4 Informasi mengenai pengolahan dangke susu sapi yang beredar di masyarakat masih bersifat pendapat pribadi dan belum dibuktikan secara ilmiah. Penelitian ini memberikan informasi awal mengenai gambaran pengolahan dangke susu sapi di Kabupaten Enrekang. Hasil penelitian mengklarifikasi dan memperbaharui hasil penelitian terdahulu yang meliputi metode pengolahan dan karakteristik produk dangke. Penelitian ini juga memberikan landasan ilmiah terhadap usulan penggantian peralatan tradisional dengan peralatan yang lebih modern. Kebaruan aplikasi bakteri asam laktat sebagai biopreservatif untuk pengendalian kontaminasi bakteri adalah pada jenis isolat bakteri asam laktat yang digunakan dan teknik aplikasi bakteri pada dangke. Bahasan penelitian aplikasi bakteri asam laktat pada dangke yang telah dilakukan belum mengkaji aspek kontaminasi bakteri pada dangke. Fokus kajian penelitian terdahulu adalah peningkatan aspek nilai gizi dan karakteristik organoleptik dangke sebagai pengaruh penggunaan isolat bakteri asam laktat. TINJAUAN PUSTAKA Makanan Tradisional Dangke Dangke adalah produk olahan tradisional susu sapi dan kerbau dari Sulawesi Selatan. Daerah yang terkenal sebagai penghasil dangke di Sulawesi Selatan adalah Kabupaten Enrekang. Dangke pada awalnya dibuat dari susu kerbau, tetapi populasi ternak dan ketersediaan susu kerbau semakin langka, serta perkembangan peternakan sapi perah di Kabupaten Enrekang cukup pesat menyebabkan sebagian besar produsen dangke beralih menggunakan susu sapi sebagai bahan baku. Dangke merupakan produk sejenis keju lunak tanpa pemeraman yang dibuat secara enzimatis melalui proses pemanasan susu dan penambahan getah pepaya sebagai enzim penggumpal susu. Karakteristik dangke adalah berbentuk oval, bertekstur kompak dan kenyal, beraroma susu yang kuat dan terasa gurih, berwarna putih keabuan atau putih kekuningan tergantung pada jenis susu yang digunakan sebagai bahan baku. Dangke dikonsumsi masyarakat Enrekang sebagai lauk pauk ataupun makanan selingan. Beberapa peneliti melaporkan kemungkinan penggunaan susu sapi pada produk olahan susu kerbau. Sirait (1995) menyatakan dali susu sapi memiliki tekstur, warna, dan nilai gizi yang sama dengan dali susu kerbau, sedangkan rendeman dali susu kerbau lebih tinggi dibandingkan dali susu sapi. Mijan et al. (2010) menjelaskan keju mozarela susu sapi memiliki sifat organoleptik yang serupa dengan keju mozarela susu kerbau, dan keju mozarela susu kerbau mempunyai kadar lemak, protein, mineral, dan total padatan yang lebih tinggi. Kontaminasi Escherichia coli dan Salmonella spp. pada Susu dan Olahannya Sartika et al. (2005) melaporkan kontaminasi E. coli pada susu segar dan susu pasteurisasi di Bogor. Sebanyak 14 sampel dari 19 sampel susu (73,7%) yang terinfeksi E. coli O157:H7 sehingga tidak memenuhi syarat untuk 5 dikonsumsi. Hasil penelitian Balia et al. (2008) terhadap susu segar dari peternakan sapi perah rakyat anggota KPSBU Lembang menunjukkan jumlah koliform adalah 2.2 MPN ml-1. Pada sampel susu pasteurisasi tanpa kemasan dari pedagang kaki lima di Antapani Bandung yang mengambil susu segar dari peternakan sapi Lembang diperoleh jumlah koliform 