PERANAN PAJAK EMISI GAS CO2 BAHAN BAKAR FOSIL DALAM MENGURANGI DAMPAK LINGKUNGAN. ”SUATU PERSPEKTIF UNTUK INDONESIA” KEMAS FACHRUDDIN SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK KEMAS FACHRUDDIN. Peranan Pajak Emisi Gas CO2 Bahan Bakar Fosil Dalam Mengurangi Dampak Lingkungan. ”Suatu Perspektif Untuk Indonesia”. AKHMAD FAUZI sebagai ketua; AHMAD BEY, dan SURJONO H.SURTJAHJO, sebagai anggota komisi pembimbing Pada tahun 2001 Indonesia termasuk peringkat ke 21 sebagai negara penghasil emisi gas CO2 terbesar. Pada tahun 1990 total emisi gas CO2 yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil adalah sebesar lebih kurang 83,8 juta ton dan diperkirakan pada akhir tahun 2020 total emisi tersebut menjadi 368,3 juta ton. Pada saat ini belum ada peraturan baik dalam bentuk undangundang maupun peraturan pemerintah yang mengatur secara khusus untuk mengatasi laju pertumbuhan emisi tersebut. Ada beberapa pendekatan didalam mengatasi masalah emisi gas CO2 yaitu melalui instrumen regulasi (command and control) atau melalui instrumen ekonomi (market based instrument). Berdasarkan pengalaman dari beberapa negara maju instrumen ekonomi dalam bentuk pajak karbon atau pajak emisi lebih banyak disukai dibandingkan dengan pendekatan regulasi. Penelitian empiris ini bertujuan untuk menganalisis peran instrumen ekonomi dalam bentuk pajak karbon atau pajak emisi terhadap bahan bakar yang berbasis fossil melalui model DICE yang telah dimodifikasi. Model DICE disebut juga ”Three Box Model” atau yang dikenal dengan ”Two Folded” model. Hasil output model dengan menggunakan berbagai nilai rate of social preference (R) menunjukkan bahwa pajak optimal untuk bahan bakar minyak dan batubara yang sesuai adalah dengan menggunakan nilai R sebesar 5%. Besarnya pajak karbon per ton dalam kondisi optimal untuk periode 1990-2019 adalah sebesar 3,90-40,35 dolar Amerika atau sebesar 1,06 -11,00 dolar Amerika per ton untuk emisi gas CO2. Harga tersebut ekivalen dengan 0,002 0,024 dolar Amerika per liter bahan bakar minyak dan untuk batubara berada pada kisar 1,95 -20,25 dolar Amerika per ton. Output model menunjukkan bahwa pajak karbon atau emisi dengan skenario optimal tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan masyarakat relatif terhadap skenario ”Base Case”, justru menunjukkan sebaliknya. Pada skenario optimal abatement cost berkisar antara 0,1-6,7 % GDP untuk periode 1990-2019. Jika pemerintah menggunakan kebijakan instrumen pajak dengan skenario optimal, maka penerimaan pajak emisi diperkirakan berkisar antara 457,6 – 2.362,8 juta dolar Amerika untuk periode 1990 -2019. Penerimaan tersebut terdiri dari penerimaan yang berasal dari bahan bakar minyak sebesar 376,1-1.585,6 juta dolar Amerika dan dari batubara berkisar 81,4 – 777,2 juta dolar Amerika. Kata kunci : pajak emisi, abatement cost, command and control xvi ABSTRACT KEMAS FACHRUDDIN. Role of CO2 Gas Emission Tax On Fossil Fuel In Reducing Environmental Impact. “A Perspective for Indonesia”. AKHMAD FAUZI as Chairman; AHMAD BEY, and SURJONO H.SURTJAHJO, as Members of the advisory Committee. In the year 2001, Indonesia was ranked 21 st in producing CO2 emission. In 1990 total emission of CO2 from the burning of fossil fuel was estimated 83.8 million tones and at the end of year 2020 the total emission will be 368.3 million tones. Currently, Indonesia has no specific regulation for controlling CO2 emission either in form of act or government regulation. Some approaches in controlling such emissions are through command and control and or market based instrument (sometimes this term is called economic instrument). Based on experience from developed countries, economic instrument in the form of carbon tax or emission tax is preferred due to it’s effectiveness compared with the common and control instrument. This empirical study is intended to analyze role of economic instrument in forms of a carbon or emission tax on the energy of fossil fuel through modified DICE model. DICE model is also called a “Three –Box Model” or “Two Folded Model” By using some of rate of social preference (R), model outcome suggests that appropriate optimal taxes for petrol and coal are if model using value of R5%. Value of carbon tax per ton in optimal condition for period of 1990-2019 having range $US3.90 – 40.35 or $US1.06 -11.00 USD CO2 emission per ton. The price is equivalent to $US 0.002 – 0.024 per liter petrol and $US 1.95 -20.25 per ton coal. Based on the output model its indicated that carbon or emission tax with optimal scenario has no significant impact on income per capita relative to “Base Case”. Shall the government apply tax instruments with optimal scenario, revenue of emission taxes will fall between $US 457.6 – $US 2,362.8 million for period 1990-2019. The revenue consists of $US 376.1 – US$ 1,585.6 million generated from petrol and $US 81.4 – $US 777.2 million from coal. Key words : Emission tax, abatement cost, command and control. xvi © Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm dan sebagainya xvi PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul “ Peranan Pajak Emisi Gas CO2 Bahan Bakar Fosil Dalam Mengurangi Dampak Lingkungan: “Suatu Perspektif Untuk Indonesia “ adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir disertasi ini. Bogor, Agustus 2007 Kemas Fachruddin Nrp : P 062034254/PSL PERANAN PAJAK EMISI GAS CO2 BAHAN BAKAR FOSIL DALAM MENGURANGI DAMPAK LINGKUNGAN. ”SUATU PERSPEKTIF UNTUK INDONESIA” KEMAS FACHRUDDIN Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Bidang Pengelolaan Lingkungan dan Sumberdaya Alam SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 xvi Judul Disertasi : Peranan Pajak Emisi Gas CO2 Bahan Bakar Fosil Dalam Mengurangi Dampak Lingkungan. ”Suatu Perspektif Untuk Indonesia” Nama Mahasiswa : Kemas Fachruddin Nomor Pokok : P 062034254 Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Disetujui Komisi Pembimbing Prof.Dr.Ir Akhmad Fauzi Syam, M.Sc Ketua Prof.Dr.Ir Ahmad Bey,M.Sc Anggota Plh.Ketua Program Studi Pengelolaan Dr.Ir Surjono H.Sutjahjo,M.S Anggota Dekan Sekolah Pascasarjana Sumberdaya Alam dan Lingkungan Dr.Ir Etty Riani,MS Prof.Dr.Ir Khairil Anwar Notodiputro,MS Tanggal : 9 Agustus 2007 Tanggal Lulus : RIWAYAT HIDUP Penulis lahir pada tanggal 04 Juli 1958 di Palembang,Sumatera Selatan, dari pasangan Kemas Dencik dan Tapsiah. Penulis beristrikan Nurachmi Suryani dan memiliki putra Fari Fatullah dan Kemas Hadid serta putri Nyimas Faradilla Penulis berhasil menyelesaikan pendidikan di Universitas Ahmad Yani Bandung sampai tingkat sarjana dan memperoleh sarjana muda teknik industri pada tanggal 5 Oktober tahun 1981. Melanjutkan pendidikan pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Program Extension dan berhasil memperoleh sarjana ekonomi pada tahun 1995. Pada tahun 1997 melanjutkan pendidikan S-2 pada program studi Magister Management Teknologi di Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya, dan sarjana Magister Management Teknologi diperoleh pada tahun 2001. Penelitian yang dilakukan dalam rangka menyelesaikan pendidikan S-2 di ITS adalah ” Reducing Weld Defects By Using Six Sigma Methodogy ” dengan melakukan riset experimental yang pendanaannya dibantu oleh General Electric Power System Amerika. Pada tahun 2003 menempuh pendidikan S-3 di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan dan perkuliahan diselesaikan pada tahun 2004. Pernah mengikuti berbagai pelatihan manajemen dan teknik baik didalam maupun diluar negeri untuk berbagai disiplin ilmu seperti Welding Technology, Inspection, Financial Management, Material Management, Procurement dan Advance Procurement dan Fabrication untuk Steam Turbine dan Gas Turbine di Schenectady - New York, South Carolina Amerika Serikat, Shanghai-China, Bangkok dan Malaysia. Selama lebih kurang delapan tahun yaitu mulai tahun 1981 sampai dengan 1988 bekerja pada konsultan nasional yang bergerak pada bidang Technical Services dan Inspection Engineering dan pernah ditugaskan pada berbagai proyek seperti LNG expansion di Bontang, Pertamina Refinery Expansion Balikpapan, Nilam Expansion Project – HUFFCO di Kalimantan Timur, Union Oil di Kalimantan Timur dan beberapa proyek Petro Kimia di Jabotabek. Posisi terakhir adalah sebagai Manager Teknik dan Operasi. xvi Tahun 1989 sampai dengan tahun 1994 bekerja pada perusahaan multi nasional – Bechtel International yang bergerak dibidang Design Engineering, Procurement dan Construction. Posisi sebagai Chief Engineer dan pernah terlibat dalam pembangunan beberapa proyek seperti Well Dehydration Project Mobil Oil di Aceh dan beberapa proyek Petro Kimia di Jawa Barat, dan selama lebih kurang dua tahun bekerja pada PT Freeport Indonesia di bagian logistik sebagai Chief Materials dan Quality di Jakarta. Penulis pernah bekerja pada perusahaan multi nasional – General Electric (GE) selama enam tahun pada bisnis unit Power System sebagai senior Global Sourcing Manager. Bertanggung jawab terhadap pembelian Global dan transfer teknologi kepada pihak pemasok, termasuk yang ada di Indonesia untuk komponen – komponen dari Power System baik untuk Gas Turbine maupun Steam Turbine. Mulai tahun 2001 sampai dengan tahun 2005 bekerja pada perusahaan multi nasional yang bergerak pada sektor perminyakan. ExxonMobil Indonesia selama satu tahun dan sampai sekarang bekerja pada ConocoPhillips Indonesia pada bagian proyek infra struktur di Jakarta. Sejak tahun 1990 penulis juga aktif bekerja pada konsultan teknik dan manajemen untuk mengajar beberapa topik pelatihan seperti Manajemen Pembelian dan Persedian, Manajemen Operasi dan Manajemen Proyek. Dibidang teknik pernah mengajar untuk pelajaran ”Welding Inspection and Procedure”, “Piping and Pressure Vessel Fabrication”. Pernah mengajar pada Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya pada program D-III Perkapalan untuk program pelatihan Inspektur Las. PRAKATA Hanya berkat rachmat dan hidayahNya lah penulisan disertasi ini dapat terlaksana. Hidayah sehat dan kemampuan berpikir yang terus-menerus diberikan oleh Allah swt kepada penulis adalah merupakan kontribusi yang sangat besar dalam menyelesaikan studi yang diakhiri dengan penyelesaian penulisan penelitian. Suatu kegiatan selalu akan menimbulkan eksternalitas baik negatip mapun positip. Permasalahan akan timbul bila eksternalitas tersebut menimbulkan dampak negatip bagi masyarakat. Dampak eksternalitas yang merugikan masyarakat tersebut tidak serta merta dapat dikoreksi oleh masyarakat itu sendiri. Oleh karenanya perlu campur tangan pihak pemerintah selaku pembuat kebijakan agar dampak eksternalitas tersebut dapat diminimalisasi dan jika memungkinkan dihilangkan. Salah satu masalah eksternalitas yang ditimbulkan oleh hasil pembakaran dari bahan bakar berbasis fosil seperti minyak bumi dan batubara yang terjadi pada saat ini sangat berdampak kepada masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Gas CO2 merupakan gas rumah kaca langsung. Sebanyak 50% emisi gas CO2 secara global yang ada pada saat ini yaitu sebesar 2,3 triliun ton adalah dihasilkan dalam periode 1974 – 2004. Peningkatan secara absolut dari emisi gas CO2 yang terbesar terjadi pada tahun 2004 dengan jumlah 28 milyar ton. Penyebab utamanya adalah pembakaran bahan bakar fosil. Sebesar 1,5% dari total emisi tersebut adalah kontribusi dari negara Indonesia. Gas rumah kaca akan berimplikasi pada perubahan iklim global dengan meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi. Topik penelitian ini sebenarnya berangkat dari pola pikir bahwa eksternalitas yang ditimbulkan oleh hasil pembakaran bahan bakar fosil yang terjadi pada saat ini tidak efektif diatasi permasalahannya dengan menggunakan pendekatan pengalaman Instrumen dari Regulasi (Command negara-negara Organisasi and Control). Kerjasama Berdasarkan Ekonomi dan Pengembangan (OECD), pendekatan dengan menggunakan Instrumen Ekonomi xvi (EI) yaitu Instrumen Pajak adalah lebih baik dibandingkan dengan menggunakan Instrumen Regulasi (CAC) yang bersifat top-down. Instrumen Ekonomi ini biasanya juga disebut dengan Market Based Instrumen (MBI). Kebijakan Command and Control (CAC) tidak begitu fleksibel dalam pendekatan pengurangan emisi gas, karena cenderung untuk memaksa pihak-pihak yang mengeluarkan emisi dengan perlakuan yang sama dan mengabaikan aspek biaya yang ditimbulkan. Dengan pendekatan instrumen pajak atau instrumen yang menggunakan pendekatan pasar (Market Based Instrument) harga bahan bakar akan berubah sesuai dengan kekuatan pasar, dan dalam jangka panjang kebijakan ini dapat merubah tingkah laku konsumen dan produsen dalam melihat masalah lingkungan. Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada ketua komisi pembimbing yaitu: Prof.Dr.Ir Akhmad Fauzi,MSc yang sangat banyak membantu, baik didalam memberikan referensi dan bimbingannya serta membantu dalam penyelesaian modeling yang digunakan dalam penelitian ini, kepada Prof.Dr. Ir Ahmad Bey,MSc dan Dr.Ir Surjono H.Sutjahjo,MS masingmasing sebagai komisi pembimbing yang banyak memberikan masukan dan perbaikan arah penelitian serta terus mendorong penulis dalam menyelesaikan studi di PSL . Penghargaan juga saya sampaikan kepada Dr.Ir Surjono H.Sutjahjo selaku ketua program studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan dan Prof.Dr Bibiana W.S.Lay,MSc yang selalu memberikan konsultasi mengenai studi di PSL; Dekan Sekolah Pascasarjana Prof.Dr.Ir Sjafrida Manuwoto,MSc yang sering memberikan pencerahan dibidang keilmuan. Terima kasih saya kepada Dr.Ir Moses L.Singgih,MSc dari Institut Teknologi Sepuluh November-Surabaya dan Dr.Ir Gde Pradnyana sebagai Kepala Divisi Operasi dan Konstruksi dari BPMIGAS yang telah memberikan rekomendasi studi Doktor saya ke Institut Pertanian Bogor sebagai salah satu syarat diterimanya sebagai mahasiswa program Doktor; Dr.Ir Widodo Wahyu dan Dr.Ir Yulianto Sulistyo Nugroho dari Pengkajian Energi Universitas xvi Indonesia yang telah meluangkan waktunya dalam menjelaskan data-data mengenai energi yang dikeluarkan oleh PEUI. Kepada Prof.William D.Nordhaus dari Yale University, Prof.Rob Dellink dari Wergeningan University, Prof.Brian O’NEILL dari International Institute for Applied Systems Analysis dan Prof Christian Azar dari Chalmers Environmental Initiative yang banyak membantu dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dan klarifikasi dalam permodelan melalui email. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada rekan-rekan satu kelas yang biasa kita sebut dengan kelas Kimpraswil, terutama kepada saudari Rini dan Lina Warlina yang banyak membantu dalam memberikan informasi administrasi perkuliahan; Ririn dan Suli keduanya staf administrasi program PSL yang selalu memberikan informasi mengenai jalannya perkuliahan di PSL. Secara khusus, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada istri (Nurachmi Suryani) dan anak ( Nyimas Faradilla ) yang selama lebih kurang tiga tahun bersedia mengerti dan mengorbankan waktu liburnya untuk kepentingan studi dan penyelesaikan disertasi ini. Kepada pihak-pihak dan rekan-rekan yang selama ini membantu dalam menyelesaikan penelitian dan disertasi, penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih atas bantuan yang telah diberikan secara ikhlas, semoga Allah membalas kebaikan saudara. Hasil penelitian ini tidak akan bermanfaat jika kita sebagai insyan yang diciptakan oleh Allah swt tidak berbuat sesuatu untuk memperbaiki situasi yang ada. Melakukan penelitian dan menulis hanyalah sebuah perbuatan kecil kita sebagai tanggung jawab dari daya fikir yang dikaruniai oleh Allah swt, tetapi berbuat sesuatu akan jauh lebih baik buat kehidupan masa depan kita semua. Pada akhirnya jika ada kesalahan didalam penulisan disertasi ini, penulis mohon maaf dan selalu ada ruang untuk memperbaiki kesalahan. Bogor, Agustus, 2007 Kemas Fachruddin xvi DAFTAR ISI DAFTAR TABEL .......................................................................................... xvii DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xviii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xxiv I. II. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang............................................................................ 1 1.2 Tujuan Penelitian ....................................................................... 7 1.3 Kerangka Pemikiran.................................................................... 7 1.4 Perumusan Masalah .................................................................. 8 1.5 Manfaat Penelitian ..................................................................... 12 1.6 Ruang Lingkup Penelitian ......................................................... 12 1.7 Novelty Penelitian .................................................................... 13 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Eksternalitas Dan Pajak Lingkungan ......................................... 14 2.2 Pajak Karbon Dan Energi ......................................................... 17 2.3 Emisi Per Kapita, Energi dan Karbon Intensitas ....................... 22 2.4 Emisi Dan Pertumbuhan Emisi Gas CO2 ................................ 25 2.5 Elastisitas .................................................................................. 30 2.6 Model Ekonomi Pemanasan Global ......................................... 32 2.6.1 Model DICE ................................................................. 34 2.6.2 Deskripsi Dari Model DICE ......................................... 36 2.6.3 Discounting ................................................................... 41 2.6.4 Perubahan Teknologi .................................................... 43 2.6.5 Investasi Dan Interest Rate ............................................ 45 2.6.6 Variabel Dan Parameter Dalam Model DICE ............... 47 2.6.7 Sekenario Kebijakan Model DICE ................................ 48 2.6.8 Model FREE ................................................................. 49 xvi 2.7 Kebijakan Terhadap Emisi ........................................................ 51 2.7.1 Instrumen Regulasi (CAC) VS Ekonomi (EI) ................. 55 2.7.2 Pajak Emisi Optimal ........................................................ 56 III. METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka dan Pelaksanaan Penelitian ....................................... 59 3.2 Jenis dan Sumber Data ............................................................... 60 3.3 Perhitungan Jumlah Dan Tren Emisi Gas CO2 .......................... 61 3.4 Energi Dan Karbon Intensitas..................................................... 65 3.5 Elastisitas Dan Kalibrasi ............................................................ 67 3.5.1 Perhitungan Elastisitas .................................................... 67 3.6 3.5.2 Kalibrasi ......................................................................... 68 Deskripsi Model ........................................................................ 68 3.6.1 Horizon Waktu ................................................................ 71 3.6.2 Kesejahteraan ( Walfare) ….......................................... 71 3.6.3 Dicount Rate Dan Pure Rate of Social Preference …… 72 3.6.4 Populasi ….................................................................... 74 3.6.5 Perubahan Teknologi …............................................... 74 3.6.6 Investasi Dan Interest Rate …...................................... 77 3.6.7 Emisi Gas CO2 ............................................................. 78 IV. 3.6.8 Dampak Kerusakan ….................................................. 78 3.6.9 Faktor Pengurang …..................................................... 80 3.6.10 Siklus Karbon (Konsentrasi Emisi Gas CO2)............... 81 3.6.11 Perubahan Iklim............................................................. 82 3.6.12 Radiative Forcing........................................................... 83 3.6.13 Pajak Emisi Gas CO2 ..................................................... 84 3.7 Persamaan Model ....................................................................... 86 3.8 Variabel Dan Parameter Dalam Model Penelitian ..................... 87 BASELINE ANALISIS 4.1 Analisis Emisi Dan Intensitas Energi ........................................ 91 4.2 Analisis Elastisitas...................................................................... 95 xvi 4.3 V. VI. 4.2.1 Elastisitas Konsumsi Energi Terhadap GDP .................. 95 4.2.2 Elastisitas harga Terhadap GDP ..................................... 96 Analisis Dampak Emisi Gas CO2................................................ 97 ANALISIS DAN SKENARIO KEBIJAKAN PAJAK EMISI 5.1 Kalibrasi Model.......................................................................... 102 5.2 Skenario ..................................................................................... 103 5.3 Pajak Emisi Gas CO2 Yang Optimal ......................................... 104 5.4 Dampak Dari Pajak Emisi Gas CO2........................................... 110 5.5 Analisis Sensitivitas.................................................................... 114 5.6 Skenario Kebijakan..................................................................... 118 5.7 Penerimaan Pajak Emisi Gas CO2 ............................................. 119 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ........................... 121 6.1 Kesimpulan ................................................................................. 121 6.2 Implikasi Kebijakan ................................................................... 123 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 128 LAMPIRAN ..................................................................................................... 136 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Pajak karbon pada beberapa negara Eropa Utara ................................... 20 2. Presentase pajak lingkungan dan pajak energi terhadap GDP................ 21 3. Instrumen pajak yang telah diimplementasi dan direncanakan dibeberapa negara Eropa Utara ............................................................................... 22 4. Faktor yang berkontribusi terhadap pertumbuhan emisi gas CO2 ........... 28 5. Baseline emisi gas CO2 menurut tipe energi ............................................. 29 6. Tipikal elastisitas harga permintaan pada negara OECD......................... 31 7. Model pemanasan global yang berhubungan dengan proyeksi populasi 33 8. Pajak dan fiskal untuk tujuan efisiensi energi sektor industri.................. 33 9. Tingkat penurunan tingkat discount jangka panjang................................ 42 10. Alternatif kebijakan dalam model DICE .................................................. 48 11. Parameter model DICE.............................................................................. 68 12. Hubungan strp, dfg dan nilai yang akan datang........................................ 73 13. Nilai g untuk Indonesia ………............................................................. 73 14. Discount rate yang disarankan ………………………………………….. 73 15. Discount rate yang akan dipakai dalam analisis….................................... 74 16. Estimasi pertumbuhan TFP Indonesia ………………………………….. 76 17. Persen kerusakan terhadap GDP ..………….…........................................ 79 18. Data dan proyeksi pertumbuhan rata-rata tahunan (p.1%).....……..…..... 92 19. Data dan proyeksi pertumbuhan rata-rata tahunan (p.1,2%) ................... 92 20. Perubahan emisi gas CO2 Indonesia terhadap negara OECD dan nonOECD dari tahun 1990-2020 ...................................................................... 94 21. Nilai A dari kalibrasi .................................................................................. 102 22. Nilai abcost untuk beberap nilai MIU ................................................... 102 23. Nilai tecost ….......................................................................................... 103 24. Pajak karbon dan emisi gas CO2 Indonesia periode 1990 -2019 untuk R3%.............................................................................................. 112 25. Pajak emisi gas CO2 per liter BBM (Petrol) Indonesia periode 1990 -2019 untuk R3% …........................................................................................ 113 26. Pajak emisi gas CO2 per ton batubara Indonesia periode 1990 - 2019 untuk R3%............................................................................................. 113 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Peningkatan emisi gas CO2 berdasarkan asal sumber fosil ……................. 3 2. Peningkatan jumlah energi listrik berdasarkan bahan bakar ........................ 3 3. Peningkatan konsumsi minyak Indonesia ................................................... 4 4. Kerangka pemikiran ...................................................................................... 7 5. Opsi kebijakan pajak lingkungan ................................................................. 11 6. Intensitas energi dan karbon 25 negara European Union. ............................ 24 7. Tren intensitas energi dan karbon untuk 15 negara European Union........... 25 8. Emisi gas CO2 global dari pembakaran BBF ................................................. 26 9. Pertumbuhan emisi gas rumah kaca 1990 -2002 …....................................... 27 10. Persentase emisi gas rumah kaca global menurut sektor …......................... 27 11. Kontribusi agregat gas rumah kaca utama ................................................... 28 12. Tipe fungsi permintaan .............................................................................. 30 13. Inelastis suplai ............................................................................................. 31 14. Inelastis permintaan ..................................................................................... 31 15. Struktur model DICE………….................................................................... 35 16. DICE discounting dan utilitas ...................................................................... 36 17. DICE akumulasi kapital dan depresiasi ....................................................... 37 18. Variabel eksogen model DICE ..................................................................... 38 19. Siklus karbon model DICE . ......................................................................... 39 20. Sistem iklim model DICE 40 ......................................................................... 21. Pengaruh discounting untuk beberapa nilai pure time preference ................. 43 22. Perubahan suhu pada tahun 2100 untuk perbedaan tingkat stabilitas............ 43 23. Biaya untuk stabilisasi konsentrasi emisi gas CO2 ........................................ 45 24. Hubungan investasi, suku bunga dan output ................................................. 45 25. Present value aliran dana $1 untuk periode 100 tahun ................................. 46 26. Diagram sektor bonderi dari model FREE ................................................... 49 27. Proses umpan balik antar sektor dari model FREE .................................... 50 28. Tingkat pencemaran yang efisien ................................................................ 53 29. Dampak pajak emisi terhadap MAC dan emisi yang dikeluarkan ............. 53 30. Penawaran dan permintaan TDP ................................................................ 54 31. Pajak emisi optimal .................................................................................... 56 32. Kurva MAC terhadap jumlah emisi ............................................................. 57 33. Perubahan kurva MAC ................................................................................ 57 34. Kerangka pelaksanaan penelitian ................................................................. 59 35. Tahapan dalam melakukan pemodelan ........................................................ 60 36. Tren total emisi gas CO2 Indonesia menurut sektor .................................... 62 37. Persentase pertumbuhan emisi gas CO2 Indonesia ...................................... 62 38. Emisi gas CO2 menurut sektor 63 39. Tren emisi gas CO2 menurut tipe dari BBF ............................................... 63 40. Presentase pertumbuhan emisi CO2 sektor listrik ........................................ 64 41. Emisi gas CO2 Indonesia dari sumber BBF ….......................................... 64 42. Tren GDP/penduduk Indonesia ……............................................................ 65 43. Tren intensitas emisi & CO2 per kapita Indonesia …................................... 66 …................................................................ 44. Tren intensitas emisi CO2 Indonesia ..…..................................................... 66 45. Tren intensitas konsumsi energi Indonesia ................................................. 66 46. Elastisitas konsumsi energi terhadap GDP .................................................. 67 47. Hubungan antar sektor dari model ............................................................... 69 48. Bonderi sistem energi .................................................................................. 70 49. Sistem referensi energi ................................................................................. 71 50. Hubungan investasi dan interest rate . …..................................................... 77 51. Intensitas emisi Indonesia …....................................................................... 78 52. Tren fuel mix Indonesia 1990 -2020 …........................................................ 91 53. Tren intensitas energi Indonesia 1990 -2020 ............................................ 93 54. Presentase perubahan konsumsi energi menurut sektor............................... 94 55. Elastisitas konsumsi energi terhadap GDP ............................................. 95 56. Tren konsentrasi emisi gas CO2 di atmosfir dan emisi antropogenik .......... 97 57. Proyeksi suhu rata-rata dan skenario setelah tahun 1990 ............................ 98 58. Prakiraan kenaikan suhu seratus tahun yang akan datang ........................... 98 59. Pridiksi kenaikan permukaan laut (dalam meter ) dalam seratus tahun yang akan datang .............................................................................. 99 60. GDP/kapita Indonesia dan proyeksi dalam kondisi BAU .......................... 100 61. Pertumbuhan GDP dan populasi Indonesia dengan beberapa asumsi terhadap baseline ........................................................................................ 100 62. Pertumbuhan emisi gas CO2 Indonesia dan GDP/kapita .......................... 100 63. Pajak karbon Indonesia untuk periode 1990 – 2019 ................................ 105 64. Tren GDP Indonesia dengan adanya pajak emisi gas CO2 periode 1990-2019....................................................................................... 105 65. Presentase perubahan pendapatan per kapita dan GDP untuk ”Base Scenario” dan ”Optimal Scenario” .............................................................................. 105 66. Tren konsumsi dan pendapatan per kapita periode 1990 -2019 ”Optimal Scenario” terhadap ”Base Scenario” .......................................... 106 67. Presentase abcost terhadap GDP untuk beberapa skenario (R3%)............. 107 68. Presentase abcost terhadap GDP untuk beberapa skenario ........................ 107 69. Pendapatan per kapita untuk beberapa skenario setelah adanya pajak emisi gas CO2.................................................................................... 108 GDP Indonesia untuk beberapa skenario setelah adanya pajak emisi gas CO2 ...................................................................................................... 109 71. Besar pajak karbon/ton untuk beberapa skenario periode 1990 -2019 ...... 109 72. Kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi jika Indonesia melakukan beberapa skenario dengan R3% ............................................................... 110 Kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi jika Indonesia melakukan beberapa skenario dengan R2% ................................................................. 