I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi, seringkali dikaitkan tidak hanya sebagai penciri tingkat pendapatan yang lebih tinggi bagi suatu perekonomian atau mekanisme yang berkelanjutan dalam meningkatkan taraf kehidupan masyarakat. Tetapi juga dikaitkan sebagai mekanisme “mujarab” untuk mendorong perluasan kesempatan kerja guna mengatasi pengangguran, karena dengan pertumbuhan ekonomi, berarti memberikan peluang bagi semua jenis usaha untuk menciptakan pekerjaan. Bahkan secara eksplisit, hukum Okun1) (Okun’s law) menyebutkan bahwa pengangguran berbanding terbalik dengan pertumbuhan ekonomi. Alasan lainnya adalah di dasarkan pada mekanisme transformasi struktur produksi dan struktur tenaga kerja yang menyertai pertumbuhan ekonomi, seperti yang diungkapkan oleh Fisher (1953) dalam Juanda (2001) bahwa pertumbuhan ekonomi biasanya disertai dengan pergeseran permintaan dari sektor primer ke sektor sekunder kemudian ke sektor tersiar. Selanjutnya pergeseran tersebut akan diikuti oleh pergeseran struktur produksi, melalui pergeseran kesempatan kerja dan alokasi dana dari sektor primer ke sektor sekunder kemudian ke sektor tersier. Akan tetapi, tampaknya pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak sertamerta akan di ikuti oleh perluasan kesempatan kerja dan pengurangan pengangguran. Seperti halnya yang terjadi di Sulawesi Selatan, di mana dalam dua dekade terahkir (1986-2004), daerah ini memiliki kinerja pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi yakni tumbuh rata-rata 5.88 persen per tahun. Kinerja ini melampaui rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional dan wilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang masing- masing tumbuh sekitar 4.70 persen dan 5.25 persen per tahun dalam kurun waktu yang sama. Namun kenyataan lain juga menunjukkan bahwa pengangguran di daerah ini, dari tahun ketahun menunjukkan trend peningkatan dan semakin memprihatinkan. Bahkan pada tahun 2003, Sulawesi Selatan 1) Hukum Okun dari Arthur M.Okun (1983) menyatakan bahwa laju pengangguran (Ut ) berbanding terbalik dengan selisih laju pertumbuhan ekonomi (g t ) terhadap laju pertumbuhan dalam kondisi normal (g t ”), atau : Ut = -q(g t - g t ”) + et di mana q adalah konstanta positif dan et adalah factor-faktor lain yang secara agregat bersifat acak dengan rataan nol. Dapat dibaca di Mankiw (2003) dan Siregar (2006) 2 memiliki skor tertinggi tingkat pengangguran di Indonesia yakni mencapai 16.97 persen (Sakernas, 2003). Penomena “growth-unemployment puzzle” yang terjadi di Sulawesi Selatan ini boleh jadi terkait dengan kinerja pertumbuhan ekonomi yang tidak mampu menciptakan transformasi struktural sesuai pola normal, seperti yang ditekankan oleh Cooper (2005) bahwa peningkatan kinerja ekonomi sangat ditentukan oleh keberhasilan menjalankan transformasi struktural. Transformasi struktural baru dapat dikatakan berhasil apabila kenaikan peranan industri manufaktur dan kenaikan ekspor disertai dengan berkurangnya tenaga kerja di sektor pertanian, karena secara sinifikan diserap oleh sektor industri manufaktur. Bahkan menurut Siregar (2006) bahwa pertumbuhan ekonomi yang cepat barulah merupakan syarat keharusan (necessary condition) bagi pengurangan laju pengangguran, tetapi hal itu dipandang belum cukup (not sufficient). Syarat kecukupannya adalah peningkatan kualitas pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Peningkatan kualitas yang dimaksud antara lain ialah pertumbuhan ekonomi harus dinikmati secara merata oleh segenap produsen dan berkelanjutan (sustainable). Menurutnya, laju pengangguran akan dapat diturunkan secara cepat apabila pertumbuhan ekonomi dipacu pada sektor padat karya. Sektor-sektor yang dimaksud adalah terutama sektor pertanian dalam arti luas dan