0.7 MPN ml-1. Persyaratan batas jumlah koliform untuk susu segar adalah 2x101 MPN ml-1, sedangkan untuk susu pasteurisasi adalah <0.1x101 MPN ml-1 (SNI 2000). Suwito (2009) menemukan satu isolat E. coli O157:H7, 49 E. coli non O157:H7, dan dua E. coli hemolitik dari 214 sampel susu peternakan sapi di Kabupaten Bogor. Pada peternakan sapi di Sukabumi diperoleh satu isolat E. coli O157:H7, 16 isolat E. coli non O157:H7, dan dua isolat E. coli hemolitik dari 91 sampel susu, sedangkan pada peternakan sapi di Cianjur diperoleh tujuh isolat E. coli non O157:H7 dari 46 sampel susu. Kontaminasi E. coli dan Salmonella spp. pada beberapa produk keju lunak dunia juga dilaporkan. Adetunji (2010) melaporkan keju wara (keju lunak Afrika Barat) terkontaminasi E. coli O157:H7. Najand dan Ghanbarpour (2006) menyatakan bahwa 99% dari 77 sampel keju lunak Iran terkontaminasi E. coli dan 19% dari kontaminasi E. coli tersebut adalah EPEC. Keju lokal mozzarella di Libia terkontaminasi E. coli sebanyak 20% dari 15 sampel yang diuji (Garbaj et al. 2007). Keju minas frescal di Brazil terkontaminasi E. coli sebesar 96% dari 50 sampel, 6% adalah VTEC dan 2% adalah ETEC (Paneto et al. 2007). Alper dan Nesrin (2013) melaporkan keberadaan Salmonella spp. pada dua dari 60 sampel keju putih segar yang dijual di kota Canakkale, Turki. Godbole et al. (2013) mengisolasi Salmonella spp. sebanyak 34% dari 32 sampel keju paneer di kota Nagpur, India. Umumnya penyebab kontaminasi tersebut karena penerapan sanitasi higiene yang tidak memadai. De Buyser et al. (2001) melaporkan bahwa susu dan olahannya berimplikasi sebanyak 1 sampai 5% dalam peristiwa wabah bakteri di Perancis dan negara industri lainnya sejak tahun 1980. Pada 60 kejadian wabah dan 4 kasus individu, distribusi produk yang dicurigai sebagai pembawa cemaran adalah susu sebesar 39.1%, keju 53.1%, dan produk susu lainnya 7.8%. Selanjutnya dijelaskan bahwa Salmonella spp. terlibat dalam 29 wabah, sedangkan E. coli patogen dalam 11 wabah. Pastore et al. (2008) melaporkan wabah penyakit gastrointestinal akibat Salmonella serovar Stanley di Swiss secara nasional terjadi mulai September 2006 sampai Pebruari 2007 dan tercatat 28% dari 82 kasus dirawat di rumah sakit. Hasil studi case-control menunjukkan wabah tersebut disebabkan konsumsi keju lunak lokal. Ellis et al. (1998) menyatakan pada akhir Oktober 1994 di Ontario, isolat bakteri sebanyak 35 kasus dari 82 kasus klinis pasien diare teridentifikasi sebagai Salmonella berta. Hasil investigasi mengaitkan penyakit tersebut dengan konsumsi keju lunak. Sumber-sumber Kontaminasi Bakteri pada Susu dan Olahannya Temelli et al. (2006) menjelaskan beberapa sumber kontaminasi mikroba pada proses pengolahan keju putih Turki. Kultur starter adalah sumber Staphylococcus koagulase positif, Enterococcus spp., dan bakteri psikrofilik; larutan garam dan plat penekan cetakan adalah sumber Staphylococcus spp.; lantai 6 dan bahan kemasan adalah sumber bakteri psikrofilik; sedangkan tangki keju, kain saring keju, dan pisau pemotong curd adalah sumber bakteri mesofilik aerob. Udara ruang pendingin dan produksi merupakan sumber utama kapang dan kamir. Borelli et