110 74. Pendapatan per kapita untuk beberapa skenario periode 1990 -2019 ........ 111 75. Tren pendapatan per kapita Indonesia untuk periode 1990 -2019 ............. 112 76. Besar kenaikan harga BBM per liter dengan adanya pajak emisi gas CO2 untuk periode 1990 -2019 ........................................................... 113 Besarnya kenaikan harga batubara per ton dengan adanya pajak emisi gas CO2 untuk periode 1990 -2019 .................................................. 114 78. Perubahan GDP akibat perubahan nilai R ................................................. 115 79. Perubahan pendapatan per kapita akibat perbedaan nilai R ...................... 115 80. Pajak karbon optimal dengan nilai R2% - 6% ......................................... 115 81. Kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi jika Indonesia melakukan pilihan pada skenario optimal R2%-R6% .............................................................. 116 82. Nilai MIU dalam kondisi optimal dengan R2% -6% ................................. 116 83. Pajak karbon untuk beberapa skenario terhadap ”Base Case”.................... 117 70. 73. 77. 84. Pendapatan per kapita untuk beberapa skenario terhadap ”Base Case”...... 117 85. Level pengendalian emisi untuk nilai R5% dan R6% ................................ 118 86. Besarnya kenaikan harga BBM per liter dalam kondisi optimal ................ 118 87. Besarnya kenaikan harga batubara per ton dalam kondisi optimal ............ 119 88. Estimasi penerimaan dari pajak emisi gas CO2 dalam kondisi optimal- R5% periode 1990 -2019 .............................................................. 119 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Program GAMS dari model ......................................................................... 136 2. GAMS output untuk skenario optimal........................................................... 142 3. Hasil simulasi model -GAMS output untuk R=3% ……............................. 153 4. Hasil simulasi sensitivitas model GAMS output …...................................... 154 5. “Reduction Scenario” dan “Base Case”......................................................... 156 6. Pajak karbon dan emisi gas CO2 untuk BBM dan batubara ......................... 157 7. Skenario untuk rate of time preference R5% ................................................ 158 8. Pajak karbon dan emisi gas CO2 untuk BBM dan batubara-R5%................. 159 9. Estimasi penerimaan pajak emisi gas CO2 dari BBM dan batubara untuk periode 1990 -2019 .......................................................................... 160 10. Hasil perhitungan elastisitas…….................................................................. 161 11. Jumlah penduduk dan proyeksi..................................................................... 165 12. Produk domestik bruto dan proyeksi ........................................................... 166 13. Konsumsi BBF menurut sektor ……............................................................ 167 14. Konsumsi energi menurut tipe…................................................................... 168 15. Jumlah emisi CO2 menurut tipe ……............................................................ 169 16. Emisi gas CO2 menurut sektor …................................................................. 170 17. Perhitungan emisi gas CO2 menurut sektor .................................................. 171 18. Perhitungan emisi gas CO2 menurut tipe........................................................ 172 19. Emisi gas CO2 sektor residen ......................................................................... 173 20. Emisi gas CO2 sektor listrik .......................................................................... 174 21. Intensitas energi dan intensitas emisi …...................................................... 175 22. Intensitas energi dan fuel mix ….................................................................. 176 23. Persentase perubahan konsumsi energi menurut sektor ............................... 177 24. Data perhitungan elastisitas ......................................................................... 178 25. Emisi karbon dioksida dunia menurut region periode 1990-2030............... 179 26. Intensitas emisi menurut region 1990 – 2030 ............................................... 180 27. Indikator intensitas dan tren 2002.................................................................. 181 28. Elastisitas konsumsi energi terhadap GDP..................................................... 182 29. Ekonomi makro Indonesia ............................................................................ 183 30. Gross fixed capital formation in Indonesia ................................................... 184 31. Parameter for three general circulation model(GCM) ….............................. 185 32. Rasio GDP/CO2 untuk negara-negara didunia................................................ 187 33. Data intensitas karbon 1980 dan 1996 …....................................................... 188 34. GDP, konsumsi energi dan emisi karbon ....................................................... 189 35. Batas emisi negara annex I dan annex B -1990 ............................................. 190 36. Tren emisi gas rumah kaca global 1970-2005................................................. 192 37. Tren suhu rata-rata permukaan global …….................................................... 193 38. Data global radiative forcing dan GHG Index ................................................ 194 39. Perubahan radiative forcing 1765-1990........................................................... 195 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Antara tahun 1980 dan 2004 pertumbuhan penduduk Indonesia meningkat sebesar 47,6%, dari 147 juta jiwa menjadi 215 juta jiwa dan laju pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar 1,9 %. Dengan jumlah penduduk tersebut, maka Indonesia merupakan negara dengan penduduk terbesar keempat terbesar didunia setelah Cina, India dan Amerika Serikat. Meningkatnya jumlah penduduk akan mengakibatkan bertambahnya permintaan sektor konsumsi rumah tangga dan meningkatnya produksi domestik. Sektor produksi memerlukan energi ( fossil fuel ) seperti bensin, solar, fuel oil, diesel oil, natural gas dan batubara sebagai faktor produksi untuk menghasilkan barang-barang produksi tersebut. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Petroleum Report Indonesia 2003, konsumsi bahan bakar domestik untuk produk olahan (Refinery Products) meningkat sebesar 1,9% dari total konsumsi 54.824 juta liter tahun 2000 menjadi 55.891 juta liter pada tahun 2001 dan kenaikan sebesar 3,4 % dari tahun 2001 ke 2002 yaitu sebesar 57.797 juta liter. Selama dua tahun terjadi peningkatan konsumsi sebesar 5,4 %, yaitu sebesar 54.824 juta liter pada tahun 2000 menjadi 57.797 juta liter pada tahun 2002. Data dari PEUI menunjukkan konsumsi energi naik sebesar 7,06% dari 618 juta boe pada tahun 1999 menjadi 666 juta boe pada tahun 2000, naik sebesar 5,33% yaitu sebesar 713 juta boe pada tahun 2001 dan sebesar 4,94% pada tahun 2002 yaitu sebesar 751 juta boe. Konsumsi bahan bakar fosil (petroleum fuel) naik sebesar 13,5% yaitu dari 307 juta boe pada tahun 2000 menjadi 348,52 juta boe pada tahun 2003 ( 307 juta boe tahun 2000, 334,06 pada tahun 2001, 338,64 pada tahun 2002 dan 348,52 pada tahun 2003). Berdasarkan sektor, maka pada tahun 2000 sektor transportasi mengkonsumsi sebesar 48,8%, industri sebesar 27,3%, rumah tangga sebesar 16,3% dan sisanya 7,6% oleh sektor komersial. Pada tahun 2003 porsi tersebut meningkat menjadi 46,7% transportasi, 30,07% industri, 15,6% rumah tangga dan 7,4% sektor komersial. Kenaikan konsumsi sektor transportasi tersebut salah satunya adalah karena terjadi kenaikan jumlah kendaraan bermotor. Menurut data DITLANTAS POLRI 2 tahun 2005 terdapat 41.341.808 kendaraan bermotor pada tahun 2004 di Indonesia, terjadi kenaikan sebesar 121% dibandingkan dengan tahun 2000 yaitu sebesar 18.695.844. Mobil niaga naik sebesar 146% yaitu dari 1.707.634 unit tahun 2000 menjadi 4.202.545 tahun 2004, mobil penumpang dan sepeda motor menagalami kenaikan cukup signifikan yaitu sebesar 119% atau 3.038.913 unit pada tahun 2000 menjadi 6.676.815 tahun 2004 dan sepeda motor mengalami kanaikan sebesar 109% yaitu dari 13.563.017 unit tahun 2000 menjadi 28.469.819 tahun 2004. Meningkatnya konsumsi akan berdampak pada peningkatan emisi gas diantaranya adalah emisi gas CO2 (karbon dioksida). Sekitar 75% dampak lingkungan berasal dari gas buangan hasil pembakaran bahan bakar fosil dan prosentase komponen pencemar udara yang keluar dari hasil pembakaran tersebut tergantung dari sumber bahan bakarnya ( Arya Wardhana,W.,1995 ). Pada tahun 2001 Indonesia berada pada peringkat 21 didalam polusi CO2 yaitu sebesar 74 juta metrik ton dan 59% dari emisi tersebut dihasilkan dari bahan bakar berbasis karbon cair, 19 % dari bahan bakar padat dan 15% dari bahan bakar gas. 1) Berdasarkan laporan dari World Resources Institutes (2005), Indonesia merupakan negara ke 15 terbesar dalam mengeluarkan gas emisi rumah kaca dengan jumlah 503 MtCO2 equivalent atau sebesar 1,5% dari jumlah total gas rumah kaca dunia. 2) Jumlah kenaikan polusi CO2 secara total dapat dilihat pada gambar 1. 1) Gregg Marland, et al, dari Oak Ridge National laboratory, University of North Dakota dalam laporannya, membuat rangking setiap negara kedalam 212 rangking. Indonesia termasuk kedalam rangking ke 21 didalam menghasilkan emisi CO2. Sepuluh Negara penghasil emisi CO2 adalah Amerika Serikat, Cina, Rusia, Jepang, India, Jerman, Inggris, Kanada, Itali dan Korea. Sumber dapat dilihat pada Website: http://cdiac.esd.ornl.gov/trends/emis/top2000.tot, tanggal 11/8/2004 2) Kavin A.Baumert,et.al dalam Navigating the Numbers, Greenhouse Gas Data and International Climate Policy dari World Resources Institute tahun 2005, halaman-2 membuat rangking 25 negara penghasil gas rumah kaca terbesar mulai dari negara Amerika Serikat pada rangking I dengan jumlah gas rumah kaca yang dikeluarkan sebesar 6.928 MtCO2 atau 20.6 % dari total gas rumah kaca dunia dan terkecil adalah Pakistan dengan jumlah 285 MtCO2 atau sebesar 0,8% dari dunia. 3 Gambar 1. Peningkatan emisi gas CO2 berdasarkan asal sumber fosil Sumber : Gregg Marland, http://cdiac.esd.ornl.gov/trends/emis/ido.htm . Tanggal : 28/1/2005 Pada gambar 2 dapat dilihat bahwa peningkatan jumlah energi listrik setiap tahunnya masih dinominasi oleh bahan bakar batubara, minyak dan gas. Gambar 2. Peningkatan jumlah energi listrik berdasarkan bahan bakar Gambar 3 menunjukkan bahwa perkembangan konsumsi produk minyak Indonesia dari tahun 1971 sampai 2003 masih didominasi oleh hasil minyak olahan ( Middle Distillates) dan peningkatan bahan bakar bensin meningkat cukup signifikan. 4 Gambar 3. Peningkatan konsumsi minyak Indonesia Dari semua sumber emisi gas rumah kaca seperti CO2, metan (CH4), CFC12, dan nitrous oxide (N2O), maka CO2 adalah gas rumah kaca terbesar yang dilepaskan ke atmosfir ( sekitar 50% ). Dari jumlah sebesar 50% tersebut maka lebih kurang 73% berasal dari pembakaran fosil Negara berkembang termasuk Indonesia yang masuk dalam kelompok G77+Cina tidak memiliki kewajiban menurunkan emisi seperti yang telah ditetapkan untuk negara maju yang diuraikan dalam Bab 4, pasal 10 Protokol Kyoto, tetapi hanya mengatur kewajiban negara berkembang untuk melaporkan emisinya melalui kegiatan inventarisasi dengan metode yang telah ditentukan. Untuk mengantisipasi perubahan iklim, Indonesia dapat berpartisipasi melalui CDM ( Clean Development Mechanism ). Menurut laporan National Strategy Study (NSS) on Clean Development Mechanism yang dikeluarkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup (2001) permintaan pasar karbon global adalah sekitar 800 juta ton CO2 per tahun dan 125 juta diantaranya dapat dilakukan melalui CDM. Peluang Indonesia dalam pasar karbon global hanya 2% atau sekitar 25 juta tCO2/tahun (Daniel Mudiyarso, Mei 2003 ). Kebijakan pemerintah memberikan subsidi harga bahan bakar kepada konsumen merupakan salah faktor yang mendorong konsumen untuk mengkonsumsi bahan bakar tanpa diikuti dengan kesadaran akan konservasi energi 5 ( penghematan ). Pada saat ini kebijakan subsidi tersebut membuahkan banyak permasalahan dan akan memperparah konstelasi energi kita dimasa depan. Salah satu persoalan itu adalah menghambat program konservasi dan diversifikasi energi. Studi dari UNEP ( Energy Subsidies: “Lesson Learned in Assessing their Impact and Designing Policy Reforms” ) menunjukkan bahwa pada dua dekade terakhir subsidi energi di Negara OECD telah dikurangi untuk menghilangkan intervensi pemerintah dalam pasar energi ( termasuk memangkas bantuan atau grant dan pembayaran terhadap konsumen dan produsen secara tidak langsung). Subsidi yang diberikan kepada produsen dan konsumen dari bahan bakar fosil dengan cara menurunkan harga dan diganti dengan pajak, sehingga net-subsidi yang diberikan secara umum menjadi sangat kecil bahkan negatif. Mengurangi subsidi akan berdampak mengurangi emisi gas yang membahayakan lingkungan. Emisi gas hasil pembakaran bahan bakar fosil akan menimbulkan masalah eksternalitas negatif, dan untuk mengatasinya dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa instrumen kebijakan yaitu Kebijakan regulasi yang umumnya disebut ”Command and Control” (CAC), kebijakan dengan menggunakan Instrumen Ekonomi (Economic Instrumen) disingkat ”EI” dan dengan Suasive Instrument ( SI ) atau dapat juga dengan menggunakan kombinasi antara instrumen-instrumen tersebut. Setiap instrumen kebijakan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan, hal ini tergantung dari permasalahan yang ada, tetapi pada umumnya instrumen tersebut mengatur masalah penggunaan yang berlebihan (overuse) dari sumberdaya alam atau emisi dari polutan yang merusak. 4) Menurut Fullerton,Don (2004) untuk kasus tertentu kebijakan CAC dapat digunakan dalam bentuk (a) batasan emisi yang sering yang disebut dengan ”performance standard” atau (b) batasan teknologi yang sering disebut dengan ”design standard”. Kebijakan CAC dapat diganti dengan menggunakan kebijakan EI dengan cara menggunakan sistem insentif yang berupa pajak, subsidi atau 4) ) Menurut UNEP, The Use of Economic Instruments , in Environmental Policy : Opportunities and Challenges ,2004 Pilihan kebijakan untuk mengatasi masalah Lingkungan di Negara berkembang dapat dikelompokkan kedalam dua katagori : Command and Control (CAC) dan Market Based Economic Instruments (EIs). David Connor,1996 dalam Special papers,OECD “ Applying Economic Instruments in Developing Countries : From Theory to Implementation, membagi kedalam tiga kelompok yaitu CAC, EI dan SI. 12 permit. Seperti yang disarankan oleh Arthur Cecil Pigou (1932), masalah polusi dapat diatasi dengan (a) pajak polusi atau (b) subsidi untuk abatemen. Kebijakan ”Command and Control” dalam banyak hal tidak efektif untuk melindungi masalah lingkungan karena lemahnya dan terbatasnya pengawasan, denda yang terlalu kecil dan pegawai yang korup . Pengalaman dari negara OECD ( Organization for Economic Co-operation and Development) menunjukkan bahwa keberhasilan penerapan CAC pada negara – negara OECD dikarenakan adanya pengawasan dan monitoring yang ketat, namun demikian pada saat ini negaranegara OECD mulai menggunakan kebijakan instrument yang berbasis pasar ( Market-Based Instrument-MBI). Bentuk instrument ekonomi yang paling banyak dipakai adalah pajak lingkungan dan pajak emisi. Berdasarkan studi mengenai aplikasi pajak lingkungan pada Negara Eropa ( EU ) ada empat alasan utama mengapa pajak lingkungan diperlukan 5) yaitu : (1) karena merupakan instrument yang efektif untuk menginternalkan eksternalitas (2) memberikan insentif untuk merubah pola tingkah laku konsumen (3) meningkatnkan pendapatan dan (4) sebagai alat yang efektif untuk menangani sumber polusi yang tersebar. Jadi pada dasarnya ada dua tujuan yang hendak dicapai melalui mekanisme pajak lingkungan, pertama adalah untuk meningkatkan pendapatan dan kedua adalah mengkoreksi eksternalitas ( Williem K.Jaeger, 2003 ). Melalui mekanisme pajak maka pihak pencemar akan diberikan pilihan, apakah akan dikenakan denda sebagai akibat dari polusi yang ditimbulkannya atau mengeluarkan biaya investasi ( abatement cost ) untuk mengurangi polusi seperti yang disyaratkan. Pilihanpilihan ini tidak terdapat dalam kebijakan CAC 6) 5) Laporan disiapkan oleh Mette Nedergaard untuk Sustainable Energy & Climate Change Partnership . The application of Economic Instruments in Energy and Climate Change Policies. Denmark 6) Economic Instruments for Environmental Protection and Conservation : Lessons for Canada. Negara-negara Eropa menggunakan instrument ekonomi untuk masalah polusi air, polusi udara, perubahan cuaca, kontaminasi tanah, manajemen limbah, manajemen sumberdaya alam, suara. Negara Eropa juga telah berhasil dalam menggunakan kebijakan fiskal untuk mempromosikan masalah lingkungan. Sedangkan Amerika Serikat kurang sistimatis dibandingkan Eropa dalam menggunakan Instrumen Ekonomi. EI di Amerika ditujukan untuk konservasi, issu perlindungan lingkungan atau manajemen sumberdaya alam dari pada digunakan sebagai strategi yang menyeluruh yang menekankan pada tax –shifting dan mengkoreksi kegagalan pasar, tetapi Amerika masih lebih maju dari Kanada (sumber: http://www.smartregulation.gc.ca/en/06/01/su-11c.asp) 7 1.2 Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk melihat peranan pajak emisi terhadap emisi CO2 yang berasal dari bahan bakar fosil dalam mengurangi dampak lingkungan. Secara spesifik tujuan penelitian adalah : 1. Menentukan besarnya pajak emisi yang optimal 2. Menetapkan dampak pajak emisi gas CO2, terhadap pendapatan nasional dan tingkat kesejahteraan masyarakat 3. Menentukan total biaya yang timbul dalam usaha untuk mengurangi dampak emisi gas CO2 4. 1.3 Menentukan pendapatan dari pajak emisi Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 4 Output Nasional Perubahan Iklim Konsumsi Energi (BBF) Perubahan Iklim Minyak, Batubara dan Gas Industri Komersial Rumah tangga Transportasi Emisi gas CO2 Kebijakan pajak emisi dengan menggunakan instrument ekonomi Dampak Kebijakan Terhadap biaya total untuk mengurangi emisi gas CO2, Inovasi teknologi dan energi terbarukan Terhadap pendapatan masyarakat Gambar 4. Kerangka pemikiran Jumlah pendapatan dari pajak emisi 12 1.4 Perumusan Masalah Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi secara eksplisit tidak mengatur bagaimana kebijakan penggunaan energi, promosi energi terbarukan dan efisiensi energi secara konkrit. Undang-Undang No 18 Tahun 1997 mengenai tentang pajak daerah dan distribusi daerah mengatur mengenai besarnya pajak terhadap bahan bakar sebesar 5% tetapi pendapatan pajak bukan dimaksudkan untuk tujuan efisiensi energi dan lingkungan, melainkan untuk tujuan pendapatan negara. Peraturan Presiden yang dikeluarkan tentang harga jual eceran bahan bakar minyak dalam negeri secara umum hanya mengatur mekanisme subsisi dan harga jual berdasarkan harga jual tertinggi dan terendah. Instruksi Presiden No 10 Tahun 2005 mengenai penghematan energi masih perlu ditindak lanjuti dengan peraturan ataupun undang-undang dalam rangka konservasi energi secara nasional. Jadi masalah pungutan pajak, subsidi, kebijakan harga, insentif ekonomi untuk tujuan efisiensi energi dan mengurangi masalah emisi untuk mengurangi dampak lingkungan masih belum diatur secara komprehensif dalam suatu undang-undang. Polusi yang disebabkan oleh emisi gas akibat pembakaran bahan bakar fosil sangat terkait dengan kebijakan energi nasional. Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup yang ada saat ini masih menggunakan pendekatan instrumen regulasi didalam mengatur masalah pengelolaan dan pengawasan lingkungan. Peraturan menteri yang berhubungan dengan masalah pencemaran udara yang ada saat ini yaitu Keputusan Menteri No 129-2003 tentang ”Baku Mutu Emisi Dan Atau Kegiatan Minyak Dan gas Bumi” untuk sumber yang tidak bergerak, PERMEN No 141-2003 tentang ” Ambang Batas Emsisi Gas Buang Kendaraan Tipe Baru dan Yang Sedang Diproduksi”, Peraturan Pemerintah No.41 Tahun1999 tentang ”Pengendalian Pencemaran Udara” semuanya masih menggunakan pendekatan kebijakan regulasi yaitu menggunakan pendekatan standar emisi. Suatu hal yang perlu dipertimbangkan bahwa standar emisi dapat dibuat berdasarkan pendekatan teknologi ( technology – based ) yaitu mensyaratkan teknologi khusus yang harus digunakan oleh pencemar, dan dapat juga berupa 9 pendekatan kinerja ( performance- based ) yaitu mensyaratkan batasan polusi yang harus dipenuhi oleh semua pencemar. technology – based Keuntungan dari menggunakan adalah pihak pemerintah dapat memberikan kesempatan kepada pencemar untuk menggunakan teknologi terbaik yang tersedia dalam mengurangi polusi, contohnya pencemar/industri boleh menggunakan tipe tertentu dari ketel–uap/boiler, mensyaratkan industri kendaraan untuk menggunakan tipe tertentu dari alat pengendali polusi dan perusahaan minyak untuk menawarkan energi alternatif. Kerugiannya adalah pemerintah tidak mendorong pihak industri/pencemar untuk mengurangi polusi karena tidak adanya insentip yang diberikan, selain itu juga tidak menciptakan insentip bagi lembaga penelitian dan pengembangan untuk mendorong teknologi bersih. Dengan pendekatan kinerja ( performance-based ), pemerintah dapat menerapkan standar yang berbeda untuk setiap industri atau pencemar, sesuai dengan umur dari peralatan, artinya akan sulit pemain baru untuk masuk kedalam industri tersebut. Dalam kasus kendaraan akan ada kesulitan pemain baru atau tipe baru dari kendaraan yang akan masuk kedalam pasar. Pemilik kendaraan diharuskan oleh peraturan untuk melakukan pengecekan kendaraannya setiap periode tertentu. Secara umum pendekatan kinerja masih lebih efektip dibandingkan dengan pendekatan teknologi, karena pencemar dapat memilih metoda yang sesuai dengan keinginannya dalam mengurangi polusi sesuai dengan biaya yang paling kecil. Pendekatan regulasi ( command and control ) mengharuskan pencemar mengikuti standar emisi yang telah dibuat, hal ini akan membuat pemborosan sumber daya yang ada karena pencemar dengan biaya yang besar dalam mengurangi polusi dipaksa untuk mengurangi polusinya sama besarnya dengan pencemar dengan biaya yang kecil. Dalam menetapkan standar emisi pemerintah juga dituntut bekerja dengan informasi yang tidak sempurna untuk menentukan biaya dan benefit dari suatu usaha dalam mengurangi polusi tersebut. Hal ini dapat mengakibatkan biaya untuk menetapkan suatu standar bisa jadi lebih besar dari benefit yang diterima. Hal lain yang menjadi kendala adalah terhadap sumber polusi yang bergerak (kendaraan). Walaupun program inspeksi dan pemeliharaan dilakukan secara berkala sesuai dengan jadwal pemeriksaan emisi, 12 tetapi sebaiknya tidak dilakukan berdasarkan output, melainkan berdasarkan input seperti teknologi kendaraan dan sifat bahan bakar yang dipakai. Menurut publikasi dari UNEP(2004) bahwa studi empiris di Amerika menunjukkan bahwa terjadi efisiensi yang sangat signifikan dengan menggunakan EI dari pada CAC. Tietenberg menyarankan menggunakan EI untuk mengendalikan polusi udara karena biaya menggunakan CAC adalah 22 kali lebih mahal dari pada menggunakan EI. Untuk sebelas aplikasi yang diamati maka menggunakan CAC rata-rata 6 kali lebih mahal dari menggunakan EI. Penelitian yang dilakukan oleh OECD pada tahun 1992 menunjukkan terjadi peningkatan menggunakan EI berupa pajak dan charge untuk bermacam-macam barang dan polutan. Keberhasilan dari negara -negara yang menggunakan kebijakan EI karena beberapa faktor yaitu (1) sifatnya yang fleksibel, (2) mengajak industri melakukan inovasi dalam menggunakan teknologi untuk mengurangi polusi, (3) menggunakan kesadaran sendiri dengan cara menyamakan kepentingan publik dan kepentingan pribadi, (4) meningkatkan transparansi, (5) mengalokasikan sumberdaya alam kepada pihak yang memberikan nilai untuk sumber daya alam tersebut. Gambar 5 menunjukkan beberapa kebijakan yang dapat dilakukan, dimulai dengan tidak adanya kebijakan dalam mengendalikan polusi, dengan standar emisi atau teknologi dan dengan kebijakan instrumen ekonomi. Pada gambar 5 dapat dilihat bahwa, saat ini Indonesia hanya memiliki kebijakan CAC yang berupa standar emisi dan standar teknologi. Dengan menggunakan instrumen pajak maka kebijakan pengawasan yang baru akan berubah dengan menggunakan pajak input, output atau pajak emisi. Pajak dapat menjadi sub-optimal ataupun optimal. Pajak Sub-optimal disebabkan karena sulit bahkan mustahil untuk menilai kerusakan lingkungan untuk masa yang akan datang yang disebabkan oleh polutan, sedangkan pajak optimal berarti kerusakan dapat diperkirakan dan polusi dapat dikendalikan ( lingkungan menerima cukup bantuan untuk diadakan perbaikan).7) 7) Gambar diadopsi dari paper yang ditulis oleh Dr Vinish Kathuria mengenai Eco-taxes yang diambil dari website : http://coe.mse.ac.in/cbecotex.asp dicetak tanggal 21 Maret 2005 11 Belum ada kontrol melalui EI Standar Teknologi Sub-optimal Taxation Pajak Input Kebijakan Sekarang Standar Emisi Optimal Taxation Pajak Output Kebijakan Baru Gambar 5. Opsi kebijakan pajak lingkungan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka perlu diadakan suatu penelitian terhadap peran pajak emisi gas CO2 yang berasal dari bahan bakar fosil dalam perspektif Indonesia agar (a) biaya eksternalitas dapat diinternalkan dengan cara memasukkannya kedalam harga barang/pelayanan yang dihasilkan dari suatu kegiatan ekonomi (b) menciptakan insentif bagi produser dan konsumer karena tindakannya yang merusak lingkungan (c) membuat biaya menjadi efektif dengan cara memberikan pilihan terhadap pencemar yaitu dengan cara membayar pajak, mengurangi produksi atau menggunakan teknologi pencegah polusi (d) menciptakan inovasi-inovasi baru dalam teknologi untuk menggunakan energi substitusi atau energi terbarukan dan (e) meningkatkan pendapatan yang dapat digunakan kembali untuk memperbaiki kerusakan lingkungan. 1.5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi : 1. Pembuat kebijakan dalam mempertimbangkan menggunakan instrumen ekonomi khususnya pajak emisi yang disebabkan oleh penggunaan bahan bakar fosil. 12 2. Pembuat kebijakan untuk menentukan besarnya pajak emisi yang optimal yang akan dikenakan kepada pencemar 3. Pembuat kebijakan untuk menentukan kebijakan berupa insentip ekonomi kepada pihak industri atau produsen yang mengembangkan dan menggunakan teknologi bersih untuk mengurangi dampak emisi. 4. Untuk melihat besarnya tingkat pendapatan pemerintah dari sektor pajak emisi yang dapat dikembalikan kepada masyarakat sebagai bentuk eksternalitas yang diterima dan besarnya insentif yang dapat dialokasikan kepada pihak yang ikut berkontribusi dalam teknologi bersih. 5. Pemerintah dalam mengurangi emisi gas rumah kaca khususnya CO2 melalui efisiensi penggunaan bahan bakar fosil. 6. Ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang ilmu ekonomi lingkungan. 1.6 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan terhadap gas emisi CO2 yang dihasilkan oleh bahan bakar fosil seperti premium (gasoline), minyak solar ( Diesel Oil), minyak diesel industri (Industrial Diesel Oil ), minyak tanah ( Kerosene), minyak bakar (Fuel Oil ) dan batubara ( Coal ). Emisi gas CO2 yang ditimbulkan oleh bahan bakar berbasis karbon akan dianalisis dengan menggunakan model DICE yang dimodifikasi, dimana variabel endogen dan eksogen dalam model akan disesuaikan dalam perspektif Indonesia. Penelitian ini masih belum bersifat operasional karena masih diperlukan tambahan berupa petunjuk dan pelaksanaan secara lebih rinci agar kebijakan dapat diimplementasi. 1.7 Novelty Penelitian Hal yang baru dalam penelitian ini adalah : 1. Penelitian dampak emisi gas CO2 dengan menggunakan pendekatan model DICE ( Dynamic Integrated Climate Change and Economic ) dalam perspektif Indonesia belum pernah dilakukan 2. Penggunaan model DICE yang telah dilakukan adalah untuk menganalisa dampak pajak karbon dalam kontek Global dan Regional, sedangkan 13 dalam penelitian ini model DICE akan disesuaikan untuk kebutuhan nasional didalam menentukan besarnya pajak emisi CO2 yang optimal. 3. Belum ada penelitian dalam mengurangi dampak emisi gas CO2 dengan menggunakan instrumen ekonomi, khususnya instrumen pajak dalam persfektif Indonesia. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Eksternalitas dan Pajak Lingkungan Masalah lingkungan sangat beragam, tetapi pada umumnya disebabkan karena penggunaan yang berlebihan (overuse) dari sumber daya alam atau karena adanya emisi dari polutan yang membahayakan. Tujuan kebijakan lingkungan adalah untuk memodifikasi, memperlambat ataupun menghentikan ekstraksi dari sumberdaya alam tersebut termasuk mengurangi atau mengelimasi emisi, mengubah pola konsumsi dan produksi kearah yang berkelanjutan. Hal ini perlu dilakukan karena adanya eksternalitas yang ditimbulkan dari penggunaan sumberdaya alam tersebut. Externalitas dapat positip atau disebut ”external economies” dapat juga berupa eksternalitas negatip atau disebut ”external diseconomies”. Eksternalitas lingkungan pada umumnya adalah negatif ( detrimental externalities) yaitu dimana suatu kegiatan yang dilakukan akan mengakibatkan kerugian biaya kepada pihak lain, sedangkan biaya kerusakan itu sendiri tidak dibayar oleh pencemar. Groosman,Britt (1999) menyatakan bahwa eksternalitas terjadi apabila produksi dan konsumsi dari suatu produk langsung mempengaruhi bisnis ataupun konsumen yang tidak ikut didalam proses pembelian dan penjualan tersebut . Selain itu juga karena pengaruh limpahan (spillover) yang tidak ter-refleksikan didalam harga pasar. Hartwick dan Olewiler dalam Fauzi,Akhmad (2004) menggunakan terminologi lain dalam menggambarkan eksternalitas. Keduanya membedakan antara eksternalitas privat dan eksternalitas publik. Eksternalitas privat hanya melibatkan beberapa individu dan tidak menimbulkan limpahan (spillover) kepada pihak lain, sementara eksternalitas publik terjadi manakala barang publik dikonsumsi tanpa pembayaran yang tepat. Eksternalitas yang telah disebutkan diatas adalah merupakan konsep eksternalitas statis, karena tidak ada keterlibatan variabel waktu didalamnya. Masalah eksternalitas tersebut oleh pemerintah dapat diatasi melalui instrumen kebijakan dalam bentuk peraturan atau disebut regulasi (command and control ) atau dapat juga diatasi melalui kebijakan yang berorientasi pasar yaitu dalam bentuk instrumen ekonomi ( economic instruments ). 15 Adanya fenomena pemanasan global dan kerusakan lingkungan yang disertai kelangkaan sumberdaya alam pada saat ini memerlukan perhatian dimana kita perlu melihat kembali kebijakan yang berorientase ekonomi (fiskal atau pajak) tersebut agar biaya lingkungan yang disebabkan oleh eksternalitas negatif dapat dimasukkan kedalam sistem ekonomi, kemudian meyakinkan kebijakan yang dibuat bergerak kearah pengendalian dan perlindungan yang kita kehendaki. Dan yang tidak kalah penting adalah mengurangi ketergantungan terhadap sumberdaya yang tak terbaharui. Fauzi,Akhmad ( 2004) dari persepektif ekonomi, menjelaskan bahwa pencemaran bukan saja dilihat dari hilangnya nilai ekonomis sumberdaya akibat berkurangnya kemampuan sumberdaya secara kualitas dan kuantitas untuk menyuplai barang dan jasa, namun juga dari dampak pencemaran tersebut terhadap kesejahteraan masyarakat. Pencemaran akan tetap ada sebagai hasil dari aktivitas ekonomi, tetapi jalan terbaik adalah mengendalikan pencemaran tersebut ketingkat yang paling efisien.8) Pajak lingkungan khususnya pajak emisi sebagai salah satu dari instrument ekonomi dapat memainkan peran penting untuk mengurangi kerusakan lingkungan tersebut. Menurut Japan Centre for a Sustainable and Society (JACSES) pajak lingkungan adalah : Perjanjian umum yang dibuat berdasarkan tujuan dan fungsi sebagai berikut : sebagai suatu insentif untuk mengurangi beban lingkungan dan menjaga lingkungan itu sendiri. Dengan mentranslasikan biaya kerusakan lingkungan atau kelangkaan sumber daya alam kedalam biaya yang sesuai. Pajak lingkungan membantu untuk melakukan tekanan ekonomi kepada pihak-pihak yang merusak lingkungan dan dengan cara yang sama dapat mengurangi beban ekonomi kepada pihak-pihak yang ikut berkontribusi dalam menjaga lingkungan. 