industri pertanian (agroindustri). Tidak berhasilnya transformasi struktural seperti yang ditekankan oleh Cooper, serta tidak terpenuhinya syarat kecukupan (sufficient condition) dari pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan, tampaknya menjadi jawaban terhadap puzzle pertumbuhan-pengangguran di daerah ini. Hal ini terlihat dari kinerja pertumbuhan ekonomi, di mana sektor industri manufaktur mengalami “loncatan” pertumbuhan yang memukau, terutama pada periode awal proses industrialisasi di Indonesia, yang diawali pada pertengahan tahun 1980 an. Pertumbuhan industri manufaktur dalam periode 1986-2004, tumbuh rata-rata 11.11 persen pertahun, sementara sektor pertanian yang menampung lebih dari separuh total tenaga kerja hanya tumbuh sekitar 4.17 persen pertahun dalam periode yang sama. Sebagai konsekuensi logis dari disvarietas pertumbuhan ini, menyebabkan terjadinya pergeseran dalam struktur perekonomian. Kontribusi sektor industri manufaktur 3 meningkat secara signifikan dari sekitar 3.99 persen tahun 1985 menjadi sekitar 13.36 persen tahun 2004. Sedangkan kontribusi sektor pertanian mengalami kemerosotas secara signifikan pula yakni dari 44.73 persen tahun 1985 menjadi sekitar 33.04 persen tahun 2004. Akan tetapi transformasi struktur ekonomi tersebut tidak diikuti oleh transformasi struktur tenaga kerja secara seimbang. Sektor industri manufaktur yang meningkat tajam kontribusinya dalam struktur ekonomi, memiliki kemampuan kecil dalam menyerap tenaga kerja. Pada tahun 1985 sektor ini tercatat hanya menampung tenaga kerja sekitar 5.18 persen dari total tenaga kerja dan dalam kurun waktu hampir dua dekade, peranannya dalam menyerap tenaga kerja hanya meningkat tipis yakni menjadi sekitar 5.52 persen tahun 2004. Sebaliknya sektor pertanian yang kontribusinya dalam struktur ekonomi menurun tajam, namun jumlah tenaga kerja yang menggantungkan hidupnya di sektor ini tidak banyak berubah, yakni sebesar 55.01 persen pada tahun 1985 menjadi 55.04 tahun 2004. Dampaknya adalah kesenjangan produktivitas tenaga kerja antar sektoral dan regional menjadi tidak dapat dihindari, sehingga memperburuk kondisi ketenaga kerjaan di daerah ini, yang tergambar dari angga pengangguran yang semakin memprihatinkan. Pengangguran yang tinggi di daerah ini, tidak hanya disebabkan adanya semacam “bottleneck” dalam pasar tenaga kerja yang menyertai transformasi strukturalnya, tetapi juga diperparah oleh inflasi tinggi pada era krisis ekonomi tahun 1998, serta dipicu oleh banyaknya “migran-eksodus” dari berbagai daerah rawan konflik di tanah air, yang dimulai dari krisis Timur-Timur (Timor Leste) tahun 1998, kemudian konflik Ambon dan Maluku Utara, Poso serta Papua tahun 1999-2001. Tingkat pengangguran yang tinggi dapat menjadi beban yang berat bagi pembangunan itu sendiri karena dapat mengganggu kestabilan sosial, ekonomi dan politik. Banyaknya pengangguran tidak hanya menyebabkan rata-rata pendapatan masyarakat rendah dan menimbulkan kesenjangan, tetapi juga dapat mendorong meningkatnya angka kriminalitas tinggi. Bahkan dapat mendorong mewabahnya ekonomi siluman (underground-economy), sehingga penerimaan pajak pemerintah menjadi kecil. Dengan demikian pengangguran yang tinggi 4 sekaligus dapat menyebabkan terjadinya kontraksi pertumbuhan ekonomi. Karena itu upaya mengatasi pengangguran di daerah ini dipandang merupakan sesuatu yang urgen. Karena itu, arah pembangunan ekonomi Sulawesi Selatan ke depan diharapkan tidak hanya mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi saja, tapi juga harus mampu mendorong perluasan kesempatan kerja yang tinggi pula, guna mengatasi persoalan pengangguran. Sasaran-sasaran ini, sesungguhnya terkait erat dan saling mempengaruhi satu sama lain secara timbal balik. Pertumbuhan ekonomi