DETERMINAN NERACA TRANSAKSI BERJALAN

advertisement
DETERMINAN NERACA TRANSAKSI BERJALAN DI INDONESIA:
Pendekatan Kointegrasi Metode Johansen dan 2-Step Engle-Granger
WAHYU PURNAMAHADI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Determinan Neraca
Transaksi Berjalan Indonesia: Pendekatan kointegrasi metode Johansen dan 2-step
Engle Granger adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014
Wahyu Purnamahadi
NIM H151114244
RINGKASAN
WAHYU PURNAMAHADI. Determinan Neraca Transaksi Berjalan di Indonesia:
Pendekatan Kointegrasi Metode Johansen dan 2-Step Engle-Granger. Dibimbing oleh IMAN
SUGEMA dan DEDI BUDIMAN HAKIM.
Defisit neraca transaksi berjalan Indonesia beberapa tahun terakhir sangat menarik untuk
dicermati oleh beberapa kalangan. Hal ini disebabkan oleh pentingnya indikator ini dalam
menilai kestabilan ekonomi. Neraca transaksi berjalan Indonesia yang lebih dari satu dekade
mengalami surplus tiba-tiba bergeser menjadi defisit pada tahun 2011 telah memunculkan
bermacam spekulasi dan juga kekhawatiran. Pemerintah dalam hal ini otoritas yang
berwenang telah memberikan penjelasan tentang fenomena sementara dari defisit transaksi
berjalan yang diakibatkan peningkatan permintaan agregat dalam negeri. Namun berbagai
kalangan menilai hal ini sebagai sinyal waspada yang harus disikapi dengan tepat dan cepat
untuk mengantisipasi terjadinya kemunduran ekonomi.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi
keseimbangan neraca transaksi berjalan di Indonesia serta menganalisis bagaimana hubungan
faktor-faktor tersebut terhadap neraca transaksi berjalan baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang. Faktor-faktor yang dimaksud meliputi aset luar negeri, tingkat keterbukaan
perdagangan, nilai tukar riil, dan pendapatan riil relatif. Data yang digunakan adalah data
triwulan dari tahun 1990 hingga tahun 2012, dengan penerapan analisis Vector
Autoregression (VAR) serta sifat data yang tidak stasioner pada level, maka pendekatan
kointegrasi dengan metode Johansen dan 2-step Engle Granger dilakukan untuk mencari
hubungan jangka panjang dan jangka pendek yang terjadi. Selain itu, penelitian ini juga
memberikan penekanan khusus pada penerapan prosedur ekonometrik untuk variabelvariabel non-stasioner namun terkointegrasi melalui metode Johansen dan 2-steps Engle
Granger. Prosedur pemilihan model terbaik dengan pengujian Likelihood Ratio (LR) dan
kriteria informasi juga dilakukan untuk mendapatkan hasil estimasi yang valid.
Hasil penelitian menunjukkan beberapa hal penting. Pertama, bahwa terdapat hubungan
keseimbangan jangka panjang antara neraca transaksi berjalan dan variabel-variabel yang
diteliti. Kedua, tingkat keterbukaan perdagangan dan pendapatan riil relatif memiliki efek
yang positif sementara nilai tukar memiliki efek negatif terhadap neraca transaksi berjalan,
baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Ketiga, aset luar negeri neto berdampak
positif dalam jangka panjang dan berdampak negatif dalam jangka pendek.
Kata kunci: transaksi berjalan, kointegrasi, johansen, engle-granger, VAR/VECM
SUMMARY
WAHYU PURNAMAHADI. Determinants of Current Account in Indonesia: Johansen
Method and 2-steps Engle-Granger method of Co-integration. Under direction of IMAN
SUGEMA and DEDI BUDIMAN HAKIM.
Current account deficit in Indonesia in the last two years attract some attentions from
many stakeholders because it is an important indicator in refer to assessing economic
stability. In the last decade Indonesia experienced mostly current account surplus. After a
long period of surplus, by the end of 2011, Indonesia experienced deficit of current account
balances. The authority perceived it as a temporary phenomenon since the increasing of
aggregate domestic demand due to raised on import of fuel and other consumption products.
But some economist announced it as an allert signal of an upcoming economic decline and
has to be taken care appropriately and immediately.
This paper try to examine the relationship between current account balance and a set of
macroeconomic variables including net foreign assets, openness, real exchange rate, and
relative income, both in the long-run and in the short-run. Given the non-stationary nature of
the data used in this study, this paper adopts a co-integrated VAR approach using the
quarterly data of 1990-2012. One of the urgency of this paper is how to apply econometrics
standard procedures to obtain the fittest method in order to optimize our model to be able to
make a valid analysis and forecasting. The 2-steps Engle-Granger Method and Johansen
Maximum Likelihood Method are being used to determine the co-integration process.
Finally, model selection applied by using likelihood ratio test and information criterion.
The estimation results show some important findings. First, there is a long-run
relationship between current account balance and the macroeconomic variables being
considered. Second, degree of openness, and relative income have a positive impacts on
current account balance both in the long-run and in the short-run, while the exchange rates
show a negative impact in the long-run and in the short-run. Third, net foreign assets have a
positive impacts in the long-run and negative impacts in the short-run.
Keywords: current account, cointegration, johansen, engle-granger, VAR/VECM
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;
dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam
bentuk apa pun tanpa izin IPB
DETERMINAN NERACA TRANSAKSI BERJALAN DI INDONESIA:
Pendekatan Kointegrasi Metode Johansen dan 2-Step Engle-Granger
WAHYU PURNAMAHADI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Heru Margono, M.Sc
Judul Tesis : Determinan Transaksi Berjalan Indonesia : Pendekatan Kointegrasi Metode
Johansen dan 2-Step Engle-Granger
Nama
: Wahyu Purnamahadi
NIM
: H151114244
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Iman Sugema, MEc
Ketua
Dr Ir Dedi Budiman Hakim, MA.Ec
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Ekonomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir R Nunung Nuryartono, MSi
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 11 Juni 2014
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala
atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 ini ialah defisit neraca transaksi
berjalan, dengan Determinan Neraca Transaksi Berjalan Indonesia.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Iman Sugema, MEc, dan Bapak Dr
Ir Dedi Budiman Hakim, MA.Ec selaku pembimbing, serta Bapak Dr. Heru Margono, MSc
selaku penguji, dan Ibu Dr Lukytawati Anggraeni, SP, MSi yang telah banyak memberikan
saran dan masukan yang berharga. Di samping itu Penulis juga mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada Kepala BPS Republik Indonesia, Kepala BPS Provinsi Jawa
Barat, dan Kepala BPS Kabupaten Bogor yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di
Sekolah Pascasarjana (SPs) IPB, serta ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga
disampaikan kepada Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, MSi beserta jajarannya selaku pengelola
Program Studi Ilmu Ekonomi SPs IPB dan semua dosen yang telah mengajar penulis.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri penulis, Desi Nuraini beserta
anak (Belqis Salshabila) atas cinta, kesabaran, do’a, serta dorongan semangatnya; orangtua
dan mertua beserta seluruh keluarga, atas segala doa dan dukungannya; serta untuk seluruh
rekan-rekan Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi kelas BPS Batch 4, terimakasih atas
masukan yang telah diberikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2014
Wahyu Purnamahadi
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teori
Pendekatan Konvensional
Teori Pendekatan Elastisitas
Teori Marsall-Lerner Condition
J-Curve
Teori Pendekatan Intertemporal
Pengaruh Kebijakan Makroekonomi terhadap Neraca Transaksi
Berjalan
Output dan Kurs pada Kesimbangan Pasar Aset
Determinan Neraca Transaksi Berjalan
Tinjauan Empiris
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
viii
viii
viii
1
1
2
4
4
5
5
5
7
7
8
8
9
11
12
13
15
3
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis
Pengujian Pra Estimasi VAR
Uji Kointegrasi Rank
Model 2-Steps Engle-Granger
Model Johansen Maximum Likelihood VAR
Pemilihan Model Terbaik
Impulse Response Function
Spesifikasi Model
Definisi Variabel Operasional
19
19
20
21
22
24
25
26
27
28
28
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Estimasi Model
Metode Two-Steps Engle-Granger
Metode Johansen
Pemilihan Model
Efek Jangka Panjang
Hubungan Dinamis Jangka Pendek
30
30
31
33
34
35
36
5
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
39
39
39
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
40
42
52
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Perkembangan Nilai Ekspor Impor Tahun 1997 – 2012
Variabel dan sumber data penelitian
Augmented Dickey-Fuller test
Pemilihan Lag
Johansen-Juselius Cointegration Test
Pengujian Residual Regresi
Estimasi VECM Metode 2-step Engle-Granger
Estimasi VECM Prosedur Johansen Terrestriksi
Estimasi VECM Prosedur Johansen tak terrestriksi
Ringkasan Tabel Kriteria Informasi
3
19
30
31
31
32
32
33
34
34
DAFTAR GAMBAR
1 Neraca Transaksi Berjalan Indonesia Tahun 1990 – 2012
2 Transaksi Berjalan Indonesia Tahun 2009q1 – 2012q4
3 Kurva-J
4 Pengaruh kebijakan makroekonomi terhadap neraca transaksi berjalan
5 Output dan kurs pada keseimbangan pasar aset
6 Kerangka Pemikiran
7 Ringkasan Prosedur Analasis
8 Impulse Response Function
2
4
8
9
11
17
20
38
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
Hasil uji stabilitas VAR
Output penentuan tren deterministik
Output Penentuan Lag Optimal VAR
Hasil uji rank kointegrasi Johansen
Hasil estimasi OLS dan pengujian residual OLS
Hasil estimasi 2- step Engle-Granger
Hasil estimasi VECM metode Johansen
8 Respons RCA terhadap shok variabel endogen
42
43
44
45
46
47
49
51
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Neraca transaksi berjalan merupakan salah satu indikator makroekonomi
yang sering dijadikan acuan dalam menilai stabilitas ekonomi suatu negara. Salah
satu alasannya adalah bahwa neraca transaksi berjalan mencerminkan kekuatan
daya saing internasional suatu bangsa dan sejauh mana bangsa tersebut
memanfaatkan sumberdaya yang dimilikinya (Uneze dan Ekor 2012). Selain itu,
nilai transaksi berjalan merupakan cerminan dari rasio tabungan-investasi yang
berkaitan erat dengan nilai transaksi finansial (Aristovnik 2006). Ketika terjadi
investasi yang melebihi jumlah tabungan, maka selisih tersebut dipenuhi oleh
modal masuk (capital inflow) dari luar negeri yang akan tercatat dalam transaksi
modal dan finansial (capital and financial account).
Secara umum karakteristik neraca transaksi berjalan di setiap negara
menunjukkan pola yang berbeda, baik fluktuasinya terhadap perubahan situasi
perekonomian dunia, maupun interaksinya dengan variabel-variabel
makroekonomi di negara tersebut. Nilai transaksi berjalan juga sangat dipengaruhi
oleh kebijakan perdagangan luar negeri setiap negara sehingga sulit menemukan
pola yang pasti. Namun secara umum setiap negara memiliki alasan untuk
menjaga nilai transaksi berjalan agar tetap kondusif bagi perekonomiannya.
Terdapat beberapa model teoritis dalam upaya menjelaskan karakteristik
dari nilai transaksi berjalan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, diantaranya
adalah pendekatan konvensional, pendekatan elastisitas, dan pendekatan
intertemporal. Masing-masing pendekatan memiliki pandangan yang berbeda
dalam menentukan elemen yang mempengaruhi neraca transaksi berjalan.
Perbedaan juga terjadi pada pendapat tentang kekuatan hubungan dan arah
hubungan dari faktor-faktor tersebut. Oleh karena itu upaya untuk memahami
faktor-faktor yang mempengaruhi neraca transaksi berjalan, baik jangka pendek
dan jangka panjang, memiliki implikasi yang penting dalam menentukan
kebijakan ekonomi suatu negara.
Neraca transaksi berjalan Indonesia mengalami fluktuasi yang cukup
beragam dalam kurun waktu 30 tahun terakhir. Namun jika dilihat secara cermat
Indonesia mengalami dua periode yang berbeda dalam hal neraca transaksi
berjalan. Periode pertama, yaitu sebelum kiris 1997/1998, Indonesia lebih banyak
mengalami defisit neraca transaksi berjalan. Pada periode kedua, yaitu setelah
krisis 1997/1998, Indonesia lebih banyak mengalami surplus transaksi berjalan,
walaupun tetap terdapat fluktuasi di kedua periode tersebut.
Perubahan paradigma neraca transaksi berjalan sebelum dan sesudah krisis
tahun 1997/1998 terjadi akibat perubahan hubungan antara neraca transaksi
berjalan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Selain itu perubahan tersebut
terjadi akibat berubahnya struktur kebijakan perekonomian, misalnya dalam hal
perubahan rejim nilai tukar dan keterbukaan ekonomi (Sahminan, Ibrahim, dan
Yanfitri 2009).
6,000
4,000
2,000
2012q1
2011q1
2010q1
2009q1
2008q1
2007q1
2006q1
2005q1
2004q1
2003q1
2002q1
2001q1
2000q1
1999q1
1998q1
1997q1
1996q1
1995q1
1994q1
1993q1
1992q1
1991q1
1990q1
0
-2,000
-4,000
Nilai Transaksi Berjalan (miliar Dolar AS)
2
-6,000
-8,000
-10,000
Sumber: Bank Indonesia 2012 (diolah)
Gambar 1 Neraca Transaksi Berjalan Indonesia Tahun 1990 – 2012
Namun pada periode pasca krisis, dimana neraca transaksi berjalan
cenderung positif, paradigma neraca transaksi berjalan kembali mengalami
perubahan. Berawal pada triwulan terakhir tahun 2011, neraca transaksi berjalan
yang semula konsisten pada nilai positif bergeser menjadi negatif. Neraca
transaksi berjalan pada triwulan empat tahun 2011 mencatatkan nilai defisit
2,301 miliar dolar AS atau setara dengan 1,09% Produk Domestik Bruto (PDB)
nasional. Keadaan defisit ini berlangsung terus dan cenderung menunjukkan
peningkatan. Pada triwulan akhir tahun 2012 nilai transaksi berjalan Indonesia
mengalami defisit sebesar 7,646 miliar dolar AS atau setara dengan 3,53 % dari
PDB. Bahkan pada triwulan kedua tahun 2013 defisit neraca transaksi berjalan
Indonesia telah mencapai 9,8 miliar dolar AS atau 4,4 % terhadap PDB nasional.
Perumusan Masalah
Krisis ekonomi keuangan tahun 1997/1998 telah menyebabkan perubahan
besar dalam neraca pembayaran Indonesia. Sebelum krisis, neraca transaksi
berjalan yang mencatat ekspor dan impor barang dan jasa umumnya berada dalam
kondisi defisit. Artinya, penduduk Indonesia lebih banyak mengimpor daripada
mengekspor barang dan jasa. Defisit yang terjadi sebesar rata-rata 2,5% - 3,5%
dari total PDB per tahun. Arus modal masuk umumnya lebih besar daripada arus
modal keluar. Setelah krisis 1998, yang terjadi sebaliknya. Neraca transaksi
berjalan berada dalam surplus yang mencapai 4-5% PDB, sementara neraca modal
berada dalam defisit.
3
Penyesuaian dalam neraca transaksi berjalan pada periode setelah krisis
terutama terjadi karena penurunan impor secara drastis. Pada paruh pertama
dasawarsa 1990-an atau sebelum krisis, impor meningkat rata-rata 18 % per tahun,
sedangkan tahun 1998, impor turun sebesar 30 %. Pada tahun 2002, nilai impor
baru mencapai 77 % dibandingkan nilai impor pada tahun 1997.
Tabel 1 Perkembangan Nilai Ekspor Impor Tahun 1997 – 2012
Ekspor
Impor
Tahun
(juta USD)
(juta USD)
1997
56.297
46.223
1998
50.371
31.942
1999
51.242
30.598
2000
65.407
40.366
2001
57.364
34.669
2002
59.165
35.653
2003
64.109
39.546
2004
70.767
50.615
2005
86.995
69.462
2006
103.528
73.868
2007
118.104
85.260
2008
139.606
115.981
2009
119.646
125.714
2010
158.074
162.447
2011
200.788
206.005
2012
188.146
215.729
Sumber : Bank Indonesia 2012 (diolah)
Pada tahun-tahun berikutnya setelah krisis, Indonesia mengalami surplus
neraca transaksi berjalan yang cukup konsisten hingga akhir tahun 2011. Surplus
ini terjadi dikarenakan meningkatnya kinerja ekspor nonmigas Indonesia. Pada
tahun 2007 ekspor nonmigas mencatatkan nilai 93,1 miliar dolar AS atau
tumbuh sebesar 15,6% dibandingkan tahun sebelumnya. Laju pertumbuhan ini
terus meningkat seiring dengan perkembangan perekonomian global yang terus
membaik, terutama pada wilayah Asia yang tumbuh sangat pesat.
Namun pada awal tahun 2009, sebagai refleksi dari pertumbuhan ekonomi
yang tinggi permintaan domestik terus meningkat sehingga berdampak pada
meningkatnya kebutuhan bahan baku yang berasal dari impor dan mendorong laju
pertumbuhan impor meningkat lebih tinggi dari pertumbuhan ekspor. Hal tersebut
mengakibatkan menurunnya surplus transaksi berjalan walaupun masih
mencatatkan nilai yang positif. Kondisi ini terus berlangsung bahkan semakin
parah dengan terus menurunnya nilai ekspor nonmigas dan meningkatnya impor
bahan baku. Sehingga pada triwulan empat tahun 2011, neraca transaksi berjalan
Indonesia kembali mengalami defisit.
