3 INSIGHT Membungkam mitos Edisi Minggu Bisnis Indonesia 20 Februari 2011 T ersenyum geli juga saya membaca tulisan kolumnis William Upski Wimsatt di Washington Post edisi online 11 Februari yang berjudul Five myths about the suburbs. Ternyata raja diraja kapitalisme dunia itu masih juga percaya mitos. Sebelumnya saya tidak pernah terbayang daerah pinggiran kota dihantui atau memiliki mitos. Apalagi ini mitos yang menyelimuti daerah pinggiran di Negeri Paman Sam. Makin tidak terbayang. Namun justru itulah yang “disentil’ Wimsatt lewat tulisannya. Memang, persoalan ini terjadi di negeri orang nun jauh di sana dengan segala perbedaan latar belakang dibandingkan dengan masyarakat Indonesia. Namun, bukan berarti kita tidak bisa ‘nyambung’ dengan mereka. Bukankah daerah pinggiran kota juga merupakan masalah “Suburbs have become dunia, termasuk kita di Inmore like cities, while donesia. Seabrek persoalan ada mulai dari lingkungan, cities have become more disana, populasi, tenaga kerja, translike suburbs.” portasi hingga ke masalah pemerintahan. Wimsatt mengingatkan kita untuk membuang jauh-jauh mitos yang keliru mengenai daerah pinggiran kota. Tunggu dulu, mana ada sih mitos benar? Menurut dia, ada lima mitos yang perlu diluruskan sesuai dengan fakta-fakta dan temuan terbaru di lapangan. Pertama, daerah pinggiran merupakan kum-pulannya masyarakat golongan menengah dan hanya terdiri dari satu ‘warna’. Kedua, daerah pinggiran sama sekali tidak keren. Ketiga, merupakan kawasan tempat dimana sistem pasar bebas hidup dengan suburnya. Keempat, secara politik konservatif dan kelima, warganya tidak peduli terhadap lingkungan. Faktanya, sepertiga warga pinggir kota di seluruh AS adalah etnis minoritas dan jumlahnya meningkat 19% dibandingkan dengan 1990. Selain itu sekitar 20% para siswa sekolah negeri adalah Hispanik, 15% Afro-Amerika dan 6% merupakan keturuan Asia-Amerika. Penyangkalan kedua diperoleh berdasarkan survei yang dilakukan majalah Travel and Leisure terhadap 26 daerah pinggiran kota yang paling okay. Survei dilakukan terutama untuk daerah yang memiliki semacam pusat-pusat kota tradisional seperti Mt. Lebanon, Birmingham, dan Lakewood. Laporan tersebut sekaligus menjungkirbalikkan anggapan sebelumnya bahwa daerah-daerah tersebut ‘tidak ada apa-apanya’ dan membosankan. Mengenai pasar bebas, Wimsatt berpendapat justru sebaliknya. Pemerintah berperan sangat besat dan menentukan. Tidak semua hal ditentukan berdasarkan mekanisme pasar. Contohnya, pembangunan infrastruktur seperti jalan raya sangat mengandalkan pendanaan dari pajak. Mengutip studi yang dilakukan Arthur C. Nelson, pakar perencanaan kota Universitas Utah pada 2008, kolumnis tersebut mengungkapkan bahwa pembangunan fasilitas baru di pinggiran kota membutuhkan ‘setoran’ sedikitnya US$13,43 dari setiap warga. Adapun, mengenai pandangan politik yang konservatif, memang betul bahwa pada 2010 sebagian besar warga pinggir kota di AS menjatuhkan pilihannya pada Partai Republik. Namun bukan berarti INRIA ZULFIKAR Bisnis Indonesia mereka tidak bisa pindah ke lain hati. Pada 2006 dan 2008, pilihan politik warga pinggiran terbelah dan pada masa mendatang fragmentasi tersebut lebih kelihatan. Sedangkan mitos bahwa mereka tidak peduli lingkungan, apa yang terjadi di Cleveland bisa dijadikan contoh. Warga kota bermitra dengan pemerintah setempat untuk membeli panel surya. Warga di daerah pinggiran lainnya memiliki program lain yang sukses. Artinya, mereka aktif mengemas berbagai ide-ide kreatif agar wajah daerah pinggir kota semakin manusiawi dan ramah lingkungan. Bagaimana dengan negeri ini? Ada contoh menarik yang bisa dijadikan perbandingan meski tidak terlalu pas benar. Masih ingat soal wacana Greater Jakarta? Greater Jakarta dianggap sebagai cara untuk mempersiapkan Indonesia menjadi negara maju pada kurun waktu 2015 hingga 2020. Pengembangan wilayah ibu kota merupakan langkah awal untuk mewujudkan hal ini. Meski konsep Greater Jakarta belum dibicarakan secara menyeluruh tetapi gagasan ini sebagai upaya agar Indonesia siap untuk masuk dalam jajaran negara maju. Ini kan sama saja menjadikan Jakarta semakin gemuk. Bagaikan tubuh seseorang, lemaklemaknya kian melebar tak karuan. Bahkan Institut Teknologi Bandung (ITB) telah menyiapkan seluruh sumber daya yang dimilikinya untuk mengembangkan keinginan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut bagi terwujudnya ibu kota dengan konsep Greater Jakarta. Menurut Rektor ITB Akhmaloka pengembangan wilayah itu melingkupi daerah Purwakarta, bagian barat hingga daerah Banten, dan wilayah selatan sampai Sukabumi. Program Greater Jakarta disebut-sebut mirip dengan konsep pembangunan Malaysia yang