Dr. HM Amir HM., M.Ag.

advertisement
Dr. H. M. Amir HM., M.Ag.
MEMBUMIKAN KONSEP PENDIDIKAN QUR’ANI:
Dari Teosentris ke Antroposentris
Copyright@penulis 2016
Penulis
Dr. H. M. Amir HM., M.Ag.
Editor
Muhammad Rusydi
Tata Letak
Mutmainnah
vi+190 halaman
15,5x23cm
Cetakan I : November 2016
ISBN: 978-602-328-209-8
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang memperbanyak seluruh atau sebagian isi buku ini
tanpa izin tertulis penerbit
Alauddin University Press
Kampus I : Jalan Sultan Alauddin No. 63 Makassar
Kampus II : Jalan Sultan Alauddin No. 36 Samata – Gowa
ii |
Segala puji bagi Allah swt., Tuhan seluruh alam yang
senantiasa mencurahlkan rahmat dan nikmat-Nya diseluruh alam.
Shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada Nabi
Muhammad saw. Yang telah menegakkan agama Islam, sebagai
agama yang akan mengantarkan manusia memperoleh kebahagiaan
di dunia dan di akhirat.
Buku “Membumikan Konsep Pendidikan Qur’ani: Dari
Teosentris ke Antroposentris”, dimaksudkan sebagai upaya
membumikan sebagian kecil nilai-nilai pendidikan yang terdapat
dalam al-Qur’an. Sebagai perwujudan bahwa al-Qur’an mencakup
segala kebutuhan manusia, termasuk kebutuhan tentang
pendidikan, sehingga keyakinan bahwa al-Qur’an merupakan
sumber normatif pendidikan Islam, tidak hanya dalam ranah
konsepsional, tetapi menjadi bagian dari konstruksional dan
kontekstual pendidikan.
Pendidikan yang dimaksud dalam buku ini adalah
pendidikan yang berorientasi pada pengintegrasian beberapa
dimensi kecerdasan yang dalam hal ini adalah kecerdasan
intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual,
sehingga mewujudkan manusia yang sehat jasmani yang ditandai
dengan kemampuannya berkreativitas untuk melakukan perubahan
yang bersifat rasional-empiris yang ditandai dengan
kemampuannya berkomunikasi dengan Tuhannya melalui sudut
vertikal-kordinatif ibadah dan kemampuannya berkomunikasi
dengan sesama manusia dalam bentuk horizontal-subordinatif
muamalah yang kemudian dijabarkan dalam dimensi makrokosmos
| iii
berupa interaksi dengan alam sekitarnya dalam bentuk tanggung
jawab dan kasih sayang.
Penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih
kepada semua pihak yang telah berpartisipasi atas keberadaan
buku ini, terutama Saudara Muhammad Rusydi yang bersedia
meluangkan waktu untuk mengeditnya. Semoga usaha ini
bermanfaat dalam rangka mencerdasakan kehidupan bangsa baik
dalam konteks kekinian demikian pula pada masa-masa mendatang
dalam spektrum ibadah kepada Allah swt.
Sebagai sebuah kajian ilmah, tentu di dalamnya terdapat
keterbatasan dan kekurangan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik yang sifatnya korektif-konstruktif sehingga
nilai-nilai ilmiahnya tetap terpelihara dan dapat dipertanggung
jawabkan secara ilmiah. Semoga Allah swt. senantiasa
melimpahkan rahmat dan nikmat-Nya kepada kita semuanya,
dalam melaksanakan tugas keseharian kita sebagai khalifah dan
sekaligus sebagai pemakmur dalam kehidupan di dunia ini. Amin.
Watampone, 07 Oktober 2016
Penulis,
H. M. Amir HM
iv |
‫أ‬
‫ب‬
‫ت‬
‫ث‬
‫ج‬
‫ح‬
‫خ‬
‫د‬
‫ذ‬
‫ر‬
‫ز‬
‫س‬
‫ش‬
‫ص‬
Ā/ā
Ī/ī
Ū/ū
a
b
t
ṡ
j
ḥ
kh
d
ż
r
z
s
sy
ṣ
= A/ a panjang, contoh
= I/ i panjang, contoh
= U/u panjang, contoh
ḍ
ṭ
ẓ
‘
G
F
Q
K
L
M
N
W
H
Y
‫ض‬
‫ط‬
‫ظ‬
‫ع‬
‫غ‬
‫ف‬
‫ق‬
‫ك‬
‫ل‬
‫م‬
‫ن‬
‫و‬
‫ه‬
‫ي‬
‫المــالك‬
‫الـرحـيـم‬
‫الـغـعـور‬
|v
Kata Pengantar .........................................................................
iii
Pedoman Transliterasi .............................................................
v
Daftar Isi ..................................................................................
vi
I. Pendahuluan .................................................................
1
II. Pengertian, Fungsi, Nama dan Kemu’jizatan Al-Qur’an
7
A. Pengertian al-Qur’an ...................................................
7
B. Fungsi al-Qur’an ........................................................ 10
C. Nama-nama Al-Qur’an ................................................ 18
D. Kemu’jizatan al-Qur’an .............................................. 26
III. Konsep Dasar Pendidikan Islam ....................................
37
A. Pengertian Pendidikan Islam ..................................... 37
B. Tujuan Pendidikan Islam ........................................... 39
C. Fungsi Pendidikan Islam ............................................ 41
D. Dasar Pendidikan Islam ............................................. 44
E. Sumber Pendidikan Islam .......................................... 58
F. Landasan Pendidikan Islam ....................................... 68
IV. Membumikan Konsep Pendidikan Qur’ani: Dari Teosentris
ke Antroposentris .........................................................
73
A. Tujuan Pendidikan Qur’ani ...................................... 73
B. Fungsi Pendidikan Qur’ani ....................................... 84
C. Materi Pendidikan Qur’ani ....................................... 91
D. Metode Pendidikan Qur’ani ..................................... 103
E. Membumikan Konsep Pendidikan Qur’ani
melalui Pendidikan Karakter ...................................... 132
F. Membumikan Konsep Pendidikan Qur’ani
melalui Pendidikan Keluarga ..................................... 168
Daftar Pustaka .................................................................... 179
Identitas Penyusun .............................................................. 187
vi |
Pendidikan hingga kini masih dipercaya sebagai media
yang sangat ampuh dalam membangun kecerdasan sekaligus
kepribadian anak manusia menjadi yang lebih baik. Oleh karena
itu, pendidikan dibangun dan dikembangkan secara terus menerus
agar proses pelaksanaannya menghasilkan generasi yang dapat
bertanggung jawab, baik terhadap Allah swt., sesama manusia
maupun lingkungannya, terutama dalam menghadapi zaman yang
terus berkembang di era kecanggihan teknologi dan komunikasi.
Oleh karena itu, upaya menyiapkan sumber daya manusia yang
cerdas, terampil, mandiri dan berakhlak mulia adalah sesuatu
keniscayaan yang terus menerus dilakukan melalui proses
pendidikan.1
Dengan demikian, proses pendidikan harus terus menerus
dievaluasi dan diperbaiki, sehingga dapat menghasilkan peserta
didik yang diharapkan, yakni peserta didik yang memiliki
kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan
spiritual. Ketiga kecerdasan ini, pada dasarnya, merupakan potensi
sekaligus kelengkapan yang terdapat dalam diri manusia. Potensi
intelektual dijelaskan oleh Allah swt. antara lain dalam QS. AlBaqarah/2: 31
1
Akhmad Muhaimin Azzet, Urgensi Pendidikan Karakter di Indonesia
(Cet. I; Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 9
|1
 . . .   
Terjemahnya:
Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya ..
2
.
Potensi emosional dijelaskan oleh Allah swt., antara lain
dalam QS. Al-Māidah/5: 2 sebagai berikut;
 . . .           
Terjemahnya:
Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebaikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam
berbuat dosa dan permusuhan. . . 3
Potensi spiritual dijelaskan oleh Allah swt. antara lain
dalam QS. Aż-Żāriyāt/51: 56 sebagai berikut;
       
Terjemahnya:
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar
mereka beribadah kepada-Ku.4
Allah swt. menciptakan manusia dan melengkapinya
dengan berbagai potensi sesuai dengan kebutuhan hidupnya
sehingga ia dapat menata kehidupannya di muka bumi dengan
baik. Potensi-potensi tersebut berkembang sesuai dengan
perkembangan usia, pengalaman, lingkungan dan pendidikan.
2
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: PT.
Karya Toha Putra, 2002), h. 6
2|
3
Ibid., h. 142
4
Ibid., h. 756
Potensi yang diberikan oleh Allah swt. kepada manusia,
bersifat aktif dan dinamis, namun tidak akan berkembang dengan
sendirinya secara sempurna tanpa adanya bantuan dari pihak lain.
Potensi kemanusiaan ini akan bergerak terus menerus sesuai
dengan pengaruh yang melingkupinya. Hanya saja intensitas
pengaruh itu sangat bervariasi sesuai dengan kemauan dan
kesempatan yang diperolehnya yang dapat menentukan
pengalaman dan kedewasaan masing-masing. Maka dari itu,
manusia sering disebut sebagai makhluk yang dapat dididik dan
mendidik atau makhluk pendidikan.5
Secara ideal, pendidikan yang selama ini dikembangkan di
tengah-tengah masyarakat melalui para ulama, para guru para
cedikiawan, mencerminkan nilai-nilai yang diwariskan oleh Nabi
Muhammad saw., namun kenyataannya proses pendidikan yang
dilakukan selama ini, baik jalur pendidikan formal, nonformal
maupun informal belum sepenuhnya berhasil membangun manusia
yang berkualitas yang ditandai dengan banyakanya lulusan
sekolah, pesantren dan sarjana yang cerdas secara intelektual,
namun tidak bermoral yang tangguh dan tidak berprilaku yang
sesuai dengan tujuan mulia pendidikan.
Dalam implementasinya, pendidikan memerlukan koreksi
menyeluruh, baik secara kelembagaan, maupun individu terhadap
proses pelaksaan pendidikan dengan kembali merujuk kepada
nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam al-Qur’an sebagai
sumber normatif pendidikan Islam, yang boleh jadi masih terdapat
nilai-nilai di dalamnya terabaikan penjabarannya di kalangan umat
Islam, sehingga al-Qur’an tidak berfungsi sebagai petunjuk bagi
manusia,6 sebagai obat dan rahmat,7 sebagai pemberi peringatan,8
5
Syahidin, Menelusuri Metode Pendidikan dalam al-Qur’an (Cet. I;
Bandung: Al-Fabeta, 2009), h. 23.
6
QS. Al-Baqarah/2: 185
7
QS. al-Isra’/17: 82
|3
sebagai petunjuk dan rahmat,9 sebagai peraturan yang benar,10
sebagai pembeda antara yang benar dan yang batil,11 dan sebagai
petunjuk kepada orang yang bertakwa.12
Hal tersebut secara esensial tidak menjadi kenyataan dalam
kehidupan umat manusia, karena kelalaian 13 atau ketidak
mampuan umat manusia mangkaji, memahami dan mengamalkan
isi al-Qur’an, sehingga berimplikasi terhadap kurangnya kecintaan
terhadap al-Qur’an. Kecintaan terhadap al-Qur’an tidak hanya
sebatas kemauan membaca huruf demi huruf dengan fasih,
walaupun hal itu penting, tetapi juga tidak kalah pentingnya
adalah kemampuan memahami makna-makna yang tersirat di
dalam al-Qur’an itu. “Karena ia turun untuk berdialog dengan
setiap umat yang ditemuinya, sekaligus menawarkan pemecahan
terhadap peroblema tersebut, kapan dan di mana pun mereka
berada”14 Hal ini dipertegas lagi oleh Ibrahim Eldeeb, bahwa ada
lima kewajiban umat Islam terhadap al-Qur’an, yaitu: Pertama,
mengetahui ilmu-ilmu al-Qur’an untuk mengikis kebodohan
terhadapnya. Kedua, membaca al-Qur’an dengan baik dan benar.
Ketiga, memahami makna dan tafsir al-Qur’an serta berusaha
untuk menyelami nilai-nilainya. Keempat, berakhlak dengan
8
QS. al-Qalam/68: 52
9
QS. al-A’raf/7: 203
10
QS. al-Ra’d/13: 37
11
QS. al-Furqan/25: 1
12
QS. al-Baqarah/2: 2
13
Bentuk-bentuk kelalaian terhadap al-Qur’an adalah membaca tanpa
memahami makna dan tafsirnya, tidak berakhlak dengan akhlak al-Qur’an dan
tidak berusaha meninggikannya. Ibrahim Eldeeb, be Living Qur’an.
Diterjemahkan oleh Faruq Zaini dengan judul “Petunjuk Praktis Penerapan ayatayat al-Qur’an dalam Kehidupan sehari-hari (Cet. I; Ciputat: Lentera Hati,
2009), h. 11
14
Said Agil Husin Al Munawar, Al-Qur’an, Membangun Tradisi
Kesalehan Hakiki (Cet. IV; Jakarta: Ciputat Press, 2004), h, xii.
4|
akhlak al-Qur’an. Kelima, berusaha mengukuhkan al-Qur’an di
muka bumi.15
Salah satu usaha untuk mewujudkan hal tersebut adalah
melalui dengan pendidikan. Oleh karena itu, al-Qur’an ketika
menginformasikan tentang pendidikan selalu berorientasi kepada
pembentukan dan pengembangan manusia seutuhnya sehingga
materi-materi yang disajikan al-Qur’an selalu menyentuh jiwa,
akal dan raga manusia.16
Buku ini berusaha mengkaji nilai-nilai17 pendidikan dalam
al-Qur’an dengan membumikan pendidikan qur’ani dengan
melihatnya sebagai suatu isyarat normatif dari dimensi teosentris
yang melangit ke untuk kemudian turun menyapa manusia pada
dimensi antroposentris yang membumi. Dalam implementasinya,
al-Qur’an telah menawarkan berbagai nilai pendidikan yang
memungkinkan manusia memiliki kecerdasan intelektual,
kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Hal ini dilakukan
sebagai upaya untuk menyelami atau mendalami dan sekaligus
sebagai langkah untuk mereaktualisasikan nilai-nilai pendidikan
yang terpendam dalam al-Qur’an.
15
Ibrahim Eldeeb, loc. cit.
16
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat (Cet. VII; Bandung: Mizan, 1994), h. 175.
17
Secara filosofis, nilai sangat terkait dengan masalah etika, yang
menjadi tolok ukur tindakan dan prilaku manusia. Dalam berbagai aspek
kehidupannya. Sumber-sumber etika boleh jadi dari hasil pemikiran, adat
istiadat atau tradisi, idiologi bahkan dari agama. Dalam konteks etika
pendidikan dalam Islam, maka sumber etika atau nilai-nilai yang paling sahih
adalah al-Qur’an dan Sunnah yang kemudian dikembangkan oleh hasil ijtihad
para ulama. Nilai-nilai yang bersumber dari adat istiadat atau tradisi dan
idiologi sangat rentan dan situasional. Sedangkan nilai-nilai yang bersumber
dari al-Qiur’an adalah kuat, kerena ajaran al-Qur’an bersifat mutlak dan
universal. Lihat Said Agil Husin al-Munawwar, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani
Dalam Sistem Pendidikan Islam (Cet. II; Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005), h. 3
|5
6|
A. Pengertian al-Qur’an
Term Qur'an berasal dari bahasa Arab yakni ‫ قـرأ‬berakar
kata dari huruf qaf,ra dan harf al-illat yang berarti menghimpun
atau mengumpulkan,18 yang oleh M. Quraish Shihab kata tersebut
dapat berarti; “menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami,
meneliti, mengetahui ciri-cirinya dan sebagainya, kesemuanya
dapat dikembalikan kepada hakikat "menghimpun".19
Ketika
seseorang merangkai kata demi kata lalu membacanya berarti dia
menghimpun kata-kata itu. Dari kata dasar ‫ يـقـرأ‬،‫ قـرأ‬terbentuklah
ism al-masdar ‫ قـرأن‬lalu menjadi nama dari kitab yang diwahyukan
kepada Nabi Muhammad saw. yakni ‫الـقـرأن‬. Dinamakan demikian,
karena di dalamnya terhimpun hukum-hukum, kisah-kisah dan
lain-lainya).20
Menurut al-Lihyan (w.215 H). Seperti yang dikutip oleh
Said Agil Husin bahwa term al-Qur’an adalah bentuk mashdar dari
kata kerja qara’a, berarti ‘bacaan.” Kata ini selanjutnya, berarti
18
Abī al-Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, Maqāyis al-Lugah., jilid
V (Bairūt: Dār al-Jīīi, 1420 H./1999 M.), h. 78
19
M. Quraish Shihab, Membumikan, op. cit., h.S 167
20
Abī al-Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, op. cit., Juz V, h. 79
|7
kitab suci yang diturunkan oleh Allah swt. kepada Nabi
Muhammad saw. Masih dalam kutipan Said Agil Husin menurut
al-Zujjaj (w. 311 H.). term Qur’an adalah kata sifat dari al-qar’u
yang bermakna al-jam’u (kumpulan). Selanjutnya kata ini
digunakan sebagai salah satu nama bagi kitab suci yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., karena al-Qur’an
terdiri dari sekumpulan surah dan ayat, memuat kisah-kisah,
perintah dan larangan, dan mengumpulkan intisari dari kitab-kitab
yang diturunkan sebelumnya. Menurut Imam Syafi’i (w. 204 H.)
juga masih kutipan Said Agil Husin, term al-Qur’an adalah isim
alam, bukan kata bentukan dan sejak awal digunakan umat Islam
sebagai kitab sucinya.21
Dari ketiga pendapat yang dikutip oleh Said Agil Husin
tersebut, penulis lebih cenderung kepada pendapat pertama (alLihyan) karena dilihat dari bentuk katanya (qur’anun) adalah ism
al-mashdar, dan setiap ism al-mashdar pasti berdasar dari fi’il
madi (qara’a). Hal ini sesuai dengan firman Allah swt. dalam QS.
al-Qiyamah/75: 18
    
Terjemahnya:
Apabila Kami telah selesai membacanya, maka ikutilah
bacaannya.22
Dari segi terminologi, terdiri dari berbagai pendapat
antara lain:
1. Menurut Muhammad Ali al-Ṣābūnī, al Qur'an adalah
“Kalamullah yang diturunkan kepada Muhammad saw.
dengan perantaraan malaikat Jibril yang disampaikan
kepada umatnya secara mutawatir, dan membacanya atau
21
22
8|
Said Agil Husin Al Munawar, Al-Qur’an, op. cit., h. 4-5
Departemen Agama RI., op. cit., h. 854
mempelajarinya merupakan suatu ibadah, dimulai dengan
surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al Nass.”23
2. Menurut Mannā’ al-Qaṭṭan, al-Qur’an adalah :
“Kalamullah yang diturunkan kepada Muhammad saw. dan
membacanya adalah ibadah.”24
3. Menurut Ṣubhī al-Ṣālīḥ, al-Qur’an adalah “firman Allah
swt. yang merupakan mu’jizat diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw., ditulis dalam mushhaf, dinukilkan secara
mutawatir, dan membacanya merupakan ibadah.”25
4. Menurut al-Zarkānī, al-Qur’an adalah “lafal yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang dimulai
dengan surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah alNas.”26
Dari beberapa pengertian al-Qur’an secara terminologi
tersebut, dari segi redaksinya terdapat perbedaan, namun dari segi
makna dan tujuannya pada dasarnya sama yakni, bahwa al-Qur’an
itu makna dan lafalnya dari Allah yang disampaikan oleh malikat
yang ditugaskan oleh Allah swt. (Jibril) kepada Nabi Muhammad
saw. atau disampaikan langsung oleh Allah swt. seperti melalui
mimpi,
sekaligus menjadi mu’jizat baginya. dan ketika
membacanya akan memperoleh pahala atau menjadi ibadah yang
tersusun dari surah al-Fatihah sampai surah al-Nas.
23
Muhammad Ali al-Ṣābūnī, Al-Tibyān fi 'Ulūm al-Qur'ān
Libanon: Dār Al Irsyād, 1970), h. 8
(Bairūt-
24
Mannā al-Qaṭṭān, Mabāḥis fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Bairūt: al-Syarikah
al-Muṭṭaḥidaḥ li al-Taūziiī’, 1957), h. 15
25
Ṣubḥu al-Ṣalih, Mabāḥis fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Bairūt: Dār. al-Ilm lil
Malayaīn, 1977), h. 15
26
Muhammad ‘Abd. Al-‘Aẓīm al-Zarqānī, Manāḥil al-Irfān fī ūlūm al-
Qur’ān ., jilid I, (Bairūt Dār al-Fikr, 1988), h. 27.
|9
B. Fungsi al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan sumber ajaran Islam yang pertama
dan utama, sekaligus menjadi sumber nilai dan norma bagi umat
Islam yang terbagi kepada 30 juz, 114 surah lebih dari 6000 ayat,
74,499 kata atau 325.345 huruf, atau lebih tepat dikatakan
325.345 suku kata,27 memiliki fungsi yang amat berharga bagi
kehidupan umat manusia antara lain:
1. Al-Qur’an Sebagai petunjuk bagi umat manusia,
sebagaimana firman Allah swt. dalam QS. al-Baqarah/2:
185
 
           
...
Terjemahnya:
Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan
al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasanpenjelasan mengenai petunjuk itu . . . 28
Term ‫( هـد ي‬hudan) berakar kata huruf ha, dal dan harf almu’tal yang berarti ‫( الـتـقــد م لال ر شاد‬tampil kedepan memberi
petunjuk) dan ‫( بـعـثـة لـطـف‬menyampaikan dengan lemah lembut).29
Sehingga ayat tersebut dipahami bahwa al-Qur’an merupakan
petunjuk bagi umat manusia dengan segala kefasihan bahasa dan
kelembutan maknanya menjadikan manusia terpesona dan sadar
menerima petunjuknya. Menurut M. Quraish Shihab bahwa alQur’an berfungsi sebagai petunjuk bagi umat manusia, karena al27
Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam (Cet. 12; Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2011), h. 93.
10 |
28
Departemen Agama RI.,op. cit, h. 35
29
Abī Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, op. cit., jilid VI, h. 42.
Qur’an adalah kitab yang maha agung, memuat nilai-nilai
universal, namun nilai-nilai itu dilengkapi dengan penjelasanpenjelasan yakni keterangan dan rinciannya. Wujud Tuhan dan
keesaan-Nya dijelaskan sebagai nilai pertama dan utama bersama
dengan rinciannya, tidak hanya yang menyangkut dalil
pembuktiannya, tetapi sifat-sifat dan nama-nama yang wajar
disandang-Nya. Demikian pula tentang keadilan, al-Qur’an tidak
hanya memerintahkan dan mewajibkannya, tetapi al-Qur’an telah
menetapkan rincian dan penjelasan-penjelasannya, misalnya dalam
kehidupan berumah tangga.30
Dari keterangan di atas, dipahami bahwa sungguh mulia
dan agung al-Qur’an yang di dalamnya terdapat berbagai petunjuk
umat manusia untuk menata kehidupannya baik untuk
kemaslahatan hidup di dunia, maupun untuk kemaslahatan hidup
di akhirat. Hanya saja, manusia memiliki keterbatasan untuk
menyelami dan memahaminya bahkan mengamalkannya. Karena
itu, manusia dituntut agar bersunguh-sungguh menggali isi
kandungan al-Qur’an, sehingga makna-makna baik yang tersurat
maupun yang tersirat secara berlahan-lahan tetapi pasti dapat
diwujudnyatakan oleh umat manusia dalam kehidupan keseharian
mereka.
2. Al-Qur’an berfungsi sebagai obat dan rahmat, sebagaimana
firman Allah swt. dalam QS. Al-Isra’/17: 82
               
  
30
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian
al-Qur’an, Volume 1 (Cet. VI, Ciputat: Lentera Hati, 2006), h. 403-404.
| 11
Terjemahnya:
Dan Kami turunkan dari al-Qur’an (sesuatu) yang menjadi
penawar dan rahmat bagi umat yang beriman, sedangkan bagi
orang yang zalim (al-Qur’an itu) hanya akan menambah
kerugian.31
Menurut M. Quraish Shihab, bahwa yang dimaksud dengan
‫ شـفـاء‬adalah kesembuhan atau obat, keterbatasan dari kekurangan
atau ketiadaan rintangan dalam memperoleh manfaat.32 Al-Marāgī
ketika menafsirkan ayat tersebut mengemukakan bahwa Allah swt.
menurunkan kepada Muhammad saw. dari al-Qur’an itu sesuatu
yang dapat menyembuhkan orang dari kebodohan, kesesatan dan
menjauhkan mereka dari penyakit-penyakit keragu-raguan dan
kemunafikan, penyelewengan dan pengingkaran terhadap Tuhan.
Bahkan al-Qur’an selalu menambah kerugian orang-orang zhalim,
setiap kali mendengarkan satu ayat dari al-Qur’an, mereka
semakin bertambah jauh dari iman dan semakin mengingkari Allah
swt. karena hati mereka telah tertutup, sehingga mereka tidak
dapat memahami al-Qr’an itu.33
3. Al-Qur’an berfungsi sebagai pemberi peringatan,
sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Qalam/68: 52
     
Terjemahnya:
Padahal al-Qur’an itu tidak lain adalah peringatan bagi seluruh
alam.34
31
Departemen Agama RI., op. cit, h. 396.
32
M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., Volume VII, h. 532.
33
Aḥmad Mushṭafā al-Marāgī, Tafsir al-Marāgī, juz 15 (Cet. I; Mesir:
Syarikatun wa Maṭbaatun Musṭafā al-Bābī al-Ḥalabī wa Aulāduh, 1365 H./
1946 M.), h. 86.
34
12 |
Departemen Agama RI., op. cit, h. 830
M. Quraish Shihab, menjelaskan bahwa al-Qur’an itu tidak
lain hanyalah peringatan, nasihat dan pengajaran bagi seluruh alam
yakni bagi seluruh makhluk hidup yang berakal.35 Al-Qur’an
memberi peringatan, dan penjelasan tentang berbagai urusan
agama yang dibutuhkan oleh umat manusia.36
Dengan demikian, fungsi al-Qur’an mencakup seluruh hajat
hidup umat manusia terutama umat Islam, baik yang berkaitan
dengan urusan keduniaan maupun urusan akhirat, material maupun
spiritual, atau jasmani dan rohani. Salah satu kandungan al-Qur’an
yang mencakup tentang nasihat , pelajaran atau peringatan adalah
masalah kisah, yang menurut Manna’ al-Qaṭṭan kisah dalam alQur’an terbagi kepada tiga macam, yakni; Pertama, kisah tentang
para nabi yang mencakup dakwah mereka kepada kaumnya beserta
tahapan dakwah dan perkembangannya, mu’jizat yang
menyertainya, sikap para pembangkan, akibat bagi mereka yang
membangkan dakwahnya. Kedua, kisah tentang peristiwa pada
masa lampau (sebelum Rasulullah saw.) termasuk sosok selain
para nabi. Ketiga, kisah yang terjadi pada masa Rasulullah saw.37
Muhammad Qutub, juga membagi kisah dalam al-Qur’an kepada
tiga; 1), kisah yang ditunjukkan tempat, tokoh, dan gambaran
peristiwanya, misalnya kisah-kisah para nabi rasul dalam
menegakkan kebenaran. 2), kisah dengan menunjukkan peristiwa
tertentu dari pelaku sejarah tanpa menyebut nama dan tempat
kejadiannya. Ketiga, kisah dalam bentuk dialog.38
Dari beberapa keterangan di atas, menginformasikan
bahwa kisah-kisah dalam al-Qur’an menjadi bahan perenungan dan
perbandingan bagi umat manusia. Kisah-kisah itu diturunkan
35
M.Quraoish Shihab, Tafsir, op. cit., Volume 14, h. 402-403.
36
Ahmad Muṣṭafā al-Marāgī, op. cit., juz 29, h. 48
37
Mannā’ al-Qaṭṭān, op. cit., h. 306.
38
Muḥammad Qutub, Manḥaj al-Tarbiyyah al-Islāmiyah (t.d: 1967,),
h. 235-236.
| 13
sebagai media penyampaian pesan kepada umat manusia tentang
perlunya usaha terus menerus meningkatkan harkat dan
martabatnya sebagai ciptaan Ilahi. 39 Menurut al-Syatibi seperti
yang dikutip oleh Ahmad al-Syirbasi, bahwa kisah-kisah dalam alQur’an tidak bermaksud sebagai suatu uraian sejarah yang utuh
dan lengkap mengenai kehidupan suatu bangsa atau tokoh
tertentu, melainkan sebagai suatu bahan pelajaran bagi umat
manusia.40 Kisah-kisah dalam al-Qur’an dalam berbagai bentuk
dan coraknya, baik kisah para nabi, orang-orang saleh maupun
orang yang durhaka kepada Allah swt. pada dasarnya mengandung
makna pelajaran yang amat berharga, kisah yang baik yang sesuai
dengan ajaran agama, tentunya dijadikan pelajaran untuk diikuti,
tetapi kisah yang tidak baik yang bertentangan ajaran agama
dijadikan pelajaran untuk ditinggalkan, seperti kisahnya Fir’aun.
4. Al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk dan rahmat bagi
orang yang beriman, sebagaimana firman Allah swt. dalam
QS. Al-A’raf/7: 203
   
  
  
      .. .
Terjemahnya:
(Al-Qur’an) ini adalah bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu,
petunjuk dan rahmat bagi orang yang beriman.41
Menurut al-Marāgī yang dimaksud dengan ‫ بـصـائر‬adalah
keterangan-keterangan yang nyata dan bukti-bukti yang diterima
akal pikiran untuk membuktikan keesaan Allah swt., kenabian
Muhammad saw. Serta adanya hari akhirat. Sedangkan ‫هـدي‬
39
Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban, Membangun Makna dan
Relevansi Doktrim Islam dalam Sejarah (Jakarta: Parmadina, 1995), h. 53.
40
Ahmad al-Syirbasi, Sejarah Tafsir Alqur’an (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1985), h, 59.
41
14 |
Departemen Agama RI., op. cit, h. 237.
berarti al-Qur’an itu merupakan petunjuk kepada jalan yang benar
untuk memperoleh kebenaran. Adapun ‫ ورحـمـــة لقـوم يـؤمـنـون‬berarti
juga menjadi rahmat di dunia dan di akhirat bagi mereka yang
beriman kepada Allah swt.42 M. Quraish Shihab mengemukakan
bahwa maksud ayat tersebut adalah bahwa Allah swt. telah
menurunkan kepada umat manusia (al-Qur’an) yang merupakan
bukti yang nyata dari Tuhan, juga merupakan petunjuk yakni
penjelasan menyangkut kebahagiaan di dunia dan di akhirat
sekaligus menjadi rahmat bagi orang yang beriman.43
Dari keterangan di atas dipahami bahwa ayat tersebut
setidaknya menggambarkan tiga fungsi al-Quran yang harus digali,
dipahami dan diaplikasikan oleh umat manusia, sehingga benarbenar memperoleh kemaslahatan dalam hidupnya baik di dunia
maupun di akhirat. Ketiga fungsi al-Qur’an dimaksud adalah
sebagai bukti kebenaran, petunjuk dan rahmat bagi umat beriman.
5.
Al-Qur’an berfungsi sebagai peraturan yang benar,
sebagaimana firman Allah swt. dalam QS. AlRa’d/13:37.
 . . .    
  
Terjemahnya:
Dan demikianlah Kami telah menurunkan (al-Qur’an ) sebagai
peraturan yang benar dalam bahasa Arab.44
Term ‫ حـكـمـا‬adalah ism al-masdar dari fi’i al-mādi yaitu
‫ حـكـم‬berakar kata dari huruf ha, kaf dan mim yang berati ‫المـنـع من‬
‫( الـظـلـم‬mencegah dari kezhaliman).45 Kemudian diartikan dengan
hukum, karena pada dasarnya penetapan suatu hukum berarti suatu
42
Ahmad Muṣṭafā al-Marāgī, op. cit., juz 9, h. 153
43
M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., Volume V , h. 361.
44
45
Departemen Agama RI., op. cit, h 343.
Abī ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, op. cit., jilid II, h. 91
| 15
bentuk pencegahan dari kesewenang-wenangan mengambil
tindakan yang tidak benar. Oleh karena itu, al-Qur’an dinamakan
hukm karena di dalamnya mengandung penjelasan tentang
ketetapan yang benar (haq) dan yang salah, yang halal dan yang
haram. Bahkan al-Qur’an mengatur segala sesuatu yang diperlukan
oleh orang-orang mukallaf untuk mencapai keselamatan dan
kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.46 Menurut M. Quraish
Shihab, ayat tersebut menyifati al-Qur’an dengan dua sifat,
Pertama, kandungannya mampu memberi putusan bagi segala
perselisihan dan kemusykilan yang dihadapi umat manusia. Kedua,
Keistimewaannya pada kata-kata dan susunan redaksinya yang
menggunakan bahasa Arab.47 Karena dengan susunan bahasa Arab
yang demikian serasinya, sehingga mudah dimengerti oleh Nabi
Muhammad saw. dan para sahabatnya, bahkan orang-orang yang
bukan bangsa Arab pun dapat memahaminya.
6. Al-Qur’an berfungsi sebagai pembeda antara yang benar
dan batil, antara yang haram dan yang halal, sebagaimana
firman Allah swt. QS. Baqarah/2: 185

     
      
 ...    
Terjemahnya:
Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan
al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasanpenjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang
benar dan yang batil . . .48
46
Ahmad Muṣṭafā al-Marāgī, op. cit., juz 13, h. 113.
47
48
16 |
M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., Volume 6, h. 615.
Departemen Agama RI., op. cit, h. 35
Term ‫ الـفـرقـان‬ism al-mashdar dari fi’il al-Madi ‫ فـرق‬yang
berakar kata dari huruf fa, ra dan qaf yang berarti ‫تـمـيـيز بين شـيـئـين‬
‫ وتـز يـيـل‬membedakan atau memisahkan di antara dua masalah(.49
Patron kata yang digunakan ayat ini yakni penambahan alif dan
nun pada akhir katanya, mengandung makna kesempurnaan,
sewazan dengan ‫( الـرحـمن‬yang Maha Sempurna). Al-Qur’an
dinamakan al-Furqan karena ia turun terpisah-pisah dalam waktu
22 tahun 2 bulan 22 hari. Juga berfungsi memisahkan dan
membedakan antara kebenaran dan kebatilan, dalam arti bahwa alQur’an secara keseluruhan adalah haq (kebenaran), karena
kebatilan tidak dapat dipisahkan kecuali dengan haq. Ketika haq
menjadi jelas, maka pasti kebatilan akan segera sirna.
Menurut Sayyid Qutub, seperti yang dikutip oleh M.
Quraish Shihab bahwa term al-Furqan berarti memisahkan antara
yang benar dan yang batil, antara petunjuk dan kesesatan, Juga
pemisah antara sistem kehidupan yang satu dengan kehidupan
yang lain, antara satu masa kemanusiaan dengan masa yang lain,
al-Qur’an menggambarkan tentang bentuk kehidupan seluruhnya
dalam jiwa manusia serta bentuknya dalam kenyataan, suatu
sistem yang tidak bercampur dengan sistem yang lain yang pernah
dikenal sebelumnya oleh umat manusia. Al-Qur’an adalah
pemisah, yang memisahkan masa kekanak-kanakan manusia
dengan masa kedewasaan Ia pemisah antara masa kemu’jizatan
indrawi material dengan kemu’jizatan rasional, ia pemisah antara
masa kenabian yang bersifat lokal dan temporal dengan masa
kenabian yang umum dan universal agar menjadi peringatan bagi
seluruh manusia.50
Dari keterangan di atas, dipahami bahwa sungguh mulia alQur’an, karena dengan
kandungannya,
manusia dapat
membedakan yang harus dilakukan dan yang harus ditinggalkan,
49
50
Abī ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, op. cit., jilid IV, h. 493.
M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., Volume 9, h. 416-417
| 17
yang boleh dimakan dan yang haram dimakan, serta yang boleh
dipakai dan yang tidak boleh dipakai, demi kemaslahatan mereka
di dunia dan diakhirat.
C. Nama-nama al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan kitab Allah swt. yang berdimensi
banyak dan berwawasan luas meliputi seluruh kebutuhan umat
manusia dan memiliki nilai dasar yang menyentuh lubuk hati
manusia, sehingga siapa pun yang membaca dan mendengarnya
dengan tekun pasti mendapatkan kesejukan hati. Karena demikian
luasnya dimensi dan wawasan al-Qur’an, sehingga memiliki
beberapa nama antara lain:
1. Dinamakan al-Qur’an yang berarti “bacaan”51 misalnya,
QS. Yunus/10: 15
             
              
     
             
Terjemahnya:
Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami dengan
jelas, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan
dengan Kami berkata, “Datangkanlah kitab selain al-Qur’an
ini atau gantilah.” Katakanlah (Muhammad), “Tidaklah
pantas bagiku menggantinya atas kemaunku sendiri. Aku
hanya mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku. Aku benarbenar takut akan azab hari yang besar (Kiamat) jika
mendurhakai Tuhanku.”52
51
QS. Al-Baqarah/2: 185, Al-An’am/6: 19, Yunuf/10: 15 dan
Yusuf/12:3
52
18 |
Departemen Agama RI., op. cit, h. 281
Menurut al-Marāgī, ayat tersebut menjelaskan bahwa
ketika orang-orang musyrik dibacakan ayat-ayat yang diturunkan
kepadamu (Muhammad) yang demikian terang penjelasannya,
serta menunjukkan kebenaran disertai dengan hujjah atau alasanalasan pembenarannya, mereka berkata kepada yang membacakan
ayat-ayat itu (Muhammad saw.) “Datangkanlah al-Qur’an selain
yang engkau baca itu atau gantilah” Artinya mereka menginginkan
agar al-Qur’an yang dibaca Muhammad saw. diganti dengan kitab
atau bacaan lain yang tidak memuat hal-hal yang mereka tidak
percayai, misalnya tentang kebangkitan, balasan amal perbuatan,
kecaman terhadap berhala kami serta larangan untuk
menyembahnya.53 Hal ini sejalan dengan pandangan M. Quraish
Shihab ketika menafsirkan potongan ayat I’eti bi Qur’ānin ghairi
hāżā au baddalahū, menyatakan bahwa “Datangkanlah al-Qur’an
yakni bacaan yang lain dari ini” Seperti bacaan dan kisah-kisah
yang diperkenalkan oleh orang-orang India, Persia yang tidak
mengandung tuntunan seperti tuntunan yang engkau baca itu.54
Dari keterangan di atas, dipahami bahwa pengertian term
biqur’aanin pada ayat tersebut ialah bacaan atau sesuatu yang
baca. Dengan demikian semakin jelaslah bahwa salah satu nama
al-Qur’an itu adalah bacaan.
2. Dinamakan al-Kitab yang berarti “Kitab atau buku” 55
misalnya QS/ al-Baqarah/2:2
   
        
Terjemahnya:
Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk
bagi mereka yang bertakwa.56
53
Ahmad Muṣṭafā al-Marāgī, op. cit., juz 11, h. 78
54
M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., Volume 6, h. 39
55
QS. Al-Baqarah/2: 2, al-Nahl/16: 64, al-A’raf/7: 52, al-Nahl/16: 89
| 19
Menurut M. Quraish Shihab ayat tersebut menggunakan
isyarat ‫ ذالك‬yang berarti jauh untuk menunjuk al-Qur’an. berbeda
halnya kalau ayat menunjuk kepada firman dengan nama al-Qur’an
ditunjuk dengan isyarat dekat (‫)هـذا الـقـران‬. Penggunaan isyarat jauh
(‫ )ذالك‬bertujuan memberi kesan bahwa kitab suci ini berada dalam
kedudukan yang amat tinggi dan sangat jauh dari jangkauan
makhluk, karena dia bersumber dari Allah Yang Maha Tinggi.
Sedangkan penggunaan isyarat ‫ هــذا‬untuk menunjuk betapa dekat
tuntunannya pada fitrah manusia.57
Dari keterangan di atas dipahami term al-Kitab pada ayat
di atas tidak lain yang dimaksud adalah al-Qur’an. Term al-Kitab
adalam bentuk isim (kata benda) yang berarti tulisan, karena alQur’an wujud dalam bentuk tulisan. Oleh karena itu, menurut alMarāgi penggunaan kalimat ‫ ذالـك الـكـتـاب‬menjadi suatu isyarat
bahwa Nabi Muhammad saw. tidak diperintahkan menulis sesuatu
selain al-Qur’an.58
3. Dinamakan al-Furqan (pembeda antara yang baik dan yang
buruk)59 misalnya, QS. Al-Furqan/25: 1
          
Terjemahnya:
Maha Suci Allah yang telah menurunkan al-Furqan (alQur’an) kepada hamba-Nya Muhammad, agar agar dia m
emberi peringatan kepada seluruh alam (jin dan manusia).60
Term al-Furqān berasal dari kata faraqa yang berakar kata
dari huruf fa, ra dan qaf berarti membedakan di antara dua
20 |
56
Departemen Agama RI., op. cit, h. 2
57
M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., Volume 1, h. 87-88
58
Ahmad Muṣṭafā al-Marāgī, op. cit., juz 1, h. 38.
59
QS. Al-Baqarah/2: 185 dan al-Furqan/25: 1
60
Departemen Agama RI., op. cit, h. 502
hal.61 Karena itu, makna al-Furqan “adalah sesuatu yang
membedakan antara kebenaran dan kebatilan”62 Pada ayat ini,
Allah swt. tidak menyebutkan al-Qur’an tetapi al-Furqan sebagai
penegasan bahwa al-Qur’an itu pembeda yang hak dan yang batil
antara petunjuk dan kesesatan.63 Patron kata yang digunakan ayat
ini yakni penambahan huruf alif dan nun pada akhir katanya,
mengandung makna kesempurnaan. Oleh karena itu, al-Qur’an
dinamakan al-Furqaān sebab ia turun terpisah-pisah dalam waktu
22 tahun lebih, atau ia berfungsi memisahkan dan membedakan
antara kebenaran dan kebatilan, pemisahan yang demikian
sempurna.64
Dari keterangan di atas dipahami bahwa Allah swt.
menggunakan term al-Furqān, bukan al-Qur’an, sekalipun yang
dimaksudkan itu adalah al-Qur’an memberi kesan bahwa al-Qur’an
memiliki makna pembeda antara yang baik dan yang buruk, antara
yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, sehingga
bagi manusia yang mendapat hidayah al-Qur’an dapat memilih
yang positif demi kemaslahatan hidupnya di dunia dan di akhirat.
4. Dinamakan al-Dzikr (peringatan).65 Misalnya QS. AlHijr/15: 9
       
Terjemahnya:
Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an, dan pasti
kami (pula) yang memeliharanya.66
61
Abī Husain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, op. cit., jilid IV, h. 493
62
Departemen Agama RI., Al-Qur’;an dan Tafsirnya, jilid 6 (Jakarta:
Lentera Abadi, 2010), h. 650.
63
Ibid., h. 651
64
M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., Volume 9, h. 416
65
QS. Al-Hijr/15: 6 dan 9, al-Nahl/1: 44.
| 21
Menurut M. Qurash Shihab kata al-Ẓikr dapat berarti
sesuatu yang dilafalkan/diucapkan, dapat juga berarti sesuatu yang
terlintas dalam benak. Al-Qur’an dinamakan al-Ẓikr karena ia
ucapan yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. untuk
dibaca dan diingat-ingat, atau karena dia adalah peringatan
tentang keesaan Allah swt. dan keniscayaan hari kemudian, atau
karena dengan mengikuti tuntunannya seseorang akan diingat dan
diperlakukan dengan baik di hari kemudian, bukan seperti orang
yang diabaikan dan dilupakan.67 Al-Marāgī mengemukakan bahwa
yang dimaksud dengan al-Ẓikr pada ayat tersebut adalah alQur’an.68
Ayat tersebut merupakan peringatan keras bagi mereka
yang mengabaikan al-Qur’an dan tidak percaya bahwa al-Qur’an
itu diturunkan Allah swt. kepada Rasulullah saw. Sikap mereka
yang demikian itu, tidak mempengaruhi sedikit pun terhadap
kemurnian dan kesucian al-Qur’an karena “Kamilah” yang
menurunkannya dan “Kamilah” yang memelihara al-Qur’an itu
dari segala macam usaha untuk mengotorinya, berusaha
menambah, mengurangi dan merubah ayat-ayatnya. “Kami” akan
memelihara dari segala bentuk campur tangan manusia
terhadapnya.69
Dari keterangan tersebut, dipahami bahwa salah satu nama
al-Qur’an adalah al-Żikr karena al-Qur’an pada dasarnya memuat
berbagai peringatan bagi umat manusia dalam menata
kehidupannya, baik peringatan terhadap ke Maha Besaran dan
Maha Agungan Allah swt. menciptakan alam semesta ini, maupun
22 |
66
Departemen Agama RI., op. cit, h. 355
67
M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., Volume 7, h. 92
68
Ahmad Muṣṭafā al-Marāgī, op. cit., juz XIIII, h. 7
69
Departemen Agama RI., Al-Qur’;an dan Tafsirnya, jilid 5, h. 209
peringatan terhadap balasan Allah swt.kepada hamba-Nya di hari
kemudian.
5. Dinamakan Mau>iẓah (pelajaran), Syifa> (obat) dan Hudan
(petunjuk) serta Rahmah (rahmat) misalnya QS. Yunus/10:
57
        
       
  
Terjemahnya:
Wahai manusia sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (alQur’an) dari Tuhanmu penyembuh bagi penyakit yang ada
dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang
beriman.70
Dari ayat tersebut ditemukan tiga nama lain al-Qur’an
yaitu: 1)Mau>iẓah. Term ini berasal dari kata wa’aẓa yang berakar
kata dari huruf wau, ain dan ẓa yang berarti al-Takhwīfu yakni
menakutkan,71 atau “Peringatan menyangkut kebaikan yang
menggugah hati serta menimbulkan rasa takut”.72 Peringatan yang
dimaksud pada ayat ini adalah peringatan yang bersumber dari
Allah swt. Hal ini dipahami dari term min rabbikum (dari
Tuhanmu) yang terdapat sesudah term mauẓah. Sehingga
peringatan yang dimaksud adalah peringatan Allah swt. yang
terdapat dalam al-Qur’an. Karena itu, salah satu fungsi al-Qur’an
memberi peringatan kepada manusia agar selalu berhati-hati
melakukan kegiatan, khususnya kegiatan-kegiatan yang
memungkinkan manusia keluar dari rel-rel kebenaran, karena akan
dibalas oleh Allah swt. sesuai dengan perbuatan yang mereka
70
Departemen Agama RI., op. cit, h. 299
71
Abī ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, op. cit., jilid 6, h. 126
72
M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., Volume 6, h. 102
| 23
lakukan. 2) al-Syifā’ (obat) bentuk ism al-maṣdar dari fi’il māḍi
yaitu syafā yang berakar kata dari huuf syin, fa dan hamzah yang
berati al-isyrafu alā al-Syai’ (pengawasan terhadap sesuatu).73
kemudian diartikan dengan obat, karena obat berfungsi mengawasi
seseorang dari penyakitnya. Al-Qur’an dinamakan syifāun karena
al-Qur’an mengawasi seseorang sehingga terbebas dari
penyakitnya, baik penyakit jasmani dan rohani. (QS. Al-Isrā/17:
82). Sedangkan ayat ini lebih menekankan pada penyakit rohani.
Hal ini dipahami dari term limā fi al-Ṣudūri yang disebutkan
setelah term syifāun. 3) Ḥudan (petunjuk), bentuk ism al-Maṣdar
dari fi’il al-Mādi yakni ḥadā yang berakar kata dari huruf ḥa, dal
dan ya yang berati al-irsyād (petunjuk),74 Dengan demikian alQur’an dinamakan al-syifā karena memberi petujuk kejalan yang
lurus yang menyelamatkan manusia dari pemahaman dan keyakian
yang salah, kepada keyakinan yang benar. Membimbing manusia
agar beramal saleh dengan ikhlas dan menjauhi perbuatan yang
tidak benar. Bahkan al-Qur’an memberi petunjuk kepada manusia
perbuatan yang boleh dilakukan dan perbuatan yang tidak boleh
dilakukan, sehingga mereka selamat di dunia dan di akhirat. 4)
Rahmatan. Al-Qur’an dinamakan rahmah, karena mencakup
berbagai karunia kebjikan dan keberkahan yang disediakan oleh
Allah swt. bagi mereka yang menghayati dan mengamalkan nilainilai yang diamanatkan al-Qur’an.75
Ayat ini diakhiri dengan term lil Mukminīn memberi
pemahaman bahwa mereka yang akan mendapat nasehat yang bisa
melepaskan mereka dari kesesatan, serta menjadi obat, terutama
obat penyakit hati seperti dengki, iri hati, putus harapan, menuruti
hawa nafs. Dan sebagainya. Memberi hidayah dan rahmah, hanya
73
74
75
24 |
Abī ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, op. cit., jilid III, h. 199.
Ibid., jilid VI, h. 42.
M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., Volume 6, h. 104.
kepada orang-orang mukmin, karena merekalah yang
mengamalkan al-Qur’an.
6. Dinamakan Bayyinah (penjelasan) misalnya, QS. AlAn’am/: 6: 157

               ...
      