Nilai Transaksi Berjalan (miliar Dolar AS)
4
0.0300
0.0200
0.0100
0.0000
-0.0100
-0.0200
-0.0300
-0.0400
-0.0500
Sumber : Bank Indonesia 2012 (diolah)
Gambar 2 Transaksi Berjalan Indonesia Tahun 2009q1 – 2012q4
Berkaitan dengan fenomena ini, beberapa literatur telah memprediksi
terjadinya penurunan surplus transaksi berjalan di negara-negara Asia sebagai
akibat dari penurunan defisit transaksi berjalan di Amerika serikat tahun 2009
sebesar separuhnya. Fenomena ini dikenal dengan istilah “ketidakseimbangan
global” yang akan memicu terjadinya penyesuaian-penyesuaian pada
perekonomian dunia (Yang 2011).
Hal yang menjadi ironis adalah defisit neraca transaksi berjalan terjadi
justru pada saat Indonesia sedang mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup
tinggi, yakni diatas 6%, ditengah lesunya perekonomian global. Pertanyaan yang
kemudian muncul adalah apakah perkembangan defisit neraca transaksi berjalan
ini akan terus berlanjut?, serta faktor-faktor apakah yang mempengaruhi nilai
transaksi berjalan di Indonesia?
Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian bertujuan untuk:
1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi neraca transaksi berjalan
di Indonesia
2. Menganalisis hubungan jangka pendek dan jangka panjang antara transaksi
berjalan dengan variabel-variabel makroekonomi yang mempengaruhinya
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengayaan literatur kepada
akademisi serta praktisi ekonomi dan pemerintah, terutama yang terkait dengan
kebijakan perdagangan luar negeri dan ekspor impor. Selain itu penelitian ini
memberikan penekanan khusus tentang pentingnya penerapan metode
ekonometrik yang tepat khususnya dalam analisis VAR/VECM dan pemilihan
model terbaik untuk menghasilkan statistik yang efisien dan valid sehingga
diharapkan dapat menjadi salah satu acuan bagi peneliti lain yang akan
menggunakan metode analisis yang sama. Bagi penulis, semoga bisa menjadi
sarana peningkatan wawasan ekonomi sekaligus media aplikasi konsep dan
metode yang selama ini telah didapat di jenjang pendidikan.
5
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teori
Menurut Bank Indonesia (2008) transaksi berjalan (current account)
mengukur penerimaan dan pengeluaran Indonesia yang berasal dari transaksi
barang dan jasa (goods and services), pendapatan (income), dan transfer berjalan
(current transfer) dengan bukan penduduk. Komponen transaksi berjalan adalah
neraca perdagangan, jasa-jasa, pendapatan, dan transfer berjalan. Neraca transaksi
berjalan merupakan bagian dari neraca pembayaran yang berisi arus pembayaran
jangka pendek (mencatat transaksi ekspor impor barang dan jasa), yang meliputi :
1. Ekspor dan impor barang-barang dan jasa, ekspor barang-barang dan jasa yang
diperlakukan sebagai kredit, impor barang-barang dan jasa diperlakukan
kembali sebagai debit.
2. Net investment income tingkat bunga dan dividen diperlakukan sebagai jasa
karena merepresentasikan pembayaran untuk penggunaan modal.
3. Net transfer (transfer unilateral) meliputi bantuan luar negeri, pemberianpemberian dan pembayaran lain antar pemerintah dan antar pihak swasta. Net
transfer bukan merupakan perdagangan barang dan jasa. Atau dengan kata lain
transaksi berjalan merangkum aliran dana antara satu negara tertentu dengan
seluruh negara lain sebagai akibat dari pembelian barang-barang atau jasa,
provisi income atas aset finansial, atau transfer unilateral, misalnya bantuan
bantuan antar pemerintah dan antar pihak swasta.
Aktivitas perdagangan negara dapat dibedakan atas trade surplus, trade
deficit dan balance trade. Suatu negara mengalami trade surplus atau surplus
perdagangan apabila ekspor neto positif. Dalam hal ini negara tersebut merupakan
negara donor di pasar uang dunia,dan mengekspor lebih banyak barang dan jasa
dari pada mengimpornya. Trade deficit atau defisit perdagangan terjadi apabila
ekspor neto bernilai negatif. Dalam hal ini negara merupakan penghutang di pasar
uang dunia, dan lebih banyak mengimpor barang dan jasa daripada
mengekspornya. Apabila nilai impor dan nilai ekspor sama, maka posisi neraca
perdagangan akan seimbang atau trade balance. Ketika nilai ekspor suatu Negara
lebih besar daripada nilai impor akan meningkatkan penerimaaan devisa negara.
Hal ini akan berdampak pada meningkatnya pendapatan nasional yang akan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara terkait. Analisis neraca transaksi
berjalan lebih menekankan pada aktifitas ekspor dan impor (Mankiw 2007).
Dalam kajian teori, analisis neraca transaksi berjalan dapat dijelaskan
melalui beberapa pendekatan :
Pendekatan Konvensional
Berdasarkan pendekatan konvensional, hubungan neraca transaksi berjalan
bisa diperoleh dengan menggunakan identitas national account, yang dapat
diekspresikan sebagai berikut :
π‘Œ=𝐢+𝐼+𝐺+( −𝑀)
(1)
6
dimana Y = produk domestik bruto (PDB), C = konsumsi, I = investasi, G =
pengeluaran pemerintah, X = ekspor dan M = impor.
Dengan mendefinisikan transaksi berjalan (current account, CA) sebagai
perbedaan antara ekspor (X) dan impor (M), dan dengan menata ulang variabelvariabel pada persamaan (1) diperoleh identitas berikut :
𝐢𝐴 = π‘Œ − ( + 𝐼 + 𝐺 )
(2)
dimana (C + I + G) adalah belanja domestik (absorpsi domestik). Dalam
perekonomian tertutup, tabungan (savings, S) sama dengan investasi (I) dan
dengan asumsi bahwa Y – C – G = S, maka diperoleh:
𝑆 = 𝐼 + 𝐢𝐴
(3)
Lebih lanjut, tabungan nasional bisa didekomposisikan menjadi tabungan swasta
(Sp) dan tabungan pemerintah (Sg), sehingga :
𝑆p = π‘Œ − 𝑇 – 𝐢
(4)
𝑆g= 𝑇 − 𝐺
(5)
dan
dimana T adalah penerimaan pemerintah. Dengan menggunakan persamaan (4)
dan (5) dan mensubstitusikannya ke dalam persamaan (3) diperoleh :
𝑆p = 𝐼 + 𝐢𝐴 + ( − 𝑇 )
(6)
𝐢𝐴 = 𝑆p − 𝐼 − ( − 𝑇 )
(7)
atau
Persamaan (7) menunjukkan bahwa peningkatan defisit (anggaran) pemerintah
akan menambah defisit transaksi berjalan apabila peningkatan defisit pemerintah
mengurangi tabungan nasional. Misalkan bahwa penerimaan pajak sekarang
dianggap konstan dan (Sp – I) tetap sama, peningkatan belanja pemerintah akan
menyebabkan defisit pemerintah menaikkan (G – T) dan akan berpengaruh positif
terhadap transaksi berjalan. Dalam kasus ini defisit pemerintah yang terjadi karena
peningkatan belanja mengurangi surplus transaksi berjalan negara itu, yang
dengan kata lain menunjukkan memburuknya keseimbangan eksternal.
Pendekatan konvensional juga mengelaborasi hubungan keseimbangan
anggaran dan transaksi berjalan dengan menggunakan kerangka IS-LM (MundellFleming framework). Menurut model ini, defisit anggaran bisa mempengaruhi
defisit transaksi berjalan melalui saluran efek suku bunga dan output. Defisit
anggaran menaikkan suku bunga yang pada gilirannya merangsang terjadinya
aliran modal masuk (capital inflows) dan penguatan (apresiasi) nilai tukar mata
uang domestik. Penguatan nilai tukar mata uang domestik akan memperburuk
neraca transaksi berjalan melalui peningkatan impor dan penurunan ekspor.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ekspansi fiskal melalui peningkatan
defisit anggaran mendorong peningkatan output dan impor yang kemudian
menyebabkan deficit perdagangan dan pada akhirnya ketidakseimbangan transaksi
berjalan (current account imbalance) dengan nilai tukar yang menguat (Blanchard
2000).
7
Teori Pendekatan Elastisitas
Konsep analisis ini menekankan pada peranan penting analisis tentang
aktifitas ekspor dan impor dalam memahami neraca pembayaran. Pendekatan ini
memberi penekanan pada konsep neraca perdagangan sebagai perbedaan antara
ekspor dan impor. Permasalahan yang muncul berkaitan dengan dampak devaluasi
melalui bagaimana perubahan nilai tukar tersebut akan mempengaruhi terms of
trade. Pendekatan elastisitas sangat erat kaitannya dengan konsep Marshall-lerner
Condition yang menyatakan bahwa tingkat stabilitas pasar valuta asing sangat
tergantung pada elastisitas harga permintaan untuk barang ekspor dan impor. Jika
elastisitas ekspor atau impor lebih besar dari 1 maka fluktuasi nilai tukar akan
berpengaruh terhadap neraca transaksi berjalan.
Teori Marshall-Lerner Condition
Peningkatan ekspor dan penurunan impor belum tentu akan meningkatkan
nilai neraca perdagangan atau ekspor netto. Neraca perdagangan hanya akan
meningkat saat nilai tukar riil terdepresiasi bila persyaratan kondisi Marshall–
Lerner terpenuhi. Kondisi Marshall–Lerner menunjukkan bahwa suatu pasar
valuta asing bersifat stabil apabila penjumlahan elastisitas harga dari permintaan
impor (DM) dan permintaan ekspor (DX) dalam angka–angka absolut lebih besar
dari 1. Jika jumlahnya kurang dari satu, maka pasar yang bersangkutan dinyatakan
tidak stabil. Sedangkan jika penjumlah elastisitas harga dari (DM) dan (DX) persis
sama dengan satu, maka setiap perubahan kurs tidak akan mengubah neraca
perdagangan (Salvatore 1994).
Dampak perubahan nilai tukar riil terhadap neraca perdagangan dibagi
kedalam volume effect dan value effect. Volume effect adalah dampak perubahan
unit output ekspor dan impor akibat dari perubahan nilai tukar riil. Berdasarkan
kondisi Marshall-Lerner bahwa volume effect adalah positif karena elastisitas
ekspor adalah positif (perubahan permintaan volume ekspor terhadap perubahan
nilai tukar riil positif > 0). Sementara value effect adalah kenaikan nilai impor atas
harga domestik akibat dari perubahan nilai tukar rill.
Depresiasi nilai tukar rill akan mengakibatkan harga produk di pasar
global menjadi lebih murah sehingga daya saing meningkat. Oleh Karena itu
depresiasi akan meningkatkan permintaan ekspor sehingga ekspor akan bernilai
positif ( EX > 0). Sementara itu impor bernilai negatif karena depresiasi nilai
tukar rill akan meningkatkan harga barang impor menjadi lebih mahal. Barang
domestik menjadi relatif lebih murah sehingga meningkatkan daya saing di pasar
domestik, hal ini akan menurunkan impor dari luar negeri. Perubahan neraca
perdagangan dapat menjadi positif atau negatif tergantung pada elastisitas ekspor
dan impor. Dengan asumsi trade balance, depresiasi nilai tukar riil akan
mengakibatkan neraca perdagangan menjadi surplus apabila jumlah dari elastisitas
ekspor dan impor lebih besar dari satu. Jika kondisi ini terpenuhi, maka disebut
Marshall-Lerner Condition terpenuhi.
8
J-Curve
Dampak perubahan nilai tukar mata uang nasional suatu negara akibat
depresiasi atau devaluasi terhadap neraca pembayaran melalui transaksi berjalan
dapat digambarkan oleh kurva yang menyerupai huruf J dan disebut efek kurva–J.
Neraca transaksi perdagangan akan turun untuk beberapa periode setelah
devaluasi atau depresiasi mata uang domestik. Perubahan dalam harga terjadi
lebih cepat daripada perubahan dalam kuantitas perdagangan.
Net Exports, NX
Depreciation
Time
0
Sumber: Blanchard (2000)
Gambar 3 Kurva J
Pola perilaku neraca transaksi perdagangan sebagai akibat perubahan nilai
tukar sering disebut kurva J. Hal ini karena bentuk beberapa periode pertama dari
respon terhadap depresiasi, neraca perdagangan memburuk untuk kemudian mulai
membaik. Penjelasan ini menegaskan bahwa perlu waktu bagi depresiasi mata
uang suatu negara agar mempunyai dampak positif terhadap neraca transaksi
perdagangan. Dalam jangka panjang, depresiasi mempunyai dampak terhadap
perbaikan neraca transaksi perdagangan melalui peningkatan daya saing
internasional yang berakibat pada kenaikan nilai ekspor. Depresiasi juga
berdampak pada penurunan impor sebagai akibat pengalihan pengeluaran
penduduk domestik serta meningkatnya permintaan agregat oleh penduduk luar
negeri terhadap produk domestik sehingga pada akhirnya meningkatkan ekspor
(Blanchard 2000).
Teori Pendekatan Intertemporal
Pada awalnya perhitungan neraca transaksi berjalan merupakan selisih
neto dari ekspor dan impor. Konsekuensinya, harga relatif dalam dan luar negeri
menjadi determinan utama. Walaupun pendekatan elastisitas perdagangan
bermanfaat untuk membuat prediksi langsung yang berguna dalam menghitung
dampak jangka pendek dari nilai tukar terhadap neraca transaksi berjalan,
pendekatan ini memiliki keterbatasan dalam menjelaskan hubungan jangka
panjang dan keseimbangan dari neraca transaksi berjalan (Debelle and Faruqee
1996).
9
Sebagai alternatif, pendekatan intertemporal dari neraca transaksi berjalan
memandang transaksi berjalan sebagai selisih dari tabungan nasional (S) dan
investasi domestik (I).
CA = S – I
(8)
Pendekatan ini memandang bahwa keputusan saving dan investasi adalah
akibat dari hasil perkiraan masa depan berdasarkan ekspektasi tentang berbagai
faktor makroekonomi yang akan terjadi. Pendekatan ini mencoba untuk
menjelaskan perubahan transaksi berjalan melalui variabel konsumsi, tabungan
dan investasi. Melalui pendekatan ini dapat dijelaskan hubungan antara
perdagangan dan aliran finansial melalui pemahaman tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi harga relatif masa depan dan bagaimana harga relatif
mempengaruhi keputusan menabung dan investasi (Obstfeld dan Rogoff 1995).
Pengaruh Kebijakan Makroekonomi terhadap Neraca Transaksi Berjalan
Kurs, E
A’
D
A
X
D’
2
1
E’
3
X
4
A’
D
D’
A
Y
t
Output, Y
Sumber: Krugman dan Obstfeld (1999)
Gambar 4 Pengaruh kebijakan makroekonomi terhadap neraca transaksi berjalan
Skedul DD melukiskan kurs dan tingkat output di mana pasar output
berada dalam kondisi keseimbangan. Pergeseran permintaan agregat terhadap
output domestik akan menggeser kurva DD. Kenaikan permintaan agregat akan
menggeser kurva DD ke kanan, penurunan permintaan agregat akan menggeser
kurva DD ke kiri. Sedangkan skedul AA mengaitkan kurs dan tingkat output yang
mempertahankan pasar uang domestik dan pasar valuta asing tetap berada dalam
kondisi keseimbangan. Kenaikan output riil akan menyebabkan apresiasi mata
uang domestik, yaitu pergerakan disepanjang kurva AA. Kenaikan permintaan
mata uang domestik akan mendorong peningkatan suku bunga dan apresiasi mata
uang, sehingga membuat produk domestik menjadi lebih mahal serta
mengakibatkan kontraksi. Gangguan pada pasar aset akan menggeser kurva AA
ke kanan atau ke kiri.
10
Gambar 4 memperlihatkan bagaimana model DD – AA diperluas untuk
melukiskan dampak-dampak kebijakan makroekonomi terhadap neraca transaksi
berjalan. Selain AA dan DD, gambar tersebut juga memuat sebuah kurva baru
dengan label XX. Kurva ini menunjukkan kombinasi kurs dan output yang
memungkinkan diaturnya neraca transaksi berjalan pada posisi yang diinginkan,
misalnya CA(EP*/P,Y-T=X. Kurva XX mengarah keatas karena bila semua
kondisi lainnya tetap, kenaikan output memacu belanja impor sehingga
memperburuk neraca transaksi berjalan jika tidak disertai dengan depresiasi mata
uang domestik.
