian penerapan metode hukuman dalam pendidikan tetap ada kelebihan dan kekurangannya. a. Kelebihannya adalah: 1) Hukuman akan menjadikan perbaikan-perbaikan terhadap kesalahan peserta didik, 2) Peserta didik tidak lagi melakukan kesalahan yang sama, 3) Merasakan akibat perbuatannya sehingga ia akan menghormati dirinya. b. Kekurangannya adalah: 1) Akan membangkitkan suasana rusuh, takut dan kurang percaya diri, 2) Peserta didik akan selalu merasa sempit hati, pemalas, suka berdusta (karena takut dihukum), 3) Mengurangi keberanian anak untuk bertindak.307 Namun demikian, metode pemberian hukuman merupakan metode yang perlu diterapkan selama pendidik melakukannya dengan perinsip edukasi, tidak membeda-bedakan dan tidak menyakiti fisik peserta didik. 2. Metode perumpamaan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata perumpamaan berasal dari kata umpama berarti, yang menjadi contoh (persamaan, perbandingan) dengan yang lain-lain.308 Dengan 307 Armai Arief, op. cit., h. 133 308 Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 1243 | 115 demikian, yang dimaksud metode perumpamaan adalah sebuah metode dalam pendidikan dengan mengemukakan perbandinganperbandingan atau perumpamaan sesuatu dengan suatu yang lain. Metode ini menarik perhatian peserta didik ketika dikemukakan perumpamaan-perumpamaan yang mudah dicerna akal, yang sebelumnya boleh jadi dalam bentuk abstrak, lalu diambil perumpamaan yang berbentuk konkret (nyata), sehingga mudah dipahami dan diterima oleh akal. Allah swt. mengemukakan perumpamaan dengan mengambil contoh yang konkret dari hal-hal yang bersifat abstrak. Salah satu ayat yang membicarakan hal tersebut adalah QS. Ali Imran/3: 117 Terjemahnya: Perumpamaan harta yang mereka infakkan di dalam kehidupan di dunia ini, ibarat angin yang mengandung hawa sangat dingin, yang menimpa tanaman (milik) suatu kaum yang menzalimi dirinya sendiri, lalau angin itu merusaknya. Allah swt. tidak menzalimi mereka, tetapi mereka yang menzalimi dirinya sendiri.309 Term maṡal berakar kata dari huruf min, ṡa dan lam yang berarti membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain.310 Penyebutan kalimat fī haṡihi al-hayāti al-dunyā mengisyaratkan bahwa infak yang mereka lakukan itu, bertujuan semata-mata untuk kepentingan kehidupan dunia, tidak sedikit pun 296 116 | 309 Depertemen Agama RI., op. cit., h. 81 310 Abī al-Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, op. cit., jilid III, h., dimaksudkan untuk bekal kehidupan akhirat.311 Harta mereka benar-benar dimanfaatkan untuk memperoleh kelezatan hidup, meperoleh prestasi dan pristise di dunia, sehingga harta mereka tidak dimaanfatkan di jalan Allah swt. Perumpamaan mereka seperti angin yang sangat dingin yang menghancurkan sawah dan ladang suatu kaum.312 Oleh karena itu, ayat tersebut dipahami bahwa Allah swt. menjadikan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya, semata-mata untuk kepentingan dunia, tidak ada niat untuk kepentingan akhirat, karena memang mereka tidak meyakini tentang adanya balasan di akhirat. Perbuatan mereka diibaratkan angin yang sangat dingin sehingga merusak tanaman. Maksudnya harta yang mereka infakkan itu sama sekali tidak berguna bagi mereka. Allah swt. menggunakan kata shar yang berarti dingin sekali, sehingga angin yang dimaksudkan di sini adalah angin yang membinasakan, yang hanya mendatangkan kemudaratan bagi kehidupan manusia. Ketika Allah swt. menggunakan term rīhun dalam bentuk tunggal seperti pada ayat tersebut mengandung makna angin yang membahayakan atau angin yang membawa musibah. Tetapi ketika Allah swt. mengugnakan term riyāhun balam bentuk jama’, maka ayat itu mengandung pengertian angin yang memberi keasyikan dan kesenangan. Boleh jadi Allah swt. membandingkan perbuatan manusia yang menginfakkan hartanya seperti halnya angin pada umumnya mengandung manfaat. Hanya saja, pada ayat tersebut harta yang mereka infakkan itu, hanya berguna di dunia, karena mereka tidak meyakini adanya hari kemudian, sehingga tidak berguna baginya di akhirat. Itulah sebabnya mereka dianggap menzalimi dirinya sendiri, seperti halnya dengan angin yang awalnya berguna bagi manusia, tetapi ketika angin itu terlalu kencang atau terlalu dingin, justru menjadi 311 312 M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 194. Aḥmad Muṣṭafā al-Marāgī, op. cit., juz 4, h. 40 | 117 musibah. Maka hubungan ayat 117 tersebut dengan ayat 116 dinamakan hubungan penegasan. Bahwa ayat 116 menjelaskan, harta dan anak-anak mereka tidak dapat menjadi menolong di akhirat, maka ayat 117 kembali menegaskan bahwa harta mereka hanya berguna di dunia. M. Quraish Shihab menjelaskan ayat tersebut dengan mengambil perumpamaan seorang petani yang telah bekerja sedemikian rupa sehingga sawah dan ladangnya siap untuk dipetik, tiba-tiba datang angin yang membawa udara yang sangat dingin, sehingga tanaman yang telah siap untuk dipetik hancur dan tidak memperoleh hasil sedikit pun. Bahkan mengalami kerugian tenaga, pikiran dan modal. Demikian juga keadaan mereka di hari kemudian. Mereka menduga bahwa amal-amalnya bermanfaat dan berpahala, tetapi kenyataannya sama nasibnya dengan petani yang telah dicontohkan itu.313 Allah swt. menjadikan perumpamaan pahala atau manfaat orang yang membelanjakan hartanya karena dunia semata dengan angin yang sangat dingin (shar), yang menimpah petani, agar mudah diterima akal pikiran tentang kerugian bagi mereka yang membelanjakan hartanya semata-mata karena dunia. Akal lebih mudah berfungsi ketika yang menjadi objeknya adalah benda konkret (nyata) seperti angin yang menimpah petani, ketimbang dengan hal-hal yang abstrak, seperti manfaat membelanjakan harta. Dengan demikian, metode pendidikan perumpamaan sangat berguna untuk mempercepat daya tangkal dan daya ingat peserta didik tentang sesuatu terutama yang bersifat abstara (tidak dirasakan langsung panca indra) lalu kemudian diangkat perumpamaannya dengan hal-hal yang konkret (dapat dirasakan langsung panca indra). 313 118 | Ibid. 3. Metode kisah Term kisah berasal dari bahasa arab qaṣaṣun adalah ism almasdar dari kata kerja qaṣaṣa yang berakar kata dari huruf qaf dan ṣad yang berarti mengikuti sesuatu, mengikuti secara berturutturut, mengikuti jejaknya, juga dapat berarti memotong.314 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kisah berarti cerita tentang kejadian, riwayat, dan sebagainya dalam kehidupan seseorang.315 Oleh karena itu, yang dimaksud metode kisah adalah metode yang dilakukan oleh guru ketika memberikan pelajaran, mereka juga menyampaikan kisah-kisah yang berkaitan pembahasan meteri pelajarannya. Metode ini selain membuka wawasan peserta didik, juga mengurangi ketegangan, sehingga peserta didik semakin rileks mengikuti materi pelajaran, tanpa mengurangi tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Metode kisah merupakan salah satu metode pendidikan yang cukup penting diterapkan, karena pada umumnya kisah menyentu jiwa pendengarnya, terutama kalau yang menyampaikan itu didasari dengan keikhlasan dan penghayatan.316 Menyikapi penggunaan kisah sebagai salah satu metode pendidikan, M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa salah satu metode pendidikan yang digunakan al-Qur’an untuk mengarahkan manusia ke jalan yang sesuai dengan penciptaannya yang dalam hal ini adalah terwujudnya suatu kesempurnaan jasmani ataupun kematangan akal dan jiwa adalah dengan menggunakan kisah, baik kisah tersebut benar-benar terjadi maupun simbolik, yang tentunya tetap merujuk pada tujuan primordial tadi. Dalam implementasinya, berbagai kisah yang disampaikan dalam alQur’an membuktikan kebenaran materi tersebut melalui 314 Abī al-Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, op. cit., jilid V , h. 11, 315 Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 572 316 Muhammad Fadhil al-Jamil, Filsafat Pendidikan dalam al-Qur’an (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1995), h. 125. | 119 pembuktian-pembuktian, baik dengan argumentasi-argumentasi yang dikemukakannya, maupun yang dapat dibuktikan sendiri oleh manusia (peserta didik), melalui penalaran akalnya, sehingga merasa memiliki atau bertanggung jawab untuk membelanya.317 Kisah Maryam ketika dipersiapkan melahirkan Isa, cukup menarik untuk dijadikan salah satu metode pendidikan, sebagaimana yang digambarkan oleh Allah dalam QS. Ali ‘Imran/3: 42- 48 sebagai berikut: Terjemahnya: 317 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu dalam kehidupan Masyarakat, (Cet. VII; Bandung : Mizan, 1994), h. 175 120 | Dan (ingatlah) ketika para malaikat berkata, “Wahai Maryam! Sesungguhnya Allah telah memilihmu, menyucikanmu, dan melebihkanmu di atas segala perempuan di seluruh alam (pada masa itu). Wahai Maryam! Taatilah Tuhanmu, sujud dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.” Itulah sebagian dari berita-berita gaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), padahal engkau tidak bersama mereka ketika mereka melemparkan pena mereka (untuk mengundi) siapa di antara mereka yang akan memelihara Maryam. Dan engkau pun tidak bersama mereka ketika mereka bertengkar. (Ingatlah), ketika para malaikat berkata, “Wahai Maryam! Sesungguhnya Allah menyampaikan kabar gembira kepadamu tentang sebuah kalimat (firman) dari-Nya (yaitu seorang putra), namanya Al-Masih Isa putra Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat, dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah). Dan dia berbicara dengan manusia (sewaktu) dalam buaian dan ketika sudah dewasa, dan dia termasuk di antara orang-orang saleh.” Dia (Maryam) berkata, “Ya Tuhanku bagaimana mungkin aku akan mempunyai anak, padahala tidak ada seorang laki-laki pun yang menyentuhku?” Dia (Allah) berfirman “Demikianlah Allah menciptakan apa yang Dia kehendaki. Apabila Dia hendak menciptakan sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, “jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu. Dan Dia (Allah) mengajarkan kepadanya (Isa) Kitab, Hikmah, Taurat dan Injil.318 Dari beberapa ayat tersebut, tergambar tentang kisah Maryam yang mendapatkan informasi dari malaikat tentang kelebihannya, dan keharusannya tunduk menyembah dan taat kepada Allah swt. Demikian pula informasi dari malaikat tentang 318 Depertemen Agama RI., op. cit., h. 69-70. | 121 kesediaannya memiliki anak yang bernama Isa. Lalu Maryam heran mendengar informasi itu, karena secara akal dan kebiasaan tidak mungkin ia memilki anak, karena tidak pernah bersentuhan dengan seoarang laki-laki. Lalu malaikat berkata terimalah kenyataan ini karena kalau Allah swt. menghendaki sesuatu pasti terjadi. Kisah tersebut menarik disampaikan kepada speserta didik ketika mengajarkan materi pelajaran yang berkaitan masalah akidah terutama ketika membahas sifat-sifat Allah swt., sifat-sifat nabi dan rasul serta reproduksi manusia. Sakalipun metode kisah itu menarik untuk dikaji dan diaplikasikan dalam proses pembelajaran, namun metode ini selain mempunyai kelebihan juga mempunyai kekurangan. a. Kelebihannya adalah: 1) Kisah dapat mengaktifkan dan membangkitkan semangat peserta didik. Karena setiap anak didik dituntut merenungkan makna dan mengikuti alur suatu kisah, sehingga peserta didik terpangaruh secara psikologi dari kisah tersebut, 2) Mengarahkan perhatian dan pikiran, sehingga dapat menghasilkan suatu kesimpulan dari kisah yang diceritakan 3) Kisah selalu memikat, karena mengundang pendengaran untuk mengikuti peristiwanya dan merenungkan maknanya, 4) Dapat mempengaruhi emosi, seperti; takut, perasaan diawasi, rela, senang, sungkan, dan benci sehingga bergelora dalam lipatan cerita. b. Kekurangannya adalah: 1) Pemahaman peserta didik menjadi sulit ketika kisah itu terakumulasi oleh masalah lain, 2) Bersifat monolog dan dapat menjenuhkan peserta didik, 122 | 3) Sering terjadi ketidak selarasan isi cerita dengan konteks yang dimaksud sehingga sulit tercapai tujuan yang diinginkan.319 Sekalipun metode kisah ini memiliki kelemahan, namun dalam proses pendidikan masih sangat penting untuk dikembangkan dan diterapkan karena pada umumnya kisah-kisah itu menyentuh akal pikiran, hati dan jiwa manusia, sehingga kisah yang disampaikan itu mempermudah pemahaman peserta didik terhadap meteri pelajaran yang diajarkan pada waktu itu, terutama kalau kisah itu ada relevansinya dengan materi pelajaran. 4. Metode keteladanan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “keteladanan” mendapat awalan ke dan akhiran an dari kata dasarnya “teladan” yang berarti sesuatu yang patut ditiru atau baik untuk dicontoh tentang perbuatan, kelakuan, sifat dan sebagaianya.)320 Dalam bahasa Arab, keteladanan diistilahkan dengan uswah atau qudwah yang menurut al-Asfahani berarti suatu keadaan ketika seorang manusia mengikuti manusia lain, apakah dalam kebaikan, kejelekan, kejahatan atau dalam kemurtadan.321 Sejalan dengan itu, Ibn Zakaria mengemukakan kata uswah searti dengan quduwah yang berarti ikutan, mengikuti yang diikuti.322 Keteladanan yang dimaksud dalam pendidikan Islam adalah halhal yang diikuti oleh peserta didik dari pendidik atau orang yang dituakan dalam hal ini tentunya yang hendak ditiru adalah halhal yang bersifat positif baik dari perkataan maupun perbuatan. Keberhasilan pendidikan dizaman Rasulullah saw. adalah keteladanan yang ditunjukkan oleh Rasululah saw. sebagai uswah. 319 Armai Arief, op. cit., h. 162 320 Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 1160 321 Al-Ragib Al-Asfahani, Mu’jam al- Mufradat alfazh al-Qur’an (Damsyiq: Dar Al-Qalam, t.th.), h. 105 322 Abī al-Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, op. cit., jilid I , h. 105 | 123 Rasulullah saw. ternyata banyak memberikan keteladan dalam mendidik para sahabatnya.323 Demikian pula nabi-nabi yang lain misalnya, Nabi Zakariya adalah teladan yang baik ketika beliau selalu berdoa agar mendapatkan keturunan yang baik, sebagaimana firman Allah swt dalam QS. Ali ‘Imran/3: 38 sebagai berikut: Terjemahnya: Di sanalah Zakariya berdoa kepada Tuhannya. Dia berkata, “Ya Tuhanku, berilah aku keturunan yang baik dari sisi-Mu, sesungguhnya Engaku Maha Mendengar doa”.324 Menurut al-Marāgī, zurriyyatan berarti anak, kata ini dipakai untuk bentuk mufrad dan jamak. Sedangkan ṭayyibatan berarti hal-hal yang nyaman dipandang, baik dari segi perilakunya,325 maupun akhlaknya. Menurut Ibn Katsir, yang dimaksud dengan zurriyyatan ṭayyibatan adalah anak saleh.326 Ketika Nabi Zakariya mengetahui keindahan tingkal laku dan ilmu pengetahuan yang dimiliki Maryam tentang Allah swt. maka beliau berharap semoga dikaruniai oleh Allah swt. anak saleh seperti Maryam, cerdas serta memikat hati bagi yang melihatnya, sehingga mereka berharap agar dikaruniai anak yang cerdas seperti Maryam.327 Menurut M. Quraish Shihab yang dimaksud hunāka 323 Armai Arief, op. cit., h. 116. 