        
   
Terjemahnya:
Sungguh telah datang kepadanya penjelasan yang nyata (alQur’an) petujunk dan rahmat dari Tuhanmu. Siapakah yang
lebih zalim daripada orang-orang yang mendustakan ayat-ayat
Allah dan berpaling kepadanya?, Kami akan memberi balasan
kepada orang-orang yang berpaling dari ayat-ayat Kami
dengan azab yang keras karena mereka selalu berpaling.76
Term bayyinah adalah bentuk ism al-maṣdar dari fi’il almāḍi ruba>’i yaitu bayyana yang berarti menjelaskan,
menerangkan.77 Al-Qur’an dinamakan bayyinah atau al-Tabyīn
karena ia merupakan keterangan yang jelas tentang kebenaran
Nabi Muhammad saw. Melalui mu’jizat al-Qur’an.78 Term
bayyinah dirangkai dengan term min Rabbikum menunjukkan
bahwa bukti-bukti kebenaran Nabi Muhammad saw. itu, berasal
dari Allah swt. melalui firman-Nya yang tertulis dalam al-Qur’an.
76
Departemen Agama RI., op. cit, h. 200-201
77
Ahmad Warson Munawwi, Kamus Arab Indonesia
Pondok Pesantren “Al-Munawwir”, 1994), h. 135
78
(Yogyakarta:
M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., Volume 4, h. 356
| 25
D. Kemu’jizatan al-Qur’an
Kata mu’jizah berasal dari bahasa Arab ‫‘( عــجــز‬ajaza)
berakar kata dari huru ‘ain, jim dan zain dari segi etimologi yang
berarti al-da’fu (lemah).79 Sedangkan dari segi terminologi
mu’jizat ialah “Sesuatu yang luar biasa yang diperlihatkan Allah
swt. Melalui para nabi dan rasul-Nya, sebagai bukti atas kebenaran
pengakuan kenabian dan kerasulan,” 80 atau sesuatu yang luar biasa
yang melemahkan manusia baik sendiri atau kolektif untuk
mendatangkan sesuatu yang menyerupai dan hanya diberikan
kepada nabi dan rasul.81
Dari keterangan di atas dipahami bahwa mu’jizat adalah
sesuatu yang luar bisa yang hnya diberikan kepada nabi dan rasul
tidak kepada orang lain termasuk pada umatnya masing-masing,
baik sesuatu yang luar biasa itu dapat dijangkau oleh panca indra,
atau pun hanya dapat diajngkau melalui perenungan yang
mendalam atau akal pikiran. Oleh karena itu, as-Suyūti membagi
mu’jizat kepada dua macam yaitu; Pertama, mu’jizat hissiyah
yakni segala sesuatu yang dapat ditangkap oleh panca indra,
seperti unta Nabi Shālih dan tongkat Nabi Mūsā. Kedua, mu’jizat
‘aqliyah yakni sesuatu yang hanya dapat ditangkap oleh nalar
manusia,82 misalnya kemu’jizatan al-Qur’an.
Karena mu’jizat merupakan sesuatu yang terjadi di luar
kebiasaan, maka baru dinamakan mu’jizat kalau memilki
setidaknya lima syarat, yaitu;
1. Mu’jizat adalah sesuatu yang tidak sanggup dilakukan atau
diciptakan siapa pun selain Allah swt.
79
Abī ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, op. cit., jilid IV, h. 232
80
Said Agil Husin al-Munawwar, Al-Qur’an, op. cit., h. 30.
81
Abd. Djalal H. A., Ulumul Quar’an (Cet. III: Surabaya: Dunia Ilmu,
2008), h. 268.
82
‘Abdu al-Rahmā Jalāl al-Dīn al-Suyūtī, Al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’an,
Jilid II (Cet. III; Kairo: Mujtabā al-Bābī al-Halabī, t.th), h. 311
26 |
2. Tidak sesuai dengan kebiasaan dan berlawanan dengan
hukum alam.
3. Mu’jizat harus berupa hal yang dijadikan saksi oleh orang
yang mengaku membawa risalah ilahi sebagai bukti
kebenaran pengakuannya.
4. Terjadi bertepatan dengan pengakuan nabi yang mengajak
bertanding menggunakan mu’jizat tersebut.
5. Tidak ada seorangpun yang dapat membuktikan dan
membandingkan pertandingan tersebut.83
Kalau kelima unsur tersebut tidak terpenuhi, maka tidak
dapat dikategorikan sebagai mu’jizat dan tidak boleh dijadikan
sebagai dalil pembenaran terhadap orang yang mengaku pemilik
mu’jizat tersebut.
Al-Qur’an dinamakan mu’jizat bagi Nabi Muhammad saw.
karena diyakini memenuhi persyaratan tersebut. Menurut alZarkānī kemu’jizatan al-Qur’an terdiri dari; (1) makna dan
lafalnya dan (2) ketidakmampuan manusia mendatangkan/
membuat sesuatu yang serupa dengannya.84 Sedangkan Naqiyah
Mukhtar mengemukakan bahwa kemu’jizatan meliputi I’jāzbayānī
wal adabī (kemujizatan dari segi bahasa dan sastra), I’jāz Tasyrī’
(kemu’jizatan dari segi pensyariatan hukum), dan dari segi
kandungannya, seperti berita gaib dan ilmu pengetahuan.85 Syekh
Abd.Aẓīm al-Zarqānī seperti yang dikutip oleh Abdul Djalal86
mengemukakan bahwa kemu’jizatan al-Qur’an setidaknya dapat
dilihat dari tujuh segi:
83
Said Agil Husin al-Munawwar, Al-Qur’an, op. cit., h. 31
84
Badr al-Dīn Muḥammad bin Abdullah al-Zarkasyī, Al-Burhān fī
‘Ulūm al-Qur’ān, jilid II (Bairut-Libanon: Dār al-Fikr, 1988 M.), h. 103
85
Naqiyah Mukhtar, Ulumul Qur’an (Cet. I; Purwokwrto: STAIN Press,
2013), h. 80
86
Abdul Djalal, op. cit., h. 285-292.
| 27
Pertama; keindahan bahasa dan uslubnya, sehingga mengherankan
bahkan dapat melemahkan manusia yang mendengarkannya,
bahkan betapa banyak orang masuk Islam karena mendengar
bacaan al-Qur’an dan tidak seorangpun yang dapat menandinginya
sekalipun seorang ahli penyair dan sastra, ahli sihir dan dongeng.
Oleh karena itu, al-Qur’an menantang mereka:
1. Mereka ditantang agar membuat seperti al-Qur’an secara
keseluruhan QS. Al-Tūr/52: 34
 
      
Terjemahnya:
Maka cobalah mereka membuat yang semisal dengannya (alQur’an) jika mereka orang orang yang benar.87
2.
Karena mereka tidak ada yang mampu mendatangkan alQur’an secara keseluruhan, maka tantangan adalah agar
mereka membuat karang yang dapat menyamai 10 surah
al-Qur’an, sebagaimana yang dijelaskan dalam QS.
Hūd/11: 13
      
        
 
       
Terjemahnya:
Bahkan mereka mengatakan “Dia (Muhammad) telah
membuat-buat al-Qur’an, “Katakanlah, “Kalau demikian),
datangkanlah sepuluh surha semisal denganya (al-Qur’an)
yang dibuat-buat, dan ajaklah siapa saja di antara kamu yang
sanggup selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.88
87
Departemen Agama RI., op. cit., h. 760.
88
28 |
Ibid., h. 299
3.
Karena mereka tidak ada yang dapat membuat semisal alQur’an sepuluh surah, maka al-Qur’an menantang lagi
mereka agar membuat satu surah yang sama dengan alQur’an, sebagaimana yang dijelaskan dalam QS.
Yūnus/10: 38
              
   
Terjemahnya:
Apakah pantas mereka mengatakan dia (Muhammad) yang
telah membuat-buatnya.? Katakanlah, “Buatlah sebuah surah
yang semisal dengan surah (al-Qur’an), dan ajaklah siapa saja
di antara kamu orang-orang yang mampu (membuatnya)
selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.89
4. Karena tidak ada di antara mereka yang dapat
mendatangkan satu surahpun yang seperti al-Qur’an, maka
mereka ditantang lagi oleh al-Qur’an dengan
mendatangkan sebagian dari surah al-Qur’an, sebagaimana
yang dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah/2: 23
             
       
Terjemahnya;
Dan jika kami meragukan (al-Qur’an) yang Kami turunkan
kepada haba Kami (Muhammad), maka buatlan satu surah
89
Ibid., h. 286.
| 29
semisal dengannya, dan ajaklah penolong-penolongmu selain
Allah, jika kamu orang-orang yang benar.90
Penggunaan term ‫ من مـثـلـه‬didahului dengan huruf jar ‫مـن‬
bermakna li al-tabidhiyah (sebagian) sehingga ayat tersebut
bermakna sebagian dari satu surah, itu pun tidak ada di antara
manusia yang dapat membuatnya, sejak masa Nabi Muhammad
saw. sampai akhir zaman.
Dari berbagai ayat tersebut, merupakan keterangan yang
otentik bahwa al-Qur’an dari segi uslub bahasanya merupakan
mu’jizat bagi Nabi Muhammad saw. karena terbukti tidak satu
orang yang dapat menandinginya sekali pun mereka ahli bahasa.
Musailamah al-Kadzdzab, suatu ketika ingin membuktikan bahwa
dia mampu membuat kalimat seperti al-Qur’an misalnya firman
Allah swt. dalam QS. Al-Kautsar/108: 1-3
              

Terjemahnya:
Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang
besar. Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu, dan
berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada
Allah). Sungguh orang-orang yang membencimu dialah yang
terputus dari rahmat Allah)91
Kalimat yang dibuat Musailmah al-Kadzdzab adalah
‫إنـا أعـطـيـنـا ك الـجـواهـيـر فـصـل لـربـك وجـاهـر إ ن شـانـئـك هـو الـكافـر‬
“Sesungguhnya kami telah memberimu minuman keras,
maka shalatlah karena Tuhanmu dan keraskanlah suaramu,
30 |
90
Ibid., h. 6.
91
Ibid., h. 918
sesungguhnya orang-orang yang membencimu adalah orang-orang
yang kafir.92
Kalimat yang dibikin oleh Musailamah al-Kadzdzab
tersebut, dari segi uslub dan bahasanya tidak dapat menyentuh
akal dan hati para pembacanya, lain halnya dengan kalimat
pertama yang murni dari Allah swt. selain menyentuh akal juga
menyentuh hati para pembacanya. Semua itu membuktikan bahwa
al-Qur’an mu’jizat bagi Nabi Muhammad saw. karena tidak ada
satu orang pun yang memiliki kemampuan membuat seperti
kalimat al-Qur’an.
Kedua; Penyusunan bahasanya yang tertib dan saling berkaitan
antara satu dengan yang lannya, baik dari segia susunan ayatnya
maupun surahnya, meski al-Qur’an itu diturunkan berangsurangsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari yang sering dibulatkan
menjadi 23 tahun.
Ketiga; Berisi berbagai dasar ilmu pengetahuan untuk
kemaslahatan hidup umat manusia di dunia dan diakhirat. AlQur’an bagaikan lautan sumber ilmu pengetahuan yang tidak
pernah kering sepanjang zaman, berbeda dengan buku/kitab yang
terbatas isi dan masa berlakunya. Secanggih apa pun yang dicapai
ilmu pengetahuan dan teknologi pada dasarnya al-Qur’an telah
memberikan isyarat tentang hal tersebut.
Keempat; Memenuhi segala kebutuhan manusia, baik berupa
petunjuk dari berbagai segi kehidupan manmusia, maupun
tuntunan dalam berbagai macam peribadatan, yang menuntun
manusia menjalani kehidupan di dunia, dan persiapan hidup di
akhirat. Hal ini tidak pernah terjadi di dalam kitab suci yang lain
ataupun agama yang lain.
Kelima; Cara-cara al-Qur’an mengadakan perbaikan dan
kemaslahatan bagi umat manusia yang meliptui:
92
Naqiyah Mukhtar, op. cit., h. 78
| 31
1. Al-Qur’an turun berangsur-angsur, berbeda dengan cara
turunnya kitab-kitab suci lainnya yang sekaligus.
2. Al-Qur’an ketika melarang sesuatu perbuatan ditempuh
secara bertahap, sehingga mudah dikerjakan, seperti
larangan larangan minuman kerasa dan riba.
3. Al-Qur’an tidak seperti kitab-kitab lain yang terbagi dalam
bab-bab, pasal-pasal, ayat-ayat dan sebagainya, melainkan
al-Qur’an terbagi dalam juz, surah dan ayat.
4. Al-Qur’an dalam menanamkan pesan dan perintah serta
petunjuk melalui ungkapan yang indah, menarik dan
mempesona, sehingga manusia tidak merasa diperintah,
ditekan ataupun dipaksa.
5. Al-Qur’an dalam menumbuhkan kesadaran terhadap
kebajikan, keutamaan dan kemuliaan budi pekerti
diungkapkan melalui kisah-kisah yang berulang-ulang,
namun struktur kalimat yang berbeda, sehingga tidak
membosankan, bahkan menambah kesan yang mendalam
bagi pembacanya.
6. Al-Qur’an dalam menyadarkan umat, selalu menggunakan
dalil-dalil yang diterima akal pikiran, penalaran yang sehat
disertai bukti-bukti yang rasional.
7. Al-Qur’an memberi tuntunan terhadap jiwa dan raga
manusia secara bersamaan sehingga harus menyatu dengan
kepentingan hidup jasmaniah dan rohaniah dalam proses
kehidupan manusia.
8. Al-Qur’an ketika menginformasikan tentang kehidupan
dunia dan akhirat selalu dalam posisi yang sama, tidak
pernah mengutamakan salah satunya lalu mengabaikan
yang lain, sehingga sasaran utamanya adalah terwujudnya
keseimbangan kepentingan hidup dunia dan akhirat.
9. Al-Qur’an menjelaskan aturan-aturan hukum dengan
menggunakan
metode
rukhsah
(dispensasi),
menghilangkan kesempitan serta memberi fleksibilitas
32 |
(kelonggaran) dalam pelaksanaannya. Suatu hukum
diterapkan sesuai asalnya bagi yang sehat, diberi
keringatan bagi yang sakit atau yang berhalangan, dan
dibebaskan bagi yang belum mukallaf atau pikun.93
Keenam; Berita-berita gaib yang diungkapkan dalam al-Qur’an
terjadi berates ribu tahun yang lalu, seperti kisah para nabi dan
rasul bersama umat yang tidak disaksikan oleh Nabi Muhammad
saw. di antaranya kisah Nabi Musa yang digambarkan oleh Allah
swt. dalam QS. Al-Qashash /28: 44-45
            

             
       
Terjemahnya:
Dan engkau (Muhammad) tidak berada di sebelah barat
(lembah suci Tuwa) ketika Kami menyampaikan perintah
kepada Musa, dan engkau tidak (pula) termasuk orang-orang
yang menyaksikan (kejadian itu), tetapi Kami telah
menciptakan beberapa umat, dan telah berlalu atas mereka
masa yang panjang, dan engkau (Muhammad) tidak tinggal
bersama-sama penduduk Madyan dengan membacakan ayatayat Kami kepada mereka, tetapi Kami telah mengutus rasulrasul.94
Al-Qur’an juga menceritakan berita gaib yang belum
terjadi, tetapi kemudian betul-betul terjadi, seperti yang
93
Abdul Dalal H.A., op. cit., h. 285-287.
94
Departemen Agama RI., op. cit., h. 550
| 33
digambarkan oleh Allah swt. di antaranya dalam QS. Al-Rum/30:
1-4
             

               
  
Terjemahnya:
Alif lām mīm, Bangsa Rumawi telah dikalahkan, di negeri
yang terdekat dan mereka setelah kekalahannya itu akan
menang, dalam beberapa tahun (lagi) Bagi Allah-lah urusan
sebelum dan setelah (mereka menang). Dan pada hari
(kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang
yang berima.95
Ayat tersebut menjelaskan bahwa bangsa Rumawi akan
memperoleh kemenangan terhadap bangsa Persia, setelah Rumawi
dikalahkan oleh Persia. Kemenangan bangsa Rumawi itu belum
terjadi, waktu ayat ini diturunkan. Sesuai dengan keterangan ayat
4 bahwa bangsa Rumawi akan memperoleh kemenangan dalam
waktu 2-9 tahun, ramalan al-Qur’an tersebut tepat karena tidak
sampai 9 tahun bangsa Rumawi dapat mengalahkan bangsa Persia,
sehingga kaum muslimin merasa senang dan bangga. Keterangan
tersebut menunjukkan bukti kemu’jizatan al-Qur’an, karena tidak
mungkin seorang nabi dapat mengetahuinya apalagi
menginformasikannya peristiwa yang telah lalu atau yang akan
datang, kalau bukan wahyu dari Allah swt.
Ketujuh; Adanya ayat-ayat teguran kepada Muhammad
saw. terkadang teguran itu secara tegas , juga terkadang secara
lunak dan lemah lembut. Namun semua itu menunjukkan
95
34 |
Ibid., h. 570.
kemu’jizatan al-Qur’an. Seandainya Qur’an adalah bikinan
Muhammad saw. tentu tidak mungkin beliau menegur dirinya
sendiri karena pada perinsipnya setiap orang ingin membela
dirinya, bukan justru memperlihatkan kesalahannya.96 Sebagai
contoh teguran yang tegas kepada Muhammad saw. adalah QS.
‘Abasa/80: 1-11.

                
             
                
  
Terjemahnya:
Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling, karena
seorang buta telah datang kepadanya (Abdullah bin Maktum).
Dan tahukah engkau (Muhammad) barangkali dia ingin
menyucikan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan
pengajaran, yang memberi manfaat kepadanya?. Adapun
ornag yang merasa dirinya serba cukup (pembesar-pembesar
Quraisy), maka engkau Muhammad memberi perhatian
kepadanya, padahal tidak ada (cela) atasmu kalau dia tidak
menyucikan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang
kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran),
sedang takut (kepada Allah), engkau Muhammad malah
mengabaikannya. Sekali-kali jangan begitu! Sungguh, (ajaranajaran Allah) itu suatu peringatan.97
96
Abdul Dalal H.A., op. cit., h 290
97
Departemen Agama RI., op. cit., h. 871
| 35
Penggunaan term ‘abasah watawaalā yakni menyebutkan
sifat yang tidak diinginkan, padahal yang dimaksudkan adalah
larangan agar tidak melakukan sifat itu, merupakan salah satu
bukti kemu’jizatan bahasa al-Qur’an, karena bahasa manusia,
lazimnya menggunakan struktur kalimat larangan, ketika suatu
perbuatan tidak diperkenankan untuk dilakukan.
Contoh teguran yang secara lunak dan lemah lembut,
seperti teguran dalam QS. Al-Taubah/10: 43
            
