BAB IV Hasil dan Pembahasan_ G11ydg

advertisement
5
Fraksinasi
Fraksinasi dilakukan untuk memisahkan
senyawa sesuai dengan polaritasnya. Metode
fraksinasi yang digunakan adalah metode
kolom. Bubur adsorben dibuat dengan
mencampurkan silika gel dalam eluen terbaik
dengan perbandingan (1:10). Bubur adsorban
tersebut kemudian dimasukkan ke dalam
kolom hingga mencapai 3/4 tinggi kolom.
Pelarut dibiarkan turun melalui cerat kolom.
Pelarut terus ditambahkan sampai laju alirnya
konstan, yang menunjukkan bahwa kolom
telah terkemas dengan baik. Ekstrak contoh
dimasukkan ke dalam kolom. Eluat yang
keluar ditampung dengan menggunakan
tabung reaksi. Pemisahan yang terjadi
dicirikan dengan terbentuknya pita-pita
berwarna. Eluat yang keluar ditampung dalam
tabung reaksi sebanyak masing-masing 5 ml.
Fraksi
hasil
penampungan
kolom
ditotolkan pada plat silika gel G60F254, lalu
dibiarkan
hingga
kering.
Kemudian
dimasukkan ke dalam bejana KLT yang sudah
jenuh dengan eluen dan dibiarkan sampai
eluen merambat naik hingga garis akhir. Pelat
KLT dianalisis dengan menggunakan sinar
UV pada panjang gelombang 254 nm dan 366
nm. Kemudian dihitung nilai Rf-nya dengan
rumus:
Rf = Jarak titik pusat spot noda titik awal
Jarak garis depan dari titik awal
Eluen yang digunakan adalah eluen terbaik
berdasarkan uji yang dilakukan pada berbagai
jenis eluen yang semakin meningkat
kepolarannya dari kloroform sampai ke etil
asetat dengan perbandingan (100%), (9:1),
(6:1), (3:1), (2:1) dan (1:1). Setiap fraksi yang
memiliki nilai Rf yang sama digabung
kemudian
diujikan
kembali
aktivitas
antibakterinya untuk menentukan fraksi yang
paling aktif. Selanjutnya fraksi yang paling
aktif diuji fitokimianya untuk menentukan
golongan senyawanya.
Uji Aktivitas Antibakteri
Pelaksanaan uji aktivitas antibakteri
dilakukan secara aseptik dengan metode difusi
agar cakram. Pembuatan masing-masing
suspensi
bakteri
dilakukan
dengan
menyiapkan tabung reaksi yang telah berisi
media larutan NaCl steril kemudian
diinokulasi dengan 1 loop biakan bakteri uji.
Untuk uji aktivitas antibakteri, digunakan
biakan bakteri dengan kepadatan sel 108
sel/ml. Kepadatan suspensi bakteri diukur
kepadatan selnya dengan metode standar
McFarland (Mc Farland 1987). Biakan bakteri
kemudian dioles pada permukaan media
Muller-Hinton (Collin and Lyne 1995).
Ekstrak kasar dibuat pada konsentrasi
10000, 5000, 2500, dan 1250 ppm dalam
pelarut DMSO. Setelah itu cakram kosong
diletakkan di atas permukaan agar dan ditetesi
dengan 7,5 l ekstrak. Sebagai kontrol negatif
atau pelarut digunakan cakram yang telah
diteteskan DMSO dan sebagai kontrol positif,
yaitu obat standar trimetoprim (25 g/cakram)
dan amoksilin (25 g/cakram). Cawan petri
ini diinkubasi dengan cara terbalik selama 24
jam pada suhu 37oC. Daerah bening disekitar
kertas cakram menunjukkan uji positif atau
terjadinya proses penghambatan oleh zat uji
(Sahoo et al. 2006; Rath et al. 1999).
Diameter daerah bening sekeliling cakram
diukur dan dibandingkan daerah hambatannya
dengan kedua obat standar.
Masing-masing fraksi hasil kromatografi
kolom dan KLT juga dilakukan uji aktivitas
antimikroba dengan cara yang sama seperti
ekstrak metanol sampel. Konsentrasi yang
digunakan untuk setiap fraksi, yaitu 40000,
20000, dan 10000 ppm dalam larutan DMSO.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Air
Kadar air merupakan banyaknya air yang
terkandung dalam bahan yang dinyatakan
dalam persen (Winarno 1997). Daun
sansevieria segar yang telah dikeringkan
dalam oven pada suhu 105 oC memiliki kadar
air sebesar 90.60 % dan serbuknya
menghasilkan kadar air sebesar 7.40 %
dengan nilai selang kepercayaan 95 % berada
pada kisaran 7.296-7.570 yang dapat
diartikan bahwa terdapat 95 % kemungkinan
bahwa suatu nilai sampel yang dipilih secara
acak dari suatu sampel yang menyebar normal
dalam kisaran tersebut.