324 Depertemen Agama RI., op. cit., h. 68 325 Aḥmad Muṣṭafā al-Marāgī, op. cit., Juz 3, h. 142 326 Abī al-Fidāīi isma’īl ibn Kaṡīr al-Qurasyī sl-Dimisyqī, op. cit., Juz 3, h. 360 327 124 | Ibid. (di sanalah), yakni di Mihrab tempat Maryam berada dan menjawab pertanyaan Nabi Zakariya tentang sumber rezki Maryam, maka muncul keinginan Zakariya memperoleh anak, yang sebelumnya selalu dipendam karena ia sadar bahwa dirinya dan istrinya sudah tua. Melihat apa yang terjadi pada diri Maryam dan mendengar serta menyadari ucapan Maryam bahwa Allah swt. memberi rezki kepada siapa yang Dia kehendaki, tanpa yang bersangkutan menduganya. Ketika itulah Zakariya bermohon kepada Allah swt. untuk mendapatkan anak shaleh.328 Sikap Nabi Zakariya tersebut, yakni memohon kepada Allah swt. untuk mendapatkan anak yang saleh, berakhlak mulia, memikat hati orang yang melihatnya, merupakan suatu sikap yang perlu diteladani. Sebagai orang tua seharusnya selalu berdoa kepada Allah swt. semoga mendapat anak yang saleh, atau semoga anak yang telah dilahirkan selalu mendapat hidayah dari Allah swt. agar manjadi anak saleh, yang selalu beribadah kepada Allah swt. serta berbakti kepada kedua orang tuanya. Selain dari sikap Nabi Zakariya yang selalu memohon untuk mendapatkan anak yang saleh, juga beberapa sikap Nabi Muhammad saw. yang perlu diteladani, seperti; kepeduliannya terhadap masyarakat yang ada di sekitarnya dengan membacakan ayat-ayat Allah swt., menyucikan jiwa dengan nasihat, mengajar mereka al-Qur’an dan hikmah (sunnah). Sebagaimana firman Allah swt. dalam QS. Ali ‘Imran/3: 164 sebagai berikut: 328 M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 84. | 125 Terjemahnya: Sungguh, Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang beriman ketika (Allah) mengutus seorang Rasul (Muhammad) di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab (alQur’an) dan Hikmah (Sunnah), meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.329 Bahwa Allah swt. mengutus Rasul (Muhammad) kepada orang-orang mukmin dari bangsa Arab sendiri, bukan berasal dari malaikat atau orang asing dari mereka, agar mereka memahami dan memuliakannya. Lalu Rasulullah saw. bertugas membacakan ayat-ayat al-Qur’an dan membersihkan mereka dari dosa serta mengajar mereka al-Qur’an, walaupun mereka sebelumnya berada dalam kesesatan.330 Menurut al-Marāgī sifat-sifat Rasulullah saw. yang harus ditaati atau diteladani adalah; a. Bahwa Nabi Muhammad saw. berasal dari Mekah yakni berasal dari bangsa Arab, sehingga mereka lebih mudah memahami ajaran dan mengambil petunjuknya serta mereka lebih mudah mempercayainya dibanding kalau Nabi bukan dari kalangan mereka. Oleh karena itu, mereka selalu memperhatikan perkembangan dan pertumbuhannya, akhirnya mereka hormat kepada Nabi Muhammad saw. karena kejujuran dan amanah (terpercaya) b. Bahwa Nabi Muhammad saw. membacakan ayat-ayat Allah swt. terutama yang berkaitan dengan kekuasaan, keesaan dan pengetahuan-Nya, sehingga jiwa mereka termotivasi memetik berbagai faedah dan pelajaran. 329 330 Depertemen Agama RI., op. cit., h. 90-91 Jalal al-Din Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad al-Mahalliy dan Jalal al-Din Abd. Al-Rahman ibn Abiy Bakr al-Suyutiy, Tafsir al-Imam alJalalain, Juz I (Damsyiq: Dar Ibn Katsir, 1407H.), h. 71 126 | c. Nabi Muhammad saw. membersihkan jiwa mereka dari akhlak yang tidak baik. Sebab bangsa Arab sebelum datangnya Islam, mereka memiliki akhlak yang tidak baik dan akidah yang salah seperti kepercayaan mereka tentang adanya makhluk yang dapat mendatangkan manfaat yang diharapkan dan menolak mudarat atau bahaya yang tidak diinginkan, sehingga mereka selalu meminta pertolongan dan perlindungan. d. Nabi Muhammad saw. mengajar mereka al-Qur’an dan Sunnah (Hadis) serta mengajar mereka menulis, sehingga mereka terbebas dari buta huruf, akhirnya mereka pandai menulis dan berilmu pengetahuan. Mereka diajar oleh Nabi Muhammad saw. menulis al-Qur’an, sehingga di antara mereka diangkat menjadi sekretaris wahyu.331 M. Quraish Shihab berpendapat bahwa yang dimaksud kata anfusihim adalah bahwa Nabi Muhammad saw., berasal dari lingkungan mereka, sehingga nabi yang diutus itu dikenal sejak kecil, hingga dewasa, pengenalan yang sangat luas sampai kepada sifat-sifatnya yang terpuji. Juga Nabi Muhammad saw. berasal dari ras yang sama dengan mereka, sehingga beliau dapat berbicara dengan bahasa yang mudah mereka mengerti.332 Dengan keistimewaan yang dimiliki oleh Nabi Muhammad saw. seperti yang telah disebutkan di atas menunjukkan bahwa pantaslah kalau Nabi Muhammad saw. diberi gelar al-insan al-kamilah (manusia sempurna) dan penyempurna akhlak yang mulia. Apa lagi Muhammad saw. telah diberikan keistimewaan oleh Allah swt. dengan predikat uswatun hasanah sebagaimana firman Allah swt. dalam QS. Al-Ahzab/33: 21 sebagai berikut: 331 Aḥmad Muṣṭafā al-Marāgī, op. cit., Juz, IV , h.,123-124. 332 M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 268 | 127 Terjemahnya: Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.333 Penggunaan harf al-jar fī pada kalimat fī Rasulillah berfungsi “mengangkat” dari diri Rasul satu sifat yang hendak diteladani, tetapi sesungguhnya yang dimaksudkan adalah Rasulullah saw. sendiri dengan seluruh totalitas beliau, karena kepribadian beliau secara totalitas adalah teladan.334 Rasulullah saw. berhasil menyebarkan ajaran Islam dalam waktu yang relatif singkat, karena keteladanan yang muncul dari dri pribadi beliau. Ia selalu menyampaikan sesuatu setelah terlebih dahulu beliau mempraktekkannya, sehingga tidak ada ruang bagi orang yang menantang atau menghina beliau untuk berkata bahwa Muhammad saw. itu hanya pandai berbicara tetapi tidak dapat membuktikannya. Sikap keteladanan yang diperlihatkan oleh Rasulullah saw. menjadi motivasi yang luar biasa bagi umatnya untuk menjauhi segala larangannya, seperti menjudi , berzina dan sebagainya., dan melaksanakan segala tuntunan yang disyariatkan oleh agama yang dibawa oleh beliau seperti salat, puasa, nikah dan sebagainya. Dengan demikian, metode keteladanan dalam pendidikan menjadi penting sebagai upaya untuk mewujudkan tujuan pendidikan. Pendidik yang dapat memberi contoh yang baik, 128 | 333 Depertemen Agama RI., op. cit., h. 595 334 M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 11, h. 242-243 seperti bertutur kata, bertatakrama, bersopan santun sampai kepada pelaksanaan syariat agama secara utuh sangat berpengaruh secara fisik dan psikologi kepada peserta didik. Sebagai contoh pendidikan di pesatren sangat mudah membentuk kepribadian anak yang baik, itu tidak lain karena keteledanan dari seorang kiyai atau pengasuh pesantren. Kelebihan mereka dalam memimpin pesantern karena memiliki pamor yang terkenal bukan saja di pesantrennya, tetapi di kalangan masyarakat luas. Kepercayaan itu terwujud karena keteladanan yang mereka bangun dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, sesuai ucapan dan perbuatan. Sehingga setiap jalur pendidikan yang mereka bangun baik pendidikan formal, informal dan nonformal. Selalu mendapat respon yang baik dari masyarakat yang menjadi objek pendidikannya. 5. Metode rekreasi/karya wisata Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, rekreasi berarti penyegaran kembali badan dan pikiran; sesuatu yang menggembirakan hati dan menyegarkan seperti hiburan, piknik.335 Sedangkan karya wisata adalah kunjungan ke suatu objek dalam rangka memperluas pengetahuan dalam hubungannya dengan pekerjaan seseorang atau sekelompok orang.336 Ketika dikaitkan dengan metode pendidikan, berarti suatu metode dalam proses belajar mengajar dilakukan sebagai alternatif yang diperuntukkan bagi peserta didik agar mendapatkan atau memperoleh pengalaman belajar yang tidak diperoleh secara langsung di dalam kelas. Metode ini sangat baik dilakukan sebagai salingan out door study sebab para peserta didik dapat diajak langsung ke alam yang sebenarnya.337 Allah swt. memerintahkan kepada umat manusia agar berjalan guna mengambil pelajaran, baik alam lingkungan, 335 336 337 Depertemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 942-943. Ibid., h. 511 Armai Arief, op. cit., h. 168. | 129 maupun peninggal-peninggalan orang terdahulu. Sebagaimana firman Allah swt. dalam QS. Ali ‘Imrān/3: 137 Terjemahnya: Sungguh, telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah, karena itu berjalanlah kamu ke (segenap penjuru) bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang mendustakan (rasul-rasul).338 Term sīrū adalah fi’il al-amr (bentuk perintah) dari fi’il almāḍi yaitu sāra yang berakar kata dari huruf sin, ya (al-harf almu’tal) dan ra. Dari akar kata tersebut terbentuklah term sāra, yasīru, sairan dan masīratan dari segi etimologi berarti madā dan jarā “telah berlalu, mengalir atau berjalan (lari).339 Dari segi leksikal berarti berjalan dari satu tempat ketempat lain,340 atau alsiyāḥa fī al-ard yakni berjalan di bumi.341 Munurut M. Quraish Shihab, ayat ini memerintahkan mempelajari sunnah yakni kebiasaan atau ketetapan Allah swt. dalam suatu masyarakat. Termasuk di dalamanya hukum-hukum alam yang sering dialami oleh suatu masyarakat. Dengan demikian, sunnatullah atau hukum-hukum kemasyrakatan tidak ubahnya dengan hukum-hukum alam atau hukum yang berkaitan 338 Depertemen Agama RI., op. cit., h. 85 339 Abī al-Ḥusain Aḥmad Ibn Fāris Ibn Zakariā, op. cit., Jilid 340 Jamāl al-Dīn Muḥammad Ibn Mukarram ibn Manḍūr al-Ansārī, III, h. 120 Lisān ‘Arab, jilid III (t.t: al-Muassasah al-Misriyah al-Āmmah li l-Ta’rīf wa alAmbiyā al-Nasyr, t.th.), h. 55 341 130 | Al-Ragīb al-Asfaḥānī, op. cit., h. 432. dengan materi. Hukum-hukum alam sebagaimana halnya hukumhukum kemasyrakatan bersifat umum dan pasti, tidak satu pun dan di negeri manapun yang dapat terbebaskan dari sanksi bila melanggarnya.342 Oleh karena itu, adalah suatu kewajiban bagi generasi yang datang sesudahnya untuk mepelajari semua itu dengan sering melakukan rekreasi atau karya wisata. guna mendapatkan berbagai ilmu pengetahuan serta pelajaran untuk dijadikan perbandingan dalam menata perkembangan ilmu pengetahuan kini dan yang akan datang. Oleh karena itu, al-Marāgī berpendapat ayat ini merupakan perintah berjalan di bumi dan merenungkan peristiwa-peristiwa yang telah menimpa umat terdahulu, guna dijadikan pelajaran untuk mendapatkan ilmu yang benar dan didasari dengan bukti yang otentik.343 Perjalanan wisata yang dimaksudkan di sini adalah perjalanan yang bertujuan untuk membuka wawasan, memperoleh informasi yang akurat, serta menyaksikan berbagai persoalan atau kelebihan dan kekurangan pada suatu daerah tertentu, adat istiadat dan peradaban yang telah atau pun sedang berkembang, termasuk geografisnya dan keindahan alamnya. Kesemuanya ini dimaksudkan untuk memperkaya khasanah keilmuan seseorang. Karena pada dasarnya tidak ada orang yang bodoh, kecuali orang yang terlambat memperoleh informasi. Itulah sebabnya rekreasi atau karya wisata menjadi salah satu metode pendidikan dan sebagai dasar normatifnya telah dijelaskan berbagai ayat dalam alQur’an, salah satunya adalah ayat 137 dari surah Ali ‘Imran tersebut. Sekali pun demikian metode ini memiliki kelebihan dan kekurang; 342 M. Quraish Shihab, Tafsir., op. cit., volume 2, h. 225. 343 Aḥmad Muṣṭafā al-Marāgī, op. cit., Juz, IV , h., 75-76 | 131 a. Kelebihannya adalah: 1) Peserta didik dapat menyaksikan secara langsung kegiatan yang dilakukan oleh pendidiknya. Teori-teori yang telah disajikan di kelas, diperagakan secara langsung. 2) Peserta didik dapat menghayati dan mempraktekkannya secara langsung. 3) Sikap dan tindakan peserta didik berubah, misalnya setelah mengunjungi suatu panti asuhan, menjadi lebih menyadari, bahwa peserta didik yang diasuh di panti asuhan itu perlu ditolong, dan disayangi. 4) Melalui metode ini, mata pelajaran dapat dintegrasikan. 5) Dapat menjawab persoalan-persoalan, dengan melihat, mendengar, mencoba dan membuktikan sendiri 6) Dapat mengembangkan rasa sosial peserta didik 7) Memperbesar dan memperluas minat serta perhatian terhadap tugas-tugas yang diberikan sekolah kepada mereka. b. Kelemahan Metode Rekreasi atau Karya Wisata. 1) Metode ini akan gagal bila mana menemui suatu objek yang tidak sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. 2) Waktu yang sangat terbatas, sehingga sering menyita waktu pelajaran lain. 3) Memerlukan biaya teransfortasi dan akomodasi.344 E. Membumikan Konsep Pendidikan Qur’ani melalui Pendidikan Karakter Kosa kata karakter berasal dari bahasa Yunani character. Pada mulanya, kata ini digunakan untuk menandai hal yang mengesankan dari koin (keping uang). Kemudian digunakan untuk mengartikan hal yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. 344 132 | Ramayulis, Metodologi, op. cit., h. 359-360 Akhirnya digunakan untuk menyebut kesamaan kualitas pada setiap orang yang membedakan dengan kualitas yang lainnya.345 Menurut Dani Setiawan seperti yang dikutip oleh Agus Wibowo, akar kata karakater berasal dari bahasa latin, yaitu kharakter, kharassein, pointed stake. Dalam Bahasa Prancis disebut caractere. Pada abad 14 ketika masuk ke dalam Bahasa Inggris, kata caraktere berubah menjadi character. Dalam bahasa Indonesia, kata character berubah menjadi karakter.346 Dalam bahasa Arab kata karakter disinonimkan dengan ( اخــالقakhlāk) adalah jama’ dari kata ( خـلــقkhulukun) yang berarti tabiat, budi pekerti. 347 Menurut Doni Koesoema A. bahwa karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ciri atau karakteristik, gaya, sifat khas, dari diri seseorang yang bersumber dari bentukanbentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil, juga bawaan sejak lahir.348 Karena ia merupakan kondisi dasar atau bawaan sejak lahir, maka agar dapat berfungsi dengan baik harus ditopan dengan energi dari luar termasuk pengetahuan yang diperoleh melalui jalur pendidikan. Hal ini sesuai dengan definisi pendidikan karakter yang dikemukakan oleh Ahmad Muhaimin Azzet bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action).349 345 Fathul Mu’in, Pendidikan Karakter Konstruksi Teoritik & Praktik (Cet. II: Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2011), h. 162. 