 
Terjemaahnya:
Allah memaafkanmu (Muhammad) mengapa engkau memberi
izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum
jelas bagimu orang-orang yang benar-benar (berhalangan)
danm sebelum engkau mengetahui orang-orang yang
berdusta?98
Ayat ini menggambarkan keluarbiasaan bahasa al-Qur’an
yang demikian indah dan balagahnya, sekalipun bermakna teguran,
tetap diawali dengan term ‘afā (pemaafan) atas kesalahan yang
menyebabkan timbulnya teguran itu. Sulit dibayangkan bagaimana
hal tersebut terwujud dalam bahasa manusia biasa. Semua itu
membuktikan bahwa selain makna yang terkandung dalam alQur’an, juga struktur bahasanya mengandung kemu’jizatan yang
luar biasa.
98
36 |
Ibid., h. 261.
A. Pengertian Pendidikan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa
pendidikan adalah “proses pengubahan sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan
manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan”,99 atau proses
bimbingan manusia dari kegelapan, kebodohan, kecerdasan
pengetahuan.100 Hasan Langgulung, mengemukakan bahwa
pendidikan adalah “suatu proses yang mempunyai tujuan yang
biasanya diusahakan untuk menciptakan pola-pola tingkah laku
tertentu pada kanak-kanak atau orang yang sedang dididik”.101
Menurut Rasyid Ridha pendidikan adalah bimbingan daya manusia
baik jasmani, akhlak maupun jiwa yang menjadikannya tumbuh
dan berkembang serta bergerak sehingga sampai kepada
kesempurnaan dirinya.102 Ambo Enre Abdullah mengutip UU No.
20/2003 mengemukakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
99
Depertemen Pendidikan Nasiona, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Edisi Ketiga (Jakarta: Palai Pustaka, 2002), h. 263.
100
Hasan Sadily (ed), Ensiklopedia Indonesia, jilid V (Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1984), h. 2626.
101
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan (Jakarta: Pustaka alHasana, 1986), h. 32
102
Rasyid Ridha, al-Tarbiyah al-Islāmiyah al-Ta’līm al-Islamiah,
XXXIV No. 7 (t. t : al-Manar, 1935), h. 544-545.
| 37
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.103 Sedangkan menurut M. Ngalim Purwanto pendidikan
adalah “segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anakanak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohani kearah
kedewasaan.104 Definisi ini menggambarkan bahwa pergaulan
menjadi bagian dari proses pendidikan.
Sedangkan yang dimaksud pendidikan Islam adalah
sebuah proses yang dilakukan untuk menciptakan manusiamanusia yang seutuhnya; beriman dan bertakwa kepada Allah swt.
serta mampu mewujudkan eksistensinya sebagai khalifah Allah
swt. di muka bumi, yang berdasarkan kepada ajaran al-Qur’an dan
sunnah,105 Dalam Kurikulum 2004 seperti yang dikutip oleh
Ramayulis, pendidikan Islam adalah uapaya sadar dan terencana,
dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami,
menghayati, mengimani, bertakwa, berakhlak mulia, mengamalkan
ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci al-Qur’an dan
Hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan., serta
penggunaan pengajaran.,106
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa pendidikan
adalah suatu proses untuk merubah dan mengembangkan potensi
dasar yang terdapat dalam diri manusia, baik potensi jasmaniah,
103
Ambo Enre Abdullah, Pendidikan di Era Otonomi Daerah
(Yogyakarta: Pustaka Timur, 2005), h. 80-81.
104
M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis (Cet.
XIX; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset, 2009), h. 11.
105
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Cet.
I; Ciputat: Ciputat Pres, 2002), h. 15.
106
Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam (Cet. V, Jakarta:
Kalam Mulia, 2008), h. 21
38 |
maupun rohaniah guna memperoleh kesempurnaan dirinya sebagai
khalifah Allah swt. untuk membangun dan memakmurkan dunia,
sekaligus sebagai hambah Allah swt. untuk beribadah kepada-Nya.
B. Tujuan Pendidikan Islam
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tujuan berarti arah,
haluan (jurusan), yang dituju, maksud, tuntutan (yang dituntut).107
Dalam bahasa Arab “tujuan diistilahkan dengan ghāyat, ahdāf,
maqāṣid. Sementara dalam bahasa Inggris diistilahkan dengan
goal, purpose, objectives atau aim.108 Menurut Zakiyah Daradjat,
tujuan adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah sebuah
usaha atau kegiatan selesai.109 Dengan demikian, semua aktivitas
manusia termasuk pendidikan harus ada tujuan yang ingin dicapai
sehingga semua proses yang berkaitan dengannya memiliki arah
serta haluan yang jelas. Untuk mewujudkan pendidikan yang
berkualitas terdapat enam faktor yang saling berhubungan.,
Keenam faktor yang dimaksud adalah, 1) faktor tujuan110 2)
faktor pendidik yang meliputi; a. Pendidik menurut kodratnya,
yaitu orang tua dan b) pendidik menurut jabatan, yaitu guru. 3)
Faktor peserta didik 4) Faktor materi yang harus sesuai dengan
tujuan pendidikan dan kebutuhan peserta didik. 5) Faktor metode
pendidikan, 6) Faktor situasi lingkungan.111 Menurut Herbart,
107
Departemen Pendidikan Nasiona, op. cit., h. 12-16
108
Armai Arief, op. cit., h. 15.
109
Zakiyah Daradjat, dkk., Ilmu Pendidikan Islam (Cet. II; Jakarta:
Bumi Aksara, 1992), h. 29
110
Tujuan pendidikan tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan
intelektual saja, tetapi juga perlu penghayatan, pengamalan, serta
pengaplikasian dalam kehidupan dan sekaligus menjadi pegangan hidup. LIhat
Akmal Hawi, Kompotensi Guru Pendidikan Agama Islam (Cet. I; Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2013), h. 20.
111
Fuad Hasan, Dasar-Dasar Pendidikan Komponen MKDK (Cet. VI;
Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2010), h. 7-10
| 39
tujuan pendidikan adalah peningkatan intelektualitas peserta didik
yang berorientasi pada ranah kognitif (penalaran, kreativitas, dan
inteligensia), sedangkan kemampuan afektif (minat dan sikap
agama) serta psikomotorik (keterampilan) tidak menjadi tujuan
utama.112 Pendidikan yang dimaksudkan oleh Herbart tersebut
adalah pendidikan yang hanya bertujuan untuk meningkatkan
kecerdasan intelektual semata, tampa harus dibarengi kecerdasan
emosional dan kecerdasan spiritual. Ketika pemikiran seperti ini
yang menjadi sasaran pendidikan, maka sangat boleh jadi akan
melahirkan manusia-manusia yang mementingkan kehidupan
dunia atau (naturaslisme), mengutamakan kepentingan materi
(materialisme), bahkan pengingkaran terhadap adanya Allah swt.
(atheisme), yang berdampak pada lahirnya manusia-manusia yang
cemerlang akal pikirannya, tetapi hampa spiritualnya. Oleh karena
itu, tujuan pendidikan yang sesungguhnya adalah; 1) mengenalkan
manusia akan perannya di antara sesama makhluk dan tanggung
jawab pribadinya dalam kehidupan ini, 2) mengenalkan manusia
akan hubungannya dengan lingkungan sosialnya dan tanggung
jawabnya dalam kehidupan bermasyarakat, 3) mengenalkan
manusia dengan alam ini dan mengetahui hikmah-hikmah
diciptakannya, serta mampu mengambil manfaat atas segala
anugrah dari Allah swt., 4) Mengenalkan manusia dengan pencipta
alam (Allah swt.) dan memerintahkan untuk beribadah kepadaNya.113 Oleh karena itu, pendidikan yang ideal adalah pendidikan
yang dapat menjadikan generasi muda sebagai generasi potensial
dengan kepribadian luhur, sikap, dan prilaku yang baik sehingga
mampu menjadikan dirinya sebagai manusia seutuhnya. Itulah
112
Herbart, The Science of Education (Boston: DC. Heath, 1963), h.
133
113
Moh. Fadhil al-Jamali, Falsafah Pendidikan dalam al-Qur’an, terj.
Junaidi al-Falasany (Surabaya: Bina Ilmu, 2002), h. 49.
40 |
yang dikenal dengan realitas diri (self realization).114 Manusia
seutuhnya adalah manusia yang sehat jasmani dan rohani, sehat
mental dan spiritual, sehingga mereka mampu mensingkronkan
antara kepentingan kehidupan di dunia dan di akhirat. Itulah
sebabnya sehingga yang menjadi tujuan akhir pendidikan termasuk
pendidikan Islam adalah terbentukanya pribadi-pribadi yang
berakhlak mulia yang menjadi nilai dasar bagi peserta didik,
sehingga menjadi kebiasaan bagi mereka dalam semua tingkah
lakunya dan selalu mengedepankan nilai-nilai moral dari pada
kepentingan material.115 Pembentukan akhlak yang mulia (alakhlak al-karimah) menjadi penekanan pada definisi ini. Hal
tersebut disebabkan karena bagi mereka yang bagus akhlaknya
tentu bagus pula akhlaknya terhadap Allah swt. dalam bentuk
ibadah, bagus akhlaknya terhadap sesama manusia dalam bentuk
muamalah dan bagus akhlaknya terhadap makhluk lain dalam
bentuk kasih sayang. Mareka yang mampu mewujudkan ketiga
akhlak tersebut yang akan mendapat predikat al-Insan al-Kamilah
(manusia paripurna).
C. Fungsi Pendidikan Islam
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia fungsi berarti antara
lain, keguanaan suatu hal.116 Oleh karena itu, fungsi pendidikan
pada dasarnya memiliki relevansi dengan kebutuhan manusia
dalam mengoptimalkan segenap potensi yang dimilikinya guna
memperoleh prestasi dan pristise yang lebih baik. Menurut Fuad
Hasan, secara mikro, fungsi pendidikan adalah untuk membantu
perkembangan jasmani dan rohani peserta didik. Sedangkan secara
makro fungsi pendidikan sebagai; 1) pengembangan pribadi, 2)
114
Muhammad Takdir Ilahi, Revitalisasi Pendidikan Berbasis Moral
(Cet. I; Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), h. 45-46
115
Mohammad Aṭiyah al-Abrasī, Rūh al-Tarbiyyāt wa al-Ta’līm
(Qairo: Isa al-Babī al-Halabī, 1969), h. 23-24.
116
Departemen Pendidikan Nasional., op. cit., h. 322
| 41
pengembangan warga negara, 3) pengembangan kebudayaan, 4)
pengembangan bahasa.117
Pada dasarnya, keempat unsur tersebut terdapat dalam diri
seseorang sebagai potensi untuk berkembang, dan secara beransuransur mengalami pertumbuhan dan perkembangan, bila mendapat
dorongan atau pertolongan dari luar. Salah satunya adalah
pendidikan. Oleh karena itu, fungsi pendidikan menjadi jalan
alternatif untuk memberikan motivasi kepada anak didik agar
mempunyai pemahaman tentang makna pendidikan yang
sebenarnya. Motivasi tersebut berdampak positif terhadap upaya
penumbuhan dan pengembangan tiga komponen yang merupakan
landasan fundamental dalam memahami kebutuhan anak didik
demi mencapai cita-cita mereka. Ketiga komponen dimaksud
adalah; 1) aspek kognitif, 2) aspek psikomotorik, 3) aspek
afektif.118
1. Aspek kognitif
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kognitif berarti
berhubungan dengan atau melibatkan kognisi (kegiatan atau
proses memperoleh pengetahuan), berdasar kepada pengetahuan
faktual yang empiris.119 Oleh karena itu, aspek kognisi berfungsi
untuk mengembangkan wacana intelektual anak didik yang
dilandasi dengan pembentukan kecerdasan secara propesional
melalui latihan reading (membaca), listening (mendengar), writing
(menulis) and speaking (dan berbicara).120 Dengan demikian, aspek
kognitif nampaknya lebih menekankan pada peningkatan daya
nalar manusia atau kemampuannya memperoleh ilmu
pengetahuan, sehingga melahirkan sumber daya manusia yang
berkualitas dari segi intelektual.
42 |
117
Fuad Hasan, op. cit., h. 11
118
Muhammad Takdir Ilahi, op. cit., h. 31
119
Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 579
120
Muhammad Takdir Ilahi, op. cit., h. 31.
2. Aspek psikomotorik
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud
dengan psikomotorik adalah sesuatu yang berhubungan dengan
aktivitas fisik yang berkaitan proses mental dan psikologi.121 Oleh
karena itu, aspek psikomotorik berarti kemampuan anak didik
dalam mengembangan potensi kreativitas dan keterampilan yang
dimilikinya sebagai latihan dalam mengasah kemampuan berkarya
secara nyata. Kemampuan dalam kreativitas, sangat terkait dengan
konsistensi dan komitmen anak didik untuk terus berupaya
mengembangkan potensi lahiriah agar berkembang secara
maksimal.
Dalam pengembangan potensi anak didik, diperlukan
adanya dukungan moral dan materi, terutama dari kedua orang tua
yang merupakan lembaga pertama dan utama dalam peningkatan
kemampuan anak. Keluarga berkewajiban menyiapkan sarana dan
prasarana yang dibutuhkan anak didik demi pengembangan segala
potensi dan skil yang dimilikinya. Peningkatan kreativitas dan
keterampilan dalam dunia pendidikan merupakan sesuatu yang
amat penting dalam mencapai tujuan pendidikan yang benar-benar
memberi pengaruh pada perkembangan anak didik.122
3. Aspek afektif.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud
dengan afektif adalah; 1) sesuatu yang berkenaan dengan perasaan
seperti takut, cinta, dan semacamnya), 2) mempengaruhi keadaan
perasaan dan emosi, 3) mempunyai gaya atau makna yang
menunjukkan perasaan (tt. gaya bahasa atau makna). 123Dengan
demikian, fungsi pendidikan yang berwawasan afektif merupakan
salah satu unsur dalam dunia pendidikan yang amat penting dalam
pembentukan kepribadian anak dan tingkah laku anak didik. Oleh
121
Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 901.
122
Muhammad Takdir Ilahi, op. cit., h.31-32.
123
Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 11.
| 43
karena itu, aspek afektif dalam dunia pendidikan berperan penting
dalam pengembangan mental dan prilaku anak didik, ia dapat
mengarahkan pola pikir anak yang terlalu mengedepankan aspek
kognitif dan psikomotorik.124
Dengan demikian, ketiga aspek pendidikan tersebut, harus
terintegrasi dalam jiwa peserta didik sehingga pendidikan benarbenar dapat berfungsi untuk membentuk manusia yang unggul,
baik dari segi intelektual, keterampilan dan kepribadian yang
mantap. Seperti yang dikatakan oleh Kamreni Buseri bahwa
pendidikan merupakan upaya untuk menumbuhkembangkan
potensi peserta didik ke arah yang lebih positif melalui ranah
kognitif, psikomotorik dan afektif.125 Ketiga ranah (aspek)
pendidikan ini, harusnya terintegrasi dalam sebuah proses
pendidikan, sehingga pada gilirannya dapat mewujudkan peserta
didik yang mampu memadukan kecerdasan intelektual, kecerdasan
emosional, kecerdasan spiritual.
D. Sumber Pendidikan Islam
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa
sumber berarti; 1) tempat keluar, 2) asal, 3) segala sesuatu baik
yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang digunakan
untuk mencari hasil, msl. Peralatan, sediaan, waktu, dan tenaga;
daya alam (potensi alam) yang dapat dikembangkan untuk proses
produksi, daya manusia potensi manusia yang dapat
dikembangkan untuk proses produksi; daya mineral yang ada di
alam, hukum; segala sesuatu yang berupa tulisan, dokumen,
naskah, dan sebagainya.126 Oleh karena itu, pada dasarnya, kata
“sumber” dapat diartikan sebagai pijakan yang dari padnya
124
Muhammad Takdir Ilahi, op. cit., h. 32.
125
Karmeni Buseri, Antologi Pendidikan Islam dan Dakwah; Pemikiran
Teoritis Praktis Kontemporer (Yogyakarta: UII Press, 2003), h. 69.
126
44 |
Departemen Pendidikan Nasiona, op. cit., h. 1102
bersandar segala gerak, ide dan rancangan sesuatu yang ingin
dicapai.
Dengan demikian, sumber pendidikan Islam adalah pijakan
munculnya berbagai ide, konsep dan rumusan tentang pendidikan
Islam, sehingga dalam pengembangan dan pengoprasionalannya
selalu terarah pada suatu titik tujuan yang hendak dicapai yaitu
assa’adutu fi al-Daraini (kebahagiaan dunia dan akhirat). Dengan
demikian, sumber pindidikan Islam adalah sesuatu yang telah
diyakni dan telah teruji kevalidan keotentikannya dari waktu ke
waktu dalam mengawal semua aktivitas pendidikan. Oleh karena
itu, menurut Abdul Mujib dan Yusuf Muzakkir sumber pendidikan
Islam memiliki fungsi yang sangat penting dan strategis, antara
lain:
1. Mengarahkan tujuan pendidikan Islam yang ingin dicapai,
2. Membingkai seluruh kurikulum yang dilakukan dalam
proses belajar mengajar, yang di dalamnya termasuk
materi, metode, media, sarana dan evaluasi.
3. Menjadi standar dan tolok ukur dalam evaluasi, apakah
kegiatan pendidikan telah mencapai dan sesuai dengan apa
yang diharapkan atau belum.127
Selain itu, sumber pendidikan Islam juga berfungsi
memasok bahan-bahan yang dibutuhkan guna menyusun konsep
pendidikan Islam dengan berbagai aspeknya; visi, misi, tujuan
kurikulum, proses belajar mengajar dan sebagainya.128 Demikian
luasnya fungsi sumber pendidikan Islam, maka selain al-Qur’an
dan al-Hadis sebagai sumber primer, juga nilai-nilai sosial
kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan alHadis yang diyakni kebenarannya dan mendatangkan
127
Abdul Mujib dan Jusuf Muzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. I;
Jakarta: Kencana, 2006), h. 31.
128
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: Kencana,
2010), h. 75.
| 45
kemaslahatan dan menjauhkan kemudaratan bagi kehidupan
manusia.129 Juga tidak kalah pentingnya adalah warisan pemikiran
dari pemikir atau cendekiawan muslim yang berkembang dari
waktu ke waktu seiring perkembangan dan kebutuhan pendidikan
yang kemudian dikenal dengan ijtihad.
Oleh karena itu, menurut Hasan Langgulung seperti yang
dikutip oleh Abuddin Nata bahwa sumber pendidikan Islam yaitu
al-Qur’an, al-Hadis, Perbuatan, perkataan dan sikap sahabat
(Mazhab Ṣahābi), kemaslahatan umat (mashalih al-mursalah),
tradisi atau adat istiadat yang sudah dipraktikkan dalam
kehidupan masyarakat (al-‘urf), dan hasil ijtihad pada ahli. 130
Sumber pendidikan Islam tersebut harus dimanfaatkan secara
berturut turut maksudnya, diawali dengan al-Qur’an, kemudian
dilanjutkan sumber berikutnya secara berurutan, dengan mengacu
pada sumber pendidikan yang dikemukakan oleh Abdul Mujib
dsan Jusuf Mudzakkir. Secara runtut dapat dilihat sebagai berikut:
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan firman Allah swt.yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad saw. sebagai pedoman bagi manusia
dalam menata kehidupannya, agar memperoleh kebahagiaan lahir
ban batin, dunia dan akhirat. Konsep-konsep yang dibawa alQur’an selalu relevan dengan problema yang dihadapi umat
manusia karena ia turun untuk berdialog dengan setiap umat yang
ditemuinya, sekaligus menawarkan pemecahan setiap problema
tersebut kapan dan di manapun mereka berada.131
Dengan demikian, al-Qur’an merupakan sumber inspirasi
bagi umat manusia untuk mewujudkan fungsi kekhalifaannya di
129
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 9
46 |
130
Abuddin Nata, loc. cit.
131
Said Agil Husin al-Munawwar, Al-Qur’an, op. cit., xii
atas persada bumi,132 sekaligus sebagai pemakmur.133 Oleh karena
itu, al-Qur’an menjadi penuntun bagi umat manusia agar dapat
melaksanakan amanah dan memenuhi janjinya kepada Allah swt.
Itulah sebabnya, al-Qur’an menjadi pusat kehidupan umat Islam
sekaligus dunia di mana seorang muslim hidup,134 yang di
dalamnya terdapat tiga jenis petunjuk, yakni; Pertama, petujuk
tentang karakteristik yang mengatur bagaimana manusia berbakti
kepada Allah swt., bermuamalah dengan sesama manusia dan
menabur kasih sayang kepada makhluk Allah swt., petunjuk
tentang hukum menjadi dasar syariat yang mengatur kehidupan
manusia, juga mengandung petunjuk tentang metafisika,
kosmologi, pembahasan hari akhirat. Kedua, petunjuk memahami
sejarah manusia, kedudukan dan peran manusia (rakyat biasa, raja,
orang suci dan para nabi sepanjang zaman) dan segala
problematika kehidupan mereka. Ketiga, petunjuk tentang hal-hal
yang bersifat gaib.135
Al-Qur’an bukanlah kitab ilmiah yang tersusun secara
sistimatis sebagaimana kitab-kitab lain, tetapi al-Qur’an menjadi
sember inspirasi dari berbagai ilmu pengetahuan merupakan baik
yang berkaitan dengan kemasalahatan dunia maupun kemaslahatan
hidup di akhirat. Menurut ‘Ali ‘Abd. Al-‘Aẓīm seperti yang
dikutip oleh M. Taufiq bahwa al-Qur’an merupakan kitab yang
sangat komprehensif yang mencakup persoalan- persoalan filsafat,
penalaran ilmiah, problematika sosial, dengan kemampuannya
mengkombinasikan urusan dunia dan akhirat, mengaitkan ritus
dengan perbuatan konkret serta menghubungkan realisme dan
132
QS. Al-Baqarah/2: 30
133
QS. Hūd/11: 61
134
S.H. Nasr, Islam dalam Cita dan Fakta, terj. Abdurrahman Wahid
dan Hashim Wahid (Jakarta; LEPPENAS, 1981), h. 21.
135
Ibid., h. 27-28
| 47
idealisme. Islam menganjurkan pemeluknya hidup di bumi
berkomunikasi dengan yang ada di langit.136
Al-Qur’an tidak hanya menajadi petunjuk bagi umat
tertentu dan untuk periode tertentu, melainkan menjadi petunjuk
yang universal dan sepanjang zaman. Petunjuknya sangat luas
seperti luasnya ruang bumi yang ditempati umat manusia dan
meliputi seluruh aspek kehidupannya. Di samping itu, bukan saja
ilmu keislaman yang digali secara langsung dari al-Qur’an, seperti
ilmu tafsir, fikih, akhlak dan tauhid, akan tetapi al-Qur’an juga
menjadi sumber ilmu pengetahuan dan teknologi, karena banyak
sekali isyarat-isyarat al-Qur’an yang membicarakan persoalanpersoalan sanis dan teknoligi dan bidang keilmuan lainnya.137
Mengacu pada wahyu pertama sekali turun kepada
Rasulullah saw. (QS. Al-‘Alaq/96: 1-5). Allah swt. memotivasi
umat manusia agar mencari dan menggali ilmu pengetahuan. Hal
ini dipahami dari penggunaan term iqra’ pada ayat pertama dan
ketiga, kemudian diikuti dengan term al-qalam pada ayat keempat
yang berati kalam atau pena yang menjadi lambang ilmu
pengetahuan dan diakhiri dengan pernyataan dari Allah swt.
bahwa “Dia mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya” pada
ayat kelima, sehingga dipahami dari ayat kelima ini bahwa Allah
swt. memotivasi umat manusia agar mencari ilmu pengetahuan
karena Allah swt. akan mengajar manusia apa yang belum
diketahuinya.
Ilmu yang dimaksud dalam al-Qur’an mencakup segala
macam pengetahuan yang berguna bagi manusia dalam
136
“M. Taufiq, Kreativitas Jalan Baru Pendidikan Islam (Cet. I;
Yogayakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2012), h. 46
137
48 |
Said Agil Husin Al-Munawar, Aktualisasi, op. cit., h. 5
kehidupannya, baik untuk kebutuhan masa kini maupun yang akan
datang, fisika maupun metafisika.138
a. Al-Qur’an memotivasi umat manusia agar mempelajari ilmu
falak, karena erat kaitannya dengan penetapan waktu, hari,
tanggal, bulan dan tahun. Untuk menetapkan arah kiblat,
mengetahui buruj, terjadinya gerhana bulan dan matahari,
melakukan hisab dan rukya, dan sebagai pedoman menyusun
penanggalan atau kalender,139 ayat yang mengungkap hal ini
antara lain (QS. Yunus/10: 5).
b. Al-Qur’an memotivasi manusia memiliki ilmu yang berkaitan
dengan pertambangan, agar mereka mengeluarkan dan
memproses benda-benda yang terpendam dalam perut bumi,
seperti logam, besi, emas, perak, batu bara serta minyak dan
sebagainya untuk dimanfaatkan. Salah satu bahan tambang
dimaksud adalah besi yang dalam bahasa al-Qur’an disebut alḥadīd. Demikian besar peranan besi bagi kehidupan manusia,
sehingga Allah swt. menjadikan salah satu nama surah dalam
al-Qur’an. Term al-hadid terulang sebanyak 7 kali dan hadidan
satu kali dalam al-Qur’an140 Allah swt. menciptakan besi yang
mempunyai kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi
manusia. Ayat yang membicarakan hal ini antara lain (QS. AlHadid/57: 25)
c. Al-Qur’an memotivasi manusia agar memahami ilmu fisika.
Fisika termasuk bagian dari ilmu alam yang membahas bumi
dan antariksa, mengetahui planet dan tata surya, jagat raya
serta isinya, matahari, bulan, bintang-bintang dan segala
138
Nanang Gojali, Tafsir Hadis Tentang Pendidikan (Cet. I; Bandung:
CV Putaka Setia, 2013), h. 164.
139
M. Ali Chasan Umar, Al-Qur’an dan Pembangunan Nasional (Cet.
I, Semarang: t.th.), h. 64
140
Muhammad Fuad Abd. Baqī,Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ alQur’an al-Karīm (t.t: Angkasa, t.th.), h. 248
| 49
permasalahannya, vulkanisme, gempa bumi, kemagnitan bumi,
swt.
atmosfer,
dan
pembahasan
lainnya141 Allah
memerintahkan kepada umat manusia agar memperhatikan
alam sekitarnya guna memperoleh ilmu pengetahuan baik
melalui dengan binatang, langit, gunung dan bumi, ayat yang
mengungkap hal ini antara lain (QS. Al-Gasyiyah/88: 17-20.
d. Al-Qur’an dan Ilmu Metafisika. Metafisika merupakan bagian
dari ilmu hikmah dan ilsafat, sebagaimana ilmu logika, ilmu
alam, dan ilmu pasti juga masuk dalam lingkup ilmu hikmah
dan filsafat. Maka metafisika adalah filsafat mengenai segala
sesuatu yang di luar alam biasa, yang di dalamnya tercakup
antara lain Tuhan, jiwa (roh), jin, malaikat dan sebagainya, 142
Al-Qur’an menganjurkan umat manusia mempelajari
metafisika, karena terdapat berbagai ayat yang mengajarkan
agar mempercayai hal-hal yang gaib yang tidak dapat
ditangkap oleh pancaindera, di antara ayat dimaksud adalah,
bahwa al-Qur’an tidak mengandung keraguan sedikit pun dan
menjadi petujuk bagi orang-orang yang bertakwa, yaitu mereka
yang beriman kepada yang gaib, ayat yang mengungkap hal ini
antara lain (QS. Al-Baqarah/2: 2-3)
2. Al-Hadis/Al-Sunnah
Dari segi bahasa Hadiṡ berarti jadīd (baru), qarīb (dekat)
dan khabar (berita)143. Sedangkan dari segi istilah hadiṡ adalah
ucapan, perbuatan dan takrir (sesuatu yang dilakukan oleh sahabat
lalu Nabi Muhammad saw. tidak melarang dan juga tidak
memerintahkan). Oleh karena itu, hadiṡ merupakan sumber ajaran
141
M. Ali Chasan Umar, op. cit., h. 65
142
143
Ibid., h. 128.
Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar
Ilmu Hadis, Edisi Ketiga (Cet. VIII; Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2013),
h. 3
50 |
Islam setelah al-Qur’an,144 yang berfungsi terhadap al-Qur’an
sebagai:
a.
Bayān al-Taqrir, disebut juga dengan bayān al-Ta’kid dan
bayān al-Iṣbāt. Dalam posisi ini, hadis berfungsi menetapkan
dan memperkuat/memperkokoh apa telah diterangkan dalam
al-Qur-an.
b. Bayān al-Tafsīr. Bahwa kehadiran hadis berfungsi untuk
memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat alQur’an yang masih bersifat global (mujmal), memberikan
persyaratan/batasan (taqyīd) ayat-ayat al-Qur’an yang
bersifat mutlak, dan mengkhususkan (takhisis) terhadap
ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat umum.
c.
Bayān al-Tasyri’, yakni mewujudkan suatu hukum atau
ajaran-ajaran yang tidak secara dijelas terungkap alam alQur’an atau hanya maslah poko-pokok saja yang terungkap
dalam al-Qur’an.145
Adapun al-sunnah dari segi bahasa berarti jalan atau yang
dijalani. Sedangkan dari segi istilah muhaddisun (ahli-ahli hadiṣ)
ialah segala yang dinukilkan dari Nabi Muhammad saw. baik
berupa perkataan, perbuatan maupun taqrīr, pengajaran, sifat,
perilaku, perjalanan hidup Nabi Muhammad saw. sebelum
diangkat menjadi rasul maupun sesudahnya.146 Oleh karena itu,
perbedaan pengertian al-Hadis dan al-asunnah hanya dari segi
waktu. Sehingga yang dikategorikan sebagai al-Hadis terhitung
sejak pelantikan nabi menjadi rasul yaitu ketika berumur 40 tahun
sampai meninggal. Sedangkan al-Sunnah sejak Nabi Muhammad
saw. lahir sampai meninggal. Dalam kaitan dengan pendidikan
144
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadiṡ Nabi (Cet. I;
Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h, 3
145
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Edisi Revisi (Cet. VII: Jakarta: PT
Raja Grapindo Persada, 2011), h. 58-64.
146
Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, op. cit., h. 6-7
| 51
Islam, sunnah Nabi Muhammad saw. banyak yang menjadi dasar
pendidikan Islam, mislanya; mengembala kambing sejak usia
muda, berdagang, perkawinannya dengan hadijah, peletakkan
Hajar Aswad setelah perombakan Ka’bah.147 Dengan demikian,
baik dalam posisi hadis amupun sunnah menjadi sumber
pendidikan Islam setelah al-Qur’an. Rasulullah saw. sebagai
seorang guru dan pendidik. Beliau menggunakan rumah al-Arqam
bin Abī al-Arqam sebagai pusat lembaga pendidikan. Beliau
memanfaatkan tawanan perang untuk mengajarkan tulis baca
kepada umat Islam. Beliau mengirim para sahabat ke berbagai
daerah yang baru memeluk agama Islam,148 karena tugas mereka
selain belajar harus mengajar orang lain, itulah yang ditegaskan
oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya;
.‫أن رسـول اللــه صـل اللــه عـلـيـه وسـلـم قـال خـيـركـم من تـعـلـم الـقـرأن وعـلـمـه‬
‫ وعـلـم الـقـرأن فى‬.‫قـال أبـوا عـبـد الـرحـمـن فـذ اك الـذي أقـعـجـد ني مـقـعـدي هـذا‬
.‫زمـن عـثـمـان حـتى بـلـغ الـحـجـاج بـن يـوســف‬
Artinya:
Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, sebaik-baik kamu
adalah yang belajar dan mengajarkan al-Qur’an. Abu
Abdurrahman inilah yang membuat kedudukanku seperti ini.
Ia mengajar al-Qur’an pada masa khalifah Usman hingga masa
al-Hajjaj bin Yusuf.
147
Setelah hajar Aswad akan ditempatkan kembali pada tempat semula,
maka terjadilah peselisihan di kalangan orang-orang Quraisy yang semuanya
berambisi meletakkan batu itu pada tempat semula. Setelah terjadi perselisihan
yang sangat sengit, Muhammad meminta sehelai kain baru batu itu diletakkan
di atas kain dan semua kabilah diperintahkan mesing-masing memegang sudut
kain lalu mereka bersama-sama mengangkatnya, kemudian Muhammad
mangambil batu tersebut dan meletakkannya pada tempatnya semula. Lihat
Muhammad Husain Haekal Ḥayāt Muḥammad, diterjemahkan oleh Ali Audah
dengan judul Sejarah Hidup Muhammad (Cet. XXX; Jakarta: PT. Mitra Kerjaya
Indonesia, 2006), h. 71
148
Wajidi Sayadi, Hadis Tarbawy Pesan-Pesan Nabi Tentang
Pendidikan (Cet. III; Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2011), h. 16
52 |
Risalah kenabian Rasulullan saw. terdiri dari dua fase,
yaitu fase Makkiyah yang berlangsung selama 13 tahun (610-623
M.), dan pase Madaniyyah yang berlangsung selama 10 tahun
(623-633 M.). Pendidikan yang ditekankan oleh Nabi Muhammad
saw. pada fase Makkiyah adalah keimanan, akhlak dan ibadah.
Sedangkan pendidikan yang ditekankan pada pase Madaniyyah
keimanan, akhlak, ibadah, kesehatan fisik dan kemasyarakatan
(muamalah). Karena itu, materi pendidikan pada masa Rasulullah
melipuati; membaca dan menulis, sastra dan bahasa, sejarah, seni
tempur, hukum dan perundang-undangan dan sosial-politik.149
Dengan demikian, pendidikan yang dikembangkan oleh Rasulullah
saw. melalui dengan hadis beliau tidak hanya meliputi aspek
akidah, ibadah dan muamalah, tetapi juga masalah seni bela diri,
kesehatan jasmani, tehnik peperangan serta cara menguasai suatu
wilayah tertentu.
3. Perbuatan, perkataan dan sikap sahabat (Mazhab Ṣahābi)
Sahabat adalah orang yang hidup bersama dengan Nabi
Muhammad saw. dan mengimani ajarannya dan mati dalam
keadaan Islam. Oleh karena itu, perbuatan, perkataan dan sikap
para sahabat juga menjadi dasar pendidikan Islam selama tidak
bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis/sunnah yang merupakan
dasar normatif pendidikan Islam. Selain dari keduan dasar ini,
posisinya hanya merupakan dasar tambahan, termasuk mazhab
sahabi.
Perkataan dan sikap sahabat yang dapat dijadikan sebagai
dasar pendidikan dalam Islam di antaranya adalah;
a. Pidato Abu Bakar al-Ṣiddiq setelah dilantik menjadi khalifah
sebagai berikut:
“Hai manusia, saya telah diangkat untuk mengendalikan
urusanmu, padahal aku bukan yang terbaik di antara kamu. Jika
aku menjalankan tugasku dengan baik, ikutilah aku, tetapi jika
149
Nanang Gojali, op. cit., h. 225.
| 53
aku berbuat salah, betulkanlah aku, hendaklah kamu taat
kepadaku, selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi
jika aku menjalankan kebijakan yang bertentangan dengan
petunjuk Allah dan Rasul-Nya, maka janganlah kalian mentaati
aku.150
b. Umar bin Khattab terkenal dengan sikapnya jujur, adil, cakap
dan berjiwa demokrasi yang disaksikan dan dirasakan oleh
masyarakat ketika itu, sehinggah dijadikan sebagai panutan.
Sifat-sifat yang dicontohkan oleh Umar, hendaknya dimiliki
oleh seorang pendidik karena di dalamnya terkandung nilai-nilai pedagogis dan keteladanan yang baik untuk ditiru dan
dikembangkan.
c. Usaha-usaha para sahabat dalam pendidikan Islam sangat
menentukan bagi perkembangan pendidilkan Islam hingga
sekarang di antaranya:
1) Abu Bakar melakukan kodefikasi al-Qur’an
2) Umar bin Khattab sebagai bapak reaktuator terhadap
ajaran Islam yang dapat dijadikan sebagai prinsip strategis
pendidikan Islam.
3) Usman bin Affan sebagai bapak pemersatu sistimatika
penulisan
Ilmiah
melalui upaya mempersatukan
sistematika penulisan al-Qur’an
4) Ali bin Abi Thalib sebagai perumus konsep-konsep
pendidikan.151
Salah satu wasiat Ali bin Abi Thalib tentang ilmu:
Ilmu adalah sebaik-baik perbendaharaan. Ringan dibawa,
namun besar manfaatnya. Di tengah-tengah orang banyak
menjadi indah, sedangkan dalam kesendirian ia menghibur.152
150
Jarji Zaidan, Tarikh al-Taddun al-Islami (t.tp. Dār al-Maktabah alHayāt, t.th), h. 67.
151
Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam Analisis Filosofis Sistem
pendidikan Islam (Cet. IV: Jakarta: Radar Jaya Offset, 2015), h. 168-170
54 |
4. Kemaslahatan Umat/sosial (Maṣāil al-Mursalah)
Pada dasarnya tujuan pendidikan adalah untuk
kemaslahatan kehidupan manusia, baik di dunia maupun di akhirat
serta untuk menghindari mafsadah (kerusakan) bagi kehidupan di
dunia dan di akhirat. Karena itu, yang dimaksud Maṣāil alMursalah dalam kaitan dengan pendidikan adalah penetapan
hukum atau undang-undang serta peraturan-peraturan yang
berkaitan dengan pendidikan yang tidak jelas nasnya baik dari alQur’an, hadis mapun dalam mazhab sahābi, namun diyakini ketika
ditarapkan akan memberi dampak positif atau kemaslahatan, dan
ketika diabaikan akan berdampak negatif atau mengakibatkan
kemafsadatan dalam dunia pendidikan. Maṣāil Mursalah harus
dilihat kepentingan secara umum, bukan kepentingan orang
perorangan.
Para ahli pendidik berhak menentukan undang-undang atau
peraturan-peraturan pendidikan Islam sesuai dengan kondisi
lingkungan di mana mereka berada. Ketentuan yang dicetuskan
berdasarkan Maṣāil al-Mursalah paling tidak memiliki tiga
kriteria:
a. Apa yang dicetuskan benar-benar membawa kemaslahatan
dan menolak kemafsadatan setelah melalui tahap observasi
dan analisis yang mendalam; misalnya membuat tanda tamat
(ijazah) dengan foto pemiliknya,
b. Kemaslahan yang diambil merupakan kemaslahatan yang
bersifat universal, yang mencakup seluruh lapisan masyarakat,
tanpa adanya diskriminasi; misalnya, perumusan UndangUndang Sistem Pendidikan Nasional di negara Islam atau di
negara yang mayoritas pendidiknya beragama Islam.
152
Syekh Fadlullah al-Ha’iri, Al-Imām Ali al-Mukhtār min Bayānihī
wa Hikamihī, diterjemahkan oleh Tholib Anis dengan judl “Tanyalah Aku
Sebelum Kau Kehilangan Aku, (Cet. VII; Bandung : Putaka Hidayah, 2009), h.
99.
| 55
c.
Keputusan yang diambil tidak bertentangan dengan nilai
dasar al-Qur’an dan Hadis/sunnah; misalnya perumusan
tujuan pendidikan tidak menyalahi fungsi kehambaan dan
kekhalifaan manusia di muka bumi.153
Tradisi atau Adat Kebiasaan Masyarakat (‘Urf)
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tradisi berarti adat
kebiasaan turun temurun (dari nenek moyang) yang masih
dijalankan dalam masyarakat; penelitian atau anggapan bahwa
cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar.154
Juga dapat berarti segala sesuatu yang biasa dijalankan orang pada
umumnya, baik perbuatan maupun perkataan.155 Atau “kebiasaan
masyarakat, baik berupa perkataan maupun perbuatan yang
dilakukan secara kontinu dan sekan-akan merupakan hukum
tersendiri, sehingga jiwa merasa tenang dalam melakukannya
karena sejalan dengan akal dan diterima oleh tabiat yang
sejahtera.156 Oleh kareba itu, nilai tradisi setiap masyarakat
merupakan realitas yang multi-kompleks dan dialektis. Nilai-nilai
itu mencerminkan kekhasan masyakarat sekaligus sebagai
pengejawantahan nilai-nilai universal manusia. Nilai-nilai tradisi
yang tidak dapat mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan, maka
manusia akan kehilangan martabatnya.157
Dengan demikian, tradisi merupakan suatu kebiasaan yang
dipertahankan secara turun temurun pada suatu masyarakat
tertentu, sekaligus menjadi jati diri mereka, yang membedakannya
5.
153
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, op .cit., h. 41.
154
Departemen Pendidikan Nasional op. cit., h. 1209.
155
A. Djazuli dan Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam
(Cet. I; Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2000), h. 186
156
157
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, op .cit., h. 42
Frans Magnis Suseno, Berfilsafat dan Konteks (Jakarta: Gramedia,
1991), h. 86-87
56 |
dengan masyarakat lainnya, sekalipun mereka memiliki kesamaan
agama, kesamaan ras, bahkan kesamaan negara atau wilayah.
Misalnya, adat perkawinan di Sulawesi berbeda dengan adat
perkawinan di Jawa dan juga berbeda adat perkawinan di Sumatra
dan lain-lain. Namun semua itu memiliki nilai edukasi yang
sangat bermaksna bagi perkembangan anak cucu mereka. Oleh
karena itu, tradisi yang telah mengakar pada suatu masyarakat
dapat dijadikan dasar dalam pendidikan Islam selama tidak
bertentangan dengan akal sehat dan nilai-nilai dasar normatif
pendidikan Islam (al-Qur’an dan hadis/sunnah).
6. Hasil Pemikiran para Ahli dalam Islam (Ijtihād)
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ijtihad adalah usaha
sungguh-sungguh yang dilakukan para ahli agama untuk mencapai
suatu putusan (simpulan) hukum syarak mengenai kasus yang
penyelesaiannya belum tertera dalam al-Qur’an dan Sunnah.158
Menurut Ramayulis, ijtihad adalah “penggunaan akal pikiran oleh
para fuqaha’ Islam untuk menetapkan suatu hukum yang belum
ada ketetapannya dalam al-Qur’an atau hadis dengan syarat-syarat
tertentu”.159 Dalam penggunaannya, ijtihad meliputi seluruh aspek
ajaran Islam termasuk juga aspek pendidikan. Kaitannya dengan
pendidikan, ijtihad terasa sangat diperlukan karena nilai-nilai
pendidikan yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis/Sunnah
hanya berupa prinsip-prinsip pokok saja yang penjabarannya
secara terinci diperlukan kesungguhan dari para pemikir tentang
pengembangan pendidikan, sehingga secara konsepsional dan
oprasional, pendidikan selalu berkembangan seiring dengan
perkembangan dan kebutuhan umat manusia. Misalnya tentang
proses, tujuan, materi dan metode pandidikan, terutama tentang
perubahan kurikulum. Selama ijtihad itu tidak menyalahi nilainilai dasar tujuan pendidikan Islam yakni mengantar manusia
158
Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 418
159
Ramayulis, Filsafat, op. cit., h. 172
| 57
memahami tujuan hidupnya sebagai khalifah Allah swt. untuk
memakmurkan dunia dan sebagai hamba Allah swt. untuk
mengabdi kepada-Nya.
E. Dasar-Dasar Pendidikan Islam
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Dasar memiliki
banyak arti antara lain; 1) tanah yang ada di bawah air, 2) bagian
yang terbawah, 3) lantai rumah, 4) latar (alat yang menjadi alas
gambar, 5) lapisan yang paling bawah, 6) bakat atau pembawaan
sejak lahir, 7) alas atau pondasi, 8) pokok atau pangkal suatu
pendapat.160
Dalam bahasa Arab, kosa kata dasar semakna dengan aṣlun
atau asāsun yang berarti asal, sumber, asas, dasar, basis, fondasi,
kelompok atom dalam proses kimia, keaslian, permulaan
keturunan nasab, naskah asli.161
Dengan demikian, kosakata dasar memiliki beberapa
pengertian yang dapat digunakan sesuai dengan peruntukannya,
baik yang bersifat fisik maupun non fisik. Dalam hal ini, diarahkan
pengertiannya pada yang bersifat non fisik yakni dasar operasional
pendidikan Islam yang oleh Abuddin Nata dengan mengutip
pandangan Hasan Langgulung yang membagi dasar oprasional
pendidikan Islam kepada enam macam, yaitu dasar historis,
sosiologis, ekonomi, politik dan administrasi, psikoloigi dan
filosifis.162 Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakkir menggambarkan
bahwa penetapan dasar operasional pendidikan Islam tersebut
agaknya sekuler, selain tidak memasukkan dasar religius (agama),
juga menjadikan filsafat induk dari segala dasar. Dalam Islam,
160
Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 238
161
Atabik Ali, Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab
Indonesia (Cet. III; Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren
Krapyak, 1996), h. 145.
162
58 |
Abuddin Nata, op. cit., h. 90
dasar oprasional segala sesuatu adalah agama sebab agama
harusnya menjadi roh dari segala aktivitas yang bernuansa
keislaman, termasuk pendidikan, sehingga semua aktivitas
pendidikan akan lebih bermakna dan bernilai ubudiyyah. Oleh
karena itu, dasar operasional pendidikan Islam yang enam tersebut,
perlu ditambah menjadi tujuh yaitu agama,163 yang rinciannya
sebagai berikut;
1. Dasar historis
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, historis berarti; 1)
berkenaan dengan sejarah, bertalian atau ada hubungannya dengan
masa lampau, 2) bersejarah.164 Dengan demikian sejarah
merupakan catatan yang berhubungan dengan kejadian-kejadian
masa silam yang diabadikan dalam laporan-laporan tertulis dan
dalam ruang lingkup yang luas.165 Menurut Abuddin Nata, sejarah
adalah ilmu yang mempelajari tentang berbagai peristiwa masa
lalu, baik dari segi waktu, tempat, pelaku, latar belakang tujuan
dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, yang disusun secara
sistimatik, didukung oleh data dan fakta-fakta yang dapat
dipertanggungjawabkan dan valid.166
Dari beberapa pengertian tentang sejarah, maka dapat
dipahami bahwa sejarah adalah peristiwa masa lalu yang diyakini
kebenarannya,
dapat
dipertanggungjawabkan
dan
ada
hubungannya masa sekarang serta memungkinkan dikembangkan
pada masa yang akan datang. Dengan demikian pendidikan Islam
memiliki nilai-nilai historis atau sejarah, karena pendidikan Islam
telah eksis pada masa Rasulullah saw. dan diteruskan pada masa
sahabat, tabi’īn dan tabi’tabīn sampai sekarang bahkan seterusnya
163
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, op .cit., h. 44
164
Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 405
165
Zuahirini dkk., Sejaran Pendidikan Islam (Cet. XII; Jakarta: Bumi
Aksara, 2013), h. 1-2
166
Abuddin Nata, op. cit., h. 96-97
| 59
sampai akhir zaman. Oleh karena itu, pendidikan Islam yang
tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan kehidupan
umat manusia, seyogianya tidak bisa melepaskan nilai-nilai dasar
pendidikan Islam, demikian pula nilai-nilai yang telah berkembang
pada suatu masyarakat, misalnya suatu masyarat yang telah
memiliki keterampilan atau seni, maka kurikulum harus
menyesuaikan selama tidak bertentang dengan nilai-nilai dasar
pendidikan Islam, sehingga kehadiran pendidikan Islam dirasakan
memberi kontribusi terhadap kehidupan mereka.
2. Dasar sosiologis
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sosiologis,
mengenai sosilogi, bermakna sosiologi yang berarti pengetahuan
atau ilmu tentang sifat, perilaku dan perkembangan masyarakat;
ilmu tentang struktur sosial, proses sosial, dan perubahannya.167
Sosiologi berasal dari kata socious dan logos. Socious berasal dari
bahasa latin yang artinya “teman”, sedangkan logos berasal dari
bahasa Yunani yang artinya “kata, perkataan atau pembicaraan”.
Jadi sosiologi adalah ilmu kemasyarakatan yang mempelajari
hidup bersama dalam masyarakat, dan menyelidiki ikatan-ikatan
antar manusia yang menguasai kehidupan.168
Dengan demikian, ketika berbicara sosiologi tidak bisa
terlepas dari kondisi suatu masyarakat khususnya dari segi
interaksi sosial antara mereka karena tidak ada manusia yang bisa
hidup secara individu, tanpa adanya hubungan atau bantuan dari
manusia lain. Bahkan suatu masyarakat yang hidup dalam suatu
komunitas tertentu tidak mungkin bisa hidup dengan baik tanpa
adanya hubungan dengan masyarakat yang lain. Oleh karena itu,
dalam merumuskan suatu kebijakan tentang pendidikan harus
memperhatikan kebutuhan masyarakat sebagai makhluk yang
167
168
Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 1085-1086.
Abdullah Idi, Sosiologi
RajaGrafindo Persada, 2011), h. 6-7
60 |
Pendidikan (Cet. II; Jakarta: PT
memiliki potensi dasar selalu berinteraksi dengan yang lainnya,
sehingga tujuan pandidikan yang diinginkan tercapai dengan
maksimal, baik dalam posisi mereka sebagai subjek maupun objek
pendidikan. Inilah yang dimaksud Prof. DR. Damsar bahwa
“masyarakat mempengaruhi pendidikan, juga sebaliknya
pendidikan mempengaruhi masyarakat”.169 Pendidikan yang baik
adalah pendidikan yang tidak kehilangan konteks atau tercerubut
dari akar masyarakat. Prestasi pendidikan hampir tidak berguna
jika prestasi itu merusak tatanan masyarakat. Demikian pula,
masyarakat yang baik akan menyelenggarakan format pendidikan
yang baik pula.170
3. Dasar ekonomi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ekonomi berarti, 1)
ilmu mengenai asas-asas produksi, distribusi, dan pemakaian
barang-barang serta kekayaan (keuangan, pendistribusian, dan
perdagangan), 2) pemanfaatan uang, tenaga waktu dan sebagainya.
3) tata kehidupan perekonomian (suatu negara), 4) cak urusan
keuangan rumah tangga (organisasi, negara).171 Oleh karena itu,
dasar ekonomi yang dimaksud adalah dasar yang memberi
perspektef tentang potensi-potensi manusia, keuangan, materi,
persiapan yang mengatur sumber-sumber keuangan dan
bertanggung jawab terhadap anggaran pembelanjaan.172
Dalam kaitan dengan pendidikan, ekonomi memegang
peranan penting. Peningkatan kualitas dan kesejahtraan pendidik,
pembangunan sarana dan prasarana pendidikan bahkan kualitas
peserta didik pun hampir dapat dipastikan tidak akan bisa
terwujud dengan baik, tanpa didukung dengan ekonomi, bahkan di
169
Damsar, Pengantar Sosilogi Pendidikan (Cet. I; Jakarta: Kencana
Prenada Media Gruf, 2011), h. 9
170
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, op .cit., h. 45.
171
Departemen Pendidikan Nasional RI., Kamus Besar, op. cit., h. 287
172
Ramayulis, op. cit., h. 173.
| 61
kalangan masyarakat tertentu, meyakini bahwa semakin mahal
pembayaran biaya sekolah pada suatu lembaga pendidikan,
semakin berkualitas, sekalipun pembayarannya mahal tetap
menjadi rebutan bagi mereka yang mampu. Hal ini menjadi
indikasi bahwa ekonomi menjadi dasar pendidikan. Oleh karena
itu, sebuah lembaga pendidikan dapat bertahan ketika
pengelolanya memiliki kemampuan yang baik, terutama dari segi
keuangannya. Akan tetapi, kemampuan bukan hanya dilihat dari
segi kemampuan mengelola dan mempertanggungjawabkan
keuangan tersebut, tetapi juga mereka harus memperhatikan dari
segi sumbernya, yang dalam bahasa Islam halal, syubhat atau
haram karena segala sesuatu yang bersumber dari syubhat apalagi
kalau haram akan berdampak negatif terhadap proses pelaksanaan
pendidikan. Tidak hanya yang dimaksudkan kepada pengelola
pendidikan, tetapi juga orang tua agar berhati-hati tentang sumber
pembiayaah anak-anaknya agar menghindari sumber-sumber yang
tidak jelas kehalalannya.
4. Dasar politik dan administrasi
Politik berasal dari bahasa Yunani, polis yang artinya
negara-kota, Pada masa Yunani, dalam negara kota, setiap orang
saling berinteraksi satu sama lain untuk mencapai kesejahtraan
hidupnya. Saat manusia berusaha untuk menentukan posisinya
dalam masyarakat, ia berusaha meraih kesejateraan pribadi melalui
sumber yang ada, atau berupaya mempengaruhi orang lain agar
menerima pendapatnya.173
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, Politik berarti 1)
pengetahuan mengenai ketatanegaraan (sistem pemerintahan,
dasar pemerintahan); bersekolah diakademi, 2) segala urusan dan
tindakan (kebijaksaan, siasat) mengenai pemerintahan negara atau
terhadap negara lain, 3) cara bertindak (dalam menghadapi atau
173
Muslim Mufti, Teori-Teori Politik (Cet. I; Bandung: CV Pustaka
Setia, 2013), 17
62 |
menangani suatu masalah).174 Sedangan kosakata adminstrasi
berarti; 1) usaha dan kegiatan yang meliputi penetapan tujuan
serta penetapan cara-cara penyelenggaraan pembinaan organisasi,
2) usaha dan kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan
kebijakan untuk mencapai tujuan, 3) kegiatan yang berkaitan
dengan penyelenggaraan pemerintahan, 4) kegiatan kantor dan tata
usaha.175
Dengan demikian, dasar pilitik menjadi salah satu dasar
pendidikan Islam, karena salah satu tujuan pendidikan adalah
mengantar manusia memperolah kesejahtreaan hidup, baik secara
kelompok mapun individu melalui dengan tatanan atau aturan
yang telah disepakati, dan dalam bingkai ideologi (akidah) dasar
yang digunakan sebagai tempat bertolak untuk mencapai tujuan
yang dicita-citakan dan rencana yang telah dibuat.176 Dasar politik
juga untuk menentukan kebijakan umum dalam rangka mencapai
kemaslahatan bersama, bukan kemaslahatan untuk golongan dan
kelompok tertentu.177 Dasar Administrasi juga sangat penting bagi
pengembangan pendidikan, karena sebuah lembaga pendidikan
yang dikelola dengan sistem admintrasi yang baik akan
memudahkan mengontrol pelaksanaan proses belajar mengajar,
kinerja pendidik, peserta didik dan karyawan menjadi lebih tertata,
dan disiplin, sehingga proses belajar mengajar lebih lancar dan
saran yang ingin dicapai menjadi nayata, dan semua data dapat
dipertanggung jawabkan. Itulah sebabnya dalam Islam sistem
administrasi atau pencatatan menjadi penting, sehingga Allah swt.
menyatakan apabila terjadi perjanjian atau utang piutang di
174
175
Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 886
Ibid., h. 9
176
Ramayulis, lo. cit.
177
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, op .cit., h. 46.
| 63
kalangan umat manusia pada waktu yang ditentukan, mereka
diperintahkan agar menulisnya.178
5. Dasar psikologis
Psikologi berasal dari bahasa Yunani psyche yang artinya
jiwa dan logos yang artinya ilmu. Dari kedua kata tersebut,
psikologi diartikan sebagai ilmu jiwa. 179 Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, psikologis berkaitan dengan psikologi yakni
ilmu yang berkaitan dengan proses mental, bersifat kejiwaan.180
Dengan demikian, dasar psikologi dalam pendidikan menjadi
sangat penting, karena dalam proses pendidikan kejiwaan
seseorang menjadi penentu keberhasilannya, baik dalam posisinya
sebagai pendidik maupun peserta didik. Seorang pendidik harus
memahami benar kondisi kejiwaannya maupun kejiwaan peserta
didiknya, sebagai dasar untuk menentukan kebijakan, baik dalam
penerapan metode pembelajaran, penetapan kurikulum, menyusun
buku teks dan buku pegangan guru, mengatur kegiatan kokurikuler
dan sebagainya.Oleh karena itu, menurut Abdul Mujib dan Jusuf
Muzakki dasar psikologis adalah dasar yang memberikan informasi
tentang bakat, minat, watak, karakter, motivasi dan inovasi
peserta didik, pendidik, tenaga administrasi dan sumber tenaga
manusia lainnya, agar mereka mampu meningkatkan prestasi dan
komptensi dengan cara yang baik dan sehat, sehingga tercapai
suasana batin yang damai dan tenang di lingkungan pendidikan,
yang pada akhirnya akan berkontribusi terhadap pengembangan
sebuah lembaga pendidikan.181
178
QS. Al-Baqarah/2: 282.
179
Purwa Atmaja Prawira, Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Baru
(Cet. I; Jokjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), h. 14.
64 |
180
Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 901.
181
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, lo. cit.
6. Dasar filsafat
Filsafat berasal dari bahasa Yunani philosophia, terdiri
dari dua kata yakni philos yang berarti cinta atau suka, kata sophia
yang berarti bijksana. Oleh karena itu, philosophia secara
etimologi berarti cinta kepada kebijaksanaan. Orangnya disebut
dengan philosophier,182 yang oleh Fuād al-Ahwānī diistilahkan
dengan falosuf.183 Filsafat merupakan induk dari segala ilmu
pengetahuan termasuk ilmu pendidikan, sehingga filsafat dan
pendidikan memiliki keterkaitan fungsional yang melahirkan
istilah filsafat pendidikan Islam. Pendidikan merupakan sebuah
proses yang berkembangan bersama dengan perkembangan yang
berlangsung dalam kehidupan manusia yang secara khusus
berkaitan peningkatan kualitas umat manusia memerlukan
pemikiran yang runtut, sistimatis, universal dan radikal dan
spekulatif yang merupakan bagian dari cara berpikir filosofis. Oleh
karena itu, gagasan-gagasan yang dihasilkan oleh pemikiran
filosofis ikut membantu lahirnya berbagai teori dalam pendidikan
Islam.184 Filsafat dan pendidikan memiliki objek kajian material
yang sama seperti halnya dengan ilmu-ilmu lain, yakni semua yang
ada maupun yang akan ada yang pada garis besarnya meliputi,
Tuhan, manusia dan alam, hanya berbeda dari objek formalnya,
karena objek formal hanya dimiliki oleh filsafat, 185 karena filsafat
ingin menggali sesuatu sedalam-dalamnya, sampai menemukan
hakikat sesuatu.
182
Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika Suatu Pengantar
(Bandung: Yayasan Piara, 1997), h. 1
183
Muhammad Fuād al-Ahwānī, al-Falsafat al-Islāmiyah (Qairo: Dār
al-Qalam, t.th.), h. 19
184
Jalaluddin, Filsafat Pendidikan Islam Telaah
Pemikirannya (Cet. II; Jakarta: Kalam Mulia, 2012), h. 52
Sejarah
dan
185
Asmoro Ahmad, Filsafat Umum (Cet. IV; Jakarta: PT. Raja
Grapindo, 2012), h. 9
| 65
Tuhan sebagai objek filsafat, sehingga kajian-kajian Tuhan
terutama dari segi sifat-sifat dan perbuatannya-Nya serta
hubungannya dengan sifat-sifat-saifat dan perbuatan manusia.
Juga diurai sifat-sifat kesempurnaan dan kemustahilannya bersifat
dengan segala sifat-sifat kekurangan. Sifat-sifat Allah swt.
seharusnya diimplentasikan oleh guru dan murid sesui dengan
kesanggupannya masing-masing.
Selain Tuhan, filsafat juga mengkaji tentang alam raya
yang beranekaragam sebagi bukti tentang adanya Allah swt. Yang
Maha Kuasa Pencipta segala sesuatu. Kajian filsafat seperti ini
merupakan kajian yang haras dipelajari oleh setiap manusia, agar
setiap melihat alam yang berneka ragam ini, berimplikasi terhadap
pemahaman dan keyakinan mereka terhadap kemaha besaran Allah
swt.
Dalam kaitan dengan manusia, filsafat membahas
eksistensi dan esensi manusia sebagai makhluk Allah swt. yang
paling sempurna, terdiri dari dua unsur, yakni unsur jasmani dan
rohani, serta berbagai potensi, bakat dan kecenderungannya serta
memiliki sifat kehilafan dan kesalahan dan kekurangan. Tugas
utama manusia adalah menjadi khalifah di muka bumi dalam
rangka berbakti kepada Allah swt. agar tugas kekhalifaan terwujud
dengan baik, maka manusia harus dididik dengan baik pula, yakni
dibina jasmani dan rohani, potensi bakat dan kecenderungan.186
7. Dasar religius
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, religius berarti
bersifat religi, bersifat keagamaan, yang bersangkut paut dengan
religi.187 Dalam bahasa Inggris disebut dengan religious yang
artinya 1) sesuatu yang berhubungan dengan agama, beragama,
66 |
186
Abuddin Nata, op. cit., h. 92-93
187
Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 944
beriman, instrumen pelajaran agama, 2) saleh.188 Dalam bahasa
Arab disebut dengan al-Dīn berasal dari data dayana, yadinu
berakar kata dari huruf dal, ya dan nun. Yang artinya ketundukan,
kerendahan hati dan ketaatan.189
Dari beberapa pengertian tentang religius dan yang
semakna dengannya, dipahami bahwa demikian pentingnya nilainilai agama mendasari semua dimensi pendidikan, sehingga dapat
mengantar mereka memahami tujuan hidup mereka yakni untuk
beribadah,190 sekaligus menjadi pemakmur di muka bumi ini. 191
Oleh karena itu, Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, mengatakan
dasar religius adalah dasar yang diturunkan dari ajaran agama.
Dasar ini menjadi penting dalam pendidikan Islam, sebab dengan
dasar ini, maka semua kegiatan pendidikan jadi bermakna.192
Kehadiran agama pada diri seseorang ataupun pada suatu
kelompok masyarakat, senantiasa mendampingi mereka dalam
menghadapi berbagai masalah yang dihadapi setiap saat, antara
lain; masalah sosial, ekonomi, politik budaya, ilmu
pengetahuan.193 Oleh karena itu, M. Quraish Shihab
mengemukakan bahwa “dalam hubungan dengan pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, agama sesungguhnya sangat
berperan terutama kalau manusia ingin jadi manusia”.194 Hal ini
188
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggeri Indonesia (Cet.
XXIV; Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 476.
189
Abī al-Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, op. cit., Jilid II, h.
190
QS. Al-Zāryāt/51: 56
191
QS. Hūd/11: 61
192
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, op .cit., h. 47
319
193
Abuddin Nata, Urgensi Pendidikan Agama di Era Globalisasi dalam
buku Kamaruddin Hidaya dkk., Mereka Bicara Pendidikan Islam Sebuah Bunga
Rampai (Cet. I; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), h. 54.
194
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudu’i atas
Pelbagai Persoalan Umat (Cet. III; Bandung: Mizan, 1996), h. 377.
| 67
mengisyaratkan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi tidak
bermakna dalam kehidupan ini apabila tidak didasari dengan nilainilai agama. Boleh jadi dengan ilmu pengetahuan dan teknologi itu
menjadikan manusia sombong dan takabbur, bahkan lupa terhadap
pemilik yang sesungguhnya ilmu pengetahuan dan teknologi itu,
yakni Allah swt.
F. Landasan Pendidikan Islam
1. Tauhid
Term Tauhid berasal dari bahasa Arab tauhīdun berasal
dari fi’il al-mādi rubā’ī waḥḥada dari fi’il al-mādi ṣulāṣi yaitu
waḥada berakar kata dari huruf wau, ha dan dal yang berarti
almunfaridu (sendirian).195 Dalam Kamus Bahasa Indonesia,
tauhid berarti keesaan Allah: kuat-nya, kuat kepercayaannya
bahwa Allah swt. hanya satu.196 atauamengesakan Allah swt.197
Kemudian berkembangan menjadi Ilmu Tauhid yang berarti ilmu
yang membahas segala kepercayaan keagamaan dengan
menggunakan dalil-dalil yang meyakinkan, yang menurut Syekh
Muhammad Jamaluddin rahasia dan ruh ilmu tauhid yaitu
menetapkan keimanan kepada Allah swt., yakni meyakinkan
dalam hati akan wujud keesaan Allah swt., berikut sifat-sifat
kemuliaannya.198 Tugas manusia memahami dan meyakini serta
mengaplikasikan makna tauhid tersebut dalam kehidupan seharihari sehingga apa pun yang dilakukan selalu berlandaskan dan
bertujuan dengan nilai-nilai tauhid, termasuk kegiatan pendidikan
yang menjadi dasar utama untuk mengembangkan potensi diri
195
Abī al-Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, op. cit., Jilid VI, h. 90
196
Departemen Pendidikan Nasional., op. cit., h. 1149
197
M. Amin Rais, Cakrawala Islam antara Cita dan Fakta (Bandung;
Mizan, 1991), h. 13
198
Syekh Muhammad Jamaluddin al-Dārimī al-Dimisykī, Dalīl al-
Tauhīd (Cet. I; Qairo: Maktabah al-Ṡiqāfah al-Diniyyah, 1986), h. 12
68 |
manusia, yang menurut para ahli ilmu jiwa di dalam jiwa manusia
terdapat enam rasa/potensi yang harus dikembangkan, yaitu;
agama, intelektual, sosial, susila, harga diri dan seni.199 Menurut
M. Quraish Shihab, terdapat empat daya dalam diri manusia.
Pertama, daya tubuh yang mengantarkan manusia berkekuatan
fisik. Organ tubuh dan pancaindera berasal dari daya ini. Kedua,
daya hidup yang menjadikannya memiliki kemampuan
mengembangkan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan serta
mempertahankan hidupnya dalam menghadapi tantangan. Ketiga,
daya akal yang memungkinkan memiliki ilmu pengetahuan dan
teknologi. Keempat, daya kalbu yang memungkinkanya bermoral,
merasakan keindahan, kelezatan, dan kehadiran Allah swt.200
Potensi dan daya tersebut akan berfungsi dan berkembang
apabila diarahkan dengan berbagai usaha, salah satunya adalah
pendidikan yang berlandaskan dengan tauhid. Ketika pendidikan
tidak berlandaskan dengan nilai-nilai tauhid, pendidikan akan
melahirkan peserta didik yang sombong, congkak dan takabbur.
Oleh karena itu, pendidikan seharusnya tidak hanya diarahkan
kepada pembentukan manusia yang cerdas secara intelektual,
tetapi juga cerdas spritualnya, terutama keyakinannya terhadap ke
Maha Besaran, ke Maha Kuasaan serta ke Maha Agungan Allah
swt. Hal ini diperoleh seseorang ketika memahami dengan
sungguh-sungguh makna ketauhidan itu kepada Allah swt. Oleh
karena itu, Muhammad Fazlur Rahman Ansari seperti yang dikutip
oleh Ramayulis, bahwa tauhid sebagai falsafah dan pandangan
hidup umat Islam meliputi konsep ketuhidan Allah swt., ketuhidan
alam semesta, dalam hubungan Allah swt. dengan kosmos,
ketauhidan kehidupan, ketauhidan natural dan supranatural,
199
Syahminan Zaini dan Anton Kusuma Seta, Ciri Khas Manusia (Cet.
I; Jakarta Kalam Mulia, 1986), h. 38.
200
M. Quraish Shihab, Lentera Hati Kisah dan Hikmah Kehdupan (Cet.
I; Bandung: Mizan, 1994), h. 123-133.
| 69
ketauhidan pengetahuan, ketauhidan iman dan rasio, ketauhidan
kebenaran, ketauhidan agama, ketauhidan cita dan hukum,
ketauhidan umat, ketauhidan jenis laki-laki den perempuan,
ketauhidan kepribadian manusia, ketauhidan kebebasan dan
diterminisme, ketauhidan dalam trerm politik, ketauhidan dalam
kehidupan sosial, ketauhidan negara dan agama, ketauhidan dalam
term ekonomi, ketauhidan dalam pendidikan, ketauhidan dalam
dasar kebudayaan dan ketauhidan dalam dasar satu cita satu
ideal.201
Tauhid merupakan landasan pendidikan dalam arti semua
aktivitas manusia, baik aktivitas yang berorentasi kepada
kemaslahatan hidup di dunia, yakni membangun tatanan
kehidupan sebagai khalifah dan pemakmur di atas parsada bumi
ini, maupun aktivitas yang berorientasi kepada kemaslahatan
hidup di akhirat yakni ibadah kepada Allah swt. Agar pendidikan
benar-benar berlandaskan pendidikan, maka tauhid harus dilihat
dari dua segi, yakni; 1) Tauhid yang berorientasi pada keyakinan
bahwa Allah swt. sebagai pencipta, pengatur dan pemelihara alam
semesta ini yang dikenal dengan tauhid al-Rububiyyah. Sehingga
apapun wujud kreativitas manusia, baik dalam posisinya sebagai
pencipta,
misalnya
menciptakan
kendaraan,
mengatur
pemakaiannya, memelihara perawatannya, tidak terlepas dari
postur manusia sebagai khalifah Allah swt. 2) Tauhid yang
beroientasi pada keyakinan manusia terhadap Allah swt. sebagai
satu-satunya dzat yang wajib disembah dan dimintai
pertolongan.202 Ketauhidan seperti menggiring menusia meyakini
bahwa segala bentuk penyembahan dan permohonan harapan
selain tertuju kepada Allah swt. adalah keyakinan yang tidak benar
dan sama sekali tidak memberi dampak positif bagi kehidupan
manusia. Oleh karena itu, Allah swt. memerintahkan Nabi
70 |
201
Ramayulis, Filsafat, op. cit., h. 174
202
QS. Al-Fātiḥa/1: 5
Muhammad saw. agar mengajak umat manusia ke jalan Allah swt.
(ajaran tauhid) dengan keterangan yang jelas, serta mensucikan
Allah swt. dari segala bentuk kemusyrikan.203
2. Akhlak/moral
Term akhlak berasal dari bahasa Arab akhlāqun bentuk
jama’ dari kata mufradnya al-khuluku yang berarti tabiat, budi
pekerti dan kebiasaan.204 Dalam bahasa Inggris dikenal dengan
moral.205 Menurut Ibnu Miskawaihi Akhlak adalah
206
‫الـخــلـق حـال للــنــفـس داعــيــة لـهـا إلي أفـعــالـهـا من غـيـر فــكــر والرويـــة‬
Artinya:
Kondisi dasar seseorang yang memotivasi untuk melakukan
suatu perbuatan tanpa pemikiran dan perencanaan.
Dari keterangan di atas, dipahami bahwa yang dimaksud
akhlak oleh Ibnu Miskawaihi adalah tabiat seseorang yang sudah
menjadi kebiasaan baginya, sehingga ketika mewujudkannya tidak
memerlukan pemikiran dan perencanaan, misalnya seseorang yang
menyedekahkan sebagian hartanya, lalu kegitan itu tidak berulangulang dilakukan, maka yang bersangkutan tidak boleh
dikategorikan sebagai darmawan yang merupakan bagian dari
akhlak terpuji, kecuali kalau sifat kedermawanan itu sudah
menjadi kebiasaan baginya dan dilakukan secara berulang-ulang.
Akhlak yang dimaksud adalah; 1) akhlak terhadap Allah
swt. dalam bentuk ibadah, 2) akhlak terhadap sesama manusia
dalam bentuk muamalah, 3) akhlak terhadap makhluk selain umat
manusia dalam bentuk kasih sayang. Oleh karena itu, seseorang
akan dianggap berakhlak ketika yang bersangkutan mampu
203
QS. Yusuf/12: 108
204
Ahmad Warson Munawwir, op. cit., h. 393
205
John M. Echols dan Hassan Shadily, op. cit.,, h. 385
206
Abī ‘Alī Ahmad bin Muhammad bin Miskawaih, Tahzib al-Akhlāq
wa taṭhīr al-A’rāqi (t.kt), h. 18
| 71
mengintegrasikan ketiga pembagian akhlak tersebut yang
dilakukan dengan kesadaran, tanpa adanya motivasi dari pihak
mana pun dan dilakukan secara berulang-ulang.
Setiap manusia pada dasarnya memiliki potensi memahami
dan mewujudkan ketiga akhlak tersebut dalam kehidupannya,
tetapi boleh jadi faktor internal (dari dalam dirinya sendiri) atau
eksternal (lingkungan) yang menyebabkan potensi tersebut tidak
berkembang, sehingga yang bersangkutan tidak dapat diketgorikan
sebagai orang yang berakhlak baik. Sekalipun kecenderungan
manusia kepada kebaikan memiliki kesamaan konsep-konsep
akhlak pada setiap peradaban dan zaman. Kalau terjadi perbedaan,
disebabkan penerapan atau pengertian yang tidak sempurna
terhadap konsep akhlak yang diistilahkan ma’ruf dalam al-Qur’an.
Tidak ada peradaban yang menganggap baik kebohongan,
penipuan, keangkuhan dan tidak ada manusia yang menilai bahwa
penghormatan kepada kedua orang tua adalah buruk, sekalipun
cara penghormatan kepada keduanya berbeda-beda antara satu
masyarakat pada generasi tertentu dengan masyarakat pada
generasi yang lain.207
Secara teoretis, konsep tersebut merupakan konsep yang
sangat ideal dan memiliki dampak positif bagi kehidupan umat
manusia, tetapi tidak semua manusia memiliki strategi untuk
mewujudkannya dalam kehidupan mereka. Salah satu strategi
yang dimaksud adalah penguatan pendidikan yang berlandaskan
akhlak. Ketika pendidikan tidak berlandaskan akhlak, maka boleh
jadi akan melahirkan manusia-manusia yang congkak, sombong
dan takabbur.
207
72 |
M. Quraish Shihab, Wawasan op. cit., h. 255
A.
Tujuan Pendidikan Qur’ani
Berangkat dari tujuan pendidikan Islam seperti yang
penulis kemukakan pada bab sebelumnya, maka tujuan pendidikan
qurani sebagai bagian dari pendidikan Islam itu sendiri yang
menjadikan al-Qur’an sebagai inspirasi normatifnya tidak terlepas
dari pembentukan manusia seutuhanya yakni sehat jasmani dan
rohani, memahami tugasnya sebagai hamba dari Allah swt. dan
memahami fungsinya sebagai makhluk sosial, serta memahami
peranannya sebagai makhluk yang harus menjaga kelestarain
lingkungan hidup. Oleh karena itu, dalam al-Qur’an ditemukan
beberapa tujuan pendidikan antara lain:
1. Peningkatan ketauhidan kepada Allah swt.
Tauhid adalah berasal ari bahasa Arab ‫ تـوحــيــدا‬,‫ يـوحــد‬,‫وحــد‬
(wahhada, yuwahhidu, tauhidan yang berati mengesakan,
mengimani bahwa tiada Tuhan selain Allah swt., mempersatukan,
menyatukan. Kemudian dalam bentu Ism al-Masdar-nya
(tauhidan) berarti keyakinan atas keesaan Allah.208 Oleh karena
208
Ahmad Warson Munawwir, op. cit., h. 1646-1647
| 73
itu, pendidikan hendaknya diarahkan peserta didik untuk
memahami dan meyakini keesaan Allah swt. sebagaimana firmanNya dalam QS. Ali Imran/3: 2 sebagai berikut:
        
