tinjauan pustaka

advertisement
3
TINJAUAN PUSTAKA
Mimba ( Azadirachta indica Juss)
Mimba merupakan tanaman yang berasal dari kawasan Asia Selatan dan
Asia Tenggara. Plasma nutfah tanaman mimba banyak di temukan di India dan
Thailand. Saat ini, tanaman mimba tersebar di berbagai negara tropis, seperti
Vietnam, Bangladesh, Pakistan, Srilanka, Myanmar, Indonesia, serta daerahdaerah tropis di Amerika, Australia, dan Afrika. Di Indonesia, tanaman mimba
banyak terdapat di Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, dan Nusa
Tenggara Barat (Rukmana & Oesman 2002). Di India mimba disebut “ the village
pharmacy ”. Di Indonesia tanaman ini memiliki berbagai nama daerah; Imba dan
Mimba (Jawa), Membha dan Mempheuh (Madura), Intaran dan Mimba (Bali),
sedangkan di Inggris/Belanda disebut Margosier, Margosatree, Neem tree (Heyne
1987).
Tanaman Azadirachta indica Juss merupakan pohon yang tinggi,
batangnya dapat mencapai 20 m. Kulitnya tebal, batang agak kasar, sedangkan
buahnya merupakan buah batu dengan panjang 1 cm. Tanaman mimba mulai
berbunga dan menghasilkan buah pada umur 4-5 tahun. Buah mimba dihasilkan
dalam satu sampai dua kali setahun, berbentuk oval, bila masak daging buahnya
berwarna kuning, biji ditutupi kulit keras berwarna coklat dan didalamnya
melekat kulit buah berwarna putih. Batangnya agak bengkok dan pendek, oleh
karena itu kayunya tidak terdapat dalam ukuran besar (Heyne 1987).
Di Indonesia tanaman mimba berbunga pada bulan Maret – Desember
(Rukmana & Oesman 2002). Bunga tanaman mimba bertipe bunga majemuk atau
rasemosa, terletak pada ketiak daun. Kelopak mahkota berwarna kekuningkuningan, berambut, dengan ukuran ± 1 mm. Daun mahkota bunga berwarna
putih kekuning-kuningan, berukuran panjang antara 1,5 cm – 2,0 cm.
Daun tanaman mimba bersirip genap (majemuk); berbentuk lonjong
dengan tepi bergerigi dan ujung meruncing. Anak daun berbentuk memanjang
(lanset) dan agak melengkung seperti bulan sabit, bagian tepi bergerigi
meruncing, berukuran panjang 3 cm – 10 cm, dan lebar 0,5 cm – 3,5 cm. Daun
berwarna hijau muda sampai hijau tua dengan permukaan bagian atas mengkilap.
4
Gambar 1 Daun Mimba (Kardinan & Ruhnayat 2003)
Dalam sistematika (taksonomi) tanaman, tanaman mimba diklasifikasikan
sebagai berikut (Tjitrosoepomo 2005) :
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Subkelas
: Dialypetaleae
Ordo
: Rutales
Famili
: Meliaceae
Genus
: Azadirachta
Spesies
: Azadirachta indica Juss
Tanaman mimba sangat kaya dengan kandungan kimia antara lain :
azadirachtin,
minyak
gliserida,
asetiloksifuranil,
oksosiklopentanatolfuran,
hidroksitetrametil, fenantenon , nimbol (Dalimartha 2000). Menurut Gunasena &
Marambe (1998) mimba juga mengandung meliantriol, salannin, nimbin,
nimbidin, dan marrangin.
Tanaman Azadirachta indica Juss ini mempunyai banyak kegunaan, antara
lain untuk penyembuhan penyakit kulit, antiinflamasi, demam, antibakteri,
antidiabetes, penyakit kardiovaskular, dan insektisida. Daun Azadirachta indica
Juss juga digunakan sebagai repelan, obat penyakit kulit, hipertensi, diabetes,
anthelmintika, ulkus peptik, dan antifungsi. Penggunaan kulit batangnya yang
pahit dianjurkan sebagai tonikum. Kulit batang yang ditoreh pada waktu tertentu
setiap tahun menghasilkan cairan dalam jumlah besar. Cairan ini diminum sebagai
obat penyakit lambung di India. Daunnya yang sangat pahit, di Madura digunakan
5
sebagai makanan ternak. Rebusannya di minum sebagai obat pembangkit selera
makan dan obat malaria (Heyne 1987).