Yang paling penting untuk diperhatikan pada gambar tersebut adalah
bahwa XX lebih landai dibandingkan DD. Kita bisa mengetahui penyebabnya
dengan menyimak bagaimana transaksi berjalan berubah bila terjadi pergeseran
pada skedul DD dari titik 1, dimana ketiga skedul itu saling berpotongan (jadi
mula-mula CA=X). Jika Y mengalami kenaikan di sepanjang DD, peningkatan
permintaan domestik terhadap output domestik lebih kecil daripada peningkatan
output itu sendiri (ini dikarenakan sebagian pendapatan ditabung dan sebagian
lagi digunakan untuk membeli produk impor). Namun disepanjang DD, total
permintaan agregat harus sama dengan penawarannya. Guna mencegah kelebihan
penawaran output domestik, maka E harus melonjak cukup tajam di sepanjang
kurva DD agar permintaan ekspor meningkat lebih cepat daripada impor. Dalam
kalimat lain, permintaan luar negeri bersih (total permintaan luar negeri terhadap
produk domestik dikurangi total permintaan domestik terhadap produk luar
negeri) atau neraca transaksi berjalan harus meningkat cukup tajam di sepanjang
skedul DD agar kelebihan output yang tak terserap oleh permintaan domestik
(karena ditabung) bisa disalurkan. Jadi, disebelah kanan titik 1, DD berada di atas
XX dimana CA > X; penalaran yang sama juga menunjukkan bahwa DD berada
di bawah XX (dimana CA < X) ketika berada disebelah kiri titik 1.
Dampak kebijakan moneter terhadap neraca transaksi berjalan dapat dikaji.
Sebagaimana diperlihatkan sebelumnya, kenaikan penawaran uang, misalnya,
menggeser perekonomian ke posisi yang mirip keadaannya dengan titik 2,
memperbesar output, serta menimbulkan depresiasi mata uang. Karena titik 2
berada di atas XX, kondisi neraca transaksi berjalan membaik berkat
pemberlakuan kebijakan tersebut. Jadi dalam jangka pendek, neraca transaksi
berjalan dapat ditingkatkan atau diperbaiki oleh ekspansi moneter.
Berikutnya adalah kebijakan ekspansi fiskal temporer. Kebijakan ini
menggeser DD ke kanan dan menggerakkan perekonomian ke titik 3 pada gambar
di atas. Mata uang mengalami apresiasi dan pendapatan meningkat sehingga
kondisi neraca transaksi berjalan terancam memburuk. Ekspansi fiskal temporer
bahkan menimbulkan dampak tambahan, yakni menggeser AA ke kiri, serta
menciptakan keseimbangan di titik 4. Sama halnya dengan titik 3, titik 4 berada di
bawah XX, sehingga di sini neraca transaksi berjalan juga memburuk. Maka
kebijakan ekspansioner memperburuk neraca transaksi berjalan.
11
Output dan Kurs pada Kesimbangan Pasar Aset
Kurs, E
E1
1’
2’
E2
0
Imbalan simpanan valuta asing
berupa mata uang domestik
R1
R2
Suku bunga domestik, R
L(R,Y1)
L(R,Y2) ; Y2 > Y1
𝑀0
𝑃
1
2
Penawaran uang riil
Tingkat harga, P
Sumber: : Krugman dan Obstfeld (1999)
Gambar 5 Output dan kurs pada keseimbangan pasar aset
Permintaan uang riil akan agregat atau L(R,Y) akan meningkat jika suku
bunga turun sebaliknya kenaikan suku bunga akan menurunkan permintaan uang
riil. Kenaikan output riil memperbesar permintaan uang riil. Karena kenaikan
output riil tersebut meningkatkan volume transaksi-transaksi moneter di kalangan
masyarakat begitupun sebaliknya.
Gambar 5 menunjukkan keseimbangan suku bunga dan kurs domestik
yang terkait dengan tingkat output Y1 pada suatu tingkat penawaran uang nominal
M0, tingkat harga P, suku bunga luar negeri R*, dan nilai perkiraan kurs dimasa
mendatang E*. Dibagian bawah kurva, kita lihat bahwa pada tingkat output riil di
Y1 dan penawaran uang riil di M0/P, suku bunga R1 menyeimbangkan kondisi
pasar uang domestik (titik 1) dan kurs E1 menyeimbangkan kondisi pasar valuata
asing (titik 1’). Kurs E1 menyeimbangkan kondisi pasar valuta asing karena ia
menyamakan perkiraan imbalan simpanan mata uang luar negeri dengan suku
bunga domestik R1.
Kenaikan output dari Y1 ke Y2 memperbesar permintaan uang riil agregat
dari L(R,Y2), yang selanjutnya meningkatkan suku bunga domestik pencipta
keseimbangan dari R1 ke R2 (titik 2). Bila E* dan R* tetap, maka uang domestik
akan mengalami apresiasi dari E1 ke E2 agar pasar valuta asing kembali ke kondisi
keseimbangan di titik 2’. Nilai apresiasi mata uang domestik akan cukup sesuai,
sehingga kenaikan tingkat perkiraan depresiasinya di masa mendatang dapat
mengimbangi kenaikan keuntungan suku bunga yang ditawarkan simpanan mata
uang domestik. Agar pasar aset tetap berada dalam kondisi kesimbangan,
kenaikan output domestik harus disertai dengan apresiasi mata uang domestik,
sedangkan penurunan output harus disertai dengan depresiasi.
12
Determinan Neraca Transaksi Berjalan
Menurut Yang (2011), bahwa variabel-variabel yang mempengaruhi
neraca transaksi berjalan, meliputi:
1. Aktiva luar negeri neto/Nett foreign asset (NFA)
Secara umum, posisi aktiva luar negeri neto dapat mempengaruhi neraca
transaksi berjalan melalui dua cara. Pertama, sebuah negara yang memiliki aktiva
luar negeri neto yang tinggi akan memperoleh keuntungan dari pendapatan
investasinya di luar negeri. Dari perspektif tabungan dan investasi, peningkatan
pendapatan dari luar negeri akan berdampak positif bagi neraca transaksi berjalan.
Sehingga secara teori hubungannya positif terhadap transaksi berjalan. Kedua,
karena penjumlah current account dan capital account harus sama dengan nol,
dalam kondisi rejim nilai tukar mengambang, nilai aktiva luar negeri neto yang
lebih tinggi akan mampu menanggung defisit perdagangan yang lebih tinggi pada
suatu periode tertentu. Hal ini berpotensi menyebabkan hubungan yang negatif
antara nilai aktiva luar negeri neto dengan neraca transaksi berjalan. Namun
secara umum, model makroekonomi yang ada memprediksikan bahwa efek yang
pertama lebih kuat, hal ini juga didukung oleh bukti-bukti empiris (Chinn dan
Prassad 2000)
2. Derajat keterbukaan ekonomi (openness)
Nilai perdagangan luar negeri dihitung dari penjumlahan nilai ekspor dan
impor. Nilai ini tidak saja menggambarkan derajat keterbukaan dari suatu
perekonomian namun lebih jauh lagi bisa merefleksikan kebijakan makroekonomi
jangka panjang. Sebagai contoh, keterbukaan ekonomi bisa menggambarkan
derajat liberalisasi perdagangan, penerimaan terhadap transfer teknologi, dan
kemampuan mengelola hutang luar negeri melalui pendapatan ekspor. Variabel ini
juga menggambarkan tingkat hambatan perdagangan yang dimiliki oleh suatu
perekonomian yang bisa menghalangi barang dan jasa dari luar negeri untuk
masuk. Perekonomian yang cenderung lebih terbuka akan lebih menarik bagi
modal asing untuk masuk. Konsekuensinya, keterbukaan ekonomi memiliki
hubungan yang negatif terhadap neraca transaksi berjalan (Chinn dan Prassad
2000).
3. Nilai tukar riil
Variabel ini dapat mempengaruhi transaksi berjalan melalui dua cara.
Yang pertama, dari perspektif tabungan-investasi, peningkatan nilai tukar riil bisa
menurunkan rasio tabungan karena meningkatknya daya beli mata uang domestik
terhadap barang impor. Hal tersebut pada akhirnya akan mendorong pengingkatan
konsumsi sehingga menurunkan tabungan. Kedua, hipotesis pemulusan konsumsi
mengatakan bahwa transaksi berjalan dapat berfungsi sebagai buffer untuk
mempertahankan konsumsi pada saat terjadi shock pendapatan. Sebagai respon
dari meningkatnya nilai tukar riil, suatu perekonomian terbuka lebih memilih
untuk memiliki surplus transaksi berjalan dengan menginvestasikan modalnya di
luar negeri daripada meningkatkan konsumsi domestik. Akibatnya, penguatan
nilai tukar riil bisa menghasilkan peningkatan pada neraca transaksi berjalan
13
(Hermann dan Jochem 2005). Sejauh ini, dampak dari variabel nilai tukar riil
hanya dapat ditentukan berdasarkan penelitian empiris.
4. Relatif Output riil
Didalam hipotesis yang dikembangkan oleh Debelle dan Faruqee (1996)
mengatakan bahwa pada saat pendapatan relatif masih rendah, sebuah
perekonomian cenderung akan menerapkan defisit neraca transaksi berjalan.
Kebijakan ini diterapkan dengan mengharapkan datangnya modal luar negeri
untuk membiayai pembangunan. Pada tahap berikutnya, setelah tercipta
peningkatan pendapatan relatif yang cukup tinggi, perekonomian tersebut akan
menerapkan kebijakan surplus neraca transaksi berjalan untuk membayar
kewajiban hutangnya serta mengekspor modal ke luar negeri. Secara umum,
hubungan antara pendapatan relatif terhadap transaksi berjalan diharapkan positif.
Tinjauan Empiris
Calderon, Chong, dan Loayza (1999) meneliti perilaku neraca transaksi
berjalan pada 44 negara-negara berkembang dengan menggunakan data tahunan
dari tahun 1966-1995. Model ekonometrik sederhana digunakan untuk
membedakan efek sementara dan efek permanen dari variabel eksternal dan
internal yang diteliti terhadap neraca transaksi berjalan. Hasil temuannya, sebagai
berikut; (i) defisit neraca transaksi berjalan bersifat persisten, (ii) kenaikan output
domestik akan meningkatkan defisit neraca transaksi berjalan, (iii) peningkatan
tabungan nasional memiliki efek positif terhadap neraca transaksi berjalan, (iv)
adanya shok sementara pada penguatan nilai tukar riil akan berdampak pada
peningkatan defisit neraca transaksi berjalan namun efek ini tidak bersifat
permanen, dan yang terakhir (iv) pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada negaranegara maju akan mengurangi defisit neraca transaksi berjalan di negara-negara
berkembang.
Chinn dan Prassad (2000) mengulas neraca transaksi berjalan sebagai
dampak dari variasi pada struktur variabel makroekonomi yang
mempengaruhinya. Sampelnya meliputi 71 negara maju dan 18 negara
berkembang menggunakan data tahunan selama periode 1971-1995.
Menggunakan metode panel regresi, penelitian ini ingin menangkap hubungan
hubungan jangka menengah dari variabel-variabel makroekonomi terhadap neraca
transaksi berjalan. Variabel yang diteliti meliputi, anggaran belanja
pemerintah,pendapatan relatif, rasio dependensi, pertumbuhan ekonomi, term of
trade, arus modal masuk, derajat keterbukaan, serta stok awal aset luar negeri.
Menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi mempunyai hubungan positif yang
kuat dengan neraca transaksi berjalan di negara-negara maju. Disisi lain, derajat
ketebukaan ekonomi berdampak negatif bagi neraca transaksi berjalan pada
negara-negara berkembang.
Gruber dan Kamin (2005) membahas tentang sebab-sebab terjadinya
ketidakseimbangan global yang berdampak pada neraca transaksi berjalan.
Ketidakseimbangan yang dimaksud adalah semakin besarnya defisit transaksi
berjalan di Amerika Serikat sementara negara-negara Asia, seperti China,
Hongkong, Korea, Indonesia, dan Thailand, terus mengalami surplus neraca
transaksi berjalan. Menggunakan sampel penelitian untuk 61 negara selama
periode 1982-2003. Metode yang digunakan adalah model regresi panel, dan
14
faktor-faktor determinannya meliputi, pendapatan perkapita, pertumbuhan relatif,
neraca fiskal, faktor demografi, dan keterbukaan ekonomi. Menyimpulkan bahwa
faktor-faktor determinan tersebut berpengaruh positif terhadap neraca transaksi
berjalan. Namun modelnya diakui tidak mampu menjelaskan mengapa terjadi
defisit di AS dan surplus di negara-negara Asia pada pada periode 1997-2003.
Sugema (2005) mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi neraca
perdagangan Indonesia dan upaya penyesuaian terhadap krisis yang terjadi.
Menggunakan data triwulanan selama periode 1984-1997 dianalisis dengan
metode OLS dan pendekatan kointegrasi. Variabel yang diteliti meliputi; ekspor,
impor, GDP riil, world income, nilai tukar riil, dan tingkat harga domestik.
Menyimpulkan bahwa kebijakan devaluasi nilai tukar merupakan cara yang tepat
untuk memperbaiki defisit perdagangan karena akan menekan impor dan
meningkatkan ekspor. Kesimpulan ini didukung oleh nilai elastisitas impor
terhadap perubahan nilai tukar yang lebih besar dibandingkan ekspor. Penelitian
ini juga melihat efek dinamik jangka pendek dan jangka panjang dari variabelvariabel yang diteliti terhadap nilai ekspor dan impor.
Aristovnik (2006) meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi defisit
transaksi berjalan di negara-negara pecahan Uni Soviet. Faktor-faktor tersebut
dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor internal meliputi pertumbuhan ekonomi,
pendapatan relatif, neraca pemerintah, dan rasio dependensi. Sedangkan faktor
eksternal meliputi derajat keterbukaan, nilai tukar riil terms of trade, dan hutang
luar negeri. Menyimpulkan bahwa terdapat persistensi pada neraca transaksi
berjalan yang defisit. Selain itu, penelitian ini juga menyimpulkan bahwa
pertumbuhan ekonomi akan berdampak negatif terhadap neraca transaksi berjalan
sebagai akibat dari investasi yang melebihi saving.
Chinn dan Ito (2007) mencoba menjelaskan pergerakan positif dari
transaksi berjalan di negara berkembang setelah tahun 1997. Menggunakan dasar
dari penelitian sebelumnya oleh Chinn dan Prasad (2000), mereka menemukan
bahwa faktor demografi dan pendapatan saja tidak mampu menjelaskan
pergerakan positif dari transaksi berjalan di negara Asia. Mereka mengungkapkan
bahwa interaksi permasalahan hukum dan perkembangan finansial berperan
penting dalam menjelaskan keluarnya modal dari Asia. Mereka berpendapat
bahwa kekurangan kesempatan investasi bukan kelebihan tabungan yang
membantu pemulihan neraca transaksi berjalan.
Bitzis, Pelolgos, dan Papazoglou (2008) mengadakan studi tentang faktor
yang mempengaruhi neraca transaksi berjalan di Yunani. Menggunakan metode
Johansen Cointegration analysis dan ECM dengan data triwulan selama periode
1995Q1-2006Q4. Menyimpulkan bahwa dalam jangka panjang derajat
keterbukaan, nilai tukar riil , tingkat bunga riil dan ekspansi fiskal berkontribusi
terhadap besarnya defisit anggaran. Sedangkan defisit anggaran pemerintah tidak
memiliki dampak yang besar terhadap neraca transaksi berjalan.
Yang (2011) meneliti tentang transaksi berjalan di delapan negara Asia,
yakni China, Hongkong, India, Korea, Malaysia, Filipina, Singapura, dan
Thailand. Membahas faktor-faktor yang mempengaruhi neraca transaksi berjalan
yang meliputi variabel makroekonmi yang berkaitan dengan faktor eksternal,
meliputi aktiva luar negeri neto (nett foreign asset), derajat keterbukaan
(opennes), nilai tukar riil, dan GDP riil. Dengan menggunakan metode analisis
Vector Error Correction Model, penelitiannya berupaya menangkap hubungan
15
keseimbangan jangka panjang dan hubungan dinamis jangka pendek antara
variabel-variabel tersebut dengan neraca transaksi berjalan. Kesimpulan yang
diperoleh adalah keseluruhan variabel yang diteliti memiliki hubungan jangka
panjang dengan neraca transaksi berjalan untuk seluruh negara sampel kecuali
China. Selain itu, hubungan jangka pendek menunjukkan hasil yang berbedabeda. Hasil dari seluruh sampel negara menunjukkan bahwa aktiva luar negeri
tidak memiliki hubungan jangka pendek yang signifikan kecuali untuk Hongkong
dan Thailand yang berdampak negatif terhadap transaksi berjalan. Efek jangka
pendek dari derajat keterbukaan ekonomi (opennes) signifikan hanya untuk tiga
negara, yaitu malaysia yang berefek negatif, sedangkan India dan Thailand
berdampak positif. Variabel yang ketiga, yakni nilai tukar riil, berdampak negatif
dan signifikan untuk Korea, India, dan Thailand. Variabel GDP riil berdampak
negatif dan signifikan hanya untuk kasus Thailand.
Clower dan Ito (2011) mengkaji tentang persistensi dan faktor-faktor yang
mempengaruhi neraca transaksi berjalan di 70 negara sampel menggunakan model
panel data. Metode analisis yang digunakan meliputi Markov-Switching ADF
estimation untuk mengatasi masalah akar unit, Analisis Probit dan Estimasi OLS.
Hasil penelitiannya mengungkap bahwa derajat keterbukaan ekonomi, nett foreign
assets dan pembangunan sektor finansial memiliki pengaruh yang positif terhadap
neraca transaksi berjalan pada sebagian besar negara sampel. Kesimpulan lainnya
adalah bahwa rezim nilai tukar bukanlah faktor utama terhadap persistensi neraca
transaksi berjalan, namun rezim fixed exchange rate lebih cenderung membuat
negara berkembang memiliki neraca transaksi berjalan yang fluktuatif.