al. (2006) melaporkan beberapa sumber kontaminasi mikroba pada pengolahan keju canastra (Brazil). Sumber-sumber kontaminasi yang dimaksud, antara lain adalah air untuk pengolahan merupakan sumber koliform fekal; bahan baku susu mentah adalah sumber koliform fekal, bakteri mesofilik aerob,dan Staphylococcus spp.; starter alami adalah sumber koliform fekal dan S. aureus; curd keju (sebelum penggaraman) dan keju (setelah pematangan lima hari) adalah sumber koliform fekal, Staphylococcus spp., dan jamur. D’Aoust (2000) menyatakan bahwa kontaminasi Salmonella spp. pada industri pengolahan susu terjadi terutama akibat sanitasi peralatan yang tidak memadai. Kousta et al. (2010) menyatakan pekerja juga dapat menjadi sumber utama kontaminasi bakteri selama penanganan dan pengolahan produk susu. Irkin (2010) melaporkan kultur termofilik sebagai sumber kontaminasi beberapa bakteri dalam pengolahan keju dil (Turki). Lebih lanjut dinyatakan larutan garam dan rennet adalah sumber Staphylococcus spp., sedangkan udara ruang pengolahan adalah sumber kapang dan kamir. Praktik Sanitasi higiene pada Usaha Pengolahan Pangan Menurut Hariyadi (2010), hal teknis yang perlu dilakukan usaha pangan lokal untuk meningkatkan keamanan pangan, antara lain menerapkan program sanitasi higiene pada peralatan dan pegawai. Menjaga kebersihan peralatan mengurangi risiko tumbuhnya mikroba berbahaya karena tidak tersedia makanan untuk bertumbuh, sedangkan sanitasi higiene pegawai penting karena mikroba patogen setelah proses pengolahan dapat ditularkan ke makanan melalui pekerja. Handayani dan Werdiningsih (2010) menyatakan bahwa keberadaan beberapa bakteri patogen pada makanan dan minuman jajanan Indonesia mengindikasikan rendahnya tingkat penerapan sanitasi higiene oleh pekerja. Djarismawati et al. (2004) menjelaskan bahwa penerapan sanitasi higiene pada usaha pangan skala kecil atau rumah tangga di Indonesia umumnya belum sesuai standar. Perilaku tersebut berdampak terhadap kualitas makanan yang dihasilkan tidak memenuhi syarat kesehatan karena angka kuman di atas nilai ambang batas. Perpindahan patogen melalui pekerja adalah faktor penting dalam manajemen keamanan pangan baik di rumah maupun tempat penjualan. Tangan dipandang penting dalam memindahkan organisme berdosis infeksi rendah seperti Shigella, virus, dan E. coli patogen (Reij dan Aantrekker 2004). Populasi mikroba kulit dibagi atas flora residen dan transien. Flora residen menempati lapisan dalam kulit, sedangkan flora transien mengkolonisasi lapisan atas kulit dan kurang melekat. Tujuan praktik higiene tangan adalah mengeliminasi secara cepat flora transien dan memberikan aktivitas antimikroba terhadap flora residen (Jurnaa 2005). Hasil penelitian Shojaei et al. (2006) mengindikasikan kebiasaan mencuci tangan dengan sabun dan air dapat mengurangi frekuensi kontaminasi tangan pengolah pangan di Iran, dari 109 (73%) menjadi 48 orang (32%). Lebih lanjut dijelaskan bahwa bakteri patogen yang terdeteksi pada tangan pengolah sebelum 7 penerapan higiene adalah Bacillus spp. (28.6%), E. coli (22%), Enterobacter spp. (14.6%), Klebsiella spp. (13.3%), dan Staphylococcus aureus (12.6%). Jumlah bakteri tersebut