8) Hoeller,Peter dan Wallin,Markku(1991), The International Panel on Climate Change (IPCC) dalam laporannya menyatakan bahwa proyeksi business-as–usual (BAU) dapat menaikkan suhu pemanasan global pada kisar o o 0,2 sampai 0,5 C per dekade pada seratus tahun yang akan datang dan untuk memperlambat laju pemanasan o sampai 0,1 C per dekade perlu mengurangi separoh dari level emisi pada saat ini. 16 Sebagai alat untuk menjaga lingkungan melalui pendapatan pajak. Pendapatan pajak tersebut dapat digunakan kembali untuk mengurangi pembayaran tenaga kerja dalam bentuk pajak pendapatan maupun pajak perusahaan. Objek dari pajak lingkungan adalah biaya eksternalitas lingkungan yang terdapat dalam harga, sehingga konsumen dan produsen memiliki insentif untuk membatasi/mengurangi polusi dan memperlakukan sumberdaya alam dengan cara lebih bertanggung jawab. Harga setiap unit produk seharusnya mereflesikan biaya sebenarnya dari penggunaan sumberdaya alam tersebut dan harga barang juga sekaligus akan memotivasi masyarakat untuk menggunakan sumberdaya alam dengan cara yang bijaksana dan kesadaran yang tinggi. Menurut seri lingkungan No 1, mengenai pajak lingkungan (Implementation and Environmental Efectiveness, (Copenhagen.1996), alasan utama untuk yang efektif untuk menggunakan pajak lingkungan adalah : ▪ Karena pajak lingkungan adalah instrumen menginternalisasikan eksternalitas, karena biaya kerusakan dan pelayanan lingkungan langsung dimasukkan kedalam harga produk ▪ Memberikan insentif kepada konsumen dan produsen untuk mengubah perilaku kearah eco-efficient dalam menggunakan sumberdaya alam, memberikan stimulus untuk berinovasi, perubahan struktural dan patuh terhadap peraturan ▪ Dapat menaikkan pendapatan yang dipakai untuk memperbaiki pengeluaran lingkungan, mengurangi pajak pendapatan tenaga kerja, kapital dan penghematan ▪ Merupakan alat kebijakan yang efektif untuk mengatasi masalah prioritas lingkungan seperti emisi kendaraan, limbah, bahan kimia yang dipakai dalam sektor pertanian. 48 Corpuz,Catherine (2003) menyatakan bahwa pajak lingkungan adalah bagian penting dari Market Based Instrument (MBI) dan pajak emisi adalah salah satu dari pajak lingkungan tersebut. 9) Pajak emisi adalah pembayaran secara langsung yang berhubungan dengan adanya emisi. Pajak emisi ini ditujukan langsung pada pihak pencemar yang mengeluarkan emisinya kedalam lingkungan, umumny terhadap sumber tetap. 10) 2.2 Pajak Karbon Dan Energi Pajak energi berbeda dengan pajak emisi. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari tujuan dan cara bagaimana pajak tersebut diberlakukan. Pajak energi ( Zhang, Z Xiang dan Baranzini,Andrea, 2003 ) adalah jenis pajak yang besarnya secara absolut tetap misalnya rupiah per ton, rupiah per kilowatt-hour, rupiah per British thermal unit. Jadi pajak energi dikenakan terhadap bahan bakar fosil ataupun sumber energi yang bebas emisi ataupun sumber bahan bakar yang memenuhi batas emisi yang ditetapkan. Pajak energi tidak terkait dengan tingkat emisi yang dikeluarkan. Jika tujuannya adalah untuk mengurangi emisi gas CO2, maka yang efektif adalah mengenakan pajak karbon. Pajak karbon dapat ditransformasi ke pajak CO2 karena satu ton karbon ekivalen dengan 3,67 ton CO2. Walaupun pajak energi itu sendiri dapat mengurangi tingkat emisi, tetapi dalam implementasinya pajak energi tidak tepat untuk tujuan mengurangi emisi CO2 (Kageson,1991;Cline,1992; Jorgenson and Wilcoxen,1993; dikutip dari Zhang,Z Xiang dan Baranzini,Andrea,2003). 9) Menurut EEA ( Europen Environment Agency, Copenhagen (1996), pajak lingkungan terdiri dari cost-recovering charges, incentive taxes dan fiscal environmental tax. Fiscal environmental tax inilah disebut “green Tax Reform” yang terdiri dari pajak energi dan pajak bukan energi termasuk pajak CO2 10) Corpuz,Catherine (2003 ). Pollution Tax for Controlling Emssion From The Manufacturing and Power Generation Sectors:Metro Manila”. Regulasi langsung (Regulasi) yang digunakan oleh Filipina dengan memberikan batas atas emisi tidak memberikan insentif kepada industri untuk mengendalikan polusi pada tingkat yang dikehendaki oleh pemerintah. Selalu dihadapkan oleh kesulitan dalam menegakkan peraturan tersebut dan biaya administrasi yang tinggi. 18 Pajak emisi atau pajak karbon dapat mengurangi emisi melalui pengaruh mekanisme harga dari bahan bakar yang dikonsumsi. Oleh sebab itu pajak emisi merupakan instrumen kebijakan yang baik dalam mengurangi emisi (emisi CO2). Dilihat dari segi produksi, maka pajak energi secara umum berorientasi input bukan output, sedangkan pajak emisi berorientasi bisa input atau output. Pajak emisi pada dasarnya bukan untuk menciptakan pendapatan (fiscal objective) bagi pemerintah, tetapi di-disain dengan tujuan untuk pengendalian lingkungan seperti pengurangan emisi, mengubah perilaku pencemar akan tindakannya dalam merusak lingkungan. Studi yang dilakukan oleh Scrimgeour et.al ( 2005 ) untuk kasus New Zealand menunjukkan bahwa pajak karbon lebih efektif dibandingkan dengan pajak energi ataupun pajak petroleum. 11) Secara umum pajak energi dapat dikenakan sebagai pajak yang didasarkan pada output ( contohnya pemanasan atau listrik) sebagai pajak yang didasarkan pada input atau sebagai emission charged dari pembakaran bahan bakar fosil. 12) Pajak karbon merupakan pajak emisi dan merupakan jenis dari pajak lingkungan yang dikenakan pada konsumsi yang mengkonsumsi bahan bakar seperti batubara, minyak dan gas. Kadar kandungan karbon dari setiap bahan bakar tersebut menentukan besarnya nilai pajak. Bila suatu produk dikenakan pajak karbon, maka harga dari produk tersebut akan mengalami kenaikan. 11) Hasil studi dari Scrimgeour,Frank et.al ;”Reducing Carbon Emission ? The Relative effectiveness of Different Types of Environmental Tax: The Case of New Zealand” dengan CGE untuk kasus New Zealand menunjukkan bahwa dampak dari pajak karbon dan pajak energi hampir sama. Pajak energi akan mengurangi konsumsi sebesar 13 persen dibandingkan dengan 14% unuk pajak karbon. Emisi CO2 berkurang sebesar 16% untuk pajak energi dan 18% untuk pajak karbon. Sementara pajak petroleum kurang efektif. Pajak karbon dan pajak energi keduanya memberikan dampak makro dalam bentuk mengurangi GDP kira-kira sebesar 0,385% sedangkan pajak petroleum akan mengurangi GDP sebesar 0,29% 12) Menurut ESCAP Virtual Conference: Charge atau pajak adalah pembayaran yang dikenakan pada polutan sesuai dengan proporsi dari polutan yang dilepaskan ke lingkungan. Charge dibuat berdasarkan “Polluter Pay Principle”. UNEP- REPORT 1997 Menjelaskan bahwa charge system pada umumnya dipakai untuk melindungi sumberdaya dari limbah atau emisi yang dibuang ke lingkungan dan tidak dimasukkan kedalam instrument fiskal, tetapi dipisahkan kedalam sistem charge. 19 Kenaikan harga akan mengurangi permintaan dan pada akhirnya akan mengurangi emisi CO2. 13) Karena pajak karbon ditentukan berdasarkan kadar karbon yang ada dalam masing-masing bahan bakar, maka harga dari bahan bakar akan bervariasi sesuai dengan besarnya nilai pajak yang dikenakan untuk masing-masing bahan bakar. Oleh sebab itu konsumen akan melakukan pilihan dengan kesadaran akan segala konsekuensi dari pilihan yang dibuatnya. Menurut PEANZ ( Petroleum Exploration Association of New Zealand ), dokumen implementasi pajak karbon yang dikeluarkan pada bulan Juli 2005, ada dua prinsip dasar dalam mekanisme pajak karbon : ▪ Tujuan utama dari pajak adalah untuk menginformasikan kepada pemakai akhir dari energi yang digunakannya agar dapat membuat keputusan yang akan memberikan benefit terhadap atmosfir. Untuk penyederhanaan, maka pajak haruslah dikenakan pada pihak sejauh mungkin dari rantai distribusi dan disampaikan kepada pemakai akhir sepenuhnya agar informasi tersebut dapat dipakai untuk membuat keputusan. ▪ Karena pajak merupakan mekanisme fiskal, sebagai konsekuensi, setiap pendapatan dari pajak karbon akan di ”recycle” kedalam sistem ekonomi melalui pengurangan pajak yang lain. Hasil studi mengenai interaksi antara pajak yang berlaku sekarang terhadap energi dan penggunaan pajak karbon untuk mengurangi emisi gas CO2 ( Peter Hoeller and Jonathan Coppel,1992 ) terhadap 20 negara termasuk negara OECD, menunjukkan bahwa ada hubungan antara besarnya pajak karbon per ton dengan persentase pengurangan emisi.14) 13) Laporan yang dikeluarkan oleh .The Royal Society (Nov 2002).”Economic Instruments for the Reduction of Carbon Dioxide Emission”. Pajak karbon akan menaikkan biaya bahan bakar dan harus mengurangi permintaan akan bahan bakar tersebut dan konsumen akan berpindah ke bahan bakar dengan sumber karbon rendah. Halk ini akan tergantung dari elastisitas permintaan. Elastisitas jangka pendek (short-run) negara OECD untuk gasoline pada kisar -0,15 sampai -0,38 dan jangka panjang -1,05 sampai -1,40 ) 14) Adalah hasil studi dari Hoe Hoeller,P and Coppel,J (Paris, 1992). Energy Taxation and Price Distortions in Fossil Fuel Markets: Some Implications for Climate Change Policy. OECD.Economic Department.Working Papers No 110. 20 Nedergaard,Mette ( 2005 ) dalam suatu survey dari aplikasi penggunaan instrument ekonomi untuk kebijakan energi dan perubahan iklim untuk beberapa negara Eropa memberikan empat alasan penggunaan pajak lingkungan, (1) karena pajak lingkungan adalah instrument yang efektif untuk menginternalkan eksternalitas,(2) memberikan insentif untuk mengubah perilaku,(3) meningkatkan pendapatan dan (4) alat yang efektif dalam mengurangi sumber polusi dalam jangka panjang. 15) Pada tabel 1 dapat dilihat tujuan dan objek dari pajak karbon, pajak energi dan pajak emisi yang diterapkan pada negara Eropa Utara. Tabel 1. Pajak karbon pada beberapa negara Eropa Utara Negara Jenis Nilai pajak (Rate) Tahun Obyek Diperkenalkan mulai tahun 1990 Efek insentif:penghematan Gasoline,light fuel oil,heavy fuel BBF untuk mengurangi Pajak masuk ke oil,diesel oil,natural gas, coal CO2,promosi investasi-hemat general fund dan peat (kecuali BBF untuk energi dan substitusi produk Listrik) karbon rendah Tujuan Aliran Dana Pajak Karbon Mulai dari 26 Mk/tC s/d 260 Mk/tC Denmark Pajak CO2 100 Dkr/tCO2 meningkat s/d 200 Dkr/tCO2 tahun Sejak 1993 1996 dan s/d 6000 Dkr/tCO2 tahun 2000 Light fuel oil, heavy oil,diesel oil,LPG,coal dan residual fuel(kecuali untuk gasoline, natural gas dan bio diesel) Efek insentif:penghematan BBF untuk mengurangi CO2,promosi investasi-hemat energi dan substitusi produk karbon rendah Pajak bukan untuk meningkatan pendapatan Nederland Pajak karbon dan energi 50% pajak energi dan 50% pajak karbon : 5,16 DGL/tCO2 dan 0,3906 DGL/Gj untuk energi Sejak 1992 Gasoline, light fuel oil, heavy fuel oil, diesel oil, natural gas atau residual oil Pengendalian emisi CO2 Pajak masuk ke spesial fund untuk lingkungan Norwegia Pajak karbon 676 NKr/tC s/d 1350 NKr/tC Sejak 1991 Gasoline, light fuel oil, heavy oil, diesel oil, natural gas dan gas Efek insentif : untuk yg dibakar dari lapangan minyak mengurangi emisi CO2 di laut Pajak untuk general account Swedia Pajak karbon 370 SKr/tCO2 -1996 s/d 380 SKr/tCO2 1997 Sejak 1991 Gasoline, light fuel oil, heavy oil, Efek insentif : untuk diesel oil, LPG,natural gas,coal mengurangi emisi CO2 (kecuali untuk listrik) Pajak berhubungan dgn general account Finlandia Sumber: Diolah dari data research panel on economic instrument such as taxion and charges in environmental policies. Chapter 1: Situation of Environmental Taxes of Foreigh Countries. Dari website : http://www.env.go.jp/en/rep/tax/ch1.html. 14Juli 2005. 15) Baumert,Kevin ( 1998 ), Carbon Taxes vs Emission Trading: What the difference, and Which is Better. Menyatakan bahwa pajak karbon dan semua pajak lingkungan adalah instrument kebijakan yang bersifat “price-based”. Pajak menaikkan harga barang dan pelayanan dan akan mengurangi kuantitas permintaan, ini disebut “price-effect” sedangkan trading permits atau emission trading adalah instrument kebijakan berdasarkan “quantity-based”. Walaupun keduanya adalah merupakan “market-based” cara kerjanya berbeda. Pajak karbon menetapkan biaya marjinal untuk emisi karbon dan mengizinkan perubahan dari emisi yang dikeluarkan sementara emission trading menetapkan jumlah emisi karbon yang dikeluarkan dan membiarkan harga berfluktuasi sesuai dengan mekanisme pasar. 48 Pada tabel 2 dapat dilihat persentase pendapatan pajak lingkungan termasuk pajak transportasi terhadap GDP dan persentase pajak energi terhadap GDP . Menurut laporan dari OECD dan IEA (2003) instrumen pajak sering digunakan oleh pembuat kebijakan untuk mempromosikan pengembangan energi terbarukan dan teknologi untuk efisiensi energi dari pada bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. .Tabel 2. Persentase pajak lingkungan ( tidak termasuk energi) dan pajak energi terhadap GDP Lingkungan % GDP % Pendapatan Pajak % GDP Austria 0,7 1,6 1,4 Belgium 0,5 1,1 1,6 Denmark 2,2 4,3 2,2 Jerman 0,6 1,4 2,1 Yunani 0,4 1,2 1,5 Finlandia 0,1 0,2 2,2 Perancis 0,5 1,1 2 Irlandia 1,4 4 1,8 Itali 0,5 1,2 3,1 Luxemberg 0,2 0,5 3,1 Netherland 2,6 5,9 1,5 Portugal 0,1 0,3 3 Spanyol 1 2,7 1,9 Swedia 0,4 0,8 2,6 UK 0,6 1,7 2,2 EU 15* 0,7 1,7 2,2 * terdiri dari 15 anggota negara Uni Eropa (EU) Negara Energi % Pendapatan Pajak 3,2 3,4 4,3 4,8 4,6 4,7 4,5 5,2 7,7 7 3,4 8,4 5,2 5,1 6,3 5,2 Sumber : Final report : Study on the economic and environmental implications of the use of environmental taxes and charges in the Europw Union and its member states. ECOTEC, research & consulting. April 2001 Pada tabel 3 dapat dilihat instrumen kebijakan pajak yang telah diimplementasi ataupun direncanakan oleh beberapa negara di Eropa. Pada table tersebut dapat dilihat pendekatan implementasinya, pajak energi atau CO2 dan perdagangan (trading). 22 Tabel 3. Instrumen pajak yang telah diimplementasikan dan direncanakan dibeberapa negara Eropa. Negara Pendekatan sukarela Pajak (Voluntary Approach) Energi Industri Emisi Australia x Austria x x Belgia x x Kanada x Check Republik x Denmark x x Estonia x x Finlandia x x Perancis x x** x Jerman x x x Itali x x Jepang x Belanda x Selandia Baru x Norwegia x x Swedia x x Swiss x x UK x x USA x Trading Energi terbarukan x* x x x x x x x x x x x Slovakia x x x x x x x x* x* * pada level negara bagian ** rencana saat ini dihentikan Sumber: OECD and IEA information paper (2003) OECD environment directorate and international energy agency. Policies to reduce greenhouse gas emission in industry-successful approaches and lessen learned:workshop report. 2.3 Emisi Per Kapita, Energi dan Karbon Intensitas Berdasarkan studi yang pernah dilakukan maka ada hubungan kuat antara emisi, populasi dan GDP dimana pertumbuhan ekonomi dan populasi sebagai pemicu emisi. Model ekonomi perubahan iklim global banyak menggunakan pendekatan keseimbangan makro ekonomi dimana GDP berhubungan dengan masalah investasi dan konsumsi melalui model produksi Cobb Douglas. Distribusi emisi per kapita pada setiap negara tergantung dari faktor yang mempengaruhinya dari waktu ke waktu. Menurut identifikasi dari Kaya besarnya karbon yang dikeluarkan sebagai emisi CO2 tergantung pada : M = Nx (GDP/N) x (E/GDP) x (C/E) dimana M adalah emisi CO2 ( dalam kg karbon), N adalah populasi (dalam orang), GDP dalam rupiah per tahun, GDP/N adalah pendapatan per kapita ( dalam rupiah 23 per orang per tahun), E dalam watt, E/GDP adalah intensitas energi ( Watt tahun per rupiah ), C/E adalah intensitas karbon (dalam kgC/W tahun) McKibbin,Warwick dan Stegman,Alison (2005) menyatakan bahwa hubungan emisi, GDP dan intensitas emisi dapat dilihat melalui persamaa berikut : Emisi = Populasi x GDP/kapita x Emisi/GDP Atau E = P x GDPPC x I Dimana GDPPC adalah GDP per kapita, P adalah populasi dan I adalah intensitas emisi. Kalau populasi, pendapatan per kapita dan intensitas emisi adalah faktor yang tidak saling ketergantungan, maka laju emisi akan terjadi jika ada perubahan terhadap ketiga variabel tersebut. Hubungan dari faktor tersebut menurut Beumart,Kevin et.al 2005 dapat dilihat dari model yang sederhana dengan menggunakan empat faktor yaitu level kegiatan, struktur, intensitas energi dan fuel mix. A. CO2 = Populasi x GDP/orang x Energi/GDP x CO2/Energi Energi/GDP adalah intensitas energi dan CO2/Energi adalah fuel mix Intensitas emisi CO2 adalah fungsi dari dua variabel. Variabel pertama adalah intensitas energi dan variabel kedua adalah fuel mix. B. CO2/GDP = Energi/GDP x CO2/Energi CO2/GDP disebut intensitas karbon dan merupakan perkalian antara intensitas energi dengan fuel mix. Intensitas energi adalah jumlah energi yang dikonsumsi per unit dari GDP. Intensitas energi mereflesikan level efisiensi energi dan struktur ekonomi secara keseluruhan termasuk kadar kandungan karbon dari produk yang diimpor dan diekspor. Faktor yang tidak terwakili dalam persamaan A adalah struktur. Sebagai contoh jika sebuah kendaraan yang mengkonsumsi jumlah bahan bakar yang besar jika diganti dengan menurunkan emisi. jenis kendaraan hemat energi akan Level dari intensitas energi tidak berhubungan langsung dengan pembangunan ekonomi. Intensitas energi pada negara berkembang cenderung lebih tinggi dari negara industri karena secara umum pada negara berkembang GDP yang tinggi berasal dari industri manufaktur yang menggunakan 24 energi intensif sedangkan pada negara industri GDP yang tinggi berasal dari sektor pelayanan yang memiliki karbon rendah. Komponen kedua dari intensitas emisi adalah fuel mix atau secara spesifik adalah kadar karbon dari energi yang dikonsumsi pada suatu negara.16) . Gambar 6. Intensitas energi dan karbon 25 negara European Union Sumber : European union energy & transportation in figures, edisi 2004, Part 2 : Energy. Pada gambar 6 dapat dilihat intensitas energi dan intensitas karbon untuk 25 negara Eropa (anggota EU). GIC adalah gross inland consumption. Intensitas karbon adalah emisi CO2/gross inland consumption dan intensitas energi adalah gross inland consumption of energy/GDP. GDP adalah berdasarkan harga 1995. Indikator yang sama untuk 15 negara anggota EU dapat dilihat pada gambar 7 16) McDougall,RA (1993),Short-Run Effects of Carbon Tax. Centre of Policy Studies,Monash University. Untuk menentukan pengaruh dari pajak karbon pada harga bahan bakar, kita perlu mengetahui intensitas emisi untuk tiap-tiap bahan bakar yaitu jumlah kuantitas CO2 yang dikeluarkan apabila bahan bakar dibakar dibagi dengan nilai dari bahan bakar tersebut (kt CO2/$m). 25 Gambar 7. Tren intensitas energi dan karbon 15 anggota European Union Sumber : European union energy & transportation in figures, edisi 2002, Part 2 :Energy. 2.4 Emisi dan Pertumbuhan Emisi Gas CO2 Beberapa gas rumah kaca terjadi di atmosfir secara alamiah sedangkan gas rumah kaca lainnya terjadi sebagai akibat dari hasil kegiatan manusia. Gas rumah kaca yang terjadi secara alamiah tersebut seperti uap air, karbon dioksida, metan, oksida nitrogen dan ozon. Dengan adanya kegiatan manusia maka level dari konsentrasi gas rumah kaca di atmosfir meningkat. Menurut UNFCC, gas rumah kaca yang utama adalah karbon dioksida (CO2), metan (CH4), oksida nitrogen (N2O), perflouorocarbon (PFCs), Hydrofluorocarbons(HFCs) dan sulfur heksaflorida (SF6). Menurut IPCC konsentrasi CO2 pada tahun 2100 akan berada pada kisar 650 sampai 970 ppm jauh melebihi pada tingkat pra-industri (280 ppm). Pada 200 tahun terakhir lebih dari 2.3 bilyar ton CO2 telah dilepaskan ke atmosfir yang disebabkan oleh kegiatan manusia melalui konsumsi bahan bakar fosil dan perubahan penggunaan lahan ( Baumert,Kevin et al 2005 ). Lima puluh persen dari jumlah emisi tersebut telah dilepaskan dalam periode 30 tahun mulai dari 1974 sampai 2004. Menurut laporan World Resources Institute (2005), peningkatan absolut CO2 terjadi pada tahun 2004 dengan lebih dari 28 milyar ton dilepaskan ke atmosfir bersumber dari pembakaran bahan bakar fosil. Peningkatan konsentrasi ini akan berdampak pada kenaikan suhu permukaan bumi pada kisar 1,4 dan 5,8 derajat Celcius antara tahun 1990 dan 2100. Protokol Kyoto, jika diimplementasikan hanyalah merupakan langkah awal dan menurut IPCC 26 untuk menstabilkan atmosfir dari CO2 ketingkat 450 ppm haruslah menurunkan CO2 pada level dibawah tahun 1990 dalam beberapa dekade yang akan datang. 17) Dampak dari peningkatan suhu pemanasan global tersebut adalah perubahan akan produksi pertanian, suplai air, hutan dan ketidakpastian pengembangan sumberdaya manusia. Dampak kerusakan akan mempengaruhi populasi sebagian besar penduduk dunia, terutama penduduk pada negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Gambar 8 dapat dilihat kenaikan emisi gas CO2 yang berasal dari pembakaran bahan bakar fosil. Pada gambar 9 dapat dilihat pertumbuhan gas rumah kaca mulai tahun 1990 – 2002. Korea Selatan, Iran, Indonesia, Saudi Arabia dan Pakistan mengalami pertumbuhan cukup besar dalam kontribusi gas rumah kaca. Pada gambar 10 dapat dilihat persentasi dari gas rumah kaca menurut sektor, dimana sebanyak lebih kurang 61.4% gas rumah kaca berasal dari produksi dan pembakaran bahan bakar fosil ( batubara, minyak dan gas ) Gambar 8. Emisi gas CO2 global dari pembakaran BBF 1900-2004 Sumber : Baumert,Kevin et.al 2005, Navigating the numbers. greenhouse gas data and international climate policy, World Resources Institute 17) Menurut IEA ( International Energy Agency ) .OECD/IEA, 2002 level proyeksi global emisi global tahun 2015 adalah 9 GtC sedikit lebih tinggi dari perkiraan IPCC. Untuk kembali ke level tahun 1990 – pada 5.8 GtC perlu pengurangan sebesar 36% dari level tahun 2015. 27 Gambar 9. Pertumbuhan emisi gas rumah kaca, 1990 – 2002 Sumber : Baumert,Kevin et.al 2005, Navigating the numbers. greenhouse gas data and international climate policy, World Resources Institute Sektor Energi Bukan Energi Listrik dan pemanasan 24,6% Perubahan penggunaan lahan 18,2% Transportasi 13,5% Pertanian 13,5% Industri 10,4% Pembakaran lainnya 9,0% Fugitative dan proses industri 7,3% Limbah 3,6% Gambar 10. Persentasi emisi gas rumah kaca global menurut sektor Sumber : Baumert,Kevin. et al 2005, Navigating the numbers. greenhouse gas data and international climate policy, World Resources Institute Tabel 4 menunjukkan faktor yang berkontribusi terhadap pertumbuhan CO2 dari 25 negara penghasil gas rumah kaca terbesar. Pertumbuhan emisi CO2 mengalami peningkatan yang cukup tinggi pada negara-berkembang pada periode 1990-2002 yaitu Indonesia 97%, Korea Selatan 97%, Iran 93% dan Saudi Arabia 91%. Pertumbuhan tersebut dapat dilihat pada Gambar 9. Pada gambar 11 dapat dilihat negara yang berkontribusi terhadap gas rumah kaca utama. 28 Tabel 4. Faktor yang berkontribusi terhadap pertumbuhan emisi gas CO2, 1990-2002 % Kontribusi terhadap perubahan CO2 Perubahan CO2 1990-2002 Negara China Amerika Serikat MtCO2 % GDP per kapita (GDP/Pop) 1.247 49 122 15 -96 8 863 18 23 16 -20 -1 Populasi Intensitas Energi (E/GDP) Fuel Mix (CO2/E) India 457 70 55 28 -31 19 Korea Selatan 246 97 84 15 12 -15 Iran 178 93 44 26 24 -1 Indonesia 164 97 44 25 2 26 Saudi Arabia 148 91 -7 46 52 0 Braxil 125 57 17 21 7 13 Sepanyol 98 44 31 6 7 -1 Jepang 96 9 12 3 0 -7 Meksiko 87 28 17 22 -12 1 Kanada 87 20 24 13 -18 0 Australia 73 28 31 16 -19 -1 Afrika Selatan 69 23 -2 28 -2 -1 Turki 59 39 16 25 0 -2 Pakistan 40 60 18 38 -1 5 Itali 33 8 17 2 -6 -5 Argentina 10 9 17 13 -9 -11 Perancis 2 0 17 5 -6 -15 -13 Inggris -36 -6 24 3 -20 Polandia -60 -17 35 0 -46 -6 EU-25 -70 -2 21 3 -14 -12 Jerman -127 -13 15 4 -21 -10 Ukraina -129 -48 -32 -5 40 -51 Federasi Rusia -453 -23 5 -3 -12 -3 Catatan : CO2 termasuk perubahan penggunaan lahan dan hutan Sumber : Baumert,Kevin et.al 2005, Navigating the numbers. greenhouse gas data and international climate policy, World Resources Institute Gambar 11. Kontribusi agregat gas rumah kaca utama Sumber : Baumert,Kevin et.al 2005, Navigating the Numbers. Greenhouse Gas Data and International Climate Policy, World Resources Institute 29 Berdasarkan proyeksi BPPT-KFA ( Environmental Impacts of Energy for Indonesia 1993) 18) permintaan –penawaran ( demand-supply) emisi CO2 Indonesia akan meningkat dari 219.68 juta ton pertahun (pertengahan tahun 1996) menjadi 1076,16 juta ton per tahun ( tahun 2021). Perbandingan/komposisi konsumsi energi akan berubah dimana batubara menjadi sumber energi penting dan emisi CO2 pada tahun 2021 naik menjadi 54% berasal dari batubara, 35% dari minyak dan 11% dari gas. Kenaikan jumlah emisi CO2 menurut tipe energi dapat dilihat pada tabel 5 Tabel 5. Baseline emisi gas CO2 menurut tipe energi Batubara Minyak Gas Total 1996 2001 2006 2011 2016 2021 Juta ton/ Juta ton/ Juta ton/ Juta ton/ Juta ton/ Juta ton/ % % % % % % tahun tahun tahun tahun tahun tahun 37,35 17 68,46 27 150,17 40 233,42 45 374,39 50 581,13 54 127,41 58 150,61 51 163,20 43 188,03 36 269,26 36 375,66 35 54,92 25 68,46 22 65,28 17 97,26 19 105,13 14 118,38 11 219,68 100 287,53 100 378,65 100 518,71 100 748,78 100 1076,17 100 Sumber : BPPT-KFA yang dimuat dalam laporan UNEP sebagai country report. Economics of greenhouse gas limitation Studi yang dilakukan oleh PIE ( Centre for Energy Information) yang dimuat dalam laporan FIIEE (2004) mengestimasi emisi CO2 akan meningkat sebesar dua kali dari nilai tahun 2000 dan BAPENAS mengestimasi bahwa CO2, NOx dan SOx akan meningkat sebesar dua kali lipat pada tahun 2020 dibandingkan dengan tahun 2003 dan penyebab utamanya adalah bahan bakar fosil. Studi tersebut merekomendasi untuk mengurangi subsidi, promosi sumber energi terbarukan dan insentip fiskal untuk meningkatkan pengembangan energi terbarukan.19) 18) Country Report dengan judul “Economics of Greenhouse Gas Limitations” yang diterbitkan oleh UNEP,Denmark 1999.Studi dilakukan oleh KLH, BPPT-KFA ( Nuclear Research Centre ) Jerman dan PPLH-IPB. 19) Sumber dikutip dari paper yang ditulis oleh Wattimena B.T and Soejono A.R. Indonesia Energy Planning : A Concept Based on Some Energy Models. The Foundation of Indonesia Institute for Energy Economics. Paper yang disampaikan pada 6 th Annual IAEE Europan Meeting at ETH Zurich, Sep 02-03, 2004. Studi memberikan rekomendasi bahwa subsidi harus dikurangi. Subsidi energi yang ada pada saat ini menyebabkan inefisiensi dalam semua penggunaan energi disemua sektor. Insentif fiskal dibutuhkan untuk mengembangkan energi terbarukan di Indonesia. 30 2.5 Elastisitas Seperti yang diuaraikan pada bab pendahuluan bahwa konsumsi bahan bakar fosil Indonesia pada saat ini mengalami peningkatan cukup signifikan. Kenaikan konsumsi tersebut disebabkan karena meningkatnya permintaan dari sektor transportasi, industri, rumah tangga dan listrik. Kenaikan tingkat konsumsi tersebut berkisar antara 6- 9% per tahun. Permintaan akan konsumsi bahan bakar sudah barang tentu berhubungan dengan harga bahan bakar tersebut. Metode untuk mengukur bagaimana satu variabel bereaksi terhadap perubahan variabel lainnya adalah elastisitas. Artinya kita akan melihat intensitas reaksi konsumen terhadap perubahan harga bahan bakar setelah adanya perubahan harga (misalnya kenaikan dengan adanya pajak). Efektivitas dari suatu pajak lingkungan sangat tergantung dari berapa besarnya koefisien elastisitas. Untuk tujuan meningkatkan pendapatan, pemerintah biasanya mengenakan pajak terhadap komoditas yang memiliki permintaan yang tidak elastis seperti tembakau, alkohol dan bensin, sedangkan untuk tujuan lingkungan biasanya terhadap komoditas yang memiliki permintaan yang elastis. Gambar 13 adalah kurva fungsi permintaan komoditas yang menunjukkan bahwa kurva permintaan yang tidak atau kurang elastis baik untuk tujuan meningkatkan pendapatan dan kurva yang elastis baik untuk mengurangi dampak lingkungan. Permintaan yang kurang elastis-baik untuk pendapatan pemerintah Harga Permintaan yang elastis-baik untuk tujuan pajak lingkungan Kuantitas Gambar 12. Tipe fungsi permintaan Pada gambar 13 dan 14 dapat dilihat pengaruh elastisitas harga terhadap perubahan permintaan. Kemiringan kurva permintaan sangat menentukan akan perubahan kuantitas dari bahan bakar yang diminta oleh konsumen. 31 Harga suplai y1 yo Harga BBF suplai y1 BBF yo p1 B pajak p1 po A po permintaan do p2 p2 pajak Suplai yo C permintaan do x1 x2 Liter Gambar 13. Inelastis suplai x1 x2 Liter Gambar 14. Inelastis permintaan Pada gambar 13 dapat dilihat bahwa perubahan harga memiliki dampak relatif kecil terhadap kuantitas BBF yang diminta. Elastisitas harga dari suplai lebih kecil dari elastisitas permintaan. Perubahan harga memiliki dampak yang kecil terhadap kuantitas suplai dari pada kuantitas permintaan. Pada gambar 14 dimana permintaan tidak elastis dibandingkan dengan suplai dan konsumen menjadi kurang responsif terhadap perubahan harga dibandingkan dengan penjual. Koefisien elastisitas harga bahan bakar untuk negara OECD dapat dilihat pada tabel 6 Tabel 6. Tipikal elastisitas harga permintaan pada negara OECD Bahan bakar Gasoline Hampir semua negara OECD Eropa Listrik perumahan (residential electricity) Perjalanan dengan kendaraan (car travel) Perjalanan dengan udara (air travel) Perjalanan dengan kereta api (rail travel) Elastisitas jangka pendek (short run elasticity) Elastisitas jangka panjang (long run elasticity) -0,15 ~ -0,38 - 0,15 - 1,05 ~ - 1,40 - 1,24 - 0,05 ~ -0,90 -20 ~ 4,6 -0,09 ~ 0,24 -0,22 ~ 0,31 - 0,36 ~ - 1,81 - 0,37 ~ - 1,50 Sumber: Economic instrument for the reduction of carbon dioxide emission, Nov 2002. The Royal Society. Policy documents 26/02 48 2.6 Model Ekonomi Pemanasan Global Model pemanasan global ( Wexler,Lee 1996 ) yang berhubungan dengan proyeksi pertumbuhan populasi dapat dilihat pada table 7 dan model – DICE adalah salah satu model pemanasan global yang memasukkan hubungan kerusakan ekologi dan biaya yang timbul untuk mengurangi dampak dari kerusakan yang disebabkan oleh adanya emisi karbon (CO2 ) Studi yang dilakukan oleh Lynn Price,et.al (2005 ) dalam rangka efisiensi energi terhadap negara anggota OECD dan yang bukan negara OECD menunjukkan bahwa banyak negara yang telah menerapkan instrument pajak dan fiskal untuk mempromosikan efisiensi energi. Pada tabel 8 dapat dilihat tipe dari pajak, kebijakan fiskal maupun kebijakan yang terintegrasi yang dipakai oleh setiap negara dalam rangka melakukan efisiensi energi. Sebanyak 12 negara OECD menggunakan pajak energi atau pajak CO2, sebanyak 17 negara OECD menggunakan pollution levy, 4 negara OECD menggunakan line charge, 28 negara (5 negara Non-OECD dan 23 negara OECD) menggunakan kebijakan fiskal dalam bentuk grand atau subsidi, 40 negara ( 17 pada negara non OECD dan 23 negara OECD ) menggunakan kebijakan fiskal dalam bentuk subsidi audit, 21 negara ( 9 negara non OECD dan 12 negara OECD) menggunakan kebijakan fiskal berbentuk pinjaman sektor pubik , 40 negara ( 15 negara non OECD dan 25 negara OECD ) menggunakan kebijakan innovative funds, 23 negara ( 8 negara non OECD dan 15 negara OECD ) menggunakan technology tax relief, 5 negara OECD menggunakan program tax relief, 2 negara OECD menggunakan kebijakan yang terintegrasi dalam bentuk country program dan 27 negara OECD menggunakan emission trading. Indonesia termasuk kedalam negara non OECD yang menggunakan kebijakan fiskal dalam bentuk audit yang disubsidi dengan cara tidak mengenakan biaya dan memberikan dana untuk melakukan audit terhadap kegiatan efisiensi energi termasuk penggunaan energi alternative.20) 20) Sumber Lynn Price et.al dan Ernst Worrell et.al ( May 2005), laporan penelitian bersama antara Lawrence Berkeley National Laboratory (LBNL ) Amerika, Ecofys dari Nederland dan China Energy Conservation Investment Corporation (CECIC) dan Research Institute of Fiscal Science (RIFS) dari Menteri Keuangan Cina. Laporan memuat survey dari kebijakan pajak dan fiskal yang membagi tiga kelompok, yaitu A ; Taxes and fees : Menaikkan biaya yang berhubungan dengan 33 Tabel. 