yang berbasis pada peningkatan investasi guna mendorong perluasan kapasitas usaha dan produksi dapat mendorong perluasan kesempatan kerja. Sebaliknya penurunan angka pengangguran yang berarti pula meningkatnya partisipasi angkatan kerja tentunya dapat memberikan kontiribusi signifikant dalam pertumbuhan ekonomi (output), seperti yang telah dimodelkan oleh Solow dalam Todaro (2000) bahwa pertumbuhan output bergantung pada tiga faktor penting yakni kuantitas dan kualitas tenaga kerja, penambahan barang modal (physical capital) serta penyempurnaan teknologi. Penelitian ini diarahkan untuk mengkaji sumber-sumber pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan baik dari sisi demand-nya maupun dari sisi supply-nya termasuk kemajuan teknologi (didasarkan pada pertumbuhan total factor productivity)2) dan dampaknya terhadap keragaan pasar tenaga kerja di daerah ini. Dengan memadukan kedua hal tersebut, maka studi ini nantinya diharapkan dapat memberikan arahan konstruktif dalam rangka menentukan arah kebijakan strategis yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi tinggi dan sekaligus mampu mendorong perluasan kesempatan kerja sehingga angka pengangguran di Sulawesi Selatan dapat diminimalkan. 1.2. Perumusan Masalah Secara umum pasar tenaga kerja memang selalu dipengaruhi oleh dua sisi yakni sisi penawaran tenaga kerja (labor supply) dan sisi permintaan tenaga kerja 2). TFP (total factor productivity) adalah jumlah pertumbuhan yang tersisa (residu) setelah dikurangkan dengan kontribusi pertumbuhan masing-masing factor produksi yang terukur (tenaga kerja dan modal) . TFP, seringkali digunakan sebagai ukuran kemajuan teknologi atau peningkatan efisiensi tenaga kerja (Mankiw, 2003) 5 (labor demand). Perubahan yang tidak seimbangan dari kedua sisi pasar tenaga kerja tersebut, akan menghasilkan ketidak seimbangan pasar tenaga kerja pula. Perubahan sisi penawaran tenaga kerja dipengaruhi oleh tingkat partisipasi angkatan kerja dan migrasi, (Ruby, 2003). Sedangkan perubahan sisi permintaan tenaga kerja dipengaruhi oleh berbagai faktor ekonomi, termasuk sumber-sumber pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Menurut Kasliwal, (1995) ketidak seimbangan pasar tenaga kerja yang bermuara pada pengangguran merupakan pencerminan dari terjadinya exccess supply dalam pasar tenaga kerja. Angka pengangguran di Sulawesi Selatan meningkat dari tahun ketahun dan semakin memprihatinkan, bahkan pada tahun 2003, daerah ini memiliki skor tertinggi dalam tingkat pengangguran di Indonesia yakni mencapai 16.97 persen. Peningkatan tajam angka pengangguran di daerah ini terutama terjadi pasca krisis ekonomi tahun 1998. Berikut ini disajikan beberapa indikator makro pasar tenaga kerja di Sulawesi Selatan. Tabel 1. Beberapa indikator makro pasar tenaga kerja di Sulawesi Selatan dan Indonesia tahun 1993-2003 Indikator Pasar Kerja di Sul- Sel & Indonesia Tahun 1993 – 2003 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Sulawesi Selatan Penduduk (juta) 7.21 7.36 7.42 7.59 7.71 7.84 7.98 7.80 7.89 7.96 8.21 Angkatan Kerja (juta) 2.76 3.09 2.92 3.20 3.16 3.24 3.29 3.06 3.28 3.30 3.46 2.66 2.93 2.61 3.03 3.02 3.07 3.08 2.87 2.88 2.89 2.87 Tenaga Kerja (juta) Pengangguran (Ribu) Angka Pengangguran (%) 100.22 160.86 310.39 3.63 167.08 138.16 170.04 213.19 376.35 335.83 405.34 586.77 5.21 10.63 5.22 4.37 5.25 6.48 6.09 10.03 12.29 16.97 57.79 61.07 53.35 57.80 50.18 55.87 55.41 55.28 56.23 57.85 59.76 9.75 10.09 9.82 10.76 11.08 9.16 8.72 8.92 8.76 8.69 8.80 32.46 28.85 36.83 31.44 38.74 34.98 35.87 35.80 35.01 33.46 31.45 2.76 3.36 7.24 4.89 4.68 5.46 6.35 6.1 8.1 9.1 9.50 • Pertanian (% thd. Tot) 50.60 62.06 43.98 44.02 41.18 44.96 43.21 45.38 43.88 44.34 46.26 • Industri (% thd. Tot) 15.68 15.31 18.42 18.09 19.01 