Gosse dan Seranito (2012) meneliti 21 negara-negara OECD. Model
VECM menunjukkan bahwa kecepatan penyesuaian terhadap ketidakseimbangan
global lebih cepat terjadi pada negara-negara yang menganut defisit neraca
transaksi berjalan dibandingkan yang surplus.
Kerangka Pemikiran
Terjadinya defisit neraca transaksi berjalan pada kurun waktu dua tahun
terakhir telah mengundang banyak kekhawatiran dari berbagai kalangan. Neraca
transaksi berjalan yang selama satu dekade mengalami surplus bergeser menjadi
defisit. Sebagian kalangan menganggap hal tersebut sebagai fenomena sementara
akibat dari peningkatan permintaan agregat sebagai imbas dari pertumbuhan
konsumsi domestik dan peningkatan kinerja sektor industri manufaktur.
Sementara itu sebagian yang lain menganggapnya sebagai sinyal waspada yang
bila tidak disikapi dengan tepat dapat mengantarkan Indonesia kepada krisis
ekonomi.
Penghitungan neraca transaksi berjalan terdiri atas, neraca perdagangan
barang dan jasa (trade balance), nilai pendapatan bersih (nett income), dan nilai
transfer bersih (nett transfer). Perubahan pada ketiga nilai tersebut akan secara
langsung menentukan naik turunnya nilai transaksi berjalan. Oleh karenanya
neraca transaksi berjalan merupakan bagian dari suatu sistem ekonomi yang saling
terkait. Perubahan nilai transaksi berjalan merupakan akibat dari perubahan
kondisi perekonomian secara umum yang terdiri atas banyak faktor. Faktor-faktor
yang mempengaruhi perubahan neraca transaksi berjalan diantaranya meliputi
16
perubahan output riil, perubahan nilai tukar riil, keterbukaan ekonomi, dan
perubahan pada nilai aktiva luar negeri neto.
Variabel-variabel makroekonomi mempengaruhi neraca transaksi berjalan
dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Nilai aktiva luar negeri neto akan
mempengaruhi neraca transaksi berjalan dari sisi pendapatan bersih (nett income)
yang merupakan bagian dari penghitungan transaksi berjalan. Semakin besar nilai
aktiva luar negeri yang dimiliki oleh suatu negara akan semakin besar pula
pendapatan yang diperoleh dari luar negeri dan pada akhirnya akan meningkatkan
nilai transaksi berjalan. Derajat keterbukaan ekonomi dan nilai tukar riil
mencerminkan tingkat daya saing suatu negara yang pada gilirannya akan
berpengaruh terhadap nilai ekspor dan impor. Begitu pula nilai output riil akan
mendorong peningkatan ekspor dan impor bahan baku. Nilai ekspor dan impor
akan tercatat dalam neraca perdagangan dan pada akhirnya akan menentukan
posisi neraca transaksi berjalan.
17
Defisit transaksi berjalan
selama 2 tahun terakhir
Fenomena temporer akibat
kenaikan permintaan domestik
Sinyal Waspada akan terjadi
Krisis EKonomi
Transaksi berjalan
dipengaruhi oleh situasi
makroekonomi
NFA
Openness
Investment
income
Hambatan
perdagangan
Pendapatan bersih
(nett income)
Real exchange rate
Relatif real income
Tingkat daya saing
Neraca Perdagangan
barang/jasa
Neraca transaksi
berjalan
Implikasi kebijakan
Gambar 6 Kerangka Pemikiran
18
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan latar belakang, permasalahan dan tinjauan pustaka, maka
hipotesis yang diuji melalui penelitian ini adalah:
1. Terdapat hubungan jangka panjang antara neraca transaksi berjalan dengan
variabel-variabel makroekonomi yang mempengaruhinya.
2. Terdapat hubungan dinamis jangka pendek variabel aktiva luar negeri neto,
keterbukaan, nilai tukar riil, dan relative real income terhadap nilai transaksi
berjalan di Indonesia.
19
3 METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder triwulanan
mulai dari 1990 triwulan 1 hingga 2012 triwulan 4. Bersumber dari Badan Pusat
Statistik (BPS), Bank Indonesia dan International Financial Statistics (IFS). Jenis
data yang dikumpulkan meliputi nilai transaksi berjalan, nilai aktiva luar negeri
neto, nilai ekspor dan impor, nilai tukar riil terhadap dolar AS, dan PDB riil.
Variabel dan sumber data penelitian secara ringkas bisa dilihat pada Tabel 3
berikut ini:
Tabel 2 Variabel dan sumber data penelitian
Variabel
Notasi
Variabel
Satuan
Sumber
(1)
Nilai Transaksi Berjalan
ca
(3)
Miliar Rp
(4)
Indikator Ekonomi,
BPS
Aktiva Luar Negeri Neto
nfa
Miliar Rp
Neraca Analisis
Otoritas Moneter, BI
open
Miliar Rp
Indikator Ekonomi,
BPS
rer
$/Rp
Statistik Ekonomi
dan Keuangan
Indonesia, BI
PDB riil
Real_Yd
Miliar Rp
PDB Amerika Serikat
Real_Yf
Miliar dolar AS
PDB atas dasar
harga konstan
menurut lapangan
usaha , BPS
International
Financial Statistics
(IFS), IMF
Keterbukaan ekonomi
Nilai tukar riil
Data nilai transaksi berjalan, aktiva luar negeri neto, dan keterbukaan
ekonomi dihitung berdasarkan rasionya terhadap PDB atas dasar harga berlaku.
Derajat keterbukaan merupakan total ekspor dan impor. Nilai tukar riil dihitung
berdasarkan nilai tukar nominal dikalikan denan rasio CPI USA dan Indeks Harga
Konsumen (IHK) Indonesia. Variabel pendapatan riil relatif dihitung berdasarkan
nilai PDB riil Indonesia dikalikan PPP (Purchasing Power Parity) dibagi dengan
PDB USA.
20
Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian adalah
metode ekonometrika berupa analisis Vector Autoregressive (VAR) dan Vector
Error Cointegration Model (VECM) dengan menggunakan metode 2-step EngleGranger dan Prosedur Johansen. Vector autoregressions (VAR) merupakan
sebuah metode estimasi yang dikembangkan oleh Cristoper A. Sims pada tahun
1980. Prosedur analisis secara ringkas disajikan dalam Gambar 5 berikut:
Prosedur Analisis
Pra Estimasi VAR
Uji Stasioneritas
Uji Stabilitas dan Lag
Optimal VAR
Uji Kointegrasi
Analisis VAR/VECM
Johansen Method
2-Steps EngleGranger
Restricted
VECM
Unrestricted
VECM
Pemilihan Model
(Model Selection)
Analisis hub jangka panjang
Vektor Kointegrasi
Analisis hub jangka pendek
Analisis IRF
Gambar 7 Ringkasan prosedur analisis
21
Pengujian Pra Estimasi VAR
ο€­
Uji Stasioneritas
Suatu variabel disebut stasioner jika memiliki rata-rata, varians dan
kovarians yang konstan atau time invariant, sedangkan error-nya bersifat white
noise (memiliki rata-rata nol, varians yang konstan dan tidak ada autokorelasi).
Untuk menguji stasionaritas dapat menggunakan Augmented Dickey Fuller
(ADF) test. Persamaan ADF yang digunakan adalah sebagai berikut :
ο€­ βˆ†π‘¦π‘‘ = 𝛼𝑦𝑑−1 + ∑π‘˜π‘—=1 𝛾𝑗 βˆ†π‘¦π‘‘−𝑗 + πœ€π‘‘
ο€­ βˆ†π‘¦π‘‘ = 𝑐 + 𝛼𝑦𝑑−1 +
∑π‘˜π‘—=1 𝛾𝑗 βˆ†π‘¦π‘‘−𝑗
ο€­ βˆ†π‘¦π‘‘ = 𝑐 + 𝛽𝑑 + 𝛼𝑦𝑑−1 +
; for zero-mean stasionary
(9)
+ πœ€π‘‘
∑π‘˜π‘—=1 𝛾𝑗 βˆ†π‘¦π‘‘−𝑗
; for a mean stasionary (10)
+ πœ€π‘‘
; for trend stasionary (11)
Hipotesis yang digunakan adalah:
H0
: 𝛼 = 0 (data tidak stasioner atau mengandung unit root)
H1
: 𝛼 < 0 (data stasioner atau tidak mengandung unit root)
Jika hasilnya menolak H0, kita dapat berkesimpulan bahwa data tersebut tidak
memiliki akar unit atau stasioner. Tujuan mengikutsertakan lag pada pembeda
pertama, Δyt-j, disisi kanan dalam persamaan diatas adalah untuk mengakomodasi
adanya korelasi serial pada nilai residunya (εt). Panjang lag Δyt-j ditentukan
berdasarkan Akaike information criterion (AIC). Jika hasil pengujian pada level
menunjukkan bahwa seluruh variable tidak stasioner, maka pengujian dilanjutkan
pada pembeda pertama-nya (first difference). Apabila diketahui pembeda
pertama-nya stasioner, artinya variabel tersebut terintegrasi pada ordo-1 I(1).
Sebagai aturan umum bahwa variabel nonstasioner tidak tepat untuk digunakan
dalam model regresi untuk menghindari masalah regresi semu (spurious
regression).
Menurut Engle dan Granger (1987), kombinasi linier dari dua atau lebih
variabel yang tidak stasioner bisa saja stasioner. Jika kombinasi liniernya
stasioner, maka variabel-variabel tersebut dikatakan terkointegrasi. Sehingga bisa
diperoleh hubungan jangka panjang diantara variabel-variabel tersebut.
ο€­
Stabilitas VAR
Dalam sekelompok variabel runtut waktu yt = (y1t , . . . , ykt )’, model VAR mampu
menangkap interaksi dinamis diantara seluruh variabel. Model dasar dari VAR
berordo-p adalah
π‘Œπ‘‘ = 𝐴1 π‘Œπ‘‘−1 + … + 𝐴𝑝 π‘Œπ‘‘−𝑝 + 𝑒𝑑
(12)
Dimana Ai adalah (k x k) matrik koefisien dan ut = (u1t, . . . , ukt )’ adalah term
error atau inovasi tak teramati. Diasumsikan terdapat matrik kovarian yang positif
E(𝑒𝑑 𝑒𝑑′ ) = Σ𝑒 yang bersifat white-noise atau memiliki rata-rata nol dan varian
konstan. Dengan kata lain ut merupakan vektor stokastik yang independen dengan
𝑒𝑑 ~(0, Σ𝑒 ).
22
Proses VAR dikatakan stabil, bila
det(πΌπ‘˜ − 𝐴1 𝑧 − … − 𝐴𝑝 𝑧𝑝 ) ≠ 0 for |𝑧| ≤ 1,
(13)
Yaitu, nilai polynomial dari determinan autoregresi tidak memiliki akar unit
didalam unit circle, atau seluruh nilai eigen dari matrik A1 memiliki modulus
kurang dari 1 (Lütkepohl dan Kratzig 2004).
ο€­
Penentuan lag optimal VAR
Diketahui bahwa analisis VAR sangat tergantung pada ordo lag yang
digunakan. Perbedaan lag dapat mempengaruhi interpretasi secara substansi dari
suatu estimasi VAR. Oleh karenanya, menentukan lag optimal dalam VAR
memainkan peran yang penting dalam langkah awal penelitian ini. Cara yang
sudah sangat dikenal dalam memilih ordo lag dengan beberapa kriteria informasi,
diantaranya Akaike Akaike Information Criterion (AIC), the Schwarz Information
Criterion (SIC), the Hannan-Quinn Criterion (HQC).
Lutkepohl (2005) menyatakan bahwa jika konsistensi merupakan ukuran
utama, maka SIC dan HQC cenderung lebih superior dibandingkan AIC. Ivanov
and Kilian (2005) mengaplikasikan simulasi Monte Carlo untuk membandingkan
criteria-kriteria ini. Hasilnya menyatakan bahwa untuk data bulanan dalam model
VAR, AIC menghasilkan hasil yang akuran untuk ukuran sampel yang cukup
besar, sedangkan HQC tampaknya paling akurat pada data triwulanan.
Berdasarkan alasan yang dikemukakan diatas, pada penelitian ini HQC ditetapkan
sebagai kriteria informasi yang digunakan.
Uji Kointegrasi Rank (Prosedur Johansen-Juselius)
Sekelompok variabel yang teritegrasi pada orde-1 I(1) tidak tepat diestimasi
secara langsung menggunakan regresi OLS. Tetapi jika diantara variable-variabel
tersebut terdapat hubungan kointegrasi, kita dapat mengestimasi berapa banyak
dan bagaimana hubungan keseimbangan tersebut dengan menggunakan Prosedur
Johansen. Tes kointegrasi Johansen and Juselius (1990) yang berbasis VAR dapat
digunakan untuk memperoleh hubungan kointegrasi. Pendekatan JohansenJuselius (JJ) mengestimasi model VAR berukuran-K dan berordo-p (VAR(p)),
dituliskan sebagai berikut:
π‘Œπ‘‘ = μ + A1 π‘Œπ‘‘−1 + A2 π‘Œπ‘‘−2 + β‹― + Ap π‘Œπ‘‘−𝑝 + πœ€π‘‘
(14)
Dalam penelitian ini, Yt = ( cat , nfat ,opent , rert, rel_yt ) merupakan vektor
kolom berukuran (5×1);  adalah term konstan; At merupakan matrik parameter
berukuran (5×5) dan εt merupakan vektor inovasi berukuran (5×1).
Johansen dan Juselius (1990) menyatakan bahwa jika yt terdiri atas variabel
terintegrasi ordo-1 {I(1)} berukuran k, persamaan (14) dapat dituliskan kembali
dalam bentuk Vector Error Correction Model (VECM) sebagai berikut:
23
𝑝−1
βˆ†π‘¦π‘‘ =  + ∑ i βˆ†π‘¦π‘‘−𝑖 + 𝑦𝑑−𝑝 + πœ€π‘‘
𝑖=1
(15)
dimana  adalah term konstan; Δyt merupakan pembeda pertama dari yt (i.e. ΔYt =
Ytο€­Yt-1),  = ∑𝑝𝑖=1 𝐴𝑖 − 𝐼 ; i = − ∑𝑝𝑗=𝑖+1 𝐴𝑗 , dimana I adalah matrik identitas. Jika
matriks  memiliki r linear independent dimana r < k dan k banyaknya variabel
didalam yt, persamaan (15) dikatakan menuju kepada keseimbangan jangka
panjang yang dapat dituliskan sebagai =αβ’, dimana α dan β, keduanya adalah
matriks (5 x r). Matriks β merupakan koefisien hubungan jangka panjang,
sedangkan α disebut sebagai loading factor, yang dapat diinterpretasikan sebagai
koefisien dari kecepatan penyesuaian (speed of adjustment) menuju keseimbangan
jangka panjang. Persamaan (15) dapat dituliskan sebagai :
𝑝−1
βˆ†π‘¦π‘‘ =  + ∑ i βˆ†π‘¦π‘‘−𝑖 + 𝛼(𝛽′𝑦𝑑−𝑝 ) + πœ€π‘‘
𝑖=1
(16)
Pada persamaan (16), 𝛽𝑦𝑑−𝑝 dapat memiliki maksimum (k-1) hubungan
kointegrasi dimana yt terintegrasi pada ordo-1 I(1). Banyaknya vektor kointegrasi
r sama dengan rank dari matriks . Rank  sama dengan banyaknya nilai akar
ciri (characteristic roots) yang bukan nol. Akar ciri memiliki urutan dimana λ1 >
λ2 > … > λn. Metode Johansen memungkinkan kita untuk dapat menentukan
banyaknya akar ciri yang secara statistik berbeda dari nol.
Enders (2004) menjelaskan langkah-langkah untuk melakukan test
kointegrasi, sebagai berikut:
1. Tentukan lag optimal p dalam model VAR : Xt = 1Xt-1 + … + pXt-P + εt
2. Regresikan Xt-1 dan ΔXt pada lagged difference ΔXt-p+1 :
ΔXt = A1ΔXt-1 + … + ApΔXt-p+1 + e1t
Xt-1 = B1ΔXt-1 + … + BPΔXt-P+1 + e2t
3. Hitung kuadrat residual (product moment) dari masing-masing regresi:
Soo = e1t’ e1t / n
Skk = e2t’ e2t / n
Sok = e1t’ e2t / n
Sko = e2t’ e1t / n
4. Hitung nilai akar ciri dari matriks  yang disebut juga nilai eigenvalue λi,
yang diperoleh dari matriks [Skk]-1Sko [Soo]-1 Sok. Pada model VAR dengan n
persamaan, korelasi kanonik ke-n sama dengan λi ke n. Nilai λi dapat
diturunkan dari persamaan : det| λi Skk - Sko [Soo]-1 Sok | = 0
5. Hitung nilai λmax (r) = -T ln (1- λi+1) and λtrace (r) = -T Σ ln (1- λi).
Tes ini menghasilkan dua jenis statistik, yaitu statistik trace (λtrace) dan
statistik maksimum eigenvalue (λmax), yang dihitung menggunakan estimasi
24
maximum likelihood dari model VAR(p). Kedua nilai statistik tersebut digunakan
untuk menentukan banyaknya vektor kointegrasi, r, didalam system.