Kadar air merupakan salah satu
karakteristik yang sangat penting pada bahan
pangan, karena air dapat mempengaruhi
penampakan, tekstur, dan cita rasa pada bahan
pangan. Kadar air dalam bahan pangan ikut
menentukan kesegaran dan daya awet bahan
pangan tersebut. Kadar air yang baik adalah
kurang dari 10%, karena pada tingkat kadar
air tersebut waktu simpan sampel akan relatif
lebih lama dan terhindar dari pencemaran
6
Aktivitas Antibakteri Ekstrak
Kasar
Berdasarkan hasil uji antibakteri metode
difusi agar terhadap ekstrak kasar daun S.
trifasciata Prain pada konsentrasi 1250
sampai 10000 menunjukkan bahwa tidak
adanya penambahan diameter pada zona
bening di sekitar cakram (Gambar 4). Hal
tersebut menunjukkan bahwa ekstrak kasar
daun S. trifasciata Prain tidak memiliki
aktivitas antibakteri.
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
41
34
30
25
00
0
6 6
10
00
6 6
50
00
SO
25
et
o
6 6
im
DM
pr
im
6 6
sis
ilin
Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui
kandungan metabolit sekunder dalam suatu
bahan alam. Ekstrak sampel yang telah
didapat dilakukan uji kandungan saponin,
tanin, flavonoid, steroid, triterpenoid, dan
alkaloid. Data hasil uji fitokimia dapat dilihat
pada Tabel 1.
Pengujian kandungan senyawa saponin,
tanin, flavonoid, serta triterpenoid pada
ekstrak daun S. trifasciata Prain menunjukkan
hasil yang negatif. Hasil pengujian kandungan
steroid terbentuk warna hijau kehitaman yang
menunjukkan terdapat kandungan steroid pada
ekstrak.
Ekstrak
daun
juga
positif
mengandung senyawa alkaloid, hal ini
ditunjukkan dari terbentuknya endapan
Hasil ini sedikit berbeda dengan Yoshihiro
et al. (1997), diperoleh Sansevieria
mengandung saponin dan steroid, serta
menurut Sastradipradja (1997), kandungannya
antara lain polifenol dan saponin. Perbedaan
ini dapat dikarenakan perbedaan tempat dan
kondisi tanaman tersebut ditanam, contohnya
antara lain suhu dan hara tanah. Selain itu
perbedaan pelarut dan metode ekstraksi yang
digunakan
juga
dapat
mempengaruhi
perbedaan kandungan metabolit sekunder.
Tr
Uji Fitokimia
Ket : (+) mengandung golongan senyawa
(-) tidak mengandung golongan senyawa
ok
Ekstraksi adalah pemisahan suatu zat dari
campurannya dengan pembagian sebuah zat
terlarut antara dua pelarut yang tidak dapat
tercampur untuk mengambil zat terlarut
tersebut dari satu pelarut ke pelarut yang lain
(Sudjadi 1986). Serbuk S. trifasciara Prain
sebanyak 20 g dilarutkan dalam metanol
dengan perbandingan (1:10) selama 3 x 24
jam sebanyak 5 kali pengulangan. Cairan hasil
maserasi kemudian dievaporasi, untuk
menguapkan sisa pelarut yang dipakai. Selain
itu untuk memekatkan ekstrak sehingga
diperoleh ekstrak kental berwana hijau
kehitaman. Nilai rerata rendemen ekstrak
yang didapatkan dari 5 kali pengulangan
(lampiran 2) adalah sebesar 15.50 % dengan
nilai standar deviasi sebesar 1.4823 dengan
selang kepercayaan 95 % pada kisaran
13.660-17.346 Proses ekstraksi dilakukan
dengan menggunakan metode maserasi.
Penggunaan metode maserasi dikarenakan
tidak diketahuinya sifat sampel yang akan
diekstraksi tahan panas atau tidak.