7. Model pemanasan global yang berhubungan dengan proyeksi populasi Model Jumlah region Periode Tipe Model Model Energi Edmonds-Relly-Bama (ERB) 9 Edmonds-Relly -1985 1995 - 2095 Model makro ekonomi untuk emisi CO2,CH4 dan H2O dari energi Edmonds.et.al 1995 GREEN Borniaoux,et.al 1992 Global 2100 12 Manna and Richels 1992 5 1985 - 2050 Apllied General Equilibriumk Model dari emisi CO2 1990 - 2200 Manna,et.al 1995 Model optimasi makroekonomi untuk penggunaan energi.Produksi emisi CO2 dari energi Model Kebijakan Ekonomi Cline-cost-benefit 1990 -2275 Model stokastik untuk emisi CO2, N2O dan CH4 yang dipakai untuk menghitung kerusakan marjinal 1990 - 2220 dari emisi 1 Cline 1992 1 Fankhauser 1994 DICE Model optimal growth dari Ramsey.Model kerusakan 1965 - 2365 ekologi dan biaya untuk mengurangi emisi CO2 dari energi 1 Nordhaus 1994 Sumber : Wexler,Lee 1996. Improving population assumptions in greenhouse gas emission models. International Institute for Applied Systems Analysis. Laxenburg.Austria Tabel 8. Pajak dan fiskal untuk tujuan efisiensi energi sektor industri Pajak atau fee Negara Kebijakan Fiskal Pajak energi Pollution atau CO2 levy Line charge Grant atau subsidi Public sector Subsidi audit loan Kebijakan Terintegrasi Innovative Technology fund tax relief Program tax relief Country program Emission trading 5 2 27 NON-OECD Brazil x x Columbia x x Costa Rica x GF,RF R E Cote d'Ivoire E Egypt x x Ghana E R E Indonesia x Iran x** x x Jordan x x x Kenya x E Israel EX Lebanon x E R x Libya E Malaysia x Marocco x x E AD,R E R AD Peru Phillipines x x Singapore E E South Africa x Taiwan Tanzania x x Thailand Tunisia Vietnam Total 12 17 4 28 x x x x x 40 x x 21 R E,RF E E 39 23 x = program exist in country, A/C = administrative/civil pinalties, CR = criminal pinalties, E = ESCOSs, GF =guarantee funf RE = revolving fund, VC= venture capital, AD = accelerated depreciation, R = reduction, EX = exemption * diberikan melalui program negara/nasional bukan program dari begara bagian/federal ** subsidi ini berhubungan dengan loan ( loan tanpa bunga) Sumber : Ernst Worrel dan Wina Graus, Ecofys (2005) 48 Tabel 8. - sambungan Kebijakan Fiskal Pajak atau fee Negara Pajak energi atau CO2 Pollution levy Line charge Grant atau subsidi Subsidi audit A/C x x x A/C, CR x Public sector loan Kebijakan Terintegrasi Innovative fund Technology tax relief Program tax relief Country program Emission trading x E EX x E X x E X OECD Australia Austria Belgium Bulgaria E Canada x E, RF AD X Cyprus X Check Repub x CR x Denmark x CR x x Estonia x Finland x CR x x France x Germany x Greece Hungary Ireland Italy E X X X X CR E x A/C, CR x A/C, CR x CR x X GF,IF x x E,IF X EX, R X x x E,GF X X x x x x E R x x E AD,R E R x Kerea-Rep Latvia x X x Lithuania x x X E X Luxemberg X Malta X Mexico Netherland Norway x x CR x Poland x x x x x x x Portugal A/C, CR x Russia x Slovakia A/C, CR x Slovania CR x x x x Turkey x US x CR A/C, CR AD,R X x E EX X E EX X x E,IF Ex IF x* x E AD x E EX x E X X X x Switzerland UK E,IF x x Spain x x Rumania Sweden X X A/C, CR Japan X X E X X AD,R x x x E,VC R x* x x* E Ex* X 2.6.1 Model DICE Studi model DICE ( Dinamic Integrated and Climate Change Economic ) dilakukan pertama kali oleh William D.Nordhaus pada tahun 1990 yang berangkat dari cost-benefit framework dan model secara keseluruhan dijelaskan kembali pada tahun1994 dan 1996. Model terbaru dari DICE dikeluarkan pada tahun 1999 oleh William D.Nordhaus dan Joseph Boyer. Model DICE adalah model perubahan iklim global (climate change global) untuk melihat dampak dan kebijakan untuk memperlambat pemanasan global. Model ini mengintegrasikan antara emisi yang dinamis, dampak dan biaya ekonomi untuk memperlambat laju emisi gas rumah kaca (dalam penelitian ini hanya CO2 ). Inti dari Model DICE adalah model pertumbuhan dari Ramsey. Output nasional adalah fungsi produksi dari CobbDouglas yang terdiri dari kapital (K) , tenaga kerja (L) dan teknologi (A). Pertumbuhan populasi dan teknologi adalah variable eksogen. Q(t) = Ω(t) A (t) K(t) γ L (t) 1- γ , dimana Q adalah output nasional atau GDP nasional dan Ω adalah faktor kerusakan akibat perubahan iklim terhadap output nasional yang merupakan X X 35 fungsi dari laju pengurangan emisi dan biaya pengurangan emisi tersebut. Jumlah emisi dikalikan dengan besarnya pajak emisi yang ditambahkan pada pendapatan nasional akan menjadi keseimbangan umum pendapatan nasional. Struktur model DICE dapat dilihat pada gambar 15 CO2 di Atmosfir Net Emission CO2 Abatement Fraction B3 CO2 storage Marginal Atmosfir Retention Emisi CO2 Nilai Transfer Dari CO2 Radiative Forcing CO2 Biaya Abatement CO2 B1 Climate Feedback Parameter Gross Output Radiative Forcing Feedback Cooling Konsumsi R1 Biaya Kerusakan Iklim Kapital Investasi B2 Suhu Atmosfir Upper Ocean Depresiasi Perbedaan Suhu Investation Fraction Perub Atm UppOcean Temp B4 Heat Transfer Nilai Depresiasi B5 Suhu Deep Ocean Perub Suhu Deep Ocean Gambar 15. Struktur model DICE Model dapat dibagi kedalam tiga subsistem utama yaitu ekonomi, siklus karbon dan iklim . Model ini disebut juga model 3-Box System. Struktur akumulasi kapital dengan dua loop umpan balik, akumulasi kapital melalui penginvestaian kembali (R1) dan penyusutan (B2). Output dipengaruhi oleh kapital dan input eksogen dari populasi dan faktor produktivitas, biaya untuk mengatasi emisi dan kerusakan akibat iklim ( akan membuat loop negatif B1). Emisi akan berakumulasi dalam stok karbon di atmosfir dan bercampur dengan lapisan yang ada pada lautan melalui radiative forcing . Radiative forcing akan memanaskan atmosfir dan permukaan laut. Panas dipancarkan kembali ( loop B3) dan secara perlahan-lahan akan ditransfer ke lautan dalam (loop B4 dan B5). Sedangkan kerusakan akibat iklim adalah fungsi dari kuadratik dari suhu atmosfir. 36 2.6.2 Deskripsi Model DICE Dalam model DICE isu sentral adalah tujuan dari ekonomi dan lingkungan yang dimaksudkan untuk dapat memperbaiki standar kehidupan atau konsumsi dari masyarakat pada saat ini untuk masa yang akan datang (sustainability). Pendekatannya adalah bahwa konsumsi yang berlebihan pada saat ini dikurangi. Asumsi dalam model bahwa setiap negara ingin memaksimumkan fungsi kesejahteraan sosial (social-walfare) yang di discounting terhadap rata-rata tertimbang dari pendapatan perkapita. Fungsi kesejahteraan sosial dimasukkan kedalam persamaan matematis yang dapat dijelaskan bahwa ; (i) makin tinggi level konsumsi maka semakin mahal harga, (ii) peningkatan konsumsi mengikuti prinsip diminishing marginal valuation dan (iii) sosial marginal utiliti dari konsumsi pada saat ini tinggi dibandingkan dengan konsumsi untuk generasi yang akan datang dengan ukuran dan nilai konsumsi per kapita yang sama. Fungsi tujuan atau kriteria untuk memaksimumkan kesejahteraan masyarakat : T (1) Wj = ∑ U [ cj (t),L(t) ] R(t) t Dimana W adalah fungsi objektif dan U [ c (t),L (t) ] adalah utiliti dari konsumsi, c(t) adalah aliran konsumsi per kapita selama periode t, dan L (t) adalah populasi pada waktu t dan R(t) adalah discount factor dari pure time preference. Hubungan tersebut dapat dilihat pada gambar 16 dan gambar 17. Cumulative Discounted Utility Discounted Utility Base Year Discount Factor Total Utility Utility Rate of Inequality Aversion Consumption <Time> Populasi Rate of Time Preference Consumption per Cap Gambar 16. DICE discounting dan utility 37 <Climate Damage Frac> <GHG Reduc Cost Fraction> Net Climate Change Impact Net Output Konsumsi R1 <Faktor Prod > Gross Output <Populasi> Kapital Investasi Depresiasi B1 <Investment Frac > Nilai Depresiasi Gambar 17. DICE akumulasi kapital dan depresiasi t (2) R(t) = ∏ [ 1 + ρ (v) ] -t v =0 ρ(t) adalah rate time preference dan R(t) adalah discount factor. ρ(t) adalah parameter pure rate dari social time preference (3) U [ c(t), ] = L(t) { cJ(t) 1-α – 1 } / (1-α) (3a) U [ cJ(t) ] = LJ(t) { log [c(t) ] } Parameter α adalah pengukuran dari valuasi sosial dari perbedaan konsumsi dalam hal ini bisa sebagai elastisitas dari konsumsi marginal utiliti atau rate dari inequality aversion. Secara operasional α adalah untuk mengukur apakah suatu daerah/negara ingin untuk mengurangi tingkat kesejahteraan dari generasi yang memiliki konsumsi tinggi untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan terhadap generasi yang memiliki tingkat konsumsi rendah. Model DICE menggunakan nilai α =1, sehingga persamaan utiliti menjadi seperti pada (3a) (4) g pop j(t) = g pop j(0) exp)(-δ pop j,t ) Pertumbuhan populasi diasumsikan mengikuti pola eksponensial , g pop (t) adalah pertumbuhan populasi pada periode t dan δ pop adalah nilai konstanta dari declining. Nilai parameter yang digunakan dalam model DICE untuk pertumbuhan populasi adalah 1,5% per tahun untuk dekade awal dan nilai declining populasi global adalah sebesar 0,195 ≈ 20% per dekade. Global populasi maksimum adalah 11,5 triliun penduduk. 38 (5) Q (t) = Ω(t) { A (t) K (t) γ L (t) 1-γ dimana γ= 0,25 jika γ diasumsikan sebesar 0.25 maka kontribusi tenaga kerja terhadap pendapatan nasional adalah 1- 0,25 = 0,75. A adalah perubahan teknologi dan Ω (t) adalah kofisien kerusakan (damage factor) yang berhubungan dengan dampak perubahan iklim terhadap output. Hubungan variabel eksogen tersebut dapat dilihat pada gambar 18 Populasi Net Pop Incr Decl Pop Gr Rate Nilai Pertum Populasi Faktor Produktivitas Faktor Nilai Pert Prod Nilai Incr Faktor Prod Nilai Pert Fakt Prod-Decl Rate Intensitas CO2 dari Output Decl Rate Int CO2 Decl Intens CO2 Dec Rate Int CO2-Dec Rate Nilai Pertum Fak Prod-Dec Rate Pop Gr Rate Decline Rate Gambar 18. Variabel eksogen model DICE (6) Q (t) = C (t) + I (t) Gross output (Q) adalah konsumsi ditambah dengan investasi. Data dari pendapatan nasional atau GDP sama dengan yang ada pada persamaan (5). Dalam DICE Q adalah output dunia. (7) Konsumsi per kapita adalah c (t) = C (t)/L (t) (8) perubahan stok kapital dihitung dengan persamaan ; K (t) = K (t-1)(1-δK) + I (t1), dimana δK = 0,10 per tahun Angka 0,10 adalah besarnya penyusutan dari kapital stok (δK ) sebesar 10% per tahun. (9) E(t) = [ 1 – μ(t)] σ(t) Q(t) E merupakan emisi gas rumah kaca. Rasio dari emisi gas rumah kaca yang tidak terkontrol terhadap gross output adalah parameter perlambatan ( σ ) dalam DICE nilai σ adalah sebesar 0,519 berdasarkan tahun 1965. Sedangkan μ adalah faktor pengendalian emisi (control rate), yang dalam hal ini adalah parameter kebijakan. Parameter σ adalah merepleksikan tren emisi ekivalen dari CO2 per unit dari GDP. Nordhaus membuat asumsi nilai σ menurun diantara 1-1,5% per tahun karena adanya perbaikan efisiensi energi dan perubahan konsumsi dari BBF 39 yang berasal dari batubara. Untuk masa yang akan datang diasumsi menurun sebesar 1,25% per tahun. (10) M(t) = βE(t) + (1-δM) M(t-1) dimana β = 0,64 dan δM = 0,0833 per dekade Persamaan (10) merefleksikan akumulasi dari konsentrasi karbon di atmosfir. Fraksi dari β menunjukkan persentase dari emisi yang tetap tinggal di atmosfir dalam jangka pendek dan disebut sebagai rasio marginal atmosphere retention (dalam periode 10 tahun) dan δM adalah nilai dari transfer reservoirs ke dalam lautan atau rate removal yang besarnya adalah 0,0833 per dekade. Persamaan (10) tersebut menjadi M(t) – (1-0,0833)M(t-1) = 0,64E(t). M(t) adalah perubahan konsentrasi dari waktu pre-industri. Emisi CO2 di Atmosfir Long Term Storage Short Term Transport Storage Rate Atmosfir Retention Gambar 19. Siklus karbon dari model DICE Pada gambar 19 dapat dilihat struktur model DICE untuk siklus karbon. Emisi mengalir ke atmosfir. Porsi yang tetap sebesar 36% langsung disimpan di permukaan laut atau di biosfir. Dalam jangka panjang (120 tahun) karbon disimpan di dalam lautan dalam. Hubungan sistem iklim tersebut dapat dilihat pada gambar 20. Persamaan berikutnya adalah hubungan antara akumulasi dari gas rumah kaca dan perubahan iklim. (11) T1(t) = T1 (t-1) + ( 1/R1) { F(t) – λ T1 (t-1) – ( R2/ τ 12) [ T1 (t-1) – T2(t-1)]} (11a) T2(t) = T2 (t-1) + ( 1/R2) { ( R2/ τ 12) [ T1 (t-1) – T2(t-1)]} T1 adalah suhu pada layer 1 pada periode 1 relatif terhadap periode pra-industri (layer pada atmosfir dan upper ocean) dan T2 untuk suhu pada bawah laut. F adalah radiative forcing (relatif terhadap periode pra-industri ). R1 adalah 40 thermal capacity dari perbedaan layer dan τ 2 adalah transfer rate dari upper layer ke lower layer dan λ adalah parameter feedback. Jika nilai T adalah konstan dalam jangka panjang, maka dampak dari perubahan dalam radiative forcing adalah ∆T/∆F = 1/λ. DICE menggunakan parameter T 2xCO2 = 1/λ. Nilai T 2xCO2 menurut US National Academy of Science ( 1991) adalah berkisar antara 1oC dan 5oC. 1/R1 = α 1 , λ = α 2 , R2/ τ 2 = α 3 , 1/ τ 12 = α 4 . DICE menggunakan α 3 = 0,44 dan α 4 = 1/500. Nilai α 1 berkisar antara 0,014 – 0,02 T ( 1960) = 0,2 dan R1 = 41,7 dan T 2 (1960) = 0,10 Climate Feedback Parameter Feedback Cooling <Reference Temp> Climate Damage Frac < Radiative Forcing> B1 Atmos UpperOcean Temp Perub Atm UppOCean Temp B2 <Skala Kerusakan Iklim> Perbedaan Temp <Kerusakan Iklim NonLinearity> Heat Transfer B3 Deep Ocean Temp Perub DeepOcean Temp Gambar 20. Sistem iklim model DICE (12) d(t) = 0,0133 [ T(t) / 3 ] 2 Q(t) atau d(t)/Q(t) = 0,013 [ T(t) / 3 ] 2 = 0,00144 T(t)2 Persamaan (12) menyatakan bahwa kerusakan dari 3oC pada suhu rata-rata adalah sebesar 1,33% dari Output Global. Berdasarkan studi Nordhaus (1991) bahwa kerusakan yang terjadi pada suhu 3oC akan berdampak pada pendapatan negara Amerika sebesar 0,25% dan kemudian dinaikkan menjadi 1% dari total output nasional Amerika. Dalam model DICE, Nordhaus mengestimasi dampak kerusakan sebesar 1,33% dari global output untuk semua negara. 41 (13) TC(t)/GNP(t) = b1 μ (t) b2 = 0,0686 μ(t) 2.887 Laju pengurangan emisi gas rumah kaca adalah sebesar μ, parameter ini disebut juga faktor pengendalian emisi. TC/GNP adalah total biaya untuk mengatasi emisi yang merupakan fraksi dari output dunia. 21) Hubungan antara biaya dan kerusakan dapat dilihat dari persamaan (14). Total biaya kerusakan akibat emisi (TC) adalah tergantung dari laju pengurangan emisi yang diinginkan(μ). Parameter b1 dan b2 adalah konstanta yang menentukan fungsi biaya kerusakan. (14) Ω (t) = [ 1 – b1μ(t)b2 ] / [1+ d (t) ] Persamaan (14) merupakan fraksi akibat kerusakan yang harus dimasukkan kedalam sistem produksi dunia dengan cara memasukkan koefisien kerusakan Ω (t). Dalam DICE nilai d (damage) adalah sebesar 0,000144 T(t)2., yaitu didapat dari 0.0133[ T(t)/3 ]2 . Dimana T(t) adalah perubahan suhu permukaan relatif setelah pre-industri. Nilai parameter b1 sebesar 0,0686 dan b2 sebesar 2,887, sehingga fraksi kerusakan menjadi : (15) Ω (t) = [ 1 – 0,068μ(t) 2,887 ] / [1+ 0,000144 T (t)2 ] 2.6.3 Discounting DICE menggunakan nilai ρ(t) sebesar 3.0% per tahun. Nilai ini ditetapkan berdasarkan tahun dasar pada tahun 1995 dan menurun menjadi 2,3% per tahun pada tahun 2100 dan 1,8% per tahun pada tahun 2200. Masalah besarnya discounting yang dipakai terus menjadi perdebatan dikalangan modeller, hal ini disebabkan oleh ketidakpastian pertumbuhan ekonomi untuk masa yang akan datang. Nilai ρ sebesar 3% (time preference rate) sebenarnya adalah sosial time preference rate (STPR). Menurut The Green Book 22) STPR adalah nilai konsumsi sosial yang ada pada saat ini terhadap nilai konsumsi untuk waktu yang akan datang. 21) Menurut Nardhous dalam Resources and Energy Economics 15 (1993), kenaikkan dua kali emisi CO2 akan berdampak biaya sebesar 1,3% terhadap GDP Amerika dan 1,4% terhadap negara OECD dan 1,5 terhadap negara yang tidak termasuk pada kedua kelompok tersebut. 22) Lihat The Green book Annex 6 mengenai discount rate. STRP ( r) memiliki 2 komponen yaitu r = ρ + μg , dimana ρ adalah discount rate, μ adalah elastisitas dari utilitas marginal yang besarnya 1 dan g adalah pertumbuhan perkapita. Sumber: http://greenbook.treasury.gov.uk/annex06.htm 42 Untuk periode yang melebihi 30 tahun, The Green Book membuat rekomendasi besarnya nilai STPR seperti pada tabel 9 Tabel 9. Tingkat penurunan nilai discount jangka panjang Periode tahun Nilai discount 0- 30 3,50% 31 -75 3,00% 76 - 125 2,50% 126 - 200 2,00% 201 - 300 1,50% 300 + 1% Cline,Williem (2005), menjelaskan bahwa STRP adalah nilai pure time preference (ρ) ditambah dengan perkalian dari nilai pertumbuhan pendapatan per kapita (g) dengan elastisitas dari utilitas marginal (μ). Nilai elastisitas dalam hal ini menggambarkan pengurangan persentase marginal utilitas untuk setiap satu satuan mata uang dari konsumsi untuk setiap kenaikan satu persen pendapatan. Sehingga STRP adalah r = ρ + μg. Menurut Fiddaman,Thomas (1996), μ adalah rate of inequality aversion, dimana nilai μ yang tinggi akan berimplikasi bahwa generasi yang miskin akan menerima benefit lebih besar untuk setiap unit tambahan dari konsumsi dibandingkan dengan generasi yang lebih kaya. DICE menggunakan nilai μ atau konsumsi marginal utilitas sama dengan 1. Artinya tidak ada perbedaan nilai untuk generasi sekarang dan generasi akan datang. Pearce,David et.al (2003) menyarankan untuk menggunakan nilai 1 artinya generasi yang akan datang akan menerima benefit yang lebih baik dari generasi yang ada sekarang. Jika menggunakan konsep Ramsey maka jika ρ adalah sebesar 0,5% ( Pearce dan Ulph, 1999 dalam Pearce,David et.al ) dan pertumbuhan ekonomi tahunan sebesar 2%, maka besarnya discount rate (r) adalah sebesar 0,5 + 1(2%) = 2,5% Pada gambar 21 dapat dilihat bagaimana pengaruh dari nilai ρ ( pure time preference rate ) terhadap tingkat kesejahteraan. Jika ρ=0 maka discount factor menjadi sebesar 1 dan kesejahteraan untuk semua generasi diperlakukan sama. Jika ρ= 0,01 maka nilai tersebut menjadi separohnya pada periode kira-kira 70 tahun dan untuk nilai ρ=0,03 maka nilai menjadi separohnya pada periode kira-kira 25 tahun. 43 Gambar 21. Pengaruh discounting untuk beberapa nilai pure time preference 2.6.4 Perubahan Teknologi Pertumbuhan emisi gas CO2 sangat tergantung dari perubahan faktor teknologi. Faktor yang memicu adanya perubahan teknologi tersebut adalah seberapa besar biaya yang harus dikeluarkan untuk mengurangi emisi gas CO2 dan apakah ada insentif untuk melakukannya. Tanpa peran dari perubahan teknologi akan sulit untuk mengurangi emisi pada tingkat konsentrasi yang stabil. 23) Gambar 22. Perubahan suhu pada tahun 2100 untuk perbedaan tingkat stabilisasi Sumber: 23) IPCC-2001a yang dimuat dalam Kyoto and Issues and Options in the global response to climate change. Swedish Environmental Protection Agency (2002) Swedish Environmental Protection Agency (2002) ada tiga perbedaan tingkat stabilisasi CO2 dalam koresponden dengan kisar perubahan iklim. Pada level 450 ppm estimasi kisar iklim meningkat pada tahun 2100 adalah 1,2 sampai 2,4 o C. Pada 550 ppm kisat iklim meningkat 1,6 sampai 2,9oC. Pada 1000 ppm meningkat dari 2,0 sampai 3,5oC 44 Gambar 22 menunjukkan level projeksi keseimbangan jangka panjang yang berhubungan dengan target stabilisasi. Stabilisasi pada 450 ppm dapat menyebabkan meningkatnya suhu antara 1,4 sampai 3,4 o C. Stabilisasi emisi pada 1000 ppm dalam jangka panjang dapat meningkatkan suhu antara 3,4 dan 8,9 o C. Dalam kebanyakan model pertumbuhan ekonomi yang dikembangkan oleh ahli ekonomi neo-klasik, pertumbuhan teknologi diperlakukan sebagai variabel eksogen. Model DICE menggunakan asumsi bahwa perubahan teknologi adalah eksogen atau eksternal terhadap model, oleh karenanya perkembangan teknologi diasumsi tidak dipengaruhi oleh harga energi ataupun kebijakan 24) . Berdasarkan pengalaman, laju dari perubahan teknologi dipengaruhi oleh harga energi dan harus dipertimbangkan dalam model dalam hubungan kebijakan . Hal ini disebut sebagai “Induce Technical Change (ITC)”. Pajak karbon atau pajak emisi akan menciptakan insentif untuk meningkatkan pengembangan dan penelitian untuk bahan bakar yang bukan fosil. Hal ini akan menyebabkan adanya proses inovasi yang dinamis dalam rangka mengurangi emisi CO2. Dalam model ekonomi- perubahan iklim, perubahan teknologi memainkan peran penting karena biaya untuk mencapai tingkat stabilisasi yang diharapkan akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi atau GDP suatu negara. Untuk mencapai tingkat stabilisasi pada 450 ppm pengurangan GDP berkisar dari 1% sampai diatas 4% per tahun, sedangkan untuk mencapai target 550 ppm pengurangan GDP tahunan berkisar antara 0,2% sampai 1,7%. Biaya untuk stabilisasi konsentrasi CO2 dapat dilihat pada gambar 23. Hubungan perubahan teknologi dapat diukur melalui pendekatan TFP (Total Factor Productivity ). Perubahan teknologi kearah pengembangan energi substitusi dan pengembangan penelitian energi dapat menekan laju konsumsi energi dan mengurangi laju emisi. Hubungan tersebut dapat dilihat melalui persamaan : Q(t) = Ω(t) A (t) K(t) γ L (t) 1- γ ....( dalam Rp/tahun ) 24) Islam,Sardar (2003). Climate change and economic growth: computational experiments in adaptive economic modeling. Int.J.Global Environmental Issues,Vol.3.No1. bahwa teori baru telah dikembangkan untuk mengatasi keterbatasan dari teori pertumbuhan sebelumnya dengan mempertimbangkan beberapa proposisi ekonomi yang penting seperti variable populasi dan meningkatnya skala enonomi dalam model pertumbuhan 45 Q adalah output nasional atau GDP, Ω adalah dampak perubahan iklim, A adalah perubahan teknologi, K adalah capital dan L adalah tenaga kerja. Gambar 23. Biaya untuk stabilisasi konsentrasi emisi gas CO2 Sumber: IPCC- (2001a) yang dimuat dalam Kyoto and issues and options in the global response to climate change. Swedish Environmental Protection Agency (2002) 2.6.5 Investasi Dan Interest Rate Keputusan investasi terhadap barang-barang konsumsi dan energi sangat tergantung dari nilai suku bunga (interest rate). Dalam model optimasi yang bersifat dinamik, investasi ditentukan sehubungan dengan memaksimumkan tingkat kesejahteraan. Hal ini akan dilakukan jika suku bunga yang ditawarkan adalah menarik bagi investor. Hubungan antara investasi, tingkat suku bunga dan output nasional dapat dilihat pada gambar 24 Pure Time Preference Kapital Investasi Sukubunga Output Pertumbuhan Konsumsi Konsumsi Gambar 24. Hubungan investasi, sukubunga dan output 46 Sumaila,Ussif dan Walters,Carl (2003) dalam paper yang ditulis mengenai “Intergenerational discounting” menjelaskan bahwa persamaan discount mengandung dua faktor yaitu nilai discount menurut standar normal, diasumsikan dipakai untuk semua stakeholder termasuk populasi untuk masa yang akan datang dan nilai discount untuk generasi yang akan datang yang mencerminkan keinginan kita untuk menunda benefit yang akan diambil sekarang guna kepentingan stakeholder untuk masa yang akan datang. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari perbedaan discount rate yang secara umum disebut interest rate (perlu dicatat bahwa interest rate tidak sama dengan social discount rate): d= 1 (1 + r ) dan d fg = 1 (1 + rfg ) dimana r adalah nilai discount tahunan standar dan r fg nilai discount tahunan untuk generasi yang akan datang dan d = d fg adalah faktor discount. Pada gambar 25 dapat dilihat bagaimana pengaruh nilai discount jika r fg<r, r fg >r dan r fg= r Gambar 25. Present value aliran dana sebesar 1 $ untuk periode 100 tahun untuk beberapa nilai discount rate. 47 2.6.6 Variabel Dan Parameter Dalam Model DICE Variabel Keterangan (Unit) P(t) populasi (juta) L(t) labour input (pure number) R(t) discount factor dari social preference (pure number) ρ(t) discount rate dari social preference A(t) faktor produktivitas total (ditentukan oleh unit input dari fungsi produksi) Variabel Keterangan eksogen (rate per tahun) (Unit) endogen C(t) konsumsi ( dalam billiun $ ) c(t) konsumsi per kapita Q(t) Output atau GDP Ω (t) faktor kerusakan terhadap gross output K(t) Kapital stok E(t) emisi karbon industri dunia F(t) radiative forcing, meningkat melebihi level tahun 1990 M(t) Mass /konsentrasi CO2 di atmosfir T(t) suhu atmosfir, meningkat melebihi level 1900 (relatif terhadap base ( dalam juta $ per orang per tahun ) (billiun $ Berdasarkan tahun 1990 per tahun ) periode/periode dasar) T* =(T2) (pure number) (dalam billiun $) (GtC/tahun) (W/m2) (GtC) (oC) suhu dibawah lautan, meningkat melebihi level 1900 (relatif terhadap based periode/periode dasar) (oC) d(t) kerusakan iklim sebagai fraksi dari net output (pure number) TC(t) biaya total untuk mengurangi emisi Variabel Keterangan (dalam billiun $) (Unit) Kebijakan μ(t) control rate pengurangan emisi Parameter α rate dari inequality aversion ( pure number) (pure number) 48 b1 dan b2 parameter dari emission-reduction cost function ( exponent dari pengendalian biaya ) β rasion dari marjinal atmosfir retention γ elastisitas output terhadap kapital (pure number) ρ pure rate dari social time preference ( pure number ) σ rasio dari emisi terhadap output ( billion ton CO2 eqv /triliun dolar ) R1 thermal capacity dari upper layer R2 thermal capacity dari deep ocean τ transfer rate dari upper ke lower reservoir 12 ( pure number ) 2.6.7 Skenario Kebijakan Model DICE Kebijakan kebijakan dari model DICE dikelompokkan kedalam empat katagori umum yaitu : (1) do nothing policy, (2) optimal policy artinya kebijakan untuk memperlambat laju perubahan iklim global dengan cara memaksimumkan kesejahteraan dengan kendala konsumsi, populasi dan besarnya laju percepatan emisi yang akan digunakan (3) Ten-year delay dari optimal policy, yaitu menunda sampai cukup pengetahuan mengenai dampak emisi gas rumah kaca agar analisis menganai biaya dan benefit dapat dilakukan dengan akurat. (4) Kebijakan mengurangi emisi sebesar 20% dari level tahun 1990 (5) Geoengineering yaitu benefit dari teknologi mitigasi untuk perubahan iklim global, artinya dengan bantuan teknologi biaya metigasi menjadi lebih murah. Alternatif dari masingmasing skenario tersebut dapat dilihat pada tabel 10 Tabel 10. Alternatif kebijakan dalam model DICE No 1 2 3 Alternatif kebijakan model DICE Tidak ada pengendalian (no control), artinya tidak ada kebijakan yang dibuat dalam mengurangi emisi Kebijakan optimal (optimal policy), artinya kebijakan untuk mengurangi emisi dengan tidak mengorbankan tingkat kesejahteraan masyarakat Kebijakan untuk menunda kebijakan optimal untuk waktu sepuluh tahun kemudian 4 Kebijakan mengurangi emisi sebesar dua puluh persen dari level tahun 1990 5 Kebijakan geoengineering 49 2.6.8 Model FREE Untuk melihat hubungan antar sektor dari model DICE , Thomas Fidaman (1995) mengembangkan model FREE (Feedback-Rich Energy-Economy). Model FREE dikembangkan dengan menggunakan hubungan ekonomi dan perubahan iklim dari model DICE tetapi lebih menekankan pada hubungan sistim energiekonomi. Population Eksogen input dari prakiraan ahli. berhubungan dengan DICE Populasi Energy Produksi, Deflesi, Pajak Harga dan Teknologi T.Kerja permintaan energi Welfare Model utilitas yang didiskonto konsumsi Kerusakan intangible pengiriman Policy Pajak karbon, energi and deplesi pajak Produksi BBF Pengukuran energi /Harga energi rate emsisi CO2 Emission Dari penggunaan energi Economy GDP/Output, akumulasi kapital, energi, penggunaan kapasitas Kerusakan tangible Emisi Konsentr CO2 di Atm Impacts Kerusakan pasar dan bukan pasar Suhu Climate Radiative forcing surface warming,and heat transport Atm konsentr Carbon cycle, Atmospheric accumulation and transport of carbon to acean and biosphere Gambar 26. Diagram sektor bondari dari model FREE Hubungan antar sektor dari model DICE akan terlihat dengan jelas melalui model FREE. Pada gambar 26 dapat dilihat bagaimana hubungan diantara sektor, kegiatan internal dalam sektor dan hubungan eksternal. Pola perubahan dari model dapat dilihat melalui umpan balik dari loop pada gambar 27. Ada penguatan proses akumulasi kapital yang mendorong pertumbuhan ekonomi sebagai akibat dari variabel eksogen dari populasi dan pertumbuhan faktor produktivitas. Perubahan iklim akan bertindak sebagai perlambatan yang menahan laju pertumbuhan melalui loop dampak kerusakan. Kegiatan ekonomi memerlukan energi yang akan mengakibatkan adanya peningkatan emisi CO2 di atmosfir dan pada gilirannya akan meningkatkan suhu. Suhu pemanasan global meningkat dan akan 50 berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Energi dan ekonomi akan berintegrasi melalui perubahan dari BBF ke energi lain. Didalam sektor energi, biaya produksi energi dipicu oleh masa belajar dan deflesi dari sumber energi. Fungsi pajak emisi akan meningkatkan harga energi dalam hubungannya dengan meningkatnya emisi CO2 dan konsentrasi diatmosfir. Implikasi kebijakan terhadap kesejahteraan diukur melalui konsep diskonto kumulatif dari utilitas. Dalam model FREE, energi dikenakan pajak deplesi. Deplesi sumber energi atau BBF berhubungan erat dengan kebijakan iklim, bahkan untuk dekade kedepan berimplikasi lebih serius terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat dari pada perubahan iklim. CDU (commulative discounted utility) = ∫ e (-ρt) L(t)U(t) dt ρ adalah rate of time preference, L adalah populasi dan U adalah utilitas dari setiap individu. Pada penelitian ini hubungan antar sektor tersebut hanya diperlihatkan untuk memperjelas gambaran model DICE . Gambar 27. Proses umpan balik antar sektor dari model FREE 51 Dalam model FREE, sektor energi digambarkan dengan jelas melalui hubungan produksi energi, deplesi, proses pembelajaran (learning process) dan harga energi. Besar kecilnya output nasional akan menentukan besar kecilnya permintaan konsumsi energi. Ada hubungan positip antara besarnya konsumsi dan produksi. Harga energi akan dipengaruhi oleh produksi energi melalui besarnya deplesi yang terjadi dan seberapa cepatnya perkembangan teknologi ekstraksi. Hubungan energi dengan besarnya output nasional tidak dijelaskan secara eksplisit dalam model DICE. Kapasitas produksi energi dalam DICE diasumsi memiliki kontribusi yang kecil karena rendahnya kapital dalam produksi energi dan teknologi produksi energi merupakan variabel eksogen. 2.7 Kebijakan Terhadap Emisi Membuat peraturan adalah cara yang utama bagi pemerintah untuk memberikan proteksi terhadap lingkungan. Kebijakan dan instrumen dari kebijakan selalu berubah sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Salah satu masalah yang sulit dihadapi oleh pembuat kebijakan adalah memilih kebijakan yang paling efektif untuk mengatasi masalah lingkungan dan bagaimana kebijakan tersebut sesuai dengan kemampuan institusi yang ada pada saat ini. Secara spesifik tujuan kebijakan lingkungan haruslah efisien (lihat gambar 28 dan 31). Ada beberapa instrumen yang dapat digunakan oleh pembuat kebijakan untuk mengurangi ataupun menghilangkan dampak dari eksternalitias yang ditimbulkan khususnya penggunaan bahan bakar fosil (BBF). Menurut Energy Resources International,Inc (2005) 26) ada tiga instrumen yang dapat digunakan yaitu : (1) voluntary standard yaitu merupakan suatu petunjuk atau standar tetapi tidak ada paksaan bagi pihak jika tidak menerapkannya, tetapi pihak yang menerapkan akan mendapatkan benefit jika menerapkannya dan tidak ada finalti atau denda jika tidak mengimplemantasikanya. Standar ini pada umumnya memiliki dampak yang terbatas dan kecil. (2) perintah dan pengendalian ( command and control ) adalah merupakan suatu aturan atau standar yang 26) ) Penjelasan lebih terinci dapat dilihat pada Best Practices Guide: Market Approach to Environmental Protection. Disiapkan oleh Energy Resources International,Inc, Whasington,DC untuk program pelatihan Energi dan Lingkungan US Agency for International Development (paper dicetak 2005) 52 memiliki kekuatan hukum untuk mengurangi emisi sesuai dengan level dari emisi yang disyaratkan. Standar ini sering mensyaratkan untuk menggunakan teknologi tertentu untuk mengendalikan emisi dan kadang-kadang dibuat sesuai dengan daerah tertentu. ( site-specific). (3) insentif ekonomi (economic incentives) yang terdiri dari pajak emisi (emission tax), perdagangan emisi (tradable emission quotas) atau disebut izin melepaskan pencemar (transferable discharge permit ) dan program refund deposit (deposit-refund program). Pajak emisi adalah pembayaran atau pajak yang dikenakan untuk tiap unit emisi. Semua pencemar harus mengendalikan unit biaya marjinal untuk mengurangi emisi ( MAC) sama dengan besarnya pajak sehingga terjadi distribusi biaya yang efektif dan semua pencemar akan mencari metode dengan biaya yang terkecil untuk mengurangi biaya total yang akan memenuhi persyaratan. (lihat gambar 28 dan 29 ). Izin melepaskan pencemar (TDP) adalah menetapkan jumlah emisi yang diperbolehkan atau jumlah permit yang akan diperjual belikan dan harganya diserahkan kepada mekanisme pasar. Dalam pasar permit semua pencemar dapat menjual ataupun membeli permit yang dimilikinya dengan harga pasar. Harga pasar permit akan bergerak sampai MAC sama dengan harga permit tersebut (lihat gambar 30). Berbeda dengan pajak emisi. TDP bekerja atas basis jumlah emisi yang boleh dikeluarkan sedangkan pajak menggunakan basis harga dari besarnya unit emisi yang dikeluarkan oleh pemerintah berdasarkan jumlah emisi yang diizinkan. Pihak pencemar dapat menjaga level emisi dibawah level yang dimilikinya dan dapat menjual atau menyewakan surplus permitnya ke pencemar lain atau menukarkan dengan kelompok pencemar dari fasilitas yang sama ( offset ). Program refund deposit adalah pembayaran tertentu (deposit) yang dibayarkan dimuka terhadap polusi potensial untuk dikeluarkan atau dibuang dan pembayaran akan dikembalikan sebagai garansi dari deposit jika polusi tersebut tidak terjadi. Jenis instrumen ini umumnya tidak dipakai untuk pencemaran emisi dari BBF. 53 Contoh seperti penggunaan kembali botol dan kaleng yang diterapkan oleh pemerintah Papua Nugini dan pembuangan sampah di Korea. 