Terjemahnya:
Allah, tidak ada Tuhan selain Dia. Yang Mahahidup. Yang
terus menerus mengurus (makhluk-Nya).209
Term ilāh berakar kata dari huruf hamzah, lam dan ha
berarti sembahan. Kalau dikaitkan dengan Allah swt.
menunjukkan bahwa Dialah yang berhak disembah.210 Term alhayyu berarti memiliki sifat hidup. 211 Bila dikaitkan dengan Allah
swt., diartikan dengan Maha Hidup. Term al-Qayūm berasal dari
kata qawama, berakar kata dari huruf qaf, wau dan mim yang
mengandung pengertian terlaksananya sesuatu dengan sempurna.
Allah swt. dinamakan Qayyum karena Dia yang mengatur segala
sesuatu yang merupakan kebutuhan makhluk, sehingga terlaksana
secara sempurna dan berkesinambungan.212
Dengan demikian, ayat tersebut memberi pemahaman
bahwa Allah swt. adalah Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan selain
Dia, Yang Maha Hidup tidak berawal dan tidak berakhir (mati),
Yang Maha Kuasa, kekuasaan-Nya meliputi segala yang ada. Oleh
karena itu, Dialah yang berhak disembah dimintai pertolongan
segala kebutuhan. Keyakinan seperti ini, harus menjadi tujuan
utama dalam proses pendidikan, sehingga nantinya setiap anak
didik memiliki bekal untuk tidak bersifat angkuh dan takabbur
209
Depertemen Agama RI., op. cit., h. 62
210
Abī al-Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, op. cit., Jilid I, h.,
211
M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 5
127
212
74 |
Ibid., h. 6
karena pristasi dan pristise yang dimilikinya kelak setelah
memperoleh ilmu pengetahuan.
2. Peningkatan keyakinan terhadap kebenaran agama Islam.
Ajaran Islam meyakinkan kepada pemeluknya bahwa
adalah suatu kealfaan ketika seseorang yang mencari agama selain
Islam. Sebagaimana firman-Nya dalam QS. Ali-Imran/3: 19
sebagai berikut:
     
    
     

               
 
Terjemahnya:
Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah
berselisih orang-orang yang diberi kitab, kecuali setelah
mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara
mereka. Barang siapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka
sungguh Allah sangat cepat perhitungan-Nya.213
Term al-Dīn memiliki beberapa pengertian, antara lain;
ketundukan, ketaatan, perhitungan, balasan, dan agama.
Sedangkan term al-Islām menurut asy-Sya’rawi seperti yang
dikutip oleh M. Quraish Shihab, bahwa pengertian Islam tidak
terbatas hanya risalah yang dibawah oleh Muhammad saw. Tetapi
Islam adalah ketundukan makhluk kepada Tuhan Yang Maha Esa
dalam ajaran yang dibawa oleh para rasul. Hanya saja, kata Islam
untuk ajaran para nabi sebelum Muhammad saw. merupakan sifat,
sedangkan umat Nabi Muhamamd saw. Memiliki keistimewaan
213
Depertemen Agama RI., op. cit., h. 65
| 75
dari segi kesinambungan sifat bagi agama umat Muhmmad
sekaligus menjadi tanda dan nama baginya.214
Menurut Ibnu Kastir bahwa yang dimaksud potongan ayat
inna al-Dīn ‘indallahi al-Islām (tidak ada agama yang diterima di
sisi Allah swt. kecuali agama Islam), yaitu tidak ada di sisi-Nya
yang diterima kecuali agama Islam yang merupakan agama oleh
para rasul yang diutus oleh Allah swt. sampai ajaran mereka
ditutup dengan kedatangan Muhammad saw. Dengan kehadiran
beliau semua ajaran atau syariat yang berbeda dengan syariat Nabi
Muhammad saw. beliau, tidak akan diterima di sisi Allah swt. 215
Dari keterangan di atas, dipahami bahwa semua agama
yang dibawa oleh para rasul pada dasarnya adalah Islam dalam arti
mengandung makna keselamatan, penyerahan diri dan
ketundukkan kepada yang menciptakannya, karena semua agama
mengandung ajaran tauhid. Tetapi makna Islam pada ajaran
mereka hanya sebatas sifat, bukan nama sebagai agama. Apalagi
kalau ditelusuri aya-ayat dalam al-Qur’an tidak ada yang
ditemukan kata Islam yang menunjuk kepada suatu agama kecuali
yang menyangkut tentang kesempurnaan ajaran Muhammad saw.
Karena itu menurut M. Quraish Shihab, bukanlah suatu kekeliruan
jika kata Islam pada ayat tersebut dipahami sebagai ajaran yang
dibawa oleh Nabi Muhammad saw. karena baik dari segi agama
maupun sosilogi, itulah nama yang disampaikan oleh Nabi
Muhammad saw. sehingga siapapun yang mendengar ayat ini
dituntut menganut ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad
saw., walaupun semua ajaran yang dibawa oleh para rasul sebelum
Nabi Muhammad saw. adalah Islam, sehingga siapa pun yang tidak
menganut ajaran yang dibawa oleh para rasul yang diutus kepada
mereka, maka Allah swt. tidak akan menerimanya, seperti halnya
214
M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 40-41
215
Abī al-Fidāi Ismā’il ibn Kaṡir al-Qurasyī sl-Dimisyqī, Tafsir al-
Qur’an al-Aẓīm, Juz I (Mesir: Dār al-Kutub, t.th.), h. 354.
76 |
dengan umat Nabi Muhammad saw. tidak diterima agamanya
kecuali agama Islam yang dibawa dan diajarkan oleh oleh Nabi
Muhammad saw. sebagaimana firman Allah swt. dalam QS. Ali
Imran/3: 85 sebagai berikut:
   
        
      
Terjemahnya:
Dan barang siapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan
diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.216
Dari ayat di atas, dipahami bahwa siapa pun yang mencari
agama setelah kehadiran Nabi Muhammad saw. selain agama yang
diajarkan oleh beliau yakni Islam, tidak akan diterima oleh Allah
swt. Karena itu, makna al-Islām pada kedua ayat di atas, sebagai
nama sebuah agama adalah agama yang dibawa oleh Nabi
Muhammad saw. dan berlaku sepanjang zaman. Walau diyakini
bahwa semua agama yang datang sebulum Nabi Muhammad saw.
juga dari segi pemaknaan mengandung makna Islam dan
berimplikasi kepada ajaran tauhid, tetapi kebenarannya berlaku
hanya sebatas setiap kurung waktu masing-masing para rasul-Nya.
Salah satu tujuan pendidikan Islam, adalah terwujudnya
manusia-manusia yang memperjuangkan keselamatan, ketaatan
dan ketundukkan kepada khaliknya, yang dilandasi dengan
keyakinan tentang kebenaran ajaran agama yang dibawah oleh
Nabi Muhammas saw. yakni agama Islam, yang menangkal seluruh
kebenaran agama yang datang sebelumnya.
3. Memotivasi untuk beribadah
Term ibadah berasal dari bahasa Arab yakni ‘abada yang
berarti beribadah, menyembah, mengabdi.217 Juga berarti
menundukkan diri atau menampakkan kehinaan atau kerendahan
216
Depertemen Agama RI., op. cit., h. 76.
217
Ahmad Warson Munawwir, op. cit., h. 951
| 77
hati.218 Oleh karena itu, seorang hamba yang menyembah, pada
dasarnya, menunjukkan kelemahan dan kerendahan diri serta
ketundukkanya kepadaTuhannya. Sekaligus bentuk pernyataan
sikap untuk selalu melaksanakan perintah dan menjauhi laranganNya. Itulah sebabnya Nabi Isā setelah menyampaikan kepada Banī
Isrāīl tentang tugas-tugas yang diembangkan oleh Allah swt.
kepadanya, di antaranya membenarkan Taurat,219 dan
menghalalkan sebagian yang telah diharamkan dalam kitab Taurat,
membawa mi’jizat,220 maka bertakwalah kepada-Nya dan taatilah
aku. Kemudian beliau mengedukasi Bani Israil dengan menyatakan
bahwa yang harus disembah adalah Tuhan kita yakni Allah swt.,
sebagaimana firman Allah swt. dalam QS. Ali ‘Imrān/3: 51.
  
    
    
Terjemahnya;
Sesungguhnya Allah itu Tuhanku dan Tuhanmu, karena itu
sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus.221
Ayat ini, merupakan penyampaian Nabi Isa kepada
kaumnya, bahwa Allah swt. adalah Tuhan mereka bersama-sama
yang harus disembah, dengan pernyataan keesaan Allah swt. dan
pengakuan bahwasanya Allah swt. itu adalah Tuhan semesta,
218
Tim Penyusun, Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosa kata, jilid I
(Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 323
219
Kitab yang diturunkan kepada Nabi Musa yang turun sekitar 1975
sebelum kelahiran Nabi Isa. M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 98
220
Sesuatu yang diberikan kepada dan tidak diberikan kepada yang
lainnya. Mu’jizat Nabi Isā adalah menyembuhkan orang buta yang sejak lahir,
sehingga dapat melihat denga normal, dan menyembuhkan penyakit buta, serta
menghidupkan orang mati yakni yang telah berpisah roh dan jazadnya dengan
izin Allah. Lhat Ibid., h. 96
221
78 |
Depertemen Agama RI., op. cit., h. 71
karena itu sembahlah Dia.222 Penyampaian Nabi Isa, merupakan
sebuah pernyataan sikap yang sungguh-sungguh bahwa dia bukan
Tuhan, dan karenanya dia tidak berhak disembah, yang berhak
disembah adalah Allah swt. dan dia juga akan menyembah-Nya.
Penyembahan kepada Allah swt. dengan keyakinan
Tauhidullah mengesakan Allah swt. memerlukan proses yang
cukup dinamis karena pembentukan keyakinan dan ketaatan
beribadah seseorang bisa terbentuk dari pengaruh lingkungan
serta pemahaman terhadap agama. Itulah sebabnya pendidikan
ibadah harusnya diajarkan dalam semua bentuk pendidikan, yakni
pendidikan formal, informal dan nonformal serta semua jenjang
pendidikan, yakni pendidikan TK/TPA sampai perguruan tinggi.
Demikian pentingnya pendidikan ibadah bagi umat
manusia, karena salah satu tujuan penciptaan mereka adalah untuk
beribadah kepada Allah swt. sebagaimana yang dijelaskan oleah
Allah swt. dalam QS. Al-Żāriyāt/51: 56
       
Terjemahnya:
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar
mereka beribadah kepada-Ku.223
Term liya’budū pada ayat ini adalah bentuk fi’il muḍari’
yang didahului dengan lam al-‘aqibah yang berarti kesudahan atau
dampak dari sesuatu. Oleh karena itu, ibadah bukan sekedar
ketaatan dan ketundukan, tetapi harus dibarengi rasa kekaguman
dalam jiwa seseorang terhadap yang dia sembah, sebagai pemilik
kekuasaan yang tidak terjangkau arti hakikatnya.
222
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid I (Jakarta:
Lentera Abadi, 2010), h. 513.
223
Depertemen Agama RI., op. cit., h. 756.
| 79
Ibadah terdiri dari ibadah maḥḍah (murni) dan ibadah
ghairu maḥḍah (tidak murni). Ibadah maḥḍah adalah ibadah yang
telah ditentukan oleh bentuk, kadar dan waktunya seperti shalat,
zakat, puasa dan haji. Ibadah ghairu maḥḍah segala aktivitas yang
dilakukan oleh manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.
224
Dari ayat ini dipahami bahwa salah satu tujuan penciptaan
manusia adalah untuk beribadah kepada Allah swt. Ibadah yang
dimaksud adalah segala aktivitas manusia yang dilakukan dengan
ikhlas karena Allah swt. Sebagai upaya untuk mendekatkan diri
kepada-Nya demi memperoleh ridhah-Nya.
4. Memahami makna dan hakikat kekuasaan
Istilah kekuasaan berasal dari kata kuasa, mendapat awalan
ke dan akhiran an memiliki arti; 1) kuasa (mengurus, memerintah
dsb.) 2) kemampuan, kesanggupan. 3) daerah (tempat yang
dikuasai), 4) kemampuan orang atau golongan untuk menguasai
orang atau golongan lain berdasarkan kewibawaan, wewenang,
kharisma, atau kekuatan fisik, 5) hak, fungsi menciptakan dan
memantapkan (keadilan) serta mencegah dan menindak
ketidakdamaian dan ketidakadilan.225
Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa
kekuasaan pada dasarnya berarti kemampuan, kewenangan dan
pengaruh. Apabila ketiga unsur kekuasaan ini terintegrasi dalam
diri seseorang, maka yang bersangkutan memiliki potensi untuk
berkuasa. Potensi ini akan terwujud kalau mendapat ransangan
atau motivasi, baik dari internal (kekuatan dari dalam dirinya)
yakni keinginan dan semangat, maupun eksternal (kekuatan dari
luar dirinya), yakni masyarakat secara umum. Oleh karena itu,
untuk memperoleh kekuasaan selain berbarengan antara keinginan
dan semangat serta dukungan dari masyarakat yang boleh jadi
diperoleh dengan usaha keras namun Islami, juga harus diyakini
80 |
224
M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 13, h 356
225
Departemen Pendidikan Nasional., op. cit., h 604
adanya kehendak atau keinginan Allah swt. yang berupa takdir
bagi yang bersangkutan. Itulah yang dimaksudkan oleh Allah swt.
dalam QS. Ali Imrān/3: 26
           
  
              
Terjemahnya;
Katakanlah (Muhammad), “Wahai Tuhan pemilik kekuasaan,
Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau
kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang
Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa pun yang engkau
kehendaki dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau
kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh,
Engkaulah Mahakuasa atas segala sesuatu.226
Term yuetī bentuk fi’il al-muḍāri’ dari fi’il māḍi yaitu atā
yang berakar kata huruf alif, ta dan ya yang berarti antara lain;
mendatangi, menghadiri, mengerjakan, melakukan, mengumpuli,
menggauli, membinasakan, menghabiskan, berjalan melewati,
menyetujui dan memberikan.227 Pengertian yang paling tepat pada
ayat ini adalah memberikan. Sedangkan term tanzi’u bentuk fi’il
muḍāri’ dari fi’il māḍi yakni naza’a berakar kata dari huruf nun,
zain dan ‘ain yang berarti mencabut, meninggalkan,228
memberhentikan.229
226
Depertemen Agama RI., op. cit., h. 66
227
Ahmad Warson Munawwir, op. cit., h. 6
228
Abī al-Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin zakariyā, op. cit., jilid I, h., 415
229
Idris Abd. Rauf al-Marbawī, Kamus Idris al-Marbawī, juz I (Misr:
Muṣṭafā al-Bābī al-Ḥalabī, 1350 H.), h. 310
| 81
Diriwayatkan oleh al-Wāḥidi dari Ibnu Abbas dan Anas bin
Mālik, bahwa setelah Rasulullah menguasai kota Mekkah, beliau
menerangkan bahwa kelak umat Islam akan menguasai Persia dan
Roma (Rumawi). Maka orang-orang munafik dan Yahudi berkata
“Muhammad sekali-kali tak akan menguasai Persia dan Roma.
Mengapa Muhammad tidak merasa cukup dengan menguasai
Mekah dan Madinah saja. Mengapa dia berambisi mengalahkan
Persia dan Roma?” Maka Allah swt. menurunkan ayat ini.230
Ayat ini menjelaskan bahwa salah satu bukti kekuasaan
Allah swt. adalah memberikan kekuasaan kepada siapa yang
dikehendaki, namun pemberian itu bukan menjadi milik, tetapi
pemberian yang bersifat sementara karena pada saat tertentu
pemberian itu dapat diambil kembali, baik yang diberi rela atau
tidak. Oleh karena itu, ketika seseorang enggang menyerahkannya,
maka Allah swt. yang akan mencabut kembali dari siapa saja yang
Dia kehendaki. Pemberian dan pencabutan itu melalui-faktorfaktor atau hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah,
berlaku dalam kehidupan masyarakat, seperti halnya hukumhukum alam yang telah ditetapkan oleh Allah swt. dalam
perjalanan alam raya ini.231 Engakulah memberikan kekuasaan
kepada orang-orang yang kamu kehendaki dari hamba-hamba-Mu.
Baik pemberian itu secara langsung seperti halnya dengan derajat
kenabian sebagai sunnatullah, yang menuntut kearah itu, maupun
mengikuti ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam suatu
kelompok masyarakat/wilayah. Engkau pula yang mencabut
kekuasaan dari tangan-tangan yang Engkau kehendaki,
sebagaimana yang Engkau lakukan dari Bani Israil dan lainnya
karena kezaliman dan kelalaian mereka.232
82 |
230
Departemen Agama RI., Tafsirnya,, op. cit., jilid I, h. 481.
231
M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 55-56
232
Aḥmad Muṣṭafā al-Marāgī, op. cit., Juz III, h. 126
Oleh karena itu, salah satu tujuan pendidikan yang harus
ditanamkan pada diri anak, adalah pemahaman yang komprehensif
tentang kekuasaan yang pada dasarnya tidak bisa terpishkan dari
kehidupan manusia (sunnatullah). Mulai kekuasaan pada diri
seseorang yakni penguasaaan atas hawa nafsunya, kekuasaan pada
suatu kelompok masyarakat sampai kekuasaan pada suatu wilayah
tertentu.
Dengan pemahaman secara komprehensif tentang
kekuasaan, akan menyadarkan mereka bahwa kekuasaan itu, tidak
bisa diperoleh dengan hanya mengandalkan kekuatan serta usaha
manusia, tetapi harus dibarengi keyakinan, bahwa penentu terakhir
adalah kehendak Allah swt. Betapa banyak orang yang memiliki
kecerdasan dan kecakapan, tetapi tidak mampu menguasai hawa
nafsunya, sehingga apa yang mereka lakukan justru berdampak
negatif baginya. Betapa banyak orang yang berusaha untuk
berkuasa pada suatu masyarakat atau pada wilayah tertentu tidak
berhasil. Demikian pula, betapa banyak orang yang ingin
melanggengkan kekuasaanya, tetapi justru harus diganti dengan
orang lain. Kesemuanya itu menjadi bukti nyata bahwa pada
dasarnya kekuasaan itu adalah milik Allah swt. Dia akan
memberikan kepada siapa yang dikehendaki dan akan mencabut
dari orang yang tidak dikehendaki-Nya. Namun, kehendak Allah
swt. Yang demikian rahasianya itu, tidak ada yang tahu kecuali
diri-Nya, karena itu manusia, tetap memiliki ruang untuk berusaha
mengembangkan potensi kekuasaan yang ada pada dirinya melalui
dengan cara yang dibenarkan, berdasarkan aturan yang berlaku
pada suatu masyarakat, selama aturan itu tidak bertentangan
dengan agama. Tetapi, mereka hanya sebatas berusaha, finalisasi
semua usaha manusia termasuk usaha merebut kekuasaan, tidak
terlepas dari kehendak Allah swt.
| 83
B.
Fungsi Pendidikan Qur’ani
Fungsi pendidikan qur’ani yang dimaksudkan di sini adalah
terbentuknya peserta didik melalui bimbingan dan arahan,
sehingga mereka memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan
emosional, kecerdasan spiritual dalam menata kehidupannya
berdasarkan dengan petunjuk agama. Dalam al-Qur’an, terdapat
beberapa ayat yang berkaitan dengan fungsi pendidikan qur’ani
sebagai suatu corak dari pendidikan Islam yang menjadikan alQur’an sebagai magnum opus-nya, antara lain:
1. Meningkatkan pengetahuan
Bahwa mereka yang dapat memahami secara mendalam
tentang makna-makna yang terdapat dalam al-Qur’an terutama
ayat-ayat yang memerlukan penakwilan adalah mereka yang
mendalam ilmu pengetahuannya, sebagaimana firman Allah dalam
QS. Ali ‘Imran/3: 7 sebagai berikut:
        
      
          
      
             
           
Terjemahnya:
Dialah yang menurunkan kitab (al-Qur’an) kepadamu
(Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat muhkamah, itulah
pokok kitab (al-Qur’an) dan yang lain mutasyabihat. Adapun
orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan,
mereka mengikuti yang nutasyabihat untuk mencari-cari
fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada
yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang
yang ilmunya mendalam berkata, “Kami beriman kepadanya
84 |
(al-Qur’an), semuanya dari sisi Tuhan kami,”tidak ada yang
dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang
berakal.233
Term al-Ra>sikhu>na adalah bentuk plural dari kata
tunggalnya al-Rasikh berasal dari fi’il al-ma>di yakni raskha
berakar kata dari huruf ra, sin dan kha berarti atsabatu (tetap).234
Juga berarti kokoh pada tempatnya, menguatkan, berurat
berakar.235 M. Quraish Shihab mengartikannya dengan sesuatu
yang berat dan kekuatannya pada suatu tempat yang lunak. Seperti
besi yang berat ditempatkan pada suatu tempat yang lunak
(lembek), pasti besi itu masuk kedalam sehingga tidak mudah
goyah. Bahkan boleh jadi besi tersebut tidak tampak di
permukaan, kemudian di artikan dengan “mendalam.”Bagi mereka
yang mendalam ilmunya semakin mantap dan kokoh keimanan dan
ketakwaannya kepada Allah swt. Lebih lanjut beliau
mengemukakan bahwa ada sifat yang harus disandang oleh mereka
yang mendalam ilmunya, yaitu; 1) Takwa antara didirnya dengan
Allah swt., 2) kerendahan hati antara dirinya dengan manusia, 3)
zuhud yakni meninggalkan kenikmatan duniawi pada hal ia
mampu memilikinya, karena ingin mendekatkan diri kepada Allah
swt., dan 4) Mujahadah, kesungguhan mengolah dirinya
menghadapi nafsunya.236
Dari keempat sifat tersebut, menunjukkan bahwa orang
yang mendalam ilmunya berarti pada dasarnya mereka telah
memiliki ketiga kecerdasar seperti yang telah disebutkan terdahulu
233
234
Ibid., h. 62-63
Abī al-Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin zakariyā, op. cit., jilid II, h., 395
235
Abidin Bisri dan Munawwir A. Fatah, Kamus Indonesia Arab, ArabIndonesia, (Cet. I; Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), h. 248.
236
M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 16-17.
| 85
dan sekaligus mewujudkan fungsi pendidikan yang harus terwujud
dalam sebuah proses pendidikan.
Dengan demkian, untuk memiliki ilmu pengetahuan yang
mendalam seperti yang dimaksudkan pada potongan ayat
warrāsikhūna fī al-‘ilmi memerlukan proses dan sistem yang tidak
mudah, dan disinilah pendidikan harus berfungsi maksimal
memberi bimbingan dan arahan kepada peserta didik dan pada
gilirannya mereka menyandang predikat tersebut. Sehingga
mereka memiliki wewenang dan kemampuan memahami ayat-ayat
Allah swt., terutama ayat-ayat mutasyabih yakni ayat memiliki
pengertian bersayap. Atau jika salah satu dari dua perkara mirif
dengan yang lainnya sehingga tidak mampu dibedakan.237 Bagi
mereka memilki pengetahuan yang kokoh dan mendalam tentu
mereka peroleh melalui proses pendidikan, baik pendidikan formal.
Informal maupun non formal juga adanya hidayah atau petunjuk
dari Allah swt.
2. Peduli terhadap sesama umat manusia
Salah satu tugas manusia sebagai khalifah Allah swt. di
atas persada bumi, adalah menjaga kemaslahatan antara sesama
umat manusia, antara lain dengan berwasiat kepada kebaikan dan
mencegah kemungkaran. Sebagaimana firman Allah swt. Dalam
QS. Ali ‘Imran/3: 110 sebagai beriktu:
            
               
    
Terjemahnya:
237
Muhammad Ali al-Hasan, Pengantar Ilmu-ilmu Al-Qur’an (Cet. I;
Bogor: Pustaka Thariqul Izaah, 2007), h. 165.
86 |
Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan
mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.
Sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi
mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun
kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.238
Term kuntum berasal dari fi’il al-mādi yakni kāna berakar
kata dari huruf kaf, harf al-‘Illah (al-wawu) dan nun yang berarti
al-akhbāru ‘alā hudūtsi al-syai’i yakni berita tentang kejadian
sesuatu.239 Karena itu, yang dimaksud pada ayat di atas adalah
“kamu dijadikan atau diciptakan” 240 Sedangkan yang dimaksud
dengan ummatun digunakan untuk semua kelompok yang
dihimpun oleh sesuatu, seperti agama yang sama, waktu dan
tempat yang sama, baik penghimpunannya secara terpaksa,
maupun atas kehendak sendiri.241 Sedangkan yang dimaksud
ummatun pada ayat di atas adalah umat Islam.
Term ta’murūna adalah fi’il al-mudāri’ dari fi’il al-mādi
yakni amara yanmg berakar kata dari huruf hamzah, mim dan ra
berarti perintah tentang suatu persoalan, atau lawan dari
larangan.242 juga berarti memerintahkan.243 Al-ma’rūf berarti
sesuatu yang baik menurut pandangan umum suatu masyarakat
selama sejalan dengan al-khair yakni nilai universal yang diajarkan
oleh al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan al-mungkar adalah sesuatu
238
Depertemen Agama RI., op. cit., h. 80
239
Abī al-Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, op. cit., jilid VI, h.
148.
240
Ibid., jilid III, h. 28.
241
M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 185.
242
Abī al-Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, op. cit., jilid I, h. 137
243
M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 174
| 87
yang dinilai buruk oleh suatu masyarakat serta bertentangan
dengan nilai-nilai Ilahi.244
Dengan demikian, ayat tersebut menggambarkan bahwa salah
satu ciri umat (Islam) yang terbaik adalah mereka yang senantiasa
memerintahkan kebaikan (al-ma’ruf) dan mencegah kemungkaran
(al-mungkar). Mereka yang dapat melakukannya adalah yang
beriman dengan benar. Ciri keberimanan mereka tampak di
wajahnya dan dibuktikan dengan kreativitasnya yang selalu
mengarah kepada kebaikan, dan menghindarkan dirinya dari
perbuatan jelek yang bertentangan dengan ajaran agama. Padahal
umat sebelum datangnya umat Islam, mereka hanya melakukan
kejelekan, permusuhan di anatara mereka dan tidak mengindahkan
perintah amar ma’ruf dan nahi mungkar.245
Kepedulian sosial pada diri suatu umat menjadi penting,
seperti memberi bantuan baik material, maupun spiritual.
Keinginan untuk saling membantu antara satu sama lain harusnya
tumbuh pada diri seseorang sejak umur usia dini, sehingga sikap
itu melekat dan perwujudannya menjadi kebiasaan bagi mereka.
Hal ini dapat terwujud, ketika pendididkan dapat berfunsi secara
maksimal terhadap pembentukan kepribadian anak. Karena salah
satu fungsi pendidikan adalah merubah moralitas peserta didik
dari yang tidak baik menjadi baik dan dari yang baik menjadi lebih
baik.
3. Peningkatan pendekatan spiritual
244
245
Ibid., h. 175.
Sikap tersebut cocok bagi mereka yang mendapatkan perintah pada
masa permulaan Islam yakni pada masa Nabi Muhammad saw. dan para sahabat
yang bersama beliau sewaktu al-Qur’an diturunkan. Pada masa sebelumnya
mereka saling bermusuhan, kemudian mereka kembali bersatu dan berpegang
kepada agama Allah (Islam) dan saling memerintahkan kebaikan dan mencegah
kemungkaran, mereka yang lemah tidak takut kepada yang kuat, yang kecil
tidak takut kepada yang besar, Karena iman mereka telah bersemi di dalam
dadanya. Aḥmad Muṣṭafā al-Marāgī, op. cit,, juz 4 , h., 29
88 |
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia spiritual berati
berhubungan atau bersifat kejiwaan (rohani, batin). 246 Kebutuhan
manusia terhadap aspek spiritual merupakan kebutuhan fitrah yang
pemenuhannya berkaitan langsung dengan kesempurnaan masa
pertumbuhan dan kedewasaan kepribadian seseorang. 247Aspek
spiritual terdiri dari; berpegang teguh kepada ketakwaan,
mencintai kebaikan, kebenaran, keadilan, keindahan, dan
membenci keburukan, kebatilan dan kezaliman.248
Hal ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan
spiritual adalah suatu keadaan jiwa yang terdapat dalam diri
manusia yang menyadarkannya tentang hubungan dirinya dengan
penciptanya (Tuhan), sehingga muncul dalam dirinya bahwa
segala sesuatu yang menjadi kebutuhannya sangat tergantung
dengan kehendak dan ridhah dari Allah swt. sebagai pencipta,
pengatur dan pemilik segala sesuatu termasuk dirinya.
Sebagaimana firman Allah swt. dalam QS. Ali ‘Imran/3: 189
sebagai berikut:
             
Terjemahnya:
Dan milik Allahlah kerajaan langit dan bumi; dan Allah
Mahakuasa atas segala sesuatu.249
Hubungan ayat tersebut dengan ayat sebelumnya (ayat
188) dinamakan hubungan penegasan. Ayat sebelumnya
menjelaskan bahwa banyak orang yang bangga atas kedurhakaan
246
Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 1087
247
G. Lindsay C.S. Hall, and R.F. Thompson, Psyckology (New York:
Worth Publishers, Inc., 1976), h. 361
248
Muhammad Utsman Najit, Ilmu Jiwa dalam al-Qur’an (Cet. I:
Jakarta: Pustaka Azzam, 2005), h. 35.
249
Departemen Agama RI., op. cit., h. 96
| 89
yang telah mereka lakukan, dan juga banyak orang yang
bergembira kalau mendapat pujian sebagai orang yang bermoral
terhadap perbuatan yang belum atau mereka tidak kerjakan. Atas
sikap seperti itu, Allah swt. akan menyiksanya dengan siksaan
yang pedih. Lalu ayat ini (189) menegaskan bahwa Allah swt.
kuasa menyiksa mereka karena Allahlah pemilik segala yang ada
di langit dan di bumi.
Allah swt. mampu melaksanakan ancaman-Nya itu, karena
milik Allah swt. kerajaan langit dan bumi, Dia yang menciptakan,
memiliki dan mengaturnya, serta mengetahui segala rincian yang
terjadi pada keduanya dan Allah swt. juga Maha Kuasa atas segala
sesuatu.250 Karena Allah adalah pemilik segala yang ada di langit
dan di bumi, maka kepada-Nyalah akan kembali segala sesuatu
sebagaimana firman-Nya dalam QS. Ali ‘Imran/3: 109 sebagai
berikut;
             
Terjemahnya:
Dan milik Allahlah apa yang ada di langit dan apa yang ada di
bumi, dan hanya kepada Allah segala urusan dikembalikan.251
Bahwa Allah swt. adalah pemilik segala sesuatu, yang
mengatur semua urusan mereka sesuai dengan sunnatullah yang
sangat bijaksana, dan tidak berubah karena perubahan situasi dan
kondisi252.Allah swt. menjelaskan bahwa Dialah pemilik segala
yang ada. Karena Dia Pemilik maka Dia berhak penuh mengatur,
mewujudkan dan meniadakannya. Kekuasaan Allah tidak ada
yang dapat menandinginya, itulah sebabnya semua persoalan
sekecil apapun pada akhirnya kembali kepada-Nya, dan tidak ada
90 |
250
M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 305
251
Depertemen Agama RI., op. cit., h. 80.
252
Aḥmad Muṣṭafā al-Marāgī, op. cit,, juz 4 , h., 27
yang tersembunyi bagi-Nya, sebagaimana firman Allah swt. dalam
QS. Ali ‘Imran/3: 5
 
           
Terjemahnya:
Bagi Allah tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi di bumi
dan di langit.253
Bahwa Allah swt. mengatur makhluk-Nya, maka tentu saja
tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya, baik makhluk yang berada
di bumi, maupun makhluk yang berada di langit dengan seluruh
tingkatannya.254 Kalau segala sesuatu termasuk aktivitas manusia
tidak ada yang tersembunyi bagi Allah swt. maka seharusnya umat
manusia ketika meniatkan atau pun melakukan sesuatu, menyadari
dengan sungguh-sungguh bahwa ia dilihat dan diawasi serta
dinilai, bahkan dibalas oleh Allah swt.
Salah satu upaya agar keyakinan sepeti tersebut, melekat
pada diri seseorang melalui dengan pendidikan. Oleh karena itu,
salah satu fungsi pendidikan adalah memberi kesadaran kepada
peserta didik tentang perlunya berkomunikasi dengan Allah swt.
melalui dengan ibadah, sehingga pendekatan spiritual dalam
pendidikan menjadi sesuatu yang sangat penting agar terwujud
manusia yang sadar tentang keberadannya untuk mengabdi dan
beribadah kepada Allah swt.
C.
Materi Pendidikan Qur’ani
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kosa kata materi
berarti; 1) benda, bahan, segala sesuatu yang tampak, 2) sesuatu
yang menjadi bahan (untuk diujikan, dipikirkan, dibicarakan,
dikarangkan dan sebagainya.255 Oleh karena itu, yang dimaksud
253
Depertemen Agama RI., op. cit., h. 62.
254
M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 9
255
Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 723
| 91
materi pendidikan adalah bahan yang telah dirancang atau
disiapkan untuk disampaikan kepada peserta didik ketika terjadi
proses belajar mengajar. Dalam kaitannya dengan materi
pendidikan qur’ani, materi pendidikan yang dimaksud di sini
adalah materi pendidikan yang terdapat dalam Al-Qur’an, antara
lain;
1. Pengitegrasian antara dzikir dan pikir
Semua materi yang diajarkan ketrika terjadi proses belajar
mengajar, hendaknya terintegrasi antara dzikir dan pikir. Ketika
materi tidak didasari kedua unsur tersebut, akan melahirkan
manusia-manusia yang congkak, sombong dan takabbur atau boleh
jadi melahirkan manusia-manusia yang cemerlang intelektulanya
tetapi hampa spritualnya yang gambaran alegorisnya seperti
sebuah obor di tangan pencuri. Itulah sebabnya materi pendidikan
Islam diharapkan agar para peserta didik mampu mengintegrasikan
antara pikir (kecerdasan intelektual) dengan dzikir (kecerdasan
spiritual), serta kecerdasan emosional. Mereka yang mampu
mengintergasikan ketiga hal tersebut, diberikan predikat khusus
oleh Allah swt. dengan ‫( اولواالباب‬ulū al-bāb) sebagaimana firman
Allah dalam QS. Ali Imran/3: 190-191 sebagai berikut:
  
        
          
           
 