Metanol 96% digunakan karena dengan
menggunakan pelarut ini tidak hanya senyawa
polar yang dapat terekstrak tetapi senyawa
non polar juga dapat terekstrak. Semakin
besar nisbah pelarut dibandingkan sampel
maka kemampuan melarutkan sampel juga
akan semakin lebih besar dan efektif.
Tabel 1. Hasil uji fitokimia ekstrak daun S.
trifasciata Prain.
Golongan senyawa
Hasil uji
Saponin
Tanin
Flavonoid
+
Steroid
+
Triterpenoid
Alkaloid
+
Daya ham bat (mm )
Ekstraksi
berwarna jingga, putih, dan coklat setelah
ditambahkan pereaksi Dragendorf, Mayer, dan
Wagner.
Am
yang disebabkan oleh mikroba. Kadar air yang
tinggi mengakibatkan mudahnya bakteri,
kapang, dan khamir untuk berkembang biak,
sehingga akan terjadi perubahan pada bahan
pangan. (Winarno 1997).
Konsentrasi (ppm)
*Diameter daya hambat termasuk diameter cakram 6
mm
Gambar 4 Diameter hambat ekstrak kasar S.
trifasciata dengan E. coli ( ) dan
S. aureus ( ).
7
Hasil ini berbeda dengan hasil uji
antibakteri dari S. hyacinthoides
yang
menghasilkan diameter zona bening berkisar
antara 20-30 mm pada berbagai galur bakteri
(Afolayan et al. 2008).
Fraksinasi Ekstrak Metanol
Proses fraksinasi dilakukan dengan metode
kromatografi kolom. Sebelum dilakukan
kromatografi kolom ekstrak diidentifikasi
dengan
menggunakan
KLT
untuk
memperoleh campuran dan perbandingan
eluen yang tepat. Metode KLT digunakan
karena metodenya sederhana, murah, proses
kerja singkat dan sampel yang digunakan
sedikit. (Rouessac & Rouessac 2007).
Fase diam yang digunakan adalah silika
gel dan eluen tunggal yang digunakan pada
metode KLT ini adalah metanol, heksana,
kloroform, diklorometan dan etil asetat.
Berdasarkan hasil uji KLT, perbandingan
eluen yang terbaik adalah etil asetat:kloroform
dengan perbandingan (6:1). Hal ini karena
pada perbandingan kedua pelarut tersebut
didapatkan hasil kromatogram dengan spot
yang terbanyak, yaitu tujuh spot.
Gambar 5 Kromatogram KLT ekstrak daun S.
trifasciata Prain dengan eluen
terbaik kloroform : etil asetat (6:1).
Eluen terbaik yang telah didapatkan
selanjutnya
digunakan
pada
proses
kromatografi kolom. Metode kromatografi
kolom yang digunakan adalah secara gradien
yaitu berdasarkan peningkatan kepolaran.
Penggunaan cara gradien bertujuan agar
dengan peningkatan polaritas sistem eluen,
semua komponen akan terbawa lebih cepat
(Harvey 2000).
Kromatografi kolom diawali dengan
melakukan elusi dengan pelarut kloroform
100%, kemudian diikuti kloroform : etil asetat
dengan perbandingan 9:1, 6:1, 3:1, 2:1, 1:1,
1:9, 1:6, 1:3, 1:2, dan diakhiri dengan pelarut
etil asetat 100%. Hasil pemisahan ekstrak
ditampung sebanyak 5 ml dalam tiap tabung
reaksi.
Eluat pada masing-masing tabung reaksi
tersebut kemudian diuji dengan menggunakan
KLT. Hasil pengujian KLT dapat dilihat pada
Lampiran 4. Tabung-tabung yang memiliki
pola KLT yang sama kemudian disatukan dan
didapatkan fraksi-fraksi yang berjumlah 10
fraksi. Kesepuluh fraksi tersebut kemudian
dihitung
jumlah
rendemennya
untuk
digunakan pada uji aktivitas antibakteri
(Lampiran 3). Fraksi yang telah didapatkan
dari proses kromatografi tersebut kemudian
digunakan dalam pengujian aktivivitas
antibakteri.
Uji Antibakteri Fraksi Aktif
Sepuluh fraksi hasil fraksinasi selanjutnya
dilakukan uji antibakteri terhadap E. coli dan
S. aureus dengan kontrol positif yang sama
untuk ekstrak kasar. Konsentrasi yang
digunakan adalah 10000 ppm, 20000 ppm,
dan 40000 ppm. Pemilihan konsentrasi ini
dikarenakan pada pengujian ekstrak kasar
dengan konsentrasi 10000 ppm didapatkan
hasil yang negatif, sehingga konsentrasinya
ditingkatkan melebihi 10000 ppm.
