peranan pajak emisi gas co2 bahan bakar fosil

advertisement
PERANAN PAJAK EMISI GAS CO2 BAHAN BAKAR FOSIL
DALAM MENGURANGI DAMPAK LINGKUNGAN.
”SUATU PERSPEKTIF UNTUK INDONESIA”
KEMAS FACHRUDDIN
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
ABSTRAK
KEMAS FACHRUDDIN. Peranan Pajak Emisi Gas CO2 Bahan Bakar Fosil
Dalam Mengurangi Dampak Lingkungan. ”Suatu Perspektif Untuk Indonesia”.
AKHMAD FAUZI sebagai ketua; AHMAD BEY, dan SURJONO
H.SURTJAHJO, sebagai anggota komisi pembimbing
Pada tahun 2001 Indonesia termasuk peringkat ke 21 sebagai negara
penghasil emisi gas CO2 terbesar. Pada tahun 1990 total emisi gas CO2 yang
dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil adalah sebesar lebih kurang 83,8
juta ton dan diperkirakan pada akhir tahun 2020 total emisi tersebut menjadi
368,3 juta ton. Pada saat ini belum ada peraturan baik dalam bentuk undangundang maupun peraturan pemerintah yang mengatur secara khusus untuk
mengatasi laju pertumbuhan emisi tersebut.
Ada beberapa pendekatan didalam mengatasi masalah emisi gas CO2 yaitu
melalui instrumen regulasi (command and control) atau melalui instrumen
ekonomi (market based instrument). Berdasarkan pengalaman dari beberapa
negara maju instrumen ekonomi dalam bentuk pajak karbon atau pajak emisi
lebih banyak disukai dibandingkan dengan pendekatan regulasi.
Penelitian empiris ini bertujuan untuk menganalisis peran instrumen
ekonomi dalam bentuk pajak karbon atau pajak emisi terhadap bahan bakar yang
berbasis fossil melalui model DICE yang telah dimodifikasi. Model DICE disebut
juga ”Three Box Model” atau yang dikenal dengan ”Two Folded” model.
Hasil output model dengan menggunakan berbagai nilai rate of social
preference (R) menunjukkan bahwa pajak optimal untuk bahan bakar minyak
dan batubara yang sesuai adalah dengan menggunakan nilai R sebesar 5%.
Besarnya pajak karbon per ton dalam kondisi optimal untuk periode 1990-2019
adalah sebesar 3,90-40,35 dolar Amerika atau sebesar 1,06 -11,00 dolar
Amerika per ton untuk emisi gas CO2. Harga tersebut ekivalen dengan 0,002 0,024 dolar Amerika per liter bahan bakar minyak dan untuk batubara berada
pada kisar 1,95 -20,25 dolar Amerika per ton.
Output model menunjukkan bahwa pajak karbon atau emisi dengan
skenario optimal tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan
masyarakat relatif terhadap skenario ”Base Case”, justru menunjukkan
sebaliknya. Pada skenario optimal abatement cost berkisar antara 0,1-6,7 % GDP
untuk periode 1990-2019. Jika pemerintah menggunakan kebijakan instrumen
pajak dengan skenario optimal, maka penerimaan pajak emisi diperkirakan
berkisar antara 457,6 – 2.362,8 juta dolar Amerika untuk periode 1990 -2019.
Penerimaan tersebut terdiri dari penerimaan yang berasal dari bahan bakar
minyak sebesar 376,1-1.585,6 juta dolar Amerika dan dari batubara berkisar 81,4
– 777,2 juta dolar Amerika.
Kata kunci : pajak emisi, abatement cost, command and control
xvi
ABSTRACT
KEMAS FACHRUDDIN. Role of CO2 Gas Emission Tax On Fossil Fuel In
Reducing Environmental Impact. “A Perspective for Indonesia”. AKHMAD
FAUZI as Chairman; AHMAD BEY, and SURJONO H.SURTJAHJO, as
Members of the advisory Committee.
In the year 2001, Indonesia was ranked 21 st in producing CO2 emission.
In 1990 total emission of CO2 from the burning of fossil fuel was estimated 83.8
million tones and at the end of year 2020 the total emission will be 368.3 million
tones. Currently, Indonesia has no specific regulation for controlling CO2
emission either in form of act or government regulation.
Some approaches in controlling such emissions are through command and
control and or market based instrument (sometimes this term is called economic
instrument). Based on experience from developed countries, economic instrument
in the form of carbon tax or emission tax is preferred due to it’s effectiveness
compared with the common and control instrument.
This empirical study is intended to analyze role of economic instrument in
forms of a carbon or emission tax on the energy of fossil fuel through modified
DICE model. DICE model is also called a “Three –Box Model” or “Two Folded
Model”
By using some of rate of social preference (R), model outcome suggests
that appropriate optimal taxes for petrol and coal are if model using value of
R5%. Value of carbon tax per ton in optimal condition for period of 1990-2019
having range $US3.90 – 40.35 or $US1.06 -11.00 USD CO2 emission per ton.
The price is equivalent to $US 0.002 – 0.024 per liter petrol and $US 1.95 -20.25
per ton coal.
Based on the output model its indicated that carbon or emission tax with
optimal scenario has no significant impact on income per capita relative to “Base
Case”. Shall the government apply tax instruments with optimal scenario,
revenue of emission taxes will fall between $US 457.6 – $US 2,362.8 million for
period 1990-2019. The revenue consists of $US 376.1 – US$ 1,585.6 million
generated from petrol and $US 81.4 – $US 777.2 million from coal.
Key words : Emission tax, abatement cost, command and control.
xvi
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik
cetak, fotokopi, microfilm dan sebagainya
xvi
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul “ Peranan Pajak Emisi
Gas CO2 Bahan Bakar Fosil Dalam Mengurangi Dampak Lingkungan: “Suatu
Perspektif Untuk Indonesia “ adalah karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka dibagian akhir disertasi ini.
Bogor, Agustus 2007
Kemas Fachruddin
Nrp : P 062034254/PSL
PERANAN PAJAK EMISI GAS CO2 BAHAN BAKAR FOSIL
DALAM MENGURANGI DAMPAK LINGKUNGAN.
”SUATU PERSPEKTIF UNTUK INDONESIA”
KEMAS FACHRUDDIN
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Bidang Pengelolaan Lingkungan dan Sumberdaya Alam
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
xvi
Judul Disertasi
:
Peranan Pajak Emisi Gas CO2 Bahan Bakar Fosil
Dalam Mengurangi Dampak Lingkungan. ”Suatu
Perspektif Untuk Indonesia”
Nama Mahasiswa :
Kemas Fachruddin
Nomor Pokok
:
P 062034254
Program Studi
:
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof.Dr.Ir Akhmad Fauzi Syam, M.Sc
Ketua
Prof.Dr.Ir Ahmad Bey,M.Sc
Anggota
Plh.Ketua Program Studi Pengelolaan
Dr.Ir Surjono H.Sutjahjo,M.S
Anggota
Dekan Sekolah Pascasarjana
Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dr.Ir Etty Riani,MS
Prof.Dr.Ir Khairil Anwar Notodiputro,MS
Tanggal : 9 Agustus 2007
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir pada tanggal 04 Juli 1958 di Palembang,Sumatera Selatan,
dari pasangan Kemas Dencik dan Tapsiah. Penulis beristrikan Nurachmi Suryani
dan memiliki putra Fari Fatullah dan Kemas Hadid serta putri Nyimas Faradilla
Penulis berhasil menyelesaikan pendidikan di Universitas Ahmad Yani
Bandung sampai tingkat sarjana dan memperoleh sarjana muda teknik industri
pada tanggal 5 Oktober tahun 1981. Melanjutkan pendidikan pada Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia Program Extension dan berhasil memperoleh
sarjana ekonomi pada tahun 1995. Pada tahun 1997 melanjutkan pendidikan S-2
pada program studi Magister Management Teknologi di Institut Teknologi
Sepuluh November Surabaya, dan sarjana Magister Management Teknologi
diperoleh pada tahun 2001. Penelitian yang dilakukan dalam rangka
menyelesaikan pendidikan S-2 di ITS adalah ” Reducing Weld Defects By Using
Six Sigma Methodogy ” dengan melakukan riset experimental yang
pendanaannya dibantu oleh General Electric Power System Amerika. Pada tahun
2003 menempuh pendidikan S-3 di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan dan
perkuliahan diselesaikan pada tahun 2004.
Pernah mengikuti berbagai pelatihan manajemen dan teknik baik didalam
maupun diluar negeri untuk berbagai disiplin ilmu seperti Welding Technology,
Inspection, Financial Management, Material Management, Procurement dan
Advance Procurement dan Fabrication untuk Steam Turbine dan Gas Turbine di
Schenectady - New York, South Carolina Amerika Serikat, Shanghai-China,
Bangkok dan Malaysia.
Selama lebih kurang delapan tahun yaitu mulai tahun 1981 sampai dengan
1988 bekerja pada konsultan nasional yang bergerak pada bidang Technical
Services dan Inspection Engineering dan pernah ditugaskan pada berbagai proyek
seperti LNG expansion di Bontang, Pertamina Refinery Expansion Balikpapan,
Nilam Expansion Project – HUFFCO di Kalimantan Timur, Union Oil di
Kalimantan Timur dan beberapa proyek Petro Kimia di Jabotabek. Posisi terakhir
adalah sebagai Manager Teknik dan Operasi.
xvi
Tahun 1989 sampai dengan tahun 1994 bekerja pada perusahaan multi
nasional – Bechtel International yang bergerak dibidang Design Engineering,
Procurement dan Construction. Posisi sebagai Chief Engineer dan pernah terlibat
dalam pembangunan beberapa proyek seperti Well Dehydration Project Mobil
Oil di Aceh dan beberapa proyek Petro Kimia di Jawa Barat, dan selama lebih
kurang dua tahun bekerja pada PT Freeport Indonesia di bagian logistik sebagai
Chief Materials dan Quality di Jakarta.
Penulis pernah bekerja pada perusahaan multi nasional – General Electric
(GE) selama enam tahun pada bisnis unit Power System sebagai senior Global
Sourcing Manager. Bertanggung jawab terhadap pembelian Global dan transfer
teknologi kepada pihak pemasok, termasuk yang ada di Indonesia untuk
komponen – komponen dari Power System baik untuk Gas Turbine maupun
Steam Turbine.
Mulai tahun 2001 sampai dengan tahun 2005 bekerja pada perusahaan
multi nasional yang bergerak pada sektor perminyakan. ExxonMobil Indonesia
selama satu tahun dan sampai sekarang bekerja pada ConocoPhillips Indonesia
pada bagian proyek infra struktur di Jakarta.
Sejak tahun 1990 penulis juga aktif bekerja pada konsultan teknik dan
manajemen untuk mengajar beberapa topik pelatihan seperti Manajemen
Pembelian dan Persedian, Manajemen Operasi dan Manajemen Proyek. Dibidang
teknik pernah mengajar untuk pelajaran ”Welding Inspection and Procedure”,
“Piping and Pressure Vessel Fabrication”.
Pernah mengajar pada Institut
Teknologi Sepuluh November Surabaya pada program D-III Perkapalan untuk
program pelatihan Inspektur Las.
PRAKATA
Hanya berkat rachmat dan hidayahNya lah penulisan disertasi ini dapat
terlaksana. Hidayah sehat dan kemampuan berpikir yang terus-menerus diberikan
oleh Allah swt kepada penulis adalah merupakan kontribusi yang sangat besar
dalam menyelesaikan studi yang diakhiri dengan penyelesaian penulisan
penelitian.
Suatu kegiatan selalu akan menimbulkan eksternalitas baik negatip mapun
positip. Permasalahan akan timbul bila eksternalitas tersebut menimbulkan
dampak negatip bagi masyarakat. Dampak eksternalitas yang merugikan
masyarakat tersebut tidak serta merta dapat dikoreksi oleh masyarakat itu sendiri.
Oleh karenanya perlu campur tangan pihak pemerintah selaku pembuat kebijakan
agar dampak eksternalitas tersebut dapat diminimalisasi dan jika memungkinkan
dihilangkan.
Salah satu masalah eksternalitas yang ditimbulkan oleh hasil pembakaran
dari bahan bakar berbasis fosil seperti minyak bumi dan batubara yang terjadi
pada saat ini sangat berdampak kepada masyarakat baik secara langsung maupun
tidak langsung. Gas CO2 merupakan gas rumah kaca langsung. Sebanyak 50%
emisi gas CO2 secara global yang ada pada saat ini yaitu sebesar 2,3 triliun ton
adalah dihasilkan dalam periode 1974 – 2004. Peningkatan secara absolut dari
emisi gas CO2 yang terbesar terjadi pada tahun 2004 dengan jumlah 28 milyar
ton. Penyebab utamanya adalah pembakaran bahan bakar fosil. Sebesar 1,5% dari
total emisi tersebut adalah kontribusi dari negara Indonesia. Gas rumah kaca akan
berimplikasi pada perubahan iklim global dengan meningkatnya suhu rata-rata
permukaan bumi.
Topik penelitian ini sebenarnya berangkat dari pola pikir bahwa
eksternalitas yang ditimbulkan oleh hasil pembakaran bahan bakar fosil yang
terjadi pada saat ini tidak efektif diatasi permasalahannya dengan menggunakan
pendekatan
pengalaman
Instrumen
dari
Regulasi
(Command
negara-negara
Organisasi
and
Control).
Kerjasama
Berdasarkan
Ekonomi
dan
Pengembangan (OECD), pendekatan dengan menggunakan Instrumen Ekonomi
xvi
(EI) yaitu Instrumen Pajak adalah lebih baik dibandingkan dengan
menggunakan Instrumen Regulasi (CAC) yang bersifat top-down. Instrumen
Ekonomi ini biasanya juga disebut dengan Market Based Instrumen (MBI).
Kebijakan Command and Control (CAC) tidak begitu fleksibel dalam pendekatan
pengurangan emisi gas, karena cenderung untuk memaksa pihak-pihak yang
mengeluarkan emisi dengan perlakuan yang sama dan mengabaikan aspek biaya
yang ditimbulkan.
Dengan pendekatan instrumen pajak atau instrumen yang menggunakan
pendekatan pasar (Market Based Instrument) harga bahan bakar akan berubah
sesuai dengan kekuatan pasar, dan dalam jangka panjang kebijakan ini dapat
merubah tingkah laku konsumen dan produsen dalam melihat masalah
lingkungan.
Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada ketua
komisi pembimbing yaitu: Prof.Dr.Ir Akhmad Fauzi,MSc yang sangat banyak
membantu, baik didalam memberikan referensi dan bimbingannya serta
membantu dalam penyelesaian modeling yang digunakan dalam penelitian ini,
kepada Prof.Dr. Ir Ahmad Bey,MSc dan Dr.Ir Surjono H.Sutjahjo,MS masingmasing sebagai komisi pembimbing yang banyak memberikan masukan dan
perbaikan arah penelitian serta terus mendorong penulis dalam menyelesaikan
studi di PSL .
Penghargaan juga saya sampaikan kepada Dr.Ir Surjono H.Sutjahjo selaku
ketua program studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan dan
Prof.Dr Bibiana W.S.Lay,MSc yang selalu memberikan konsultasi mengenai
studi di PSL; Dekan Sekolah Pascasarjana Prof.Dr.Ir Sjafrida Manuwoto,MSc
yang sering memberikan pencerahan dibidang keilmuan.
Terima kasih saya kepada Dr.Ir Moses L.Singgih,MSc dari Institut
Teknologi Sepuluh November-Surabaya dan Dr.Ir Gde Pradnyana sebagai Kepala
Divisi Operasi dan Konstruksi dari BPMIGAS yang telah memberikan
rekomendasi studi Doktor saya ke Institut Pertanian Bogor sebagai salah satu
syarat diterimanya sebagai mahasiswa program Doktor; Dr.Ir Widodo Wahyu
dan
Dr.Ir Yulianto Sulistyo Nugroho dari Pengkajian Energi Universitas
xvi
Indonesia yang telah meluangkan waktunya dalam menjelaskan data-data
mengenai energi yang dikeluarkan oleh PEUI.
Kepada Prof.William D.Nordhaus dari Yale University, Prof.Rob Dellink
dari Wergeningan University, Prof.Brian O’NEILL dari International Institute for
Applied Systems Analysis dan Prof Christian Azar dari Chalmers Environmental
Initiative yang banyak membantu dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dan
klarifikasi dalam permodelan melalui email.
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada rekan-rekan satu kelas
yang biasa kita sebut dengan kelas Kimpraswil, terutama kepada saudari Rini dan
Lina Warlina yang banyak membantu dalam memberikan informasi administrasi
perkuliahan; Ririn dan Suli keduanya staf administrasi program PSL yang selalu
memberikan informasi mengenai jalannya perkuliahan di PSL.
Secara khusus, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada istri
(Nurachmi Suryani) dan anak ( Nyimas Faradilla ) yang selama lebih kurang tiga
tahun bersedia mengerti dan mengorbankan waktu liburnya untuk kepentingan
studi dan penyelesaikan disertasi ini.
Kepada pihak-pihak dan rekan-rekan yang selama ini membantu dalam
menyelesaikan penelitian dan disertasi, penulis menyampaikan rasa hormat dan
terima kasih atas bantuan yang telah diberikan secara ikhlas, semoga Allah
membalas kebaikan saudara.
Hasil penelitian ini tidak akan bermanfaat jika kita sebagai insyan yang
diciptakan oleh Allah swt tidak berbuat sesuatu untuk memperbaiki situasi yang
ada. Melakukan penelitian dan menulis hanyalah sebuah perbuatan kecil kita
sebagai tanggung jawab dari daya fikir yang dikaruniai oleh Allah swt, tetapi
berbuat sesuatu akan jauh lebih baik buat kehidupan masa depan kita semua.
Pada akhirnya jika ada kesalahan didalam penulisan disertasi ini, penulis
mohon maaf dan selalu ada ruang untuk memperbaiki kesalahan.
Bogor, Agustus, 2007
Kemas Fachruddin
xvi
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xvii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xviii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xxiv
I.
II.
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang............................................................................
1
1.2
Tujuan Penelitian .......................................................................
7
1.3
Kerangka Pemikiran....................................................................
7
1.4
Perumusan Masalah ..................................................................
8
1.5
Manfaat Penelitian .....................................................................
12
1.6
Ruang Lingkup Penelitian .........................................................
12
1.7
Novelty Penelitian ....................................................................
13
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Eksternalitas Dan Pajak Lingkungan .........................................
14
2.2
Pajak Karbon Dan Energi .........................................................
17
2.3
Emisi Per Kapita, Energi dan Karbon Intensitas .......................
22
2.4
Emisi Dan Pertumbuhan Emisi Gas CO2 ................................
25
2.5
Elastisitas ..................................................................................
30
2.6
Model Ekonomi Pemanasan Global .........................................
32
2.6.1 Model DICE .................................................................
34
2.6.2 Deskripsi Dari Model DICE .........................................
36
2.6.3 Discounting ...................................................................
41
2.6.4 Perubahan Teknologi ....................................................
43
2.6.5 Investasi Dan Interest Rate ............................................
45
2.6.6 Variabel Dan Parameter Dalam Model DICE ...............
47
2.6.7 Sekenario Kebijakan Model DICE ................................
48
2.6.8 Model FREE .................................................................
49
xvi
2.7
Kebijakan Terhadap Emisi ........................................................
51
2.7.1 Instrumen Regulasi (CAC) VS Ekonomi (EI) ................. 55
2.7.2 Pajak Emisi Optimal ........................................................ 56
III.
METODE PENELITIAN
3.1
Kerangka dan Pelaksanaan Penelitian .......................................
59
3.2
Jenis dan Sumber Data ...............................................................
60
3.3
Perhitungan Jumlah Dan Tren Emisi Gas CO2 .......................... 61
3.4
Energi Dan Karbon Intensitas.....................................................
65
3.5
Elastisitas Dan Kalibrasi ............................................................
67
3.5.1 Perhitungan Elastisitas .................................................... 67
3.6
3.5.2 Kalibrasi .........................................................................
68
Deskripsi Model ........................................................................
68
3.6.1 Horizon Waktu ................................................................
71
3.6.2 Kesejahteraan ( Walfare) …..........................................
71
3.6.3 Dicount Rate Dan Pure Rate of Social Preference ……
72
3.6.4 Populasi …....................................................................
74
3.6.5 Perubahan Teknologi …...............................................
74
3.6.6 Investasi Dan Interest Rate …......................................
77
3.6.7 Emisi Gas CO2 ............................................................. 78
IV.
3.6.8 Dampak Kerusakan …..................................................
78
3.6.9 Faktor Pengurang ….....................................................
80
3.6.10 Siklus Karbon (Konsentrasi Emisi Gas CO2)...............
81
3.6.11 Perubahan Iklim.............................................................
82
3.6.12 Radiative Forcing...........................................................
83
3.6.13 Pajak Emisi Gas CO2 .....................................................
84
3.7
Persamaan Model .......................................................................
86
3.8
Variabel Dan Parameter Dalam Model Penelitian ..................... 87
BASELINE ANALISIS
4.1
Analisis Emisi Dan Intensitas Energi ........................................
91
4.2
Analisis Elastisitas......................................................................
95
xvi
4.3
V.
VI.
4.2.1 Elastisitas Konsumsi Energi Terhadap GDP ..................
95
4.2.2 Elastisitas harga Terhadap GDP .....................................
96
Analisis Dampak Emisi Gas CO2................................................
97
ANALISIS DAN SKENARIO KEBIJAKAN PAJAK EMISI
5.1
Kalibrasi Model..........................................................................
102
5.2
Skenario .....................................................................................
103
5.3
Pajak Emisi Gas CO2 Yang Optimal .........................................
104
5.4
Dampak Dari Pajak Emisi Gas CO2...........................................
110
5.5
Analisis Sensitivitas....................................................................
114
5.6
Skenario Kebijakan.....................................................................
118
5.7
Penerimaan Pajak Emisi Gas CO2 .............................................
119
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ...........................
121
6.1
Kesimpulan ................................................................................. 121
6.2
Implikasi Kebijakan ...................................................................
123
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
128
LAMPIRAN .....................................................................................................
136
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.
Pajak karbon pada beberapa negara Eropa Utara ...................................
20
2.
Presentase pajak lingkungan dan pajak energi terhadap GDP................
21
3.
Instrumen pajak yang telah diimplementasi dan direncanakan dibeberapa
negara Eropa Utara ...............................................................................
22
4.
Faktor yang berkontribusi terhadap pertumbuhan emisi gas CO2 ...........
28
5.
Baseline emisi gas CO2 menurut tipe energi .............................................
29
6.
Tipikal elastisitas harga permintaan pada negara OECD.........................
31
7.
Model pemanasan global yang berhubungan dengan proyeksi populasi
33
8.
Pajak dan fiskal untuk tujuan efisiensi energi sektor industri..................
33
9.
Tingkat penurunan tingkat discount jangka panjang................................
42
10. Alternatif kebijakan dalam model DICE ..................................................
48
11. Parameter model DICE..............................................................................
68
12. Hubungan strp, dfg dan nilai yang akan datang........................................
73
13. Nilai g untuk Indonesia
……….............................................................
73
14. Discount rate yang disarankan …………………………………………..
73
15. Discount rate yang akan dipakai dalam analisis…....................................
74
16. Estimasi pertumbuhan TFP Indonesia …………………………………..
76
17. Persen kerusakan terhadap GDP ..………….…........................................
79
18. Data dan proyeksi pertumbuhan rata-rata tahunan (p.1%).....……..….....
92
19. Data dan proyeksi pertumbuhan rata-rata tahunan (p.1,2%) ...................
92
20. Perubahan emisi gas CO2 Indonesia terhadap negara OECD dan nonOECD dari tahun 1990-2020 ...................................................................... 94
21. Nilai A dari kalibrasi .................................................................................. 102
22.
Nilai abcost untuk beberap nilai MIU ...................................................
102
23.
Nilai tecost ….......................................................................................... 103
24.
Pajak karbon dan emisi gas CO2 Indonesia periode 1990 -2019
untuk R3%..............................................................................................
112
25.
Pajak emisi gas CO2 per liter BBM (Petrol) Indonesia periode 1990 -2019
untuk R3% …........................................................................................ 113
26.
Pajak emisi gas CO2 per ton batubara Indonesia periode 1990 - 2019
untuk R3%............................................................................................. 113
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.
Peningkatan emisi gas CO2 berdasarkan asal sumber fosil …….................
3
2.
Peningkatan jumlah energi listrik berdasarkan bahan bakar ........................
3
3.
Peningkatan konsumsi minyak Indonesia ...................................................
4
4.
Kerangka pemikiran ......................................................................................
7
5.
Opsi kebijakan pajak lingkungan .................................................................
11
6.
Intensitas energi dan karbon 25 negara European Union. ............................
24
7.
Tren intensitas energi dan karbon untuk 15 negara European Union...........
25
8.
Emisi gas CO2 global dari pembakaran BBF .................................................
26
9.
Pertumbuhan emisi gas rumah kaca 1990 -2002 ….......................................
27
10.
Persentase emisi gas rumah kaca global menurut sektor ….........................
27
11.
Kontribusi agregat gas rumah kaca utama ...................................................
28
12.
Tipe fungsi permintaan ..............................................................................
30
13.
Inelastis suplai .............................................................................................
31
14.
Inelastis permintaan .....................................................................................
31
15.
Struktur model DICE…………....................................................................
35
16.
DICE discounting dan utilitas ......................................................................
36
17.
DICE akumulasi kapital dan depresiasi .......................................................
37
18.
Variabel eksogen model DICE .....................................................................
38
19.
Siklus karbon model DICE . .........................................................................
39
20.
Sistem iklim model DICE
40
.........................................................................
21.
Pengaruh discounting untuk beberapa nilai pure time preference .................
43
22.
Perubahan suhu pada tahun 2100 untuk perbedaan tingkat stabilitas............
43
23.
Biaya untuk stabilisasi konsentrasi emisi gas CO2 ........................................
45
24.
Hubungan investasi, suku bunga dan output .................................................
45
25.
Present value aliran dana $1 untuk periode 100 tahun .................................
46
26.
Diagram sektor bonderi dari model FREE ...................................................
49
27.
Proses umpan balik antar sektor dari model FREE ....................................
50
28.
Tingkat pencemaran yang efisien ................................................................
53
29.
Dampak pajak emisi terhadap MAC dan emisi yang dikeluarkan .............
53
30.
Penawaran dan permintaan TDP ................................................................
54
31.
Pajak emisi optimal ....................................................................................
56
32.
Kurva MAC terhadap jumlah emisi .............................................................
57
33.
Perubahan kurva MAC ................................................................................
57
34.
Kerangka pelaksanaan penelitian .................................................................
59
35.
Tahapan dalam melakukan pemodelan ........................................................
60
36.
Tren total emisi gas CO2 Indonesia menurut sektor ....................................
62
37.
Persentase pertumbuhan emisi gas CO2 Indonesia ......................................
62
38.
Emisi gas CO2 menurut sektor
63
39.
Tren emisi gas CO2 menurut tipe dari BBF
...............................................
63
40.
Presentase pertumbuhan emisi CO2 sektor listrik ........................................
64
41.
Emisi gas CO2 Indonesia dari sumber BBF …..........................................
64
42.
Tren GDP/penduduk Indonesia ……............................................................
65
43.
Tren intensitas emisi & CO2 per kapita Indonesia …...................................
66
…................................................................
44.
Tren intensitas emisi CO2 Indonesia ..….....................................................
66
45.
Tren intensitas konsumsi energi Indonesia .................................................
66
46.
Elastisitas konsumsi energi terhadap GDP ..................................................
67
47.
Hubungan antar sektor dari model ...............................................................
69
48.
Bonderi sistem energi ..................................................................................
70
49.
Sistem referensi energi .................................................................................
71
50.
Hubungan investasi dan interest rate . ….....................................................
77
51.
Intensitas emisi Indonesia ….......................................................................
78
52.
Tren fuel mix Indonesia 1990 -2020 …........................................................
91
53.
Tren intensitas energi Indonesia 1990 -2020 ............................................
93
54.
Presentase perubahan konsumsi energi menurut sektor...............................
94
55.
Elastisitas konsumsi energi terhadap GDP
.............................................
95
56.
Tren konsentrasi emisi gas CO2 di atmosfir dan emisi antropogenik ..........
97
57.
Proyeksi suhu rata-rata dan skenario setelah tahun 1990 ............................
98
58.
Prakiraan kenaikan suhu seratus tahun yang akan datang ...........................
98
59.
Pridiksi kenaikan permukaan laut (dalam meter ) dalam seratus
tahun yang akan datang ..............................................................................
99
60.
GDP/kapita Indonesia dan proyeksi dalam kondisi BAU ..........................
100
61.
Pertumbuhan GDP dan populasi Indonesia dengan beberapa asumsi
terhadap baseline ........................................................................................
100
62.
Pertumbuhan emisi gas CO2 Indonesia dan GDP/kapita ..........................
100
63.
Pajak karbon Indonesia untuk periode 1990 – 2019 ................................
105
64.
Tren GDP Indonesia dengan adanya pajak emisi gas CO2
periode 1990-2019.......................................................................................
105
65.
Presentase perubahan pendapatan per kapita dan GDP untuk ”Base Scenario”
dan ”Optimal Scenario” ..............................................................................
105
66.
Tren konsumsi dan pendapatan per kapita periode 1990 -2019
”Optimal Scenario” terhadap ”Base Scenario” ..........................................
106
67.
Presentase abcost terhadap GDP untuk beberapa skenario (R3%).............
107
68.
Presentase abcost terhadap GDP untuk beberapa skenario ........................
107
69.
Pendapatan per kapita untuk beberapa skenario setelah adanya
pajak emisi gas CO2....................................................................................
108
GDP Indonesia untuk beberapa skenario setelah adanya pajak emisi
gas CO2 ......................................................................................................
109
71.
Besar pajak karbon/ton untuk beberapa skenario periode 1990 -2019 ......
109
72.
Kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi jika Indonesia melakukan
beberapa skenario dengan R3% ...............................................................
110
Kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi jika Indonesia melakukan
beberapa skenario dengan R2% .................................................................
110
74.
Pendapatan per kapita untuk beberapa skenario periode 1990 -2019 ........
111
75.
Tren pendapatan per kapita Indonesia untuk periode 1990 -2019 .............
112
76.
Besar kenaikan harga BBM per liter dengan adanya pajak emisi
gas CO2 untuk periode 1990 -2019 ...........................................................
113
Besarnya kenaikan harga batubara per ton dengan adanya pajak
emisi gas CO2 untuk periode 1990 -2019 ..................................................
114
78.
Perubahan GDP akibat perubahan nilai R .................................................
115
79.
Perubahan pendapatan per kapita akibat perbedaan nilai R ......................
115
80.
Pajak karbon optimal dengan nilai R2% - 6% .........................................
115
81.
Kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi jika Indonesia melakukan pilihan
pada skenario optimal R2%-R6% ..............................................................
116
82.
Nilai MIU dalam kondisi optimal dengan R2% -6% .................................
116
83.
Pajak karbon untuk beberapa skenario terhadap ”Base Case”....................
117
70.
73.
77.
84.
Pendapatan per kapita untuk beberapa skenario terhadap ”Base Case”......
117
85.
Level pengendalian emisi untuk nilai R5% dan R6% ................................
118
86.
Besarnya kenaikan harga BBM per liter dalam kondisi optimal ................
118
87.
Besarnya kenaikan harga batubara per ton dalam kondisi optimal ............
119
88.
Estimasi penerimaan dari pajak emisi gas CO2 dalam kondisi
optimal- R5% periode 1990 -2019 ..............................................................
119
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Program GAMS dari model .........................................................................
136
2. GAMS output untuk skenario optimal...........................................................
142
3. Hasil simulasi model -GAMS output untuk R=3% …….............................
153
4. Hasil simulasi sensitivitas model GAMS output …......................................
154
5. “Reduction Scenario” dan “Base Case”.........................................................
156
6. Pajak karbon dan emisi gas CO2 untuk BBM dan batubara .........................
157
7. Skenario untuk rate of time preference R5% ................................................
158
8. Pajak karbon dan emisi gas CO2 untuk BBM dan batubara-R5%.................
159
9. Estimasi penerimaan pajak emisi gas CO2 dari BBM dan batubara
untuk periode 1990 -2019 ..........................................................................
160
10. Hasil perhitungan elastisitas……..................................................................
161
11. Jumlah penduduk dan proyeksi.....................................................................
165
12. Produk domestik bruto dan proyeksi ...........................................................
166
13. Konsumsi BBF menurut sektor ……............................................................
167
14. Konsumsi energi menurut tipe…...................................................................
168
15. Jumlah emisi CO2 menurut tipe ……............................................................
169
16. Emisi gas CO2 menurut sektor ….................................................................
170
17. Perhitungan emisi gas CO2 menurut sektor ..................................................
171
18. Perhitungan emisi gas CO2 menurut tipe........................................................
172
19. Emisi gas CO2 sektor residen .........................................................................
173
20. Emisi gas CO2 sektor listrik ..........................................................................
174
21. Intensitas energi dan intensitas emisi …......................................................
175
22. Intensitas energi dan fuel mix …..................................................................
176
23. Persentase perubahan konsumsi energi menurut sektor ...............................
177
24. Data perhitungan elastisitas .........................................................................
178
25. Emisi karbon dioksida dunia menurut region periode 1990-2030...............
179
26. Intensitas emisi menurut region 1990 – 2030 ...............................................
180
27. Indikator intensitas dan tren 2002..................................................................
181
28. Elastisitas konsumsi energi terhadap GDP.....................................................
182
29. Ekonomi makro Indonesia ............................................................................
183
30. Gross fixed capital formation in Indonesia ...................................................
184
31. Parameter for three general circulation model(GCM) …..............................
185
32. Rasio GDP/CO2 untuk negara-negara didunia................................................
187
33. Data intensitas karbon 1980 dan 1996 ….......................................................
188
34. GDP, konsumsi energi dan emisi karbon .......................................................
189
35. Batas emisi negara annex I dan annex B -1990 .............................................
190
36. Tren emisi gas rumah kaca global 1970-2005.................................................
192
37. Tren suhu rata-rata permukaan global ……....................................................
193
38. Data global radiative forcing dan GHG Index ................................................
194
39. Perubahan radiative forcing 1765-1990...........................................................
195
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Antara tahun 1980 dan 2004 pertumbuhan penduduk Indonesia meningkat
sebesar 47,6%, dari 147 juta jiwa menjadi 215 juta jiwa dan laju pertumbuhan
penduduk rata-rata sebesar 1,9 %. Dengan jumlah penduduk tersebut, maka
Indonesia merupakan negara dengan penduduk terbesar keempat terbesar didunia
setelah Cina, India dan Amerika Serikat.
Meningkatnya jumlah penduduk akan mengakibatkan bertambahnya
permintaan sektor konsumsi rumah tangga dan meningkatnya produksi domestik.
Sektor produksi memerlukan energi ( fossil fuel ) seperti bensin, solar, fuel oil,
diesel oil, natural gas dan batubara sebagai faktor produksi untuk menghasilkan
barang-barang produksi tersebut.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Petroleum Report Indonesia 2003,
konsumsi bahan bakar domestik untuk produk olahan (Refinery Products)
meningkat sebesar 1,9% dari total konsumsi 54.824 juta liter tahun 2000 menjadi
55.891 juta liter pada tahun 2001 dan kenaikan sebesar 3,4 % dari tahun 2001 ke
2002 yaitu sebesar 57.797 juta liter. Selama dua tahun terjadi peningkatan
konsumsi sebesar 5,4 %, yaitu sebesar 54.824 juta liter pada tahun 2000 menjadi
57.797 juta liter pada tahun 2002. Data dari PEUI menunjukkan konsumsi energi
naik sebesar 7,06% dari 618 juta boe pada tahun 1999 menjadi 666 juta boe pada
tahun 2000, naik sebesar 5,33% yaitu sebesar 713 juta boe pada tahun 2001 dan
sebesar 4,94% pada tahun 2002 yaitu sebesar 751 juta boe. Konsumsi bahan bakar
fosil (petroleum fuel) naik sebesar 13,5% yaitu dari 307 juta boe pada tahun 2000
menjadi 348,52 juta boe pada tahun 2003 ( 307 juta boe tahun 2000, 334,06 pada
tahun 2001, 338,64 pada tahun 2002 dan 348,52 pada tahun 2003). Berdasarkan
sektor, maka pada tahun 2000 sektor transportasi mengkonsumsi sebesar 48,8%,
industri sebesar 27,3%, rumah tangga sebesar 16,3% dan sisanya 7,6% oleh sektor
komersial. Pada tahun 2003 porsi tersebut meningkat menjadi 46,7% transportasi,
30,07% industri, 15,6% rumah tangga dan 7,4% sektor komersial.
Kenaikan konsumsi sektor transportasi tersebut salah satunya adalah karena
terjadi kenaikan jumlah kendaraan bermotor. Menurut data DITLANTAS POLRI
2
tahun 2005 terdapat 41.341.808 kendaraan bermotor pada tahun 2004 di Indonesia,
terjadi kenaikan sebesar 121% dibandingkan dengan tahun 2000 yaitu sebesar
18.695.844. Mobil niaga naik sebesar 146% yaitu dari 1.707.634 unit tahun 2000
menjadi 4.202.545 tahun 2004, mobil penumpang dan sepeda motor menagalami
kenaikan cukup signifikan yaitu sebesar 119% atau 3.038.913 unit pada tahun 2000
menjadi 6.676.815 tahun 2004 dan sepeda motor mengalami kanaikan sebesar
109% yaitu dari 13.563.017 unit tahun 2000 menjadi 28.469.819 tahun 2004.
Meningkatnya konsumsi akan berdampak pada peningkatan emisi gas diantaranya
adalah emisi gas CO2 (karbon dioksida). Sekitar 75% dampak lingkungan berasal
dari gas buangan hasil pembakaran bahan bakar fosil dan prosentase komponen
pencemar udara yang keluar dari hasil pembakaran tersebut tergantung dari sumber
bahan bakarnya ( Arya Wardhana,W.,1995 ).
Pada tahun 2001 Indonesia berada pada peringkat 21 didalam polusi CO2
yaitu sebesar 74 juta metrik ton dan 59% dari emisi tersebut dihasilkan dari bahan
bakar berbasis karbon cair, 19 % dari bahan bakar padat dan 15% dari bahan bakar
gas.