Terjemahnya:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan
pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan
Allah) bagi orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang
92 |
mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan
berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit
dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau
menciptakan semua ini sia-sia: Mahasuci Engkau, lindungilah
kami dari azab neraka.256
Term al-bāb adalah bentuk jama dari mufradnya lubbun
yang berakar kata dari huruf lam dan ba yang berarti tetap, murni
keberadaannya.257 Juga berarti inti sari, bagian terbaik/terpenting,
isi kelapa, isi/inti pembicaraan, akal dan hati. 258 Saripati sesuatu,
isi kacang. ulū al-bab adalah orang yang memiliki akal yang murni,
yang tidak diselubungi oleh kabut ide yang dapat menyebabkan
kerancauan berpikir.259
Term yażkurūna berasala dari fi’i al-mādi yakni żakara
yang berakar kata dari huruf żal, kaf dan ra yang berarti menyebut,
mengucapkan (asma Allah), menuturkan menyebut maknanya,
menjaga, mengerti dan mengingat.260 Sedangkan term
yatafakkarūna adalah fi’il al-mudari’ rubā’i yang bentuk fi’il almādi-nya adalah fakkara sedangkan fi’il madi ṡulāṡi-nya adalah
fakara yang berakar kata dari huruf fa, kaf dan ra yang bararti
berulang-ulangnya hati terhadap sesuatu. 261 Juga berarti
memikirkan, mengingat, mengenang.262 Dalam kaitannya dengan
pengertian ayat tersebut, bahwa yang dimaksud dengan
256
Depertemen Agama RI., op. cit., h. 96
257
Abī al-Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, op. cit., Jilid V h.
258
Ahmad Warson Munawwir, op. cit., h. 1338.
199
259259
M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., Volume 2, h. 307
260
Ahmad Warson Munawwir, op. cit., h. 482
261
Abī al-Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, op. cit., Jilid IV, h.,
262
Ahmad Warson Munawwir, op. cit., h. 1148
446
| 93
yatażakkarūna adalah senantiasa mengingat Allah swt. dalam
semua waktu dan tempat atau dalam situasi dan kondisi apa pun,
ia selau mencurahkan perasaan, perhatian dan ingatan kepada
Allah swt. Sedangkan yang dimaksud dengan yatafakkarūna
adalah selalu berpikir tentang ciptaan Allah swt. yang demikian
berwarna-warni, bermacam-macam bentuk, kualitas dan
kuantitasnya, sehingga dari hasil pemikiran itu,, mereka
berkesimpulan bahwa kesemua yang ada ini tidak mungkin
terwujud kalau tidak ada yang menciptakan.
Oleh karena itu, hubungan kedua ayat tersebut (189 dan
190) dinamakan hubungan penjelasan, yakni ayat 190,
menjelaskan dengan secara rinci tentang maksud ayat sebelumnya
(ayat 189), terutama penafsiran term ulūl al-bāb bahwa yang
dimksud dengan orang yang memiliki pemikiran yang mendalam
adalah mereka yang selain berdzikir kepada Allah swt. juga
berpikir tentang makhluk-Nya. Berpikir tentang makhluk Allah
hasilnya tidak hanya menemukan jawaban tentang siapa yang
menciptakan, tetapi juga harusnya terinspirasi bahwa apa yang
diciptakan oleh Allah swt. tidak mungkin tanpa ada tujuan. Oleh
karena itu, mereka harus berkeyakinan bahwa segala sesuatu yang
diciptakan oleh Allah swt harus dijaga, dipelihara, bahkan kalau
memungkinkan harus berinteraksi dengan baik, terutama antara
sesama umat manusia. Itulah makna fotongan ayat yang berbunyi:
‫ر بـنا مـا خـلـقـت هـذا بـاطـال‬
(Ya Tuhan kami tidaklah Kamu
ciptakan semuanya ini dengan sia-sia).
Dari potongan ayat tersebut, dipahami bahwa ayat 190
surah Ali ‘Imran itu juga mengandung kecerdasan intelektual
kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional. Sehingga bagi
mereka yang mampu mengintegrasikan ketiga kecerdasan tersebut,
mereka itulah yang diberi predikat oleh Allah swt. ulu al- Bab
(mereka yang memiliki pemikiran yang mendalam), dan sekaligus
memperoleh ilmu pengetahuan berdasarkan isyarat normatif alQur’an.
94 |
2. Kedudukan orang yang berilmu pengetahuan.
Salah satu materi pendidikan yang seharusnya menjadi
perhatian dari pengelolah dalam semua jenjang pendidikan adalah
yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Mulai dari segi urgensi,
fungsi, peranan dan kedudukan atau kemuliaan orang yang berilmu
pengetahuan. Sehingga para peserta didik sejak awal dan
seterusnya termotivasi bersungguh-sungguh belajar dan mencintai
ilmu pengetahuan. Pekerjaan yang dilakukan dengan bersunguhsungguh sekalipun tidak menggunakan waktu yang panjang, jauh
lebih bermakna dan bermanfaat, dibanding dengan pekerjaan yang
dilakukan dengan tidak bersungguh-sungguh sekalipun
menggunakan waktu yang panjang. Oleh karena itu, kesungguhan
belajar dan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan menjadi modal
dasar meraih predikat ilmuan (orang yang berilmu pengetahuan).
Mereka inilah yang memperoleh kedudukan yang mulia, baik di
kalangan sesama umat manusia, maupun dari pandangan Allah
swt., karena merekalah secara ideal akan mampu menegakkan
kebenaran dan keadilan di atas bersada bumi ini, seperti halnya
kamampuan malaikat berbuat adil dalam menjalankan tugasnya.
Sebagaimana firman Allah swt. dalam QS. Ali ‘imran/3: 18
   
 
               
    
Terjemahnya:
Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan selain Dia;
(demikian pula para malaikat dan orang yang berilmu yang
menegakkan keadilan, tidak ada Tuhan selain Dia, Yang Maha
Perkasa dan, Maha Bijaksana.263
263
Depertemen Agama RI., op. cit., h. 65.
| 95
Term al-‘Ilm berasal dari ism al-maṣdar dari fi’il al-Mādi
‘alima berakar kata dari huruf ‘ain, lam dan mim yang berarti
bekas sesuatu yang membedakannya dengan yang lain.264 Oleh
karena itu, orang yang memiliki ilmu pengetahuan, berarti dia
mempunyai kelebihan yang bisa berbekas pada dirinya maupun
kepada orang lain, misalnya seseorang yang mengajarkan ilmunya
kepada orang lain akan dikenang sepanjang masa. Selain
pengertian ‘alima yang dikemukakan oleh Abī Husain tersebut,
juga dapat berarti; mengecap, memberi tanda, mengerti,
memahami benar, mengetahui,265 maka yang dimaksud dengan ulu
al-‘ilmi pada ayat di atas adalah mereka yang memiliki kemuliaan
karena mereka dapat memahami dengan sungguh-sungguh tentang
kemahaesaan Allah swt. sebagai pencipta dan pengatur alam ini.
Pengetahuannya itu tidak hanya untuk kepentingan dirinya sendiri,
tetapi mereka mengajarkan kepada orang lain dengan seadiladilnya, saehingga ilmunya berbekas bagi mereka yang
menerimanya.
Demikian tingginya kedudukan orang yang memiliki ilmu
pengetahuan dan mampu mengaplikasikan ilmunya dalam
kehidupan sehari-hari, karena mereka mampu menegakkan
keadilan seperti halnya malaikat, bahkan Allah swt. Sekalipun
keadilan yang ditegakkan oleh Allah swt. berbeda keradilan yang
ditegakkan oleh makhluk-Nya, karena Allah swt. adalah pemilik
keadilan. Itulah salah satu makna yang tersirat dari potongan
ayat tersebut yakni ‫( قـائـما بالقـسـط‬penegak keadilan). Menurut M.
Quraish Shihab Qāimūn berarti melaksanakan sesuatu secara
sempurna dan berkesinambungan. Sedangkan al-Qist berarti adil
dan menyenangkan semua pihak. Sebagai contoh kalau ada orang
yang berselisih lalu setelah mendapat putusan dari yang
264
Abī al-Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, op. cit., Jilid IV, h.,
265
Ahmad Warson Munawwir, op. cit., h., 1036
109
96 |
berwenang, kedua belah pihak merasa nyaman dengan keputusan
itu. Dengan demikian ayat tersebut berarti bahwa Allah swt.,
malaikat dan orang-orang yang bereilmu pengetahuan
menyaksikan bahwa Allah swt. itu Maha Esa, dan menyakasikan
pula bahwa Dia melaksanakan sesuatu atas dasar al-qist.266
Dari keterangan di atas, dipahami bahwa sungguh mulia
orang-orang yang berilmu pengetahuan karena mempunyai fungsi
yang sama dengan Allah swt., malaikat dalam menegakkan
keadilan di muka bumi ini. Tentu penjabarannya tidak sama
dengan Allah swt. Karena Dia adalah pencipta dan penggerak
segala sesuatu. Sementara manusia diciptakan dan sekaligus
digerakkan oleh Allah swt. Hanya saja esensi dari makna al-Qist
orang-orang yang berilmu pengetahuan juga memiliki fungsi dan
tanggung jawab untuk menegakkan keadilan. Oleh karena itu, bagi
mereka yang berilmu pengetahuan memiliki kedudukan atau
derajat yang tinggi, baik di sisi Allah swt., maupun sesama
manusia. Hal ini sejalan dengan firman Allah swt. dalam QS. AlMujadalah/58: 11 sebagai berikut:
         
     
 
Terjemahnya:
Niscaya Allah swt. akan mengangkat (derajat) orang-orang
yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
beberapa derajat. Dan Allah Maha Teliti apa yang kamu
kerjakan.267
Term yarfa’u adalah fi’il al-mudāri’ dari fi’il al-māḍi
rafa’a yang berakar kata dari huruf ra, fa dan dal yang berarti
266
267
M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., Volume 2, h. 38-39
Depertemen Agama RI., op. cit., h. 793
| 97
perbedaan tempat,268 yakni terangkat. Juga berarti antara lain:
mengangkat, menyimpang, membawa ke tempat yang paling
tinggi dan menaikkan.269 Oleh karena itu, dari ayat tersebut
dipahami bahwa mereka yang berilmu pengetahuan memiliki
kedudukan atau derajat yang tinggi di sisi Allah swt. Walaupun
Allah swt. tidak menyebutkan secara tegas bahwa Allah swt. akan
meninggikan derajat orang-orang yang berilmu, tetapi Dia hanya
menegaskan bahwa mereka memiliki derajat yang lebih tinggi dari
yang sekedar iman. 270
Pengulangan ism al-maushul ‫ الـذ ين‬2 kali pada ayat tersebut
memberi pemahaman bahwa orang-orang yang beriman yang
dimaksud pada ayat tersebut terbagi kepada dua: Pertama, mereka
yang hanya beriman dan beramal saleh. Kedua, mereka yang
beriman, bermal saleh dan berilmu pengetahuan. Kelompok kedua
inilah yang dimaksud pada ayat tersebut akan mendapatkan
derajat yang tinggi, yakni kemuliaan di dunia dan di akhirat,
karena ilmu yang mereka miliki tidak hanya sekedar kecerdasan
intelektual, tetapi mereka mengamalkannya untuk kemaslahatan,
baik untuk dirinya sendiri maupun sesama umat manusia, bahkan
kepada seluruh makhluk yang didasari oleh iman kepada Allah
swt. Oleh karena itu, integrasi antara iman, ilmu dan amal shaleh
menjadi modal utama bagi umat manusia untuk memperoleh
kemuliaan di dunia dan di akhirat.
Dengan demikian, ilmu yang dimaksud pada ayat tersebut,
bukan hanya ilmu agama saja, tetapi seluruh ilmu yang bermanfaat
Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam QS. Fatir/35:27-28
sebagai berikut:
268
Abī al-Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, op. cit., Jilid II, h.,
269
Ahmad Warson Munawwir, op. cit., h., 553
270
M. Quraish Shihab, Tafsir op. cit., Volume 2, h. 79
423
98 |
                
           

           
      
Terjemahnya:
Tidaklah engkau melihat bahwa Allah menurunkan air dari
langit lalu dengan air itu Kami hasilkan buah-buahan yang
beraneka macam jenisnya. Dan diantara gunung-gunung itu
ada garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya
dan ada pula yang hitam pekat. Dan demikian (pula) di antara
manusia, makhluk bergerak yang bernyawa dan hewan-hewan
ternak ada bermacam-macam warnanya (dan jenisnya) di
antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah
para ulama. Sungguh, Allah Maha Perkasa, Maha
Pengampun.271
Penggunaan kalimat innamā yakhsyallaha min ‘ibād al‘ulama pada ayat tersebut mengandung makna bahwa mereka yang
diberi gelar ulama, bukan saja kepada mereka yang memiliki ilmu
agama, tetapi juga ilmu-ilmu yang lain, karena kedua ayat tersebut
mengungkap berbagai fenomena alam, termasuk macam-macam
jenis dan warnanya, yang harus dibaca dan dipahami oleh umat
manusia. Mereka yang mendapat hidayah dari Allah swt. untuk
membaca, baik ayat qauliyah (al-Qur’an) maupun ayat kauniyah
(alam semesta), sehingga mereka mampu memahami dan
mengaplikasikannya dalam semua gerak dan tindakannya dan
semua niat dan kereativitasnya, yang didasari dengan takwa
271
Depertemen Agama RI., op. cit., h. 620
| 99
kepada Allah swt. mereka itulah yang dikategorikan sebagai
ulama.
3. Meyakini kehidupan sesudah mati
Setelah manusia memperolah kedudukan yang mulia
karena ilmu pengetahuannya, tentu lebih mulia lagi kalau ilmu
yang dimiliki itu diaplikasikan dalam kehidupannya, untuk
memperoleh kemaslahatan, yang tidak hanya untuk kehidupan di
dunia, tetapi lebih utama adalah kehidupan diakhirat, karena di
sanalah manusia akan hidup selama-lamanya, dan di sana pulalah
manusia akan memperoleh balasan dari apa yang telah diperbuat di
dunia. Ali bin Abi Thalib pernah berwasiat “Hari ini (dunia)
adalah hari untuk tempat beramal, tetapi belum ada perhisaban.
Hari esok (akhirat) adalah tempat perhisaban dan bukan lagi
tempat beramal”.
Dengan
demikian,
materi
pendidikan
yang
memperkenalkan tentang adanya kehidupan sesudah mati, guna
memperoleh balasan dari semua yang dilakukan di dunia, menjadi
salah satu materi yang amat penting dan dikemas dalam materi
pelajaran tauhid atau aqidah yang merupakan pondasi bagi semua
agama termasuk agama Islam, sehingga peserta didik memahami
dengan sungguh-sungguh makna dan hakikat kehidupan sesudah
mati atau kehidupan di akhirat. Sebagaimana firman Allah swt.
dalam QS. Ali ‘Imran/3: 25
    

       
  
Terjemahnya;
Bagaimana jika (nanti) mereka Kami kumpulkan pada hari
(kiamat) yang tidak diragukan terjadinya dan kepada setiap
100 |
jiwa diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang
telah dikerjakannya dan mereka tidak dizalim (dirugikan).272
Term jam’āhum berasal dari term jama’a (fi’il al-māḍi)
yang berakar kata dari huruf jim, mim dan ‘ain yang berarti
sesuatu yang terkumpul.273 Sedangkan term wuffiiyat berasal dar
fi’il al-māḍi ṡulāṡi yaitu wafā berakar kata dari huruf wau, fa dan
al-harf al-mu’tal (ya) yang berarti sempurna.274
Menurut al-Quṭubī, ayat ini menjelaskan bahwa demikian
dahsyatnya kehidupan di hari kemudian, ketika semua manusia
dikumpulkan dan dibalas semua perbuatannya.275 Manusia akan
melihat semua apa yang mereka telah dikerjakan, baik dan buruk
akan dihadapkan kepada mereka. Jika perbuatan itu baik akan
dibalas dengan kebahagiaan, kesenangan. Jika amat perbuatan itu
buruk, maka akan mendapatkan kesengsaraan. Pada hari kiamat
itu, pembalasan Allah swt. sesuai dengan baik buruknya i’tikad
atau keaykinan yang terkandung dalam hati, dan sesuai pula baik
dan buruknya amal yang mereka lakukan.276
Dengan demikian , bahwa tidak satu orang pun yang dapat
lolos dari jeratan hukum pada hari pembalasan nanti. Pada hari
tersebut, semua perbuatan manusia melalui proses penimbangan.
Kalau amal kebajikannya lebih berat, maka akan mendapatkan
imbalannya di syurga, dan sekiranya timbangan amalnya buruk
272
273
274
Ibid., h. 66
Abī al-Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, op. cit., Jilid I, h. 479
Ibid., Jilid VI, h. 129.
275
Abī ‘Abdillah Muḥammad bin Aḥmad bin Abī Bakrin al-Qurṭubī, alJām’ al-Aḥkām al-Qur’ān al-Mubayyin limā Taḍammah min al-Sunnah wa
Ayyin al-Qur’ān, Juz V (cet. I; Bairūt-Libanon: Muassasah al-Risālah, 1427
H./2006 M.), h. 79
276
DEpartemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, op. cit., jilid
1, h. 480.
| 101
mereka lebih berat dibandingkan dengan amal baiknya, maka akan
masuk ke dalam neraka.
Karena keadaan hari kemudian itu merupakan wilayah
iman, maksudnya sesuatu tidak bisa dijangkau oleh akal pikiran
manusia dan sifatnya abstrak, tidak ada orang yang pernah
melihatnya, serta tidak pernah ada orang yang telah mati kembali
mencritrakan, sehingga materi pendidikan yang berkaitan dengan
hari pembalasan trersebut, harus betul-betul menyentuh qalbu
peserta didik, bukan hanya menyentuh akal pikiran manusia yang
berpusat di kepala. Semua orang meyakini adanya kematian,
karena semua orang pernah melihat orang mati, sehingga dapat
dijangkau akal pikiran manusia, Tetapi tidak semua orang dapat
meyakini hal ihwal atau keadaan seseorang setelah meninggal,
termasuk kebangkitan kembali untuk mempertanggungjawabkan
segala perbuatan manusia ketika masih hidup di dunia, kecuali
mereka yang beriman termasuk mengimani al-Qur’an sebagai
pemberi informasi tetang hal itu sebagaimana yang dijelaskan
pada ayat tersebut. Demikan pula dalam QS. Ali ‘Imran3: 30
  
        
      
     
   
        
Terjemahnya:
Ingatlah pada hari (ketika) setiap jiwa mendapatkan
(balasan) atas kebajikan yang telah dikerjakan dihadapkan
kepadanya, (bagipula balasan) atas kejahatan yang telah
dikerjakan. Dia berharap sekiranya ada jarak yang antara dia
dengan (hari) itu. Dan Allah akan memperingatkan kamu
102 |
akan diri (siksa)-Nya. Allah Maha penyayang terhadap
hamba-hamba-Nya.277
Menurut M. Quraish Shihab, pada hari terjadinya
peringatan atau sanksi dan ganjaran, maka setiap jiwa yang
mukallaf, yakni yang dibebani tugas keagamaan, menemukan
ganjaran segala apa yang telah dikerjakannya dari sedikit kebaikan
pun dihadirkan dihadannya, bagi pelakunya menginginkan agar
kebaikan tidak jauh darinya, dan apa yang telah dikerjakan dari
sedikit pun kejahatan juga dihadirkan dihadapannya, dia ingin
kalau kejahatan itu ada jarak yang jauh daripadanya, demikian
tercekamnya hati mereka yang berbuat dosa,278 dan demikian
senangnya hati bagi yang berbuat kebajikan, karena amalnya itu
menjadi pembela baginya, sehingga tidak diingingkan amalnya itu
jauh dari padanya.
Berbicara tentang hari kemudian dan segala yang berkaitan
dengannya adalah persoalan akidah yang harus melekat pada diri
seseoran. Ketika akidah seseorang goyah, maka pondasi agamanya
menjadi runtuh. Dinamakan persoalan akidah, karena tidak dapat
dijangkau oleh pikiran, karenanya ia menjadi wilayah imaniah.
Oleh karena itu, materi pendidikan yang berkaitan dengan akidah
seyogianya menjadi perhatian khusus bagi seluruh pengelola
pendidikan dan yang tidak kalah pentingnya adalah para pendidik
yang setiap hari bertemu langsung dengan anak didiknya.
D.
Metode Pendidikan Qur’ani
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia metode berarti 1)
cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan
agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki; cara kerja yang
bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna
277
Depertemen Agama RI., op. cit., h. 67
278
M. Quraish Shihab, Tafsir op. cit., Volume 2, h. 67.
| 103
mencapai tujuan yang ditentukan.279 Dalam bahasa Arab, metode
dikenal dengan istilah thariqah yang berarti langkah-langkah
strategis dipersiapkan untuk melakukan sesuatu pekerjaan.280
Para ahli mendefinisikan metode, sebagaimana yang
dikutip oleh Ramayulis sebagai berikut:
1. Hasan Langgulung mendefinisikan bahwa metode adalah
cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan
pendidikan.
2. Abd. Al-Rahman Ghunaimah mendefinisikan bahwa
metode adalah cara-cara yang praktis dalam mencapai
tujuan pengajaran
3. Al-Abra>syi mendefinisikan pula bahwa metode adalah jalan
yang kita ikuti untuk memberikan pengertian kepada
peserta didik tetang segala macam metode dalam berbagai
pelajaran. 281
Dengan demikian, yang dimaksud dengan metode
pendidikan dan pengajaran adalah suatu cara yang ditempuh oleh
pendidik ketika terjadi proses belajar mengajar, sehingga tujuan
pembelajaran tercapai secara maksimal sesuai dengan sasaran yang
diinginkan.
Dalam al-Qur’an, ditemukan berbagai metode pendidikan
yang seharusnya menjadi landasan normatif dalam proses
pendidikan qur’ani. Metode pendidikan yang dimaksud antara lain
sebagai berikut:
1. Metode pemberian contoh
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia contoh berarti
antara lain: 1) barang atau sebagian dari barang yang rupa, macam,
dan keadaannya sama dengan semua barang yang ada, 2) sesuatu
279
Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 740
280
Ramayulis, Metodologi, op. cit., h. 2-3
281
104 |
Ibid.,
yang akan atau yang disediakan untuk ditiru atau diikuti. 282
Sedangkan keteladanan, berasal dari teladan yang berarti sesuatu
yang patut ditiru atau baik untuk dicontoh tentang perbuatan,
kelakuan, sifat dan sebagainya.283
Kalau dicermati dengan mendalam tentang keberhasilan
Rasulullah saw menyebarkan agama Islam, tidak terlepas dari
sikap beliau yang menjadi contoh/teladan dalam semua hal,
terutama dalam menyampaikan atau menyiarkan ajaran agama.
Sikap keteladanan itulah yang membekas pada sahabat ketika itu,
sehingga mereka mudah menerima ajaran agama yang disampaikan
atau dicontohkan oleh Rasulullah saw. Oleh karena itu,
keteladanan seorang pendidik menjadi penting, bahkan
keberhasilan pendidikan tidak terlepas sikap keteladanan yang
dimiliki seorang pendidik. Dalam al-Qur’an tersurat beberapa
sikap keteladanan yang seharusnya dijadikan contoh oleh paserta
didik, sebagimana firman Allah dalam QS. Ali ‘Imran/67-68
sebagai berikut:
       
      
            
 
       
Terjemahnya:
Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang
Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang lurus, muslim, dan dia
tidaklah orang-orang yang musyrik. Orang yang paling dekat
kepada Ibrahim ialah orang yang mengikutinya, dan Nabi ini
282
283
Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 219
Ibid., h. 1160
| 105
(Muhammad), dan orang-orang yang beriman. Allah adalah
pelindung orang-orang yang beriman.284
Term hanīhan berasal dari fi’il al-mādi yakni hanafa yang
berakar kata dari huruf ha, nun dan fa yang berarti al-māil yang
berarti condong,285 miring dan lurus.286 Sedangkan term musliman
berasal dari fi’il al-mādi salima yang berakar kata dari hurus sin,
lam dan mim yang berarti aṣṣaihatu wa al-āfiyatu (sehat dan
afiyat),287 selamat dan bebas.288 Oleh karena itu, ayat tersebut
menggambarkan bahwa Nabi Ibrahim bukan orang Yahudi
sebagaimana pengakuan orang-orangYahudi dan bukan pula orang
Nasrani sebagaimana pengakuan orang-orang Nasrani serta bukan
pula orang-orang musyrik sebagaimana pengakuan orang-orang
musyrik di Mekah yang mengaku mengikuti ajaran beliau, akan
tetapi Nabi Ibrahim adalah nabi yang lurus di jalan Allah swt.
yakni beragama tauhid (tidak mempersekutukan-Nya) dan selalu
menyerahkan diri kepada-Nya.
Sikap keteguhan dan keselamatan menempuh jalan Allah
swt. sekali pun mendapat tantangan, harusnya menjadi ikutan bagi
kita semua dalam mempertahankan agama Allah swt. Bahkan
Allah swt. menyatakan bahwa orang-orang yang dekat kepada
Nabi Ibrahim bukan dari segi keturunan dan agama tetapi yang
mengikuti jejak-jejak beliau dalam mempertahankan agama Allah
(tauhid).289.
284
Depertemen Agama RI., op. cit., h. 73
285
Abī al-Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, op. cit., jilid II, h., 110
286
Ahmad Warson Munawwir, op. cit., h.,328
287
Abī al-Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, op. cit., jilid III, h., 90
288
Ahmad Warson Munawwir, op. cit., h. 699
289
M. Quraish Shihab, op. cit., Volume 2, h. 118-119.
‫ـ‬
106 |
Nabi Ibrahim berhasil meluruskan agama Allah swt. di atas
persada bumi ini, karena keteguhan, kelurusan dan ketulusan hati
beliau mempertahankan agama Allah swt., tidak terpancing
dengan godaan agama dan keturunan, sehingga beliau menjadi
contoh bagi orang-orang yang datang sesudahnya, termasuk
pengikut Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, seorang guru
hendaknya berusaha menjadi contoh yang baik dari-muridnya
dalam semua kondisi dan situasi, tidak hanya dalam kelas ketika
mentransfer ilmunya dalam bentuk pendidikan formal, tetapi juga
di luar kelas, baik cara bergaul, berbahasa, maupun dalam
posisinya sebagai seorang pendidik.
Metode pemberian contoh merupakan suatu metode yang
sangat penting digunakan dalam pelaksanaan pendidikan agar
tujuan pendidikan dapat terwujud dengan memberi contoh atau
memberi perumpamaan kepada mereka yang menjadi objek
pendidikan (peserta didik) agar mereka dapat berkembang, baik
dari segi fisik maupun mental dan memiliki akhlak yang baik dan
benar.290
Kepintaran secara intelektual dan kemampuan mentransfer
ilmu kepada orang lain, tidak memberi jaminan keberhasilan
pendidikan. Boleh jadi ia berhasil mengajar di kelas, tetapi tidak
berhasil mendidik dengan baik. Karena sesungguhnya keberhasilan
pendidik tidak hanya diukur keberhasilan yang diperoleh di kelas,
tetapi keberhasilan yang sesungguhnya adalah ketika pendidik
mampu menjadikan peserta didik berakhlak mulia. Untuk
mewujudkan hal itu, sangat ditentukan kepribadian atau
keteladanan seorang guru atau pendidik. Sungguh amat tercelah
seorang pendidik yang hanya mampu memberikan teori atau
mengajarkan sesuatu, tetapi dia sendiri tidak mampu
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini diingatkan
oleh Allah swt. dalam firman-Nya QS. al-Baqarah/2: 44
290
Armai Arif, op. cit., h, 119-120
| 107
           
Terjemahnya:
Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan,
sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu
membaca kitab (Taurat)? Tidakkah kamu mengerti.291
Ayat tersebut, mengingatkan kepada orang-orang yang
terlibat dalam penyampaian kebenaran, termasuk para pendidik
agar berhati-hati menyampaikan sesuatu yang mereka tidak dapat
melakukannya, padahal sesungguhnya mereka memiliki
kemampuan untuk melakukannya. Misalnya, sopan santun dalam
perkataan dan pergaulan, dan beberapa akhlak terpuji lainnya.
Dalam hal seperti ini, apabila terjadi perbedaan dari ucapan dan
perbuatan, sungguh Allah swt. amat tidak menyukainya. Hal ini
dipahami dari struktur ayat tersebut yang diawali dengan harf alistifham al ingkari yakni huruf hmazh pada term ataemurūna yang
mengandung makna perintah, sehingga ayat secara tersirat
bermaksud “jangan kamu menyampaian sesuatu kepada orang lain
padahal kamu melupakan dirimu untuk mengerjakannya”
2. Metode dialog, diskusi dan tanya jawab
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dialog adalah; 1)
percakapan dalam sandiwara, cerita, dan sebagainya 2) karya tulis
yang disajikan dalam bentuk percakapan antara dua tokoh atau
lebih.292 Sedangkan diskusi adalah pertemuan ilmiah untuk
bertukar pikiran mengenai suatu masalah.293 Tanya jawab, terdiri
dari dua kata yakni, tanya berarti permintaan keterangan,
penjelasan dan sebagainya. Sedangkan jawab berarti soal jawab,
291
Depertemen Agama RI., op. cit., h. 8.
292
Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 261
293
108 |
Ibid., h. 269
diskusi dan wawancara.294 Dengan demikian, yang dimaksud
dengan tanya jawab adalah sebuah pertanyaan lalu mendapat
jawab, boleh jadi penanya merasa puas kalau sudah mendapat
jawaban dan boleh jadi berlanjut saling tukar pemikiran, sehingga
berbentuk diskusi. Dalam pengertian yang umum, diskusi ialah
suatu proses yang melibatkan dau atau lebih individu yang
berinteraksi secara verbal dan saling berhadapan muka mengenai
tujuan atau sasaran yang sudah tertentu melalui cara tukar
menukar informasi (information sharing), mempertahankan
pendapat (self maintenance), atau pemecahan masalah (problem
sovling).295 Oleh karena itu, yang dimaksud metode dialog/diskusi
adalah suatu metode yang dilakukan dengan bertukar pikiran
antara guru dengan peserta didik atau antara sesama peserta didik
dalam suatu tempat tertentu (di kelas) guna mengambil
kesimpulan dari suatu masalah, atau guru memberi kesempatan
kepada para peserta didik untuk mengadakan pembicaraan ilmiah
guna mengambil kesimpulan atau membuat alternatif-alternatif
pemecahan terhadap beberapa masalah yang harus dipecahkan
berasma.
Salah satu kandungan al-Qur’an adalah masalah
dialog/diskusi, seperti yang dialami oleh Nabi Zakariya ketika
berdialog/diskusi dengan Allah swt. tentang kemungkinannya
memperoleh anak. Sebagaimana firman Allah swt. dalam
QS. Ali ‘Imran/3: 41-42 dan 47 sebagai berikut;
294
295
Ibid., h. 1141
Ramayulis, Metodologi, op. cit., h. 289.
| 109
               
               
     

       
Terjemahnya:
Dia (Zakariya) berkata, “Ya Tuhanku, bagaimana aku bisa
mendapatkan anak, sedang aku sudah sangat tua, dan istriku
pun sudah mandul? Dia (Allah) berfirman, “Demikianlah
Allah berbuat apa yang Dia kehendaki. Dia (Zakariya)
berkata, “Ya Tuhanku berila aku suatu tanda, “Allah
berfirman, tanda bagimu adalah bahwa engkau tidak berbicara
dengan manusia selama tiga hari, kecuali dengan isyarat. Dan
sebutlah (nama) Tuhanmu banyak-banyak dan bertasbihlah
(memuji-Nya) pada waktu petang dan pagi”.296
Demikian pula dialog antara Allah swt. dengan Maryam
tentang kemungkinannya memperolah anak, padahal kenyataannya
tidak pernah tersentuh dengan seorang laki-laki, sebagamana
firman Allah swt. dalam QS. Ali ‘Imran/3: 47.
      
  
        
           
Terjemahnya:
Dia (Maryam) berkata “Ya Tuhanku bagaimana mungkin aku
akan mempunyai anak, padahal tidak seorang lak-laki pun
yang menyentuhku?”Dia (Allah) berfirman “Demikianlah
Allah menciptakan apa yang Dia kehendaki. Apabila Dia
296
110 |
Depertemen Agama RI., op. cit., h. 69
hendak menciptakan sesuatu, Dia hanya
kepadanya,“jadilah”maka jadilah sesuatu itu.297
berkata
Ketiga ayat tersebut, memberikan gambaran tentang
contoh metode dialog/diskusi yang ditunjukkan oleh Allah swt.
untuk memberi pemahaman tentang sesuatu yang dimaksud
kepada lawan berbicara, yakni Zakariya (ayat 40-41) dan Maryam
(ayat 47), yang pada perinsipnya ketiga ayat tersebut
membicarakan tentang kemungkinannya mereka memiliki anak,
yang secara empirik tidak mungkin lagi mereka memilikinya.
Zakariya dan istrinya sudah tua Sedangkan Maryan tidak ada lakilaki yang pernah menyentuhnya atau tidak memiliki suami. Dari
hasil dialog mereka itu, Allah swt. memastikan kepada mereka
bahwa tidak ada yang mustahil bagi-Nya kalau sekiranya Dia
menghendakinya.
Dengan demikian, metode dialog/diskusi perlu diterapkan
dalam pembelajaran sebagai upaya untuk merangsang peserta
didik berfikir atau mengeluarkan pendapatnya sendiri mengenai
persoalan-persoalan
yang
dihadapi
dan
memerlukan
pemecahaannya. Oleh karena itu, metode ini tidak hanya
berorientasi pada percakapan dan debat, tetapi yang lebih penting
adalah pemecahan masalah, seperti yang ditunjukkan oleh Allah
swt dalam al-Qur’an.
Sekalipun metode dialog/diskusi ini dirasakan manfaatnya,
namun menurut Armai Arief memiliki kelebihan dan kekurangan.
a. Kelebihannya adalah:
Kelebihan/keunggulan metode didialog/diskusi antara lain:
1) Suasana kelas lebih hidup, semua peserta didik
mengarahkan pekirannya pada suatu masalah yang
didiskusikan.
297
Ibid., h. 70
| 111
2) Dapat meningkatkan prestasi kepribadian individu, seperti;
sikap toleransi, demokrasi, berfikir kritis, sistematis, sabar,
dan sebagainya,
3) Kesimpulan hasil diskusi mudah dipahami oleh peserta
didik, karena mereka mengikuti proses berfikir sebelum
sampai kepada suatu kesimpulan,
4) Siswa terlatih belajar untuk mengetahui peraturanperaturan dan tata tertib layaknya dalam suatu
musyawarah.
5) Membantu sisiwa untuk mengambil keputusan yang lebih
baik,
6) Tidak terjebak ke dalam fikiran individu yang terkadang
salah, dan sempit.298
b. Kekurangannya adalah:
Pada dasarnya setiap ada kelebihan, juga terdapat
kekurangan. Kekurangan metode dialog/diskusi antara lain:
1) Kemungkinan ada peserta didik yang tidak ikut aktif,
sehingga diskusi baginya hanyalah merupakan
kesempatan untuk melepaskan tanggung jawab.
2) Sulit menduga hasil yang dicapai, karena waktu yang
dipergunakan untuk diskusi cukup panjang.299
Dari keterangan di atas, dipahami bahwa sekalipun metode
ini terdapat kelebihan dan kekurangan, tetapi tetap perlu
diterapkan dalam pengajaran, terutama kalau keadaan
memungkinkan, baik dari segi waktu maupun topik-topik yang
dibahas ketika itu sekurang-kurangnya dalam bentuk tanya jawab.
Seorang peserta didik yang mendapat kesempatan menanyakan
suatu masalah yang dianggap penting, lalu mendapat jawaban
yang memuaskan merupakan kesan yang sangat berharga baginya
dan boleh jadi kesan tersebut tidak terlupakan selama-lamnya.
298
299
112 |
Armai Arief, op. cit., h. 148-149
Ibid.
1. Metode pemberian hukuman
Kata hukuman berasal dari kata hukum yang dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan; 1) peraturan atau adat
yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan penguasa
atau pemerintah, 2) Undang-undang, peraturan dan sebagainya.
untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat, 3) patokan (kaedah,
ketentuan) mengenai peristiwa, alam dan sebagainya yang
tertentu, 4) kegunaan atau pertimbangan yang ditetapkan oleh
hakim (dalam pengadilan), vonis.300 Setelah mendapat akhiranan
jadilah hukuman yang berarti; 1) siksaan dan sebagainya. yang
dikenakan kepada orang yang melanggar undang-undang dsb, 2)
keputusan yang dijalankan oleh hakim, 3) hasil atau akibat
menghukum.301
Dalam bahasa Arab kata hukuman sama dengan, al-‘iqāb,
al-‘uqubah dan al-Qṣaṣ, 302 dan terkadang juga diartikan dengan
balasan. Dalam hubungan dengan pendidikan Islam al-‘iqab
berarti:
a. Alat pendidikan preventif dan represif yang paling tidak
menyenangkan
b. Imbalan dari perbuatan yang tidak baik dari peserta didik. 303
Oleh karena itu, pemberian hukuman kepada peserta didik
dimaksudkan sebagai balasan terhadap perbuatan mereka, dan
tidak ada alternatif lain kecuali diberikan hukuman, agar mereka
menyadari kesalahan yang mereka lakukan. Dalam pendidikan
Islam, metode pemberian hukuman atau mengancam memberikan
hukum kepada mereka yang melanggar adalah sesuatu tindakan
yang dibenarkan selama dilakukan dengan motivasi mendidik
300
301
302
303
Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 410
Ibid., h. 411
Ahmad Warson Munawwir, op. cit., h. 1022
Armai Arief, op. cit., h. 130-131
| 113
bukan balas dendam dan sebagainya. Allah swt. mengancam
orang yang mengingkari ajaran agama termasuk keyakinan
terhadap keberadaan para Rasul, mereka akan mendapatkan
hukuman yang tidak hanya diakhirat dirasakan, tetapi juga
didunia. Sebagaimana firman Allah swt. dalam QS. Ali ‘Imran/3:
58
           
 
 
Terjemahnya:
Maka adapun orang-orang yang kafir, maka akan Aku azab
mereka dengan azab yang sangat keras di dunia dan di
akhirat, sedang mereka tidak akan memperoleh penolong.304
Term u’aẓẓibuhum adalah bentuk fi’il muḍāri’ dari fi’il
mādi rubā’ī yakni ‘aẓẓaba yang berakar kata dari huruf ‘ain, ẓal
dan ba yang berarti antara lain menyiksa, menahan.305 Bagi mereka
yang disiksa atau ditahan pada intinya adalah diberi hukuman.
Oleh karena itu, ayat ini menerangkan bahwa orang-orang Yahudi
yang mendustakan Muhammad saw. akan akan disiksa dengan
siksaan yang pedih baik di dunia maupun di akhirat. Siksaan dunia
yang akan menimpa mereka ialah ditawan serta dikuasai oleh
bangsa-bangsa lain. Sedangkan siksaan di akhirat ialah siksaan
Allah swt. di hari pembeaasan yang sangat pedih. Pada waktu itu,
mereka tidak mendapat pertolongan dari siapa pun.306
Dari keterangan di atas, dipahami bahwa Allah swt. akan
memberi siksaan atau hukuman kepada mereka yang tidak mau
304
Depertemen Agama RI., op. cit., h.71
305
Ahmad Warson Munawwir, op. cit., h. 975-976.
306
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, op. cit., jilid
1, h. 518-519
114 |
beriman kepada-Nya termasuk mengimani eksistensi Muhammad
saw. sebagai Rasulnya. Ini merupakan suatu regulasi bagi pendidik
memberi hukuman atau mengancam akan memberi hukuman
kepada peserta didik yang melanggar merupakan salah satu
metode yang seharusnya atau setidaknya masih layak diterapkan.
Bahkan bukan saja bersifat ancaman, tetapi betul-betul
dilaksanakan ketika mereka melanggar, agar tindakan itu menjadi
pelajaran, tidak hanya bagi yang bersangkutan, tetapi juga kepada
peserta didik lain. Namun demikian penerapan metode hukuman
dalam pendidikan tetap ada kelebihan dan kekurangannya.
a. Kelebihannya adalah:
1) Hukuman akan menjadikan perbaikan-perbaikan terhadap
kesalahan peserta didik,
2) Peserta didik tidak lagi melakukan kesalahan yang sama,
3) Merasakan akibat perbuatannya sehingga ia akan
menghormati dirinya.
b. Kekurangannya adalah:
1) Akan membangkitkan suasana rusuh, takut dan kurang
percaya diri,
2) Peserta didik akan selalu merasa sempit hati, pemalas, suka
berdusta (karena takut dihukum),
3) Mengurangi keberanian anak untuk bertindak.307
Namun demikian, metode pemberian hukuman
merupakan metode yang perlu diterapkan selama pendidik
melakukannya dengan perinsip edukasi, tidak membeda-bedakan
dan tidak menyakiti fisik peserta didik.
2. Metode perumpamaan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata perumpamaan
berasal dari kata umpama berarti, yang menjadi contoh
(persamaan, perbandingan) dengan yang lain-lain.308 Dengan
307
Armai Arief, op. cit., h. 133
308
Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 1243
| 115
demikian, yang dimaksud metode perumpamaan adalah sebuah
metode dalam pendidikan dengan mengemukakan perbandinganperbandingan atau perumpamaan sesuatu dengan suatu yang lain.
Metode ini menarik perhatian peserta didik ketika dikemukakan
perumpamaan-perumpamaan yang mudah dicerna akal, yang
sebelumnya boleh jadi dalam bentuk abstrak, lalu diambil
perumpamaan yang berbentuk konkret (nyata), sehingga mudah
dipahami dan diterima oleh akal. Allah swt. mengemukakan
perumpamaan dengan mengambil contoh yang konkret dari hal-hal
yang bersifat abstrak.
Salah satu ayat yang membicarakan hal tersebut adalah
QS. Ali Imran/3: 117
      

     
   
    
        