Berdasarkan hasil pengukuran diameter
zona bening di sekitar cakram kertas terlihat
adanya penambahan diameter fraksi 1 pada
bakteri S. aureus. Kesembilan fraksi lainnya
tidak ada daerah bening yang terbentuk
disekitar cakram kertas (Gambar 6).
Diameter yang dihasilkan pada fraksi 1
untuk bakteri S. aureus dengan konsentrasi
10000 ppm dan 20000 ppm adalah sebesar 7
mm, sedangkan pada konsentrasi 40000
diameter yang terbentuk adalah sebesar 9 mm.
Hasil uji untuk bakteri E. coli dengan fraksi
dan konsentrasi yang sama tidak ada
terbentuknya zona bening disekitar cakram.
Hal ini menunjukkan bahwa fraksi teraktif S.
trifasciata
Prain
memiliki
aktivitas
penghambatan terhadap bakteri Gram positif
tetapi tidak pada bakteri Gram negatif.
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
40
30
28
22
9
00
0
6
40
20
00
0
10
00
0
SO
op
sil
6 7
m
et
6 7
didapatkan hasil pada fraksi 1 mengandung
senyawa steroid dan alkaloid. Fraksi 2 sampai
10 tidak ditemukan adanya senyawa steroid,
hanya terdapat senyawa alkaloid dan
flavonoid. Hal ini menunjukkan bahwa
senyawa steroid diduga memiliki aktivitas
dalam penghambatan bakteri.
t ri
ok
si
Am
DM
rim
6 6
in
Daya hambat (mm)
8
Konsentrasi (ppm)
*Diameter daya hambat termasuk diameter cakram 6 mm.
Gambar 6 Diameter daya hambat fraksi
teraktif dengan E. coli ( ) dan S.
aureus ( ).
Bakteri
Gram negatif
mempunyai
ketahanan yang lebih baik terhadap senyawa
antimikroba dibandingkan dengan bakteri
Gram positif. Bakteri Gram negatif memiliki
sistem seleksi terhadap zat-zat asing, yaitu
pada lapisan lipopolisakarida (Branen &
Davidson 1993). Pelczar dan Chan (2005)
menyatakan struktur dinding sel bakteri Gram
positif relatif lebih sederhana, sehingga
memudahkan senyawa antimikroba untuk
masuk ke dalam sel dan menemukan sasaran
untuk merusak struktur dinding sel. Struktur
dinding sel bakteri Gram negatif relatif lebih
kompleks, berlapis tiga, yaitu lapisan luar
yang berupa lipoprotein, lapisan tengah yang
berupa lipopolisakarida, dan lapisan dalam
peptidoglikan.
Zona bening untuk kedua antibakteri
terhadap bakteri E. coli dengan nomer ATCC
25922 dan S. aureus dengan nmer ATCC
25923 ini menghasilkan zona bening disekitar
cakram dengan diameter masing-masing 22
mm dan 40 mm terhadap amoksilin,
sedangkan trimetoprim 28 mm dan 30 mm.
DMSO sebagai kontrol negatif tidak
menghasilkan penambahan diameter disekitar
cakram, atau tidak terbentuknya zona bening
di sekitar cakram (Gambar 7 dan 8).
Penggunaan
obat
standar
berupa
amoksilin dan trimetoprim dikarenakan kedua
obat tersebut merupakan zat antibiotik yang
berspektrum luas yang aktif pada sebagian
besar mikroorganisme, sehingga dapat
menghambat pertumbuhan bakteri baik
bakteri Gram negatif maupun bakteri Gram
positif (Jawetz 2001).
Berdasarkan hasil pengamatan pada fraksi
1 ditemukan adanya aktivitas penghambatan
antibakteri pada bakteri Gram positif. Uji
fitokimia dilakukan pada kesepuluh fraksi dan
Gambar 7 Hasil pengamatan uji antibakteri
obat
standar
amoksilin,
trimetoprim dan DMSO pada
bakteri E. coli.
Gambar 8 Hasil pengamatan uji antibakteri
obat
standar
amoksilin,
trimetoprim dan DMSO pada
bakteri S. aureus.
Amoksilin dan trimetoprim memiliki
metode penghambatan bakteri yang berbeda.