1)
Berdasarkan laporan dari World Resources Institutes (2005), Indonesia
merupakan negara ke 15 terbesar dalam mengeluarkan gas emisi rumah kaca
dengan jumlah 503 MtCO2 equivalent atau sebesar 1,5% dari jumlah total gas
rumah kaca dunia.
2)
Jumlah kenaikan polusi CO2 secara total dapat dilihat pada
gambar 1.
1)
Gregg Marland, et al, dari Oak Ridge National laboratory, University of North Dakota dalam
laporannya, membuat rangking setiap negara kedalam 212 rangking. Indonesia termasuk kedalam
rangking ke 21 didalam menghasilkan emisi CO2. Sepuluh Negara penghasil emisi CO2 adalah
Amerika Serikat, Cina, Rusia, Jepang, India, Jerman, Inggris, Kanada, Itali dan Korea. Sumber
dapat dilihat pada Website: http://cdiac.esd.ornl.gov/trends/emis/top2000.tot, tanggal 11/8/2004
2)
Kavin A.Baumert,et.al dalam Navigating the Numbers, Greenhouse Gas Data and International
Climate Policy dari World Resources Institute tahun 2005, halaman-2 membuat rangking 25 negara
penghasil gas rumah kaca terbesar mulai dari negara Amerika Serikat pada rangking I dengan
jumlah gas rumah kaca yang dikeluarkan sebesar 6.928 MtCO2 atau 20.6 % dari total gas rumah
kaca dunia dan terkecil adalah Pakistan dengan jumlah 285 MtCO2 atau sebesar 0,8% dari dunia.
3
Gambar 1. Peningkatan emisi gas CO2 berdasarkan asal sumber fosil
Sumber : Gregg Marland, http://cdiac.esd.ornl.gov/trends/emis/ido.htm .
Tanggal : 28/1/2005
Pada gambar 2 dapat dilihat bahwa peningkatan jumlah energi listrik setiap
tahunnya masih dinominasi oleh bahan bakar batubara, minyak dan gas.
Gambar 2. Peningkatan jumlah energi listrik berdasarkan bahan bakar
Gambar 3 menunjukkan bahwa perkembangan konsumsi produk minyak Indonesia
dari tahun 1971 sampai 2003 masih didominasi oleh hasil minyak olahan
( Middle Distillates) dan peningkatan bahan bakar bensin meningkat cukup
signifikan.
4
Gambar 3. Peningkatan konsumsi minyak Indonesia
Dari semua sumber emisi gas rumah kaca seperti CO2, metan (CH4), CFC12, dan nitrous oxide (N2O), maka CO2 adalah gas rumah kaca terbesar yang
dilepaskan ke atmosfir ( sekitar 50% ). Dari jumlah sebesar 50% tersebut maka
lebih kurang 73% berasal dari pembakaran fosil
Negara berkembang termasuk Indonesia yang masuk dalam kelompok
G77+Cina tidak memiliki kewajiban menurunkan emisi seperti yang telah
ditetapkan untuk negara maju yang diuraikan dalam Bab 4, pasal 10 Protokol
Kyoto, tetapi hanya mengatur kewajiban negara berkembang untuk melaporkan
emisinya melalui kegiatan inventarisasi dengan metode yang telah ditentukan.
Untuk mengantisipasi perubahan iklim, Indonesia dapat berpartisipasi melalui
CDM ( Clean Development Mechanism ). Menurut laporan National Strategy
Study (NSS) on Clean Development Mechanism yang dikeluarkan oleh
Kementrian Lingkungan Hidup (2001) permintaan pasar karbon global adalah
sekitar 800 juta ton CO2 per tahun dan 125 juta diantaranya dapat dilakukan
melalui CDM.
Peluang Indonesia dalam pasar karbon global hanya 2% atau
sekitar 25 juta tCO2/tahun (Daniel Mudiyarso, Mei 2003 ).
Kebijakan pemerintah memberikan subsidi harga bahan bakar kepada
konsumen
merupakan
salah
faktor
yang
mendorong
konsumen
untuk
mengkonsumsi bahan bakar tanpa diikuti dengan kesadaran akan konservasi energi
5
( penghematan ). Pada saat ini kebijakan subsidi tersebut membuahkan banyak
permasalahan dan akan memperparah konstelasi energi kita dimasa depan. Salah
satu persoalan itu adalah menghambat program konservasi dan diversifikasi energi.
Studi dari UNEP ( Energy Subsidies: “Lesson Learned in Assessing their Impact
and Designing Policy Reforms” ) menunjukkan bahwa pada dua dekade terakhir
subsidi energi di Negara OECD telah dikurangi untuk menghilangkan intervensi
pemerintah dalam pasar energi ( termasuk memangkas bantuan atau grant dan
pembayaran terhadap konsumen dan produsen secara tidak langsung). Subsidi
yang diberikan kepada produsen dan konsumen dari bahan bakar fosil dengan cara
menurunkan harga dan diganti dengan pajak, sehingga net-subsidi yang diberikan
secara umum menjadi sangat kecil bahkan negatif. Mengurangi subsidi akan
berdampak mengurangi emisi gas yang membahayakan lingkungan.
Emisi gas hasil pembakaran bahan bakar fosil akan menimbulkan masalah
eksternalitas
negatif,
dan
untuk
mengatasinya
dapat
dilakukan
dengan
menggunakan beberapa instrumen kebijakan yaitu Kebijakan regulasi yang
umumnya
disebut
”Command
and
Control”
(CAC),
kebijakan
dengan
menggunakan Instrumen Ekonomi (Economic Instrumen) disingkat ”EI” dan
dengan Suasive Instrument ( SI ) atau dapat juga dengan menggunakan kombinasi
antara instrumen-instrumen tersebut. Setiap instrumen kebijakan tersebut memiliki
kelebihan dan kekurangan, hal ini tergantung dari permasalahan yang ada, tetapi
pada umumnya instrumen tersebut mengatur masalah penggunaan yang berlebihan
(overuse) dari sumberdaya alam atau emisi dari polutan yang merusak. 4)
Menurut Fullerton,Don (2004) untuk kasus tertentu kebijakan CAC dapat
digunakan dalam bentuk (a) batasan emisi yang sering yang disebut dengan
”performance standard” atau (b) batasan teknologi yang sering disebut dengan
”design standard”. Kebijakan CAC dapat diganti dengan menggunakan kebijakan
EI dengan cara menggunakan sistem insentif yang berupa pajak, subsidi atau
4) )
Menurut UNEP, The Use of Economic Instruments , in Environmental Policy : Opportunities
and Challenges ,2004 Pilihan kebijakan untuk mengatasi masalah Lingkungan di Negara
berkembang dapat dikelompokkan kedalam dua katagori : Command and Control (CAC) dan
Market Based Economic Instruments (EIs). David Connor,1996 dalam Special papers,OECD “
Applying Economic Instruments in Developing Countries : From Theory to Implementation,
membagi kedalam tiga kelompok yaitu CAC, EI dan SI.
12
permit. Seperti yang disarankan oleh Arthur Cecil Pigou (1932), masalah polusi
dapat diatasi dengan (a) pajak polusi atau (b) subsidi untuk abatemen.
Kebijakan ”Command and Control” dalam banyak hal tidak efektif untuk
melindungi masalah lingkungan karena lemahnya dan terbatasnya pengawasan,
denda yang terlalu kecil dan pegawai yang korup . Pengalaman dari negara OECD
( Organization for Economic Co-operation and Development) menunjukkan bahwa
keberhasilan penerapan CAC pada negara – negara OECD dikarenakan adanya
pengawasan dan monitoring yang ketat, namun demikian pada saat ini negaranegara OECD
mulai menggunakan kebijakan instrument yang berbasis pasar
( Market-Based Instrument-MBI). Bentuk instrument ekonomi yang paling banyak
dipakai adalah pajak lingkungan dan pajak emisi. Berdasarkan studi mengenai
aplikasi pajak lingkungan pada Negara Eropa ( EU ) ada empat alasan utama
mengapa pajak lingkungan diperlukan
5)
yaitu : (1) karena merupakan instrument
yang efektif untuk menginternalkan eksternalitas (2) memberikan insentif untuk
merubah pola tingkah laku konsumen (3) meningkatnkan pendapatan dan (4)
sebagai alat yang efektif untuk menangani sumber polusi yang tersebar. Jadi pada
dasarnya ada dua tujuan yang hendak dicapai melalui mekanisme pajak
lingkungan, pertama adalah untuk meningkatkan pendapatan dan kedua adalah
mengkoreksi eksternalitas ( Williem K.Jaeger, 2003 ). Melalui mekanisme pajak
maka pihak pencemar
akan diberikan pilihan, apakah akan dikenakan denda
sebagai akibat dari polusi yang ditimbulkannya atau mengeluarkan biaya investasi
( abatement cost ) untuk mengurangi polusi seperti yang disyaratkan. Pilihanpilihan ini tidak terdapat dalam kebijakan CAC 6)
5)
Laporan disiapkan oleh Mette Nedergaard untuk Sustainable Energy & Climate Change
Partnership . The application of Economic Instruments in Energy and Climate Change Policies.
Denmark
6)
Economic Instruments for Environmental Protection and Conservation : Lessons for Canada.
Negara-negara Eropa menggunakan instrument ekonomi untuk masalah polusi air, polusi udara,
perubahan cuaca, kontaminasi tanah, manajemen limbah, manajemen sumberdaya alam, suara.
Negara Eropa juga telah berhasil dalam menggunakan kebijakan fiskal untuk mempromosikan
masalah lingkungan. Sedangkan Amerika Serikat kurang sistimatis dibandingkan Eropa dalam
menggunakan Instrumen Ekonomi. EI di Amerika ditujukan untuk konservasi, issu perlindungan
lingkungan atau manajemen sumberdaya alam dari pada digunakan sebagai strategi yang
menyeluruh yang menekankan pada tax –shifting dan mengkoreksi kegagalan pasar, tetapi Amerika
masih lebih maju dari Kanada (sumber: http://www.smartregulation.gc.ca/en/06/01/su-11c.asp)
7
1.2
Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk melihat peranan pajak emisi
terhadap emisi CO2 yang berasal dari bahan bakar fosil dalam mengurangi
dampak lingkungan.
Secara spesifik tujuan penelitian adalah :
1.
Menentukan besarnya pajak emisi yang optimal
2.
Menetapkan dampak pajak emisi gas CO2, terhadap pendapatan nasional
dan tingkat kesejahteraan masyarakat
3.
Menentukan total biaya yang timbul dalam usaha untuk mengurangi
dampak emisi gas CO2
4.
1.3
Menentukan pendapatan dari pajak emisi
Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada
gambar 4
Output Nasional
Perubahan
Iklim
Konsumsi Energi (BBF)
Perubahan
Iklim
Minyak, Batubara dan Gas
Industri
Komersial
Rumah tangga
Transportasi
Emisi gas CO2
Kebijakan pajak emisi dengan menggunakan
instrument ekonomi
Dampak Kebijakan
Terhadap biaya total
untuk mengurangi
emisi gas CO2,
Inovasi teknologi
dan energi
terbarukan
Terhadap
pendapatan
masyarakat
Gambar 4. Kerangka pemikiran
Jumlah
pendapatan dari
pajak emisi
12
1.4
Perumusan Masalah
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
secara eksplisit tidak mengatur bagaimana kebijakan penggunaan energi, promosi
energi terbarukan dan efisiensi energi secara konkrit. Undang-Undang No 18
Tahun 1997 mengenai tentang pajak daerah dan distribusi daerah mengatur
mengenai besarnya pajak terhadap bahan bakar sebesar 5% tetapi pendapatan
pajak bukan dimaksudkan untuk tujuan efisiensi energi dan lingkungan,
melainkan untuk tujuan pendapatan negara. Peraturan Presiden yang dikeluarkan
tentang harga jual eceran bahan bakar minyak dalam negeri secara umum hanya
mengatur mekanisme subsisi dan harga jual berdasarkan harga jual tertinggi dan
terendah. Instruksi Presiden No 10 Tahun 2005 mengenai penghematan energi
masih perlu ditindak lanjuti dengan peraturan ataupun undang-undang dalam
rangka konservasi energi secara nasional. Jadi masalah pungutan pajak, subsidi,
kebijakan harga, insentif ekonomi untuk tujuan efisiensi energi dan mengurangi
masalah emisi untuk mengurangi dampak lingkungan masih belum diatur secara
komprehensif dalam suatu undang-undang. Polusi yang disebabkan oleh emisi gas
akibat pembakaran bahan bakar fosil sangat terkait dengan kebijakan energi
nasional.
Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan
hidup yang ada saat ini masih menggunakan pendekatan instrumen regulasi
didalam mengatur masalah pengelolaan dan pengawasan lingkungan. Peraturan
menteri yang berhubungan dengan masalah pencemaran udara yang ada saat ini
yaitu Keputusan Menteri No 129-2003 tentang ”Baku Mutu Emisi Dan Atau
Kegiatan Minyak Dan gas Bumi” untuk sumber yang tidak bergerak, PERMEN
No 141-2003 tentang ” Ambang Batas Emsisi Gas Buang Kendaraan Tipe Baru
dan Yang Sedang Diproduksi”, Peraturan Pemerintah No.41 Tahun1999 tentang
”Pengendalian Pencemaran Udara” semuanya masih menggunakan pendekatan
kebijakan regulasi yaitu menggunakan pendekatan standar emisi.
Suatu hal yang perlu dipertimbangkan bahwa standar emisi dapat dibuat
berdasarkan pendekatan teknologi ( technology – based ) yaitu mensyaratkan
teknologi khusus yang harus digunakan oleh pencemar, dan dapat juga berupa
9
pendekatan kinerja ( performance- based ) yaitu mensyaratkan batasan polusi
yang harus dipenuhi oleh semua pencemar.
technology – based
Keuntungan dari menggunakan
adalah pihak pemerintah dapat memberikan kesempatan
kepada pencemar untuk menggunakan teknologi terbaik yang tersedia dalam
mengurangi polusi, contohnya pencemar/industri boleh menggunakan tipe tertentu
dari ketel–uap/boiler, mensyaratkan industri kendaraan untuk menggunakan tipe
tertentu dari alat pengendali polusi dan perusahaan minyak untuk menawarkan
energi alternatif. Kerugiannya adalah pemerintah tidak mendorong pihak
industri/pencemar untuk mengurangi polusi karena tidak adanya insentip yang
diberikan, selain itu juga tidak menciptakan insentip bagi lembaga penelitian dan
pengembangan untuk mendorong teknologi bersih. Dengan pendekatan kinerja
( performance-based ), pemerintah dapat menerapkan standar yang berbeda untuk
setiap industri atau pencemar, sesuai dengan umur dari peralatan, artinya akan
sulit pemain baru untuk masuk kedalam industri tersebut. Dalam kasus kendaraan
akan ada kesulitan pemain baru atau tipe baru dari kendaraan yang akan masuk
kedalam pasar. Pemilik kendaraan diharuskan oleh peraturan untuk melakukan
pengecekan kendaraannya setiap periode tertentu. Secara umum pendekatan
kinerja masih lebih efektip dibandingkan dengan pendekatan teknologi, karena
pencemar dapat memilih metoda yang sesuai dengan keinginannya dalam
mengurangi polusi sesuai dengan biaya yang paling kecil.
Pendekatan regulasi ( command and control ) mengharuskan pencemar
mengikuti standar emisi yang telah dibuat, hal ini akan membuat pemborosan
sumber daya yang ada karena pencemar dengan biaya yang besar dalam
mengurangi polusi dipaksa untuk mengurangi polusinya sama besarnya dengan
pencemar dengan biaya yang kecil. Dalam menetapkan standar emisi pemerintah
juga dituntut bekerja dengan informasi yang tidak sempurna untuk menentukan
biaya dan benefit dari suatu usaha dalam mengurangi polusi tersebut.
Hal ini dapat mengakibatkan biaya untuk menetapkan suatu standar bisa jadi lebih
besar dari benefit yang diterima. Hal lain yang menjadi kendala adalah terhadap
sumber polusi yang bergerak (kendaraan). Walaupun program inspeksi dan
pemeliharaan dilakukan secara berkala sesuai dengan jadwal pemeriksaan emisi,
12
tetapi sebaiknya tidak dilakukan berdasarkan output, melainkan berdasarkan input
seperti teknologi kendaraan dan sifat bahan bakar yang dipakai.
Menurut publikasi dari UNEP(2004) bahwa studi empiris di Amerika
menunjukkan bahwa terjadi efisiensi yang sangat signifikan dengan menggunakan
EI dari pada CAC. Tietenberg menyarankan menggunakan EI untuk
mengendalikan polusi udara karena biaya menggunakan CAC adalah 22 kali lebih
mahal dari pada menggunakan EI. Untuk sebelas aplikasi yang diamati maka
menggunakan CAC rata-rata 6 kali lebih mahal dari menggunakan EI. Penelitian
yang dilakukan oleh OECD pada tahun 1992 menunjukkan terjadi peningkatan
menggunakan EI berupa pajak dan charge untuk bermacam-macam barang dan
polutan.
Keberhasilan dari negara -negara yang menggunakan kebijakan EI karena
beberapa faktor yaitu (1) sifatnya yang fleksibel, (2) mengajak industri melakukan
inovasi
dalam
menggunakan
teknologi
untuk
mengurangi
polusi,
(3)
menggunakan kesadaran sendiri dengan cara menyamakan kepentingan publik
dan kepentingan pribadi, (4) meningkatkan transparansi, (5) mengalokasikan
sumberdaya alam kepada pihak yang memberikan nilai untuk sumber daya alam
tersebut.
Gambar 5 menunjukkan beberapa kebijakan yang dapat dilakukan, dimulai
dengan tidak adanya kebijakan dalam mengendalikan polusi, dengan standar emisi
atau teknologi dan dengan kebijakan instrumen ekonomi. Pada gambar 5 dapat
dilihat bahwa, saat ini Indonesia hanya memiliki kebijakan CAC yang berupa
standar emisi dan standar teknologi. Dengan menggunakan instrumen pajak maka
kebijakan pengawasan yang baru akan berubah dengan menggunakan pajak input,
output atau pajak emisi. Pajak dapat menjadi sub-optimal ataupun optimal. Pajak
Sub-optimal disebabkan karena sulit bahkan mustahil untuk menilai kerusakan
lingkungan untuk masa yang akan datang yang disebabkan oleh polutan,
sedangkan pajak optimal berarti kerusakan dapat diperkirakan dan polusi dapat
dikendalikan ( lingkungan menerima cukup bantuan untuk diadakan perbaikan).7)
7)
Gambar diadopsi dari paper yang ditulis oleh Dr Vinish Kathuria mengenai Eco-taxes yang
diambil dari website : http://coe.mse.ac.in/cbecotex.asp dicetak tanggal 21 Maret 2005
11
Belum ada kontrol
melalui EI
Standar Teknologi
Sub-optimal Taxation
Pajak Input
Kebijakan Sekarang
Standar Emisi
Optimal Taxation
Pajak Output
Kebijakan Baru
Gambar 5. Opsi kebijakan pajak lingkungan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka perlu diadakan
suatu penelitian terhadap peran pajak emisi gas CO2 yang berasal dari bahan bakar
fosil dalam perspektif Indonesia agar (a) biaya eksternalitas dapat diinternalkan
dengan cara memasukkannya kedalam harga barang/pelayanan yang dihasilkan
dari suatu kegiatan ekonomi (b) menciptakan insentif bagi produser dan konsumer
karena tindakannya yang merusak lingkungan (c) membuat biaya menjadi efektif
dengan cara memberikan pilihan terhadap pencemar yaitu dengan cara membayar
pajak, mengurangi produksi atau menggunakan teknologi pencegah polusi (d)
menciptakan inovasi-inovasi baru dalam teknologi untuk menggunakan energi
substitusi atau energi terbarukan dan (e) meningkatkan pendapatan yang dapat
digunakan kembali untuk memperbaiki kerusakan lingkungan.
1.5
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi :
1.
Pembuat kebijakan dalam mempertimbangkan menggunakan instrumen
ekonomi khususnya pajak emisi yang disebabkan oleh penggunaan bahan
bakar fosil.
12
2.
Pembuat kebijakan untuk menentukan besarnya pajak emisi yang optimal
yang akan dikenakan kepada pencemar
3.
Pembuat kebijakan untuk menentukan kebijakan berupa insentip ekonomi
kepada pihak industri atau produsen yang mengembangkan dan
menggunakan teknologi bersih untuk mengurangi dampak emisi.
4.
Untuk melihat besarnya tingkat pendapatan pemerintah dari sektor pajak
emisi yang dapat dikembalikan kepada masyarakat sebagai bentuk
eksternalitas yang diterima dan besarnya insentif yang dapat dialokasikan
kepada pihak yang ikut berkontribusi dalam teknologi bersih.
5.
Pemerintah dalam mengurangi emisi gas rumah kaca khususnya CO2
melalui efisiensi penggunaan bahan bakar fosil.
6.
Ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang ilmu ekonomi lingkungan.
1.6
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan terhadap gas emisi CO2 yang dihasilkan oleh
bahan bakar fosil seperti premium (gasoline), minyak solar ( Diesel Oil), minyak
diesel industri (Industrial Diesel Oil ), minyak tanah ( Kerosene), minyak bakar
(Fuel Oil ) dan batubara ( Coal ). Emisi gas CO2 yang ditimbulkan oleh bahan
bakar berbasis karbon akan dianalisis dengan menggunakan model DICE yang
dimodifikasi, dimana variabel endogen dan eksogen dalam model akan
disesuaikan dalam perspektif Indonesia. Penelitian ini masih belum bersifat
operasional karena masih diperlukan tambahan berupa petunjuk dan pelaksanaan
secara lebih rinci agar kebijakan dapat diimplementasi.
1.7
Novelty Penelitian
Hal yang baru dalam penelitian ini adalah :
1.
Penelitian dampak emisi gas CO2
dengan menggunakan pendekatan
model DICE ( Dynamic Integrated Climate Change and Economic ) dalam
perspektif Indonesia belum pernah dilakukan
2.
Penggunaan model DICE yang telah dilakukan adalah untuk menganalisa
dampak pajak karbon dalam kontek Global dan Regional, sedangkan
13
dalam penelitian ini
model DICE akan disesuaikan untuk kebutuhan
nasional didalam menentukan besarnya pajak emisi CO2 yang optimal.
3.
Belum ada penelitian dalam mengurangi dampak emisi gas CO2 dengan
menggunakan instrumen ekonomi, khususnya instrumen pajak dalam
persfektif Indonesia.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Eksternalitas dan Pajak Lingkungan
Masalah lingkungan sangat beragam, tetapi pada umumnya disebabkan
karena penggunaan yang berlebihan (overuse) dari sumber daya alam atau karena
adanya emisi dari polutan yang membahayakan. Tujuan kebijakan lingkungan
adalah untuk memodifikasi, memperlambat ataupun menghentikan ekstraksi dari
sumberdaya alam tersebut termasuk mengurangi atau mengelimasi emisi,
mengubah pola konsumsi dan produksi kearah yang berkelanjutan. Hal ini perlu
dilakukan karena adanya eksternalitas yang ditimbulkan dari penggunaan
sumberdaya alam tersebut. Externalitas dapat positip atau disebut ”external
economies” dapat juga berupa eksternalitas negatip atau disebut ”external
diseconomies”.
Eksternalitas
lingkungan
pada
umumnya
adalah
negatif
( detrimental externalities) yaitu dimana suatu kegiatan yang dilakukan akan
mengakibatkan kerugian biaya kepada pihak lain, sedangkan biaya kerusakan itu
sendiri tidak dibayar oleh pencemar. Groosman,Britt (1999) menyatakan bahwa
eksternalitas terjadi apabila produksi dan konsumsi dari suatu produk langsung
mempengaruhi bisnis ataupun konsumen yang tidak ikut didalam proses pembelian
dan penjualan tersebut . Selain itu juga karena pengaruh limpahan (spillover) yang
tidak ter-refleksikan didalam harga pasar. Hartwick dan Olewiler dalam
Fauzi,Akhmad (2004) menggunakan terminologi lain dalam menggambarkan
eksternalitas. Keduanya membedakan antara eksternalitas privat dan eksternalitas
publik. Eksternalitas privat hanya melibatkan beberapa individu dan tidak
menimbulkan limpahan (spillover) kepada pihak lain, sementara eksternalitas
publik terjadi manakala barang publik dikonsumsi tanpa pembayaran yang tepat.
Eksternalitas yang telah disebutkan diatas adalah merupakan konsep eksternalitas
statis, karena tidak ada keterlibatan variabel waktu didalamnya.
Masalah eksternalitas tersebut oleh pemerintah dapat diatasi melalui
instrumen kebijakan dalam bentuk peraturan atau disebut regulasi (command and
control ) atau dapat juga diatasi melalui kebijakan yang berorientasi pasar yaitu
dalam bentuk instrumen ekonomi ( economic instruments ).
15
Adanya fenomena pemanasan global dan kerusakan lingkungan yang
disertai kelangkaan sumberdaya alam pada saat ini memerlukan perhatian dimana
kita perlu melihat kembali kebijakan yang berorientase ekonomi (fiskal atau pajak)
tersebut agar biaya lingkungan yang disebabkan oleh eksternalitas negatif dapat
dimasukkan kedalam sistem ekonomi, kemudian meyakinkan kebijakan yang
dibuat bergerak kearah pengendalian dan perlindungan yang kita kehendaki. Dan
yang tidak kalah penting adalah mengurangi ketergantungan terhadap sumberdaya
yang tak terbaharui. Fauzi,Akhmad ( 2004) dari persepektif ekonomi, menjelaskan
bahwa pencemaran bukan saja dilihat dari hilangnya nilai ekonomis sumberdaya
akibat berkurangnya kemampuan sumberdaya secara kualitas dan kuantitas untuk
menyuplai barang dan jasa, namun juga dari dampak pencemaran tersebut terhadap
kesejahteraan masyarakat. Pencemaran akan tetap ada sebagai hasil dari aktivitas
ekonomi, tetapi jalan terbaik adalah mengendalikan pencemaran tersebut ketingkat
yang paling efisien.8)
Pajak lingkungan khususnya pajak emisi sebagai salah satu dari instrument
ekonomi dapat memainkan peran penting untuk mengurangi kerusakan lingkungan
tersebut. Menurut Japan Centre for a Sustainable and Society (JACSES) pajak
lingkungan adalah : Perjanjian umum yang dibuat berdasarkan tujuan dan fungsi
sebagai berikut :
ƒ
sebagai suatu insentif untuk mengurangi beban lingkungan dan menjaga
lingkungan itu sendiri. Dengan mentranslasikan biaya kerusakan lingkungan
atau kelangkaan sumber daya alam kedalam biaya yang sesuai. Pajak
lingkungan membantu untuk melakukan tekanan ekonomi kepada pihak-pihak
yang merusak lingkungan dan dengan cara yang sama dapat mengurangi beban
ekonomi kepada pihak-pihak yang ikut berkontribusi dalam menjaga
lingkungan.
8)
Hoeller,Peter dan Wallin,Markku(1991), The International Panel on Climate Change (IPCC) dalam laporannya
menyatakan bahwa proyeksi business-as–usual (BAU) dapat menaikkan suhu pemanasan global pada kisar
o
o
0,2 sampai 0,5 C per dekade pada seratus tahun yang akan datang dan untuk memperlambat laju pemanasan
o
sampai 0,1 C per dekade perlu mengurangi separoh dari level emisi pada saat ini.
16
ƒ
Sebagai alat untuk menjaga lingkungan melalui pendapatan pajak. Pendapatan
pajak tersebut dapat digunakan kembali untuk mengurangi pembayaran tenaga
kerja dalam bentuk pajak pendapatan maupun pajak perusahaan.
Objek dari pajak lingkungan adalah biaya eksternalitas lingkungan yang
terdapat dalam harga, sehingga konsumen dan produsen memiliki insentif untuk
membatasi/mengurangi polusi dan memperlakukan sumberdaya alam dengan cara
lebih bertanggung jawab. Harga setiap unit produk seharusnya mereflesikan biaya
sebenarnya dari penggunaan sumberdaya alam tersebut dan harga barang juga
sekaligus akan memotivasi masyarakat untuk menggunakan sumberdaya alam
dengan cara yang bijaksana dan kesadaran yang tinggi.
Menurut seri lingkungan No 1, mengenai pajak lingkungan (Implementation and
Environmental
Efectiveness,
(Copenhagen.1996),
alasan
utama
untuk
yang
efektif
untuk
menggunakan pajak lingkungan adalah :
▪
Karena
pajak
lingkungan
adalah
instrumen
menginternalisasikan eksternalitas, karena biaya kerusakan dan pelayanan
lingkungan langsung dimasukkan kedalam harga produk
▪
Memberikan insentif kepada konsumen dan produsen untuk mengubah perilaku
kearah eco-efficient dalam menggunakan sumberdaya alam, memberikan
stimulus untuk berinovasi, perubahan struktural dan patuh terhadap peraturan
▪
Dapat menaikkan pendapatan yang dipakai untuk memperbaiki pengeluaran
lingkungan, mengurangi pajak pendapatan tenaga kerja, kapital dan
penghematan
▪
Merupakan alat kebijakan yang efektif
untuk mengatasi masalah prioritas
lingkungan seperti emisi kendaraan, limbah, bahan kimia yang dipakai dalam
sektor pertanian.
48
Corpuz,Catherine (2003) menyatakan bahwa pajak lingkungan adalah bagian
penting dari Market Based Instrument (MBI) dan pajak emisi adalah salah satu
dari pajak lingkungan tersebut. 9)
Pajak emisi adalah pembayaran secara langsung yang berhubungan dengan adanya
emisi. Pajak emisi ini ditujukan langsung pada pihak pencemar yang mengeluarkan
emisinya kedalam lingkungan, umumny terhadap sumber tetap. 10)
2.2
Pajak Karbon Dan Energi
Pajak energi berbeda dengan pajak emisi. Perbedaan tersebut dapat dilihat
dari tujuan dan cara bagaimana pajak tersebut diberlakukan. Pajak energi ( Zhang,
Z Xiang dan Baranzini,Andrea, 2003 ) adalah jenis pajak yang besarnya secara
absolut tetap misalnya rupiah per ton, rupiah per kilowatt-hour, rupiah per British
thermal unit. Jadi pajak energi dikenakan terhadap bahan bakar fosil ataupun
sumber energi yang bebas emisi ataupun sumber bahan bakar yang memenuhi
batas emisi yang ditetapkan. Pajak energi tidak terkait dengan tingkat emisi yang
dikeluarkan. Jika tujuannya adalah untuk mengurangi emisi gas CO2, maka yang
efektif adalah mengenakan pajak karbon. Pajak karbon dapat ditransformasi ke
pajak CO2 karena satu ton karbon ekivalen dengan 3,67 ton CO2. Walaupun pajak
energi itu sendiri dapat mengurangi tingkat emisi, tetapi dalam implementasinya
pajak
energi
tidak
tepat
untuk
tujuan
mengurangi
emisi
CO2
(Kageson,1991;Cline,1992; Jorgenson and Wilcoxen,1993; dikutip dari Zhang,Z
Xiang dan Baranzini,Andrea,2003).
9)
Menurut EEA ( Europen Environment Agency, Copenhagen (1996), pajak lingkungan terdiri dari
cost-recovering charges, incentive taxes dan fiscal environmental tax. Fiscal environmental tax
inilah disebut “green Tax Reform” yang terdiri dari pajak energi dan pajak bukan energi termasuk
pajak CO2
10)
Corpuz,Catherine (2003 ). Pollution Tax for Controlling Emssion From The Manufacturing and
Power Generation Sectors:Metro Manila”. Regulasi langsung (Regulasi) yang digunakan oleh
Filipina dengan memberikan batas atas emisi tidak memberikan insentif kepada industri untuk
mengendalikan polusi pada tingkat yang dikehendaki oleh pemerintah. Selalu dihadapkan oleh
kesulitan dalam menegakkan peraturan tersebut dan biaya administrasi yang tinggi.
18
Pajak emisi atau pajak karbon dapat mengurangi emisi melalui pengaruh
mekanisme harga dari bahan bakar yang dikonsumsi. Oleh sebab itu pajak emisi
merupakan instrumen kebijakan yang baik dalam mengurangi emisi (emisi CO2).
Dilihat dari segi produksi, maka pajak energi secara umum berorientasi input
bukan output, sedangkan pajak emisi berorientasi bisa input atau output.
Pajak emisi pada dasarnya bukan untuk menciptakan pendapatan (fiscal objective)
bagi pemerintah, tetapi di-disain dengan tujuan untuk pengendalian lingkungan
seperti pengurangan emisi, mengubah perilaku pencemar akan tindakannya dalam
merusak lingkungan. Studi yang dilakukan oleh Scrimgeour et.al ( 2005 ) untuk
kasus New Zealand menunjukkan bahwa pajak karbon lebih efektif dibandingkan
dengan pajak energi ataupun pajak petroleum. 11) Secara umum pajak energi dapat
dikenakan sebagai pajak yang didasarkan pada output ( contohnya pemanasan atau
listrik) sebagai pajak yang didasarkan pada input atau sebagai emission charged
dari pembakaran bahan bakar fosil. 12)
Pajak karbon merupakan pajak emisi dan merupakan jenis dari pajak
lingkungan yang dikenakan pada konsumsi yang mengkonsumsi bahan bakar
seperti batubara, minyak dan gas. Kadar kandungan karbon dari setiap bahan bakar
tersebut menentukan besarnya nilai pajak. Bila suatu produk dikenakan pajak
karbon, maka harga dari produk tersebut akan mengalami kenaikan.
11)
Hasil studi dari Scrimgeour,Frank et.al ;”Reducing Carbon Emission ? The Relative
effectiveness of Different Types of Environmental Tax: The Case of New Zealand” dengan CGE
untuk kasus New Zealand menunjukkan bahwa dampak dari pajak karbon dan pajak energi hampir
sama. Pajak energi akan mengurangi konsumsi sebesar 13 persen dibandingkan dengan 14% unuk
pajak karbon. Emisi CO2 berkurang sebesar 16% untuk pajak energi dan 18% untuk pajak karbon.
Sementara pajak petroleum kurang efektif. Pajak karbon dan pajak energi keduanya memberikan
dampak makro dalam bentuk mengurangi GDP kira-kira sebesar 0,385% sedangkan pajak
petroleum akan mengurangi GDP sebesar 0,29%
12)
Menurut ESCAP Virtual Conference: Charge atau pajak adalah pembayaran yang dikenakan
pada polutan sesuai dengan proporsi dari polutan yang dilepaskan ke lingkungan. Charge dibuat
berdasarkan “Polluter Pay Principle”. UNEP- REPORT 1997 Menjelaskan bahwa charge system
pada umumnya dipakai untuk melindungi sumberdaya dari limbah atau emisi yang dibuang ke
lingkungan dan tidak dimasukkan kedalam instrument fiskal, tetapi dipisahkan kedalam sistem
charge.
19
Kenaikan harga akan mengurangi permintaan dan pada akhirnya akan mengurangi
emisi CO2. 13) Karena pajak karbon ditentukan berdasarkan kadar karbon yang ada
dalam masing-masing bahan bakar, maka harga dari bahan bakar akan bervariasi
sesuai dengan besarnya nilai pajak yang dikenakan untuk masing-masing bahan
bakar. Oleh sebab itu konsumen akan melakukan pilihan dengan kesadaran akan
segala konsekuensi dari pilihan yang dibuatnya.
Menurut PEANZ ( Petroleum Exploration Association of New Zealand ),
dokumen implementasi pajak karbon yang dikeluarkan pada bulan Juli 2005, ada
dua prinsip dasar dalam mekanisme pajak karbon :
▪
Tujuan utama dari pajak adalah untuk menginformasikan kepada pemakai akhir
dari energi yang digunakannya agar dapat membuat keputusan yang akan
memberikan benefit terhadap atmosfir. Untuk penyederhanaan, maka pajak
haruslah dikenakan pada pihak sejauh mungkin dari rantai distribusi dan
disampaikan kepada pemakai akhir sepenuhnya agar informasi tersebut dapat
dipakai untuk membuat keputusan.
▪
Karena pajak merupakan mekanisme fiskal, sebagai konsekuensi, setiap
pendapatan dari pajak karbon akan di ”recycle” kedalam sistem ekonomi
melalui pengurangan pajak yang lain.
Hasil studi mengenai interaksi antara pajak yang berlaku sekarang terhadap
energi dan penggunaan pajak karbon untuk mengurangi emisi gas CO2
( Peter
Hoeller and Jonathan Coppel,1992 ) terhadap 20 negara termasuk negara OECD,
menunjukkan bahwa ada hubungan antara besarnya pajak karbon per ton dengan
persentase pengurangan emisi.14)
13)
Laporan yang dikeluarkan oleh .The Royal Society (Nov 2002).”Economic Instruments for the
Reduction of Carbon Dioxide Emission”. Pajak karbon akan menaikkan biaya bahan bakar dan
harus mengurangi permintaan akan bahan bakar tersebut dan konsumen akan berpindah ke bahan
bakar dengan sumber karbon rendah. Halk ini akan tergantung dari elastisitas permintaan.
Elastisitas jangka pendek (short-run) negara OECD untuk gasoline pada kisar -0,15 sampai -0,38
dan jangka panjang -1,05 sampai -1,40 )
14)
Adalah hasil studi dari Hoe Hoeller,P and Coppel,J (Paris, 1992). Energy Taxation and Price
Distortions in Fossil Fuel Markets: Some Implications for Climate Change Policy.
OECD.Economic Department.Working Papers No 110.
20
Nedergaard,Mette ( 2005 ) dalam suatu survey dari aplikasi penggunaan instrument
ekonomi untuk kebijakan energi dan perubahan iklim untuk beberapa negara
Eropa memberikan empat alasan penggunaan pajak lingkungan, (1) karena pajak
lingkungan adalah instrument yang efektif untuk menginternalkan eksternalitas,(2)
memberikan
insentif
untuk
mengubah
perilaku,(3)
meningkatkan
pendapatan dan (4) alat yang efektif dalam mengurangi sumber polusi dalam
jangka panjang. 15)
Pada tabel 1 dapat dilihat tujuan dan objek dari pajak karbon, pajak energi
dan pajak emisi yang diterapkan pada negara Eropa Utara.