16.28 17.84 17.43 17.54 13.21 12.84 • Jasa (% thd. Tot) 33.72 22.63 37.60 37.89 39.81 38.76 38.95 37.29 38.58 42.45 40.90 Tenaga Kerja Men. Sektor • Pertanian (% thd. Tot) • Industri (% thd. Tot) • Jasa (% thd. Tot) Indonesia Angka Pengangguran (%) Tenaga Kerja Men. Sektor Sumber : BPS : Sakernas 1993-2003, Sulawesi Selatan dalam angka dan statistik Indonesia dalam berbaga i penerbitan 6 Berbagai faktor yang menyebabkan sehingga angka pengangguran di Sulawesi Selatan tinggi bahkan cenderung meningkat antara lain sebagai berikut : (1) Dalam dua dekade terkhir (1985-2004) Angkatan kerja (labor supply) tumbuh sekitar 3.78 persen per tahun yang berarti lebih besar dari pertumbuhan kesempatakan kerja (labor demand) dengan pertumbuhan hanya sekitar 2.50 persen per tahun. Kesenjangan pertumbuhan yang semakin melebar dari kedua sisi pasar tenaga kerja ini bermuarah pada semakin tingginya angka pengangguran. Pertumbuhan yang besar pada sisi angkatan kerja selain didorong oleh pertumbuhan populasi sekitar 1.38 persen pertahun, juga disebabkan oleh banyaknya arus migrasi masuk terutama sejak tahun 1999. Arus migrasi ini umumnya merupakan “migran-eksodus” yang berasal dari berbagai daerah rawan konflik di Kawasan Timur Indonesia dimulai konflik Tim- Tim di penghujung tahun 1998, kemudian konflik Ambon, Maluku Utara, Poso, dan Papua dari tahun 1999-2001. (2) Sektor industri yang diharapkan menjadi leading sektor perekonomian ternyata tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk menyerap tenaga kerja, yakni hanya sekitar 5.80 persen tahun 2003. Sementara di sisi lain sektor pertanian dengan produktivitas tenaga kerja yang rendah, sudah jenuh dengan surplus tenaga kerja, sehingga peluang “angkatan kerja baru” untuk terserap dalam pasar tenaga kerja sangat tipis yang kemudian perdampak pada pengangguran tinggi. Kesenjangan daya tampung tenaga kerja yang disertai kesenjangan produktivitas tenaga kerja yang tajam antara sektor industri dan sektor pertanian sekaligus menunjukkan adanya semacam “Bottleneck” dalam pasar tenaga di Sulawesi Selatan. Sehingga memperburuk kondisi ketena ga kerjaan dan menyebabkan semakin tingginya angka pengangguran di daerah ini. (3) Pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Selatan tidak bersumber pada fundamental ekonomi yang kuat. Sektor produksi terutama sektor industri sangat tergantung pada impor (lihat Gambar 1, ekspor-impor total defisit). Akibatnya sistem ekonomi rentang terhadap goncangan global seperti era krisis ekonomi tahun 1998, sehingga berdampak pada semakin tingginya 7 pengangguran. Rapuhnya struktur perekonomian ini, tentunya juga terkait dengan kebijakan insetif (subsidi dan protektif) selama ini, sehingga sektor industri dalam negeri kurang kompetitif dengan dunia luar. (4) Dari aspek sumber pertumbuhan ekonomi, khususnya dari segi permintaan output agregat, pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Selatan masih di dorong oleh komponen konsumsi yang pada tahun 2003 memiliki kontribusi sekitar 57.01 persen sedangkan investasi hanya sekitar 23.43 persen, demikian pula aspek eksternal dimana secara total ekspor- impor masih defisit. 57.01 60.00 50.00 Share (%) 40.00 23.07 30.00 20.46 20.00 5.50 10.00 0.59 0.36 (6.99) - Ko ns .P em . Pe m b. M od al Pe rub ah an St ok (X -M )A nta rN eg . (X -M )A nta rP rop . Ko ns .N irla ba Ko ns .R T (10.00) Gambar 1 Kontribusi komponen permintaan agregat terhadap PDRB Sulawesi Selatan, Tahun 2003 Pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh oleh konsumsi masyarakat bukanlah pertumbuhan yang dapat mengurangi tekanan pasar tenaga kerja. Pertumbuhan ekonomi yang dapat mengurangi tekanan pasar tenaga kerja haruslah berbasiskan pada investasi yang mengarah kepada perluasan kapasitas usaha dan produksi. (5) Pertumbuhan perekonomian Sulawesi Selatan, dilihat dari sisi supply, menunjukkan bahwa pertumbuhan PDRB lebih responsif terhadap perumbuhan modal (investasi) dibandingkan terhadap pertumbuhan faktor produksi tenaga kerja. Penomena ini tampaknya bertentangan dengan 8 “mitos” dalam perekonomian selama ini, yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan selalu diikuti perluasan kesempatan kerja. 