Ekstraksi
Ekstraksi merupakan istilah yang digunakan untuk setiap proses
mendapatkan komponen-komponen pembentuk suatu bahan berpindah dari bahan
ke dalam cairan lain (pelarut). Menurut Bombardelli (1991), ekstraksi senyawa
aktif dari tanaman obat adalah pemisahan secara fisik atau kimiawi dengan
menggunakan cairan atau padatan.
Metode ekstraksi tergantung pada polaritas senyawa yang akan diekstrak.
Suatu senyawa menunjukan kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut yang
berbeda. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah
selektivitas, kemampuan mengekstrak, toksisitas, kemampuan untuk diuapkan dan
harga pelarut. Biasanya metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor
seperti sifat dari bahan mentah obat, daya penyesuaian dengan tiap macam metode
maserasi dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna. Beberapa
metode ekstraksi yang sering digunakan adalah maserasi, perkolasi, refluks, dan
sokletasi (Harborne 1987).
Maserasi merupakan cara ekstraksi yang sederhana. Dalam proses
maserasi, bahan yang akan diekstraksi biasanya ditempatkan pada wadah atau
bejana yang bermulut lebar, bersama pelarut yang telah ditetapkan. Bejana ditutup
rapat dan isinya diaduk berulang-ulang sekitar 2-14 hari. Pengadukan
memungkinkan pelarut segar mengalir berulang-ulang masuk ke seluruh
permukaan dari bahan yang sudah halus. Setelah senyawa-senyawa metabolit
sekunder tertarik ke dalam pelarut ia akan turun ke dasar bejana karena
meningkatnya gaya berat cairan akibat penambahan berat. Kemudian pelarut yang
segar naik ke permukaaan dan proses ini berlanjut secara berkelanjutan. Ekstrak
dipisahkan dari ampasnya dengan menapis dan/atau menyaring ampas yang telah
dibilas bebas dari ekstrak dengan penambahan pelarut ke dalam ekstrak dalam
wadahnya. Maserasi biasanya dilakukan pada suhu ruangan selama 3 hari sampai
senyawa-senyawa metabolit tertarik ke dalam pelarut (Ansel 1989).
6
Menurut List & Schmidt (1989) maserasi yaitu metode ekstraksi dengan
cara merendam sampel menggunakan pelarut dengan atau tanpa pengadukan.
Maserasi merupakan metode ekstraksi yang paling sering digunakan.
Etil Asetat
Etil asetat adalah senyawa organik dengan rumus CH3CH2OC(O)CH3.
Senyawa ini merupakan ester dari etanol dan asam asetat. Senyawa ini berwujud
cairan tak berwarna, memiliki aroma khas. Senyawa ini sering disingkat EtOAc,
dengan Et mewakili gugus etil dan OAc mewakili asetat. Etil asetat diproduksi
dalam skala besar sebagai pelarut (Chang 2003).
Gambar 2 Struktur Etil Asetat (Chang 2003)
Etil asetat adalah pelarut semi polar yang volatil (mudah menguap), tidak
beracun, dan tidak higroskopis. Etil asetat merupakan penerima ikatan hidrogen
yang lemah, dan bukan suatu donor ikatan hidrogen karena tidak adanya proton
yang bersifat asam (yaitu hidrogen yang terikat pada atom elektronegatif seperti
oksigen dan nitrogen. Etil asetat dapat melarutkan air hingga 3%, dan larut dalam
air hingga kelarutan 8% pada suhu kamar. Kelarutannya meningkat pada suhu
yang lebih tinggi. Namun demikian, senyawa ini tidak stabil dalam air yang
mengandung basa atau asam (Chang 2003).