Tabel 1. Pajak karbon pada beberapa negara Eropa Utara
Negara
Jenis
Nilai pajak (Rate)
Tahun
Obyek
Diperkenalkan
mulai tahun 1990
Efek insentif:penghematan
Gasoline,light fuel oil,heavy fuel
BBF untuk mengurangi
Pajak masuk ke
oil,diesel oil,natural gas, coal
CO2,promosi investasi-hemat
general fund
dan peat (kecuali BBF untuk
energi dan substitusi produk
Listrik)
karbon rendah
Tujuan
Aliran Dana
Pajak Karbon
Mulai dari 26 Mk/tC s/d
260 Mk/tC
Denmark
Pajak CO2
100 Dkr/tCO2 meningkat
s/d 200 Dkr/tCO2 tahun
Sejak 1993
1996 dan s/d 6000
Dkr/tCO2 tahun 2000
Light fuel oil, heavy oil,diesel
oil,LPG,coal dan residual
fuel(kecuali untuk gasoline,
natural gas dan bio diesel)
Efek insentif:penghematan
BBF untuk mengurangi
CO2,promosi investasi-hemat
energi dan substitusi produk
karbon rendah
Pajak bukan
untuk
meningkatan
pendapatan
Nederland
Pajak karbon
dan energi
50% pajak energi dan
50% pajak karbon : 5,16
DGL/tCO2 dan 0,3906
DGL/Gj untuk energi
Sejak 1992
Gasoline, light fuel oil, heavy
fuel oil, diesel oil, natural gas
atau residual oil
Pengendalian emisi CO2
Pajak masuk ke
spesial fund
untuk
lingkungan
Norwegia
Pajak karbon
676 NKr/tC s/d 1350
NKr/tC
Sejak 1991
Gasoline, light fuel oil, heavy oil,
diesel oil, natural gas dan gas Efek insentif : untuk
yg dibakar dari lapangan minyak mengurangi emisi CO2
di laut
Pajak untuk
general account
Swedia
Pajak karbon
370 SKr/tCO2 -1996 s/d
380 SKr/tCO2 1997
Sejak 1991
Gasoline, light fuel oil, heavy oil,
Efek insentif : untuk
diesel oil, LPG,natural gas,coal
mengurangi emisi CO2
(kecuali untuk listrik)
Pajak
berhubungan
dgn general
account
Finlandia
Sumber: Diolah dari data research panel on economic instrument such as taxion and
charges in environmental policies. Chapter 1: Situation of Environmental Taxes
of Foreigh Countries. Dari website :
http://www.env.go.jp/en/rep/tax/ch1.html. 14Juli 2005.
15)
Baumert,Kevin ( 1998 ), Carbon Taxes vs Emission Trading: What the difference, and Which is
Better. Menyatakan bahwa pajak karbon dan semua pajak lingkungan adalah instrument kebijakan
yang bersifat “price-based”. Pajak menaikkan harga barang dan pelayanan dan akan mengurangi
kuantitas permintaan, ini disebut “price-effect” sedangkan trading permits atau emission trading
adalah instrument kebijakan berdasarkan “quantity-based”. Walaupun keduanya adalah merupakan
“market-based” cara kerjanya berbeda. Pajak karbon menetapkan biaya marjinal untuk emisi karbon
dan mengizinkan perubahan dari emisi yang dikeluarkan sementara emission trading menetapkan
jumlah emisi karbon yang dikeluarkan dan membiarkan harga berfluktuasi sesuai dengan
mekanisme pasar.
48
Pada tabel 2 dapat dilihat persentase pendapatan pajak lingkungan
termasuk pajak transportasi terhadap GDP dan persentase pajak energi terhadap
GDP . Menurut laporan dari OECD dan IEA (2003) instrumen pajak
sering
digunakan oleh pembuat kebijakan untuk mempromosikan pengembangan energi
terbarukan dan teknologi untuk efisiensi energi dari pada bertujuan untuk
mengurangi emisi gas rumah kaca.
.Tabel 2. Persentase pajak lingkungan ( tidak termasuk energi) dan pajak energi
terhadap GDP
Lingkungan
% GDP
% Pendapatan Pajak % GDP
Austria
0,7
1,6
1,4
Belgium
0,5
1,1
1,6
Denmark
2,2
4,3
2,2
Jerman
0,6
1,4
2,1
Yunani
0,4
1,2
1,5
Finlandia
0,1
0,2
2,2
Perancis
0,5
1,1
2
Irlandia
1,4
4
1,8
Itali
0,5
1,2
3,1
Luxemberg
0,2
0,5
3,1
Netherland
2,6
5,9
1,5
Portugal
0,1
0,3
3
Spanyol
1
2,7
1,9
Swedia
0,4
0,8
2,6
UK
0,6
1,7
2,2
EU 15*
0,7
1,7
2,2
* terdiri dari 15 anggota negara Uni Eropa (EU)
Negara
Energi
% Pendapatan Pajak
3,2
3,4
4,3
4,8
4,6
4,7
4,5
5,2
7,7
7
3,4
8,4
5,2
5,1
6,3
5,2
Sumber : Final report : Study on the economic and environmental implications of the use
of environmental taxes and charges in the Europw Union and its member states.
ECOTEC, research & consulting. April 2001
Pada tabel 3 dapat dilihat instrumen kebijakan pajak yang telah
diimplementasi ataupun direncanakan oleh beberapa negara di Eropa. Pada table
tersebut dapat dilihat pendekatan implementasinya, pajak energi atau CO2 dan
perdagangan (trading).
22
Tabel 3. Instrumen pajak yang telah diimplementasikan dan direncanakan dibeberapa
negara Eropa.
Negara
Pendekatan sukarela
Pajak
(Voluntary Approach) Energi
Industri
Emisi
Australia
x
Austria
x
x
Belgia
x
x
Kanada
x
Check Republik
x
Denmark
x
x
Estonia
x
x
Finlandia
x
x
Perancis
x
x**
x
Jerman
x
x
x
Itali
x
x
Jepang
x
Belanda
x
Selandia Baru
x
Norwegia
x
x
Swedia
x
x
Swiss
x
x
UK
x
x
USA
x
Trading
Energi terbarukan
x*
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
Slovakia
x
x
x
x
x
x
x
x*
x*
* pada level negara bagian
** rencana saat ini dihentikan
Sumber: OECD and IEA information paper (2003) OECD environment directorate and
international energy agency. Policies to reduce greenhouse gas emission in
industry-successful approaches and lessen learned:workshop report.
2.3
Emisi Per Kapita, Energi dan Karbon Intensitas
Berdasarkan studi yang pernah dilakukan maka ada hubungan kuat antara
emisi, populasi dan GDP dimana pertumbuhan ekonomi dan populasi sebagai
pemicu emisi. Model ekonomi perubahan iklim global banyak menggunakan
pendekatan keseimbangan makro ekonomi dimana GDP berhubungan dengan
masalah investasi dan konsumsi melalui model produksi Cobb Douglas.
Distribusi emisi per kapita pada setiap negara tergantung dari faktor yang
mempengaruhinya dari waktu ke waktu. Menurut identifikasi dari Kaya besarnya
karbon yang dikeluarkan sebagai emisi CO2 tergantung pada :
M = Nx (GDP/N) x (E/GDP) x (C/E)
dimana M adalah emisi CO2 ( dalam kg karbon), N adalah populasi (dalam orang),
GDP dalam rupiah per tahun, GDP/N adalah pendapatan per kapita ( dalam rupiah
23
per orang per tahun), E dalam watt, E/GDP adalah intensitas energi ( Watt tahun
per rupiah ), C/E adalah intensitas karbon (dalam kgC/W tahun)
McKibbin,Warwick dan Stegman,Alison (2005) menyatakan bahwa
hubungan emisi, GDP dan intensitas emisi dapat dilihat melalui persamaa berikut :
Emisi = Populasi x GDP/kapita x Emisi/GDP
Atau E = P x GDPPC x I
Dimana GDPPC adalah GDP per kapita, P adalah populasi dan I adalah intensitas
emisi. Kalau populasi, pendapatan per kapita dan intensitas emisi adalah faktor
yang tidak saling ketergantungan, maka laju emisi akan terjadi jika ada perubahan
terhadap ketiga variabel tersebut.
Hubungan dari faktor tersebut menurut Beumart,Kevin et.al 2005 dapat
dilihat dari model yang sederhana dengan menggunakan empat faktor yaitu level
kegiatan, struktur, intensitas energi dan fuel mix.
A.
CO2 = Populasi x GDP/orang x Energi/GDP x CO2/Energi
Energi/GDP adalah intensitas energi dan CO2/Energi adalah fuel mix
Intensitas emisi CO2 adalah fungsi dari dua variabel. Variabel pertama adalah
intensitas energi dan variabel kedua adalah fuel mix.
B.
CO2/GDP =
Energi/GDP x CO2/Energi
CO2/GDP disebut intensitas karbon dan merupakan perkalian antara intensitas
energi dengan fuel mix. Intensitas energi adalah jumlah energi yang dikonsumsi
per unit dari GDP. Intensitas energi mereflesikan level efisiensi energi dan struktur
ekonomi secara keseluruhan termasuk kadar kandungan karbon dari produk yang
diimpor dan diekspor. Faktor yang tidak terwakili dalam persamaan A adalah
struktur. Sebagai contoh jika sebuah kendaraan yang mengkonsumsi jumlah bahan
bakar yang besar jika diganti dengan
menurunkan emisi.
jenis kendaraan hemat energi akan
Level dari intensitas energi tidak berhubungan langsung
dengan pembangunan ekonomi. Intensitas energi pada negara berkembang
cenderung lebih tinggi dari negara industri karena secara umum pada negara
berkembang GDP yang tinggi berasal dari industri manufaktur yang menggunakan
24
energi intensif sedangkan pada negara industri GDP yang tinggi berasal dari
sektor pelayanan yang memiliki karbon rendah. Komponen kedua dari intensitas
emisi adalah fuel mix atau secara spesifik adalah kadar karbon dari energi yang
dikonsumsi pada suatu negara.16)
.
Gambar 6. Intensitas energi dan karbon 25 negara European Union
Sumber : European union energy & transportation in figures, edisi 2004,
Part 2 : Energy.
Pada gambar 6 dapat dilihat intensitas energi dan intensitas karbon untuk 25
negara Eropa (anggota EU). GIC adalah gross inland consumption. Intensitas
karbon adalah emisi CO2/gross inland consumption dan intensitas energi adalah
gross inland consumption of energy/GDP. GDP adalah berdasarkan harga 1995.
Indikator yang sama untuk 15 negara anggota EU dapat dilihat pada gambar 7
16)
McDougall,RA (1993),Short-Run Effects of Carbon Tax. Centre of Policy Studies,Monash
University. Untuk menentukan pengaruh dari pajak karbon pada harga bahan bakar, kita perlu
mengetahui intensitas emisi untuk tiap-tiap bahan bakar yaitu jumlah kuantitas CO2 yang
dikeluarkan apabila bahan bakar dibakar dibagi dengan nilai dari bahan bakar tersebut (kt CO2/$m).
25
Gambar 7. Tren intensitas energi dan karbon 15 anggota European Union
Sumber : European union energy & transportation in figures, edisi 2002,
Part 2 :Energy.
2.4
Emisi dan Pertumbuhan Emisi Gas CO2
Beberapa gas rumah kaca terjadi di atmosfir secara alamiah sedangkan gas
rumah kaca lainnya terjadi sebagai akibat dari hasil kegiatan manusia. Gas rumah
kaca yang terjadi secara alamiah tersebut seperti uap air, karbon dioksida, metan,
oksida nitrogen dan ozon. Dengan adanya kegiatan manusia maka level dari
konsentrasi gas rumah kaca di atmosfir meningkat. Menurut UNFCC, gas rumah
kaca yang utama adalah karbon dioksida (CO2), metan (CH4), oksida nitrogen
(N2O),
perflouorocarbon
(PFCs),
Hydrofluorocarbons(HFCs)
dan
sulfur
heksaflorida (SF6). Menurut IPCC konsentrasi CO2 pada tahun 2100 akan berada
pada kisar 650 sampai 970 ppm jauh melebihi pada tingkat pra-industri (280 ppm).
Pada 200 tahun terakhir lebih dari 2.3 bilyar ton CO2 telah dilepaskan ke atmosfir
yang disebabkan oleh kegiatan manusia melalui konsumsi bahan bakar fosil dan
perubahan penggunaan lahan ( Baumert,Kevin et al 2005 ). Lima puluh persen
dari jumlah emisi tersebut telah dilepaskan dalam periode 30 tahun mulai dari
1974 sampai 2004.
Menurut
laporan World Resources Institute (2005),
peningkatan absolut CO2 terjadi pada tahun 2004 dengan lebih dari 28 milyar ton
dilepaskan ke atmosfir bersumber dari pembakaran bahan bakar fosil.
Peningkatan konsentrasi ini akan berdampak pada kenaikan suhu permukaan bumi
pada kisar 1,4 dan 5,8 derajat Celcius antara tahun 1990 dan 2100. Protokol Kyoto,
jika diimplementasikan hanyalah merupakan langkah awal dan menurut IPCC
26
untuk menstabilkan atmosfir dari CO2 ketingkat 450 ppm haruslah menurunkan
CO2 pada level dibawah tahun 1990 dalam beberapa dekade yang akan datang. 17)
Dampak dari peningkatan suhu pemanasan global tersebut adalah
perubahan akan produksi pertanian, suplai air, hutan dan ketidakpastian
pengembangan sumberdaya manusia. Dampak kerusakan akan mempengaruhi
populasi sebagian besar penduduk dunia, terutama penduduk pada negara-negara
berkembang termasuk Indonesia. Gambar 8 dapat dilihat kenaikan emisi gas CO2
yang berasal dari pembakaran bahan bakar fosil. Pada gambar 9 dapat dilihat
pertumbuhan gas rumah kaca mulai tahun 1990 – 2002.
Korea Selatan, Iran, Indonesia, Saudi Arabia dan Pakistan mengalami
pertumbuhan cukup besar dalam kontribusi gas rumah kaca. Pada gambar 10 dapat
dilihat persentasi dari gas rumah kaca menurut sektor, dimana sebanyak lebih
kurang 61.4% gas rumah kaca berasal dari produksi dan pembakaran bahan bakar
fosil ( batubara, minyak dan gas )
Gambar 8. Emisi gas CO2 global dari pembakaran BBF 1900-2004
Sumber : Baumert,Kevin et.al 2005, Navigating the numbers. greenhouse gas
data and international climate policy, World Resources Institute
17)
Menurut IEA ( International Energy Agency ) .OECD/IEA, 2002 level proyeksi global emisi
global tahun 2015 adalah 9 GtC sedikit lebih tinggi dari perkiraan IPCC. Untuk kembali ke level
tahun 1990 – pada 5.8 GtC perlu pengurangan sebesar 36% dari level tahun 2015.
27
Gambar 9. Pertumbuhan emisi gas rumah kaca, 1990 – 2002
Sumber : Baumert,Kevin et.al 2005, Navigating the numbers. greenhouse gas
data and international climate policy, World Resources Institute
Sektor
Energi
Bukan
Energi
Listrik dan
pemanasan
24,6%
Perubahan
penggunaan
lahan 18,2%
Transportasi
13,5%
Pertanian
13,5%
Industri
10,4%
Pembakaran
lainnya 9,0%
Fugitative dan
proses industri
7,3%
Limbah
3,6%
Gambar 10. Persentasi emisi gas rumah kaca global menurut sektor
Sumber : Baumert,Kevin. et al 2005, Navigating the numbers. greenhouse
gas data and international climate policy, World Resources Institute
Tabel 4 menunjukkan faktor yang berkontribusi terhadap pertumbuhan CO2 dari 25
negara penghasil gas rumah kaca terbesar. Pertumbuhan emisi CO2 mengalami
peningkatan yang cukup tinggi pada negara-berkembang pada periode 1990-2002
yaitu Indonesia 97%, Korea Selatan 97%, Iran 93% dan Saudi Arabia 91%.
Pertumbuhan tersebut dapat dilihat pada Gambar 9. Pada gambar 11 dapat dilihat
negara yang berkontribusi terhadap gas rumah kaca utama.
28
Tabel 4. Faktor yang berkontribusi terhadap pertumbuhan emisi gas CO2, 1990-2002
% Kontribusi terhadap perubahan CO2
Perubahan CO2 1990-2002
Negara
China
Amerika Serikat
MtCO2
%
GDP per kapita
(GDP/Pop)
1.247
49
122
15
-96
8
863
18
23
16
-20
-1
Populasi
Intensitas Energi
(E/GDP)
Fuel Mix
(CO2/E)
India
457
70
55
28
-31
19
Korea Selatan
246
97
84
15
12
-15
Iran
178
93
44
26
24
-1
Indonesia
164
97
44
25
2
26
Saudi Arabia
148
91
-7
46
52
0
Braxil
125
57
17
21
7
13
Sepanyol
98
44
31
6
7
-1
Jepang
96
9
12
3
0
-7
Meksiko
87
28
17
22
-12
1
Kanada
87
20
24
13
-18
0
Australia
73
28
31
16
-19
-1
Afrika Selatan
69
23
-2
28
-2
-1
Turki
59
39
16
25
0
-2
Pakistan
40
60
18
38
-1
5
Itali
33
8
17
2
-6
-5
Argentina
10
9
17
13
-9
-11
Perancis
2
0
17
5
-6
-15
-13
Inggris
-36
-6
24
3
-20
Polandia
-60
-17
35
0
-46
-6
EU-25
-70
-2
21
3
-14
-12
Jerman
-127
-13
15
4
-21
-10
Ukraina
-129
-48
-32
-5
40
-51
Federasi Rusia
-453
-23
5
-3
-12
-3
Catatan : CO2 termasuk perubahan penggunaan lahan dan hutan
Sumber : Baumert,Kevin et.al 2005, Navigating the numbers. greenhouse gas data and
international climate policy, World Resources Institute
Gambar 11. Kontribusi agregat gas rumah kaca utama
Sumber : Baumert,Kevin et.al 2005, Navigating the Numbers. Greenhouse
Gas Data and International Climate Policy, World Resources
Institute
29
Berdasarkan proyeksi BPPT-KFA ( Environmental Impacts of Energy for
Indonesia 1993) 18) permintaan –penawaran ( demand-supply) emisi CO2 Indonesia
akan meningkat dari 219.68 juta ton pertahun (pertengahan tahun 1996) menjadi
1076,16 juta ton per tahun ( tahun 2021).
Perbandingan/komposisi konsumsi
energi akan berubah dimana batubara menjadi sumber energi penting dan emisi
CO2 pada tahun 2021 naik menjadi 54% berasal dari batubara, 35% dari minyak
dan 11% dari gas. Kenaikan jumlah emisi CO2 menurut tipe energi dapat dilihat
pada tabel 5
Tabel 5. Baseline emisi gas CO2 menurut tipe energi
Batubara
Minyak
Gas
Total
1996
2001
2006
2011
2016
2021
Juta ton/
Juta ton/
Juta ton/
Juta ton/
Juta ton/
Juta ton/
%
%
%
%
%
%
tahun
tahun
tahun
tahun
tahun
tahun
37,35 17
68,46
27
150,17
40
233,42
45
374,39
50
581,13
54
127,41 58
150,61
51
163,20
43
188,03
36
269,26
36
375,66
35
54,92 25
68,46
22
65,28
17
97,26
19
105,13
14
118,38
11
219,68 100
287,53 100
378,65 100
518,71 100
748,78 100
1076,17
100
Sumber : BPPT-KFA yang dimuat dalam laporan UNEP sebagai country report.
Economics of greenhouse gas limitation
Studi yang dilakukan oleh PIE ( Centre for Energy Information) yang
dimuat dalam laporan FIIEE (2004) mengestimasi emisi CO2 akan meningkat
sebesar dua kali dari nilai tahun 2000 dan BAPENAS mengestimasi bahwa CO2,
NOx dan SOx akan meningkat sebesar dua kali lipat pada tahun 2020 dibandingkan
dengan tahun 2003 dan penyebab utamanya adalah bahan bakar fosil. Studi
tersebut merekomendasi untuk mengurangi subsidi, promosi sumber energi
terbarukan dan insentip fiskal untuk meningkatkan pengembangan energi
terbarukan.19)
18)
Country Report dengan judul “Economics of Greenhouse Gas Limitations” yang diterbitkan
oleh UNEP,Denmark 1999.Studi dilakukan oleh KLH, BPPT-KFA ( Nuclear Research Centre )
Jerman dan PPLH-IPB.
19)
Sumber dikutip dari paper yang ditulis oleh Wattimena B.T and Soejono A.R. Indonesia Energy
Planning : A Concept Based on Some Energy Models. The Foundation of Indonesia Institute for
Energy Economics. Paper yang disampaikan pada 6 th Annual IAEE Europan Meeting at ETH
Zurich, Sep 02-03, 2004. Studi memberikan rekomendasi bahwa subsidi harus dikurangi. Subsidi
energi yang ada pada saat ini menyebabkan inefisiensi dalam semua penggunaan energi disemua
sektor. Insentif fiskal dibutuhkan untuk mengembangkan energi terbarukan di Indonesia.
30
2.5
Elastisitas
Seperti yang diuaraikan pada bab pendahuluan bahwa konsumsi bahan
bakar fosil Indonesia pada saat ini mengalami peningkatan cukup signifikan.
Kenaikan konsumsi tersebut disebabkan karena meningkatnya permintaan dari
sektor transportasi, industri, rumah tangga dan listrik. Kenaikan tingkat konsumsi
tersebut berkisar antara 6- 9% per tahun. Permintaan akan konsumsi bahan bakar
sudah barang tentu berhubungan dengan harga bahan bakar tersebut. Metode untuk
mengukur bagaimana satu variabel bereaksi terhadap perubahan variabel lainnya
adalah elastisitas. Artinya kita akan melihat intensitas reaksi konsumen terhadap
perubahan harga bahan bakar setelah adanya perubahan harga (misalnya kenaikan
dengan adanya pajak). Efektivitas dari suatu pajak lingkungan sangat tergantung
dari berapa besarnya koefisien elastisitas. Untuk tujuan meningkatkan pendapatan,
pemerintah biasanya mengenakan pajak terhadap komoditas yang memiliki
permintaan yang tidak elastis seperti tembakau, alkohol dan bensin, sedangkan
untuk tujuan lingkungan biasanya terhadap komoditas yang memiliki permintaan
yang elastis. Gambar 13 adalah kurva fungsi permintaan komoditas yang
menunjukkan bahwa kurva permintaan yang tidak atau kurang elastis baik untuk
tujuan meningkatkan pendapatan dan kurva yang elastis baik untuk mengurangi
dampak lingkungan.
Permintaan yang kurang elastis-baik untuk pendapatan pemerintah
Harga
Permintaan yang elastis-baik untuk tujuan pajak lingkungan
Kuantitas
Gambar 12. Tipe fungsi permintaan
Pada gambar 13 dan 14 dapat dilihat pengaruh elastisitas harga terhadap perubahan
permintaan. Kemiringan kurva permintaan sangat menentukan akan perubahan
kuantitas dari bahan bakar yang diminta oleh konsumen.
31
Harga
suplai y1
yo
Harga
BBF
suplai y1
BBF
yo
p1
B pajak
p1
po
A
po
permintaan do
p2
p2
pajak
Suplai yo
C
permintaan do
x1 x2
Liter
Gambar 13. Inelastis suplai
x1
x2
Liter
Gambar 14. Inelastis permintaan
Pada gambar 13 dapat dilihat bahwa perubahan harga memiliki dampak relatif
kecil terhadap kuantitas BBF yang diminta. Elastisitas harga dari suplai lebih kecil
dari elastisitas permintaan. Perubahan harga memiliki dampak yang kecil terhadap
kuantitas suplai dari pada kuantitas permintaan. Pada gambar 14 dimana
permintaan tidak elastis dibandingkan dengan suplai dan konsumen menjadi
kurang responsif terhadap perubahan harga dibandingkan dengan penjual.
Koefisien elastisitas harga bahan bakar untuk negara OECD dapat dilihat pada
tabel 6
Tabel 6. Tipikal elastisitas harga permintaan pada negara OECD
Bahan bakar
Gasoline
Hampir semua negara OECD
Eropa
Listrik perumahan
(residential electricity)
Perjalanan dengan kendaraan
(car travel)
Perjalanan dengan udara (air
travel)
Perjalanan dengan kereta api
(rail travel)
Elastisitas jangka pendek
(short run elasticity)
Elastisitas jangka panjang
(long run elasticity)
-0,15 ~ -0,38
- 0,15
- 1,05 ~ - 1,40
- 1,24
- 0,05 ~ -0,90
-20 ~ 4,6
-0,09 ~ 0,24
-0,22 ~ 0,31
- 0,36 ~ - 1,81
- 0,37 ~ - 1,50
Sumber: Economic instrument for the reduction of carbon dioxide emission, Nov 2002.
The Royal Society. Policy documents 26/02
48
2.6
Model Ekonomi Pemanasan Global
Model pemanasan global ( Wexler,Lee 1996 ) yang berhubungan dengan
proyeksi pertumbuhan populasi dapat dilihat pada table 7 dan model – DICE
adalah salah satu model pemanasan global yang memasukkan hubungan kerusakan
ekologi dan biaya yang timbul untuk mengurangi dampak dari kerusakan yang
disebabkan oleh adanya emisi karbon (CO2 )
Studi yang dilakukan oleh Lynn Price,et.al (2005 ) dalam rangka efisiensi
energi terhadap negara anggota OECD dan yang bukan negara OECD
menunjukkan bahwa banyak negara yang telah menerapkan instrument pajak dan
fiskal untuk mempromosikan efisiensi energi. Pada tabel 8 dapat dilihat tipe dari
pajak, kebijakan fiskal maupun kebijakan yang terintegrasi yang dipakai oleh
setiap negara dalam rangka melakukan efisiensi energi. Sebanyak 12 negara OECD
menggunakan pajak energi atau pajak CO2, sebanyak 17 negara OECD
menggunakan pollution levy, 4 negara OECD menggunakan line charge, 28 negara
(5 negara Non-OECD dan 23 negara OECD) menggunakan kebijakan fiskal dalam
bentuk grand atau subsidi, 40 negara ( 17 pada negara non OECD dan 23 negara
OECD ) menggunakan kebijakan fiskal dalam bentuk subsidi audit, 21 negara ( 9
negara non OECD dan 12 negara OECD) menggunakan kebijakan fiskal berbentuk
pinjaman sektor pubik , 40 negara ( 15 negara non OECD dan 25 negara
OECD ) menggunakan kebijakan innovative funds, 23 negara ( 8 negara non
OECD dan 15 negara OECD ) menggunakan technology tax relief, 5 negara OECD
menggunakan program tax relief, 2 negara OECD menggunakan kebijakan yang
terintegrasi dalam bentuk country program dan 27 negara OECD menggunakan
emission trading. Indonesia termasuk kedalam negara non OECD yang
menggunakan kebijakan fiskal dalam bentuk audit yang disubsidi dengan cara
tidak mengenakan biaya dan memberikan dana untuk melakukan audit terhadap
kegiatan efisiensi energi termasuk penggunaan energi alternative.20)
20)
Sumber Lynn Price et.al dan Ernst Worrell et.al ( May 2005), laporan penelitian bersama antara
Lawrence Berkeley National Laboratory (LBNL ) Amerika, Ecofys dari Nederland dan China
Energy Conservation Investment Corporation (CECIC) dan Research Institute of Fiscal Science
(RIFS) dari Menteri Keuangan Cina. Laporan memuat survey dari kebijakan pajak dan fiskal yang
membagi tiga kelompok, yaitu A ; Taxes and fees : Menaikkan biaya yang berhubungan dengan
33
Tabel. 7. Model pemanasan global yang berhubungan dengan proyeksi populasi
Model
Jumlah region
Periode
Tipe Model
Model Energi
Edmonds-Relly-Bama (ERB)
9
Edmonds-Relly -1985
1995 - 2095
Model makro ekonomi untuk emisi CO2,CH4 dan
H2O dari energi
Edmonds.et.al 1995
GREEN Borniaoux,et.al 1992
Global 2100
12
Manna and Richels 1992
5
1985 - 2050
Apllied General Equilibriumk Model dari emisi CO2
1990 - 2200
Manna,et.al 1995
Model optimasi makroekonomi untuk penggunaan
energi.Produksi emisi CO2 dari energi
Model Kebijakan Ekonomi
Cline-cost-benefit
1990 -2275 Model stokastik untuk emisi CO2, N2O dan CH4
yang dipakai untuk menghitung kerusakan marjinal
1990 - 2220 dari emisi
1
Cline 1992
1
Fankhauser 1994
DICE
Model optimal growth dari Ramsey.Model kerusakan
1965 - 2365 ekologi dan biaya untuk mengurangi emisi CO2 dari
energi
1
Nordhaus 1994
Sumber : Wexler,Lee 1996. Improving population assumptions in greenhouse gas
emission models. International Institute for Applied Systems Analysis.
Laxenburg.Austria
Tabel 8.
Pajak dan fiskal untuk tujuan efisiensi energi sektor industri
Pajak atau fee
Negara
Kebijakan Fiskal
Pajak energi Pollution
atau CO2
levy
Line
charge
Grant
atau
subsidi
Public sector
Subsidi audit
loan
Kebijakan Terintegrasi
Innovative Technology
fund
tax relief
Program tax
relief
Country
program
Emission
trading
5
2
27
NON-OECD
Brazil
x
x
Columbia
x
x
Costa Rica
x
GF,RF
R
E
Cote d'Ivoire
E
Egypt
x
x
Ghana
E
R
E
Indonesia
x
Iran
x**
x
x
Jordan
x
x
x
Kenya
x
E
Israel
EX
Lebanon
x
E
R
x
Libya
E
Malaysia
x
Marocco
x
x
E
AD,R
E
R
AD
Peru
Phillipines
x
x
Singapore
E
E
South Africa
x
Taiwan
Tanzania
x
x
Thailand
Tunisia
Vietnam
Total
12
17
4
28
x
x
x
x
x
40
x
x
21
R
E,RF
E
E
39
23
x = program exist in country, A/C = administrative/civil pinalties, CR = criminal pinalties, E = ESCOSs, GF =guarantee funf
RE = revolving fund, VC= venture capital, AD = accelerated depreciation, R = reduction, EX = exemption
* diberikan melalui program negara/nasional bukan program dari begara bagian/federal
** subsidi ini berhubungan dengan loan ( loan tanpa bunga)
Sumber : Ernst Worrel dan Wina Graus, Ecofys (2005)
48
Tabel 8. - sambungan
Kebijakan Fiskal
Pajak atau fee
Negara
Pajak energi
atau CO2
Pollution
levy
Line
charge
Grant
atau
subsidi
Subsidi audit
A/C
x
x
x
A/C, CR
x
Public sector
loan
Kebijakan Terintegrasi
Innovative
fund
Technology
tax relief
Program tax
relief
Country
program
Emission
trading
x
E
EX
x
E
X
x
E
X
OECD
Australia
Austria
Belgium
Bulgaria
E
Canada
x
E, RF
AD
X
Cyprus
X
Check Repub
x
CR
x
Denmark
x
CR
x
x
Estonia
x
Finland
x
CR
x
x
France
x
Germany
x
Greece
Hungary
Ireland
Italy
E
X
X
X
X
CR
E
x
A/C, CR
x
A/C, CR
x
CR
x
X
GF,IF
x
x
E,IF
X
EX, R
X
x
x
E,GF
X
X
x
x
x
x
E
R
x
x
E
AD,R
E
R
x
Kerea-Rep
Latvia
x
X
x
Lithuania
x
x
X
E
X
Luxemberg
X
Malta
X
Mexico
Netherland
Norway
x
x
CR
x
Poland
x
x
x
x
x
x
x
Portugal
A/C, CR
x
Russia
x
Slovakia
A/C, CR
x
Slovania
CR
x
x
x
x
Turkey
x
US
x
CR
A/C, CR
AD,R
X
x
E
EX
X
E
EX
X
x
E,IF
Ex
IF
x*
x
E
AD
x
E
EX
x
E
X
X
X
x
Switzerland
UK
E,IF
x
x
Spain
x
x
Rumania
Sweden
X
X
A/C, CR
Japan
X
X
E
X
X
AD,R
x
x
x
E,VC
R
x*
x
x*
E
Ex*
X
2.6.1 Model DICE
Studi model DICE ( Dinamic Integrated and Climate Change Economic )
dilakukan pertama kali oleh William D.Nordhaus pada tahun 1990 yang berangkat
dari cost-benefit framework dan model secara keseluruhan dijelaskan kembali pada
tahun1994 dan 1996. Model terbaru dari DICE dikeluarkan pada tahun 1999 oleh
William D.Nordhaus dan Joseph Boyer. Model DICE adalah model perubahan
iklim global (climate change global) untuk melihat dampak dan kebijakan untuk
memperlambat pemanasan global. Model ini mengintegrasikan antara emisi yang
dinamis, dampak dan biaya ekonomi untuk memperlambat laju emisi gas rumah
kaca (dalam penelitian ini hanya CO2 ). Inti dari Model DICE adalah model
pertumbuhan dari Ramsey. Output nasional adalah fungsi produksi dari CobbDouglas yang terdiri dari kapital (K) , tenaga kerja (L) dan teknologi (A).
Pertumbuhan populasi dan teknologi adalah variable eksogen. Q(t) = Ω(t) A (t)
K(t) γ L (t) 1- γ , dimana Q adalah output nasional atau GDP nasional dan Ω adalah
faktor kerusakan akibat perubahan iklim terhadap output nasional yang merupakan
X
X
35
fungsi dari laju pengurangan emisi dan biaya pengurangan emisi tersebut. Jumlah
emisi dikalikan dengan besarnya pajak emisi yang ditambahkan pada pendapatan
nasional akan menjadi keseimbangan umum pendapatan nasional. Struktur model
DICE dapat dilihat pada gambar 15
CO2 di Atmosfir
Net Emission
CO2 Abatement
Fraction
B3
CO2 storage
Marginal Atmosfir Retention
Emisi CO2
Nilai Transfer Dari CO2
Radiative Forcing CO2
Biaya Abatement CO2
B1
Climate Feedback
Parameter
Gross Output
Radiative Forcing
Feedback Cooling
Konsumsi
R1
Biaya Kerusakan Iklim
Kapital
Investasi
B2
Suhu Atmosfir Upper
Ocean
Depresiasi
Perbedaan Suhu
Investation Fraction
Perub Atm UppOcean Temp
B4
Heat Transfer
Nilai Depresiasi
B5
Suhu Deep Ocean
Perub Suhu Deep Ocean
Gambar 15. Struktur model DICE
Model dapat dibagi kedalam tiga subsistem utama yaitu ekonomi, siklus karbon
dan iklim . Model ini disebut juga model 3-Box System. Struktur akumulasi kapital
dengan dua loop umpan balik, akumulasi kapital melalui penginvestaian kembali
(R1) dan penyusutan (B2). Output dipengaruhi oleh kapital dan input eksogen dari
populasi dan faktor produktivitas, biaya untuk mengatasi emisi dan kerusakan
akibat iklim ( akan membuat loop negatif B1). Emisi akan berakumulasi dalam
stok karbon di atmosfir dan bercampur dengan lapisan yang ada pada lautan
melalui radiative forcing . Radiative forcing akan memanaskan atmosfir dan
permukaan laut. Panas dipancarkan kembali ( loop B3) dan secara perlahan-lahan
akan ditransfer ke lautan dalam (loop B4 dan B5). Sedangkan kerusakan akibat
iklim adalah fungsi dari kuadratik dari suhu atmosfir.
36
2.6.2 Deskripsi Model DICE
Dalam model DICE isu sentral adalah tujuan dari ekonomi dan lingkungan
yang dimaksudkan untuk dapat memperbaiki standar kehidupan atau konsumsi dari
masyarakat pada saat ini untuk masa yang akan datang (sustainability).
Pendekatannya adalah bahwa konsumsi yang berlebihan pada saat ini dikurangi.
Asumsi dalam model bahwa setiap negara ingin memaksimumkan fungsi
kesejahteraan sosial (social-walfare) yang di discounting terhadap rata-rata
tertimbang dari pendapatan perkapita. Fungsi kesejahteraan sosial dimasukkan
kedalam persamaan matematis yang dapat dijelaskan bahwa ; (i) makin tinggi level
konsumsi maka semakin mahal harga, (ii) peningkatan konsumsi mengikuti prinsip
diminishing marginal valuation dan (iii) sosial marginal utiliti dari konsumsi pada
saat ini tinggi dibandingkan dengan konsumsi untuk generasi yang akan datang
dengan ukuran dan nilai konsumsi per kapita yang sama.
Fungsi tujuan atau kriteria untuk memaksimumkan kesejahteraan masyarakat :
T
(1) Wj = ∑ U [ cj (t),L(t) ] R(t)
t
Dimana W adalah fungsi objektif dan U [ c (t),L (t) ] adalah utiliti dari konsumsi,
c(t) adalah aliran konsumsi per kapita selama periode t, dan L (t) adalah populasi
pada waktu t dan R(t) adalah discount factor dari pure time preference. Hubungan
tersebut dapat dilihat pada gambar 16 dan gambar 17.
Cumulative Discounted Utility
Discounted Utility
Base Year
Discount Factor
Total Utility
Utility
Rate of Inequality
Aversion
Consumption
<Time>
Populasi
Rate of Time Preference
Consumption per Cap
Gambar 16. DICE discounting dan utility
37
<Climate Damage Frac>
<GHG Reduc Cost Fraction>
Net Climate Change Impact
Net Output
Konsumsi
R1
<Faktor Prod >
Gross Output
<Populasi>
Kapital
Investasi
Depresiasi
B1
<Investment Frac >
Nilai Depresiasi
Gambar 17. DICE akumulasi kapital dan depresiasi
t
(2)
R(t) =
∏
[ 1 + ρ (v) ] -t
v =0
ρ(t) adalah rate time preference
dan R(t) adalah discount factor. ρ(t) adalah
parameter pure rate dari social time preference
(3)
U [ c(t), ] = L(t) { cJ(t) 1-α – 1 } / (1-α)
(3a)
U [ cJ(t) ] = LJ(t) { log [c(t) ] }
Parameter α adalah pengukuran dari valuasi sosial dari perbedaan konsumsi dalam
hal ini bisa sebagai elastisitas dari konsumsi marginal utiliti atau rate dari
inequality aversion. Secara operasional α adalah untuk mengukur apakah suatu
daerah/negara ingin untuk mengurangi tingkat kesejahteraan dari generasi yang
memiliki konsumsi tinggi untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan terhadap
generasi yang memiliki tingkat konsumsi rendah. Model DICE menggunakan nilai
α =1, sehingga persamaan utiliti menjadi seperti pada (3a)
(4)
g pop j(t) = g pop j(0) exp)(-δ pop j,t )
Pertumbuhan populasi diasumsikan mengikuti pola eksponensial , g pop (t) adalah
pertumbuhan populasi pada
periode t dan δ
pop
adalah nilai konstanta dari
declining. Nilai parameter yang digunakan dalam model DICE untuk pertumbuhan
populasi adalah 1,5% per tahun untuk dekade awal dan nilai declining populasi
global adalah sebesar 0,195 ≈ 20% per dekade. Global populasi maksimum adalah
11,5 triliun penduduk.