π‘˜
λπ‘‘π‘Ÿπ‘Žπ‘π‘’ = −𝑇 ∑ ln(1 − λΜ‚ )
𝑖=1
λπ‘šπ‘Žπ‘₯ = −𝑇 ln(1 − πœ†Μ‚ π‘Ÿ+1 )
(17)
Dimana, T adalah banyaknya sampel and πœ†Μ‚ i adalah nilai korelasi kanonik dari
yang terbesar hingga yang terkecil. Nilai trace, menguji H0: r vektor kointegrasi
terhadap hipotesis alternative n vector kointegrasi. Nilai maksimum eigenvalue
menguji hipotesis nol r vektor kointegrasi terhadap hipotesis (r+1) vektor
kointegrasi.
Didalam model multivariate terdapat 3 kemungkinan hasil:
ο€­  = 0 (r = 0): Artinya, tidak terdapat kointegrasi, VAR pada pembeda pertama
(first difference).
ο€­  memiliki rank penuh (r = k): Artinya, seluruh variabel dalam yt stasioner,
VAR pada levels.
ο€­  memiliki rank (0 < r < k): Artinya, terdapat r kombinasi linear yt yang
stasioner.
Ingat jika  memiliki rank lebih kecil dari k (r < k), dapat ditulis sebagai =αβ’
dimana α adalah (k x r) matriks loading faktor yang berisi koefisien penyesuaian,
dan β adalah (k x r) matriks yang terdiri atas r vektor kointegrasi.
Metode 2-Step Engle-Granger
Metode 2-step Engle Granger yang dikemukakan oleh Engle dan Granger
(1987) banyak digunakan oleh para peneliti selama bertahun-tahun. Salah satu
keunggulannya adalah hubungan jangka panjang dapat dengan mudah dimodelkan
dengan regresi ordinary least square (OLS) yang memasukkan seluruh variabel
pada level. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :
1. Menggunakan OLS, regresikan variabel penjelas Yt terhadap variabel
independen Xt. Didapatlah persamaan regresi jangka panjang :
xt = α + 1y1t + 2y2t + … + kykt +ut
2.
(18)
dimana xt dan y1t, y2t, … , ykt adalah variabel non-stationer dan terintegrasi
pada ordo-1 ( i.e. yt  I(1)). Untuk mengetahui hubungan kointegrasi dari xt
dan y1t, y2t, … , ykt, syarat perlu yang harus terpenuhi adalah nilai residual
dari persamaan (11) haruslah stasioner ( i.e. ut  I(0)).
Periksa stasionaritas dari residual regresi ut, menggunakan uji Augmented
Dickey-Fuller.
π‘˜
βˆ†π‘’π‘‘ = 𝛼1 𝑒𝑑−1 + ∑ 𝑐𝑗 βˆ†π‘’π‘‘−π‘˜ + 𝑒𝑑
𝑗=1
(19)
25
Dimana, u merupakan residual dari OLS, k adalah lag optimal dan e
merupakan term error. Menggunakan nilai t-ADF dibandingkan dengan nilai
kritis table Mackinnon untuk menguji hipotesis nol : data tidak stasioner. Jika
hasilnya menolak H0, maka dapat dikatakan bahwa nilai residualnya
stasioner, artinya terdapat hubungan kointegrasi. Maka kita dapat
melanjutkan ke langkah berikutnya.
3. Estimasikan hubungan jangka pendek yang mengandung error-correction
mechanism (ECM). Untuk memperoleh hubungan jangka pendek antara xt
dan y1t, y2t, … , ykt, nilai estimasi i dari langkah pertama dimasukkan
kedalam model jangka pendek dengan parameter yang lain. Dengan kata lain
kita menggunakan nilai estimasi i dari persamaan (18), dan memasukkannya
dalam bentuk (ut = x-α-Σiyi) ke persamaan jangka pendek, sebagai berikut:
xt = 1y1t + 2y2t +...+kykt + γ(x-α-Σiyi)t-1 + ο₯t
(20)
Dimana  adalah nilai pembeda pertama (first difference) dan ο₯t adalah error
term-nya.
Hal yang perlu diingat adalah bahwa koefisien γ dalam persamaan (20) harus
bernilai negatif dan signifikan. Hal yang lainnya adalah, untuk menghindari
terjadinya proses eksplosif, nilai koefisien harus memiliki nilai diantara -1 and 0.
Model Johansen Maximum Likelihood VAR
Karena tujuan utama kita adalah mendapatkan model yang terbaik, penting
untuk dipertimbangkan adalah bahwa disamping kemudahannya, metode EngleGranger memiliki beberapa kelemahan terutama berkaitan dengan vektor
kointegrasi yang lebih dari satu. Untuk mengatasinya, Johansen (1988) dan
Johansen dan Juselius (1990) memperkenalkan Prosedur Johansen dan Juselius
(1990) maximum likelihood. Metode Johansen mampu untuk, tidak hanya
mengestimasi bentuk vektor kointegrasi, tapi juga dapat menguji derajat
kointegrasi melalui uji rank. Penting untuk diingat bahwa dalam model VAR
dengan N variabel, terdapat paling banyak r = N-1 vektor kointegrasi.
Metode Johansen mampu mengestimasi model VAR berordo-p dengan K
variabel, yang dituliskan sebagai berikut.
π‘Œπ‘‘ = μ + A1 π‘Œπ‘‘−1 + A2 π‘Œπ‘‘−2 + β‹― + Ap π‘Œπ‘‘−𝑝 + πœ€π‘‘
(21)
Didalam penelitian ini, Yt = ( cat , nfat ,opent , rert, rel_yt ) merupakan vector
kolom berukuran (5×1);  adalah term konstan; At merupakan matriks parameter
(5×5) and εt adalah matriks (5×1) berisi vektor inovasi. Johansen dan Juselius
(1990) dan Johansen (1995) menyatakan jika Yt terdiri atas k variabel yang
terintegrasi I(1), persamaan (21) dapat ditulis kembali sebagai vector error
correction model (VECM) seperti dibawah ini:
𝑝−1
βˆ†π‘Œπ‘‘ =  + ∑ i βˆ†π‘Œπ‘‘−𝑖 + οπ‘Œπ‘‘−1 + πœ€π‘‘
𝑖=1
(22)
26
dimana  adalah term konstan; Δyt adalah first difference dari yt (i.e. ΔYt = Ytο€­Yt𝑝
𝑝
1), =∑𝑖=1 𝐴𝑖 − 𝐼 ; i = − ∑𝑗=𝑖+1 𝐴𝑗 dan I adalah matriks identitas.
Jika =αβ’, dimana α dan β merupakan matiks (5 x r). Matriks β berisi
koefisien hubungan jangka panjang, sementara matriks α berisikan loading
factors, yang dapat diinterpretasikan sebagai koefisien kecepatan penyesuaian
menuju kepada keseimbangan jangka panjang. Persamaan (22) dapat ditulis
sebagai
𝑝−1
βˆ†π‘Œπ‘‘ =  + ∑ i βˆ†π‘Œπ‘‘−𝑖 + 𝛼(𝛽 ′ π‘Œπ‘‘−𝑝 ) + πœ€π‘‘
𝑖=1
(23)
Unrestricted VECM.
Dalam prosedur ini, vektor kointegrasi dihasilkan melalui serangkaian
perhitungan didalam metode Johansen. Pertama menghitung nilai eigen dengan
menggunakan power method untuk menghasilkan matriks eigen. Vektor
kointegrasi diperoleh dari kolom ke-2 dari matrik eigen. Jumlah kolom vektor
kointegrasi sama dengan rank dari matriks . Vektor kointegrasi yang telah
ternormalisasi ini kemudian menjadi persamaan keseimbangan jangka panjang β.
Langkah berikutnya adalah:
1. Kalikan matriks Xt-1 dengan vektor kointegrasi, untuk memperoleh nilai
vektor residual persamaan jangka panjang êt-1.
2. Regresikan kembali variabel lag difference βˆ†π‘Œπ‘‘−𝑝 dan êt-1 sebagai variabel
eksplanatory terhadap variabel βˆ†π‘Œπ‘‘ untuk menghasilkan matriks koefisien
jangka pendek dari VECM.
3. Matriks koefisien jangka pendek terdiri dari loading factor (αi) dan koefisien
jangka pendek, sebagaimana dijelaskan pada persamaan (16).
Restricted VECM
Dalam usaha mendapatkan model yang terbaik dalam penelitian ini, kita
mencoba untuk memasukan restriksi didalam prosedur Johansen. Restriksi yang
dimasukkan adalah koefisien hubungan jangka panjang yang dihasilkan dari
regresi OLS hasil dari metode 2-step Engle-Granger. Langkah ini didasarkan pada
asumsi bahwa persamaan jangka panjang tersebut sesuai dengan realitas ekonomi
yang sesungguhnya. Untuk alasan tersebut, kita perlu melakukan pengujian
terhadap restriksi yang diberlakukan. Hipotesis nol yang diujikan yaitu βi=ai,
melawan hipotesis alternatif βi≠ai. Menggunakan Loglikelihood Ratio test,
dihasilkan statistik uji yang mengikuti distribusi chi-square (χ2). Jika hasil LR test
lebih besar dari nilai kritis tabel chi-square, maka H0 ditolak, yang artinya restriksi
yang diberlakukan tidak valid, atau sebaliknya.
Pemilihan Model VAR/VECM Terbaik
Pada tahap ini, kita akan membandingkan hasil dari 3 metode yang kita gunakan
berdasarkan nilai log likelihood ratio dan criteria informasi seperti AIC dan SIC.
27
Likelihood Ratio (LR) test digunakan untuk membandingkan dua model yang
berkaitan (nested). Bentuk testnya dituliskan sebagai
𝑙𝑔
LR = 2loge( 𝑙 )
π‘Ÿ
(24)
Rasio dari dua fungsi likelihood. Secara asimptot, statistik uji yang dihasilkan
mengikuti distribusi chi-square, dengan derajat bebasnya adalah selisih dari
jumlah parameter dari kedua model. LR test dapat dituliskan sebagai selisih dari
fungsi log likelihood (log(A/B) = logA – logB). sehingga,
LR = 2 (log lg – log lr )
(25)
Dimana log likelihood (l) dihitung sebagai fungsi dibawah ini: (in matrix
notation)
𝑁
𝑙 = − {π‘˜(1 + log(2πœ‹))} + log|𝛺̂ |
2
Μ‚ | = 𝑑𝑒𝑑 (
dimana, |𝛺
𝑇𝑆𝑆−𝑅𝑆𝑆
𝑇𝑆𝑆
)
(26)
Untuk menentukan model yang terbaik, kita dapat menggunakan criteria informasi
dan memilih model yang meminimalkan nilai criteria. Akaike Information
Criterion (AIC), Scwarzh Information Criterion (SIC) and Hannan-Quinn
Criterion dihitung dengan formula berikut ini:

𝐴𝐼𝐢 = −2𝑙 ⁄𝑇 + 2π‘˜/𝑇
(27)

SIC = -2l/T + k log T/T
(28)

HQC = -2l/T + k log (logT)/T
(29)
dimana l adalah log likelihood (Lutkepohl 2005).
Dengan meminimumkan nilai AIC berimplikasi terhadap kerugian dan
manfaat dari setiap penambahan parameter. Untuk lebih jelasnya, manfaat dari
penambahan parameter adalah nilai SSR (sum square residuals) yang lebih kecil,
sedangkan kerugiannya adalah semakin sedikitnya derajat bebas dan juga
bertambahnya ketidakpastian parameter. Metode AIC mengarahkan kita untuk
menambah parameter sampai nilai marginal manfaat dari penambahan parameter
sama dengan nilai marginal kerugian.
Metode SIC memberikan kerugian yang lebih besar dari penambahan
parameter, yakni (k log T). Untuk jumlah sampel yang cukup besar, ln(T) >2
sehingga kerugian marginal dari penambahan parameter melebihi yang dihasilkan
metode AIC. Sehingga SIC menawarkan hasil yang lebih berhati-hati. Simulasi
monte carlo menunjukkan bahwa untuk sampel kecil, AIC lebih baik dari SIC
(Enders, 2004). Secara umum, semua kriteria akan menghasilkan hasil yang
konsisten, sehingga kita dapat menggunakan seluruh informasi untuk mendukung
keputusan yang kita buat.
28
Impulse Response Function
Hasil estimasi koefisien VECM dapat digunakan untuk menghitung impulse
response function (IRF). IRF menunjukkan bagaimana respon dari setiap variabel
endogen sepanjang waktu terhadap kejutan dari variabel itu sendiri dan variabel
endogen lainnya. Analisis IRF banyak digunakan untuk mengetahui hubungan
dinamis diantara variabel-variabel makroekonomi dalam model VAR. IRF
digunakan untuk melihat pengaruh kontemporer dari sebuah variabel dependen
jika mendapatkan guncangan atau inovasi dari variabel independen sebesar satu
unit.
Spesifikasi Model
Model penelitian yang digunakan didasarkan pada penelitian yang
dilakukan oleh Yang (2011), yang menggunakan variabel keseimbangan
eksternal untuk memperoleh hubungan jangka pendek dan jangka panjang dari
neraca transaksi berjalan. Fungsi umum dari neraca transaksi berjalan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah :
ca = f (nfa,open,rer,rel_y)
dimana
ca
nfa
open
rer
rel_y
(30)
: nilai transaksi berjalan (rasio terhadap GDP)
: net foreign asset/aktiva luar negeri neto (rasio terhadap GDP)
: indikator keterbukaan ekonomi (rasio terhadap GDP)
: nilai tukar riil
: Pendapatan relatif
Definisi Variabel Operasional
1.
Neraca Transaksi Berjalan
Merupakan bagian dari neraca pembayaran yang berisi arus pembayaran
jangka pendek (mencatat transaksi ekspor-impor barang dan jasa), yang
meliputi :
ο‚· ekspor dan impor barang-barang dan jasa ekspor barang-barang dan jasa
yang diperlakukan sebagai kredit impor barang-barang dan jasa
diperlakukan kembali sebagai debit
ο‚·
net investment income tingkat bunga dan dividen diperlakukan sebagai
jasa karena merepresentasikan pembayaran untuk penggunaan modal.
ο‚· net transfer (transfer unilateral)meliputi bantuan luar negeri, pemberianpemberian dan pembayaran lain antar pemerintah dan antar pihak swasta.
Net transfer bukan merupakan perdagangan barang dan jasa. Atau dengan
kata lain transaksi berjalan merangkum aliran dana antara satu Negara
tertentu dengan seluruh negara lain sebagai akibat dari pembelian barangbarang atau jasa, provisi income atas aset finansial, atau transfer unilateral
(misalnya bantuan bantuan antar pemerintah dan antar pihak swasta).
Transaksi berjalan umumnya digunakan untuk menilai neraca perdagangan.
Neraca Perdagangan secara sederhana merupakan selisih/perbedaan antara
ekspor dan impor. Jika impor lebih tinggi dari ekspor, maka yang terjadi
29
2.
3.
4.
5.
adalah defisit neraca perdagangan.Sebaliknya, jika ekspor lebih tinggi dari
impor, yang terjadi adalah surplus. Sedangkan Neraca Jasa adalah neraca
perdagangan ditambah jumlah pembayaran bunga kepada para investor luar
negeri dan penerimaan dividen dari investasi di luar negeri, serta penerimaan
dan pengeluaran yang berhubungan dengan pariwisata dan transaksi-transaksi
ekonomi lainnya.
Pada penelitian ini yang digunakan adalah nilai rasio transaksi berjalan
terhadap total PDB tahun berjalan.
Aktiva Luar Negeri Neto
Aktiva/pasiva luar negeri adalah tagihan atau kewajiban otoritas moneter
kepada bukan penduduk. Pengertian bukan penduduk adalah selain definisi
penduduk sebagaimana tercantum dalam Undang-undang no.24 tahun 1999
tentang lalulintas devisa dan sistem nilai tukar. Dalam UU tersebut penduduk
adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya yang berdomisili atau
rencana berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya satu tahun. Dalam
pengertian ini termasuk bukan penduduk antara lain penduduk suatu negara
yang bekerja di negara lain, diplomat, dan konsul asing, serta karyawan asing
perwakilan perusahaan asing dan lembaga internasional (Bank Indonesia
2013).
Aktiva luar negeri mencakup :
ο‚· Emas
ο‚· SDR (Special Drawing Right)
ο‚· Cadangan pada IMF
ο‚· Valuta asing dan simpanan
Pasiva luar negeri mencakup :
ο‚· Giro
ο‚· Lainnya
Pada penelitian ini yang digunakan adalah nilai rasionya terhadap total PDB.
Derajat Keterbukaan Ekonomi
Ukuran derajat keterbukaan ekonomi dihitung berdasarkan akumulasi dari
nilai ekspor dan impor pada tahun berjalan. Nilai tersebut dihitung
berdasarkan nilai transaksi pada tahun berjalan.
Pada penelitian ini yang digunakan adalah nilai rasio ekspor+impor terhadap
total PDB tahun berjalan.
Nilai Tukar Riil
Nilai tukar atau kurs adalah harga mata uang suatu negara terhadap negara
lain atau mata uang suatu negara dinyatakan dalam mata uang negara lain
(Salvatore dan Grilli 1994). Nilai tukar riil adalah harga relatif dari barangbarang diantara dua negara. Nilai tukar riil menyatakan tingkat di mana kita
bisa memperdagangkan barang-barang dari suatu negara untuk barang-barang
dari Negara lain.