346 Agus Wibowo, Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi (Cet. Yogyakarta: Putaka Pelajar, 2013), h. 23-24 347 Ahmad Warson Munawwir, op. cit., h. 393. 348 Doni Koesoeman A., Pendidikan Karakter: Starategi Mendidik Anak di Zaman Global Jakarta: Grasindo, 2010), h. 80 349 Ahmad Muhaimin Azzet, op. cit., h. 27 | 133 Dengan begitu, maka pendidikan karakter dalam semua jalur pendidikan yakni formal, informal, nonformal begitu juga semua jenjang pendidikan, mulai dari TK sampai perguruan tinggi harusnya memproritaskan capaian pemahaman dan pengamalan terhadap pilar-pilar karakter yang menurut Suyanto seperti yang dikutip oleh Akhmad Muhaimin Azzat terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai universal, yakni; (1) cinta kepada Tuhan dan segenap ciptaan-Nya, (2) kemandirian dan tanggung jawab, (3) kejujuran dan amanah, (4) hormat dan santun, (5) dermawan, suka menolong, dan kerjasama, (6) percaya diri dan pekerja keras, (7) kepemimpinan dan keadilan, (8) baik dan rendah hati, (9) toleransi, kedamaian, dan kesatuan.350 Sekiranya kesembilan pilar karakter tersebut, telah berpengaruh dalam kehidupan umat manusia, tentu tidak terjadi ketidak harmonisan dalam kehidupan ini. Namun, kenyataannya masih ditemukan penyimpangan yang sungguh amat tidak diharapkan. Perkelahian, pemerkosaan, perzinahan, korupsi dsb. masih menjadi tontonan yang menarik dalam setiap waktu dan tempat, dan yang paling menyedihkan karena pada umumnya terjadi di kalangan masyarakat yang terpelajar. Oleh karena itu, perlu dilakukan secara bersama-sama reaktualisasi, restrukturisasi, refungsionalisasi pendidikan yang sejalan dengan semangat alQur’an melalui pembumian konsep pendidikan qur’ani yang didalamnya terdapat pilar-pilar karakter yang perlu diaplikasikan dalam kehidupan umat manusia kini dan yang akan datang. Secara rinci dalam buku ini dikemukakan pilar-pilar karakter dimaksud dalam al-Qur’an dengan mensingkronkan pilar-pilar karakter yang dikemukakan oleh Suyanto tersebut. 1. Cinta kepada Tuhan dan segenap ciptaan-Nya Apabila seseorang telah mencintai Allah swt., maka ia akan selalu memelihara karakter yang baik terhadap-Nya, dengan 350 134 | Ibid., h. 29. melakukan ibadah dengan penuh ketulusan dan keikhlasan sematamata mengharapkan keredhahan dari Allah swt. dan selalu mengikuti ajaran Rasulullah saw. baik berupa qauliyah (yang diucapkan Rasulullah saw), fi’liyah (yang dilakukan oleh Rasulullah saw.) maupun taqririyahnya (sesuatu yang dilakukan sahabat lalu Rasulullah saw. tidak melarang dan tidak juga memerintahkannya). Pada dasarnya, ketiga bentuk hadis tersebut, hendaknya diikuti oleh umatnya, sebagai perwujudan kecintaan kepada Nabi Muhammad saw, sekaligus kecintaan kepada Allah swt. Hal inilah yang ditegaskan oleh dalam QS. Ali ‘Imrān/3: 31 Terjemahnya Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. 351 Ayat ini turun berkenaan dengan ajakan Rasulullah saw. kepada Ka’ab ibnu Asyraf dan pengikutnya yang berasal dari orang-orang Yahudi untuk beriman, lalau mereka menjawab kami ini adalah anak-anak Allah swt. dan kekasih-kekasihnya. Lalu Allah swt. memerintahkan Nabi Muhammad saw. menyampaikan bahwa sesungguhnya aku adalah Rasulullah saw. yang mengajak kamu kepada Allah swt., sekiranya kamu benar-benar mencintaiNya, ikutilah aku dan laksakanlah perintahku, niscaya Allah saw. akan mencintaimu dan meridhaimu.352 351 Depertemen Agama RI., op. cit., h 67 352 Ahmad Muṣṭafā al-Maragī, op. cit., Juz, III, h. 136. | 135 Term ( إتـبـعـونيittabiūnī) adalah fi’il al-amar, huruf ya befungsi sebagai maf’ul bin.353 yang dimaksud adalah Muhammad saw. karena itu, ayat tersebut bermaksud jika umat manusia mencintai Allah swt. maka hendaklah mereka mengikuti Muhammad saw., yakni melaksankan apa yang diperintahkan Allah swt. kepadanya, yakni beriman dan bertakwa kepada Allah Yang Maha Esa Jika hal itu dilaksanakan oleh mereka, maka pintu gerban kecintaan kepada Allah swt. terbuka baginya.354 Secara psikologi sesorang yang mengikuti ajaran atau sikap seseorang berarti suatu pertanda kecintaan kepadanya. Ini berarti ketika seseorang mengikuti ajaran Muhammad saw., maka dengan sendirinya berarti ia cinta kepada Muhammad, dan orang yang cinta kepada Muhammad berarti ia cinta kepada Allah swt. Sebagai tanda kecintaan seseorang kepada Allah saw. adalah mengikuti ajaran-ajaran rasul-Nya, karena eksistensi rasul adalah pengwejantahan Allah swt. di bumi, dimana darinya segala sesuatu yang dalakukan oleh rasul atas wahyu dari Allah swt. oleh karena itu, ayat ini merupakan keterangan terhadap orang-orang yang menyatakan bahwa dirinya mencintai Allah swt. tetapi perbuatannya bertentangan dengan apa yang dikatakannya. Seperti inilah yang dikatakan oleh al-Warraq seperti yang dikutip oleh AlMarāgī: هــذا لـعــمـري في الــقـــيــاس بـــد يــع# تـعـصي اال لــه وأ نــت تـظـهـــر حــبـــه إن الـمـحـب لـمـن يــحـــب مــطــيــع#لــوكـان حــبــك صـاد قــا الطـــعـــتــه “Engkau berbuat dosa/maksiat kepada Tuhan, padahal engkau menyatakan cinta kepada-Nya. Demi umurku ini, merupakan suatu kenehan dalam perumpamaan. Sekiranya cintamu memang benar 355 353 Muhyi al-Din al-Darwīṡi, I’rāb al-Qur’ān al-Karīm, Jilid I (Cet. IX: Damsik-Bairūt: Dār al-Irsyad li al-Su’un al-Jami’ah, 1424 H./2003 M.), h. 425. 354 355 136 | M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 69. Ibid., maka pastilah engkau mentaatinya # Sesungguhnya orang yang cinta selalu mentaati yang dicintainya. Oleh karena itu, kualitas kecintaan seseorang kepada Allah swt. sangat tergantung seberapa kualitas ketaatannya kepada Allah swt. dengan melaksanakan perintahnya dan menjauhi laranganya sesuai apa yang disampaiakan oleh Rasulullah saw. Kecintaan kepada Allah swt. akan lebih sempurna sekiranya dibarengi dengan kecintaan kepada makhluk-Nya (ciptaan-Nya). Misalnya, kecintaan kepada manusia diwujudkan dalam bermuamalah dengan baik tanpa diskriminasi antara satu dengan yang lain, dan kecintaan kepada makhluk lain (selain manusia) dalam bentuk kasih sayang. Orang yang mencintai makhluk Allah swt., pada dasarnya mencintai Allah swt., karena semua ciptaanNya adalah bagian dari ilmunya, yang tidak bisa terpisahkan antara zat dan ilmu-Nya. Pada dasarnya, manusia memiliki potensi dasar mencintai makhluk Allah swt. Hanya saja kecintaan mereka terhadap makhluk itu, akan menjadi hiasan dunia semata, kalau tidak dibarengi dengan kecintaan kepada yang menciptakannya dengan keyakinan bahwa semuanya akan kembali kepada-Nya. Hal ini ditegaskan oleh Allah swt. dalam QS. Ali ‘Imran/3: 14 sebagai berikut; Terjemahnya: Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas | 137 dan perak, kuda pilihan, hewan ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.356 Term hubbu berasal dari kata habba yang dalam berbagai derivasinya terulang dalam al-Qur’an sebanyak 95 kali,357 yang berakar kata dari huruf ha dan ba yang berarti; 1) kebiasaan dan ketetapan, 2) mencintai sesuatu karena punya rasa cinta, 3) sifat kependekan.358 Dalam kaitannya dengan ayat di atas, maka pengertian nomor dua yang paling tepat. Hal ini sejalan dengan pandangan Ragib al-Asfahani bahwa hub berarti keinginan terhadap yang dilihat atau diperkirakan baik.359Sedangkan menurut al-Zuhaili term hub adalah kecenderungan jiwa kepada sesuatu dengan sepenuhnya dan berusaha untuk mencapainya.360 Dari keterangan di atas, dipahami bahwa hub atau cinta itu berawal dari indera kemudian meresap ke dalam hati atau perasaan lalu memunculkan keinginan atau kehendak untuk memperoleh atau memilikinya. Karena itu, hub al-Syahawat pada ayat tersebut adalah kecenderungan hati yang sulit terbendung kepada sesuatu yang bersifat indrawi. Hal-hal yang dicintai adalah keingina kepada wanita-wanita, anak-anak lelaki, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang.361 Karena mereka cinta kepada hal-hal tersebut, maka mereka berusaha untuk merebutnya sekalipun dengan susah payah. Oleh karena itu, al-Marāgī berpendapat bahwa penggunaan term 356 Depertemen Agama RI., op. cit., h. 64. 357 Muḥammad Fuād Abd. Al-Baqī, op. cit., h. 191-193 358 Abī al-Ḥusain Aḥmad Ibn Fāris Ibn Zakaria, op. cit., Jilid I , h. 26 359 Al-Ragīb al-Asfahānī, op. cxit., h. 24 360 Wahba Zuhayli, Al-Tafsīr al-Munīr fi al-‘Aqīdah wa al-Syari’at wa al-Manḥaj, Juz III (Bairūt: al-Fikr al-Mu’assir, 1991), h. 206. 361 138 | M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 25-26 zuyyina menunjukkan kecintaan manusia terhadap syahwat yang menggiring mereka selalu mencintai meteri dengan segala keindahannya, mereka terkungkung dengan kecintaan itu, sehingga mereka tidak pernah melihat kejelekan dan bahaya yang ada di dalamnya.362 Ayat tersebut secara tekstual hanya menunjukkan kecintaan kepada sesama manusia, harta benda dan hewan, yang merupakan kesenangan kehidupan di dunia, Namun demikian, secara inplisit dengan pendekatan teologis, mereka tidak bisa melepaskan diri dari kekaguman dan kecintaannya kepada Allah swt. karena apa yang mereka agungkan dan yang mereka cintai itu merupakan ciptaan Allah swt., sekaligus pemilik dan penguasa terhadap semua itu. Apa lagi ayat tersebut diakhiri dengan pernyataan wallahu ‘indahu hunsu al-maab (dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik. Ini berarti bahwa kecintaan manusia terhadap ciptaan Allah swt. yang terkadang hanya dorongan hawa nafsu untuk menikamatinya, pada hakikatnya merupakan kecintaan manusia terhadap penciptanya (Allah swt>.) karena pada akhirnya kesemuanya itu kembali kepada Allah swt. Dengan demikian kecintaan manusia kepada ciptaan Allah swt., termasuk Nabi Muhammad saw., berarti juga kecintaan kepada penciptanya yakni Allah swt. Kecintaan seseorang kepada Allah swt., setelah mencintai beraneka ragam ciptannya, termasuk kecintaan kepada Muhammad saw. merupakan sikap atau karakter yang harus ditanamkan pada diri seseorang sejak dini melalui pendidikan, karena pada umumnya manusia mencintai ciptaan Allah swt. hanya sekedar pelampiasan hawa nafsu, atau sekedar untuk bersenang-senang dalam kehidupan di dunia, mereka lalai menumbuhkan perasaan cinta yang mendalam kepada penciptanya, 362 Ahmad Muṣṭafā al-Maragī, op. cit., Juz, III, h. 104 | 139 pada hal semuanya itu terwujud atas ilmu dan kebijaksanaan Allah swt. penguasa tunggal segala sesuatu yang ada di alam ini. Salah satu kemuliaan yang amat berharga diperoleh seseorang ketika tumbuh perasaan cinta kepada Allah swt. dan Allahpun mencitai dia, sebagaimana firman Allah swt. dalam QS. Al-Maidah/5: 54 sebagai berikut: Terjemahnya: Wahai orang-orang yang beriman! Barangsiapa di antara kamu yang murtad (keluar dari agamanya, maka kelak Allah swt. akan mendatangkan suatu kaum, Dia menicntai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang yang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kapir, yang berjihad di jalan Allah swt., dan tidak takut kepada celaan orang-orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah swt. yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.363 Menurut M. Quraish Shihab bahwa ketika orang-orang banyak yang keluar dari Islam, maka Allah swt. akan mendatangkan suatu kaum yang memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Salah satu sifat yang mereka memiliki itu adalah mereka mencintai Allah dan Allahpun mencintai mereka. Cinta Allah swt. kepada hamba-Nya ditandai dengan limpahan 363 140 | Depertemen Agama RI., op. cit., h. 155-156 kebajikan dan anugrah-Nya. Anugrah Allah swt. tidak terbatas, karena itu limpahan karunia-Nya pun tidak terbatas. Sedangkan cinta manusia kepada Allah swt. merupakan dasar dan prinsip perjalanan menuju Allah swt., sehingga semua proses atau peringkat (maqamat) perjalanannya menuju Allah swt., adalah tingkatan cinta kepada-Nya. Kecintaan manusia kepada Allah swt. merupakan pengejewantahan keimanan mereka, sehingga menghasilkan ketaatan, penghormatan, dan pengaguman kepada-Nya. Mereka selalu berusaha memenuhi kehendak-Nya, dan selalu bersama dengan-Nya. Puncak kenikmatan yang mereka rasakan ketika menyebut-nyebut nama-Nya, berdzikir sambil memandang keindahan, keagungan, kesempurnaan, serta kebesaran-Nya melalui ciptaan-Nya di alam ini.364 Demikian mulianya orang-orang yang memiliki karakter cinta kepada Allah swt., karena mereka selain dicintai oleh Allah swt. juga Allah swt. memberikan kemuliaan dan karunia sebagaimana yang diberikan kepada orang-orang berkarakter lemah-lembut kepada sesama orang mukmin tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir yang memusuhinya, berjihad di jalan Allah swt. untuk menegakkan agama serta tidak takut mendapat celaan dari orang yang senang mencela atau mengejeknya ketika berjuang di jalan Allah swt. 2. Kemandirian dan tanggung jawab Dalam Kamus Bahasa Indonesia kemandirian berasal dari kata mandiri yang berarti keadaan dapat berdiri sendiri, tidak bergantung pada orang lain.365 Pada hakikatnya manusia lahir di dunia bersamaan dengan nilai-nilai kemandirian dan tanggung jawab. Itulah sebabnya masing-masing manusia di hari kemudian dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah swt. Namun, sikap kemandirian dan tanggung jawab itu, tidak hanya ditujukan 364 M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 3, h. 13-131 365 Departemen Pendidikan Nasional, op.cit, h. 710 | 141 kepada Allah swt., tetapi juga sesama manusia bahkan terhadap makhluk lain. Oleh karena itu, pada dasarnya semua yang dilakukan umat manusia harus didasari dengan tanggung jawab. Salah satu bentuk tanggung jawab memakmurkan dunia adalah mensosialisasikan tentang pentingnya berbuat baik dan mencegah kemungkaran, sebagaimana firman Allah swt. dalam QS. Ali ‘Imran/3: 110 sebagai berikut: Terjemahnya: Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk menusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.366 Pada ayat tersebut terdapat tiga tanggung jawab harus dilaksanakan oleh umat manusia, yaitu; memerintahkan kebaikan , mencegah kemungkaran dan beriman kepada Allah swt. Yang dimaksud al-ma’ru>f adalah sesuatu yang baik menurut pandangan umum satu masyarakat selama dengan sejalan al-khair (nilai-nilai universal yang diajarkan oleh al-Qur’an dan Sunnah). Sedangkan al-mungkar adalah sesuatu yang dinilai buruk oleh suatu masyarakat serta bertentangan dengan nilai-nilai ilahi.367 142 | 366 Depertemen Agama RI., op. cit., h. 80. 