Terjemahnya:
Perumpamaan harta yang mereka infakkan di dalam kehidupan
di dunia ini, ibarat angin yang mengandung hawa sangat
dingin, yang menimpa tanaman (milik) suatu kaum yang
menzalimi dirinya sendiri, lalau angin itu merusaknya. Allah
swt. tidak menzalimi mereka, tetapi mereka yang menzalimi
dirinya sendiri.309
Term maṡal berakar kata dari huruf min, ṡa dan lam yang
berarti membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain.310
Penyebutan kalimat fī haṡihi al-hayāti al-dunyā mengisyaratkan
bahwa infak yang mereka lakukan itu, bertujuan semata-mata
untuk kepentingan kehidupan dunia, tidak sedikit pun
296
116 |
309
Depertemen Agama RI., op. cit., h. 81
310
Abī al-Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, op. cit., jilid III, h.,
dimaksudkan untuk bekal kehidupan akhirat.311 Harta mereka
benar-benar dimanfaatkan untuk memperoleh kelezatan hidup,
meperoleh prestasi dan pristise di dunia, sehingga harta mereka
tidak dimaanfatkan di jalan Allah swt. Perumpamaan mereka
seperti angin yang sangat dingin yang menghancurkan sawah dan
ladang suatu kaum.312 Oleh karena itu, ayat tersebut dipahami
bahwa Allah swt. menjadikan perumpamaan orang-orang yang
membelanjakan hartanya, semata-mata untuk kepentingan dunia,
tidak ada niat untuk kepentingan akhirat, karena memang mereka
tidak meyakini tentang adanya balasan di akhirat. Perbuatan
mereka diibaratkan angin yang sangat dingin sehingga merusak
tanaman. Maksudnya harta yang mereka infakkan itu sama sekali
tidak berguna bagi mereka.
Allah swt. menggunakan kata shar yang berarti dingin
sekali, sehingga angin yang dimaksudkan di sini adalah angin yang
membinasakan, yang hanya mendatangkan kemudaratan bagi
kehidupan manusia. Ketika Allah swt. menggunakan term rīhun
dalam bentuk tunggal seperti pada ayat tersebut mengandung
makna angin yang membahayakan atau angin yang membawa
musibah. Tetapi ketika Allah swt. mengugnakan term riyāhun
balam bentuk jama’, maka ayat itu mengandung pengertian angin
yang memberi keasyikan dan kesenangan. Boleh jadi Allah swt.
membandingkan perbuatan manusia yang menginfakkan hartanya
seperti halnya angin pada umumnya mengandung manfaat. Hanya
saja, pada ayat tersebut harta yang mereka infakkan itu, hanya
berguna di dunia, karena mereka tidak meyakini adanya hari
kemudian, sehingga tidak berguna baginya di akhirat. Itulah
sebabnya mereka dianggap menzalimi dirinya sendiri, seperti
halnya dengan angin yang awalnya berguna bagi manusia, tetapi
ketika angin itu terlalu kencang atau terlalu dingin, justru menjadi
311
312
M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 194.
Aḥmad Muṣṭafā al-Marāgī, op. cit., juz 4, h. 40
| 117
musibah. Maka hubungan ayat 117 tersebut dengan ayat 116
dinamakan hubungan penegasan. Bahwa ayat 116 menjelaskan,
harta dan anak-anak mereka tidak dapat menjadi menolong di
akhirat, maka ayat 117 kembali menegaskan bahwa harta mereka
hanya berguna di dunia.
M. Quraish Shihab menjelaskan ayat tersebut dengan
mengambil perumpamaan seorang petani yang telah bekerja
sedemikian rupa sehingga sawah dan ladangnya siap untuk dipetik,
tiba-tiba datang angin yang membawa udara yang sangat dingin,
sehingga tanaman yang telah siap untuk dipetik hancur dan tidak
memperoleh hasil sedikit pun. Bahkan mengalami kerugian tenaga,
pikiran dan modal. Demikian juga keadaan mereka di hari
kemudian. Mereka menduga bahwa amal-amalnya bermanfaat dan
berpahala, tetapi kenyataannya sama nasibnya dengan petani yang
telah dicontohkan itu.313
Allah swt. menjadikan perumpamaan pahala atau manfaat
orang yang membelanjakan hartanya karena dunia semata dengan
angin yang sangat dingin (shar), yang menimpah petani, agar
mudah diterima akal pikiran tentang kerugian bagi mereka yang
membelanjakan hartanya semata-mata karena dunia. Akal lebih
mudah berfungsi ketika yang menjadi objeknya adalah benda
konkret (nyata) seperti angin yang menimpah petani, ketimbang
dengan hal-hal yang abstrak, seperti manfaat membelanjakan
harta.
Dengan demikian, metode pendidikan perumpamaan sangat
berguna untuk mempercepat daya tangkal dan daya ingat peserta
didik tentang sesuatu terutama yang bersifat abstara (tidak
dirasakan langsung panca indra) lalu kemudian diangkat
perumpamaannya dengan hal-hal yang konkret (dapat dirasakan
langsung panca indra).
313
118 |
Ibid.
3. Metode kisah
Term kisah berasal dari bahasa arab qaṣaṣun adalah ism almasdar dari kata kerja qaṣaṣa yang berakar kata dari huruf qaf dan
ṣad yang berarti mengikuti sesuatu, mengikuti secara berturutturut, mengikuti jejaknya, juga dapat berarti memotong.314 Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia kisah berarti cerita tentang
kejadian, riwayat, dan sebagainya dalam kehidupan seseorang.315
Oleh karena itu, yang dimaksud metode kisah adalah metode yang
dilakukan oleh guru ketika memberikan pelajaran, mereka juga
menyampaikan kisah-kisah yang berkaitan pembahasan meteri
pelajarannya. Metode ini selain membuka wawasan peserta didik,
juga mengurangi ketegangan, sehingga peserta didik semakin
rileks mengikuti materi pelajaran, tanpa mengurangi tujuan
pembelajaran yang ingin dicapai. Metode kisah merupakan salah
satu metode pendidikan yang cukup penting diterapkan, karena
pada umumnya kisah menyentu jiwa pendengarnya, terutama
kalau yang menyampaikan itu didasari dengan keikhlasan dan
penghayatan.316
Menyikapi penggunaan kisah sebagai salah satu metode
pendidikan, M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa salah satu
metode pendidikan yang digunakan al-Qur’an untuk mengarahkan
manusia ke jalan yang sesuai dengan penciptaannya yang dalam
hal ini adalah terwujudnya suatu kesempurnaan jasmani ataupun
kematangan akal dan jiwa adalah dengan menggunakan kisah, baik
kisah tersebut benar-benar terjadi maupun simbolik, yang tentunya
tetap merujuk pada tujuan primordial tadi. Dalam
implementasinya, berbagai kisah yang disampaikan dalam alQur’an membuktikan kebenaran materi tersebut melalui
314
Abī al-Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, op. cit., jilid V , h. 11,
315
Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 572
316
Muhammad Fadhil al-Jamil, Filsafat Pendidikan dalam al-Qur’an
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1995), h. 125.
| 119
pembuktian-pembuktian, baik dengan argumentasi-argumentasi
yang dikemukakannya, maupun yang dapat dibuktikan sendiri oleh
manusia (peserta didik), melalui penalaran akalnya, sehingga
merasa memiliki atau bertanggung jawab untuk membelanya.317
Kisah Maryam ketika dipersiapkan melahirkan Isa, cukup
menarik untuk
dijadikan salah satu metode pendidikan,
sebagaimana yang digambarkan oleh Allah dalam QS. Ali
‘Imran/3: 42- 48 sebagai berikut:
    
       
    
        
               
      
         
              
            
            
               
     
Terjemahnya:
317
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu
dalam kehidupan Masyarakat, (Cet. VII; Bandung : Mizan, 1994), h. 175
120 |
Dan (ingatlah) ketika para malaikat berkata, “Wahai Maryam!
Sesungguhnya Allah telah memilihmu, menyucikanmu, dan
melebihkanmu di atas segala perempuan di seluruh alam (pada
masa itu). Wahai Maryam! Taatilah Tuhanmu, sujud dan
rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.” Itulah sebagian
dari berita-berita gaib yang Kami wahyukan kepadamu
(Muhammad), padahal engkau tidak bersama mereka ketika
mereka melemparkan pena mereka (untuk mengundi) siapa di
antara mereka yang akan memelihara Maryam. Dan engkau
pun tidak bersama mereka ketika mereka bertengkar.
(Ingatlah), ketika para malaikat berkata, “Wahai Maryam!
Sesungguhnya Allah menyampaikan kabar gembira kepadamu
tentang sebuah kalimat (firman) dari-Nya (yaitu seorang
putra), namanya Al-Masih Isa putra Maryam, seorang
terkemuka di dunia dan di akhirat, dan termasuk orang-orang
yang didekatkan (kepada Allah). Dan dia berbicara dengan
manusia (sewaktu) dalam buaian dan ketika sudah dewasa,
dan dia termasuk di antara orang-orang saleh.” Dia (Maryam)
berkata, “Ya Tuhanku bagaimana mungkin aku akan
mempunyai anak, padahala tidak ada seorang laki-laki pun
yang menyentuhku?” Dia (Allah) berfirman “Demikianlah
Allah menciptakan apa yang Dia kehendaki. Apabila Dia
hendak menciptakan sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya,
“jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu. Dan Dia (Allah)
mengajarkan kepadanya (Isa) Kitab, Hikmah, Taurat dan
Injil.318
Dari beberapa ayat tersebut, tergambar tentang kisah
Maryam yang mendapatkan informasi dari malaikat tentang
kelebihannya, dan keharusannya tunduk menyembah dan taat
kepada Allah swt. Demikian pula informasi dari malaikat tentang
318
Depertemen Agama RI., op. cit., h. 69-70.
| 121
kesediaannya memiliki anak yang bernama Isa. Lalu Maryam
heran mendengar informasi itu, karena secara akal dan kebiasaan
tidak mungkin ia memilki anak, karena tidak pernah bersentuhan
dengan seoarang laki-laki. Lalu malaikat berkata terimalah
kenyataan ini karena kalau Allah swt. menghendaki sesuatu pasti
terjadi. Kisah tersebut menarik disampaikan kepada speserta didik
ketika mengajarkan materi pelajaran yang berkaitan masalah
akidah terutama ketika membahas sifat-sifat Allah swt., sifat-sifat
nabi dan rasul serta reproduksi manusia.
Sakalipun metode kisah itu menarik untuk dikaji dan
diaplikasikan dalam proses pembelajaran, namun metode ini selain
mempunyai kelebihan juga mempunyai kekurangan.
a. Kelebihannya adalah:
1) Kisah dapat mengaktifkan dan membangkitkan semangat
peserta didik. Karena setiap anak didik dituntut
merenungkan makna dan mengikuti alur suatu kisah,
sehingga peserta didik terpangaruh secara psikologi dari
kisah tersebut,
2) Mengarahkan perhatian dan pikiran, sehingga dapat
menghasilkan suatu kesimpulan dari kisah yang diceritakan
3) Kisah selalu memikat, karena mengundang pendengaran
untuk mengikuti peristiwanya dan merenungkan
maknanya,
4) Dapat mempengaruhi emosi, seperti; takut, perasaan
diawasi, rela, senang, sungkan, dan benci sehingga
bergelora dalam lipatan cerita.
b.
Kekurangannya adalah:
1) Pemahaman peserta didik menjadi sulit ketika kisah itu
terakumulasi oleh masalah lain,
2) Bersifat monolog dan dapat menjenuhkan peserta didik,
122 |
3) Sering terjadi ketidak selarasan isi cerita dengan konteks
yang dimaksud sehingga sulit tercapai tujuan yang
diinginkan.319
Sekalipun metode kisah ini memiliki kelemahan, namun
dalam proses pendidikan masih sangat penting untuk
dikembangkan dan diterapkan karena pada umumnya kisah-kisah
itu menyentuh akal pikiran, hati dan jiwa manusia, sehingga kisah
yang disampaikan itu mempermudah pemahaman peserta didik
terhadap meteri pelajaran yang diajarkan pada waktu itu, terutama
kalau kisah itu ada relevansinya dengan materi pelajaran.
4. Metode keteladanan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “keteladanan”
mendapat awalan ke dan akhiran an dari kata dasarnya “teladan”
yang berarti sesuatu yang patut ditiru atau baik untuk dicontoh
tentang perbuatan, kelakuan, sifat dan sebagaianya.)320 Dalam
bahasa Arab, keteladanan diistilahkan dengan uswah atau qudwah
yang menurut al-Asfahani berarti suatu keadaan ketika seorang
manusia mengikuti manusia lain, apakah dalam kebaikan,
kejelekan, kejahatan atau dalam kemurtadan.321 Sejalan dengan
itu, Ibn Zakaria mengemukakan kata uswah searti dengan
quduwah yang berarti ikutan, mengikuti yang diikuti.322
Keteladanan yang dimaksud dalam pendidikan Islam adalah halhal yang diikuti oleh peserta didik dari pendidik atau orang yang
dituakan dalam hal ini tentunya yang hendak ditiru adalah halhal yang bersifat positif baik dari perkataan maupun perbuatan.
Keberhasilan pendidikan dizaman Rasulullah saw. adalah
keteladanan yang ditunjukkan oleh Rasululah saw. sebagai uswah.
319
Armai Arief, op. cit., h. 162
320
Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 1160
321
Al-Ragib Al-Asfahani, Mu’jam al- Mufradat alfazh al-Qur’an
(Damsyiq: Dar Al-Qalam, t.th.), h. 105
322
Abī al-Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, op. cit., jilid I , h. 105
| 123
Rasulullah saw. ternyata banyak memberikan keteladan dalam
mendidik para sahabatnya.323 Demikian pula nabi-nabi yang lain
misalnya, Nabi Zakariya adalah teladan yang baik ketika beliau
selalu berdoa agar mendapatkan keturunan yang baik,
sebagaimana firman Allah swt dalam QS. Ali ‘Imran/3: 38 sebagai
berikut:
                 
  
Terjemahnya:
Di sanalah Zakariya berdoa kepada Tuhannya. Dia berkata,
“Ya Tuhanku, berilah aku keturunan yang baik dari sisi-Mu,
sesungguhnya Engaku Maha Mendengar doa”.324
Menurut al-Marāgī, zurriyyatan berarti anak, kata ini
dipakai untuk bentuk mufrad dan jamak. Sedangkan ṭayyibatan
berarti hal-hal yang nyaman dipandang, baik dari segi
perilakunya,325 maupun akhlaknya. Menurut Ibn Katsir, yang
dimaksud dengan zurriyyatan ṭayyibatan adalah anak saleh.326
Ketika Nabi Zakariya mengetahui keindahan tingkal laku dan ilmu
pengetahuan yang dimiliki Maryam tentang Allah swt. maka
beliau berharap semoga dikaruniai oleh Allah swt. anak saleh
seperti Maryam, cerdas serta memikat hati bagi yang melihatnya,
sehingga mereka berharap agar dikaruniai anak yang cerdas seperti
Maryam.327 Menurut M. Quraish Shihab yang dimaksud hunāka
323
Armai Arief, op. cit., h. 116.
324
Depertemen Agama RI., op. cit., h. 68
325
Aḥmad Muṣṭafā al-Marāgī, op. cit., Juz 3, h. 142
326
Abī al-Fidāīi isma’īl ibn Kaṡīr al-Qurasyī sl-Dimisyqī, op. cit., Juz 3,
h. 360
327
124 |
Ibid.
(di sanalah), yakni di Mihrab tempat Maryam berada dan
menjawab pertanyaan Nabi Zakariya tentang sumber rezki
Maryam, maka muncul keinginan Zakariya memperoleh anak,
yang sebelumnya selalu dipendam karena ia sadar bahwa dirinya
dan istrinya sudah tua. Melihat apa yang terjadi pada diri Maryam
dan mendengar serta menyadari ucapan Maryam bahwa Allah swt.
memberi rezki kepada siapa yang Dia kehendaki, tanpa yang
bersangkutan menduganya. Ketika itulah Zakariya bermohon
kepada Allah swt. untuk mendapatkan anak shaleh.328
Sikap Nabi Zakariya tersebut, yakni memohon kepada
Allah swt. untuk mendapatkan anak yang saleh, berakhlak mulia,
memikat hati orang yang melihatnya, merupakan suatu sikap yang
perlu diteladani. Sebagai orang tua seharusnya selalu berdoa
kepada Allah swt. semoga mendapat anak yang saleh, atau semoga
anak yang telah dilahirkan selalu mendapat hidayah dari Allah
swt. agar manjadi anak saleh, yang selalu beribadah kepada Allah
swt. serta berbakti kepada kedua orang tuanya.
Selain dari sikap Nabi Zakariya yang selalu memohon
untuk mendapatkan anak yang saleh, juga beberapa sikap Nabi
Muhammad saw. yang perlu diteladani, seperti; kepeduliannya
terhadap masyarakat yang ada di sekitarnya dengan membacakan
ayat-ayat Allah swt., menyucikan jiwa dengan nasihat, mengajar
mereka al-Qur’an dan hikmah (sunnah). Sebagaimana firman Allah
swt. dalam QS. Ali ‘Imran/3: 164 sebagai berikut:
             
         
   
  
328
M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 84.
| 125
Terjemahnya:
Sungguh, Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang
beriman ketika (Allah) mengutus seorang Rasul (Muhammad)
di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri, yang
membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan
(jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab (alQur’an) dan Hikmah (Sunnah), meskipun sebelumnya, mereka
benar-benar dalam kesesatan yang nyata.329
Bahwa Allah swt. mengutus Rasul (Muhammad) kepada
orang-orang mukmin dari bangsa Arab sendiri, bukan berasal dari
malaikat atau orang asing dari mereka, agar mereka memahami
dan memuliakannya. Lalu Rasulullah saw. bertugas membacakan
ayat-ayat al-Qur’an dan membersihkan mereka dari dosa serta
mengajar mereka al-Qur’an, walaupun mereka sebelumnya berada
dalam kesesatan.330 Menurut al-Marāgī sifat-sifat Rasulullah saw.
yang harus ditaati atau diteladani adalah;
a. Bahwa Nabi Muhammad saw. berasal dari Mekah yakni
berasal dari bangsa Arab, sehingga mereka lebih mudah
memahami ajaran dan mengambil petunjuknya serta mereka
lebih mudah mempercayainya dibanding kalau Nabi bukan dari
kalangan mereka. Oleh karena itu, mereka selalu
memperhatikan perkembangan dan pertumbuhannya, akhirnya
mereka hormat kepada Nabi Muhammad saw.
karena
kejujuran dan amanah (terpercaya)
b. Bahwa Nabi Muhammad saw. membacakan ayat-ayat Allah
swt. terutama yang berkaitan dengan kekuasaan, keesaan dan
pengetahuan-Nya, sehingga jiwa mereka termotivasi memetik
berbagai faedah dan pelajaran.
329
330
Depertemen Agama RI., op. cit., h. 90-91
Jalal al-Din Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad al-Mahalliy dan
Jalal al-Din Abd. Al-Rahman ibn Abiy Bakr al-Suyutiy, Tafsir al-Imam alJalalain, Juz I (Damsyiq: Dar Ibn Katsir, 1407H.), h. 71
126 |
c. Nabi Muhammad saw. membersihkan jiwa mereka dari akhlak
yang tidak baik. Sebab bangsa Arab sebelum datangnya Islam,
mereka memiliki akhlak yang tidak baik dan akidah yang salah
seperti kepercayaan mereka tentang adanya makhluk yang
dapat mendatangkan manfaat yang diharapkan dan menolak
mudarat atau bahaya yang tidak diinginkan, sehingga mereka
selalu meminta pertolongan dan perlindungan.
d. Nabi Muhammad saw. mengajar mereka al-Qur’an dan Sunnah
(Hadis) serta mengajar mereka menulis, sehingga mereka
terbebas dari buta huruf, akhirnya mereka pandai menulis dan
berilmu pengetahuan. Mereka diajar oleh Nabi Muhammad
saw. menulis al-Qur’an, sehingga di antara mereka diangkat
menjadi sekretaris wahyu.331
M. Quraish Shihab berpendapat bahwa yang dimaksud kata
anfusihim adalah bahwa Nabi Muhammad saw., berasal dari
lingkungan mereka, sehingga nabi yang diutus itu dikenal sejak
kecil, hingga dewasa, pengenalan yang sangat luas sampai kepada
sifat-sifatnya yang terpuji. Juga Nabi Muhammad saw. berasal dari
ras yang sama dengan mereka, sehingga beliau dapat berbicara
dengan bahasa yang mudah mereka mengerti.332 Dengan
keistimewaan yang dimiliki oleh Nabi Muhammad saw. seperti
yang telah disebutkan di atas menunjukkan bahwa pantaslah kalau
Nabi Muhammad saw. diberi gelar al-insan al-kamilah (manusia
sempurna) dan penyempurna akhlak yang mulia. Apa lagi
Muhammad saw. telah diberikan keistimewaan oleh Allah swt.
dengan predikat uswatun hasanah sebagaimana firman Allah swt.
dalam QS. Al-Ahzab/33: 21 sebagai berikut:
331
Aḥmad Muṣṭafā al-Marāgī, op. cit., Juz, IV , h.,123-124.
332
M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 268
| 127

            
   
   
Terjemahnya:
Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang
banyak mengingat Allah.333
Penggunaan harf al-jar fī pada kalimat fī Rasulillah
berfungsi “mengangkat” dari diri Rasul satu sifat yang hendak
diteladani, tetapi sesungguhnya yang dimaksudkan adalah
Rasulullah saw. sendiri dengan seluruh totalitas beliau, karena
kepribadian beliau secara totalitas adalah teladan.334
Rasulullah saw. berhasil menyebarkan ajaran Islam dalam
waktu yang relatif singkat, karena keteladanan yang muncul dari
dri pribadi beliau. Ia selalu menyampaikan sesuatu setelah terlebih
dahulu beliau mempraktekkannya, sehingga tidak ada ruang bagi
orang yang menantang atau menghina beliau untuk berkata bahwa
Muhammad saw. itu hanya pandai berbicara tetapi tidak dapat
membuktikannya. Sikap keteladanan yang diperlihatkan oleh
Rasulullah saw. menjadi motivasi yang luar biasa bagi umatnya
untuk menjauhi segala larangannya, seperti menjudi , berzina dan
sebagainya., dan melaksanakan segala tuntunan yang disyariatkan
oleh agama yang dibawa oleh beliau seperti salat, puasa, nikah dan
sebagainya.
Dengan demikian, metode keteladanan dalam pendidikan
menjadi penting sebagai upaya untuk mewujudkan tujuan
pendidikan. Pendidik yang dapat memberi contoh yang baik,
128 |
333
Depertemen Agama RI., op. cit., h. 595
334
M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 11, h. 242-243
seperti bertutur kata, bertatakrama, bersopan santun sampai
kepada pelaksanaan syariat agama secara utuh sangat berpengaruh
secara fisik dan psikologi kepada peserta didik.
Sebagai contoh pendidikan di pesatren sangat mudah
membentuk kepribadian anak yang baik, itu tidak lain karena
keteledanan dari seorang kiyai atau pengasuh pesantren. Kelebihan
mereka dalam memimpin pesantern karena memiliki pamor yang
terkenal bukan saja di pesantrennya, tetapi di kalangan masyarakat
luas. Kepercayaan itu terwujud karena keteladanan yang mereka
bangun dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, sesuai ucapan
dan perbuatan. Sehingga setiap jalur pendidikan yang mereka
bangun baik pendidikan formal, informal dan nonformal. Selalu
mendapat respon yang baik dari masyarakat yang menjadi objek
pendidikannya.
5. Metode rekreasi/karya wisata
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, rekreasi berarti
penyegaran kembali badan dan pikiran; sesuatu yang
menggembirakan hati dan menyegarkan seperti hiburan, piknik.335
Sedangkan karya wisata adalah kunjungan ke suatu objek dalam
rangka memperluas pengetahuan dalam hubungannya dengan
pekerjaan seseorang atau sekelompok orang.336 Ketika dikaitkan
dengan metode pendidikan, berarti suatu metode dalam proses
belajar mengajar dilakukan sebagai alternatif yang diperuntukkan
bagi peserta didik agar mendapatkan atau memperoleh
pengalaman belajar yang tidak diperoleh secara langsung di dalam
kelas. Metode ini sangat baik dilakukan sebagai salingan out door
study sebab para peserta didik dapat diajak langsung ke alam yang
sebenarnya.337 Allah swt. memerintahkan kepada umat manusia
agar berjalan guna mengambil pelajaran, baik alam lingkungan,
335
336
337
Depertemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 942-943.
Ibid., h. 511
Armai Arief, op. cit., h. 168.
| 129
maupun peninggal-peninggalan orang terdahulu. Sebagaimana
firman Allah swt. dalam QS. Ali ‘Imrān/3: 137
         
     
 
Terjemahnya:
Sungguh, telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah,
karena itu berjalanlah kamu ke (segenap penjuru) bumi dan
perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang mendustakan
(rasul-rasul).338
Term sīrū adalah fi’il al-amr (bentuk perintah) dari fi’il almāḍi yaitu sāra yang berakar kata dari huruf sin, ya (al-harf almu’tal) dan ra. Dari akar kata tersebut terbentuklah term sāra,
yasīru, sairan dan masīratan dari segi etimologi berarti madā dan
jarā “telah berlalu, mengalir atau berjalan (lari).339 Dari segi
leksikal berarti berjalan dari satu tempat ketempat lain,340 atau alsiyāḥa fī al-ard yakni berjalan di bumi.341
Munurut M. Quraish Shihab, ayat ini memerintahkan
mempelajari sunnah yakni kebiasaan atau ketetapan Allah swt.
dalam suatu masyarakat. Termasuk di dalamanya hukum-hukum
alam yang sering dialami oleh suatu masyarakat. Dengan
demikian, sunnatullah atau hukum-hukum kemasyrakatan tidak
ubahnya dengan hukum-hukum alam atau hukum yang berkaitan
338
Depertemen Agama RI., op. cit., h. 85
339
Abī al-Ḥusain Aḥmad Ibn Fāris Ibn Zakariā, op. cit., Jilid
340
Jamāl al-Dīn Muḥammad Ibn Mukarram ibn Manḍūr al-Ansārī,
III, h.
120
Lisān ‘Arab, jilid III (t.t: al-Muassasah al-Misriyah al-Āmmah li l-Ta’rīf wa alAmbiyā al-Nasyr, t.th.), h. 55
341
130 |
Al-Ragīb al-Asfaḥānī, op. cit., h. 432.
dengan materi. Hukum-hukum alam sebagaimana halnya hukumhukum kemasyrakatan bersifat umum dan pasti, tidak satu pun dan
di negeri manapun yang dapat terbebaskan dari sanksi bila
melanggarnya.342 Oleh karena itu, adalah suatu kewajiban bagi
generasi yang datang sesudahnya untuk mepelajari semua itu
dengan sering melakukan rekreasi atau karya wisata. guna
mendapatkan berbagai ilmu pengetahuan serta pelajaran untuk
dijadikan perbandingan dalam menata perkembangan ilmu
pengetahuan kini dan yang akan datang.
Oleh karena itu, al-Marāgī berpendapat ayat ini merupakan
perintah berjalan di bumi dan merenungkan peristiwa-peristiwa
yang telah menimpa umat terdahulu, guna dijadikan pelajaran
untuk mendapatkan ilmu yang benar dan didasari dengan bukti
yang otentik.343
Perjalanan wisata yang dimaksudkan di sini adalah
perjalanan yang bertujuan untuk membuka wawasan, memperoleh
informasi yang akurat, serta menyaksikan berbagai persoalan atau
kelebihan dan kekurangan pada suatu daerah tertentu, adat istiadat
dan peradaban yang telah atau pun sedang berkembang, termasuk
geografisnya dan keindahan alamnya. Kesemuanya ini
dimaksudkan untuk memperkaya khasanah keilmuan seseorang.
Karena pada dasarnya tidak ada orang yang bodoh, kecuali orang
yang terlambat memperoleh informasi. Itulah sebabnya rekreasi
atau karya wisata menjadi salah satu metode pendidikan dan
sebagai dasar normatifnya telah dijelaskan berbagai ayat dalam alQur’an, salah satunya adalah ayat 137 dari surah Ali ‘Imran
tersebut. Sekali pun demikian metode ini memiliki kelebihan dan
kekurang;
342
M. Quraish Shihab, Tafsir., op. cit., volume 2, h. 225.
343
Aḥmad Muṣṭafā al-Marāgī, op. cit., Juz, IV , h., 75-76
| 131
a.
Kelebihannya adalah:
1) Peserta didik dapat menyaksikan secara langsung kegiatan
yang dilakukan oleh pendidiknya. Teori-teori yang telah
disajikan di kelas, diperagakan secara langsung.
2) Peserta didik dapat menghayati dan mempraktekkannya
secara langsung.
3) Sikap dan tindakan peserta didik berubah, misalnya setelah
mengunjungi suatu panti asuhan, menjadi lebih menyadari,
bahwa peserta didik yang diasuh di panti asuhan itu perlu
ditolong, dan disayangi.
4) Melalui metode ini, mata pelajaran dapat dintegrasikan.
5) Dapat menjawab persoalan-persoalan, dengan melihat,
mendengar, mencoba dan membuktikan sendiri
6) Dapat mengembangkan rasa sosial peserta didik
7) Memperbesar dan memperluas minat serta perhatian
terhadap tugas-tugas yang diberikan sekolah kepada
mereka.
b.
Kelemahan Metode Rekreasi atau Karya Wisata.
1) Metode ini akan gagal bila mana menemui suatu objek
yang tidak sesuai dengan tujuan yang ditetapkan.
2) Waktu yang sangat terbatas, sehingga sering menyita
waktu pelajaran lain.
3) Memerlukan biaya teransfortasi dan akomodasi.344
E.
Membumikan Konsep Pendidikan Qur’ani melalui Pendidikan
Karakter
Kosa kata karakter berasal dari bahasa Yunani character.
Pada mulanya, kata ini digunakan untuk menandai hal yang
mengesankan dari koin (keping uang). Kemudian digunakan untuk
mengartikan hal yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
344
132 |
Ramayulis, Metodologi, op. cit., h. 359-360
Akhirnya digunakan untuk menyebut kesamaan kualitas pada
setiap orang yang membedakan dengan kualitas yang lainnya.345
Menurut Dani Setiawan seperti yang dikutip oleh Agus Wibowo,
akar kata karakater berasal dari bahasa latin, yaitu kharakter,
kharassein, pointed stake. Dalam Bahasa Prancis disebut caractere.
Pada abad 14 ketika masuk ke dalam Bahasa Inggris, kata
caraktere berubah menjadi character. Dalam bahasa Indonesia,
kata character berubah menjadi karakter.346 Dalam bahasa Arab
kata karakter disinonimkan dengan ‫( اخــالق‬akhlāk) adalah jama’
dari kata ‫( خـلــق‬khulukun) yang berarti tabiat, budi pekerti. 347
Menurut Doni Koesoema A. bahwa karakter sama dengan
kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ciri atau karakteristik,
gaya, sifat khas, dari diri seseorang yang bersumber dari bentukanbentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada
masa kecil, juga bawaan sejak lahir.348 Karena ia merupakan
kondisi dasar atau bawaan sejak lahir, maka agar dapat berfungsi
dengan baik harus ditopan dengan energi dari luar termasuk
pengetahuan yang diperoleh melalui jalur pendidikan. Hal ini
sesuai dengan definisi pendidikan karakter yang dikemukakan oleh
Ahmad Muhaimin Azzet bahwa pendidikan karakter adalah
pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek
pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan
(action).349
345
Fathul Mu’in, Pendidikan Karakter Konstruksi Teoritik & Praktik
(Cet. II: Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2011), h. 162.
346
Agus Wibowo, Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi (Cet.
Yogyakarta: Putaka Pelajar, 2013), h. 23-24
347
Ahmad Warson Munawwir, op. cit., h. 393.
348
Doni Koesoeman A., Pendidikan Karakter: Starategi Mendidik Anak
di Zaman Global Jakarta: Grasindo, 2010), h. 80
349
Ahmad Muhaimin Azzet, op. cit., h. 27
| 133
Dengan begitu, maka pendidikan karakter dalam semua
jalur pendidikan yakni formal, informal, nonformal begitu juga
semua jenjang pendidikan, mulai dari TK sampai perguruan tinggi
harusnya memproritaskan capaian pemahaman dan pengamalan
terhadap pilar-pilar karakter yang menurut Suyanto seperti yang
dikutip oleh Akhmad Muhaimin Azzat terdapat sembilan pilar
karakter yang berasal dari nilai-nilai universal, yakni; (1) cinta
kepada Tuhan dan segenap ciptaan-Nya, (2) kemandirian dan
tanggung jawab, (3) kejujuran dan amanah, (4) hormat dan santun,
(5) dermawan, suka menolong, dan kerjasama, (6) percaya diri dan
pekerja keras, (7) kepemimpinan dan keadilan, (8) baik dan rendah
hati, (9) toleransi, kedamaian, dan kesatuan.350
Sekiranya kesembilan pilar karakter tersebut, telah
berpengaruh dalam kehidupan umat manusia, tentu tidak terjadi
ketidak harmonisan dalam kehidupan ini. Namun, kenyataannya
masih ditemukan penyimpangan yang sungguh amat tidak
diharapkan. Perkelahian, pemerkosaan, perzinahan, korupsi dsb.
masih menjadi tontonan yang menarik dalam setiap waktu dan
tempat, dan yang paling menyedihkan karena pada umumnya
terjadi di kalangan masyarakat yang terpelajar. Oleh karena itu,
perlu dilakukan secara bersama-sama reaktualisasi, restrukturisasi,
refungsionalisasi pendidikan yang sejalan dengan semangat alQur’an melalui pembumian konsep pendidikan qur’ani yang
didalamnya terdapat pilar-pilar karakter yang perlu diaplikasikan
dalam kehidupan umat manusia kini dan yang akan datang. Secara
rinci dalam buku ini dikemukakan pilar-pilar karakter dimaksud
dalam al-Qur’an dengan mensingkronkan pilar-pilar karakter yang
dikemukakan oleh Suyanto tersebut.
1. Cinta kepada Tuhan dan segenap ciptaan-Nya
Apabila seseorang telah mencintai Allah swt., maka ia akan
selalu memelihara karakter yang baik terhadap-Nya, dengan
350
134 |
Ibid., h. 29.
melakukan ibadah dengan penuh ketulusan dan keikhlasan sematamata mengharapkan keredhahan dari Allah swt. dan selalu
mengikuti ajaran Rasulullah saw. baik berupa qauliyah (yang
diucapkan Rasulullah saw), fi’liyah (yang dilakukan oleh
Rasulullah saw.) maupun taqririyahnya (sesuatu yang dilakukan
sahabat lalu Rasulullah saw. tidak melarang dan tidak juga
memerintahkannya). Pada dasarnya, ketiga bentuk hadis tersebut,
hendaknya diikuti oleh umatnya, sebagai perwujudan kecintaan
kepada Nabi Muhammad saw, sekaligus kecintaan kepada Allah
swt. Hal inilah yang ditegaskan oleh dalam QS. Ali ‘Imrān/3: 31
     
   
        
  
Terjemahnya
Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah,
ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni
dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. 351
Ayat ini turun berkenaan dengan ajakan Rasulullah saw.
kepada Ka’ab ibnu Asyraf dan pengikutnya yang berasal dari
orang-orang Yahudi untuk beriman, lalau mereka menjawab kami
ini adalah anak-anak Allah swt. dan kekasih-kekasihnya. Lalu
Allah swt. memerintahkan Nabi Muhammad saw. menyampaikan
bahwa sesungguhnya aku adalah Rasulullah saw. yang mengajak
kamu kepada Allah swt., sekiranya kamu benar-benar mencintaiNya, ikutilah aku dan laksakanlah perintahku, niscaya Allah saw.
akan mencintaimu dan meridhaimu.352
351
Depertemen Agama RI., op. cit., h 67
352
Ahmad Muṣṭafā al-Maragī, op. cit., Juz, III, h. 136.
| 135
Term ‫( إتـبـعـوني‬ittabiūnī) adalah fi’il al-amar, huruf ya
befungsi sebagai maf’ul bin.353 yang dimaksud adalah Muhammad
saw. karena itu, ayat tersebut bermaksud jika umat manusia
mencintai Allah swt. maka hendaklah mereka
mengikuti
Muhammad saw., yakni melaksankan apa yang diperintahkan
Allah swt. kepadanya, yakni beriman dan bertakwa kepada Allah
Yang Maha Esa Jika hal itu dilaksanakan oleh mereka, maka
pintu gerban kecintaan kepada Allah swt. terbuka baginya.354
Secara psikologi sesorang yang mengikuti ajaran atau sikap
seseorang berarti suatu pertanda kecintaan kepadanya. Ini berarti
ketika seseorang mengikuti ajaran Muhammad saw., maka dengan
sendirinya berarti ia cinta kepada Muhammad, dan orang yang
cinta kepada Muhammad berarti ia cinta kepada Allah swt.
Sebagai tanda kecintaan seseorang kepada Allah saw.
adalah mengikuti ajaran-ajaran rasul-Nya, karena eksistensi rasul
adalah pengwejantahan Allah swt. di bumi, dimana darinya segala
sesuatu yang dalakukan oleh rasul atas wahyu dari Allah swt. oleh
karena itu, ayat ini merupakan keterangan terhadap orang-orang
yang menyatakan bahwa dirinya mencintai Allah swt. tetapi
perbuatannya bertentangan dengan apa yang dikatakannya. Seperti
inilah yang dikatakan oleh al-Warraq seperti yang dikutip oleh AlMarāgī:
‫ هــذا لـعــمـري في الــقـــيــاس بـــد يــع‬# ‫تـعـصي اال لــه وأ نــت تـظـهـــر حــبـــه‬
‫ إن الـمـحـب لـمـن يــحـــب مــطــيــع‬#‫لــوكـان حــبــك صـاد قــا الطـــعـــتــه‬
“Engkau berbuat dosa/maksiat kepada Tuhan, padahal engkau
menyatakan cinta kepada-Nya. Demi umurku ini, merupakan suatu
kenehan dalam perumpamaan. Sekiranya cintamu memang benar
355
353
Muhyi al-Din al-Darwīṡi, I’rāb al-Qur’ān al-Karīm, Jilid I (Cet. IX:
Damsik-Bairūt: Dār al-Irsyad li al-Su’un al-Jami’ah, 1424 H./2003 M.), h. 425.
354
355
136 |
M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 69.
Ibid.,
maka pastilah engkau mentaatinya # Sesungguhnya orang yang
cinta selalu mentaati yang dicintainya.
Oleh karena itu, kualitas kecintaan seseorang kepada Allah
swt. sangat tergantung seberapa kualitas ketaatannya kepada
Allah swt. dengan melaksanakan perintahnya dan menjauhi
laranganya sesuai apa yang disampaiakan oleh Rasulullah saw.
Kecintaan kepada Allah swt. akan lebih sempurna sekiranya
dibarengi dengan kecintaan kepada makhluk-Nya (ciptaan-Nya).
Misalnya, kecintaan kepada manusia diwujudkan dalam
bermuamalah dengan baik tanpa diskriminasi antara satu dengan
yang lain, dan kecintaan kepada makhluk lain (selain manusia)
dalam bentuk kasih sayang. Orang yang mencintai makhluk Allah
swt., pada dasarnya mencintai Allah swt., karena semua ciptaanNya adalah bagian dari ilmunya, yang tidak bisa terpisahkan
antara zat dan ilmu-Nya.
Pada dasarnya, manusia memiliki potensi dasar mencintai
makhluk Allah swt. Hanya saja kecintaan mereka terhadap
makhluk itu, akan menjadi hiasan dunia semata, kalau tidak
dibarengi dengan kecintaan kepada yang menciptakannya dengan
keyakinan bahwa semuanya akan kembali kepada-Nya. Hal ini
ditegaskan oleh Allah swt. dalam QS. Ali ‘Imran/3: 14 sebagai
berikut;
          
           
  
 
     
Terjemahnya:
Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta
terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan,
anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas
| 137
dan perak, kuda pilihan, hewan ternak, dan sawah ladang.
Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat
kembali yang baik.356
Term hubbu berasal dari kata habba yang dalam berbagai
derivasinya terulang dalam al-Qur’an sebanyak 95 kali,357 yang
berakar kata dari huruf ha dan ba yang berarti; 1) kebiasaan dan
ketetapan, 2) mencintai sesuatu karena punya rasa cinta, 3) sifat
kependekan.358 Dalam kaitannya dengan ayat di atas, maka
pengertian nomor dua yang paling tepat. Hal ini sejalan dengan
pandangan Ragib al-Asfahani bahwa hub berarti keinginan
terhadap yang dilihat atau diperkirakan baik.359Sedangkan
menurut al-Zuhaili term hub adalah kecenderungan jiwa kepada
sesuatu dengan sepenuhnya dan berusaha untuk mencapainya.360
Dari keterangan di atas, dipahami bahwa hub atau cinta itu
berawal dari indera kemudian meresap ke dalam hati atau perasaan
lalu memunculkan keinginan atau kehendak untuk memperoleh
atau memilikinya. Karena itu, hub al-Syahawat pada ayat tersebut
adalah kecenderungan hati yang sulit terbendung kepada sesuatu
yang bersifat indrawi. Hal-hal yang dicintai adalah keingina
kepada wanita-wanita, anak-anak lelaki, harta yang banyak dari
jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah
ladang.361 Karena mereka cinta kepada hal-hal tersebut, maka
mereka berusaha untuk merebutnya sekalipun dengan susah payah.
Oleh karena itu, al-Marāgī berpendapat bahwa penggunaan term
356
Depertemen Agama RI., op. cit., h. 64.
357
Muḥammad Fuād Abd. Al-Baqī, op. cit., h. 191-193
358
Abī al-Ḥusain Aḥmad Ibn Fāris Ibn Zakaria, op. cit., Jilid I , h. 26
359
Al-Ragīb al-Asfahānī, op. cxit., h. 24
360
Wahba Zuhayli, Al-Tafsīr al-Munīr fi al-‘Aqīdah wa al-Syari’at wa
al-Manḥaj, Juz III (Bairūt: al-Fikr al-Mu’assir, 1991), h. 206.
361
138 |
M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 25-26
zuyyina menunjukkan kecintaan manusia terhadap syahwat yang
menggiring mereka selalu mencintai meteri dengan segala
keindahannya, mereka terkungkung dengan kecintaan itu, sehingga
mereka tidak pernah melihat kejelekan dan bahaya yang ada di
dalamnya.362
Ayat tersebut secara tekstual hanya menunjukkan
kecintaan kepada sesama manusia, harta benda dan hewan, yang
merupakan kesenangan kehidupan di dunia, Namun demikian,
secara inplisit dengan pendekatan teologis, mereka tidak bisa
melepaskan diri dari kekaguman dan kecintaannya kepada Allah
swt. karena apa yang mereka agungkan dan yang mereka cintai itu
merupakan ciptaan Allah swt., sekaligus pemilik dan penguasa
terhadap semua itu. Apa lagi ayat tersebut diakhiri dengan
pernyataan wallahu ‘indahu hunsu al-maab (dan di sisi Allah-lah
tempat kembali yang baik. Ini berarti bahwa kecintaan manusia
terhadap ciptaan Allah swt. yang terkadang hanya dorongan hawa
nafsu untuk menikamatinya, pada hakikatnya merupakan
kecintaan manusia terhadap penciptanya (Allah swt>.) karena pada
akhirnya kesemuanya itu kembali kepada Allah swt. Dengan
demikian kecintaan manusia kepada ciptaan Allah swt., termasuk
Nabi Muhammad saw., berarti juga kecintaan kepada penciptanya
yakni Allah swt.
Kecintaan seseorang kepada Allah swt., setelah mencintai
beraneka ragam ciptannya, termasuk kecintaan kepada
Muhammad saw. merupakan sikap atau karakter yang harus
ditanamkan pada diri seseorang sejak dini melalui pendidikan,
karena pada umumnya manusia mencintai ciptaan Allah swt.
hanya sekedar pelampiasan hawa nafsu, atau sekedar untuk
bersenang-senang dalam kehidupan di dunia, mereka lalai
menumbuhkan perasaan cinta yang mendalam kepada penciptanya,
362
Ahmad Muṣṭafā al-Maragī, op. cit., Juz, III, h. 104
| 139
pada hal semuanya itu terwujud atas ilmu dan kebijaksanaan Allah
swt. penguasa tunggal segala sesuatu yang ada di alam ini.
Salah satu kemuliaan yang amat berharga diperoleh
seseorang ketika tumbuh perasaan cinta kepada Allah swt. dan
Allahpun mencitai dia, sebagaimana firman Allah swt. dalam QS.
Al-Maidah/5: 54 sebagai berikut:
              
   
         
                  
Terjemahnya:
Wahai orang-orang yang beriman! Barangsiapa di antara kamu
yang murtad (keluar dari agamanya, maka kelak Allah swt.
akan mendatangkan suatu kaum, Dia menicntai mereka dan
mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah-lembut
terhadap orang-orang yang beriman, tetapi bersikap keras
terhadap orang-orang kapir, yang berjihad di jalan Allah swt.,
dan tidak takut kepada celaan orang-orang yang suka mencela.
Itulah karunia Allah swt. yang diberikan-Nya kepada siapa
yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya)
lagi Maha Mengetahui.363
Menurut M. Quraish Shihab bahwa ketika orang-orang
banyak yang keluar dari Islam, maka Allah swt. akan
mendatangkan suatu kaum yang memiliki sifat-sifat yang sesuai
dengan nilai-nilai Islam. Salah satu sifat yang mereka memiliki itu
adalah mereka mencintai Allah dan Allahpun mencintai mereka.
Cinta Allah swt. kepada hamba-Nya ditandai dengan limpahan
363
140 |
Depertemen Agama RI., op. cit., h. 155-156
kebajikan dan anugrah-Nya. Anugrah Allah swt. tidak terbatas,
karena itu limpahan karunia-Nya pun tidak terbatas.
Sedangkan cinta manusia kepada Allah swt. merupakan
dasar dan prinsip perjalanan menuju Allah swt., sehingga semua
proses atau peringkat (maqamat) perjalanannya menuju Allah swt.,
adalah tingkatan cinta kepada-Nya. Kecintaan manusia kepada
Allah swt. merupakan pengejewantahan keimanan mereka,
sehingga menghasilkan ketaatan, penghormatan, dan pengaguman
kepada-Nya. Mereka selalu berusaha memenuhi kehendak-Nya,
dan selalu bersama dengan-Nya. Puncak kenikmatan yang mereka
rasakan ketika menyebut-nyebut nama-Nya, berdzikir sambil
memandang keindahan, keagungan, kesempurnaan, serta
kebesaran-Nya melalui ciptaan-Nya di alam ini.364
Demikian mulianya orang-orang yang memiliki karakter
cinta kepada Allah swt., karena mereka selain dicintai oleh Allah
swt. juga Allah swt. memberikan kemuliaan dan karunia
sebagaimana yang diberikan kepada orang-orang berkarakter
lemah-lembut kepada sesama orang mukmin tetapi bersikap keras
terhadap orang-orang kafir yang memusuhinya, berjihad di jalan
Allah swt. untuk menegakkan agama serta tidak takut mendapat
celaan dari orang yang senang mencela atau mengejeknya ketika
berjuang di jalan Allah swt.
2. Kemandirian dan tanggung jawab
Dalam Kamus Bahasa Indonesia kemandirian berasal dari
kata mandiri yang berarti keadaan dapat berdiri sendiri, tidak
bergantung pada orang lain.365 Pada hakikatnya manusia lahir di
dunia bersamaan dengan nilai-nilai kemandirian dan tanggung
jawab. Itulah sebabnya masing-masing manusia di hari kemudian
dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah swt. Namun,
sikap kemandirian dan tanggung jawab itu, tidak hanya ditujukan
364
M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 3, h. 13-131
365
Departemen Pendidikan Nasional, op.cit, h. 710
| 141
kepada Allah swt., tetapi juga sesama manusia bahkan terhadap
makhluk lain. Oleh karena itu, pada dasarnya semua yang
dilakukan umat manusia harus didasari dengan tanggung jawab.
Salah satu bentuk tanggung jawab memakmurkan dunia
adalah mensosialisasikan tentang pentingnya berbuat baik dan
mencegah kemungkaran, sebagaimana firman Allah swt. dalam
QS. Ali ‘Imran/3: 110 sebagai berikut:
            