27) Rp biaya kerusakan marjinal (MD) Biaya marjinal mengurangi emisi (MAC) Biaya T optimal Jumlah emisi ζ* ζo Gambar 28. Tingkat pencemaran yang efisien Pada gambar 28 dapat dilihat bahwa jika tidak ada intervensi pemerintah, maka pencemar akan mengeluarkan emisi sebesar ζo dimana MAC=0. Rp MD MACo MAC1 Pajak =T a d b jumlah emisi c ζ* ζo Gambar 29. Dampak pajak emisi terhadap MAC dan emisi yang dikeluarkan 27) ESCAP Virtual Conference. “Role of various environment-related measures”. Market-based Instrument (MBIs). MBI terdiri dari : charges,subsidies, marketable ( or tradable) permits, dan jenis) lainnya adalah : deposit-refund systems, traditional property right, ecolabelling and ISO standard. Sumber: http://www.unescap.org/DRPAD/VC/orientation/M5_3.htm 54 Tingkat pencemaran yang efisien terjadi pada titik ζ * dimana MAC = MD. Jika emisi ζ > ζ * masyarakat harus menanggung biaya lebih mahal atau biaya sosial yang terjadi lebih mahal sebagai akibat dari kerusakan lingkungan. Sebaliknya jika ζ < ζ * ada biaya yang besar harus ditanggung oleh masyarakat karena adanya biaya yang besar dikeluarkan untuk mengurangi emisi. Pada gambar 29 dapat dilihat bagaimana pajak emisi merubah MAC. Jika pajak dikenakan kepada pencemar sebesar T maka emisi yang terjadi adalah sebesar ζ* dan MAC = MD. Kurva MAC akan bergeser dari MACo menjadi MAC1 . Daerah a adalah pendapatan pajak ( tax revenue) dan c adalah total biaya untuk mengurangi emisi ( abatement cost ). Dengan adanya pajak emisi maka kerusakan dapat dikurangi sebesar c+d. Karena terjadi pergeseran MAC maka setelah adanya pajak emisi pendapatan pemerintah adalah sebesar a+b. Pada gambar 30 dapat dilihat penawaran dan permintaan terhadap TDP. Kurva penawaran yang tegak lurus ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan jumlah emisi yang diperbolehkan untuk semua industri atau pencemar. Setiap pencemar akan membeli permit seharga P sesuai dengan MAC dari pencemar dan kondisi keseimbangan akan menjadi 28) : MAC1 = MAC2 = MAC3 =.....MACn = P * suplai atau penawaran Rp P* ( ∑MACn ) permintaan ζ* ζo Æ permit/izin Gambar 30. Penawaran dan permintaan TDP 28) Masalah yang dihadapi menggunakan TDP adalah sulit dalam menentukan baseline yang tepat untuk menentukan besarnya pencemaran. Dapat diaplikasikan dengan beberapa syarat Lihat Fauzi,Akhmad (2004). Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan.Teori dan Aplikasi , hal 204. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. 55 2.7.1 Instrumen Regulasi (CAC) VS Ekonomi (EI) Hampir semua negara menggunakan kebijakan regulasi (common and control) untuk mengatasi masalah lingkungan. Pendekatan ini sering dipandang lebih memberikan kepastian ( secure), karena adanya larangan. Blackman dan Harrington (1998) dalam UNEP publication UNEP/ETB/2003/9 (2004) menjelaskan bahwa ada tiga faktor kebijakan CAC yang selalu mendominasi kebijakan ekonomi yaitu: (1) adanya pemimpin pasar (market leader) yang memiliki pengaruh sangat kuat dalam proses politik, khusunya pada negara berkembang. Hal yang sama juga terjadi pada negara maju, karena adanya kedekatan hubungan dengan pihak pemerintah, selain itu masyarakat terbiasa dengan sistem institusi yang tidak efisien. (2) karena pengandalian dalam kebijakan CAC tidak terlalu sulit. Contohnya pemerintah hanya memerlukan konfirmasi apakah alat untuk mengurangi emisi sudah dipasang dari pada memeriksa jumlah emisi yang dikeluarkan setiap bulannya untuk memenuhi persyaratan perizinan. (3) kebijakan CAC adalah ”status quo” dan cenderung untuk mencegah perubahan (inertia prevent change). Hal lain yang diperlukan oleh CAC adalah pemerintah yang bebas korupsi untuk melakukan tindakan hukum. Karena kebijakan CAC selalu menentukan nilai batas emisi, maka pencemar bebas mengeluarkan emisi sejauh emisi tersebut berada dibawah batas yang ditentukan oleh standar. Pada kenyataanya EI adalah instrument kebijakan lingkungan dengan biaya lebih murah dibandingkan dengan CAC dan ikut menciptakan inovasi teknologi dalam pengendalian pencemaran lingkungan dan akan berdampak positif dalam menciptakan perdagangan yang kompetitif. Menggunakan pajak emisi (EI) akan lebih efisien dibandingkan dengan menggunakan CAC karena instrument pajak adalah salah satu dari instrument ekonomi. Instrumen ini bekerja atas dasar mekanisme pasar dan insentif. Dari uraian sebelumnya telah diuraikan bahwa menggunakan EI lebih efektif dari segi biaya karena sifatnya yang akan menyamakan biaya marjinal untuk mengatasi emisi (equalize marginal abatement ) terhadap semua pencemar dan memberikan pilihan bagi pencemar untuk memilih. Hal ini bertolak belakang dengan CAC yang cenderung memaksa setiap pencemar untuk mengeluarkan investasi yang sama dalam mengatasi pencemaran emisi yang berbeda 56 2.7.2 Pajak Emisi Optimal Seperti yang telah dijelaskan pada bagian 2.7 diatas bahwa pada titik ζ * biaya yang dikeluarkan untuk mengatasi emisi akan sama besarnya (MAD=MAC), apakah pemerintah akan menggunakan kebijakan pajak (tax instrument) atau menggunakan standar emisi (command and control). Dari sudut pandang sosial, maka menggunakan pajak akan lebih efektif karena area ( b+c) yaitu besarnya pendapatan dari pajak yang diterima akan dapat digunakan oleh pemerintah untuk masyarakat, sedangkan area d adalah total biaya untuk mengatasi emisi. Pada gambar 31 dapat dilihat bahwa daerah sebelah kiri dari titk ζ* atau pada ζA pencemar akan memilih membayar pajak dan membuang emisi, sedangkan disebelah kanan dari titik ζB biaya membayar pajak lebih besar dari pada biaya mengurangi emisi (abatement cost). Jadi sepanjang sumbu x disebelah kiri dari ζ* MAC > Pajak dan pada sebelah kanannya MAC<Pajak. Rp MAC T optimal a MAD e b c ζA d ζ* ζB Jumlah emisi yang dibuang Gambar 31. Pajak emisi optimal Pada gambar 32 dapat dilihat dengan jelas hubungan antara MAC, jumlah emisi dan pajak. Didaerah sebelah kanan titik ζ * lebih baik membayar pajak dari pada mengeluarkan biaya abatement. 57 MAC MAC T pajak ζ* jumlah emisi Gambar 32. Kurva MAC terhadap jumlah emisi Jika pencemar akan mengeluarkan emisi diatas ζ* maka pencemar akan dikenakan pajak yang jauh lebih besar dari MAC dan opsi bagi pencemar adalah untuk menghindar membayar pajak karena biaya untuk mengatasi emisi jauh lebih murah dari pajak. ( MAC < Tax ). Dengan adanya pajak, maka pencemar cenderung untuk melakukan efisiensi dengan melakukan inovasi teknologi, mencari substitusi energi ataupun menggunakan teknologi tertentu. Kurva MAC dari pencemar akan bergeser dari MAC1 ke MAC2 seperti dapat dilihat pada gambar 33 MAC MAC1 MAC2 T c e a d ζ2 b ζ1 Gambar 33. Perubahan kurva MAC emisi 58 Bergesernya kurva MAC1 ke MAC2 sebagai akibat dari adanya investasi dari pencemar akan mendapatkan penghematan sebesar a+c jika besarnya pajak tetap dipertahankan sebesar T dan total biaya untuk mengatasi emisi adalah sebesar d+b. Penghematan sebesar a+c didapat dari perubahan : (Total biaya untuk mengatasi emisi dengan MAC1) – (Total biaya untuk mengatasi emisi dengan MAC2 )+ (besarnya pajak karena perubahan dari ζ1 ke ζ2 )= (a+b) – (d+b) + (c+d) = (a+c). III. METODA PENELITIAN 3.1 Kerangka Pelaksanaan Penelitian Model didalam penelitian ini banyak menggunakan variabel yang saling terkait satu sama lain. Variabel tersebut dapat dikelompokkan menjadi variabel yang bersifat endogen, eksogen dan variabel kebijakan (policy variable). Kerangka pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada gambar 34. Menganalisis Peran Pajak Emisi CO2, Yang Berasal Dari BBF (Bahan Bakar Fosil ) Tujuan Indikator Data Metodologi Tool Menentukan dampak pajak emisi terhadap pendapatan nasional dan kesejahteraan masyarakat termasuk besarnya pajak dalam kondisi optimal Menentukan besarnya pajak emisi/karbon yg optimal dan pendapatan serta beberapa variabel dalam model Perubahan GDP nasional dan pendapatan per kapita masyarakat akibat adanya pajak emisi Perubahan besarnya control rate emisi , GDP akibat pajak, utiliti per kapita dan konsumsi BBF Data historis pemakaian BBF menurut sektor / tipe BBF yang dipakai, data GDP, data populasi, harga BBF Perhitungan emisi CO2, data GDP, populasi ,konsusmsi BBF & harga Pemodelan berdasarkan referensi DICE, FREE, IPCC dan ENTICE dan dimodifikasi untuk kondisi Indonesia EXCELL, SPSS dan VENSIM Menentukan besarnya biaya karena dampak emisi/dampak pada GDP Tingkat perubahan GDP dan utiliti per kapita Informasi variabel model berdasarkan studi sebelumnya Optimasi Analisis Skenario dan Sensitivitas GAMS GAMS Gambar 34. Kerangka pelaksanaan penelitian 60 Langkah – langkah dalam melakukan pemodelan seperti pada gambar 35 Review latar belakang teori Formulasi struktur model Data verifikasi Data empirik Kalibrasi model Test robustness Analisis sensitivitas Hasil akhir Kesimpulan dan rekomendasi kebijakan Gambar 35. Tahapan dalam melakukan pemodelan 3.2 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang akan digunakan didalam penelitian ini diambil dari data sekunder yang dikeluarkan oleh beberapa institusi atau departemen pemerintah seperti Biro Pusat Statistik, Departemen Pertambangan dan Energi, Pertamina, Bank Indonesia dan lembaga riset didalam maupun dari luar negeri seperti PPE-UI, Energy Information Administration (EIA) dari Departemen Energi Amerika Serikat , IPCC dan dari laporan penelitian lainnya. Sumber data untuk perhitungan pajak emisi gas CO2 : Populasi. Data untuk jumlah populasi Indonesia diambil dari Biro Pusat Statistik dan sumber lain seperti ADB 61 Produk Domestik Bruto (GDP). Data GDP diambil dari Bank Indonesia, Asian Development Bank dan BPS, dan trend GDP sampai tahun 2010 diambil dari Indonesia Energy Outlook & Statistics 2004, Pengkajian Energi Universitas Indonesia. Harga bahan bakar. Data mengenai harga bahan bakar untuk produk petroleum, batubara dan gas diambil dari data yang bersumber dari Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Departemen Pertambangan, Petroleum Report Indonesia2003 yang dikeluarkan oleh kedutaan besar Amerika di Jakarta dan Pertamina. Konsumsi bahan bakar. Jumlah konsumsi bahan bakar secara nasional termasuk batubara diambil dari Petroleum Report Indonesia tahun 2003, Indonesia Energy Outlook & Statistic 2004 dan dari Direktorat Jenderal MIGAS Emisi CO2. Data faktor emisi diambil dari IPCC Guideline Manual 1996 untuk Inventori gas rumah kaca dan UNEP Guideline untuk menghitung emisi gas rumah kaca tahun 2000. Data mengenai jumlah emisi CO2 akan dihitung berdasarkan metode dari IPCC dan UNEP Guidance. Data dari perhitungan Indonesia Energy Outlooks & Statistics 2004 dari PE UI akan dijadikan referensi. Elastisitas harga bahan bakar. Data elastisitas permintaan akan bahan bakar terhadap harga bahan bakar itu sendiri diambil dari sumber William D.Nordhaus dan Joseph Boyer 1999, dimana diasumsi bahwa - 0,7 untuk negara OECD dan – 0,84 untuk negara yang tidak termasuk dalam OECD. Sebagai pelengkap elastisitas bahan bakar solar dan bensin dihitung berdasarkan studi Basharat Pitafi. 3.3 Perhitungan Jumlah Dan Tren Emisi Gas CO2 Perhitungan jumlah emsisi gas CO2 menurut IPCC - revisi 1996 adalah sebagai berikut : Emisi gas CO2 = Σ konsumsi bahan bakar menurut tipe (TJ) x Faktor emisi karbon – karbon yang disimpan (stored) x fraction oxidised. Emisi CO2 dapat juga dihitung berdasarkan referensi dari Thomas,Charles et.al (UNEP,2000) 29) dimana emisi dihitung berdasarkan faktor emisi (default value) untuk masing-masing tipe dari bahan bakar fosil. 29) Perhitungan praktis dapat dilihat pada buku petunjuk The GHG Indicator : UNEP Guidelines for Calculating Greenhouse Gas Emission for Business and Non Commercial Organization. 85 Untuk emisi gas CO2 (untuk bukan gas, dalam ton) = ∑ Konsumsi bahan bakar ( dalam liter ) x Faktor emisi (tCO2/Liter) Untuk emisi gas CO2 (untuk gas, dalam ton) = ∑ Konsumsi bahan bakar (Dalam therm ) x Faktor emisi (tCO2/therm) Jumlah emisi gas CO2 yang didapat berdasarkan perhitungan diatas dapat dilihat pada gambar 36 (lampiran 15). Perhitungan dilakukan berdasarkan data konsumsi BBF menurut sektor yang diolah berdasarkan data dari Indonesia Energy Outlook & Statistics 2004, PEUI. Persentase pertumbuhan emisi CO2 Indonesia dapat dilihat pada gambar 37 (lampiran 17). Dengan asumsi laju pertumbuhan GDP sebesar 4,5-5% pertahun maka pada periode tahun 2004 – 2020 pertumbuhan emisi Tren Total Emisi CO2 Indonesia Menurut Sektor ( Dari Sumber BBF) Tahun 20 20 20 17 20 14 20 11 20 08 20 05 20 02 19 99 19 96 19 93 400.000.000 350.000.000 300.000.000 250.000.000 200.000.000 150.000.000 100.000.000 50.000.000 0 19 90 Emisi CO2 (Dalamton) CO2 berada pada kisar 3-5% Emisi CO2 Gambar 36. Tren total emisi gas CO2 Indonesia menurut sektor 20 20 20 18 20 16 20 14 20 12 20 10 20 08 20 06 20 04 20 02 20 00 19 98 19 96 19 94 19 92 0,12 0,10 0,08 0,06 0,04 0,02 0,00 0,02 0,04 19 90 Pertumbuhan Emisi CO2 (%) Pertumbuhan Emisi CO2 Indonesia Tahun Emisi CO2 Gambar 37. Persentase pertumbuhan emisi gas CO2 Indonesia 63 Peningkatan emisi gas CO2 untuk setiap sektor dapat dilihat pada gambar 38 (lampiran 16). Emisi gas CO2 yang berasal dari sektor industri dan transportasi mengalami peningkatan cukup signifikan. 160.000.000 140.000.000 120.000.000 100.000.000 80.000.000 60.000.000 40.000.000 20.000.000 0 19 90 19 92 19 94 19 96 19 98 20 00 20 02 20 04 20 06 20 08 20 10 20 12 20 14 20 16 20 18 20 20 Emisi CO2 ( Dalam ton) Tren Emisi CO2 Indonesia Menurut Sektor ( Dari Sumber BBF) Tahun CO2 Industri CO2 Transportasi CO2 Komersial CO2 Residen CO2 Listrik Gambar 38. Emisi gas CO2 menurut sektor Tren emisi gas CO2 menurut tipe dari BBF dapat dilihat pada gambar 39 (lampiran 18). Emisi gas yang berasal dari bahan bakar minyak merupakan sumber utama emisi gas CO2 Indonesia dimana saat ini mengalami kenaikannya cukup signifikan dibandingkan dengan laju kenaikan emisi dari tipe batubara dan natural gas. 20 18 20 16 20 14 20 12 20 10 20 08 Tahun 20 06 20 04 20 02 20 00 20 98 20 96 19 94 19 92 19 19 90 400.000.000 350.000.000 300.000.000 250.000.000 200.000.000 150.000.000 100.000.000 50.000.000 0 19 Emisi CO2 ( Dalam ton) Tren Emisi CO2- Menurut Tipe ( Dari Sumber BBF) Emisi CO2-Petroleum Fuel Emisi CO2-Natural Gas Emisi CO2-Batubara Total Emisi CO2 Menurut Tipe BBF Gambar 39. Tren emisi gas CO2 menurut tipe dari BBF 64 Walaupun pertumbuhan emisi gas CO2 berada pada kisar 3-5%, tetapi kontribusi emisi terbesar berasal dari bahan bakar minyak sektor industri dan transportasi. Emisi gas CO2 yang berasal dari sektor tenaga listrik juga mengalami peningkatan, tetapi secara presentase menunjukkan penurunan. Hal ini karena adanya substitusi dari bahan bakar batubara ke gas. Persentase perumbuhan emisi gas CO2 sektor listrik dapat dilihat pada gambar 40 (lampiran 17) 0,20 0,15 0,10 0,05 0,00 -0,05 19 90 19 92 19 94 19 96 19 98 20 00 20 02 20 04 20 06 20 08 20 10 20 12 20 14 20 16 20 18 20 20 Pertumbuhan Emisi CO 2 (%) Pertumbuhan Emisi CO2 Indonesia Sektor Listrik -0,10 Emisi CO2 Tahun Gambar 40. Persentase pertumbuhan emisi gas CO2 sektor listrik Tren Emisi Gas CO2 menurut estimasi dari Gregg Marland.et.al (2000),Oak Ridge National Laboratory, University of North Dakota dapat dilihat pada gambar 41 Tahun 20 00 19 98 USA) 19 96 19 94 19 92 19 90 19 88 19 86 19 84 19 82 80.000 70.000 60.000 50.000 40.000 30.000 20.000 10.000 0 19 80 Emisi CO2 (Dalam Metric ton) Emisi CO2 Indone sia Dari Sumbe r BBF ( Be rdas arkan e stim asi Oak Ridge National Laboratory - Total Emisi CO2 -BBF Emisi CO2 BBF - Gas Emisi CO2 BBF- Cair Emisi CO2 Padat Gambar 41. Emisi gas CO2 Indonesia dari sumber BBF 65 3.4 Energi dan Karbon Intensitas Dari uraian yang telah dijelaskan pada bab 2.3 bahwa tren dari emisi gas tergantung dari CO2 beberapa elemen kunci yaitu populasi, GDP/kapita, Energi/GDP ( energi intensitas ) dan emisi gas CO2/Energi atau disebut intensitas karbon. Rasio dari elemen kunci tersebut perlu dihitung untuk melihat gambaran dari pemakaian energi nasional. Rasio dari energi terhadap GDP adalah suatu indikasi yang merefleksikan karakteristik dari struktur , teknologi dan energi yang dipakai oleh masyarakat. Makin kecil energi intensitas maka semakin sedikit emisi gas CO2 yang dihasilkan. Efisiensi didalam penggunaan energi dapat menurunkan nilai energi intensitas. Rasio CO2 terhadap energi yang disebut sebagai intensitas karbon adalah pengaruh dari perubahan tipe energi mix yang dikonsumsi dalam kontek karakteristik karbon. Perlu strategi dari energi mix agar komponen karbon intensif dapat diganti atau dirubah seperti penggunaan pembangkit dengan batubara diganti dengan gas alam, energi surya dan tenaga nuklir. Berdasarkan jumlah populasi, GDP, konsumsi energi dan emisi gas CO2 yang dihasilkan, maka tren dari emisi dan implikasi untuk Indonesia dapat dilihat pada gambar 42, 43, 44 dan 45. (lampiran 11,12,13 dan 21) Analisis energi intensitas dan karbon intensitas akan dilakukan pada Bab.IV 5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 0,000 19 90 19 92 19 94 19 96 19 98 20 00 20 02 20 04 20 06 20 08 20 10 20 12 20 14 20 16 20 18 20 20 GDP/N (Juta/Penduduk) Tren GDP/Penduduk Indonesia Tahun Gambar 42. Tren GDP/penduduk Indonesia GDP/Pendudk 66 Tren Intensitas Emisi & CO2/ Kapita -Indonesia 19 90 19 92 19 94 19 96 19 98 20 00 20 02 20 04 20 06 20 08 20 10 20 12 20 14 20 16 20 18 20 20 1,60 1,40 1,20 1,00 0,80 0,60 0,40 0,20 0,00 Tahun CO2/Kapita Intensitas Emisi Gambar 43. Tren intensitas emisi gas CO2 & CO2 per kapita -Indonesia Tren Intensitas Emisi CO2 Indonesia 1,20 1,00 0,80 0,60 0,40 0,20 19 90 19 92 19 94 19 96 19 98 20 00 20 02 20 04 20 06 20 08 20 10 20 12 20 14 20 16 20 18 20 20 0,00 Tahun Intensitas Emisi(Karbon) Intensitas Energi Fuel Mix Gambar 44. Tren intensitas emisi gas CO2 -Indonesia 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 19 90 19 92 19 94 19 96 19 98 20 00 20 02 20 04 20 06 20 08 20 10 20 12 20 14 20 16 20 18 20 20 Intensitas Konsumsi (E/Kapita ) Tren Intensitas Konsumsi Indonesia (E/Kapita) Tahun Intensitas Konsumsi (BOE) Intensitas Konsumsi (TOE) Gambar 45. Tren intensitas konsumsi energi Indonesia 67 3.5 Elastisitas Dan Kalibrasi Kalibrasi model adalah suatu proses dimana estimasi diperoleh melalui parameter atau variabel model yang dibandingkan terhadap observasi dari model sebelumnya atau model yang dijadikan acuan dan prediksi dari model itu sendiri. 3.5.1 Perhitungan Elastisitas Sebagai informasi tambahan, maka dalam penelitian ini akan dilihat elastisitas harga bahan bakar terhadap konsumsi dan output nasional. Elastisitas yang akan dilihat adalah bagaimana respon dari konsumsi bensin dan minyak diesel terhadap perubahan harga . Analisis akan menggunakan model dari Pitafi,Basharat.30) ln TC = α + β1ln CP + β2 ln GDP + β3 ln LTC GC adalah konsumsi bensin (gasoline) per kapita; DC adalah konsumsi diesel per kapita; TC adalah GC+DC ; LTC adalah single lagged TC; CP adalah (DC*DP + GC*GP)/TC ; dimana GP adalah harga premium (gasoline) dan DP adalah harga minyak diesel dan GDP adalah real GDP per kapita. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan data konsumsi minyak premium dan solar pada periode tahun 1990 – 2005. Harga premium dan solar digunakan harga tertinggi tanpa subsidi. Pada gambar 46 (lampiran 21) dapat dilihat tren elastisitas konsumsi BBF terhadap GDP untuk periode 1990 - 2020 Elastisitas Konsumsi Energi Terhadap GDP Elastisitas 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 19 90 19 92 19 94 19 96 19 98 20 00 20 02 20 04 20 06 20 08 20 10 20 12 20 14 20 16 20 18 20 20 0,00 Tahun Elastisitas GDP Gambar 46. Elastisitas konsumsi energi terhadap GDP 30) Hasil studi dapat dilihat paper Pitafi,Basharat . Elasticity of fuel Consumption in Pakistan : An Econometric Study. University of Hawai. Menyimpulkan bahwa kenaikan harga cenderung untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan peningkatan penggunaan kendaraan umum/public. 68 3.5.2 Kalibrasi Kalibrasi dalam model hanya akan dilakukan terhadap variabel total faktor produktifitas (A). Hal ini disebabkan karena kisar dari nilai faktor A yang didapat dari beberapa referensi sangat besar. Variabel A adalah variabel eksogen yang akan mempengaruhi nilai dari variabel yang lain. Dalam model ini nilai A yang akan dipakai dalam persamaan akan dicari melalui kalibrasi. Parameter lain didalam persamaan yang digunakan dalam penelitian ini tidak dilakukan kalibrasi karena diambil dari model DICE . Model DICE telah dikalibrasi terhadap tiga model climate yaitu Schneider-Thomson untuk feedback parameter, model Stouffer,Manabe dan Bryan untuk atmospheric-ocean model dan model atmospheric & six-layer ocean dari Schlesinger dan Jiang (lampiran 31). Parameter tersebut dapat dilihat pada tabel 11. Nilai α1 atau coefficient inertia sebenarnya merupakan nilai T2xCO2 sebesar 2 dan dari model yang ada berkisar antara 1 dan 2 Tabel 11. Parameter model DICE Notasi Deskripsi λ = α2 α1 = 1/R1 1/τ12 = α4 α3= R2/τ12 A 3.6 Feedback parameter Parameter inersia dengan one and two-equation model Coefficient Coefficient Faktor produktivitas total Nilai 1,41 0,02 0,002 0,44 0,5 - 3,1 Deskripsi Model Model DICE and FREE adalah model pada tingkat agregat (Aggregation level ) yang bersifat top-down dimana model menjelaskan mengenai hubungan kuantitas-harga dan umpan balik terhadap kondisi ekonomi pada tingkat nasional maupun global. Model top-down pada umumnya berangkat dari persamaan fungsi produksi untuk setiap sektor ekonomi. Fokus dari pendekatan model adalah melihat hubungan dan interaksi antara pasar dan sektor ekonomi. Sedangkan model bottom-up melihat bagaimana suatu kebijakan penggunaan energi dengan menggunakan perubahan teknologi pada tingkat terinci seperti penggunaan studi 69 enjinering untuk mengurangi biaya energi. Penelitian ini akan menggunakan pendekatan top-down karena bertitik tolak dari model DICE. 31) Hubungan antar sektor dari model dapat dilihat pada gambar 47. Populasi Energi Populasi Kebijakan + Harga energi Walfare Ekonomi + - Konsumsi energi Utiliti + - + Kapital + - GDP + Dampak kerusakan Iklim + + Emisi CO2 dari BBF + Emisi Siklus Karbon Suhu - Kerusakan Iklim Pajak emisi CO2 + + + Pemindahan Panas CO2 di atmos + + Deep ocean Gambar 47. Hubungan antar sektor dari model Persamaan model dari DICE akan dipakai dalam menentukan pajak emisi optimal melalui beberapa perubahan yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia.. Dalam gambar 47 menunjukkan bahwa akumulasi kapital akan mendorong pertumbuhan ekonomi atau GDP, hal ini akan ditentukan oleh variabel eksogen yaitu pertumbuhan populasi dan produktivitas. Kegiatan ekonomi memerlukan energi yang akan menimbulkan dampak terhadap timbulnya emisi gas CO2. Meningkatnya emisi akan berkontribusi dalam kerusakan iklim global. Dampak akan dirasakan secara tidak langsung seperti meningkatnya permukaan laut dan 31) ) McFarland,J.R et.al (2004).Representing energy technology in top-down economic models using bottom-up information.Energy Economic 26. Menyatakan bahwa faktor paling kritis terhadap emisi sebagai akibat tindakan manusia untuk masa yang akan datang adalah laju (rate) dan besarnya perubahan teknologi terhadap pengurangan emisi. Ada dua pendekatan model untuk melihat interaksi antara energi, ekonomi dan system lingkungan dan teknologi yaitu top-down dan bottom –up. 85 adanya perubahan iklim yang akan berdampak pada sektor pertanian. Dampak kerusakan ini akan mengurangi pertumbuhan ekonomi karena adanya pengeluaran sektor pendapatan nasional yang pada akhirnya akan mengurangi tingkat kesejahteraan masyarakat. Dalam sektor energi akan terjadi peningkatan produksi energi sebagai akibat dari meningkatnya konsumsi pada sektor ekonomi. Eksploitasi dan explorasi sumber daya energi akan mengakibatkan terjadinya deplesi sumberdaya energi yang akan meningkatkan harga energi. Pajak emisi gas CO2 akan mengakibatkan naiknya harga energi dan akan berintegrasi dengan laju eksploitasi dan explorasi sumber daya energi yang menyebabkan terjadinya deplesi sumberdaya energi dan akhirnya meningkatkan harga energi. Dalam model pajak karbon dapat dikenakan pada energi primer, energi sekunder ataupun pada energi akhir. Model DICE mengenakan pajak pada energi primer, hal ini disebabkan karena model menggunakan data makro yang bersifat global ataupun regional, bukan pada skala nasional. Dalam analisis ini pajak emisi gas CO2 akan dibebankan pada sisi produsen (supply) dan konsumen (demand) namun perhitungan dilakukan berdasarakan pada data dari energi primer dan sekunder, artinya akan dikenakan pada energi final dan demand. Hal ini dilakukan agar sisi supply dan demand mendapatkan insentif yang sama. Pajak optimal akan didapat berdasarkan biaya marjinal yang minimum dalam satuan unit rupiah per satuan unit berat emisi. Proses ini dapat dilihat pada bondari dari sistem energi pada gambar 48 dan gambar 49. Pajak Suplai Energi Primer Konversi Pengolahan Secondary Gasoline Distribusi Truk Final Gasoline Pemakai akhir Penggunaan Pelayanan Kendaraan Kinetik Penumpang-km Demand Gambar 48. Bonderi sistem energi Pem Listrik Listrik Kabel Listrik peralatan Panas cahaya 71 Resources Energi Primer Energi Sekunder Batubara Batubara Batubara Batubara Industri Fuel oil Fuel oil Transportasi Minyak mental (Crude oil) Minyak mentah light oil Light oil Residen (rumah tangga) Gas Gas Gas Gas Energi Final Pajak emisi gas CO2 Gambar 49. Demand Listrik Pajak emisi gas CO2 Sistem referensi energi 3.6.1 Horizon Waktu Beberapa model dari ekonomi–climate change (Fiddaman,Thomas 1997) memiliki horison waktu yang sangat panjang 1960 – 2100, untuk keperluan optimasi ada yang membuat target sampai dengan tahun 2300. Model DICE dan FREE memiliki horison waktu sampai tahun 2100. Dalam penelitian ini horison waktu akan digunakan hanya selama 30 tahun kedepan atau mulai dari 1990 sampai 2019. Dengan tidak mengubah variabel dalam persamaan model, maka program dapat dilakukan untuk horizon waktu lebih dari 30 tahun dengan menggunakan program dari GAMS. 3.6.2 Kesejahteraan (Walfare) Pengukuran kesejahteraan masyarakat ( walfare) dihitung berdasarkan kumulatif utility yang di discount dengan menggunakan social discount rate ( Cummulative discounted utility), dalam hal ini utilitas diwakili oleh besarnya populasi dan discount factor untuk pure time preference. CDU = ∫e (-ρ t) L(t) U(t) dt Dimana CDU adalah kumulatif utility yang di-discounted, ρ adalah rate of time preference, L adalah populasi dan U adalah utilitas yang diwakili oleh pendapatan 72 per kapita. Generasi yang memiliki jumlah populasi yang besar akan menerima nilai bobot perhitungan yang lebih besar untuk kesejahteraan. Jika nilai time preference adalah positip, maka utilitas untuk generasi yang akan datang akan menerima bobot perhitungan (diminishing weight) dari kesejahteraan kumulatif sesuai dengan periode waktu. Tujuan model adalah untuk memaksimumkan kesejahteraan masyarakat yang dinyatakan dengan : T W = ∑ U [ cj (t),L(t) ] R(t) t t Dimana R(t) adalah faktor discount (discount factor) : t ∏ [ 1 + ρ (v) ] -t , v =0 dimana ρ adalah rate dari preferensi social ( pure rate of social preference ). U[ c(t) = L(t) {log [c(t) ] } 3.6.3 Discount Rate and Pure Rate of Social Preference Dalam analisis nilai discount yang akan dipakai adalah : d fg = 1 (1 + rfg ) dimana rfg = r adalah discount rate untuk generasi yang akan datang, yang dihitung berdasarkan persamaan r = ρ + μg. ρ adalah pure rate of time preference sebesar 2% untuk periode 0-30 tahun, μ adalah elasticity of marginal utility of consumption atau social aversion to inequality yaitu perubahan dalam kesejahteraan yang disebabkan oleh persentase dari perubahan konsumsi ( pendapatan). g adalah pertumbuhan konsumsi per kapita. Dalam analisa ini nilai μ diasumsikan 1 dan pertumbuhan konsumsi per kapita adalah antara 1,5 - 3 % . Jika discount rate untuk periode 30 tahun adalah sebesar 3,5%, maka faktor discount untuk 30 tahun adalah dfg = 1/(1,035)30 = 0,3562 artinya ada kemungkinan akan terjadi keuntungan (gain) atau kerugian (loss) 30 tahun dari saat ini sebesar 35,62% dari nilai yang ada pada saat ini. Jika discount rate ditetapkan sebesar 0, maka dfg adalah 1, berarti setiap orang memiliki nilai sama “sekarang” dan “masa yang akan datang.” 32) Pure rate of social preference akan menentukan 32) Dalam DICE -99 nilai r atau rfg diasumsi menurun sesuai dengan periode waktu. 3% dalam tahun 1995 dan menurun menjadi 2,3% pada tahun 2100 dan menjadi 1,8% pada tahun 2200. 73 besarnya discount rate, sedangkan besarnya discount rate sangat sensitif terhadap model. Pada table 12 dapat dilihat pengaruh dari social preference rate terhadap factor discount dan nilai yang akan datang. Tabel 12. Hubungan strp, dfg dan nilai yang akan datang ρ ( STPR) 0% 1% 1,5% 2% 3% 4,5% μ 1 1 1 1 1 1 g 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 rfg=r 1,5% 2,5% 3,0% 3,5% 4,5% 6,0% dfg 30 thn Nilai Rp 100 untuk Nilai Rp 100 untuk pada saat ini pada saat ini Rp 64 Rp 48 Rp 41 Rp 36 Rp 27 Rp 17 Rp 22 Rp 8 Rp 5 Rp 3 Rp 1 Rp 0,3 dfg 100 thn periode 30 thn kedepan periode 100 thn kedepan 0,6397 0,4767 0,4119 0,3562 0,2670 0,1741 0,2256 0,0846 0,0520 0,0320 0,0122 0,0029 Model DICE menggunakan nilai ρ sebesar 0,1; 1,5 dan 3,0 sebagai default value dan pertumbuhan sebesar 3%. Pertumbuhan GDP dan GDP per kapita Indonesia menurut Bank Dunia seperti dalam table 13 Tabel 13. Nilai g untuk Indonesia Pertumbuhan rata-rata tahunan 1984 - 1994 GDP GDP per kapita 7,30% 5,50% 1994 - 2004 2,00% 0,70% Discount rate yang disarankan oleh OXERA adalah seperti dalam table 14 33) Tabel 14. Discount rate yang disarankan Periode waktu (time horizon) 0 - 30 31 - 75 76 - 125 126 - 200 2001 - 300 Discount rate 3,50% 3,00% 2,50% 2,00% 1,50% Besarnya nilai discount rate yang akan dipakai dalam analisis seperti dalam table 15 dengan g sebesar 2% dan 0,7%. 33) Untuk lebih rinci mengenai pengertian STRP, lihat OXERA( 17 th December 2002). A Social Time Preference Rate For Use in-Long Term Discounting. 74 Tabel 15. Discount rate yang akan dipakai dalam analisis Untuk g = 2% r = rfg 3,0% 4,0% 6.0% ρ 1 2 4 Untuk g = 0,7% μ.(g) 1(2) 1(2) 1(2) r = rfg 0,7 2,2 3,7 ρ 0 1,5 3 μ.(g) 1(0,7) 1(0,7) 1(0,7) Dengan menggunakan persamaan r = ρ + μg. Maka besarnya r yang akan dipakai untuk tiga skenario dengan g=2% adalah 3%; 4,0% dan 6,0% dan untuk nilai g=0,7% nilai r adalah 0,7% ; 2,2 % dan 3,7% . Dalam hal ini r adalah social discount rate. 3.6.4 Populasi Populasi dalam model adalah variabel eksogen. Populasi dianggap sebagai stok yang bertumbuh sepanjang waktu. Pertumbuhan populasi dalam model DICE adalah perumbuhan populasi global. Nordhaus menggunakan asumsi pertumbuhan akan mengalami perlambatan dan mencapai stabilitas pada jumlah penduduk dunia sebesar 10,5 milyar pada abad ke 22. Pertumbuhan populasi dalam DICE dihitung berdasarkan persamaan: g pop (t) = g pop (t-1)(1- δpop) dan δ pop = 0,195 atau 20% per dekade Analisis akan menggunakan pertumbuhan populasi Indonesia antara 1,2 – 1,4 % per tahun untuk 30 tahun kedepan. Dalam analisis nilai perlambatan (rate declining ) untuk 30 tahun kedepan diasumsi sebesar 0,012 per dekade. 3.6.5 Perubahan Teknologi Johnatan Kohler.et al.(2006) menjelaskan bahwa ada dua alasan mengapa teknologi merupakan faktor penting dalam analisa perubahan iklim: (1) karena aplikasi teknologi telah menyebabkan kontribusi antropogenik terhadap perubahan iklim. Batubara dan minyak adalah bagian dari proses transformasi dari ekonomi dan sosial (2) perubahan masyarakat yang menggunakan karbon rendah memerlukan pengembangan yang menyeluruh dan perlu teknologi baru yang bersifat masal.34) 34) Coe dan Helpman 1995 dalam Jonathan Kohler,at.al (2006) menemukan pengaruh yang besar dari hasil riset luar negeri terhadap TFP domestic untuk USA. Sedangkan Eaton dan Kortum (1994) menemukan bahwa separoh dari pertumbuhan produktivitas USA tergantung dari improvement technology dari luar Amerika. 