38
(5)
Q (t) = Ω(t) { A (t) K (t) γ L (t) 1-γ dimana γ= 0,25
jika γ diasumsikan sebesar 0.25 maka kontribusi tenaga kerja terhadap pendapatan
nasional adalah 1- 0,25 = 0,75. A adalah perubahan teknologi dan Ω (t) adalah
kofisien kerusakan (damage factor) yang berhubungan dengan dampak perubahan
iklim terhadap output. Hubungan variabel eksogen tersebut dapat dilihat pada
gambar 18
Populasi
Net Pop Incr
Decl Pop Gr Rate
Nilai Pertum
Populasi
Faktor
Produktivitas
Faktor Nilai Pert
Prod
Nilai Incr Faktor Prod
Nilai Pert Fakt
Prod-Decl Rate
Intensitas CO2
dari Output
Decl Rate Int CO2
Decl Intens CO2
Dec Rate Int
CO2-Dec Rate
Nilai Pertum Fak
Prod-Dec Rate
Pop Gr Rate
Decline Rate
Gambar 18. Variabel eksogen model DICE
(6)
Q (t) = C (t) + I (t)
Gross output (Q) adalah konsumsi ditambah dengan investasi. Data dari
pendapatan nasional atau GDP sama dengan yang ada pada persamaan (5). Dalam
DICE Q adalah output dunia.
(7)
Konsumsi per kapita adalah c (t) = C (t)/L (t)
(8)
perubahan stok kapital dihitung dengan persamaan ;
K (t) = K (t-1)(1-δK) + I (t1), dimana δK = 0,10 per tahun
Angka 0,10 adalah besarnya penyusutan dari kapital stok (δK ) sebesar 10% per
tahun.
(9)
E(t) = [ 1 – μ(t)] σ(t) Q(t)
E merupakan emisi gas rumah kaca. Rasio dari emisi gas rumah kaca yang
tidak terkontrol terhadap gross output adalah parameter perlambatan ( σ ) dalam
DICE nilai σ adalah sebesar 0,519 berdasarkan tahun 1965. Sedangkan μ adalah
faktor pengendalian emisi (control rate), yang dalam hal ini adalah parameter
kebijakan. Parameter σ adalah merepleksikan tren emisi ekivalen dari CO2 per
unit dari GDP. Nordhaus membuat asumsi nilai σ menurun diantara 1-1,5% per
tahun karena adanya perbaikan efisiensi energi dan perubahan konsumsi dari BBF
39
yang berasal dari batubara. Untuk masa yang akan datang diasumsi menurun
sebesar 1,25% per tahun.
(10)
M(t) = βE(t) + (1-δM) M(t-1)
dimana β = 0,64 dan δM = 0,0833 per dekade
Persamaan (10) merefleksikan akumulasi dari konsentrasi karbon di atmosfir.
Fraksi dari β menunjukkan persentase dari emisi yang tetap tinggal di atmosfir
dalam jangka pendek dan disebut sebagai rasio marginal atmosphere retention
(dalam periode 10 tahun) dan δM adalah nilai dari transfer reservoirs ke dalam
lautan atau rate removal yang besarnya adalah 0,0833 per dekade. Persamaan (10)
tersebut menjadi M(t) – (1-0,0833)M(t-1) = 0,64E(t).
M(t) adalah perubahan
konsentrasi dari waktu pre-industri.
Emisi
CO2 di
Atmosfir
Long Term Storage
Short Term
Transport
Storage Rate
Atmosfir Retention
Gambar 19. Siklus karbon dari model DICE
Pada gambar 19 dapat dilihat struktur model DICE untuk siklus karbon. Emisi
mengalir ke atmosfir. Porsi yang tetap sebesar 36% langsung disimpan di
permukaan laut atau di biosfir. Dalam jangka panjang (120 tahun) karbon disimpan
di dalam lautan dalam. Hubungan sistem iklim tersebut dapat dilihat pada gambar
20. Persamaan berikutnya adalah hubungan antara akumulasi dari gas rumah kaca
dan perubahan iklim.
(11)
T1(t) = T1 (t-1) + ( 1/R1) { F(t) – λ T1 (t-1) –
( R2/ τ
12)
[ T1 (t-1) – T2(t-1)]}
(11a) T2(t) = T2 (t-1) + ( 1/R2) { ( R2/ τ
12)
[ T1 (t-1) – T2(t-1)]}
T1 adalah suhu pada layer 1 pada periode 1 relatif terhadap periode pra-industri
(layer pada atmosfir dan upper ocean) dan T2 untuk suhu pada bawah laut.
F adalah radiative forcing (relatif terhadap periode pra-industri ). R1 adalah
40
thermal capacity dari perbedaan layer dan τ 2 adalah transfer rate dari upper layer
ke lower layer dan λ adalah parameter feedback. Jika nilai T adalah konstan dalam
jangka panjang, maka dampak dari perubahan dalam radiative forcing adalah
∆T/∆F = 1/λ. DICE menggunakan parameter T 2xCO2 = 1/λ. Nilai T 2xCO2 menurut
US National Academy of Science ( 1991) adalah berkisar antara 1oC dan 5oC.
1/R1 = α 1 , λ = α 2 , R2/ τ 2 = α 3 , 1/ τ 12 = α 4 . DICE menggunakan α 3 = 0,44
dan α 4 = 1/500. Nilai α 1 berkisar antara 0,014 – 0,02
T ( 1960) = 0,2 dan R1 = 41,7 dan T 2 (1960) = 0,10
Climate Feedback
Parameter
Feedback Cooling
<Reference Temp>
Climate Damage Frac
< Radiative Forcing>
B1
Atmos UpperOcean
Temp
Perub Atm UppOCean
Temp
B2
<Skala Kerusakan
Iklim>
Perbedaan Temp
<Kerusakan Iklim
NonLinearity>
Heat Transfer
B3
Deep Ocean Temp
Perub DeepOcean Temp
Gambar 20. Sistem iklim model DICE
(12)
d(t) = 0,0133 [ T(t) / 3 ] 2 Q(t)
atau d(t)/Q(t) = 0,013 [ T(t) / 3 ] 2 = 0,00144 T(t)2
Persamaan (12) menyatakan bahwa kerusakan dari 3oC pada suhu rata-rata adalah
sebesar 1,33% dari Output Global. Berdasarkan studi Nordhaus (1991) bahwa
kerusakan yang terjadi pada suhu 3oC akan berdampak pada pendapatan negara
Amerika sebesar 0,25% dan kemudian dinaikkan menjadi 1% dari total output
nasional Amerika. Dalam model DICE, Nordhaus mengestimasi dampak
kerusakan sebesar 1,33% dari global output untuk semua negara.
41
(13)
TC(t)/GNP(t) = b1 μ (t) b2 = 0,0686 μ(t) 2.887
Laju pengurangan emisi gas rumah kaca adalah sebesar μ, parameter ini disebut
juga faktor pengendalian emisi. TC/GNP adalah total biaya untuk mengatasi emisi
yang merupakan fraksi dari output dunia. 21)
Hubungan antara biaya dan kerusakan dapat dilihat dari persamaan (14). Total
biaya kerusakan akibat emisi (TC) adalah tergantung dari laju pengurangan emisi
yang diinginkan(μ). Parameter b1 dan b2 adalah konstanta yang menentukan fungsi
biaya kerusakan.
(14)
Ω (t) = [ 1 – b1μ(t)b2 ] / [1+ d (t) ]
Persamaan (14) merupakan fraksi akibat kerusakan yang harus dimasukkan
kedalam sistem produksi dunia dengan cara memasukkan koefisien kerusakan Ω
(t). Dalam DICE nilai d (damage) adalah sebesar 0,000144 T(t)2., yaitu didapat
dari 0.0133[ T(t)/3 ]2 . Dimana T(t) adalah perubahan suhu permukaan relatif
setelah pre-industri. Nilai parameter b1 sebesar 0,0686 dan b2 sebesar 2,887,
sehingga fraksi kerusakan menjadi :
(15)
Ω (t) = [ 1 – 0,068μ(t) 2,887 ] / [1+ 0,000144 T (t)2 ]
2.6.3 Discounting
DICE menggunakan nilai ρ(t) sebesar 3.0% per tahun. Nilai ini ditetapkan
berdasarkan tahun dasar pada tahun 1995 dan menurun menjadi 2,3% per tahun
pada tahun 2100 dan 1,8% per tahun pada tahun 2200. Masalah besarnya
discounting yang dipakai terus menjadi perdebatan dikalangan modeller, hal ini
disebabkan oleh ketidakpastian pertumbuhan ekonomi untuk masa yang akan
datang. Nilai ρ sebesar 3% (time preference rate) sebenarnya adalah sosial time
preference rate (STPR). Menurut The Green Book 22) STPR adalah nilai konsumsi
sosial yang ada pada saat ini terhadap nilai konsumsi untuk waktu yang akan
datang.
21)
Menurut Nardhous dalam Resources and Energy Economics 15 (1993), kenaikkan dua kali
emisi CO2 akan berdampak biaya sebesar 1,3% terhadap GDP Amerika dan 1,4% terhadap negara
OECD dan 1,5 terhadap negara yang tidak termasuk pada kedua kelompok tersebut.
22)
Lihat The Green book Annex 6 mengenai discount rate. STRP ( r) memiliki 2 komponen yaitu
r = ρ + μg , dimana ρ adalah discount rate, μ adalah elastisitas dari utilitas marginal yang besarnya 1
dan g adalah pertumbuhan perkapita. Sumber: http://greenbook.treasury.gov.uk/annex06.htm
42
Untuk periode yang melebihi 30 tahun, The Green Book membuat rekomendasi
besarnya nilai STPR seperti pada tabel 9
Tabel 9. Tingkat penurunan nilai discount jangka panjang
Periode tahun
Nilai discount
0- 30
3,50%
31 -75
3,00%
76 - 125
2,50%
126 - 200
2,00%
201 - 300
1,50%
300 +
1%
Cline,Williem (2005), menjelaskan bahwa STRP adalah nilai pure time preference
(ρ) ditambah dengan perkalian dari nilai pertumbuhan pendapatan per kapita (g)
dengan elastisitas dari utilitas marginal (μ). Nilai elastisitas dalam hal ini
menggambarkan pengurangan persentase marginal utilitas untuk setiap satu satuan
mata uang dari konsumsi untuk setiap kenaikan satu persen pendapatan. Sehingga
STRP adalah r = ρ + μg. Menurut Fiddaman,Thomas (1996), μ adalah rate of
inequality aversion, dimana nilai μ yang tinggi akan berimplikasi bahwa generasi
yang miskin akan menerima benefit lebih besar untuk setiap unit tambahan dari
konsumsi dibandingkan dengan generasi yang lebih kaya. DICE menggunakan
nilai μ atau konsumsi marginal utilitas sama dengan 1. Artinya tidak ada
perbedaan nilai untuk generasi sekarang dan generasi akan datang. Pearce,David
et.al (2003) menyarankan untuk menggunakan nilai 1 artinya generasi yang akan
datang akan menerima benefit yang lebih baik dari generasi yang ada sekarang.
Jika menggunakan konsep Ramsey maka jika ρ adalah sebesar 0,5% ( Pearce dan
Ulph, 1999 dalam Pearce,David et.al ) dan pertumbuhan ekonomi tahunan sebesar
2%, maka besarnya discount rate (r) adalah sebesar 0,5 + 1(2%) = 2,5%
Pada gambar 21 dapat dilihat bagaimana pengaruh dari nilai ρ ( pure time
preference rate ) terhadap tingkat kesejahteraan. Jika ρ=0 maka discount factor
menjadi sebesar 1 dan kesejahteraan untuk semua generasi diperlakukan sama. Jika
ρ= 0,01 maka nilai tersebut menjadi separohnya pada periode kira-kira 70 tahun
dan untuk nilai ρ=0,03 maka nilai menjadi separohnya pada periode kira-kira 25
tahun.
43
Gambar 21. Pengaruh discounting untuk beberapa nilai pure time preference
2.6.4 Perubahan Teknologi
Pertumbuhan emisi gas CO2 sangat tergantung dari perubahan faktor
teknologi. Faktor yang memicu adanya perubahan teknologi tersebut adalah
seberapa besar biaya yang harus dikeluarkan untuk mengurangi emisi gas CO2 dan
apakah ada insentif untuk melakukannya. Tanpa peran dari perubahan teknologi
akan sulit untuk mengurangi emisi pada tingkat konsentrasi yang stabil. 23)
Gambar 22. Perubahan suhu pada tahun 2100 untuk perbedaan tingkat stabilisasi
Sumber:
23)
IPCC-2001a yang dimuat dalam Kyoto and Issues and Options in the
global response to climate change. Swedish Environmental Protection
Agency (2002)
Swedish Environmental Protection Agency (2002) ada tiga perbedaan tingkat stabilisasi CO2
dalam koresponden dengan kisar perubahan iklim. Pada level 450 ppm estimasi kisar iklim
meningkat pada tahun 2100 adalah 1,2 sampai 2,4 o C. Pada 550 ppm kisat iklim meningkat 1,6
sampai 2,9oC. Pada 1000 ppm meningkat dari 2,0 sampai 3,5oC
44
Gambar
22 menunjukkan level projeksi keseimbangan jangka panjang yang
berhubungan dengan target stabilisasi. Stabilisasi pada 450 ppm dapat
menyebabkan meningkatnya suhu antara 1,4 sampai 3,4 o C. Stabilisasi emisi pada
1000 ppm dalam jangka panjang dapat meningkatkan suhu antara 3,4 dan 8,9 o C.
Dalam kebanyakan model pertumbuhan ekonomi yang dikembangkan oleh ahli
ekonomi neo-klasik, pertumbuhan teknologi diperlakukan sebagai variabel
eksogen. Model DICE menggunakan asumsi bahwa perubahan teknologi adalah
eksogen atau eksternal terhadap model, oleh karenanya perkembangan teknologi
diasumsi
tidak
dipengaruhi
oleh
harga
energi
ataupun
kebijakan
24)
.
Berdasarkan pengalaman, laju dari perubahan teknologi dipengaruhi oleh harga
energi dan harus dipertimbangkan dalam model dalam hubungan kebijakan . Hal
ini disebut sebagai “Induce Technical Change (ITC)”.
Pajak karbon atau pajak emisi akan menciptakan insentif untuk
meningkatkan pengembangan dan penelitian untuk bahan bakar yang bukan fosil.
Hal ini akan menyebabkan adanya proses inovasi yang dinamis dalam rangka
mengurangi emisi CO2.
Dalam model ekonomi- perubahan iklim, perubahan
teknologi memainkan peran penting karena biaya untuk mencapai tingkat
stabilisasi yang diharapkan akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi atau GDP
suatu negara.
Untuk mencapai tingkat stabilisasi pada 450 ppm pengurangan GDP berkisar dari
1% sampai diatas 4% per tahun, sedangkan untuk mencapai target 550 ppm
pengurangan GDP tahunan berkisar antara 0,2% sampai 1,7%.
Biaya untuk
stabilisasi konsentrasi CO2 dapat dilihat pada gambar 23. Hubungan perubahan
teknologi dapat diukur melalui pendekatan TFP (Total Factor Productivity ).
Perubahan teknologi kearah pengembangan energi substitusi dan pengembangan
penelitian energi dapat menekan laju konsumsi energi dan mengurangi laju emisi.
Hubungan tersebut dapat dilihat melalui persamaan :
Q(t) = Ω(t) A (t) K(t) γ L (t) 1- γ ....( dalam Rp/tahun )
24)
Islam,Sardar (2003). Climate change and economic growth: computational experiments in
adaptive economic modeling. Int.J.Global Environmental Issues,Vol.3.No1. bahwa teori baru telah
dikembangkan untuk mengatasi keterbatasan dari teori pertumbuhan sebelumnya dengan
mempertimbangkan beberapa proposisi ekonomi yang penting seperti variable populasi dan
meningkatnya skala enonomi dalam model pertumbuhan
45
Q adalah output nasional atau GDP, Ω adalah dampak perubahan iklim, A adalah
perubahan teknologi, K adalah capital dan L adalah tenaga kerja.
Gambar 23. Biaya untuk stabilisasi konsentrasi emisi gas CO2
Sumber: IPCC- (2001a) yang dimuat dalam Kyoto and issues and options in the
global response to climate change. Swedish Environmental Protection
Agency (2002)
2.6.5 Investasi Dan Interest Rate
Keputusan investasi terhadap barang-barang konsumsi dan energi sangat
tergantung dari nilai suku bunga (interest rate). Dalam model optimasi yang
bersifat dinamik, investasi ditentukan sehubungan dengan memaksimumkan
tingkat kesejahteraan. Hal ini akan dilakukan jika suku bunga yang ditawarkan
adalah menarik bagi investor. Hubungan antara investasi, tingkat suku bunga dan
output nasional dapat dilihat pada gambar 24
Pure Time Preference
Kapital
Investasi
Sukubunga
Output
Pertumbuhan
Konsumsi
Konsumsi
Gambar 24. Hubungan investasi, sukubunga dan output
46
Sumaila,Ussif dan Walters,Carl (2003) dalam paper yang ditulis mengenai
“Intergenerational
discounting”
menjelaskan
bahwa
persamaan
discount
mengandung dua faktor yaitu nilai discount menurut standar normal, diasumsikan
dipakai untuk semua stakeholder termasuk populasi untuk masa yang akan datang
dan nilai discount untuk generasi yang akan datang yang mencerminkan keinginan
kita untuk menunda benefit yang akan diambil sekarang guna kepentingan
stakeholder untuk masa yang akan datang. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari
perbedaan discount rate yang secara umum disebut interest rate (perlu dicatat
bahwa interest rate tidak sama dengan social discount rate):
d=
1
(1 + r )
dan
d fg =
1
(1 + rfg )
dimana r adalah nilai discount tahunan standar dan r
fg
nilai discount tahunan
untuk generasi yang akan datang dan d = d fg adalah faktor discount.
Pada gambar 25 dapat dilihat bagaimana pengaruh nilai discount jika r fg<r, r fg >r
dan r fg= r
Gambar 25. Present value aliran dana sebesar 1 $ untuk periode 100 tahun
untuk beberapa nilai discount rate.
47
2.6.6 Variabel Dan Parameter Dalam Model DICE
Variabel
Keterangan
(Unit)
P(t)
populasi
(juta)
L(t)
labour input
(pure number)
R(t)
discount factor dari social preference
(pure number)
ρ(t)
discount rate dari social preference
A(t)
faktor produktivitas total (ditentukan oleh unit input dari fungsi produksi)
Variabel
Keterangan
eksogen
(rate per tahun)
(Unit)
endogen
C(t)
konsumsi
( dalam billiun $ )
c(t)
konsumsi per kapita
Q(t)
Output atau GDP
Ω (t)
faktor kerusakan terhadap gross output
K(t)
Kapital stok
E(t)
emisi karbon industri dunia
F(t)
radiative forcing, meningkat melebihi level tahun 1990
M(t)
Mass /konsentrasi CO2 di atmosfir
T(t)
suhu atmosfir, meningkat melebihi level 1900 (relatif terhadap base
( dalam juta $ per orang per tahun )
(billiun $ Berdasarkan tahun 1990 per tahun )
periode/periode dasar)
T* =(T2)
(pure number)
(dalam billiun $)
(GtC/tahun)
(W/m2)
(GtC)
(oC)
suhu dibawah lautan, meningkat melebihi level 1900
(relatif terhadap based periode/periode dasar)
(oC)
d(t)
kerusakan iklim sebagai fraksi dari net output
(pure number)
TC(t)
biaya total untuk mengurangi emisi
Variabel
Keterangan
(dalam billiun $)
(Unit)
Kebijakan
μ(t)
control rate pengurangan emisi
Parameter
α
rate dari inequality aversion ( pure number)
(pure number)
48
b1 dan b2 parameter dari emission-reduction cost function ( exponent dari
pengendalian biaya )
β
rasion dari marjinal atmosfir retention
γ
elastisitas output terhadap kapital (pure number)
ρ
pure rate dari social time preference ( pure number )
σ
rasio dari emisi terhadap output ( billion ton CO2 eqv /triliun dolar )
R1
thermal capacity dari upper layer
R2
thermal capacity dari deep ocean
τ
transfer rate dari upper ke lower reservoir
12
( pure number )
2.6.7 Skenario Kebijakan Model DICE
Kebijakan kebijakan dari model DICE dikelompokkan kedalam empat
katagori umum yaitu : (1) do nothing policy, (2) optimal policy artinya kebijakan
untuk memperlambat laju perubahan iklim global dengan cara memaksimumkan
kesejahteraan dengan kendala konsumsi, populasi dan besarnya laju percepatan
emisi yang akan digunakan (3) Ten-year delay dari optimal policy, yaitu menunda
sampai cukup pengetahuan mengenai dampak emisi gas rumah kaca agar analisis
menganai biaya dan benefit dapat dilakukan dengan akurat. (4) Kebijakan
mengurangi emisi sebesar 20% dari level tahun 1990 (5) Geoengineering yaitu
benefit dari teknologi mitigasi untuk perubahan iklim global, artinya dengan
bantuan teknologi biaya metigasi menjadi lebih murah. Alternatif dari masingmasing skenario tersebut dapat dilihat pada tabel 10
Tabel 10. Alternatif kebijakan dalam model DICE
No
1
2
3
Alternatif kebijakan model DICE
Tidak ada pengendalian (no control), artinya tidak ada kebijakan yang dibuat
dalam mengurangi emisi
Kebijakan optimal (optimal policy), artinya kebijakan untuk mengurangi emisi
dengan tidak mengorbankan tingkat kesejahteraan masyarakat
Kebijakan untuk menunda kebijakan optimal untuk waktu sepuluh tahun
kemudian
4
Kebijakan mengurangi emisi sebesar dua puluh persen dari level tahun 1990
5
Kebijakan geoengineering
49
2.6.8 Model FREE
Untuk melihat hubungan antar sektor dari model DICE , Thomas Fidaman
(1995) mengembangkan model FREE (Feedback-Rich Energy-Economy). Model
FREE dikembangkan dengan menggunakan hubungan ekonomi dan perubahan
iklim dari model DICE tetapi lebih menekankan pada hubungan sistim energiekonomi.
Population
Eksogen input dari
prakiraan ahli.
berhubungan dengan
DICE
Populasi
Energy
Produksi,
Deflesi,
Pajak
Harga dan Teknologi
T.Kerja
permintaan
energi
Welfare
Model utilitas yang
didiskonto
konsumsi
Kerusakan intangible
pengiriman
Policy
Pajak karbon, energi
and deplesi pajak
Produksi BBF
Pengukuran
energi /Harga energi
rate emsisi
CO2 Emission
Dari penggunaan
energi
Economy
GDP/Output, akumulasi
kapital, energi,
penggunaan kapasitas
Kerusakan tangible
Emisi
Konsentr CO2
di Atm
Impacts
Kerusakan pasar dan
bukan pasar
Suhu
Climate
Radiative forcing
surface warming,and
heat transport
Atm
konsentr
Carbon cycle,
Atmospheric
accumulation and
transport of carbon to
acean and biosphere
Gambar 26. Diagram sektor bondari dari model FREE
Hubungan antar sektor dari model DICE akan terlihat dengan jelas melalui model
FREE. Pada gambar 26 dapat dilihat bagaimana hubungan diantara sektor,
kegiatan internal dalam sektor dan hubungan eksternal. Pola perubahan dari model
dapat dilihat melalui umpan balik dari loop pada gambar 27. Ada penguatan proses
akumulasi kapital yang mendorong pertumbuhan ekonomi sebagai akibat dari
variabel eksogen dari populasi dan pertumbuhan faktor produktivitas. Perubahan
iklim akan bertindak sebagai perlambatan yang menahan laju pertumbuhan melalui
loop dampak kerusakan. Kegiatan ekonomi memerlukan energi yang akan
mengakibatkan adanya peningkatan emisi CO2 di atmosfir dan pada gilirannya
akan meningkatkan suhu. Suhu pemanasan global meningkat
dan
akan
50
berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Energi dan ekonomi akan berintegrasi
melalui perubahan dari BBF ke energi lain. Didalam sektor energi, biaya produksi
energi dipicu oleh masa belajar dan deflesi dari sumber energi. Fungsi pajak emisi
akan meningkatkan harga energi dalam hubungannya dengan meningkatnya emisi
CO2 dan konsentrasi diatmosfir. Implikasi kebijakan terhadap kesejahteraan diukur
melalui konsep diskonto kumulatif dari utilitas.
Dalam model FREE, energi
dikenakan pajak deplesi. Deplesi sumber energi atau BBF berhubungan erat
dengan kebijakan iklim, bahkan untuk dekade kedepan berimplikasi lebih serius
terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat dari pada perubahan iklim.
CDU (commulative discounted utility) = ∫ e (-ρt) L(t)U(t) dt
ρ adalah rate of time preference, L adalah populasi dan U adalah utilitas dari
setiap individu. Pada penelitian ini hubungan antar sektor tersebut hanya
diperlihatkan untuk memperjelas gambaran model DICE .
Gambar 27. Proses umpan balik antar sektor dari model FREE
51
Dalam model FREE, sektor energi digambarkan dengan jelas melalui hubungan
produksi energi, deplesi, proses pembelajaran (learning process) dan harga energi.
Besar kecilnya output nasional akan menentukan besar kecilnya permintaan
konsumsi energi. Ada hubungan positip antara besarnya konsumsi dan produksi.
Harga energi akan dipengaruhi oleh produksi energi melalui besarnya deplesi yang
terjadi dan seberapa cepatnya perkembangan teknologi ekstraksi. Hubungan energi
dengan besarnya output nasional tidak dijelaskan secara eksplisit dalam model
DICE. Kapasitas produksi energi dalam DICE diasumsi memiliki kontribusi yang
kecil karena rendahnya kapital dalam produksi energi dan teknologi produksi
energi merupakan variabel eksogen.
2.7
Kebijakan Terhadap Emisi
Membuat peraturan adalah cara yang utama bagi pemerintah untuk
memberikan proteksi terhadap lingkungan. Kebijakan dan instrumen dari kebijakan
selalu berubah sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Salah satu masalah yang sulit
dihadapi oleh pembuat kebijakan adalah memilih kebijakan yang paling efektif
untuk mengatasi masalah lingkungan dan bagaimana kebijakan tersebut sesuai
dengan kemampuan institusi yang ada pada saat ini.
Secara spesifik tujuan
kebijakan lingkungan haruslah efisien (lihat gambar 28 dan 31).
Ada beberapa instrumen yang dapat digunakan oleh pembuat kebijakan
untuk mengurangi ataupun menghilangkan dampak dari eksternalitias yang
ditimbulkan khususnya penggunaan bahan bakar fosil (BBF). Menurut Energy
Resources International,Inc (2005)
26)
ada tiga instrumen yang dapat digunakan
yaitu : (1) voluntary standard yaitu merupakan suatu petunjuk atau standar tetapi
tidak ada paksaan bagi pihak jika tidak menerapkannya, tetapi pihak yang
menerapkan akan mendapatkan benefit jika menerapkannya dan tidak ada finalti
atau denda jika tidak mengimplemantasikanya. Standar ini pada umumnya
memiliki dampak yang terbatas dan kecil. (2) perintah dan pengendalian
( command and control ) adalah merupakan suatu aturan atau standar yang
26) )
Penjelasan lebih terinci dapat dilihat pada Best Practices Guide: Market Approach to
Environmental Protection. Disiapkan oleh Energy Resources International,Inc, Whasington,DC
untuk program pelatihan Energi dan Lingkungan US Agency for International Development (paper
dicetak 2005)
52
memiliki kekuatan hukum untuk mengurangi emisi sesuai dengan level dari emisi
yang disyaratkan. Standar ini sering mensyaratkan untuk menggunakan teknologi
tertentu untuk mengendalikan emisi dan kadang-kadang dibuat sesuai dengan
daerah tertentu. ( site-specific). (3) insentif ekonomi (economic incentives) yang
terdiri dari pajak emisi (emission tax), perdagangan emisi (tradable emission
quotas) atau disebut izin melepaskan pencemar (transferable discharge permit )
dan program refund deposit (deposit-refund program). Pajak emisi adalah
pembayaran atau pajak yang dikenakan untuk tiap unit emisi. Semua pencemar
harus mengendalikan unit biaya marjinal untuk mengurangi emisi ( MAC) sama
dengan besarnya pajak sehingga terjadi distribusi biaya yang efektif dan semua
pencemar akan mencari metode dengan biaya yang terkecil untuk mengurangi
biaya total yang akan memenuhi persyaratan. (lihat gambar 28 dan 29 ). Izin
melepaskan pencemar (TDP) adalah menetapkan jumlah emisi yang diperbolehkan
atau jumlah permit yang akan diperjual belikan dan harganya diserahkan kepada
mekanisme pasar. Dalam pasar permit semua pencemar dapat menjual ataupun
membeli permit yang dimilikinya dengan harga pasar. Harga pasar permit akan
bergerak sampai MAC sama dengan harga permit tersebut (lihat gambar 30).
Berbeda dengan pajak emisi. TDP bekerja atas basis jumlah emisi yang boleh
dikeluarkan sedangkan pajak menggunakan basis harga dari besarnya unit emisi
yang dikeluarkan oleh pemerintah berdasarkan jumlah emisi yang diizinkan. Pihak
pencemar dapat menjaga level emisi dibawah level yang dimilikinya dan dapat
menjual atau menyewakan surplus permitnya ke pencemar lain atau menukarkan
dengan kelompok pencemar dari fasilitas yang sama ( offset ).
Program refund deposit adalah pembayaran tertentu (deposit) yang
dibayarkan dimuka terhadap polusi potensial untuk dikeluarkan atau dibuang dan
pembayaran akan dikembalikan sebagai garansi dari deposit jika polusi tersebut
tidak terjadi. Jenis instrumen ini umumnya tidak dipakai untuk pencemaran emisi
dari BBF.
53
Contoh seperti penggunaan kembali botol dan kaleng yang diterapkan oleh
pemerintah Papua Nugini dan pembuangan sampah di Korea. 27)
Rp
biaya kerusakan marjinal (MD)
Biaya marjinal mengurangi emisi (MAC)
Biaya
T optimal
Jumlah emisi
ζ*
ζo
Gambar 28. Tingkat pencemaran yang efisien
Pada gambar 28 dapat dilihat bahwa jika tidak ada intervensi pemerintah, maka
pencemar akan mengeluarkan emisi sebesar ζo dimana MAC=0.
Rp
MD
MACo
MAC1
Pajak =T
a
d
b
jumlah emisi
c
ζ*
ζo
Gambar 29. Dampak pajak emisi terhadap MAC dan emisi yang dikeluarkan
27)
ESCAP Virtual Conference. “Role of various environment-related measures”. Market-based
Instrument (MBIs). MBI terdiri dari : charges,subsidies, marketable ( or tradable) permits, dan
jenis) lainnya adalah : deposit-refund systems, traditional property right, ecolabelling and ISO
standard. Sumber: http://www.unescap.org/DRPAD/VC/orientation/M5_3.htm
54
Tingkat pencemaran yang efisien terjadi pada titik ζ * dimana MAC = MD. Jika
emisi ζ > ζ * masyarakat harus menanggung biaya lebih mahal atau biaya sosial
yang terjadi lebih mahal sebagai akibat dari kerusakan lingkungan. Sebaliknya jika
ζ < ζ * ada biaya yang besar harus ditanggung oleh masyarakat karena adanya
biaya yang besar dikeluarkan untuk mengurangi emisi. Pada gambar 29 dapat
dilihat bagaimana pajak emisi merubah MAC. Jika pajak dikenakan kepada
pencemar sebesar T maka emisi yang terjadi adalah sebesar ζ* dan MAC = MD.
Kurva MAC akan bergeser dari MACo menjadi MAC1 . Daerah a adalah
pendapatan pajak ( tax revenue) dan c adalah total biaya untuk mengurangi emisi
( abatement cost ). Dengan adanya pajak emisi maka kerusakan dapat dikurangi
sebesar c+d. Karena terjadi pergeseran MAC maka setelah adanya pajak emisi
pendapatan pemerintah adalah sebesar a+b. Pada gambar 30 dapat dilihat
penawaran dan permintaan terhadap TDP. Kurva penawaran yang tegak lurus
ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan jumlah emisi yang diperbolehkan untuk
semua industri atau pencemar. Setiap pencemar akan membeli permit seharga P
sesuai dengan MAC dari pencemar dan kondisi keseimbangan akan menjadi
28)
:
MAC1 = MAC2 = MAC3 =.....MACn = P *
suplai atau penawaran
Rp
P*
( ∑MACn )
permintaan
ζ*
ζo
Æ permit/izin
Gambar 30. Penawaran dan permintaan TDP
28)
Masalah yang dihadapi menggunakan TDP adalah sulit dalam menentukan baseline yang tepat
untuk menentukan besarnya pencemaran. Dapat diaplikasikan dengan beberapa syarat Lihat
Fauzi,Akhmad (2004). Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan.Teori dan Aplikasi , hal 204.
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
55
2.7.1 Instrumen Regulasi (CAC) VS Ekonomi (EI)
Hampir semua negara menggunakan kebijakan regulasi (common and
control) untuk mengatasi masalah lingkungan. Pendekatan ini sering dipandang
lebih memberikan kepastian ( secure), karena adanya larangan. Blackman dan
Harrington (1998) dalam
UNEP publication UNEP/ETB/2003/9 (2004)
menjelaskan bahwa ada tiga faktor kebijakan CAC yang selalu mendominasi
kebijakan ekonomi yaitu: (1) adanya pemimpin pasar (market leader) yang
memiliki pengaruh sangat kuat dalam proses politik, khusunya pada negara
berkembang. Hal yang sama juga terjadi pada negara maju, karena adanya
kedekatan hubungan dengan pihak pemerintah, selain itu masyarakat terbiasa
dengan sistem institusi yang tidak efisien. (2) karena pengandalian dalam
kebijakan CAC tidak terlalu sulit. Contohnya pemerintah hanya memerlukan
konfirmasi apakah alat untuk mengurangi emisi sudah dipasang dari pada
memeriksa jumlah emisi yang dikeluarkan setiap bulannya untuk memenuhi
persyaratan perizinan. (3) kebijakan CAC adalah ”status quo” dan cenderung
untuk mencegah perubahan (inertia prevent change). Hal lain yang diperlukan oleh
CAC adalah pemerintah yang bebas korupsi untuk melakukan tindakan hukum.
Karena kebijakan CAC selalu menentukan nilai batas emisi, maka pencemar bebas
mengeluarkan emisi sejauh emisi tersebut berada dibawah batas yang ditentukan
oleh standar.
Pada kenyataanya EI
adalah instrument kebijakan lingkungan
dengan biaya lebih murah dibandingkan dengan CAC dan ikut menciptakan
inovasi teknologi dalam pengendalian pencemaran lingkungan dan akan
berdampak
positif
dalam
menciptakan
perdagangan
yang
kompetitif.
Menggunakan pajak emisi (EI) akan lebih efisien dibandingkan dengan
menggunakan CAC karena instrument pajak adalah salah satu dari instrument
ekonomi. Instrumen ini bekerja atas dasar mekanisme pasar dan insentif.
Dari uraian sebelumnya telah diuraikan bahwa
menggunakan EI lebih
efektif dari segi biaya karena sifatnya yang akan menyamakan biaya marjinal
untuk mengatasi emisi (equalize marginal abatement ) terhadap semua pencemar
dan memberikan pilihan bagi pencemar untuk memilih. Hal ini bertolak belakang
dengan CAC yang cenderung memaksa setiap pencemar untuk mengeluarkan
investasi yang sama dalam mengatasi pencemaran emisi yang berbeda
56
2.7.2 Pajak Emisi Optimal
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian 2.7 diatas bahwa pada titik ζ *
biaya yang dikeluarkan untuk mengatasi emisi akan sama besarnya (MAD=MAC),
apakah pemerintah akan menggunakan kebijakan pajak (tax instrument) atau
menggunakan standar emisi (command and control). Dari sudut pandang sosial,
maka menggunakan pajak akan lebih efektif karena area ( b+c) yaitu besarnya
pendapatan dari pajak yang diterima akan dapat digunakan oleh pemerintah untuk
masyarakat, sedangkan area d adalah total biaya untuk mengatasi emisi. Pada
gambar 31 dapat dilihat bahwa daerah sebelah kiri dari titk ζ* atau pada ζA
pencemar akan memilih membayar pajak dan membuang emisi, sedangkan
disebelah kanan dari titik ζB biaya membayar pajak lebih besar dari pada biaya
mengurangi emisi (abatement cost). Jadi sepanjang sumbu x disebelah kiri dari ζ*
MAC > Pajak dan pada sebelah kanannya MAC<Pajak.
Rp
MAC
T optimal
a
MAD
e
b
c
ζA
d
ζ*
ζB
Jumlah emisi yang dibuang
Gambar 31. Pajak emisi optimal
Pada gambar 32 dapat dilihat dengan jelas hubungan antara MAC, jumlah emisi
dan pajak. Didaerah sebelah kanan titik ζ * lebih baik membayar pajak dari pada
mengeluarkan biaya abatement.