               
    
Terjemahnya:
Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk
menusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan
mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.
Sekiranya Ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi
mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun
kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.366
Pada ayat tersebut terdapat tiga tanggung jawab harus
dilaksanakan oleh umat manusia, yaitu; memerintahkan kebaikan
, mencegah kemungkaran dan beriman kepada Allah swt. Yang
dimaksud al-ma’ru>f adalah sesuatu yang baik menurut pandangan
umum satu masyarakat selama dengan sejalan al-khair (nilai-nilai
universal yang diajarkan oleh al-Qur’an dan Sunnah). Sedangkan
al-mungkar adalah sesuatu yang dinilai buruk oleh suatu
masyarakat serta bertentangan dengan nilai-nilai ilahi.367
142 |
366
Depertemen Agama RI., op. cit., h. 80.
367
M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 3, h. 175.
Ayat tersebut merupakan informasi kepada seluruh umat
Nabi Muhammad saw. dari suatu generasi ke generasi berikutnya,
bahwa meraka adalah umat yang terbaik, karena mereka dengan
terus menerus tanpa bosan-bosannya menyeru kepada yang ma’rūf
(baik), dan mencegah yang mungkar (tidak baik), sekalipun sampai
pada batas penggunaan kekuatan dengan dasar iman yang benar.
Sehingga apa yang dilakukan itu diyakni berdasar pada apa yang
diajarkan oleh Allah swt. dan Rasulullah saw.368
Suatu predikat yang diberikan kepada umat Nabi
Muhammad saw. yakni umat yang paling baik, karena mereka
melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar serta mereka memiliki
iman yang benar, yang bekasnya nampak di wajah mereka,
sehingga mereka terhindar dari kejahatan, padahal sebelumnya
mereka adalah umat yang dilanda kejahatan dan kerusuhan, karena
mereka dahulu tidak melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar
serta mereka tidak beriman secara benar.369 Oleh karena itulah,
bagi mereka yang malakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar
dengan baik yang didasari dengan kesadaran bahwa tugas itu
adalah perintah (kewajiban) dari Allah swt. dikategorikan sebagai
orang-orang yang memperoleh keberuntungan, sebagaimana
firman-Nya dalam QS. Ali ‘Imran/3: 104
             
  
    
Terjemahnya:
Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf,
368
369
Ibid., h. 184.
Aḥmad Muṣṭafā al-Marāgī, op., cit., Jilid IV: h. 29
| 143
dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orangorang yang beruntung.370
Term wa al-takun adalah fi’il al-amr yang diawali dengan
lam al-amr mengandung makna perintah yang berimplikasi kepada
kewajiban371 untuk melakukannya. Term ‫( مـنـكم‬minkum) terdapat
perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama
memahaminya bahwa huruf min bermakna sebagian, dengan
demikian perintah berdakwah atau menyampaikan amar makruf
dan nahi mungkar yang dimaksud ayat di atas, tidak ditujukan
kepada setiap orang, tetapi mengandung makna bahwa seharusnya
umat Islam menyiapkan kelompok khusus yang bertugas
melaksanakan dakwah, yakni melaksanakan amar makruf dan nahi
mungkar. Namun, sebagaina ulama lain memahami bahwa term
‫( مـنـكم‬minkum) berarti penjelasan. Oleh karena itu, ayat tersebut
mengandung makna perintah kepada setiap umat muslim agar
melaksanakan
tugas
dakwah
masing-masing
sesuai
372
kemapuannya. Sedangkan term al-muflihūn berasal dari fi’il almādī yakni falaha yang berakar kata dari fa, lam dan ha yang
berarti beruntung, kekal.373 Oleh karena itu, bagi mereka yang
senantiasa melakukan amar makruf dan nahi mungkar akan
memperoleh keberuntungan dengan memperoleh pahala dari Allah
swt. bahkan oleh masyarakat di sekitarnya yang menilainya
370
Depertemen Agama RI., op. cit., h 79.
371
Wajib adalah sesuatu perbuatan yang yang dituntut Allah untuk
dilakukan secara tuntunan pasti, yang diberi ganjaran dengan pahala orang yang
melakukannya karena perbuatan itu telah sesuai dengan kehendak yang
menuntut dan diancam dosa orang yang meninggalkannya karena bertentangan
dengan kehendak yang menuntut. Lihat Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid I,
Edisi I (Cet. III: Jakarta: Kencana, 2008), h. 315
372
Muhammad Abduh, Tafsīr al-Qur’an al-Karīm al-Syahr bi al-Tafsir
al-Manar, Juz IV: (Cet. II: Mesīr: Dār al-Manār, 1367 H.), h. 26-27.
373
450.
144 |
Abī al-Husain Aḥmad ibn Fāris ibn Zakariyā, op. cit., Jilid IV, h.
sebagai orang yang bermanfaat dalam hidupnya, karena mereka
menjadi panutan dari ilmu dan amalnya, melalui dengan dakwah
yang mereka lakukan.
Tugas dakwah adalah tugas mulia, dan objek dakwah
semakin bervariasi dari latar belakang pendidikan, pengalaman
serta keseriusan memahami agama, memerlukan keahlian dalam
penyampaiannya, agar mereka dapat menerimanya dengan baik,
maka penulis cenderung memahami bahwa dakwah dalam bentuk
formal, terstruktur dan sistimatis tidak semua orang dapat
diberikan tanggung jawab untuk melaksanakannya, tetapi hanya
kepada mereka yang memiliki kapabilitas yang mumpuni. Tetapi
dalam batas saling ingat mengingatkan tetap menjadi tanggung
jawab setiap umat Islam.
Dengan demikian, pendidikan karakter kemandirian dan
tanggung jawab tidak bisa diabaikan dalam kehiduapan yang
semakin kompotitif, baik dalam kepentingan kehiduapn dunia,
maupun kepentingan kehidupan di akhirat. Kemandirian dan
tanggung jawab menjadi kunci kesuksesan seseorang dalam
menjalin hubungan dengan siapa pun, baik dalam hubungannya
dengan sesama manusia dalam bentuk muamalah maupun dalam
hubungannya dengan Allah swt. dalam bentuk ibadah.
3. Jujur dan amanah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia jujur berarti halus
hati, tidak berbohong (berkata apa adanya), tidak curang, tulus
ikhlas374. Sedangkan amanah berarti sesuatu yang dipercayakan
(dititipkan) kepada orang lain, keamanan, ketenteraman dan dapat
dipercaya.375 Oleh karena itu, manusia diciptakan di atas persada
bumu ini dibekali dengan berbagai amanah, diantaranya sebagai
khalifah dari Allah swt. untuk menata dan mengatur kehidupan
374
375
Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 479.
Ibid., h. 35.
| 145
mereka di dunia ini, dan beribadah kepada demi kemaslahatan
hidup di akhirat.
Banyak orang yang melakukan perbuatan yang tidak
menyenangkan orang lain, bahkan merugikan banyak pihak karena
tidak memiliki sikap kejujuran dan amanah. Oleh karena itu, kedua
karakter ini hendaknya ditanamkan pada diri seseorang sejak dini
melalui dengan jalur pendidikan, sehingga kelak mereka dapat
melakukan aktivitas, baik untuk kepentingan dirinya, maupun
umat, selalu di dasari dengan kejujuran dan amanah. Namun, tidak
semua orang dapat melakukannya, kecuali yang mendapat hidayah
dari Allah swt. Sebagaimana firman Allah swt. dalam QS. Ali
‘Imran/3: 75-76 sebagai berikut:
             
                
    
         
      
  
Terjemahnya:
Dan di antara Ahli Kitab ada yang jika engkau percayakan
kepadanya harta yang banyak, niscaya dia mengembalikannya
kepadamu. Tetapi ada (pula) di antara mereka yang jika
engkau percayakan kepadanya satu dinar, dia tidak
mengembalikannya kepadamu, kecuali jika engkau selalu
menagihnya. Yang demikian itu disebabkan mereka berkata,
“Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang buta huruf.”
Mereka mengatakan hal yang dusta terhadap Allah, padahal
mereka mengetahui. Sebenarnya barang siapa menepati janji
146 |
dan bertakwa, maka sungguh Allah mencintai orang-orang
yang bertakwa.376
Term ta’manahū adalah fi’il al-mudari’ dari fi’il al-madi
yakni āmana yang berakar kata dari huruf hamzah, mim dan nun
yang berarti jujur.377 Karena itu, menurut M. Quraish Shihab ayat
tersebut bermaksud ada sebagian orang kalau diberikan amanah
untuk menyimpan sesuatu separti harta benda kemudian pada saat
tertentu diminta agar mengembalikannya, mereka mengembalikan
dengan utuh. Tetapi ada juga sebagai orang kalau diberikan
amanah sekalipun sedikit, mereka mengkhianatinya, sehingga
mereka tidak mengembalikannya kapan pun juga kecuali kalau
ditagih,378 atau diminta terus tanpa tenggang waktu, atau
mengadukan perkaranya itu kepada hakim.379 Bahkan ada di antara
sebagaian orang sama sekali tidak memenuhi atau menepati kalau
diberikan amanah.
Demikian pentingnya sikap jujur dan amanah, sehingga
Allah swt. mencintai orang-orang yang menepati janji dan
bertakwa kepada-Nya, sebagaimana yang dijelaskan pada ayat 76
tersebut. Pada ayat ini terdapat dua term yang perlu dipahami
artinya, yakni; aufa> adalah fi’il al-madi al-ruba’i dari fi’il madi
tsulatsi “wafa>” yang berakar kata wau, fa dan al-harf al-mu’tal
yang berarti sempurna.380 Sedangkan bi’ahdihi dari kata ‘ahada
yang berakar kata dari huruf ‘ain, ha dan dal yang berarti al-ihtifāż
yakni pemeliharaan dan penjagaan,381 kemudian diartikan dengan
376
Depertemen Agama RI., op. cit., h. 74
377
Abī al-Husain Aḥmad ibn Fāris ibn Zakariyā, op. cit., Jilid
378
M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 3, h. 127.
379
Aḥmad Muṣṭafā al-Marāgī, op., cit., juz III, h. 186.
1, h.
133.
380
381
Ibid., Jilid VI, h. 129.
Abī al-Husain Aḥmad ibn Fāris ibn Zakariyā, op. cit., Jilid IV, h.
167.
| 147
janji, karena semua janji harus dijaga dan dipelihara agar
terpenuhi. Kemudian term bi’ahdihi diawali dengan huruf ba yang
antara lain mengandung makna kelengketan dan kedekatan
sedemikian rupa sehingga tidak dapat atau sangat sulit dipisahkan.
Oleh karena itu, seseorang yang telah mendapatkan amanah, maka
dia harus menerimanya dengan penuh kesungguhan,. Amanah itu
harus melekat pada dirinya.382 sehingga tidak ada ruang dan celah
untuk tidak memenuhi amanah atau perjanjian, yang menurut alMaragī perjanjian yang dimaksud pada ayat 76 tersebut adalah:
a. Perjanjian seseorang terhadap saudaranya yang berkaitan
dengan transaksi dan amanah-amanah yang diberikan
kepadanya,
b. Perjanjian dengan Allah swt. yakni melaksanakan ajaran
agama yang disyariatkan melalui dengan Rasul-Nya.383
siapa pun yang memenuhi janjinya dengan menunaikan
amanah dengan baik dan bertakwah kepada Allah swt., yakni
melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala laranganNya. Allah swt. akan senantiasa mencintai dan menyukainya,
karena Allah swt. cinta kepada orang -orang yang bertakwa
kepada-Nya. Itulah makna ayat ke 76 tersebut diakhiri dengan
term ‫( فإن اللـــه يـحــب الـمـتـقـين‬Allah swt. cinta kepada orang-orang
yang bertakwa).
Menunaikan amanah merupakan refleksi dari tanggung
jawab, semakin besar amanh yang dibebankan kepada seseorang,
semakin besar pula tanggung jawabnya, karena itu membangun
karakter jujur dan amanah, merupkan suatu keniscayaan dalam
dunia pendidikan, yang harus ditanamkan pada diri anak didik
382
383
148 |
M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 3, h. 127.
Aḥmad Muṣṭafā al-Marāgī, loc. cit.
sejak dini, baik amanah dalam bentuk ibadah kepada Allah swt.,384
maupun amanah untuk membangun dan memakmurkan dunia.385
4. Hormat dan santun
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata hormat berarti;
menghargai, khidmat, sopan dan perbuatan yang menandakan rasa
khidmat atau takzim seperti menyembah, menunduk.386 Sedangkan
kata santun berarti halus dan baik (budi bahasanya, tingkah
lakunya); sabar dan tenang, sopan, penuh rasa belas kasihan, suka
menolong.387 Orang yang tidak memiliki sikap hormat dan santun,
tentu akan sulit menjalin hubungan dalam pergaulan, sehingga
dijauhi oleh orang lain karena dinilai angkuh dan sombong. 388 Nabi
Muhammad saw. berhasil menyebarkan ajaran agama Islam
walaupun dalam waktu relatif singkat, karena beliau memiliki
sifat-sifat yang menarik bagi orang yang ada di sekitarnya, seperti;
lemah lembut, pemaaf, memohon anpunkan orang lain,
bermusyawarah, serta bertawakkal kepada Allah swt.,
sebagaimana yang difirmankan oleh Allah swt. dalam QS. Ali
‘Imran/3: 159 sebagai berikut:
             
        
         
       
Terjemahnya:
384
QS. Al-Zariyat/51-56
385
QS. Hud/11: 61
386
Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 408.
387
388
Ibid., h. 997.
Akhmad Muhaimin Azzet, op. cit., h. 31
| 149
Maka berkat rahmat Allah swt. engkau (Muhammad) berlaku
lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap
keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekitarmu.
Karena
itu
maafkanlah
mereka
dan
memohonkanlah
ampunan
untuk
mereka,
dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.
Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, maka
bertawakkallah kepada Allah swt. Sungguh Allah swt.
mencintai orang yang bertawakkal.389
Dari ayat tersebut, dipahami bahwa setidaknya terdapat 5
sifat Nabi Muhammad saw. yang menyebabkan beliau mudah
bergaul dengan orang-orang yang ada disekitarnya, yakni 1) sifat
lemah lembut, 2) tidak bersikap keras dan berhati kasar, 3)
pemaaf, 4) memohonkan ampunan orang lain, 4) mengedepankan
musyawarah, 5) banyak tawakkal.
Nabi Muhammad saw. memiliki sifat lemah lembut,
pergaulan yang baik. Hal itu terjadi karena berkat rahmat Allah
swt. dicampakkan ke dalam hatinya, dan merupakan kekhususan
baginya. Karena Allah swt. telah membekalinya dengan akhlak
Qur’an yang teratur serta hikmah-hikmahnya yang agung.
Andaikan Nabi Muhammad saw. keras dan galak bermuamalah
dengan kaumnya (kaum Muslimin) pasti mereka akan bercerai
berai dan meninggalkannya dan pasti tidak menyayanginya,
sehingga Muhammad tidak dapat memberikan bimbingan kepada
mereka ke jalan yang lurus. Padahal tugas Rasul adalah
menyampaikan syariat-syariat Allah swt. kepada manusia. Tugas
itu akan terwujud apabila Muhammad saw. bersikap pemurah dan
mulia, melupakan semua dosa yang dilakukan oleh seseorang serta
memaafkan kesalahan-kesalahannya, bahkan memohonkan ampun
atas dosa-dosanya.390
150 |
389
Depertemen Agama RI., op. cit., h. 90
390
Aḥmad Muṣṭafā al-Marāgī, op. cit., Juz, 4, h. 113
Secara harfiah term ‫( فاعـف عـنـهم‬fa’fu anhum) berati
menghafus. Oleh karena itu, memaafkan adalah menghafus bekas
luka hati akibat perlakuan pihak lain yang dinilai tidak wajar. Hal
ini perlu, karena tidak ada musyawarah tanpa pihak lain,
sedangkan kecerahan pikiran hanya terwujud bersamaan dengan
sirnanya kekeruhan hati.391
Kata musyawarah terambil dari kata ‫( شـور‬syawara) yang
pada mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah.
Kemudian pengertian ini berkembang, sehingga mencakup segala
sesuatu yang dapat diambil/dikeluarkan dari yang lain (termasuk
pendapat). Oleh karena itu, ayat tersebut merupakan pesan kepada
Rasululah saw. agar melakukan musyawarah. Kesalahan yang
dilakukan dengan musyawarah, tidak sebesar kesalahan yang
dilakukan tanpa musyawarah, dan kebenaran yang diraih sendiri,
tidak sebaik kebenaran yang diraih bersama.392 Hasil dari
musyawarah itu yang diyakini kebenarannya dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya, kemudian diserahkan sepenuhnya kepada Allah
swt. dengan dasar keyakinan bahwa Allah swt. menyukai orangorang yang berserah diri kepada-Nya.
Kelima sikap yang terdapat pada ayat tersebut, telah
diperaktekkan oleh Nabi Muhammad saw. dengan baik, sehingga
patutlah kiranya menjadi pelajaran bagi umatnya, termasuk
peserta didik. Karena itu, sifat-sifat Rasulullah perlu ditunjukkan
kepada peserta didik, agar mereka dapat memahami dan
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu,
pendidikan perlu diarahkan untuk membangun karakter anak didik
yang mempunyai sifat hormat dan santun dalam pergaulan,
sehingga mereka memiliki pribadi-pribadi yang menyenangkan,
seperti halnya dengan kepribadian Rasulullah saw., sekalipun
391
392
M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 259
Ibid.
| 151
mereka yang tidak mengimani ajarannya, tetap menghormatinya,
bahkan mereka memberi gelar al-amin.
5. Dermawan, suka menolong dan kerja sama.
Karakter dermawan, suka menolong dan kerja sama adalah
sikap kemuliaan yang ada dalam diri manusia, namun tidak semua
orang mampu mewujudkannya. Hanya orang yang berjiwa besar
dan memiliki kepedulian terhadap sesama manusia serta memiliki
kesadaran bahwa di balik apa yang diberikan oleh Allah swt.
kepadanya terdapat hak-hak orang lain yang harus dituniakan,
baik berupa harta benda, ilmu pengetahuan, tenaga dan
sebagainya. Oleh karena itu, Allah swt. menjelaskan bahwa
manusia yang mendapatkan derajat yang mulia di sisi-Nya adalah
mereka yang peduli terhadap kemaslahatan sesama umat manusia.
Sebagaimana firman-Nya dalam QS. Ali ‘Imran/3: 92 sebagai
berikut;
                 
 
Terjemahnya:
Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu
mengifatkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun
yang kamu infakkan tentang hal itu, sungguh Allah Maha
Mengetahui.393
Penggunaan huruf al-nafyi wa al-Nashb ‫ لن‬mengandung
makna menafikan sesuatu yang dalam kapasitas 50 %
kemungkinan bisa terjadi dan 50 % kemungkinannya tidak terjadi.
Ketika masalah yang berkaitan dengannya memenuhi persyaratan,
kemungkinannya dapat terjadi. Persyaratan yang dimaksud pada
ayat tersebut, adalah membelanjakan sebagian harta yang
393
152 |
Depertemen Agama RI., op. cit., h. 77
disenangi. Oleh karena itu, setelah persyaratan itu terpenuhi, maka
akan diperoleh kebaikan.
Term tana>lu> adalah al-fi’il mudāri’ dari fi’il al-mādi> yaitu
na>la yang berakar kata dari huruf nun, al-harf al-mu’tal dan lam
yang berarti antara lain memperoleh.394 Sedangkan term yunfiqu>na
adalah fi’il al-mudari’ dari al-fi’il ma>di yakni nafaqa yang berasal
dari huruf nun, fa dan qaf yang berarti sesuatu yang terputus atau
sesuatu yang tersembunyi395 yang berarti sesuatu yang telah
dikeluarkan atau dibelanjakan wujudnya tidak nampak lagi.
Adapun term al-birru pada ayat tersebut, bermakna yang
menyebabkan seseorang menjadi baik. Sedangkan term ma>tuhibu>
berarti kecintaan kepada harta sangat berpengaruh pada jiwa
seseorang.396 Oleh karena itu, seseorang tidak dianggap berbakti
kepada Allah swt. sekalipun telah menunjukkan ketaatannya
beribadah untuk mendapatkan ridha dan rahmat-Nya yang akan
mengantar mereka memperoleh surga dan menjauhkannya dari
neraka, kecuali membelanjakan harta yang disenangi dan
dimuliakan.397 Harta yang dibelanjakan adalah sebagian dari harta
yang disukai agar memperoleh kebaikan yang sempurna, dengan
cara dan tujuan yang baik serta motivasi yang benar yakni ikhlas
karena Allah swt. Tidak boleh khawatir merugi atau menyesal atas
pemberian itu, karena Allah swt. akan memberikan ganjaran
pahala, baik di dunia, maupun di akhirat kelak.398 Penulis
cenderung memahami harf al-jar ‫ من‬dari term ‫ مما‬bermkana altab’idiyah “sebagian” sehingga harta yang dikeluarkan adalah
sebagian dari harta yang disukai, bukan keseluruhannya.
394
Ahmad Warson Munawwir, op. cit., h. 1577.
395
Abī al-Husain Aḥmad ibn Fāris ibn Zakariyā, op. cit., Jilid VI, h.
396
Aḥmad Muṣṭafā al-Marāgī, op. cit., Juz 3, h. 207.
454.
397
Ibid.
398
M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 151.
| 153
Mendermakan harta adalah sesuatu pekerjaan yang sulit kalau
tidak ada pembiasaan, karena itu pendidikan harusnya diarahkan
agar peserta didik telah menjadikan kebiasaan bagi mereka untuk
selalu mengeluarkan sebagian haratanya, dengan kesadaran sendiri,
tanpa harus ada peksaan dari pihak lain.
Secara empiric, semua yang dinafkahkan hilang atau
lenyap dari pandangan indra manusia sebagaimana pengertian
nafaqa tersebut, tetapi secara hakikat justru itulah yang kekal, dan
semuanya berada dalam ilmunya Allah swt. Hal ini dipahami dari
potongan akhir ayat tersebut, yakni; ‫وما تـنـفـقـوا من شيئ فإن اللـــه بـه‬
‫( عـلـيـم‬apa saja yang kamu infakkan sungguh Allah Maha
Mengetahui). Al-Marāgī menjelaskan potongan ayat ini, bahwa
segala sesuatu yang diinfakkan di jalan Allah swt., semuanya akan
dibalas oleh Allah swt. berdasarkan pengetahuan-Nya tentang niat
dan keikhlasan yang menginfak. Karena betapa banyak orang yang
beinfak dengan harta yang baik, tetapi tidak bisa mengelak dari
perasaan riya, 399 akhirnya tidak mendapat pahala apa pun karena
Allah swt. mengetahui semua yang terlintas dalam hati sanubari
seseorang yang melakukan suatu kegiatan, termasuk bagi mereka
yang menginfakkan hartanya di jalan Allah swt. oleh karena itu,
bagi mereka yang ingin mendapatkan pahala dari Allah swt. maka
dia harus bekerja dengan ikhlas dan menghilangkan semua sifatsifat yang bisa menbatalkan pahalanya termasuk riya.
Bagi mereka yang memiliki kemampuan harta lalu tidak
mau mendermakan atau menginfakkan sebagain hartanya, mereka
itu sering dijuluki dengan orang kikir. Sifat kikir adalah sifat atau
karakter yang tercelah dan besar dampak negatifnya bagi mereka
yang memiliki sifat tersebut. Hal ini dijelaskan oleh Allah swt.
dalam QS. Ali ‘Imran/3:180 sebagai berikiut:
399
154 |
Aḥmad Muṣṭafā al-Marāgī, op. cit., Juz III, h. 209-210
          
       
               

     
Terjemahnya:
Dan janganlah sekali-kali orang-orang yang kikir dengan apa
yang diberikan Allah kepada mereka dari karunia-Nya,
mengira bahwa (kikir) itu baik bagi mereka, pada hal (kikir)
itu buruk bagi mereka. Apa (harta) yang mereka kikirkan itu
akan dikalungkan (dilehernya) pada hari Kiamat. Milik
Allahlah warisan (apa yang ada) di langit dan di bumi. Allah
Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.400
Term yabekhalu>na adalah fi’il al-muda>ri’ dari fi’il mādi
yaitu bakhila yang berakar kata dari huruf ba, kha dan lam yang
berarti pelik dan kikir.401 Al-Marāgī menjelaskan bahwa tidak
dibenarkan seseorang berprasangka tentang kebakhilan orangorang yang kikir terhadap karunia dan nikmat Allah swt. yang
telah diberikan kepada mereka adalah karakter yang baik atau
lebih baik bagi mereka, karena sesungguhnya seharusnya mereka
mensyukuri nikmat tersebut dengan menginfakkannya di jalan
Allah swt., sedangkan sifat bakhil berarti mengingkari hal itu.
Oleh karena itu, Allah swt. menjadikan harta benda yang mereka
bakhilkan itu sebagai kalung yang melilit di lehernya di hari
kemudian. Dosa dan azabnya tetap berada pada diri mereka dan
tidak ada jalan untuk melepaskan diri dari siksaan itu. 402
400
Depertemen Agama RI., op. cit., h. 96.
401
Abī al-Husain Aḥmad ibn Fāris ibn Zakariyā, op. cit., Jilid I, h. 207
402
Aḥmad Muṣṭafā al-Marāgī, op. cit., Juz IV, h. 145-146.
| 155
Dengan demikian jalangnalah sekali-kali karena kekikiran,
seseorang enggang menunaikan kewajibannya berkaitan dengan
apa yang dianugerahkan oleh Allah swt. kepada mereka seperti
harta benda, ilmu pengetahuan, atau tenaga yang mereka peroleh
dari karuania Allah swt. Walaupun mereka mengira bahwa
kekikiran itu baik, tetapi sesungguhnya adalah jelek bagi mereka.
Apa yang mereka kikirkan itu, akan dikalungkan di lehernya pada
hari kemudian, sehingga semua orang mengetahui keburukan
sifatnya.403
Dari keterangan di atas dipahami bahwa sifat kikir adalah
suatu sifat yang tidak pantas dimiliki oleh seseorang, karena
sesungguhnya harta, ilmu dan tenaga yang bermanfaat akan
dirasakan kegunaanya oleh yang bersangkutan, maupun
masyarakat pada umumnya. KOleh karena itu, orang yang kikir,
termasuk orang yang tidak mensyukuri pemberian Allah swt.
kepadanya, sehingga wajarlah kalau diberikan sanksi moral dari
Allah swt. di hari kemudian dengan dikalungkannya di leher
mereka harta yang seharusnya dikeluarkan (zakat, sumbangan di
jalan Allah swt. atau yang membutuhkan), sebagai sanksi moral
mereka, sengaja dipertontonkan di masyarakat umum tetang
sifatnya, bukan dilihat dari segi ringan atau beratnya kalung
tersebut.
Dengan demikian, karakter seperti ini, seyogianya sedini
mungkin diingatkan mereka melalui dengan pendidikan, sehingga
tidak menjadi kebiasaan. Sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan
bagi seseorang, apalagi kalau sudah menjadi karakter memerlukan
proses waktu untuk mengatasinya. Hendaklah mereka dibiasakan
besifat dermawan, peduli terhadap kemaslahatan orang lain,
sehingga mereka dekat dengan Allah swt. dan juga dengan sesama
umat manusia. Sebaliknya orang yang kikir pasti dijauhi oleh
403
156 |
M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 293
masyarakat, dan itu merupakan sanksi moral yang amat berat bagi
mereka.
6. Percaya diri dan pekerja keras
Percaya diri dan bekerja keras merupakan suatu karakter
yang penting bagi umat manusia, karena orang yang tidak
memiliki sikap percaya diri dan bekerja keras tidak akan dapat
memperoleh apa yang diinginkan, atau meraih cita-citanya. Setiap
kali akan melangkah selalu dihantui oleh keragu-raguan yang
berimplikasi terhadap ketidakseriusan melakukan suatu pekerjaan.
Salah satu wujud percaya diri dan bekerja keras seseorang adalah
sederhana dalam bertindak, teguh dalam pendirian, konsistem
dalam berpikir dan bekerja, sehingga selalu memperoleh pahala di
dunia dan di akhirat, sehingga dicintai oleh Allah swt.
Sebagaimana firman-Nya dalam QS. Ali ‘Imran/3: 147-148
    
             
    
         
       
Terjemahnya:
Dan tidak lain ucapan mereka hanyalah doa “Ya Tuhan kami,
ampunilah dosa-dosa kami dan tidakan-tindakan kami yang
berlebihan (dalam) urusan kami. Dan tetapkanlah pendirian
kami, dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir. Maka
Allah memberi mereka pahala di dunia dan pahala yang baik
di akhirat. Dan Allah mencitai orang-orang yang berbuat
kebaikan.404
404
Depertemen Agama RI., op. cit., h. 87.
| 157
Term ṡabbit adalah fi’il al-amr dalam konteks ini tidak
berarti perintah, tetapi bermakna permohonan karena berasal dari
bawah (hamba) ke atas (Tuhan). Term tersebut berasal dari fi’il
al-ma>di ruba’i< yaitu ṡabbata yang berakar kata dari huruf ṡa, ba
dan ta yang berarti dawa>m al-Syai yakni sesuatu yang berlangsung
secara berkelanjutan.405 Term tersebut kemudian dirangkaikan
dengan term aqda>mana> sehingga bermakna tetapkanlah pendirian
kami, sehingga kami tidak merasa takut menghadapi tantangan,
tidak juga berubah motivasi kami atau berpaling dari tujuan
kami.406
Bagi mereka yang memiliki percaya diri dan bekerja keras
selalu termotivasi dengan keyakinan optimisme keberhasilan
dalam setiap melangkah merencanakan, dan melaksanakan suatu
kegiatan. Hal ini sesuai pandangan al-Marāgī “Teguh dan
istiqamah adalah penyebab kemenangan dan keberhasilan.407
Apalagi term tersebut didahului dengan term waisra>fana> fi> amrina>
yang bernakan “hidarkanlah kami dari perbuatan yang berlebihlebihan.” Ini berarti setiap langkah yang dilakukakan oleh
seseorang harusnya berusaha berjalan sesuai dengan arah dan
kebijakan yang telah digariskan atau direnceanakan. Kegagalan
yang sering dialami oleh setiap orang yang merencanakan atau
melakukan sesuatu, selain kurangnya percaya diri juga
ketidakkonsistenan terhadap arah dan kebijakan yang telah
ditetapkan.
Dengan demikian, percaya diri dan diikuti dengan kerja
keras di barengi dengan sikap sederahana dan rendah hati baik
terhadap sesama manusia maupun terhadap Allah swt. yang
ditandai dengan permohonan doa kepada-Nya, menjadi modal
158 |
405
Abī al-Husain Aḥmad ibn Fāris ibn Zakariyā, op. cit., Jilid VI, h. 397
406
M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 239.
407
Aḥmad Muṣṭafā al-Marāgī, op. cit., Juz, IV, h. 92
utama dalam memperoleh kesuksesan. Sekaligus memperoleh
pahala dari Allah swt. di dunia dan di akhirat. Sebagaimana yang
dijelaskan oleh Allah swt pada ayat tersebut. Menurut M. Quraish
Shihab ayat tersebut menggambarkan sambutan Allah swt. atas
permohnan mereka yang demikian tulus berdoa, optimis kepada
pertolongan, bersungguh-sungguh berjuang dan taat kepada Allah
swt. dan Rasul mereka, maka Allah swt. menganugrahkan kepada
mereka kemenangan, kecukupan dan ketenangan hati. Dengan
sikap seperti itu, Allah swt. menilai sebagai orang berbuat baik. 408
Oleh karena itu, sikap-sikap tersebut seharusnya menjadi perhatian
utama bagi setiap pengelola pendidikan, sehingga kelak peserta
didiknya selalu meraih kesuksesan dalam semua kreativitasnya.
Bahkan mereka akan memiliki pribadi yang tangguh, tidak mudah
menyerah dalam setiap melakukan suatu usaha dalam kehidupan
ini.
7. Kepemimpinan dan keadilan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kepemimpinan
berarti perihal pemimpin, cara pemimpin.409 Sedangkan keadilan
berarti perbuatan, perlakuan yang adil.410 Oleh karena itu, yang
dimaksud dalam kajian ini adalah salah satu cara seorang
pemimpin dalam melaksanakan amanah yang diembannya adalah
bersikap adil dalam arti ‘tidak berat sebelah, tidak memihak, kalau
harus berpihak maka berpihak yang benar, berpegang kepada
kebenaran, dan tidak sewenang-wenang.411 Untuk mewujudkan
hal ini diperlukan keteguhan iman, karena dengan iman yang benar
akan akan berimplikasi terhadap prilaku yang adil. Itulah
sebabnya dilarang mengangkat pemimpin atau penguasa orang408
M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 239.
409
Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 874
410
Ibid., h. 8
411
Ibid.
| 159
orang kafir, sebagaimana firman Allah
Ali’Imran/3: 28
swt. dalam QS.
             
       
         
   
Terjemahnya:
Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir
sebagai pemimpin, melainkan orang-orang beriman. Barang
siapa berbuat demikian, niscaya dia tidak memperoleh apa-apa
dari Allah, kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu
yang kamu takuti dari mereka. Dan Allah akan
memperingatkan kamu akan diri (siksa)-Nya, dan hanya
kepada Allah tempat kembali.412
Dikemukakan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Sa’id
atau Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas, berkata bahwa Al-Hajjaj ibnu
‘Amer mewakili Ka’eb bin Asyarat dan ibnu Abī Ḥaqīq serta Qais
bin Said, ketiganya golongan Yahudi mengadakan hubungan
rahasia sebagian dari golongan Anshar, agar mereka mau berpaling
dari agama Islam. Maka Rifa’ah ibnu Munzīr, Abdullah bin Jubair
dan Sa’ad bin Juṣmah mengingatkan mereka agar tidak
berhubungan dengan orang-orang Yahudi itu, sekompok orangorang Anshar tidak menghiraukan peringatan itu, maka turunlah
ayat Lā yattikhizil Mukmkminūna sampai Wallahu ‘Alā Kulli
Sain Qadīr.413
412
413
Depertemen Agama RI., op. cit., h. 66-67.
Al-Imām Jalāluddin al-Suyūtī, Lubabun Nuqūl fī Asbābun Nuzūl
diterjemahkan oleh M. Abdul Mujieb ddengan judul “Riyawat Turunnya AyatAyat Suci Al-Qur’an (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1986), h. 103.
160 |
Term ‫( اولـياء‬auliyāa) adalah jama dari ‫( الولي‬al-waliyyu)
yang berarti mencintai, teman, sahabat, yang menolong, yang
mengurus perkara seseorang, wali, tetangga, sekutu, pengikut,
putra mahkota, pengasuh anak yatim, para penguasa.414 Terkait
dengan ayat di atas, menurut Imamain al-Jalalain berarti
pemimpin mereka415 juga berarti yang berwewenang menangani
urusan. Penolong, sahabat kental dan lain-lain yang mengandung
makna kedekatan.416 Lebih lanjut, beliau mengatakan bahwa ayat
tersebut melarang orang-orang mukmin menjadikan orang-orang
kafir sebagai penolong, karena kalau itu terjadi, berarti bahwa
orang-orang mukmin dalam keadaan lemah, padahal Allah swt.
tidak menghendaki orang-orang mukmin dalam keadan lemah,
kecuali kalau ada manfaat bagi orang-orang mukmin dari
pertolongan itu atau paling kurang tidak ada kerugian bagi orangorang mukmin akibat dari pertolongan itu.417
Setiap manusia pasti akan menjadi pemimpin, baik
pemimpin bagi keluarganya, anak-anaknya, lingkungan tempat
tinggal, negara, perusahaan, kelompok, organisasi maupun terhdap
dirinya sendiri.418 Sedangkan menurut Al-Marāgī dilarang bagi
orang-orang mukmin menjadikan orang-orang kafir sebagai teman
dekat yang menyebabkan orang-orang mukimin membuka rahasiarahasia terutama yang berkaitan dengan urusan agama. Oleh
karena itu, Allah swt. melarang orang-orang mukmin memihak
kepada orang-orang kafir, baik urusan keluarga, persahabatan,
karena tetangga yang sifatnya sebagai persahabatan atau teman
sepergaulan. Tetapi kalau keberpihakan orang-orang mukmin
414
Ahmad Warson Munawwir, op. cit., h. 1690-1691.
415
Jalul al-Din Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad al-Mahalliy dan
Jalal Al-Din abdu al-Rahman ibn Abī Bakr al-Suyūṭī, op. cit., jilid I, h. 53
416
M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 62
417
Ibid.
418
Akhmad Muhaimin Azzet, op. cit., h. 33
| 161
terhadap orang-orang kafir mengandung kemaslahatan bagi orangorang mukmin dibolehkan. Sebab Nabi Muhammad saw. pernah
bersekutu dengan Bani Khusa’ah padahal mereka musyrik.
Bahkan dibolehkan orang-orang mukmin mempercayai pemeluk
agama lain dan bermuamalah dengan mereka dalam masalah
urusan dunia.419
8. Baik dan rendah hati
Karakter baik dan rendah hatu, merupakan modal yang
sangat berharga bagi seseorang. Baik dalam perkataan, dalam
perbuatan serta baik dan rendah hati dalam berhubungan dengan
sesama umat manusia, peduli terhadap kemaslahatan umat,
memiliki kemampuan menahan emosi serta memiliki sifat pemaaf.
Mereka yang memiliki sifat seperti tersebut, dikategorika oleh
Allah swt. sebagai orang al-muḥsinūn (orang yang berbuat baik),
sebagaimana firman Allah dalam QS. Ali ‘Imrān/3: 134
       
     
    
Terjemahnya;
(Yaitu) orang yang berinfak, baik diwaktu lapang maupun
sempit, dan orang yang menahan amarahnya dan memafkan
kesalahan orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang
berbuat kebaikan.420
Ayat tersebut mengisyaratkan adanya tiga sifat yang
dinilai sifat terpuji atau baik dan menujukkan kerendahan hati bagi
mereka yang memilikinya, yaitu, 1) selalu membelajakan hartanya
baik dalam kondisi senang atau lapang maupun dalam kondisi
sengsara atau sempit, 2) mampu menahan amarahnya dan 3)
162 |
419
Aḥmad Muṣṭafā al-Marāgī, op. cit., Juz, III, h. 132.
420
Depertemen Agama RI., op. cit., h. 84
pemaaf terhadap sesama manusia. Dalam konteks menghadapi
kesalahan orang lain, ayat tersebut menujukkan tiga kelas
manusia. Pertama, yang mampu menahan amarah. Term alKāẓimīna mengandung makna penuh dan menutup dengan rapat.
Ini mengisyaratkan bahwa perasaan tidak bersahabat masih
memenuhi hati yang bersangkutan, pikiran masih menuntut balas,
tetapi dia tidak memperturutkan ajakan hati dan pikiran itu, dia
menahan amarah sehingga tidak mengeluarkan kata-kata buruk,
atau perbuatan negatif. Kedua, pemberi maaf, term al-‘Āfīna yang
berarti maaf, juga berarti menghapus. Seseorang yang memaafkan
orang lain, berarti menghapus bekas luka hatinya akibat kesalahan
orang lain yang dilakukan terhadapnya. Karena ia telah
memaafkan orang, maka seakan-akan tidak pernah terjadi suatu
kesalah, atau sesuatu apapun. Ketiga, Allah swt. mengingatkan
bahwa yang disukai-Nya adalah orang-orang yang berbuat
kebajikan, bukan sekedar manahan amarah, atau memaafkan,
tetapi justru yang disukai adalah yang berbuat baik kepada yang
pernah melakukan kesalahan.421 Menurut al-Marāgī maksud wa alKāẓimīna al-Gaiẓa adalah orang yang menahan atau menekan
amarahnya, ketika memungkinkan untuk melakukannya. Barang
siapa yang menuruti nafsu amarahnya, lalu mendendam, niscaya ia
tidak stabil dalam kehidupannya dan selalu menyimpan dari rel
kebenaran, bahkan terkadang melakukan tindakan yang melampaui
batas. Sedangkan yang dimaksud dengan wa al-‘Āfīna ‘ani al-Nās
adalah orang-orang yang selalu memaafkan kesalahan orang lain,
tidak menghukumnya sekalipun mampu melakukannya. Sikap
seperti ini terwujud ketika seseorang memiliki sikap penguasaan
diri pengendalian jiwa, dan ini tidak semua orang mampu
melakukannya. Itulah sebabnya memaafkan kesalahan orang lebih
421
M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 221.
| 163
tinggi derajatnya dibanding menahan amarah. Karena kalau
menahan amarah boleh jadi masih ada sifat dengki dan iri. 422
Dari keterangan di atas dipahami bahwa bagi mereka yang
senantiasa membelanjakan hartanya kepada yang berhak sesuai
dengan kemampuannya, tanpa terikat situasi dan kondisi dan
mampu menahan amarah serta pemaaf terhadap kesalahn orang
lain, menjadi bagian dari karakter yang seyogianya dikembangkan
dalam kehidupan umat manusia, sehingga yang bersangkutan akan
ternilai sebagai orang yang baik dan rendah hati. Karena orang
yang keras hati dapat dipastikan akan sulit menjalin hubungan
komunikasi di atara sesama warga masyarakat, padahal
komunikasi menjadi bagian dari kehidupan umat manusia demi
meraih kesuksesan, tidak ada manusia yang bisa bertahan berdiri
dengan kakinya semndiri, pasti memerlukan bantuan dan
partisipasi dari orang lain. Agar komunikasi antara sesama warga
masyarakat berjalan dengan baik, maka harus dijalani hidup ini
dengan sikap lemah lembut, baik ucapan maupun tindakan, dan
itulah yang diperaktekkan Rasulullah saw. sehingga dakwahnya
berhasil.
9. Toleransi, kedamaian dan kesatuan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia toleransi berarti, 1)
sifat atau sikap toleran: dua kelompok yang berbeda kebudayaan
itu saling berhubungan, 2) batas ukuran untuk penambahan dan
pengurangan masih dibolehkan.423 Bagi mereka yang toleran dalam
hidupnya akan merasakan kedamaian dan ketenangan, bahkan
merasakan semangat kesatuan dalam hidup, walaupun berbeda
peradaban dan kebudayaan serta agama yang merupakan
sunnatullah. Oleh karena itu, sikap toleran ini penting dibangun
sejak awal pada diri seorang anak. Sehingga mereka selalu
membawa kedamaian, kesejukan dan kenyamanan di manapun
164 |
422
Aḥmad Muṣṭafā al-Marāgī, op. cit., Juz, IV, h. 71
423
Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h.
mereka berada. Kekacauan, keribatan, bahkan permusuhan sering
terjadi sebagai dampak dari kurangnya saling pengertian di antara
mereka, dan yang paling mengagetkan karena pada umumnya
mereka menganggap dirinya sebagai kaum beragama atau kaum
terdidik. Oleh karena itu, saling pengertian dan pemahaman di
kalangan masyarakat mutlak diperlukan, baik dalam kehidupan
sosial kemasyarakatan, maupun dalam kehidupan beragama. Allah
swt. mengajarkan kepada Muhammad saw. tentu berimplikasi
kepada umatnya agar mengajak umat manusia (Nasrani dan
Yahudi) agar tidak mempersekutukan Allah swt. sesuatu apa pun.
Tetapi kemudian kalau mereka tidak menghiraukan ajakan itu,
maka hendaknya disampaikan kepada mereka bahwa kami adalah
orang-orang muslim. Sebagaimana firman Allah swt. dalam QS.
Ali-‘Imrān/3: 64
             