75 Kemajuan teknologi secara keseluruhan berasal dari perubahan faktor produktifitas total (TFP) atau dengan notasi A. Efektivitas dari penggunaan energi ( David Popp, 2006) diukur dari kemampuan produktifitas dari tiga input energi yang mungkin: BBF, backstop technology dan pengetahuan terhadap efisiensi energi. Dalam model DICE teknologi merupakan variabel eksogen. Dalam model ENTICE ( Endogenous Technological Change), faktor teknologi merupakan variabel endogen yang berubah sebagai akibat dari perubahan riset. Dalam penelitian ini perubahan teknologi dianggap merupakan variabel eksogen yang diambil dari model DICE. Q(t) = Ω(t) A (t) K(t) γ L (t) 1- γ ....( dalam Rp/tahun ) Satu perbedaan yang mendasar dalam pendekatan yang dipakai oleh Nordhaus, Buananno, et al adalah asumsi mengenai biaya kesempatan yang potensial ( potential opportunity costs ) dari riset, diamana Nordhaus ber-asumsi bahwa biaya yang dikeluarakan untuk riset dalam ekonomi berjumlah tetap.35) Q adalah output nasional atau GDP, Ω adalah dampak perubahan iklim, A adalah perubahan teknologi, K adalah kapital dan L adalah tenaga kerja. Variabel A tidak lain adalah merupakan total faktor produktivitas (TFP). Untuk Indonesia TFP dapat dilihat pada table 16. Sebenarnya TFP bertumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi dengan nilai pertumbuhan pada periode t adalah gA (t) = gA (t-1)(1-δA), dimana δA adalah nilai penurunan (declining) dan nilai δA = 0,11 untuk setiap sepuluh tahun (per dekade). DICE menggunakan pertumbuhan sebesar 1,3% per tahun untuk periode 19601989. Karena analisis hanya akan menggunakan periode waktu selama 30 tahun kedepan, maka nilai penurunan diasumsi adalah sebesar 0,1% per dekade. Artinya terjadi penurunan faktor produksi untuk periode 30 tahun kedepan sebesar 0,01 % per tahun. 35) Lihat Popp, David ( 2003). Endogenous Technological Change in The DICE Model of Global Warming” Working paper 9762. National Bureau of Economic Research. Halaman 8. 76 Tabel 16. Estimasi pertumbuhan TFP Indonesia Penulis Ikemoto ( 1986 ) World Bank ( 1993) Young ( 1994 ) Marti ( 1996 ) Collins dan Bosworth (1997) Periode 1970-1980 1970-1975 1975-1980 1960-1989 1960-1990 1970-1985 1970-1985 1970-1990 1960-1994 1960-1973 1973-1994 1973-1984 Pertumbuhan Annual TPF (%) 2,4 3,1 1,8 1,6 1,2 ; -0,8 1,2 0,8 -0,5 0,8 1,1 0,7 0,5 % Pertumbuhan Output 31,5 39 24,3 -9,6 23,5 44 17,5 11,6 Sumber : Felipe,Jesus (1997). Total factor productivity growth in East Asia : A critical survey. EDRC report series No 65. dan Sigit,Hananto. Total factor productivity growth: Survey Report,Part II-National Report Indonesia. Diterbitkan oleh Asian Productivity Organization (2002) Berdasarkan studi Ikemoto, untuk periode 1970-1980 persentasi pertumbuhan output Indonesia adalah sebesar 3,1% dan menurut Collins dan Bosworth untuk periode 1984-1994 pertumbuhan adalah sebesar 0,9%. Kontribusi (share) dari tenaga kerja nasional terhadap pendapatan nasional adalah 1-γ, dimana model DICE menggunakan nilai sebesar 0,75 untuk negara industri. γ adalah elastisitas output terhadap capital, dalam model DICE diasumsi konstan terhadap kapital dan tenaga kerja. Berdasarkan nilai A dari table 16, maka TFP bertumbuh sekitar positif 0.5 – 3,1 dan 0 – negative 0.5. 77 Karena kisar yang begitu besar dari nilai A, maka dalam model ini akan dilakukan proses kalibrasi agar pendapatan yang ditentukan dari persamaan Cobb-Douglass memiliki tingkat kesalahan yang tidak begitu besar. 3.6.6 Investasi dan Interest Rate Investasi adalah bagian penting dari pertumbuhan ekonomi. Dalam perspektif makro ekonomi jangka panjang, investasi akan meningkatkan kapital stok dan setiap peningkatan kapital stok akan meningkatkan kemampuan produksi dari masyarakat dan pada akhirnya akan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Interest rate akan mengubah besarnya kapital dan akan dipengaruhi oleh depresiasi, dalam hal ini adalah sebesar 10%. Biaya untuk melakukan abatement akan mengurangi GDP sehingga diperlukan tambahan investasi untuk menuju keseimbangan. Masukan kapital akan mempengaruhi pendapatan (GDP) dan biaya capital ( r + δ ). Investasi terjadi pada rate yang sesuai untuk menggantikan depresiasi. K(t) = γ Q(t-1) / (r + δ) dan I(t) = K(t) – K(t-1) + δK(t-1) atau K(t) = (1-δk)K (t-1) + I (t-1). Dimana Q adalah output, K adalah kapital, I adalah investasi, δ adalah rate depresiasi, γ adalah elastis output terhadap kapital ( capital share) dan r adalah interest rate. Interest rate dalam loop gambar 50 adalah social discount rate for future generation (rfg) seperti yang diuraikan pada 3.6.3. Ada perbedaan antara market interest rate dengan social interest rate. Dalam model climate change tingkat interest rate yang akan dipakai tidak ditentukan berdasarkan market interest rate. Jika hal ini dilakukan, maka untuk Indonesia pada saat ini berkisar anatar 12- 15 %, dan akan berimplikasi pada kebijakan.yang akan diambil. Pure time preference + + - Investasi Interest rate + Kapital + + Output Konsumsi growth rate + - + Konsumsi Gambar 50. Hubungan investasi dan interest rate 78 3.6.7 Emisi Gas CO2 Besar kecilnya laju pengurangan emisi (μ) akan mempengaruhi pendapatan nasional (GDP). Dalam model DICE hubungan tersebut digambarkan melalui persamaan : E(t) = [ 1 – μ(t) ] σ(t) Q(t) σ(t)= (1+gσ) σ(t-1) Rasio emisi terhadap output adalah pertumbuhan dari rasio emisi terhadap output gσ(t) = gσ(t-1)(1-δσ) Dalam analisa model gσ(1990) adalah - 0,1168 per dekade yang diambil dari angka model DICE 1993. Parameter μ dalam model akan dijadikan sebagai variabel kebijakan. Tren emisi per unit dari output nasional direflesikan dengan (σ). Dalam perhitungan analisa disebut intensitas emisi (intensitas karbon) dari CO2 (yaitu rasio CO2 terhadap GDP). Besarnya nilai intensitas tergantung dari intensitas energi (Energi/GDP) dan fuel mix (CO2/Energi). Intensitas emisi tersebut didapat dari rumus CO2/GDP = Energi/GDP x CO2/Energi Inte nsitas Emisi - Indone sia Intensitas Emisi 0,50 0,40 0,30 0,20 0,10 Tahun 20 20 20 17 20 14 20 11 20 08 20 05 20 02 19 99 19 96 19 93 19 90 0,00 CO2/GDP Gambar 51. Intensitas emisi Indonesia 3.6.8 Dampak Kerusakan Menentukan besarnya tingkat kerusakan yang disebabkan oleh perubahan iklim masih menjadi bahan perdebatan dan spekulasi diantara modeller ( Kevin Rober Gurney 2003). Masalah yang timbul adalah sulitnya menempatkan nilai moneter (Monetary Value) pada dampak berdasarkan nilai pasar dan ketidakpastian mengenai aspek dari kondisi alam dalam merespon perubahan iklim. William D Nordhaus(1992), membuat estimasi kerusakan ekonomi untuk Amerika Serikat pada tahun 1992 sebagai akibat meningkatkan suhu global sebesar 3oC adalah sebesar 0,25% dari pendapatan nasional ( USD 15 milyar atau setara dengan 79 Rp 25,5 triliun ). Karena ada beberapa area yang tidak termasuk dalam studi dari Nordhaus, maka dilakukan penyesuaian sebesar 1% dari total pendapatan. Cline, 1992 mengestimasi besarnya kerusakan untuk Amerika Serikat sebesar 1,3% dari total pendapatan nasional. William R.Cline (World Bank) mengetimasi kerusakan akibat ΔT 2.5oC adalah sebesar 0,25% GDP untuk negara maju dan 0.50% GDP untuk negara miskin. Persen kerusakan hanya dihitung untuk ”market damage”. Sedangkan untuk non market damage adalah 2% GDP untuk negara maju dan 1% GDP untuk negara miskin. Hubungan antara kenaikan suhu dan hilangnya pendapatan akibat perubahan iklim dalam model DICE ditentukan melalui persamaan : d(t) = 0,0133 [ ∆T(t)/3 ] 2 d(t) = 0,0133/9 T(t)2. Q(t), sehingga :d(t)/(Qt) = 0,00144 T(t)2 36) dimana d(t) adalah fractional loss terhadap output dan ∆T adalah kenaikan dalam rata-rata suhu global. Jika dibandingkan dengan estimasi kerusakan yang dilakukan oleh IPCC untuk skenario meningkatnya 2xCO2 adalah sebagai berikut : Tabel 17. Persen kerusakan terhadap GDP Peneliti Cline Fankhauser Nordhaus Titus Tol Suhu (o C) 2,5 2,5 3 4 2,5 Kerusakan (% GDP) 1,1 1,3 1 2,5 1,5 Sumber : Tim Roughgarden dan Stephen H.Scheider (1999) diterbitkan oleh Elsevier. Energy policy 27. „Climate change policy: quantifying uncertainteis for damages and optimal carbon taxes“ 36) Roughgarden dan Schneider (1999) berdasarkan studi dari empat model (Titus,Cline,Frankhauser dan Tol ) membuat modifikasi persamaan untuk total damage untuk 2xCO2 : Dt = a[ ∆Tt/w ] 2, Dt adalah fungsi kerusakan dalam satuan moneter sebagai fraksi GDP GLobal, a adalah fraksi dari GDP yang hilang, ∆T adalah perubahan suhu permukaan bumi. 80 Dengan kenaikan suhu rata-rata global sebesar 3oC, model DICE (1992) memperkirakan persen kerusakan akibat perubahan iklim adalah sebesar 1,33% GDP dan untuk negara OECD sebesar 1,4% terhadap GDP dan 1,5% terhadap GDP untuk negara–negara yang tidak termasuk kedalam Negara OECD. Fungsi kerusakan ( damage function) menurut Frank Ackerman dan Ian Finlayson (October,2005) adalah : D = - 0,0045 T + 0,0035 T2 dimana D adalah kerusakan global akibat adanya pemanasan global berdasarkan nilai moneter 1995 dan T adalah suhu rata-rata dalam derajat Celcius 1990. Menurut Ackerman dan Ian Finlayson pada saat ini nilai T sudah berada pada 0,4 derajat Celcius (pada tahun 1995). Fungsi linier negatip berarti kerusakan dapat menjadi negative, apabila T berkisar antara 0 dan 1,3 derajat Celcius. Dengan menghilangkan spekulasi terhadap koefisien dari – 0,0045 dan diganti dengan 0 maka fungsi kerusakan menjadi : D = 0,0035 T2 ada implikasi kerusakan memiliki hubungan positip dan meningkat secara proposional terhadap T. Dalam penelitian ini persamaan kerusakan yang akan digunakan dalam model adalah : D = 0,0035 T2. 37) 3.6.9 Faktor Pengurang Dalam model DICE adanya perubahan iklim akan berdampak pada berkurangnya output nasional (GDP). Besarnya pengurangan tersebut tergantung dari asumsi faktor pengurang (fractional reduction) yang pada dasarnya adalah tergantung pada besarnya biaya untuk melakukan pengurangan emisi dan biaya yang timbul sebagai akibat dari adanya perubahan iklim tersebut ( Ω ). Nilai Ω dalam model DICE 1992 didapat sebagai berikut : = (1 – Biaya pengurangan emisi) / (1 + Biaya kerusakan akibat iklim) Dimana besarnya pengurangan emisi ditentukan oleh besarnya laju pengurangan emisi (μ). Ω = (1-0,0686μ(t) 2,887 )/(1+ D(t) ) Ω = 1- TC(t)-D(t) 37) Dengan menggunakan fungsi kerusakan D= 0,0035T2 dengan T diasumsi sebesar 2,5o C, maka kerusakan yang terjadi adalah sebesar 0,9 atau sekitar1% GDP. Dengan T yang sama, maka persamaan DICE akan menghasilkan kerusakan dengan jumlah yang sama dengan model yang dibuat oleh Frank Ackerman dan Ian Finlayson. 81 Dalam model DICE/RICE -99, nilai Ω didapat berdasarkan persamaan : Ω = 1/[ 1 + D(t)] dimana D(t) = θ1 T(t) + θ2 T(t)2 Dalam penelitian ini besar nilai D ditentukan dari persamaan D = 0,0035 T2. Biaya total (TC) untuk mengurangi emisi gas CO2 merupakan fraksi dari GDP yang dinyatakan sebagai : b1 μ(t) b2 atau 0,0686μ(t)2,887 , dimana D adalah kerusakan yang disebabkan oleh pemanasan global dalam satuan mata uang . Pada tahun 1995 suhu rata-rata berkisar sekitar 0,6oC. Jika asumsi 30 tahun kedepan suhu permukaan naik sebesar 2oC , maka fraksi kerusakan akan menjadi sebesar 0,014, artinya terjadi pengurangan output sebesar 1,4% akibat perubahan suhu sebesar 2oC. Jika 30 tahun kedepan (Tahun 2020) nilai kenaikan suhu permukaan bumi diperkirakan sebesar 2,5oC, maka besarnya nilai fraksi dari kerusakan terhadap GDP adalah sebesar 2,1% dari GDP. Nilai : b1 μ(t) b2 sebenarnya adalah biaya untuk mengurangi emisi (abatement cost ) yang besarnya adalah : cost(t) = b1 μ(t) b2 * GDP(t), μ(t) Є[ 0,1]. 3.6.10 Siklus Karbon (Konsentrasi Emisi CO2) Model DICE memiliki asumsi bahwa akumulasi emisi gas CO2 dan transportasinya digambarkan sebagai suatu sistem. Menurut Cedric Bertrand dan Jean Pascal (1999) hubungan sistem tersebut dapat dilihat dalam persamaan : Ca(t) = 590 + β.E(t-1)+(1-γm).(Ca(t-1)-590)) M(t) = 590 + βE (t-1) + (1-δm)[M(t-1) -590] 38) Dimana Ca adalah konsentrasi emisi gas CO2 di atmosfir pada periode t, nilai β adalah 0,64 yang merupakan marginal atmosphere retention ratio dari gas rumah kaca, E adalah emisi CO2 dalam periode t , γm adalah laju transfer dari atmosfir ke dalam lautan (deep ocean) yang nilainya sebesar 0,0833 per dekade simbol ini sama dengan δm dan 590 adalah konsentrasi atmosfir pre-industrial dalam GtC. Dalam DICE (1992) persamaan tersebut dinyatakan sebagai : 38) Klaus Keller et.al Dalam ”Preserving the Ocean Circulation:Implications for Climate Policy” menjelaskan bahwa rumus tersebut didapat karena portion dari δm yang ada diatmosfir akan mengalami penumpukan melebihi preindustri stok 590 Gt dan dan kemudian CO2 ditransfer ke lautan dalam. Sebagai akibatnya stok diatmosfir akan mengalami perubahan . 82 M(t) = βE(t) + (1-δm)M(t-1) M(t) -0,9167M(t-1) = 0,64E(t) Dimana M adalah konsentrasi gas CO2 di atmosfir dalam milyar ton karbon. Dalam penelitian ini persamaan siklus karbon akan dinyatakan sebagai : M(t) = β [EIND(t) + E ROW ] + (1-δm)M(t-1) Dimana EROW adalah emisi rest of the world dan E IND. adalah emisi Indonesia. Total konsentrasi emisi gas CO2 menurut DICE 1998 berdasarkan base line 1990 adalah sebesar 787 billion ton karbon (EROW dan EIND). 3.6.11 Perubahan Iklim Hubungan antara emisi gas rumah kaca, dalam hal ini adalah emisi gas CO2 dan perubahan iklim dalam model DICE digambarkan sebagai hubungan tiga (3) lapis yaitu atmosfir, campuran lapisan pada lautan dan lapisan didalam lautan. Konsentrasi dari emisi gas CO2 akan memanaskan lapisan atmosfir yang kemudian memanaskan lapisan lautan dan pada akhirnya akan masuk kedalam lautan. T1(t)=T1(t-1) + (1/R1 { F(t) – λT1(t-1) – (R2/ τ12) [T1(t-1) –T2(t-1)] } T2(t)=T2(t-1) + (1/R2) {(R2 /τ12) [T1(t-1) –T2(t-1)] } T2(t)=T2(t-1) + (1/τ12) [T1(t-1) –T2(t-1)] } Ti(t) adalah suhu pada lapisan atmosfir pada periode t (relatif terhadap periode preindustrial ) dimana 1 adalah suhu pada atmosfir dan diatas lautan dan i=2 adalah suhu didalam lautan. T2 adalah suhu didalam lautan relative terhadap periode dasar, Ri adalah thermal capacity dari lapisan yang berbeda dalam hal ini R1 adalah thermal capacity diatas lautan ( upper ocean) dan R2 adalah thermal capacity didalam lautan (deep ocean), feed back parameter dalam model adalah λ. Radiative forcing (F) adalah meningkatnya suhu pada permukaan bumi dalam Watt per meter persegi (W/m2). Parameter τ12 adalah koefisien pemindahan ( transfer coefficient ) yang merujuk pada kecepatan air memindahkan panas dari permukaan laut kedalam lautan. Dalam model DICE τ12 digunakan sebesar 500 tahun, 1/τ12 atau α4 yang besarnya adalah 0,002. R2 adalah sebesar 223,7 Watt-year dan R2/τ12 adalah sebesar 0,44 Watt/oC-cm2 dalam DICE 99 R2 dinyatakan sebagai α3 yang besarnya adalah 0,44. 1/R1 atau α1adalah koefisien inersia yang nilainya sebesar 83 0,226 oC-m2/Watt-year . Feed back parameter λ atau α2 dalam DICE 99 nilainya sebesar 1,41 adalah merupakan sensitivitas iklim. α1 adalah parameter yang merefleksikan thermal capacity dari lapisan atmosfir dan lapisan diatas lautan. Persamaan perubahan iklim tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut : T1(t)=T1(t-1) + α1 { F(t) – α2 T1(t-1) – α3 [T1(t-1) –T2(t-1)] } T2(t)=T2(t-1) + α4 [T1(t-1) –T2(t-1)] 3.6.12 Radiative Forcing Pada perubahan iklim, faktor radiative forcing akan mempengaruhi besarnya suhu permukaan bumi. Radiative forcing adalah suatu proses yang mengubah sistem keseimbangan energi dari bumi dan atmosfir. Hal ini karena meningkatnya gas rumah kaca diatmosfir yang akan mengurangi kemampuan bumi untuk melepaskan energi ke atmosfir. Difinisi menurut IPCC adalah sebagai berikut: “The radiative forcing of the surface-troposphere system due to the perturbation in or the introduction of an agent (say, a change in greenhouse gas concentrations) is the change in net (down minus up) irradiance (solar plus long-wave; in Wm-2) at the tropopause AFTER allowing for stratospheric temperatures to readjust to radiative equilibrium, but with surface and tropospheric temperatures and state held fixed at the unperturbed values “ Menurut Global Climate Change Student Guide (www.ace.mmu.ac.uk ) chapter 2, perubahan suhu global (∆T) diperkirakan proporsional terhadap perubahan radiative forcing ( ∆Q) dengan formula ∆Q =λ ∆T , dimana λ adalah sensitivitas iklim ( climate sensitivity). Persamaan perubahan iklim dari model DICE ditentukan oleh faktor radiative forcing (F) melalui persamaan. F(t) = 4.1 log[M(t)/590] / log (2) 84 F(t) = 4.1 ln[M(t)/590] / ln (2) + O(t) 39) Faktor 4.1 menurut Klaus Keller.et.al (2003) adalah perubahan dalam radiative forcing yang disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi emisi gas CO2 sebesar dua kali dan M adalah stok emisi gas CO2 diatmosfir sebagai akibat adanya tambahan emisi CO2. Sedangkan O adalah perubahan radiative forcing yang disebabkan oleh GHG selain dari emisi CO2 seperti metan atau CFC 3.6.13 Pajak Emisi Gas CO2 Dalam model DICE -1992, pajak emisi gas CO2 tidak secara spesifik dimasukkan kedalam persamaan. Dalam model DICE -1999 variabel pajak dibuat secara jelas, sehingga hubungan pajak dan output nasional atau GDP adalah sebagai berikut : Q(t) + τ(t) [ П(t) – E(t)] = C(t) + I (t) τ adalah harga permit/emisi, П adalah jumlah permit/emisi yang diizinkan, dan E adalah jumlah emisi yang terjadi. Dalam penelitian ini, persamaan tersebut akan dimodifikasi sebagai berikut : τ = τc + τe , dimana τc adalah pajak karbon/emisi dan τe adalah pajak energi. Dalam kontek nasional pajak energi tidak dimasukkan kedalam perhitungan karena pajak energi dianggap sebagai penerimaan pemerintah yang bukan bertujuan untuk mengurangi emisi. Pajak energi pada umumnya dibuat dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan negara melalui kebijakan fiskal. Penjelasan perbedaan kedua pajak ini seperti dijelaskan pada bagian 2.2 Karena τe tidak diterapkan maka pajak emisi τ = τc τc = τ(t) [ E ] = τ(t) [ EIND + EROW ] Q(t) + τ(t) [ EIND + EROW ] = C(t) + I (t) Q(t) + τ(t) [ П + E ] = C(t) + I (t) EIND adalah jumlah emisi gas CO2 Indonesia dan EROW adalah jumlah emisi rest of the world. Jika П(t) = E(t) maka tidak ada kebijakan yang dibuat untuk mengurangi emisi, artinya reduction rate (μ) adalah nol. Hal ini karena П adalah emisi dari industri yang diizinkan dan E adalah emisi yang disebabkan oleh 39) Klaus Keller et.al Dalam ”Preserving the Ocean Circulation:Implications for Climate Policy” menjelaskan bahwa CO2 yang ada diatmosfir akan bertindak sebagai GHG yang menyebabkan perubahan nilai F dalam radiative forcing dari level preindustrial. 85 industri. Melalui persamaan keseimbangan ekonomi, besarnya pendapatan yang dihasilkan melalui pajak emisi akan menentukan besarnya perubahan terhadap pendapatan nasional (GDP) jika konsumsi dan investasi dipertahankan tetap. Dalam hal П(t) = E(t) atau business –as-usual (BAU) emisi tidak memerlukan biaya karena kerusakan tidak diperhitungkan sebagai biaya yang harus ditanggung. Pada persamaan diatas, besarnya pajak diperlakukan sama, baik terhadap produsen maupun konsumen. Artinya kita hanya memilih apakah pajak akan dikenakan langsung kepada pihak konsumen atau akan dikenakan langsung kepada pihak produsen. Dalam model DICE dan RICE ataupun dalam model economyclimate lainnya, pajak dikenakan pada energi primer. Hal ini menyebabkan harga pada energi akhir secara otomatis akan naik minimal sebesar pajak yang dikenakan pada energi primer (upstream). Pada dasarnya besar dan kecilnya jumlah emisi CO2 yang dikeluarkan melalui pembakaran BBF tergantung dari kadar karbon yang ada didalam BBF tersebut dan faktor efisiensi pembakaran dari BBF. Kadar karbon tergantung pada produsen BBF sedangkan efisiensi tergantung pada teknologi penggunaan BBF. Sebaiknya pajak emisi dikenakan secara proporsional agar insentif ekonomi dari kebijakan berjalan sesuai dengan tujuan dari pajak emisi tersebut. Jika besarnya pajak yang dikenakan pada energi akhir sebesar p1 , maka besarnya pajak yang dikenakan pada konsumen sebesar (1- p1). Besarnya pajak yang dikenakan kepada konsumen disebabkan karena adanya preferensi konsumen terhadap peralatan yang dipilih. Makin efisien peralatan yang dipilih makin kecil pajak yang harus dibayar oleh konsumen. Preferensi konsumen ini akan memberikan insentif kepada pihak produsen peralatan untuk melakukan perubahan teknologi, dilain pihak besarnya pajak yang dikenakan kepada produsen energi akhir akan mendorong pihak produsen BBF melakukan perubahan teknologi dan mencari energi substitusi. Persamaan keseimbangan pajak tersebut menjadi : τc = p1 τ*EIND + (1-p1) τ*EIND Q(t) + p1 τ [ EINDA – EINDI ] + (1-p1) τ[[ EINDA – EINDI ] = C(t) + I (t) 85 Jika p1 ditentukan sebesar 1, artinya pajak konsumen sama dengan pajak produsen, maka Q(t) + τ[ EINDA– EINDI ] = C(t) + I (t) EINDI adalah emisi Indonesia yang dizinkan/diinginkan dan EINDA adalah emisi industri (emisi industri Indonesia aktual). Proporsi pajak tersebut dapat dilakukan setelah mengetahui besarnya pajak emisi untuk Indonesia. 3.7 Persamaan Model (1) Fungsi social welfare : T DICE : W = ∑ U [ c (t),L(t) ] R(t) t t Dimana R(t) adalah faktor discount (discount factor) ∏ [ 1 + ρ (v) ] -t v =0 dimana ρ adalah pure rate of social preference). Persamaan utilitas adalah : U[c(t)] = L(t) {[c(t)] 1-α }/(1-α) dimana α adalah rate of inequality aversion dan dari model DICE fungsi utilitas adalah : U[c(t)] = L(t) { log[c(t)]} (2) Fungsi produksi : DICE : Q(t) = Ω(t) { A (t) K (t) γ L (t) 1-γ gA(t) A(t) = gA(t-1)(1-dA) , gA (1990) = 0,1 % per dekade dan δA = 0,10 per dekade. gA(t) = gA(0) exp (-δAt) (3) Fungsi output DICE : Q(t) = C(t) + I (t) (4) Fungsi income per capita DICE : c(t) = C(t) /L(t) (5) Fungsi keseimbangan capital stock DICE : K(t) = (1-δk)K (t-1) + I (t-1) (6) δk sebesar 0,10 per tahun Fungsi pertumbuhan populasi : DICE : g pop (t) = g pop (1-t)(1-δpop) , δpop = 1,2% per dekade g pop = 1,2% per tahun untuk tigapuluh tahun kedepan. gpop(t) = g pop(0)exp (-δpopt) (7) Fungsi pengurang sebagai dampak emisi. Dalam penelitian ini 85 DICE 1992: Ω = (1-b1μ(t)b2)/[ 1+D(t) ] = (1-b1μ(t)b2)/[ 1+0.013[T(t)/3]2 ] Dalam penelitian ini: Ω = (1-b1μ(t)b2)/[ 1+D(t) ] = (1-b1μ(t)b2)/[ 1+ 0.0035 T2 ] (8) Fungsi pajak emisi DICE : Q(t) + τ(t) [ П(t) – E(t)] = C(t) + I (t) Dalam penelitian ini : Q(t) + τ(t) [ П(t) – (EIND(t)+ EROW(t))] = C(t) + I (t) (9) Fungsi biaya total pengurangan emisi adalah sebagai fraksi dari GDP DICE : TC = 0,0686μ(t) 2,887 (10) Fungsi kerusakan akibat kenaikan suhu DICE : 0,00144T(t)2 Dalam penelitian ini : D(t) = 0,0035 T2 (11) Fungsi emisi Menggunakan DICE : E(t) = [ 1 – μ(t) ] σ(t) Q(t) Dimana rasio emisi per unit terhadap output (σ) akan menggunakan tahun dasar 1990. σ adalah intensitas emisi atau CO2/GDP. gσ(t) = ( 1+ gσ)σ(t-1) (12) Fungsi siklus karbon (Konsentrasi emisi CO2) DICE : M(t) = βE(t) + (1-δm)M(t-1) Dalam penelitian ini : M(t) = β [ EIND(t) + E ROW (t) ] + (1-δ m)M(t-1) E ROW adalah emisi rest of world dan EIND adalah emisi Indonesia (13) Fungsi perubahan iklim DICE : T1(t)=T1(t-1) + α1 { F(t) – α2 T1(t-1) – α3 [T1(t-1) –T2(t-1)] } T2(t)=T2(t-1) + α4 [T1(t-1) –T2(t-1)] (14) Fungsi radiative forcing DICE : F(t) = 4.1 log[M(t)/590] / log (2) + O(t) 3.8 Variabel Dan Parameter Dalam Model Penelitian Dalam model terdapat varibael eksogen, endogen, parameter dan variabel kebijakan. Variabel kebijakan adalah variabel yang dapat diubah sesuai dengan tingkat emisi yang dikehendaki dan dampak yang timbul sebagai akibat dari kebijakan tersebut. 85 Variabel Keterangan (Unit) L(t) populasi (juta) A(t) TFP (total factor produktivitas) (dalam suatu nilai tertentu) g pop(t) pertumbuhan populasi (dalam suatu nilai tertentu) p1 (t) proporsi emisi produsen ( dalam bilangan fraksi ) T (t) perubahan suhu permukaan bumi ( dalam oC dimulai-1900) T1(t) suhu atmosfir ( diatas lautan ) (dalam oC dimulai-1900) T2(t) suhu didalam lautan (dalam oC dimulai-1900) eksogen Variabel Keterangan (Unit) endogen C(t) konsumsi total (juta) c(t) konsumsi per kapita Q(t) output atau GDP (dalam triliun Rp - dasar1990) Ω(t) faktor pengurang ( dalam nilai tertentu ) K(t) kapital stok D(t) kerusakan akibat perubahan iklim E(t) total emisi gas CO2 ( dalam juta ton CO2 /tahun) EIND(t) jumlah emisi Indonesia ( dalam juta ton CO2/tahun) EROW(t) jumlah emisi rest of the world ( dalam juta ton CO2/tahun) δk(t) laju depresiasi kapital F(t) radiative forcing (dalam W/m2) O(t) exogenous anthropogenic (dalam W/m2) (dalam rupiah (Rp) per orang) Parameter Keterangan ( dalam triliun Rp) ( dalam bilangan fraksi) ( dalam bilangan fraksi) (Unit) ρ Pure rate of social preference ( rate per tahun) σ rasio emisi terhadap output (dalam nilai tertentu) γ elastisitas output terhadap capital (dalam nilai tertentu ) b1 koefisien control rate abatement cost (dalam nilai tertentu ) b2 eksponen dari control rate abatement cost (dalam nilai tertentu) 89 β marginal atmospheric retention rasio dari GHG (dalam nilai tertentu) α rate of inequality aversion τ12 kecepatan memindahkan panas dari permukaan ke dalam lautan δk nilai penyusutan dari capital stock R1 thermal capacity of the upper layer (dalam W-tahun/oC-m2) R2 thermal capacity of deep ocean (dalam W-tahun/oC-m2) δm rate of transfer emisi CO2 dari lapisan atas ke bawah lautan λ feed back parameter in climate change model ( sama dengan α2 ) α1 adalah koefidien inersia ( dalam nilai tertentu) (dalam nilai tertentu) atau inverse of thermal capacity of atmospheric layer and the upper ocean α3 adalah rasio antara thermal capacity deep ocean terhadap transfer rate from upper to lower reservoir α4 adalah koefisien transfer dari upper to lower reservoir ( dalam nilai tertentu) Variabel Keterangan (Unit) Kebijakan μ(t) control rate emisi ( dalam nilai tertentu) Nilai Awal (Initial Value) Initial Value dari parameter dalam analisis model adalah sebagai berikut : γ = 0,30 ρ = 3% per tahun atau 0,03 per tahun b1 = 0,0686 ; b2 = 2,877 σ (1990) world = 0,519 dalam milyar ton CO2 ekivalen per triliun USD δσ = 0,1168 per dekade ; δA = 0,1 per dekade gA = 0,001 per dekade σ (1990) IND = 0,32 ton CO2 per triliun rupiah (1993 prices) g pop (1990) = 1,2% atau 0,012 per tahun untuk 30 tahun δpop = 0,012 per dekade ; δk (1990) = 0,1 per tahun δm world = 0,0833 per dekade β world = 0,64 90 α2 = λ world = 1,41 oC /W-m2 K (1990) = 59,758 triliun Rupiah (1983 prices) Q (1990) = 263,262 triliun rupiah (1993 prices) T1 (1990) world = 0,2 oC ; T2 (1990) world = 0,1 oC p1 (1990) = 1 α1 = 1/R1 world = 0,226 oC-m2/Watt--tahun α3 = R2/τ12 world = 0,44 Watt/ oC-m2 α4 = 1/τ12 = 1/500 = 0,002 L(1990) = 179,4 juta penduduk M(1990) = 787 billion ton CO2 ekivalen, berat karbon BAB IV. BASELINE ANALISIS 4.1 Analisis Emisi Dan Intensitas Energi Analisis intensitas emisi gas CO2 (CO2/GDP) dan intensitas energi (E/GDP) akan dilakukan dengan menggunakan tahun 1990 sebagai baseline. Proyeksi dilakukan untuk periode 30 tahun kedepan (1990-2020). Berdasarkan asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 5% pertahun dan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1% pertahun, maka berdasarkan perhitungan tingkat emisi (lampiran 15 dan 16) Indonesia pada tahun 1990 menghasilkan 83,8 juta ton CO2 dengan intensitas emisi sebesar 0,32. Pada tahun yang sama total konsumsi BBF menurut sektor sebesar 211,73 juta boe (lampiran 13) dan konsumsi BBF menurut tipe adalah sebesar 207,4 juta boe (lampiran 14). Intensitas energi Indonesia pada tahun 1990 adalah sebesar 0,7875. Fuel mix Indonesia adalah sebesar 0,40. Besarnya intensitas emisi pada tahun 1990 sangat ditentukan oleh besarnya intensitas energi, karena besarnya fuel mix Indonesia untuk 30 tahun kedepan cenderung memiliki nilai yang tetap menurut pola pada gambar 52. Tren Fuel Mix (CO2/E) Ton/BOE 0,42 0,40 Tahun 20 20 20 11 20 14 20 17 20 02 20 05 20 08 19 93 19 96 19 99 19 90 0,38 Fuel Mix Gambar 52. Tren fuel mix Indonesia 1990 -2020 Melihat tren dari energi mix Indonesia tahun 1990 sampai 2005 dan proyeksi untuk dua puluh tahun kedepan, terlihat bahwa struktur ekonomi Indonesia masih banyak dipengaruhi oleh energi karbon intensif dan belum mengarah ke energi substitusi dan karbon rendah. Berdasarkan perhitungan dari data-data yang tersedia, fuel mix (CO2/E) Indonesia pada tahun 2002 adalah sebesar 2,99 ton CO2/toe, sedangkan Korea hanya sebesar 2,45 , India 2,05, Jepang 2,35 dan Amerika 2,52 (lampiran 27 ) 92 Dengan asumsi pertumbuhan sebesar 5 % dan laju pertumbuhan penduduk 1% dan 1,2% maka proyeksi pertumbuhan rata-rata tahunan dari beberapa indikator tersebut dapat dilihat pada tabel 18 dan 19. Tabel 18. Data dan proyeksi pertumbuhan rata-rata tahunan Indikator Populasi (1%/tahun) GDP/Populasi (juta) Energi/GDP (boe/gdp) CO2/Energi (ton/boe) CO2/GDP Data 1990 - 2005 1,27% 1,9181 0,9586 0,4 0,38 Proyeksi 2006 - 2010 2011 - 2020 1% 1% 2,4618 3,3012 1,0711 0,9827 0,4 0,4 0,42 0,39 Tabel 19. Data dan proyeksi pertumbuhan rata-rata tahunan Indikator Populasi (1,2%/tahun) GDP/Populasi (juta) Energi/GDP (boe/gdp) CO2/Energi (ton/boe) CO2/GDP Data 1990 - 2005 1,27% 1,9181 0,9586 0,4 0,38 Proyeksi 2006 - 2010 2011 - 2020 1,20% 1,20% 2,46 3,225 1,0711 0,9827 0,4 0,4 0,42 0,39 Dari tabel dapat dilihat bahwa intensitas energi Indonesia periode 2006 sampai 2020 mengalami kenaikan relatif terhadap periode tahun 1990-2005. Kenaikan intensitas energi tidak berhubungan langsung dengan perubahan laju perumbuhan populasi, tetapi menggambarkan tingkat efisiensi energi yang dipakai oleh sebuah negara. Intensitas emisi tidak berhubungan dengan besar kecilnya sebuah negara, melainkan bagaimana tingkat energi berperan dalam pertumbuhan ekonomi dan tingkat efisiensi penggunaaan energi. Berdasarkan pada baseline tahun 1990, maka untuk 30 tahun kedepan peningkatan emisi gas CO2 Indonesia akan mencapai tiga kali lipat atau mengalami kenaikan sebesar 339 persen yaitu dari 83,8 juta ton pada tahun 1990 menjadi 368,3 juta ton pada tahun 2020 ( lihat tabel 16 dan 17). Faktor yang menyebabkan meningkatnya intensitas emisi Indonesia tersebut adalah karena adanya kenaikan intensitas energi dari tahun ketahun. Pada tahun 2015 intensitas energi diperkirakan akan mengalami penurunan sesuai dengan pola pada 93 gambar 53, tetapi masih tetap mengalami kenaikan dibandingkan dengan data 1990 - 2005. Penurunan tingkat intensitas energi ini disebabkan karena adanya persentase kenaikan rata-rata konsumsi energi dari tahun ketahun yang tidak sebesar laju pertumbuhan ekonomi yang diasumsi sebesar 5% pertahun. Jika terjadi kenaikan harga energi dipasar dunia, maka tren insitas energi akan mengalami penurunan karena berkurangnya konsumsi nasional (lampiran 21). 1,2000 1,1000 1,0000 0,9000 0,8000 0,7000 19 90 19 92 19 94 19 96 19 98 20 00 20 02 20 04 20 06 20 08 20 10 20 12 20 14 20 16 20 18 20 20 E/GDP Tren Intensitas Energi Tahun Intensitas Energi Gambar 53. Tren intensitas energi Indonesia 1990 - 2020 Beradasarkan data dari EIA ( Energy Information Administration) tahun 2006, maka emisi gas CO2 global (Total World) tahun 1990 adalah sebesar 21.223 juta metrik ton dan diprediksi mencapai 36.746 juta metrik ton pada tahun 2020(lampiran 25). Terjadi kenaikkan 73% untuk periode 30 tahun (1990-2020). Intensitas emisi gas CO2 dunia mengalami penurunan yang cukup signifikan yaitu 629 metrik ton/ juta USD (0,000629 ton/USD) pada tahun 1990 menjadi 340 metrik ton/ juta USD (0,000340 ton /USD) pada tahun 2020 dan diproyeksi menurun sebesar 311 metrik ton/ juta USD ( 0,000311 ton/USD) pada tahun 2030 beradasarkan harga dollar tahun 2000 (lampiran 25 dan 26). Pada tabel 20 dapat dilihat perubahan emisi gas CO2 dari tahun 1990 dan prediksi sampai tahun 2020 yang berasal dari BBF. Pertumbuhan emisi untuk negara yang berada dibawah OECD mengalami penurunan sebesar 10,87 % untuk periode 30 tahun dan yang bukan OECD mengalami kenaikan sebesar 10,26 persen untuk periode yang sama. Sementara kontribusi emisi dari Indonesia akan mengalami kenaikan sebesar 0,59 % untuk periode Tahun 1990 – 2020. Hal ini menunjukkan bahwa dengan prakiraan 94 pertumbuhan 5%, dan laju penduduk sebesar 1% atau 1,2% Indonesia masih akan sangat tergantung dari energi yang berasal dari BBF. Secara grafik dapat dilihat pada gambar 54. Tabel 20. Perubahan emisi gas CO2 Indonesia terhadap negara OECD dan non-OECD dari Tahun 1990 – 2020 Data 1990 2003 11.378 13.150 Negara OECD 2010 14.249 Proyeksi 2015 15.020 2020 15.709 % Dunia 53,61 52,55 46,93 44,61 42,74 Non OECD * 9.762 11.679 15.858 18.339 20.672 % Dunia 45,99 46,67 52,22 54,47 56,25 Indonesia 83,788 198,104 254,796 303,646 % Dunia 0,4 0,8 0,83 0,9 Dunia 21.223 25.020 30.362 33.663 * Non-OECD telah dikurangi emisi CO2 untuk Indonesia 366,018 0,99 36.748 20,00 PERSENTASE PERUBAHAN KONSUMSI ENERGI MENURUT SEKTOR 15,00 Persentasi 10,00 Industri Komersial Residen Transport 5,00 20 20 20 18 20 16 20 14 20 12 20 10 20 08 20 06 20 04 20 02 20 00 19 98 19 96 19 94 19 92 19 90 0,00 -5,00 Tahun Gambar 54. Presentase perubahan konsumsi energi menurut sektor Kontribusi emisi gas CO2 terbesar adalah disebabkan oleh adanya presentase kenaikan konsumsi disektor industri, komersial dan transportasi. Pada periode tahun 1997/1998 yaitu adanya reformasi pemerintahan, maka pertumbuhan konsumsi energi disektor industri dan transportasi mengalami penurunan sebesar – 1,69 untuk industri dan -3,99 untuk transportasi. Setelah periode tahun 1999 mengalami kenaikan cukup signifikan. 