367 M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 3, h. 175. Ayat tersebut merupakan informasi kepada seluruh umat Nabi Muhammad saw. dari suatu generasi ke generasi berikutnya, bahwa meraka adalah umat yang terbaik, karena mereka dengan terus menerus tanpa bosan-bosannya menyeru kepada yang ma’rūf (baik), dan mencegah yang mungkar (tidak baik), sekalipun sampai pada batas penggunaan kekuatan dengan dasar iman yang benar. Sehingga apa yang dilakukan itu diyakni berdasar pada apa yang diajarkan oleh Allah swt. dan Rasulullah saw.368 Suatu predikat yang diberikan kepada umat Nabi Muhammad saw. yakni umat yang paling baik, karena mereka melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar serta mereka memiliki iman yang benar, yang bekasnya nampak di wajah mereka, sehingga mereka terhindar dari kejahatan, padahal sebelumnya mereka adalah umat yang dilanda kejahatan dan kerusuhan, karena mereka dahulu tidak melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar serta mereka tidak beriman secara benar.369 Oleh karena itulah, bagi mereka yang malakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar dengan baik yang didasari dengan kesadaran bahwa tugas itu adalah perintah (kewajiban) dari Allah swt. dikategorikan sebagai orang-orang yang memperoleh keberuntungan, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Ali ‘Imran/3: 104 Terjemahnya: Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, 368 369 Ibid., h. 184. Aḥmad Muṣṭafā al-Marāgī, op., cit., Jilid IV: h. 29 | 143 dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orangorang yang beruntung.370 Term wa al-takun adalah fi’il al-amr yang diawali dengan lam al-amr mengandung makna perintah yang berimplikasi kepada kewajiban371 untuk melakukannya. Term ( مـنـكمminkum) terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama memahaminya bahwa huruf min bermakna sebagian, dengan demikian perintah berdakwah atau menyampaikan amar makruf dan nahi mungkar yang dimaksud ayat di atas, tidak ditujukan kepada setiap orang, tetapi mengandung makna bahwa seharusnya umat Islam menyiapkan kelompok khusus yang bertugas melaksanakan dakwah, yakni melaksanakan amar makruf dan nahi mungkar. Namun, sebagaina ulama lain memahami bahwa term ( مـنـكمminkum) berarti penjelasan. Oleh karena itu, ayat tersebut mengandung makna perintah kepada setiap umat muslim agar melaksanakan tugas dakwah masing-masing sesuai 372 kemapuannya. Sedangkan term al-muflihūn berasal dari fi’il almādī yakni falaha yang berakar kata dari fa, lam dan ha yang berarti beruntung, kekal.373 Oleh karena itu, bagi mereka yang senantiasa melakukan amar makruf dan nahi mungkar akan memperoleh keberuntungan dengan memperoleh pahala dari Allah swt. bahkan oleh masyarakat di sekitarnya yang menilainya 370 Depertemen Agama RI., op. cit., h 79. 371 Wajib adalah sesuatu perbuatan yang yang dituntut Allah untuk dilakukan secara tuntunan pasti, yang diberi ganjaran dengan pahala orang yang melakukannya karena perbuatan itu telah sesuai dengan kehendak yang menuntut dan diancam dosa orang yang meninggalkannya karena bertentangan dengan kehendak yang menuntut. Lihat Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid I, Edisi I (Cet. III: Jakarta: Kencana, 2008), h. 315 372 Muhammad Abduh, Tafsīr al-Qur’an al-Karīm al-Syahr bi al-Tafsir al-Manar, Juz IV: (Cet. II: Mesīr: Dār al-Manār, 1367 H.), h. 26-27. 373 450. 144 | Abī al-Husain Aḥmad ibn Fāris ibn Zakariyā, op. cit., Jilid IV, h. sebagai orang yang bermanfaat dalam hidupnya, karena mereka menjadi panutan dari ilmu dan amalnya, melalui dengan dakwah yang mereka lakukan. Tugas dakwah adalah tugas mulia, dan objek dakwah semakin bervariasi dari latar belakang pendidikan, pengalaman serta keseriusan memahami agama, memerlukan keahlian dalam penyampaiannya, agar mereka dapat menerimanya dengan baik, maka penulis cenderung memahami bahwa dakwah dalam bentuk formal, terstruktur dan sistimatis tidak semua orang dapat diberikan tanggung jawab untuk melaksanakannya, tetapi hanya kepada mereka yang memiliki kapabilitas yang mumpuni. Tetapi dalam batas saling ingat mengingatkan tetap menjadi tanggung jawab setiap umat Islam. Dengan demikian, pendidikan karakter kemandirian dan tanggung jawab tidak bisa diabaikan dalam kehiduapan yang semakin kompotitif, baik dalam kepentingan kehiduapn dunia, maupun kepentingan kehidupan di akhirat. Kemandirian dan tanggung jawab menjadi kunci kesuksesan seseorang dalam menjalin hubungan dengan siapa pun, baik dalam hubungannya dengan sesama manusia dalam bentuk muamalah maupun dalam hubungannya dengan Allah swt. dalam bentuk ibadah. 3. Jujur dan amanah Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia jujur berarti halus hati, tidak berbohong (berkata apa adanya), tidak curang, tulus ikhlas374. Sedangkan amanah berarti sesuatu yang dipercayakan (dititipkan) kepada orang lain, keamanan, ketenteraman dan dapat dipercaya.375 Oleh karena itu, manusia diciptakan di atas persada bumu ini dibekali dengan berbagai amanah, diantaranya sebagai khalifah dari Allah swt. untuk menata dan mengatur kehidupan 374 375 Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 479. Ibid., h. 35. | 145 mereka di dunia ini, dan beribadah kepada demi kemaslahatan hidup di akhirat. Banyak orang yang melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan orang lain, bahkan merugikan banyak pihak karena tidak memiliki sikap kejujuran dan amanah. Oleh karena itu, kedua karakter ini hendaknya ditanamkan pada diri seseorang sejak dini melalui dengan jalur pendidikan, sehingga kelak mereka dapat melakukan aktivitas, baik untuk kepentingan dirinya, maupun umat, selalu di dasari dengan kejujuran dan amanah. Namun, tidak semua orang dapat melakukannya, kecuali yang mendapat hidayah dari Allah swt. Sebagaimana firman Allah swt. dalam QS. Ali ‘Imran/3: 75-76 sebagai berikut: Terjemahnya: Dan di antara Ahli Kitab ada yang jika engkau percayakan kepadanya harta yang banyak, niscaya dia mengembalikannya kepadamu. Tetapi ada (pula) di antara mereka yang jika engkau percayakan kepadanya satu dinar, dia tidak mengembalikannya kepadamu, kecuali jika engkau selalu menagihnya. Yang demikian itu disebabkan mereka berkata, “Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang buta huruf.” Mereka mengatakan hal yang dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui. Sebenarnya barang siapa menepati janji 146 | dan bertakwa, maka sungguh Allah mencintai orang-orang yang bertakwa.376 Term ta’manahū adalah fi’il al-mudari’ dari fi’il al-madi yakni āmana yang berakar kata dari huruf hamzah, mim dan nun yang berarti jujur.377 Karena itu, menurut M. Quraish Shihab ayat tersebut bermaksud ada sebagian orang kalau diberikan amanah untuk menyimpan sesuatu separti harta benda kemudian pada saat tertentu diminta agar mengembalikannya, mereka mengembalikan dengan utuh. Tetapi ada juga sebagai orang kalau diberikan amanah sekalipun sedikit, mereka mengkhianatinya, sehingga mereka tidak mengembalikannya kapan pun juga kecuali kalau ditagih,378 atau diminta terus tanpa tenggang waktu, atau mengadukan perkaranya itu kepada hakim.379 Bahkan ada di antara sebagaian orang sama sekali tidak memenuhi atau menepati kalau diberikan amanah. Demikian pentingnya sikap jujur dan amanah, sehingga Allah swt. mencintai orang-orang yang menepati janji dan bertakwa kepada-Nya, sebagaimana yang dijelaskan pada ayat 76 tersebut. Pada ayat ini terdapat dua term yang perlu dipahami artinya, yakni; aufa> adalah fi’il al-madi al-ruba’i dari fi’il madi tsulatsi “wafa>” yang berakar kata wau, fa dan al-harf al-mu’tal yang berarti sempurna.380 Sedangkan bi’ahdihi dari kata ‘ahada yang berakar kata dari huruf ‘ain, ha dan dal yang berarti al-ihtifāż yakni pemeliharaan dan penjagaan,381 kemudian diartikan dengan 376 Depertemen Agama RI., op. cit., h. 74 377 Abī al-Husain Aḥmad ibn Fāris ibn Zakariyā, op. cit., Jilid 378 M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 3, h. 127. 379 Aḥmad Muṣṭafā al-Marāgī, op., cit., juz III, h. 186. 1, h. 133. 380 381 Ibid., Jilid VI, h. 129. Abī al-Husain Aḥmad ibn Fāris ibn Zakariyā, op. cit., Jilid IV, h. 167. | 147 janji, karena semua janji harus dijaga dan dipelihara agar terpenuhi. Kemudian term bi’ahdihi diawali dengan huruf ba yang antara lain mengandung makna kelengketan dan kedekatan sedemikian rupa sehingga tidak dapat atau sangat sulit dipisahkan. Oleh karena itu, seseorang yang telah mendapatkan amanah, maka dia harus menerimanya dengan penuh kesungguhan,. Amanah itu harus melekat pada dirinya.382 sehingga tidak ada ruang dan celah untuk tidak memenuhi amanah atau perjanjian, yang menurut alMaragī perjanjian yang dimaksud pada ayat 76 tersebut adalah: a. Perjanjian seseorang terhadap saudaranya yang berkaitan dengan transaksi dan amanah-amanah yang diberikan kepadanya, b. Perjanjian dengan Allah swt. yakni melaksanakan ajaran agama yang disyariatkan melalui dengan Rasul-Nya.383 siapa pun yang memenuhi janjinya dengan menunaikan amanah dengan baik dan bertakwah kepada Allah swt., yakni melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala laranganNya. Allah swt. akan senantiasa mencintai dan menyukainya, karena Allah swt. cinta kepada orang -orang yang bertakwa kepada-Nya. Itulah makna ayat ke 76 tersebut diakhiri dengan term ( فإن اللـــه يـحــب الـمـتـقـينAllah swt. cinta kepada orang-orang yang bertakwa). Menunaikan amanah merupakan refleksi dari tanggung jawab, semakin besar amanh yang dibebankan kepada seseorang, semakin besar pula tanggung jawabnya, karena itu membangun karakter jujur dan amanah, merupkan suatu keniscayaan dalam dunia pendidikan, yang harus ditanamkan pada diri anak didik 382 383 148 | M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 3, h. 127. Aḥmad Muṣṭafā al-Marāgī, loc. cit. sejak dini, baik amanah dalam bentuk ibadah kepada Allah swt.,384 maupun amanah untuk membangun dan memakmurkan dunia.385 4. Hormat dan santun Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata hormat berarti; menghargai, khidmat, sopan dan perbuatan yang menandakan rasa khidmat atau takzim seperti menyembah, menunduk.386 Sedangkan kata santun berarti halus dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya); sabar dan tenang, sopan, penuh rasa belas kasihan, suka menolong.387 Orang yang tidak memiliki sikap hormat dan santun, tentu akan sulit menjalin hubungan dalam pergaulan, sehingga dijauhi oleh orang lain karena dinilai angkuh dan sombong. 388 Nabi Muhammad saw. berhasil menyebarkan ajaran agama Islam walaupun dalam waktu relatif singkat, karena beliau memiliki sifat-sifat yang menarik bagi orang yang ada di sekitarnya, seperti; lemah lembut, pemaaf, memohon anpunkan orang lain, bermusyawarah, serta bertawakkal kepada Allah swt., sebagaimana yang difirmankan oleh Allah swt. dalam QS. Ali ‘Imran/3: 159 sebagai berikut: Terjemahnya: 384 QS. Al-Zariyat/51-56 385 QS. Hud/11: 61 386 Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 408. 387 388 Ibid., h. 997. Akhmad Muhaimin Azzet, op. cit., h. 31 | 149 Maka berkat rahmat Allah swt. engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan memohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah swt. Sungguh Allah swt. mencintai orang yang bertawakkal.389 Dari ayat tersebut, dipahami bahwa setidaknya terdapat 5 sifat Nabi Muhammad saw. yang menyebabkan beliau mudah bergaul dengan orang-orang yang ada disekitarnya, yakni 1) sifat lemah lembut, 2) tidak bersikap keras dan berhati kasar, 3) pemaaf, 4) memohonkan ampunan orang lain, 4) mengedepankan musyawarah, 5) banyak tawakkal. Nabi Muhammad saw. memiliki sifat lemah lembut, pergaulan yang baik. Hal itu terjadi karena berkat rahmat Allah swt. dicampakkan ke dalam hatinya, dan merupakan kekhususan baginya. Karena Allah swt. telah membekalinya dengan akhlak Qur’an yang teratur serta hikmah-hikmahnya yang agung. Andaikan Nabi Muhammad saw. keras dan galak bermuamalah dengan kaumnya (kaum Muslimin) pasti mereka akan bercerai berai dan meninggalkannya dan pasti tidak menyayanginya, sehingga Muhammad tidak dapat memberikan bimbingan kepada mereka ke jalan yang lurus. Padahal tugas Rasul adalah menyampaikan syariat-syariat Allah swt. kepada manusia. Tugas itu akan terwujud apabila Muhammad saw. bersikap pemurah dan mulia, melupakan semua dosa yang dilakukan oleh seseorang serta memaafkan kesalahan-kesalahannya, bahkan memohonkan ampun atas dosa-dosanya.390 150 | 389 Depertemen Agama RI., op. cit., h. 90 390 Aḥmad Muṣṭafā al-Marāgī, op. cit., Juz, 4, h. 113 Secara harfiah term ( فاعـف عـنـهمfa’fu anhum) berati menghafus. Oleh karena itu, memaafkan adalah menghafus bekas luka hati akibat perlakuan pihak lain yang dinilai tidak wajar. Hal ini perlu, karena tidak ada musyawarah tanpa pihak lain, sedangkan kecerahan pikiran hanya terwujud bersamaan dengan sirnanya kekeruhan hati.391 Kata musyawarah terambil dari kata ( شـورsyawara) yang pada mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Kemudian pengertian ini berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil/dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat). Oleh karena itu, ayat tersebut merupakan pesan kepada Rasululah saw. agar melakukan musyawarah. Kesalahan yang dilakukan dengan musyawarah, tidak sebesar kesalahan yang dilakukan tanpa musyawarah, dan kebenaran yang diraih sendiri, tidak sebaik kebenaran yang diraih bersama.392 Hasil dari musyawarah itu yang diyakini kebenarannya dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, kemudian diserahkan sepenuhnya kepada Allah swt. dengan dasar keyakinan bahwa Allah swt. menyukai orangorang yang berserah diri kepada-Nya. Kelima sikap yang terdapat pada ayat tersebut, telah diperaktekkan oleh Nabi Muhammad saw. dengan baik, sehingga patutlah kiranya menjadi pelajaran bagi umatnya, termasuk peserta didik. Karena itu, sifat-sifat Rasulullah perlu ditunjukkan kepada peserta didik, agar mereka dapat memahami dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, pendidikan perlu diarahkan untuk membangun karakter anak didik yang mempunyai sifat hormat dan santun dalam pergaulan, sehingga mereka memiliki pribadi-pribadi yang menyenangkan, seperti halnya dengan kepribadian Rasulullah saw., sekalipun 391 392 M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 259 Ibid. | 151 mereka yang tidak mengimani ajarannya, tetap menghormatinya, bahkan mereka memberi gelar al-amin. 5. Dermawan, suka menolong dan kerja sama. Karakter dermawan, suka menolong dan kerja sama adalah sikap kemuliaan yang ada dalam diri manusia, namun tidak semua