secara signifikan menurun setelah penerapan higiene menjadi 10.6%, 3.3%, 7.3%, 2.6%, dan 8% untuk Bacillus spp., E. coli, Enterobacter spp., Klebsiella spp., dan S. aureus secara berurutan. Evaluasi sistematik oleh Montville et al. (2002) menggunakan literatur dan data penelitian terhadap risiko berbagai teknik pencucian tangan mengindikasikan bahwa bila dikerjakan secara benar, mencuci tangan dapat mengurangi risiko kontaminasi bakteri pada tangan. Menurut Bonfoh et al. (2006), kebiasaan mencuci tangan serta membersihkan dan mendisinfeksi kemasan pada usaha pengolahan susu, merupakan faktor penentu higiene susu. Praktik higiene tangan dan kemasan dapat mereduksi jumlah mikroflora susu saat penjualan, yakni: 1.6x107 menjadi 4.8x105 cfu ml-1 untuk total bakteri dan 1.2x106 menjadi 0.9x104 cfu ml-1 untuk Enterobacteriaceae. Menurut Delgado-Pertinez et al. (2003), perbaikan praktik sanitasi higiene peternakan di Spanyol dapat menurunkan jumlah bakteri total susu, yakni: 379.000 sel ml-1 menjadi 165.000 sel ml-1. Al-Tahiri (2005) menjelaskan keju putih lunak dari pabrik modern di Yordania memiliki kualitas mikrobiologis lebih baik dibandingkan keju produksi petani secara tradisional. Jumlah bakteri total pada keju dari pabrik modern adalah 5x10 cfu ml-1, koliform dan S. aureus tidak ditemukan, dan kapang kamir adalah 10 cfu ml-1. Pada keju produksi petani ditemukan jumlah bakteri total sebesar 2x104 cfu ml-1, koliform 3x102 cfu ml-1, S. aureus 5x103 cfu ml-1, dan kapang khamir 1x103 cfu ml-1. Perbedaan tersebut disebabkan pabrik modern menerapkan sanitasi higiene. Bakteri Enterococcus faecium sebagai Biopreservatif Pangan Ross et al. (2002) mengulas hasil-hasil penelitian tentang potensi bakteri asam laktat (BAL) sebagai biopreservatif pangan. Efek pengawetan BAL berasal dari produksi metabolit antimikroba selama proses fermentasi; meliputi berbagai asam organik, seperti laktat, asetat, dan propionat; etanol, H2O2, dan diasetil. Metabolit sekunder BAL bersifat antimikroba lainnya adalah reuterin dan reuterosiklin yang diproduksi strain Lactobacillus reuteri. Kebanyakan BAL juga memproduksi protein inhibitor yang dikenal sebagai bakteriosin. Hensyl (2000) menjelaskan bahwa pada awalnya beberapa spesies dari genus Enterococcus termasuk dalam kelompok Streptococcus. Streptococcus faecalis dan S. faecium kemudian digolongkan ke dalam genus baru masingmasing sebagai Enterococcus faecalis dan E. faecium. Genus Enterococcus adalah Gram positif, fakultatif anaerob, produk utama dari fermentasi karbohidrat adalah L(+)-asam laktat tetapi tidak menghasilkan gas dan pH akhir dapat mencapai 4.2 sampai 4.6, kebutuhan nutrisi kompleks, serta katalase negatif. Umumnya tumbuh pada 10 oC maupun 45 oC (suhu optimum 37 oC), pH 9.6, kadar garam 6.5%, dan cairan empedu 40%. Enterococcus tersebar luas di lingkungan terutama dalam feses vertebrae. Miyazaki et al. (2010) menyatakan supernatan E. faecium mempunyai efek bakterisidal kuat terhadap enteroaggregative Escherichia Coli (EAggEC) meliputi kerusakan membran dan lisis sel, tanpa dipengaruhi kenetralan pH. Supernatan L. casei ss. casei dan L. casei ss. rhamnosus juga mempunyai efek bakterisidal,