juga memilih jalan memperluas ibu kota sebagai solusi. Kuala Lumpur dibangun menyatu dengan sejumlah kota di sekitarnya. Rencana itu menjadi bagian dari apa yang disebut sebagai Program Tranformasi Ekonomi Malaysia. Program ini adalah roadmap pembangunan negeri jiran itu yang diluncurkan Oktober 2010. Dari roadmap itu, rencana pembangunan Kuala Lumpur dimasukkan dalam bab tersendiri. Dalam bab itu dijelaskan bahwa Kuala Lumpur akan terhubung dengan Putrajaya, Shah Alam, Petaling Jaya, Klang, Kajang, Subang Jaya, Selayang, Ampang Jaya dan Sepang. Persoalannya, mampukah Greater Jakarta kelak membalikkan mitos klasik ibu kota negara ini? Apakah nantinya bebas banjir? Apakah bisa terbebas dari kemacetan parah? Apakah wajah Jakarta makin hijau atau justru compang-camping? Apakah penataan kota akan lebih terencana dan terpadu? Semuanya masih serbaspekulatif. DPRD DKI tampaknya tidak keberatan hal itu direalisasikan. Konsep itu dianggap jauh lebih praktis dan masuk akal bila dibandingkan dengan pemindahan ibu kota. Fauzi Bowo, orang nomor satu di Balaikota, juga setali tiga uang. Dia berpendapat perluasan wilayah Jakarta menjadi hal sangat penting. Sayangnya, Jakarta belum memiliki konsep megapolitan yang jelas. Yang ada, menurut Bang Foke, konsep soal tata ruang Jabodetabekjur. Bagaimana dengan mitos kemacetan? Kuntoro Mangkusubroto, Koordinator Transportasi Jabodetabek, mengatakan pemerintah pusat optimistis masalah klasik kemacetan Jakarta bisa teratasi. Meski demikian, semua pihak diminta bersabar karena mencari solusi kemacetan Jakarta bukan hal yang bisa dilakukan sekejap. Kuntoro mengambil contoh mengenai angkutan dari pinggiran kota ke Jakarta. Permasalahan khusus angkutan dari pinggiran ke Jakarta ini tidak bisa selesai sekaligus. Asal tahu saja, Kuntoro ditunjuk Wakil Presiden untuk menangani masalah kemacetan Jakarta dan segera menjalankan 17 langkah untuk menangani kemacetan di ibu kota negara ini. upakah kita pada daerah pinggiran kota? Mengenai hal ini, Bambang Setioko, kandidat doktor Teknik Arsitektur dan Perkotaan Program Pascasarjana Undip, mengajukan pemikiran menarik. Dia menekankan dewasa ini peran kawasan pinggiran kota makin penting karena salah satu kecenderungan perkotaan pada dekade ini adalah perpindahan penduduk dari inti kota ke pinggiran. Pertumbuhan kota tak lagi berlangsung di pusat tetapi ke pinggiran. Fenomena ini mengakibatkan terjadinya anomali lanskap kota, yakni kota berciri marjinal, sebaliknya kawasan pinggiran berciri sentral. Ini pula yang ‘disindir’ Wimsatt. “Suburbs have become more like cities, while cities have become more like suburbs.” Membicarakan pertumbuhan fisik kota sama halnya dengan membahas kawasan pinggiran, kawasan dengan tingkat kepadatan rendah tetapi beraktivitas tinggi. Fenomena pertumbuhan kawasan pinggiran kota di Indonesia sedikit berbeda dari yang terjadi di Barat. Pertumbuhan fisik kota-kota di Indonesia relatif belum mantap. Apa yang disebut proses infill development berlangsung bersamaan dengan pertumbuhan kawasan pinggiran. Bentukan fisik kawasan pinggiran pada umumnya berciri chaos, gabungan berbagai macam pola antara lain pola organis, grid, dan tebaran permukiman tidak berpola. Bentukan pola permukiman lebih dominan mengikuti pola kepemilikan lahan penduduk dengan bentuk tidak beraturan. Oleh karena itu, pemahaman akan hal tersebut menjadi sesuatu yang strategis untuk mencari solusi memecahkan berbagai problematika perkotaan, termasuk di antaranya meningkatnya kepadatan kendaraan di ruas jalan menuju pinggiran kota. L ([email protected]) FEEDBACK Berharap jadi 'kiblat' busana muslim dunia Cukup sering edisi Minggu Bisnis Indonesia memuat tulisan soal busana muslim. Hal yang membanggakan bila kita membicarakan busana muslim karena Indonesia merupakan pusat busana muslim dunia. Semua pihak rasanya perlu ikut mendukung pengembangan industri busana muslim di Tanah Air agar bisa benar-benar menjadi ikon dunia. Siapa yang tidak bangga bila karya-karya perancang busana dari dalam negeri diakui kehebatannya di mancanegara. Apa yang diulas di edisi 6 Februari lalu makin meyakinkan saya bahwa perlu ada strategi yang lebih agresif dan dukungan pemerintah yang lebih nyata agar industri busana muslim Indonesia makin disegani. Bila New York, Milan, Paris, Tokyo, London atau Sydney bisa jadi ikon atau kiblat dunia, mengapa Jakarta, misalnya, tidak bisa? Singkirkan berbagai perbedaan, satukan visi dan langkah supaya mimpi menjadikan Indonesia sebagai kiblat busana muslim dunia berbuah kenyataan. TRIANA MAGDALENA R [email protected] Pertanyaan, saran, kritik, dan komentar dapat disampaikan ke redaksi melalui:[email protected] dan www.bisnis.com