orang mampu mewujudkannya. Hanya orang yang berjiwa besar dan memiliki kepedulian terhadap sesama manusia serta memiliki kesadaran bahwa di balik apa yang diberikan oleh Allah swt. kepadanya terdapat hak-hak orang lain yang harus dituniakan, baik berupa harta benda, ilmu pengetahuan, tenaga dan sebagainya. Oleh karena itu, Allah swt. menjelaskan bahwa manusia yang mendapatkan derajat yang mulia di sisi-Nya adalah mereka yang peduli terhadap kemaslahatan sesama umat manusia. Sebagaimana firman-Nya dalam QS. Ali ‘Imran/3: 92 sebagai berikut; Terjemahnya: Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu mengifatkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan tentang hal itu, sungguh Allah Maha Mengetahui.393 Penggunaan huruf al-nafyi wa al-Nashb لنmengandung makna menafikan sesuatu yang dalam kapasitas 50 % kemungkinan bisa terjadi dan 50 % kemungkinannya tidak terjadi. Ketika masalah yang berkaitan dengannya memenuhi persyaratan, kemungkinannya dapat terjadi. Persyaratan yang dimaksud pada ayat tersebut, adalah membelanjakan sebagian harta yang 393 152 | Depertemen Agama RI., op. cit., h. 77 disenangi. Oleh karena itu, setelah persyaratan itu terpenuhi, maka akan diperoleh kebaikan. Term tana>lu> adalah al-fi’il mudāri’ dari fi’il al-mādi> yaitu na>la yang berakar kata dari huruf nun, al-harf al-mu’tal dan lam yang berarti antara lain memperoleh.394 Sedangkan term yunfiqu>na adalah fi’il al-mudari’ dari al-fi’il ma>di yakni nafaqa yang berasal dari huruf nun, fa dan qaf yang berarti sesuatu yang terputus atau sesuatu yang tersembunyi395 yang berarti sesuatu yang telah dikeluarkan atau dibelanjakan wujudnya tidak nampak lagi. Adapun term al-birru pada ayat tersebut, bermakna yang menyebabkan seseorang menjadi baik. Sedangkan term ma>tuhibu> berarti kecintaan kepada harta sangat berpengaruh pada jiwa seseorang.396 Oleh karena itu, seseorang tidak dianggap berbakti kepada Allah swt. sekalipun telah menunjukkan ketaatannya beribadah untuk mendapatkan ridha dan rahmat-Nya yang akan mengantar mereka memperoleh surga dan menjauhkannya dari neraka, kecuali membelanjakan harta yang disenangi dan dimuliakan.397 Harta yang dibelanjakan adalah sebagian dari harta yang disukai agar memperoleh kebaikan yang sempurna, dengan cara dan tujuan yang baik serta motivasi yang benar yakni ikhlas karena Allah swt. Tidak boleh khawatir merugi atau menyesal atas pemberian itu, karena Allah swt. akan memberikan ganjaran pahala, baik di dunia, maupun di akhirat kelak.398 Penulis cenderung memahami harf al-jar منdari term مماbermkana altab’idiyah “sebagian” sehingga harta yang dikeluarkan adalah sebagian dari harta yang disukai, bukan keseluruhannya. 394 Ahmad Warson Munawwir, op. cit., h. 1577. 395 Abī al-Husain Aḥmad ibn Fāris ibn Zakariyā, op. cit., Jilid VI, h. 396 Aḥmad Muṣṭafā al-Marāgī, op. cit., Juz 3, h. 207. 454. 397 Ibid. 398 M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 151. | 153 Mendermakan harta adalah sesuatu pekerjaan yang sulit kalau tidak ada pembiasaan, karena itu pendidikan harusnya diarahkan agar peserta didik telah menjadikan kebiasaan bagi mereka untuk selalu mengeluarkan sebagian haratanya, dengan kesadaran sendiri, tanpa harus ada peksaan dari pihak lain. Secara empiric, semua yang dinafkahkan hilang atau lenyap dari pandangan indra manusia sebagaimana pengertian nafaqa tersebut, tetapi secara hakikat justru itulah yang kekal, dan semuanya berada dalam ilmunya Allah swt. Hal ini dipahami dari potongan akhir ayat tersebut, yakni; وما تـنـفـقـوا من شيئ فإن اللـــه بـه ( عـلـيـمapa saja yang kamu infakkan sungguh Allah Maha Mengetahui). Al-Marāgī menjelaskan potongan ayat ini, bahwa segala sesuatu yang diinfakkan di jalan Allah swt., semuanya akan dibalas oleh Allah swt. berdasarkan pengetahuan-Nya tentang niat dan keikhlasan yang menginfak. Karena betapa banyak orang yang beinfak dengan harta yang baik, tetapi tidak bisa mengelak dari perasaan riya, 399 akhirnya tidak mendapat pahala apa pun karena Allah swt. mengetahui semua yang terlintas dalam hati sanubari seseorang yang melakukan suatu kegiatan, termasuk bagi mereka yang menginfakkan hartanya di jalan Allah swt. oleh karena itu, bagi mereka yang ingin mendapatkan pahala dari Allah swt. maka dia harus bekerja dengan ikhlas dan menghilangkan semua sifatsifat yang bisa menbatalkan pahalanya termasuk riya. Bagi mereka yang memiliki kemampuan harta lalu tidak mau mendermakan atau menginfakkan sebagain hartanya, mereka itu sering dijuluki dengan orang kikir. Sifat kikir adalah sifat atau karakter yang tercelah dan besar dampak negatifnya bagi mereka yang memiliki sifat tersebut. Hal ini dijelaskan oleh Allah swt. dalam QS. Ali ‘Imran/3:180 sebagai berikiut: 399 154 | Aḥmad Muṣṭafā al-Marāgī, op. cit., Juz III, h. 209-210 Terjemahnya: Dan janganlah sekali-kali orang-orang yang kikir dengan apa yang diberikan Allah kepada mereka dari karunia-Nya, mengira bahwa (kikir) itu baik bagi mereka, pada hal (kikir) itu buruk bagi mereka. Apa (harta) yang mereka kikirkan itu akan dikalungkan (dilehernya) pada hari Kiamat. Milik Allahlah warisan (apa yang ada) di langit dan di bumi. Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.400 Term yabekhalu>na adalah fi’il al-muda>ri’ dari fi’il mādi yaitu bakhila yang berakar kata dari huruf ba, kha dan lam yang berarti pelik dan kikir.401 Al-Marāgī menjelaskan bahwa tidak dibenarkan seseorang berprasangka tentang kebakhilan orangorang yang kikir terhadap karunia dan nikmat Allah swt. yang telah diberikan kepada mereka adalah karakter yang baik atau lebih baik bagi mereka, karena sesungguhnya seharusnya mereka mensyukuri nikmat tersebut dengan menginfakkannya di jalan Allah swt., sedangkan sifat bakhil berarti mengingkari hal itu. Oleh karena itu, Allah swt. menjadikan harta benda yang mereka bakhilkan itu sebagai kalung yang melilit di lehernya di hari kemudian. Dosa dan azabnya tetap berada pada diri mereka dan tidak ada jalan untuk melepaskan diri dari siksaan itu. 402 400 Depertemen Agama RI., op. cit., h. 96. 401 Abī al-Husain Aḥmad ibn Fāris ibn Zakariyā, op. cit., Jilid I, h. 207 402 Aḥmad Muṣṭafā al-Marāgī, op. cit., Juz IV, h. 145-146. | 155 Dengan demikian jalangnalah sekali-kali karena kekikiran, seseorang enggang menunaikan kewajibannya berkaitan dengan apa yang dianugerahkan oleh Allah swt. kepada mereka seperti harta benda, ilmu pengetahuan, atau tenaga yang mereka peroleh dari karuania Allah swt. Walaupun mereka mengira bahwa kekikiran itu baik, tetapi sesungguhnya adalah jelek bagi mereka. Apa yang mereka kikirkan itu, akan dikalungkan di lehernya pada hari kemudian, sehingga semua orang mengetahui keburukan sifatnya.403 Dari keterangan di atas dipahami bahwa sifat kikir adalah suatu sifat yang tidak pantas dimiliki oleh seseorang, karena sesungguhnya harta, ilmu dan tenaga yang bermanfaat akan dirasakan kegunaanya oleh yang bersangkutan, maupun masyarakat pada umumnya. KOleh karena itu, orang yang kikir, termasuk orang yang tidak mensyukuri pemberian Allah swt. kepadanya, sehingga wajarlah kalau diberikan sanksi moral dari Allah swt. di hari kemudian dengan dikalungkannya di leher mereka harta yang seharusnya dikeluarkan (zakat, sumbangan di jalan Allah swt. atau yang membutuhkan), sebagai sanksi moral mereka, sengaja dipertontonkan di masyarakat umum tetang sifatnya, bukan dilihat dari segi ringan atau beratnya kalung tersebut. Dengan demikian, karakter seperti ini, seyogianya sedini mungkin diingatkan mereka melalui dengan pendidikan, sehingga tidak menjadi kebiasaan. Sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan bagi seseorang, apalagi kalau sudah menjadi karakter memerlukan proses waktu untuk mengatasinya. Hendaklah mereka dibiasakan besifat dermawan, peduli terhadap kemaslahatan orang lain, sehingga mereka dekat dengan Allah swt. dan juga dengan sesama umat manusia. Sebaliknya orang yang kikir pasti dijauhi oleh 403 156 | M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 293 masyarakat, dan itu merupakan sanksi moral yang amat berat bagi mereka. 6. Percaya diri dan pekerja keras Percaya diri dan bekerja keras merupakan suatu karakter yang penting bagi umat manusia, karena orang yang tidak memiliki sikap percaya diri dan bekerja keras tidak akan dapat memperoleh apa yang diinginkan, atau meraih cita-citanya. Setiap kali akan melangkah selalu dihantui oleh keragu-raguan yang berimplikasi terhadap ketidakseriusan melakukan suatu pekerjaan. Salah satu wujud percaya diri dan bekerja keras seseorang adalah sederhana dalam bertindak, teguh dalam pendirian, konsistem dalam berpikir dan bekerja, sehingga selalu memperoleh pahala di dunia dan di akhirat, sehingga dicintai oleh Allah swt. Sebagaimana firman-Nya dalam QS. Ali ‘Imran/3: 147-148 Terjemahnya: Dan tidak lain ucapan mereka hanyalah doa “Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tidakan-tindakan kami yang berlebihan (dalam) urusan kami. Dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir. Maka Allah memberi mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah mencitai orang-orang yang berbuat kebaikan.404 404 Depertemen Agama RI., op. cit., h. 87. | 157 Term ṡabbit adalah fi’il al-amr dalam konteks ini tidak berarti perintah, tetapi bermakna permohonan karena berasal dari bawah (hamba) ke atas (Tuhan). Term tersebut berasal dari fi’il al-ma>di ruba’i< yaitu ṡabbata yang berakar kata dari huruf ṡa, ba dan ta yang berarti dawa>m al-Syai yakni sesuatu yang berlangsung secara berkelanjutan.405 Term tersebut kemudian dirangkaikan dengan term aqda>mana> sehingga bermakna tetapkanlah pendirian kami, sehingga kami tidak merasa takut menghadapi tantangan, tidak juga berubah motivasi kami atau berpaling dari tujuan kami.406 Bagi mereka yang memiliki percaya diri dan bekerja keras selalu termotivasi dengan keyakinan optimisme keberhasilan dalam setiap melangkah merencanakan, dan melaksanakan suatu kegiatan. Hal ini sesuai pandangan al-Marāgī “Teguh dan istiqamah adalah penyebab kemenangan dan keberhasilan.407 Apalagi term tersebut didahului dengan term waisra>fana> fi> amrina> yang bernakan “hidarkanlah kami dari perbuatan yang berlebihlebihan.” Ini berarti setiap langkah yang dilakukakan oleh seseorang harusnya berusaha berjalan sesuai dengan arah dan kebijakan yang telah digariskan atau direnceanakan. Kegagalan yang sering dialami oleh setiap orang yang merencanakan atau melakukan sesuatu, selain kurangnya percaya diri juga ketidakkonsistenan terhadap arah dan kebijakan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, percaya diri dan diikuti dengan kerja keras di barengi dengan sikap sederahana dan rendah hati baik terhadap sesama manusia maupun terhadap Allah swt. yang ditandai dengan permohonan doa kepada-Nya, menjadi modal 158 | 405 Abī al-Husain Aḥmad ibn Fāris ibn Zakariyā, op. cit., Jilid VI, h. 397 406 M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 239. 407 Aḥmad Muṣṭafā al-Marāgī, op. cit., Juz, IV, h. 92 utama dalam memperoleh kesuksesan. Sekaligus memperoleh pahala dari Allah swt. di dunia dan di akhirat. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah swt pada ayat tersebut. Menurut M. Quraish Shihab ayat tersebut menggambarkan sambutan Allah swt. atas permohnan mereka yang demikian tulus berdoa, optimis kepada pertolongan, bersungguh-sungguh berjuang dan taat kepada Allah swt. dan Rasul mereka, maka Allah swt. menganugrahkan kepada mereka kemenangan, kecukupan dan ketenangan hati. Dengan sikap seperti itu, Allah swt. menilai sebagai orang berbuat baik. 408 Oleh karena itu, sikap-sikap tersebut seharusnya menjadi perhatian utama bagi setiap pengelola pendidikan, sehingga kelak peserta didiknya selalu meraih kesuksesan dalam semua kreativitasnya. Bahkan mereka akan memiliki pribadi yang tangguh, tidak mudah menyerah dalam setiap melakukan suatu usaha dalam kehidupan ini. 7. Kepemimpinan dan keadilan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kepemimpinan berarti perihal pemimpin, cara pemimpin.409 Sedangkan keadilan berarti perbuatan, perlakuan yang adil.410 Oleh karena itu, yang dimaksud dalam kajian ini adalah salah satu cara seorang pemimpin dalam melaksanakan amanah yang diembannya adalah bersikap adil dalam arti ‘tidak berat sebelah, tidak memihak, kalau harus berpihak maka berpihak yang benar, berpegang kepada kebenaran, dan tidak sewenang-wenang.411 Untuk mewujudkan hal ini diperlukan keteguhan iman, karena dengan iman yang benar akan akan berimplikasi terhadap prilaku yang adil. Itulah sebabnya dilarang mengangkat pemimpin atau penguasa orang408 M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 239. 409 Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 874 410 Ibid., h. 8 411 Ibid. | 159 orang kafir, sebagaimana firman Allah Ali’Imran/3: 28 swt. dalam QS. Terjemahnya: Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, melainkan orang-orang beriman. Barang siapa berbuat demikian, niscaya dia tidak memperoleh apa-apa dari Allah, kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka. Dan Allah akan memperingatkan kamu akan diri (siksa)-Nya, dan hanya kepada Allah tempat kembali.412 Dikemukakan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Sa’id atau Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas, berkata bahwa Al-Hajjaj ibnu ‘Amer mewakili Ka’eb bin Asyarat dan ibnu Abī Ḥaqīq serta Qais bin Said, ketiganya golongan Yahudi mengadakan hubungan rahasia sebagian dari golongan Anshar, agar mereka mau berpaling dari agama Islam. Maka Rifa’ah ibnu Munzīr, Abdullah bin Jubair dan Sa’ad bin Juṣmah mengingatkan mereka agar tidak berhubungan dengan orang-orang Yahudi itu, sekompok orangorang Anshar tidak menghiraukan peringatan itu, maka turunlah ayat Lā yattikhizil Mukmkminūna sampai Wallahu ‘Alā Kulli Sain Qadīr.413 412 413 Depertemen Agama RI., op. cit., h. 66-67. Al-Imām Jalāluddin al-Suyūtī, Lubabun Nuqūl fī Asbābun Nuzūl diterjemahkan oleh M. Abdul Mujieb ddengan judul “Riyawat Turunnya AyatAyat Suci Al-Qur’an (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1986), h. 103. 