30.00 24.88 Pertumbuhan (%) 20.00 10.00 - (5.33) 4 199 5 199 6 199 7 199 8 199 9 199 0 200 1 200 2 200 3 200 (10.00) (20.00) (20.61) (30.00) 1. Pertumbuhan PDRB 2. Pertumbuhan Investasi 3. Pertumbuhan Tenaga Kerja Gambar 2 Pertumbuhan PDRB, investasi dan tenaga kerja di Sulawesi Selatan, Tahun 1994-2003 Pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh pertumbuhan modal (investasi) yang tidak disertai pertumbuhan tenaga kerja, setidaknya menjelaskan tiga poin utama yakni. Pertama : sektor produksi padat modal lebih berkembang dibandingkan sektor produksi padat pekerja. Lebih berkembangnya sektor produksi padat modal dibanding sektor yang padat pekerja, tentu tidak banyak membantu dalam mengurangi tekanan pasar tenaga kerja. Kedua: harga relatif dari penggunaan modal lebih murah dibandingkan penggunaan tenaga kerja, yang berarti pula bahwa produktifitas modal lebih tinggi dibandingkan produktifitas tenaga kerja, sehingga pengusaha cenderung menggunakan modal lebih banyak dibanding menggunakan tenaga kerja. Rendahnya produktivitas tenaga kerja ini menyebabkan permintaan tenaga kerja pun tidak berkembang. Ketiga: penggunaan modal secara intensif mendorong peningkatan teknologi yang secara umum menghemat tenaga kerja. Berikut skematis kerangka perumusan masalah. 9 Kebijakan : • Insentif : Subsidi dan Proteksi • Menjaga inflasi dan suku bunga rendah Pertanian Industri Lainnya Kesenjangan Produktivitas dan Pengangguran Desa Permintaan Output Agregat • • • • Kebijakan Kompetitif Transformasi Struktural (Eko. & TK) Kons. Msy. Kons. Pem Investasi Ekspor-Impor Kota Pasar Tenaga kerja Penawaran Output Agregat Pertumbuhan Output Agregat (PDRB) • Tenaga Kerja. • Modal • Teknologi Padat modal VS Padat Pekerja Kesempatan kerja Produktivitas TK Peningkatan Pertumbuhan dan pengurangan pengangguran Gambar 3. Kerangka perumusan masalah pasar tenaga kerja dan pertumbuh ekonomi di Sulawesi Selatan Berdasarkan uraian panjang diatas, maka persoalan pengangguran secara garis besarnya terkait dengan dua permasalahan pokok, yakni permasalahan yang berkaitan dengan pasar tenaga kerja (point 1 - 2) dan permasalahan yang berkaitan dengan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi (point 3 – 5). Dengan mengkaji secara dalam kedua pokok masalah trsebut, maka penelitian ini diharapkan dapat memberi arah dalam rangka mengatasi pengangguran di Sulawesi Selatan yang sekaligus dapat mendorong pertumbuhan ekonomi serta penyesuaian arah industrialisasi di Indonesia pada umunya. Adapun rincian rumusan masalah yang akan di kaji dalam studi ini adalah sebagai berikut : 10 1. Seberapa besar kontribusi faktor produksi tenaga kerja, modal dan teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Selatan ? 2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan keragaan pasar tenaga kerja, seperti : kesempatan kerja, angkatan kerja, pengangguran, upah riil, migrasi tenaga kerja, dan produktifitas tenaga kerja di Sulawesi Selatan ? 3. Apakah upah riil di Sulawesi Selatan bersifat kaku (rigid) ? 4. Bagaimana dampak perubahan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baik dari sisi permintaan maupun dari sisi penawaran output agregat terhadap kesempatan kerja dan pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan ? 