Penghambatan pertumbuhan bakteri amoksilin
dilakukan dengan menghambat sintesis
dinding sel bakteri, sedangkan pada
trimetoprim dengan cara menghambat sintesis
asam nukleat. Senyawa penghambat akan
berikatan dengan enzim atau komponen lain
yang berperan dalam tahap sintesis, sehingga
tidak ada substrat yang direaksikan. Karena
kekurangan nutrisi maka pembentukan
dinding sel akan terhalangi, yang selanjutnya
akan menyebabkan kematian sel (Jawetz
2001).
Uji fitokimia dilakukan pada kesepuluh
fraksi dan pada seluruh fraksi diperoleh
alkaloid. Fraksi yang teraktif, yaitu fraksi 1
ternyata mengandung steroid juga. Hasil uji
fitokimia pada Tabel 3.
9
Tabel 3 Hasil uji fitokimia fraksi daun S.
trifasciata Prain
Uji Fitokimia*
Fraksi
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
FV
+
+
SP
-
AL
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
ST
+
-
TR
-
*Keterangan:FV=flavonoid, SP=Saponin, AL=Alkaloid,
ST= steroid, TR= triterpenoid
Menurut Afolayan (2008), gabungan
saponin dan steroid dalam satu fraksi mampu
menghasilkan antibakteri yang lebih baik bila
dibandingkan dengan keberadaan steroid dan
saponin yang terpisah. Hal ini diduga
menyebabkan fraksi 1 hanya mampu
menghambat pertumbuhan bakteri Gram
positif (S. aureus) saja, sedangkan pada
bakteri Gram negatif tidak menunjukkan
adanya aktivitas penghambatan.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Hasil uji antibakteri yang dilakukan
terhadap ekstrak kasar metanol daun
Sanseviera trifasciata Prain menunjukkan
bahwa tidak ada aktivitas penghambatan
pertumbuhan bakteri. Hasil fraksinasi yag
mengandung senyawa steroid menunjukkan
adanya aktivitas penghambatan pertumbuhan
antibakteri hanya pada S. aureus dengan
konsentrasi 10000, 20000, dan 40000 ppm.
Saran
Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan
untuk menelaah aktivitas antibakteri pada
daun Sanseviera trifasciata Prain dengan
menggunakan beberapa metode ekstraksi yang
berbeda, pelarut yang berbeda, serta dengan
menggunakan variasi konsentrasi yang
berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Afolayan AJ, Jimoh FO, Aliero AA. 2008.
Antioxidant and antibacterial properties of
Sansevieria hyacinthoides. Internat J Pure
Appl Sci 2(3) : 103-110.
Arnold MA. 2004. Landscape Plants for
Environment 3rd Edition. Texas: Odenwald
Inc.
Atlas RM. 1995. Principles of Microbiology.
St. Louis:Mosby
Brannen LA, Davidson PM. 1993.
Antimicrobials in Food. New York:Marcel
Dekker Inc.
Collins CH, Lyne PM. 1995. Microbiological
Methods 7th ed. London:Butterworths.
Departemen
Kesehatan
RI.
1997.
Inventarisasi Tanaman Obat Indonesia,
Vol. IV. DepKes. RI:Jakarta.
Dold AP, Cocks ML. 2001.Traditional
Veterinary Medicine in The Alice District
of the Eastern Cape Province, South
Africa. S. Afr J Sci 97:375-379.
Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia,
penuntun Cara Modern Menganalisisa
Tumbuhan. Padmawinata K, penerjemah.
Terjemahan dari: Phytochemical Method a
Guide to Modern Techniques of Plant
Analysis. Bandung: ITB.
Harvey D. 2000. Modern Analytical
Chemistry. New York:McGraw-Hill.
Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA. 2001.
Medical Herb Index in Indonesia. Ed ke-2.
Jakarta:EGC.
Levaro J, Rojas G. 2001. Antimicrobial
evaluation of certain plants used in
Mexican traditional medicine for the
treatment of respiratory disease. J
Ethnopharmacol 74:97-101.
Lucas H, David JK, Duke J. 2001.
Bioshyntesis
of
Natural
Plant.
Maryland:Chicster Ellis Horwood Ltd.
McFarland J. 1987 Standardization of
bacterial culture for disc diffusion assay. J
Americ Med Assoc 49:1176-1178.
Pelczar MJ, Chan ECS. 2005. Dasar-Dasar
Mikrobiologi 1. Hadioetomo RS, Teja I,
Tjitrosomo SS, Angka SL, penerjemah.
Jakarta: UI Press. Terjemahan dari
Elements of Microbiology.
Download