160 | Term ( اولـياءauliyāa) adalah jama dari ( الوليal-waliyyu) yang berarti mencintai, teman, sahabat, yang menolong, yang mengurus perkara seseorang, wali, tetangga, sekutu, pengikut, putra mahkota, pengasuh anak yatim, para penguasa.414 Terkait dengan ayat di atas, menurut Imamain al-Jalalain berarti pemimpin mereka415 juga berarti yang berwewenang menangani urusan. Penolong, sahabat kental dan lain-lain yang mengandung makna kedekatan.416 Lebih lanjut, beliau mengatakan bahwa ayat tersebut melarang orang-orang mukmin menjadikan orang-orang kafir sebagai penolong, karena kalau itu terjadi, berarti bahwa orang-orang mukmin dalam keadaan lemah, padahal Allah swt. tidak menghendaki orang-orang mukmin dalam keadan lemah, kecuali kalau ada manfaat bagi orang-orang mukmin dari pertolongan itu atau paling kurang tidak ada kerugian bagi orangorang mukmin akibat dari pertolongan itu.417 Setiap manusia pasti akan menjadi pemimpin, baik pemimpin bagi keluarganya, anak-anaknya, lingkungan tempat tinggal, negara, perusahaan, kelompok, organisasi maupun terhdap dirinya sendiri.418 Sedangkan menurut Al-Marāgī dilarang bagi orang-orang mukmin menjadikan orang-orang kafir sebagai teman dekat yang menyebabkan orang-orang mukimin membuka rahasiarahasia terutama yang berkaitan dengan urusan agama. Oleh karena itu, Allah swt. melarang orang-orang mukmin memihak kepada orang-orang kafir, baik urusan keluarga, persahabatan, karena tetangga yang sifatnya sebagai persahabatan atau teman sepergaulan. Tetapi kalau keberpihakan orang-orang mukmin 414 Ahmad Warson Munawwir, op. cit., h. 1690-1691. 415 Jalul al-Din Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad al-Mahalliy dan Jalal Al-Din abdu al-Rahman ibn Abī Bakr al-Suyūṭī, op. cit., jilid I, h. 53 416 M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 62 417 Ibid. 418 Akhmad Muhaimin Azzet, op. cit., h. 33 | 161 terhadap orang-orang kafir mengandung kemaslahatan bagi orangorang mukmin dibolehkan. Sebab Nabi Muhammad saw. pernah bersekutu dengan Bani Khusa’ah padahal mereka musyrik. Bahkan dibolehkan orang-orang mukmin mempercayai pemeluk agama lain dan bermuamalah dengan mereka dalam masalah urusan dunia.419 8. Baik dan rendah hati Karakter baik dan rendah hatu, merupakan modal yang sangat berharga bagi seseorang. Baik dalam perkataan, dalam perbuatan serta baik dan rendah hati dalam berhubungan dengan sesama umat manusia, peduli terhadap kemaslahatan umat, memiliki kemampuan menahan emosi serta memiliki sifat pemaaf. Mereka yang memiliki sifat seperti tersebut, dikategorika oleh Allah swt. sebagai orang al-muḥsinūn (orang yang berbuat baik), sebagaimana firman Allah dalam QS. Ali ‘Imrān/3: 134 Terjemahnya; (Yaitu) orang yang berinfak, baik diwaktu lapang maupun sempit, dan orang yang menahan amarahnya dan memafkan kesalahan orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.420 Ayat tersebut mengisyaratkan adanya tiga sifat yang dinilai sifat terpuji atau baik dan menujukkan kerendahan hati bagi mereka yang memilikinya, yaitu, 1) selalu membelajakan hartanya baik dalam kondisi senang atau lapang maupun dalam kondisi sengsara atau sempit, 2) mampu menahan amarahnya dan 3) 162 | 419 Aḥmad Muṣṭafā al-Marāgī, op. cit., Juz, III, h. 132. 420 Depertemen Agama RI., op. cit., h. 84 pemaaf terhadap sesama manusia. Dalam konteks menghadapi kesalahan orang lain, ayat tersebut menujukkan tiga kelas manusia. Pertama, yang mampu menahan amarah. Term alKāẓimīna mengandung makna penuh dan menutup dengan rapat. Ini mengisyaratkan bahwa perasaan tidak bersahabat masih memenuhi hati yang bersangkutan, pikiran masih menuntut balas, tetapi dia tidak memperturutkan ajakan hati dan pikiran itu, dia menahan amarah sehingga tidak mengeluarkan kata-kata buruk, atau perbuatan negatif. Kedua, pemberi maaf, term al-‘Āfīna yang berarti maaf, juga berarti menghapus. Seseorang yang memaafkan orang lain, berarti menghapus bekas luka hatinya akibat kesalahan orang lain yang dilakukan terhadapnya. Karena ia telah memaafkan orang, maka seakan-akan tidak pernah terjadi suatu kesalah, atau sesuatu apapun. Ketiga, Allah swt. mengingatkan bahwa yang disukai-Nya adalah orang-orang yang berbuat kebajikan, bukan sekedar manahan amarah, atau memaafkan, tetapi justru yang disukai adalah yang berbuat baik kepada yang pernah melakukan kesalahan.421 Menurut al-Marāgī maksud wa alKāẓimīna al-Gaiẓa adalah orang yang menahan atau menekan amarahnya, ketika memungkinkan untuk melakukannya. Barang siapa yang menuruti nafsu amarahnya, lalu mendendam, niscaya ia tidak stabil dalam kehidupannya dan selalu menyimpan dari rel kebenaran, bahkan terkadang melakukan tindakan yang melampaui batas. Sedangkan yang dimaksud dengan wa al-‘Āfīna ‘ani al-Nās adalah orang-orang yang selalu memaafkan kesalahan orang lain, tidak menghukumnya sekalipun mampu melakukannya. Sikap seperti ini terwujud ketika seseorang memiliki sikap penguasaan diri pengendalian jiwa, dan ini tidak semua orang mampu melakukannya. Itulah sebabnya memaafkan kesalahan orang lebih 421 M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 221. | 163 tinggi derajatnya dibanding menahan amarah. Karena kalau menahan amarah boleh jadi masih ada sifat dengki dan iri. 422 Dari keterangan di atas dipahami bahwa bagi mereka yang senantiasa membelanjakan hartanya kepada yang berhak sesuai dengan kemampuannya, tanpa terikat situasi dan kondisi dan mampu menahan amarah serta pemaaf terhadap kesalahn orang lain, menjadi bagian dari karakter yang seyogianya dikembangkan dalam kehidupan umat manusia, sehingga yang bersangkutan akan ternilai sebagai orang yang baik dan rendah hati. Karena orang yang keras hati dapat dipastikan akan sulit menjalin hubungan komunikasi di atara sesama warga masyarakat, padahal komunikasi menjadi bagian dari kehidupan umat manusia demi meraih kesuksesan, tidak ada manusia yang bisa bertahan berdiri dengan kakinya semndiri, pasti memerlukan bantuan dan partisipasi dari orang lain. Agar komunikasi antara sesama warga masyarakat berjalan dengan baik, maka harus dijalani hidup ini dengan sikap lemah lembut, baik ucapan maupun tindakan, dan itulah yang diperaktekkan Rasulullah saw. sehingga dakwahnya berhasil. 9. Toleransi, kedamaian dan kesatuan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia toleransi berarti, 1) sifat atau sikap toleran: dua kelompok yang berbeda kebudayaan itu saling berhubungan, 2) batas ukuran untuk penambahan dan pengurangan masih dibolehkan.423 Bagi mereka yang toleran dalam hidupnya akan merasakan kedamaian dan ketenangan, bahkan merasakan semangat kesatuan dalam hidup, walaupun berbeda peradaban dan kebudayaan serta agama yang merupakan sunnatullah. Oleh karena itu, sikap toleran ini penting dibangun sejak awal pada diri seorang anak. Sehingga mereka selalu membawa kedamaian, kesejukan dan kenyamanan di manapun 164 | 422 Aḥmad Muṣṭafā al-Marāgī, op. cit., Juz, IV, h. 71 423 Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. mereka berada. Kekacauan, keribatan, bahkan permusuhan sering terjadi sebagai dampak dari kurangnya saling pengertian di antara mereka, dan yang paling mengagetkan karena pada umumnya mereka menganggap dirinya sebagai kaum beragama atau kaum terdidik. Oleh karena itu, saling pengertian dan pemahaman di kalangan masyarakat mutlak diperlukan, baik dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, maupun dalam kehidupan beragama. Allah swt. mengajarkan kepada Muhammad saw. tentu berimplikasi kepada umatnya agar mengajak umat manusia (Nasrani dan Yahudi) agar tidak mempersekutukan Allah swt. sesuatu apa pun. Tetapi kemudian kalau mereka tidak menghiraukan ajakan itu, maka hendaknya disampaikan kepada mereka bahwa kami adalah orang-orang muslim. Sebagaimana firman Allah swt. dalam QS. Ali-‘Imrān/3: 64 Terjemahnya: Katakanlah (Muhammad), “Wahai Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju kepada suatu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak mempersekutukannya dengan sesuatu pun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah swt. Jika mereka berpaling maka katakanlah (kepada mereka), “saksikanlah, bahwa kami adalah orang Muslim.424 424 Depertemen Agama RI., op. cit., h. 72 | 165 Term asyhadū merupakan fi’il al-amr dari fi’il al-mādī yaitu syahida yang berakar kata dari huruf syin, ha dan dal yang berarti hadir dan mengetahui.425 Dengan demikian, potongan ayat yang berbunyi fain tawallao faqūlū asyhadū biannā muslimūna menurut M. Quraish Shihab, bahwa kalau kalian berpaling dan menolak ajakan ini, (tidak mempersekutukan Allah swt.) tidak menerima atau berpaling dari ajakan itu, maka kalian harus menyaksikan dan mengakui bahwa kami adalah orang-orang muslim, yang akan melaksanakan secara teguh apa yang kami percayai. Pengakuan kalian akan eksistensi kami sebagai muslim walau kepercayaan kita berbeda, menuntut kepada kalian agar tetap membiarkan kami melaksanakan tuntunan agama kami. Karena kami pun sejak dini telah mengakui eksistensi kalian tanpa kami percaya apa yang kalian percaya. Namun demikian, kami mempersilahkan kalian melaksanakan agama dan 426 kepercayaannya. Hal ini sejalan dengan firman Allah swt. dalam QS. Al-Kāfirūn/109: 6 Terjemahnya: Untukmu agamamu, dan untuku agamaku.427 Term dīn berasal dari fi’il al-mādi yaitu dāyanā yang berakar kata dari huruf dal, ya, dan nun yang berarti tunduk, rendah hati dan taat.428 Juga berarti agama, kepercayaan, tauhid, ibadah, kesalehan, ketakwaan, paksaan, kemenangan, hisab (perhitungan), pembalasan.429 Al-Marāgī lebih cenderung 166 | 425 Abī al-Ḥusain Aḥmad ibn Fāris ibn Zakariyā, op. cit., Jilid III, h. 221 426 M. Quraish Shihab, op. cit., volume 2, h. 115 427 Depertemen Agama RI., op. cit., h. 919 428 Abī al-Ḥusain Aḥmad ibn Fāris ibn Zakariyā, op. cit., Jilid II, h. 319 429 Ahmad Warson Munawwir, op. cit., h. 471 mengartikan dīn pada ayat ini dengan balasan, yakni kalian akan memperoleh balasan atas segala perbuatanmu, dan aku pun akan memperoleh balasan sesuai dengan perbuatanku.430 M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat ini menegaskan cara pertemuan dalam kehidupan bermasyarakat yakni; Bagi kamu secara khusus agama kamu, tidak menyentuh sedikit pun kepadaku, kamu bebas mengamalkannya sesuai dengan keyakinanmu, dan bagiku juga secara khusus agamaku, aku pun mestinya memperoleh kebebasan untuk mengamalkannya, dan kamu tidak akan disentuh sedikit pun olehnya.431 Dari keterangan di atas, dapat dipahami bahwa toleransi dalam kehidupan beragama adalah suatu keniscayaan, baik toleransi antar umat beragama, maupun toleransi interumat beragama. Setiap orang memiliki hak untuk memeluk suatu agama dan mengamalkan ajarannya sesuai dengan kepercayaan dan keyakinan masing-masing, dan setiap orang yang memeluk suatu agama pasti meyakini bahwa agama merekalah yang paling benar. Bukan saja keyakinan seperti itu, berdampak pada mereka yang berbeda agama, tetapi boleh jadi perbedaan keyakinan justru di kalangan interen umat beragama. Misalnya dalam Islam, perbedaan mazhab alam kaitan dengan fikih, dan perbedaan pemahaman terhadap keyakinan dalam kaitan teologi, mereka mempertahankan serta mengamalkannya sesuai dengan keyakinannya. Pemikiran seperti ini harusnya dipertahankan dalam menjaga kedamaian, yakni saling menghormati, saling menyayangi dan saling menghargai. Dalam rangka mewujudkan kesatuan yakni sebagai hamba dari Allah swt. yang menciptakan, mengatur, dan memelihara alam semesta ini. Sekalipun jalan dan cara yang ditempuh dalam mewujudkan penghambaan itu berbeda-beda. Boleh jadi perbedaan itu disebabkan dari latar belakang 430 Aḥmad Muṣṭafā al-Marāgī, op. cit., Juz, 30, h. 256 431 M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 15, h. 581 | 167 pendidikan, lingkungan serta keyakinan. Itulah yang dimaksud firman Allah swt. dalam QS. Asy-Syūrā/42: 15 Terjemahnya: Bagi kami perbuatan kami, dan bagi kamu perbuatan kamu. Tidak (perlu) ada pertengkaran antara kami dan kamu. Allah swt. mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah (kita) kembali.432 Dalam implementasinya, berbagai pilar pendidikan karakter tersebut harus menjadi suatu pilar yang harus dijiwai oleh nilai-nilai karakter yang tercantum dalam berbagai isyarat normatif yang telah diberikan oleh al-Qur’an sebagai magnum opus dari pendidikan qur’ani. Oleh karena itu, membumikan konsep pendidikan qur’ani melalui pendidikan karakter harus mampu mengakselerasi suatu konsep menuju aksi dalam pemahaman dan pengamalan nilai-nilai karakter yang ada dalam al-Qur’an melalui berbagai aspek pendidikan qur’ani seperti tujuannya, fungsi, materi serta metodenya. F. Membumikan Konsep Pendidikan Qur’ani melalui Pendidikan Keluarga Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud keluarga adalah; 1). Ibu dan bapak beserta anak-anaknya, 2). Seisi rumah yang menjadi tanggungan.433 Hal ini seirama dengan pandangan Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir bahwa inti keluarga 168 | 432 Depertemen Agama RI., op. cit., h 695 433 Departemen Pendidikan Nasional, op. cit. h. 536. adalah ayah, ibu dan anak434 Dalam lembaga pendidikan keluarga, memposisikan ibu dan bapak sebagai pendidik kodrati. Oleh karena itu, keduanya memiliki tanggung jawab terhadap anaknya, yakni memelihara dan membesarkannya, melindungi dan menjamin kesehatannya serta mendidiknya dengan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berguna bagi kehidupannya kelak, sehingga pada saat dewasa, mereka mampu berdiri sendiri dan peduli terhadap kemaslahatan orang lain.435 Orang tua (ayah dan ibu) atau semua orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak seperti kakek, nenek, paman, bibi dan kakak, tetapi yang paling bertanggung jawab adalah ayah dan ibu,436 memiliki peranan yang amat besar terhadap pendidikan anak, karena merekalah yang memiliki waktu yang lebih banyak untuk bergaul, beradaptasi dan berkomunikasi dengan anaknya sejak ia lahir sampai dewasa, sekali pun anak telah masuk jenjang pendidikan formal, tetapi waktunya lebih panjang berada di rumah ketimbang di sekolah. Oleh karena itu, orang tua lebih berpeluang membina dan merubah sikap dan mental seorang anak, termasuk keintelektualannya. Anak adalah amanah dari Allah swt. kepada kedua orang tuanya, memiliki jiwa yang suci, namun berpotensi menjadi kotor, sangat tergantung kepada pembinaan kedua orang tuanya, apabila sejak kecil dididik dan dilatih serta diarahkan dengan baik, maka ia akan tumbuh menjadi anak yang baik pula, demikian pula sebaliknya, kalau ia selalu dibiasakan dengan sikap yang tidak baik maka ia akan terbiasa melakukan sikap yang tidak 434 Inti keluarga adalah ayah, ibu, dan anak. Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, op. cit., h. 226. 