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis keragaan pasar tenaga kerja dan kaitannya dengan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sulawesi Selatan. Secara khusus penelitian ini diarahkan untuk menjawab beberapa tujuan sebagai berikut : 1. Menghitung total factor productivity (TFP) di Sulawesi Selatan, TFP sektor pertanian, TFP sektor industri dan TFP sektor lainnya di Sulawesi Selatan. 2. Menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan keragaan pasar tenaga kerja di Sulawesi Selatan yang meliputi angkatan kerja, kesempatan kerja, pengangguran, dan upah riil, migrasi tenaga kerja dan produktivitas tenaga kerja. 3. Menganalisis indikator tingkat kekakuan upah riil sektoral di wilayah pedesaan dan di wilayah perkotaan Sulawesi Selatan. 4. Menganalisis dampak perubahan : konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, investasi, perubahan ekspor, impot, pendapatan asli daerah (PAD), dan kemajuan teknologi terhadap kesempatan kerja dan pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini terdiri dari tiga point utama yakni sebagai berikut : (1) Dari segi pengembangan ilmu : studi ini akan menggunakan pendekatan makro dan mikro ekonomi dalam menkaji mengenai pasar tenaga kerja dan 11 pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Selatan. Dari aspek model analisis, studi ini akan menggunakan pemodelan ekonometrika dalam bentuk persamaan simultan. Dalam model tersebut sumber-sumber pertumbuhan baik dari sisi permintaan agregat maupun dari sisi penawarannya diinterna lisasikan dalam pemodelan pasar tenaga kerja. Dengan demikian studi ini diharapkan dapat memperkaya kajian ketenaga kerjaan di Indonesia pada umumnya (2) Dari segi informasi: dapat dijadikan bahan informasi yang dapat menjelaskan keragaan pasar tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Selatan serta berbagai hambatan pembangunan dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi dan mengatasi pengangguran di Sulawesi Selatan. Studi ini sekaligus dapat dijadikan acuan untuk penitian selanjutnya. (3) Dari segi terapan: dapat menjadi bahan pertimbangan bagi penentu kebijakan untuk merumuskan langkah strategis dalam rangka menanggulangi pengangguran, dan pemulihan ekonomi serta penyesuaian arah pergeseran struktural (industrialisasi) di Sulawesi Selatan khususnya dan Indonesia pada umumnya. 1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Ruang lingkup analisis dalam penelitian ini adalah skala regional. Penelitian ini menggunakan model ekonometrika. Dalam mengkaji model, tenaga kerja didisagregasi berdasarkan wilayah kota dan desa serta didisagregasi menurut klasifikasi tiga sektor, yaitu sektor pertanian, ind ustri pengolahan dan sektor lainnya. Sektor pertanian yang dimaksudkan adalah pertanian dalam arti luas yang meliputi sub sektor tanaman pangan, perikanan, peternakan, perkebunan dan kehutanan. Sektor industri pengolahan mencakup industri pengolahan tampa migas. Sektor lainnya mencakup , sektor bangunan termasuk pertambangan dan penggalian, listrik, gas, dan air bersih, pengangkutan dan komunikasi, perdagangan, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, administrasi pemerintah dan pertahanan, serta jasa-jasa lainnya. Beberapa keterbatasan dalam penelitian ini adalah: Model analisa ekonometrika hanya menggunakan indikator- indikator makro seperti nilai tambah 12 bruto sektoral, investasi, upah riil, inflasi dan PDRB. Jenis migrasi yang dianalisis adalah migrasi masuk kabupaten/kota yang diagregasi pada tingkat Provinsi di Sulawesi Selatan. Data tenaga kerja seperti kesempatan kerja, angkatan kerja dan pengangguran yang dianalisis adalah data berdasarkan hasil Sakernas (BPS, tahun 1985 - 2004). Selain itu, penelitian ini memiliki keterbatasan dalam kajian mikro, sehingga perilaku dari berbagai komponen pelaku pasar tenaga kerja tidak dapat dikaji secara mendalam.