Etil asetat disintesis melalui reaksi esterifikasi Fischer dari asam asetat dan
etanol, biasanya disertai katalis asam seperti asam sulfat. Etil asetat dapat
dihidrolisis pada keadaan asam atau basa menghasilkan asam asetat dan etanol
kembali. Katalis asam seperti asam sulfat dapat menghambat hidrolisis karena
berlangsungnya reaksi kebalikan hidrolisis yaitu esterifikasi Fischer. Untuk
memperoleh rasio hasil yang tinggi, biasanya digunakan asam kuat dengan
proporsi stoikiometris, misalnya natrium hidroksida. Reaksi ini menghasilkan
etanol dan natrium asetat, yang tidak dapat bereaksi lagi dengan etanol (Chang
2003).
7
Penapisan Fitokimia
Bahan bioaktif adalah senyawa aktif biologis yang dihasilkan tanaman
melalui proses metabolisme sekunder. Bahan bioaktif merupakan bahan alam
terpenting yang dibentuk dalam proses metabolisme sekunder. Tanaman
menghasilkan senyawa metabolit sekunder berfungsi untuk melindungi tanaman
dari serangga, bakteri, jamur dan jenis patogen lainnya (Lakitan 1993). Untuk
mengetahui jenis-jenis senyawa metabolit sekunder yang terdapat dalam tanaman
dilakukan uji fitokimia. Senyawa metabolit sekunder yang umum diidentifikasi
adalah alkaloid, tanin, flavonoid, saponin, steroid, dan triterpenoid.
Alkaloid merupakan senyawa yang bersifat basa, mengandung satu atau
lebih atom nitrogen. Alkaloid sebagian besar beracun bagi manusia dan banyak
mempunyai kegiatan fisiologis yang menonjol sehingga digunakan secara luas
dalam bidang pengobatan. Alkaloid biasanya tidak berwarna dan sering bersifat
optik aktif (memutar cahaya terpolarisasi datar). Kebanyakan berbentuk kristal
dan sedikit yang berupa cairan pada suhu kamar (Harborne 1987). Pada tanaman,
alkaloid berfungsi untuk melindungi diri dari predator karena bersifat racun bagi
serangga, sebagai zat perangsang dan pengatur tumbuh, serta membantu aktivitas
metabolisme tanaman (Vickery 1981).
Tanin dapat bereaksi dengan protein pembentuk polimer mantap yang tak
larut air (Harborne 1987). Tanin secara umum didefenisikan sebagai senyawa
polifenol yang membentuk kompleks dengan protein dan membentuk senyawa
terbesar kedua yang menyusun etanol. Aktivitas biologis dan farmakologis yang
telah
diketahui
antara
lain
penghambatan
karsinogenitas,
anti
tumor,
antihipertensi, antibakteri dan jamur, antihiperglikemik, dan antelmentik.
Senyawa flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol yang terbesar
ditemukan di alam. Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu, biru
dan sebagai warna kuning yang ditemukan dalam tanaman. Flavonoid umumnya
terdapat pada tanaman sebagai glikosida. Flavonoid berfungsi sebagai stimulan
pada jantung, diuretik, menurunkan kadar glukosa darah dan sebagai anti jamur.
Triperpenoid merupakan senyawa tidak berwarna, berbentuk kristal,
seringkali bertitik leleh tinggi dan optik aktif, yang umumnya sukar dicirikan
karena tidak ada kereaktifan kimianya. Triterpenoid digolongkan menjadi empat
8
golongan senyawa, yaitu triterpena, steroid, saponin dan glikosida jantung.
Tritrepena dan steroid terdapat dalam bentuk glikosida (Harborne 1987). Saponin
dapat membentuk larutan koloidal dalam air. Bila dikocok akan membuih.
Kemampuan menurunkan tegangan permukaan disebabkan molekul saponin
terdiri dari hidrofor dan hidrofil. Saponin berasa pahit dan dapat mengiritasi
membran mukosa. Saponin berhasiat menurunkan kadar kolesterol dalam darah,
beberapa ada yang beracun, sebagai antibiotik dan fungisidal.