57
MAC
MAC
T
pajak
ζ*
jumlah emisi
Gambar 32. Kurva MAC terhadap jumlah emisi
Jika pencemar akan mengeluarkan emisi diatas ζ* maka pencemar akan dikenakan
pajak yang jauh lebih besar dari MAC dan opsi bagi pencemar adalah untuk
menghindar membayar pajak karena biaya untuk mengatasi emisi jauh lebih murah
dari pajak. ( MAC < Tax ). Dengan adanya pajak, maka pencemar cenderung untuk
melakukan efisiensi dengan melakukan inovasi teknologi, mencari substitusi energi
ataupun menggunakan teknologi tertentu. Kurva MAC dari pencemar akan
bergeser dari MAC1 ke MAC2 seperti dapat dilihat pada gambar 33
MAC
MAC1
MAC2
T
c
e
a
d
ζ2
b
ζ1
Gambar 33. Perubahan kurva MAC
emisi
58
Bergesernya kurva MAC1 ke MAC2 sebagai akibat dari adanya investasi dari
pencemar akan mendapatkan penghematan sebesar a+c jika besarnya pajak tetap
dipertahankan sebesar T dan total biaya untuk mengatasi emisi adalah sebesar
d+b.
Penghematan sebesar a+c didapat dari perubahan : (Total biaya untuk
mengatasi emisi dengan MAC1) – (Total biaya untuk mengatasi emisi dengan
MAC2 )+ (besarnya pajak karena perubahan dari ζ1 ke ζ2 )= (a+b) – (d+b) + (c+d)
= (a+c).
III. METODA PENELITIAN
3.1
Kerangka Pelaksanaan Penelitian
Model didalam penelitian ini banyak menggunakan variabel yang saling
terkait satu sama lain. Variabel tersebut dapat dikelompokkan menjadi variabel
yang bersifat endogen, eksogen dan variabel kebijakan (policy variable). Kerangka
pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada gambar 34.
Menganalisis Peran Pajak Emisi CO2, Yang Berasal Dari BBF
(Bahan Bakar Fosil )
Tujuan
Indikator
Data
Metodologi
Tool
Menentukan dampak pajak emisi
terhadap pendapatan nasional
dan kesejahteraan masyarakat
termasuk besarnya pajak dalam
kondisi optimal
Menentukan besarnya
pajak emisi/karbon yg
optimal dan pendapatan
serta beberapa variabel
dalam model
Perubahan GDP nasional dan
pendapatan per kapita
masyarakat akibat adanya
pajak emisi
Perubahan besarnya
control rate emisi , GDP
akibat pajak, utiliti per
kapita dan konsumsi BBF
Data historis pemakaian BBF
menurut sektor / tipe BBF yang
dipakai, data GDP, data
populasi, harga BBF
Perhitungan emisi CO2,
data GDP, populasi
,konsusmsi BBF & harga
Pemodelan berdasarkan referensi
DICE, FREE, IPCC dan
ENTICE dan dimodifikasi
untuk kondisi Indonesia
EXCELL, SPSS dan VENSIM
Menentukan
besarnya biaya
karena dampak
emisi/dampak
pada GDP
Tingkat
perubahan GDP
dan utiliti per
kapita
Informasi
variabel model
berdasarkan studi
sebelumnya
Optimasi
Analisis Skenario
dan Sensitivitas
GAMS
GAMS
Gambar 34. Kerangka pelaksanaan penelitian
60
Langkah – langkah dalam melakukan pemodelan seperti pada gambar 35
Review latar belakang teori
Formulasi struktur model
Data verifikasi
Data empirik
Kalibrasi model
Test robustness
Analisis sensitivitas
Hasil akhir
Kesimpulan dan rekomendasi
kebijakan
Gambar 35. Tahapan dalam melakukan pemodelan
3.2
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang akan digunakan didalam penelitian ini diambil dari data
sekunder yang dikeluarkan oleh beberapa institusi atau departemen pemerintah
seperti Biro Pusat Statistik, Departemen Pertambangan dan Energi, Pertamina,
Bank Indonesia dan lembaga riset didalam maupun dari luar negeri seperti PPE-UI,
Energy Information Administration (EIA) dari Departemen Energi Amerika
Serikat , IPCC dan dari laporan penelitian lainnya.
Sumber data untuk perhitungan pajak emisi gas CO2 :
Populasi. Data untuk jumlah populasi Indonesia diambil dari Biro Pusat Statistik
dan sumber lain seperti ADB
61
Produk Domestik Bruto (GDP). Data GDP diambil dari Bank Indonesia, Asian
Development Bank dan BPS, dan trend GDP sampai tahun 2010 diambil dari
Indonesia Energy Outlook & Statistics 2004, Pengkajian Energi Universitas
Indonesia.
Harga bahan bakar. Data mengenai harga bahan bakar untuk produk petroleum,
batubara dan gas diambil dari data yang bersumber dari Direktorat Jenderal
Minyak dan Gas Bumi Departemen Pertambangan, Petroleum Report Indonesia2003 yang dikeluarkan oleh kedutaan besar Amerika di Jakarta dan Pertamina.
Konsumsi bahan bakar. Jumlah konsumsi bahan bakar secara nasional termasuk
batubara diambil dari Petroleum Report Indonesia tahun 2003, Indonesia Energy
Outlook & Statistic 2004 dan dari Direktorat Jenderal MIGAS
Emisi CO2. Data faktor emisi diambil dari IPCC Guideline Manual 1996 untuk
Inventori gas rumah kaca dan UNEP Guideline untuk menghitung emisi gas rumah
kaca tahun 2000. Data mengenai jumlah emisi CO2 akan dihitung berdasarkan
metode dari IPCC dan UNEP Guidance. Data dari perhitungan Indonesia Energy
Outlooks & Statistics 2004 dari PE UI akan dijadikan referensi.
Elastisitas harga bahan bakar. Data elastisitas permintaan akan bahan bakar
terhadap harga bahan bakar itu sendiri diambil dari sumber William D.Nordhaus
dan Joseph Boyer 1999, dimana diasumsi bahwa - 0,7 untuk negara OECD dan –
0,84 untuk negara yang tidak termasuk dalam OECD.
Sebagai pelengkap
elastisitas bahan bakar solar dan bensin dihitung berdasarkan studi Basharat Pitafi.
3.3
Perhitungan Jumlah Dan Tren Emisi Gas CO2
Perhitungan jumlah emsisi gas CO2 menurut IPCC - revisi 1996 adalah
sebagai berikut :
Emisi gas CO2 = Σ konsumsi bahan bakar menurut tipe (TJ) x Faktor emisi karbon
– karbon yang disimpan (stored) x fraction oxidised.
Emisi CO2 dapat juga dihitung berdasarkan referensi dari Thomas,Charles et.al
(UNEP,2000)
29)
dimana emisi dihitung berdasarkan faktor emisi (default value)
untuk masing-masing tipe dari bahan bakar fosil.
29)
Perhitungan praktis dapat dilihat pada buku petunjuk The GHG Indicator : UNEP Guidelines
for Calculating Greenhouse Gas Emission for Business and Non Commercial Organization.
85
Untuk emisi gas CO2 (untuk bukan gas, dalam ton) =
∑ Konsumsi bahan bakar ( dalam liter ) x Faktor emisi (tCO2/Liter)
Untuk emisi gas CO2 (untuk gas, dalam ton) =
∑ Konsumsi bahan bakar (Dalam therm ) x Faktor emisi (tCO2/therm)
Jumlah emisi gas CO2 yang didapat berdasarkan perhitungan diatas dapat dilihat
pada gambar 36 (lampiran 15). Perhitungan dilakukan berdasarkan data konsumsi
BBF menurut sektor yang diolah berdasarkan data dari Indonesia Energy Outlook
& Statistics 2004, PEUI. Persentase pertumbuhan emisi CO2 Indonesia dapat
dilihat pada gambar 37 (lampiran 17). Dengan asumsi laju pertumbuhan GDP
sebesar 4,5-5% pertahun maka pada periode tahun 2004 – 2020 pertumbuhan emisi
Tren Total Emisi CO2 Indonesia Menurut Sektor
( Dari Sumber BBF)
Tahun
20
20
20
17
20
14
20
11
20
08
20
05
20
02
19
99
19
96
19
93
400.000.000
350.000.000
300.000.000
250.000.000
200.000.000
150.000.000
100.000.000
50.000.000
0
19
90
Emisi CO2 (Dalamton)
CO2 berada pada kisar 3-5%
Emisi CO2
Gambar 36. Tren total emisi gas CO2 Indonesia menurut sektor
20
20
20
18
20
16
20
14
20
12
20
10
20
08
20
06
20
04
20
02
20
00
19
98
19
96
19
94
19
92
0,12
0,10
0,08
0,06
0,04
0,02
0,00
0,02
0,04
19
90
Pertumbuhan Emisi CO2 (%)
Pertumbuhan Emisi CO2 Indonesia
Tahun
Emisi CO2
Gambar 37. Persentase pertumbuhan emisi gas CO2 Indonesia
63
Peningkatan emisi gas CO2 untuk setiap sektor dapat dilihat pada gambar 38
(lampiran 16). Emisi gas CO2 yang berasal dari sektor industri dan transportasi
mengalami peningkatan cukup signifikan.
160.000.000
140.000.000
120.000.000
100.000.000
80.000.000
60.000.000
40.000.000
20.000.000
0
19
90
19
92
19
94
19
96
19
98
20
00
20
02
20
04
20
06
20
08
20
10
20
12
20
14
20
16
20
18
20
20
Emisi CO2 ( Dalam ton)
Tren Emisi CO2 Indonesia Menurut Sektor ( Dari Sumber BBF)
Tahun
CO2 Industri
CO2 Transportasi
CO2 Komersial
CO2 Residen
CO2 Listrik
Gambar 38. Emisi gas CO2 menurut sektor
Tren emisi gas CO2 menurut tipe dari BBF dapat dilihat pada gambar 39 (lampiran
18). Emisi gas yang berasal dari bahan bakar minyak merupakan sumber utama
emisi gas CO2 Indonesia dimana saat ini mengalami kenaikannya cukup signifikan
dibandingkan dengan laju kenaikan emisi dari tipe batubara dan natural gas.
20
18
20
16
20
14
20
12
20
10
20
08
Tahun
20
06
20
04
20
02
20
00
20
98
20
96
19
94
19
92
19
19
90
400.000.000
350.000.000
300.000.000
250.000.000
200.000.000
150.000.000
100.000.000
50.000.000
0
19
Emisi CO2 ( Dalam ton)
Tren Emisi CO2- Menurut Tipe ( Dari Sumber BBF)
Emisi CO2-Petroleum Fuel
Emisi CO2-Natural Gas
Emisi CO2-Batubara
Total Emisi CO2 Menurut Tipe BBF
Gambar 39. Tren emisi gas CO2 menurut tipe dari BBF
64
Walaupun pertumbuhan emisi gas CO2 berada pada kisar 3-5%, tetapi kontribusi
emisi terbesar berasal dari bahan bakar minyak sektor industri dan transportasi.
Emisi gas CO2 yang berasal dari sektor tenaga listrik juga mengalami peningkatan,
tetapi secara presentase menunjukkan penurunan. Hal ini karena adanya substitusi
dari bahan bakar batubara ke gas. Persentase perumbuhan emisi gas CO2 sektor
listrik dapat dilihat pada gambar 40 (lampiran 17)
0,20
0,15
0,10
0,05
0,00
-0,05
19
90
19
92
19
94
19
96
19
98
20
00
20
02
20
04
20
06
20
08
20
10
20
12
20
14
20
16
20
18
20
20
Pertumbuhan Emisi CO 2
(%)
Pertumbuhan Emisi CO2 Indonesia Sektor Listrik
-0,10
Emisi CO2
Tahun
Gambar 40. Persentase pertumbuhan emisi gas CO2 sektor listrik
Tren Emisi Gas CO2 menurut estimasi dari Gregg Marland.et.al (2000),Oak Ridge
National Laboratory, University of North Dakota dapat dilihat pada gambar 41
Tahun
20
00
19
98
USA)
19
96
19
94
19
92
19
90
19
88
19
86
19
84
19
82
80.000
70.000
60.000
50.000
40.000
30.000
20.000
10.000
0
19
80
Emisi CO2
(Dalam Metric ton)
Emisi CO2 Indone sia Dari Sumbe r BBF
( Be rdas arkan e stim asi Oak Ridge National Laboratory -
Total Emisi CO2 -BBF
Emisi CO2 BBF - Gas
Emisi CO2 BBF- Cair
Emisi CO2 Padat
Gambar 41. Emisi gas CO2 Indonesia dari sumber BBF
65
3.4
Energi dan Karbon Intensitas
Dari uraian yang telah dijelaskan pada bab 2.3 bahwa tren dari emisi gas
tergantung dari
CO2
beberapa elemen kunci yaitu populasi, GDP/kapita,
Energi/GDP ( energi intensitas ) dan emisi gas CO2/Energi atau disebut intensitas
karbon. Rasio dari elemen kunci tersebut perlu dihitung untuk melihat gambaran
dari pemakaian energi nasional. Rasio dari energi terhadap GDP adalah suatu
indikasi yang merefleksikan karakteristik dari struktur , teknologi dan energi yang
dipakai oleh masyarakat. Makin kecil energi intensitas maka semakin sedikit emisi
gas CO2 yang dihasilkan. Efisiensi didalam penggunaan energi dapat menurunkan
nilai energi intensitas. Rasio CO2 terhadap energi yang disebut sebagai intensitas
karbon adalah pengaruh dari perubahan tipe energi mix yang dikonsumsi dalam
kontek karakteristik karbon. Perlu strategi dari energi mix agar komponen karbon
intensif dapat diganti atau dirubah seperti penggunaan pembangkit dengan
batubara diganti dengan gas alam, energi surya dan tenaga nuklir.
Berdasarkan jumlah populasi, GDP, konsumsi energi dan emisi gas CO2
yang dihasilkan, maka tren dari emisi dan implikasi untuk Indonesia dapat dilihat
pada gambar 42, 43, 44 dan 45. (lampiran 11,12,13 dan 21) Analisis energi
intensitas dan karbon intensitas akan dilakukan pada Bab.IV
5,000
4,000
3,000
2,000
1,000
0,000
19
90
19
92
19
94
19
96
19
98
20
00
20
02
20
04
20
06
20
08
20
10
20
12
20
14
20
16
20
18
20
20
GDP/N (Juta/Penduduk)
Tren GDP/Penduduk Indonesia
Tahun
Gambar 42. Tren GDP/penduduk Indonesia
GDP/Pendudk
66
Tren Intensitas Emisi & CO2/ Kapita -Indonesia
19
90
19
92
19
94
19
96
19
98
20
00
20
02
20
04
20
06
20
08
20
10
20
12
20
14
20
16
20
18
20
20
1,60
1,40
1,20
1,00
0,80
0,60
0,40
0,20
0,00
Tahun
CO2/Kapita
Intensitas Emisi
Gambar 43. Tren intensitas emisi gas CO2 & CO2 per kapita -Indonesia
Tren Intensitas Emisi CO2 Indonesia
1,20
1,00
0,80
0,60
0,40
0,20
19
90
19
92
19
94
19
96
19
98
20
00
20
02
20
04
20
06
20
08
20
10
20
12
20
14
20
16
20
18
20
20
0,00
Tahun
Intensitas Emisi(Karbon)
Intensitas Energi
Fuel Mix
Gambar 44. Tren intensitas emisi gas CO2 -Indonesia
6,00
5,00
4,00
3,00
2,00
1,00
0,00
19
90
19
92
19
94
19
96
19
98
20
00
20
02
20
04
20
06
20
08
20
10
20
12
20
14
20
16
20
18
20
20
Intensitas Konsumsi
(E/Kapita )
Tren Intensitas Konsumsi Indonesia (E/Kapita)
Tahun
Intensitas Konsumsi (BOE)
Intensitas Konsumsi (TOE)
Gambar 45. Tren intensitas konsumsi energi Indonesia
67
3.5
Elastisitas Dan Kalibrasi
Kalibrasi model adalah suatu proses dimana estimasi diperoleh melalui
parameter atau variabel model yang dibandingkan terhadap observasi dari model
sebelumnya atau model yang dijadikan acuan dan prediksi dari model itu sendiri.
3.5.1 Perhitungan Elastisitas
Sebagai informasi tambahan, maka dalam penelitian ini akan dilihat
elastisitas harga bahan bakar terhadap konsumsi dan output nasional. Elastisitas
yang akan dilihat adalah bagaimana respon dari konsumsi bensin dan minyak
diesel terhadap perubahan harga . Analisis akan menggunakan model dari
Pitafi,Basharat.30)
ln TC = α + β1ln CP + β2 ln GDP + β3 ln LTC
GC adalah konsumsi bensin (gasoline) per kapita; DC adalah konsumsi diesel per
kapita; TC adalah GC+DC ; LTC adalah single lagged TC; CP adalah (DC*DP +
GC*GP)/TC ; dimana GP adalah harga premium (gasoline) dan DP adalah harga
minyak diesel dan GDP adalah real GDP per kapita. Perhitungan
dilakukan
dengan menggunakan data konsumsi minyak premium dan solar pada periode
tahun 1990 – 2005. Harga premium dan solar digunakan harga tertinggi tanpa
subsidi. Pada gambar 46 (lampiran 21) dapat dilihat tren elastisitas konsumsi BBF
terhadap GDP untuk periode 1990 - 2020
Elastisitas Konsumsi Energi Terhadap GDP
Elastisitas
2,50
2,00
1,50
1,00
0,50
19
90
19
92
19
94
19
96
19
98
20
00
20
02
20
04
20
06
20
08
20
10
20
12
20
14
20
16
20
18
20
20
0,00
Tahun
Elastisitas GDP
Gambar 46. Elastisitas konsumsi energi terhadap GDP
30)
Hasil studi dapat dilihat paper Pitafi,Basharat . Elasticity of fuel Consumption in Pakistan : An
Econometric Study. University of Hawai. Menyimpulkan bahwa kenaikan harga cenderung untuk
mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan peningkatan penggunaan kendaraan umum/public.
68
3.5.2 Kalibrasi
Kalibrasi dalam model hanya akan dilakukan terhadap variabel total faktor
produktifitas (A). Hal ini disebabkan karena kisar dari nilai faktor A yang didapat
dari beberapa referensi sangat besar. Variabel A adalah variabel eksogen yang
akan mempengaruhi nilai dari variabel yang lain. Dalam model ini nilai A yang
akan dipakai dalam persamaan akan dicari melalui kalibrasi. Parameter lain
didalam persamaan yang digunakan dalam penelitian ini tidak dilakukan kalibrasi
karena diambil dari model DICE . Model DICE telah dikalibrasi terhadap tiga
model climate yaitu Schneider-Thomson untuk feedback parameter, model
Stouffer,Manabe dan Bryan untuk atmospheric-ocean model dan model
atmospheric & six-layer ocean dari Schlesinger dan Jiang (lampiran 31).
Parameter tersebut dapat dilihat pada tabel 11. Nilai α1 atau coefficient inertia
sebenarnya merupakan nilai T2xCO2 sebesar 2 dan dari model yang ada berkisar
antara 1 dan 2
Tabel 11. Parameter model DICE
Notasi
Deskripsi
λ = α2
α1 = 1/R1
1/τ12 = α4
α3= R2/τ12
A
3.6
Feedback parameter
Parameter inersia dengan one and two-equation model
Coefficient
Coefficient
Faktor produktivitas total
Nilai
1,41
0,02
0,002
0,44
0,5 - 3,1
Deskripsi Model
Model DICE and FREE adalah model pada tingkat agregat (Aggregation
level ) yang bersifat top-down dimana model menjelaskan mengenai hubungan
kuantitas-harga dan umpan balik terhadap kondisi ekonomi pada tingkat nasional
maupun global. Model top-down pada umumnya berangkat dari persamaan fungsi
produksi untuk setiap sektor ekonomi. Fokus dari pendekatan model adalah
melihat hubungan dan interaksi antara pasar dan sektor ekonomi. Sedangkan model
bottom-up melihat bagaimana suatu kebijakan penggunaan energi dengan
menggunakan perubahan teknologi pada tingkat terinci seperti penggunaan studi
69
enjinering untuk mengurangi biaya energi. Penelitian ini akan menggunakan
pendekatan top-down karena bertitik tolak dari model DICE.
31)
Hubungan antar
sektor dari model dapat dilihat pada gambar 47.
Populasi
Energi
Populasi
Kebijakan
+ Harga energi
Walfare
Ekonomi
+
-
Konsumsi energi
Utiliti +
-
+ Kapital
+
- GDP +
Dampak
kerusakan
Iklim
+
+
Emisi CO2 dari
BBF
+
Emisi
Siklus Karbon
Suhu
-
Kerusakan Iklim
Pajak emisi CO2 +
+
+ Pemindahan
Panas
CO2 di atmos +
+ Deep ocean
Gambar 47. Hubungan antar sektor dari model
Persamaan model dari DICE akan dipakai dalam menentukan pajak emisi optimal
melalui beberapa perubahan yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia.. Dalam
gambar 47 menunjukkan bahwa akumulasi kapital akan mendorong pertumbuhan
ekonomi atau GDP, hal ini akan ditentukan oleh variabel eksogen yaitu
pertumbuhan populasi dan produktivitas. Kegiatan ekonomi memerlukan energi
yang akan
menimbulkan dampak terhadap timbulnya emisi gas CO2.
Meningkatnya emisi akan berkontribusi dalam kerusakan iklim global. Dampak
akan dirasakan secara tidak langsung seperti meningkatnya permukaan laut dan
31) )
McFarland,J.R et.al (2004).Representing energy technology in top-down economic models
using bottom-up information.Energy Economic 26. Menyatakan bahwa faktor paling kritis terhadap
emisi sebagai akibat tindakan manusia untuk masa yang akan datang adalah laju (rate) dan
besarnya perubahan teknologi terhadap pengurangan emisi. Ada dua pendekatan model untuk
melihat interaksi antara energi, ekonomi dan system lingkungan dan teknologi yaitu top-down dan
bottom –up.
85
adanya perubahan iklim yang akan berdampak pada sektor pertanian. Dampak
kerusakan ini akan mengurangi pertumbuhan ekonomi karena adanya pengeluaran
sektor pendapatan nasional yang pada akhirnya akan mengurangi tingkat
kesejahteraan masyarakat. Dalam sektor energi akan terjadi peningkatan produksi
energi sebagai akibat dari meningkatnya konsumsi pada sektor ekonomi.
Eksploitasi dan explorasi sumber daya energi akan mengakibatkan terjadinya
deplesi sumberdaya energi yang akan meningkatkan harga energi.
Pajak emisi gas CO2 akan mengakibatkan naiknya harga energi dan akan
berintegrasi dengan laju eksploitasi dan explorasi sumber daya energi yang
menyebabkan terjadinya deplesi sumberdaya energi dan akhirnya meningkatkan
harga energi. Dalam model pajak karbon dapat dikenakan pada energi primer,
energi sekunder ataupun pada energi akhir. Model DICE mengenakan pajak pada
energi primer, hal ini disebabkan karena model menggunakan data makro yang
bersifat global ataupun regional, bukan pada skala nasional.
Dalam analisis ini pajak emisi gas CO2 akan dibebankan pada sisi produsen
(supply) dan konsumen (demand) namun perhitungan dilakukan berdasarakan pada
data dari energi primer dan sekunder, artinya akan dikenakan pada energi final dan
demand. Hal ini dilakukan agar sisi supply dan demand mendapatkan insentif yang
sama. Pajak optimal akan didapat berdasarkan biaya marjinal yang minimum
dalam satuan unit rupiah per satuan unit berat emisi. Proses ini dapat dilihat pada
bondari dari sistem energi pada gambar 48 dan gambar 49.
Pajak
Suplai
Energi
Primer
Konversi
Pengolahan
Secondary
Gasoline
Distribusi
Truk
Final
Gasoline
Pemakai akhir
Penggunaan
Pelayanan
Kendaraan
Kinetik
Penumpang-km
Demand
Gambar 48.
Bonderi sistem energi
Pem Listrik
Listrik
Kabel
Listrik
peralatan
Panas
cahaya
71
Resources
Energi Primer
Energi Sekunder
Batubara
Batubara
Batubara
Batubara
Industri
Fuel oil
Fuel oil
Transportasi
Minyak mental
(Crude oil)
Minyak
mentah
light oil
Light oil
Residen
(rumah tangga)
Gas
Gas
Gas
Gas
Energi Final
Pajak emisi gas CO2
Gambar 49.
Demand
Listrik
Pajak emisi gas CO2
Sistem referensi energi
3.6.1 Horizon Waktu
Beberapa model dari ekonomi–climate change (Fiddaman,Thomas 1997)
memiliki horison waktu yang sangat panjang 1960 – 2100, untuk keperluan
optimasi ada yang membuat target sampai dengan tahun 2300. Model DICE dan
FREE memiliki horison waktu sampai tahun 2100. Dalam penelitian ini horison
waktu akan digunakan hanya selama 30 tahun kedepan atau mulai dari 1990
sampai 2019. Dengan tidak mengubah variabel dalam persamaan model, maka
program dapat dilakukan untuk horizon waktu lebih dari 30 tahun dengan
menggunakan program dari GAMS.
3.6.2 Kesejahteraan (Walfare)
Pengukuran kesejahteraan masyarakat ( walfare) dihitung berdasarkan
kumulatif utility yang di discount dengan menggunakan social discount rate
( Cummulative discounted utility), dalam hal ini utilitas diwakili oleh besarnya
populasi dan discount factor untuk pure time preference.
CDU =
∫e
(-ρ t)
L(t) U(t) dt
Dimana CDU adalah kumulatif utility yang di-discounted, ρ adalah rate of time
preference, L adalah populasi dan U adalah utilitas yang diwakili oleh pendapatan
72
per kapita. Generasi yang memiliki jumlah populasi yang besar akan menerima
nilai bobot perhitungan yang lebih besar untuk kesejahteraan.
Jika nilai time preference adalah positip, maka utilitas untuk generasi yang
akan datang akan menerima bobot perhitungan (diminishing weight) dari
kesejahteraan kumulatif sesuai dengan periode waktu. Tujuan model adalah untuk
memaksimumkan kesejahteraan masyarakat yang dinyatakan dengan :
T
W = ∑ U [ cj (t),L(t) ] R(t)
t
t
Dimana R(t) adalah faktor discount (discount factor) : t ∏ [ 1 + ρ (v)
] -t
,
v =0
dimana ρ adalah rate dari preferensi social ( pure rate of social preference ).
U[ c(t) = L(t) {log [c(t) ] }
3.6.3 Discount Rate and Pure Rate of Social Preference
Dalam analisis nilai discount yang akan dipakai adalah :
d fg =
1
(1 + rfg )
dimana rfg = r adalah discount rate untuk generasi yang akan datang, yang
dihitung berdasarkan
persamaan
r = ρ + μg.
ρ adalah pure rate of time
preference sebesar 2% untuk periode 0-30 tahun, μ adalah elasticity of marginal
utility of consumption atau social aversion to inequality yaitu perubahan dalam
kesejahteraan yang disebabkan oleh persentase dari perubahan konsumsi
( pendapatan). g adalah pertumbuhan konsumsi per kapita. Dalam analisa ini nilai
μ diasumsikan 1 dan pertumbuhan konsumsi per kapita adalah antara 1,5 - 3 % .
Jika discount rate untuk periode 30 tahun adalah sebesar 3,5%, maka faktor
discount
untuk 30 tahun adalah
dfg =
1/(1,035)30 = 0,3562 artinya ada
kemungkinan akan terjadi keuntungan (gain) atau kerugian (loss) 30 tahun dari saat
ini sebesar 35,62% dari nilai yang ada pada saat ini. Jika discount rate ditetapkan
sebesar 0, maka dfg adalah 1, berarti setiap orang memiliki nilai sama “sekarang”
dan “masa yang akan datang.” 32) Pure rate of social preference akan menentukan
32)
Dalam DICE -99 nilai r atau rfg diasumsi menurun sesuai dengan periode waktu. 3% dalam
tahun 1995 dan menurun menjadi 2,3% pada tahun 2100 dan menjadi 1,8% pada tahun 2200.
73
besarnya discount rate, sedangkan besarnya discount rate sangat sensitif terhadap
model. Pada table 12 dapat dilihat pengaruh dari social preference rate terhadap
factor discount dan nilai yang akan datang.
Tabel 12. Hubungan strp, dfg dan nilai yang akan datang
ρ ( STPR)
0%
1%
1,5%
2%
3%
4,5%
μ
1
1
1
1
1
1
g
1,5
1,5
1,5
1,5
1,5
1,5
rfg=r
1,5%
2,5%
3,0%
3,5%
4,5%
6,0%
dfg 30 thn
Nilai Rp 100 untuk
Nilai Rp 100 untuk
pada saat ini
pada saat ini
Rp 64
Rp 48
Rp 41
Rp 36
Rp 27
Rp 17
Rp 22
Rp 8
Rp 5
Rp 3
Rp 1
Rp 0,3
dfg 100 thn periode 30 thn kedepan periode 100 thn kedepan
0,6397
0,4767
0,4119
0,3562
0,2670
0,1741
0,2256
0,0846
0,0520
0,0320
0,0122
0,0029
Model DICE menggunakan nilai ρ sebesar 0,1; 1,5 dan 3,0 sebagai default value
dan pertumbuhan sebesar 3%. Pertumbuhan GDP dan GDP per kapita Indonesia
menurut Bank Dunia seperti dalam table 13
Tabel 13. Nilai g untuk Indonesia
Pertumbuhan rata-rata tahunan
1984 - 1994
GDP
GDP per kapita
7,30%
5,50%
1994 - 2004
2,00%
0,70%
Discount rate yang disarankan oleh OXERA adalah seperti dalam table 14 33)
Tabel 14. Discount rate yang disarankan
Periode waktu (time horizon)
0
- 30
31 - 75
76 - 125
126 - 200
2001 - 300
Discount rate
3,50%
3,00%
2,50%
2,00%
1,50%
Besarnya nilai discount rate yang akan dipakai dalam analisis seperti dalam table
15 dengan g sebesar 2% dan 0,7%.
33)
Untuk lebih rinci mengenai pengertian STRP, lihat OXERA( 17 th December 2002). A Social
Time Preference Rate For Use in-Long Term Discounting.
74
Tabel 15. Discount rate yang akan dipakai dalam analisis
Untuk g = 2%
r = rfg
3,0%
4,0%
6.0%
ρ
1
2
4
Untuk g = 0,7%
μ.(g)
1(2)
1(2)
1(2)
r = rfg
0,7
2,2
3,7
ρ
0
1,5
3
μ.(g)
1(0,7)
1(0,7)
1(0,7)
Dengan menggunakan persamaan r = ρ + μg. Maka besarnya r yang akan dipakai
untuk tiga skenario dengan g=2% adalah 3%; 4,0% dan 6,0% dan untuk nilai
g=0,7% nilai r adalah 0,7% ; 2,2 % dan 3,7% . Dalam hal ini r adalah social
discount rate.
3.6.4 Populasi
Populasi dalam model adalah variabel eksogen. Populasi dianggap sebagai
stok yang bertumbuh sepanjang waktu. Pertumbuhan populasi dalam model DICE
adalah perumbuhan populasi global. Nordhaus menggunakan asumsi pertumbuhan
akan mengalami perlambatan dan mencapai stabilitas pada jumlah penduduk dunia
sebesar 10,5 milyar pada abad ke 22. Pertumbuhan populasi dalam DICE dihitung
berdasarkan persamaan:
g pop (t) = g pop (t-1)(1- δpop) dan δ pop = 0,195 atau 20% per dekade
Analisis akan menggunakan pertumbuhan populasi Indonesia antara 1,2 – 1,4 %
per tahun untuk 30 tahun kedepan.
Dalam analisis nilai perlambatan (rate
declining ) untuk 30 tahun kedepan diasumsi sebesar 0,012 per dekade.
3.6.5 Perubahan Teknologi
Johnatan Kohler.et al.(2006) menjelaskan bahwa ada dua alasan mengapa
teknologi merupakan faktor penting dalam analisa perubahan iklim: (1) karena
aplikasi teknologi telah menyebabkan kontribusi antropogenik terhadap perubahan
iklim. Batubara dan minyak adalah bagian dari proses transformasi dari ekonomi
dan sosial (2) perubahan masyarakat yang menggunakan karbon rendah
memerlukan pengembangan yang menyeluruh dan perlu teknologi baru yang
bersifat masal.34)
34)
Coe dan Helpman 1995 dalam Jonathan Kohler,at.al (2006) menemukan pengaruh yang besar
dari hasil riset luar negeri terhadap TFP domestic untuk USA. Sedangkan Eaton dan Kortum
(1994) menemukan bahwa separoh dari pertumbuhan produktivitas USA tergantung dari
improvement technology dari luar Amerika.
75
Kemajuan teknologi secara keseluruhan berasal dari perubahan faktor
produktifitas total (TFP) atau dengan notasi A. Efektivitas dari penggunaan energi
( David Popp, 2006) diukur dari kemampuan produktifitas dari tiga input energi
yang mungkin: BBF, backstop technology dan pengetahuan terhadap efisiensi
energi. Dalam model DICE teknologi merupakan variabel eksogen. Dalam model
ENTICE ( Endogenous Technological Change), faktor teknologi merupakan
variabel endogen yang berubah sebagai akibat dari perubahan riset.
Dalam penelitian ini perubahan teknologi dianggap merupakan variabel
eksogen yang diambil dari model DICE.
Q(t) = Ω(t) A (t) K(t) γ L (t) 1- γ ....( dalam Rp/tahun )
Satu perbedaan yang mendasar dalam pendekatan yang dipakai oleh Nordhaus,
Buananno, et al
adalah asumsi mengenai biaya kesempatan yang potensial
( potential opportunity costs ) dari riset, diamana Nordhaus ber-asumsi bahwa
biaya yang dikeluarakan untuk riset dalam ekonomi berjumlah tetap.35)
Q adalah output nasional atau GDP, Ω adalah dampak perubahan iklim, A
adalah perubahan teknologi, K adalah kapital dan L adalah tenaga kerja. Variabel
A tidak lain adalah merupakan total faktor produktivitas (TFP).
Untuk Indonesia TFP dapat dilihat pada table 16. Sebenarnya TFP bertumbuh
sesuai dengan kemajuan teknologi dengan nilai pertumbuhan pada periode t adalah
gA (t) = gA (t-1)(1-δA), dimana δA adalah nilai penurunan (declining) dan
nilai δA = 0,11 untuk setiap sepuluh tahun (per dekade).
DICE menggunakan pertumbuhan sebesar 1,3% per tahun untuk periode 19601989. Karena analisis hanya akan menggunakan periode waktu selama 30 tahun
kedepan, maka nilai penurunan diasumsi adalah sebesar 0,1% per dekade. Artinya
terjadi penurunan faktor produksi untuk periode 30 tahun kedepan sebesar 0,01 %
per tahun.
35)
Lihat Popp, David ( 2003). Endogenous Technological Change in The DICE Model of Global
Warming” Working paper 9762. National Bureau of Economic Research. Halaman 8.
76
Tabel 16. Estimasi pertumbuhan TFP Indonesia
Penulis
Ikemoto ( 1986 )
World Bank ( 1993)
Young ( 1994 )
Marti ( 1996 )
Collins dan Bosworth (1997)
Periode
1970-1980
1970-1975
1975-1980
1960-1989
1960-1990
1970-1985
1970-1985
1970-1990
1960-1994
1960-1973
1973-1994
1973-1984
Pertumbuhan
Annual TPF (%)
2,4
3,1
1,8
1,6
1,2 ; -0,8
1,2
0,8
-0,5
0,8
1,1
0,7
0,5
% Pertumbuhan
Output
31,5
39
24,3
-9,6
23,5
44
17,5
11,6
Sumber : Felipe,Jesus (1997). Total factor productivity growth in East Asia : A critical
survey. EDRC report series No 65. dan Sigit,Hananto. Total factor
productivity growth: Survey Report,Part II-National Report Indonesia.
Diterbitkan oleh Asian Productivity Organization (2002)
Berdasarkan studi Ikemoto, untuk periode 1970-1980 persentasi pertumbuhan
output Indonesia adalah sebesar 3,1% dan menurut Collins dan Bosworth untuk
periode 1984-1994 pertumbuhan adalah sebesar 0,9%. Kontribusi (share) dari
tenaga kerja nasional terhadap pendapatan nasional adalah 1-γ, dimana model
DICE menggunakan nilai sebesar 0,75 untuk negara industri. γ adalah elastisitas
output terhadap capital, dalam model DICE diasumsi konstan terhadap kapital dan
tenaga kerja. Berdasarkan nilai A dari table 16, maka TFP bertumbuh sekitar
positif 0.5 – 3,1 dan 0 – negative 0.5.
77
Karena kisar yang begitu besar dari nilai A, maka dalam model ini akan dilakukan
proses kalibrasi agar pendapatan yang ditentukan dari persamaan Cobb-Douglass
memiliki tingkat kesalahan yang tidak begitu besar.
3.6.6 Investasi dan Interest Rate
Investasi adalah bagian penting dari pertumbuhan ekonomi. Dalam
perspektif makro ekonomi jangka panjang, investasi akan meningkatkan kapital
stok dan setiap peningkatan kapital stok akan meningkatkan kemampuan produksi
dari masyarakat dan pada akhirnya akan mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Interest rate akan mengubah besarnya kapital dan akan dipengaruhi oleh
depresiasi, dalam hal ini adalah sebesar 10%. Biaya untuk melakukan abatement
akan mengurangi GDP sehingga diperlukan tambahan investasi untuk menuju
keseimbangan. Masukan kapital akan mempengaruhi pendapatan (GDP) dan biaya
capital ( r + δ ). Investasi terjadi pada rate yang sesuai untuk menggantikan
depresiasi. K(t) = γ Q(t-1) / (r + δ) dan I(t) = K(t) – K(t-1) + δK(t-1) atau K(t)
= (1-δk)K (t-1) + I (t-1). Dimana Q adalah output, K adalah kapital, I adalah
investasi, δ adalah rate depresiasi, γ adalah elastis output terhadap kapital ( capital
share) dan r adalah interest rate. Interest rate dalam loop gambar 50 adalah social
discount rate for future generation (rfg) seperti yang diuraikan pada 3.6.3.
Ada perbedaan antara market interest rate dengan social interest rate.
Dalam model climate change tingkat interest rate yang akan dipakai tidak
ditentukan berdasarkan market interest rate. Jika hal ini dilakukan, maka untuk
Indonesia pada saat ini berkisar anatar 12- 15 %, dan akan berimplikasi pada
kebijakan.yang akan diambil.