Pendapatan riil relatif
Nilai output bruto yang dihasilkan oleh suatu perekonomian tanpa melihat
kepemilikan faktor produksi pada waktu tertentu dihitung berdasarkan harga
konstan. Nilai relative income riil merupakan rasio nilai PDB Indonesia yang
dibandingkan dengan PDB USA berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP).
30
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Estimasi Model
Pengujian unit root dilakukan untuk menguji stasionaritas seluruh variabel
yang digunakan. Tabel 3 panel A dan B menunjukkan bahwa seluruh variabel
yang diuji tidak stasioner pada level namun stasioner pada pembeda pertama (first
difference). Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa seluruh variabel terintegrasi
pada ordo kesatu I(1).
Tabel 3 Hasil Pengujian Augmented Dickey-Fuller (ADF)
Panel A : ADF Test on level – Intercept Only
Augmented Dickey-Fuller test
rca
rnfa
ropen
rer
rel_gdp
1
3
7
3
4
Nilai t-statistic
-2.388946
Prob*
[ 0.1477]
-3.482896
[ 0.0107]
-1.763427
[ 0.3961]
-1.674087
[0.4408]
0.286602
[0.9764]
Lag length (based on AIC)
Panel B : ADF Test on first differences – Intercept Only
Augmented DickeyFuller test
Lag length (based on
AIC)
Nilai t-statistic
Prob*
D(rca)
D(rnfa)
D(ropen)
D(rer)
D(rel_gdp)
2
3
7
2
3
-7.978385
[0,0000]***
-5.218592
[0,0000]***
-5.591577
[0,0000]***
-6.050675
[0,0000]***
-4.437112
[0,0000]***
*** signifikan pada taraf nyata 1 %
Setelah mengetahui orde integrasi dari setiap variabel didalam model.
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa variabel non stasioner tidak dapat di
estimasi langsung namun kita dapat melakukan pengujian apakah diantara
variabel tersebut mungkin memiliki hubungan kointegrasi. Pengujian kointegrasi
dilakukan untuk mengetahui adanya hubungan jangka panjang diantara variabelvariabel yang diteliti. Namun sebelum melakukan pengujian kointegrasi yang
menggunakan system VAR dalam perhitungannya, terdapat persyaratan awal yang
terpenuhi, seperti pengujian stabilitas VAR dan penentuan lag optimum VAR.
Pengujian stabilitas VAR dimaksudkan untuk mengetahui banyaknya lag
yang dapat diikutkan dalam perhitungan untuk menghasilkan VAR yang
dikatakan stabil untuk analisis selanjutnya. Untuk itu kita menggunakan table
polynomial autoregressive untuk memeriksa apakah terdapat nilai unit root dari
modulus yang sama dengan atau lebih besar dari 1. Jika modulus bernilai kurang
dari 1, maka dikatakan fungsi VAR tersebut stabil. Hasilnya menunjukkan bahwa
sampai dengan lag 9 fungsi VAR memiliki modulus kurang dari 1, jadi kita dapat
menggunakan lag 9 sebagai lag maksimum di dalam iterasi VAR. (Lampiran 1)
Selanjutnya, kita perlu untuk menentukan lag optimal dari sistem VAR.
Terdapat beberapa kriteria yang ditawarkan didalam literatur diantaranya AIC,
SIC, dan HQC. Penelitian ini menggunakan HQC sebagai penentuan kriteria lag
optimal. Hasilnya ditunjukan pada Tabel 4 dibawah ini.
31
Tabel 4 Pemilihan Lag
Lag
AIC
SBC
0
-10.71532356
-10.56961027
1
-16.68044815
-15.66045512
2
-16.97185513
-15.22329565
3
-18.06119173
-15.58406581
4
-18.34618917
-15.1404968
5
-18.51825041
-14.58399159
6
-18.53822932
-13.87540405
7
-18.81150173
-13.42011001
8
-19.14958763
-13.02962947
9
-19.36986639
-12.52134177
Choose minimum value for optimum lag
SBC HQC is more consistent (Lutkepohl, 2005)
HQ
-10.65678412
-16.27067207
-16.26938184
-17.06602124
-17.05832148
-16.93768552
-16.66496723
-16.64554243
-16.69093114
-16.61851268
Lag optimal ditunjukan oleh nilai kriteria yang terkecil. Akaike Information
Criterion (AIC) menyarankan lag 9 sebagai lag optimal, sementara SIC
menyarankan lag 1 dan HQC menyarankan lag 3 sebagai lag optimal. Berdasarkan
informasi tersebut kita dapat menetapkan lag 3 sebagai lag optimal berdasarkan
kriteria Hannan Quinn.
Langkah berikutnya adalah melakukan pengujian kointegrasi. Hasil dari
Johansen-Juselius Cointegration test menunjukkan bahwa terdapat maksimum
satu persamaan kointegrasi didalam model. Hal tersebut dihasilkan dari nilai
statistik maximum eigenvalue dan statistik trace yang lebih besar dari nilai
kritisnya. Hipotesis nol, yang menyatakan tidak terdapat vector kointegrasi ( r = 0)
ditolak pada taraf nyata 5%. Seperti ditunjukkan pada Tabel 5.
Tabel 5 Johansen-Juselius Cointegration Test
Hypothesized
No. of CV(s)
None *
At most 1
At most 2
At most 3
At most 4
Eigenvalue
0.472441021
0.195596137
0.088345172
0.043441336
0.021895428
Lambda
56.91502048
19.37118986
8.231951616
3.952771218
1.97034344
crit-val
34.03
27.8
21.49
15.02
8.19
Trace
90.44127661
33.52625613
14.15506627
5.923114658
1.97034344
crit-val
71.44
49.64
31.88
18.11
8.19
Metode 2-Step Engle-Granger
Didalam metode 2-steps Engle Granger langkah pertam yang dilakukan
adalah dengan meregresikan seluruh variabel dalam level terhadap variabel
independen. Hasilnya sebagai berikut:
ca = 0,108+ 0,0524nfa - 0,048open - 0,132rer + 0,001rel_Y + ut
(0.0228)
[2.2977]
R-squared
Adjusted R-squared
(0.0256)
[1.886]
0.6841
0.6691
(0.0164)
[8.053]**
(0.0121)
[0.8249]
(31)
32
Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan kointegrasi diantara variabelvariabel tersebut, nilai residual dari hasil regresi OLS diatas harus diuji
stasionaritasnya. Nilai residu OLS diuji kembali dengan menggunakan pengujian
ADF. Hasilnya ditunjukkan dalam Tabel 6.
Tabel 6 Pengujian Residual Regresi
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-7.862145
-2.591505
-1.944530
-1.614341
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai residualnya stasioner. Artinya,
terdapat hubungan kointegrasi dari variabel-variabel didalam persamaan OLS
diatas. Oleh karena itu kita dapat melanjutkan perhitungan untuk memperoleh
koefisien jangka pendek dengan menggunakan metode VAR dan memasukan nilai
lag residual kedalam variabel penjelas. Hasilnya sebagai berikut:
Tabel 7 Estimasi VECM Metode 2-step Engle-Granger
Δrcat
Cointvec(ect)
-0.58357
Δrcat-1
-0.04450
Δrnfa t-1
-0.02021
Δropen t-1
0.11143
Δrer t-1
-0.01517
Δrel_y t-1
-0.01863
Δrca t-2
-0.19058
Δrnfa t-2
-0.01426
Δropen t-2
-0.00215
Δrer t-2
0.08339
Δrel_y t-2
0.03200
constant
0.01632
dummy
-0.00094
Sys log likelihood
Sys Akaike information criterion
Sys Schwarz criterion
Sys Hannan Quinn IC
Δrnfat
Δropent
0.56216
1.17448
0.18041
0.26484
-0.13161
0.18117
0.23680
0.07222
-0.01784
-0.36392
-0.05125
0.04882
-0.40370
-0.74260
-0.06949
-0.25279
0.15183
-0.28575
-0.10599
-0.39283
0.16496
-0.02533
-0.01539
-0.01672
0.00369
0.00022
865.498357
-17.9887271
-16.1711837
-19.2300739
Δrert
Δrel_yt
-1.06588
0.43002
-0.01835
0.15866
0.37571
-0.04657
1.16744
0.04930
-0.00808
0.11707
-0.23538
-0.08831
0.00799
-0.50044
-0.52084
0.07791
0.02162
0.15556
-0.21262
-0.32880
0.01665
0.23875
0.18262
-0.72097
-0.06178
0.01967
Hasil diatas menunjukkan terpenuhi syarat cukup dari metode 2-steps Engle
Granger yang menyatakan nilai koefisien kecepatan penyesuaian harus negatif dan
33
berada diantara -1 dan 0 untuk menghindari terjadinya proses eksplosif. Seperti
ditunjukkan pada tabel diatas nilai kecepatan penyesuaian adalah -0,58375.
Metode Johansen
Restricted VECM
Didalam pengujian kointegrasi dengan menggunakan tes rank, kita telah
menemukan bahwa terdapat satu vektor kointegrasi. Selanjutnya, kita akan
mencoba untuk memasukkan beberapa restriksi terhadap persamaan jangka
panjang. Restriksi didasarkan dari hasil koefisien regresi OLS dalam metode
Engle-Granger.
β =[1
-0.0524532
0.0482554
0.1318273
-0.009981 ]
Hasil dari estimasi koefisien VECM terrestriksi ditunjukan oleh Tabel 8.
Tabel 8 Estimasi VECM Prosedur Johansen Terrestriksi
Δrcat
cointvec(ect)
Δrcat-1
Δrnfa t-1
Δropen t-1
Δrer t-1
Δrel_y t-1
Δrca t-2
Δrnfa t-2
Δropen t-2
Δrer t-2
Δrel_y t-2
constant
dummy
-0.58357
-0.04450
-0.02021
0.11143
-0.01517
-0.01863
-0.19058
-0.01426
-0.00215
0.08339
0.03200
0.01632
-0.00094
Sys log likelihood
Sys Akaike IC
Sys Schwarz BC
Sys Hannan-Quinn IC
Δrnfat
0.56216
0.18041
-0.13161
0.23680
-0.01784
-0.05125
-0.40370
-0.06949
0.15183
-0.10599
0.16496
-0.01539
0.00369
Δropent
1.17448
0.26484
0.18117
0.07222
-0.36392
0.04882
-0.74260
-0.25279
-0.28575
-0.39283
-0.02533
-0.01672
0.00022
865.49835715
-17.98872713
-16.17118371
-19.23007391
Δrert
-1.06588
0.43002
-0.01835
0.15866
0.37571
-0.04657
1.16744
0.04930
-0.00808
0.11707
-0.23538
-0.08831
0.00799
Δrel_yt
-0.50044
-0.52084
0.07791
0.02162
0.15556
-0.21262
-0.32880
0.01665
0.23875
0.18262
-0.72097
-0.06178
0.01967
Hasil estimasi persamaan VECM metode Johansen terrestriksi sama dengan yang
dihitung oleh metode Engle-Granger. Dapat dilihat bahwa selama vektor
kointegrasi yang dimasukkan sama, maka proses perhitungan koefisien jangka
pendek akan menghasilkan nilai statistik yang sama. Pada langkah berikutnya kita
hanya perlu membandingkan salah satu hasilnya dengan hasil dari metode
Johansen yang tak terrestriksi dengan menggunakan pengujian Likelihood Ratio
(LR) dan kriteria informasi untuk memperoleh model yang terbaik.
34
Unrestricted VECM
Metode Johansen (unrestricted) menggunakan nilai eigen vektor untuk
menghasilkan persamaan jangka panjang. Persamaan jangka panjang atau
koefisien vektor kointegrasi dihitung dengan melakukan normalisasi nilai eigen
berdasarkan banyaknya persamaan kointegrasi,
Koefisien vektor kointegrasi dari hubungan jangka panjang adalah, sebagai
berikut:
β = [ 1.00000
-0.09130
-0.37157
0.05850
-0.06717
0.28919 ]
(0.000)
(0.04474)
(0.06407)
(0.03340)
(0.02297)
(0.000)
Sedangkan koefisien jangka pendeknya adalah, sebagai berikut:
Tabel 9 Estimasi VECM Prosedur Johansen tak terrestriksi
Δrcat
Δrnfat
cointvec(ect)
-0.058450
Δrcat-1
-0.369225
Δrnfa t-1
-0.017105
Δropen t-1
0.090193
Δrer t-1
-0.087562
Δrel_y t-1
-0.003920
Δrca t-2
-0.362821
Δrnfa t-2
-0.038081
Δropen t-2
-0.048527
Δrer t-2
0.022484
Δrel_y t-2
0.041375
constant
0.010932
dummy
-0.000756
Sys log likelihood
Sys Akaike information criterion
Sys Schwarz criterion
Sys Hannan Quinn IC
Δropent
0.445308
1.325222
0.097334
-0.310588
-0.125699
0.202572
0.237440
0.053440
-0.008573
-0.405950
-0.055123
0.051194
-0.311030
-0.623364
-0.036210
-0.172780
0.238611
-0.061725
-0.118675
-0.491763
0.174430
0.013247
0.014807
0.071752
0.001500
-0.006386
883.82494778
-18.40056062
-16.58301721
-19.64190741
Δrert
Δrel_yt
-1.028473
0.774952
-0.033784
0.166822
0.386772
-0.044109
1.026425
-0.018682
-0.192538
0.174906
-0.262101
-0.157405
0.013090
0.064028
-0.915476
0.083196
-0.002405
0.075744
-0.196983
-0.497998
-0.000748
0.211328
0.109454
-0.707509
-0.059063
0.019236
Pemilihan Metode/Model
Dari hasil tabel ringkasan statistik dibawah ini, kita dapat membuat
perbandingan untuk menentukan metode terbaik yang akan kita gunakan dalam
analisis lebih lanjut. Kita akan melakukan analisis dari hasil likelihood dan
kriteria informasi dari ketiga metode yang telah dihitung. Seperti ditunjukkan
pada Tabel 10.
Table 10 Ringkasan Tabel Kriteria Informasi
2 step EG
Log likelihood
865.4983571
AIC
-17.988727
SIC
-16.1711837
HQC
-19.2301
Unrestricted VECM
883.8249478
-18.400561
-16.5830172
-19.6419
Restricted VECM
865.4983571
-17.988727
-16.1711837
-19.2301
35
Pertama, untuk mengevaluasi hasil dari metode VECM terrestriksi (restricted
VECM), dilakukan uji LR :
LR = 2 (log lu – log lr ) = 2 (883.8249 – 865.4983) = 36.6532
Hipotesis yang digunakan adalah,
H0 : β = [ 1
-0.0524532
0.0482554
0.1318273
-0.009981 ]
Hasilnya dibandingkan dengan nilai chi-square tabel, dapat disimpulkan bahwa
hipotesis nol ditolak. Artinya, restriksi yang dimasukkan tidak dapat digunakan.
Selanjutnya adalah melakukan evaluasi dari nilai masing-masing kriteria
informasi. Kita dapat membuat kesimpulan bahwa metode VECM tak terrestriksi
(unrestricted VECM) adalah model yang terbaik dan akan kita gunakan dalam
analisis selanjutnya. Hasil ini didasarkan pada nilai AIC, SIC, dan HQC yang
menunjukkan bahwa metode ini menghasil nilai kriteria informasi yang paling
minimum. Karena seluruhnya menunjukkan hasil yang sama, maka kesimpulan
tersebut menjadi sangat meyakinkan.
Efek Jangka Panjang (Long-run Effect)
Hasil dari uji kointegrasi Johansen-Julius menyatakan bahwa terdapat
satu persamaan kointegrasi. Sehingga kita dapat menuliskan transaksi berjalan
sebagai kombinasi linier dari variabel-variabel lain didalam model. Menggunakan
vektor kointegrasi yang telah dinormalisasi dari prosedur Johansen, persamaan
jangka panjang dari neraca transaksi berjalan dapat dituliskan seperti dibawah ini.
ca = -0,289187 + 0,091297nfa + 0,371565open - 0,058505rer + 0,067166rel_Y
(0.04474) **
(0.06407)*
(0.03340)**
(32)
(0.02297)**
*,**, signifikan pada taraf nyata 10%,5%
Dapat dilihat bahwa seluruh variabel penjelas signifikan pada taraf nyata
10%, dan 5%. Hal ini berarti bahwa variabel didalam model memiliki kemampuan
menjelaskan (explanatory power) dalam model regresi linier. Variabel aktifa luar
negeri neto memiliki pengaruh positif terhadap neraca transaksi berjalan dalam
jangka panjang. Artinya transaksi berjalan akan meningkat seiring dengan
peningkatan aktifa luar negeri. Hal ini terjadi karena aktifa luar negeri dalam
jangka panjang akan mendatangkan keuntungan dalam bentuk pendapatan luar
negeri yang akan meningkatkan neraca transaksi berjalan. Hal ini sejalan dengan
prediksi teori intertemporal juga hasil penelitian yang telah ada. Nilai koefisien
0,09 dapat diartikan bahwa setiap kenaikan 1% dari aktifa luar negeri akan
menyebabkan meningkatnya neraca transaksi berjalan sebesar 0,09% dalam
jangka panjang.