Glukosa
Karbohidrat merupakan komponen diet yang penting. Karbohidrat adalah
zat kimia yang terdapat dalam berbagai bentuk antara lain gula sederhana atau
monosakarida dan unit-unit kimia yang kompleks, disakarida dan polisakarida.
Karbohidrat yang sudah ditelan akan dicerna menjadi monosakarida dan
diabsorbsi terutama dalam duodenum dan jejunum proksimal. Sesudah diabsorbsi
sementara waktu kadar glukosa darah akan meningkat dan akhirnya akan kembali
pada batas dasarnya. Pengaturan fisiologis glukosa darah sebagian besar
tergantung dari ekstraksi glukosa, sintesis glikogen dan glikogenolisis dalam hati.
Selain itu, jaringan-jaringan perifer otot-otot dan adiposit juga menggunakan
glukosa sebagai sumber energi. Jaringan-jaringan ini ikut berperan dalam
mempertahankan kadar glukosa darah, meskipun secara kualitatif tidak sebesar
jaringan hati (Price & Wilson 1985).
Jumlah glukosa yang diambil dan dilepaskan oleh hati dan yang digunakan
oleh jaringan-jaringan perifer tergantung dari keseimbangan fisiologis beberapa
hormon. Hormon-hormon ini dapat diklasifikasikan sebagai hormon yang
menurunkan kadar glukosa darah dan yang meningkatkan kadar glukosa darah.
Insulin merupakan hormon yang menurunkan kadar glukosa darah. Insulin
dibentuk oleh sel-sel beta pulau Langerhans pankreas. Sebaliknya ada beberapa
hormon tertentu yang dapat meningkatkan kadar glukosa darah, antara lain
glukagon yang diekskresikan oleh sel-sel alfa pulau Langerhans pankreas,
epinefrin yang diekskresikan oleh medula adrenal dan glukokortikoid yang
diekskresikan oleh korteks adrenal. Glukagon, epinefrin dan glukokortikoid
9
membentuk suatu counter-regulator yang mencegah timbulnya hipoglikemia
akibat pengaruh insulin (Price & Wilson 1985).
Kadar glukosa plasma puasa normal manusia adalah 80-110 mg per 100
ml. Hiperglikemia didefenisikan sebagai kadar glukosa plasma yang lebih tinggi
dari 110 mg per 100 ml, dan hipoglikemia didefenisikan sebagai kadar glukosa
plasma yang lebih rendah dari 80 mg per 100 ml. Tikus dinyatakan menderita
hiperglikemia apabila kadar glukosa darahnya > 250 mg/dL (Gutirerrez & Vargas
2006). Glukosa difiltrasi oleh glomerulus ginjal dan hampir semuanya diabsorbsi
oleh tubulus ginjal selama konsentrasi glukosa dalam plasma tidak melebihi 160180 mg per 100 ml. Kalau konsentrasi glukosa plasma naik melebihi kadar ini,
maka glukosa akan keluar bersama urin, keadaan ini disebut glikosuria. Ambang
ginjal normal untuk glukosa plasma adalah sebesar 160-180 mg per 100 ml (Price
& Wilson 1985).
Hiperglikemia
Hiperglikemia merupakan kondisi dimana nilai ambang reabsorbsi glukosa
melebihi nilai normal. Gejala klinis hiperglikemia adalah glukosuria, yaitu
glukosa yang berlebih akan dikeluarkan bersama urin. Keadaan ini menyebabkan
terjadinya poliuria yang diikuti dengan polidipsi. Selain itu juga akan terjadi
polifagia akibat glukosa tidak bisa masuk ke dalam sel karena gangguan insulin.
Sel kekurangan glukosa untuk metabolisme dan merangsang pusat lapar di
hipotalamus. Cadangan glukosa yang tidak cukup akan menyebabkan terjadinya
glukoneogenesis, dapat berasal dari asam amino hasil degradasi protein di otot
sehingga berkurangnya masa otot yang ditunjukkan dengan penurunan bobot
badan (Price & Wilson 1985).