Pure time preference
+
+
- Investasi
Interest rate
+
Kapital
+
+
Output
Konsumsi growth rate
+
-
+
Konsumsi
Gambar 50. Hubungan investasi dan interest rate
78
3.6.7 Emisi Gas CO2
Besar kecilnya laju pengurangan emisi (μ) akan mempengaruhi pendapatan
nasional (GDP). Dalam model DICE hubungan tersebut digambarkan melalui
persamaan :
E(t) = [ 1 – μ(t) ] σ(t) Q(t)
σ(t)= (1+gσ) σ(t-1)
Rasio emisi terhadap output adalah pertumbuhan dari rasio emisi terhadap output
gσ(t) = gσ(t-1)(1-δσ)
Dalam analisa model gσ(1990) adalah - 0,1168 per dekade yang diambil dari angka
model DICE 1993. Parameter μ dalam model akan dijadikan sebagai variabel
kebijakan. Tren emisi per unit dari output nasional direflesikan dengan (σ). Dalam
perhitungan analisa disebut intensitas emisi (intensitas karbon) dari CO2 (yaitu
rasio CO2 terhadap GDP). Besarnya nilai intensitas tergantung dari intensitas
energi (Energi/GDP) dan fuel mix (CO2/Energi). Intensitas emisi tersebut didapat
dari rumus CO2/GDP =
Energi/GDP x CO2/Energi
Inte nsitas Emisi - Indone sia
Intensitas Emisi
0,50
0,40
0,30
0,20
0,10
Tahun
20
20
20
17
20
14
20
11
20
08
20
05
20
02
19
99
19
96
19
93
19
90
0,00
CO2/GDP
Gambar 51. Intensitas emisi Indonesia
3.6.8 Dampak Kerusakan
Menentukan besarnya tingkat kerusakan yang disebabkan oleh perubahan
iklim masih menjadi bahan perdebatan dan spekulasi diantara modeller ( Kevin
Rober Gurney 2003). Masalah yang timbul adalah sulitnya menempatkan nilai
moneter (Monetary Value) pada dampak berdasarkan nilai pasar dan ketidakpastian
mengenai aspek dari kondisi alam dalam merespon perubahan iklim. William D
Nordhaus(1992), membuat estimasi kerusakan ekonomi untuk Amerika Serikat
pada tahun 1992 sebagai akibat meningkatkan suhu global sebesar 3oC adalah
sebesar 0,25% dari pendapatan nasional ( USD 15 milyar atau setara dengan
79
Rp 25,5 triliun ). Karena ada beberapa area yang tidak termasuk dalam studi dari
Nordhaus, maka dilakukan penyesuaian sebesar 1% dari total pendapatan. Cline,
1992 mengestimasi besarnya kerusakan untuk Amerika Serikat sebesar 1,3% dari
total pendapatan nasional. William R.Cline (World Bank) mengetimasi kerusakan
akibat ΔT 2.5oC adalah sebesar 0,25% GDP untuk negara maju dan 0.50% GDP
untuk negara miskin. Persen kerusakan hanya dihitung untuk ”market damage”.
Sedangkan untuk non market damage adalah 2% GDP untuk negara maju dan 1%
GDP untuk negara miskin.
Hubungan antara kenaikan suhu dan hilangnya pendapatan akibat
perubahan iklim dalam model DICE ditentukan melalui persamaan :
d(t) = 0,0133 [ ∆T(t)/3 ] 2
d(t) = 0,0133/9 T(t)2. Q(t), sehingga :d(t)/(Qt) = 0,00144 T(t)2
36)
dimana d(t) adalah fractional loss terhadap output dan ∆T adalah kenaikan dalam
rata-rata suhu global. Jika dibandingkan dengan estimasi kerusakan yang dilakukan
oleh IPCC untuk skenario meningkatnya 2xCO2 adalah sebagai berikut :
Tabel 17. Persen kerusakan terhadap GDP
Peneliti
Cline
Fankhauser
Nordhaus
Titus
Tol
Suhu (o C)
2,5
2,5
3
4
2,5
Kerusakan (% GDP)
1,1
1,3
1
2,5
1,5
Sumber : Tim Roughgarden dan Stephen H.Scheider (1999) diterbitkan oleh
Elsevier. Energy policy 27. „Climate change policy: quantifying
uncertainteis for damages and optimal carbon taxes“
36)
Roughgarden dan Schneider (1999) berdasarkan studi dari empat model
(Titus,Cline,Frankhauser dan Tol ) membuat modifikasi persamaan untuk total damage untuk
2xCO2 : Dt = a[ ∆Tt/w ] 2, Dt adalah fungsi kerusakan dalam satuan moneter sebagai fraksi GDP
GLobal, a adalah fraksi dari GDP yang hilang, ∆T adalah perubahan suhu permukaan bumi.
80
Dengan kenaikan suhu rata-rata global sebesar 3oC, model DICE (1992)
memperkirakan persen kerusakan akibat perubahan iklim adalah sebesar 1,33%
GDP dan untuk negara OECD sebesar 1,4% terhadap GDP dan 1,5% terhadap
GDP untuk negara–negara yang tidak termasuk kedalam Negara OECD.
Fungsi kerusakan ( damage function) menurut Frank Ackerman dan Ian Finlayson
(October,2005) adalah :
D = - 0,0045 T + 0,0035 T2
dimana D adalah kerusakan global akibat adanya pemanasan global berdasarkan
nilai moneter 1995 dan
T adalah suhu rata-rata dalam derajat Celcius 1990.
Menurut Ackerman dan Ian Finlayson pada saat ini nilai T sudah berada pada 0,4
derajat Celcius (pada tahun 1995). Fungsi linier negatip berarti kerusakan dapat
menjadi negative, apabila T berkisar antara 0 dan 1,3 derajat Celcius. Dengan
menghilangkan spekulasi terhadap koefisien dari – 0,0045 dan diganti dengan 0
maka fungsi kerusakan menjadi :
D = 0,0035 T2
ada implikasi kerusakan
memiliki hubungan positip dan meningkat secara proposional terhadap T.
Dalam penelitian ini persamaan kerusakan yang akan digunakan dalam model
adalah : D = 0,0035 T2.
37)
3.6.9 Faktor Pengurang
Dalam model DICE adanya perubahan iklim akan berdampak pada
berkurangnya output nasional (GDP). Besarnya pengurangan tersebut tergantung
dari asumsi faktor pengurang (fractional reduction) yang pada dasarnya adalah
tergantung pada besarnya biaya untuk melakukan pengurangan emisi dan biaya
yang timbul sebagai akibat dari adanya perubahan iklim tersebut ( Ω ).
Nilai Ω dalam model DICE 1992 didapat sebagai berikut :
= (1 – Biaya pengurangan emisi) / (1 + Biaya kerusakan akibat iklim)
Dimana besarnya pengurangan emisi ditentukan oleh besarnya laju pengurangan
emisi (μ).
Ω = (1-0,0686μ(t) 2,887 )/(1+ D(t) )
Ω = 1- TC(t)-D(t)
37)
Dengan menggunakan fungsi kerusakan D= 0,0035T2 dengan T diasumsi sebesar 2,5o C, maka
kerusakan yang terjadi adalah sebesar 0,9 atau sekitar1% GDP. Dengan T yang sama, maka
persamaan DICE akan menghasilkan kerusakan dengan jumlah yang sama dengan model yang
dibuat oleh Frank Ackerman dan Ian Finlayson.
81
Dalam model DICE/RICE -99, nilai Ω didapat berdasarkan persamaan :
Ω = 1/[ 1 + D(t)] dimana D(t) = θ1 T(t) + θ2 T(t)2
Dalam penelitian ini besar nilai D ditentukan dari persamaan
D = 0,0035 T2.
Biaya total (TC) untuk mengurangi emisi gas CO2 merupakan fraksi dari GDP
yang dinyatakan sebagai :
b1 μ(t)
b2
atau 0,0686μ(t)2,887
, dimana D adalah
kerusakan yang disebabkan oleh pemanasan global dalam satuan mata uang . Pada
tahun 1995 suhu rata-rata berkisar sekitar 0,6oC. Jika asumsi 30 tahun kedepan
suhu permukaan naik sebesar 2oC , maka fraksi kerusakan akan menjadi sebesar
0,014, artinya terjadi pengurangan output sebesar 1,4% akibat perubahan suhu
sebesar 2oC. Jika 30 tahun kedepan (Tahun 2020) nilai kenaikan suhu permukaan
bumi diperkirakan sebesar 2,5oC, maka besarnya nilai fraksi dari kerusakan
terhadap GDP adalah sebesar 2,1% dari GDP.
Nilai
: b1 μ(t) b2
sebenarnya adalah biaya untuk mengurangi emisi (abatement
cost ) yang besarnya adalah :
cost(t) = b1 μ(t) b2 * GDP(t), μ(t) Є[ 0,1].
3.6.10 Siklus Karbon (Konsentrasi Emisi CO2)
Model DICE
memiliki asumsi bahwa akumulasi emisi gas CO2 dan
transportasinya digambarkan sebagai suatu sistem. Menurut Cedric Bertrand dan
Jean Pascal (1999) hubungan sistem tersebut dapat dilihat dalam persamaan :
Ca(t) = 590 + β.E(t-1)+(1-γm).(Ca(t-1)-590))
M(t) = 590 + βE (t-1) + (1-δm)[M(t-1) -590] 38)
Dimana Ca adalah konsentrasi emisi gas CO2 di atmosfir pada periode t, nilai β
adalah 0,64 yang merupakan marginal atmosphere retention ratio dari gas rumah
kaca, E adalah emisi CO2 dalam periode t , γm adalah laju transfer dari atmosfir ke
dalam
lautan (deep ocean) yang nilainya sebesar 0,0833 per dekade simbol ini
sama dengan δm dan 590 adalah konsentrasi atmosfir pre-industrial dalam GtC.
Dalam DICE (1992) persamaan tersebut dinyatakan sebagai :
38)
Klaus Keller et.al Dalam ”Preserving the Ocean Circulation:Implications for Climate Policy”
menjelaskan bahwa rumus tersebut didapat karena portion dari δm yang ada diatmosfir akan
mengalami penumpukan melebihi preindustri stok 590 Gt dan dan kemudian CO2 ditransfer ke
lautan dalam. Sebagai akibatnya stok diatmosfir akan mengalami perubahan .
82
M(t) = βE(t) + (1-δm)M(t-1)
M(t) -0,9167M(t-1) = 0,64E(t)
Dimana M adalah konsentrasi gas CO2 di atmosfir dalam milyar ton karbon. Dalam
penelitian ini persamaan siklus karbon akan dinyatakan sebagai :
M(t) = β [EIND(t) + E ROW ] + (1-δm)M(t-1)
Dimana EROW adalah emisi rest of the world dan E
IND.
adalah emisi Indonesia.
Total konsentrasi emisi gas CO2 menurut DICE 1998 berdasarkan base line 1990
adalah sebesar 787 billion ton karbon (EROW dan EIND).
3.6.11 Perubahan Iklim
Hubungan antara emisi gas rumah kaca, dalam hal ini adalah emisi gas CO2
dan perubahan iklim dalam model DICE digambarkan sebagai hubungan tiga (3)
lapis yaitu atmosfir, campuran lapisan pada lautan dan lapisan didalam lautan.
Konsentrasi dari emisi gas CO2 akan memanaskan lapisan atmosfir yang kemudian
memanaskan lapisan lautan dan pada akhirnya akan masuk kedalam lautan.
T1(t)=T1(t-1) + (1/R1 { F(t) – λT1(t-1) – (R2/ τ12) [T1(t-1) –T2(t-1)] }
T2(t)=T2(t-1) + (1/R2) {(R2 /τ12) [T1(t-1) –T2(t-1)] }
T2(t)=T2(t-1) + (1/τ12) [T1(t-1) –T2(t-1)] }
Ti(t) adalah suhu pada lapisan atmosfir pada periode t (relatif terhadap periode preindustrial ) dimana 1 adalah suhu pada atmosfir dan diatas lautan dan i=2 adalah
suhu didalam lautan. T2 adalah suhu didalam lautan relative terhadap periode
dasar, Ri adalah thermal capacity dari lapisan yang berbeda dalam hal ini R1 adalah
thermal capacity diatas lautan ( upper ocean) dan R2 adalah thermal capacity
didalam lautan (deep ocean), feed back parameter dalam model adalah λ. Radiative
forcing (F) adalah meningkatnya suhu pada permukaan bumi dalam Watt per meter
persegi (W/m2). Parameter τ12 adalah koefisien pemindahan ( transfer coefficient )
yang merujuk pada kecepatan air memindahkan panas dari permukaan laut
kedalam lautan. Dalam model DICE τ12 digunakan sebesar 500 tahun, 1/τ12 atau
α4 yang besarnya adalah 0,002. R2 adalah sebesar 223,7 Watt-year dan R2/τ12
adalah sebesar 0,44 Watt/oC-cm2 dalam DICE 99 R2 dinyatakan sebagai α3 yang
besarnya adalah 0,44. 1/R1 atau α1adalah koefisien inersia yang nilainya sebesar
83
0,226 oC-m2/Watt-year . Feed back parameter λ atau α2 dalam DICE 99 nilainya
sebesar 1,41 adalah merupakan
sensitivitas iklim. α1 adalah parameter yang
merefleksikan thermal capacity dari lapisan atmosfir dan lapisan diatas lautan.
Persamaan perubahan iklim tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut :
T1(t)=T1(t-1) + α1 { F(t) – α2 T1(t-1) – α3 [T1(t-1) –T2(t-1)] }
T2(t)=T2(t-1) + α4 [T1(t-1) –T2(t-1)]
3.6.12 Radiative Forcing
Pada perubahan iklim, faktor radiative forcing akan mempengaruhi
besarnya suhu permukaan bumi. Radiative forcing adalah suatu proses yang
mengubah sistem keseimbangan energi dari bumi dan atmosfir. Hal ini karena
meningkatnya gas rumah kaca diatmosfir yang akan mengurangi kemampuan bumi
untuk melepaskan energi ke atmosfir. Difinisi menurut IPCC adalah sebagai
berikut:
“The radiative forcing of the surface-troposphere system due to the perturbation in
or the introduction of an agent (say, a change in greenhouse gas concentrations) is
the change in net (down minus up) irradiance (solar plus long-wave; in Wm-2) at
the tropopause AFTER allowing for stratospheric temperatures to readjust to
radiative equilibrium, but with surface and tropospheric temperatures and state
held fixed at the unperturbed values “
Menurut Global Climate Change Student Guide (www.ace.mmu.ac.uk ) chapter 2,
perubahan suhu global (∆T) diperkirakan proporsional terhadap perubahan
radiative forcing ( ∆Q) dengan formula ∆Q =λ ∆T , dimana λ adalah sensitivitas
iklim ( climate sensitivity).
Persamaan perubahan iklim dari model DICE ditentukan oleh faktor radiative
forcing (F) melalui persamaan.
F(t) = 4.1 log[M(t)/590] / log (2)
84
F(t) = 4.1 ln[M(t)/590] / ln (2) + O(t) 39)
Faktor 4.1 menurut Klaus Keller.et.al (2003) adalah perubahan dalam radiative
forcing yang disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi emisi gas CO2 sebesar dua
kali dan M adalah stok emisi gas CO2 diatmosfir sebagai akibat adanya tambahan
emisi CO2. Sedangkan O adalah perubahan radiative forcing yang disebabkan oleh
GHG selain dari emisi CO2 seperti metan atau CFC
3.6.13 Pajak Emisi Gas CO2
Dalam model DICE -1992, pajak emisi gas CO2 tidak secara spesifik
dimasukkan kedalam persamaan. Dalam model DICE -1999 variabel pajak dibuat
secara jelas, sehingga hubungan pajak dan output nasional atau GDP
adalah
sebagai berikut :
Q(t) + τ(t) [ П(t) – E(t)] = C(t) + I (t)
τ adalah harga permit/emisi, П adalah jumlah permit/emisi yang diizinkan, dan
E adalah jumlah emisi yang terjadi. Dalam penelitian ini, persamaan tersebut akan
dimodifikasi sebagai berikut :
τ = τc + τe , dimana τc adalah pajak karbon/emisi dan τe adalah pajak energi.
Dalam kontek nasional pajak energi tidak dimasukkan kedalam perhitungan karena
pajak energi dianggap sebagai penerimaan pemerintah yang bukan bertujuan untuk
mengurangi emisi.
Pajak energi pada umumnya dibuat dengan tujuan untuk
meningkatkan pendapatan negara melalui kebijakan fiskal. Penjelasan perbedaan
kedua pajak ini seperti dijelaskan pada bagian 2.2
Karena τe tidak diterapkan maka pajak emisi
τ = τc
τc = τ(t) [ E ] = τ(t) [ EIND + EROW ]
Q(t) + τ(t) [ EIND + EROW ] = C(t) + I (t)
Q(t) + τ(t) [ П + E ] = C(t) + I (t)
EIND adalah jumlah emisi gas CO2 Indonesia dan EROW adalah jumlah emisi rest of
the world.
Jika П(t) = E(t) maka tidak ada kebijakan yang dibuat untuk
mengurangi emisi, artinya reduction rate (μ) adalah nol. Hal ini karena П adalah
emisi dari industri yang diizinkan dan E adalah emisi yang disebabkan oleh
39)
Klaus Keller et.al Dalam ”Preserving the Ocean Circulation:Implications for Climate Policy”
menjelaskan bahwa CO2 yang ada diatmosfir akan bertindak sebagai GHG yang menyebabkan
perubahan nilai F dalam radiative forcing dari level preindustrial.
85
industri. Melalui persamaan keseimbangan ekonomi, besarnya pendapatan yang
dihasilkan melalui pajak emisi akan menentukan besarnya perubahan terhadap
pendapatan nasional (GDP) jika konsumsi dan investasi dipertahankan tetap.
Dalam hal П(t) = E(t) atau
business –as-usual (BAU) emisi tidak memerlukan biaya karena kerusakan tidak
diperhitungkan sebagai biaya yang harus ditanggung.
Pada persamaan diatas, besarnya pajak diperlakukan sama, baik terhadap
produsen maupun konsumen. Artinya kita hanya memilih apakah pajak akan
dikenakan langsung kepada pihak konsumen atau akan dikenakan langsung kepada
pihak produsen. Dalam model DICE dan RICE ataupun dalam model economyclimate lainnya, pajak dikenakan pada energi primer. Hal ini menyebabkan harga
pada energi akhir secara otomatis akan naik minimal sebesar pajak yang dikenakan
pada energi primer (upstream). Pada dasarnya besar dan kecilnya jumlah emisi
CO2 yang dikeluarkan melalui pembakaran BBF tergantung dari kadar karbon
yang ada didalam BBF tersebut dan faktor efisiensi pembakaran dari BBF. Kadar
karbon tergantung pada produsen BBF sedangkan efisiensi tergantung pada
teknologi penggunaan BBF.
Sebaiknya pajak emisi dikenakan secara proporsional agar insentif ekonomi
dari kebijakan berjalan sesuai dengan tujuan dari pajak emisi tersebut. Jika
besarnya pajak yang dikenakan pada energi akhir sebesar p1 , maka besarnya pajak
yang dikenakan pada konsumen sebesar (1- p1). Besarnya pajak yang dikenakan
kepada konsumen disebabkan karena adanya preferensi konsumen terhadap
peralatan yang dipilih. Makin efisien peralatan yang dipilih makin kecil pajak yang
harus dibayar oleh konsumen. Preferensi konsumen ini akan memberikan insentif
kepada pihak produsen peralatan untuk melakukan perubahan teknologi, dilain
pihak besarnya pajak yang dikenakan kepada produsen energi akhir akan
mendorong pihak produsen BBF melakukan perubahan teknologi dan mencari
energi substitusi.
Persamaan keseimbangan pajak tersebut menjadi :
τc = p1 τ*EIND + (1-p1) τ*EIND
Q(t) + p1 τ [ EINDA – EINDI ] + (1-p1) τ[[ EINDA – EINDI ] = C(t) + I (t)
85
Jika p1 ditentukan sebesar 1, artinya pajak konsumen sama dengan pajak produsen,
maka Q(t) + τ[ EINDA– EINDI ] = C(t) + I (t)
EINDI adalah emisi Indonesia yang dizinkan/diinginkan dan EINDA adalah emisi
industri (emisi industri Indonesia aktual). Proporsi pajak tersebut dapat dilakukan
setelah mengetahui besarnya pajak emisi untuk Indonesia.
3.7
Persamaan Model
(1)
Fungsi social welfare :
T
DICE : W = ∑ U [ c (t),L(t) ] R(t)
t
t
Dimana R(t) adalah faktor discount (discount factor)
∏ [ 1 + ρ (v) ] -t
v =0
dimana ρ adalah pure rate of social preference).
Persamaan utilitas adalah : U[c(t)] = L(t) {[c(t)] 1-α }/(1-α)
dimana α adalah rate of inequality aversion dan dari model DICE fungsi
utilitas adalah : U[c(t)] = L(t) { log[c(t)]}
(2)
Fungsi produksi :
DICE : Q(t) = Ω(t) { A (t) K (t) γ L (t) 1-γ
gA(t) A(t) = gA(t-1)(1-dA) ,
gA (1990) = 0,1 % per dekade dan δA = 0,10 per dekade.
gA(t) = gA(0) exp (-δAt)
(3)
Fungsi output
DICE : Q(t) = C(t) + I (t)
(4)
Fungsi income per capita
DICE : c(t) = C(t) /L(t)
(5)
Fungsi keseimbangan capital stock
DICE : K(t) = (1-δk)K (t-1) + I (t-1)
(6)
δk sebesar 0,10 per tahun
Fungsi pertumbuhan populasi :
DICE : g pop (t) = g pop (1-t)(1-δpop) , δpop = 1,2% per dekade
g pop = 1,2% per tahun untuk tigapuluh tahun kedepan.
gpop(t) = g pop(0)exp (-δpopt)
(7) Fungsi pengurang sebagai dampak emisi. Dalam penelitian ini
85
DICE 1992: Ω = (1-b1μ(t)b2)/[ 1+D(t) ] = (1-b1μ(t)b2)/[ 1+0.013[T(t)/3]2 ]
Dalam penelitian ini:
Ω = (1-b1μ(t)b2)/[ 1+D(t) ] = (1-b1μ(t)b2)/[ 1+ 0.0035 T2 ]
(8)
Fungsi pajak emisi
DICE : Q(t) + τ(t) [ П(t) – E(t)] = C(t) + I (t)
Dalam penelitian ini :
Q(t) + τ(t) [ П(t) – (EIND(t)+ EROW(t))] = C(t) + I (t)
(9)
Fungsi biaya total pengurangan emisi adalah sebagai fraksi dari GDP
DICE : TC = 0,0686μ(t) 2,887
(10)
Fungsi kerusakan akibat kenaikan suhu
DICE : 0,00144T(t)2
Dalam penelitian ini : D(t) = 0,0035 T2
(11)
Fungsi emisi
Menggunakan DICE : E(t) = [ 1 – μ(t) ] σ(t) Q(t)
Dimana rasio emisi per unit terhadap output (σ) akan menggunakan tahun
dasar 1990. σ adalah intensitas emisi atau CO2/GDP.
gσ(t) = ( 1+ gσ)σ(t-1)
(12)
Fungsi siklus karbon (Konsentrasi emisi CO2)
DICE : M(t) = βE(t) + (1-δm)M(t-1)
Dalam penelitian ini : M(t) = β [ EIND(t) + E ROW (t) ] + (1-δ m)M(t-1)
E ROW adalah emisi rest of world dan EIND adalah emisi Indonesia
(13)
Fungsi perubahan iklim
DICE : T1(t)=T1(t-1) + α1 { F(t) – α2 T1(t-1) – α3 [T1(t-1) –T2(t-1)] }
T2(t)=T2(t-1) + α4 [T1(t-1) –T2(t-1)]
(14)
Fungsi radiative forcing
DICE : F(t) = 4.1 log[M(t)/590] / log (2) + O(t)
3.8
Variabel Dan Parameter Dalam Model Penelitian
Dalam model terdapat varibael eksogen, endogen, parameter dan variabel
kebijakan. Variabel kebijakan adalah variabel yang dapat diubah sesuai dengan
tingkat emisi yang dikehendaki dan dampak yang timbul sebagai akibat dari
kebijakan tersebut.
85
Variabel
Keterangan
(Unit)
L(t)
populasi
(juta)
A(t)
TFP (total factor produktivitas)
(dalam suatu nilai tertentu)
g pop(t)
pertumbuhan populasi
(dalam suatu nilai tertentu)
p1 (t)
proporsi emisi produsen
( dalam bilangan fraksi )
T (t)
perubahan suhu permukaan bumi
( dalam oC dimulai-1900)
T1(t)
suhu atmosfir ( diatas lautan )
(dalam oC dimulai-1900)
T2(t)
suhu didalam lautan
(dalam oC dimulai-1900)
eksogen
Variabel Keterangan
(Unit)
endogen
C(t)
konsumsi total
(juta)
c(t)
konsumsi per kapita
Q(t)
output atau GDP
(dalam triliun Rp - dasar1990)
Ω(t)
faktor pengurang
( dalam nilai tertentu )
K(t)
kapital stok
D(t)
kerusakan akibat perubahan iklim
E(t)
total emisi gas CO2
( dalam juta ton CO2 /tahun)
EIND(t)
jumlah emisi Indonesia
( dalam juta ton CO2/tahun)
EROW(t)
jumlah emisi rest of the world
( dalam juta ton CO2/tahun)
δk(t)
laju depresiasi kapital
F(t)
radiative forcing
(dalam W/m2)
O(t)
exogenous anthropogenic
(dalam W/m2)
(dalam rupiah (Rp) per orang)
Parameter Keterangan
( dalam triliun Rp)
( dalam bilangan fraksi)
( dalam bilangan fraksi)
(Unit)
ρ
Pure rate of social preference
( rate per tahun)
σ
rasio emisi terhadap output
(dalam nilai tertentu)
γ
elastisitas output terhadap capital
(dalam nilai tertentu )
b1
koefisien control rate abatement cost
(dalam nilai tertentu )
b2
eksponen dari control rate abatement cost
(dalam nilai tertentu)
89
β
marginal atmospheric retention rasio dari GHG
(dalam nilai tertentu)
α
rate of inequality aversion
τ12
kecepatan memindahkan panas dari permukaan ke dalam lautan
δk
nilai penyusutan dari capital stock
R1
thermal capacity of the upper layer
(dalam W-tahun/oC-m2)
R2
thermal capacity of deep ocean
(dalam W-tahun/oC-m2)
δm
rate of transfer emisi CO2 dari lapisan atas ke bawah lautan
λ
feed back parameter in climate change model ( sama dengan α2 )
α1
adalah koefidien inersia
( dalam nilai tertentu)
(dalam nilai tertentu)
atau inverse of thermal capacity of
atmospheric layer and the upper ocean
α3
adalah rasio antara thermal capacity deep ocean terhadap transfer rate
from upper to lower reservoir
α4
adalah koefisien transfer dari upper to lower reservoir ( dalam nilai
tertentu)
Variabel
Keterangan
(Unit)
Kebijakan
μ(t)
control rate emisi
( dalam nilai tertentu)
Nilai Awal (Initial Value)
Initial Value dari parameter dalam analisis model adalah sebagai berikut :
γ = 0,30
ρ = 3% per tahun atau 0,03 per tahun
b1 = 0,0686 ; b2 = 2,877
σ (1990) world = 0,519 dalam milyar ton CO2 ekivalen per triliun USD
δσ = 0,1168 per dekade ; δA = 0,1 per dekade
gA = 0,001 per dekade
σ (1990) IND = 0,32 ton CO2 per triliun rupiah (1993 prices)
g pop (1990) = 1,2% atau 0,012 per tahun untuk 30 tahun
δpop = 0,012 per dekade ; δk (1990) = 0,1 per tahun
δm world = 0,0833 per dekade
β world = 0,64
90
α2 = λ world = 1,41 oC /W-m2
K (1990) = 59,758 triliun Rupiah (1983 prices)
Q (1990) = 263,262 triliun rupiah (1993 prices)
T1 (1990) world = 0,2 oC ; T2
(1990) world =
0,1 oC
p1 (1990) = 1
α1 = 1/R1 world = 0,226 oC-m2/Watt--tahun
α3 = R2/τ12
world =
0,44 Watt/ oC-m2
α4 = 1/τ12 = 1/500 = 0,002
L(1990) = 179,4 juta penduduk
M(1990) = 787 billion ton CO2 ekivalen, berat karbon
BAB IV. BASELINE ANALISIS
4.1
Analisis Emisi Dan Intensitas Energi
Analisis intensitas emisi gas CO2 (CO2/GDP) dan intensitas energi
(E/GDP) akan dilakukan dengan menggunakan tahun 1990 sebagai baseline.
Proyeksi dilakukan untuk periode 30 tahun kedepan (1990-2020). Berdasarkan
asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 5% pertahun dan laju pertumbuhan
penduduk sebesar 1% pertahun, maka berdasarkan perhitungan tingkat emisi
(lampiran 15 dan 16) Indonesia pada tahun 1990 menghasilkan 83,8 juta ton CO2
dengan intensitas emisi sebesar 0,32. Pada tahun yang sama total konsumsi BBF
menurut sektor sebesar 211,73 juta boe (lampiran 13) dan konsumsi BBF menurut
tipe adalah sebesar 207,4 juta boe (lampiran 14). Intensitas energi Indonesia pada
tahun 1990 adalah sebesar 0,7875.
Fuel mix Indonesia adalah sebesar 0,40.
Besarnya intensitas emisi pada tahun 1990 sangat ditentukan oleh besarnya
intensitas energi, karena besarnya fuel mix Indonesia untuk 30 tahun kedepan
cenderung memiliki nilai yang tetap menurut pola pada gambar 52.
Tren Fuel Mix (CO2/E)
Ton/BOE
0,42
0,40
Tahun
20
20
20
11
20
14
20
17
20
02
20
05
20
08
19
93
19
96
19
99
19
90
0,38
Fuel Mix
Gambar 52. Tren fuel mix Indonesia 1990 -2020
Melihat tren dari energi mix Indonesia tahun 1990 sampai 2005 dan proyeksi untuk
dua puluh tahun kedepan, terlihat bahwa struktur ekonomi Indonesia masih banyak
dipengaruhi oleh energi karbon intensif dan belum mengarah ke energi substitusi
dan karbon rendah. Berdasarkan perhitungan dari data-data yang tersedia, fuel mix
(CO2/E) Indonesia pada tahun 2002 adalah sebesar 2,99 ton CO2/toe, sedangkan
Korea hanya sebesar 2,45 , India 2,05, Jepang 2,35 dan Amerika 2,52 (lampiran
27 )
92
Dengan asumsi pertumbuhan sebesar 5 % dan laju pertumbuhan penduduk 1% dan
1,2% maka proyeksi pertumbuhan rata-rata tahunan dari beberapa indikator
tersebut dapat dilihat pada tabel 18 dan 19.
Tabel 18. Data dan proyeksi pertumbuhan rata-rata tahunan
Indikator
Populasi (1%/tahun)
GDP/Populasi (juta)
Energi/GDP (boe/gdp)
CO2/Energi (ton/boe)
CO2/GDP
Data
1990 - 2005
1,27%
1,9181
0,9586
0,4
0,38
Proyeksi
2006 - 2010
2011 - 2020
1%
1%
2,4618
3,3012
1,0711
0,9827
0,4
0,4
0,42
0,39
Tabel 19. Data dan proyeksi pertumbuhan rata-rata tahunan
Indikator
Populasi (1,2%/tahun)
GDP/Populasi (juta)
Energi/GDP (boe/gdp)
CO2/Energi (ton/boe)
CO2/GDP
Data
1990 - 2005
1,27%
1,9181
0,9586
0,4
0,38
Proyeksi
2006 - 2010
2011 - 2020
1,20%
1,20%
2,46
3,225
1,0711
0,9827
0,4
0,4
0,42
0,39
Dari tabel dapat dilihat bahwa intensitas energi Indonesia periode 2006 sampai
2020 mengalami kenaikan relatif terhadap periode tahun 1990-2005. Kenaikan
intensitas energi tidak berhubungan langsung dengan perubahan laju perumbuhan
populasi, tetapi menggambarkan tingkat efisiensi energi yang dipakai oleh sebuah
negara. Intensitas emisi tidak berhubungan dengan besar kecilnya sebuah negara,
melainkan bagaimana tingkat energi berperan dalam pertumbuhan ekonomi dan
tingkat efisiensi penggunaaan energi. Berdasarkan pada baseline tahun 1990, maka
untuk 30 tahun kedepan peningkatan emisi gas CO2 Indonesia akan mencapai tiga
kali lipat atau mengalami kenaikan sebesar 339 persen yaitu dari 83,8 juta ton pada
tahun 1990 menjadi 368,3 juta ton pada tahun 2020 ( lihat tabel 16 dan 17). Faktor
yang menyebabkan meningkatnya intensitas emisi Indonesia tersebut adalah
karena adanya kenaikan intensitas energi dari tahun ketahun. Pada tahun 2015
intensitas energi diperkirakan akan mengalami penurunan sesuai dengan pola pada
93
gambar 53, tetapi masih tetap mengalami kenaikan dibandingkan dengan data 1990
- 2005. Penurunan tingkat intensitas energi ini disebabkan karena adanya
persentase kenaikan rata-rata konsumsi energi dari tahun ketahun yang tidak
sebesar laju pertumbuhan ekonomi yang diasumsi sebesar 5% pertahun. Jika terjadi
kenaikan harga energi dipasar dunia, maka tren insitas energi akan mengalami
penurunan karena berkurangnya konsumsi nasional (lampiran 21).
1,2000
1,1000
1,0000
0,9000
0,8000
0,7000
19
90
19
92
19
94
19
96
19
98
20
00
20
02
20
04
20
06
20
08
20
10
20
12
20
14
20
16
20
18
20
20
E/GDP
Tren Intensitas Energi
Tahun
Intensitas Energi
Gambar 53. Tren intensitas energi Indonesia 1990 - 2020
Beradasarkan data dari EIA ( Energy Information Administration) tahun 2006,
maka emisi gas CO2 global (Total World) tahun 1990 adalah sebesar 21.223 juta
metrik ton dan diprediksi mencapai 36.746 juta metrik ton pada tahun
2020(lampiran 25). Terjadi kenaikkan 73% untuk periode 30 tahun (1990-2020).
Intensitas emisi gas CO2 dunia mengalami penurunan yang cukup signifikan yaitu
629 metrik ton/ juta USD (0,000629 ton/USD) pada tahun 1990 menjadi 340
metrik ton/ juta USD (0,000340 ton /USD) pada tahun 2020 dan diproyeksi
menurun sebesar 311 metrik ton/ juta USD ( 0,000311 ton/USD) pada tahun 2030
beradasarkan harga dollar tahun 2000 (lampiran 25 dan 26). Pada tabel 20 dapat
dilihat perubahan emisi gas CO2 dari tahun 1990 dan prediksi sampai tahun 2020
yang berasal dari BBF.
Pertumbuhan emisi untuk negara yang berada dibawah OECD mengalami
penurunan sebesar 10,87 % untuk periode 30 tahun dan yang bukan OECD
mengalami kenaikan sebesar 10,26 persen untuk periode yang sama. Sementara
kontribusi emisi dari Indonesia akan mengalami kenaikan sebesar 0,59 % untuk
periode Tahun 1990 – 2020.
Hal ini menunjukkan bahwa dengan prakiraan
94
pertumbuhan 5%, dan laju penduduk sebesar 1% atau 1,2% Indonesia masih akan
sangat tergantung dari energi yang berasal dari BBF. Secara grafik dapat dilihat
pada gambar 54.
Tabel 20. Perubahan emisi gas CO2 Indonesia terhadap negara OECD dan
non-OECD dari Tahun 1990 – 2020
Data
1990
2003
11.378
13.150
Negara
OECD
2010
14.249
Proyeksi
2015
15.020
2020
15.709
% Dunia
53,61
52,55
46,93
44,61
42,74
Non OECD *
9.762
11.679
15.858
18.339
20.672
% Dunia
45,99
46,67
52,22
54,47
56,25
Indonesia
83,788
198,104
254,796
303,646
% Dunia
0,4
0,8
0,83
0,9
Dunia
21.223
25.020
30.362
33.663
* Non-OECD telah dikurangi emisi CO2 untuk Indonesia
366,018
0,99
36.748
20,00
PERSENTASE PERUBAHAN KONSUMSI ENERGI MENURUT SEKTOR
15,00
Persentasi
10,00
Industri
Komersial
Residen
Transport
5,00
20
20
20
18
20
16
20
14
20
12
20
10
20
08
20
06
20
04
20
02
20
00
19
98
19
96
19
94
19
92
19
90
0,00
-5,00
Tahun
Gambar 54. Presentase perubahan konsumsi energi menurut sektor
Kontribusi emisi gas CO2 terbesar adalah disebabkan oleh adanya presentase
kenaikan konsumsi disektor industri, komersial dan transportasi. Pada periode
tahun 1997/1998 yaitu adanya reformasi pemerintahan, maka pertumbuhan
konsumsi energi disektor industri dan transportasi mengalami penurunan sebesar
– 1,69 untuk industri dan -3,99 untuk transportasi. Setelah periode tahun 1999
mengalami kenaikan cukup signifikan.
95
4.2
Analisis Elastisitas
4.2.1 Elastisitas Konsumsi Energi Terhadap GDP
Untuk periode tahun 1990 – 2002 rasio pertumbuhan pemakaian energi
terhadap pertumbuhan GDP Indonesia berada diatas satu, kecuali pada tahun 1997
dimana Indonesia memasuki masa krisis akibat adanya reformasi pemerintahan
rasio tersebut berada pada 0,06 (lihat lampiran 28 dan gambar 55).
Hal ini
menunjukkan bahwa pertumbuhan GDP Indonesia sangat tergantung dari tingkat
konsumsi BBF. Perubahan setiap unit BBF akan sangat mempengaruhi tingkat
GDP. Untuk proyeksi tiga puluh tahun kedepan elastisitas konsumsi energi
terhadap GDP berada pada 0,79
Elastisitas Konsumsi Energi Terhadap GDP
6,00
GDP elast
Elastisitas GDP Terhadap
Energi GDP e ind
Elastisitas GDP Terhadap
Energi GDP e kom
Elastisitas GDP Terhadap
Energi GDP e Res
Elastisitas GDP Terhadap
Energi GDP e Trans
4,00
2,00
Konsumsi
Konsumsi
Konsumsi
Konsumsi
0,00
1990
1995
2000
2005
2010
2015
2020
Tahun
-2,00
Gambar 55. Elastisitas konsumsi energi terhadap GDP
Dari empat sektor konsumsi BBF, maka elastisitas pada sektor industri berada pada
tingkat pertama kemudian diikuti sektor komersial, residen dan transportasi.