95 4.2 Analisis Elastisitas 4.2.1 Elastisitas Konsumsi Energi Terhadap GDP Untuk periode tahun 1990 – 2002 rasio pertumbuhan pemakaian energi terhadap pertumbuhan GDP Indonesia berada diatas satu, kecuali pada tahun 1997 dimana Indonesia memasuki masa krisis akibat adanya reformasi pemerintahan rasio tersebut berada pada 0,06 (lihat lampiran 28 dan gambar 55). Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan GDP Indonesia sangat tergantung dari tingkat konsumsi BBF. Perubahan setiap unit BBF akan sangat mempengaruhi tingkat GDP. Untuk proyeksi tiga puluh tahun kedepan elastisitas konsumsi energi terhadap GDP berada pada 0,79 Elastisitas Konsumsi Energi Terhadap GDP 6,00 GDP elast Elastisitas GDP Terhadap Energi GDP e ind Elastisitas GDP Terhadap Energi GDP e kom Elastisitas GDP Terhadap Energi GDP e Res Elastisitas GDP Terhadap Energi GDP e Trans 4,00 2,00 Konsumsi Konsumsi Konsumsi Konsumsi 0,00 1990 1995 2000 2005 2010 2015 2020 Tahun -2,00 Gambar 55. Elastisitas konsumsi energi terhadap GDP Dari empat sektor konsumsi BBF, maka elastisitas pada sektor industri berada pada tingkat pertama kemudian diikuti sektor komersial, residen dan transportasi. Artinya sektor industri sangat sensitif terhadap perubahan pertumbuhan konsumsi BBF. Pada tahun 1990 elastisitas konsumsi energi sektor industri sebesar 1,25 dan proyeksi tiga puluh tahun kedepan akan berada 0,95 sedangkan sektor transportasi akan berada pada 0,63. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi energi pada sektor industri sangat mempengaruhi GDP Indonesia dibandingkan dengan sektor transportasi. 96 4.2.2 Elastisitas Harga Energi Terhadap GDP Respon dari konsumsi dalam hal ini adalah solar (diesel fuel) dan bensin ( gasoline) terhadap perubahan harga dan pendapatan di Indonesia adalah sebagai berikut : Ln TC = - 11,118 + 0,130 lnCP + 0,403 ln GDP + 0,488 ln LTC SE (3,175) (0,033) (0,169) (0,327) Data untuk setiap variabel dapat dilihat pada lampiran 24 dan output SPSS dapat dilihat pada lampiran 10. Hasil pendugaan parameter persamaan memberikan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,899. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi total (TC) 89,9 % dapat diterangkan oleh variabel harga bahan bakar dan pendapatan. Koefisien determinasi antara total konsumsi(TC) terhadap harga bahan bakar adalah sebesar 0,825. Hal ini menunjukkan ada hubungan kuat antara harga bahan bakar dan total konsumsi dan dapat dijelaskan sebesar 82,5% dari model. Koefisien determinasi (R2) antara total konsumsi dan pendapatan adalah sebesar 0,728. Hal ini menunjukkan 72,8% total konsumsi dapat dijelaskan oleh pendapatan. Hubungan antara variabel harga dan pendapatan secara statistik cukup signifikan dengan taraf nyata (α) sebesar 0,05. Dari model dapat dijelaskan bahwa harga bahan bakar tidak elastis terhadap total konsumsi, karena kenaikan 1% harga hanya akan mempengaruhi total konsumsi sebesar 0,13%. Tetapi kenaikan 1% pendapatan (GDP) akan mengakibatkan kenaikan total konsumsi sebesar 0,4%. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan GDP Indonesia dipengaruhi oleh total konsumsi bahan bakar, tetapi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan harga bahan bakar itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari tren intensitas energi Indonesia pada gambar 60. Jika hubungan harga bahan bakar dan pendapatan dilihat secara terpisah, maka koefisien determinasi (R2) hubungan harga dan total konsumsi adalah sebesar 0,825 sedangkan R2 untuk hubungan pendapatan terhadap total konsumsi adalah sebesar 0,728. Artinya secara statistik kedua variabel memiliki hubungan yang cukup signifikan. 97 4.3 Analisis Dampak Emisi Gas CO2 Terjadi persentase kenaikan emisi gas CO2 Indonesia dari baseline tahun 1990. Terjadi peningkatan emisi gas CO2 lebih dari dua kali lipat pada tahun 2020 yaitu dari 0.4% menjadi 0,99 %, sementara emisi dunia turun sebesar 20,2% untuk periode yang sama (lihat tabel 20). Meningkatnya emisi gas CO2 menyebabkan tingginya tingkat konsentrasi dari emisi gas CO2 yang berada diatmosfir yaitu dari 280 ppmv (parts per million by volume) pada tingkat pre-industrial menjadi 358 ppmv pada tahun 1994 dan pada saat ini diperkirakan berada pada tingkat 370 ppmv (lampiran 39). Pada gambar 56 dapat dilihat bahwa selama 20 tahun terakhir kenaikan konsentrasi tersebut sangat signifikan. Menurut Laporan khusus mengenai skenario emisi dari IPCC (SRES) pada akhir abad 21 tingkat konsentrasi emisi gas CO2 akan berada pada kisar 490 sampai 1260 ppmv. Laju tingkat konsentrasi yang akan terjadi sangat tergantung dari beberapa faktor seperti asumsi mengenai tingkat pertumbuhan ekonomi, pengembangan teknologi, pertumbuhan populasi dan energi alternatif. Oleh karenanya diperlukan kebijakan untuk mengurangi laju dari emisi gas CO2 tersebut. Kebijakan akan menjadi lebih mudah karena penyebab terbesar dari meningkatnya emisi gas CO2 tersebut disebabkan oleh pembakaran BBF(lampiran 36). Gambar 56. Tren konsentrasi emisi gas CO2 di atmosfir dan emisi antropogonik Meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca akan mempercepat laju perubahan iklim global (Climate Change) dan pada gilirannya akan menyebabkan kenaikan suhu permukaan bumi. Menurut TAR (Third Assesment Report – IPCC ) climate 98 sensitivity adalah sebesar 1,5 sampai 4,5oC dan rata-rata suhu permukaan bumi diproyeksikan meningkat sebesar 1,4 sampai 5,8oC pada periode 1990 sampai 2100 dan permukaan laut diperkirakan meningkat sebesar 0,1 sampai 0,9 meter dalam periode yang sama (lampiran 37). Pada tahun 2020 permukaan laut diperkirakan naik sebesar 0,1 meter dan suhu bumi pada tahun 1990 berkisar pada 15oC dengan skenario yang paling buruk berada pada 19oC. (gambar 57, 58 dan gambar 59 ). Gambar 57. Proyeksi suhu rata-rata global dan skenario setelah tahun 1990 Gambar 58. Prakiraan kenaikan suhu seratus tahun yang akan datang ( Sumber :IPCC-SRES) 99 Gambar 59. Prediksi kenaikan permukaan laut (dalam meter) dalam seratus tahun yang akan datang. (Sumber : IPCC-SRES ) Selain meningkatnya permukaan laut dan perubahan suhu, maka perubahan iklim juga akan mengakibatkan perubahan presipitasi, kekeringan dan banjir. Perubahan ini akan berdampak pada sosial ekonomi. Analisis dalam model penelitian ini hanya akan melihat dampak ekonomi berupa GDP atau output nasional, karena ada implikasi terhadap tingkat kesejahteraan (walfare) masyarakat. Dalam keadaan BAU (Business as Usual), artinya jika tidak ada kebijakan yang dibuat untuk mengatasi dampak emisi gas CO2, maka dengan asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 5% per tahun maka GDP per kapita Indonesia tahun 1990 berada pada tingkat 1,4 juta rupiah per tahun. Pada tahun 2006 berada pada tingkat 2,3 juta per tahun. Dengan proyeksi tingkat pertumbuhan penduduk sebesar 1% per tahun, maka pada tahun 2020 GDP per kapita Indonesia berada pada tingkat 3,9 juta per tahun dan dengan pertumbuhan penduduk 1,2% per tahun, GDP per kapita akan berada pada 3,7 juta per tahun. Pada gambar 64 dapat dilihat bahwa perebedaan pertumbuhan populasi tidak memberikan dampak signifikan terhadap GDP per kapita. Berdasarkan baseline tahun 1990, maka untuk periode 30 tahun kedepan GDP per kapita hanya berbeda sebesar lebih kurang Rp 120.000 ( 3% ) untuk perbedaan pertumbuhan populasi 0,2% per tahun, jika pertumbuhan ekonomi diasumsi tetap sebesar kisar 4,5 - 5% per tahun sesuai dengan tren yang terlihat pada gambar 60. 100 GDP/Kapita - Indonesia Dan Proyeksi 4.000.000 c ( Dalam Rp /Kapita/Tahun)- p 1%/tahun c ( Dalam Rp /Kapita/Tahun)- p 1,2%/tahun Rupiah 3.500.000 3.000.000 2.500.000 2.000.000 1.500.000 1.000.000 1990 1995 2000 2005 2010 2015 2020 Tahun Gambar 60. GDP/kapita Indonesia dan proyeksi dalam kondisi BAU Pertumbuhan GDP dan Populasi Indonesia- Baseline1990 Pertumbuhan (%) 15 10 5 0 -51990 1995 2000 2005 2010 2015 2020 Pertumbuhan Populasi p1,2% -10 Pertumbuhan Populasi p 1% -15 Pertumbuhan GDP-p4,5-5% (%) -20 Tahun Gambar 61. Pertumbuhan GDP dan populasi Indonesia dengan beberapa asumsi terhadap baseline Pertumbuhan CO2 dan GDP/Kapita 20,00 15,00 10,00 (%) 5,00 0,00 -5,00 1990 1995 2000 2005 -10,00 -15,00 Tahun 2010 2015 2020 Pertumbuhan CO2 (%) Pert c (%) - p 1% Pert c (%) - p 1,2% -20,00 Gambar 62. Pertumbuhan emisi gas CO2 Indonesia dan GDP/kapita 101 Dengan asumsi pertumbuhan GDP sebesar 5% per tahun dan tingkat pertumbuhan populasi 1% dan 1,2 % per tahun, maka pertumbuhan CO2 per tahun akan berada dibawah 5% dalam kondisi BAU (lihat gambar 62). Jika perekonomian bertumbuh dengan estimasi sebesar 5 % per tahun, maka pertumbuhan emisi gas CO2 akan meningkat dengan pola yang sama. V. 5.1 ANALISIS DAN SKENARIO KEBIJAKAN PAJAK EMISI GAS CO2 Kalibrasi Model Seperti yang telah diuraikan pada Bab 3.5, maka sebelum dilakukan simulasi dari model, terlebih dahulu dilakukan kalibrasi terhadap variabel total faktor produktivitas (A). Kalibrasi dilakukan dengan menggunakan nilai dasar tahun 1990 dengan menggunakan parameter gamma atau elastisitas out put terhadap capital sama besarnya dengan nilai yang digunakan oleh model DICE 1993 yaitu 0,25. Besarnya nilai A’ ditentukan dengan memasukkan faktor kerusakan yang disebabkan oleh kenaikan suhu permukaan dan biaya yang dikeluarkan untuk mengurangi emisi atau abatement cost . Nilai variabel tersebut dapat dilihat pada tabel 21. Tabel 21. Nilai A dari kalibrasi Y L ( Tln IDR) (Juta) 263,262 179,400 263,262 179,400 K γ (Tln IDR) 59,758 0,25 59,758 0,25 1- γ 0,75 0,75 1 -ABCOST 1- TECOST A’ Y’ 0,9314 0,986945 1,931 2,101 263,262 263,262 Nilai ABCOST ditentukan berdasarkan parameter MIU ( μ=1), besarnya nilai ABCOST sesuai dengan tabel 22 dan TECOST ditentukan berdasarkan persamaan 1-1/(1+A1*SQRTE(T)) dimana TE adalah TE(T)+C1*(FORC(T)-LAM*TE(T)C3*0.4) ). Hasilnya pada tabel 23. Jika parameter gamma yang digunakan adalah 0,30 maka nilai A’ menjadi 2,047 dan Y’ menjadi 263,262. Jika faktor ABCOST dan TECOST dimasukkan, maka nilai A’ 2,22 dan Y’ menjadi 341,255. Tabel 22. Nilai ABCOST untuk beberapa nilai MIU(μ) b1 b2 MIU ABCOST 0,0686 0,0686 0,0686 0,0686 0,0686 0,0686 2,887 2,887 2,887 2,887 2,887 0 0,2 0,4 0,6 0,8 0 0,0007 0,0049 0,0157 0,036 2,887 1 0,0686 103 Tabel 23. Nilai TECOST TO 0,71 5.2 C1 0,226 FORC 1,42 LAM 1,41 C3 0,44 TE 0,7648954 A1 0,0035 TECOST 0,0135055 Skenario Ada lima skenario yang akan dilakukan dalam analisis model, yaitu skenario ”Base”, ”Optimum”, ”Concentration”, ”Reduction-1” dan ”Reduction-2”. Skenario ”Base” (Base Scenario); Dalam skenario ”Base”, tidak ada abatement, maka abatement cost tidak terjadi dan temperature cost juga diasumsi menjadi nol. Hal ini merupakan representasi skenario BAU (Business –as- Usual). Pada skenario ini masalah iklim tidak memiliki dampak pada ekonomi, dengan perkataan lain ekonomi tidak bereaksi terhadap pengaruh dari iklim. Sedangkan kondisi ”Base Case” adalah tidak ada skenario, dan perekonomian berjalan apa adanya. Skenario “Optimal” (Optimal Scenario); Dalam skenario “Optimal”, optimal abatement rate dihitung. Titik optimal terjadi dimana marginal abatement cost sama dengan marginal temperature cost. Iklim mempengaruhi ekonomi dan ekonomi bereaksi dengan cara menginvestasi untuk mengurangi emisi (abatement cost). Skenario ”Concentration” (Concentration Scenario) ; Dalam skenario ”Concentration” , lapisan atas atau atmosfir ( Upper bound ) diisi oleh konsentrasi emisi gas CO2. Skenario ini mereflesikan suatu situasi dimana pembuat kebijakan menetapkan tujuan untuk menghadapai masalah emisi gas CO2 yang akan meningkatkan konsentrasi emisi gas CO2 di atmosfir. Skenario ini tidak harus optimal dan respon ekonomi adalah dengan cara menetapkan tingkat biaya yang paling efektif (least cost). Skenario ”Reduction” (Reduction Scenario); Dalam skenario ”Reduction “ lapisan atas atau atmosfir diisi oleh konsentrasi emisi gas CO2. Pada skenario ini pembuat kebijakan dapat mengatur jumlah emisi gas CO2 yang akan dilepaskan ke atmosfir sehingga jumlah konsentrasi emisi gas CO2 di lapisan atas atau atmosfir meningkatkan sesuai dengan laju emisi. Untuk ”Reduction-1” laju tersebut sebesar 10% dari jumlah emisi yang ada pada saat ini dan ”Reduction-2” adalah sebesar 20% dari jumlah emisi yang ada pada saat ini. 104 Sebagai konsekuensi dari skenario, maka nilai Y(T) atau output nasional dan Q(T) atau level dari GDP diinterpretasikan berdasarkan pendekatan formula : Q(T) = Y(T) / (1-abcostT)*(1-tecostT) Dalam skenario “Base“ ; abcost = 0 dan tecost = 0, maka QT = YT Skenario “ Optimal“ ; abcost > 0 dan tecost > 0, maka QT > YT Skenario “Concentration”; abcost > 0 dan tecost > 0, maka QT > YT Skenario “ Reduction“ ; 5.3 abcost > 0 dan tecost > 0, maka QT > YT Pajak Emisi Gas CO2 Yang Optimal Berdasarkan besaran skalar, parameter dan variabel yang disimulasi dalam model dengan program GAMS (lampiran 1 dan 2), dengan nilai R sebesar 3% pajak karbon untuk Indonesia berkisar antara USD 54,245 – USD 8714,693 per ton karbon untuk periode 1990 -2020 seperti pada gambar 63. Pendapatan kotor domestik (GDP) berkisar antara Rp245,103 triliun – Rp1844,951 triliun untuk periode yang sama dan pendapatan per kapita mengalami kenaikan yaitu sebesar Rp1,364 juta pada tahun 1990 menjadi Rp 6,901 juta pada tahun 2020. Besarnya pajak didapat sebagai hasil kontribusi total emisi karbon Indonesia terhadap rest of the world. Jika Indonesia menggunakan kebijakan pajak karbon yang besarnya berkisar antara USD 54,245 USD 8714,693 per ton karbon dan rest of the world melakukan hal yang sama, maka besarnya forcing yang terjadi diperkirakan berada pada kisaran 2,086 W/m2 pada tahun 1990 dan meningkat menjadi 12,197 W/m2 pada tahun 2019. (lampiran 3) Dengan skenario pajak optimal, dimana social discount rate yang digunakan sebesar 3%, maka dengan asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 5% per tahun dan pertumbuhan penduduk sebesar 1,2% per tahun GDP Indonesia tidak mengalami penurunan jika dibandingkan dengan “Base Case”. Tren kenaikan mengikuti pola pada gambar 64. Hal ini akan berimplikasi pada pendapatan per kapita yang konsisten sesuai dengan kenaikan GDP (lampiran5). 105 Pajak Karbon Optimal (R=3%) 1990-2019 10.000,000 USD/T Karbon 8.000,000 6.000,000 4.000,000 2.000,000 19 90 19 92 19 94 19 96 19 98 20 00 20 02 20 04 20 06 20 08 20 10 20 12 20 14 20 16 20 18 0,000 C Tax Tahun Gambar 63. Pajak karbon Indonesia untuk periode 1990-2019 1.500,000 1.000,000 500,000 0,000 19 90 19 92 19 94 19 96 19 98 20 00 20 02 20 04 20 06 20 08 20 10 20 12 20 14 20 16 20 18 Q(Tln IDR)-1993 price GDP Indonesia Periode 1990 -2019 2.000,000 GDP-pajak (R3%) GDP-Base Case Tahun Gambar 64. Tren GDP Indonesia dengan adanya pajak emisi gas CO2 untuk periode 1990-2019 Presentase Perubahan PCY vs GDP PCY Base Scenario PCY Optimal Q Base Scenario Q Optimal % Perubahan 20,0 15,0 10,0 5,0 0,0 -5,0 90 95 20 5 10 15 20 Tahun Gambar 65. Presentase perubahan pendapatan per kapita dan GDP untuk ”Base Scenario” dan ”Optimal Scenario” 106 Pada gambar 65 dapat dilihat bahwa persentase perubahan pendapatan per kapita terhadap GDP. Pada periode 2000 – 2005 presentase pendapatan mengalami penurunan karena rendahnya presentase GDP. Pada gambar 66 dapat dilihat bahwa dalam jangka panjang pendapatan per kapita terus mengalami peningkatan sementara konsumsi per kapita akan mengalami penurunan. Pendapatan per kapita yang meningkat disebabkan karena dalam jangka panjang pengeluaran untuk abatement cost dan temperature cost yang lebih rendah atau relatif kecil jika dibandingkan dengan kebijakan yang tidak memperlakukan pajak karbon. Biaya yang dikeluarkan untuk mengurangi dampak dari akibat adanya emisi tergantung seberapa besar emisi tersebut dikendalikan. Kisar untuk pengeluaran abatement cost untuk periode 30 tahun (19902019) adalah sebesar 0,9 – 6,7 % dari GDP dalam kondisi optimal. Dalam kondisi Base Scenario adalah 0%, pada kondisi Concentration Scenario sebesar 0,69%, dalam kondisi Scenario Reduction-1 berkisar 0% (0,0088 %) dan Scenario Reduction-2 sebesar 0,0065%. Faktor yang mempengaruhi menurunnya konsumsi per kapita adalah karena adanya peningkatan jumlah populasi dan pengaruh dari investasi, sedangkan besarnya kontribusi abatement cost yang dikeluarkan akan mempengaruhi pendapatan per kapita. CPC-Base Scenario PCY-Base Scenario CPC-Optimal Scenario PCY-Optimal 20 17 20 14 20 11 20 08 20 05 20 02 19 99 19 96 19 93 19 90 (Dalam Juta IDR Konsumsi & Pendapatan Per Kapita 9,000 8,000 7,000 6,000 5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 0,000 Tahun Gambar 66. Tren konsumsi dan pendapatan per kapita periode 1990 -2019 ”Optimal Scenario” terhadap ”Base Scenario” 107 Besarnya ABCOST terhadap GDP pada gambar 67 untuk beberapa skenario seperti skenario Base, Reduction-1 dan Reduction-2 berada dibawah 0,01% sedangkan untuk Skenario Concentration, dimana emisi karbon dikendalikan seluruhnya, maka nilai ABCOST berada pada 6.9 % dari GDP. Pada kondisi optimal mulai dari periode 2002 – 2016 abatement cost yang harus dikeluarkan adalah sebesar 6,9% GDP per tahun (lampiran3). ABCOST Terhadap GDP % GDP (x100) 0,080 0,060 0,040 0,020 19 90 19 92 19 94 19 96 19 98 20 00 20 02 20 04 20 06 20 08 20 10 20 12 20 14 20 16 20 18 0,000 ABCOST - Optimal ABCOST -Base ABCOST Concentration ABCOST -Reduction 1 ABCOST -Reduction 2 Tahun Gambar 67. Presentase ABCOST terhadap GDP untuk beberapa skenario (R3%) ABCOST - R3% %GDP (x100) 0,080 0,060 0,040 rati ent oncal C ST ptim CO AB OST Ose a C AB OST B C AB 0,020 0,000 90 95 ABCOST Base ABCOST Optimal ABCOST Concentration 20 5 Tahun 10 15 on 20 Gambar 68. Presentase ABCOST terhadap GDP untuk beberapa skenario Pada gambar 68 dapat dilihat bahwa untuk mempertahankan suhu rata-rata permukaan maksimum 7 oC, maka dalam kondisi optimal besarnya ABCOST untuk periode 20052015 adalah sebesar 6,9% GDP. Perubahan suhu rata-rata permukaan bumi yang akan 108 terjadi jika Indonesia melakukan skenario dengan tingkat R3% dapat dilihat pada gambar 72. Besarnya perubahan pendapatan per kapita dan GDP untuk masing- masing skenario dengan nilai social rate time preference yang sama (sebesar 3%) dapat dilihat pada gambar 69. Pendapatan per kapita untuk skenario optimal berada diatas skenario reduction-1 dan reduction-2. Jika dibandingkan dengan skenario base, maka pendapatan per kapita pada kondisi ”Base Scenario” masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan skenario lainnya pada tingkat R3%. Hal ini menunjukkan bahwa menggunakan kebijakan optimal akan lebih baik dibandingkan dengan mengurangi emisi pada level 10% atau 20% dari level emisi yang ada pada saat ini. 9,000 8,000 7,000 6,000 5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 0,000 19 90 19 92 19 94 19 96 19 98 20 00 20 02 20 04 20 06 20 08 20 10 20 12 20 14 20 16 20 18 PCY ( Juta IDR) Pendapatan Per Kapita (R=3%) PCY- Reduction1 PCY -Reduction2 PCY -Base PCY-Optimal PCY -Concentration Tahun Gambar 69. Pendapatan per kapita untuk beberapa skenario setelah adanya pajak emisi Pada kenyataannya kita tidak menemukan emisi gas CO2 yang tidak dikendalikan seperti pada skenario ”Base” begitu juga sebaliknya pada kondisi yang sepenuhnya dikendalikan pada skenario ”Concentration”. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa pilihan skenario hanya akan dilakukan pada skenario ”Optimal” atau ”Reduction” . Besarnya reduction (MIU) tergantung dari berapa besar pajak emisi yang dapat diterima oleh masyarakat dan konsekuensi dari Besarnya abatement cost atau besarnya suhu rata-rata permukaan bumi yang akan diharapkan. 109 GDP (R=3%) GDP ( Tln IDR 2.000,000 1.500,000 1.000,000 500,000 19 90 19 92 19 94 19 96 19 98 20 00 20 02 20 04 20 06 20 08 20 10 20 12 20 14 20 16 20 18 0,000 Q -Reduction2 Q -Reduction1 Q -Base Scenario Q -Optimal Q -Concentration Tahun Gambar 70. GDP Indonesia untuk beberapa skenario setelah adanya pajak emisi gas CO2 Pada gambar 70. dapat dilihat bahwa jika pemerintah memperkenalkan kebijakan dengan pengurangan emisi karbon sebesar 10% (MIU=0,1) dari level emisi yang ada pada saat ini, maka akan berdampak pada pengurangan GDP. Dengan kebijakan pada skenario Reduction-2 (MIU=0,2), maka GDP masih berada diatas kondisi GDP optimal. Masing-masing skenario akan berdampak pada besarnya pajak karbon yang akan dikenakan pada BBF yang dipakai. Pada gambar 71 dapat dilihat bahwa besarnya pajak karbon pada kondisi optimal jauh berada diatas skenario Reduction-1 dan Reduction -2. C Tax -Reduction2 C Tax -Reduction1 C Tax -Base Scenario C Tax-Optimal 20 17 20 14 20 11 20 08 20 05 20 02 19 99 19 96 19 93 9000,000 8000,000 7000,000 6000,000 5000,000 4000,000 3000,000 2000,000 1000,000 0,000 19 90 C Tax ( USD/T) Pajak Karbon -R3% Tahun Gambar 71. Besar pajak karbon/ton untuk beberapa skenario periode 1990 – 2019 110 Suhu Rata-Rata Permukaan Bumi -R3% 12 Suhu ( deg C ) 10 8 Base Scenario Optimal Concentration Reduction 1 Reduction 2 6 4 2 0 1990 1995 2000 2005 2010 2015 2020 Tahun Gambar 72. Kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi jika Indonesia melakukan beberapa skenario dengan R3% Suhu Rata-Rata Permukaan Bumi -R2% 12 Suhu (deg C ) 10 8 6 Base Scenario Optimal Concentration Reduction 1 Reduction 0.5 4 2 0 1990 1995 2000 2005 2010 2015 2020 Tahun Gambar 73. Kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi jika Indonesia melakukan beberapa skenario dengan R2% Jika model di run dengan menggunakan nilai R2%, maka suhu rata-rata permukaan diharapkan berkisar pada 4 oC dengan asumsi rest of world melakukan kebijakan yang sama. Jika Indonesia tidak melakukan tindakan apa-apa ( no action policy), dan rest of world melakukan hal yang sama maka suhu permukaan pada tahun 2020 akan mengalami peningkatan sekitar 10 oC. 5.4 Dampak Dari Pajak Emisi Gas CO2 Berdasarkan output model (lampiran 8) untuk beberapa skenario, terlihat dengan jelas bahwa besarnya pajak karbon atau pajak emisi gas CO2 akan berimplikasi pada output nasional dan level dari total produksi nasional. Besar kecilnya pajak 111 karbon atau emisi tergantung dari berapa besar ”emission control rate” atau nilai MIU yang akan digunakan oleh pembuat kebijakan. Seperti yang telah diuraikan pada deskripsi dari model bahwa model DICE sangat sensitif terhadap nilai dari rate of social time preference. Jika social discount rate berkurang, maka akumulasi kapital dan output bertambah, maka konsentrasi emisi gas CO2 akan bertambah. Jika social discount rate meningkat, maka bobot konsumsi ditunda untuk waktu yang akan datang, karena konsentrasi emisi gas CO2 akan berkurang. Fraksi dari ABCOST terhadap GDP akan menentukan berapa besarnya biaya yang dikeluarkan untuk mengatasi emisi, dilain pihak perubahan iklim yang mengakibatkan perubahan suhu permukaan bumi akan menentukan berapa besar biaya kerusakan (damage cost) yang harus dikeluarkan akibat dari perubahan iklim tersebut. Dalam kondisi optimal biaya kerusakan (damage cost) akan sama dengan biaya abatement. Perubahan GDP akan mempengaruhi pendapatan masyarakat melalui fraksi pengurang akibat adanya biaya kerusakan tersebut. Untuk mengatasi kerusakan tersebut pembuat kebijakan perlu menentukan besarnya nilai MIU (control rate) yang akan digunakan, dimulai dengan skenario ”Base” dengan control rate 0% sampai dengan 100%, artinya pajak karbon atau pajak emisi gas CO2 akan berada pada kisar nol rupiah per ton sampai dengan suatu nilai rupiah tertentu. Pendapatan Per Kapita PCY( JutaIDR) 8,000 6,000 4,000 2,000 PCY - Base Case PCY - Reduction 5% -R3% PCY - Opt R3% 20 17 20 14 20 11 20 08 20 05 20 02 19 99 19 96 19 93 19 90 0,000 Tahun Gambar 74. Pendapatan per kapita untuk beberapa skenario periode 1990-2019 Pada gambar 74 dapat dilihat dampak dari pendapatan per kapita dalam kondisi optimal dan skenario Reduction 5% untuk rate of social time preference sebesar 3%. Dengan asumsi pertumbuhan penduduk 1,2% per tahun dan pertumbuhan ekonomi sebesar 5% pertahun, maka jika pembuat kebijakan memperlakukan pajak karbon atau 112 pajak emisi gas CO2 dengan skenario optimal dan besar pengurangan emisi gas CO2 sebesar 5% dari kondisi saat ini, pendapatan perkapita tidak akan mengalami penurunan relatif terhadap skenario ”Base case” ( BAU). Skenario BAU dalam hal ini adalah suatu kondisi dimana treatment terhadap emisi tidak dilakukan sama sekali, artinya tidak ada kebijakan pajak yang akan diperlakukan. Pada gambar 75 dapat dilihat bahwa, jika pembuat kebijakan memperlakukan pajak karbon terhadap sumber energi dengan skenario optimal dengan pengurangan emisi sebesar 5%, 10% dan 20% dari tingkat emisi yang ada pada saat ini, maka pendapatan per kapita tidak mengalami penurunan relatif terhadap kondisi base case. Pendapatan Per Kapita PCY ( Juta IDR) 8,000 6,000 4,000 2,000 PCY PCY PCY PCY PCY -Base Case -Red 5% -Red 10% -Red 20% -Optimal 20 17 20 14 20 11 20 08 20 05 20 02 19 99 19 96 19 93 19 90 0,000 Tahun Gambar 75. Tren pendapatan per kapita Indonesia untuk periode 1990 – 2019 (R3%) Besar pajak karbon dan emisi gas CO2 untuk beberapa skenario berdasarkan nilai R=3% adalah sebagai berikut : Tabel 24. Pajak karbon dan emisi gas CO2 Indonesia periode 1990-2019 untuk R3% Periode 1990 - 2019 1990 - 2019 Pajak karbon untuk beberapa skenario (USD/T) Base Optimal Reduction 5% 0,09 - 3,60 54,2 - 8714,7 17,8 - 54,8 0,00 - 98,3 Reduction 10% 50,9 - 2764,8 Reduction 20% 52,9 - 3085,8 Pajak emisi gas CO2 untuk beberapa skenario (USD/T) 0,00 - 2376,7 0,00 - 716,1 0,00 - 754,0 0,00 - 841,6 Petrol : BBM - bensin dan minyak solar Jika faktor konversi untuk 1 liter petrol adalah 0,00222 tCO2/liter, maka 1 ton CO2 ekivalen dengan 450,45 liter petrol ( 450 liter). Besarnya pajak CO2 yang dikenakan 113 untuk tiap liter petrol ( bensin dan diesel ) sesuai dengan tabel 25. Jika faktor konversi untuk 1 ton batubara adalah 1,84 tCO2/ton, maka 1 ton CO2 ekivalen dengan 0,54 ton batubara. Besarnya pajak CO2 yang dikenakan untuk setiap ton batubara seperti terlihat pada tabel 26. Berat karbon dan emisi gas CO2 dihitung berdasarkan perbandingan berat molekul unsur karbon terhadap unsur karbon dioksida (CO2). Satu (1) ton karbon ekivalen dengan 3,667 ton CO2. Tabel 25. Pajak emisi gasCO2 /liter BBM Indonesia periode 1990 – 2019 untuk R3% Periode 1990 - 2019 Pajak emisi gas CO2 untuk beberapa skenario (USD/liter BBM) Base 0,00 - 0,21 Optimal 0,00 - 0,520 Reduction 5% 0,00 - 1,59 Reduction 10% 0,00 - 1,67 Reduction 20% 0,00 - 1,87 Tabel 26. Pajak emisi gas CO2 /ton batubara Indonesia periode 1990-2019 untuk R3% Periode 1990 - 2019 Pajak emisi gas CO2 untuk beberapa skenario (USD/ton batubara) Base 0,00 - 180,9 Optimal 0,00 - 4373,2 Reduction 5% 0,00 - 1317,7 Reduction 10% 0,00 - 1387,4 Reduction 20% 0,00 - 1548,5 Pajak CO2 Per Liter Petrol CO2 Tax/liter (USD) 6,000 5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 Tax /liter Base Tax/liter Optimal Tax/liter Red 5%" Tax/liter Red 10% Tax/liter Red 20% 20 17 20 14 20 11 20 08 20 05 20 02 19 99 19 96 19 93 19 90 0,000 Tahun Gambar 76. Besarnya kenaikan harga BBM per liter dengan adanya pajak emisi gas CO2 untuk periode 1990-2019 114 Pajak emisi gas CO2 akan berdampak pada kenaikan harga jual dari bahan bakar minyak (BBM). Pembuat kebijakan memiliki pilihan apakah akan menaikkan harga melalui pajak karbon atau melalui pajak emisi gas CO2. Tren dari kenaikan terhadap harga jual per liter BBM setelah ada pajak karbon atau pajak emisi gas CO2 tersebut dapat dilihat pada gambar 76. Untuk batubara besarnya kenaikan harga akibat adanya pajak emisi gas CO2 dapat dilihat pada gambar 77. Pajak CO2 Per Ton Batubara CO2Tax/T(USD) 5000,000 4000,000 3000,000 2000,000 1000,000 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 Tax/ton Tax/ton Tax/ton Tax/ton Tax/ton -Base -Optimal -Red 5% -Red 10% - Red 20% 20 17 20 14 20 11 20 08 20 05 20 02 19 99 19 96 19 93 19 90 0,000 Tahun Gambar 77. Besarnya kenaikan harga per ton batubara dengan adanya pajak emisi gas CO2 untuk periode 1990-2019 (R3%) 5.5 Analisis Sensitivitas Model DICE sangat sensitive terhadap nilai social time preference (R), karena akan mempengaruhi discount factor dari model (lampiran 4). Pada tahun ke 20 dari tahun dasar perubahan nilai R akan berdampak pada besarnya GDP secara signifikan dan pada akhirnya akan mempengaruhi pendapatan per kapita. Besarnya nilai R yang akan dipakai tergantung dari bagaimana nilai yang akan datang (future value ) yang akan dipilih. Jika kemakmuran akan dinikmati pada saat ini maka discount rate yang rendah akan dipilih dan sebaliknya. Pada gambar 78 dapat dilihat bahwa nilai R yang kecil akan memberikan GDP yang besar dan tingkat GDP yang lebih tinggi (gambar 79). Konsekuensinya adalah generasi saat ini harus membayar pajak emisi gas CO2 lebih mahal guna melindungi generasi yang akan datang (lihat gambar 80). Ada tradeoff antara besarnya nilai R dan besarnya pajak karbon. Makin besar rate social time preference yang digunakan, semakin kecil pajak karbon yang akan dibebankan kepada pihak pencemar. Besar kecilnya nilai R tergantung pada bagaimana pembuat kebijakan memberikan bobot pada antar generasi. 