Hiperglikemia merupakan salah satu gejala klinis penyakit diabetes
melitus.
Diabetes
melitus
merupakan
gangguan
metabolisme
yang
dimanifestasikan oleh kehilangan toleransi karbohidrat. Manifestasi klinis
hiperglikemia biasanya terjadi secara kronis dalam waktu yang bertahun-tahun
dengan gejala klinis penyakit vaskular. Diabetes mempunyai etiologi yang
heterogen, artinya berbagai lesi mengakibatkan insufisiensi insulin. Jenis-jenis
gangguan berikut ini dianggap sebagai kemungkinan etiologi diabetes, yaitu :
10
kelainan fungsi atau jumlah sel-sel beta yang bersifat genetik (menurun), faktor
lingkungan yang mengubah fungsi dan integritas sel beta, gangguan sistem
imunitas, dan kelainan aktivitas insulin (Price & Wilson 1985).
Penderita diabetes melitus dibedakan menjadi empat, yaitu : Tipe I
diabetes melitus (Insulin Dependent Diabetes Mellitus / IDDM). Penderita
diabetes jenis IDDM tidak dapat memproduksi insulin. Diabetes jenis IDDM
timbul bila pankreas kehilangan kemampuannya untuk menghasilkan insulin.
Penderita
tipe
ini
rentan
terhadap
ketosis
dan
frekuensi
antigen
histokompatibilitas tertentu mungkin meningkat atau menurun. Penyakit ini sering
timbul pada usia muda (Laurence & Bennet 1992). Tipe II diabetes melitus (Non
Insulin Dependent Diabetes Mellitus / NIDDM). Penderita diabetes jenis NIDDM,
pankreas masih berfungsi tetapi menunjukan defisiensi relatif, sehingga tubuh
kehilangan kemampuan untuk memanfaatkan insulin secara efektif. Penderita
jenis ini tidak rentan terhadap ketosis. Tipe ini sering dikaitkan dengan obesitas
dan umur tua (Laurence & Bennet 1992).
Tipe III diabetes sekunder, jenis ini timbul sehubungan dengan penyakit
lain, seperti penyakit pankreas, sindroma Cushing dan akromegali. Beberapa
pasien memperlihatkan kelainan primer pada reseptor insulin. Tipe IV diabetes
gestasional, yaitu diabetes yang timbul selama kehamilan atau intoleransi glukosa
yang didapat selama masa kehamilan, disebabkan oleh peningkatan sekresi
berbagai hormon disertai pengaruh metabolik terhadap toleransi glukosa. Diabetes
gestasional terjadi pada trimester kedua atau trimester ketiga. Pada pasien-pasien
ini toleransi glukosa dapat kembali normal setelah persalinan (Price & Wilson
1985).
Manifestasi klinis diabetes dikaitkan dengan konsekuensi metabolik
defisiensi insulin. Pasien-pasien yang menderita defisiensi insulin tidak dapat
mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal atau toleransi glukosa
sesudah makan karbohidrat.
Pasien penderita IDDM sering memperlihatkan timbulnya gejala-gejala
yang eksplosif disertai polidipsia, poliuria, turunnya berat badan, polifagia, lemah
dan somnolen (mengantuk) yang berlangsung lama. Mereka bisa menderita sakit
berat, timbul ketoasidosis, yaitu terbentuknya badan-badan keton di dalam darah
11
akibat pembakaran lemak dan terjadinya dehidrasi akibat kekurangan cairan tubuh
sehingga darah menjadi asam. Keadaan ini dapat menyebabkan pasien meninggal
kalau tidak segera mendapatkan pengobatan. Pasien ini memerlukan terapi insulin
untuk mengontrol metabolisme dan biasanya peka terhadap insulin (Price &
Wilson 1985).