Artinya sektor industri sangat sensitif terhadap perubahan pertumbuhan konsumsi
BBF. Pada tahun 1990 elastisitas konsumsi energi sektor industri sebesar 1,25 dan
proyeksi tiga puluh tahun kedepan akan berada 0,95 sedangkan sektor transportasi
akan berada pada 0,63. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi energi pada sektor
industri sangat mempengaruhi GDP Indonesia dibandingkan dengan sektor
transportasi.
96
4.2.2 Elastisitas Harga Energi Terhadap GDP
Respon dari konsumsi dalam hal ini adalah solar (diesel fuel) dan bensin
( gasoline) terhadap perubahan harga dan pendapatan di Indonesia adalah sebagai
berikut :
Ln TC = - 11,118 + 0,130 lnCP + 0,403 ln GDP + 0,488 ln LTC
SE
(3,175)
(0,033)
(0,169)
(0,327)
Data untuk setiap variabel dapat dilihat pada lampiran 24 dan output SPSS dapat
dilihat pada lampiran 10. Hasil pendugaan parameter persamaan memberikan nilai
koefisien determinasi (R2) sebesar 0,899. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi
total (TC) 89,9 % dapat diterangkan oleh variabel harga bahan bakar dan
pendapatan.
Koefisien determinasi antara total konsumsi(TC) terhadap harga
bahan bakar adalah sebesar 0,825. Hal ini menunjukkan ada hubungan kuat antara
harga bahan bakar dan total konsumsi dan dapat dijelaskan sebesar 82,5% dari
model. Koefisien determinasi (R2) antara total konsumsi dan pendapatan adalah
sebesar 0,728. Hal ini menunjukkan 72,8% total konsumsi dapat dijelaskan oleh
pendapatan. Hubungan antara variabel harga dan pendapatan secara statistik cukup
signifikan dengan taraf nyata (α) sebesar 0,05.
Dari model dapat dijelaskan bahwa harga bahan bakar tidak elastis terhadap
total konsumsi, karena kenaikan 1% harga hanya akan mempengaruhi total
konsumsi sebesar
0,13%. Tetapi kenaikan 1% pendapatan (GDP) akan
mengakibatkan kenaikan total konsumsi sebesar 0,4%. Hal ini menunjukkan bahwa
pertumbuhan GDP Indonesia dipengaruhi oleh total konsumsi bahan bakar, tetapi
tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan harga bahan bakar itu
sendiri. Hal ini dapat dilihat dari tren intensitas energi Indonesia pada gambar 60.
Jika hubungan harga bahan bakar dan pendapatan dilihat secara terpisah, maka
koefisien determinasi (R2) hubungan harga dan total konsumsi adalah sebesar
0,825 sedangkan R2 untuk hubungan pendapatan terhadap total konsumsi adalah
sebesar 0,728. Artinya secara statistik kedua variabel memiliki hubungan yang
cukup signifikan.
97
4.3
Analisis Dampak Emisi Gas CO2
Terjadi persentase kenaikan emisi gas CO2 Indonesia dari baseline tahun
1990. Terjadi peningkatan emisi gas CO2 lebih dari dua kali lipat pada tahun 2020
yaitu dari 0.4% menjadi 0,99 %, sementara emisi dunia turun sebesar 20,2% untuk
periode yang sama (lihat tabel 20). Meningkatnya emisi gas CO2 menyebabkan
tingginya tingkat konsentrasi dari emisi gas CO2 yang berada diatmosfir yaitu dari
280 ppmv (parts per million by volume) pada tingkat pre-industrial menjadi 358
ppmv pada tahun 1994 dan pada saat ini diperkirakan berada pada tingkat 370
ppmv (lampiran 39). Pada gambar 56 dapat dilihat bahwa selama 20 tahun terakhir
kenaikan konsentrasi tersebut sangat signifikan. Menurut Laporan khusus
mengenai skenario emisi dari IPCC (SRES) pada akhir abad 21 tingkat konsentrasi
emisi gas CO2 akan berada pada kisar 490 sampai 1260 ppmv. Laju tingkat
konsentrasi yang akan terjadi sangat tergantung dari beberapa faktor seperti asumsi
mengenai tingkat pertumbuhan ekonomi, pengembangan teknologi, pertumbuhan
populasi dan energi alternatif. Oleh karenanya diperlukan kebijakan untuk
mengurangi laju dari emisi gas CO2 tersebut. Kebijakan akan menjadi lebih mudah
karena penyebab terbesar dari meningkatnya emisi gas CO2 tersebut disebabkan
oleh pembakaran BBF(lampiran 36).
Gambar 56. Tren konsentrasi emisi gas CO2 di atmosfir dan
emisi antropogonik
Meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca akan mempercepat laju perubahan iklim
global (Climate Change) dan pada gilirannya akan menyebabkan kenaikan suhu
permukaan bumi. Menurut
TAR (Third Assesment Report – IPCC ) climate
98
sensitivity adalah sebesar 1,5 sampai 4,5oC dan rata-rata suhu permukaan bumi
diproyeksikan meningkat sebesar 1,4 sampai 5,8oC pada periode 1990 sampai 2100
dan permukaan laut diperkirakan meningkat sebesar 0,1 sampai 0,9 meter dalam
periode yang sama (lampiran 37). Pada tahun 2020 permukaan laut diperkirakan
naik sebesar 0,1 meter dan suhu bumi pada tahun 1990 berkisar pada 15oC dengan
skenario yang paling buruk berada pada 19oC. (gambar 57, 58 dan gambar 59 ).
Gambar 57. Proyeksi suhu rata-rata global dan skenario setelah tahun 1990
Gambar 58. Prakiraan kenaikan suhu seratus tahun yang akan datang
( Sumber :IPCC-SRES)
99
Gambar 59. Prediksi kenaikan permukaan laut (dalam meter) dalam seratus
tahun yang akan datang. (Sumber : IPCC-SRES )
Selain meningkatnya permukaan laut dan perubahan suhu, maka perubahan iklim
juga akan mengakibatkan perubahan presipitasi, kekeringan dan banjir. Perubahan
ini akan berdampak pada sosial ekonomi.
Analisis dalam model penelitian ini hanya akan melihat dampak ekonomi berupa
GDP atau output nasional, karena ada implikasi terhadap tingkat kesejahteraan
(walfare) masyarakat.
Dalam keadaan BAU (Business as Usual), artinya jika tidak ada kebijakan
yang dibuat untuk mengatasi dampak emisi gas CO2, maka dengan asumsi
pertumbuhan ekonomi sebesar 5% per tahun maka GDP per kapita Indonesia
tahun 1990 berada pada tingkat 1,4 juta rupiah per tahun. Pada tahun 2006
berada pada tingkat 2,3 juta per tahun. Dengan proyeksi tingkat pertumbuhan
penduduk sebesar 1% per tahun, maka pada tahun 2020 GDP per kapita Indonesia
berada pada tingkat 3,9 juta per tahun dan dengan pertumbuhan penduduk 1,2%
per tahun, GDP per kapita akan berada pada 3,7 juta per tahun. Pada gambar 64
dapat dilihat bahwa perebedaan pertumbuhan populasi tidak memberikan dampak
signifikan terhadap GDP per kapita. Berdasarkan baseline tahun 1990, maka untuk
periode 30 tahun kedepan GDP per kapita hanya berbeda sebesar lebih kurang
Rp 120.000 ( 3% ) untuk perbedaan pertumbuhan populasi 0,2% per tahun, jika
pertumbuhan ekonomi diasumsi tetap sebesar kisar 4,5 - 5% per tahun sesuai
dengan tren yang terlihat pada gambar 60.
100
GDP/Kapita - Indonesia Dan Proyeksi
4.000.000
c ( Dalam Rp /Kapita/Tahun)- p
1%/tahun
c ( Dalam Rp /Kapita/Tahun)- p
1,2%/tahun
Rupiah
3.500.000
3.000.000
2.500.000
2.000.000
1.500.000
1.000.000
1990
1995
2000
2005
2010
2015
2020
Tahun
Gambar 60. GDP/kapita Indonesia dan proyeksi dalam kondisi BAU
Pertumbuhan GDP dan Populasi Indonesia- Baseline1990
Pertumbuhan (%)
15
10
5
0
-51990
1995
2000
2005
2010
2015
2020
Pertumbuhan Populasi p1,2%
-10
Pertumbuhan Populasi p 1%
-15
Pertumbuhan GDP-p4,5-5% (%)
-20
Tahun
Gambar 61. Pertumbuhan GDP dan populasi Indonesia dengan beberapa asumsi
terhadap baseline
Pertumbuhan CO2 dan GDP/Kapita
20,00
15,00
10,00
(%)
5,00
0,00
-5,00
1990
1995
2000
2005
-10,00
-15,00
Tahun
2010
2015
2020
Pertumbuhan CO2 (%)
Pert c (%) - p 1%
Pert c (%) - p 1,2%
-20,00
Gambar 62. Pertumbuhan emisi gas CO2 Indonesia dan GDP/kapita
101
Dengan asumsi pertumbuhan GDP sebesar 5% per tahun dan tingkat pertumbuhan
populasi 1% dan 1,2 % per tahun, maka pertumbuhan CO2 per tahun akan berada
dibawah 5% dalam kondisi BAU (lihat gambar 62). Jika perekonomian bertumbuh
dengan estimasi sebesar 5 % per tahun, maka pertumbuhan emisi gas CO2 akan
meningkat dengan pola yang sama.
V.
5.1
ANALISIS DAN SKENARIO KEBIJAKAN PAJAK EMISI GAS CO2
Kalibrasi Model
Seperti yang telah diuraikan pada Bab 3.5, maka sebelum dilakukan simulasi
dari model, terlebih dahulu dilakukan kalibrasi terhadap variabel total faktor
produktivitas (A). Kalibrasi dilakukan dengan menggunakan nilai dasar tahun 1990
dengan menggunakan parameter gamma atau elastisitas out put terhadap capital sama
besarnya dengan nilai yang digunakan oleh model DICE 1993 yaitu 0,25. Besarnya
nilai A’ ditentukan dengan memasukkan faktor kerusakan yang disebabkan oleh
kenaikan suhu permukaan dan biaya yang dikeluarkan untuk mengurangi emisi atau
abatement cost . Nilai variabel tersebut dapat dilihat pada tabel 21.
Tabel 21. Nilai A dari kalibrasi
Y
L
( Tln IDR)
(Juta)
263,262
179,400
263,262
179,400
K
γ
(Tln IDR)
59,758 0,25
59,758 0,25
1- γ
0,75
0,75
1 -ABCOST
1- TECOST
A’
Y’
0,9314
0,986945
1,931
2,101
263,262
263,262
Nilai ABCOST ditentukan berdasarkan parameter MIU ( μ=1), besarnya nilai
ABCOST sesuai dengan tabel 22 dan TECOST ditentukan berdasarkan persamaan
1-1/(1+A1*SQRTE(T)) dimana TE adalah TE(T)+C1*(FORC(T)-LAM*TE(T)C3*0.4) ). Hasilnya pada tabel 23. Jika parameter gamma yang digunakan adalah 0,30
maka nilai A’ menjadi 2,047 dan Y’ menjadi 263,262. Jika faktor ABCOST dan
TECOST dimasukkan, maka nilai A’ 2,22 dan Y’ menjadi 341,255.
Tabel 22. Nilai ABCOST untuk beberapa nilai MIU(μ)
b1
b2
MIU
ABCOST
0,0686
0,0686
0,0686
0,0686
0,0686
0,0686
2,887
2,887
2,887
2,887
2,887
0
0,2
0,4
0,6
0,8
0
0,0007
0,0049
0,0157
0,036
2,887
1
0,0686
103
Tabel 23. Nilai TECOST
TO
0,71
5.2
C1
0,226
FORC
1,42
LAM
1,41
C3
0,44
TE
0,7648954
A1
0,0035
TECOST
0,0135055
Skenario
Ada lima skenario yang akan dilakukan dalam analisis model, yaitu skenario
”Base”, ”Optimum”, ”Concentration”, ”Reduction-1” dan ”Reduction-2”.
Skenario ”Base” (Base Scenario); Dalam skenario ”Base”, tidak ada
abatement, maka abatement cost tidak terjadi dan temperature cost juga diasumsi
menjadi nol. Hal ini merupakan representasi skenario BAU (Business –as- Usual).
Pada skenario ini masalah iklim tidak memiliki dampak pada ekonomi, dengan
perkataan lain ekonomi tidak bereaksi terhadap pengaruh dari iklim. Sedangkan
kondisi ”Base Case” adalah tidak ada skenario, dan perekonomian berjalan apa
adanya.
Skenario “Optimal” (Optimal Scenario); Dalam skenario “Optimal”, optimal
abatement rate dihitung. Titik optimal terjadi dimana marginal abatement cost sama
dengan marginal temperature cost. Iklim mempengaruhi ekonomi dan ekonomi
bereaksi dengan cara menginvestasi untuk mengurangi emisi (abatement cost).
Skenario ”Concentration” (Concentration Scenario) ; Dalam skenario
”Concentration” , lapisan atas atau atmosfir ( Upper bound ) diisi oleh konsentrasi
emisi gas CO2. Skenario ini mereflesikan suatu situasi dimana pembuat kebijakan
menetapkan tujuan untuk
menghadapai masalah emisi gas CO2 yang akan
meningkatkan konsentrasi emisi gas CO2 di atmosfir. Skenario ini tidak harus optimal
dan respon ekonomi adalah dengan cara menetapkan tingkat biaya yang paling efektif
(least cost).
Skenario ”Reduction” (Reduction Scenario); Dalam skenario ”Reduction “
lapisan atas atau atmosfir diisi oleh konsentrasi emisi gas CO2. Pada skenario ini
pembuat kebijakan dapat mengatur jumlah emisi gas CO2 yang akan dilepaskan ke
atmosfir sehingga jumlah konsentrasi emisi gas CO2 di lapisan atas atau atmosfir
meningkatkan sesuai dengan laju emisi. Untuk ”Reduction-1” laju tersebut sebesar
10% dari jumlah emisi yang ada pada saat ini dan ”Reduction-2” adalah sebesar 20%
dari jumlah emisi yang ada pada saat ini.
104
Sebagai konsekuensi dari skenario, maka nilai Y(T) atau output nasional dan Q(T) atau
level dari GDP diinterpretasikan berdasarkan pendekatan formula :
Q(T) = Y(T) / (1-abcostT)*(1-tecostT)
Dalam skenario “Base“ ;
abcost = 0 dan tecost = 0, maka QT = YT
Skenario “ Optimal“ ;
abcost > 0 dan tecost > 0, maka QT > YT
Skenario “Concentration”; abcost > 0 dan tecost > 0, maka QT > YT
Skenario “ Reduction“ ;
5.3
abcost > 0 dan tecost > 0, maka QT > YT
Pajak Emisi Gas CO2 Yang Optimal
Berdasarkan besaran skalar, parameter dan variabel yang disimulasi dalam
model dengan program GAMS (lampiran 1 dan 2), dengan nilai R sebesar 3% pajak
karbon untuk Indonesia berkisar antara USD 54,245 – USD 8714,693 per ton karbon
untuk periode 1990 -2020 seperti pada gambar 63. Pendapatan kotor domestik (GDP)
berkisar antara Rp245,103 triliun – Rp1844,951 triliun untuk periode yang sama dan
pendapatan per kapita mengalami kenaikan yaitu sebesar Rp1,364 juta pada tahun
1990 menjadi Rp 6,901 juta pada tahun 2020. Besarnya pajak didapat sebagai hasil
kontribusi total emisi karbon Indonesia terhadap rest of the world. Jika Indonesia
menggunakan kebijakan pajak karbon yang besarnya berkisar antara USD 54,245 USD 8714,693 per ton karbon dan rest of the world melakukan hal yang sama, maka
besarnya forcing yang terjadi diperkirakan berada pada kisaran 2,086 W/m2 pada tahun
1990 dan meningkat menjadi 12,197 W/m2 pada tahun 2019. (lampiran 3)
Dengan skenario pajak optimal, dimana social discount rate yang digunakan
sebesar 3%, maka dengan asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 5% per tahun dan
pertumbuhan penduduk sebesar 1,2% per tahun GDP Indonesia tidak mengalami
penurunan jika dibandingkan dengan “Base Case”. Tren kenaikan mengikuti pola
pada gambar 64. Hal ini akan berimplikasi pada pendapatan per kapita yang konsisten
sesuai dengan kenaikan GDP (lampiran5).
105
Pajak Karbon Optimal (R=3%) 1990-2019
10.000,000
USD/T Karbon
8.000,000
6.000,000
4.000,000
2.000,000
19
90
19
92
19
94
19
96
19
98
20
00
20
02
20
04
20
06
20
08
20
10
20
12
20
14
20
16
20
18
0,000
C Tax
Tahun
Gambar 63. Pajak karbon Indonesia untuk periode 1990-2019
1.500,000
1.000,000
500,000
0,000
19
90
19
92
19
94
19
96
19
98
20
00
20
02
20
04
20
06
20
08
20
10
20
12
20
14
20
16
20
18
Q(Tln IDR)-1993 price
GDP Indonesia Periode 1990 -2019
2.000,000
GDP-pajak (R3%)
GDP-Base Case
Tahun
Gambar 64. Tren GDP Indonesia dengan adanya pajak emisi gas CO2
untuk periode 1990-2019
Presentase Perubahan PCY vs GDP
PCY Base Scenario
PCY Optimal
Q Base Scenario
Q Optimal
% Perubahan
20,0
15,0
10,0
5,0
0,0
-5,0
90
95
20
5
10
15
20
Tahun
Gambar 65. Presentase perubahan pendapatan per kapita dan GDP untuk
”Base Scenario” dan ”Optimal Scenario”
106
Pada gambar 65 dapat dilihat bahwa persentase perubahan pendapatan per
kapita terhadap GDP. Pada periode 2000 – 2005 presentase pendapatan mengalami
penurunan karena rendahnya presentase GDP. Pada gambar 66 dapat dilihat bahwa
dalam jangka panjang pendapatan per kapita terus mengalami peningkatan sementara
konsumsi per kapita akan mengalami penurunan. Pendapatan per kapita yang
meningkat disebabkan karena dalam jangka panjang pengeluaran untuk abatement cost
dan temperature cost yang lebih rendah atau relatif kecil jika dibandingkan dengan
kebijakan yang tidak memperlakukan pajak karbon. Biaya yang dikeluarkan untuk
mengurangi dampak dari akibat adanya emisi tergantung seberapa besar emisi tersebut
dikendalikan. Kisar untuk pengeluaran abatement cost untuk periode 30 tahun (19902019) adalah sebesar 0,9 – 6,7 % dari GDP dalam kondisi optimal. Dalam kondisi
Base Scenario adalah 0%, pada kondisi Concentration Scenario sebesar 0,69%, dalam
kondisi Scenario Reduction-1 berkisar 0% (0,0088 %) dan Scenario Reduction-2
sebesar 0,0065%.
Faktor yang mempengaruhi menurunnya konsumsi per kapita adalah karena adanya
peningkatan jumlah populasi dan pengaruh dari investasi, sedangkan besarnya
kontribusi abatement cost yang dikeluarkan akan mempengaruhi pendapatan per
kapita.
CPC-Base Scenario
PCY-Base Scenario
CPC-Optimal Scenario
PCY-Optimal
20
17
20
14
20
11
20
08
20
05
20
02
19
99
19
96
19
93
19
90
(Dalam Juta IDR
Konsumsi & Pendapatan Per Kapita
9,000
8,000
7,000
6,000
5,000
4,000
3,000
2,000
1,000
0,000
Tahun
Gambar 66. Tren konsumsi dan pendapatan per kapita periode 1990 -2019
”Optimal Scenario” terhadap ”Base Scenario”
107
Besarnya ABCOST terhadap GDP pada gambar 67 untuk beberapa skenario seperti
skenario Base, Reduction-1 dan Reduction-2 berada dibawah 0,01% sedangkan untuk
Skenario Concentration, dimana emisi karbon dikendalikan seluruhnya, maka nilai
ABCOST berada pada 6.9 % dari GDP. Pada kondisi optimal mulai dari periode 2002 –
2016 abatement cost yang harus dikeluarkan adalah sebesar 6,9% GDP per tahun
(lampiran3).
ABCOST Terhadap GDP
% GDP (x100)
0,080
0,060
0,040
0,020
19
90
19
92
19
94
19
96
19
98
20
00
20
02
20
04
20
06
20
08
20
10
20
12
20
14
20
16
20
18
0,000
ABCOST - Optimal
ABCOST -Base
ABCOST Concentration
ABCOST -Reduction 1
ABCOST -Reduction 2
Tahun
Gambar 67. Presentase ABCOST terhadap GDP untuk beberapa skenario (R3%)
ABCOST - R3%
%GDP (x100)
0,080
0,060
0,040
rati
ent
oncal
C
ST ptim
CO
AB OST Ose
a
C
AB OST B
C
AB
0,020
0,000
90
95
ABCOST Base
ABCOST Optimal
ABCOST Concentration
20
5
Tahun
10
15
on
20
Gambar 68. Presentase ABCOST terhadap GDP untuk beberapa skenario
Pada gambar 68 dapat dilihat bahwa untuk mempertahankan suhu rata-rata permukaan
maksimum 7 oC, maka dalam kondisi optimal besarnya ABCOST untuk periode 20052015 adalah sebesar 6,9% GDP. Perubahan suhu rata-rata permukaan bumi yang akan
108
terjadi jika Indonesia melakukan skenario dengan tingkat R3% dapat dilihat pada
gambar 72.
Besarnya perubahan pendapatan per kapita dan GDP untuk masing-
masing skenario dengan nilai social rate time preference yang sama (sebesar 3%)
dapat dilihat pada gambar 69. Pendapatan per kapita untuk skenario optimal berada
diatas skenario reduction-1 dan reduction-2. Jika dibandingkan dengan skenario base,
maka pendapatan per kapita pada kondisi ”Base Scenario” masih lebih tinggi jika
dibandingkan dengan skenario lainnya pada tingkat R3%. Hal ini menunjukkan bahwa
menggunakan kebijakan optimal akan lebih baik dibandingkan dengan mengurangi
emisi pada level 10% atau 20% dari level emisi yang ada pada saat ini.
9,000
8,000
7,000
6,000
5,000
4,000
3,000
2,000
1,000
0,000
19
90
19
92
19
94
19
96
19
98
20
00
20
02
20
04
20
06
20
08
20
10
20
12
20
14
20
16
20
18
PCY ( Juta IDR)
Pendapatan Per Kapita (R=3%)
PCY- Reduction1
PCY -Reduction2
PCY -Base
PCY-Optimal
PCY -Concentration
Tahun
Gambar 69. Pendapatan per kapita untuk beberapa skenario setelah adanya
pajak emisi
Pada kenyataannya kita tidak menemukan emisi gas CO2 yang tidak dikendalikan
seperti pada skenario ”Base” begitu juga sebaliknya pada kondisi yang sepenuhnya
dikendalikan pada skenario ”Concentration”. Kondisi ini memberikan gambaran
bahwa pilihan skenario hanya akan dilakukan pada skenario ”Optimal” atau
”Reduction” . Besarnya reduction (MIU) tergantung dari berapa besar pajak emisi
yang dapat diterima oleh masyarakat dan konsekuensi dari Besarnya abatement cost
atau besarnya suhu rata-rata permukaan bumi yang akan diharapkan.
109
GDP (R=3%)
GDP ( Tln IDR
2.000,000
1.500,000
1.000,000
500,000
19
90
19
92
19
94
19
96
19
98
20
00
20
02
20
04
20
06
20
08
20
10
20
12
20
14
20
16
20
18
0,000
Q -Reduction2
Q -Reduction1
Q -Base Scenario
Q -Optimal
Q -Concentration
Tahun
Gambar 70. GDP Indonesia untuk beberapa skenario setelah adanya
pajak emisi gas CO2
Pada gambar 70. dapat dilihat bahwa jika pemerintah memperkenalkan kebijakan
dengan pengurangan emisi karbon sebesar 10% (MIU=0,1) dari level emisi yang ada
pada saat ini, maka akan berdampak pada pengurangan GDP. Dengan kebijakan pada
skenario Reduction-2 (MIU=0,2), maka GDP masih berada diatas kondisi
GDP
optimal. Masing-masing skenario akan berdampak pada besarnya pajak karbon yang
akan dikenakan pada BBF yang dipakai. Pada
gambar 71 dapat dilihat bahwa
besarnya pajak karbon pada kondisi optimal jauh berada diatas skenario Reduction-1
dan Reduction -2.
C Tax -Reduction2
C Tax -Reduction1
C Tax -Base Scenario
C Tax-Optimal
20
17
20
14
20
11
20
08
20
05
20
02
19
99
19
96
19
93
9000,000
8000,000
7000,000
6000,000
5000,000
4000,000
3000,000
2000,000
1000,000
0,000
19
90
C Tax ( USD/T)
Pajak Karbon -R3%
Tahun
Gambar 71. Besar pajak karbon/ton untuk beberapa skenario periode 1990 – 2019
110
Suhu Rata-Rata Permukaan Bumi -R3%
12
Suhu ( deg C )
10
8
Base Scenario
Optimal
Concentration
Reduction 1
Reduction 2
6
4
2
0
1990
1995
2000
2005
2010
2015
2020
Tahun
Gambar 72. Kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi jika Indonesia
melakukan beberapa skenario dengan R3%
Suhu Rata-Rata Permukaan Bumi -R2%
12
Suhu (deg C )
10
8
6
Base Scenario
Optimal
Concentration
Reduction 1
Reduction 0.5
4
2
0
1990
1995
2000
2005
2010
2015
2020
Tahun
Gambar 73. Kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi jika Indonesia
melakukan beberapa skenario dengan R2%
Jika model di run dengan menggunakan nilai R2%, maka suhu rata-rata permukaan
diharapkan berkisar pada 4 oC dengan asumsi rest of world melakukan kebijakan yang
sama. Jika Indonesia tidak melakukan tindakan apa-apa ( no action policy), dan rest of
world melakukan hal yang sama
maka suhu permukaan pada tahun 2020 akan
mengalami peningkatan sekitar 10 oC.
5.4
Dampak Dari Pajak Emisi Gas CO2
Berdasarkan
output model (lampiran 8) untuk beberapa skenario, terlihat
dengan jelas bahwa besarnya pajak karbon atau pajak emisi gas CO2 akan berimplikasi
pada output nasional dan level dari total produksi nasional. Besar kecilnya pajak
111
karbon atau emisi tergantung dari berapa besar ”emission control rate” atau nilai MIU
yang akan digunakan oleh pembuat kebijakan. Seperti yang telah diuraikan pada
deskripsi dari model bahwa model DICE sangat sensitif terhadap nilai dari rate of
social time preference. Jika social discount rate berkurang, maka akumulasi kapital
dan output bertambah, maka konsentrasi emisi gas CO2 akan bertambah. Jika social
discount rate meningkat, maka bobot konsumsi ditunda untuk waktu yang akan
datang, karena konsentrasi emisi gas CO2 akan berkurang. Fraksi dari ABCOST
terhadap GDP akan menentukan berapa besarnya biaya yang dikeluarkan untuk
mengatasi emisi, dilain pihak perubahan iklim yang mengakibatkan perubahan suhu
permukaan bumi akan menentukan berapa besar biaya kerusakan (damage cost) yang
harus dikeluarkan akibat dari perubahan iklim tersebut.
Dalam kondisi optimal biaya kerusakan (damage cost) akan sama dengan biaya
abatement. Perubahan GDP akan mempengaruhi pendapatan masyarakat melalui fraksi
pengurang akibat adanya biaya kerusakan tersebut. Untuk mengatasi kerusakan
tersebut pembuat kebijakan perlu menentukan besarnya nilai MIU (control rate) yang
akan digunakan, dimulai dengan skenario ”Base” dengan control rate 0% sampai
dengan 100%, artinya pajak karbon atau pajak emisi gas CO2 akan berada pada kisar
nol rupiah per ton sampai dengan suatu nilai rupiah tertentu.
Pendapatan Per Kapita
PCY( JutaIDR)
8,000
6,000
4,000
2,000
PCY - Base Case
PCY - Reduction 5% -R3%
PCY - Opt R3%
20
17
20
14
20
11
20
08
20
05
20
02
19
99
19
96
19
93
19
90
0,000
Tahun
Gambar 74. Pendapatan per kapita untuk beberapa skenario periode 1990-2019
Pada gambar 74 dapat dilihat dampak dari pendapatan per kapita dalam kondisi
optimal dan skenario Reduction 5% untuk rate of social time preference sebesar 3%.
Dengan asumsi pertumbuhan penduduk 1,2% per tahun dan pertumbuhan ekonomi
sebesar 5% pertahun, maka jika pembuat kebijakan memperlakukan pajak karbon atau
112
pajak emisi gas CO2 dengan skenario optimal dan besar pengurangan emisi gas CO2
sebesar 5% dari kondisi saat ini, pendapatan perkapita tidak akan mengalami
penurunan relatif terhadap skenario ”Base case” ( BAU). Skenario BAU dalam hal ini
adalah suatu kondisi dimana treatment terhadap emisi tidak dilakukan sama sekali,
artinya tidak ada kebijakan pajak yang akan diperlakukan. Pada gambar 75 dapat
dilihat bahwa, jika pembuat kebijakan memperlakukan pajak karbon terhadap sumber
energi dengan skenario optimal dengan pengurangan emisi sebesar 5%, 10% dan
20% dari tingkat emisi yang ada pada saat ini, maka pendapatan per kapita tidak
mengalami penurunan relatif terhadap kondisi base case.
Pendapatan Per Kapita
PCY ( Juta IDR)
8,000
6,000
4,000
2,000
PCY
PCY
PCY
PCY
PCY
-Base Case
-Red 5%
-Red 10%
-Red 20%
-Optimal
20
17
20
14
20
11
20
08
20
05
20
02
19
99
19
96
19
93
19
90
0,000
Tahun
Gambar 75. Tren pendapatan per kapita Indonesia untuk periode 1990 – 2019 (R3%)
Besar pajak karbon dan emisi gas CO2 untuk beberapa skenario berdasarkan nilai
R=3% adalah sebagai berikut :
Tabel 24. Pajak karbon dan emisi gas CO2 Indonesia periode 1990-2019 untuk R3%
Periode
1990 - 2019
1990 - 2019
Pajak karbon untuk beberapa skenario (USD/T)
Base
Optimal
Reduction 5%
0,09 - 3,60 54,2 - 8714,7
17,8 - 54,8
0,00 - 98,3
Reduction 10%
50,9 - 2764,8
Reduction 20%
52,9 - 3085,8
Pajak emisi gas CO2 untuk beberapa skenario (USD/T)
0,00 - 2376,7
0,00 - 716,1
0,00 - 754,0
0,00 - 841,6
Petrol : BBM - bensin dan minyak solar
Jika faktor konversi untuk 1 liter petrol adalah 0,00222 tCO2/liter, maka 1 ton CO2
ekivalen dengan 450,45 liter petrol ( 450 liter). Besarnya pajak CO2 yang dikenakan
113
untuk tiap liter petrol ( bensin dan diesel ) sesuai dengan tabel 25. Jika faktor konversi
untuk 1 ton batubara adalah 1,84 tCO2/ton, maka 1 ton CO2 ekivalen dengan 0,54 ton
batubara. Besarnya pajak CO2 yang dikenakan untuk setiap ton batubara seperti
terlihat pada tabel 26. Berat karbon dan emisi gas CO2 dihitung berdasarkan
perbandingan berat molekul unsur karbon terhadap unsur karbon dioksida (CO2). Satu
(1) ton karbon ekivalen dengan 3,667 ton CO2.
Tabel 25. Pajak emisi gasCO2 /liter BBM Indonesia periode 1990 – 2019 untuk R3%
Periode
1990 - 2019
Pajak emisi gas CO2 untuk beberapa skenario (USD/liter BBM)
Base
0,00 - 0,21
Optimal
0,00 - 0,520
Reduction 5%
0,00 - 1,59
Reduction 10%
0,00 - 1,67
Reduction 20%
0,00 - 1,87
Tabel 26. Pajak emisi gas CO2 /ton batubara Indonesia periode 1990-2019 untuk R3%
Periode
1990 - 2019
Pajak emisi gas CO2 untuk beberapa skenario (USD/ton batubara)
Base
0,00 - 180,9
Optimal
0,00 - 4373,2
Reduction 5%
0,00 - 1317,7
Reduction 10%
0,00 - 1387,4
Reduction 20%
0,00 - 1548,5
Pajak CO2 Per Liter Petrol
CO2 Tax/liter (USD)
6,000
5,000
4,000
3,000
2,000
1,000
CO2
CO2
CO2
CO2
CO2
Tax /liter Base
Tax/liter Optimal
Tax/liter Red 5%"
Tax/liter Red 10%
Tax/liter Red 20%
20
17
20
14
20
11
20
08
20
05
20
02
19
99
19
96
19
93
19
90
0,000
Tahun
Gambar 76. Besarnya kenaikan harga BBM per liter dengan adanya pajak emisi
gas CO2 untuk periode 1990-2019
114
Pajak emisi gas CO2 akan berdampak pada kenaikan harga jual dari bahan bakar
minyak (BBM). Pembuat kebijakan memiliki pilihan apakah akan menaikkan harga
melalui pajak karbon atau melalui pajak emisi gas CO2. Tren dari kenaikan terhadap
harga jual per liter BBM setelah ada pajak karbon atau pajak emisi gas CO2 tersebut
dapat dilihat pada gambar 76. Untuk batubara besarnya kenaikan harga akibat adanya
pajak emisi gas CO2 dapat dilihat pada gambar 77.
Pajak CO2 Per Ton Batubara
CO2Tax/T(USD)
5000,000
4000,000
3000,000
2000,000
1000,000
CO2
CO2
CO2
CO2
CO2
Tax/ton
Tax/ton
Tax/ton
Tax/ton
Tax/ton
-Base
-Optimal
-Red 5%
-Red 10%
- Red 20%
20
17
20
14
20
11
20
08
20
05
20
02
19
99
19
96
19
93
19
90
0,000
Tahun
Gambar 77. Besarnya kenaikan harga per ton batubara dengan adanya pajak
emisi gas CO2 untuk periode 1990-2019 (R3%)
5.5
Analisis Sensitivitas
Model DICE sangat sensitive terhadap nilai social time preference (R), karena akan
mempengaruhi discount factor dari model (lampiran 4). Pada tahun ke 20 dari tahun
dasar perubahan nilai R akan berdampak pada besarnya GDP secara signifikan dan
pada akhirnya akan mempengaruhi pendapatan per kapita. Besarnya nilai R yang akan
dipakai tergantung dari bagaimana nilai yang akan datang (future value ) yang akan
dipilih. Jika kemakmuran akan dinikmati pada saat ini maka discount rate yang
rendah akan dipilih dan sebaliknya. Pada gambar 78 dapat dilihat bahwa nilai R yang
kecil akan memberikan GDP yang besar dan tingkat GDP yang lebih tinggi (gambar
79). Konsekuensinya adalah generasi saat ini harus membayar pajak emisi gas CO2
lebih mahal guna melindungi generasi yang akan datang (lihat gambar 80). Ada tradeoff antara besarnya nilai R dan besarnya pajak karbon. Makin besar rate social time
preference yang digunakan, semakin kecil pajak karbon yang akan dibebankan kepada
pihak pencemar. Besar kecilnya nilai R tergantung pada bagaimana pembuat kebijakan
memberikan bobot pada antar generasi.
115
GDP Dalam Skenario Optimum
GDP ( Juta IDR
2.400,000
1.800,000
1.200,000
600,000
19
90
19
92
19
94
19
96
19
98
20
00
20
02
20
04
20
06
20
08
20
10
20
12
20
14
20
16
20
18
0,000
GDP -Opt
GDP -Opt
GDP -Opt
GDP -Opt
GDP -Opt
R2%
R3%"
R4%
R5%
R6%
Tahun
Gambar 78. Perubahan GDP akibat perbedaan nilai R
Pendapatan Per Kapita
7,500
PCY(Juta IDR)
6,000
4,500
3,000
1,500
PCY-R2%
PCY-R3%
PCY-R4%
PCY-R5%
PCY-R6%
20
18
20
16
20
14
20
12
20
10
20
08
20
06
20
04
20
02
20
00
19
98
19
96
19
94
19
92
19
90
0,000
Tahun
Gambar 79. Perubahan pendapatan per kapita akibat perbedaan nilai R
Pajak Karbon
30.000,000
25.000,000
20.000,000
15.000,000
10.000,000
5.000,000
C
C
C
C
C
Tax
Tax
Tax
Tax
Tax
-Opt
-Opt
-Opt
-Opt
-Opt
R2%
R3%
R4%
R5%
R6%
20
14
20
16
20
18
20
10
20
12
20
04
20
06
20
08
20
00
20
02
19
96
19
98
0,000
19
90
19
92
19
94
CTax(USD/T)
35.000,000
Tahun
Gambar 80. Pajak karbon optimal dengan nilai R 2% - 6%
116
Suhu Rata-Rata Permukaan Bumi -Optimal
9,00
8,00
Suhu ( deg C )
7,00
6,00
5,00
Optimal R2%
Optimal R3%
Optimal R4%
Optimal R5%
Optimal R6%
4,00
3,00
2,00
1,00
0,00
1990
1995
2000
2005
2010
2015
2020
Tahun
Gambar 81. Kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi jika Indonesia
melakukan pilihan pada skenario optimal R2% - R6%
Dengan menggunakan nilai R5%, maka besar pajak karbon pada kondisi optimal
berada pada kisar USD3,90 – USD 40.00 per ton dan kenaikan suhu rata-rata
permukaan bumi pada periode tahun 2020 akan mengalami kenaikan sekitar 7 oC.