Variabel tingkat keterbukaan ekonomi memiliki dampak yang positif
terhadap posisi neraca transaksi berjalan dalam jangka panjang. Hasil ini tidak
sejalan dengan temuan dalam literature umum dan juga bertolak belakang dengan
prediksi dari teori intertemporal. Namun menurut Edward dan Ostry (1990),
semakin besar tingkat keterbukaan ekonomi dapat menyebabkan rendahnya harga
domestik dan melemahkan nilai tukar riil. Hal ini dapat berakibat positif terhadap
36
neraca transaksi berjalan. Hasil ini menunjukkan bahwa dalam jangka panjang
pengurangan hambatan perdagangan dapat meningkatkan performa neraca
transaksi berjalan melalui penurunan harga domestik
Varibel yang ketiga, yaitu nilai tukar riil, memiliki dampak negatif dan
signifikan terhadap neraca transaksi berjalan. Hal ini sejalan dengan teori
elastisitas yang menyatakan bahwa depresiasi mata uang dapat membantu
meningkatkan neraca transaksi berjalan melalui peningkatan ekspor dan
pengurangan impor.
Terakhir adalah variabel pendapatan riil relatif memiliki dampak positif dan
signifikan terhadap neraca transaksi berjalan. Hasil ini mendukung teori “stage of
development” yang menyatakan bahwa negara berpendapatan rendah cenderung
menerapkan defisit transaksi berjalan, dan seiring dengan peningkatan
pendapatannya negara tersebut akan menjalankan surplus transaksi berjalan.
Hubungan Dinamis Jangka Pendek (Short-run Dynamics)
Hubungan jangka pendek antara variabel-variabel penelitian dengan nilai
transaksi berjalan dianalisa menggunakan Impulse Response Function (IRF). Alat
analisis ini menggunakan simulasi shock sebesar satu satuan pada variabel
tertentu dan melihat dampaknya terhadap variabel yang ingin diteliti. Secara
umum dapat dilihat bahwa keseimbangan jangka panjang neraca transaksi berjalan
tercapai pada triwulan ke delapan setelah terjadinya guncangan atau shock dari
variabel tertentu.
Nilai aktiva luar negeri neto (rnfa) memiliki pengaruh negatif dalam
jangka pendek terhadap transaksi berjalan. Analisis Impulse Response Function
(IRF) menunjukkan bahwa guncangan atau shock positif pada nilai aktiva luar
negeri akan menurunkan nilai transaksi berjalan dan guncangan terbesar terjadi
pada empat triwulan berikutnya. Morsy (2009) menyatakan bahwa aktifa luar
negeri dapat mempengaruhi neraca transaksi berjalan dalam 2 cara. Pertama,
negara yang memiliki stok aktifa luar negeri tinggi dapat mempertahankan defisit
transaksi berjalan dalam waktu tertentu untuk meningkatkan pertumbuhan jangka
panjangnya, hal ini berakibat pada hubungan negatif antara aktifa luar negeri dan
neraca transaksi berjalan. Kedua, negara dengan aktifa luar negeri besar akan
memperoleh pendapatan luar negeri yang lebih besar. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa Indonesia menerapkan skenario pertama dalam jangka
pendek, dan skenario kedua dalam jangka panjang.
Variabel derajat keterbukaan (opennes) memiliki hubungan jangka pendek
yang positif terhadap neraca transaksi berjalan. Derajat keterbukaan diukur
berdasarkan agregasi nilai ekspor dan impor. Variabel ini mencerminkan tingkat
liberalisasi perdagangan, yang menggambarkan besar kecilnya hambatan
perdagangan (barrier of trade). Kesimpulan yang diperoleh berdasarkan analisis
IRF menunjukkan bahwa peningkatan derajat keterbukaan akan mengurangi
defisit transaksi berjalan di Indonesia. Kesimpulan ini sejalan dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Gruber dan Kamin (2005), dan Chinn dan Ito
(2007), Çamurdan et al. (2008) dan Barnes et al. (2010). Namun temuan ini
bertentangan dengan dugaan teoritis yang menyatakan bahwa opennes berdampak
negatif terhadap current account dimana negara yang cenderung terbuka akan
cenderung lebih menarik bagi modal asing untuk masuk sehingga transaksi
37
modalnya akan positif dan transaksi berjalan akan negatif (Chinn dan Prasad,
2000).
Selanjutnya adalah variabel nilai tukar riil (real exchange rate), yang
memiliki hubungan negatif baik jangka pendek maupun jangka panjang. Artinya,
penurunan nilai tukar riil atau depresiasi akan memperbaiki kinerja transaksi
berjalan dalam jangka pendek dan jangka panjang. Dampak dari guncangan/shock
pada nilai tukar cenderung persisten dan stabil pada triwulan ke lima setelahnya.
Peningkatan neraca transaksi berjalan terhadap depresiasi nilai tukar lebih
dikarenakan adanya pengurangan impor. Hasil ini sesuai dengan kesimpulan dari
penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa depresiasi rupiah dapat
memperbaiki kinerja neraca perdagangan Indonesia (Sugema, 2005), serta sejalan
dengan penelitian lainnya yang dilakukan oleh Debelle dan Faruqee (1996),
Çamurdan et al. (2008), Brissimis et al. (2010), dan Gossé dan Serranito (2012).
Berikutnya adalah variabel pendapatan relatif (relative GDP) yang
merupakan rasio GDP Indonesia terhadap GDP Amerika Serikat. Variabel ini
memiliki hubungan jangka pendek yang positif terhadap neraca transaksi berjalan.
Hubungan ini dapat dijelaskan dengan teori stage of development (Debelle dan
Faruqee, 1996), yang menyatakan bahwa suatu negara dengan pendapatan relatif
rendah akan cenderung menjalankan defisit transaksi berjalan untuk menarik
modal dari luar masuk sebanyak-banyaknya. Seiring dengan peningkatan
pendapatan relatifnya maka negara tersebut akan menerapkan surplus transaksi
berjalan agar dapat membayar kembali kewajiban hutangnya.
Analisis IRF menunjukkan bahwa adanya guncangan atau shock positif
sebesar satu satuan pada nilai pendapatan relatif akan mengakibatkan peningkatan
transaksi berjalan pada triwulan ke tiga setelah terjadinya shock. Kesimpulan ini
juga mendukung penelitian sebelumnya, yakni Chinn dan Prasad (2000),
Herrmann dan Jochem (2005), Aristovnik (2006) dan Chinn dan Ito (2007).
38
Response of CA to Impulse of NFA
Response of CA to Impulse of CA
1.2
0
1
-0.01
0.8
-0.02
0.6
-0.03
0.4
-0.04
0.2
-0.05
0
-0.06
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11
1
2
3
4
5
0
0.1
-0.02
-0.06
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11
-0.08
-0.05
-0.1
-0.1
-0.12
Response of CA to Impulse of REL_Y
0.05
0.04
0.03
0.02
0.01
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
-0.04
1
8
Response of CA to Impulse of RER
0.15
0
7
-0.07
Response of CA to Impulse of OPEN
0.05
6
9 10 11
Gambar 8 Impulse Response Function
39
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1.
2.
3.
Terdapat hubungan keseimbangan jangka panjang antara neraca transaksi
berjalan dengan variabel-variabel yang diteliti, seperti nilai aktiva luar negeri,
derajat keterbukaan, nilai tukar riil dan pendapatan relatif.
Dalam jangka pendek, variabel tingkat keterbukaan ekonomi dan tingkat
pendapatan relatif memiliki dampak yang positif, sedangkan variabel aktifa
luar negeri dan nilai tukar berdampak negatif terhadap kinerja neraca
transaksi berjalan.
Dalam jangka panjang, variabel nilai tukar riil memiliki dampak negatif
terhadap neraca transaksi berjalan, sedangkan variabel yang lainnya
berdampak positif.
Saran
1.
2.
3.
Untuk meningkatkan performa neraca transaksi berjalan dan mengurangi
defisit dalam jangka panjang, kebijakan peningkatan akumulasi stok aktifa
luar negeri dapat diterapkan begitu pula dengan kebijakan pengurangan
hambatan perdagangan dan peningkatan output riil.
Kebijakan devaluasi nilai tukar dapat diterapkan untuk mengendalikan defisit
neraca transaksi berjalan baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka
panjang.
Penelitian ini dan juga seluruh penelitian rujukannya mengasumsikan
mekanisme penyesuaian neraca transaksi berjalan sebagai fenomena linier,
padahal sangat mungkin mekanisme tersebut bukan linier. Oleh karenanya,
penelitian selanjutnya dengan menggunakan metode nonlinier sangat berguna
dalam menjelaskan perilaku neraca transaksi berjalan.
40
DAFTAR PUSTAKA
Aristovnik A. 2006. The Determinants and Exessiveness of Current Account
Deficits in Eastern Europe and Former Soviet Union. William Davidson
Institute Working paper No. 827. University of Michigan.
Barnes S, Lawson J, Radzwill A. 2010. Current Account Imbalances in the Euro
Area : A Comparative Perspective. Economics Department Working Paper
No.826. Organisation for Economic Co-operation and Development.
[BI] Bank Indonesia 2008. Laporan Keuangan dan Moneter Indonesia [Laporan
Tahunan], Jakarta(ID) : Bank Indonesia.
. 2012. Laporan Keuangan dan Moneter Indonesia [Laporan
Tahunan], Jakarta(ID) : Bank Indonesia.
Bitzis G, Paleologos JM, Papazoglou C. 2008. The determinants of the Greek
current account deficit: The EMU Experience. Journal of International and
Global Economic Studies, June 2008. 105-122.
Blanchard O. 2000. Macroeconomics. Fifth Edition. Boston (US): Pearson.
[BPS] Badan Pusat Statistik. Berbagai terbitan 1990 - 2012. Indikator Ekonomi.
Jakarta (ID) : Badan Pusat Statistik.
Calderon, Chong, dan Loayza 1999,. Determinants of Current Account Deficit in
Developing Countries. Working Papers No. 51. Central Bank of Chile.
Brissimis S, Hodroyiannis G, Papazoglou C, Tsaveas N, Vasardani M.. 2010.
Current account determinants and external sustainability in periods of
structural change. Working Paper Series No. 1243. European Central Bank.
Chinn M, Prasad E. 2000. Medium-term Determinant of Current Accounts in
Industrial and Developing Countries: An Empirical Exploration. NBER
Working Paper Series No. 7581, National Bureau Of Economic Research.
Chinn MD, Ito H. 2007. Current Account Balance, Financial Development and
Institutions: Assaying the world “saving glut”. Journal of International
Money and Finance, Vol (26) : pp.546-569.
Clower E, Ito H. 2011. The Persistence and Determinants of Current Account
Balance: The Implications for Global Rebalancing. Department of
Economic University of Washington.
Debelle G, Faruqee H. 1996. What Determines the Current Account? A CrossSectional and Panel Research. IMF Working Paper WP/96/58. International
Monetary Fund.
Edward and Ostry. 1990, Anticipated Protectionist Policies, Real Exchange Rates,
and the Current Account: The Case of Rigid Wages. Journal of
International Money and Finance, Vol (9) : pp. 206-219.
Enders W. 2004. Applied Eeconometrics Time Series. Second Edition. New York
(US): John Willey and Sons, Inc.
Engle RF, Granger J. 1987. Cointegration and error correction : representation,
estimation and testing. Econometrica. Vol (55): pp. 251-276.
Freund, C. (2000). ‘Current account adjustment in industrialized countries’,
International Finance Discussion Paper 692, Board of Governors of the
Federal Reserve System.
Gosse JB, Seranito F. 2012. Long-run Determinants of the Current Account in
OECD Countries : A Panel Cointegration Analysis.
41
Gruber JW, Kamin SB. 2005. Explaining the global patern of current account
imbalances. International Finance Discussion Papers. Number 846.
Herrmann S, Jochem A. 2005. Determinants of Current Account Developments in
the Central and East European EU Member States – Consequences for the
Enlargement of the Euro Area. Discussion Paper Series 1: Economic
Studies No.32/2005. Deutsche Bundesbank.
Johansen S. 1988. Statistical Analysis of Cointegration Vectors. Journal of
Economic Dynamics and Control, Vol (12) : pp.231- 254.
Johansen, S. and Juselius, K. 1990. Maximun Likelihood Estimation and
Inference on Cointegration with Applications to the Demand for Money.
Oxford Bulletin of Economics and Statistics Vol (52): pp.169-209.
Krugman P, and Obstfeld M. 1999. Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan
edisi kedua (terjemahan). Jakarta (ID): PAU-FE-UI.
Lütkepohl H. and Kratzig M. 2004. Applied Time Series Econometrics. New York
(NY) : Cambridge University Press.
Lütkepohl H. 2005. New Introduction to Multiple Time Series Analysis. Germany
(DE): Springer.
Mankiw G. 2007. Makroekonomi. Ed. ke-9. Jakarta (ID): Erlangga.
Obstfeld M, Rogoff K. 1995. The intertemporal approach to the current account.
Handbook of International Economics, vol. III. Princeton University.
Salvatore D. and Grilli E.R. 1994. Economic Development. Greenwood Press:
University of California.
Sahminan, Ibrahim, Yanfitri. 2009. Determinants and sustainability of Indonesia’s
current account balance. BI Working Paper wp/09/2009. Bank Indonesia.
Sugema I. 2005. The determinants of trade balance and adjustment to the crisis in
Indonesia. Centre for International Economic Studies Discussion Paper
No.0508. University of Adelaide.
Uneze E, Ekor M. 2012. Re-examining the Determinants of Current Account
Balance in An Oil-Rich Exporting Countries : A Cace of Nigeria. CSEA
Working Paper WPS/12/01.
Yang L. 2011. An empirical analysis of currrent account determinant in emerging
asian economies. Cardiff Economics Working Papers E2011/10. Cardiff
University.
42
Lampiran 1 Hasil uji stabilitas VAR
Roots of Characteristic Polynomial
Endogenous variables: RCA RNFA ROPEN RER REL_GDP
Exogenous variables: C DUMMY
Lag specification: 1 9
Root
0.990280 + 0.085739i
0.990280 - 0.085739i
-0.005067 + 0.981424i
-0.005067 - 0.981424i
0.890773 + 0.402784i
0.890773 - 0.402784i
0.929946 - 0.199105i
0.929946 + 0.199105i
0.798181 - 0.501423i
0.798181 + 0.501423i
-0.581643 - 0.733651i
-0.581643 + 0.733651i
0.296546 + 0.881799i
0.296546 - 0.881799i
0.662043 - 0.649465i
0.662043 + 0.649465i
-0.733928 + 0.565889i
-0.733928 - 0.565889i
0.409723 + 0.799832i
0.409723 - 0.799832i
-0.869787 + 0.194445i
-0.869787 - 0.194445i
0.529157 + 0.713117i
0.529157 - 0.713117i
0.839156 - 0.289575i
0.839156 + 0.289575i
-0.885458
-0.291926 + 0.827035i
-0.291926 - 0.827035i
-0.792185 - 0.354789i
-0.792185 + 0.354789i
0.268888 - 0.816427i
0.268888 + 0.816427i
-0.634253 + 0.576298i
-0.634253 - 0.576298i
-0.110852 + 0.819114i
-0.110852 - 0.819114i
-0.365921 + 0.715727i
-0.365921 - 0.715727i
-0.773333
-0.078870 + 0.744133i
-0.078870 - 0.744133i
-0.703088
0.343591 + 0.508262i
0.343591 - 0.508262i
No root lies outside the unit circle.
VAR satisfies the stability condition.