435 Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam (Cet. I: Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011), h. 183. Abī al-Ḥusain Aḥmad ibn Fāris ibn Zakariyā, op. cit., Jilid II, h. 319 436 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam (Cet. III; Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2000), h. 155. | 169 baik pula, akhirnya ia menjadi manusia yang celaka dan tidak terpandang di mata sesama umat manusia.437 Peluang untuk membentuk anak yang baik, seperti yang telah diuraikan di atas, hendaknya dimanfatkan secara maksimal oleh orang tua. Oleh karena itu, mereka hendaknya selalu berusaha menciptakan kondisi yang kondusif, sehingga semua potensi anak dapat berkembang secara optimal. Sekiranya orang tua tidak mendidik anaknya atau melaksanakan pendidikan anak, secara serius dan bersunguh-sungguh, berakibat terhadap perkembangan anak yang tidak sesuai dengan harapan. Boleh jadi potensi anak yang dibawa sejak lahir (fitrah agama) menjadi tidak bersinar. Dalam Islam, pendidikan tidak seharusnya diserahkan sepenuhnya kepada pendidikan formal tertentu (sekolah), demikian pula tidak seharusnya pendidikan itu diserahkan sepenuhnya kepada orang tua atau pendidikan informal, karena kedua jalur pendidikan itu memiliki fungsi dan peran masingmasing, yang harus dipahami oleh masing-masing anak, bahkan seharusnya mereka mengkombinasikan ilmu pengetahuan yang diperoleh dari kedua jalur pendidikan tersebut, sehingga tidak menjadi peserta didik yang hanya cemerlang secara intelektual, tetapi hampa dari segi spiritual. Dengan demikian, pendidikan yang diinginkan dalam Islam adalah pendidikan yang mengitegrasikan antar kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Ketiga kecerdasan tersebut, tidak selamanya diperoleh melalui dengan pendidikan formal dan non-formal. tetapi juga sebagiannya diperoleh melalui pendidikan informal, terutama pendidikan keluarga. Oleh karena itu, pendidikan keluarga adalah sesuatu yang tidak bisa dinafikan, walaupun dalam format yang paling sederhana, karena pendidikan keluarga merupakan pendidikan 437 Abdullah Nāṣih Ulwan, Tarbiyah Aulād fī al-Islam (Bair ut: D ār alIslām, 1981), h. 160 170 | yang pertama dan utama,438 dan boleh jadi pendidikan keluarga itulah yang berkesan dan berpengaruh bagi kehidupan anak. Dalam al-Qur’an, terdapat beberapa ayat yang patut dijadikan renungan dan contoh teladan bagi orang yang ingin membangun rumah tangganya penuh kedamaian dan ketenteraman, yakni memposisikan istri dan anak sebagai hiasan dalam rumah tangga Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hiasan berarti barang yang dipakai untuk menghiasi sesuatu.439 Karena itu, perempuan/isteri dan anak merupakan alat yang dipakai untuk menghiasi kehidupan. Sekiranya alat yang dipakai untuk membuat hiasan tidak baik atau kurang sempurna, maka tentu hasilnya pun tidak baik. Itulah sebabnya seorang suami sebagai pemimpin dalam sebuah rumah tangga mempunyai peranan yang amat strategis membentuk dan mengarahkan istrinya dan anak-anaknya agar menjadi perhiasan yang menyenangkan, tidak hanya enak dipandang mata, tetapi juga menjadi penyejuk hati ketika terjadi kegoncangan hidup dan menjadi pelipur lara ketika terjadi kesepian. Hal inilah yang dijelaskan oleh Allah swt. dalam QS. Ali ‘Imran/3: 14 Terjemahnya: Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang beretumpuk dalam bentuk emas 438 439 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, loc. cit. Departemen Pendidikan Nasional, op. cit. h. 398 | 171 dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawa ladang, itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.440 Dari ayat tersebut dipahami bahwa terdapat tujuh bagian yang paling dicintai umat manusia dalam hidupnya, yaitu; wanita, anak-anak, harta benda (emas dan perak), kuda pilihan, hewan ternak, sawah ladang. Meskipun kemudian yang digambarkan sebagai bagian yang paling dicintai umat manusia dalam kehidupannya hanya beberapa obyek pada ayat di atas, tapi hal tersebut hanya merupakan bagian terkecil dari berbagai obyek kecintaan manusia yang semakin dinamis dan kompleks dalam era kekinian. Menyikapi ayat di atas, Al-Marāgī berpendapat bahwa kaum wanita merupakan objek yang paling disenangi oleh kaum laki-laki, bahkan dengan wanita, jiwa laki-laki bisa merasa tenang.441 Itulah sebabnya ayat tersebut didahulukan term wanita dari pada anak-anak, pada hal sesungguhnya cinta dan sayang kepada wanita pada saat-saat tertentu terkadang hilang, sedangkan cinta dan sayang kepada anak tidak pernah hilang dari jiwa orang tuanya, sekali pun terjadi perbedaan paham, bahkan mungkin terjadi permusuhan di antara mereka. Hal ini disebabkan kecintaan dan kesayangan kepada anak tidak terlalu berlebihan, sementara kecintaan dan kesayangan kepada wanita sering berlebihan. Betapa banyak laki-laki yang mencintai wanita lebih dari satu, lalu menelantarkan pendidikan anak dan istri yang tidak dicintai lagi.442 M. Quraish Shihab berpendapat bahwa sekalipun ayat tersebut menggunkan term al- nisā yang menunjuk kepada 172 | 440 Depertemen Agama RI., op. cit., h. 64. 441 QS. Ar-Rum/30: 21. 442 Aḥmad Muṣṭafā al-Marāgī, op. cit., Juz, III, h. 105. perempuan dan al-banīna yang menunjuk kepada anak laki-laki, tetapi tetap bermakna bahwa kecintaan kepada aneka syahwa, yaitu bagi wanita kepada pria dan pria kepada wanita, serta anak laki-laki dan anak perempuan.443 Karena itu dalam membangun sebuah rumah tangga kecintaan suami terhadap istrinya dan kecintaan istri terhadap suaminya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam hidupnya, sehingga terjalin perasaan mawaddatan wa rahmatan dalam semua waktu dan tempat serta semua kondisi yang melingkupinya, baik dalam keadaan susah maupun senang atau dalam keadaan suka dan duka. Demikian pula kecintaan orang tua terhadap anaknya baik laki-laki maupun perempuan seharusnya terbina sejak dalam kandungan ibunya sampai seterusnya. Wujud kecintaan orang tua kepada anaknya adalah kasih sayang, artinya kecintaan melahirkan kasih sayang. Seorang anak yang selalu merasakan kasih sayang dari orang tuanya, niscaya ia akan hormat dan taat kepadanya. Demikian pula sebaliknya, sekiranya ada anak yang tidak merasakan kasih sayang orang tuanya, terutama bagi yang hidup bersama orang tuanya, niscaya mereka akan menjauh dari orang tuanya dan cenderung membentuk dirinya dengan pola pikirannya sendiri yang boleh jadi menjadi anak bandel, melawan bahkan membunuh orang tuanya. Agar perasaan kasih sayang orang tua terhadap anaknya, dan anak terhadap orang tuanya selalu tumbuh dan berkembang pada diri mereka, maka hendaknya selalu terjalin komunikasi yang intensif di antara kedua belah pihak, serta masing-masing memahami hak dan kewajibannya. Bahkan orangtua diperintahkan oleh Allah swt. agar selalu mendoakan anaknya, tidah hanya ketika lahir tetapi juga ketika masih berada dalam kandungan, sebagaimana yang dicontohkan oleh Istri ‘Imran yang diabadikan oleh Allah swt dalam firman-Nya QS. ‘Ali Imran/3: 35 443 M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 27 | 173 Terjemahnya: (Ingatlah), ketika istri ‘Imran berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku bernadzar kepada-Mu, apa (janin) yang dalam kandunganku (kelak) menjadi hamba yang mengabdi (kepada-Mu), maka terimalah (nadzar itu) dari-ku. Sungguh Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”444 Term naẓartu adalah fi’il al-mādī mutakallim wahdah berasal dari kata naẓara yang berakar kata dari huruf nun, ẓal dan ra yang berarti sesuatu yang menakutkan, atau sesuatu yang diusahakan untuk sampai suatu tujuan.445 Nadzar merupakan tuntunan agama yang tidak diwajibkan oleh agama, tetapi diwajibkan sendiri oleh seseorang atas dirinya guna mendekatkan diri kepada Allah swt. yang dilakukan dengan ucapan. Sebagaimana yang dilakukan oleh Istri ‘Imran bernadzar ketika hamil, agar anak yang dikandungnya berbakti secara penuh di Bait al-Maqdis. Nadzar ini menunjukkan bahwa anak yang dikandungnya adalah anak laki-laki, karena ketentuan yang berlaku ketika itu, adalah hanya anak laki-laki yang bisa bertugas di rumah Allah swt., demi menjaga kesucian tempat ibadah dari haid yang dialami oleh wanita. Juga nadzar tersebut membuktikan bahwa demikian dalamnya kualitas iman beliau, sehingga bersedia mempersembahkan anak yang akan dilahirkan itu demi kepentingan agama.446 444 Depertemen Agama RI., op. cit., h. 67-68. 445 Abī al-ḥusain Aḥmad ibn Fāris ibn Zakariyā, op. cit., Jilid VI, h. 446 M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 77-78. 414. 174 | Hakikat nadzar adalah doa, karena itu ketika istri ‘Imran mengandung, dia bermohon atau berdoa kepada Allah swt. agar anak yang akan dilahirkan itu adalah anak laki-laki supaya bisa mengabdikan dirinya secara penuh di Bait al-Maqdis. Hal ini menjadi pendidikan bagi ibu-ibu yang mengandung agar selalu mendoakan janinnya sesuai niatnya. Tentu yang paling mulia adalah mendoakan janinnya itu agar kelak menjadi anak saleh dan salehah. Sekiranya apa yang didoakan itu tidak terwujud sesuai dengan niat semula, sebagai umat yang beriman tidak boleh putus asah atau bersedih, karena tentu Allah swt. mempunyai perhitungan lain yang lebih besar manfaatnya dibanding dengan permohonan seorang hamba-Nya. Hal itulah yang terjadi pada diri istri ‘Imran yang selalu bermohon agar anak yang akan dilahirkan itu adalah laki-laki, ternyata perempuan. Sebagaimana yang firman Allah swt. dalam QS. Ali ‘Imran/3: 36 Terjemahnya: Maka ketika melahirkannya, dia berkata “Ya Tuhanku, aku telah melahirkan anak perempuan.” Padahal Allah swt. lebih tahu apa yang dia lahirkan, dan laki-laki tidak sama dengan perempuan “Dan aku memberinya nama Maryam, dan aku memohon perlindungan-Mu untuknya dan anak cucunya dari (gangguan setan yang terkutuk.”447 Ayat tersebut menggambarkan tentang kekuatan tekad dan ketulusan istri ‘Imran berdoa, maka ketika ia mengetahui bahwa yang dilahirkan adalah anak perempuan, dia pun berkata dengan sedikit kecewa: Tuhanku, pemeliharaku sesungguhnya aku 447 Depertemen Agama RI., op. cit., h. 68. | 175 melahirkan seorang anak perempuan dan Allah swt. lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu dan anak laki-laki tidak sama dengan anak perempuan. Istri ‘Imran menyampaikan hal itu kepada Allah swt. seolah-olah ingin menyatakan bahwa saya tidak bisa menunaikan nadzarku. Namun demikian, ia tetap berharap semoga anak yang dia lahirkan menjadi seorang perempuan yang taat kepada Allah swt., maka ia memberi nama dengan Maryam yakni seorang yang taat, dengan harapan kiranya nama itu benarbenar sesuai dengan kenyataan. Agar niat istri ‘Imran dapat terwujud, maka ia selalu memohon perlindungan dari rayuan dan tipu daya setan secara terus menerus sampai kepada anak cucunya.448 Sekalipun niatnya ingin melahirkan anak laki-laki dengan tugas menjaga Bait al-Maqdis, namun Tuhan menghendaki yang lain yakni ia melahirkan anak perempuan (Maryam), yang dipersiapkan oleh Allah swt. dengan tugas yang luar biasa melebihi tugas penjaga Bait al-Maqdis itu, yakni melahikan anak tanpa proses seperti yang dialami oleh putra-putri Adam sebelumnya, yakni melahirkan tanpa berhubungan seks dengan seseorang pun yang melahirkan Nabi Isa. 449 Selain Maryam dipersiapkan oleh Allah swt. melahirkan seorang nabi, juga dengan kehendak dan rekayasa dari Allah swt. Keberadaan Maryam merubah tradisi yang berlaku di masyarakat ketika itu, yakni Maryam menjadi pengasuh rumah ibadah sesuai dengan niat ibunya (isteri ‘Imran).450 Menurut al-Marāgī, bahwa istri ‘Imran tidak pernah merubah niatnya sedikit pun yang menginginkan agar bayinya itu menjadi penjaga Bait al-Maqdis sekalipun ia bayi wanita. Sekiranya ia sama sekali tidak bisa menjadi penjaga Bait 176 | 448 M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 78. 449 Ibid. 450 Ibid., h. 82. al-Maqdis, biarlah ia menjadi birawati yang pekerjaannya hanya untuk beribadah.451 Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa niat yang tulus dari lubuk hati yang paling dalam dari orang tua diiringi dengan doa pasti dikabulkan oleh Allah swt. sekalipun dalam wujud yang berbeda. Hal tersebut terjadi karena Allah swt. lebih mengetahui segala rahasia yang terdapat di balik kenyataan yang ada. Boleh jadi kalau permintaan istri ‘Imran itu agar melahirkan anak laki-laki dikabulkan oleh Allah swt. justru menjadi anak durhaka dan tidak ada yang tahu semua rahasia kecuali Allah swt. Tetapi, karena ketulusan niat istri ‘Imran untuk menjadikan anaknya sebagai penjaga Bait al-Maqdis akhirnya tetap terwujud sekalipun anak yang dilahirkan itu adalah anak perempuan (Maryam) tentu dengan beban yang berbeda karena perbedaan fisik, tetapi setidaknya ia menjadi pemakmur tempat ibadah. Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa al-Qur’an sarat dengan pesan-pesan normatif dari dimensi teosentris yang memberikan isyarat pada manusia yang berada pada dimensi antroposentris. Dalam kaitannya dengan upaya membumikan konsep pendidikan qur’ani tersebut, berbagai aspek yang berkaitan dengan pendidikan seperti tujuan, fungsi, materi, dan metodenya harus mengacu pada berbagai isyarat normatif tersebut. Pendidikan qur’ani merupakan suatu pola pendidikan Islam yang mencoba untuk mendudukkan wahyu sebagai sumber otoritas pertama dan utama dalam Islam sebagai kerangka normatif dalam pelaksanaannya. 451 Aḥmad Muṣṭafā al-Marāgī, op. cit., Juz, III, h. 140. | 177 178 | Azzet, Akhmad Muhaimin. Urgensi Pendidikan Karakter di Indonesia. Cet. I; Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011. Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, Abī al-Ḥusain. Maqāyis al-Lugah., Bairūt: Dār al-Jīīi, 1420 H./1999 M. Ali, Muhammad Daud. Pendidikan Agama Islam. Cet. 12; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011. Abdullah, Ambo Enre. Pendidikan di Era Otonomi Daerah. Yogyakarta: Pustaka Timur, 2005 Arief, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Cet. I; Ciputat: Ciputat Pres, 2002 Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999 Baqī, Muhammad Fuad. Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ alQur’an al-Karīm. t.t: Angkasa, t.th. Ali, Atabik danAhmad Zuhdi Muhdlor. Kamus Kontemporer Arab Indonesia. Cet. III; Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996 Ahmad bin Muhammad bin Miskawaih, Abī ‘Alī. Tahzib alAkhlāq wa taṭhīr al-A’rāqi. t.kt. Ahmad, Asmoro. Filsafat Umum, Cet. IV; Jakarta: PT. Raja Grapindo, 2012. | 179 Abduh, Muhammad. Tafsīr al-Qur’an al-Karīm al-Syahr bi alTafsīr al-Manār. Cet. II: Mesīr: Dār al-Manār, 1367 H. al-Asfahani, Al-Ragib. Mufradat alfazh al-Qur’an. Damsyiq: Dar Al-Qalam, t.th. al-Ahwānī, Muhammad Fuād. Al-Falsafat Al-Islāmiyah, Qairo: Dār al-Qalam, t.th. al-Ansārī, Jamāl al-Dīn Muḥammad Ibn Mukarram ibn Manḍūr. Lisān ‘Arab. t.t: al-Muassasah al-Misriyah al-Āmmah li lTa’rīf wa al-Ambiyā al-Nasyr, t.th. al-Abrasī, Mohammad Aṭiyah. Rūh al-Tarbiyyāt wa al-Ta’līm. Qairo: Isa al-Babī al-Halabī, 1968 Buseri, Karmeni. Antologi Pendidikan Islam dan Dakwah; Pemikiran Teoritis Praktis Kontemporer. Yogyakarta: UII Press, 2003. Bisri, Abidin dan Munawwir A. Fatah. Kamus Indonesia Arab, Arab-Indonesia. Cet. I; Surabaya: Pustaka Progressif, 1999. C.S. Hall, Lindsay G . and R.F. Thompson, Psyckology. New York: Worth Publishers, Inc., 1976. Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya. Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2002. ---------, Al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Lentera Abadi, 2010. Depertemen Pendidikan Nasiona , Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga. Jakarta: Palai Pustaka, 2002. Drajat, Zakiyah. dkk., Ilmu Pendidikan Islam. Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 1992. Djazuli. A. dan Nurol Aen. Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam. Cet. I; Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2000. 180 | Damsar. Pengantar Sosilogi Pendidikan. Cet. I; Jakarta: Kencana Prenada Media Gruf, 2011. Djalal H. A., Abdul. Ulumul Quar’an. Cet. III: Surabaya: Dunia Ilmu, 2008 al-Dimisyki, Syekh Muhammad Jamaluddin al-Dārimī. Dalil alTauhid. Cet. I; Qairo: Maktabah al-Ṡiqāfah al-Diniyyah, 1986 al-Dimisyqī, Abī l-Fidāi Ismā’il ibn Kaṡir al-Qurasyī. Tafsir alQur’ān al-Aẓīm. Mesir: Dār al-Kutub, t.th. al-Darwīṡi, Muhyi al-Din. I’rāb al-Qur’ān al-Karīm. Cet. IX: Damsik-Bairūt: Dār al-Irsyad li al-Su’un al-Jami’ah, 1424 H./2003 M. Eldeeb. Be Living Qur’an. Diterjemahkan oleh Faruq Zaini dengan judul “Petunjuk Praktis Penerapan ayat-ayat al-Qur’an dalam Kehidupan Sehari-hari. Cet. I; Ciputat: Lentera Hati, 2009. Gojali, Nanang. Tafsir Hadis Tentang Pendidikan. Cet. I; Bandung: CV Putaka Setia, 2013 Hasan, Fuad. Dasar-Dasar Pendidikan Komponen MKDK. Cet. VI; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2010. Hawi, Akmal. Kompotensi Guru Pendidikan Agama Islam. Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013. Herbart. The Science of Education. Boston: DC. Heath, 1963. Haekal, Muhammad Husain. Ḥayāt Muḥammad, diterjemahkan oleh Ali Audah dengan judul Sejarah Hidup Muhammad. Cet. XXX; Jakarta: PT. Mitra Kerjaya Indonesia, 2006 al-Hasan, Muhammad Ali. Pengantar Ilmu-ilmu Al-Qur’an. et. I; Bogor: Pustaka Thariqul Izaah, 2007. | 181 al-Ha’iri, Syekh Fadlullah. Al-Imām Ali al-Mukhtār min Bayānihī wa Hikamihī, diterjemahkan oleh Tholib Anis dengan judl “Tanyalah Aku Sebelum Kau Kehilangan Aku. Cet. VII; Bandung : Putaka Hidayah, 2009. Ismail, M. Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadiṡ Nabi . Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1992. Idi, Abdullah. Sosiologi Pendidikan. Cet. II; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011. Jalaluddin. Filsafat Pendidikan Islam Telaah Sejarah dan Pemikirannya. Cet. II; Jakarta: Kalam Mulia, 2012 al-Jamali, Moh. Fadhil. Falsafah Pendidikan dalam al-Qur’an, terj. Junaidi al-Falasany. Surabaya: Bina Ilmu, 2002 Koesoeman A., Doni. Pendidikan Karakter: Starategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo, 2010. Langgulung, Hasan. Manusia dan Pendidikan. Jakarta: Pustaka alHasana, 1986. Mujib, Abdul. dan Jusuf Muzakkir. Ilmu Pendidikan Islam. Cet. I; Jakarta: Kencana, 2006 Madjid, Nurcholish. Islam Agama Peradaban, Membangun Makna dan Relevansi Doktrim Islam dalam Sejarah. Jakarta: Parmadina, 1995 Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Arab Indonesia. Yogyakarta: Pondok Pesantren “Al-Munawwir”, 1994. Mukhtar, Naqiyah. Ulumul Qur’an. Cet. I; Purwokwrto: STAIN Press, 2013. Mu’in, Fathul. Pendidikan Karakter Konstruksi Teoritik & Praktik. Cet. II: Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2011. 182 | M. Echols, John dan Hassan Shadily. Kamus Inggeri Indonesia. Cet. XXIV; Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000. Mufti, Muslim, Tiori Politik, Cet.; Bandung: CV. Putaka Setia, h. 213 al-Marāgī, Aḥmad Mushṭafā. Tafsir al-Marāgī. Cet. I; Mesir: Syarikatun wa Maṭbaatun Musṭafā al-Bab al-Ḥalabī wa Aulāduh, 1365 H./ 1946 M. al-Marbawī, Idris Abd. Rauf. Kamus Idris al-Marbawī. Misr: Muṣṭafā al-Bābī al-Ḥalabī, 1350 H. al-Mahallī, Jalal al-Din Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad. dan Jalal al-Din Abd. Al-Rahman ibn Abī Bakr al-Suyutṭ, Tafsīr al-Imam al-Jalalain. Damsyiq: Dar Ibn Katsir, 1407H. Al Munawar, Said Agil Husin. Al-Qur’an, Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Cet. IV; Jakarta: Ciputat Press, 2004 --------, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani Dalam Sistem Pendidikan Islam. Cet. II; Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005. Nata, Abuddin. Ilmu Pendidikan Islam. Cet. I; Jakarta: Kencana Prenada Media Grouf, 2010. --------, Urgensi Pendidikan Agama di Era Globalisasi dalam buku Kamaruddin Hidaya dkk., Mereka Bicara Pendidikan Islam Sebuah Bunga Rampai. Cet. I; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009. Nasr, S.H. Islam dalam Cita dan Fakta, terj. Abdurrahman Wahid dan Hashim Wahid. Jakarta; LEPPENAS, 1981. Najit, Muhammad Utsman. Ilmu Jiwa dalam al-Qur’an. Cet. I: Jakarta: Pustaka Azzam, 2005. Prawira, Purwa Atmaja. Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Baru. Cet. I; Jokjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012. | 183 Purwanto, M. Ngalim. Ilmu Pendidikan: Teoritis dan Praktis. Cet. XIX; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset, 2009. Qutub, Muḥammad. Manḥaj al-Tarbiyyah al-Islāmiyah. t.d: 1967. al-Qaṭṭān, Mannā. Mabāḥis fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Bairūt: alSyarikah al-Muttaḥidaḥ li al-Taūziiī’, 1957. Ridha, Rasyid. Al-Tarbiyah al-Islāmiah al-Ta’līm al-Islamiah, XXXIV No. 7. t. t : al-Manar, 1935. Ramayulis. Metodologi Pendidikan Agama Islam. Cet. V, Jakarta: Kalam Mulia, 2008. --------, Filsafat Pendidikan Islam Analisis Filosofis Sistem pendidikan Islam. Cet. IV: Jakarta: Radar Jaya Offset, 2015. Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Cet. VII; Bandung: Mizan, 1994. --------,. Lentera Hati Kisah dan Hikmah Kehidupan. Cet. I; Bandung: Mizan, 1994. --------, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Cet. III; Bandung: Mizan, 1996. --------, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Cet. VI, Ciputat: Lentera Hati, 2006. Syahidin . Menelusuri Metode Pendidikan dalam al-Qur’an. Cet. I; Bandung: Al Fabeta, 2009. Suparta, Munzier. Ilmu Hadis, Edisi Revisi. Cet. VII: Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2011. Sayadi, Wajidi. Hadis Tarbawy Pesan-Pesan Nabi Tentang Pendidikan. Cet. III; Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2011. 184 | S. Praja, Juhaya. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika Suatu Pengantar. Bandung: Yayasan Piara, 1997. Sadily,Hasan. (ed). Ensiklopedia Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1984. Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, Edisi I. Cet. III: Jakarta: Kencana, 2008 Suseno, Frans Magnis. Berfilsafat Gramedia, 1991 dan Konteks. Jakarta: al-Ṣābūnī, Muhammad Ali. Al-Tibyān fi 'Ulūm al-Qur'ān (BairutLibanon: Dār Al Irsyād, 1970 . al-Ṣalih, Ṣubḥu. Mabāḥis fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Bairūt: Dār. al-Ilm lil Malayaīn, 1977. al-Syirbasi, Ahmad. Sejarah Tafsir Alqur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985. al-Suyūtī, Abdu al-Rahmā Jalāl al-Dīn. Al-Itqān fī ‘Ulūm alQur’an, Cet. III; Kairo: Mujtabā al-Bābī al-Halabī, t.th. ---------,Lubabun Nuqūl fī Asbābun Nuzūl diterjemahkan oleh M. Abdul Mujieb ddengan judul “Riyawat Turunnya AyatAyat Suci Al-Qur’an. Surabaya: Mutiara Ilmu, 1986. Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Edisi Ketiga. Cet. VIII; Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2013. Taufiq, M. Kreativitas Jalan Baru Pendidikan Islam. cet. I; Yogayakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2012 Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Cet. III; Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2000. Takdir Ilahi, Muhammad. Revitalisasi Pendidikan Berbasis Moral. Cet. I; Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012. | 185 Tim Penyusun, Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosa kata. Jakarta: Lentera Hati, 2007. al-Qurṭubī, Abī ‘Abdillah Muḥammad bin Aḥmad bin Abī Bakrin. al-Jām’ al-Aḥkām al-Qur’ān al-Mubayyin limā Taḍammah min al-Sunnah wa Ayyin al-Qur’ān, Juz V. Cet. I; Bairūt-Libanon: Muassasah al-Risālah, 1427 H./2006 M. Umar, M. Ali Chasan. Al-Qur’an dan Pembangunan Nasional. Cet. I, Semarang: t.th. Ulwan, Abdullah Nāṣih. Tarbiyah Aulād fī al-Islam. Bair ut: D ār al-Islām, 1981. Wibowo, Agus. Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi . Cet. Yogyakarta: Putaka Pelajar, 2013 Zaidan, Jarji. Tarikh al-Taddun al-Islami. t.tp. Dār al-Maktabah alHayāt, t.th. Zuahirini dkk. Sejarah Pendidikan Islam. Cet. XII; Jakarta: Bumi Aksara, 2013. Zaini, Syahminan dan Anton Kusuma Seta. Ciri Khas Manusia. Cet. I; Jakarta Kalam Mulia, 1986. Zuhayli, Wahba. Al-Tafsīr al-Munīr fi al-‘Aqīdah wa al-Syari’at wa al-Manḥaj. Bairūt: al-Fikr al-Mu’assir, 1991. al-Zarqānī, Muhammad ‘Abd. Al-‘Aẓīm. Manāḥil al-Irfān fī ūlūm al-Qur’ān. Bairūt Dār al-Fikr, 1988. al-Zarkasyī, Badr al-Dīn Muḥammad bin Abdullah. Al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Bairut-Libanon: Dār al-Fikr, 1988 M. 186 | H.M. Amir HM memulai pendidikan di Paret H. Ambo dan Paret Jumpai kecematan Reteh INHIL RIAU, tahun 1969-1974, sebelum tamat Madrasah Ibtidaiyah, hijrah ke Pondok Pesantren As’adiyah Sengkang Sulawesi Selatan dan memperoleh Ijazah Ibtidaiyah tahun 1975, Madrasah Tsanawiyah, memperoleh ijazah thn 1978, Madrasah Aliyah I memperoleh ijazah tahun 1981, Pergruan Tinggi Asadiyah (PTIAS) memperoleh gelar BA tahun 1984. Dari Ibtidaiyah sampai Perguruan Tinggi (Sarjana Muda) diperolehnya di Pondok pesantren As’adiyah Sengkang. Pada tahun 1985 hijrah ke Ujungpandang kini dengan nama Makassar menempuh pendidikan Sarjana Lengkap dan gelar Drs. diperoleh di Fakultas Ushuluddin IAIN Alauddin pada tahun 1987 jurusan Aqidah Filsafat. Karena kesibukan sebagai tenaga pengajar pada IAIN Alauddin di Ambon, maka baru mendapat kesempatan melanjutkan program magister (S2) pada tahun 1997, memperoleh ijazah tahun 1999 dalam Konsentrasi Tafsir Hadis, dengan alasan yang sama, jenjang pendidikan program S3 baru mendapat kesempatan tahun 2007 dan memperoleh ijazah tahun 2010 dalam Konsentrasi Tafsir. Pengalaman Pekerjaan : Pembina Pesantren As’adiyah Sengkang, 1979 1984, dan pernah menjadi sekretaris ujian akhir Madrasah Ibtidaiyah As’adiyah tahun 1981, Dosen LB Fak.Ushuluddin IAIN Alauddin Ujung | 187 Pandang, 1987-1990, Dosen Tetap IAIN Alauddin di Ambon, 1990-1999, Pembantu Dekan II Fak. Ushuluddin IAIN Alauddin di Ambon, 1994-1997, Dosen Tetap STAIN Watampone, 2000– sekarang, Kepala P3M STAIN Watampone, 2002-2006, Anggota Senat STAI N Watampone, tahun 2008- 2010, Pembantu Ketua I STAIN Watampone tahun 2010-2014. Pengalaman Organisasi: Ketua Umum Senat Mahasiswa Fak. Ushuluddin PTIA Sengkang, 1982-1984, Ketua Umum IPMAS (Ikatan Pelajar Mahasiswa Anak Sumatra) Sengkang, 1983-1985, Sekretaris Umum Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin IAIN Alauddin Ujungpandang Periode 1986-1987, Sekretaris I BPKM IAIN Alauddin Ujungpandang Periode 1987- 1989, Pembina organisasi PMII Kab. Bone tahun 2000 – sekarang, Ketua I Tanfidziyah Nahdatul Ulama Kab. Bone 2010-Sekarang, Sekretaris Majelis Fatwah MUI Kabupaten Bone 2010 –sekarang. Anggota Dewan Pakar ICM Kab. Bone 2010- sekarang, Ketua Umum Pengurus IKAKAS (Ikatan Alumni dan Keluarga As’adiyah) Kab. Bone 20014– sekarang. Dalam meniti karirnya, pendidikan, penelitian, pengabdian, pengajian, pelatihan, penataran, workshop, sarasehan maupun seminar, banyak yang diikuti baik lokal maupun nasional, dalam posisi sebagai peserta maupun narasumber, serta aktif menulis dalam berbagai surat kabar dan jurnal. Karya Ilmiah a. Radio Suara As’adiyah dan Pengaruhnya Terhadap Pengembangan Dakwa Islamiyah (Risalah Sarjana Muda (BA), 1984 b. Risalah As’adiyah dan Pengaruhnya Terhadap Aqidah Islam pada Masyarakat Bugis di Sul-Sel. (Penelitian Kolektif/Anggota), 1984 c. Akal dan Hakikatnya Menurut Al-Farabiy. (Skripsi), 1987 188 | d. Aroha dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Pulau Haruku: Ditinjau dari Segi Agidah Islamiyah, (Penelitian Kolektif/Anggota),1997 e. Nilai-Nilai Wisata dalam Al Qur’an, (Tesis), 1999 f. Eksistensi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Watampone: Studi Tentang Peningkatan Jumlah Mahasiswa (Penelitian Kolektif/Ketua) 2003 g. Metode Pendidikan dalam Al-Qur’an: Studi Analisis Tentang Pelaksanaannya pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Watampone, (Penelitian Individual), 2004 h. Penafsiran Surah al-Alaq ayat 1 – 5: Studi Analisis dari Segi Pendidikan dan Aplikasinya pada STAIN Watampone, (Panelitian Individual), 2005 i. Paradigma Intelektual Muslim (Buku): (salah seorang Penulis), 2006. j. Upaya Pengentasan Kemiskinan Menurut al-Qur’an: Studi Analisis dari Segi Pendidikan dan Aplikasinya di Kab. Bone, (Penelitian Individual), 2007 k. Kisah Nabi Sulaiman dalam Al-Qur’an (Suatu Kajian dari segi Pendidikan). 2010 l. Nilai-nilai Pendidikan dalam al-Qur’an (Studi Analisis dari Kisa4h Nabi Ibrahim, (penelitian Individual/BKD), 2013 m. Etika berwisata Perspektif Pendidikan Islam (buku) 2011 n. Kisah Nabi Sulaiman dalam Al –Qur’an dan Relevansinya dengan Pendidikan Islam (buku) 2013 o. Isyarat al-Qur’an tentang Pengentasan Kemiskinan Perspektif Pendidikan Islam (buku) 2013 p. Metode Pendidikan dalam al-Qur’an (buku) 2013 q. Implementasi Pendidikan Karakter dalam Surah Al-Hujurat Pada Madrasah Aliyah Negeri I Watampone (Penelitian Individual) tahun 2015. r. Pendidikan Politik Bagi Perempuan (Jurnal) tahun 2016. | 189 Laki-laki yang berpenampilan sederhana dan rada pendiam ini, berfalsafah hidup “Bekerja dengan tuntas adalah suatu keharusan” kini tinggal bersama dengan istri (Dra. Hj. Aisyah Rasyid, M.Sy), anak dan cucunya di Jalan K.H. Sulaiman lr. I Kelurahan Biru Kab. Bone, bisa dihubungi melalui nomor Hp. 081342563639/ [email protected] 190 |