Dengan R2% suhu diperkirakan turun menjadi 4 oC pada periode yang sama. Hal ini
menunjukkan bahwa rest of world harus melakukan hal yang sama. Jika negaranegara penghasil emisi gas CO2 tidak melakukan penurunan emisi secara signifikan
(minimal pada level Protokol Kyoto), maka akan sulit untuk mencapai T 2xCO2 ( sekitar
2.5 oC – 3,5 oC) pada tahun 2100. Pada gambar 80 dapat dilihat bahwa nilai R5%
memberikan pajak karbon yang rendah dengan kisar USD 3,90 – USD 40,35 per ton
atau pajak emisi sebesar USD 1,06 – USD 11,00 per ton CO2. Besar pajak emisi gas
CO2 ekivalen dengan USD 0,02 – USD 0,024 per liter BBM dan USD 1,959 –USD
20,251 per ton batubara.
M IU Optim al
1,200
0,800
0,600
0,400
0,200
MIU -Opt
MIU -Opt
MIU -Opt
MIU -Opt
MIU -Opt
R2%
R3%
R4%
R5%
R6%
20
18
20
16
20
12
20
14
20
10
20
06
20
08
20
04
20
00
20
02
19
98
19
94
19
96
19
92
0,000
19
90
MIU(%)
1,000
Tahun
Gambar 82. Nilai MIU dalam kondisi optimal dengan R 2% -6%
117
Berdasarkan analisis sensitivitas, pembuat kebijakan tidak mungkin menggunakan
nilai R sebesar 2%, 3% dan 4% karena pada kondisi optimal besarnya nilai tersebut
memberikan tingkat pengendalian emisi (MIU=1) pada tingkat 100 %, artinya tidak
ada emisi yang diizinkan untuk dibuang. Nilai R yang dapat dijadikan pilihan adalah
antara R5% dan R6% sesuai dengan gambar 82. Dengan menggunakan nilai R5% dan
6%, maka tren pendapatan per kapita setelah adanya pajak emisi sesuai dengan gambar
84 dan tren pajak karbon sesuai dengan gambar 83. Pendapatan per kapita dengan nilai
R5% lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan nilai R6%
Pajak Karbon Untuk R5% & 6%
60,000
C Tax ( USD/T)
50,000
40,000
C Tax
C Tax
C Tax
C Tax
C Tax
C Tax
C Tax
C Tax
30,000
20,000
10,000
19
90
19
93
19
96
19
99
20
02
20
05
20
08
20
11
20
14
20
17
0,000
Base R5%
Opt R5%
Red1 R5%
Red2 R5%
Base R6%
Opt R6%
Red1 R6%
Red2 R6%
Tahun
Gambar 83. Pajak karbon untuk beberapa skenario terhadap ”Base Case”
Pendapatan Per Kapita R5% & 6%
PCY (Juta IDR)
10,000
8,000
PCY
PCY
PCY
PCY
PCY
PCY
PCY
PCY
PCY
6,000
4,000
2,000
19
9
19 0
92
19
9
19 4
96
19
9
20 8
0
20 0
0
20 2
0
20 4
06
20
0
20 8
1
20 0
1
20 2
14
20
1
20 6
18
0,000
Base R5%
Opt R5%
Red1 R5%
Red2 R5%
Base Case
Base R6%
Opt R6%
Red1 R6%
Red2 R6%
Tahun
Gambar 84. Pendapatan per kapita untuk beberapa skenario terhadap ”Base Case”
118
5.6
Skenario Kebijakan
Berdasarkan output model dari analisis sensitivitas, maka nilai pajak yang
optimal adalah dengan nilai sebesar R5% dan level pengendalian (control rate of
emission) untuk periode 1990-2019 berada pada kisar 20-80%. Tingkat pengendalian
tersebut meningkat menjadi 99% untuk periode 2012 -2016 sesuai dengan tren pada
gambar 85. Pilihan ini berdasarkan pertimbangan pendapatan, perubahan suhu, besar
pajak emisi dan nilai MIU.
Var iabe l Ke bijak an (M IU) R5% & R6%
1,000
MIU(%
)
0,800
0,600
0,400
0,200
MIU Opt 5%
MIU Opt 6%
.
20
18
20
16
20
14
20
12
20
10
20
08
20
06
20
04
20
02
20
00
19
98
19
96
19
94
19
92
19
90
0,000
Tahun
Gambar 85. Level pengendalian emisi untuk nilai R5% dan R6%
Jika pembuat kebijakan menggunakan skenario dengan nilai R5%, maka dampak
terhadap pajak karbon dan pajak emisi gas CO2 terhadap BBM dan batubara adalah
sebagai terlihat pada gambar 86 dan gambar 87. Besarnya pajak emisi gas CO2 untuk
BBM berada pada kisar USD 0,002 –USD 0,024 per liter (1990-2019) dan pajak emisi
gas CO2 untuk batubara pada kisar USD 1,959 –USD 20,251 per ton. Pada periode
1994 -2008 control rate berada pada kisar 20-40% artinya Pembuat kebijakan harus
menurunkan tingkat emisi berkisar antara 20-40% dari level yang ada pada saat ini.
0,025
0,020
0,015
0,010
0,005
0,000
19
90
19
92
19
94
19
96
19
98
20
00
20
02
20
04
20
06
20
08
20
10
20
12
20
14
20
16
20
18
CO2 Tax (USD/Liter)
Dam pak Ke naik an Harga Pe trol /Lite r
0,030
CO2
CO2
CO2
CO2
Tax /liter Petrol -Opt
Tax/liter Petrol -Base
Tax/liter Petrol -Red1
Tax/liter Petrol - Red2
Tahun
Gambar 86. Besarnya kenaikan harga BBM per liter dalam kondisi optimal
119
CO2 Tax (USD/T)
Dam pak Kenaikan Harga Batubara/T
25,000
20,000
15,000
10,000
5,000
19
90
19
92
19
94
19
96
19
98
20
00
20
02
20
04
20
06
20
08
20
10
20
12
20
14
20
16
20
18
0,000
CO2 Tax
CO2 Tax
CO2 Tax
CO2 Tax
Batubara/T - Base Tahun
Batubara/T - Opt"
Batubara/T -Red1
Batubara/T - Red2
Gambar 87. Besarnya kenaikan harga batubara per ton dalam kondisi optimal
5.7
Penerimaan Pajak Emisi Gas CO2
Dengan skenario kebijakan optimal, maka pajak emisi gas CO2 per liter BBM
untuk periode 1990 – 2019 berada pada kisar USD 0,002 – USD 0,024 per liter dan
batubara berada pada kisar USD 1,959 – USD 20,251 per ton.
Estimasi total
penerimaan pajak emisi gas CO2 yang berasal dari BBM dan batubara adalah sebesar
USD 457,6 juta – USD 2.362,2 juta seperti terlihat pada gambar 88 (lampiran 9).
2.000,000
1.500,000
1.000,000
500,000
0,000
19
90
19
92
19
94
19
96
19
98
20
00
20
02
20
04
20
06
20
08
20
10
20
12
20
14
20
16
20
18
Pajak Emisi ( Million USD)
Estimasi Penerimaan Dari Pajak Emisi BBM & Batubara
2.500,000
Estimasi Penerimaan
Pajak BBM
Estimasi Penerimaan
Pajak Emisi Dari Batubara
Total Penerimaan Pajak
Tahun
Gambar 88. Estimasi penerimaan dari pajak emisi gas CO2 dalam kondisi optimal –R5%
periode 1990 -2019
120
Besarnya penerimaan pajak tersebut dapat diubah tergantung dari tingkat pengendalian
emisi (nilai MIU) yang akan diberlakukan. Jika level emisi gas CO2 tidak dikendalikan
pada kondisi optimal tetapi pada skenario kondisi Reduction-1 ( pengurangan 10% dari
level yang pada saat ini), maka besar pajak karbon untuk BBM berkisar pada USD 3,9
– USD 40,3 per ton dan pajak emisi gas CO2 berada pada kisar USD 1,06 – USD
11,00 per ton. Pada skenario Reduction-2 ( pengurangan 20% dari level yang ada
pada saat ini), besar pajak karbon berkisar pada USD 3,9 – USD 43,06 per ton dan
pajak emisi gas CO2 berada pada kisar USD 1,06 – USD 11,7 per ton. Perubahan
besarnya pajak emisi gas CO2 dan pajak karbon dapat dilihat pada lampiran 8.
Pembuat kebijakan dapat menggunakan kombinasi dari beberapa skenario untuk
periode tertentu. Misalnya periode 10 tahun pertama menggunakan nilai optimal, 10
tahun kedua menggunakan nilai reduction-1.
VI. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
6.1
Kesimpulan
1.
Model DICE ( Dinamic Integrated Model of Climate and the Economy)
adalah
model ”Three Boxes Model” yaitu suatu
model yang
menjelaskan dampak emisi gas CO2 terhadap pemanasan global dan
perubahan iklim karena meningkatnya konsentrasi emisi gas CO2 di
atmosfir. Meningkatnya konsentrasi emisi gas CO2 akan berdampak
pada
meningkatnya
radiative
forcing
yang
ditandai
dengan
meningkatnya suhu rata-rata permukaan global. Kenaikan suhu ratarata global akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi setiap
negara melalui perubahan output nasional (GDP). Pajak emisi gas CO 2
atau pajak karbon untuk Indonesia dapat dijelaskan melalui model
DICE yang telah dimodifikasi dan variabel dalam model disesuaikan
dengan kondisi Indonesia.
2.
Simulasi model juga menunjukkan bahwa makin besar nilai rate of
social time preference (R) maka semakin tinggi kenaikan suhu rata-rata
permukaan global dan semakin kecil pajak emisi yang dikenakan
untuk setiap unit bahan bakar dan semakin kecil level pengendalian
(control rate) yang diperlukan.
3.
Hasil simulasi model dengan program GAMS ( General Algebraic
Modelling System ) menunjukkan bahwa pada skenario optimal dengan
rate social time preference sebesar 3% maka tingkat pendapatan per
kapita tidak mengalami penurunan jika dibandingkan dengan kondisi
”Base Case” yaitu suatu kondisi dimana GDP bertumbuh sebesar 5%
per tahun dan pertumbuhan penduduk sebebsar 1,2% per tahun. Pada
skenario optimal pajak karbon untuk BBM akan berada pada kisar
USD 54,2 –USD 8714 untuk periode 1990-2019 dan pajak emisi gas
CO2 akan berada pada kisar USD 0,00 – USD 2376 per ton. Sedangkan
untuk batubara pajak emisi gas CO2 berada pada kisar USD 0,00 –
USD 4373,2 per ton batubara. Nilai tersebut ekivalen dengan USD 0,00
122
– USD 5,20 per liter untuk emisi gas CO 2 bahan bakar minyak.
Pendapatan per kapita pada skenario optimal berada dibawah skenario
base, tetapi masih berada diatas skenario reduction.
4.
Berdasarkan analisis sensitivitas dengan menggunakan berbagai nilai
rate
of social time preference (R), maka output dari model
menunjukkan bahwa nilai social time preference 5% dan 6%
memberikan nilai pajak optimal yang rendah relatif dibandingkan jika
menggunakan nilai dari R3% (gambar 80). Jika kondisi optimal
dengan R3% akan dipakai sebagai suatu skenario, maka level
pengendalian terhadap emisi dari kondisi yang ada pada saat ini
berada pada level 40 - 99%. Dengan menggunakan skenario ini maka
hampir
sepanjang
tahun
selama
periode 1990 – 2019 level
pengendalian tersebut berada pada kisar 40 - 99% (lihat gambar 82).
Dengan nilai R 5% pada skenario optimal hasil simulasi menunjukkan
tingkat GDP lebih tinggi relatif jika model mengunakan nilai R6%
tetapi lebih rendah dibandingkan dengan menggunakan R3%.
Pendapatan per kapita pada skenario optimal dengan nilai R5% dan
6% masih berada diatas rata-rata skenario Base Case (gambar 84)
sedangkan pendapatan menggunakan nilai R5% sedikit berada diatas
5.
Berdasarkan
R6%.
output model dengan skenario optimal biaya abatement
berkisar antara 0,1 - 6,7% dari GDP untuk periode 1990-2019. Pajak
karbon berada pada kisar USD 3,90 – USD 40,35 per ton karbon atau
pajak emisi gas CO2 sama dengan USD 1,06 – USD11,00 per ton.
Besarnya pajak emisi gas CO2 tersebut ekivalen dengan USD 0,002 –
USD 0,024 per liter BBM untuk periode tahun 1990 -2019. Pajak emisi
gas CO2 untuk batubara berada pada kisar USD 1,959 – USD 20,251
per ton.
6.
Berdasarkan estimasi tren emisi gas CO2 Indonesia untuk periode
1990-2019, maka perkiraan penerimaan pajak emisi CO 2 pada kondisi
optimal untuk sektor BBM adalah antara USD 232,52 juta – USD
1.585,6 juta per tahun dan penerimaan pajak CO2 yang berasal dari
123
batubara berkisar antara USD 81,4 juta – USD 777,219 juta untuk
periode yang sama. Perkiraan total penerimaan untuk BBM dan
batubara berkisar USD 457,6 juta – USD 2.362,8 juta untuk periode
tahun1990 -2019 (gambar 88).
7.
Variabel kebijakan MIU ( μ ) untuk nilai R5% pada skenario optimal
berada pada kisar
0,2 – 0,8 ( 20% -80%). Artinya jika pembuat
kebijakan akan memilih skenario optimal, pengurangan emisi dari
kondisi yang ada pada saat ini akan berada pada kisar 20% sampai
dengan 80 % untuk periode 1990 -2019. Selama periode 2012 sampai
2016 nilai MIU(μ) berada pada kisar 60-100%
8.
Total konsumsi bahan bakar terhadap penduga parameter 89% dapat
diterangkan
oleh variabel bahan bakar dan pendapatan. Koefisien
diterminasi antara bahan bakar dan total konsumsi adalah sebesar
82,5% dan koefisien antara total konsumsi terhadap pendapatan
sebesar 72,8%. Model ekonometrik juga menjelaskan bahwa harga
bahan bakar tidak elastis terhadap total konsumsi.
6.2
Implikasi Kebijakan
1.
Emisi antropogenik yang disebabkan oleh bahan bakar minyak (BBM)
yang berupa emisi gas CO2 pada saat ini terus meningkat. Indonesia
tidak termasuk kedalam negara yang harus mengurangi emisi gas
rumah kaca, terutama CO2 sebagai mana yang telah ditetapkan dalam
Protokol Kyoto, tetapi Indonesia sudah meratifikasi protokol tersebut
sebagai komitmen
dalam bekerja sama dengan negara lain untuk
mengurangi emisi gas rumah kaca. Penurunan tingkat emisi oleh suatu
negara tidak memiliki dampak pada berkurangnya konsentrasi CO2 di
atmosfir, hal ini berimplikasi bahwa tingkat penurunan tersebut harus
dilakukan melalui komitmen bersama oleh semua negara penghasil
emisi gas rumah kaca khususnya emisi gas CO2 .
124
2.
Sebagai salah satu intrumen ekonomi, maka pajak emisi gas CO2 atau
pajak karbon dapat digunakan sebagai alternatif dari kebijakan
pengawasan dan pengendalian (command and control) yang ada pada
saat ini. Dengan adanya pajak emisi gas CO2 atau pajak karbon
terhadap bahan bakar minyak dan batubara, maka setiap individu
diharapkan
dapat
bertanggung
menggunakan setiap unit BBM.
jawab
dan
bijaksana
dalam
Sebagai salah satu faktor untuk
penghematan energi, maka pajak emisi gas CO2 atau pajak karbon
diharapkan dapat merubah pola konsumsi masyarakat terhadap
energi khususnya BBM. Faktor lain yang akan mempengaruhi
penghematan energi adalah perubahan teknologi. Dengan instrumen
ekonomi yang berupa pajak emisi maka pencemar memiliki pilihan
dan tidak harus mengganti alat produksi atau peralatan yang ada pada
saat ini karena adanya penerapan peraturan yang bersifat perintah
dan awasi (command and control), peralatan yang lama dapat tetap
dioperasikan
sejauh
pencemar
memberikan
kompensasi
dari
konsekuensi tindakan yang diambil melalui pembayaran pajak emisi.
Dengan mekanisme pajak emisi, penggantian peralatan, mesin-mesin
produksi dan kendaraan dapat dilakukan secara bertahap dengan
tetap
melakukan
efisiensi
energi
dan
mengurangi
kerusakan
lingkungan. Hal ini sulit dilakukan jika pembuat kebijakan hanya
3.
menggunakan
Dengan
adanyainstrumen
pajak karbon
regulasi
atau
yang
pajak
bersifat
emisitop-down.
gas CO2, maka setiap
individu akan
mencari keseimbangan dimana konsumen akan
menggunakan setiap peralatan produksi yang hemat energi tetapi disisi
lain pihak produsen akan berusaha untuk melakukan penelitian dan
pengembangan didalam menemukan efisiensi penggunakan BBM
secara terus menerus jika mereka menginginkan produk mereka akan
tetap berada dipasaran. Pajak emisi gas CO2 akan memberikan signal
kepada masyarakat untuk berpindah dari BBM kepada energi
alternatif. Hal ini disebabkan karena bekerjanya mekanisme harga.
Perubahan harga akan mempengaruhi perubahan teknologi melalui
125
proses peningkatan penelitian dan pengembangan dari energi yang
berbasis karbon kepada yang bukan karbon.
4.
Yang perlu diperhatikan oleh pembuat kebijakan bahwa pendapatan
pajak karbon atau emisi tidak dapat diberlakukan sebagai kebijakan
fiskal sebagaimana pendapatan yang diterima oleh negara dari sumber
pajak yang ada pada saat ini. Pendapatan pajak emisi harus disiklus
ulang melalui mekanisme khusus yang bertujuan agar penghasilan
tersebut
dapat
digunakan
untuk
kegiatan
lingkungan, seperti
memberikan insentif kepada pihak-pihak yang mengembangkan energi
substitusi, kemudahan impor bagi pihak manufaktur yang melakukan
produksi bersih, lembaga penelitian ataupun perguruan tinggi yang
melakukan penelitian efisiensi energi dan pihak produsen yang dengan
kesadarannya ikut mengurangi emisi.
6.
Emisi merupakan eksternalitas negatif, maka dengan pendapatan dari
pajak emisi gas CO2 eksternalitas tersebut dapat dikompensasi kepada
pihak yang paling dirugikan. Pihak masyarakat yang rentan terhadap
dampak eksternalitas tersebut pada umumnya adalah masyarakat
yang pendapatannya rendah. Kompensasi ini dapat diberikan seperti
pembebasan biaya sekolah dan kesehatan.
7.
Pajak sudah dipastikan akan menghilangkan subsidi. Subsidi energi
yang diberikan pemerintah saat ini bukan merupakan jalan keluar
untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, karena biaya BBM yang
murah dalam jangka panjang akan menjadi beban Nasional. BBM
yang murah mengakibatkan banyak energi terbuang dan membuat
kebiasaan pemborosan energi yang sulit dirubah. Penghilangan subsidi
hanya akan berdampak dalam jangka pendek, karena berdasarkan
output model penelitian pajak emisi tidak menurunkan pendapatan
per kapita masyarakat.
8.
Pembuat kebijakan memiliki opsi didalam menerapkan pajak emisi,
karena pajak karbon seharusnya diterapkan dihulu (upstream)
126
sedangkan pajak emisi gas CO2 terhadap konsumen akhir. Jika pajak
diterapkan dihulu, maka itu sama artinya dengan menaikkan per
satuan unit BBM atau energi sebelum dipakai oleh konsumen di hilir.
Pilihan lain adalah pajak dapat dikenakan sesuai dengan proporsi
tingkat emisi yaitu dengan menggunakan pajak karbon di hulu dan
pajak emisii gas CO2 pada konsumen akhir.
9.
Hasil dari model ekonometri menunjukkan bahwa BBM dalam hal ini
bensin dan solar secara statistik memiliki elastisitas lebih kecil dari
satu (0,130) terhadap konsumsi BBM. Jika harga BBM naik sebesar
1%, maka tingkat konsumsi hanya akan berpengaruh sebesar 0,130 %.
Hal ini merupakan signal penting bagi pembuat kebijakan karena
kenaikan harga energi yang disebabkan oleh pajak emisi gas CO2 tidak
berdampak signifikan terhadap konsumsi energi. Informasi ini penting
bagi Pemerintah dalam menerapkan kibijakan pajak. Pemerintah
memiliki pilihan apakah pajak akan diberlakukan sebagai penghasilan
pendapatan negara atau bertujuan untuk perbaikan lingkungan.
10.
Karena sifatnya yang transparan, maka pajak emisi adalah lebih
mudah terlihat dibandingkan dengan pembatasan emisi melalui
command and control, maka mengenalkan pajak emisi gas CO2 sebagai
suatu instrumen baru akan lebih sulit dari pada merubah kebijakan
yang ada pada saat ini. Proses ini yang memerlukan dukungan politik
dari semua lembaga terkait termasuk masyarakat. Pajak emisi akan
memicu pihak industri menjadi penentang utama, terutama dari
kelompok
industri
yang sangat
berpengaruh,
karena
industri
merupakan konsumen energi terbesar. Oleh karena itu perlu sosialisasi
yang baik dan waktu yang cukup didalam mengenalkan instrumen
pajak emisi gas CO2.
11.
Model penelitian ini menggunakan variabel total faktor produktivity
(TFP) sebagai variabel eksogen. Disarankan
untuk
dilakukan
127
penelitian lanjutan untuk mencari nilai TFP dengan cara menjadikan
variabel ini sebagai variabel endogen yang spesifik untuk Indonesia.
12.
Penelitian lebih lanjut juga perlu dilakukan untuk mencari nilai
exponent cost control function (b2) yang paling sesuai untuk Indonesia.
Faktor exponent of cost control function sebesar 2,887 akan berpengaruh
dalam
menentukan
besarnya
biaya
yang
dikeluarkan
mengurangi kerusakan sebagai fraksi dari pengeluaran nasional.
untuk
DAFTAR PUSTAKA
Ackerman, Frank and Finlayson. 2005. The Economic of Inaction on Climate
Change: A Critique. Global Development and Environment Institute,Tufts
University.
Baumert, A.K., Harzog, Timothy and J. Pershing. 2005. Navigating the Numbers.
Greenhouse Gas data and International Climate Policy. World Resources
Institute
Behavioral Responses to Environmentally-Related Taxes. 2000. Environment
Directorate.OECD. COM/ENV/EPOC/DAFFE/CFA(99) 111/FINAL.
Babiker, H.M., G. Metcalf, and J. Reilly. 2002. Tax Distortion and Global Climate
Policy.MIT Joint Program on the Science and Policy of Global Change.
Report No.85.MIT
Baer, P. and T. Athanasiou. 2006. Honesty About Dangerous Climate Change.
EcoEquity. http://www.ecoequity.org/ceo/ceo_8_2.htm
Bergman, L. 2003. The effects of a tax on pollution. Course paper on Advance
Topics in Micro and General equilibrium Theory.
Berkhout,P, Ferrer,C and Musken,Jos. 2004. The ex post impact of an energy tax
on household energy demand. ELSEVIER. Energy Economics 26
(2004)297-317.JEL .D12:Q4
Bolioli, T. 1999. Comparison of Endogenous vs.Exagenous Technology in the
DICE Economic Output Function. COM/ENV /EPOC /DAFFE
/CFA(99)111/FINAL.
Behavioral Responses to Environmentally-Related Taxes. 2000. Environment
Directorate.Directorate for Finance,Fiscal and Enterprise Affairs. OECD
Beyond Kyoto. 2002. Energy Dynamics and Climate Stabilization. International
energy Agency.OECD/EIA
Blades,D. and J. Meyer. 1998. How to represent Capital in International
Comparison of Total Factor Productivity. OECD.Statistics Directorate.
Second Meeting of the Canberra Group On Capital Stock Statistics.
Connor,D. 1996. OECD Development Centre (Paris French). Applying Economic
Instruments
in
Developing
Countries;
From
Theory
to
Implementation.Special Report
Choon Chia,Nge. Taxes and Traffic in Asian Cities:Ownership and use taxes on
autos in Singapore. National University of Singapore.
129
Cline, R. W. 2006. Modelling economically efficient abatement of greenhouse
gases. http://www.unu/unupress/unupbooks/uu17ee/uu/uu17ee08.htm
Clarkson, R. and K. Deyes. 2002. Estimating the Social Cost of Carbon
Emissions. Government Economic Services Working paper 140.
Environment Protection Economics Division. HM Treasury,Parliament
Street,London
Cooper, N. R. 2004. A Carbon Tax in China ?. Climate Policy Centre. www.cpcinc.org
Dutschke, M. and Michaelowa. 1998. Issues and Open Questions of Greenhouse
Gas Emission Trading under the Kyoto Protocol. HWWA Humberg.
Discussion Paper 68.
Dealing With Climate Change. 2002. International Energy Agency. OECD/IEA
Dean, R. E. 1999. The Accuracy of the BLS productivity measures. Monthly
Labor Review.
Environmental Taxes. 1996. Implementation and Effectiveness. Environmental
Issues Series No.1, Copenhagen.
Economic/Fiscal Instruments: Taxation.OECD/GD(97)188. Annex I Expert
Group on the United nations Framework Convention on Climate
Change.Working Paper No.4
Economic instrument for the reduction of carbon dioxide emissions (Nov 2002).
The Royal Society. Policy document 26/02. www.royalsoc.ac.uk
Energy Use and Carbon Emissions:Some International Comparisons. 1994.
Energy Information Administration.DOE/EIA-0579. US.Departement of
Energy.Washington,DC
Final Report. 1973. Research Triangle Institute.RTI project No.41U-757. A
Projection of the Effectiviess and Costs of A National Tax On Sulfur
Emissions.
Fiddaman, T. 1997. A System Dynamic Perspective On an Influential
Climate/Economiy Model. MIT Sloan School of Management.
Fullerton, D. 2001. A Framework To Compare Environmental Policies. National
Bureau of Economic Rsearch.Working Paper 8420.Cambridge.
Felipe, J. 1997. Total Factor Productivity Growth in East Asia: A Critical
Survey. EDRC Report Series No 65.
130
Frankhauser, S. and J. Richard. 2004. On Climate change and Economic Growth.
Resources and Energy Economics 27. ELSEVIER
Frankhauser, S. 2006. Economic Estimates of Climate Change Impact.
http://www.gcrio.org/USGCRP/sustain/frankhaus.html
Frankhauser, S. and T.S.J. Ricahrd. 2001. On Climate Change and Growth
.European Bank for Reconstruction and Development,Hamburg,Vrije and
Carnegie Mellon Universities.
Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan.Teori dan Aplikasi.
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,Jakarta
Fullerton, Don and N.R. Stavins. 1998. How Do Economist Really Think About
the Environment ?. Resources for The Future. Washington,DC. Discussion
paper 09-29.
Fussel, M. 2006. Empirical and Methodological Flaws in Applications of the
DICE Model. Centre for Environmental Science and Policy,Stanford
University.
Gurney, K. R. 2003. Climate Change and the Prospects for Action:Does Waiting
Have a Price.
Gupta, S. 2006. Environmental Benefit and Cost Saving Through Market-Based
Instruments: An Application Using State-Level Data From India. Delhi
School of Economics University of Delhi,India.
Hoeller, P. and M. Wallin. 1991. Energy Prices, Taxes and Carbon Dioxide
Emissions. OECD Economic Studies No.17.
Islam, S.M.N. 2003. Climate change and economic growth: computational
experiments in adavtive economic modeling. International Global
Environmental
Issues.Vol.3.No1.Centre
for
Strategic
Economic
Studies,Victoria University.
IPCC Report .Technical Summary of the Working Group I Report.
IPCC Technical Paper. 1997. Implications of Proposed CO2 Emission
Limitations. IPCC Working Group I.
IPCC Special Report,WMO and UNEP. 2002. Carbon Dioxide Capture and
Storage. Summary for Policymakers and Technical Summary.
Indonesia Energy Outlook & Statistics. 2004. Pengkajian Energi Universitas
Indonesia,Pengkajian Energy Universitas Indonesia
131
Jaccard, M., R. Murphy, and N. Rivers. 2004. Energy-environment policy
modeling of endogenous technological change with personal vehicles:
combining top-down and bottom up methods. School of Resources and
Environmental Management. Ecological Economics 51.ELSEVIER.
Jaswal, P. and K. Deb. 2006. A Framework for Estimating Environmental Taxes
in the Transport Sector. TERI,Lodhi Road,New Delhi.India
Jaffe, B.A., R. Newell, and R. Stavins. 2005. A tale of two market
failures:Technology and environmental policy.Ecological Economics
54.ELSEVIER
Keller, K., T. Kelvin, F. Moral and D. Bradford. 1999. Preserving the Ocean
Circulation: Implications for Climate Policy. Princeton University.
Klepper, G. and S. Peterson. 2005. Emission Trading,CDM,JL and More-The
Climate Strategy of the EU. Kiel Institute for World Economics. Kiel
Working Paper No.1238. Germany
Kyoto and Beyond. 2002. Issues and Options in the Global Response to Climate
Change.
Swedish
Environmental
Protection
Agency.
www.miljobokhandeln.com
Lazzari, S. 2005. Energy Tax Policy: An Economic Analysis. CRS Report for
Congress.Resources,Science and Industry Division.
Marland, G., T. Boden, and B. Andres. Oak Ridge National Laboratory.University
of North Dakota. Website : http://cdiac.esd.ornl.gov/trends/emis/top2000.tot.
diprint 11/8/2004
Murdiyarso, Daniel.
2003.
Protokol Kyoto.Implikasinya bagi Negara
Berkembang. Seri perubahan iklim.Penerbit buku Kompas.
McFarland, J. R., J. M. Reilly, and H. J. Herzog. 2004. Representing energy
technologies in top-down economic models using bottom-up information.
Energy Economic 26. ELSIVIER
Mastrandrea, M. and S. Schneider. 2001. Integrated assessment of abrupt
climatic changes. Stanford University. Climate Policy 1.ELSEVIER
Markandya, A. 1998. The indirect costs and benefits of greenhouse gas
limitations. University of Bath and Metroeconomica. Handbook Report
Published by : UNEP Collaborating Centre on Energy and Environment,
Denmark.
McKibbin, J. W. and A. Stegman. 2005. Convergency and Per Capita Carbon
Emission. LOWY Institute for International Policy.Working Paper No.4.05
132
Nordhaus, W. and J. Boyer. 1999. Economics Models of Global Warming. DICE
and RICE Model. Internet edition.
http://www.econ.yale.edu/~nordhaus/homepage/web%20table%20of%20co
ntents%20102599.html.Printed on.3/23/2005
Nordhaus, W. 1992. Rolling the “DICE” : An Optimal transition path for
controlling greenhaouse gases. Resources and Energy Economics 15 (1993)
27-50.North Holland.
Nordhaus, W. and J.G. BoyrtBoyer. 1999. Requiem for Kyoto: An Economic
Analysis of the Kyoto Protocol. KYOTO ECON 020299.DOC
Nordhaus, W. 2001. Global Warming Economics. Science Compass,Vol
294.Policy Forum:Cliamte Change
Nordhaus, W. 1992. An Optimal Transition Path for Controlling Greenhouse
Gases. Science.Vol 258.
Network of East Asian Think Tanks Working Groups –NEAT WG. 2006. Second
Neat Working Group Meeting on Energy Security Cooperation In East
ASIA.
Newell, G. and A. W. Pizer. 2004. Uncertain discount rate in climate policy
analysis. Energy Policy 32. ELSEVIER
Olsthoorn, X., M.Amann,Markus, et.al. 1999. Cost Benefit Analysis of European
Air Quality Target for Sulphur Dioxide, Nitrogen Dioxide and Fine and
Suspended Particulate Matter in Cities. Environmental and Resources
Economics 14:333-351.Kluwer Academic Publishers.
OXERA report. 2002. A Social Time Preference Rate For Use In Long-Term
Discounting. OXERA Consulting Ltd.Oxford OX1 4EH,UK
Parry, W. H .Ian. 2003. Fiscal Interactions and the Case for Carbon Taxes over
Granfathered Carbon Permits. Resources For the Future.RFF DP 0346.Washington,DC 20036
Petroleum Report Indonesia. American Embassy –Jakarta.2003
Proceeding SOx/NOx Trades. 2003. Market Mechanisms and Incentives:
Applications to Environmental Policy. A Workshop sponsored by The US
Environmental Protection Agency’s National Centre For Environmental
Economics and National Centre For Environmental Research. Edited by
Alpha-Gamma Technologies,Inc.
Policy to Reduce Greenhouse Gas Emission in Industrry-Successful Approaches
and Lessons Learned: Workshop Report. OECD and EIA Information Paper.
133
OECD Environment Directorate and International Energy Agency.
COM/ENV/EPOC/EIA/SLT (2003)2.
Perspektif Clean Development Mechanism Pada Proyek Energi Terbarukan dan
Efisiensi Energi. 2002. Sub Direktorat Pemanfaatan Energi Direktorat
Energi baru Terbarukan dan Konservasi Energi. Direktorat Jenderal Listrik
dan Pemanfaatan Energi.
Pearce, D., B. Groom, C. Hepburn, and P. Koundouri. 2003. Valuing the Future.
Recent advances in social discounting.World Economics.Vol 4.No.2
Pizer, W. 2005. The Case for Intensity Targets. Resources for The Future.
Discussion Paper.RFF DP 05-02.Washington,DC
Philibert, C. 2003. Discounting the Future. International Society for Ecological
Economics.Internet Encyclopaedia of Ecological Economics.IEA,Energy
and Environment Division.
Roughgarden,Tim and Schneider,Stephen (1998). Climate change policy:
quantifying uncertainties for damages and optimal carbon taxes. Cornell
University,Itheca and Stanford University,Stanford. Energy Policy 27.
ELSEVIER
Saleh, K. 1997. The Measurement of Gross Domestic Fixed Capital Formation in
Indonesia. Capital Stock Conference, Central Bureau of Statistics. Jakarta.
Sargent, C. T. and R. E. Rodriguez. 2000. Labour or Total Factor Productivity:
Do We Need to Choose ?. Economics Studies and Policy Analysis
Division.Departement of Finance,Canada
Sanim, B. 2003. Environmental Protection and Regional Development. Paper
disampaikan pada “ The 16 th General Conference of IFSSO On
Environmental Protection and Regional Development.
Symons, E.J., S. Speak, and J.L. Proops. The effect of pollution and energy
across the European income distribution. Economic Department.Keele
Univcersity,UK. Paper
State
Carbon Tax Model User’s
Change.University of Maryland.
Guide.
1996.
Centre
for
Global
Schultz, A. P. and F. J. Kasting. 1997. Optimal reduction in CO2 emissions.
Energy Policy,Vol 25.ELSEVIER
Scrimgeour, G.F., L. Oxley, and K. Fatai. 2006. Reducing Carbon Emissions?
The Relative effectiveness of Different Types of Environmental Tax: The
Case of New Zealand. University of Waikato, University of Canterbury.
134
Stavins, N.R. 2004. Environmental Economics.
Future.Discussion Paper.RFF DP 04-54
Resources
for
The
Statistik Lingkungan Hidup Indonesia. 2002. Katalog BPS 2202
Sterman, D.J. 2002. All models are wrong:reflections on becoming a system
scientist. MIT Sloan School of Management
Sigit,H.
2004. National Reports Indonesia. Total Factor Productivity
Growth:Survey
Report.diterbitkan
oleh
Asian
Productivity
Organization,ISBN:92-883-7016-3
Sumaila, R. U. and C. Walters. 2003. Intergenerational discounting: a new
intuitive approach. Ecological Economics 52.ELSIVIER
The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) Guideline revised 1996
for national Greenhouse Gas Inventories. Reference manual Volume 3
The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) Guideline revised 1996
for national Greenhouse Gas Inventories. Work book Volume 2
Thomas, C., T. Tennant and Rolls Jon. 2000. The GHG Indicator: UNEP
Guidelines for Calculating Greenhouse Gas Emissions for Business and Non
Commercial Organizations.
Tol, S. J. R. 2004. The marginal damage costs of carbon dioxide emissions:an
assessment of the uncertainties. Institute for Environmental Studies,Vrije
Universiteit,Amsterdam,The Nederlands.Energy Policy 33.ELSEVIER
Tol, S. J. R. 1997. On the optimal control of carbon dioxide emissions: an
application of FUND. Institute for Environmental Studies,Vrije
Universiteit,Amsterdam,The Nederlands.
Tol, S. J. R. and S. Frankhauser. 1997. On the optimal of impact in integrated
assessment models of climate change. Institute for Environmental
Studies,Vrije Universitiet,Amsterdam and Centre for Social and Economic
Research,University College London.
Technical Assistance Report. 2002. TAR INO 35138. For Preparing The Clean
Vehicle Fuel For Blue Skies Project. Asian Development Bank.
The Green Book. 2004. Discount Rate, Annex 6.
http://greenbook.treasury.gov.uk/annex06.htm
The RFF Guide to Climate Change Economics and Policy. 2003. Resources for
The Future. Washington,DC
135
UNEP publication. 2003. The Use of Economic Instruments in Environmental
Policy: Opportunities and Challenges.
Unleashing Innovation: The Right Approach to Global Climate Change. 2001.
The Business Roundtable
Van der Eng, P. 2005. Capital Formation and Economic in Indonesia.
N.W.Posthumus Institute of Economic and Social History,Groningen dan
Hitotsubashi University,Kunitachi,Tokyo.
Wardhana,W. A. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Penerbit Andi Offset
Yogjakarta
Watimena, T. B. and R.A. Soerjono. 2005. Indonesian Energy Planning: A
Concept Based on Some Energy Models. The Foundation of Indonesia
Institute for Energy Economics.
Wexler, L. 1996. Improving Population Assumptions in Greenhouse Gas
Emissions Models.IIASA.Laxenburg,Austria
Wing,S. I. and D. Popp. 2006. Representing Endogenous Technological Change
in Models for Climate Change Policy Analysis: Theoritical and Empirical
Considerations.The California Climate Change Centre at UC Berkeley.
Worrell, Ernst and W. Graus. 2005. Tax and Fiscal Policies for Promotion of
Industrial Energy Efficiency: A Survey of International Experiences.
Lawrance Berkeley National Laboratory.
Zhang, X. Z. and A. Baranzini. 2003. What Do We Know About Carbon Taxes?
An Inquiry into Their Impacts on Competitiveness and Distribution of
Income. Environmental Change,Vulnerability,and Governance Series.No
56.East West Centre Working papers.
Download