Sebaliknya, penderita NIDDM tidak memperlihatkan gejala apa pun,
diagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di laboratorium dan
melakukan tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang lebih berat, pasien
menderita polidipsia, poliuria, lemah dan somnolen. Biasanya tidak menderita
ketoasidosis. Pada hiperglikemia yang parah dan tidak memberikan respon
terhadap terapi diet, diperlukan terapi insulin untuk menormalkan kadar
glukosanya. Pasien ini biasanya memperlihatkan kehilangan sensitivitas terhadap
insulin. Kadar insulinnya mungkin berkurang, normal atau tinggi, tetapi tidak
cukup untuk mempertahankan kadar glukosa normal darah (Price & Wilson
1985).
Obat Antihiperglikemik
Obat antihiperglikemik adalah senyawa yang dapat menurunkan kadar
gula darah. Berdasarkan struktur kimianya obat ini dapat dibagi menjadi dua
golongan, yaitu
turunan sulfonamid (sulfonilurea) dan turunan guanidin
(biguanida) (Laureance & Bennet 1992). Antidiabetes oral golongan sulfonilurea
memobilisasi insulin tubuh. Senyawa ini meningkatkan sekresi insulin sel-β pulau
Langerhans sekaligus insulin yang terikat pada protein plasma yang biologik tidak
aktif dapat dibebaskan dan diaktifkan kembali. Prinsip kerja sulfonilurea adalah
efek insulin, karena itu obat golongan ini diindikasikan pada penderita NIDDM.
Efek samping turunan sulfonilurea adalah terjadinya hipoglikemia (Schunack et al
1990).
Obat
meningkatkan
dengan
turunan
sensitivitas
dan
biguanida
jumlah
merangsang
reseptor
glikolisis
insulin,
anaerob,
menghambat
glukoneogenesis di hati dan menurunkan penyerapan glukosa di usus. Turunan
biguanida yang sekarang digunakan sebagai antidiabetes adalah metformin.
Metformin dapat mempengaruhi fungsi ginjal dan jantung, sehingga hanya
12
digunakan untuk penderita yang tidak menderita penyakit ginjal dan jantung.
Sedangkan turunan sulfonilurea yang sering digunakan adalah glibenklamid
(Schunack et al 1990).
Aloksan
Aloksan merupakan senyawa kimia yang dapat menyebabkan terjadinya
kerusakan pada sel β pankreas dan digunakan sebagai bahan untuk menginduksi
terjadinya hiperglikemia pada hewan coba. Aloksan akan memberikan efek
diabetogenik pada hewan coba di hari ke-2 setelah penyuntikan aloksan secara
intraperitonial. Pemberian aloksan secara intravena maupun intraperitonial dapat
menyebabkan terjadinya hiperglikemia pada tikus, kelinci, kucing, anjing,
hamster, kambing, dan monyet (Ellenberg & Rifkin 1970).
Penelitian secara in vitro yang dilakukan Balz et al (1980) menyatakan
bahwa aloksan menginduksi pengeluaran ion Ca 2+ dari mitokondria yang
mengakibatkan proses oksidasi sel terganggu. Keluarnya ion Ca2+ dari
mitokondria ini mengakibatkan gangguan homeolisis yang merupakan awal
kematian sel. Menurut Colca (1993) aloksan menghambat aktivitas kalmodulin,
yaitu suatu senyawa yang berperan dalam proses transport ion Ca 2+ di dalam sel.
Ion Ca2+ sangat diperlukan dalam memulai sejumlah proses seluler seperti
kontraksi sel, sekresi neurotransmitter, dan hormon. Kalmodulin merupakan
protein pengikat ion Ca2+ yang berperan sebagai aktivator agar sejumlah tertentu
ion Ca2+ berada di dalam sel. Penghambatan aktivitas kalmodulin menyebabkan
terjadinya penghambatan sekresi insulin. Faktor lain yang sangat dominan
menghasilkan sifat diabetogenik aloksan ialah pembentukan senyawa oksigen
reaktif yang terjadi dalam sel- sel β pankreas (Colca 1993).
Download