         
      
 
    
Terjemahnya:
Katakanlah (Muhammad), “Wahai Ahli Kitab! Marilah (kita)
menuju kepada suatu kalimat (pegangan) yang sama antara
kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain Allah
dan kita tidak mempersekutukannya dengan sesuatu pun, dan
bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan
selain Allah swt. Jika mereka berpaling maka katakanlah
(kepada mereka), “saksikanlah, bahwa kami adalah orang
Muslim.424
424
Depertemen Agama RI., op. cit., h. 72
| 165
Term asyhadū merupakan fi’il al-amr dari fi’il al-mādī
yaitu syahida yang berakar kata dari huruf syin, ha dan dal yang
berarti hadir dan mengetahui.425 Dengan demikian, potongan ayat
yang berbunyi fain tawallao faqūlū asyhadū biannā muslimūna
menurut M. Quraish Shihab, bahwa kalau kalian berpaling dan
menolak ajakan ini, (tidak mempersekutukan Allah swt.) tidak
menerima atau berpaling dari ajakan itu, maka kalian harus
menyaksikan dan mengakui bahwa kami adalah orang-orang
muslim, yang akan melaksanakan secara teguh apa yang kami
percayai. Pengakuan kalian akan eksistensi kami sebagai muslim
walau kepercayaan kita berbeda, menuntut kepada kalian agar
tetap membiarkan kami melaksanakan tuntunan agama kami.
Karena kami pun sejak dini telah mengakui eksistensi kalian tanpa
kami percaya apa yang kalian percaya. Namun demikian, kami
mempersilahkan
kalian
melaksanakan
agama
dan
426
kepercayaannya. Hal ini sejalan dengan firman Allah swt. dalam
QS. Al-Kāfirūn/109: 6
    
Terjemahnya:
Untukmu agamamu, dan untuku agamaku.427
Term dīn berasal dari fi’il al-mādi yaitu dāyanā yang
berakar kata dari huruf dal, ya, dan nun yang berarti tunduk,
rendah hati dan taat.428 Juga berarti agama, kepercayaan, tauhid,
ibadah, kesalehan, ketakwaan, paksaan, kemenangan, hisab
(perhitungan), pembalasan.429 Al-Marāgī lebih cenderung
166 |
425
Abī al-Ḥusain Aḥmad ibn Fāris ibn Zakariyā, op. cit., Jilid III, h. 221
426
M. Quraish Shihab, op. cit., volume 2, h. 115
427
Depertemen Agama RI., op. cit., h. 919
428
Abī al-Ḥusain Aḥmad ibn Fāris ibn Zakariyā, op. cit., Jilid II, h. 319
429
Ahmad Warson Munawwir, op. cit., h. 471
mengartikan dīn pada ayat ini dengan balasan, yakni kalian akan
memperoleh balasan atas segala perbuatanmu, dan aku pun akan
memperoleh balasan sesuai dengan perbuatanku.430 M. Quraish
Shihab menjelaskan bahwa ayat ini menegaskan cara pertemuan
dalam kehidupan bermasyarakat yakni; Bagi kamu secara khusus
agama kamu, tidak menyentuh sedikit pun kepadaku, kamu bebas
mengamalkannya sesuai dengan keyakinanmu, dan bagiku juga
secara khusus agamaku, aku pun mestinya memperoleh kebebasan
untuk mengamalkannya, dan kamu tidak akan disentuh sedikit pun
olehnya.431
Dari keterangan di atas, dapat dipahami bahwa toleransi
dalam kehidupan beragama adalah suatu keniscayaan, baik
toleransi antar umat beragama, maupun toleransi interumat
beragama. Setiap orang memiliki hak untuk memeluk suatu
agama dan mengamalkan ajarannya sesuai dengan kepercayaan
dan keyakinan masing-masing, dan setiap orang yang memeluk
suatu agama pasti meyakini bahwa agama merekalah yang paling
benar. Bukan saja keyakinan seperti itu, berdampak pada mereka
yang berbeda agama, tetapi boleh jadi perbedaan keyakinan justru
di kalangan interen umat beragama. Misalnya dalam Islam,
perbedaan mazhab alam kaitan dengan fikih, dan perbedaan
pemahaman terhadap keyakinan dalam kaitan teologi, mereka
mempertahankan serta mengamalkannya sesuai dengan
keyakinannya. Pemikiran seperti ini harusnya dipertahankan dalam
menjaga kedamaian, yakni saling menghormati, saling menyayangi
dan saling menghargai. Dalam rangka mewujudkan kesatuan yakni
sebagai hamba dari Allah swt. yang menciptakan, mengatur, dan
memelihara alam semesta ini. Sekalipun jalan dan cara yang
ditempuh dalam mewujudkan penghambaan itu berbeda-beda.
Boleh jadi perbedaan itu disebabkan dari latar belakang
430
Aḥmad Muṣṭafā al-Marāgī, op. cit., Juz, 30, h. 256
431
M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 15, h. 581
| 167
pendidikan, lingkungan serta keyakinan. Itulah yang dimaksud
firman Allah swt. dalam QS. Asy-Syūrā/42: 15
                  
  
Terjemahnya:
Bagi kami perbuatan kami, dan bagi kamu perbuatan kamu.
Tidak (perlu) ada pertengkaran antara kami dan kamu. Allah
swt. mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah (kita)
kembali.432
Dalam implementasinya, berbagai pilar pendidikan
karakter tersebut harus menjadi suatu pilar yang harus dijiwai oleh
nilai-nilai karakter yang tercantum dalam berbagai isyarat
normatif yang telah diberikan oleh al-Qur’an sebagai magnum
opus dari pendidikan qur’ani. Oleh karena itu, membumikan
konsep pendidikan qur’ani melalui pendidikan karakter harus
mampu mengakselerasi suatu konsep menuju aksi dalam
pemahaman dan pengamalan nilai-nilai karakter yang ada dalam
al-Qur’an melalui berbagai aspek pendidikan qur’ani seperti
tujuannya, fungsi, materi serta metodenya.
F.
Membumikan Konsep Pendidikan Qur’ani melalui Pendidikan
Keluarga
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud
keluarga adalah; 1). Ibu dan bapak beserta anak-anaknya, 2). Seisi
rumah yang menjadi tanggungan.433 Hal ini seirama dengan
pandangan Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir bahwa inti keluarga
168 |
432
Depertemen Agama RI., op. cit., h 695
433
Departemen Pendidikan Nasional, op. cit. h. 536.
adalah ayah, ibu dan anak434 Dalam lembaga pendidikan keluarga,
memposisikan ibu dan bapak sebagai pendidik kodrati. Oleh
karena itu, keduanya memiliki tanggung jawab terhadap anaknya,
yakni
memelihara dan membesarkannya, melindungi dan
menjamin kesehatannya serta mendidiknya dengan berbagai ilmu
pengetahuan dan keterampilan yang berguna bagi kehidupannya
kelak, sehingga pada saat dewasa, mereka mampu berdiri sendiri
dan peduli terhadap kemaslahatan orang lain.435
Orang tua (ayah dan ibu) atau semua orang yang bertanggung
jawab terhadap perkembangan anak seperti kakek, nenek, paman,
bibi dan kakak, tetapi yang paling bertanggung jawab adalah ayah
dan ibu,436 memiliki peranan yang amat besar terhadap pendidikan
anak, karena merekalah yang memiliki waktu yang lebih banyak
untuk bergaul, beradaptasi dan berkomunikasi dengan anaknya
sejak ia lahir sampai dewasa, sekali pun anak telah masuk jenjang
pendidikan formal, tetapi waktunya lebih panjang berada di rumah
ketimbang di sekolah. Oleh karena itu, orang tua lebih berpeluang
membina dan merubah sikap dan mental seorang anak, termasuk
keintelektualannya. Anak adalah amanah dari Allah swt. kepada
kedua orang tuanya, memiliki jiwa yang suci, namun berpotensi
menjadi kotor, sangat tergantung kepada pembinaan kedua orang
tuanya, apabila sejak kecil dididik dan dilatih serta diarahkan
dengan baik, maka ia akan tumbuh menjadi anak yang baik pula,
demikian pula sebaliknya, kalau ia selalu dibiasakan dengan sikap
yang tidak baik maka ia akan terbiasa melakukan sikap yang tidak
434
Inti keluarga adalah ayah, ibu, dan anak. Abdul Mujib dan Jusuf
Mudzakkir, op. cit., h. 226.
435
Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam (Cet. I: Bandung: CV.
Pustaka Setia, 2011), h. 183. Abī al-Ḥusain Aḥmad ibn Fāris ibn
Zakariyā, op. cit., Jilid II, h. 319
436
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam (Cet. III;
Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2000), h. 155.
| 169
baik pula, akhirnya ia menjadi manusia yang celaka dan tidak
terpandang di mata sesama umat manusia.437
Peluang untuk membentuk anak yang baik, seperti yang
telah diuraikan di atas, hendaknya dimanfatkan secara maksimal
oleh orang tua. Oleh karena itu, mereka hendaknya selalu berusaha
menciptakan kondisi yang kondusif, sehingga semua potensi anak
dapat berkembang secara optimal. Sekiranya orang tua tidak
mendidik anaknya atau melaksanakan pendidikan anak, secara
serius dan bersunguh-sungguh, berakibat terhadap perkembangan
anak yang tidak sesuai dengan harapan. Boleh jadi potensi anak
yang dibawa sejak lahir (fitrah agama) menjadi tidak bersinar.
Dalam Islam, pendidikan tidak seharusnya diserahkan
sepenuhnya kepada pendidikan formal tertentu (sekolah),
demikian pula tidak seharusnya pendidikan itu diserahkan
sepenuhnya kepada orang tua atau pendidikan informal, karena
kedua jalur pendidikan itu memiliki fungsi dan peran masingmasing, yang harus dipahami oleh masing-masing anak, bahkan
seharusnya mereka mengkombinasikan ilmu pengetahuan yang
diperoleh dari kedua jalur pendidikan tersebut, sehingga tidak
menjadi peserta didik yang hanya cemerlang secara intelektual,
tetapi hampa dari segi spiritual.
Dengan demikian, pendidikan yang diinginkan dalam Islam
adalah pendidikan yang mengitegrasikan antar kecerdasan
intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Ketiga
kecerdasan tersebut, tidak selamanya diperoleh melalui dengan
pendidikan formal dan non-formal. tetapi juga sebagiannya
diperoleh melalui pendidikan informal, terutama pendidikan
keluarga. Oleh karena itu, pendidikan keluarga adalah sesuatu
yang tidak bisa dinafikan, walaupun dalam format yang paling
sederhana, karena pendidikan keluarga merupakan pendidikan
437
Abdullah Nāṣih Ulwan, Tarbiyah Aulād fī al-Islam (Bair ut: D ār alIslām, 1981), h. 160
170 |
yang pertama dan utama,438 dan boleh jadi pendidikan keluarga
itulah yang berkesan dan berpengaruh bagi kehidupan anak.
Dalam al-Qur’an, terdapat beberapa ayat yang patut
dijadikan renungan dan contoh teladan bagi orang yang ingin
membangun rumah tangganya penuh kedamaian dan
ketenteraman, yakni memposisikan istri dan anak sebagai hiasan
dalam rumah tangga
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hiasan berarti
barang yang dipakai untuk menghiasi sesuatu.439 Karena itu,
perempuan/isteri dan anak merupakan alat yang dipakai untuk
menghiasi kehidupan. Sekiranya alat yang dipakai untuk membuat
hiasan tidak baik atau kurang sempurna, maka tentu hasilnya pun
tidak baik. Itulah sebabnya seorang suami sebagai pemimpin
dalam sebuah rumah tangga mempunyai peranan yang amat
strategis membentuk dan mengarahkan istrinya dan anak-anaknya
agar menjadi perhiasan yang menyenangkan, tidak hanya enak
dipandang mata, tetapi juga menjadi penyejuk hati ketika terjadi
kegoncangan hidup dan menjadi pelipur lara ketika terjadi
kesepian. Hal inilah yang dijelaskan oleh Allah swt. dalam QS. Ali
‘Imran/3: 14
          
           
  
 
     
Terjemahnya:
Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta
terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan,
anak-anak, harta benda yang beretumpuk dalam bentuk emas
438
439
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, loc. cit.
Departemen Pendidikan Nasional, op. cit. h. 398
| 171
dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawa ladang, itulah
kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat
kembali yang baik.440
Dari ayat tersebut dipahami bahwa terdapat tujuh bagian
yang paling dicintai umat manusia dalam hidupnya, yaitu; wanita,
anak-anak, harta benda (emas dan perak), kuda pilihan, hewan
ternak, sawah ladang. Meskipun kemudian yang digambarkan
sebagai bagian yang paling dicintai umat manusia dalam
kehidupannya hanya beberapa obyek pada ayat di atas, tapi hal
tersebut hanya merupakan bagian terkecil dari berbagai obyek
kecintaan manusia yang semakin dinamis dan kompleks dalam era
kekinian.
Menyikapi ayat di atas, Al-Marāgī berpendapat bahwa
kaum wanita merupakan objek yang paling disenangi oleh kaum
laki-laki, bahkan dengan wanita, jiwa laki-laki bisa merasa
tenang.441 Itulah sebabnya ayat tersebut didahulukan term wanita
dari pada anak-anak, pada hal sesungguhnya cinta dan sayang
kepada wanita pada saat-saat tertentu terkadang hilang, sedangkan
cinta dan sayang kepada anak tidak pernah hilang dari jiwa orang
tuanya, sekali pun terjadi perbedaan paham, bahkan mungkin
terjadi permusuhan
di antara mereka. Hal ini disebabkan
kecintaan dan kesayangan kepada anak tidak terlalu berlebihan,
sementara kecintaan dan kesayangan kepada wanita sering
berlebihan. Betapa banyak laki-laki yang mencintai wanita lebih
dari satu, lalu menelantarkan pendidikan anak dan istri yang tidak
dicintai lagi.442
M. Quraish Shihab berpendapat bahwa sekalipun ayat
tersebut menggunkan term al- nisā yang menunjuk kepada
172 |
440
Depertemen Agama RI., op. cit., h. 64.
441
QS. Ar-Rum/30: 21.
442
Aḥmad Muṣṭafā al-Marāgī, op. cit., Juz, III, h. 105.
perempuan dan al-banīna yang menunjuk kepada anak laki-laki,
tetapi tetap bermakna bahwa kecintaan kepada aneka syahwa,
yaitu bagi wanita kepada pria dan pria kepada wanita, serta anak
laki-laki dan anak perempuan.443 Karena itu dalam membangun
sebuah rumah tangga kecintaan suami terhadap istrinya dan
kecintaan istri terhadap suaminya menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dalam hidupnya, sehingga terjalin perasaan
mawaddatan wa rahmatan dalam semua waktu dan tempat serta
semua kondisi yang melingkupinya, baik dalam keadaan susah
maupun senang atau dalam keadaan suka dan duka. Demikian
pula kecintaan orang tua terhadap anaknya baik laki-laki maupun
perempuan seharusnya terbina sejak dalam kandungan ibunya
sampai seterusnya. Wujud kecintaan orang tua kepada anaknya
adalah kasih sayang, artinya kecintaan melahirkan kasih sayang.
Seorang anak yang selalu merasakan kasih sayang dari orang
tuanya, niscaya ia akan hormat dan taat kepadanya. Demikian pula
sebaliknya, sekiranya ada anak yang tidak merasakan kasih sayang
orang tuanya, terutama bagi yang hidup bersama orang tuanya,
niscaya mereka akan menjauh dari orang tuanya dan cenderung
membentuk dirinya dengan pola pikirannya sendiri yang boleh jadi
menjadi anak bandel, melawan bahkan membunuh orang tuanya.
Agar perasaan kasih sayang orang tua terhadap anaknya,
dan anak terhadap orang tuanya selalu tumbuh dan berkembang
pada diri mereka, maka hendaknya selalu terjalin komunikasi yang
intensif di antara kedua belah pihak, serta masing-masing
memahami hak dan kewajibannya. Bahkan orangtua diperintahkan
oleh Allah swt. agar selalu mendoakan anaknya, tidah hanya
ketika lahir tetapi juga ketika masih berada dalam kandungan,
sebagaimana yang dicontohkan oleh Istri ‘Imran yang diabadikan
oleh Allah swt dalam firman-Nya QS. ‘Ali Imran/3: 35
443
M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 27
| 173
                
     
Terjemahnya:
(Ingatlah), ketika istri ‘Imran berkata, “Ya Tuhanku,
sesungguhnya aku bernadzar kepada-Mu, apa (janin) yang
dalam kandunganku (kelak) menjadi hamba yang mengabdi
(kepada-Mu), maka terimalah (nadzar itu) dari-ku. Sungguh
Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”444
Term naẓartu adalah fi’il al-mādī mutakallim wahdah
berasal dari kata naẓara yang berakar kata dari huruf nun, ẓal dan
ra yang berarti sesuatu yang menakutkan, atau sesuatu yang
diusahakan untuk sampai suatu tujuan.445 Nadzar merupakan
tuntunan agama yang tidak diwajibkan oleh agama, tetapi
diwajibkan sendiri oleh seseorang atas dirinya guna mendekatkan
diri kepada Allah swt. yang dilakukan dengan ucapan.
Sebagaimana yang dilakukan oleh Istri ‘Imran bernadzar ketika
hamil, agar anak yang dikandungnya berbakti secara penuh di Bait
al-Maqdis. Nadzar ini menunjukkan bahwa anak yang
dikandungnya adalah anak laki-laki, karena ketentuan yang
berlaku ketika itu, adalah hanya anak laki-laki yang bisa bertugas
di rumah Allah swt., demi menjaga kesucian tempat ibadah dari
haid yang dialami oleh wanita. Juga nadzar tersebut membuktikan
bahwa demikian dalamnya kualitas iman beliau, sehingga bersedia
mempersembahkan anak yang akan dilahirkan itu demi
kepentingan agama.446
444
Depertemen Agama RI., op. cit., h. 67-68.
445
Abī al-ḥusain Aḥmad ibn Fāris ibn Zakariyā, op. cit., Jilid VI, h.
446
M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 77-78.
414.
174 |
Hakikat nadzar adalah doa, karena itu ketika istri ‘Imran
mengandung, dia bermohon atau berdoa kepada Allah swt. agar
anak yang akan dilahirkan itu adalah anak laki-laki supaya bisa
mengabdikan dirinya secara penuh di Bait al-Maqdis. Hal ini
menjadi pendidikan bagi ibu-ibu yang mengandung agar selalu
mendoakan janinnya sesuai niatnya. Tentu yang paling mulia
adalah mendoakan janinnya itu agar kelak menjadi anak saleh dan
salehah. Sekiranya apa yang didoakan itu tidak terwujud sesuai
dengan niat semula, sebagai umat yang beriman tidak boleh putus
asah atau bersedih, karena tentu Allah swt. mempunyai
perhitungan lain yang lebih besar manfaatnya dibanding dengan
permohonan seorang hamba-Nya. Hal itulah yang terjadi pada diri
istri ‘Imran yang selalu bermohon agar anak yang akan dilahirkan
itu adalah laki-laki, ternyata perempuan. Sebagaimana yang
firman Allah swt. dalam QS. Ali ‘Imran/3: 36
     
         
             
Terjemahnya:
Maka ketika melahirkannya, dia berkata “Ya Tuhanku, aku
telah melahirkan anak perempuan.” Padahal Allah swt. lebih
tahu apa yang dia lahirkan, dan laki-laki tidak sama dengan
perempuan “Dan aku memberinya nama Maryam, dan aku
memohon perlindungan-Mu untuknya dan anak cucunya dari
(gangguan setan yang terkutuk.”447
Ayat tersebut menggambarkan tentang kekuatan tekad dan
ketulusan istri ‘Imran berdoa, maka ketika ia mengetahui bahwa
yang dilahirkan adalah anak perempuan, dia pun berkata dengan
sedikit kecewa: Tuhanku, pemeliharaku sesungguhnya aku
447
Depertemen Agama RI., op. cit., h. 68.
| 175
melahirkan seorang anak perempuan dan Allah swt. lebih
mengetahui apa yang dilahirkannya itu dan anak laki-laki tidak
sama dengan anak perempuan. Istri ‘Imran menyampaikan hal itu
kepada Allah swt. seolah-olah ingin menyatakan bahwa saya tidak
bisa menunaikan nadzarku. Namun demikian, ia tetap berharap
semoga anak yang dia lahirkan menjadi seorang perempuan yang
taat kepada Allah swt., maka ia memberi nama dengan Maryam
yakni seorang yang taat, dengan harapan kiranya nama itu benarbenar sesuai dengan kenyataan. Agar niat istri ‘Imran dapat
terwujud, maka ia selalu memohon perlindungan dari rayuan dan
tipu daya setan secara terus menerus sampai kepada anak
cucunya.448 Sekalipun niatnya ingin melahirkan anak laki-laki
dengan tugas menjaga Bait al-Maqdis, namun Tuhan menghendaki
yang lain yakni ia melahirkan anak perempuan (Maryam), yang
dipersiapkan oleh Allah swt. dengan tugas yang luar biasa
melebihi tugas penjaga Bait al-Maqdis itu, yakni melahikan anak
tanpa proses seperti yang dialami oleh putra-putri Adam
sebelumnya, yakni melahirkan tanpa berhubungan seks dengan
seseorang pun yang melahirkan Nabi Isa. 449 Selain Maryam
dipersiapkan oleh Allah swt. melahirkan seorang nabi, juga dengan
kehendak dan rekayasa dari Allah swt. Keberadaan Maryam
merubah tradisi yang berlaku di masyarakat ketika itu, yakni
Maryam menjadi pengasuh rumah ibadah sesuai dengan niat
ibunya (isteri ‘Imran).450 Menurut al-Marāgī, bahwa istri ‘Imran
tidak pernah merubah niatnya sedikit pun yang menginginkan agar
bayinya itu menjadi penjaga Bait al-Maqdis sekalipun ia bayi
wanita. Sekiranya ia sama sekali tidak bisa menjadi penjaga Bait
176 |
448
M. Quraish Shihab, Tafsir, op. cit., volume 2, h. 78.
449
Ibid.
450
Ibid., h. 82.
al-Maqdis, biarlah ia menjadi birawati yang pekerjaannya hanya
untuk beribadah.451
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa niat yang
tulus dari lubuk hati yang paling dalam dari orang tua diiringi
dengan doa pasti dikabulkan oleh Allah swt. sekalipun dalam
wujud yang berbeda. Hal tersebut terjadi karena Allah swt. lebih
mengetahui segala rahasia yang terdapat di balik kenyataan yang
ada. Boleh jadi kalau permintaan istri ‘Imran itu agar melahirkan
anak laki-laki dikabulkan oleh Allah swt. justru menjadi anak
durhaka dan tidak ada yang tahu semua rahasia kecuali Allah swt.
Tetapi, karena ketulusan niat istri ‘Imran untuk menjadikan
anaknya sebagai penjaga Bait al-Maqdis akhirnya tetap terwujud
sekalipun anak yang dilahirkan itu adalah anak perempuan
(Maryam) tentu dengan beban yang berbeda karena perbedaan
fisik, tetapi setidaknya ia menjadi pemakmur tempat ibadah.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa al-Qur’an sarat
dengan pesan-pesan normatif dari dimensi teosentris yang
memberikan isyarat pada manusia yang berada pada dimensi
antroposentris. Dalam kaitannya dengan upaya membumikan
konsep pendidikan qur’ani tersebut, berbagai aspek yang berkaitan
dengan pendidikan seperti tujuan, fungsi, materi, dan metodenya
harus mengacu pada berbagai isyarat normatif tersebut.
Pendidikan qur’ani merupakan suatu pola pendidikan Islam yang
mencoba untuk mendudukkan wahyu sebagai sumber otoritas
pertama dan utama dalam Islam sebagai kerangka normatif dalam
pelaksanaannya.
451
Aḥmad Muṣṭafā al-Marāgī, op. cit., Juz, III, h. 140.
| 177
178 |
Azzet, Akhmad Muhaimin. Urgensi Pendidikan Karakter di
Indonesia. Cet. I; Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā, Abī al-Ḥusain. Maqāyis al-Lugah.,
Bairūt: Dār al-Jīīi, 1420 H./1999 M.
Ali, Muhammad Daud. Pendidikan Agama Islam. Cet. 12; Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2011.
Abdullah, Ambo Enre. Pendidikan di Era Otonomi Daerah.
Yogyakarta: Pustaka Timur, 2005
Arief, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam.
Cet. I; Ciputat: Ciputat Pres, 2002
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi
Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999
Baqī, Muhammad Fuad. Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ alQur’an al-Karīm. t.t: Angkasa, t.th.
Ali, Atabik danAhmad Zuhdi Muhdlor. Kamus Kontemporer Arab
Indonesia. Cet. III; Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum
Pondok Pesantren Krapyak, 1996
Ahmad bin Muhammad bin Miskawaih, Abī ‘Alī. Tahzib alAkhlāq wa taṭhīr al-A’rāqi. t.kt.
Ahmad, Asmoro. Filsafat Umum, Cet. IV; Jakarta: PT. Raja
Grapindo, 2012.
| 179
Abduh, Muhammad. Tafsīr al-Qur’an al-Karīm al-Syahr bi alTafsīr al-Manār. Cet. II: Mesīr: Dār al-Manār, 1367 H.
al-Asfahani, Al-Ragib. Mufradat alfazh al-Qur’an. Damsyiq: Dar
Al-Qalam, t.th.
al-Ahwānī, Muhammad Fuād. Al-Falsafat Al-Islāmiyah, Qairo:
Dār al-Qalam, t.th.
al-Ansārī, Jamāl al-Dīn Muḥammad Ibn Mukarram ibn Manḍūr.
Lisān ‘Arab. t.t: al-Muassasah al-Misriyah al-Āmmah li lTa’rīf wa al-Ambiyā al-Nasyr, t.th.
al-Abrasī, Mohammad Aṭiyah. Rūh al-Tarbiyyāt wa al-Ta’līm.
Qairo: Isa al-Babī al-Halabī, 1968
Buseri, Karmeni. Antologi Pendidikan Islam dan Dakwah;
Pemikiran Teoritis Praktis Kontemporer. Yogyakarta: UII
Press, 2003.
Bisri, Abidin dan Munawwir A. Fatah. Kamus Indonesia Arab,
Arab-Indonesia. Cet. I; Surabaya: Pustaka Progressif, 1999.
C.S. Hall, Lindsay G . and R.F. Thompson, Psyckology. New
York: Worth Publishers, Inc., 1976.
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya. Semarang:
PT. Karya Toha Putra, 2002.
---------, Al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Lentera Abadi, 2010.
Depertemen Pendidikan Nasiona , Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Edisi Ketiga. Jakarta: Palai Pustaka, 2002.
Drajat, Zakiyah. dkk., Ilmu Pendidikan Islam. Cet. II; Jakarta:
Bumi Aksara, 1992.
Djazuli. A. dan Nurol Aen. Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam.
Cet. I; Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2000.
180 |
Damsar. Pengantar Sosilogi Pendidikan. Cet. I; Jakarta: Kencana
Prenada Media Gruf, 2011.
Djalal H. A., Abdul. Ulumul Quar’an. Cet. III: Surabaya: Dunia
Ilmu, 2008
al-Dimisyki, Syekh Muhammad Jamaluddin al-Dārimī. Dalil alTauhid. Cet. I; Qairo: Maktabah al-Ṡiqāfah al-Diniyyah,
1986
al-Dimisyqī, Abī l-Fidāi Ismā’il ibn Kaṡir al-Qurasyī. Tafsir alQur’ān al-Aẓīm. Mesir: Dār al-Kutub, t.th.
al-Darwīṡi, Muhyi al-Din. I’rāb al-Qur’ān al-Karīm. Cet. IX:
Damsik-Bairūt: Dār al-Irsyad li al-Su’un al-Jami’ah, 1424
H./2003 M.
Eldeeb. Be Living Qur’an. Diterjemahkan oleh Faruq Zaini dengan
judul “Petunjuk Praktis Penerapan ayat-ayat al-Qur’an
dalam Kehidupan Sehari-hari. Cet. I; Ciputat: Lentera
Hati, 2009.
Gojali, Nanang. Tafsir Hadis Tentang Pendidikan. Cet. I;
Bandung: CV Putaka Setia, 2013
Hasan, Fuad. Dasar-Dasar Pendidikan Komponen MKDK. Cet. VI;
Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2010.
Hawi, Akmal. Kompotensi Guru Pendidikan Agama Islam. Cet. I;
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013.
Herbart. The Science of Education. Boston: DC. Heath, 1963.
Haekal, Muhammad Husain. Ḥayāt Muḥammad, diterjemahkan
oleh Ali Audah dengan judul Sejarah Hidup Muhammad.
Cet. XXX; Jakarta: PT. Mitra Kerjaya Indonesia, 2006
al-Hasan, Muhammad Ali. Pengantar Ilmu-ilmu Al-Qur’an. et. I;
Bogor: Pustaka Thariqul Izaah, 2007.
| 181
al-Ha’iri, Syekh Fadlullah. Al-Imām Ali al-Mukhtār min Bayānihī
wa Hikamihī, diterjemahkan oleh Tholib Anis dengan judl
“Tanyalah Aku Sebelum Kau Kehilangan Aku. Cet. VII;
Bandung : Putaka Hidayah, 2009.
Ismail, M. Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadiṡ Nabi . Cet. I;
Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Idi, Abdullah. Sosiologi Pendidikan. Cet. II; Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2011.
Jalaluddin. Filsafat Pendidikan Islam Telaah Sejarah dan
Pemikirannya. Cet. II; Jakarta: Kalam Mulia, 2012
al-Jamali, Moh. Fadhil. Falsafah Pendidikan dalam al-Qur’an, terj.
Junaidi al-Falasany. Surabaya: Bina Ilmu, 2002
Koesoeman A., Doni. Pendidikan Karakter: Starategi Mendidik
Anak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo, 2010.
Langgulung, Hasan. Manusia dan Pendidikan. Jakarta: Pustaka alHasana, 1986.
Mujib, Abdul. dan Jusuf Muzakkir. Ilmu Pendidikan Islam. Cet. I;
Jakarta: Kencana, 2006
Madjid, Nurcholish. Islam Agama Peradaban, Membangun Makna
dan Relevansi Doktrim Islam dalam Sejarah. Jakarta:
Parmadina, 1995
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Arab Indonesia. Yogyakarta:
Pondok Pesantren “Al-Munawwir”, 1994.
Mukhtar, Naqiyah. Ulumul Qur’an. Cet. I; Purwokwrto: STAIN
Press, 2013.
Mu’in, Fathul.
Pendidikan Karakter Konstruksi Teoritik &
Praktik. Cet. II: Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2011.
182 |
M. Echols, John dan Hassan Shadily. Kamus Inggeri Indonesia.
Cet. XXIV; Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000.
Mufti, Muslim, Tiori Politik, Cet.; Bandung: CV. Putaka Setia, h.
213
al-Marāgī, Aḥmad Mushṭafā. Tafsir al-Marāgī. Cet. I; Mesir:
Syarikatun wa Maṭbaatun Musṭafā al-Bab al-Ḥalabī wa
Aulāduh, 1365 H./ 1946 M.
al-Marbawī, Idris Abd. Rauf. Kamus Idris al-Marbawī. Misr:
Muṣṭafā al-Bābī al-Ḥalabī, 1350 H.
al-Mahallī, Jalal al-Din Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad.
dan Jalal al-Din Abd. Al-Rahman ibn Abī Bakr al-Suyutṭ,
Tafsīr al-Imam al-Jalalain. Damsyiq: Dar Ibn Katsir,
1407H.
Al Munawar, Said Agil Husin. Al-Qur’an, Membangun Tradisi
Kesalehan Hakiki. Cet. IV; Jakarta: Ciputat Press, 2004
--------, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani Dalam Sistem Pendidikan
Islam. Cet. II; Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005.
Nata, Abuddin. Ilmu Pendidikan Islam. Cet. I; Jakarta: Kencana
Prenada Media Grouf, 2010.
--------, Urgensi Pendidikan Agama di Era Globalisasi dalam buku
Kamaruddin Hidaya dkk., Mereka Bicara Pendidikan Islam
Sebuah Bunga Rampai. Cet. I; Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2009.
Nasr, S.H. Islam dalam Cita dan Fakta, terj. Abdurrahman Wahid
dan Hashim Wahid. Jakarta; LEPPENAS, 1981.
Najit, Muhammad Utsman. Ilmu Jiwa dalam al-Qur’an. Cet. I:
Jakarta: Pustaka Azzam, 2005.
Prawira, Purwa Atmaja. Psikologi Pendidikan dalam Perspektif
Baru. Cet. I; Jokjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012.
| 183
Purwanto, M. Ngalim. Ilmu Pendidikan: Teoritis dan Praktis. Cet.
XIX; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset, 2009.
Qutub, Muḥammad. Manḥaj al-Tarbiyyah al-Islāmiyah. t.d: 1967.
al-Qaṭṭān, Mannā. Mabāḥis fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Bairūt: alSyarikah al-Muttaḥidaḥ li al-Taūziiī’, 1957.
Ridha, Rasyid. Al-Tarbiyah al-Islāmiah al-Ta’līm al-Islamiah,
XXXIV No. 7. t. t : al-Manar, 1935.
Ramayulis. Metodologi Pendidikan Agama Islam. Cet. V, Jakarta:
Kalam Mulia, 2008.
--------, Filsafat Pendidikan Islam Analisis Filosofis Sistem
pendidikan Islam. Cet. IV: Jakarta: Radar Jaya Offset,
2015.
Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an Fungsi dan Peran
Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Cet. VII; Bandung:
Mizan, 1994.
--------,. Lentera Hati Kisah dan Hikmah Kehidupan. Cet. I;
Bandung: Mizan, 1994.
--------, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat. Cet. III; Bandung: Mizan, 1996.
--------, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an.
Cet. VI, Ciputat: Lentera Hati, 2006.
Syahidin . Menelusuri Metode Pendidikan dalam al-Qur’an. Cet.
I; Bandung: Al Fabeta, 2009.
Suparta, Munzier. Ilmu Hadis, Edisi Revisi. Cet. VII: Jakarta: PT
Raja Grapindo Persada, 2011.
Sayadi, Wajidi. Hadis Tarbawy Pesan-Pesan Nabi Tentang
Pendidikan. Cet. III; Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2011.
184 |
S. Praja, Juhaya. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika Suatu Pengantar.
Bandung: Yayasan Piara, 1997.
Sadily,Hasan. (ed). Ensiklopedia Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1984.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, Edisi I. Cet. III: Jakarta: Kencana,
2008
Suseno, Frans Magnis. Berfilsafat
Gramedia, 1991
dan Konteks. Jakarta:
al-Ṣābūnī, Muhammad Ali. Al-Tibyān fi 'Ulūm al-Qur'ān (BairutLibanon: Dār Al Irsyād, 1970
.
al-Ṣalih, Ṣubḥu. Mabāḥis fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Bairūt: Dār. al-Ilm
lil Malayaīn, 1977.
al-Syirbasi, Ahmad. Sejarah Tafsir Alqur’an. Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1985.
al-Suyūtī, Abdu al-Rahmā Jalāl al-Dīn. Al-Itqān fī ‘Ulūm alQur’an, Cet. III; Kairo: Mujtabā al-Bābī al-Halabī, t.th.
---------,Lubabun Nuqūl fī Asbābun Nuzūl diterjemahkan oleh M.
Abdul Mujieb ddengan judul “Riyawat Turunnya AyatAyat Suci Al-Qur’an. Surabaya: Mutiara Ilmu, 1986.
Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi. Sejarah dan Pengantar
Ilmu Hadis, Edisi Ketiga. Cet. VIII; Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra, 2013.
Taufiq, M. Kreativitas Jalan Baru Pendidikan Islam. cet. I;
Yogayakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2012
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Cet. III;
Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2000.
Takdir Ilahi, Muhammad. Revitalisasi Pendidikan Berbasis Moral.
Cet. I; Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012.
| 185
Tim Penyusun, Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosa kata.
Jakarta: Lentera Hati, 2007.
al-Qurṭubī, Abī ‘Abdillah Muḥammad bin Aḥmad bin Abī Bakrin.
al-Jām’ al-Aḥkām al-Qur’ān al-Mubayyin limā
Taḍammah min al-Sunnah wa Ayyin al-Qur’ān, Juz V. Cet.
I; Bairūt-Libanon: Muassasah al-Risālah, 1427 H./2006 M.
Umar, M. Ali Chasan. Al-Qur’an dan Pembangunan Nasional. Cet.
I, Semarang: t.th.
Ulwan, Abdullah Nāṣih. Tarbiyah Aulād fī al-Islam. Bair ut: D ār
al-Islām, 1981.
Wibowo, Agus. Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi . Cet.
Yogyakarta: Putaka Pelajar, 2013
Zaidan, Jarji. Tarikh al-Taddun al-Islami. t.tp. Dār al-Maktabah alHayāt, t.th.
Zuahirini dkk. Sejarah Pendidikan Islam. Cet. XII; Jakarta: Bumi
Aksara, 2013.
Zaini, Syahminan dan Anton Kusuma Seta. Ciri Khas Manusia.
Cet. I; Jakarta Kalam Mulia, 1986.
Zuhayli, Wahba. Al-Tafsīr al-Munīr fi al-‘Aqīdah wa al-Syari’at
wa al-Manḥaj. Bairūt: al-Fikr al-Mu’assir, 1991.
al-Zarqānī, Muhammad ‘Abd. Al-‘Aẓīm. Manāḥil al-Irfān fī
ūlūm al-Qur’ān. Bairūt Dār al-Fikr, 1988.
al-Zarkasyī, Badr al-Dīn Muḥammad bin Abdullah. Al-Burhān fī
‘Ulūm al-Qur’ān. Bairut-Libanon: Dār al-Fikr, 1988 M.
186 |
H.M. Amir HM memulai pendidikan di
Paret H. Ambo dan Paret Jumpai
kecematan Reteh INHIL RIAU, tahun
1969-1974, sebelum tamat Madrasah
Ibtidaiyah, hijrah ke Pondok Pesantren
As’adiyah Sengkang Sulawesi Selatan
dan memperoleh Ijazah Ibtidaiyah tahun
1975,
Madrasah
Tsanawiyah,
memperoleh ijazah thn 1978, Madrasah Aliyah I memperoleh
ijazah tahun 1981, Pergruan Tinggi Asadiyah (PTIAS)
memperoleh gelar BA tahun 1984. Dari Ibtidaiyah sampai
Perguruan Tinggi (Sarjana Muda) diperolehnya di Pondok
pesantren As’adiyah Sengkang. Pada tahun 1985 hijrah ke
Ujungpandang kini dengan nama Makassar menempuh pendidikan
Sarjana Lengkap dan gelar Drs. diperoleh di Fakultas Ushuluddin
IAIN Alauddin pada tahun 1987 jurusan Aqidah Filsafat. Karena
kesibukan sebagai tenaga pengajar pada IAIN Alauddin di Ambon,
maka baru mendapat kesempatan melanjutkan program magister
(S2) pada tahun 1997, memperoleh ijazah tahun 1999 dalam
Konsentrasi Tafsir Hadis, dengan alasan yang sama, jenjang
pendidikan program S3 baru mendapat kesempatan tahun 2007
dan memperoleh ijazah tahun 2010 dalam Konsentrasi Tafsir.
Pengalaman Pekerjaan :
Pembina Pesantren As’adiyah Sengkang, 1979 1984, dan pernah
menjadi sekretaris ujian akhir Madrasah Ibtidaiyah As’adiyah
tahun 1981, Dosen LB Fak.Ushuluddin IAIN Alauddin Ujung
| 187
Pandang, 1987-1990, Dosen Tetap IAIN Alauddin di Ambon,
1990-1999, Pembantu Dekan II Fak. Ushuluddin IAIN Alauddin di
Ambon, 1994-1997, Dosen Tetap STAIN Watampone, 2000–
sekarang, Kepala P3M STAIN Watampone, 2002-2006, Anggota
Senat STAI N Watampone, tahun 2008- 2010, Pembantu Ketua I
STAIN Watampone tahun 2010-2014.
Pengalaman Organisasi:
Ketua Umum Senat Mahasiswa Fak. Ushuluddin PTIA Sengkang,
1982-1984, Ketua Umum IPMAS (Ikatan Pelajar Mahasiswa
Anak Sumatra) Sengkang, 1983-1985, Sekretaris Umum Senat
Mahasiswa Fakultas Ushuluddin IAIN Alauddin Ujungpandang
Periode 1986-1987, Sekretaris
I BPKM
IAIN Alauddin
Ujungpandang Periode 1987- 1989, Pembina organisasi PMII Kab.
Bone tahun 2000 – sekarang, Ketua I Tanfidziyah Nahdatul Ulama
Kab. Bone 2010-Sekarang, Sekretaris Majelis Fatwah MUI
Kabupaten Bone 2010 –sekarang. Anggota Dewan Pakar ICM
Kab. Bone 2010- sekarang, Ketua Umum Pengurus IKAKAS
(Ikatan Alumni dan Keluarga As’adiyah) Kab. Bone 20014–
sekarang. Dalam meniti karirnya, pendidikan, penelitian,
pengabdian, pengajian, pelatihan, penataran, workshop, sarasehan
maupun seminar, banyak yang diikuti baik lokal maupun nasional,
dalam posisi sebagai peserta maupun narasumber, serta aktif
menulis dalam berbagai surat kabar dan jurnal.
Karya Ilmiah
a. Radio Suara As’adiyah dan Pengaruhnya Terhadap
Pengembangan Dakwa
Islamiyah (Risalah Sarjana Muda
(BA), 1984
b. Risalah As’adiyah dan Pengaruhnya Terhadap Aqidah Islam
pada
Masyarakat
Bugis
di
Sul-Sel.
(Penelitian
Kolektif/Anggota), 1984
c. Akal dan Hakikatnya Menurut Al-Farabiy. (Skripsi), 1987
188 |
d.
Aroha dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Pulau Haruku:
Ditinjau dari Segi Agidah Islamiyah,
(Penelitian
Kolektif/Anggota),1997
e. Nilai-Nilai Wisata dalam Al Qur’an, (Tesis), 1999
f. Eksistensi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Watampone: Studi Tentang Peningkatan Jumlah Mahasiswa
(Penelitian Kolektif/Ketua) 2003
g. Metode Pendidikan dalam Al-Qur’an: Studi Analisis Tentang
Pelaksanaannya pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN) Watampone, (Penelitian Individual), 2004
h. Penafsiran Surah al-Alaq ayat 1 – 5: Studi Analisis dari Segi
Pendidikan dan Aplikasinya pada STAIN Watampone,
(Panelitian Individual), 2005
i. Paradigma Intelektual Muslim (Buku): (salah seorang
Penulis), 2006.
j. Upaya Pengentasan Kemiskinan Menurut al-Qur’an: Studi
Analisis dari Segi Pendidikan dan Aplikasinya di Kab. Bone,
(Penelitian Individual), 2007
k. Kisah Nabi Sulaiman dalam Al-Qur’an (Suatu Kajian dari
segi Pendidikan). 2010
l. Nilai-nilai Pendidikan dalam al-Qur’an (Studi Analisis dari
Kisa4h Nabi Ibrahim, (penelitian Individual/BKD), 2013
m. Etika berwisata Perspektif Pendidikan Islam (buku) 2011
n. Kisah Nabi Sulaiman dalam Al –Qur’an dan Relevansinya
dengan Pendidikan Islam (buku) 2013
o. Isyarat al-Qur’an tentang Pengentasan Kemiskinan Perspektif
Pendidikan Islam (buku) 2013
p. Metode Pendidikan dalam al-Qur’an (buku) 2013
q. Implementasi Pendidikan Karakter dalam Surah Al-Hujurat
Pada Madrasah Aliyah Negeri I Watampone (Penelitian
Individual) tahun 2015.
r. Pendidikan Politik Bagi Perempuan (Jurnal) tahun 2016.
| 189
Laki-laki yang berpenampilan sederhana dan rada pendiam ini,
berfalsafah hidup “Bekerja dengan tuntas adalah suatu keharusan”
kini tinggal bersama dengan istri (Dra. Hj. Aisyah Rasyid, M.Sy),
anak dan cucunya di Jalan K.H. Sulaiman lr. I Kelurahan Biru Kab.
Bone, bisa dihubungi melalui nomor Hp. 081342563639/
[email protected]
190 |
Download