115 GDP Dalam Skenario Optimum GDP ( Juta IDR 2.400,000 1.800,000 1.200,000 600,000 19 90 19 92 19 94 19 96 19 98 20 00 20 02 20 04 20 06 20 08 20 10 20 12 20 14 20 16 20 18 0,000 GDP -Opt GDP -Opt GDP -Opt GDP -Opt GDP -Opt R2% R3%" R4% R5% R6% Tahun Gambar 78. Perubahan GDP akibat perbedaan nilai R Pendapatan Per Kapita 7,500 PCY(Juta IDR) 6,000 4,500 3,000 1,500 PCY-R2% PCY-R3% PCY-R4% PCY-R5% PCY-R6% 20 18 20 16 20 14 20 12 20 10 20 08 20 06 20 04 20 02 20 00 19 98 19 96 19 94 19 92 19 90 0,000 Tahun Gambar 79. Perubahan pendapatan per kapita akibat perbedaan nilai R Pajak Karbon 30.000,000 25.000,000 20.000,000 15.000,000 10.000,000 5.000,000 C C C C C Tax Tax Tax Tax Tax -Opt -Opt -Opt -Opt -Opt R2% R3% R4% R5% R6% 20 14 20 16 20 18 20 10 20 12 20 04 20 06 20 08 20 00 20 02 19 96 19 98 0,000 19 90 19 92 19 94 CTax(USD/T) 35.000,000 Tahun Gambar 80. Pajak karbon optimal dengan nilai R 2% - 6% 116 Suhu Rata-Rata Permukaan Bumi -Optimal 9,00 8,00 Suhu ( deg C ) 7,00 6,00 5,00 Optimal R2% Optimal R3% Optimal R4% Optimal R5% Optimal R6% 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 1990 1995 2000 2005 2010 2015 2020 Tahun Gambar 81. Kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi jika Indonesia melakukan pilihan pada skenario optimal R2% - R6% Dengan menggunakan nilai R5%, maka besar pajak karbon pada kondisi optimal berada pada kisar USD3,90 – USD 40.00 per ton dan kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi pada periode tahun 2020 akan mengalami kenaikan sekitar 7 oC. Dengan R2% suhu diperkirakan turun menjadi 4 oC pada periode yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa rest of world harus melakukan hal yang sama. Jika negaranegara penghasil emisi gas CO2 tidak melakukan penurunan emisi secara signifikan (minimal pada level Protokol Kyoto), maka akan sulit untuk mencapai T 2xCO2 ( sekitar 2.5 oC – 3,5 oC) pada tahun 2100. Pada gambar 80 dapat dilihat bahwa nilai R5% memberikan pajak karbon yang rendah dengan kisar USD 3,90 – USD 40,35 per ton atau pajak emisi sebesar USD 1,06 – USD 11,00 per ton CO2. Besar pajak emisi gas CO2 ekivalen dengan USD 0,02 – USD 0,024 per liter BBM dan USD 1,959 –USD 20,251 per ton batubara. M IU Optim al 1,200 0,800 0,600 0,400 0,200 MIU -Opt MIU -Opt MIU -Opt MIU -Opt MIU -Opt R2% R3% R4% R5% R6% 20 18 20 16 20 12 20 14 20 10 20 06 20 08 20 04 20 00 20 02 19 98 19 94 19 96 19 92 0,000 19 90 MIU(%) 1,000 Tahun Gambar 82. Nilai MIU dalam kondisi optimal dengan R 2% -6% 117 Berdasarkan analisis sensitivitas, pembuat kebijakan tidak mungkin menggunakan nilai R sebesar 2%, 3% dan 4% karena pada kondisi optimal besarnya nilai tersebut memberikan tingkat pengendalian emisi (MIU=1) pada tingkat 100 %, artinya tidak ada emisi yang diizinkan untuk dibuang. Nilai R yang dapat dijadikan pilihan adalah antara R5% dan R6% sesuai dengan gambar 82. Dengan menggunakan nilai R5% dan 6%, maka tren pendapatan per kapita setelah adanya pajak emisi sesuai dengan gambar 84 dan tren pajak karbon sesuai dengan gambar 83. Pendapatan per kapita dengan nilai R5% lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan nilai R6% Pajak Karbon Untuk R5% & 6% 60,000 C Tax ( USD/T) 50,000 40,000 C Tax C Tax C Tax C Tax C Tax C Tax C Tax C Tax 30,000 20,000 10,000 19 90 19 93 19 96 19 99 20 02 20 05 20 08 20 11 20 14 20 17 0,000 Base R5% Opt R5% Red1 R5% Red2 R5% Base R6% Opt R6% Red1 R6% Red2 R6% Tahun Gambar 83. Pajak karbon untuk beberapa skenario terhadap ”Base Case” Pendapatan Per Kapita R5% & 6% PCY (Juta IDR) 10,000 8,000 PCY PCY PCY PCY PCY PCY PCY PCY PCY 6,000 4,000 2,000 19 9 19 0 92 19 9 19 4 96 19 9 20 8 0 20 0 0 20 2 0 20 4 06 20 0 20 8 1 20 0 1 20 2 14 20 1 20 6 18 0,000 Base R5% Opt R5% Red1 R5% Red2 R5% Base Case Base R6% Opt R6% Red1 R6% Red2 R6% Tahun Gambar 84. Pendapatan per kapita untuk beberapa skenario terhadap ”Base Case” 118 5.6 Skenario Kebijakan Berdasarkan output model dari analisis sensitivitas, maka nilai pajak yang optimal adalah dengan nilai sebesar R5% dan level pengendalian (control rate of emission) untuk periode 1990-2019 berada pada kisar 20-80%. Tingkat pengendalian tersebut meningkat menjadi 99% untuk periode 2012 -2016 sesuai dengan tren pada gambar 85. Pilihan ini berdasarkan pertimbangan pendapatan, perubahan suhu, besar pajak emisi dan nilai MIU. Var iabe l Ke bijak an (M IU) R5% & R6% 1,000 MIU(% ) 0,800 0,600 0,400 0,200 MIU Opt 5% MIU Opt 6% . 20 18 20 16 20 14 20 12 20 10 20 08 20 06 20 04 20 02 20 00 19 98 19 96 19 94 19 92 19 90 0,000 Tahun Gambar 85. Level pengendalian emisi untuk nilai R5% dan R6% Jika pembuat kebijakan menggunakan skenario dengan nilai R5%, maka dampak terhadap pajak karbon dan pajak emisi gas CO2 terhadap BBM dan batubara adalah sebagai terlihat pada gambar 86 dan gambar 87. Besarnya pajak emisi gas CO2 untuk BBM berada pada kisar USD 0,002 –USD 0,024 per liter (1990-2019) dan pajak emisi gas CO2 untuk batubara pada kisar USD 1,959 –USD 20,251 per ton. Pada periode 1994 -2008 control rate berada pada kisar 20-40% artinya Pembuat kebijakan harus menurunkan tingkat emisi berkisar antara 20-40% dari level yang ada pada saat ini. 0,025 0,020 0,015 0,010 0,005 0,000 19 90 19 92 19 94 19 96 19 98 20 00 20 02 20 04 20 06 20 08 20 10 20 12 20 14 20 16 20 18 CO2 Tax (USD/Liter) Dam pak Ke naik an Harga Pe trol /Lite r 0,030 CO2 CO2 CO2 CO2 Tax /liter Petrol -Opt Tax/liter Petrol -Base Tax/liter Petrol -Red1 Tax/liter Petrol - Red2 Tahun Gambar 86. Besarnya kenaikan harga BBM per liter dalam kondisi optimal 119 CO2 Tax (USD/T) Dam pak Kenaikan Harga Batubara/T 25,000 20,000 15,000 10,000 5,000 19 90 19 92 19 94 19 96 19 98 20 00 20 02 20 04 20 06 20 08 20 10 20 12 20 14 20 16 20 18 0,000 CO2 Tax CO2 Tax CO2 Tax CO2 Tax Batubara/T - Base Tahun Batubara/T - Opt" Batubara/T -Red1 Batubara/T - Red2 Gambar 87. Besarnya kenaikan harga batubara per ton dalam kondisi optimal 5.7 Penerimaan Pajak Emisi Gas CO2 Dengan skenario kebijakan optimal, maka pajak emisi gas CO2 per liter BBM untuk periode 1990 – 2019 berada pada kisar USD 0,002 – USD 0,024 per liter dan batubara berada pada kisar USD 1,959 – USD 20,251 per ton. Estimasi total penerimaan pajak emisi gas CO2 yang berasal dari BBM dan batubara adalah sebesar USD 457,6 juta – USD 2.362,2 juta seperti terlihat pada gambar 88 (lampiran 9). 2.000,000 1.500,000 1.000,000 500,000 0,000 19 90 19 92 19 94 19 96 19 98 20 00 20 02 20 04 20 06 20 08 20 10 20 12 20 14 20 16 20 18 Pajak Emisi ( Million USD) Estimasi Penerimaan Dari Pajak Emisi BBM & Batubara 2.500,000 Estimasi Penerimaan Pajak BBM Estimasi Penerimaan Pajak Emisi Dari Batubara Total Penerimaan Pajak Tahun Gambar 88. Estimasi penerimaan dari pajak emisi gas CO2 dalam kondisi optimal –R5% periode 1990 -2019 120 Besarnya penerimaan pajak tersebut dapat diubah tergantung dari tingkat pengendalian emisi (nilai MIU) yang akan diberlakukan. Jika level emisi gas CO2 tidak dikendalikan pada kondisi optimal tetapi pada skenario kondisi Reduction-1 ( pengurangan 10% dari level yang pada saat ini), maka besar pajak karbon untuk BBM berkisar pada USD 3,9 – USD 40,3 per ton dan pajak emisi gas CO2 berada pada kisar USD 1,06 – USD 11,00 per ton. Pada skenario Reduction-2 ( pengurangan 20% dari level yang ada pada saat ini), besar pajak karbon berkisar pada USD 3,9 – USD 43,06 per ton dan pajak emisi gas CO2 berada pada kisar USD 1,06 – USD 11,7 per ton. Perubahan besarnya pajak emisi gas CO2 dan pajak karbon dapat dilihat pada lampiran 8. Pembuat kebijakan dapat menggunakan kombinasi dari beberapa skenario untuk periode tertentu. Misalnya periode 10 tahun pertama menggunakan nilai optimal, 10 tahun kedua menggunakan nilai reduction-1. VI. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 6.1 Kesimpulan 1. Model DICE ( Dinamic Integrated Model of Climate and the Economy) adalah model ”Three Boxes Model” yaitu suatu model yang menjelaskan dampak emisi gas CO2 terhadap pemanasan global dan perubahan iklim karena meningkatnya konsentrasi emisi gas CO2 di atmosfir. Meningkatnya konsentrasi emisi gas CO2 akan berdampak pada meningkatnya radiative forcing yang ditandai dengan meningkatnya suhu rata-rata permukaan global. Kenaikan suhu ratarata global akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi setiap negara melalui perubahan output nasional (GDP). Pajak emisi gas CO 2 atau pajak karbon untuk Indonesia dapat dijelaskan melalui model DICE yang telah dimodifikasi dan variabel dalam model disesuaikan dengan kondisi Indonesia. 2. Simulasi model juga menunjukkan bahwa makin besar nilai rate of social time preference (R) maka semakin tinggi kenaikan suhu rata-rata permukaan global dan semakin kecil pajak emisi yang dikenakan untuk setiap unit bahan bakar dan semakin kecil level pengendalian (control rate) yang diperlukan. 3. Hasil simulasi model dengan program GAMS ( General Algebraic Modelling System ) menunjukkan bahwa pada skenario optimal dengan rate social time preference sebesar 3% maka tingkat pendapatan per kapita tidak mengalami penurunan jika dibandingkan dengan kondisi ”Base Case” yaitu suatu kondisi dimana GDP bertumbuh sebesar 5% per tahun dan pertumbuhan penduduk sebebsar 1,2% per tahun. Pada skenario optimal pajak karbon untuk BBM akan berada pada kisar USD 54,2 –USD 8714 untuk periode 1990-2019 dan pajak emisi gas CO2 akan berada pada kisar USD 0,00 – USD 2376 per ton. Sedangkan untuk batubara pajak emisi gas CO2 berada pada kisar USD 0,00 – USD 4373,2 per ton batubara. Nilai tersebut ekivalen dengan USD 0,00 122 – USD 5,20 per liter untuk emisi gas CO 2 bahan bakar minyak. Pendapatan per kapita pada skenario optimal berada dibawah skenario base, tetapi masih berada diatas skenario reduction. 4. Berdasarkan analisis sensitivitas dengan menggunakan berbagai nilai rate of social time preference (R), maka output dari model menunjukkan bahwa nilai social time preference 5% dan 6% memberikan nilai pajak optimal yang rendah relatif dibandingkan jika menggunakan nilai dari R3% (gambar 80). Jika kondisi optimal dengan R3% akan dipakai sebagai suatu skenario, maka level pengendalian terhadap emisi dari kondisi yang ada pada saat ini berada pada level 40 - 99%. Dengan menggunakan skenario ini maka hampir sepanjang tahun selama periode 1990 – 2019 level pengendalian tersebut berada pada kisar 40 - 99% (lihat gambar 82). Dengan nilai R 5% pada skenario optimal hasil simulasi menunjukkan tingkat GDP lebih tinggi relatif jika model mengunakan nilai R6% tetapi lebih rendah dibandingkan dengan menggunakan R3%. Pendapatan per kapita pada skenario optimal dengan nilai R5% dan 6% masih berada diatas rata-rata skenario Base Case (gambar 84) sedangkan pendapatan menggunakan nilai R5% sedikit berada diatas 5. Berdasarkan R6%. output model dengan skenario optimal biaya abatement berkisar antara 0,1 - 6,7% dari GDP untuk periode 1990-2019. Pajak karbon berada pada kisar USD 3,90 – USD 40,35 per ton karbon atau pajak emisi gas CO2 sama dengan USD 1,06 – USD11,00 per ton. Besarnya pajak emisi gas CO2 tersebut ekivalen dengan USD 0,002 – USD 0,024 per liter BBM untuk periode tahun 1990 -2019. Pajak emisi gas CO2 untuk batubara berada pada kisar USD 1,959 – USD 20,251 per ton. 6. Berdasarkan estimasi tren emisi gas CO2 Indonesia untuk periode 1990-2019, maka perkiraan penerimaan pajak emisi CO 2 pada kondisi optimal untuk sektor BBM adalah antara USD 232,52 juta – USD 1.585,6 juta per tahun dan penerimaan pajak CO2 yang berasal dari 123 batubara berkisar antara USD 81,4 juta – USD 777,219 juta untuk periode yang sama. Perkiraan total penerimaan untuk BBM dan batubara berkisar USD 457,6 juta – USD 2.362,8 juta untuk periode tahun1990 -2019 (gambar 88). 7. Variabel kebijakan MIU ( μ ) untuk nilai R5% pada skenario optimal berada pada kisar 0,2 – 0,8 ( 20% -80%). Artinya jika pembuat kebijakan akan memilih skenario optimal, pengurangan emisi dari kondisi yang ada pada saat ini akan berada pada kisar 20% sampai dengan 80 % untuk periode 1990 -2019. Selama periode 2012 sampai 2016 nilai MIU(μ) berada pada kisar 60-100% 8. Total konsumsi bahan bakar terhadap penduga parameter 89% dapat diterangkan oleh variabel bahan bakar dan pendapatan. Koefisien diterminasi antara bahan bakar dan total konsumsi adalah sebesar 82,5% dan koefisien antara total konsumsi terhadap pendapatan sebesar 72,8%. Model ekonometrik juga menjelaskan bahwa harga bahan bakar tidak elastis terhadap total konsumsi. 6.2 Implikasi Kebijakan 1. Emisi antropogenik yang disebabkan oleh bahan bakar minyak (BBM) yang berupa emisi gas CO2 pada saat ini terus meningkat. Indonesia tidak termasuk kedalam negara yang harus mengurangi emisi gas rumah kaca, terutama CO2 sebagai mana yang telah ditetapkan dalam Protokol Kyoto, tetapi Indonesia sudah meratifikasi protokol tersebut sebagai komitmen dalam bekerja sama dengan negara lain untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Penurunan tingkat emisi oleh suatu negara tidak memiliki dampak pada berkurangnya konsentrasi CO2 di atmosfir, hal ini berimplikasi bahwa tingkat penurunan tersebut harus dilakukan melalui komitmen bersama oleh semua negara penghasil emisi gas rumah kaca khususnya emisi gas CO2 . 124 2. Sebagai salah satu intrumen ekonomi, maka pajak emisi gas CO2 atau pajak karbon dapat digunakan sebagai alternatif dari kebijakan pengawasan dan pengendalian (command and control) yang ada pada saat ini. Dengan adanya pajak emisi gas CO2 atau pajak karbon terhadap bahan bakar minyak dan batubara, maka setiap individu diharapkan dapat bertanggung menggunakan setiap unit BBM. jawab dan bijaksana dalam Sebagai salah satu faktor untuk penghematan energi, maka pajak emisi gas CO2 atau pajak karbon diharapkan dapat merubah pola konsumsi masyarakat terhadap energi khususnya BBM. Faktor lain yang akan mempengaruhi penghematan energi adalah perubahan teknologi. Dengan instrumen ekonomi yang berupa pajak emisi maka pencemar memiliki pilihan dan tidak harus mengganti alat produksi atau peralatan yang ada pada saat ini karena adanya penerapan peraturan yang bersifat perintah dan awasi (command and control), peralatan yang lama dapat tetap dioperasikan sejauh pencemar memberikan kompensasi dari konsekuensi tindakan yang diambil melalui pembayaran pajak emisi. Dengan mekanisme pajak emisi, penggantian peralatan, mesin-mesin produksi dan kendaraan dapat dilakukan secara bertahap dengan tetap melakukan efisiensi energi dan mengurangi kerusakan lingkungan. Hal ini sulit dilakukan jika pembuat kebijakan hanya 3. menggunakan Dengan adanyainstrumen pajak karbon regulasi atau yang pajak bersifat emisitop-down. gas CO2, maka setiap individu akan mencari keseimbangan dimana konsumen akan menggunakan setiap peralatan produksi yang hemat energi tetapi disisi lain pihak produsen akan berusaha untuk melakukan penelitian dan pengembangan didalam menemukan efisiensi penggunakan BBM secara terus menerus jika mereka menginginkan produk mereka akan tetap berada dipasaran. Pajak emisi gas CO2 akan memberikan signal kepada masyarakat untuk berpindah dari BBM kepada energi alternatif. Hal ini disebabkan karena bekerjanya mekanisme harga. Perubahan harga akan mempengaruhi perubahan teknologi melalui 125 proses peningkatan penelitian dan pengembangan dari energi yang berbasis karbon kepada yang bukan karbon. 4. Yang perlu diperhatikan oleh pembuat kebijakan bahwa pendapatan pajak karbon atau emisi tidak dapat diberlakukan sebagai kebijakan fiskal sebagaimana pendapatan yang diterima oleh negara dari sumber pajak yang ada pada saat ini. Pendapatan pajak emisi harus disiklus ulang melalui mekanisme khusus yang bertujuan agar penghasilan tersebut dapat digunakan untuk kegiatan lingkungan, seperti memberikan insentif kepada pihak-pihak yang mengembangkan energi substitusi, kemudahan impor bagi pihak manufaktur yang melakukan produksi bersih, lembaga penelitian ataupun perguruan tinggi yang melakukan penelitian efisiensi energi dan pihak produsen yang dengan kesadarannya ikut mengurangi emisi. 6. Emisi merupakan eksternalitas negatif, maka dengan pendapatan dari pajak emisi gas CO2 eksternalitas tersebut dapat dikompensasi kepada pihak yang paling dirugikan. Pihak masyarakat yang rentan terhadap dampak eksternalitas tersebut pada umumnya adalah masyarakat yang pendapatannya rendah. Kompensasi ini dapat diberikan seperti pembebasan biaya sekolah dan kesehatan. 7. Pajak sudah dipastikan akan menghilangkan subsidi. Subsidi energi yang diberikan pemerintah saat ini bukan merupakan jalan keluar untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, karena biaya BBM yang murah dalam jangka panjang akan menjadi beban Nasional. BBM yang murah mengakibatkan banyak energi terbuang dan membuat kebiasaan pemborosan energi yang sulit dirubah. Penghilangan subsidi hanya akan berdampak dalam jangka pendek, karena berdasarkan output model penelitian pajak emisi tidak menurunkan pendapatan per kapita masyarakat. 8. Pembuat kebijakan memiliki opsi didalam menerapkan pajak emisi, karena pajak karbon seharusnya diterapkan dihulu (upstream) 126 sedangkan pajak emisi gas CO2 terhadap konsumen akhir. Jika pajak diterapkan dihulu, maka itu sama artinya dengan menaikkan per satuan unit BBM atau energi sebelum dipakai oleh konsumen di hilir. Pilihan lain adalah pajak dapat dikenakan sesuai dengan proporsi tingkat emisi yaitu dengan menggunakan pajak karbon di hulu dan pajak emisii gas CO2 pada konsumen akhir. 9. Hasil dari model ekonometri menunjukkan bahwa BBM dalam hal ini bensin dan solar secara statistik memiliki elastisitas lebih kecil dari satu (0,130) terhadap konsumsi BBM. Jika harga BBM naik sebesar 1%, maka tingkat konsumsi hanya akan berpengaruh sebesar 0,130 %. Hal ini merupakan signal penting bagi pembuat kebijakan karena kenaikan harga energi yang disebabkan oleh pajak emisi gas CO2 tidak berdampak signifikan terhadap konsumsi energi. Informasi ini penting bagi Pemerintah dalam menerapkan kibijakan pajak. Pemerintah memiliki pilihan apakah pajak akan diberlakukan sebagai penghasilan pendapatan negara atau bertujuan untuk perbaikan lingkungan. 10. Karena sifatnya yang transparan, maka pajak emisi adalah lebih mudah terlihat dibandingkan dengan pembatasan emisi melalui command and control, maka mengenalkan pajak emisi gas CO2 sebagai suatu instrumen baru akan lebih sulit dari pada merubah kebijakan yang ada pada saat ini. Proses ini yang memerlukan dukungan politik dari semua lembaga terkait termasuk masyarakat. Pajak emisi akan memicu pihak industri menjadi penentang utama, terutama dari kelompok industri yang sangat berpengaruh, karena industri merupakan konsumen energi terbesar. Oleh karena itu perlu sosialisasi yang baik dan waktu yang cukup didalam mengenalkan instrumen pajak emisi gas CO2. 11. Model penelitian ini menggunakan variabel total faktor produktivity (TFP) sebagai variabel eksogen. Disarankan untuk dilakukan 127 penelitian lanjutan untuk mencari nilai TFP dengan cara menjadikan variabel ini sebagai variabel endogen yang spesifik untuk Indonesia. 12. Penelitian lebih lanjut juga perlu dilakukan untuk mencari nilai exponent cost control function (b2) yang paling sesuai untuk Indonesia. Faktor exponent of cost control function sebesar 2,887 akan berpengaruh dalam menentukan besarnya biaya yang dikeluarkan mengurangi kerusakan sebagai fraksi dari pengeluaran nasional. untuk DAFTAR PUSTAKA Ackerman, Frank and Finlayson. 2005. The Economic of Inaction on Climate Change: A Critique. Global Development and Environment Institute,Tufts University. Baumert, A.K., Harzog, Timothy and J. Pershing. 2005. Navigating the Numbers. Greenhouse Gas data and International Climate Policy. World Resources Institute Behavioral Responses to Environmentally-Related Taxes. 2000. Environment Directorate.OECD. COM/ENV/EPOC/DAFFE/CFA(99) 111/FINAL. Babiker, H.M., G. Metcalf, and J. Reilly. 2002. Tax Distortion and Global Climate Policy.MIT Joint Program on the Science and Policy of Global Change. Report No.85.MIT Baer, P. and T. Athanasiou. 2006. Honesty About Dangerous Climate Change. EcoEquity. http://www.ecoequity.org/ceo/ceo_8_2.htm Bergman, L. 2003. The effects of a tax on pollution. Course paper on Advance Topics in Micro and General equilibrium Theory. Berkhout,P, Ferrer,C and Musken,Jos. 2004. The ex post impact of an energy tax on household energy demand. ELSEVIER. Energy Economics 26 (2004)297-317.JEL .D12:Q4 Bolioli, T. 1999. Comparison of Endogenous vs.Exagenous Technology in the DICE Economic Output Function. COM/ENV /EPOC /DAFFE /CFA(99)111/FINAL. Behavioral Responses to Environmentally-Related Taxes. 2000. Environment Directorate.Directorate for Finance,Fiscal and Enterprise Affairs. OECD Beyond Kyoto. 2002. Energy Dynamics and Climate Stabilization. International energy Agency.OECD/EIA Blades,D. and J. Meyer. 1998. How to represent Capital in International Comparison of Total Factor Productivity. OECD.Statistics Directorate. Second Meeting of the Canberra Group On Capital Stock Statistics. Connor,D. 1996. OECD Development Centre (Paris French). Applying Economic Instruments in Developing Countries; From Theory to Implementation.Special Report Choon Chia,Nge. Taxes and Traffic in Asian Cities:Ownership and use taxes on autos in Singapore. National University of Singapore. 129 Cline, R. W. 2006. Modelling economically efficient abatement of greenhouse gases. http://www.unu/unupress/unupbooks/uu17ee/uu/uu17ee08.htm Clarkson, R. and K. Deyes. 2002. Estimating the Social Cost of Carbon Emissions. Government Economic Services Working paper 140. Environment Protection Economics Division. HM Treasury,Parliament Street,London Cooper, N. R. 2004. A Carbon Tax in China ?. Climate Policy Centre. www.cpcinc.org Dutschke, M. and Michaelowa. 1998. Issues and Open Questions of Greenhouse Gas Emission Trading under the Kyoto Protocol. HWWA Humberg. Discussion Paper 68. Dealing With Climate Change. 2002. International Energy Agency. OECD/IEA Dean, R. E. 1999. The Accuracy of the BLS productivity measures. Monthly Labor Review. Environmental Taxes. 1996. Implementation and Effectiveness. Environmental Issues Series No.1, Copenhagen. Economic/Fiscal Instruments: Taxation.OECD/GD(97)188. Annex I Expert Group on the United nations Framework Convention on Climate Change.Working Paper No.4 Economic instrument for the reduction of carbon dioxide emissions (Nov 2002). The Royal Society. Policy document 26/02. www.royalsoc.ac.uk Energy Use and Carbon Emissions:Some International Comparisons. 1994. Energy Information Administration.DOE/EIA-0579. US.Departement of Energy.Washington,DC Final Report. 1973. Research Triangle Institute.RTI project No.41U-757. A Projection of the Effectiviess and Costs of A National Tax On Sulfur Emissions. Fiddaman, T. 1997. A System Dynamic Perspective On an Influential Climate/Economiy Model. MIT Sloan School of Management. Fullerton, D. 2001. A Framework To Compare Environmental Policies. National Bureau of Economic Rsearch.Working Paper 8420.Cambridge. Felipe, J. 1997. Total Factor Productivity Growth in East Asia: A Critical Survey. EDRC Report Series No 65. 130 Frankhauser, S. and J. Richard. 2004. On Climate change and Economic Growth. Resources and Energy Economics 27. ELSEVIER Frankhauser, S. 2006. Economic Estimates of Climate Change Impact. http://www.gcrio.org/USGCRP/sustain/frankhaus.html Frankhauser, S. and T.S.J. Ricahrd. 2001. On Climate Change and Growth .European Bank for Reconstruction and Development,Hamburg,Vrije and Carnegie Mellon Universities. Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan.Teori dan Aplikasi. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,Jakarta Fullerton, Don and N.R. Stavins. 1998. How Do Economist Really Think About the Environment ?. Resources for The Future. Washington,DC. Discussion paper 09-29. Fussel, M. 2006. Empirical and Methodological Flaws in Applications of the DICE Model. Centre for Environmental Science and Policy,Stanford University. Gurney, K. R. 2003. Climate Change and the Prospects for Action:Does Waiting Have a Price. Gupta, S. 2006. Environmental Benefit and Cost Saving Through Market-Based Instruments: An Application Using State-Level Data From India. Delhi School of Economics University of Delhi,India. Hoeller, P. and M. Wallin. 1991. Energy Prices, Taxes and Carbon Dioxide Emissions. OECD Economic Studies No.17. Islam, S.M.N. 2003. Climate change and economic growth: computational experiments in adavtive economic modeling. International Global Environmental Issues.Vol.3.No1.Centre for Strategic Economic Studies,Victoria University. IPCC Report .Technical Summary of the Working Group I Report. IPCC Technical Paper. 1997. Implications of Proposed CO2 Emission Limitations. IPCC Working Group I. IPCC Special Report,WMO and UNEP. 2002. Carbon Dioxide Capture and Storage. Summary for Policymakers and Technical Summary. Indonesia Energy Outlook & Statistics. 2004. Pengkajian Energi Universitas Indonesia,Pengkajian Energy Universitas Indonesia 131 Jaccard, M., R. Murphy, and N. Rivers. 2004. Energy-environment policy modeling of endogenous technological change with personal vehicles: combining top-down and bottom up methods. School of Resources and Environmental Management. Ecological Economics 51.ELSEVIER. Jaswal, P. and K. Deb. 2006. A Framework for Estimating Environmental Taxes in the Transport Sector. TERI,Lodhi Road,New Delhi.India Jaffe, B.A., R. Newell, and R. Stavins. 2005. A tale of two market failures:Technology and environmental policy.Ecological Economics 54.ELSEVIER Keller, K., T. Kelvin, F. Moral and D. Bradford. 1999. Preserving the Ocean Circulation: Implications for Climate Policy. Princeton University. Klepper, G. and S. Peterson. 2005. Emission Trading,CDM,JL and More-The Climate Strategy of the EU. Kiel Institute for World Economics. Kiel Working Paper No.1238. Germany Kyoto and Beyond. 2002. Issues and Options in the Global Response to Climate Change. Swedish Environmental Protection Agency. www.miljobokhandeln.com Lazzari, S. 2005. Energy Tax Policy: An Economic Analysis. CRS Report for Congress.Resources,Science and Industry Division. Marland, G., T. Boden, and B. Andres. Oak Ridge National Laboratory.University of North Dakota. Website : http://cdiac.esd.ornl.gov/trends/emis/top2000.tot. diprint 11/8/2004 Murdiyarso, Daniel. 2003. Protokol Kyoto.Implikasinya bagi Negara Berkembang. Seri perubahan iklim.Penerbit buku Kompas. McFarland, J. R., J. M. Reilly, and H. J. Herzog. 2004. Representing energy technologies in top-down economic models using bottom-up information. Energy Economic 26. ELSIVIER Mastrandrea, M. and S. Schneider. 2001. Integrated assessment of abrupt climatic changes. Stanford University. Climate Policy 1.ELSEVIER Markandya, A. 1998. The indirect costs and benefits of greenhouse gas limitations. University of Bath and Metroeconomica. Handbook Report Published by : UNEP Collaborating Centre on Energy and Environment, Denmark. McKibbin, J. W. and A. Stegman. 2005. Convergency and Per Capita Carbon Emission. LOWY Institute for International Policy.Working Paper No.4.05 132 Nordhaus, W. and J. Boyer. 1999. Economics Models of Global Warming. DICE and RICE Model. Internet edition. http://www.econ.yale.edu/~nordhaus/homepage/web%20table%20of%20co ntents%20102599.html.Printed on.3/23/2005 Nordhaus, W. 1992. Rolling the “DICE” : An Optimal transition path for controlling greenhaouse gases. Resources and Energy Economics 15 (1993) 27-50.North Holland. Nordhaus, W. and J.G. BoyrtBoyer. 1999. Requiem for Kyoto: An Economic Analysis of the Kyoto Protocol. KYOTO ECON 020299.DOC Nordhaus, W. 2001. Global Warming Economics. Science Compass,Vol 294.Policy Forum:Cliamte Change Nordhaus, W. 1992. An Optimal Transition Path for Controlling Greenhouse Gases. Science.Vol 258. Network of East Asian Think Tanks Working Groups –NEAT WG. 2006. Second Neat Working Group Meeting on Energy Security Cooperation In East ASIA. Newell, G. and A. W. Pizer. 2004. Uncertain discount rate in climate policy analysis. Energy Policy 32. ELSEVIER Olsthoorn, X., M.Amann,Markus, et.al. 1999. Cost Benefit Analysis of European Air Quality Target for Sulphur Dioxide, Nitrogen Dioxide and Fine and Suspended Particulate Matter in Cities. Environmental and Resources Economics 14:333-351.Kluwer Academic Publishers. OXERA report. 2002. A Social Time Preference Rate For Use In Long-Term Discounting. OXERA Consulting Ltd.Oxford OX1 4EH,UK Parry, W. H .Ian. 2003. Fiscal Interactions and the Case for Carbon Taxes over Granfathered Carbon Permits. Resources For the Future.RFF DP 0346.Washington,DC 20036 Petroleum Report Indonesia. American Embassy –Jakarta.2003 Proceeding SOx/NOx Trades. 2003. Market Mechanisms and Incentives: Applications to Environmental Policy. A Workshop sponsored by The US Environmental Protection Agency’s National Centre For Environmental Economics and National Centre For Environmental Research. Edited by Alpha-Gamma Technologies,Inc. Policy to Reduce Greenhouse Gas Emission in Industrry-Successful Approaches and Lessons Learned: Workshop Report. OECD and EIA Information Paper. 133 OECD Environment Directorate and International Energy Agency. COM/ENV/EPOC/EIA/SLT (2003)2. Perspektif Clean Development Mechanism Pada Proyek Energi Terbarukan dan Efisiensi Energi. 2002. Sub Direktorat Pemanfaatan Energi Direktorat Energi baru Terbarukan dan Konservasi Energi. Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi. Pearce, D., B. Groom, C. Hepburn, and P. Koundouri. 2003. Valuing the Future. Recent advances in social discounting.World Economics.Vol 4.No.2 Pizer, W. 2005. The Case for Intensity Targets. Resources for The Future. Discussion Paper.RFF DP 05-02.Washington,DC Philibert, C. 2003. Discounting the Future. International Society for Ecological Economics.Internet Encyclopaedia of Ecological Economics.IEA,Energy and Environment Division. Roughgarden,Tim and Schneider,Stephen (1998). Climate change policy: quantifying uncertainties for damages and optimal carbon taxes. Cornell University,Itheca and Stanford University,Stanford. Energy Policy 27. ELSEVIER Saleh, K. 1997. The Measurement of Gross Domestic Fixed Capital Formation in Indonesia. Capital Stock Conference, Central Bureau of Statistics. Jakarta. Sargent, C. T. and R. E. Rodriguez. 2000. Labour or Total Factor Productivity: Do We Need to Choose ?. Economics Studies and Policy Analysis Division.Departement of Finance,Canada Sanim, B. 2003. Environmental Protection and Regional Development. Paper disampaikan pada “ The 16 th General Conference of IFSSO On Environmental Protection and Regional Development. Symons, E.J., S. Speak, and J.L. Proops. The effect of pollution and energy across the European income distribution. Economic Department.Keele Univcersity,UK. Paper State Carbon Tax Model User’s Change.University of Maryland. Guide. 1996. Centre for Global Schultz, A. P. and F. J. Kasting. 1997. Optimal reduction in CO2 emissions. Energy Policy,Vol 25.ELSEVIER Scrimgeour, G.F., L. Oxley, and K. Fatai. 2006. Reducing Carbon Emissions? The Relative effectiveness of Different Types of Environmental Tax: The Case of New Zealand. University of Waikato, University of Canterbury. 134 Stavins, N.R. 2004. Environmental Economics. Future.Discussion Paper.RFF DP 04-54 Resources for The Statistik Lingkungan Hidup Indonesia. 2002. Katalog BPS 2202 Sterman, D.J. 2002. All models are wrong:reflections on becoming a system scientist. MIT Sloan School of Management Sigit,H. 2004. National Reports Indonesia. Total Factor Productivity Growth:Survey Report.diterbitkan oleh Asian Productivity Organization,ISBN:92-883-7016-3 Sumaila, R. U. and C. Walters. 2003. Intergenerational discounting: a new intuitive approach. Ecological Economics 52.ELSIVIER The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) Guideline revised 1996 for national Greenhouse Gas Inventories. Reference manual Volume 3 The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) Guideline revised 1996 for national Greenhouse Gas Inventories. Work book Volume 2 Thomas, C., T. Tennant and Rolls Jon. 2000. The GHG Indicator: UNEP Guidelines for Calculating Greenhouse Gas Emissions for Business and Non Commercial Organizations. Tol, S. J. R. 2004. The marginal damage costs of carbon dioxide emissions:an assessment of the uncertainties. Institute for Environmental Studies,Vrije Universiteit,Amsterdam,The Nederlands.Energy Policy 33.ELSEVIER Tol, S. J. R. 1997. On the optimal control of carbon dioxide emissions: an application of FUND. Institute for Environmental Studies,Vrije Universiteit,Amsterdam,The Nederlands. Tol, S. J. R. and S. Frankhauser. 1997. On the optimal of impact in integrated assessment models of climate change. Institute for Environmental Studies,Vrije Universitiet,Amsterdam and Centre for Social and Economic Research,University College London. Technical Assistance Report. 2002. TAR INO 35138. For Preparing The Clean Vehicle Fuel For Blue Skies Project. Asian Development Bank. The Green Book. 2004. Discount Rate, Annex 6. http://greenbook.treasury.gov.uk/annex06.htm The RFF Guide to Climate Change Economics and Policy. 2003. Resources for The Future. Washington,DC 135 UNEP publication. 2003. The Use of Economic Instruments in Environmental Policy: Opportunities and Challenges. Unleashing Innovation: The Right Approach to Global Climate Change. 2001. The Business Roundtable Van der Eng, P. 2005. Capital Formation and Economic in Indonesia. N.W.Posthumus Institute of Economic and Social History,Groningen dan Hitotsubashi University,Kunitachi,Tokyo. Wardhana,W. A. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Penerbit Andi Offset Yogjakarta Watimena, T. B. and R.A. Soerjono. 2005. Indonesian Energy Planning: A Concept Based on Some Energy Models. The Foundation of Indonesia Institute for Energy Economics. Wexler, L. 1996. Improving Population Assumptions in Greenhouse Gas Emissions Models.IIASA.Laxenburg,Austria Wing,S. I. and D. Popp. 2006. Representing Endogenous Technological Change in Models for Climate Change Policy Analysis: Theoritical and Empirical Considerations.The California Climate Change Centre at UC Berkeley. Worrell, Ernst and W. Graus. 2005. Tax and Fiscal Policies for Promotion of Industrial Energy Efficiency: A Survey of International Experiences. Lawrance Berkeley National Laboratory. Zhang, X. Z. and A. Baranzini. 2003. What Do We Know About Carbon Taxes? An Inquiry into Their Impacts on Competitiveness and Distribution of Income. Environmental Change,Vulnerability,and Governance Series.No 56.East West Centre Working papers.