Modulus
0.993984
0.993984
0.981437
0.981437
0.977605
0.977605
0.951022
0.951022
0.942612
0.942612
0.936244
0.936244
0.930327
0.930327
0.927419
0.927419
0.926758
0.926758
0.898668
0.898668
0.891256
0.891256
0.888000
0.888000
0.887714
0.887714
0.885458
0.877045
0.877045
0.868005
0.868005
0.859566
0.859566
0.856970
0.856970
0.826581
0.826581
0.803843
0.803843
0.773333
0.748301
0.748301
0.703088
0.613503
0.613503
43
Lampiran 2 Output Penentuan Lag Optimal VAR
VAR Lag Order Selection Criteria
Endogenous variables: RCA RNFA ROPEN RER
REL_GDP
Exogenous variables: C DUMMY
Sample: 1990Q1 2012Q4
Included observations: 83
Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
475.4590
727.2386
764.3320
834.5394
871.3668
903.5074
929.3365
965.6773
1004.708
1038.849
NA
461.0904
63.46097
111.6553
54.13182
43.37037
31.74183
40.28136
38.56033*
29.61678
9.26e-12
3.93e-14
2.96e-14
1.02e-14
7.91e-15
7.06e-15
7.55e-15
6.52e-15
5.55e-15*
5.68e-15
-11.21588
-16.68045
-16.97185
-18.06119
-18.34619
-18.51825
-18.53823
-18.81150
-19.14959
-19.36987*
-10.92445
-15.66046*
-15.22330
-15.58407
-15.14050
-14.58399
-13.87540
-13.42011
-13.02963
-12.52134
-11.09880
-16.27067
-16.26938
-17.06602*
-17.05832
-16.93769
-16.66497
-16.64554
-16.69093
-16.61851
* indicates lag order selected by the criterion
LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level)
FPE: Final prediction error
AIC: Akaike information criterion
SC: Schwarz information criterion
HQ: Hannan-Quinn information criterion
44
Lampiran 3 Output penentuan tren deterministik
Sample: 1990Q1 2012Q4
Included observations: 89
Series: RCA RNFA ROPEN RER REL_GDP
Exogenous series: DUMMY
Warning: Rank Test critical values derived assuming no exogenous series
Lags interval: 1 to 2
Data Trend:
Rank or
No. of CEs
None
No Intercept
No Trend
None
Intercept
No Trend
Linear
Intercept
No Trend
Linear
Intercept
Trend
Quadratic
Intercept
Trend
0
1
2
3
4
5
Log Likelihood by Rank (rows) and Model (columns)
844.3766
844.3766
855.3674
855.3674
857.1312
869.8453
874.4979
883.8249
883.8258
885.5626
880.6967
885.4057
893.5105
896.3850
898.1068
884.8316
895.0911
897.6265
906.0677
907.3047
888.0710
898.8519
899.6029
910.1588
911.3467
888.3647
900.5881
900.5881
911.5326
911.5326
0
1
2
3
4
5
Akaike Information Criteria by Rank (rows) and Model (columns)
-17.85116
-17.85116
-17.98578
-17.98578
-17.91306
-18.19877
-18.28085
-18.40056
-18.37811
-18.32725
-18.21790
-18.27878
-18.39350
-18.41315*
-18.38442
-18.08610
-18.24924
-18.26127
-18.38354
-18.36640
-17.93418
-18.08656
-18.08096
-18.22829
-18.23251
-17.71606
-17.87838
-17.87838
-18.01197
-18.01197
0
1
2
3
4
5
Schwarz Criteria by Rank (rows) and Model (columns)
-16.45305
-16.45305
-16.44786
-16.44786
-16.23533
-16.52104
-16.57516
-16.58302*
-16.53260
-16.36990
-16.26055
-16.26550
-16.29633
-16.26006
-16.14745
-15.84913
-15.92837
-15.88448
-15.92287
-15.84980
-15.41758
-15.45811
-15.42455
-15.46003
-15.43629
-14.91984
-14.94235
-14.94235
-14.93613
-14.93613
45
Lampiran 4 Hasil uji rank kointegrasi Johansen
Sample (adjusted): 1990Q4 2012Q4
Included observations: 89 after adjustments
Trend assumption: Linear deterministic trend
Series: RCA RNFA ROPEN RER REL_GDP
Exogenous series: DUMMY
Warning: Critical values assume no exogenous series
Lags interval (in first differences): 1 to 2
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)
Hypothesized
No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace
Statistic
0.05
Critical Value
Prob.**
None *
At most 1
At most 2
At most 3
At most 4
0.472441
0.195596
0.088345
0.043441
0.021895
90.44128
33.52626
14.15507
5.923115
1.970344
69.81889
47.85613
29.79707
15.49471
3.841466
0.0005
0.5278
0.8318
0.7046
0.1604
Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue)
Hypothesized
No. of CE(s)
Eigenvalue
Max-Eigen
Statistic
0.05
Critical Value
Prob.**
None *
At most 1
At most 2
At most 3
At most 4
0.472441
0.195596
0.088345
0.043441
0.021895
56.91502
19.37119
8.231954
3.952772
1.970344
33.87687
27.58434
21.13162
14.26460
3.841466
0.0000
0.3864
0.8890
0.8643
0.1604
Max-eigenvalue test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
46
Lampiran 5 Hasil estimasi OLS dan pengujian residual OLS
Dependent Variable: RCA
Method: Least Squares
Sample: 1990Q3 2012Q3
Included observations: 89
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
RNFA
ROPEN
RER
REL_GDP
C
0.052453
-0.048255
-0.131827
0.009981
0.108446
0.022829
0.025586
0.016369
0.012100
0.031548
2.297706
-1.886026
-8.053294
0.824907
3.437535
0.0241
0.0627
0.0000
0.4118
0.0009
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.684173
0.669134
0.017998
0.027209
233.8465
45.49216
0.000000
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
Hannan-Quinn criter.
Durbin-Watson stat
0.007654
0.031289
-5.142617
-5.002806
-5.086263
1.639453
Null Hypothesis: RESID05 has a unit root
Exogenous: None
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-7.862145
-2.591505
-1.944530
-1.614341
0.0000
47
Lampiran 6 Hasil estimasi 2- step Engle-Granger
vector Autoregression Estimates
Sample (adjusted): 1990Q4 2012Q4
Included observations: 89 after adjustments
Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]
D(RCA)
D(RNFA)
D(ROPEN)
D(RER)
D(REL_GDP)
D(RCA(-1))
-0.044499
(0.15072)
[-0.29524]
0.180411
(0.53345)
[ 0.33819]
0.264843
(0.55885)
[ 0.47390]
0.430019
(0.52062)
[ 0.82598]
-0.520835
(0.47294)
[-1.10127]
D(RCA(-2))
-0.190580
(0.11600)
[-1.64299]
-0.403696
(0.41054)
[-0.98332]
-0.742604
(0.43009)
[-1.72661]
1.167444
(0.40067)
[ 2.91375]
-0.328797
(0.36397)
[-0.90336]
D(RNFA(-1))
-0.020215
(0.03672)
[-0.55045]
-0.131613
(0.12998)
[-1.01259]
0.181173
(0.13616)
[ 1.33055]
-0.018354
(0.12685)
[-0.14469]
0.077914
(0.11523)
[ 0.67616]
D(RNFA(-2))
-0.014258
(0.03417)
[-0.41730]
-0.069487
(0.12093)
[-0.57461]
-0.252787
(0.12669)
[-1.99535]
0.049302
(0.11802)
[ 0.41774]
0.016651
(0.10721)
[ 0.15531]
D(ROPEN(-1))
0.111433
(0.03936)
[ 2.83140]
0.236798
(0.13929)
[ 1.70000]
0.072215
(0.14593)
[ 0.49488]
0.158658
(0.13594)
[ 1.16711]
0.021624
(0.12349)
[ 0.17510]
D(ROPEN(-2))
-0.002148
(0.03905)
[-0.05502]
0.151835
(0.13819)
[ 1.09871]
-0.285754
(0.14477)
[-1.97378]
-0.008079
(0.13487)
[-0.05990]
0.238745
(0.12252)
[ 1.94866]
D(RER(-1))
-0.015174
(0.05297)
[-0.28645]
-0.017835
(0.18749)
[-0.09513]
-0.363920
(0.19642)
[-1.85278]
0.375708
(0.18298)
[ 2.05327]
0.155564
(0.16622)
[ 0.93588]
D(RER(-2))
0.083389
(0.05310)
[ 1.57035]
-0.105990
(0.18794)
[-0.56394]
-0.392828
(0.19689)
[-1.99513]
0.117074
(0.18342)
[ 0.63828]
0.182622
(0.16662)
[ 1.09601]
D(REL_GDP(-1))
-0.018626
(0.02635)
[-0.70698]
-0.051255
(0.09325)
[-0.54967]
0.048824
(0.09769)
[ 0.49981]
-0.046570
(0.09100)
[-0.51175]
-0.212615
(0.08267)
[-2.57192]
D(REL_GDP(-2))
0.032004
(0.02639)
[ 1.21275]
0.164956
(0.09340)
[ 1.76610]
-0.025326
(0.09785)
[-0.25882]
-0.235380
(0.09115)
[-2.58222]
-0.720974
(0.08281)
[-8.70680]
C
-0.000938
(0.00186)
[-0.50390]
0.003686
(0.00658)
[ 0.55984]
0.000224
(0.00690)
[ 0.03253]
0.007992
(0.00643)
[ 1.24356]
0.019671
(0.00584)
[ 3.36948]
RESID05(-1)
-0.583574
(0.16814)
[-3.47080]
0.562163
(0.59509)
[ 0.94467]
1.174484
(0.62343)
[ 1.88392]
-1.065878
(0.58077)
[-1.83528]
-0.500441
(0.52758)
[-0.94855]
DUMMY
0.016319
(0.00942)
-0.015391
(0.03336)
-0.016722
(0.03494)
-0.088312
(0.03255)
-0.061782
(0.02957)
48
R-squared
Adj. R-squared
Sum sq. resids
S.E. equation
F-statistic
Log likelihood
Akaike AIC
Schwarz SC
Mean dependent
S.D. dependent
[ 1.73161]
[-0.46141]
[-0.47856]
[-2.71287]
[-2.08923]
0.539216
0.466461
0.019654
0.016081
7.411367
248.3204
-5.288098
-4.924590
0.000146
0.022016
0.230981
0.109557
0.246198
0.056916
1.902268
135.8308
-2.760243
-2.396734
0.003047
0.060316
0.357305
0.255827
0.270202
0.059626
3.521008
131.6908
-2.667209
-2.303700
-0.000412
0.069120
0.331125
0.225513
0.234494
0.055547
3.135306
137.9983
-2.808951
-2.445443
-0.000550
0.063118
0.569304
0.501299
0.193510
0.050460
8.371539
146.5469
-3.001053
-2.637544
0.007739
0.071454
Determinant resid covariance (dof adj.)
Determinant resid covariance
Log likelihood
Akaike information criterion
Schwarz criterion
5.42E-15
2.46E-15
865.4983
-17.98873
-16.17118
49
Lampiran 7 Hasil estimasi VECM metode Johansen
Vector Error Correction Estimates
Sample (adjusted): 1990Q4 2012Q4
Included observations: 89 after adjustments
Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]
Cointegrating Eq:
CointEq1
RCA(-1)
1.000000
RNFA(-1)
-0.091297
(0.04474)
[-2.04046]
ROPEN(-1)
-0.371565
(0.06407)
[-5.79960]
RER(-1)
0.058505
(0.03340)
[ 1.75155]
REL_GDP(-1)
-0.067166
(0.02297)
[-2.92469]
C
0.289187
Error Correction:
D(RCA)
D(RNFA)
D(ROPEN)
D(RER)
D(REL_GDP)
CointEq1
-0.058450
(0.06787)
[-0.86119]
0.445308
(0.21972)
[ 2.02673]
1.325222
(0.18619)
[ 7.11746]
-1.028473
(0.19002)
[-5.41237]
0.064028
(0.19986)
[ 0.32036]
D(RCA(-1))
-0.369225
(0.12952)
[-2.85069]
0.097334
(0.41930)
[ 0.23214]
-0.310588
(0.35532)
[-0.87411]
0.774952
(0.36263)
[ 2.13703]
-0.915476
(0.38141)
[-2.40026]
D(RCA(-2))
-0.362821
(0.11137)
[-3.25792]
-0.311029
(0.36052)
[-0.86272]
-0.623363
(0.30551)
[-2.04037]
1.026425
(0.31180)
[ 3.29195]
-0.497998
(0.32794)
[-1.51854]
D(RNFA(-1))
-0.017105
(0.03934)
[-0.43477]
-0.125699
(0.12736)
[-0.98694]
0.202572
(0.10793)
[ 1.87690]
-0.033784
(0.11015)
[-0.30671]
0.083196
(0.11585)
[ 0.71811]
D(RNFA(-2))
-0.038081
(0.03599)
[-1.05804]
-0.036210
(0.11652)
[-0.31077]
-0.172780
(0.09874)
[-1.74988]
-0.018682
(0.10077)
[-0.18539]
-0.000748
(0.10599)
[-0.00705]
D(ROPEN(-1))
0.090193
(0.04163)
[ 2.16648]
0.237440
(0.13477)
[ 1.76179]
0.053440
(0.11421)
[ 0.46792]
0.166822
(0.11656)
[ 1.43124]
-0.002405
(0.12259)
[-0.01962]
D(ROPEN(-2))
-0.048527
(0.04062)
0.238611
(0.13151)
-0.061725
(0.11145)
-0.192538
(0.11374)
0.211328
(0.11963)
50
[-1.19453]
[ 1.81437]
[-0.55386]
[-1.69282]
[ 1.76654]
D(RER(-1))
-0.087562
(0.05195)
[-1.68552]
-0.008573
(0.16818)
[-0.05097]
-0.405950
(0.14252)
[-2.84847]
0.386772
(0.14545)
[ 2.65920]
0.075744
(0.15298)
[ 0.49513]
D(RER(-2))
0.022484
(0.05387)
[ 0.41740]
-0.118675
(0.17438)
[-0.68055]
-0.491763
(0.14777)
[-3.32780]
0.174906
(0.15081)
[ 1.15975]
0.109454
(0.15862)
[ 0.69003]
D(REL_GDP(-1))
-0.003920
(0.02783)
[-0.14088]
-0.055123
(0.09009)
[-0.61188]
0.051194
(0.07634)
[ 0.67058]
-0.044109
(0.07791)
[-0.56614]
-0.196983
(0.08195)
[-2.40377]
D(REL_GDP(-2))
0.041375
(0.02820)
[ 1.46708]
0.174430
(0.09130)
[ 1.91054]
0.013247
(0.07737)
[ 0.17123]
-0.262101
(0.07896)
[-3.31942]
-0.707509
(0.08305)
[-8.51923]
C
-0.000756
(0.00202)
[-0.37360]
0.001500
(0.00655)
[ 0.22900]
-0.006386
(0.00555)
[-1.15056]
0.013090
(0.00566)
[ 2.31090]
0.019236
(0.00596)
[ 3.22878]
DUMMY
0.010932
(0.01099)
[ 0.99512]
0.014807
(0.03556)
[ 0.41634]
0.071752
(0.03014)
[ 2.38081]
-0.157405
(0.03076)
[-5.11764]
-0.059063
(0.03235)
[-1.82574]
R-squared
Adj. R-squared
Sum sq. resids
S.E. equation
F-statistic
Log likelihood
Akaike AIC
Schwarz SC
Mean dependent
S.D. dependent
0.471338
0.387865
0.022549
0.017225
5.646600
242.2052
-5.150678
-4.787169
0.000146
0.022016
0.261847
0.145296
0.236317
0.055762
2.246637
137.6537
-2.801207
-2.437698
0.003047
0.060316
0.596348
0.532614
0.169704
0.047254
9.356760
152.3885
-3.132326
-2.768817
-0.000412
0.069120
0.495816
0.416208
0.176756
0.048226
6.228217
150.5765
-3.091607
-2.728098
-0.000550
0.063118
0.564792
0.496076
0.195536
0.050723
8.219112
146.0832
-2.990633
-2.627124
0.007739
0.071454
Determinant resid covariance (dof adj.)
Determinant resid covariance
Log likelihood
Akaike information criterion
Schwarz criterion
3.59E-15
1.63E-15
883.8249
-18.28820
-16.33085
51
Lampiran 8 Respons RCA terhadap shok variabel endogen
Period
RCA
RNFA
ROPEN
RER
REL_GDP
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
1.000000
0.572325
0.464184
0.488491
0.586893
0.575502
0.592955
0.535625
0.537476
0.549275
0.549875
0.544590
0.556425
0.554779
0.548132
0.549528
0.554619
0.552541
0.549569
0.550088
0.000000
-0.011769
-0.033861
-0.060076
-0.018723
-0.022212
-0.022456
-0.031254
-0.028563
-0.027378
-0.025005
-0.027029
-0.027403
-0.027805
-0.027586
-0.027440
-0.026887
-0.027027
-0.027340
-0.027390
0.000000
0.111911
-0.062678
-0.052490
-0.027670
0.018522
0.002314
-0.001061
-0.010359
-0.005193
-0.004757
-0.003471
-0.005890
-0.006428
-0.007165
-0.005842
-0.004724
-0.004611
-0.005508
-0.005723
0.000000
-0.090981
-0.099680
-0.099845
-0.018837
-0.014699
-0.034663
-0.057553
-0.053428
-0.052111
-0.049076
-0.049401
-0.049895
-0.051215
-0.049512
-0.047795
-0.047685
-0.049064
-0.049757
-0.049628
0.000000
5.33E-06
0.039800
0.031983
0.000238
0.007689
0.021708
0.012424
0.010681
0.018977
0.017769
0.012174
0.013783
0.016850
0.015660
0.013953
0.014554
0.015341
0.015069
0.014796
Nonfactorized One Unit
52
53
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Wahyu Purnamahadi lahir di Jakarta pada tanggal 18
Mei 1980. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dari Bapak Uha
Wiria Atmadja dan Ibu Kartini. Penulis menamatkan sekolah dasar pada SD
Negeri Duren 7 Bekasi Timur pada tahun 1991, kemudian melanjutkan ke SMP
PGRI 1 Bekasi dan lulus pada tahun 1994. Kemudian melanjutkan ke SMU
Negeri 3 Bekasi dan tamat pada tahun 1997. Setelah tamat SMU, pada tahun yang
sama penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS)
Jakarta, program Diploma IV dan tamat pada tahun 2001 dengan gelar Sarjana
Sains Terapan (S.ST). Selama menempuh pendidikan di STIS Jakarta penulis
mengambil konsentrasi Statistika Ekonomi. Setelah lulus dari STIS Tahun 2001,
penulis langsung ditugaskan di BPS Kabupaten Bolaang Mongondow, Propinsi
Sulawesi Utara. Pada tahun 2010 penulis pindah tugas ke BPS Kabupaten Bogor,
Propinsi Jawa Barat.
Pada tahun 2011 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui
Program S2 kerja sama Badan Pusat Statistik (BPS) dengan IPB pada Mayor Ilmu
Ekonomi Fakultas Ekonomi Manajemen (FEM) di Sekolah Pascasarjana (SPS)
IPB. Sebelum menempuh pendidikan pascasarjana penulis menjalani program
Alih Jenis S1 di Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB dan meraih gelar Sarjana
Ekonomi pada tahun yang sama.
Download